1
PENALARAN KOVARIASIONAL SISWA KELAS VIIIB MTs NEGERI KEDIRI 1 DALAM MENGONSTRUK GRAFIK FUNGSI Ulumul Umah1, Abdur Rahman As’ari2, I Made Sulandra3 Universitas Negeri Malang E-mail:
[email protected],
[email protected],
[email protected] ABSTRACT: The purpose of this study is to describe the process of covariational reasoning of students in VIIIB class of MTs Negeri Kediri 1 while constructing the graph of function. This study reveals that the subjects were able to exhibit mental action of initial coordination (MA1), direction of changes coordination (MA2), and had some difficulties in doing mental action of amount of change coordination (MA3). Generally, subjects were constructing their argument of mental action inductively. Subjects also indicated the pseudo behavior of reasoning in constructing the graph. This study reveals that subjects had difficulty in translating the real situation into mathematical representations in covariation problems. Keywords: Covariational Reasoning, Grade VIII Students, Graph of Function. ABSTRAK: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses penalaran kovariasional siswa kelas VIIIB MTs Negeri Kediri 1 dalam mengonstruk grafik fungsi. Penelitian ini mengungkapkan bahwa subjek dapat menunjukkan aksi mental koordinasi awal (MA1), koordinasi arah perubahan (MA2), dan mengalami kesulitan dalam melakukan aksi mental koordinasi besar perubahan (MA3). Secara umum, subjek membangun argumen aksi mental mereka secara induktif. Subjek juga mengindikasikan perilaku pseudo penalaran dalam mengonstruk grafik. Penelitian ini mengungkapkan bahwa subjek mengalami kesulitan menerjemahkan situasi nyata pada masalah kovariasi ke dalam representasi matematis. Kata Kunci: Penalaran Kovariasional, Siswa Kelas VIII, Grafik Fungsi.
Pemahaman siswa terhadap konsep fungsi yang lemah akan menyebabkan siswa kesulitan dalam menyelesaikan masalah kalkulus, terutama pada masalah yang tidak rutin. Tall (1997) menyatakan bahwa fungsi merepresentasikan tentang bagaimana sesuatu berubah dan dengan makna ini secara natural mengantarkan pada konsep-konsep kalkulus tentang laju perubahan
(differensiasi)
dan pertumbuhan
kumulatif
(integrasi).
Carlson
(1998)
memaparkan aspek-aspek dalam pemahaman fungsi, antara lain meliputi kemampuan mengkarakterisasi hubungan fungsional “dunia nyata” menggunakan notasi fungsi; bekerja dengan tipe representasi fungsi tertentu seperti rumus, tabel, atau grafik; berpindah dari representasi yang berbeda untuk fungsi yang sama; serta merepresentasikan dan menginterpretasikan aspek-aspek kovarian dari situasi fungsi (yaitu mengenali dan mengkarakterisasi bagaimana perubahan dalam satu variabel mempengaruhi perubahan dalam variabel lain). Meskipun pemahaman konsep fungsi menjadi dasar bagi pemahaman konsep-konsep dalam kalkulus, hasil penelitian sebelumnya (Carlson, 1998; Breidenbach et al, 1992; Dubinsky & Harel, 1992; Monk, 1992; Thompson, 1994) menunjukkan bahwa siswa pada umumnya memasuki universitas dengan sedikit, bahkan tidak mempunyai, konsep
2 fungsi dan mereka kesulitan dalam membayangkan dan mengoordinasikan perubahan dua variabel secara simultan. Pembelajaran pada materi fungsi saat ini didominasi oleh pendekatan korespondensi. Pendekatan korespondensi berdasarkan pada definisi fungsi sebagai relasi antara dua himpunan, yaitu domain dan range, sehingga untuk setiap x anggota domain, terdapat tepat satu y anggota range. Thompson (1994) menyatakan bahwa definisi teoritis himpunan ini mendapat banyak kritik dalam landasan pedagogik, karena definisi ini bermakna hanya bagi orang yang menyadari masalah yang diselesaikan tetapi tidak bermakna bagi siswa yang menerima fungsi sebagai suatu ide baru. Confrey & Smith (1995) berpendapat bahwa pendekatan korespondensi berdasarkan pada definisi fungsi yang abstrak dan agak sempit dan lebih banyak menekankan pada aturan secara eksplisit (biasanya secara aljabar). Penekanan pada pendekatan korespondensi dapat menyebabkan siswa lebih berfokus pada aturan dan rumus untuk mendeskripsikan bagaimana memperoleh nilai output dari nilai input yang diketahui karena siswa lebih banyak diberi sajian notasi, manipulasi, dan rumus fungsi. Berbeda dengan pendekatan korespondensi, pendekatan kovariasi merujuk pada kemampuan untuk membentuk gambaran dua kuantitas yang bervariasi dan mengkoordinasi perubahannya dalam relasi satu sama lain. Pendekatan kovariasi lebih menekankan ekspresi “hubungan” antara dua kuantitas terstruktur yang dapat diekspresikan secara aljabar, secara visual dalam grafik, atau dalam situasi dunia nyata. Berdasarkan kesulitan siswa pada pemahaman tentang fungsi dan koordinasi perubahan dalam variabel, para peneliti (Confrey & Smith, 1995; Koklu, 2007; Bishop & John, 2008) menyarankan bahwa pengenalan konsep fungsi sebagai kovariasi perlu dimulai pada tingkat pendidikan yang lebih awal. Siswa juga perlu diberi kesempatan lebih untuk bekerja dengan konsep laju perubahan melalui masalah yang berkaitan dengan kovariasi. Kaput (1999) juga menyarankan bahwa pendekatan konsep fungsi dapat diperoleh pada tingkat pendidikan awal dengan menggunakan kuantitas yang familiar bagi siswa yang berubah sepanjang waktu tertentu, misalnya jarak yang berubah terhadap waktu, dan merepresentasikannya secara gambar dan grafik berbasis waktu. Meskipun pendekatan kovariasi memiliki banyak keuntungan bagi siswa pada level awal, namun Thompson (1994) juga memberikan pandangan tentang keterbatasan dalam pemahaman non-korespondensi terhadap fungsi. Keterbatasan tersebut menyangkut banyak kejadian natural yang tidak dapat dinyatakan secara analitis atau dibayangkan sebagai hasil kovariasi tetapi kita masih akan menyebutnya sebagai fungsi (misalnya nama orang dengan nomor pribadi dalam relasi database). Oleh karena itu, Thompson (1994) menyarankan suatu kurikulum yang
3 menekankan
fungsi
sebagai
kovariasi
lebih
awal,
yaitu
pada
K-14,
kemudian
memperkenalkan fungsi sebagai korespondensi seiring munculnya kebutuhan. Kemampuan penalaran tentang kovariasi didefinisikan secara formal oleh Carlson et al (2002) sebagai aktivitas kognitif yang melibatkan pengkoordinasian dua macam kuantitas yang berkaitan dengan cara-cara dua kuantitas tersebut berubah satu terhadap yang lain, dan mereka menyebutnya dengan istilah “penalaran kovariasional”. Carlson et al (2002) mengidentifikasi bagaimana penalaran kovariasional mahasiswa mempengaruhi kemampuan mereka dalam menciptakan “sense” dari situasi dinamis, menginterpretasikan grafik, dan membuat grafik. Secara khusus, mereka mengidentifikasi aksi-aksi mental yang dilibatkan ketika mahasiswa mengkoordinasi kuantitas yang bervariasi serta mendeskripsikannya dalam kerangka kerja kovariasi yang disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Aksi Mental Kerangka Kerja Kovariasi (Carlson et al; 2002) Aksi mental Aksi Mental 1 (MA1) Aksi Mental 2 (MA2) Aksi Mental 3 (MA3) Aksi Mental 4 (MA4) Aksi Mental 5 (MA5)
Saldanha &
Deskripsi aksi mental Mengkoordinasi nilai satu variabel dengan perubahan pada variabel lain Mengkoordinasi arah perubahan satu variabel dengan perubahan variabel lain Mengkoordinasi besarnya perubahan satu variabel dengan perubahan variabel lain Mengkoordinasi laju perubahan rata-rata fungsi dengan peningkatan yang seragam dari perubahan variabel input Mengkoordinasi laju perubahan sesaat dari fungsi dengan perubahan kontinu pada variabel independen untuk seluruh domain fungsi
Thompson (1998)
melaporkan bahwa
siswa
kelas 8 dapat
mengkoordinasikan gambaran dua kuantitas yang bervariasi secara individu dan simultan dengan rumit. Pada level sekolah menengah, hasil penelitian Johnson (2012) menunjukkan bahwa penalaran kovariasional dan transformasional mendukung perhatian terhadap intensitas perubahan kuantitas yang dilibatkan dalam laju perubahan. Sementara itu, Bishop & John (2008) mendeskripsikan tentang bagaimana mengajarkan fungsi parametrik dengan pendekatan kovariasi pada siswa sekolah menengah. Storm (2006) menemukan bahwa guru SMA IPA dalam penelitiannya menggunakan penalaran kovariasional secara minim ketika berhubungan dengan ide-ide eksponensial. Temuan lain oleh Zeytun (2010) menunjukkan bahwa tidak hanya kemampuan penalaran kovariasional guru yang lemah dan dangkal tetapi juga prediksi mereka tentang kemampuan penalaran siswa dibatasi oleh pikiran mereka sendiri terkait dengan masalah yang mereka berikan.
4 Pada perguruan tinggi, Carlson et al (2002), Koklu (2007), dan Moore & Bowling (2008) menemukan bahwa mayoritas mahasiswa kesulitan menunjukkan perilaku penalaran kovariasional yang lebih tinggi dari level arah (Level 2) dan koordinasi kuantitatif (Level 3). Pada penelitian Carlson et al (2002), mayoritas mahasiswa kalkulus semester dua dapat secara konsisten mengkoordinasi besar dan arah perubahan, tetapi tidak dapat secara konsisten
mengkoordinasi
perubahan
dalam
rata-rata
laju
perubahan,
kesulitan
mengkoordinasi laju perubahan sesaat, serta kesulitan menjelaskan mengapa suatu kurva mulus dan bagaimana kecekungan pada grafik. Koklu (2007) mengungkapkan bahwa kecenderungan prosedural siswa yang terlalu kuat menghambat penalaran dan interpretasi yang bermakna tentang perubahan dalam situasi fungsi. Subanji (2006) mengkaji terjadinya berpikir pseudo penalaran kovariasional (penalaran semu) pada mahasiswa saat mengonstruk grafik fungsi kejadian dinamik. Pseudo penalaran mempunyai dua bentuk yaitu pseudo “benar” dan pseudo “salah”. Pada pseudo “benar” siswa nampak memberikan jawaban yang benar tetapi jawaban benar tersebut tidak diperoleh melalui proses penalaran. Pada pseudo “salah” siswa sebenarnya dapat berpikir dengan proses yang benar tetapi karena ia tidak melakukan refleksi terhadap hasil kerjanya sehingga ia menghasilkan jawaban yang salah dan setelah melakukan refleksi ia dapat memberikan jawaban yang benar. Saat melakukan penalaran, siswa mengembangkan argumen-argumen untuk meyakinkan orang lain atau diri mereka sendiri dari klaim tertentu (Brodie, 2010: 7). NCTM (2009: 10-11) memaparkan bahwa penalaran dalam matematika memerlukan peningkatan tingkat pemahaman, yaitu mulai dari penalaran empiris, pra formal, dan formal. Tingkatan tersebut menunjukkan kemajuan dari penalaran kurang formal ke penalaran yang lebih formal. Siswa dapat terus bergeser di antara tingkat ini, bahkan dalam konteks matematika yang sama. NCTM (2002: 262) menjelaskan bahwa meskipun argumen matematis pada level sekolah menengah kurang formal dan seringkali sulit dikaitkan dengan pembuktian matematis, hal ini tetap memberikan keunggulan meliputi merumuskan dugaan yang masuk akal, menguji dugaan, dan menunjukkan penalaran untuk dievaluasi oleh orang lain. Penelitian ini berfokus pada penalaran kovariasional siswa kelas VIII karena siswa mulai mengenal konsep fungsi secara formal pada kelas VIII, namun sebagian besar penelitian tentang penalaran kovariasi mengkaji penalaran mahasiswa di perguruan tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses penalaran siswa dari kelas VIIIB MTs Negeri Kediri 1 saat menyelesaikan masalah kovariasi dalam konteks grafik fungsi. Secara lebih rinci, tujuan penelitian ini adalah (1) mengidentifikasi aksi mental kovariasional yang
5 ditunjukkan siswa saat mengonstruk grafik fungsi, (2) mendeskripsikan komponen pembentuk argumen siswa yang mendukung setiap aksi mental kovariasional yang ditunjukkannya, dan (3) mendeskripsikan pengaitan komponen-komponen pembentuk argumen siswa dalam setiap aksi mental kovariasional yang ditunjukkannya.
METODE Penelitian dilaksanakan di MTs Negeri Kediri 1 terhadap 4 siswa dari kelas 8B. Siswa pada penelitian ini telah mempelajari materi grafik fungsi. Untuk menentukan subjek penelitian, siswa kelas 8B MTs Negeri Kediri 1 diminta untuk menyelesaikan masalah kovariasi. Berdasarkan hasil kerja siswa, peneliti mengelompokkan jenis respon siswa berdasarkan indikasi awal level penalaran siswa. Hasil kerja siswa menghasilkan 3 kelompok level penalaran. Peneliti memilih 4 siswa dari ketiga level tersebut yang masing-masing memiliki karakteristik grafik yang berbeda. Pemilihan subjek dari setiap level ini berdasarkan pada pertimbangan tentang kemampuan komunikasi siswa dan peneliti memilih jawaban yang relatif lebih relevan dengan informasi pada soal. Selanjutnya peneliti melakukan wawancara terhadap keempat subjek. Wawancara dilakukan terhadap subjek untuk menngklarifikasi data dan mendapatkan data yang lebih lengkap. Wawancara diarahkan untuk menyelidiki adanya pseudo penalaran/penalaran semu serta memberikan scaffolding agar subjek merefleksi jawabannya dengan tujuan untuk mengetahui kemampuan penalaran subjek yang sesungguhnya karena adanya pseudo penalaran memungkinkan subjek memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan kemampuan penalarannya. Data dalam penelitian ini berupa kata-kata dan catatan perilaku subjek saat dihadapkan pada masalah kovariasi. Data diperoleh dari respon tertulis dan catatan lapangan selama siswa menyelesaikan tugas kovariasi, serta hasil wawancara. Data dari respon tertulis saat menyelesaikan tugas kovariasi terdiri dari gambar grafik dan penjelasan tertulis oleh subjek penelitian. Data dari catatan lapangan terdiri dari catatan perilaku dan pernyataan verbal yang terekam selama subjek menyelesaikan tugas kovariasi yang dapat diperoleh dengan metode Think Aloud (meminta siswa menyatakan secara keras tentang apa yang dipikirkannya). Hasil wawancara meliputi klarifikasi jawaban siswa serta respon siswa ketika diberi scaffolding. Instrumen utama penelitian ini adalah peneliti yang dipandu dengan instrumen lembar tugas masalah kovariasi. Peneliti bertindak sebagai instrumen utama penelitian yang mengumpulkan data, menganalisis data, menafsirkan data, dan melaporkan hasil penelitian. Instrumen lembar tugas yang digunakan dalam penelitian ini diadopsi dari masalah kovariasi
6 oleh Koklu (2007). Lembar tugas digunakan untuk mengetahui aksi-aksi mental seperti pada kerangka kerja penalaran kovariasional yang ditunjukkan siswa terhadap tugas kovariasi yang diberikan. Instrumen lembar tugas memuat masalah kovariasi yang ditunjukkan pada Gambar1. Dua orang berada di sudut ruangan yang berseberangan dan berjalan ke arah satu sama lain. Mereka berjalan mendekat, berpapasan, dan kemudian saling menjauh. Gambarkan suatu grafik yang menunjukkan hubungan jarak kedua orang tersebut terhadap waktu, jika: a) mereka berjalan dengan kecepatan tetap sepanjang perjalanan. b) mereka berjalan melambat seiring keduanya mendekat, berpapasan, dan kemudian semakin cepat seiring keduanya saling menjauh Berikan penjelasan tentang grafikmu!
Gambar 1. Kedua orang berjalan ke arah satu sama lain
Gambar 2. Kedua orang berjalan saling menjauh setelah berpapasan
Gambar 1. Masalah Kovariasi
Sesuai dengan tujuan penelitian, teknik analisis data kualitatif digunakan dalam penelitian ini. Peneliti menganalisis setiap ucapan, perbuatan dan respon tertulis siswa yang mendukung penalaran tentang aspek kovariasi. Analisis data meliputi langkah mentranskrip data yang terkumpul, menelaah mereduksi data dengan membuat abstraksi, menyusun setiap bagian data dalam satuan dan dikategorisasikan dengan membuat coding, membuat skema struktur penalaran kovariasional siswa, menganalisis hal-hal menarik, serta membuat kesimpulan. Analisi data dilakukan selama penelitian saat pengambilan data secara simultan maupun sesudah pengambilan data. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan kategori aksi mental yang telah dibangun dan didefinisikan oleh Carlson dkk (2002), sedangkan kategori komponen argumen beserta pengaitannya dibuat berdasarkan kerangka model argumen Toulmin dalam Inglis dkk (2007). Model argumen Toulmin merupakan suatu kerangka untuk menganalisis struktur argumen yang berbeda dengan pendekatan logika formal. Pendekatan yang digunakan oleh Toulmin akan berguna untuk menganalisis bentuk argumen yang kurang formal seperti pada siswa tingkat SMP/MTs. Model argumen Toulmin terdiri dari enam komponen terkait seperti pada Gambar 2.
7
R Q
D W
C
Keterangan D : Data B : Backing W : Warrant Q : Qualifier R : Rebuttal C : Conclusion/Claim
B Gambar 2.2 Model Argumen Umum Toulmin (Sumber: Inglis, 2007)
HASIL DAN PEMBAHASAN Keempat subjek penelitian ini dapat menunjukkan aksi mental 1 (MA1) dan aksi mental 2 (MA2) yang berarti subjek memiliki kemampuan penalaran kovariasional pada Level Arah (Level 2). Aksi mental 3 (MA3) dapat ditunjukkan oleh subjek 1, 2, dan 3 yang berarti hanya sebagian subjek memiliki kemampuan penalaran kovariasional pada Level Koordinasi Kuantitatif (Level 3). Aksi mental 4 (MA4) dan aksi mental 5 (MA5) tidak dapat ditunjukkan oleh semua subjek dalam penelitian. Temuan ini melengkapi dan tampak mendukung temuan terdahulu oleh para peneliti (Carlson dkk (2002), Koklu (2007), dan Moore & Bowling (2008)) yang menemukan bahwa pada level perguruan tinggi mayoritas mahasiswa kesulitan menunjukkan perilaku penalaran kovariasional yang lebih tinggi dari level arah (Level 2) atau koordinasi kuantitatif (Level 3). Semua subjek dalam penelitian ini melakukan pseudo penalaran. Subjek menunjukkan adanya aksi-aksi mental penalaran kovariasional melalui pengucapannya tetapi menghasilkan grafik yang salah dan tidak sesuai dengan level penalarannya. Setelah melakukan refleksi dalam wawancara, subjek menyadari kesalahannya dan mampu mengonstruk grafik yang sesuai dengan penalaran yang teridentifikasi melalui ucapannya. Meskipun subjek masih menghasilkan grafik yang kurang tepat setelah refleksi, tetapi grafik tersebut relevan dengan level penalaran subjek. Sebagai contoh, subjek 1 dan subjek 3 mengekspresikan penalaran kovariasional level 3 secara lisan tetapi grafik yang dibuatnya salah dan tidak mencerminkan penalaran kovariasional level 3. Setelah subjek melakukan refleksi, ia belum dapat mengonstruk grafik yang benar tetapi mencerminkan penalaran level 3, sementara grafik yang benar dapat dibuat ketika penalaran siswa mencapai level 5. Dengan demikian, perilaku pseudo berpikir subjek tergolong pseudo “salah”. Berdasarkan indikator yang ditunjukkan subjek, menurut teori berpikir pseudo penalaran kovariasional Subanji (2011), terjadinya proses berpikir pseudo subjek disebabkan oleh ketidaksesuaian penggunaan substruktur berpikir dalam proses asimilasi atau akomodasi. Kesalahan subjek secara umum disebabkan
8 oleh kesulitan dalam memahami masalah dan kesulitan membedakan antara atribut visual dari situasi fisik dan atribut visual dari grafik. Meskipun sebagian subjek dapat melakukan MA3, tetapi mereka masih mengalami kesulitan dalam melakukan aksi mental ini. Sebagai contoh, S1 dan S2 harus merefleksi pemikirannya beberapa kali untuk dapat mengkoordinasikan besar perubahan dengan benar. Subjek kadang mengganti peran variabel bebas dan variabel terikat beberapa kali selama mendiskusikan pemikiran mereka untuk mengonstruk grafik dalam tugas kovariasi, terutama ketika mengkoordinasikan besar perubahan untuk kasus kondisi kecepatan yang berubah. Perilaku subjek yang mengganti peran variabel seperti itu juga dilakukan oleh sebagian mahasiswa dalam penelitian Carlson dkk (2002). Indikator terjadinya MA4 tidak muncul pada pengucapan maupun perilaku subjek. Aksi mental 4 ini memerlukan kemampuan yang baik untuk memahami situasi fungsional secara dinamis. Pengalaman subjek dalam konsep fungsi yang telah ia pelajari tampaknya tidak memberikan pandangan dinamis terhadap fungsi karena subjek berfokus pada tiap titik koordinat. Jenis berpikir pseudo lain juga muncul selama penelitian. S1 mengonstruk grafik berupa kurva mulus yang merupakan salah satu indikasi terjadinya aksi mental 5, namun ia tidak dapat menunjukkan bahwa ia sedang bernalar melainkan hanya menggunakan ingatan prosedural untuk menghubungkan titik-titik. Setelah melakukan refleksi, indikator kurva mulus ini tidak nampak pada grafik yang dihasilkan S1.
Gambar 3. Grafik untuk kondisi kecepatan berubah yang dihasilkan S1 sebelum refleksi
9
Gambar 4. Grafik untuk kondisi kecepatan berubah yang dihasilkan S1 setelah refleksi
Pada saat refleksi, S1 mengonstruk kembali grafik tanpa bantuan penggaris sehingga ia tidak dapat membuat interval-interval pada sumbu koordinat dengan panjang yang tepat, yang menyebabkan kurangnya keakuratan posisi titik koordinat. S1 memberikan konfirmasi bahwa jawaban awalnya merupakan jawaban yang salah setelah ia gagal membentuk kurva mulus dari titik-titik koordinat yang telah ia tentukan. Perilaku siswa tersebut tergolong dalam pseudo analitik, yaitu proses berpikir yang nampak seperti penalaran tetapi sebenarnya bukan merupakan proses penalaran. Perilaku pseudo analitik MA5 juga muncul dalam penelitian Carlson et al (2002). Perilaku dan proses berpikir pseudo ini menurut Carlson et al (2002) tidak selalu bersifat negatif dan mungkin merupakan hasil dari suatu spontanitas alami tetapi merupakan asosiasi yang tidak terkontrol. Siswa menggunakan analogi dari beberapa kasus sehingga memperoleh kesimpulan dalam membangun argumennya. Keyakinan terhadap kesimpulan dipengaruhi oleh penggunaan contoh. Siswa dalam penelitian ini menggunakan strategi contoh pendukung. Cooper et al (2011) menemukan bahwa pendekatan empiris, yaitu melalui contoh kasus, merupakan pendekatan yang paling umum digunakan oleh siswa sekolah menengah untuk menunjukkan kebenaran suatu dugaan matematis. Strategi induktif empiris dapat berdampingan dan melengkapi strategi deduktif formal dan penggunaan contoh strategis mungkin penting pada tahap awal justifikasi matematika.
Gambar 5. Penjelasan tertulis salah satu subjek yang menunjukkan cara berpikir induktif
10 NCTM (2009: 10-11) memaparkan bahwa penalaran tingkat awal bersifat empiris, yaitu mendukung suatu dugaan “bekerja dalam beberapa kasus” yang tercermin dalam strategi induktif. Pada level pendidikan yang lebih tinggi dari SMP/MTs, yaitu SMA, Istiqomah & Siswanto (2013) menemukan bahwa siswa pada umumnya menggunakan jenis penalaran induktif saat mengonstruk grafik dan hanya siswa dengan level kemampuan tinggi menggunakan penalaran induktif disertai penalaran deduktif. Berdasarkan temuan Istiqomah & Siswanto (2013), maka wajar jika siswa tingkat SMP/MTs hanya menggunakan penalaran induktif saat mengonstruk grafik. Meskipun argumen subjek didukung oleh beberapa kasus, subjek tidak menunjukkan antisipasi terhadap penolakan klaim dengan contoh penyangkal. Peran rebuttal, yaitu memperhatikan kondisi yang membatasi jangkauan argumen, belum nampak pada argumen subjek sehingga komponen modal qualifier dalam argumen subjek kurang signifikan. Inglis dkk (2007) mengungkapkan pentingnya peran rebuttal dan modal qualifier dalam membangun argumen berdasarkan penyelidikannya terhadap argumen non formal yang dibangun oleh matematikawan profesional. Meskipun terdapat penelitian-penelitian sebelumnya yang membatasi skema argumentasi Toulmin dengan menghilangkan komponen rebuttal dan modal qualifier karena dianggap kurang relevan dalam beberapa argumen matematika, Inglis dkk (2007) membuktikan bahwa kedua komponen tersebut berpotensi membedakan antara matematikawan ahli dengan pemula dalam menggunakan argumen non formal. Menurut Inglis dkk (2007), seorang ahli cenderung memberikan perhatian terhadap komponen rebuttal dan modal qualifier untuk meyakinkan diri terhadap klaimnya. Dalam hal peran rebuttal dan modal qualifier, peneliti menyetujui pendapat Inglis dkk (2007). Seseorang pada level yang lebih ahli dalam matematika akan melihat kembali kemungkinankemungkinan yang dapat menyangkal klaimnya, namun siswa tingkat menengah pertama belum memiliki banyak pengalaman dalam berargumen matematis. Dalam lingkup masalah kovariasi pada penelitian ini, keberadaan rebuttal dan modal qualifier juga tidak memberikan peran yang signifikan terhadap kesimpulan siswa serta sulit diidentifikasi ketika siswa tidak menyatakannya secara eksplisit. Masalah kovariasi yang dapat mengungkapkan komponen argumen rebuttal dan modal qualifier siswa perlu menjadi pertimbangan pada penelitian lanjutan. Tipe penalaran yang ditunjukkan subjek menunjukkan bahwa pada umumnya subjek mengambil perspektif diskrit dalam penalaran kovariasional seperti pendekatan yang diperkenalkan Confrey & Smith (1994). Pendekatan diskrit berfokus pada perubahan antara nilai-nilai berturut-turut dari dua variabel. Dalam teori Saldanha & Thompson (1998),
11 gambaran tentang kovariasi bersifat berkembang dan pendekatan diskrit ini terdapat dalam awal perkembangan. Pada tahap perkembangan yang lebih tinggi kovariasi dideskripsikan menggunakan pendekatan kontinu. Dengan perspektif diskrit ini, subjek berada pada tahap awal perkembangan sehingga tidak mampu melakukan penalaran yang lebih tinggi dari level koordinasi kuantitatif (level 3) dan mengalami kesulitan dalam melakukan aksi mental 3. Dalam pandangan Confrey & Smith (1994), penalaran kovariasional merupakan proses koordinasi dua tipe perubahan secara iteratif yaitu perubahan aditif dan multiplikatif. Confrey & Harel (1994: 337-338) mendefinisikan dunia aditif sebagai dunia bilangan yang dibangun melalui membilang bilangan dan barisan aritmatika, dimana elemen yang berurutan memiliki selisih konstan. Dunia multiplikatif merupakan dunia bilangan yang dibangun melalui barisan geometris, dimana elemen yang berurutan memiliki rasio konstan. Confrey & Harel (1994: 337-338) menambahkan bahwa secara historis dunia aditif dan multiplikatif tersebut dipandang sebagai himpunan elemen diskrit, namun seiring waktu, keduanya berkembang dengan berdasarkan kepadatan bilangan rasional dan kemudian kepadatan bilangan real, sehingga pandangan tersebut menjadi kontinu. Demikian halnya dengan pandangan siswa secara diskrit terhadap perubahan perlu diarahkan agar berevolusi kepada pandangan terhadap kekontinuan seiring perkembangan kognitif siswa. Saat berhadapan dengan masalah kovariasi yang berupa situasi nyata, siswa belum dapat menerjemahkan secara menyeluruh situasi nyata ke dalam reperesentasi matematis, sehingga tidak dapat membedakan atribut visual dunia nyata dengan atribut visual grafik. Sebagai contoh, pengaruh situasi nyata nampak pada pelabelan bilangan pada intervalinterval di sumbu horisontal bidang cartesius oleh S1 dan S3 sebelum mereka merefleksi jawabannya. Hal ini menjadi hambatan bagi siswa untuk mengonstruk grafik fungsi sehingga siswa yang bernalar tentang kovariasi mungkin dapat menghasilkan grafik yang tidak tepat.
Gambar 6. Grafik untuk kondisi kecepatan tetap yang dihasilkan S1 sebelum refleksi
12
Gambar 7. Grafik untuk kondisi kecepatan tetap yang dihasilkan S3 sebelum refleksi
Jika ditinjau dari teori tiga dunia matematika Tall (2008), subjek sedang berkembang dalam dunia perwujudan. Siswa dalam dunia perwujudan mewujudkan sifat-sifat objek dalam dunia nyata yang ia bayangkan dalam pikiran. Tall (2008) menyatakan bahwa matematika sekolah dibangun dari dunia perwujudan dari konsepsi dan aksi fisik yang kemudian beralih ke dunia simbolis. Transisi berikutnya ke dunia formal dibangun berdasarkan pengalaman dari dunia perwujudan dan simbol. Perilaku subjek yang belum dapat membedakan atribut visual dunia nyata dan atribut visual grafik dengan baik dalam penelitian ini menunjukkan bahwa subjek sedang berkembang dalam dunia perwujudan dan belum dapat mencapai dunia simbolis secara sempurna. Subjek penelitian ini berada dalam fase remaja awal (usia 13-14). Remaja awal, menurut teori Piaget, berada pada awal tahap operasional formal. Pada level berpikir formal, penopang dan titik rujukan dalam bentuk konkret tidak lagi dibutuhkan (Owens, 2002), namun subjek dalam penelitian ini menunjukkan bahwa situasi konkret masih menjadi bagian dari landasan berpikirnya. Cara berpikir subjek menunjukkan bahwa mereka belum sepenuhnya mencapai tahap operasional formal. Meskipun Piaget mengidentifikasi kategori usia munculnya kemampuan kognitif dalam teori perkembangan kognitif, Ormrod (2010) mengungkapkan bahwa para peneliti menunjukkan kemungkinan pergeseran usia munculnya kemampuan-kemampuan kognitif yang disebabkan oleh faktor-faktor yang berasal dari lingkungan. Berpikir operasional formal terjadi dalam dua fase, yaitu fase asimilasi dan akomodasi. Santrock (2002) menyatakan bahwa fase asimilasi remaja awal dalam berpikir operasional formal masih dipenuhi dengan realitas. Temuan lain dalam penelitian ini mengungkapkan bahwa konstruksi grafik oleh siswa dibatasi oleh asumsi mereka. Sebagai contoh, masalah dalam tugas kovariasi tidak membatasi kondisi kecepatan kedua orang selalu sama, tetapi semua subjek tidak memunculkan kemungkinan ketika kecepatan kedua orang berbeda sehingga mereka selalu menganggap
13 kedua orang bertemu tepat di tengah ruangan. Keterbatasan asumsi ini menjadi salah satu indikator kurangnya kemampuan berpikir kritis siswa yang berarti juga kurangnya kemampuan penalaran siswa. Penalaran adalah proses berpikir yang mencakup berpikir dasar, berpikir kritis, dan berpikir kreatif (Subanji, 2011). Santrock (2002) juga menyatakan bahwa masa remaja merupakan periode transisional yang penting dalam berpikir kritis.
PENUTUP Kesimpulan Penelitian ini mengungkapkan bahwa semua subjek dapat menunjukan aksi mental koordinasi awal (MA1) dan koordinasi arah perubahan (MA2). Subjek 1, Subjek 2, dan Subjek 3 dapat menunjukkan aksi mental koordinasi besar perubahan (MA3) tetapi mereka masih mengalami kesulitan dalam melakukannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa kelas VIII dalam penelitian ini dapat melakukan penalaran kovariasional hingga level 3 (level koordinasi
kuantitatif),
namun
sebagian
siswa
masih
mengalami
kesulitan
mengkoordinasikan besar perubahan. Semua siswa dalam penelitian tidak dapat menunjukkan perilaku atau ungkapan verbal yang mendukung aksi mental 4 (koordinasi laju perubahan) dan aksi mental 5 (koordinasi perubahan laju sesaat). Subjek 1, subjek 2, dan subjek 3 mengalami berpikir pseudo penalaran kovariasional dalam melakukan aksi-aksi mental kovariasi. Saat menyelesaikan masalah kovariasi, siswa mengalami hambatan dalam memahami masalah dan menerjemahkan situasi nyata ke dalam representasi matematis. Berbeda dengan cara bernalar mahasiswa yang lebih analitis dan menggunakan pendekatan kontinu, siswa tingkat menengah pertama lebih cenderung menggunakan pendekatan diskrit. Siswa membangun argumen secara induktif. Mereka memperhatikan beberapa kasus kemudian membuat analogi dari kasus-kasus tersebut dan menjadikannya jaminan yang mengaitkan data dengan kesimpulan. Argumen siswa secara umum terdiri dari komponen-komponen Data, Backing, Warrant, dan Conclusion. Data berupa asumsi dan fakta yang diperoleh dari masalah yang disajikan. Backing berupa perhatian terhadap kasus-kasus koordinasi yang dapat diterapkan ke dalam penyelesaian masalah. Warrant berasal dari analogi dari kasus-kasus untuk digeneralisasikan. Conclusion berupa klaim yang mempengaruhi tindakan siswa dalam mengonstruk grafik. Data berupa asumsi dan informasi yang diperoleh dari masalah akan mempengaruhi tindakan siswa dalam mengonstruk grafik ketika dihubungkan oleh jaminan yang berasal dari analogi kasus-kasus yang digeneralisasikan.
14 Saran Berdasarkan teori-teori terdahulu dan temuan dalam penelitian ini, hal-hal berikut perlu menjadi perhatian guru atau pengembang kurikulum dalam merencanakan pembelajaran tentang pengenalan konsep fungsi. 1. Sesuai dengan pola penalaran siswa yang bersifat diskrit, salah satu alternatif yang dapat diterapkan ketika mengenalkan konsep fungsi dengan pendekatan kovariasi di tingkat sekolah menengah pertama yaitu memulai dengan penyajian tabel nilai kedua variabel dengan masalah yang berkaitan dengan laju perubahan. Siswa diminta mengamati sifatsifat perubahan pada kedua variabel hingga menemukan pola perubahan seperti yang dideskripsikan oleh Confrey & Smith (1994). Setelah siswa dapat bekerja dengan baik pada pendekatan diskrit ini, siswa perlu diajak berpikir dengan pendekatan kontinu dalam masalah yang berkaitan dengan laju perubahan. 2. Saat menyelesaikan masalah kovariasi, siswa sering mengalami hambatan dalam memahami masalah dan menerjemahkan situasi nyata ke dalam grafik sebagai representasi matematis. Oleh karena itu, guru perlu membiasakan siswa untuk menghadapai masalah yang berkaitan dengan laju perubahan dan merepresentasikannya ke dalam grafik. 3. Terjadinya berpikir pseudo sering terjadi karena tidak adanya refleksi ide siswa. Guru perlu melatih siswa untuk melakukan refleksi untuk setiap ide-ide mereka tentang kovariasi. Penelitian ini memiliki kelemahan meliputi keterbatasan instrumen yang hanya menggunakan satu jenis masalah kovariasi dan tidak memberikan banyak perhatian terhadap karakteristik subjek secara mendalam, seperti jenis kelamin, latar belakang sosial budaya, kemampuan matematis lain, dan gaya belajar yang mungkin mempengaruhi level penalaran siswa. Berdasarkan keterbatasan penelitian ini, peneliti menyarankan penelitian lanjutan antara lain sebagai berikut. 1. Penelitian untuk memperoleh gambaran proses penalaran siswa kelas VIII ketika siswa dihadapkan pada bentuk masalah kovariasi yang melibatkan hubungan antara volume terhadap ketinggian air, antara luas terhadap waktu, antara temperatur terhadap waktu, dan lain-lain. 2. Penelitian tentang karakterisasi faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi level penalaran kovariasional siswa.
15 DAFTAR RUJUKAN Bishop, S., & John, A. 2008. Teaching High School Student Parametric Functions Through Covariation. USA: Arizona State University (Research Paper for Masters Degree). Breidenbach, D., Dubinsky, E., Hawks, J., & Nichols, D. 1992. Development of The Process Conception of Function. Educational Studies in Mathematics, 23: 247-285. Brodie, K. 2010. Teaching Mathematical Reasoning in Secondary School Classrooms. New York: Springer. Carlson, M. 1998. A Cross-sectional Investigation of The Development of The Function Concept. Dalam E. Dubinsky, A. H. Schoenfeld, & J. J. Kaput (Eds). Research in Collegiate Mathematics Education. 1 (7): 115-162. Carlson, M., Jacobs, S., Coe, E., Larsen, S., & Hsu, E. 2002. Applying Covariational Reasoning While Modeling Dynamic Events: A Framework and a Study. Journal for Research in Mathematics Education. 33(5): 352 – 378. Castillo-Garsow, C. C. 2010. Teaching the Verhulst model: a Teaching Experiment in Covariational Reasoning and Exponential Growth. Disertasi tidak diterbitkan. USA: Arizona State University. Confrey, J., & Harel, G. 1994. The Development of Multiplicative Reasoning in Learning Mathematics. New York: State University of New York Press. Confrey, J., & Smith, E. 1994. Exponential Functions, Rate of Change, and The Multiplicative Unit. Educational Studies in Mathematics, 26: 111-134. Confrey, J., & Smith, E. 1995. Splitting, Covariation, and Their Role in The Development of Exponential Functions. Journal for Research in Mathematics Education, 26 (1): 66–86. Cooper, J. L., Walkington, C.A., Williams, C. C., Akinsiku, O. A., Kalish, C. W., Ellis, A. B., & Knuth, E. J. 2011. Adolescent Reasoning in Mathematics: Exploring Middle School Students’ Strategic Approaches in Empirical Justifications. Proceedings of the 33rd Annual Conference of the Cognitive Science Society, Boston, MA. Dubinsky, E., & Harel, G. 1992. The Nature of The Process Conception of Function. Dalam G. Harel & E. Dubinsky (Eds.), The concept of function: Aspects of epistemology and pedagogy, MAA Notes, 25, 85-106.Washington, DC: Mathematical Association of America. Inglis, M., Mejia-Ramos, J. P., & Simpson, A. 2007. Modelling Mathematical Argumentation: The Importance of Qualification. Kluwer Academic Publisher. Netherlands. Istiqomah, N., & Siswanto, T. Y. E. 2013. Penalaran Siswa dalam Menggambar Grafik Fungsi Trigonometri Ditinjau dari Perbedaan Kemampuan Siswa. MATHEdunesa, 2 (2).(Online),(http://ejournal.unesa.ac.id/index.php/mathedunesa/article/view/2703/bacaartikel), diakses 10 Mei 2014. Jacob, B., Lager, C., & Moon, K. 2009. Covariation and Function: Developing Mathematical Knowledge for Teaching in Pre-service Secondary Teachers. Center for Mathematical Inquiry Current Research, (Online), (http://math.ucsb.edu/department/cmi/CovariationFunctionPaper.pdf), diakses 27 juni 2013.
16 Kaput, J. J. 1999. Teaching and Learning a New Algebra. Dalam E. Fennema & T. A. Romberg (Eds.), Mathematics Classroom That Promote Understanding (133-155). Mahwah, NJ: Earlbaum Knuth, E., Kalish, C., Ellis, A., Williams, C., & Felton, M. 2011. Adolescent Reasoning in Mathematical and Non-mathematical Domains: Exploring the Paradox. In V. Reyna, S. Chapman, M. Dougherty, & J. Confrey (Eds.), The Adolescent brain: Learning, reasoning, and decision making (pp. 183-210). Washington, DC: American Psychological Association. Koklu, O. 2007. An Investigation of College Students’ Covariational Reasonings. USA: Florida State University (Ph.D. Dissertation). Monk, S. 1992. Students' Understanding of a Function Given by a Physical Model. Dalam G. Harel & E. Dubinsky (Eds.), The Concept of Function: Aspects of Epistemology and Pedagogy, MAA Notes, 25 (pp. 175-194). Washington, DC: Mathematical Association of America. Moore, K. C., & Bowling, S. A. 2008. The Development of Covariational Thinking in a College Algebra. Proceedings for the Eleventh Special Interest Group of Mathematical Assosiation of America on Research in Undergraduate Mathematics Education, California, 28 Februari-2 Maret 2008. NCTM. 2009. Focus in High School Mathematics: Reasoning and Sense Making. USA: NCTM. Ormrod, J. E. 2010. Psikologi Pendidikan: Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang (Jilid 1) (Edisi 6). Erlangga. Owens, K. B. 2002. Child & Adolescent Development: an Integrated Approach. USA: Thompson Learning. Saldanha, L., & Thompson, P. W. 1998. Re-thinking Co-variation from a Quantitative Perspective: Simultaneous Continuous Variation. Dalam S. B. Berensah & W. N. Coulombe (Eds.), Proceedings of the Annual Meeting of the Psychology of Mathematics Education - North America. Raleigh, NC: North Carolina State University. Santrock, J. W. 2002. Life-span Development 8th edition. McGraw-Hill Inc. Strom, A. D. 2006. The Role of Covariational Reasoning in Learning and Understanding Exponential Function. Dalam Alatorre, S., Cortina, J.L., Saiz, M., & Mendez, A. (Eds). Proceeding of the 28th Annual Meeting of The North American Chapter of the International Group for the Psychology of Mathematics Education, Merida, Mexico: Universidad Pedagogica Nacional. Subanji. 2006. Berpikir Pseudo Penalaran Kovariasi dalam Mengkonstruksi Grafik Fungsi Kejadian Dinamik: Sebuah Analisis Berdasarkan Kerangka Kerja VL2P dan Implikasinya pada Pembelajaran Matematika. Jurnal Ilmu Pendidikan. 13 (1): 1 – 8. Subanji. 2011. Teori Berpikir Pseudo Penalaran Kovariasi. Malang: UM Press. Tall, D. 1997. Function and Calculus: Dalam A. J. Bishop et al (Eds.), International Handbook of Mathematics Education, 289-325, Dordrecht: Kluwer Tall, D. 2008. The Transition to Formal Thinking in Mathematics. Mathematics Education Research Journal, 20 (2): 5-24.
17 Thompson, P. W.1994. Students, Functions, and The Undergraduate Curriculum. Dalam E. Dubinsky, A. H. Schoenfeld, & J. Kaput (Eds.), Research in Collegiate Mathematics Education. I. CBMS Issues in Mathematics Education (21-44). Providence, RI: American Mathematical Society. Vinner, S. 1997. The Pseudo-conceptual and the Pseudo-analytical thought processes in Mathematics Learning. Educational Studies in Mathematics, 20: 356-366. Zeytun, A. S., Cetinkaya, B., & Erbas, A. K. 2010. Mathematics Teachers' Covariational Reasoning Levels and Predictions about Students' Covariational Reasoning Abilities. Educational Sciences: Theory and Practice. 10(3): 1601-1612.