PEMODELAN REMAJA PUTUS SEKOLAH USIA SMA DI PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN METODE REGRESI SPASIAL Liska Septiana(1), Sri Pingit Wulandari (2), Mahasiswa Statistika FMIPA
[email protected], (2) Dosen Statistika ITS
[email protected]
(1)
ABSTRAK Pendidikan dikatakan sebagai katalisator faktor utama pengem-bangan SDM, namun disisi lain banyak remaja yang putus sekolah pada saat SMA. Berdasarkan data Susenas tahun 2009 diketahui bahwa remaja putus sekolah usia SMA sebesar 40,89% dari total usia SMA sekitar 16-18 tahun. Pada penelitian ini menganalisis mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap remaja putus sekolah usia SMA. Diduga ada efek dependensi spasial dalam kasus ini, penyelesaian efek dependensi spasial adalah mengunakan regresi dengan pendekatan area. Regresi spasial dengan pendekatan area meliputi Spatial Autoregressive Model (SAR), Spatial Error Model (SEM), Spatial Autoregressive Moving Average (SARMA). Hasil statistik deskriptif, diketahui rata-rata siswa putus sekolah sebesar 19,19% dengan rasio berjenis kelamin perempuan terhadap laki-laki, dan persentase keluarga miskin sebesar 1,427 dan 15,96%. Berdasarkan model spasial Spatial Autoregressive Model (SAR) didapatkan variabel prediktor yang signifikan pada α=10% adalah variabel keluarga miskin dan letak rumah dipedesaan dengan nilai R2=44,15%. Sedangkan dengan model spasial Spatial Error Model (SEM) didapatkan variabel predictor yang signifikan pada α=5% adalah letak rumah dipedesaan dengan nilai R2= 42,38%. Kata kunci : Putus Sekolah, SAR, SEM 1. PENDAHULUAN Salah satu parameter keberhasilan pendidikan adalah menuntaskan Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM) mutu pendidikan untuk mencapai 95% (Rasiyo, 2008). Pendidikan di Jawa Timur belum maksimal berdasarkan jenjang pendidikan formal khususnya pada jenjang pendidikan SMA. Hal ini dapat dilihat dari APK dan APM hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas, 2008). APK Jawa Timur untuk usia SMA sebesar 71,18% dan APM sebesar 57,05%, dapat dikatakan persentase APK dan APM usia SMA di Jawa Timur masih rendah karena belum mencapai 95%. Besar kecilnya persentase nilai APK dan APM sangat erat hubungannya dengan putus sekolah. Berdasarkan data Susenas tahun 2009 diketahui bahwa remaja putus sekolah usia SMA sekitar 40,89% dari total usia SMA yakni usia 16-18 tahun. Berdasarkan penelitian tentang anak putus sekolah di Kecamatan Jangka Kabupaten Bireuen Provinsi Aceh utara secara umum masalah utamanya adalah kondisi ekonomi keluarga (Grahacendikia,2009). Hasil penelitian di Kecamatan Selangit, kabupaten Musi Rawas, Provinsi Sumatera Selatan menyimpulkan dari beberapa faktor, permasalahan
geografis sangat dominan menjadi penyebab anak putus sekolah (Alifianto,2008). Melihat hasil penelitian (Choiriyah,2009) di Surabaya Utara, salah satu faktor tejadinya putus sekolah adalah jenis kelamin. Sedangkan penelitian angka putus sekolah di Sumatra Barat diketahui bahwa faktor terpenting yang mempengaruhi angka putus sekolah dijumpai pada rumah tangga yang jauh dari fasilitas publik, rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas lampu listrik (Elfindri,2001). Dari beberapa penelitian sebelumnya, maka penelitian ini diambil beberapa faktor remaja putus sekolah usia SMA berdasarkan data Susenas ada lima yaitu jenis kelamin, jumlah saudara di dalam anggota rumah tangga, letak rumah di pedesaan, persentase keluarga miskin di tiap kabupaten serta pendidikan kepala rumah tangga. Perlu dipertimbangkan juga bahwa putus sekolah di suatu wilayah dipengaruhi oleh keadaan jarak antara wilayah yang satu dengan yang lain, kemungkinan letak sekolah yang lebih dekat dengan tempat tinggal berada di luar wilayah kabupaten/kota. Transportasi saat ini memungkinkan seseorang untuk mencari sekolah yang lebih baik mutunya di luar wilayah tempat tinggalnya.
1
Kemudahan transportasi dan fasilitas lainnya memungkinkan seseorang untuk berpindah ketempat wilayah yang satu dengan wilayah yang lain, khususnya wilayah Jawa Timur yang memiliki kedekatan wilayah antara kabupaten/kota yang satu dengan yang lain. Dengan alasan tersebut adanya dependensi spasial karena letak wilayah antara yang satu dengan yang lain berdekatan dan memiliki karakteristik yang sama. Merujuk informasi yang telah didapat, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktorfaktor yang mempengaruhi remaja putus sekolah usia SMA di Jawa Timur dan pemetaan remaja putus sekolah SMA di kabupaten/kota di Jawa Timur. Untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh adalah dengan menggunakan metode regresi tanpa melihat efek spasial di tiap kabupaten/kota di jawa timur. Pemetaan yang dilakukan untuk melihat bentuk efek spasial yang dilihat secara visual. Pengujian efek spasial dilakukan dengan uji heterogenitas dan dependensi spasial. Berdasarkan penjelasan diatas penelitian ini dilakukan menggunakan penyelesaian regresi spasial area dengan metode Spatial Autoregressive Model (SAR) untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi remaja purtus sekolah usia SMA di provinsi Jawa Timur. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Analisis Regresi Berganda Analisis regresi merupakan analisis untuk mendapatkan hubungan dan model matematis antara variabel dependen (Y) dan satu atau lebih variabel independen (X). Menurut (Draper dan Smith,1992) Hubungan antara satu variabel dependen dengan satu atau lebih variabel independen dapat dinyatakan dalam model regresi linier. Secara umum hubungan tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut
Metode penaksiran parameter model pada persamaan 1 adalah dengan metode least square (Drapper and Smith, 1992). Bentuk penaksir least square dari parameter tersebut adalah :
ˆ X T X
1
XT y
(2.2)
dengan
ˆ : vektor dari parameter yang ditaksir (p+1) x 1 X : matriks variabel bebas berukuran n x (p+1) Y : vektor observasi dari variabel respon berukuran (n x 1) k : banyaknya variabel bebas (k = 1, 2, …., p) Pengujian kesesuaian model secara serentak dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut :
H 0 : 1 2 ..... p 0
H 1 : Paling sedikit ada satu k 0 Statistik uji dalam pengujian tersebut adalah Fhit=
MSR MSE
(2.3)
dengan keputusan model regresi sesuai untuk data yang digunakan jika Fhit > F ;v1 ,v2 dimana v1 = p dan v2 = (n-p-1). Setelah dilakukan pengujian secara serentak, maka langkah selanjutnya adalah melakukan uji signifikansi secara parsial, untuk mengetahui variabel mana saja yang secara statistik signifikan mempengaruhi variabel respon. Bentuk rumusan hipotesisnya adalah sebagai berikut :
H0 : k 0
H 1 : k 0 dengan k = 1, 2, …., p Dengan taraf signifikansi 0,05 Statistik uji yang digunakan dalam pengujian secara parsial adalah ˆk thit
SE ˆk
~ tn 2 k
, (2.4) dengan keputusan tolak H 0 jika t hit . t df ;1 / 2
Y 0 1X1 ...pX p , dimana Y variabel dependen, sedangkan p adalah parameter yang tidak diketahui, dan adalah error regresi. Jika dilakukan pengamatan sebanyak n, maka model pengamatan ke-i adalah Yi Xi1pXip 1,2,...n Kalau disederhanakan menjadi Y Xβ ε , dimana Y adalah vector berukuran nx1, X matriks berukuran n x k , vektor berukuran kx1, dan ε vektor berukuran nx1. Matriks X mempunyai rank kolom penuh yaitu k, dimana k = p+1. Dalam model regresi berganda ada asumsi normalitas
dimana df = n-2-k (n adalah jumlah pengamatan dan k adalah jumlah variabel bebas). 2.2 Regresi Spasial Hukum pertama tentang geografi dikemukakan oleh Tobler (1979), menyatakan bahwa segala sesuatu saling berhubungan satu dengan yang lainnya, tetapi sesuatu yang dekat lebih mempunyai pengaruh daripada sesuatu yang jauh (Anselin, 1988). Hukum tersebut merupakan dasar pengkajian permasalahan berdasarkan efek lokasi atau metode spasial. Dalam permodelan, apabila model regresi klasik digunakan sebagai alat analisis pada data spasial, maka dapat menyebabkan kesimpulan yang kurang tepat
yaitu ε∼IIDN(0,I).
2
y W1y ε ε ~ N (0, 2 I)
karena asumsi error saling bebas dan asumsi homogenitas tidak terpenuhi. Pengujian efek spasial dilakukan dengan uji heterogenitas dan dependensi spasial. Penyelesaian jika ada efek heterogenitas adalah dengan mengunakan pendekatan titik. Regresi spasial titik antara lain Geographically Weighted Regression (GWR),Geographically Weighted Poisson Regression (GWPR), Geographically Weighted Logistic Regression (GWLR). Penyelesaian jika ada efek dependensi spasial adalah dengan mengunakan pendekatan area. Regresi spasial dengan pendekatan area meliputi Spatial Autoregressive Model (SAR), Spatial Error Model (SEM), Spatial Autoregressive Moving Average (SARMA) Spatial Durbin Model (SDM), Conditional Autoregressive Models (CAR).
Persamaan (2.8) tersebut menunjukkan variansi pada y sebagai kombinasi linear variansi antar lokasi yang berdekatan dengan tanpa variabel independen. 1) Pada persamaan (2.5) jika nilai W2 0 atau 0 maka akan manjadi model regresi spasial Mixed Regressive-Autoregressive atau Spatial Autoregressive Model (SAR) seperti pada persamaan (2.8). y W1y Xβ ε (2.8)
ε ~ N (0, 2 I)
2.3 Pemodelan Spasial Model umum regresi spasial dinyatakan pada persamaan (2.5) dan (2.6) (LeSage, 1999; dan Anselin 1988). y W1y Xβ u (2.5)
u W2 u ε ε ~ N (0, 2 I)
(2.7)
2)
Model persamaan (2.8) mengasumsikan bahwa proses autoregressive hanya pada variabel dependen. Jika persamaan (2.5) nilai W1 0 atau 0 maka akan manjadi model Spatial Error Model (SEM) seperti pada persamaan (2.9). y Xβ W2 u ε (2.9)
ε ~ N (0, 2 I) W2u menunjukkan spasial struktur W2 pada spatially dependent error ( ε ). 3) Jika persamaan (2.6) nilai W1 , W2 0 , 0 , atau 0 maka disebut Spatial
(2.6)
dengan y : Vektor variabel dependen, ukuran n x1 1 X : Matrik variabel independen, berukuran n x (k+1) β : Vektor parameter koefisien regresi, berukuran (k+1) x 1 : Parameter koefisien spasial lag variabel dependen : Parameter koefisien spasial lag pada error u : vektor error pada persamaan (2,5), berukuran nx1 ε : vektor error pada persamaan (2.6), berukuran n x 1, yang berdistribusi normal dengan mean nol dan varians 2 I W1 , W2 : matrik pembobot, berukuran n x n I : matrik identitas, berukuran n x n n : banyaknya amatan/lokasi (i = 1, 2,.., n) k : banyaknya variabel independen (k = 1, 2, 3, …, l) Error regresi (u) yang diasumsikan memiliki efek lokasi random dan mempunyai autokorelasi secara spasial. W1 dan W2 merupakan pembobot yang menunjukkan hubungan continguity atau fungsi jarak antar lokasi dan diagonalnya bernilai nol. Pada persamaan (2.5), ketika X = 0 dan W2 0 akan menjadi spasial autoregressive order pertama seperti pada persamaan(2.8).
Autoregressive Moving Average (SARMA) dengan persamaan sama seperti pada persamaan (2.5). 2.3 Spatial Autoregressive Model (SAR) Spatial Autoregressive Model (SAR) disebut juga Spatial Lag Model (SLM) adalah salah satu model spasial dengan pendekatan area dengan memperhitungkan pengaruh spasial lag pada variabel dependen saja. Model ini dinamakan Mixed Regressive - Autoregressive karena mengkombinasikan regresi biasa dengan model regresi spasial lag pada variabel dependen (Anselin,1988). Persamaan (2.8) tersebut menjelaskan variasi dalam y sebagai kombinasi linier dari unit yang berdekatan tanpa variabel independen. 1 1 1 T y ~ N I W1 Xβ, I W1 2II W1 (2.10)
2.4 Spatial Error Model (SEM) Uji Residual Spatial error model berbasis Maximum Likelihood estimation dilakukan untuk mengetahui SEM. Anselin (1988) memaparkan bahwa tes untuk menguji Residual spatial autocorrelation ada 3 metode yaitu: Wald, Likelihood Ratio Test (LRT), dan Lagrange Multiplier (LM). LRT merupakan metode yang sering dipakai untuk inferensi dari SEM. Hipotesis yang dikemukakan ialah
3
H0: (tidak ada dependensi error spasial) H1 : 0 (ada dependensi error spasial) Arbia (2006) mengemukakan inferensi dari LRT sebagai berikut. Sebagaimana persamaan
Apabiladpada Gambar 2.1 digunakan metode Queen contiguity maka diperoleh susunan matriksberukuran 5×5, sebagai berikut:
1 1 n LRT 2 lnσ 2 ln (I B) 1 (I B) T 2 (y 2 2σ 2 1 n Xβ)T (I B)1 (I B) T ( y Xβ) ln 2 2
(y Xβ) T (y Xβ) 2 1
2
WQueen
2.5 Estimasi Parameter dengan Estimasi parameter β diperoleh memaksimumkan fungsi ln likelihood persamaan (2.17), yaitu dengan mendifferensialkan persamaan tersebut terhadap β Sehingga didapatkan estimasi parameternya adalah 1 βˆ XT X XT (I W1 )y (2.12) Pengujian hipotesis untuk signifikansi parameter pada permodelan spasial (Anselin, 1988) diantaranya Lagrange Multiplier, Wald test, dan Likelihood Ratio Test. Penelitian ini digunakan Wald test adalah sebagai berikut Hipotesis : T H0 : p , , β0 .... βk 0 H1 : p 0
WQueen
Wald
0
1 0
0 1
0 0
1 1
0 1
0 0 1 1 0
0 0, 5 0 0 0
1
0
0
0 0, 3
0, 5 0
0 0, 3
0 0
0, 5 0, 5
0 0, 5
0 0 0, 3 0, 5 0
2.7 Uji Efek Spasial Efek spasial yaitu spatial dependence dan spatial heterogeneity pada data, digunakan beberapa metode pengujian. Pengujian adanya spatial dependence memakai metode Moran’s I dan Lagrange Multiplier (LM). Untuk pengujian adanya spatial heterogeneity menggunakan metode Breusch-Pagan Test. 2.7.1 Spatial Dependence Spatial dependence muncul berdasarkan hukum Tobler I (1979) yaitu segala sesuatu saling berhubungan dengan hal yang lain tetapi sesuatu yang lebih dekat mempunyai pengaruh yang besar. Anselin (1988) menyatakan bahawa uji untuk mengetahui spatial dependence di dalam error suatu model adalah dengan menggunakan statistik Moran’s I. Hipotesis yang digunakan adalah : H0 : I = 0 (tidak ada autokorelasi antar lokasi) H0 : I ≠ 0 (ada autokorelasi antar lokasi) Statistik uji disajikan pada persamaan :
ˆp 2 var(ˆp )
Dengan
ˆ p2
0
0 1
dimana baris dan kolom menyatakan region yang ada pada peta. Karena matriks pembobot/penimbang spasial merupakan matriks simetris, dan dengan kaidah bahwa diagonal utama selalu nol. Matriks dilakukan standarisasi untuk mendapatkan jumlah baris yang unit, yaitu jumlah baris sama dengan satu, sehingga matriks menjadi sebagai berikut:
pembobot spasial H0 ditolak jika statistik uji LRT > 2 ,1
Statistik uji :
1
(2.11)
dengan B = λW dimana λ = koefisien eror spasial yang bernilai < 1 dan W merupakan matriks
0 1 0 0 0
: estimasi parameter ke-p
var(ˆp ): varians estimasi parameter ke-p
H0 ditolak jika statistik uji Wald > 2 ,1 2.6 Matriks Pembobot Pembobot yang dipakai adalah dengan menggunakan persinggungan sisi sudut (Queen Contiguity) adalah lokasi yang bersisian atau titik sudutnya bertemu dengan lokasi yang menjadi perhatian diberi pembobotan wij = 1, sedangkan untuk lokasi lainnya adalah wij = 0. Berikut ini merupakan gambar peta
Z hitung
I-E(I)
(2.13)
var(I)
dimana n
I
n
n
n w i 1 j1
ij
( xi x )( x j x )
i 1 j1
n
n
S 2 ( wio woi ) 2
So ( xi x ) 2 i 1
var(I)
n[(n 2 3n 3) S1 nS 2 2S o2 ] (n 1)(n 2)(n 3) S o2 n
wio wij
Sumber: LeSage (1999) Gambar 2.1 Persinggungan wilayah
4
j1
n
S o wij
n
i 1
1 n S1 ( wij wji ) 2 2 i j
woi wji j1
E Io
1 n 1
yang mempunyai nilai amatan tinggi dikelilingi oleh lokasi yang mempunyai nilai amatan rendah. Pada LM test diperoleh berdasar pada asumsi model di bawah H0. Terdapat tiga hipotesis yang akan digunakan, yaitu: (i) H0 : ρ = 0 dengan H1 : ρ ≠ 0 (untuk model SAR) (ii) H0 : λ = 0 dengan H1 : λ ≠ 0 (untuk model SEM) (iii) H0 : ρ, λ = 0 dengan H1 : ρ, λ ≠ 0 (untuk model SARMA) Statistik uji yang digunakan adalah: 2 2 LM E 1 Ry T22 2Ry ReT12 Re ( D T11
Keterangan: xi : data ke i (i = 1, 2, …, n) xj : data ke j (j = 1, 2, …, n) : rata-rata data var (I) : varians Moran’s I E(I) : expected value Moran’s I Pengambilan keputusan adalah H0 ditolak jika Zhitung > Zα/2. Nilai dari indeks I adalah antara -1 dan 1. Apabila I > Io maka data memiliki autokorelasi positif, jika I < Io maka data memiliki autokorelasi negatif. Pola pengelompokan dan penyebaran antar lokasi dapat juga disajikan dengan Moran’s Scatterplot. Moran’s Scatterplot menunjukkan hubungan antara nilai amatan pada suatu lokasi (distandarisasi) dengan rata-rata nilai amatan dari lokasi-lokasi yang bertetanggaan dengan lokasi yang bersangkutan (Lee dan Wong, 2001).
LM X 2 dengan m = jumlah parameter spasial (SAR = 1, SEM = 1, SARMA = 2) T R y e W1 y / 2 R y e T W2 y / 2 M 1 X ( X T X ) 1 X T Tij tr WiW j W T iW j E 2 (W T X ) T M (W T X ) E ( D T11 )T22 (T22 ) 2 e adalah least square residual untuk observasi. Jika matriks penimbang spasial W1 = W2 = W maka T11 = T12 = T22 = T = tr{(W + W) W}. Keputusan tolak H0 jika nilai LM > X2(k).
0 0.50
Kuadran II
Kuadran I
Wx
0.25
0.00
-0.25
0
Kuadran III
Kuadran IV
-0.50 -0.50
-0.25
0.00 x
0.25
2.7.1 Spatial Heterogenity Spatial heterogenity menunjukkan adanya keragaman antar lokasi. Jadi setiap lokasi mempunyai struktur dan parameter hubungan yang berbeda. Heterogenitas data secara spasial dapat diuji dengan menggunakan statistik uji BreuschPagan test (BP test) yang mempunyai hipotesis: H0 : σ12 = σ22 =... = σn2 = σ2 (kesamaan varians/homokedastisitas) H1 : minimal ada satu σi2 ≠ σ2 (heterokedastisitas) Nilai BP test adalah BP = (1/2)fT Z (ZTZ)-1ZTf ~ χ2(k) dengan elemen vektor f adalah
0.50
Gambar 2.2 Moran’s Scatterplot
Scatterplot tersebut terdiri atas empat kuadran, yaitu kuadran I, II, III, dan IV. Lokasilokasi yang banyak berada di kuadran I dan III cenderung memiliki autokorelasi positif, sedangkan lokasi-lokasi yang banyak berada di kuadran II dan IV cenderung memiliki autokorelasi negatif. Berdasarkan Gambar 2.2 dapat dijelaskan dari masing-masing kuadran (Perobelli dan Haddad, 2003). - Kuadran I (High-High), menunjukkan lokasi yang mempunyai nilai amatan tinggi dikelilingi oleh lokasi yang mempunyai nilai amatan tinggi. - Kuadran II (Low-High), menunjukkan lokasi yang mempunyai nilai amatan rendah dikelilingi oleh lokasi yang mempunyai nilai amatan tinggi. - Kuadran III (Low-Low), menunjukkan lokasi yang mempunyai nilai amatan rendah dikelilingi oleh lokasi yang mempunyai nilai amatan rendah. - Kuadran IV (High-Low), menunjukkan lokasi
fi = dimana ei : merupakan least square residual untuk observasi ke-i Z : merupakan matrik berukuran n x (k+1) yang berisi vektor yang sudah dinormal-standarkan (z) untuk setiap observasi. Tolak H0 bila BP > χ2(k). 2.8 Parameter Pendidikan Pendidikan dapat dikatakan sebagai katalisator faktor utama dalam pengembangan
5
SDM, dengan anggapan semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula kesadaran dalam berbagai aspek. Salah satu parameter keberhasilan pendidikan adalah menuntaskan APK (Angka Partisipasi Kasar) dan APM (Angka Partisipasi Murni) mutu pendidikan untuk mencapai 95%. APK adalah rasio jumlah siswa, berapapun usianya, yang sedang sekolah di tingkat pendidikan tertentu terhadap jumlah penduduk kelompok usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikan tertentu. APK dapat di hitung dengan membagi jumlah penduduk yang sedang bersekolah (atau jumlah siswa), tanpa memperhitungkan umur, pada jenjang pendidikan tertentu dengan jumlah penduduk kelompok usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikan tersebut. APM adalah persentase siswa dengan usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikannya dari jumlah penduduk di usia yang sama. APM di suatu jenjang pendidikan didapat dengan membagi jumlah siswa atau penduduk usia sekolah yang sedang bersekolah dengan jumlah penduduk kelompok usia yang berkaitan dengan jenjang sekolah. APK dan APM erat kaitannya dengan remaja putus sekolah di setiap jenjang pendidikan, karena didalam perhitungan APK dan APM dihitung dari jumlah siswa yang sekolah di jejang pendidikan. Jika jumlah siswa yang bersekolah lebih rendah daripada jumlah usia sekolah di setiap jenjang pendidikan, maka nilai APK dan APM menjadi rendah. Semakin banyak siswa di jenjang pendidikan yang putus sekolah maka semakin sedikit nilai persentase APK dan APM. 2.9 Pengertian Putus Sekolah Putus sekolah adalah mereka yang pernah duduk pada salah satu tingkat pendidikan akan tetapi pada saat survei berlangsung mereka tidak terdaftar pada salah satu pendidikan formal yang disebabkan oleh berbagai faktor. Berdasarkan penelitian sebelumnya masing-masing wilayah terdapat perbedaan mengenai faktor mana yang paling dominan. Hal ini tergantung dari kondisi wilayah dan penduduk di wilayah tersebut. Berdasarkan penelitian tentang anak putus sekolah di Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen, Aceh Utara (Grahacendikia, 2009) ditemukan penyebab anak putus sekolah adalah dari faktor demografi, geografis, sosial budaya, dan ekonomi. Secara umum masalah utamanya adalah kondisi ekonomi keluarga yang kurang mendukung dan sebagian lagi adalah faktor keluarga. Hasil penelitian di Kecamatan Selangit, Kabupaten Musi Rawas, Provinsi Sumatera Selatan ditemukan penyebab anak putus sekolah dari faktor sosial budaya antara lain malas, nakal, takut dengan guru, tidak naik kelas, masalah keluarga.
Dari faktor geografis antara lain jalan rusak dan jarak sekolah yang jauh dari rumah. Faktor ekonomi indikatornya antara lain tidak ada biaya dan bekerja. Dari ketiga faktor tersebut permasalahan geografis sangat dominan menjadi penyebab anak putus sekolah (Alifianto, 2008). Berdasarkan penelitian angka putus sekolah di Sumatra Barat (Elfindri,2001) diketahui bahwa faktor terpenting terpenting yang mempengaruhi angka putus sekolah dijumpai pada rumah tangga yang jauh dari fasilitas publik, rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas lampu listrik, orang tua mereka juga tidak sekolah atau maksimum hanya tamat sekolah dasar. Faktor-aktor lain yang menyebabkan anak putus sekolah yaitu jenis kelamin, jumlah saudara dan rata-rata pengeluaran perbulan. Jenis kelamin erat kaitannya dengan putus sekolah, diduga angka putus sekolah anak perempuan jauh lebih besar dibandingkan dengan anak laki-laki. 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Sumber Data Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder yang didapatkan dari Badan Pusat Statistik (BPS) berupa data (Survei Sosial Ekonomi Nasional) Susenas dan data Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur pada tahun 2009. Data ini mencakup persentase remaja putus sekolah usia SMA dan faktor-faktor yang mempengaruhinya di provinsi Jawa Timur yang mencakup 38 kabupaten/kota. 3.2 Variabel Penelitian Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 6 variabe yang terdiri dari 1 variabel respon dan 5 variabel prediktor dengan rincian sebagai berikut : a. Variabel respon (Y) yaitu presentase remaja putus sekolah usia SMA tiap kabupaten/kota di Jawa timur. Dimaksud usia SMA adalah usia 16-18 tahun, oleh karena itu pengambilan data hanya dibatasi remaja putus sekolah usia 1618 tahun. b. Variabel prediktor (X) yaitu faktor-faktor yang menyebabkan remaja putus sekolah usia SMA di Provinsi Jawa Timur pada Tabel 3.2. 3.3 Langkah Analisis Adapun langkah analisis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah : a. Melakukan eksplorasi data peta tematik untuk mengetahui pola penyebaran dan dependensi pada masing- masing variabel serta scatterplot untuk mengetahui pola hubungan variabel X dan Y b. Melakukan pemodelan regresi dengan metode Ordinary Least Square (OLS) yang meliputi estimasi parameter, estimasi sig-
6
nifikansi model, uji asumsi residual (identik, independen, dan berdistribusi normal). c. Uji dependensi dan heterogenitas spasial atau korelasi. d. Identifikasi tentangkeberadaan efek spasial dengan menggunakan uji Lagrange Multiplier (LM). Pengujian LM dilakukan untuk mengetahui model apa yang sesuai dengan prosedur. e. Melakukan pemodelan Spatial Autoregressive Model (SAR) f. Melakukan pemodelan Spatial Error Model (SEM). Variabel X1
X2
X3
X4
X5
4
Gambar 4.1 Peta Remaja Putus Sekolah Usia SMA
Gambar 4.1 merupakan peta tematik tersebut menjelaskan tentang angka putus sekolah remaja usia SMA untuk setiap kabupaten di Provinsi Jawa Timur. Terlihat dari gambar, ada beberapa daerah yang memiliki angka putus sekolah remaja usia SMA dengan kelompok persentase tinggi (ditandai dengan warna biru tua) dengan persentase antara 27,64% sampai 38,89%, yaitu Kabupaten Malang, Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Kediri, Kabupaten Trenggalek, dan Kabupaten Pacitan dengan kode 07, 16, 06, 03 dan 01. Berdasarkan letak geografis kelima kabupaten tersebut yang memiliki angka putus sekolah dengan persentase tinggi, letak kelima kabupaten tersebut cenderung berdekatan. Semakin muda yang ditandai dengan warna kuning warna dari peta tematik Gambar 4.3, menunjukkan bahwa kelompok persentase angka putus sekolah di daerah rendah yaitu antara 5,49% sampai 9,92%. Untuk daerah yang memiliki nilai kelompok presentase rendah adalah kabupaten Pamekasan, kabupaten Sampang, kabupaten Bangkalan, kabupaten Situbondo, kabupaten Probolinggo, kabupaten Sidoarjo dan kota Kediri dengan kode 28, 27, 26, 12, 13, 15 dan71. Selain menggunakan peta tematik, untuk melihat gambaran secara umum tentang faktor-faktor yang mempengaruhi siswa putus sekolah remaja usia SMA di Provinsi Jawa Timur dapat ditunjukkan pada Tabel 4.1.
Tabel 3.2 Variabel Prediktor Keterangan Definisi perhitungan variabel Jenis kelamin Dihitung dari rasio antara perempuan di banding laki-laki di setiap kabupaten/kota Persentase Dihitung dari jumlah rumah banyaknya tangga ART > 4 di jumlah anggota rumah tangga di setiap rumah tangga kabupaten/kota di Jawa Timur yang >4 Persentase Persentase keluarga kemiskinan keluarga tiap kabupaten/kota di Jawa kemiskinan Timur Persentase Persentase banyaknya letak letak rumah di rumah yang ada di pedesaan di pedesaan setiap kabupaten/kota di Jawa Timur Rasio Dihitung dari banyaknyakepala pendidikan rumahtangga yang kepala rumah berpendidikan maksimal SD tangga (Sekolah dasar) dibandingkan dengan yang jumlah kepala rumah tangga berpendidikan minimal SMP (Sekolah Menengah Pertama)
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan dilakukan pembahasan dengan menggunakan analisis Spatial Autoregressive Model (SAR) untuk mengetahui angka remaja putus sekolah usia SMA di Jawa Timur. Sebelum membahas pemodelan terhadap remaja putus sekolah usia SMA di Jawa Timur dengan menggunakan GWR, terlebih dahulu diuraikan mengenai statistik deskriptif.
Variabel Y X1 X2 X3 X4 X5
4.1 Statistik Deskriptif Remaja Putus Sekolah Usia SMA di Jawa Timur Statisti deskripti berupa pemetaan remaja putus sekolah usia SMA di Jawa Timur dapat dilihat pada gambar 4.1 adalah peta prosentase banyaknya putus sekolah usia SMA yang putus sekolah mulai dari SD (Sekolah Dasar).
Tabel 4.1. Statistik Deskritif Jumlah Mean Min Median 38 19,19 5,49 19,51 38 1,427 0,235 1,146 38 41,88 5,26 44,44 38 15,96 4,81 15,71 38 55,30 0 65,46 38 2,258 0,362 2,296
Maks 38,89 5 66,67 31,94 92,35 7,103
Berdasarkan Tabel 4.1 dapat diketahui bahwa rata-rata siswa putus sekolah usia SMA di Provinsi Jawa Timur adalah sebesar 19,19%. Rata-rata remaja yang putus sekolah usia SMA di Provinsi Jawa Timur untuk rasio perempuan terhadap lakilaki yang putus sekolah adalah sebesar 1,427. Kemudian untuk persentase remaja putus sekolah usia SMA yang memiliki anggota rumah tangga
7
Berdasarkan nilai R square model tersebut mampu menerangkan 20,8% dari keragaman total maka dapat dikatakan kurang mewakili data dan dapat dicoba dengan menggunakan model Regresi Spasial, agar dapat dilihat kemungkinan model yang lebih baik dengan nilai SSE lebih rendah dan nilai R square lebih tinggi.
lebih dari empat orang adalah sebesar 41,88%, yang berarti bahwa rata-tara remaja putus sekolah memiliki saudara yang cukup banyak. Semakin banyaknya anggota keluarga maka beban yang akan ditanggung oleh kepala rumah tangga juga akan semakin besar. Jika dilihat dari status keluarga untuk remaja yang putus sekolah usia SMA, rata-rata persentase status keluarga miskin untuk remaja tersebut adalah sebesar 15,96%. Ratarata remaja yang putus sekolah usia SMA adalah yang tinggal di pedesaan, yaitu dengan presentase sebesar 55,3%. Sedangkan faktor lain yang juga mempengaruhi remaja putus sekolah usia SMA adalah karena faktor dari pendidikan kepala rumah tangga. Bagi remaja yang memiliki kepala rumah tangga yang maksimal lulusan SD sebesar 2,258 kalinya kepala rumah tangga yang lulusan minimal sekolah SMP. Hal ini berarti bahwa semakin rendah lulusan kepala rumah tangga maka kesadaran untuk menyekolahkan anggota keluarganya juga semakin rendah. 4.2 Model Regresi Sederhana Khasus kolinieritas pada model regresi menyebabkan parameter regresi yang dihasilkan akan memiliki error yang sangat besar. Beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk mengetahui adanya kolinearitas antara variabel prediktor adalah dengan menggunakan koefisien korelasi (pearson correlation) dan nilai variance inflation factors (VIF). Pada penulisan ini hanya akan menggunakan kriteria kedua yaitu nilai VIF. Berikut ini adalah nilai variance inflation factors (VIF) untuk masing-masing variabel prediktor yang mempengaruhi angka putus sekolah remaja usia SMA di Provinsi Jawa Timur.
Tabel 4.3. Estimasi Parameter Model Regresi Parsial
Predictor
SE Coef 18,01 6,118 Constant 0,11 1,644 X1 0,0482 0,09661 X2 0,6019 0,3011 X3 21,038 9,329 X4 -1,312 1,821 X5 Nilai R square 20,8% **T(31;0,950) = 2.03951 * T(31;0,975) = 1.69552
T 2,94 0,07 0,48 -2** 2,26* -0,72
P 0,006 0,947 0,631 0,054 0,031 0,476
Berdasarkan tabel 4.3 dapat ditunjukkan hasil pengujian parsia signifikansi menggunakan α (0,05) bahwa terdapat dua variabel bebas yaituX3 dan X4 yang secara sigifikan berpengaruh terhadap remaja putus sekolah usia SMA karena memiliki nilai Thitung>T(31;0,975) (2,03951) atau nilai P_Vaue < α (0,05). NIlai R square sebesar 20,8% yang artinya model hanya mewakili data sebesar 20,8%. Tabel 4.4. Estimasi Parameter Model Regresi Serentak Source DF SS MS F P Regression 5 480,51 96,10 1,68* 0,168 Residual Error 32 1830,84 57,21 Total 37 2311,35 Durbin-Watson statistic = 1,68161 *F(0,95,32)= 2.51225 **dU= 1,792 dan dl=1,024
Pengujian kesesuaian model secara serentak dilakukan dengan melihat nilai Fhit dengan nilai F(0,95,32), keputusan model regresi sesuai untuk data yang digunakan jika Fhit >F(0,95,32) dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4.4. Pada Tabel 4.4 didapatkan bahwa hasil pengujian serentak didapatkan nilai Fhit =1,68 yang artinya gagal tolak H0 karena nilai Fhit < F(0,95,32) maka keputusannya adalah variabel prediktor secara serentak tidak signifikan terhadap variabel respon. Selanjutnya dilakukan pengujian asumsi residual. Beberapa pengujian untuk pengujian asumsi residual yaitu dengan menguji homogenitas residual atau melihat varians dari residual dengan menggunakan uji Glejser, uji autokolerasi residual dengan melihat plot ACF atau nilai Durbin Wasthon, dan Uji Normal residualnya. Asumsiasumsi tersebut yang harus dipenuhi dalam pemodelan regresi. Uji Glejer dilakukann dengan meregresikan variabel prediktor dengan absolut residual. Hasil regresi tersebut diuji dengan menggunakan nilai
Tabel 4.2. Nilai VIF Variabel Prediktor
Variabel Prediktor X1 X2 X3 X4 X5
Coef
Nilai VIF 1,3 1,4 2,8 5,4 4,3
Pada tabel tersebut nilai setiap variabel prediktornya memiliki nilai kurang dari 10, hal ini menunjukkan bahwa tidak terjadi kasus multikolinearitas Apakah kelima variabel prediktor secara statistik berpengaruh terhadap angka putus sekolah remaja usia SMA di Provinsi Jawa Timur, maka akan dilakukan pemodelan dengan menggunakan regresi terhadap variabel-variabel tersebut. Berikut ini adalah model regresi linear yang dapat dilihat pada tabel 4.3 dengan nilai R square sebesar 20,8% yang artinya model tersebut mampu menerangkan 20,8% dari keragaman total.
8
α=0,05 menghasilkan nilai yang signifikan artinya residual variansnya sama atau dapat dikatakan tidak ada kasus heterogenitas, hasil pengujian uji Glejer dapat dilihat pada Lampiran 4. Hasil pengujian autokolerasi pada residual dapat dilihat pada plot Autocorrelation Function (ACF) tidak ada lag yang keluar yang dapat dilihat pada Lampiran 5 . Berdasarkan plot ACF dapat diputuskan tidak terjadi autokolerasi. Untuk meyakinkan apakah benar tidak terjadi autokolerasi maka dilakukan pengujian Durbin Wasthon. Berdasarkan hasil pengujian tersebut didapatkan nilai Durbin Wasthon berada antara dL
0,150. Berdasarkan hasil tersebut maka dapat diputuskan residual berdistribusi normal.
sekolah SMA tinggi mengelompok dengan kabupaten/kota yang memiliki angka putus sekolah SMA tinggi pula yaitu Kab.Malang, Kab.Mojokerto dan Kab.Trenggalek. Begitu juga kabupaten/kota yang memiliki angka putus sekolah putus sekolah SMA rendah mengelompok dengan kabupaten/kota yang memiliki angka putus sekolah SMA rendah pula yaitu Kab.Sampang, Kab.bangkalan, Kab. Pamekasan. 4.4 Lagrange Multiplier (LM) test Pemilihan model spasial dilakukan dengan LM test sebagai identivikasi awal. Lagrange Multiplier digunakan untuk mendeteksi dependensi spasial dengan lebih spesifik yaitu dependensi dalam lag, error, atau keduanya (lag dan error). Hasil pengujian LM test pada Tabel 4.5. Tabel 4.5 Hasil Diaknostik Dependensi Spasial Uji Dependensi Spasial Nilai P-value 3,0266 0,0025* Moran’s I (error) 9,3692 0,0022* Lagrange Multiplier (lag) 5,9245 0,0149* Lagrange Multiplier (error) 11,942 0,0025* Lagrange Multiplier (SARMA) Ket: * Signifikan α=0.05
Berdasarkan Tabel 4.5 dapat dilihat nilai pvalue dari Moran’s I sebesar 0,0025 (tolak H0) Artinya ada dependensi spasial dalam error regresi. Uji Lagrange Multiplier (lag) bertujuan untuk mengidentifikasi adanya keterkaitan antar kabupaten/kota. Berdasarkan pada Tabel 4.5 dapat diketahui bahwa nilai P-value LM lag sebesar 0,0022 (kurang dari α = 5% ). Kesimimpulkan bahwa tolak Ho. Hal ini berarti bahwa terdapat dependensi spasial lag sehingga perlu dilanjutkan ke pembuatan Spatial Autoregressive Model, serta dapat diketahui bahwa nilai P-value LM error adalah 0,014 (kurang dario α = 5% ). Kesimimpulkan bahwa gagal tolak Ho, artinya terdapat dependensi spasial error sehingga dapat dilanjutkan dalam pembuatan Spatial Error Model. Lagrange Multiplier SARMA dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya fenomena gabungan, yaitu mengidentifikasi adanya dependensi lag dan dependensi error, antar kabupaten/kota. Berdasarkan pada Tabel 4.5 dapat diketahui bahwa nilai P-value LM error adalah 0,025 (kurang dario α = 5% ). Kesimimpulkan bahwa gagal tolak Ho, artinya terdapat dependensi spasial lag dan error sehingga dapat dilakuakn pembentukan model campuran.
4.3 Pengujian Efek Spasial Pengujian efek spasial dilakukan untuk melihat apakah ada pengaruh spasial. Pengujian Spatial dependence menggunakan statistik Moran’s I. Nilai Moran’s I dapat dilihat pada Lampiran 9. Berdasarkan hasil pengujian spatial dependence di dapatkan nilai Moran’s I > I0, hal ini menunjukkan autokolerasi positif atau pola data yang mengelompok dan memiliki kesamaan karakteristik pada wilayah yang berdekatan, maka dikatakan ada efek spatial dependence pada variabel respon(Y). Jika digambarkan maka bentuk penyebaran Moran’s Scatterplot dapat dilihat pada
4.5 Model Spasial Berdasarkan Lagrange Multiplier terdapat dependensi spasial lag dsan error sehingga perlu dilanjutkan ke pembuatan Model Spatial Autoregressive Model (SAR) dan Spatial Error Model (SEM).
Gambar 4.2 Moran’s Scatterplot
Gambar 4.2, pada gambar terrsebut menunjukkan pola mengelompok pada kuadran I dan III yang berarti kabupaten/kota yang memiliki angka putus
9
4.5.1 Spatial Error Model (SEM) Berdasarkan uji dependensi terdapat dependensi spasial lag sehingga perlu dilanjutkan ke model Spatial Error Model. Berikut ini merupakan hasil output dari pemodelan SEM dengan masing-masing nilai parameter Berdasarkan Tabel 4.7 dapat dilihat bahwa nilainilai R2=42,38% berarti bahwa model tersebut mampu menjelaskan variasi dari remaja putus sekolah sebesar 42,38% dan sisanya 57,62% dijelaskan oleh variabel lain di luar model. P_value yang signifikan pada α=10% dan variabel yang signifikan adalah variabel X4 ( persentase letak rumah di pedesaan.
4.5.1 Spatial Autoregressive Model (SAR) Berdasarkan uji dependensi terdapat dependensi spasial lag sehingga perlu dilanjutkan ke model Spatial Autoregressive Model. Berdasarkan Tabel 4.6 dapat dilihat bahwa nilai R2=44,15% berarti bahwa model tersebut mampu menjelaskan variasi dari remaja putus sekolah sebesar 44,15% dan sisanya 55,85% dijelaskan oleh variabel lain di luar model. P_value signifikan pada α=10% adalah variabel X3 ( persentase keluarga miskin) dan X4 ( persentase letak rumah di pedesaan Variabel
Tabel 4.6 Estimasi Parameter SAR Coeff Z P-value
ρ Intercept X1 X2 X3 X4 X5 Ket: R2= 44,15% *Signifikan α=5% **, Signifikan α=10%
0,4820 4,5013 -0,0189 0,0687 0,4083 0,1864 -0,8865
3,3766 0,8248 -0,0150 0,8961 -1,6603 2,5553 -0,6229
0,0007* 0,4094 0,9879 0,3701 0,0968** 0,0106* 0,5332
Tabel 4.7 Estimasi Parameter SEM Variabel Coeff Z λ 0,5144 3,5964 Intercept 13,576 2,4612 X1 0,1430 0,1205 X2 0,0480 0,6426 X3 0,3254 -1,0982 X4 0,1481 2,0811 X5 9,9e-005 7,1e-005 R2= 42,38% *Signifikan α=5%
Model SARn adalah sebagai berikut yi 0, 482 wij y j 0, 408 X 3i 0,186 X 4i i
P-value 0,0003* 0,0138* 0,9040 0,5204 0,2720 0,0374* 0,9999
Model SEM adalah sebagai berikut
j 1,i j
yi 13,576 0,148 X 4i ui
Model SAR di interpretasikan, bahwa apabila faktor lain dianggap konstan, jika persentase keluarga miskin di suatu kabupaten/kota naik sebesar 1 satuan maka bisa menambah remaja putus sekolah usia SMA sebesar 0,408 dan letak rumah berada di pedesaan yang jauh dari fasilitas umum bertambah satu satuan maka akan menambah nilai persentase remaja putus sekolah usia SMA sebesar 0.186. Berikut ini merupakan contoh model SAR yang diamati adalah Kab.Pacitan:
ui 0,514
n
j 1,i j
wij u j i
u1 0, 257u2 0, 257u3 1 Model SEM dapat di interpretasikan, bahwa apabila faktor lain dianggap konstan, jika persentase keluarga miskin di suatu kabupaten/kota naik sebesar 1 satuan maka bisa menambah remaja putus sekolah usia SMA sebesar 0,148 dan error spasial berkolerasi antar daerah. Berikut ini merupakan contoh model SEM dengan kabupaten yang di amati adalah Kab.Pacitan:
y1 0, 241y2 0, 241y3 0, 408 X 31 0,186 X 41 1
Model pada Kab.Pacitan , dapat di interpretasikan, bahwa apabila faktor lain dianggap konstan, jika persentase keluarga miskin di suatu kabupaten/kota naik sebesar 1 satuan maka bisa menambah persentase remaja putus sekolah usia SMA di Kab.Pacitan sebesar 0,408 serta letak rumah berada di pedesaan yang jauh dari fasilitas umum bertambah satu satuan maka akan menambah nilai persentase remaja putus sekolah usia SMA di Kab.Pacitan sebesar 0.186, untuk y2 dan y3 merupakan kabupaten yang dekat dengan pacitan yaitu y2 adalah Kab.Ponorogo yang merupakan kabupaten dengan kode 02, sedangkan y3 adalah Kab.Trenggalek yang merupakan kabupaten dengan kode 03 dengan masing-masing pengaruh kedekatan daerah tersebut sebesar 0,241.
y1 13,576 0,148 X 41 u1 Model SEM pada kabupaten pacitan, dapat di interpretasikan, bahwa apabila faktor lain dianggap konstan, jika letak rumah berada di pedesaan yang jauh dari fasilitas umum bertambah satu satuan maka akan menambah nilai persentase remaja putus sekolah usia SMA di Kab.Pacitan sebesar 0,148 untuk u2 dan u3 merupakan kabupaten yang dekat dengan pacitan yaitu u2 adalah Kab.Ponorogo yang merupakan kabupaten dengan kode 02, sedangkan u3 adalah Kab.Trenggalek yang merupakan kabupaten dengan kode 03 dengan kedua nilai error dari kedua kabupaten tersebut berpengaruh terhadap model di Kab.Pacitan adalah sebesar 0,257.
10
Gambar 4.9 Putus sekolah SMA, Keluarga Miskin, Letak Rumah di Pedesa
persentase letak keluarga yang memiliki rumah di pedesaan minimal 30,78% tidak memiliki keterkaitan tehadap remaja putus sekolah usia SMA. Kuadran 7 berisi dua kabupaten/kota yaitu Kota Surabaya dan Kab.Sidoarjo. Kedua kabupaten/kota tersebut memiliki persentase keluarga miskin dan letak rumah dipedesaan yang termasuk dalam kategori rendah. Kedua kabupaten/kota tersebut memiliki rentang persentase putus sekolah yang relatif rendah. Kuadran 2 memiliki kabupaten/kota yang paling banyak dibandingkan dengan kuadran yang lain. Kab.Pacitan dan Kab.Trenggalek memiliki angka putus sekolah yang paling tinggi dalam kuadran ini dikarenakan mamiliki warna merah. Dalam kuadran ini dapat dikatakan memiliki rentang persentase letak rumah dipedesaan tinggi yaitu sekitar 61,56% sampai 92,34% dan rentang persentase keluarga miskin yang sedang yaitu sekitar 13,85% sampai 22,89%.
4.6 Faktor- faktor yang Mempengaruhi Putus Sekolah SMA Setelah melihat parameter yang signifikan pada model SAR maka didapatkandua variabel signifikan yang berpengaruh terhadap variabel remaja putus sekolah usia SMA di Provinsi Jawa Timur. Variabel predictor yang signifikan adalah keluarga miskin (X3) dan persentase letak rumah dipedesaan (X4) yang digambarkan pada Gambar 4.7. Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat persebaran wilayah antara kedua variabel respon yaitu X3 dan X4 degan variabel respon yaitu remaja putus sekolah Usia SMA. Persebaran yang di gambarkan pada peta memuat informasi bahwa variabel keluarga miskin, persentase letak rumah di pedesaan, putus sekolah SMA serta lokasi kabupaten/kotanya dalam satu kuadran yang mempunyai rentang nilai yang sama. Degradasi warna daerah menunjukkan besaran angka putus sekolah SMA. Warna biru menunjukkan angka putus sekolah SMA sangat rendah, warna biru kehijauan berarti angka putus sekolah SMA rendah yaitu sebesar 5,49%, warna hijau berarti angka putus sekolah SMA termasuk kategori sedang, sedangkan warna semakin merah menunjukkan angka putus sekolah SMA semakin tinggi dengan persentase sebesar 38,89%, angka persentase tersebut dapat dilihat dibawah warna yang terletak di atas peta. Gambar 4.9 terdiri dari sembilan 9 kuadran, dimana tiga kuadran diantaranya tidak memiliki warna di daerah kabupaten/kota kuadran tersebut yaitu kuadran 6,8 dan 9. Ketiga daerah tersebut dapat diartikan dengan kondisi daerah yang persentase keluarga miskin minimal 13,86 % dan
5 . KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan
5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan diambil beberapa kesimpulan tentang angka putus sekolah remaja usia SMA di Provinsi Jawa Timur, yaitu : 1. Berdasarkan peta tematik tentang angka putus sekolah remaja usia SMA untuk setiap kabupaten di Provinsi Jawa Timur, yang memiliki angka putus sekolah dengan persentase tinggi, yaitu untuk kabupaten Malang, kabupaten Mojokerto, 11
kabupaten Kediri, kabupaten Trenggalek, dan kabupaten Pacitan. Sedangkan yang memiliki presentase rendah adalah daerah kabupaten Pamekasan, kabupaten Sampang, kabupaten Bangkalan, kabupaten Situbondo, kabupaten Probolinggo, kabupaten Sidoarjo dan kota Kediri. Serta untuk hasil statistik deskriptif, terlihat bahwa rata-rata siswa putus sekolah sebesar 19,19%. Dengan rata-rata siswa yang putus sekolah yang berjenis kelamin perempuan, dan status ekonomi miskin sebesar 1,427 dan 15,96% . 2. Berdasarkan hasil analisis didapatkan dependensi dalam lag dan error, maka dilakukan pemodelan Spatial Autoregressive Model (SAR) dan Spatial Error Model (SEM). Model SAR didapatkan variabel predictor yang signifikan pada α=10% adalah variabel keluarga miskin (X3) dan letak rumah dipedesaan (X4) dengan nilai R2=44,15%. Model SAR yang didapatkan adalah sebagai berikut. yi 0, 482
n
j 1,i j
sudut perlu diperhatikan untuk melihat kondisi daerah, kususnya daerah Jawa Timur yang memiliki kemudahan akses transportasi untuk berpindah dari daerah yang satu dengan daerah lain, selain itu Jawa Timur memiliki kedekatan wilayah yang dapat dijangkau dengan mudah tanpa melihat kedekatan sudut antar wilayah, seperti Kota.Surabaya dan Kab.Bangkalan yang memiliki jembatan sebagai kemudahan penduduknya untuk berindah dari Kota.Surabaya ke Kab. 3. Sebaiknya dalam penelitian selanjutnya dapat menggunakan pemodelan spasial Spatial Autoregressive Moving Average (SARMA), karena dalam penelitian ini diketahui bahwa dalam LM didapatkan dependensi dalam ( lag, error) 6. DAFTAR PUSTAKA Alifianto, A. 2008. Kuliah Kerja Nyata Wajib Belajar 9 Tahun. Anselin, L. (1988). Spatial Econometrics : Methods and Models, Kluwer Academic Publishers, Netherlands. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur. 2008. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional Tahun 2008 di Provinsi Jawa Timur. BPS Jawa Timur. Surabaya. Bitter, C., G. Mullian and S. Dall’erba. 2007. Incorporating Spatial Variation in Housing Atribute Prices. A Comparition Of Geographically Weighted Regression And The Spatial Expantion Method. mpra.ub.unimuechen.de/1379/01/MPRA paper 1379.pdf. Diakses pada 3Maret 2011. Choriyah, N .I. 2009. Karakteristik Siswa Putus Sekolah Tingkat SD dan SMP di Kawasan Surabaya Utara. [Tugas Akhir]. Surabaya: Program Sarjana Jurusan Statistika ITS. Draper, Norman dan Harry, Smith.1992. Analisis Regresi Terapan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum. Elfindri. 2001. Strategi Sukses Membangun Daerah. Gorga Media. Jakarta. Grahacendikia. 2009. Anak Putus Sekolah dan Cara Pembinaan-nya. . LeSage, J.P. (1999), The Theory and Practice of Spatial Econometrics,
wij y j 0, 408 X 3i 0,186 X 4i i
Sedangkan dengan model spasial SEM didapatkan variabel predictor yang signifikan pada α=5% adalah letak rumah dipedesaan (X4) dengan nilai R2= 42,38%, dengan model SEM yang didapat adalah sebagai berikut yi 13,576 0,148 X 4i ui ui 0,514
n
wij u j i
j 1,i j 5.2 Saran Beberapa saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Faktor-faktor sebagai variabel prediktor yang mempengaruhi angka putus sekolah remaja usia SMA di Provinsi Jawa Timur sebaiknya ditambah mengingat nilai R2-nya rendah, kemungkinan beberapa variabel yang di tambahkan untuk penelitian selanjutnya adalah anggaran pendidikan per APBD, tenaga SMA per jumlah siswa SMA, fasilitas fisik pendidikan SMA per jumlah siswa SMA. 2. Menggunakan selain jenis persinggungan sisi sudut (Queen Contiguity). Dalam memilih persinggungan jenis
12
Mughal, Waris Hameed. 2007. Human Capital Investment and Poverty Reduction Strategy in Pakistan. Asia Pacific Press. Rasiyo. 2008. Pemerataan Pendidikan Belum Tercapai. Diunduh dari alamat http://els.bappenas.go.id/upload/kliping/Pemer ataan%20Pendidikan%20blm.pdf pada pada Selasa, 15 Februari 2011, 09.00 am. Sulistiyanti. 2009. Pendidikan, Kemiskinan, dan Pertumbuhan Ekonomi. Malang. Walpole, E. Ronald. 1995. Pengantar Statistika. Edisi ketiga. Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
13