PENAMBAHAN RUMPON UNTUK MENINGKATKAN HASIL TANGKAPAN KELONG TANCAP DI DAERAH KAWAL, KABUPATEN TANJUNGPINANG, KEPULAUAN RIAU
DAVID OCTAVIANUS SIAHAAN
SKRIPSI
DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
ABSTRAK DAVID OCTAVIANUS SIAHAAN. Penambahan Rumpon untuk Meningkatkan Hasil Tangkapan Kelong Tancap di Daerah Kawal, Kabupaten Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Dibawah bimbingan MULYONO S. BASKORO dan FIS PURWANGKA. Kelong tancap termasuk kedalam alat tangkap lift net, pengoperasian alat tangkap ini dengan cara menurunkan jaring ke dalam perairan hingga kedalaman tertentu dan selanjutnya menunggu waktu hauling. Pengoperasian kelong tancap menggunakan alat bantu lampu petromaks. Dalam perkembangannya, selain lampu, kelong tancap jarang sekali menggunakan rumpon sebagai alat bantu pengumpul ikan. Penelitian ini menggunakan metode eksperimental fishing. Setelah data primer dan sekunder terkumpul, dilakukan uji kenormalan Liliefors untuk melihat kenormalan data. Dari hasil analisis diketahui data hasil tangkapan kedua kelong tancap tidak menyebar normal. Sehingga uji statistika non parametrik perlu dilakukan. Uji yang digunakan adalah uji pangkat bertanda Wilcoxon, analisis menggunakan program SPSS versi 11,5. Dari hasil analisis untuk data hasil diperoleh nilai Thitung (5) < Ttabel (30), nilai zhitung (-3,258) > ztabel (-1,645) dan nilai probabilitas (0,0005) < 0,05. Semua nilai tersebut mengindikasikan tolak Ho. Artinya penggunaan rumpon pada kelong tancap berpengaruh nyata terhadap peningkatan hasil tangkapan ikan. Untuk data hauling diperoleh nilai Thitung (5) < Ttabel (30), nilai zhitung (-2,804) > ztabel (-1,645) dan nilai probabilitas (0,0025) < 0,05. Semua nilai tersebut mengindikasikan tolak Ho. Artinya penggunaan rumpon pada kelong tancap berpengaruh nyata terhadap laju akumulasi ikan.
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:
“Penambahan Rumpon untuk Meningkatkan Hasil Tangkapan Kelong Tancap di Daerah Kawal, Kabupaten Tanjungpinang, Kepulauan Riau” Adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Adapun semua sumber data dan informasi yang berasal dan dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Desember 2005
David Octavianus Siahaan C54101074
PENAMBAHAN RUMPON UNTUK MENINGKATKAN HASIL TANGKAPAN KELONG TANCAP DI DAERAH KAWAL, KABUPATEN TANJUNGPINANG, KEPULAUAN RIAU
Oleh : DAVID OCTAVIANUS SIAHAAN C54101074
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
Judul skripsi
Nama Mahasiswa
: Penambahan Rumpon unt uk Meningkatkan Hasil Tangkapan Kelong Tancap di Daerah Kawal, Kabupaten Tanjungpinang, Kepulauan Riau : David Octavianus Siahaan
NRP
: C 54101074
Departemen
: Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Mulyono S Baskoro, M.Sc. Ketua
Fis Purwangka, S.Pi., M.Si. Anggota
Diketahui,
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Dr. Ir. Kadarwan Soewardi
Tanggal Lulus :
PRAKATA Skripsi ini disusun sebagai syarat kelulusan pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian yang akan dilakukan ini berjudul “Penambahan Rumpon untuk Meningkatkan Hasil Tangkapan Kelong Ta ncap di Daerah Kawal, Kabupaten Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau”. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Bapak Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc. dan Bapak Fis Purwangka, S.Pi., M.Si. selaku Ketua Komisi Pembimbing,, dan Anggota Komisi Pembimbing atas segala koreksi, saran, arahan dan bimbingan yang diberikan dalam penyusunan hasil penelitian ini; 2. Bapak Ir. Ronny Irawan Wahyu, M.Phil. sebagai Ketua Komisi Akademik Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor; 3. Kepala dan Karyawan Kantor Cabang Dinas Perikanan Kawal; 4. Pihak yang telah menyediakan akomodasi, dan membantu terlaksananya penelitian ini dari awal hingga trip penangkapan berakhir; serta 5. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan dan kemampuan penulis, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan untuk penyempurnaan skripsi ini. Semoga bermanfaat bagi mereka yang memerlukan.
Bogor, Desember 2005
David Octavianus Siahaan
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 4 Oktober 1981 di Air Molek, Provinsi Riau, dari Orang tua bernama Saut Siahaan dan D Sonti br Silalahi. Penulis adalah anak kedelapan dari - delapan bersaudara. Pendidikan formal penulis dimulai pada TK Bhayangkara di Pekanbaru pada
tahun 1987-1988.
Pada tahun 1994 penulis menyelesaikan
Pendidikan di Sekolah Dasar Santa Maria Pekanbaru. Selanjutnya pada tahun 1997, penulis lulus dari SLTP Katolik Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Pada tahun 2000, penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Umum di SMU Negeri 1 Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Pada tahun 2001, penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, melalui jalur UMPTN. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan sebagai Sekretaris umum (Periode 2003/2004), dan aktif sebagai anggota organisasi Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) cabang Bogor (2002).
Penulis pernah menjadi Asisten
luar biasa mata kuliah Ekologi Perairan (periode tahun 2002-2003, 2003-2004), Asisten dosen mata kuliah Biologi Laut (periode tahun 2003-2004), dan terlibat sebagai panitia penerimaan mahasiswa baru Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (Ombak 2003), panitia penyambutan mahasiswa baru PSP (2003), serta panitia Diskusi Nasional Trawl (2003).
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..…………………………………………………………......... ix DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………..........
x
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………..........
xi
1 PENDAHULUAN ................................................................................................
1
1.1 Latar Belakang …………………………………......................................... 1.1 Tujuan Penelitian ………………………………………….......................... 1.2 Manfaat Penelitian …………………………………………………............
1 3 3
2 TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................
4
2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7
Rumpon ………………………..................................................................... Tingkah Laku Ikan di Sekitar Rumpon …………........................................ Alat Tangkap Kelong Tancap ………………………………………........... Reaksi Ikan Terhadap Cahaya ………………………………...................... Daerah Pengoperasian Kelong Tancap ........................................................ Waktu Pengoperasian Kelong Tancap …………………………................. Hasil Tangkapan Kelong Tancap ………………………………..................
4 7 8 9 11 11 12
3 METODOLOGI ................................................................................................... 14 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ………………………………………........... 14 3.2 Alat dan Bahan ……………………………...………………………......... 14 3.2.1 Alat ................................................................................................... 14 3.2.2 Bahan ................................................................................................ 14 3.3 Metode Penelitian ........................................................................................ 21 3.3.1 Metode Pengumpulan Data .............................................................. 24 3.3.2 Metode Analisis Data ....................................................................... 25 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN ................................................ 29 4.1 Keadaan Umum Daerah Kawal …………………………………….......... 29 4.2 Keadaan Umum Perikanan Tangkap ……………………………….......... 30 5 HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................... 5.1 Rumpon ...................................................................................................... 35 5.2 Hasil Tangkapan ......................................................................................... 40 5.2.1 Komposisi Hasil Tangkapan per Jenis Ikan ................................... 40 5.2.2 Hasil Tangkapan (kg) per Trip ...................................................... 45 5.2.3 Hasil Tangkapan Rata-rata hauling Setiap Trip Penangkapan Ikan ................................................................. 51 5.2 Laju Akumulasi Ikan ................................................................................. 52
35
5.3 Frekuensi Ikan Tertangkap ........................................................................ 55 5.4 Kemunculan Ikan per Waktu Hauling ....................................................... 59 6 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................ 62 6.1 Kesimpulan …………………………………………………………......... 62 6.2 Saran …………………………………………………………………....... 63 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….......... 65 LAMPIRAN …………………………………………………………………........ 68
DAFTAR TABEL Halaman 1
Spesifikasi rumpon (bahan,ukuran, jumlah dan kegunaan) ………………...... 15
2
Alat tangkap di Kecamatan Gunung Kijang (tahun 2001) ................................ 31
3
Armada penangkapan di Kecamatan Gunung Kijang (tahun 2001) ………… 32
4
Nilai hasil laut Kecamatan Gunung Kijang (tahun 2001) ………....................
5
Komposisi total jenis ikan hasil tangkapan kelong dengan rumpon ………..... 41
6
Komposisis total jenis ikan hasil tangkapan kelong tanpa rumpon ………...... 43
7
Berat hasil tangkapan tiap trip kelong tancap dengan rumpon …………......... 47
8
Berat hasil tangkapan tiap trip kelong tancap tanpa rumpon ……………........ 48
9
Frekuensi ikan tertangkap pada kelong dengan rumpon …………………......
33
57
10 Frekuensi ikan tertangkap pada kelong tanpa rumpon ………………………. 58 11 Total hasil tangkapan dan jumlah hauling kelong tancap dengan rumpon ......
61
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Bentuk umum rumpon dan cara pemangsaan ikan oleh pemangsa .................
11
2
Bentuk dan ukuran mata jaring pada kelong tancap..........................................
18
3 Kerangka pemikiran kegiatan penelitian .........................................................
24
4
Hasil laut Kecamatan Gunung Kijang (tahun 2001) .......................................
33
5 Bentuk dan konstruksi rumpon .......................................................................
36
6
Posisi pemasangan rumpon pada kelong tancap ……………..........................
38
7 Posisi pemasangan rumpon tampak atas .........................................................
39
8
Komposisi total jenis ikan hasil tangkapan kelong tancap dengan rumpon dan kelong tancap tanpa rumpon ......................................................................
44
Perbandingan hasil tangkapan pada kedua kelong tancap ................................
49
10 Rata-rata hasil tangkapan per hauling setiap trip kelong tancap dengan rumpon dan kelong tancap tanpa rumpon...........................................................
52
9
11 Jumlah hauling per trip kelong tancap dengan rumpon dan kelong tancap tanpa rumpon ..................................................................................................... 54 12 Frekuensi hauling kelong tancap dengan rumpon dan kelong tancap dengan Rumpon ............................................................................................................. 54 13 Frekuensi ikan tertangkap pada kelong tancap denga n rumpon ........................ 58 14 Frekuensi ikan tertangkap pada kelong tancap tanpa rumpon ........................... 59
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Peta lokasi penelitian …....…………………………………………….........
69
2 Tanggal operasi penangkapan kedua kelong tancap, dan umur bulan ...........
70
3 Hasil tangkapan per trip kelong tancap dengan rumpon dan kelong tancap tanpa rumpon .....................................................................................
71
4
Rata-rata hasil tangkapan per hauling setiap trip kelong tancap dengan rumpon dan kelong tancap tanpa rumpon .........................................
72
5 Jumlah hauling kelong tancap dengan rumpon dan kelong tancap tanpa rumpon ………………………………………………..
73
6
Frekuensi hauling kelong tancap dengan rumpon dan kelong tancap tanpa rumpon ………………………………………......
74
7
Hasil uji kenormalan data hasil tangkapan kelong dengan rumpon ..............
75
8
Hasil uji kenormalan data hasil tangkapan kelong tanpa rumpon .................
76
9
Hasil analisis uji Wilcoxon terhadap hasil tangkapan dengan menggunakan program SPSS versi 11,5 antara kelong tancap dengan menggunakan rumpon dan kelong tancap tanpa rumpon ..................
77
10 Hasil analisis uji Wilcoxon terhadap jumlah hauling dengan menggunakan program SPSS versi 11,5 antara kelong tancap dengan menggunakan rumpon dan kelong tancap tanpa rumpon ..................
78
11 Atraktor daun kelapa, dan atraktor lampu petromaks 2 buah ......................
79
12 Hasil tangkapan kelong tancap......................................................................
80
13 Dokumentasi selama penelitian berlangsung ...............................................
82
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Kepulauan Riau merupakan salah satu propinsi yang memiliki garis pantai yang panjang. Wilayah perairan daerah ini lebih luas jika dibandingkan dengan wilayah daratannya.
Sebagai Provinsi yang memiliki wilayah perairan yang luas,
Kepulauan Riau memiliki sumberdaya hayati laut yang besar.
Hal ini terlihat dari
besarnya hasil tangkapan yang didaratkan di pelabuhan yang ada di daerah ini. Target pasar komoditi perikanan Provinsi Kepulauan Riau tidak hanya untuk memenuhi permintaan pasar daerah saja tetapi ikut memenuhi permintaan pasar luar negeri seperti Malaysia, Singapura, dan serta beberapa negara di kawasan Asia Tenggara. Sumberdaya yang dipasarkan ke luar negeri sangat beragam, diantaranya jenis ikan pelagis besar, pelagis kecil, ikan demersal, molusca, dan crustacea. Salah satu jenis ikan yang memiliki nilai jual yang tinggi adalah jenis ikan pelagis kecil.
Aktivitas
penangkapan ikan pelagis kecil di Provinsi Kepulauan Riau cukup tinggi. Salah satu daerah penyuplai kebutuhan ekspor ikan pelagis kecil di Provinsi Kepulauan Riau adalah Kecamatan Gunung Kijang, tepatnya daerah Kawal. Pemanfaatan ikan pelagis di daerah ini sangat baik. Alat tangkap yang biasa digunakan adalah jaring insang. Selain ikan pelagis besar, daerah ini juga kaya akan sumberdaya ikan pelagis kecil.
Metode penangkapan ikan pelagis kecil di daerah ini adalah
pengoperasian jaring-jaring besar pada bangunan berpanggung yang tidak bergerak dan berjangkar di laut. Metode ini diperkenalkan pertama kali dan merupakan ciri khas dari nelayan Melayu dari Hongkong, Malaysia, dan Indonesia. Meskipun definisinya belum jelas, alat tangkap ini disebut Kelong di Malaysia. Di Malaysia, kelong merupakan bangunan berpanggung besar yang tidak bergerak dengan memiliki rumah untuk perlindungan dan akomodasi kehidupan nelayan. Pada panggung ini pengangkatan jaring dioperasikan dengan bantuan alat derek yang mudah dikendalikan tangan. Jaring tempat hasil tangkapan diturunkan dan dinaikkan pada bagian tengah panggung ini. Kelong yang ada di Malaysia sebagian besar merupakan kelong tancap, atau oleh masyarakatnya lebih dikenal dengan sebutan stationery kelong.
Alat tangkap kelong banyak dijumpai di sepanjang perairan Selat Malaka. Oleh nelayan yang ada di Semenanjung Malaka, kelong dikembangkan dan dimodifikasi. Untuk memaksimalkan fungsi alat tangkap ini dalam menangkap ikan, nelayan memodifikasi kelong agar dapat berpindah tempat.
Artinya nelayan membuat alat
tangkap yang serupa namun menggunakan beberapa pelampung, alat ini dikenal dengan sebutan kelong apung atau mobile kelong. Dalam pengoperasiannya kelong apung dapat dipindahkan, kelong dapat ditarik ke daerah penangkapan ikan yang baru dan dapat pula ditarik ke arah pantai sewaktu-waktu bila diinginkan oleh nelayan. Sementara itu kelong tancap tidak dapat dipindahkan. Menurut Brandt (1984), pengoperasian alat tangkap kelong secara umum sama dengan pengoperasian alat tangkap bagan. Bahkan alat tangkap ini termasuk dalam salah satu dari sepuluh klasifikasi alat tangkap yang ada di Indonesia, yaitu lift net. Perbedaan terbesar kelong dan bagan terletak pada bangunan panggungnya. Pada kelong, rumah tunggu nelayan lebih besar dibandingkan pada bagan. Nelayan kelong menempatkan rumah tunggunya pada tepi salah satu sisinya agar tidak mengganggu aktivitas menaikkan dan menurunkan jaring, sedangkan rumah tunggu pada bagan diposisikan di tengah panggung dan ukurannya jauh lebih kecil. Teknis pengoperasian kelong tancap diasumsikan sama dengan alat tangkap bagan. Daerah Kawal merupakan daerah dengan perairan yang cukup potensial untuk usaha perikanan kelong. Letak geografis, keadaan oseanografis, dan keanekaragaman biotanya sangat mendukung usaha perikanan kelong.
Hal ini ditunjukkan dengan
banyaknya kelong yang dioperasikan oleh nelayan setempat. Kebanyakan kelong di perairan Kawal adalah jenis kelong apung dan kelong tancap. Kelong tancap terbuat dari rangkaian kayu, dalam pengoperasiannya selama ini, kelong hanya menggunakan cahaya lampu sebagai penarik perhatian ikan. Agar cahaya ini dapat memikat perhatian ikan dengan maksimal, maka pengoperasian kelong dilakukan pada malam hari, karena pada umumnya ikan pelagis kecil memiliki respon yang cukup tinggi terhadap cahaya, atau dengan kata lain ikan pelagis kecil kebanyakan bersifat fototaksis positif. Penggunaan pemikat tambahan selain lampu dalam pengoperasian kelong belum pernah dikenal dan diujicobakan oleh nelayan kelong tancap di Daerah Kawal,
Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau, oleh sebab itu penelitian ini sangat perlu dilakukan. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu uji coba penambahan pemikat yang baru dalam pengoperasian alat tangkap kelong yaitu penambahan rumpon. Rumpon yang dimaksud terdiri dari ban sepeda motor bekas, dan daun kelapa yang dirangkai menggunakan tali. Pemasangan daun kelapa, pada rangkaian tali dan ban sepeda motor bekas dimaksudkan untuk menjadikan rumpon sebagai tempat berlindung ikan.
Penelitian ini mencoba menelaah pengaruh penggunaan rumpon dalam
pengoperasian
kelong
tancap
untuk
meningkatkan
produktivitas
dan
efisiensi
penangkapan ( Subani, 1986). 1.2 Tujuan Penelitian Adapun penelitian ini dilakukan bertujuan untuk menentukan dan mengetahui pengaruh penggunaan rumpon ditinjau dari hasil tangkapan perikanan kelong tancap serta jumlah dan komposisi hasil tangkapan kelong tancap. 1.3 Manfaat Penelitian Manfaat bagi penulis, diharapkan penelitian ini mampu menambah pemahaman dan wawasan ilmu pengetahuan khususnya tentang perikanan kelong tancap dalam melakukan suatu analisa mengenai pengaruh penambahan rumpon pada pengoperasian alat tangkap kelong tancap. Penelitian ini juga bermanfaat untuk memberikan informasi kepada nelayan tradisional mengenai kegunaan rumpon sebagai penarik ikan pelagis kecil pada kelong tancap dalam upaya peningkatan jumlah hasil tangkapan.
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumpon Penggunaan dan penelitian rumpon atau Fish Agregating Device untuk memikat ikan sudah dimulai sejak tahun 1900-an.
Monintja (1990) mengemukakan bahwa
rumpon telah digunakan di Indonesia sejak dahulu dan diketahui telah digunakan lebih dari 30 tahun di banyak daerah sekitar Pulau Sulawesi, khususnya Sulawesi Utara. Rumpon adalah suatu konstruksi bangunan yang dipasang di dalam air dengan tujuan untuk memikat ikan agar berasosiasi dengannya sehingga memudahkan penangkapan ikan di suatu tempat (Monintja 1995 diacu dalam Zulkarnain 2002). Rumpon telah lama dikenal baik di Indonesia maupun di negara- negara lain seperti Filipina dan negaranegara Pasifik Barat. Rumpon biasanya dijadikan alat bantu penangkapan karena alat ini hanya dijadikan sebagai alat tambahan yang digunakan sebagai pengumpul ikan pada suatu tempat atau titik untuk kemudian dilakukan operasi penangkapan bedasarkan alat tangkap yang dikehendaki (Subani, 1986). Definisi rumpon menurut SK Mentan No.51/Kpts/IK.250/1/97 adalah alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada perairan laut.
Selanjutnya
dijelaskan dalam SK Mentan No.51/Kpts/IK.250/1/97 tentang pemasangan dan pemanfaatan rumpon, ada tiga jenis rumpon, yaitu : 1. rumpon perairan dasar adalah alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada dasar perairan laut; 2. rumpon perairan dangkal adalah alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada perairan laut hingga kedalaman 200 meter; 3. rumpon perairan dalam adalah alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada perairan laut dengan kedalaman di atas 200 meter.
Lebih lanjut di dalam SK Mentan tersebut dijelaskan bahwa pada rumpon perairan dasar dan dangkal, pengaturan pemasangan dan pemanfaatannya diatur lebih lanjut oleh Pemerintah Daerah sebagai berikut : 1. sampai dengan jarak 3 mil laut diukur dari garis pasang surut terendah pada waktu air surut dari setiap pulau, diatur oleh Pemerintah Daerah Tingkat II; 2. di atas 3 sampai dengan 12 mil laut diukur dari garis pasang surut terendah pada waktu air surut dari setiap pulau, diatur oleh Pemerintah Daerah Tingkat I; Berdasarkan SK Mentan No.51/Kpts/IK.250/1/97, dijelaskan bahwa jarak antar rumpon untuk rumpon laut dalam adalah 10 mil yang tidak boleh dipasang dengan cara pemasangan yang mengakibatkan efek pagar (zig- zag). Subani (1986) menjelaskan bahwa rumpon laut dangkal umumnya dipasang pada kedalaman antara 30 sampai dengan 75 meter. Setelah dipasang, kedudukan rumpon ini ada yang dapat diangkat-angkat, tetapi ada pula yang bersifat tetap, tergantung kepada pemberat yang digunakan.
Rumpon di Indonesia merupakan FAD skala kecil dan
sederhana yang umumnya di buat dari bahan tradisional. Rumpon tersebut di tempatkan pada kedalaman perairan yang dangkal dengan jarak 5 sampai 10 mil laut (9 sampai dengan 18 km) dari pantai, dan umumnya tidak lebih dari 10 sampai dengan 20 mil laut (35 km) dari pangkalan terdekat (Monintja, 1995). Desain rumpon baik rumpon dasar, rumpon laut dangkal, dan rumpon laut dalam secara garis besar terdiri atas empat (4) komponen utama, yaitu : 1. pelampung tanda atau float;
2. pemberat atau sinker;
3. tali atau rope;
4. pemikat atau atraktor.
Tali yang menghubungkan pemberat dan pelampung pada jarak tertentu disisipsisipkan daun nyiur yang masih melekat pada pelepahnya setelah dibelah menjadi dua. Panjang tali bervariasi, tetapi pada umumnya adalah 1,5 kali kedalaman laut tempat rumpon tersebut ditanam (Subani, 1986).
Selain daun kelapa ada appendage atau
pemikat lain yang dapat digunakan seperti sisa atau bekas jaring, kumpulan tali temali, ilalang, daun nipah, daun pinang. Menurut Tim Pengkajian Rumpon Institut Pertanian Bogor (1987), persyaratan umum dari komponen-komponen dari konstruksi rumpon adalah sebagai berikut : 1. Pelampung,
- mempunyai kemampuan mengapung yang cukup baik - konstruksi cukup kuat - tahan terhadap gelombang dan air - mudah dikenali dari jarak jauh - bahan pembuatnya mudah didapat; 2. Pemikat, - mempunyai daya pikat yang baik terhadap ikan - tahan lama - mempunyai bentuk seperti posisi potongan vertikal dengan arah ke bawah - melindungi ikan- ikan kecil - terbuat dari bahan yang kuat, tahan lama dan murah; 3. Tali temali, - terbuat dari bahan yang kuat dan tidak mudah busuk - harganya relatif murah - mempunyai daya apung yang cukup untuk mencegah gesekan terhadap benda benda lainnya dan terhadap arus - tidak bersimpul (less knot); 4. Pemberat, - bahannya murah, kuat dan mudah diperoleh - permukaannya tidak licin sehingga dapat mencengkram dasar perairan dan memiliki massa jenis yang besar. Prinsip suatu penangkapan ikan dengan menggunakan alat bant u rumpon adalah untuk mengumpulkan ikan, sehingga nantinya ikan akan lebih mudah ditangkap dengan alat tangkap yang dikehendaki. Diduga ikan tertarik dan berkumpul di sekitar rumpon karena rumpon berfungsi sebagai tempat untuk berlindung dan mencari makan. Adanya ikan di sekitar rumpon menciptakan suatu hubungan makan dan dimakan, dimulai dengan tumbuhnya bakteri dan mikroalga sejak rumpon dipasang di perairan. Hal ini dikarenakan proses pembusukan daun yang terjadi. Selanjutnya hewan- hewan kecil dari golongan zooplankton akan datang untuk mencari makan. Akhirnya ikan- ikan kecil akan berdatangan, begitu pula halnya dengan ikan- ikan besar akan datang untuk
mencari makan dengan memangsa ikan- ikan pelagis kecil (Hela dan Laevastu, 1981; Subani, 1986; Sondita, 1986; Takayama, 1959 diacu dalam Zulkarnain 2002). Lebih lanjut Monintja (1990), menyatakan bahwa manfaat yang didapat dari penggunaan rumpon adalah sebagai berikut : 1. efisiensi waktu dan bahan bakar dalam pengintaian 2. meningkatkan hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan 3. meningkatkan mutu hasil tangkapan yang ditinjau dari spesies dan komposisi ukuran ikan. 2.2 Tingkah Laku Ikan di Sekitar Rumpon Pengembangan usaha dibidang penangkapan ikan tidak terlepas dari pengetahuan yang cukup tentang tingkah laku ikan target baik secara individu maupun berkelompok. Pengetahuan tentang tingkah laku ikan merupakan dasar dari metode- metode penangkapan yang ada, dan juga merupakan kunci bagi perbaikan metode penangkapan yang telah diketahui, serta penemuan-penemuan metode yang baru (Yusfiandayani, 2003). Dalam hal mengumpulkan ikan, Gunarso (1985) mengungkapkan bahwa hal tersebut dapat dilakukan melalui beberapa cara, antara lain rangsangan kimia, rangsangan terhadap
penglihatan,
rangsangan
terhadap
pendengaran,
rangsangan
terhadap
penciuman, rangsangan dengan menggunakan aliran listrik, dan rangsangan dengan menyediakan tempat berlindung. Laevastu dan Hela (1981), menyatakan bahwa cahaya dapat mempengaruhi beberapa tingkah laku ikan, seperti merangsang ikan untuk makan, menghindarkan diri dari alat tangkap, serta mendekati cahaya tersebut.
Menurut
Yusfiandayani (2003), proses pembentukan rantai makanan pada rumpon dimulai dengan proses pembusukan yang dilakukan oleh kolonisasi perifiton yang diikuti dengan berkumpulnya pemangsa perifiton, dan kemudian plankton- feeder. Subani (1989) mengemukakan bahwa teori tertariknya ikan yang berada disekitar rumpon, disebabkan karena : 1. rumpon sebagai tempat berteduh (shading place) bagi beberapa jenis ik an tertentu; 2. rumpon sebagai tempat mencari makan (feeding ground) bagi ikan- ikan tertentu; 3. rumpon sebagai substrat untuk meletakkan telur bagi ikan- ikan tertentu; 4. rumpon sebagai tempat berlindung dari predator bagi ikan- ikan tertentu;
5. rumpon sebagai tempat titik acuan navigasi (meeting point) bagi ikan- ikan tertentu yang beruaya. 2.3 Alat Tangkap Kelong Tancap Berdasarkan klasifikasi FAO (1959), di Indonesia terdapat sepuluh klasifikasi alat tangkap yang digunakan untuk mengeksploitasi sumberdaya hayati laut. Pengelompokan alat tangkap ini berdasarkan teknik pengoperasiannya. Secara garis besar alat tangkap lift net terdiri atas jaring yang dilengkapi frame untuk membuat jaring terbuka dan alat untuk menaikkan dan menurunkan jaring diantaranya tali, kayu dan bahan logam. Salah satu kelompok alat tangkap yang popular di Indonesia adalah kelompok alat tangkap lift net. Menurut Brandt (1984), lift net adalah alat tangkap yang menggunakan jaring dan dalam pengoperasian jaring pada alat ini diangkat dan dinaikkan untuk menangkap ikan. Alat tangkap yang termasuk dalam lift net diantaranya jaring krendet untuk menangkap lobster, scoop net, alat lain adalah alat tangkap yang terdiri atas jaring besar yang menyerupai selimut yang dikenal dengan istilah blanket nets.
Alat tangkap yang
termasuk blanket nets diantaranya bagan. Bagan memiliki banyak jenisnya seperti bagan apung, bagan tancap, dan bagan perahu. Bagan perahu ada yang dioperasikan dengan satu perahu dan ada pula yang dioperasikan dengan dua perahu. Alat tangkap lain yang termasuk dalam blanket nets adalah kelong. Kelong kurang lazim terdengar dalam klasifikasi alat tangkap di Indonesia, karena alat tangkap ini diadopsi dari kegiatan perikanan di Hongkong dan Malaysia. Penyebaran alat tangkap ini juga tidak seluas penyebaran alat tangkap bagan.
Alat tangkap ini
banyak dijumpai di perairan sekitar Selat Malaka. Seperti halnya bagan, kelong terbagi lagi menjadi dua jenis yaitu kelong tancap dan kelong apung. Dalam pengoperasiannya, kelong juga menggunakan cahaya lampu sebagai pemikat utamnya dalam mengumpulkan ikan. Lampu yang digunakan adalah lampu petromaks yang merupakan alat bantu utama pengoperasian alat tangkap ini. Karena alat tangkap ini menggunakan lampu, maka terkadang alat tangkap ini juga diklasifikasikan ke dalam perikanan light fishing. Perairan tempat kelong tancap dioperasikan berkisar pada kedalaman 5 hingga 10 meter. Sedangkan kelong apung dapat dipindahkan dari satu daerah penangkapan ke daerah penangkapan lainnya (Subani, 1986). Kelong apung ditarik dengan menggunakan
satu perahu yang posisinya terpisah dengan bangunan kelong.
Perahu ini berfungsi
sebagai penarik bangunan kelong saat kelong akan dipindahkan. Secara umum kelong tancap terdiri dari rangkaian kayu yang dirangkai sedemikian rupa seperti bentuk panggung, bangunan ini memiliki rumah tunggu, roller, lampu petromaks, jaring dan serok (scoop net).
Pada waktu operasi penangkapan
dilakukan, jaring diturunkan dengan menggunakan roller atau penggulung jaring ke perairan dengan kedalaman tertentu. Teknik pengoperasian kelong tancap sama halnya dengan teknik pengoperasian bagan. Setelah ikan terkumpul di bawah lampu, kemudian dilakukan penangkapan ikan dengan menggunakan jaring yang telah tersedia (Ayodhyoa, 1981).
Kemudian dengan menggunakan serok atau scoop net hasil tangkapan
dikumpulkan dan dipindahkan ke dalam keranjang ikan (Baskoro et al, 1998 diacu dalam Zulkarnain 2002). 2.4 Reaksi Ikan Terhadap Cahaya Masyahoro (1998), menyebutkan bahwa daya pemikat bagi ikan adalah rangsangan atau tanda-tanda.
Rangsangan yang dapat diberikan kepada ikan dapat
berupa rangsangan cahaya, bunyi, mekanis dan kimia. Menangkap ikan dengan menggunakan cahaya sudah dilakukan dari dahulu dengan berbagai cara yang berbeda serta berbagai teknik yang dipakai. Sumber cahaya yang pertama kali digunakan untuk mengumpulkan ikan adalah obor, lalu dengan perkembangan teknologi, mulailah digunakan lampu minyak tanah, gas karbit dan terakhir menggunakan lampu listrik (Ruivo, 1959). Kekuatan cahaya yang diperlukan dalam suatu usaha penangkapan ikan sangat bervariasi. Hela dan Laevastu (1981) menyatakan bahwa, ikan diketahui memberikan reaksi terhadap cahaya antara 0,1 hingga 0,001 lux, tergantung pada adaptasi sebelumnya terhadap cahaya atau kegelapan. Ben Yami (1976) diacu dalam Zulkarnain 2002, mengemukakan bahwa ada dua pola reaksi ikan terhadap cahaya, yaitu fototaksis dan fotokenesis. Fototaksis merupakan gerakan spontan dari ikan yang mendekati atau menjauhi sumber cahaya.
Gerakan
spontan dari ikan yang mendekati sumber cahaya disebut fototaksis positif dan gerakan spontan ikan yang menjauhi sumber cahaya dinamakan fototaksis negatif. Fotokenesis merupakan respon ikan yang ditimbulkan oleh hewan dalam kebiasaan hidup.
Ikan pada umumnya akan membentuk schooling atau kerumunan pada saat terang dan akan menyebar pada saat gelap. Ikan akan lebih mudah diserang oleh pemangsa apabila posisi ikan di dalam perairan terpencar-pencar atau terpisah dari kelompoknya. Adanya rangsangan cahaya pada malam hari yang dipakai pada alat tangkap kelong tancap akan menarik perhatian ikan untuk mendekati daerah yang diterangi cahaya tersebut, dan akan cenderung membentuk schooling. Hal ini akan lebih mengamankan posisi ikan dari ancaman pemangsa. Ben Yami (1987), Subani dan Barus (1989), selanjutnya menyatakan bahwa keberhasilan operasi penangkapan ikan dengan alat bantu cahaya selain ditentukan oleh lampu dan besarnya intensitas cahaya, juga ditentukan oleh faktor lain yaitu kecerahan perairan, gelombang, angin, arus, sinar bulan dan pemangsaan. Bentuk umum rumpon dan cara pemangsaan ikan oleh predator akan terlihat jelas pada Gambar 1 berikut ini:
Sumber :. Balai Penelitian Perikanan Laut (1986) Gambar 1 Bentuk umum rumpon dan cara pemangsaan ikan oleh pemangsa 2.5 Daerah Pengoperasian Kelong Tancap Sama halnya dengan bagan tancap dan bagan apung, kelong tancap dan kelong apung biasanya dioperasikan di wilayah perairan yang cukup subur, keadaan perairan cukup tenang, tidak banyak dipengaruhi oleh laut lepas seperti gelombang yang besar,
dan angin yang kencang serta arus yang kuat.
Daerah tersebut umumnya berada di
wilayah teluk yang cukup terlindungi dari faktor luar (Subani, 1989).
Daerah
penangkapan ikan dengan kelong tancap pada umumnya berada di dekat pulau serta wilayah perairan lain yang cukup tenang. Daerah penangkapan untuk kelong tancap juga mempertimbangkan keadaan lingkungan sekitar kelong agar dapat bertahan dalam jangka waktu yang cukup lama. Sehingga biaya untuk perbaikan atau perawatan kelong tancap dapat dikurangi seminimal mungkin. 2.6 Waktu Pengoperasian Kelong Tancap Karena dalam pengoperasiannya alat tangkap kelong tancap menggunakan alat bantu lampu, maka alat tangkap ini tidak baik bila dioperasikan pada siang hari. Bahkan pada saat terang bulan alat tangkap ini sangat tidak efisien dan tidak efektif, karena sinar bulan merata di wilayah permukaan perairan dengan intensitas cahaya yang lebih besar dari intensitas cahaya yang digunakan di kelong, sebaran ikan pun merata di wilayah perairan. Waktu operasi penangkapan ikan dengan menggunakan kelong tancap dimulai pada saat matahari mulai terbenam hingga menjelang fajar. Ikan dengan sifat fototaksis positif akan lebih aktif dan menunjukkan sifat fototaksis positif yang maksimum sebelum tengah malam dan beberapa saat setelah tengah malam, hal ini karena intensitas cahaya pada saat tersebut sangat rendah sehingga cahaya yang merambat di dalam air maksimal. Dengan mengetahui sifat fototaksis ini, kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan sebelum tengah malam atau sesudah tengah malam akan lebih efektif (Gunarso, 1985). 2.7 Hasil Tangkapan Kelong Tancap Menurut Brandt (1984) jenis tangkapan kelong tancap dan bagan tancap sama, alat tangkap kelong juga digunakan untuk menangkap ikan pelagis. Menurut Nomura dan Yamazaki (1977), jenis spesies yang sering tertangkap dengan menggunakan alat tangkap bagan adalah teri (Stolephorus sp), kembung (Rastrelliger sp), layur (Trichiurus sp), tembang (Sardinella fimbriata), cumi-cumi (Loligo sp), tenggiri (Scomberomerus sp), tongkol (Auxis sp), bawal (Pampus argentus), pepetek (Leiognathus sp), selar (Selar crumenopathalmus), cakalang (Katsuwonus pelamis), layang (Sardinella longiceps), lemuru (Decapterus sp), dan alu-alu (Sphyraena sp). Bahkan Monintja (1989)
menambahkan dua spesies lainnya disamping spesies yang telah disebutkan di atas yaitu ikan japuh (Dussumieria sp), dan sotong (Sepia sp). Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Imron (1997), yaitu uji coba penangkapan ikan dengan jaring insang lingkar (encircling gillnet) di perairan Teluk Palabuhanratu antara bulan Desember – Januari 1997. Hasil penelitian yang pertama adalah komposisi hasil tangkapan dengan penggunaan alat bantu lampu petromaks, yaitu antara lain ikan tembang, daun bambu, selar bentong, pepetek, layur, semar dan lain sebagainya.
Hasil penelitian yang kedua adalah komposisi hasil tangkapan dengan
penggunaan alat bantu rumpon, yaitu antara lain ikan tembang, daun bambu, tongkol, selar bentong, bawal hitam, pepetek, layur, semar dan lain sebagainya. Hasil penelitian yang ketiga adalah komposisi hasil tangkapan dengan penggunaan kombinasi alat bantu lampu petromaks dan rumpon, yaitu antara lain ikan tembang, daun bambu, tongkol, selar bentong, pepetek, layur, semar dan lain sebagainya. Menurut penelitian Prasetyo (1999), yaitu tentang komposisi ikan yang tertangkap dengan pukat cincin (purse seine) yang menggunakan lampu listrik dan rumpon di Perairan Utara Jawa antara Bulan April – Mei 1999, antara lain adalah ikan selar bentong, layang, tongkol, bawal hitam, layur, pepetek, dan cumi-cumi.
Mulyono (2000),
menjelaskan hasil penelitian tentang histologi retina ikan hasil tangkapan bagan apung di Perairan Teluk Pelabuhan Ratu, yaitu bahwa jenis ikan layur, teri dan pepetek memiliki cone index yang sangat tinggi pada saat menjelang pagi hari, yang mengindikasikan bahwa ikan- ikan tersebut bersifat fototaksis positif.
3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian lapangan dilaksanakan pada pertengahan bulan Juni 2004 sampai dengan bulan Agustus 2004 di daerah Kawal, Kabupaten Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau. Penelitian dilakukan selama satu tahun tiga bulan (Mei 2004 - Agustus 2005).
Dimulai dari persiapan yaitu studi literatur, pembuatan usulan penelitian,
perizinan, pelaksanaan penelitian lapang, pengambilan data, pengolahan data, dan penulisan, serta penyusunan hasil penelitian dalam bentuk skripsi. 3.2 Alat dan Bahan 3.2.1
Alat Peralatan dan bahan yang digunakan selama penelitian adalah:
(1)
Satu unit perahu motor tempel (penjelasan pada sub bab berikutnya).
(2)
Satu unit penangkapan kelong tancap (penjelasan pada sub bab berikutnya).
(3)
Kamera untuk dokumentasi selama penelitian.
(4)
Alat pengukur berat berupa timbangan dengan kapasitas 2 kg dengan ketelitian 10g.
(5)
Alat pengukur panjang berupa meteran dengan ketelitian 1 mm.
(6)
Buku identifikasi untuk mengidentifikasi hasil tangkapan yang diperoleh.
(7)
Drum plastik sebagai alat penampung hasil tangkapan.
(8)
Attractor/pemikat yang terdiri dari daun kelapa, dan ban sepeda motor bekas.
(9)
Tali polyethylene diameter 8 mm untuk mengikatkan attractor.
3.2.2
Bahan
3.2.2a Rumpon Selama penelitian, digunakan 3 unit rumpon permukaan yang dipasang pada kedalaman 15 m. Masing- masing rumpon memiliki komponen : 1. Pelampung, yang terdiri atas 1 pelampung utama yang terbuat dari bahan styrofoam sebanyak 2 buah, dan 8 pelampung tambahan yakni jerigen bekas dengan kapasitas isi 25 liter. Pelampung styrofoam berbentuk silinder dengan diameter 40 cm dan tinggi 60 cm. Pelampung utama digunakan pada 2 unit rumpon dan ditambahkan jerigen
untuk masing- masing rumpon sebanyak 2 buah. Sedangkan 1 unit rumpon yang lain menggunakan 4 buah jerigen dikarenakan keterbatasan pelampung utama; 2. Pemikat yang digunakan adalah daun kelapa (Cocos nucifera). Daun kelapa yang digunakan adalah 45 pelepah yang selanjutnya tiap pelepah dibagi 4 menjadi 180 pelepah kecil dengan panjang 1,5m. Selain itu ada pemikat tambahan yakni ban sepeda motor bekas. Setiap unit rumpon menggunakan 5 buah ban sepeda motor; 3. Tali pelampung, tali pemikat atau tali rumpon, dan tali pemberat adalah tali polyethylene (PE) Ø 12 mm dengan panjang total untuk 1 unit rumpon yakni ± 50 m, tali pengikat daun kelapa yaitu PE Ø 3 dan 5 mm dengan panjang @ 20 cm; (4) pemberat yang terdiri atas rangkaian batu karang dengan berat ± 70 kg sebanyak 3 buah. Selain menggunakan tali PE Ø 10 mm ikatan batu karang yang digunakan sebagai pemberat juga diperkuat dengan kawat Stainless steel Ø 3mm. Tabel 1 Spesifikasi rumpon (bahan, ukura n, jumlah, dan kegunaan) No.
Bahan
Ukuran
Jumlah
1
Ban sepeda motor bekas
Ø 55 cm
15 buah
2
Besi Behel
Ø 10mm
3 batang
3
Tali-temali : • tali pelampung (PE)
Ø 12mm
6 x 3,5 m
Pemikat tambahan sekaligus frame pada rumpon Penguat bentuk lingkaran ban
Ø 12mm • tali ikatan pemberat (PE) Ø 5mm
12 x 7,5 m
Penghubung pelampung tanda dengan rumpon Pengikat antar ban sepeda motor
30 m
Pengikat batuan pemberat
• tali pemberat (PE)
Ø 12mm
6 x 6,5 m
Penghubung pemberat
Ø 40 cm
2 buah
Pelampung utama
8 buah
Pelampung tambahan
• tali rumpon (PE)
4
Kegunaan
rumpon
Pelampung tanda : • utama • tambahan (jerigen 25 lt)
5
Pemberat
W ± 70 kg 3 buah
Pemberat rumpon
6
Bendera semaphore
kayu 1.5m 3 buah
Bendera penanda rumpon
7
Daun kelapa
P 1,5 m
Pemikat utama
8
Kawat Stainless steel
Ø 3mm
180 pelepah kecil 3 gulung
3.2.2b Unit Penangkapan Kelong Tancap Unit Penangkapan kelong tancap terdiri atas : 1. Kapal kelong
Pengikat batu pemberat
dan
Kapal kelong adalah jenis kapal penangkapan ikan yang digunakan dalam pengoperasian alat tangkap kelong tancap, kapal kelong hanya digunakan sebagai sarana transportasi nelayan menuju ke fishing ground dan kembali ke base camp. Kapal kelong terbuat dari bahan kayu, perawatan kapal ini dengan mengontrol setiap bagiannya secara rutin setiap akan digunakan, dan bila bocor maka dilakukan penambalan oleh nelayan. Kapal yang digunakan adalah perahu motor inboard.
Perahu motor inboard
adalah perahu yang menggunakan mesin sebagai tenaga penggerak. Mesinnya dipasang secara permanen di dalam perahu (bagian tengah mengarah ke buritan). Perahu tersebut memiliki ukuran panjang 9,6 m, lebar 2,8 m, dan depth 0,97 m. Bahan dasar perahu adalah kayu. Mesin yang digunakan memiliki kekuatan 20 PK, dengan merk dagang Domfeng. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan, mesin tersebut mampu menjalankan perahu dengan kecepatan sekitar 8 mil per jam. Mesin tersebut adalah mesin bekas yang dibeli dari perahu yang tidak beroperasi dan diperbaiki oleh nelayan yang kebetulan memiliki keahlian mesin. Umur pemakaian mesin sudah 4 tahun sejak pembelian dari pemakai pertama. Biasanya nelayan kelong, baik kelong apung dan kelong tancap memiliki 1 perahu.
Perahu ini berada disekitar kelong pada saat nelayan di kelong.
Perahu
ditempatkan pada tempat yang tidak mengganggu turun-naiknya jaring kelong. Penempatan perahu ini sangat memperhatikan arah arus. 2. Alat tangkap kelong tancap Konstruksi serta penjelasan fungsi tiap bagian pada kelong tancap akan dipaparkan berikut ini: 1. Bangunan kelong tancap terdiri atas kayu. Kayu yang digunakan adalah kayu bulat dengan jumlah yang banyak dan memiliki panjang 10-15 meter. Bagian kayu yang terendam di air ±15 meter, panjang ini belum termasuk panjang kayu yang terbenam di dasar perairan. Penguat 1 bagian ke bagian lain pada kelong menggunakan paku dan tali. Jarak antara rumah tunggu ke permukaan air dihitung dari air surut terendah lebih kurang 3 meter. Bangunan kelong tancap memiliki ukuran panjang 14 meter dan lebar 11 meter. Panjang 14 meter bukanlah panjang total untuk pengukuran jaring, namun 3 meter dari total panjang bangunan kelong dijadikan sebagai rumah
tunggu nelayan selama berada di kelong. Luas rumah tunggu sendiri adalah 30 meter persegi. Rumah tunggu ini dibuat senyaman mungkin bagi nelayan layaknya rumah yang sering dijumpai di darat. Namun demikian, rumah kelong tidak dilengkapai dengan sekat-sekat lazimnya rumah yang ada di darat. Pada salah satu sisi di dalam rumah tunggu disediakan tempat pengolahan ikan teri hasil tangkapan untuk direbus. Tempat pengolahan ini terdiri atas kompor, tungku berdiameter 90 cm dan wajan untuk merebus hasil tangkapan berdiameter 100 cm. 2. Jaring pada kelong tancap merupakan alat yang sangat fungsinya sangat vital. Kondisi jaring harus selalu dipastikan baik sebelum digunakan oleh nelayan. Jaring kelong terbuat dari bahan polyethylene-monofilament.
Ukuran diameter benang
sangat kecil (0,1cm). Jaring/waring kelong tancap memiliki ukuran panjang 10 meter dan lebar 10 meter. Jaring dengan luas yang besar ini dijadikan pilihan agar ikan yang terkumpul di bawah cahaya tertangkap semua, termasuk ikan yang berada di bagian terluar schooling. Ukuran mata jaring sangat kecil yakni 3 mm. Jaring ini terendam di perairan sedalam 13,5 meter. Dengan asumsi jarak antara jaring dan dasar perairan 2 meter. Data ini diperoleh dari hasil wawancara dengan nelayan pemilik kelong. Pada bagian bawah jaring dipasang pemberat dari batu dan besi agar jaring lebih cepat tenggelam bila diturunkan ke air.
Bentuk dan ukuran jaring yang
digunakan pada kelong tancap digambarkan pada Gambar 2 berikut ini:
10 m PA
12mm
bambu Ø 10 cm
PE Ø 8 mm
a
P
b
PE Ø 5 mm
l Keterangan : P : Panjang bingkai jaring (10,5 m) l : Lebar bingkai jaring (10,5 m) a : Pemberat sisi jaring (lempeng besi Ø 15cm, w 4kg) b : Pemberat utama jaring (bola semen Ø 20cm, w 8,5kg) Gambar 2 Bentuk dan ukuran mata jaring pada kelong tancap 3. Roller, yakni alat bantu yang digunakan untuk menaikkan dan menurunkan waring. Roller yang digunakan berjumlah 2 buah dengan panjang 4,5 m terbuat dari kayu bulat dengan diameter 25 cm. Masing- masing roller diputar oleh 1 orang. Kecepatan dan keseimbangan dalam memutar roller sangat diperhatikan agar posisi waring yang terangkat tetap tegak lurus.
Roller ini dihubungkan ke waring dengan tali
berdiameter 15-20 mm, dengan panjang tali berkisar 25 hingga 30 meter. Alat bantu pada kelong tancap adalah alat-alat yang secara fisik terpisah dari bangunan kelong tancap, dapat dipindahkan dan fungsinya untuk membantu kelancaran operasi penangkapan. Alat bantu yang digunakan diantaranya : 1. Ancak, yakni wadah yang menyerupai tempayan yang terbuat dari rajutan bambu yang jarang-jarang. Ancak digunakan sebagai tempat untuk menaruh hasil tangkapan mentah atau ikan tangkapan yang telah direbus. Hasil tangkapan dibawa ke darat
dengan menggunakan ancak. Kapasitas ancak adalah 8 kg untuk hasil tangkapan basah. 2. Scoop net, yakni alat yang digunakan untuk memindahkan hasil tangkapan dari waring ke drum plastik. Dalam bahasa sehari- hari, alat ini dikenal dengan serokan. Namun kayu scoop net pada kelong tancap memiliki ukuran yang panjang agar dapat mencapai ikan tangkapan saat jaring dinaikkan. 3.
Drum, adalah alat ya ng digunakan sebagai tempat penampungan ikan sementara sebelum ikan tangkapan disortir berdasarkan spesies.
Drum terbuat dari bahan
plastik. 4. Lampu petromaks, yakni lampu yang digunakan untuk menarik perhatian ikan-ikan yang memiliki sifat fototaksis positif. Pada penelitian ini lampu petromaks yang digunakan berjumlah 2 sampai 3 buah lampu. Jarak lampu petromaks ke permukaan air diperkirakan sejauh 1 meter, bila keadaan angin dan ombak tinggi maka lampu segera dinaikkan agar tidak basah dan rusak. Tahap pengoperasian kelong tancap yakni : 1. tahap persiapan, yang dilakukan sebelum nelayan berangkat dengan kapal menuju fishing ground.
Segala perbekalan untuk sekali trip dipersiapkan, mulai dari
kebutuhan makanan, air tawar serta persediaan yang lain seperti sumbu lampu petromaks, minyak tanah, dan ancak kosong tempat hasil tangkapan. Perjalanan di laut memakan waktu lebih lebih kurang 1 hingga 2 jam, tergantung keadaan cuaca. Setelah tiba di kelong tancap, yang pertama dilakukan adalah memeriksa jaring, jika ada bagian jaring yang rusak maka dilakukan perbaikan dengan menjahit bagian yang rusak.
Selain itu pemeriksaan lampu petromaks juga dilakukan, yakni dengan
membersihkan pipa aliran minyak dari tangki bahan bakar ke sumbu lampu. Petromaks pada kelong tancap di daerah ini sedikit berbeda, yakni bahan bakar dialirkan dari tangki utama yang ditaruh di dalam rumah tunggu; 2. tahap persiapan penangkapan, dimulai saat matahari mulai tenggelam yakni dengan menurunkan jaring ke dalam air dan menyalakan lampu petromaks.
Selanjutnya
nelayan akan menunggu hingga ikan yang ada di bawah lampu benar-benar terkumpul;
3. tahap hauling, yakni saat dimana ikan tangkapan akan diangkat menggunakan roller. Setelah terkumpul selanjutnya dua orang nelayan akan secara bersamaan memutar roller hingga jaring terangkat dari dalam air. Sebelum mulai menggulung roller cahaya lampu tidak diredupkan seperti di daerah lain; 4. tahap setelah hauling, yakni tahap dimana ikan tangkapan dimasukkan ke dalam drum dan selanjutnya dipisahkan berdasarkan jenis. Nelayan kedua kelong tancap berangkat bersamaan menuju fishing ground. Pengoperasian kelong dimulai saat nelayan tiba di kelong tancap. Untuk menyamakan waktu pengoperasian penangkapan, jaring diturunkan setelah kegiatan persiapan dilakukan. Operasi penangkapan berlangsung antara pukul 17:30 WIB saat matahari mulai tenggelam hingga saat fajar yakni sekitar pukul 05:30 WIB. Waktu pulang ke fishing base dilakukan secara bersamaan pula. Kelong yang digunakan adalah kelong tancap milik nelayan Daerah Kawal. Kelong tancap tersebut direkomendasikan oleh Kepala Cabang Dinas Perikanan Kawal karena nelayan pemilik mempunyai dua kelong tancap yang relatif berdekatan. Satu dari dua kelong tancap dijadikan sebagai kontrol (kelong tancap yang biasa digunakan nelayan), dan kelong yang lain dijadikan sebagai kelong tancap tempat penelitian ini dikonsentrasikan dengan penggunaan rumpon. Kelong kontrol dan kelong perlakuan memiliki bentuk dan ukuran serta peralatan yang relatif sama. Kelong tancap dengan rumpon dan kelong tancap tanpa rumpon dioperasikan di dekat pulau terluar kawasan laut Kecamatan Gunung Kijang. Pulau tersebut bernama Pulau Nikoi. Kelong tancap dipasang di bagian selatan pulau dengan jarak ± 500 m dari pulau (saat surut terendah). Kelong tancap tidak dioperasikan di bagian utara, karena bagian utara Pulau Nikoi adalah Laut Natuna. Tekstur dasar perairan di bagian utara pulau curam dan sangat dalam, disamping itu gelombang, arus dan angin terla lu besar. Kedua kelong tancap dioperasikan pada kedalaman yang hampir sama yakni ± 10 hingga 20 meter. Jarak antara kedua kelong tancap relatif tidak terlalu jauh yakni ± 800 m. Pemisahan jarak kedua kelong tancap sebesar ± 800 m dikarenakan nelayan beranggapan bila jumlah tangkapan 1 kelong sedikit, maka diharapkan kelong tancap yang lain tidak ikut terkena imbas. Jika dilihat dari seluruh posisi pemasangan kelong tancap, lokasi
pemasangan kedua kelong tancap ini tergolong lokasi pemasangan kelong tancap yang paling dekat di daerah ini. 3.3
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode percobaan penangkapan ikan atau
experimental fishing. Metode operasi penangkapan pada kedua kelong tancap secara umum adalah sama. Dikarenakan rumpon yang digunakan termasuk jenis rumpon dasar, penempatan rumpon pada kelong tancap perlakuan tidak merubah kegiatan penangkapan yang dilakukan nelayan kelong tancap. Baik kelong tancap kontrol dan kelong tancap perlakuan memiliki tahap-tahap penangkapan yang sama, yakni persiapan, setting dan hauling. Penelitian ini timbul berdasarkan pemikiran untuk meningkatkan jumlah tangkapan kelong tancap.
Setelah data hasil tangkapan dicatat dan dipisahkan
berdasarkan kegunaan data, kemudian dilakukan analisis dengan membandingkan jumlah hasil tangkapan antara kelong tancap yang menggunakan rumpon dengan kelong tancap yang tidak menggunakan rumpon.
Dari penelitian ini diharapkan diperoleh suatu
kesimpulan mengenai pengaruh penggunaan rumpon terhadap hasil tangkapan kelong tancap. Segala sesuatu yang diperlukan dalam penelitian ini dipersiapkan oleh peneliti bersama satu orang rekan yang dapat dipercaya, mulai dari tahap persiapan, perakitan rumpon hingga pencatatan data hasil tangkapan kedua kelong tancap. Satuan percobaan penelitian ini adalah dua jenis kelong tancap, yaitu kelong tancap yang tidak menggunakan rumpon dan kelong tancap yang menggunakan rumpon. Perlakuan pada penelitian ini adalah kelong tancap yang menggunakan rumpon. Sedangkan ulangan dalam penelitian ini adalah jumlah trip melaut operasi penangkapan yang diikuti pada kelong tancap. Jumlah trip melaut kedua kelong tancap harus sama untuk menghindari ketimpangan data yang diperoleh. Data hasil tangkapan diperoleh dengan mengikuti kegiatan operasi penangkapan pada kelong tancap sebanyak 16 trip operasi penangkapan kelong tancap dengan rumpon dan kelong tancap tanpa rumpon. Satu periode penangkapan kelong tancap lazimnya terdiri atas 20-22 trip melaut. Pada penelitian ini operasi penangkapan dilakukan hanya 16 trip melaut, hal ini dikarenakan kondisi perairan yang tidak mendukung untuk
dilakukannya operasi penangkapan sebagaimana mestinya. Keadaan oseanografis yang buruk (gelombang, angin yang kencang serta hujan yang turun) sering kali menjadi kendala bagi nelayan untuk pergi melaut saat penelitian berlangsung. Kerangka pemikiran penelitian ini dijelaskan pada gambar diagram alir berikut: Mulai
Metode penelitian eksperimental fishing
Data Primer : Jenis dan berat hasil tangkapan (C), waktu (T) dan jumlah hauling kedua kelong tancap (H), metode pengoperasian kedua kelong tancap.
Uji kenormalan Liliefors untuk data C dan H Jika menyebar normal / Lmaks < Lá(n) Jika tidak menyebar normal / Lmaks > Lá(n)
Uji Wilcoxon
Jika T hitung > T tabel, terima H1
Jika T hitung < T tabel , tolak Ho
Pengaruh Penggunaan Rumpon Terhadap Hasil Tangkapan Kelong Tancap
Gambar 3 Tahap kegiatan penelitian eksperimental fishing Karena pengoperasian alat tangkap kelong secara garis besar sama dengan pengoperasian alat tangkap bagan tancap maupun bagan apung, maka pengoperasian alat ini diasumsikan sama dengan pengoperasian bagan. Selain itu pada penelitian ini ikan
diasumsikan menyebar merata di perairan, jumlah lampu yang digunakan pada kedua kelong tancap sama yakni 2 lampu petromaks, dan secara teknis (kemampuan dalam melakukan operasi penangkapan) nelayan kedua kelong tancap tempat penelitian ini dikonsentrasikan diasumsikan sama. Faktor- faktor lain yang yang mempengaruhi daerah penyebaran ikan pada kedua kelong tancap diasumsikan sama. 3.3.1 Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan selama kegiatan penelitian meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui kegiatan penangkapan ikan pada kelong tancap. Data primer kelong tancap tanpa rumpon dikumpulkan oleh orang yang dapat dipercaya dan mampu mengikuti trip operasi penangkapan selama penelitian berlangsung. Data yang dikumpulkan dari kelong tancap kontrol dan kelong tancap perlakuan adalah sama. Data primer yang dikumpulkan meliputi data hasil tangkapan, jenis ikan hasil tangkapan, dan jumlah hauling dua kelong tancap, konstruksi rumpon yang digunakan, metode pengoperasian kelong, kondisi di sekitar rumpon. Data yang diambil adalah data berat ikan hasil tangkapan dalam satuan kilogram (kg). Data sekunder meliputi data perikanan tangkap daerah Kawal, letak geografis dan topografi daerah Kawal, daerah dan musim penangkapan, keadaan umum yang meliputi data jenis alat tangkap yang digunakan nelayan, data armada penangkapan (kapal), serta produksi tangkapan pada tahun 2002. Data sekunder yang berhubungan dengan keadaan perikanan di daerah Kawal, keadaan oseanografis kawal, data perikanan tangkap dan nilai produksi tangkapan daerah Kawal diperoleh dari Kantor Cabang Dinas Perikanan Kawal, serta Dinas Perikanan di Tanjungpinang. Namun dikarenakan pemekaran daerah dan penataan ulang administrasi daerah data yang tersedia hanya data laporan tahun 2002. 3.3.2 Metode Analisis Data Menurut Nasoetion dan Barizi (1986), sebelum dianalisis lebih lanjut, data hasil tangkapan pada kedua kelong tancap diuji sebarannya terlebih dahulu untuk mengetahui apakah data yang diperoleh menyebar normal atau tidak.
Uji kenormalan yang
digunakan adalah uji kenormalan Liliefors. Rumus yang digunakan untuk uji kenormalan Liliefors adalah :
Y =
1 1 ∑ Yi n i =1
dengan, Y : rata-rata n : jumlah ulangan Selanjutnya dicari : S=
2 1 ( ∑ Yi ) 2 ∑ Yi − n −1 n
(
)
Kemudian ditentukan nilai : Zi =
(Yi − Y ) , untuk setiap i = 1,2,3, . . . . . ,n. S
F(zi) = nilai interpolasi zi S(z) = Banyaknya z1,z2,z3, . . . . . ,zn yang n Selanjutnya dicari HT rataan
maks ,
zi
yaitu :
L maks = { F(z1) – Sz1 , F(z2) – S(z2) , . . . . . ,
F(zn) – S(zn) };
atau beda mutlak maksimum antara F(zi) – S(zi) untuk i = 1,2,3 . . . . . ,n Kaidah Pengambilan keputusan : Jika L maks
L
Jika L maks > L
(n)
, maka terima Ho, data menyebar normal
(n) ,
maka terima H1, data tidak menyebar normal
Setelah dilakukan uji kenormalan Liliefors, bila ternyata nilai data yang diperoleh tidak menyebar secara normal, maka dilanjutkan dengan uji statistika non parametrik. Analisis ini dipakai dalam pengolahan data untuk mengetahui pengaruh penggunaan rumpon terhadap hasil tangkapan dan laju akumulasi ikan pada kelong tancap. Menurut Nasution dan Barizi (1986), metode statistika non parametrik adalah metode statistika yang tidak memerlukan suatu anggapan tertentu mengenai bentuk sebaran atau parameter dari peubah acak yang diselidiki. Dikatakan bahwa kelebihan statistika non parametrik adalah pengumpulan data lebih sederhana, dan penarikan contoh dapat berasal dari beberapa populasi dengan bentuk sebaran yang berlainan, atau dari
beberapa populasi dengan parameter yang berbeda-beda. Steel dan Torie (1991), juga mengatakan bahwa bila kita hanya dapat membuat asumsi yang lemah mengenai sebaran yang mendasari datanya, maka statistika non parametrik layak untuk digunakan. Uji statistika non parametrik yang digunakan adalah uji pangkat bertanda Wilcoxon. Menurut Nasoetion dan Barizi (1986), uji pangkat bertanda Wilcoxon merupakan suatu perbaikan uji tanda, karena disamping tandanya, besarnya juga diperhatikan. Langkah- langkah yang dilakukan dalam uji ini adalah sebagai berikut : 1. memberikan pangkat untuk tiap-tiap beda (Yi-Xi) sesuai dengan besarannya, tanpa memperhatikan tanda dari beda tersebut. Jika terdapat dua atau lebih beda yang sama, maka pangkat untuk tiap-tiap beda tersebut adalah pangkat rata-rata dari keduanya; 2. memberikan tanda positif atau negatif pada pangkat untuk tiap-tiap beda sesuai dengan tanda dari beda tersebut; 3. menjumlahkan semua pangkat positif dan semua pangkat negatif.
Nilai dari
penjumlahan yang terkecil dilambangkan dengan T hitung; 4. membandingkan nilai T hitung yang diperoleh dengan nilai T tabel ( Tá) . Anggapan yang diperlukan dalam penarikan keputusan dalam uji Wilcoxon adalah bahwa tiap-tiap beda (Yi-Xi) mempunyai suatu sebaran yang setangkup, namun sebaransebaran dari beda ini tidak perlu sama. Hipotesis ini dilakukan dengan melambangkan m sebagai median dari peubah acak (Yi-Xi). Hipotesis yang digunakan yaitu : 1. untuk hasil tangkapan (kg) per trip, Ho : m = 0 (Penambahan rumpon pada bagan tancap tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan hasil tangkapan ikan) H1 : m
0 (Penambahan rumpon pada bagan tancap berpengaruh nyata terhadap peningkatan hasil tangkapan ikan)
2. untuk laju akumulasi ikan, Ho : m = 0 (Penambahan rumpon pada bagan tancap tidak berpengaruh nyata terhadap laju akumulasi ikan) H1 : m
0 (Penambahan rumpon pada bagan tancap berpengaruh nyata terhadap laju akumulasi ikan)
Kaidah keputusan yang digunakan yaitu : Jika T hitung
Tá
maka terima Ho, Jika
T hitung < Tá maka tolak Ho. Perhitungan lanjutan yang dilakukan yakni perhitungan z. Kaidah keputusan yang digunakan : jika z hitung > z tabel, maka tolak Ho dan terima H1. Selanjutnya untuk nilai probabilitas atau nilai signifikan, diuji dengan kaidah keputusan : jika nilai probabilitas < 0,05 maka tolak Ho dan terima H1. Analisis ini menggunakan program SPSS (Statistical Product and Service Solutions) Versi 11,5.
4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1. Keadaan Umum Daerah Kawal Kabupaten Tanjungpinang termasuk wilayah Provinsi Kepulauan Riau yang merupakan ibukota Provinsi Kepulauan Riau.
Menurut Peraturan Daerah Kabupaten
Kepulauan Riau nomor 22 tahun 2001 tanggal 20 September 2001, Kawal merupakan ibukota Kecamatan Gunung Kijang. Kecamatan Gunung Kijang terdiri dari 4 Desa yaitu Desa Gunung Kijang, Desa Teluk Bakau, Desa Malang Rapat dan Desa Tua Paya. Secara geografis daerah Kecamatan Gunung Kijang terletak pada posisi 000 41′00″ LU - 10 10′00″ LU dan 1040 28′01″ BT - 1050 02′00″ BT dengan batas-batas sebagai berikut : 1. disebelah utara dengan Kecamatan Bintan Utara, Kecamatan Teluk Bintan; 2. disebelah selatan dengan Kecamatan Senayang dan Laut Natuna; 3. disebelah timur dengan Laut Natuna; 4. disebelah
barat
dengan
Kota
Tanjungpinang,
Kecamatan
Tanjungpinang
Timur/Galang. Keadaan topografi wilayah Kecamatan Gunung Kijang adalah berbuk it, dengan tingkat kemiringan/lereng dan ketinggian yang landai, berdaratan rendah dan berpantai landai. Sedangkan dari segi klimatologis, Kecamatan Gunung Kijang memiliki iklim tropis dengan musim hujan dan kemarau setiap tahun. Musim kemarau terjadi pada bulan Pebruari sampai bulan Juli dan musim penghujan pada bulan Agustus sampai Januari. Musim yang sangat mempengaruhi kegiatan nelayan adalah sebagai berikut : 1. Musim Utara, yang terjadi pada bulan Desember dan bulan Pebruari, dimana angin bertiup sangat kencang dan menimbulkan gelombang laut yang besar. 2. Musim Timur, yang terjadi pada bulan Maret sampai dengan bulan Mei. Keadaan angin mulai berkurang kencangnya dan pada musim ini segala alat penangkapan ikan dapat beroperasi. 3. Musim Selatan, yang terjadi dari bulan Juni sampai bulan Agustus. Keadaan angin semakin tenang begitu pula dengan gelombang laut, namun kadang-kadang bertiup angin ribut dan menimbulkan gelombang besar.
4. Musim Barat, yang terjadi dari bulan September sampai bulan Nopember. Keadaan angin sering tidak menentu karena sering terjadi angin ribut yang menimbulkan gelombang besar. Keadaan ini semakin diperburuk dengan hujan yang sering turun. Keadaan kadar garam di perairan Kecamatan Gunung Kijang secara rata-rata mencapai 2,8% hingga 3,4%.
Perubahan kadar garam dipengaruhi oleh musim
penghujan dan musim kemarau. Sebelum adanya pemekaran daerah pada tahun 2001 Kecamatan Gunung Kijang termasuk dalam wilayah Kecamatan Bintan Timur. Namun setelah dimekarkan 2 daerah ini menjadi dua kecamatan yang terpisah.
Kecamatan Bintan Timur terdiri dari
Kelurahan Kijang, yang terdiri dari Desa Mantang Baru, Desa Mantang Lama, Desa Mantang Besar, Desa Numbing, Desa Kelong dan Desa Mapur. Sedangkan Kecamatan Gunung Kijang terdiri atas beberapa Desa yakni Desa Gunung Kijang, Desa Tuapaya, Desa Teluk Bakau, dan Desa Malang Rapat. Desa-desa tersebut yang menyatu dengan Pulau Bintan ada 5 Desa dan dapat ditempuh dengan kendaraan darat sedangkan Desa yang lainnya berada disekitar Pulau Bintan, yang dapat ditempuh dengan transportasi laut. Secara geografis Kecamatan Bintan Timur dan Kecamatan Gunung Kijang sangat berdekatan bahkan karena kurangnya sosialisasi pemekaran daerah kedua Kecamatan ini terkadang disatukan. Luas kedua Kecamatan ini belum dapat dipisahkan, karena masih sering terjadi konflik apabila hal ini dibicarakan. Secara umum luas kedua kabupaten ini adalah ±3.158,2 km2 , luas daratannya ± 900 km2 dan luas perairan 2.258,2 km2 dengan jumlah pulau sebanyak 89 pulau besar dan kecil. 4.2 Keadaan Umum Perikanan Tangkap Berdasarkan data pada Laporan Tahunan Kondisi Perikanan tahun 2001, potensi sumberdaya perikanan laut di Kecamatan Gunung Kijang (Kawal) dapat dikategorikan besar, terutama sumberdaya ikan pelagisnya. Hal ini terlihat dari komposisi ikan yang didaratkan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) terdekat. Alat tangkap yang beroperasi di Kecamatan Gunung kijang ini diantaranya: 1. jaring insang hanyut (drift gill net); 2. jaring insang tetap (set gill net);
3. rawai, yakni pancing permukaan yang dibiarkan hanyut dan terhubung pada kapal yang tidak berjalan; 4. pancing (hand line); 5. kelong apung (mobile lift net); 6. kelong tancap (stationary lift net); 7. bubu dan bento. Jumlah masing- masing alat tangkap terdapat pada Tabel 2 berikut: Tabel 2 Alat tangkap di Kecamatan Gunung Kijang (tahun 2001) No. 1 2 3 4 5 6 7
Jenis alat tangkap Drift gill net Set gill net
kelong apung kelong tancap Pancing Bubu Bento Total
Gunung Kijang 15 34 8 27 135 68 287
Teluk Bakau 2 8 16 10 24 63 123
Malang Rapat 26 13 41 9 18 87 194
Tua Paya 8 2 10
Jumlah 43 55 65 29 69 285 68 614
% 7,00 8,96 10,59 4,72 11,24 46,42 11,07 100
Sumber : Dinas Perikanan Kecamatan Gunung Kijang (2001) Dari Tabel 2 terlihat bahwa alat tangkap bubu sangat mendominasi, namun alat tangkap ini kurang memberikan kontribusi baik untuk konsumsi lokal maupun untuk ekspor. Untuk kebutuhan besar dan ekspor drift gill net, set gill net, kelong apung, kelong tancap, dan pancing lebih memberikan masukan yang berarti. Armada penangkapan ikan yang digunakan oleh nelayan Kecamatan Gunung Kijang bervariasi, baik ukurannya maupun tenaga penggeraknya. Armada penangkapan yang ada di Kecamatan Gunung Kijang dapat dikategorikan:
(1) Perahu/sampan
dayung; (2) Kapal motor berukuran kecil (< 4 GT); (3) Kapal motor berukuran besar (> 4 GT). Jumlah armada penangkapan ikan yang ada di 4 Desa yang berada di Kecamatan Gunung Kijang dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini:
Tabel 3 Armada penangkapan ikan di Kecamatan Gunung Kijang (tahun 2001) No. 1 2 3
Jenis Perahu dayung KM < 4 GT KM > 4GT Total :
Gunung Kijang 23 21 64 108
Teluk Bakau 27 15 3 45
Malang Rapat 39 38 42 119
Tua Paya 2 2 4
Jumlah 89 76 111 276
% 32,25 27,54 40,22 100
Sumber : Dinas Perikanan Kecamatan Gunung Kijang (2001) Armada penangkapan (kapal) yang mendominasi perairan ini adalah KM > 4 GT, karena bila ditinjau dari segi jangkauan melaut dan daya tampung hasil tangkapan lebih besar. Alat tangkap ini seperti alat tangkap gill net dengan ukuran mata jaring 5 inchi dan mata jaring 12 inchi untuk menangkap ikan pelagis besar seperti ikan tenggiri dan tuna. Kapal ukuran besar biasanya memiliki ukuran palka yang besar pula. Nelayan di daerah ini biasanya rela lama melaut hingga palka terisi penuh agar biaya operasi penangkapan tidak terlalu besar. Kualitas ikan tangkapan di daerah ini tidak terlalu diperhatikan karena pasar ekspor tetap menerima ikan tangkapan dengan harga jual tinggi walaupun kualitas ikan telah menurun. Hal ini menyebabkan produksi dan nilai jualnya lebih tinggi bila dibanding kapal yang berukuran kecil. Tidak itu saja, biasanya hasil penjualan total dari beberapa trip kapal besar dalam tiga hingga lima bulan digunakan telah dapat mengganti biaya pembelian kapal, upah anak buah kapal dan menutupi biaya operasi harian kapal selama digunakan. Produksi perikanan yang tertinggi di daerah ini terjadi pada bulan Maret, karena pada bulan ini keadaan perairan sangat mendukung untuk kegiatan penangkapan dan biasanya semua alat tangkap beroperasi pada bulan ini. Sedangkan volume produksi terkecil terjadi pada bulan Desember, pada bulan ini sangat sedikit alat tangkap yang beroperasi dikarenakan kekhawatiran nelayan untuk mengoperasikan alat tangkap karena gelombang laut pada akhir tahun biasanya sangat besar. Nilai hasil laut Kecamatan Gunung Kijang (tahun 2001) dapat dilihat pada Tabel 4, serta nilai hasil laut Kecamatan Gunung Kijang digambarkan pada Gambar 4 berikut ini:
Tabel 4 Nilai hasil laut Kecamatan Gunung Kijang (tahun 2001) Produksi No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Total
Volume(ton) 25,64 39,3 46,37 29,44 44,62 43,3 45,05 36,29 44,85 24,6 14,75 12,6 406,81
Nilai (Juta) 72,275 90,32 119,58 70,36 109,99 122,2 109,095 95,91 107,93 73,82 48,425 40,975 1.060,88
Ju A li gu stu Se s pt em be r O kt ob er N op em be D r es em be r
Ju ni
M ei
A pr il
50.00 45.00 40.00 35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00 Ja nu ar Pe i br ua ri M ar et
Nilai Produksi (ton)
Sumber : Dinas Perikanan Kecamatan Gunung Kijang (2001)
Bulan
Produksi
Gambar 4 Hasil laut Kecamatan Gunung Kijang (tahun 2001) Hasil perikanan laut di daerah ini juga memberikan kontribusi yang besar terhadap pendapatan daerah Pemasukan daerah berupa devisa).
Pada akhir tahun 2001 nilai
produksi perikanan daerah ini mencapai Rp. 1.060.880.000,00. Bahkan dari pencatatan hingga pertengahan tahun 2003 nilai ekspor hasil laut ke Singapura sebanyak 205.284 kg, dengan nilai jual sebesar Rp . 779.685.000,00 yang terdiri atas ikan segar 201.250 kg, dengan nilai jual Rp. 522.290.000,00 dan 4034 kg berupa ikan hidup dengan nilai jual Rp. 257.395.000,00.
5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Rumpon Rumpon yang digunakan dalam penelitian dibuat pada saat operasi penangkapan ikan di kelong tancap belum dilakukan. Tahap-tahap perakitan rumpon yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Pengumpulan bahan-bahan seperti tali PE Ø 5 mm dan tali PE Ø 12 mm, kawat stainless steel Ø 3 mm, besi behel Ø 10 mm sebanyak 3 batang, pelampung utama dari bahan styrofoam, jerigen sebagai pelampung tambahan, bendera semaphore 3 buah, ban sepeda motor bekas 15 buah.
Setelah terkumpul, yang pertama kali
dilakukan adalah memasukkan besi behel sebagai penahan agar ban yang digunakan nantinya sebagai frame rumpon dan pemikat tambahan berfungsi maksimal. Setelah keseluruhan ban terpasang besi behel, selanjutnya lima buah ban sepeda motor dirangkai dengan empat helai tali tali PE Ø 12 mm, jarak tiap ban sebesar 1,5 meter. hal yang sama dilakukan untuk dua unit rumpon yang lain. Selanjutnya untuk tali pelampung dan tali pemberat (PE Ø 12 mm) dipasangkan pada tiap rangkaian konstruksi rumpon yang telah menyerupai bentuk tabung. Setelah frame rumpon terbentuk, hari berikutnya adalah pemasangan atraktor utama yaitu daun kelapa. Sebanyak 45 pelepah kelapa besar dikumpulkan dari pohon kelapa yang tersebar disekitar pantai. Pelepah kelapa diamb il hanya bagian daunnya serta sedikit bagian pelepahnya. Pelepasan pelepah dilakukan dengan membelah ujung pelepah besar menjadi dua bagian lalu menariknya hingga ke bagian pangkal pelepah. Setelah terpisah, dua helai pelepah tersebut dibagi dua hingga menjadi empat pelepah kecil. Setiap konstruksi rumpon menggunakan 60 pelepah kecil. Pemilihan jumlah pelepah ini tidak memiliki ketentuan mutlak. Untuk ukuran rumpon dengan panjang total badan rumpon yang dipasangi daun kelapa sepanjang 6 hingga 7 meter, jumlah 60 pelepah kecil dirasakan tidak terlalu banyak. Bila jumlah pelepah terlalu banyak, maka dikhawatirkan celah yang akan terbentuk ketika rumpon terpasang akan sangat kecil. b. Sehingga ikan sukar untuk berlindung pada celah-celah daun kelapa pada rumpon. Sebelum proses pemasangan atraktor dilakukan, rangkaian tali dan ban sepeda motor
bekas digantungkan pada seutas tali yang telah terhubung pada dua pohon kelapa agar proses pemasangan pelepah kelapa mudah dilakukan. Pemasangan pelepah kecil pada rumpon dilakukan dengan menyelipkan bagian pelepah yang kecil ke dalam untaian tali frame (PE Ø 12 mm). Setelah terselip pada tali, dilakukan penguatan ikatan dengan menggunakan tali PE Ø 5 mm. Bentuk dan konstruksi rumpon yang digunakan adalah sebagai berikut :
Gambar 5 Bentuk dan konstruksi rumpon c. Setelah tiga unit rumpon terpasang, di hari yang sama tepatnya sore hari setelah pemasangan pelepah, dilakukan survei ke lokasi kelong tancap yang akan dijadikan kelong perlakuan pada penelitian ini. kedalaman perairan sekitar kelong.
Survei ini dilakukan untuk mengetahui Kedalaman tiang kelong sebenarnya telah
diketahui dari hasil wawancara dengan nelayan pemilik kelong. Survei hanya untuk mengetahui besarnya pertambahan kedalaman saat air pasang dan saat air surut.
Selain itu survei juga untuk mengetahui arah pergerakan arus. Hal ini perlu diketahui agar saat pemasangan tidak mengalami kesusahan dan bila terpasang kemiringan bangunan rumpon tidak mengganggu jalannya operasi penangkapan ikan. d. Pada hari selanjutnya, tiga unit rumpon yang telah selesai dibuat dibawa ke lokasi kelong tancap untuk dipasang sebagai alat bantu untuk mengumpulkan ikan. Pengangkutan rumpon menggunakan kapal nelayan berkekuatan 20 PK. Tiga unit rumpon ditaruh di bagian depan hingga bagian tengah kapal. Sebelumnya pemberat dipasangkan di bawah lunas kapal agar muatan kapal tudak terlalu berat. Salah satu ujung tali pemberat ini telah dihubungkan dengan tali pemberat pada bagian bawah badan rumpon. Perjalanan menuju lokasi pemasangan memakan waktu sekitar 2 jam. Setelah tiba di lokasi pemasangan rumpon diturunkan secara perlahan mulai dari pelampung yang telah dipasangi bendera tanda, badan rumpon yang terdiri atas rangkaian ban sepeda motor bekas dan atraktor daun kelapa, lalu tali pemberat segera diputuskan. Sesaat setelah tali pemberat terputus, seluruh pemberat turun hingga ke dasar perairan diiringi seluruh badan rumpon hingga bangunan rumpon berdiri di dalam perairan. Pengontrolan masih dilakukan setelah tiga unit rumpon terpasang di tiga sudut bangunan kelong tancap. Satu sudut kelong tancap tidak dipasang rumpon dikarenakan pada sudut ini mobilitas kapal nelayan cukup tinggi, sehingga nelayan menyarankan di sekitar sudut tersebut tidak dipasang rumpon karena dikhawatirkan rumpon akan tersangkut pada baling-baling kapal. e. Tahap selanjutnya adalah membiarkan rumpon membusuk di dalam perairan sambil menunggu umur bulan yang tepat untuk melakukan operasi penangkapan ikan. Selang waktu ini sangat diperlukan agar ikan pelagis kecil berasosiasi dengan rumpon membentuk rantai makanan. Sehingga diharapkan pada saat operasi penangkapan dilakukan fungsi rumpon berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Posisi pemasangan rumpon pada kelong tancap digambarkan pada gambar 6 berikut ini:
Gambar 6 Posisi pemasangan rumpon pada kelong tancap Rumpon dipasang pada tiga sudut kelong tancap. Setelah terpasang, konstruksi rumpon diikatkan pada tiang kelong, hal ini untuk menghindari rumpon hanyut bila terjadi badai.
Jarak rumpon dari tiang kelong tancap di ukur pada garis horizontal
perairan adalah 3 meter. Tali yang digunakan sebagai penghubung rumpon dan kelong tancap menggunakan tali polyethylene Ø 10 mm.
Pemasangan rumpon pada bagan
tancap dilakukan pada tanggal 24 Juni 2004. Setiap bagian rumpon yang digunakan dalam penelitian ini memiliki beberapa kegunaan disetiap bagian konstruksinya yakni : 1. atraktor daun kelapa yang terdapat pada konstruksi rumpon berfungsi sebagai tempat persinggahan ikan, apabila daun kelapa mulai membusuk secara tidak langsung rantai makanan akan terbentuk, hal ini menjadikan rumpon sebagai tempat bagi ikan untuk mencari makan, 2. bentuk silinder yang terbentuk karena rangkaian tali dan ban sepeda motor akan menjadikan tempat yang disukai oleh ikan, 3. rumpon akan bertahan dalam posisinya di dalam perairan apabila ikatan antar bagian konstruksinya kuat. Ikatan pelampung dan pemberat harus kuat agar pengaruh arus tidak merubah bentuk konstruksi rumpon.
Berikut adalah gambar posisi pemasangan rumpon tampak atas :
d
c
b
l e
r
P
a2
A
Keterangan : A : 1 unit rumpon ( Ptot = 16,5 m) a1 : pelampung utama (Ø=40 cm) a2 : pelampung tambahan (V=25 lt) b : jaring/waring (10 x 10) c : roller (4,5m) d : rumah tunggu (10 x 3 m) e : kapal penangkapan
r : lebar rumah tunggu (3 m) P : Panjang kelong tancap (14 m) l : Lebar kelong tancap (10 m) Araktor utama kelong tancap : lampu petromaks 2 buah
Gambar 7 Posisi pemasangan rumpon tampak atas 5.2 Hasil Tangkapan Pencatatan data hasil tangkapan kelong tancap dan jenis ikan hasil tangkapan dilakukan setelah hauling. Hasil tangkapan dipisahkan menurut jenisnya lalu ditimbang beratnya per spesies. Pemisahan atau penyortiran dilakukan secara visual, selanjutnya dilakukan pengidentifikasian jenis dan pencatatan. Hal ini dilakukan setiap kali hauling, data yang dicatat seperti waktu hauling, jenis tangkapan, berat per jenis dan berat total tangkapan. Pengontrolan kondisi rumpon dilakukan setiap tiba di fishing ground sebelum operasi penangkapan dilakukan, dan pada saat akan meninggalkan kelong tancap untuk kembali ke fishing base.
Hasil tangkapan total kedua jenis kelong tancap yang diperoleh setiap hauling dalam tiap trip ditimbang beratnya baik menurut jenis, dan berat setiap kali hauling. Ikan hasil tangkapan kelong tancap dengan rumpon terdiri atas 15 jenis ikan sedangkan pada kelong tancap tanpa rumpon hanya diperoleh 5 jenis ikan saja.
Hal ini mungkin
dikarenakan jenis ikan yang berkumpul pada rumpon banyak. Dengan mengetahui data tersebut secara tidak langsung berat total tiap trip dapat diketahui. Data hasil tangkapan, jenis ikan, dan waktu hauling diperoleh dari pengoperasian kedua jenis kelong tancap selama 16 hari. Untuk keperluan penelitian, data hasil tangkapan dianalisa dalam 3 pokok bahasan, yaitu komposisi hasil tangkapan per jenis ikan, hasil tangkapan (kg) per trip, hasil tangkapan rata-rata hauling setiap trip penangkapan ikan. 5.2.1
Komposisi Hasil Tangkapan per Jenis Ikan Selama operasi penangkapan, kelong tancap dengan rumpon memperoleh 15 jenis
hasil tangkapan yang terdiri dari 10 jenis ikan pelagis, yakni ikan teri (Stolephorus commersoni), tembang (Sardinella fimbriata), tenggiri (Scomberomorus commersoni), talang-talang (Chorinemus tala), barakuda (Sphyraena genie), kembung (Rastrelliger sp), parang-parang (Chirosentrus dorab), selar kuning (Selaroides leptolepis), ikan terbang (Cypsilirus poecilopterus), dan bandeng (Chanos chanos), sedangkan untuk ikan demersal ditemukan ikan tambangan (Lutjanus johni), peperek (Leiognathus splendens), dan belut (Ophichtys apicalis), dan hasil tangkapan lain- lain yakni cumi-cumi (Loligo sp), dan kepiting bakau (Scylla serrata). Kelong tancap tanpa rumpon memperoleh 5 jenis hasil tangkapan yang terdiri dari 4 jenis ikan pelagis, yaitu teri (Stolephorus commersoni), tembang (Sardinella fimbriata), kembung (Rastrelliger sp), selar kuning (Selaroides leptolepis). Satu tangkapan lain, yaitu cumi-cumi (Loligo sp). Hasil tangkapan kedua kelong tancap tersebut memiliki 4 jenis hasil tangkapan ikan pelagis yang sama yaitu teri (Stolephorus commersoni), tembang (Sardinella fimbriata), kembung (Rastrelliger sp), selar kuning (Selaroides leptolepis), dan 1 jenis hasil tangkapan lainnya yang sama yakni cumi- cumi (Loligo sp). Hasil tangkapan ini disajikan pada Tabel 5 berikut ini.
Tabel 5 Komposisi total jenis hasil tangkapan kelong tancap dengan rumpon Kelong tancap dengan rumpon No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 1 2
Jenis ikan Pelagis Barakuda Kembung Parang-parang Selar kuning Tembang Tenggiri Terbang Teri Talang-talang Bandeng Demersal Belut Tambangan Peperek Lain-lain Cumi-cumi Kepiting bakau
Nama Latin Sphyraena genie Rastrelliger sp Chirosentrus dorab Selaroides leptolepis Sardinella fimbriata Scomberomorus commersoni Cypsilurus poecilopterus Stolephorus commersoni Chorinemus tala Chanos chanos Ophichtys apicalis Lutjanus johni Leiognatus splendens Loligo sp Scylla serrata Total
Total hasil tangkapan (kg) % 10,30 0,95 58,50 5,38 2,40 0,22 44,40 4,09 282,50 25,99 2,90 0,27 0,30 0,03 412,20 37,92 1,90 0,17 7,50 0,69 0,85 10,40 12,80
0,08 0,96 1,18
236,65 3,30 1086,90
21,77 0,30 100,00
Dari Tabel 5 terlihat total hasil tangkapan kelong tancap dengan rumpon adalah 1086,9 kg. Hasil tangkapan tersebut didominasi oleh jenis ikan teri sebesar 412,2 kg (37,92%), selanjutnya diikuti oleh jenis ikan tembang sebesar 282.5 kg (25.99%), cumicumi 236,65 kg (21,77%), kembung 58,5 kg (5,38%), selar kuning 44,4 kg (4,09%), peperek 12,8 kg (1,18%), tambangan 10,4 kg (0,96%), barakuda 10,3 kg (0,95%), bandeng 7,5 kg (0,69%), kepiting bakau 3,3 kg (0,30%), tenggiri 2,9 kg (0,27%), parangparang 2,4 kg (0,22%), talang-talang 1,9 kg (0,17%), belut 0,85 kg (0,08%) dan jenis ikan terbang 0,3 kg (0,03%).
Secara keseluruhan hasil tangkapan kelong tancap dengan
rumpon didominasi oleh jenis ikan pelagis sebesar 822,9 kg (75,71%), selanjutnya diikuti oleh hasil tangkapan lainya yaitu cumi-cumi 239,95 kg (22,08%), dan ikan demersal sebesar 24,05 kg (2,21%). Dari hasil tangkap yang diperoleh terdapat satu jenis hasil tangkapan yang unik pada penelitian ini, yakni kepiting bakau (Scylla serrata). Kepiting bakau dimasukkan ke dalam kelompok tangkapan lain- lain karena jenis tangkapan ini bukan termasuk dalam kelompok ikan (Pisces), melainkan kelompok Crustacea.
Kepiting bakau hidup di daerah sekitar ekosistem mangrove. Secara sekilas keberadaan jenis tangkapan ini pada kelong tancap adalah sesuatu yang unik, namun keberadaan kepiting bakau sangat wajar, karena berdasarkan kondisi geografis pulau Nikoi sangat berdekatan posisinya dengan pulau Bakau Besar dan pulau Bakau Kecil. Sesuai dengan namanya, kedua pulau ini merupakan kawasan mangrove yang dilindungi oleh pemerintah daerah setempat. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan setempat, lokasi tempat didirikannya kelong merupakan lokasi ruaya kepiting bakau.
Walaupun demikian
kepiting bakau yang tertangkap pada jaring kelong sangat jarang terjadi, hal ini dikarenakan pergerakan kepiting bakau di dasar perairan. Karena pengaruh rumpon, di sekitar kelong tancap terdapat banyak ikan yang berkumpul, hal ini menarik perhatian kepiting bakau untuk bergerak lebih mendekati permukaan tempat ikan pelagis kecil berkumpul, dan akhirnya tertangkap pada jaring kelong tancap. Komposisi jenis ikan tangkapan dan berat per jenis ikan tangkapan kelong tancap tanpa rumpon dapat dilihat pada Tabel 6 berikut ini. Tabel 6 Komposisi total jenis ikan hasil tangkapan kelong tancap tanpa rumpon Kelong tancap tanpa rumpon No. 1 2 3 4 1
Jenis ikan Pelagis Kembung Selar kuning Tembang Teri Lain-lain Cumi-cumi
Nama Latin Rastrelliger sp Selaroides leptolepis Sardinella fimbriata Stolephorus commersoni Loligo sp Total
Total hasil tangkapan (kg) % 33,5 5,01 18,1 2,71 141,2 21,11 289,15 43,22 187 668,95
27,95 100
Pada Tabel 6 diatas total hasil tangkapan kelong tancap tanpa rumpon adalah 668,95 kg. Hasil tangkapan tersebut didominasi oleh jenis ikan pelagis, yaitu ikan teri sebesar 289,2 kg (43,22%), tembang 141,2 kg (21,11%), ikan kembung 33,5 kg (5,01%), dan selar kuning 18,1 kg (2,71%), dengan total tangkapan untuk ikan pelagis sebesar 481,95 kg (72,05%), diikuti oleh cumi-cumi sebesar 187 kg (27,95%). Berdasarkan uji coba penangkapan, hasil tangkapan ikan yang diperoleh kelong tancap dengan rumpon dan kelong tancap tanpa rumpon memiliki 4 jenis ikan yang sama,
yaitu jenis ikan pelagis (teri, tembang, selar kuning, dan kembung) dan 1 jenis hasil tangkapan lainnya (cumi-cumi). Sebagai dugaan awal adalah bahwa ikan-ikan tersebut tertangkap karena pengaruh penggunaan lampu petromaks atau dengan kata lain bahwa ikan- ikan tersebut bersifat fototaksis positif.
Pada saat keadaan mulai gelap, ikan- ikan yang memiliki sifat
fototaksis positif akan datang mendekati sumber cahaya dan membentuk schooling. Ikan yang terkonsentrasi di bawah cahaya lampu petromaks pada awalnya adalah ikan- ikan yang tertarik oleh cahaya. Biasanya ikan yang menyukai cahaya adalah ikan pelagis kecil.
Tidak hanya ikan, plankton juga menyukai cahaya.
Plankton biasanya akan
spontan mendatangi sumber cahaya. Komposisi total jenis ikan hasil tangkapan kelong tancap dengan rumpon dan
Hasil tangkapan (Kg)
kelong tancap tanpa rumpon terlihat secara jelas pada Gambar 8 berikut ini : 450 400 350 300 250 200 150 100 50 B el ut B K an ep de iti ng ng ba T al ka an u gta la ng T en gg iri T e Pa rb ra a ng ng -p ar an g
T er T em i ba Se n la rk g un in K em g bu C um ng i-c um i Pe pe T re am k ba ng an B ar ak ud a
0
Spesies
dengan rumpon tanpa rumpon
Gambar 8 Komposisi total jenis ikan hasil tangkapan kelong tancap dengan rumpon dan kelong tancap tanpa rumpon Agar konsentrasi ikan dapat terpus at ditengah jaring, maka nelayan memutuskan menggunakan 2 lampu petromaks. Hal ini diketahui dari wawancara dengan nelayan kelong tancap.
Berkumpulnya ikan di bawah lampu dirasakan nelayan lebih cepat
daripada biasanya. Hal ini mungkin dikarenakan fungsi rumpon sebagai pengumpul ikan sudah berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Keadaan oseanografis perairan di sekitar bagan tancap juga sangat menentukan keberhasilan operasi penangkapan alat tangkap ini. Keadaan oseanografis tersebut diantaranya kecerahan perairan, kecepatan angin, gelombang dan arus.
Jenis ikan lain yang tertangkap kelong tancap dengan rumpon adalah jenis ikan pelagis (barakuda, bandeng, tenggiri, terbang, parang-parang, dan talang-talang) dan jenis ikan demersal (tambangan, peperek, dan belut). Hasil tangkapan kelong tancap dengan rumpon berbeda sekali jumlahnya jika dibandingkan dengan kelong tancap tanpa rumpon, selain itu ikan yang tertangkap pada kelong tancap dengan rumpon adalah ikanikan yang jarang ditemui pada hasil tangkapan kelong tancap. Jenis-jenis ikan yang tertangkap pada kelong tancap dengan rumpon diduga memiliki sifat asosiatif dengan rumpon dan sifat fototaksis terhadap cahaya lampu. Hasil penelitian serupa yang dilakukan oleh Zulkarnain (2002) pada satu jenis alat tangkap lift net lainnya yakni bagan apung di Palabuhanratu. Berdasarkan hasil yang diperoleh, berat total dan komposisi tangkapan dalam satu periode penangkapan bagan apung yang diperoleh mengindikasikan memiliki persamaan dengan berat total dan komposisi hasil tangkapan kelong tancap.
Total tangkapan ikan pada bagan apung
(299,01 kg) dengan lebih besar jika dibandingkan dengan bagan apung tanpa rumpon (121,85 kg). Hal yang sama diperoleh pada kelong tancap dalam penelitian ini. Berat total tangkapan ikan pada kelong tancap dengan rumpon (1086,9 kg) lebih besar jika dibandingkan dengan berat total tangkapan (668,95 kg) kelong tancap tanpa rumpon. Pada penelitian yang dilakukan oleh Zulkarnain (2002) di Palabuhanratu, hasil tangkapan juga memiliki persamaan kelompok jenis.
Hasil tangkapan bagan tancap
terdiri dari tiga kelompok ikan yaitu ikan pelagis, ikan demersal dan tangkapan lainnya. Begitu pula halnya dengan hasil tangkapan kelong tancap dengan rumpon. Secara garis besar komposisi total jenis ikan tangkapan kelong tancap dalam penelitian ini sama dengan komposisi total jenis ikan tangkapan bagan apung pada penelitian yang dilakukan oleh Zulkarnain, 2002. Persamaan total jenis ikan tangkapan kedua penelitian dimungkinkan karena pada kedua penelitian ini sama-sama menggunakan rumpon sebagai alat bantu pengumpul ikan. Jumlah tangkapan ikan besar karena di sekitar bagan banyak ikan yang berkumpul. Pada kedua alat tangkap ini, banyaknya ikan yang berkumpul di sekitar alat tangkap akan membantu meningkatkan berat total hasil tangkapan.
5.2.2 Hasil Tangkapan (kg) per Trip Berdasarkan data yang diperoleh dari observasi langsung di lapangan, hasil tangkapan total kelong tancap yang menggunakan rumpon sebesar 1086,9 kg. Hasil tangkapan terbesar diperoleh pada ulangan / trip ke 8 yakni 176,8 kg dan diikuti pada trip ke 9 yakni 116,4 kg. Kenaikan hasil tangkapan meningkat sejak trip ke 5 hingga trip 10 hal ini mungkin dikarenakan fungsi rumpon sebagai pengumpul ikan disaat siang hari telah berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Kondisi bulan juga sangat mempengaruhi, karena pada hari- hari tersebut fase bulan yang terjadi adalah fase gelap, dimana cahaya bulan yang masuk ke dalam air relatif tidak ada sehingga perairan menjadi gelap (Susilo, 1993) dan fungsi lampu bekerja maksimal. Tingkah laku ikan disekitar rumpon secara umum ada 2, yang pertama adalah tingkah laku ikan untuk berlindung. Ruang-ruang pada rumpon sangat disukai oleh ikan pelagis kecil untuk berlindung dari kejaran pemangsa. Kedua, tingkah laku ikan dalam mencari makan. Ikan- ikan yang berkumpul di rumpon antara lain disebabkan oleh proses pembentukan rantai makanan lokal.
Kolonisasi oleh mikroorganisme, baik mikroba
maupun mikroalga akan menarik perhatian juvenil ikan, ikan berukuran kecil, sampai ikan yang berukuran besar. Proses makan dan dimakan yang terjadi disekitar rumpon akan membentuk food web dengan sendirinya. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan, lokasi kelong tancap ini sering dilalui ruaya ikan.
Banyak nelayan beranggapan bahwa salah satu pintu masuk
datangnya ikan ke perairan Kawal adalah melalui perairan disekitar pulau Nikoi, yakni pulau terdekat dengan kedua kelong tancap dioperasikan.
Dengan adanya rumpon
permukaan (3 unit), maka diharapkan rumpon pada kelong tancap ini dijadikan sebagai tempat persinggahan sementara ikan- ikan yang melakukan ruaya. Rata-rata tangkapan per trip kelong tancap dengan rumpon sebesar 67,93 kg. Nilai ini menunjukkan bahwa dari 16 trip operasi penangkapan yang dilakukan kelong tancap dengan rumpon mampu memperoleh hasil tangkapan ikan rata-rata 67,93 kg setiap trip penangkapan. Hasil tangkapan total pada kelong tancap dengan rumpon tersebut mungkin dipengaruhi oleh kondisi musim yakni musim selatan yang berlangsung dari bulan Juni sampai Agustus, dimana saat ini angin bertiup semakin tenang begitu pula
dengan gelombang laut, namun kadang-kadang bertiup angin ribut dan menimbulkan gelombang besar. Berat hasil tangkapan tiap trip pada kelong tancap dengan menggunakan rumpon dapat dilihat pada Tabel 7 berikut : Tabel 7 Berat hasil tangkapan tiap trip kelong tancap dengan rumpon Hasil Tangkapan/trip Ulangan
Tanggal
kelong tancap dengan rumpon
%
(kg) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
09 Juli 2004 10 Juli 2004 11 Juli 2004 12 Juli 2004 13 Juli 2004 14 Juli 2004 15 Juli 2004 16 Juli 2004 17 Juli 2004 18 Juli 2004 19 Juli 2004 21 Juli 2004 22 Juli 2004 23 Juli 2004 24 Juli 2004 26 Juli 2004 Total Rata-Rata (kg/trip)
35,40 31,10 26,30 43,90 88,70 82,50 78,70 176,80 116,40 107,20 31,50 36,15 34,40 33,40 111,20 53,25 1086,90
3,26 2,86 2.42 4,04 8,16 7,59 7,24 16,27 10,71 9,86 2,90 3,33 3,16 3,07 10,23 4,90 100
67,93
Pada trip 4 dan 11 hasil tangkapan kelong tancap dengan rumpon lebih sedikit dibandingkan bagan kontrol karena pada trip tersebut keadaan cuaca sangat buruk, gelombang dan arus sangat kuat, pengadukan substrat dasar perairan mengakibatkan air menjadi keruh.
Cahaya lampu yang digunakan sebagai pemikat utama untuk
penangkapan tidak merambat secara sempurna. Hal ini tidak saja dialami oleh kedua kelong tancap namun juga dialami bagan tancap milik nelayan lain. Bila dibandingkan antara kelong tancap dengan rumpon dan tanpa rumpon hasil tangkapan kelong tancap dengan rumpon memang lebih sedikit, hal ini mungkin dikarenakan arus yang kuat mengakibatkan ikan-ikan yang ada di sekitar rumpon tetap berada di rumpon untuk berlindung dan cenderung tidak mendekati sumber cahaya.
Pada trip 15 hasil tangkapan besar (111,2 kg) hal ini mungkin dikarenakan kondisi perairan, terutama gelombang dan angin sangat mendukung untuk kegiatan operasi penangkapan. Kondisi gelombang dan angin yang tenang biasanya tidak menimbulkan arus yang kuat, sehingga pengadukan substrat oleh arus cenderung kecil dan tidak membuat air menjadi keruh. Kondisi perairan yang tenang cenderung disukai ikan, arus yang tidak terlalu kuat sangat menentukan keefektifan rumpon karena plankton tidak hilang terbawa air. Pada alat tangkap yang mengandalkan cahaya, kondisi perairan yang cerah sangat baik untuk menarik perhatian ikan (fototaksis positif). Cahaya yang digunakan sebagai atraktor dapat merambat secara maksimal. Jarak pandang ikan tidak terganggu oleh kekeruhan air. Berat hasil tangkapan tiap trip pada kelong tancap tanpa rumpon dapat dilihat pada Tabel 8 berikut ini : Tabel 8 Berat hasil tangkapan tiap trip kelong tancap tanpa rumpon Hasil tangkapan/trip Ulangan
Tanggal
kelong tancap tanpa rumpon
%
(kg) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
09 Juli 2004 10 Juli 2004 11 Juli 2004 12 Juli 2004 13 Juli 2004 14 Juli 2004 15 Juli 2004 16 Juli 2004 17 Juli 2004 18 Juli 2004 19 Juli 2004 21 Juli 2004 22 Juli 2004 23 Juli 2004 24 Juli 2004 26 Juli 2004 Total Rata-Rata (kg/trip)
28,70 27,30 23,10 45,70 37,80 24,60 37,20 92,35 76,60 80,70 33,10 34,80 27,20 29,00 33,30 37,50 668,95 41,81
4,29 4,08 3,45 6,83 5,65 3,68 5,56 13,81 11,45 12,06 4,95 5,20 4,07 4,34 4,98 5,61 100
Seperti yang telah dijelaskan pada bab metodologi, pengertian kelong tancap kontrol adalah kelong tancap yang tidak menggunakan alat bantu rumpon.
Hasil
tangkapan total kelong tancap tanpa rumpon yaitu 668,95 kg, dengan rata-rata tangkapan
per trip adalah 41,81 kg. Pada Tabel 8 terlihat bahwa hasil tangkapan tiap trip lebih sedik it bila dibandingkan dengan hasil tangkapan kelong tancap dengan rumpon. Hasil tangkapan terbesar kelong tancap tanpa rumpon diperoleh pada trip ke-8 yaitu sebesar 92,35 kg dan diikuti trip ke-10 sebesar 80,7 kg. Pada fase bulan gelap yang terjadi sekitar trip ke-5 sampai trip ke-10 hasil tangkapan kelong tancap tidak sesuai dengan yang diharapkan, sedangkan kondisi perairan pada saat itu diasumsikan sama di setiap wilayah perairan. Hal ini mungkin dikarenakan ikan disekitar kelong tancap tersebut tidak terkonsentrasi. Pada pokok bahasan ini juga terbukti bahwa penelitian yang dilakukan Zulkarnain (2002) sama dengan penelitian yang dilakukan di daerah Kawal. Hasil tangkapan per trip pada kedua penelitian ini menunjukkan bahwa berat hasil
tangkapan per trip bagan
apung dan kelong tancap yang menggunakan rumpon lebih besar dari pada bagan apung dan kelong tancap yang tidak menggunakan rumpon. Perbandingan hasil tangkapan pada kedua kelong tancap dijelaskan pada Gambar
Hasil tangkapan tiap trip (Kg)
9 berikut ini : 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16
Trip operasi yang dilakukan
dengan rumpon tanpa rumpon
Gambar 9 Perbandingan hasil tangkapan pada kedua kelong tancap Untuk mengetahui sebaran dari populasi yang diselidiki, maka dilakukan uji kenormalan Liliefors. Dari hasil uji kenormalan, diketahui bahwa data hasil tangkapan kelong tancap kontrol dan kelong tancap perlakuan menunjukkan populasi yang tidak menyebar dengan normal. Pada uji kenormalan kelong tancap kontrol diperoleh Lmaks = 0,534 sedangkan untuk kelong tancap perlakuan diperoleh Lmaks = 0,487. Kedua nilai ini
lebih besar bila dibandingkan dengan Ltabel yakni 0,25.
Hal ini berarti data hasil
tangkapan kelong tancap kontrol dan kelong tancap perlakuan tidak menyebar normal, maka tahap berikutnya adalah pengujian data dengan uji statistika non parametrik, yaitu uji Wilcoxon. Pengujian kenormalan dapat dilihat pada Lampiran 7 dan Lampiran 8. Hipotesis yang digunakan untuk uji ini adalah penambahan rumpon pada pengoperasian kelong tancap tidak berpengaruh terhadap peningkatan hasil tangkapan ikan (sebagai Ho), dan penambahan rumpon pada pengoperasian kelong tancap berpengaruh nyata terhadap peningkatan hasil tangkapan (sebagai H1). Berdasarkan hasil pengujian pada Lampiran 9 tentang uji peringkat bertanda Wilcoxon (pada bagian signed ranks test), terlihat bahwa dari 16 data terdapat 14 data memiliki beda nilai negatif, dan 2 data memiliki beda positif, dan tidak ada yang memiliki beda nilai sama dengan nol atau data yang memiliki nilai sama. Pada tabel tersebut T hitung yang diperoleh adalah 5. Menurut tabel Wilcoxon, untuk jumlah data 16, uji satu arah dengan selang kepercayaan ( ) = 5% T tabel yang diperoleh adalah 30. Dengan demikian T hitung (5) < T tabel (30), maka tolak Ho. Hal ini berarti perbandingan total tangkapan antara kelong tancap dengan rumpon dan kelong tancap tanpa rumpon berbeda nyata. Dengan kata lain penambahan rumpon pada kelong tancap berpengaruh nyata terhadap peningkatan hasil tangkapan ikan. Pada Tabel Wilcoxon signed ranks test nilai z hitung adalah -3,258, sedangkan z tabel
yang dihitung dengan selang kepercayaan ( ) = 5% pada kur va normal adalah 50% -
5% = 45% atau 0,45. Pada tabel z, untuk luas 0,45 diperoleh angka z tabel sebesar – 1,645. Oleh karena nilai z hitung (-3,258) > dari z tabel (–1,645), maka tolak Ho, nilai negatif hanya menyesuaikan dengan nilai z output, dan tidak melambangkan besar kecilnya nilai yang diperoleh. Hal ini berarti bahwa perbandingan total hasil tangkapan antara kelong tancap dengan rumpon dan kelong tancap tanpa rumpon berindikasi memiliki perbedaan nyata, dengan kata lain penggunaan rumpon pada kelong tancap berpengaruh nyata terhadap peningkatan hasil tangkapan ikan. Untuk nilai probabilitas dari tabel Wilcoxon signed ranks test, diperoleh nilai asymp.sig.(2-tailed)/asymptotic significance adalah 0,001 (uji dua arah), nilai probabilitas untuk satu arahnya dapat diperoleh dari 0,001/2 yakni 0,0005. Nilai probabilitas ini (0,0005) ternyata < 0,05 maka tolak Ho, artinya perbandingan total hasil tangkapan
antara kelong tancap dengan rumpon dan kelong tancap tanpa rumpon berindikasi memiliki perbedaan nyata, dengan kata lain penambahan rumpon pada kelong tancap berpengaruh nyata terhadap peningkatan hasil tangkapan ikan. Berdasarkan hasil analisis data pada penelitian Zulkarnain (2002), penggunaan rumpon pada bagan apung juga memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan hasil tangkapan ikan. 5.2.3 Hasil Tangkapan Rata-rata Hauling Setiap Trip Penangkapan Ikan Berdasarkan hasil tangkapan total sebesar 1086,90 kg yang diperoleh pada kelong tancap dengan rumpon selama 16 trip dan jumlah hauling sebesar 82 kali hauling, maka rata-rata hasil tangkapannya adalah 13,25 kg/hauling.
Rata-rata hasil tangkapan
(kg/hauling) setiap trip yang terbesar diperoleh pada trip ke-8, yaitu 35.36 kg/hauling, selanjutnya berturut-turut diantaranya adalah trip ke-9 (23,28 kg/hauling), trip ke-15 (18,533 kg/hauling), trip ke-10 (17,867 kg/hauling), trip ke-5 (17,74 kg/hauling), trip ke6 (16,5 kg/hauling), trip ke-7 (13,117 kg/hauling), trip ke-16 (10,65 kg/hauling), trip ke12 (9,038 kg/hauling), trip ke-4 (8,8 kg/hauling), trip ke-13 (8,6 kg/hauling), trip ke-14 (8,35 kg/hauling), trip ke-11 (6,3 kg/hauling), trip ke-2 (6,22 kg/hauling), trip ke-1 (5,9 kg/hauling).
Rata-rata hasil tangkapan terkecil diperoleh pada trip ke-3 (4,383 kg/
hauling). Hasil tangkapan total yang diperoleh kelong tancap tanpa rumpon adalah 668,95 kg dan jumlah hauling sebesar 69 kali hauling, maka rata-rata hasil tangkapannya sebesar 9,7 kg/hauling. Rata-rata hasil tangkapan per hauling setiap trip yang terbesar diperoleh pada trip ke-8, yaitu 23,088 kg/hauling, selanjutnya berturut-turut adalah trip ke-10 (20,175 kg/hauling), trip ke-9 (19,15 kg/hauling), trip ke-14 (9,667 kg/hauling), trip ke16 (9,375 kg/hauling), trip ke-4 (9,14 kg/hauling), trip ke-13 (9,067 kg/hauling), trip ke12 (8,7 kg/hauling), trip ke-15 (8,325 kg/hauling), trip ke-7 (7,44 kg/hauling), trip ke-1 (7,175 kg/hauling), trip ke-11 (6,62 kg/hauling), trip ke-5 (6,3 kg/hauling), trip ke-6 (6,15kg/hauling), dan trip ke-2 (5,5 kg/hauling).
Rata-rata hasil tangkapan terkecil
diperoleh pada trip ke-3 yaitu sebesar 4,62 kg/hauling. Bila ditinjau dari selisih rata-rata hasil tangkapan per hauling kedua kelong tancap terlihat jelas bahwa tangkapan rata-rata per hauling kelong tancap dengan rumpon lebih besar dari tangkapan rata-rata hauling kelong tancap tanpa rumpon. Hanya beberapa trip
saja yang menunjukkan bahwa hasil tangkapan rata-rata hauling kelong tancap tanpa rumpon lebih besar daripada hasil tangkapan rata-rata hauling kelong tancap dengan rumpon. Keadaan ini memperkuat penelitian terdahulu mengenai penggunaan rumpon pada alat tangkap bagan apung yang dilakukan oleh Zulkarnain di Palabuhanratu, bahwa penambahan alat bantu pengumpul ikan (rumpon) pada kedua jenis alat tangkap (bagan apung dan kelong tancap) sangat membantu dalam hal meningkatkan jumlah hasil tangkapan. Rata-rata hasil tangkapan per hauling setiap trip kedua kelong tancap dapat
HT rata-rata tiap trip (Kg)
dilihat pada Gambar 10 dan Lampiran 4
40 35 30 25 20 15 10 5 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
dengan rumpon
Trip operasi yang dilakukan
tanpa rumpon
Gambar 10 Rata-rata hasil tangkapan per hauling setiap trip kelong tancap dengan rumpo n dan kelong tancap tanpa rumpon 5.3 Laju Akumulasi Ikan Laju akumulasi ikan pada perikanan kelong tancap adalah kecepatan ikan berkumpul di bawah cahaya lampu petromaks.
Prinsip laju akumulasi pada kelong
tancap adalah bahwa pada siang hari ikan terkonsentrasi di sekitar rumpon, sedangkan pada malam hari karena pengaruh lampu, ikan akan terkumpul di sekitar lampu. Saat hauling dilakukan, kumpulan ikan akan terganggu dengan naiknya jaring ke arah permukaan. Ikan akan panik dan menyebar, namun karena ada tiga unit rumpon di sekitar kelong tancap maka ikan yang meninggalkan cahaya akan kembali berkumpul pada rumpon. Setelah kegiatan hauling selesai, maka selanjutnya adalah penurunan
jaring ke perairan, kecepatan ikan terkumpul kembali di bawah cahaya lamp u setelah sebelumnya terusik oleh kegiatan hauling disebut laju akumulasi ikan. Analisis untuk mengetahui laju akumulasi ikan menggunakan data hauling per tripnya. Dari data jumlah hauling per tripnya, kelong tancap dengan rumpon memiliki jumlah hauling per trip yang lebih bervariasi. Hal ini sangat berbeda dengan variasi jumlah hauling per trip pada kelong tancap tanpa rumpon. Perbedaan jumlah hauling per trip akan mempengaruhi jumlah total hauling kedua kelong tancap. Total jumlah hauling kelong tancap dengan rumpon selama operasi penangkapan ikan adalah 82 kali hauling. Jumlah hauling per trip terbanyak yaitu berjumlah 6 kali hauling pada 5 trip, yaitu pada trip ke-1, trip ke-3, trip ke-7, trip ke-10, trip ke-15. Jumlah hauling per trip 5 kali hauling sebanyak 8 trip, yaitu trip ke-2, trip ke-4, trip ke-5, trip ke-6, trip ke-8, trip ke-9, trip ke11, trip ke-16. Jumlah hauling per trip dengan 4 kali hauling hanya 3 trip, yaitu pada trip ke-12, trip ke-13, dan trip ke-14. Total jumlah hauling kelong tancap tanpa rumpon selama operasi penangkapan ikan adalah 69 kali hauling. Jumlah hauling per trip terbanyak yaitu berjumlah 6 kali hauling hanya 1 kali trip yaitu pada trip ke-5. Jumlah hauling per trip sebanyak 5 kali hauling 5 trip, yaitu trip ke-2, trip ke-3, trip ke-4, trip ke-7 dan trip ke-11. Jumlah hauling per trip dengan 4 kali hauling 8 trip, yaitu pada trip ke-1, trip ke-6, trip ke-8, trip ke-9, trip ke-10, trip ke-12, trip ke-15, dan trip ke-16. Jumlah hauling per trip dengan 3 kali hauling hanya 2 trip, yaitu pada trip ke-13 dan trip ke-14. Jumlah hauling per trip kelong tancap dengan rumpon dan kelong tancap tanpa
Jumlah hauling
rumpon dapat dilihat pada Gambar 11 dan Lampiran 5. 7 6 5 4 3 2 1 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Operasi penangkapan yang dilakukan dengan rumpon tanpa rumpon
Gambar 11 Jumlah hauling per trip kelong tancap dengan rumpon dan kelong tancap tanpa rumpon
Jumlah hauling
Sedangkan frekuensi jumlah hauling dapat dilihat pada Gambar 12 berikut ini, serta Lampiran 6. 10 8 6 4 2 0 1
2
3
4
Frekuensi hauling
5
6 dengan rumpon tanpa rumpon
Gambar 12 Frekuensi hauling kelong tancap dengan rumpon dan kelong tancap tanpa rumpon Hipotesis yang digunakan untuk uji ini adalah penambahan rumpon pada pengoperasian kelong tancap tidak berpengaruh terhadap peningkatan laju akumulasi ikan (sebagai Ho), dan penambahan rumpon pada pengoperasian kelong tancap berpengaruh nyata terhadap peningkatan laju akumulasi ikan (sebagai H1). Berdasarkan hasil perhitungan dengan program SPSS versi 11 pada Lampiran 10 tentang uji peringkat bertanda Wilcoxon (pada bagian signed ranks test), terlihat bahwa dari 16 data terdapat 11 data memiliki beda nilai negatif, dan 1 data memiliki beda positif, serta 4 data yang memiliki beda nilai sama dengan nol atau data yang memiliki nilai sama.
Pada tabel tersebut T hitung yang diperoleh adalah 5.
Menurut tabel
Wilcoxon, untuk jumlah data 16, uji satu arah dengan selang kepercayaan
( ) = 5% , T
tabel
yang diperoleh adalah 30. Dengan demikian T hitung (5) < T tabel (30), maka tolak
Ho. Hal ini berarti perbandingan total tangkapan antara kelong tancap dengan rumpon dan kelong tancap tanpa rumpon berbeda nyata. Dengan kata lain penambahan rumpon pada kelong tancap berpengaruh nyata terhadap peningkatan laju akumulasi ikan. Berdasarkan Tabel Wilcoxon signed ranks test diperoleh nilai z hitung adalah 2,804 sedangkan z tabel yang dihitung dengan selang kepercayaan ( ) = 5% pada kurva normal adalah 50% - 5% = 45% atau 0,45. Pada tabel z, untuk luas 0,45 diperoleh angka z tabel sebesar –1,645. Oleh karena nilai z hitung (-2,804) > dari z tabel (–1,645), maka tolak Ho. Hal ini berarti bahwa perbandingan total hasil tangkapan antara kelong tancap
dengan rumpon dan kelong tancap tanpa rumpon berindikasi memiliki perbedaan nyata, dengan kata lain penambahan rumpon pada kelong tancap berpengaruh nyata terhadap peningkatan laju akumulasi ikan. Untuk nilai probabilitas dari Tabel Wilcoxon signed ranks test, diperoleh nilai asymp.sig.(2-tailed)/asymptotic significance adalah 0,005 (uji dua arah), nilai probabilitas untuk satu arahnya diperoleh dari 0,005/2 yakni 0,0025. Nilai probabilitas ini (0,0025) ternyata < 0,05 maka tolak Ho, artinya perbandingan total hasil tangkapan antara kelong tancap dengan rumpon dan kelong tancap tanpa rumpon berindikasi memiliki perbedaan nyata, dengan kata lain penambahan rumpon pada kelong tancap berpengaruh nyata terhadap laju akumulasi ikan. Hasil analisis data laju akumulasi akumulasi ikan pada bagan apung yang digunakan dalam penelitian Zulkarnain (2002) di Pelabuhanratu, mengindikasikan bahwa penggunaan rumpon pada bagan apung memberikan pengaruh nyata terhadap laju akumulasi ikan. 5.4 Frekuensi Ikan Tertangkap Pengertian frekuensi ikan tertangkap adalah seringnya suatu jenis ikan tertangkap dengan jaring kelong tancap selama satu periode operasi penangkapan kelong tancap. Nilai frekuensi ini terlihat pada akhir periode operasi penangkapan, setiap jenis ikan dihitung jumlah trip kemunculannya pada satu periode penangkapan ( 16 trip penangkapan yang telah dilakukan). Selama kegiatan penangkapan berjalan ada beberapa jenis ikan yang frekuensi tertangkapnya jarang, sedang atau sering. Pembagian skala jarang, sedang dan sering adalah banyaknya trip operasi penangkapan suatu jenis ikan tertangkap dari total trip penangkapan ikan yang dilakukan. Karena jumlah total trip adalah 16 kali, maka ikan tangkapan dikatakan memiliki frekuensi tertangkap yang jarang, bila ikan tersebut tertangkap tidak lebih dari 5 kali trip operasi dari total operasi yang telah dilakukan. Ikan dikatakan memiliki frekuensi tangkapan sedang, bila tertangkap antara 5 hingga 10 kali trip dari total operasi penangkapan yang dilakukan.
Dan ikan memiliki frekuensi
tangkapan yang sering, bila ikan tersebut tertangkap lebih dari 10 trip penangkapan. Jenis ikan yang sering tertangkap pada kelong tancap dengan rumpon yaitu ikan teri (Stolephorus commersoni) 16 trip dengan rata-rata hasil tangkapan sebesar 25,76
kg/trip, cumi-cumi (Loligo sp) 16 trip dengan rataan
hasil tangkapan sebesar 14,79
kg/trip, kembung (Rastrelliger sp) 14 trip dengan rataan hasil tangkapan sebesar 4,18 kg/trip, selar kuning (Selaroides leptolepis) 14 trip dengan rataan hasil tangkapan sebesar 3,17 kg/trip, tembang (Sardinella fimbriata) 13 trip dengan rata-rata hasil tangkapan sebesar 21,73 kg/trip, peperek (Leiognathus splendens) 11 trip dengan rataan hasil tangkapan sebesar 1,16 kg/trip. Untuk jenis ikan teri, jumlah indeks cone akan sangat banyak menjelang pagi hari. Hal inilah yang mengakibatkan keberadaan ikan teri sangat sering dijumpai pada kedua kelong tancap. Ikan tambangan (Lutjanus johni),
frekuensi tertangkapnya sedang, dengan
frekuensi tertangkap sebanyak 6 trip dengan rata-rata hasil tangkapan sebesar 1,73 kg/trip. Ikan- ikan lainnya yang berfrekuensi tertangkapnya jarang dengan rata-rata hasil tangkapan yaitu ikan barakuda (Sphyraena genie) 5 trip (2,06 kg/trip), bandeng (Chanos chanos) 2 trip (3,75 kg/trip ), kepiting bakau (Scylla serrata) 2 trip (1,65 kg/trip), tenggiri (Scomberomorus commersoni) 2 trip (1,45 kg/trip), belut (Ophichtys apicalis) 2 trip (0,43 kg/trip), parang-parang (Chirosentrus dorab) 1 trip (2,40 kg/trip), talang-talang (Chorinemus tala ), 1 trip (1,90 kg/trip), dan ikan terbang (Cypsilirus poecilopterus) 1 trip (0,30 kg/trip). Jenis ikan dengan frekuensi tertangkap jarang adalah ikan yang tidak sering dijumpai pada hasil tangkapan kelong tancap daerah Kawal. Beberapa jenis ikan yang pernah dijumpai oleh nelayan seperti ikan bandeng, peperek dan ikan terbang. Yang unik adalah, ikan peperek dan bandeng biasanya ditemukan oleh nelayan kelong tancap dengan frekuensi yang ditemukan kecil, hal ini tidak terjadi pada kelong tancap dengan rumpon. Ini dimungkinkan karena pengaruh dari rumpon yang terpasang di dekat kelong tancap, disenangi oleh ikan peperek. Frekuensi ikan tertangkap pada kelong tancap dengan rumpon beserta rata-rata berat per tripnya dapat dilihat pada Tabel 9 berikut ini :
Tabel 9 Frekuensi ikan tertangkap pada kelong tancap dengan rumpon
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Jenis ikan tangkapan Barakuda Bandeng Belut Cumi-cumi Peperek Kembung Parang-parang Talang-talang Kepiting bakau Selar kuning Tambangan Tembang Tenggiri Terbang Teri
Total berat (kg) 10,30 7,50 0,85 236,65 12,80 58,50 2,40 1,90 3,30 44,40 10,40 282,50 2,90 0,30 412,20
Total trip 5 2 2 16 11 14 1 1 2 14 6 13 2 1 16
Frekuensiikan tertangkap jarang sedang sering -
Ratarata/trip (kg) 2,06 3,75 0,43 14,79 1,16 4,18 2,40 1,90 1,65 3,17 1,73 21,73 1,45 0,30 25,76
Frekuensi ikan yang tertangkap pada kelong tancap dengan rumpon dapat dilihat pada Gambar 13 berikut ini : Teri Terbang Tenggiri Tembang Tambangan Selar kuning Kepiting bakau Talang-talang Parang-parang Kembung Peperek Cumi-cumi Belut Bandeng Barakuda
16 1 2 13 6 14 2 1 1 14 11 16 2 2 5
jarang
sedang
sering
dengan rumpon
Gambar 13 Frekuensi ikan tertangkap pada kelong tancap dengan rumpon Jenis ikan hasil tangkapan kelong tancap tanpa rumpon adalah ikan yang lazim ditemui oleh nelayan kelong tancap. Frekuensi ikan tertangkap pada kelong tancap tanpa rumpon dapat dilihat pada Tabel 10 di bawah ini:
Tabel 10 Frekuensi ikan tertangkap pada kelong tancap tanpa rumpon
No. 1 2 3 4 5
Jenis ikan tangkapan Cumi-cumi Kembung Selar kuning Tamban Teri
Total berat (kg) 187 33,5 18,1 141,2 289,15
Total trip 16 13 10 12 16
Frekuensi ikan tertangkap jarang sedang sering -
Ratarata/trip (kg) 11,69 2,58 1,81 11,77 18,07
Secara lebih jelas frekuensi ikan tertangkap pada kelong tancap tanpa rumpon dapat dilihat pada Gambar 12 berikut ini :
Teri
16
Tembang
12
Selar kuning
10
Kembung
13
Cumi-cumi
16
jarang
sedang
sering tanpa rumpon
Gambar 14 Frekuensi ikan tertangkap pada kelong tancap tanpa rumpon Pada kelong tancap tanpa rumpon ikan yang frekuensinya jarang tertangkap tidak ditemukan.
Ikan dengan frekuensi tertangkapnya sedang hanya ikan selar kuning
(Selaroides leptolepis) yakni 10 trip dengan rata-rata hasil tangkapan sebesar 1,81 kg/trip. Sedangkan untuk ikan yang berfrekuensi tangkapan sering adalah ikan tembang (Sardinella fimbriata) 12 trip dengan rata-rata hasil tangkapan sebesar 11,77 kg/trip, kembung (Rastrelliger sp) 13 trip dengan rata-rata hasil tangkapan sebesar 2,58 kg/trip , teri (Stolephorus commersoni) 16 trip dengan rata-rata hasil tangkapan sebesar 18,07 kg/trip dan cumi-cumi (Loligo sp) 16 trip dengan rata-rata hasil tangkapan sebesar 11,69 kg/trip
5.5 Kemunculan Ikan per Waktu Hauling Total hasil tangkapan yang diperoleh kelong tancap dengan rumpon dan kelong tancap tanpa rumpon merupakan hasil kegiatan hauling yang dilakukan pada waktuwaktu tertentu selama trip operasi penangkapan. Waktu hauling ditentukan berdasarkan selang waktu kegiatan operasi penangkapan ikan, yaitu antara pukul 17:00 – 06:00 WIB. Total hasil tangkapan terbanyak pada kelong tancap dengan rumpon diperoleh pada pukul 20:00 WIB, yaitu sebesar 192,05 kg dengan jumlah hauling yang dilakukan pada pukul 20:00 WIB sebanyak 13 kali. Selanjutnya diikuti oleh jumlah hasil tangkapan dan jumlah hauling dari waktu hauling berturut-turut adalah pukul 19:00 WIB: 144,6 kg (4 kali); pukul 22:00 WIB : 138,8 kg (12 kali); pukul 05:00 WIB : 133,3 kg (14 kali); pukul 24:00 WIB : 111,1 kg (8 kali); pukul 02:00 WIB : 104,95 kg (9 kali); pukul 04:00 : 104,3 kg (12 kali); pukul 23:00 WIB : 56,9 kg (3 kali); pukul 03:00 WIB : 40,7 kg (3 kali); pukul 18:00 WIB : 20,5 kg (1 kali); pukul 21:00 : 20,3 kg (1 kali) dan pukul 01:00 WIB : 19,4 kg (2 kali). Kemunculan ikan terbesar pada kelong tancap dengan rumpon terjadi pada waktu hauling pukul 20:00 WIB, jam 19:00 WIB, pukul 22:00 WIB dan pukul 05:00 WIB, masing- masing dengan jumlah hauling adalah 13 kali, 4 kali, 12 kali, dan 14 kali. Ratarata hasil tangkapan (kg/hauling) terbanyak kelong tancap dengan rumpon, diperoleh pada waktu hauling pukul 19:00 WIB dengan rata-rata tangkapan dan jumlah hauling adalah 36,15 kg/hauling (4 kali), kemudian diikuti oleh waktu hauling pukul 18:00 WIB : 20,5 kg/hauling (1 kali); pukul 21:00 WIB : 20,3 kg/hauling (1 kali); pukul 23:00 WIB : 18,97 kg/hauling (3 kali); pukul 20:00 WIB : 14,77 kg/hauling (13 kali); pukul 0:00 WIB : 13,89 kg/hauling (8 kali); pukul 3:00 WIB : 13,57 kg/hauling (3 kali); pukul 2:00 WIB : 11,66 kg/hauling (9 kali); pukul 22:00 WIB : 11,57 kg/hauling (12 kali); pukul 1:00 WIB : 9,7 kg/hauling(2 kali); pukul 5:00 WIB : 9,52 kg/hauling (14 kali); dan pukul 4:00 WIB : 8,69 kg/hauling (12 kali). Besar kecilnya nilai rata-rata hasil tangkapan (kg/hauling) sangat bergantung pada jumlah hauling, Total hasil tangkapan terbanyak pada kelong tancap dengan rumpon diperoleh pada pukul 20:00 WIB, yaitu sebesar 139,1 kg dengan jumlah hauling sebanyak 11 kali. Selanjutnya diikuti oleh jumlah hasil tangkapan dan jumlah hauling dari waktu hauling berdasarkan urutan berat dari yang paling besar adalah pukul 3:00 WIB: 90,5 kg (9 kali);
pukul 5:00 WIB: 71,95 kg (15 kali); pukul 23:00 WIB: 69,6 kg (4 kali); pukul 22:00 WIB: 67,4 kg (7 kali); pukul 02:00 WIB: 66,8 kg (5 kali); pukul 00:00 WIB: 56,6 kg (5 kali); pukul 01:00 WIB: 34,9 kg (4 kali); pukul 19:00 WIB: 25,4 kg (3 kali); pukul 18:00 WIB: 16,3 kg (1 kali); pukul 04:00 WIB: 15,4 kg (3 kali); dan pukul 21:00 WIB: 15 kg (2 kali). Total hasil tangkapan dan jumlah hauling kedua kelong tancap disajikan pada Tabel 11 berikut ini: Tabel 11 Total hasil tangkapan dan jumlah hauling kedua kelong tancap Kelong tancap dengan rumpon Kelong tancap tanpa rumpon Jumlah Hasil Rataan hasil Jumlah Hasil Rataan hasil hauling tangkapan tangkapan hauling tangkapan tangkapan (haul) (haul) (kg/haul) (kg) (kg/haul) (kg) 17:00 0 0 0 0 18:00 1 20,5 20,50 1 16,30 16,30 19:00 4 144,6 36,15 3 25,40 8,47 20:00 13 192,05 14,77 11 139,10 12,65 21:00 1 20,3 20,30 2 15,00 7,50 22:00 12 138,8 11,57 7 67,40 9,63 23:00 3 56,9 18,97 4 69,60 17,40 0:00 8 111,1 13,89 5 56,60 11,32 1:00 2 19,4 9,70 4 34,90 8,73 2:00 9 104,95 11,66 5 66,80 13,36 3:00 3 40,7 13,57 9 90,50 10,06 4:00 12 104,3 8,69 3 15,40 5,13 5:00 14 133,3 9,52 15 71,95 4,80 6:00 0 0 0 0 Total 82 1086,9 69 668,95
Waktu hauling (jam)
Kemunculan ikan terbesar pada kelong tancap tanpa rumpon terjadi waktu hauling pukul 20:00 WIB, pukul 3:00 WIB, pukul 5:00 WIB, pukul 23:00 WIB, dan pukul 22:00 WIB, masing- masing dengan jumlah hauling adalah 11 kali, 9 kali, 15 kali, 4 kali dan 7 kali. Berdasarkan rata-rata hasil tangkapan (kg/hauling) yang diperoleh kelong tancap tanpa rumpon, maka hasil yang terbanyak diperoleh pada waktu hauling pukul 23:00 WIB dengan rata-rata hasil tangkapan dan jumlah hauling adalah 17,4 kg/hauling (4 kali), kemudian diikuti oleh waktu hauling pukul 18:00 WIB : 16,3 kg/hauling (1 kali); pukul 02:00 WIB : 13,36 kg/hauling (5 kali); pukul 20:00 WIB : 12,65 kg/hauling (11 kali); pukul 00:00 WIB : 11,32 kg/hauling (5 kali); pukul 03:00 WIB : 10,06 kg/hauling
(9 kali); pukul 22:00 WIB : 9,63 kg/hauling (7 kali); pukul 01:00 WIB : 8,73 kg/hauling (4 kali); pukul 19:00 WIB : 8,47 kg/hauling (3 kali), pukul 21:00 WIB : 7,5 kg/hauling (2 kali), pukul 04:00 WIB : 5,13 kg/hauling (3 kali); pukul 05:00 WIB : 4,8 kg/hauling (15 kali). Hasil tangkapan terbanyak diperoleh kedua kelong tancap tersebut pada waktu hauling yang sama, yaitu pukul 20:00 WIB.
6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Total hasil tangkapan kelong tancap yang menggunakan rumpon selama penelitian mencapai 1086,9 kg. Hasil ini pada satu periode bulan operasi penangkapan pada kelong tancap dapat dikatakan sangat baik.
Operasi penangkapan yang dilakukan mampu
memperoleh hasil tangkapan ikan rata-rata 67,93 kg setiap trip penangkapan. Sedangkan total hasil tangkapan kelong tancap tanpa rumpon dengan jumlah trip yang sama yaitu 668,95 kg, dan rata-rata tangkapan per trip adalah 41,81 kg. Komposisi ikan hasil tangkapan kelong tancap lebih bervariasi.
Jenis ikan
tangkapan pada kelong tancap dengan rumpon terdiri atas 15 jenis ikan yang dibagi menjadi tiga kelompok jenis ikan yaitu ikan pelagis, ikan demersal dan hasil tangkapan lainnya. Sedangkan hasil tangkapan kelong tancap tanpa rumpon hanya terdiri atas 5 jenis tangkapan yakni 4 jenis ikan pelagis dan 1 jenis tangkapan lainnya. Jumlah hauling kelong tancap dengan rumpon pada satu periode penangkapan adalah 82 kali sedangkan kelong tancap tanpa rumpon memiliki jumlah hauling 69 kali. Perbedaan ini dipengaruhi oleh kecepatan laju akumulasi ikan yang terkumpul di bawah lampu petromaks pada kelong tancap dengan rumpon. Berat hasil tangkapan rata-rata per hauling pada kelong tancap dengan rumpon adalah 13,25 kg, sedangkan rata-rata berat tangkapan per hauling pada kelong tancap tanpa rumpon adalah 9,69 kg. Berdasarkan uji peringkat bertanda Wilcoxon yang digunakan untuk menganalisis data hasil tangkapan diperoleh nilai T hitung (5) < T tabel (30), sehingga tolak Ho atau menerima H1. Hal ini berarti perbandingan total tangkapan antara kelong tancap dengan rumpon dan kelong tancap tanpa rumpon berbeda nyata. Dengan kata lain penambahan rumpon pada kelong tancap berpengaruh nyata terhadap peningkatan hasil tangkapan ikan, dimana kelong yang menggunakan tiga unit rumpon memberikan jumlah hasil tangkapan yang lebih banyak dibandingkan kelong tancap yang tidak menggunakan rumpon. Hasil analisis uji berpangkat Wilcoxon, untuk kecepatan laju akumulasi ikan atau kecepatan ikan kembali mendekati sumber cahaya setelah terusik kegiatan hauling yang dilakukan (menggunakan data hauling), diperoleh nilai
T hitung (5) < T tabel (30),
sehingga diputuskan menolak Ho dan menerima H1 .
Hal ini menunjukkan bahwa
penambahan rumpon pada kelong tancap mempengaruhi kecepatan ikan berkumpul pada sumber cahaya, dan akan mempengaruhi hasil tangkapan. Dari hasil analisis data diperoleh kesimpulan bahwa penelitian ini (penambahan rumpon pada alat tangkap kelong tancap) memperkuat penelitian terdahulu tentang uji caba penggunaan rumpon pada salah satu jenis alat tangkap lift net lainnya (bagan apung) yang dilakukan di Palabuhanratu. Penambahan rumpon pada kelong tancap dan bagan apung dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi operasi penangkapan kedua alat tangkap. 6.2 Saran Permasalahan yang terjadi dalam penelitian ini adalah
dalam hal pembuatan
rumpon, pengangkutan dan pemasangan rumpon pada kelong tancap.
Dalam hal
perakitan rumpon, dibutuhkan waktu yang lebih banyak untuk merakit rumpon. Kecepatan dalam merakit rumpon harus diperhitungkan, karena kegiatan eksperimental fishing dengan menggunakan rumpon pada alat tangkap kelong tancap sangat memperhitungkan umur bulan. Artinya, agar fungsi rumpon dalam hal mengumpulkan ikan berjalan baik maka rumpon harus dipasang beberapa hari sebelum operasi penangkapan dilakukan. Permasalahan yang timbul saat pengangkutan dan pemasangan rumpon adalah beratnya konstruksi rumpon yang digunakan. Selain itu, pada saat pemasangan rumpon di sekitar alat tangkap sangat memerlukan ketelitian dan kewaspadaan.
Masalah ini
ternyata dialami saat pemasangan rumpon yang kedua, pada saat pemasangan rumpon dilakukan tanpa disadari baling-baling kapal tersangkut pada ikatan tali yang menghubungkan pelampung dan tiang bagan. Sedangkan permasalahan yang timbul saat pengumpulan data sekunder di lapangan adalah susahnya mendapatkan data mengenai perikanan tangkap di Kecamatan Gunung Kijang secara mendetail dan transparan. Data statistik perikanan daerah ini terkesan ditutup-tutupi oleh sebagian pihak. Oleh karena itu penulis menyarankan untuk : 1. Penyempurnaan data perikanan terutama untuk pendugaan stok sumberdaya ikan di daerah ini secara transparan, selain itu data perikanan daerah ini perlu dilaporkan
secara rutin dan berkala ke Kantor Dinas Perikanan agar perkembangan perikanan tangkap di Kecamatan Gunung Kijang selalu terpantau. 2. Perencanaan yang matang dalam mempersiapkan langkah penelitian dan prosedur kerja yang dilakukan pada kegiatan eksperimental fishing. 3. Dilakukannya penelitian lanjutan mengenai jumlah unit rumpon yang dibutuhkan untuk satu unit kelong tancap, serta posisi pemasangannya agar upaya penangkapan kelong tancap lebih efektif.
DAFTAR PUSTAKA Arimoto, T., H. Sakai. 2001. Light Fishing in Japan and Indonesia. The JSPS-DGHE International Workshop. Dept. of Fisheries Resources Utilization, Bogor : IPB. 69 p. Ayodhyoa, A.U. 1981. Metode Penangkapan Ikan. Bogor :Yayasan Dewi Sri, 91 hal. Baskoro, S.M., J. Haluan, and T. Arimoto. 1998. Behavior of Hairtail Trichiurus spp. In the Illuminated Zone During Capture Process of Floated Bamboo-platform Liftnet. Tokyo : Proceedings AGRI-BIOCHE. ISSN 1343-9073. P:C18-C23. Baskoro, M.S., 1999. Capture Process of the Floated Bamboo-Platform Liftnet With Light Attraction (Bagan). Tokyo : Graduate School of Fisheries, Tokyo University of Fisheries. Doctoral Course of Marine Scienses and Technology. 149 p. Ben Yami, M. 1976. Fishing with Light. Published by arrangement with the FAO of the United Nations by Fishing News Books, Ltd. England : 1 Long Garden Walk, Farnham, Surrey, 150 p. Brandt, A. von. 1984. Fish Catching Methods of the World. London : Fishing News Book Ltd. 418 p. . 1986. Telaah Penggunaan Rumpon dan Payaos dalam Perikanan di Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan Laut no 35. Jakarta : Balai Penelitian Perikanan Laut. Hal 31-47. . 1993. Study on The Development of Rumpon as Fish Aggregation Device in Indonesia. Bogor : Buletin ITK Maritek. 137 Hal. Gunarso, W. 1985. Tingkah Laku Ikan dalam Hubungannya dengan Alat Tangkap, Metode dan Taktik Penangkapan. Diktat [Tidak Dipublikasikan]. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan. Bogor : Institut Bogor. 149 hal. Hella, I. and T. Laevastu. 1981. Fisheries Oceanography and Ecology. London : Fishing News Book Ltd. 238 p. Imron, M. 1997. Pengaruh Pemakaian Lampu dan Rumpon Terhadap Hasil Tangkapan Jaring Insang Lingkar yang Dioprasikan di Perairan Pelabuhanratu. Thesis [tidak dipublikasikan]. Program studi Tekhnologi Kelautan. Bogor : Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Masyahoro, A. 1998. Pengaruh Teknik Pencahayaan Pada Perikanan Bagan (Liftnet) terhadap hasil Tangkapan di Perairan Teluk Palu. Thesis [Tidak Dipublikasikan]. Program Pascasarjana. Bogor : Institut Pertanian 99 hal.
Monintja, D.R. 1990. Study on the Development Prospect of Fish Agregating Device for Tuna Fisheries in Pelabuhan Ratu. Prosiding Seminar Hasil Penelitian. Fakultas Perikanan. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Monintja, D.R. dan Zulkarnain. 1995. Analisis Dampak Pengoperasian Rumpon Tipe Phillipine di Perairan ZEE terhadap Perikanan Cakalang di Perairan Teritorial Selatan Jawa dan Utara Sulawesi. Laporan Penelitian [Tidak Dipublikasikan]. Fakultas Perikanan. Bogor : Institut Pertanian Bogor. 77 hal. Nasoetion, A.H. dan Barizi. 1986. Metode Statistika untuk Penarikan Kesimpulan. Edisi yang disempurnakan. Cetakan ke-7. Jakarta : PT. Gramedia. 223 hal. Nomura, M. and T. Yamazaki. 1977. Fishing Technique I. Tokyo : Japan International Cooperation Agency. 206 p. Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Jakarta : Penerbit Djamabatan, 367 Hal. Prakoso, G. 2005. Penggunaan Atraktor Dalam Pengoprasian Alat Tangkap Bubu Rajungan di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Skripsi [Tidak dipublikasikan]. Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Bogor : Institut Pertanian Bogor. 67 Hal. Prasetyo, D.T. 1997. Studi Pendahuluan Tentang Penggunaan Echo Sounder dan Sonar Dalam Operasi Penangkapan Ikan Pelagis Kecil Pada Kapal Purse Seine di Perairan Utara Jawa. Skripsi [Tidak dipublikasikan]. Pragram Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Bogor : Institut Pertanian Bogor. 67 Hal. Ruivo, M. 1959. Discussion of Fish Attraction. In Modern Fishing Gear of the World. Edited by H. Kristjonson. FAO. London : Fishing News Books, Ltd. P.571-574. Santoso, S. 2003. Mengatasi Berbagai Masalah Statistik dengan SPSS Versi 11.5. PT.Elex Media Komputindo. Jakarta : Kelompok Gramedia. 591 Hal. Sawada, T. 1980. Fishes in Indonesia (With Illustrations). Japan : Japan International Cooperation Agency. Sondita. M.F.A. 1986. Studi Tentang Peranan Pemikatan Ikan dalam Operasi Purse Seine Milik PT. Tirta Raya Mina (Persero), Pekalongan. Skripsi [Tidak Dipublikasikan]. Fakultas Perikanan. Bogor : Institut Pertanian Bogor. 78 hal. Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan oleh Bambang Sumantri. Cetakan ke-2. Jakarta : PT. Gramedia. 748 hal. Subani, W. 1986. Telaah Penggunaan Rumpon dan Payaos dalam Perikanan Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. No. 35. Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta
: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. 45.
Hal : 35-
Subani, W. dan H.R. Barus. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut di Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. No. 50. Jakarta : BPPL-BPPP. Departemen Pertanian. Takayama, S. 1959. Fishing with Light in Japan. Bangkok : IPFC. Proch. 6th Sess, Tokyo, Japan. Sect. II and III IPFC Secr., FAO. Tim Pengkajian Rumpon Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. 1987. Laporan Akhir Survai Lokasi dan Desain Rumpon di Perairan Ternate, Tidore, Bacan, dan sekitarnya. Laporan [Tidak Dipublikasikan]. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Hal : V.54-58. Yusfiandayani, R. 2003. Studi Mekanisme Berkumpulnya Ikan Pelagis Kecil di Sekitar Rumpon dan Model Pengembangan Perikanannya. Disertasi [Tidak Dipublikasikan]. Sekolah Pascasarjana. Bogor : Institut Pertanian Bogor. 229 hal. Zulkarnain. 2002. Studi Penggunaan Rumpon Pada Bagan Apung di Teluk Pelabuhanratu, Jawa Barat. Thesis [Tidak dipublikasikan]. Program Pascasarjana. Bogor : Institut Pertanian Bogor. 116 Hal.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Peta lokasi penelitian
Sumber : Laboratorium PKSPL - IPB tahun 2005
Lampiran 2 Tanggal operasi penangkapan kedua kelong tancap, dan umur bulan Ulangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Tanggal 09 Juli 2004 10 Juli 2004 11 Juli 2004 12 Juli 2004 13 Juli 2004 14 Juli 2004 15 Juli 2004 16 Juli 2004 17 Juli 2004 18 Juli 2004 19 Juli 2004 21 Juli 2004 22 Juli 2004 23 Juli 2004 24 Juli 2004 26 Juli 2004
Umur Bulan 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 1 3 4 5 6 8
Lampiran 3
Ulangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Hasil tangkapan per trip kelong tancap dengan rumpon dan kelong tancap tanpa rumpon
Tanggal 09 Juli 2004 10 Juli 2004 11 Juli 2004 12 Juli 2004 13 Juli 2004 14 Juli 2004 15 Juli 2004 16 Juli 2004 17 Juli 2004 18 Juli 2004 19 Juli 2004 21 Juli 2004 22 Juli 2004 23 Juli 2004 24 Juli 2004 26 Juli 2004 Total Rata-Rata (kg/trip)
Hasil tangkapan per trip dengan rumpon tanpa rumpon (kg) (%) (kg) (%) 35,40 3,26 28,70 4,290 31,10 2,86 27,30 4,081 26,30 2,42 23,10 3,453 43,90 4,04 45,70 6,832 88,70 8,16 37,80 5,651 82,50 7,59 24,60 3,677 78,70 7,24 37,20 5,561 176,80 16,27 92,35 13,805 116,40 10,71 76,60 11,451 107,20 9,86 80,70 12,064 31,50 2,90 33,10 4,948 36,15 3,33 34,80 5,202 34,40 3,16 27,20 4,066 33,40 3,07 29,00 4,335 111,20 10,23 33,30 4,978 53,25 4,90 37,50 5,606 1086,90 100 668,95 100 67,93 41,81
Beda hasil tangkapan per trip (kg/trip) 6,70 3,80 3,20 -1,80 50,90 57,90 41,50 84,45 39,80 26,50 -1,60 1,35 7,20 4,40 77,90 15,75 417,95 26,12
Lampiran 4 Rata-rata hasil tangkapan per hauling setiap trip kelong tancap dengan rumpon dan kelong tancap tanpa rumpon
Trip ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Hasil tangkapan rata-rata per hauling dengan rumpon tanpa rumpon (kg/haul) (kg/haul) 5,900 7,175 6,220 5,460 4,383 4,620 8,780 9,140 17,740 6,300 16,500 6,150 13,117 7,440 35,360 23,088 23,280 19,150 17,867 20,175 6,300 6,620 9,038 8,700 8,600 9,067 8,350 9,667 18,533 8,325 10,650 9,375
Beda rata-rata hasil tangkapan per hauling (kg/haul) -1,275 0,760 -0,237 -0,360 11,440 10,350 5,677 12,273 4,130 -2,308 -0,320 0,337 -0,467 -1,317 10,208 1,275
Lampiran 5 Jumlah hauling kelong tancap dengan rumpon dan kelong tancap tanpa rumpon
Ulangan 1
Jumlah hauling kelong tancap dengan rumpon tanpa rumpon 6
4
2 3 4
5 6 5
5 5 5
5 6 7
5 5 6
6 4 5
8 9 10
5 5 6
4 4 4
11 12 13
5 4 4
5 4 3
14 15 16
4 6 5
3 4 4
82
69
Total
Lampiran 6 Frekuensi hauling kelong tancap dengan rumpon dan kelong tancap tanpa rumpon
Jumlah hauling/trip 1 2 3 4 5 6 total
dengan rumpon
tanpa rumpon 0 3 8 5 16
2 8 5 1 16
Lampiran 7
Ulangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Hasil uji kenormalan data hasil tangkapan kelong tancap dengan rumpon
Yi 5,900 6,220 4,383 8,780 17,740 16,500 13,117 35,360 23,280 17,867 6,300 9,038 8,600 8,350 18,533 10,650
Yi^2 34,810 38,688 19,214 77,088 314,708 272,250 172,047 1250,330 541,958 319,218 39,690 81,676 73,960 69,723 343,472 113,423
zi -0,894 -0,855 -1,081 -0,540 0,563 0,411 -0,006 2,733 1,245 0,579 -0,845 -0,508 -0,562 -0,593 0,661 -0,309
F(zi) 0,199 0,210 0,187 0,312 0,734 0,681 0,520 0,998 0,906 0,739 0,212 0,324 0,304 0,294 0,326 0,509
S(zi) 0,063 0,125 0 0,375 0,688 0,625 0,563 0,938 0,875 0,750 0,188 0,438 0,313 0,250 0,813 0,500
F(zi)-S(zi) 0,136 0,085 0,187 0,063 0,047 0,056 0,043 0,060 0,031 0,011 0,025 0,114 0,008 0,044 0,487 0,009
L = F (zi) – S (zi) • L maks = 0,487 • L tabel (L0,01.16 ) = 0,25 • karena L maks > L tab, maka tolak Ho, artinya data hasil tangkapan kelong tancap dengan rumpon tidak menyebar normal.
Lampiran 8
Ulangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Hasil uji kenormalan data hasil tangkapan kelong tancap tanpa rumpon
Yi 7,175 5,460 4,620 9,140 6,300 6,150 7,440 23,088 19,150 20,175 6,620 8,700 9,067 9,667 8,325 9,375
Yi^2 51,481 29,812 21,344 83,540 39,690 37,823 55,354 533,033 366,723 407,031 43,824 75,690 82,204 93,444 69,306 87,891
zi -0,630 -0,936 -1,087 -0,278 -0,786 -0,813 -0,582 2,216 1,512 1,695 -0,729 -0,357 -0,291 -0,184 -0,424 -0,236
F(zi) 0,218 0,137 0,107 0,338 0,372 0,659 0,233 0,984 0,922 0,946 0,190 0,309 0,333 0,374 0,285 0,354
S(zi) 0,313 0,063 0 0,625 0,188 0,125 0,375 0,938 0,813 0,875 0,250 0,500 0,563 0,750 0,438 0,688
F(zi)-S(zi) 0,094 0,075 0,107 0,287 0,184 0,534 0,142 0,046 0,109 0,071 0,060 0,191 0,229 0,376 0,152 0,333
L = F (zi) – S (zi) • L maks = 0,5337 • L tabel (L0,01.16 ) = 0,25 • karena L maks > L tab, maka tolak Ho, artinya data hasil tangkapan kelong tancap dengan rumpon tidak menyebar normal.
Lampiran 9 Hasil analisis uji Wilcoxon terhadap hasil tangkapan antara kelong tancap dengan rumpon dan kelong tancap tanpa rumpon menggunakan program SPSS (Statistical Product and Service Solution) Versi 11,5 NPar Tests Descriptive Statistics
DENGAN TANPA
N
Mean
Std. Deviation
16 16
67.9 44.9
43.182 21.452
Minimum
Maximum
26.3 23.1
176.8 92.35
25th 33.65 28.78
Percentiles 50th (Median) 48.58 36.00
Wilcoxon Signed Ranks Test Ranks TANPA - DENGAN
a b c
Negative Ranks Positive Ranks Ties Total
N 14 2 0 16
TANPA < DENGAN TANPA > DENGAN DENGAN = TANPA
Test statisticsb TANPA - DENGAN Z -3.258 Asymp. Sig. (2-tailed) 0.001
a b
Based on positive ranks. Wilcoxon Signed Ranks Test
Mean Rank 9.36 2.5
Sum of Ranks 131.00 5.00
75th 102.57 57.00
Lampiran 10
Hasil analisis uji Wilcoxon terhadap jumlah hauling antara kelong tancap dengan rumpon dan kelong tancap tanpa rumpon menggunakan program SPSS (Statistical Product and Service Solution) Versi 11,5
NPar Tests
Descriptive Statistics
DENGAN TANPA
N
Mean
Std. Deviation
Minimum
Maximum
16 16
5.13 4.31
0.7188 0.7932
4 3
6 6
25th 5 4
Percentiles 50th (Median)
Wilcoxon Signed Ranks Test Ranks TANPA - DENGAN
a b c
Negative Ranks Positive Ranks Ties Total
N 11 1 4 16
TANPA < DENGAN TANPA > DENGAN DENGAN = TANPA
Test Statisticsb TANPA - DENGAN Z -2.804 Asymp. Sig. (2-tailed) 0.005
Mean Rank 6.64 5
Sum of Ranks 73 5
5 4
75th 6 5
Lampiran 11 Atraktor daun kelapa (pelepah kecil), dan atraktor lampu petromaks 2 buah
Atraktor daun kelapa
Atraktor lampu petromaks
Lampiran 12 Hasil tangkapan kelong tancap
Ikan hasil tangkapan pada saat sedang hauling
Ikan kembung, selar, tembang, dan talang-talang
Ikan bandeng
Lanjutan
kepiting bakau
Ikan parang-parang, kembung dan cumi-cumi
Lampiran 13 Dokumentasi selama penelitian berlangsung
Kelong tancap di lokasi penelitian
Tahapan pembuatan dan pemasangan rumpon