Penafsiran Feminis Muslim terhadap Ayat Al-Qur’an tentang Poligini Oleh: Ahmad Baidowi ∗ Abstrak Munculnya penafsiran baru yang dilakukan oleh para feminis Muslim terhadap al-Qur’an memperlihatkan dinamika pemikiran umat Islam terhadap kitab sucinya. Kehadiran penafsiran-penafsiran baru ini tampaknya sangat dilaterbelakangi oleh ketidakpuasan para feminis Muslim terhadap penafsiran-penafsiran yang ada selama ini yang dianggap kurang berhasil menjadikan al-Qur’an sebagai “kitab petunjuk”, khususnya untuk konteks masyarakat saat ini yang menuntut adanya kesetaraan gender. Penafsiran-penafsiran literal atas al-Qur'an yang dinilai para feminis Muslim menempatkan laki-laki dalam posisi superior dan perempuan dalam posisi inferior ditolak, dan mereka menghadirkan penafsiran baru yang diyakini sejalan dengan semangat kesetaraan gender. Tulisan ini memperlihatkan pemikiran beberapa feminis Muslim dalam memahami pernikahan poligami yang berbeda secara diametral dengan penafsiran yang dibangun oleh para mufassir klasik. Kata kuci: poligami, poligini, pembebasan perempuan, kesetaraan gender. A. Pendahuluan Di antara sekian banyak tema mengenai relasi laki-laki dan perempuan yang mendapatkan perhatian cukup serius dari para feminis Muslim adalah masalah perkawinan poligini,1 yaitu perkawinan seorang laki-laki dengan lebih dari seorang perempuan sebagai isterinya. Para feminis Muslim beranggapan bahwa ajaran Islam tentang pernikahan sesungguhnya mengajarkan perkawinan monogami, bukan poligami. Sementara kalangan skripturalis beranggapan bahwa poligini merupakan bagian dari ajaran Islam, bahkan merupakan perintah untuk melakukannya, seperti tercermin dalam penghargaan Poligami Award beberapa waktu lalu. Tulisan ini menguraikan pandangan beberapa feminis Muslim mengenai jenis perkawinan tersebut.
∗
Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Poligini adalah istilah untuk menyebut perkawinan seorang laki-laki dengan lebih dari seorang isteri, sedangkan perkawinan seorang isteri dengan lebih dari satu laki-laki disebut dengan istilah poliandri. Kedua bentuk perkawinan ini merupakan jenis perkawinan poligami yang merupakan lawan dari monogami, yaitu perkawinan seorang suami dengan seorang isteri. 1
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
622
Ahmad Baidowi: Penafsiran Feminis Muslim terhadap Ayat...
B. Poligini dalam Kitab Tafsir Ibnu Jarir dan Ibnu Katsir dan Muhammad Abduh Perkawinan poligini didasarkan atas QS. al-Nisa’ (4): 3:
ﻭﺇﻥ ﺧﻔﺘﻢ ﺃﻻ ﺗﻘﺴﻄﻮﺍ ﰲ ﺍﻟﻴﺘﺎﻣﻰ ﻓﺎﻧﻜﺤﻮﺍ ﻣﺎ ﻃﺎﺏ ﻟﻜﻢ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﻣﺜﲎ ﻭﺛﻼﺙ ﻭﺭﺑﺎﻉ ن أ ا اة أو أ ذ أد أ ا Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Terkait dengan ayat di atas, Ibn Jarir al-Tabari2, dengan merujuk pada Abu Ja’far, menyebutkan adanya beberapa pendapat. Pertama, ayat ini ditujukan kepada para wali anak yatim untuk berbuat adil dalam memberikan mahar kepada mereka apabila ingin mengawininya. Jika wali anak yatim tersebut memiliki kekhawatiran tidak bisa melakukan keadilan dalam memberikan mahar tersebut, hendaklah dia tidak mengawini mereka melainkan mengawini perempuan-perempuan selain anak yatim yang ada di bawah perwaliannya. Namun, jika mereka khawatir akan menyimpang dalam arti berbuat tidak adil dengan perempuan-perempuan selain anak yatim yang berada di bawah perwaliannya untuk menjadi isterinya, maka dia disarankan untuk menikah dengan satu perempuan saja dari mereka. Pendapat ini didasarkan atas hadis yang diriwayatkan melalui beberapa jalur dari ‘Aisyah yang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan perempuan (al-nisa’) dalam ayat tersebut adalah anak yatim yang berada dalam asuhan walinya. Riwayat itu mengungkapkan bahwa ketika ‘Urwah ibn Zubair bertanya kepada ‘Aisyah mengenai ayat di atas, ‘Aisyah menjelaskan bahwa wali si anak yatim menyukai harta dan kecantikannya dan ingin menikahinya dengan memberikan mahar yang lebih rendah dari yang berlaku saat itu. Maka si wali itu pun dilarang untuk menikahi mereka kecuali dengan memberikan mahar yang lebih tinggi (dalam riwayat yang lain setidaknya sama), atau menikahi perempuan selain anak yatim tersebut.3 2 Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir al-Tabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, Jilid III, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), pp. 573-579. 3 Hadis ini diriwayatkan melalui beberapa jalur: 1. Dari Ibnu H}umaid dari Ibn alMubarak dari Ma’mar dari al-Zuhri dari ‘Urwah dari Aisyah; 2. Dari Yunus ibn ‘Abd alA’la dari Ibn Wahb dari Yunus ibn Yazid dari Ibn Syihab dari ‘Urwah ibn Zubair; 3. Dari
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Ahmad Baidowi: Penafsiran Feminis Muslim terhadap Ayat...
623
Kedua, ayat di atas merupakan larangan bagi seorang laki-laki untuk menikah dengan lebih dari empat orang isteri karena dikhawatirkan dia akan menyelewengkan harta anak yatim yang berada di bawah perwaliannya. Pendapat ini didasarkan atas riwayat yang menyebutkan bahwa seorang laki-laki dari suku Quraisy memiliki isteri lebih dari 10 orang sehingga ketika kekurangan biaya, akhirnya dia menggunakan harta anak yatim tersebut untuk menghidupi isteri-isterinya atau bahkan— sebagaimana dalam riwayat yang lain—untuk menikah lagi. Atas dasar kisah inilah kemudian laki-laki dilarang menikah dengan 4 orang isteri. Kalau dia ingin menikah dengan maksimal 4 orang isteri sementara dia juga khawatir akan menyelewengkan harta anak yatim yang berada di bawah perwaliannya, disarankan baginya untuk menikah dengan satu perempuan saja.4 Ketiga, ayat ini berarti ketidakbolehan untuk menikah lebih dengan 4 orang isteri karena dikhawatirkan akan berbuat tidak adil kepada mereka. Kekhawatiran untuk tidak dapat berbuat adil dengan lebih dari seorang isteri ini membuatnya hanya diperbolehkan menikah dengan seorang isteri saja atau dengan hamba sahaya yang dimiliki. Larangan ini ditegaskan karena mereka ternyata tidak bisa berbuat adil dengan harta anak yatim yang berada di bawah perwaliannya. Oleh karena itu, sebagaimana mereka tidak bisa berbuat adil dengan harta anak yatim, dikhawatirkan mereka juga akan berbuat tidak adil jika memiliki beberapa isteri.5 al-Hasan ibn al-Junayd dari Sa’id ibn Maslamah dari Isma’il ibn Umayyah dari Ibn Syihab dari ‘Urwah; 4. Dari al-Musanna dari Abu Salih dari al-Lays dari Yunus dari Ibn Syihab dari ‘Urwah ibn al-Zubair; 5 Dari al-Hasan ibn Yahya dari ‘Abd al-Razaq dari Ma’mar dari al-Zuhri dari ‘Urwah ibn al-Zubair. 4 Hadis di atas juga diriwayatkan dari beberapa jalur: 1. Dari Muhammad ibn alMusanna dari Muh}ammad ibn Ja’far dari Syu’bah dari Samak dari Ikrimah; 2. Dari Hunad ibn al-Sirri dari Abu al-Ahwas dari Samak dari Ikrimah; 3. Dari Sufyan ibn Waki’ dari Ubay dari Sufyan dari Hubaib ibn Abi Sabit dari Tawus dari Ibn ‘Abbas; 4. Dari Muhammad ibn Sa’ad dari Ubay dari pamannya dari bapaknya dari bapaknya dari Ibn ‘Abbas. 5 Pendapat ini didasarkan atas hadis yang diriwayatkan melalui jalur-jalur: 1. Dari Ya’qub bn Ibrahim dari Ibn ‘Aliyyah dari Ayyub dari Sa’id ibn Jabir; 2. Dari Muhammad ibn al-Husain dari Ahmad ibn Mufaddal dari Asbat dari al-Suddi; 3. Dari Bisyr ibn Mu’az dari Yazid ibn Zuray’ dari Sa’id dari Qatadah; 4. Dari al-Hasan ibn Yahya dari ‘Abd alRazaq dari Ma’mar dari Ayyub dari Sa’id ibn Jabir; 5. Dari al-Musanna dari al-Hajjaj ibn al-Minhal dari Hammad dari Ayyub dari Sa’id ibn Jabir; 6. Dari al-Musanna dari Abu Nu’man ibn ‘Arim dari Hammad ibn Zaid dari Ayyub dari Sa’id ibn Jabir; 7. Dari alMusanna dari Abu al-Nu’man ‘Arim dari Hammad ibn Zaid dari Ayyub dari Sa’id ibn Jabir; 8. Dari al-Musanna dari ‘Abdullah ibn Salih dari Mu’awiyah ibn Salih dari ‘Ali ibn Abi Talhah dari Ibn ‘Abbas; 9. Dari al-Husayn ibn al-Farj dari Abu Mu’az dari ‘Ubayd ibn Sulaiman dari al-Dahhak; 10. Dari ‘Ammar dari Abu Ja’far dari bapaknya dari alRabi’. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
624
Ahmad Baidowi: Penafsiran Feminis Muslim terhadap Ayat...
Keempat, ayat di atas berkaitan dengan perintah untuk takut melakukan zina dengan perempuan sebagaimana kekhawatiran melakukan penyelewengan terhadap harta anak yatim.6 Kelima, ayat di atas berkaitan dengan larangan kepada laki-laki untuk menikahi anak-anak yatim yang berada di bawah perwaliannya jika dia khawatir akan berbuat tidak adil kepada mereka dan juga terhadap harta mereka.7 Dari beberapa pendapat tersebut Abu Ja’far sebagaimana dikemukakan Ibn Jarir al-Tabari, memilih pendapat keempat dengan didasarkan atas riwayat yang berasal dari Al-Hasan ibn Yahya dari ‘Abd alRazaq dari Ma’mar dari Ayyub dari Sa’id ibn Jabir yang menyatakan larangan untuk menikah bagi laki-laki bahkan dengan seorang perempuan pun jika dikhawatirkan dia tidak dapat berbuat adil kepada isterinya. Sebagai gantinya, Abu Ja’far menyatakan agar seorang laki-laki yang memiliki kehawatiran seperti di atas berhubungan dengan hamba sahaya yang dimilikinya. Kata Abu Ja’far: Pendapat paling utama dari yang telah kami sebutkan terkait dengan ta’wil ayat wa in khiftum an la tuqsitu fi al-yatama…(adalah) demikian pula takutlah terhadap perempuan, maka janganlah menikah dengan mereka kecuali kalian tidak khawatir untuk tidak menyeleweng dari isteri-isteri itu dari seorang hingga empat orang. Namun, jika kalian khawatir akan tidak berbuat adil bahkan dengan satu isteri saja, maka janganlah kamu menikahinya. Akan tetapi bagimu cukup hamba sahaya yang kamu miliki. Hal itu akan mengurangi dari berbuat tidak adil kepada mereka.8 Al-Tabari bependapat sebagaimana Abu Ja’far yang menyatakan larangan untuk menikah bagi laki-laki bahkan dengan seorang perempuan pun jika dikhawatirkan tidak bisa berbuat adil kepadanya. Dalam kaitan ini al-Tabari menyatakan bahwa setelah Allah membuka ayat ini dengan larangan memakan harta anak yatim dengan tidak hak dalam QS. al-Nisa’ (4): 2,9 Allah memerintahkan untuk menjauhi dosa berkaitan dengan harta 6 Pendapat ini didasarkan atas riwayat: 1. Dari Muhammad ibn ‘Amr dari Abu ‘Asim dari ‘Isa dari Ibn Abi Najih dari Mujahid; 2. Dari al-Musanna dari Abu Huzaifah dari Syibi dari Ibn Abi Najih dari Mujahid. 7 Pendapat ini didasarkan atas riwayat: 1. Dari Sufyan ibn Waki’ dari bapaknya dari Hisyam ibn ‘Urwah dari bapaknya dari ‘Aisyah; 2. Dari Humayd ibn Mas’adah dari Yazid ibn Zurai’ dari Yunus dari al-Hasan. 8 Al-Tabari, Jami’ al-Bayan, p. 577. 9 Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar (QS. al-Nisa’ [4]: 2).
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Ahmad Baidowi: Penafsiran Feminis Muslim terhadap Ayat...
625
anak yatim tersebut jika mereka bertakwa kepada Allah. Kemudian AlTabari menegaskan, adalah wajib untuk juga bertakwa kepada Allah dan menjauhi dosa dalam masalah (menikahi) perempuan dengan menghindari untuk tidak berbuat adil kepada mereka. Menurut Al-Tabari, kalimat Fa ankihu ma taba lakum min al-nisa’ (maka nikahilan perempuan-perempuan yang kamu sukai) dijelaskan dengan kalimat fa in khiftum an la ta’dilu fa wahidah aw ma malakat aymanukum zalika adna an la ta’ulu (Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya). Seraya mempertegas hal ini, alTabari menyatakan: Dan jika kalian khawatir akan tidak berbuat adil dalam hal harta anak-anak yatim, maka demikian juga hendaknya kalian takut akan tidak berbuat adil dalam hak-hak perempuan yang diwajibkan Allah atas kalian. Maka janganlah kalian menikahi perempuan-perempuan itu kecuali kalian yakin akan bisa berbuat adil terhadap mereka, boleh dua, tiga atau empat. Maka jika kalian takut (untuk berbuat tidak adil) cukup (menikah dengan) satu (isteri) saja. Dan jika dengan satu perempuan pun kalian takut tidak bisa berlaku adil, maka cukup dengan hamba sahaya yang kamu miliki.10 Memperjelas pernyataan di atas, Al-Tabari menyatakan bahwa makna “Demikian juga hendaknya kalian takut untuk tidak berbuat adil dalam hak-hak perempuan” tampak dari zhahir kalimat fa in khiftum an la ta’dilu fa wahidah aw ma malakat aymanukum zalika adna an la ta’ulu (Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya).11 Penjelasan yang dikemukakan Al-Tabari di atas menunjukkan bahwa perkawinan poligini sebetulnya bukan hal yang berdiri sendiri melainkan terkait dengan perlindungan anak-anak yatim dan harta yang dimilikinya. Riwayat yang dikemukakan Ibn Kasir dalam kitab tafsirnya mempertegas hal ini. Selain meriwayatkan beberapa hadis seperti yang dikemukakan AlTabari, Ibn Kasir meriwayatkan bahwa setelah diturunkan ayat di atas, orang-orang minta fatwa kepada Rasulullah kemudian turun ayat QS. alNisa' (4): 127 yang masih terkait dengan pemeliharan harta anak yatim.12
10
Al-Tabari, Jami’ al-Bayan, p. 578. Ibid. 12 Abu al-Fida’ Isma’il ibn Kasir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, ditahqiq oleh‘Abd alRazzaq al-Mahdi, Jilid II, Cet. I, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 2001), pp. 187-188. 11
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Ahmad Baidowi: Penafsiran Feminis Muslim terhadap Ayat...
626
’Îû É=≈tGÅ3ø9$# ’Îû öΝà6ø‹n=tæ 4‘n=÷Fム$tΒuρ £ÎγŠÏù öΝà6‹ÏGøムª!$# È≅è% ( Ï!$|¡ÏiΨ9$# ’Îû y7tΡθçGøtGó¡o„uρ £èδθßsÅ3Ζs? βr& tβθç6xîös?uρ £ßγs9 |=ÏGä. $tΒ £ßγtΡθè?÷σè? Ÿω ÉL≈©9$# Ï!$|¡ÏiΨ9$# ‘yϑ≈tGtƒ ôÏΒ (#θè=yèøs? $tΒuρ 4 ÅÝó¡É)ø9$$Î/ 4’yϑ≈tFu‹ù=Ï9 (#θãΒθà)s? χr&uρ Èβ≡t$ø!Èθø9$# š∅ÏΒ tÏyèôÒtFó¡ßϑø9$#uρ ∩⊇⊄∠∪ $VϑŠÎ=tã ϵÎ/ tβ%x. ©!$# ¨βÎ*sù 9öyz Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam al-Quran (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahuinya. Dalam menafsirkan al-Qur’an, Muhammad ‘Abduh melakukan analisis yang berupaya membedakan antara konteks pewahyuan ayat (alsiyaq al-tanzil) dan konteks interpretasi serta perubahan-perubahan sejarah dan realitas sosial yang terjadi. Berangkat dari perhatiannya terhadap berbagai kasus perkawinan poligini yang terjadi dalam masyarakat, ‘Abduh menguraikan beberapa problematika terkait dengan praktik perkawinan tersebut. Pertama, pelaksanaan perkawinan poligini dalam masyarakat telah tercerabut dari syarat keadilan yang dituntut al-Qur’an, sehingga menurut ’Abduh, kalaupun ada 1 orang dari 1 juta laki-laki yang bisa berlaku adil, hal itu tidak bisa dijadikan sebagai prinsip. Kedua, perkawinan poligini cenderung membuat isteri dari jenis perkawinan ini menjadi korbannya. Ketiga, perbedaan antara ibu-ibu yang berada dalam perkawinan poligini ini melahirkan kerusakan dan permusuhan di kalangan anak-anak mereka.13 Dalam hal ini, ‘Abduh pun mengungkapkan pembatasan poligini dengan penekanan pada perkawinan laki-laki dengan satu isteri jika tidak bisa berbuat adil sebagaimana yang terdapat di akhir ayat. Dalam kaitan ini, ‘Abduh mengaitkan ayat di atas dengan ayat lain, yakni QS. al-Nisa’ (4): 12914 yang menyatakan ketidakmungkinan berbuat 13
Muhammad ‘Abduh, al-A’mal al-Kamilah, ed. Muhammad ‘Imarah, Jilid II, (Beirut: Mu’assasah al-‘Arabiyah li al-Nasyr, 1972), pp. 84-85, 92-95. 14
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Ahmad Baidowi: Penafsiran Feminis Muslim terhadap Ayat...
627
adil bagi seorang suami kepada para isterinya. Berangkat dari ketidakmungkinan terpenuhinya syarat keadilan yang dituntut al-Qur’an, ‘Abduh cenderung menolak perkawinan poligini.15 Metode ‘Abduh inilah yang kemudian diikuti Qasim Amin di Mesir dan Al-Tahir al-Haddad di Tunisia. C. Poligini dalam Pandangan Para Feminis Muslim Pada tahun 1930, Al-Tahir al-Haddad (w. 1905) menerbitkan bukunya Imraatuna fi al-Syari’ah wa al-Mujtama’. Dalam buku ini, ia menyebutkan bahwa perkawinan poligini merupakan salah satu tradisi buruk jahiliyah yang ingin diberantas Islam secara bertahap. Pentahapan dalam penghapusan perkawinan ini tampak dari perintah Nabi untuk hanya mempertahankan 4 isteri dari jumlah yang lebih banyak dan menceraikan yang lain,16 kemudian Allah membebani suami dengan syarat bertindak adil kepada para isteri dan hanya memiliki seorang isteri jika khawatir tidak bisa melakukan keadilan (QS. al-Nisa’ 4: 3) hingga kemudian menyatakan bahwa berbuat adil kepada para isteri adalah sesuatu yang tidak mungkin dilakukan (QS. al-Nisa’ (4): 129).17 Qasim Amin juga memberikan kritik terhadap perkawinan poligini tersebut.18 Terkait dengan ayat di atas, Abu Zaid mendiskusikannya dalam konteks kajiannya terhadap perundangan-undangan Tunisia yang
$yδρâ‘x‹tGsù È≅øŠyϑø9$# ¨≅à2 (#θè=ŠÏϑs? Ÿξsù ( öΝçFô¹tym öθs9uρ Ï!$|¡ÏiΨ9$# t÷t/ (#θä9ω÷ès? βr& (#þθãè‹ÏÜtFó¡n@ s9uρ ۞ $VϑŠÏm§‘ #Y‘θàxî tβ%x. ©!$# χÎ*sù (#θà)−Gs?uρ (#θßsÎ=óÁè? βÎ)uρ 4 Ïπs)‾=yèßϑø9$$x. Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 15Muhammad ‘Abduh, al-A’mal al-Kamilah., II, p. 78, 83, V, p. 169-170. 16 Ibn Kasir mengutip hadis-hadis yang mengungkapkan perintah Nabi kepada Ghailan ibn Salmah al-Tsaqafi yang masuk Islam sementara ia memiliki sepuluh orang isteri. Nabi memerintahkannya untuk memilih di antara mereka 4 orang saja. Lihat Ibn Kasir, Tafsir, pp. 188-190. Lihat juga Imam Ahmad, Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz II, hadis No. 4617; al-Daruqutni, al-Sunan, III: 271-272; Ibn Hibban, hadis No. 4617; alTurmuzi, al-Sunan, III: 435; Malik ibn Anas, al-Muwatta’: II: 582; al-Bayhaqi, VII: 173, 183; Ibn Majah, al-Sunan, hadis No. 1952; Abu Dawud, hadis No. 2241, 2242. 17 Al-Tahir al-Haddad, Imraatuna fi al-Syari’ah wa al-Mujtama’ (Tunis: Dar alTunisiyah li al-Nasyr, 1985), Cet. IV, p. 65. 18 Qasim Amin, al-A’mal al-Kamilah, (Cairo: Dar al-Syuruq, 1989), pp. 9-12. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
628
Ahmad Baidowi: Penafsiran Feminis Muslim terhadap Ayat...
menjadikan poligini sebagai tindakan kriminal.19 Dalam hal ini, Abu Zaid menguraikan penafsirannya atas ayat tersebut dalam tiga langkah. Pertama, Konteks teks itu sendiri. Abu Zaid memulai kajiannya dengan mempertanyakan “hilangnya” hukum menggauli “budak yang kamu miliki” (aw ma malakat aymanukum) di kalangan para Islamis sementara tetap mempertahankan praktek poligini, padahal teks tersebut memiliki tingkat kejelasan yang sama dengan teks maka kawinilah perempuanperempuan yang kamu sukai: dua, tiga atau empat. Bagi Abu Zaid, jawaban kalangan Islamis mengenai hal ini memperlihatkan kerancuan cara pandang mereka bukan hanya terhadap teks tetapi juga terhadap kehidupan secara umum. Abu Zaid menunjukkan hilangnya kesadaran historis di kalangan para Islamis dalam memahami teks di atas. Menurutnya, “hilangnya” hukum menggauli budak perempuan ini diniscayakan oleh perjalanan kehidupan dan realitas manusia melalui perjuangan manusia untuk mengembalikan kebebasan mereka sebagai manusia merdeka. Dalam konteks seperti ini pulalah poligini mestinya ditempatkan. Menurut Abu Zaid, pembolehan poligini sampai dengan empat orang isteri harus dipahami dan ditafsirkan dalam konteks karakter hubungan-hubungan kemanusiaan—khususnya hubungan laki-laki dan perempuan—di dalam masyarakat Arab pra-Islam. Dengan cara demikian, akan terlihat bahwa pembolehan poligini merupakan “penyempitan” (tadyiq) terhadap kepemilikan dan pengkondisian perempuan dalam masyarakat Arab praIslam, khususnya jika perempuan itu berasal dari kelas sosial yang rendah. Asghar Ali-Engineer menyebut cara demikian ini sebagai jalan ideologispragmatis yang ditempuh al-Qur’an untuk mengatasi problem tersebut.20 Selain itu, berbeda dengan tradisi poligini sebelum Islam yang tidak tunduk terhadap parameter apa pun, termasuk mengenai jumlah isteri yang boleh dinikahi, Islam membatasi parameter kaidah-kaidah adat yang tak terbatas untuk mencegah pelecehan terhadap perempuan. Dalam tradisi Arab sebelum Islam, perkawinan poligini tidak dibatasi jumlahnya dan perempuan menjadi klangenan bagi laki-laki. Dalam konteks seperti 19 Dalam perundang-undangan Tunisia dinyatakan bahwa laki-laki yang menikah padahal ia dalam keadaan beristeri dan akad nikah sebelumnya belum rusak, maka ia dihukum kurungan satu tahun dan (dianggap) berhutang sebesar 240.000 Frank atau dihukum dengan salah satu jenis dari kedua jenis hukuman itu walaupun perkawinan barunya itu belum terjalin sesuai dengan hukum undang-undang. Lihat Nasr Hamid Abu Zaid, Dawair al-Khauf: Qira’ah fi Khitab al-Mar’ah (Beirut: al-Markaz al-Saqafi al-‘Arabi, 1999), p. 283. 20 Asghar Ali Engineer, The Qur’an, Women and Modern Society (New Delhi: Sterling Pubishers Private Limited, 1990), p. 87.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Ahmad Baidowi: Penafsiran Feminis Muslim terhadap Ayat...
629
inilah ayat tentang poligini diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. Bagi Abu Zaid, interpretasi yang dilakukan untuk membolehkan perkawinan poligini merupakan upaya untuk kembali meletakkan dominasi laki-laki dan kesemena-menaannya terhadap eksistensi perempuan.21 Dengan demikian, kebolehan perkawinan poligini hingga dengan empat isteri secara historis lebih merupakan transisi (naqlah) dalam rangka pembebasan perempuan dari keterikatannya dengan laki-laki.
ﻭﲟﺎ ﻫﻲ ﻧﻘﻠﺔ ﳓﻮ ﺍﻟﺘﻀﻴﻴﻖ ﻓﺎﻥ ﺣﺼﺮ ﺍﻟﺰﻭﺍﺝ ﰲ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﻭﺍﺣﺪﺓ ﺑﻌﺪ ﲬﺴﺔ ﻋﺸﺮﺓ ﻗﺮﻧﺎ 22 ﻣﻦ ﺗﻄﻮﺭ ﺍﻟﺒﺸﺮﻳﺔ ﻳﻌﺪ ﻧﻘﻠﺔ ﻃﺒﻴﻌﻴﺔ ﰲ ﺍﻟﻄﺮﻳﻖ ﺍﻟﺬﻯ ﺑﺪﺃﻩ ﺍﻻﺳﻼﻡ Karena hal itu merupakan transisi ke arah penyempitan, maka pembatasan nikah dengan satu perempuan setelah lima belas abad dari perkembangan manusia dinilai sebagai transisi alamiah (naqlah tabi’iyah) sejalan dengan cara yang sebelumnya ditempuh oleh Islam. Kedua, konteks al-Qur’an secara keseluruhan. Hal ini dilakukan Abu Zaid untuk mengungkapkan dimensi makna yang sangat penting dari teks, yaitu sesuatu yang tersembunyi (al-mudmar) atau disembunyikan (almaskut ‘anh). Dalam kaitan ini, Abu Zaid meletakkan syarat keadilan sebagaimana tercantum dalam teks “Dan jika kamu takut tidak bisa berlaku adil maka kawinilah seorang perempuan saja” sebagai hal yang niscaya. Namun, dengan mengaitkan keniscayaan syarat keadilan itu dengan teks “Dan kamu sekalian tidak akan bisa berlaku adil terhadap isteri-isteri kamu walaupun kamu sangat menginginkannya,” Abu Zaid menegaskan bahwa al-Qur’an sesungguhnya memastikan sikap dan hampir mengabaikan (membatalkan) perkawinan poligini. Penjelasan linguistik terhadap ayat di atas, menurut Abu Zaid, menegaskan bahwa syarat keadilan terhadap para isteri secara mutlak adalah tidak mungkin. Hal ini terlihat dapat dilihat dari struktur kalimat kondisional dalam fa in lam ta’dilu fa wahidah kemudian melalui penggunaan adat al-syart “law” yang berfaedah untuk menghalangi tejadinya akibat (jawab) karena keterhalangan terjadinya syart. Kata “lan” yang dipakai di awal teks (lan ta’dilu bayna al-nisa’ wa law harastum) menegaskan terjadinya suatu kejadian untuk masa sekarang dan masa yang akan datang secara bersamaan. Dari sini Abu Zaid menegaskan bahwa penggunaan jawab alsyart dengan “lan” yang didahulukan atas fi’l al-syart dengan “law” menegaskan ketidakmungkinan ganda (al-nafy al-murakkab) pada level 21 22
Nasr Hamid Abu Zaid, Dawair al-Khauf, p. 217. Ibid., p. 288.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Ahmad Baidowi: Penafsiran Feminis Muslim terhadap Ayat...
630
makna: ketidakmungkinan untuk bertindak adil selamanya (nafy abadiy) kepada dua isteri atau lebih dan ketidakmungkinan seorang suami berkeinginan untuk berbuat adil kepada mereka. Selain itu, keadilan adalah prinsip esensial (al-mabda’) dalam Islam, sementara itu poligini yang hanya berada dalam batas hukum kebolehan (al-ibahah) tidak akan naik menjadi prinsip. Poligini dalam hal ini hanyalah kejadian parsial relatif yang dikondisikan oleh syarat-syarat yang bisa berubah-ubah karena darurat. Dengan demikian, jika hukum ternyata bertentangan dengan prinsip maka hukum itu harus “dikorbankan” (Iza ta’arrada al-hukm ma’a al-mabda’ fa labudda min al-tadhiyyah bi al-hukm). Dari analisis ini, Abu Zaid menegaskan bahwa hampir-hampir al-Qur’an secara diam-diam atau implisit sebenarnya mengharamkan poligini.23 Ketiga, berdasar penjelasan dalam dua langkah sebelumnya, Abu Zaid menegaskan ketidaksetujuannya terhadap pandangan klasik yang menyebut poligini saat ini dalam kategori kebolehan (al-ibahah). Penjelasan Abu Zaid menempatkan pembatasan poligini menjadi maksimal empat perempuan oleh al-Qur’an sebagai bentuk penyempitan (al-tadyiq) terhadap poligini masyarakat Arab pra-Islam yang tak terbatas. Penyempitan itu bertujuan untuk meluruskan hukum-hukum sosial yang tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat atau tidak sejalan dengan kesadaran yang ingin direalisasikan oleh al-Qur’an. Dengan demikian, poligini tidak bisa dimasukkan dalam kateori “almubahat” sebagaimana yang terdapat dalam fikih klasik. Oleh karenanya, mengabaikan (membatalkan) perkawinan poligini tidak bisa disebut mengharamkan hal-hal yang diperbolehkan oleh agama. Justru mengabaikan poligami menjadi perkawinan monogami—perkawinan seorang laki-laki dengan seorang perempuan saja—merupakan bentuk “penyempitan” yang lain untuk disesuaikan dengan perkembangan masyarakat. Dengan kata lain, “penyempitan” seperti ini bukan termasuk dalam kategori hukum keagamaan (al-ahkam al-diniyah) melainkan berada dalam hukum kemasyarakatan (al-ahkam al-madaniyyah). Sebagai gantinya, Abu Zaid membangun penafsirannya mengenai poligini dalam kerangka pemikiran yang dipinjam dari ‘Adil Dahir. Dalam artikelnya yang berjudul “An La Ma’qul fi al-Harakat al-Islamiyah alMu’asirah”, Dahir membuat pembedaan antara “al-mabda’”, “al-qa’idah” dan “al-hukm”. Di antara contoh dari ”al-mabda’” adalah keadilan, kebebasan, hak hidup, kebahagiaan. “Al-qa’idah” yang memiliki cakupan lebih sempit dari “al-mabda’” dicontohkan dengan larangan mencuri, larangan berzina, larangan bersumpah palsu, larangan menyusahkan 23
Ibid., pp. 288-290.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Ahmad Baidowi: Penafsiran Feminis Muslim terhadap Ayat...
631
orang lain dan lain-lain yang jika dilakukan bisa merusak nilai-nilai dalam “mabda’”, sedangkan “hukm” merupakan hal-hal yang kebolehannya bersifat relatif dan terikat dengan syarat-syarat tertentu yang dalam fikih disebut dengan “al-darurah”. Poligini merupakan contoh dari apa yang disebut dengan “hukm” tersebut. Dalam kaitan ini Abu Zaid menegaskan bahwa “poligini” sebagai kategori “al-hukm” tidak akan naik ke level “al-qa’idah” atau apalagi “almabda’”. Oleh karena itu, poligini tidak bisa dipegangi (diterapkan) untuk seluruh kondisi. Dalam kaitan ini, Abu Zaid menegaskan bahwa jika “alhukm” memang mengabaikan prinsip yang lebih lebih tinggi, maka “mudah bagi kita untuk tidak melaksanakannya.”24 Masih terkait dengan persoalan poligini ini, Abu Zaid mengkritik pandangan Muhammad al-Talibi yang menganggap perkawinan ini sebagai hal yang alamiah karena laki-laki memiliki libido yang lebih tinggi daripada perempuan. Al-Talibi “membuktikan” kekuatan libido laki-laki yang lebih tinggi dari perempuan dengan melihat pada kelompok hewan yang, menurutnya, bisa dilihat dengan mata telanjang. Sikap Al-Talibi yang berititik tolak dari alam biologis ini dikritik Abu Zaid bukan sebagai penafsiran melainkan justifikasi. Lebih dari itu, mengkiaskan manusia dengan hewan dinilainya sebagai sikap yang mengabaikan hakikat eksistensi manusia sebagai entitas kultural. Pandangan al-Talibi ini dinilai Abu Zaid mempersempit eksistensi manusia dalam kerangka entitas biologis semata yang tidak mempunyai sejarah kecuali sejarah alam dan tidak mempunyai kebudayaan yang sejarahnya terlepas dari sejarah entitasentitas alam yang lain. Dalam kaitan ini, Abu Zaid menyatakan:
ﺇﻧﻪ ﲢﻠﻴﻞ ﻣﺴﺠﻮﻥ ﰲ ﺳﺠﻦ ﺍﻟﺒﻴﻮﻟﻮﺟﻴﺎ ﺍﻟﱵ ﻳﺘﻌﺎﻣﻞ ﻣﻌﻬﺎ ﺑﺎﻋﺘﺒﺎﺭﻫﺎ "ﺟﻮﻫﺮ ﺍﻟﻮﺟﻮﺩ ﺍﻻﻧﺴﺎﱐ" ﺣﻴﺚ ﺗﺘﺤﻮﻝ ﺍﻟﻘﻀﻴﺔ ﺇﱄ ﻗﻀﻴﺔ "ﺍﻟﺬﻛﺮ ﻭﺍﻷﻧﺜﻲ" ﰲ ﺣﲔ ﺃﻥ ﺍﻟﻘﻀﻴﺔ ﻫﻲ . 25ﻗﻀﻴﺔ "ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻭﺍﻷﻧﺜﻲ" ﻭﻫﻲ ﻗﻀﻴﺔ ﺫﺍﺕ ﺑﻌﺪ ﺛﻘﺎﰲ ﺍﺟﺘﻤﺎﻋﻲ ﺗﺎﺭﳜﻲ Ini adalah analisis yang terperangkap di dalam penjara biologis yang menganggap perempuan sebagai “substansi eksistensi manusia” (jawhar alwujud al-insani), di mana problem itu berubah menjadi problem “pria dan wanita” (“al-zakar wa al-unsa”, “male-female”) sementara problem yang sebenarnya adalah problem laki-laki dan perempuan (“rajul wa mar’ah”, “man-woman”), sebuah problem yang berdimensi kultural, sosiologis dan historis.
24 25
Ibid., pp. 291-293. Ibid., p. 228.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Ahmad Baidowi: Penafsiran Feminis Muslim terhadap Ayat...
632
Manurut Asghar Ali Engineer, ayat tentang poligini pada dasarnya muncul dalam kerangka menegakkan keadilan, dalam hal ini menegakkan keadilan pada perempuan. Menurut lacakan sejarah, pada masyarakat praIslam, seorang laki-laki biasa melakukan perkawinan poligini dengan jumlah isteri yang tidak terbatas. Para suamilah yang memiliki hak sepenuhnya untuk memutuskan siapa yang ia sukai, dan menikahi perempuan berapa pun ia menginginkan. Sementara perempuan, tinggal menerima takdir tanpa ada kesempatan untuk mempertanyakan proses keadilan.26 Al-Qur’an tidak menerima keadaan seperti ini. Karena proyek dasarnya adalah untuk memberdayakan perempuan, meskipun ada keterbatasan-keterbatasan tertentu dari masyarakat yang ada, al-Qur’an menerima kenyataan bahwa perempuan adalah korban ketidakadilan. Namun, al-Qur’an sendiri juga realistis, bahwa memberdayakan perempuan dalam pengertian yang absolut (memberi status kesetaraan perempuan dengan laki-laki di segala hal) bukanlah cara yang mudah dalam masyarakat seperti ini. Oleh karena itu, menurut Asghar Ali Engineer, al-Qur’an mengambil cara ideologis pragmatis.27 Dengan membatasi kebolehan poligini dengan jumlah maksimal empat orang isteri, al-Qur’an bermaksud “menawarkan” solusi alternatif bagi upaya pemberdayaan perempuan yang tetap bisa diterima oleh masyarakat tersebut. Namun demikian, kata Engineer, al-Qur’an sendiri agaknya dengan berat, bahkan enggan, menerima institusi poligini. Tetapi karena hal ini tidak dapat diterima dalam pandangan situasi yang ada, maka al-Qur’an membolehkan laki-laki untuk kawin hingga empat isteri. Namun demikian, hal itu bukan tanpa syarat. Poligini hanya bisa diterima apabila memenuhi syarat-syarat tertentu, di antaranya syarat keadilan suami kepada isteriisterinya. Kata al-Qur’an, Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Menurut Asghar Ali Engineer, keterkaitan poligini dengan syarat-syarat ini menunjukkan bahwa yang dituju oleh Islam sesungguhnya adalah monogami.28 Asghar Ali Engineer membedakan antara ayat kontekstual dari pesan-pesan normatifnya. Pesan normatif ayat ini adalah untuk menegakkan keadilan, dalam hal ini kepada anak-anak yatim dan para isteri. Namun, karena ada kekhawatiran hal itu tidak bisa dilakukan, maka Islam membolehkan poligini untuk menjadi sarana kontekstual guna 26
Asghar Ali Engineer, The Qur’an, Women and Modern Society, p. 87. Ibid. 28 Ibid., p. 88. 27
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Ahmad Baidowi: Penafsiran Feminis Muslim terhadap Ayat...
633
menegakkan keadilan tersebut. Jadi, poligini hanyalah merupakan satu sarana yang sifatnya sangat kontekstual, yaitu ketika para laki-laki memiliki banyak isteri tanpa memperhatikan persoalan keadilan dan mereka yang bertugas memelihara anak yatim sering bertindak tidak adil dan mengawini mereka tanpa memberikan maskawin. Dalam kaitan ini, Asghar Ali Engineer mengutip berbagai riwayat mengenai asbab al-nuzul ayat tersebut, yang intinya berbicara tentang kewajiban berbuat adil kepada anak yatim dan perempuan. Kalau tidak dapat berbuat adil, maka hanya dibenarkan kawin dengan satu perempuan saja. Dalam kaitan ini Asghar Ali Engineer juga mengutip al-Razi yang memberikan komentar menarik mengenai ayat ini. Menurut al-Razi, mengerjakan nawafil (ibadah-badah sunnah) adalah lebih baik daripada mengawini lebih dari satu perempuan atau memiliki milk al-yamin, yakni budak-budak perempuan. Oleh karena itu, menurut al-Razi, yang terbaik adalah mengawini satu perempuan dan menyibukkan diri dengan shalat atau ibadah lain yang mulia.29 Ayat ini pun sesungguhnya tidak bisa dipahami secara atomistik sebagai ayat yang terpisah dari ayat lainnya. Ada dua ayat lain yang masih terkait dengan ayat tersebut, yaitu QS. al-Nisa’ (4) 2030 yang berisi larangan untuk mengambil harta yang telah diberikan kepada isteri untuk biaya poligini, dan QS. al-Nisa’ (4): 129 yang menegaskan ketidakmungkinan seorang laki-laki mampu berbuat adil kepada isteriisterinya dalam perkawinan poligini.31 Dalam kaitan inilah, Asghar Ali Engineer menyatakan bahwa alQur’an tidak memberikan izin umum untuk beristeri lebih dari empat. Menikah dengan lebih dari satu perempuan hanya “dibenarkan” dengan syarat tiga tingkat: dengan jaminan penggunaan harta anak yatim dan para 29
Ibid., p. 89.
30
ﺘﺎﻧﺎ ﻭﺇﲦﺎ ﻣﺒﻴﻨﺎ ﻭﺇﻥ ﺃﺭﺩﰎ ﺍﺳﺘﺒﺪﺍﻝ ﺯﻭﺝ ﻣﻜﺎﻥ ﺯﻭﺝ ﻭﺀﺍﺗﻴﺘﻢ ﺇﺣﺪﺍﻫﻦ ﻗﻨﻄﺎﺭﺍ ﻓﻼ ﺗﺄﺧﺬﻭﺍ ﻣﻨﻪ ﺷﻴﺌﺎ ﺃﺗﺄﺧﺬﻭﻧﻪ (Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?). 31
ﻭﻟﻦ ﺗﺴﺘﻄﻴﻌﻮﺍ ﺃﻥ ﺗﻌﺪﻟﻮﺍ ﺑﲔ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﻭﻟﻮ ﺣﺮﺻﺘﻢ ﻓﻼ ﲤﻴﻠﻮﺍ ﻛﻞ ﺍﳌﻴﻞ ﻓﺘﺬﺭﻭﻫﺎ ﻛﺎﳌﻌﻠﻘﺔ ﻭﺇﻥ ﺗﺼﻠﺤﻮﺍ ﻭﺗﺘﻘﻮﺍ ﻓﺈﻥ ﺍﷲ ﻛﺎﻥ ﻏﻔﻮﺭﺍ ﺭﺣﻴﻤﺎ Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Ahmad Baidowi: Penafsiran Feminis Muslim terhadap Ayat...
634
janda secara benar, dengan jaminan keadilan bagi semua isteri pada tingkat materi; dan membagi kasih sayang secara adil di antara isteri-isterinya.32 Lebih dari itu, Asghar Ali Engineer menyepakati penafsiran Maulana Umar Ahmad Usmani, yang menyatakan bahwa selain syarat-syarat tersebut, poligini pun hanya “dibenarkan” apabila dilakukan dengan para janda dengan tujuan, sebagaimana al-Qur’an, untuk melindungi harta mereka. Hanya dengan janda, bukan dengan perempuan lain. Asghar Ali Engineer juga mengutip Parvez yang menegaskan bahwa poligini hanya dibenarkan selagi solusi yang rasional untuk mengatasi problem sosial— misalnya membengkaknya jumlah janda dan anak yatim karena perang— tidak diperoleh. Dengan kata lain, selagi masih ada cara yang rasional untuk mengatasi problem tersebut, maka poligini tidak bisa dibenarkan. Atau, mengikuti penafsiran Muhammad Asad, perkawinan poligini itu hanya bisa diterima dalam kasus-kasus yang luar biasa dan dalam keadaankeadaan yang luar biasa.33 Sementara itu, Amina Wadud dalam melihat ayat tentang poligini ini berangkat dari perspektif al-Qur’an mengenai perkawinan. Tanpa terlebih dulu memberikan penjelasan linguistik terhadap ayat tersebut, tetapi tetap melakukan intertekstual dengan ayat-ayat yang lain, Wadud berupaya untuk menempatkan ayat tersebut dalam konteks sejarahnya. Sebelum Islam datang, perkawinan senantiasa didasarkan atas kebutuhan perempuan secara material kepada laki-laki. Secara ekonomis, laki-laki yang ideal bagi anak perempuan adalah ayah, sedangkan laki-laki ideal bagi seorang perempuan dewasa adalah suami. Perspektif ekonomi yang begitu dominan bagi masyarakat sebelum Islam dalam perkawinan inilah yang mendorong Wadud menelaah aspek tersebut dalam melihat ayat al-Qur’an tentang poligini tersebut.34 Ada beberapa penjelasan yang diberikan Wadud terkait dengan perspektif ekonomi dalam kaitannya dengan ayat di atas. Pertama, ayat ini terkait dengan perlakuan wali terhadap anak yatim. Wali laki-laki yang bertanggung jawab untuk mengelola kekayaan anak-anak perempuan yatim harus berlaku adil sebagaimana diungkapkan dalam QS. al-Nisa’ [4]: 2. Untuk mencegah terjadinya penyelewengan dalam mengelola harta anak-anak perempuan yatim itu adalah dengan cara menikahi mereka. Kebolehan melakukan perkawinan poligini sampai dengan 4 isteri bagi seorang laki-laki pemelihara anak yatim dengan kewajiban memenuhi tangung jawab ekonomi mereka, menurut Wadud, merupakan 32
Asghar Ali Engineer, The Quran, p. 95. Ibid. 34 Amina Wadud, Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective, (New York: Oxford University Press, 1999), pp. 83-84. 33
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Ahmad Baidowi: Penafsiran Feminis Muslim terhadap Ayat...
635
“kompensasi” terhadap tanggung jawab mengelola harta kekayaan anakanak perempuan yatim yang kemudian menjadi isterinya.35 Kedua, ayat ini menekankan persoalan keadilan dalam pengertiannya yang sangat luas. Bagi Wadud, keadilan yang dimaksudkan dalam ayat di atas bukan hanya adil terhadap para isteri seperti pembagian waktu gilir atau kasih sayang sebagaimana dinyatakan oleh sebagian ulama, namun meliputi keadilan dalam mengadakan perjanjian, mengelola harta dengan adil, adil terhadap anak yatim dan adil kepada para isteri. Dalam kaitannya dengan yang terakhir ini, Wadud, dengan merujuk QS. al-Nisa (4): 29, mengutip kecenderungan para mufassir modern yang menegaskan prinsip perkawinan monogami. Menekankan hal ini, Wadud menegaskan bahwa pernikahan adalah perjanjian untuk saling melengkapi antara suami dan isteri. Dalam kaitan ini, Wadud pun menegaskan bahwa tujuan pernikahan sebagaimana ditegaskan dalam QS. al-Baqarah (2): 187, “Mereka itu [jamak feminin] menjadi pakaian bagimu [jamak maskulin] dan kamu pun pakaian bagi mereka.” dan QS. 30 (al-Rum): 21 ”membentuk keluarga yang penuh cinta kasih dan tenteram,” tidak akan tercapai manakala seorang suami sekaligus sebagai ayah membagi cintanya kepada lebih satu keluarga.36 Ketiga, Amina Wadud menolak alasan-alasan terkait dengan anggapan perlunya perkawinan poligini dilakukan, yaitu karena kepentingan finansial, isteri mandul atau anggapan bahwa libido laki-laki lebih tinggi daripada perempuan.37 Alasan pertama menyatakan bahwa laki-laki yang mampu secara finansial perlu menghidupi lebih dari satu isteri untuk menghadapi persoalan ekonomi. Wadud mengkritik alasan yang menganggap perempuan sebagai beban finansial ini dengan mengemukakan bahwa anggapan yang menyatakan hanya laki-laki yang mampu bekerja tidak dapat diterima. Produktivitas itu sangat kompleks, di mana saat sekarang ini banyak perempuan yang tidak tergantung pada laki-laki. Jadi, “poligini tidak lagi merupakan suatu solusi sederhana untuk menyelesaikan kerumitan persoalan ekonomi.”38 Alasan kedua yang menyatakan bahwa pernikahan poligini perlu dilakukan jika perempuan yang dinikahi tidak mampu memberikan anak atau mandul juga ditolak Wadud dengan beberapa argumentasi. Dalam 35
Ibid. Ibid. 37 M. Yusuf ‘Abd menyebutkan beberapa hikmah dari apa yang disebutnya pensyariatan poligami. Poligami bisa dilakukan jika isteri mandul sementara suami menginginkan punya anak, isteri sakit sehingga tidak bisa melayani suami sebagai isteri, libido suami tinggi, jumlah perempuan lebih banyak dan suami sering bepergian jauh. Lihat ‘Abd M. Yusuf, Qadaya al-Mar’ah fi Surah al-Nisa’, (Kuwait: Dar al-Da’wah, 1985). 38 Amina Wadud, Qur’an and Woman, p. 84. 36
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Ahmad Baidowi: Penafsiran Feminis Muslim terhadap Ayat...
636
kaitan ini, Wadud menegaskan bahwa al-Qur’an tidak pernah menyebutkan alasan tidak memiliki anak sebagai kebolehan melakukan perkawinan tersebut. Selain itu, memelihara anak adalah persoalan kemauan untuk merawat, sebab sesungguhnya anak-anak terlantar di dunia ini banyak sekali dan mereka memerlukan perawatan. Alasan ketiga yang menyatakan bahwa berpoligini merupakan cara laki-laki untuk menyalurkan hasrat seksualnya yang tidak cukup dengan satu isteri karena mereka memiliki libido yang lebih tinggi dibanding perempuan dianggap Wadud bukan hanya tidak disebutkan dalam alQur’an, tetapi bahkan sangat tidak qur’ani. Dalam kaitan ini, Wadud menegaskan bahwa terkait dengan hal tersebut ia menegaskan perlunya laki-laki, juga perempuan, untuk mengendalikan diri. Tidak sebagaimana Abu Zaid yang memperlihatkan signifikansi poligini sebagai pernikahan yang dapat saja ”dibatalkan” untuk konteks sekarang, Wadud tidak secara tegas memperlihatkan bahwa poligini adalah memang cenderung tidak diperbolehkan. Namun demikan, dari argumentasi yang dikemukakan menyangkut persoalan perkawinan poligini dapat ditarik kesimpulan bahwa perkawinan tersebut cenderung dinaifkan. Berbeda dengan penafsiran yang telah disebutkan, Muhammad Salman Ghanim menegaskan bahwa QS. al-Nisa’ di atas justru menegaskan perkawinan monogami. Meskipun menyatakan bahwa Islam tidak melarang poligini, namun seraya menegaskan bahwa menyandarkan kebolehan poligini pada ayat di atas adalah salah dan tidak berdasar, Ghanim menyatakan bahwa kondisi sekarang tidak mengizinkan adanya praktik poligini, sehingga praktik perkawinan poligini harus dilarang.39 Kalimat “masna wa sulasa wa ruba’” yang dipahami baik oleh para mufassir tradisional-konservatif maupun oleh para feminis Muslim sebagai bilangan dalam arti jumlah isteri dalam perkawinan poligini dimaknai oleh Ghanim sebagai kata sifat bukan bilangan. Adapun yang menjadi mausuf adalah kata al-nisa’. Dengan pemaknaan ini, Ghanim mengartikan ayat di atas dengan “Jika takut menzalimi (tidak bisa berbuat adil) kepada anak yatim karena mereka jauh (secara nasab) dari kamu sekalian, maka kawinilah ibu-ibu yang mempunyai anak dua, tiga atau empat.”40 Mengomentari ayat “Fain khiftum an la ta’dilu fawahidah aw ma malakat aymanukum,” Ghanim juga menegaskan bahwa pemakaian huruf “aw” dalam aw ma malakat aymanukum menunjukkan bahwa pernikahan dengan seorang perempuan tidak bisa digabungkan dengan budak. Seraya 39
Muhammad Salman Ghanim, Kritik Ortodoksi: Tafsir Ayat Ibadah, Politik dan Feminisme, terj. Kamran Arsyad Irsyadi, (Yogyakarta: LKiS, 2004), p. 91. 40 Ibid., p. 89. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Ahmad Baidowi: Penafsiran Feminis Muslim terhadap Ayat...
637
menegaskan tidak boleh menggabungkan antara menikahi perempuan merdeka dan budak, Ghanim menyatakan bahwa hubungan seorang lakilaki dengan budak perempuan dalam ayat tersebut harus tetap berada dalam bingkai pernikahan, bukan hubungan sesaat di luar perkawinan seperti yang dipahami selama ini.41 Dalam kaitan perkawinan poligini, Ghanim bukan saja menyatakan bahwa perkawinan tersebut untuk saat ini haram dan tidak bisa ditolerir dan bahkan merupakan bentuk kriminalitas besar, namun ia juga menegaskan perlunya mengusulkan kepada penguasa untuk menyusun perundang-undangan yang melarang perkawinan poligini secara keras. Baginya, hal ini sejalan dengan syari’at Islam dan reinterpretasi al-Qur’an dari perspektif perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan tingkah laku.42 D. Penutup Poligami merupakan jenis perkawinan yang diperbolehkan dalam waktu yang cukup lama dalam berbagai tradisi agama, termasuk Islam. Namun, ketika para feminis mulai berupaya untuk memperjuangkan kesetaraan perempuan dengan laki-laki, mereka cenderung menolak institusi ini karena hal itu dianggap sebagai salah satu bentuk subordinasi perempuan oleh laki-laki. Para feminis (Muslim) beranggapan bahwa ajaran Islam tentang pernikahan sesungguhnya mengajarkan perkawinan monogami.
41 42
Ibid., p. 91-92. Ibid., pp. 93-94.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
638
Ahmad Baidowi: Penafsiran Feminis Muslim terhadap Ayat...
Daftar Pustaka Yusuf, ‘Abd M., Qadaya al-Mar’ah fi Surah al-Nisa’, Kuwait: Dar al-Da’wah, 1985. ibn Kasir, Abu al-Fida’ Isma’il, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, ditahqiq oleh‘Abd al-Razzaq al-Mahdi, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 2001. al-Tabari, Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999. Al-Haddad al-Tahir, Imraatuna fi al-Syari’ah wa al-Mujtama’, Tunis: Dar alTunisiyah li al-Nasyr, 1985. Wadud, Amina, Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective, New York: Oxford University Press, 1999. Engineer, Asghar Ali, The Qur’an, Women and Modern Society, New Delhi: Sterling Pubishers Private Limited, 1990. ‘Abduh, Muhammad, al-A’mal al-Kamilah, ed. Muhammad ‘Imarah, Beirut: Mu’assasah al-‘Arabiyah li al-Nasyr, 1972. Ghanim, Muhammad Salman, Kritik Ortodoksi: Tafsir Ayat Ibadah, Politik dan Feminisme, terj. Kamran Arsyad Irsyadi, Yogyakarta: LKiS, 2004. Abu Zaid, Nasr Hamid, Dawair al-Khauf: Qira’ah fi Khitab al-Mar’ah, Beirut: al-Markaz al-Saqafi al-‘Arabi, 1999. Amin, Qasim, al-A’mal al-Kamilah, Cairo: Dar al-Syuruq, 1989.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009