PEMODELAN KERAGAAN SEKTOR PERIKANAN UNTUK PENGEMBANGAN EKONOMI SUMBERDAYA DAN REGIONAL PESISIR: SUATU ANALISIS MODEL HYBRID
SOFYAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
ABSTRACT Sofyan, The Modeling of Fisheries Performance for developing resource and regional economic in Coastal Area: A Hybrid Model Analysis. Under supervisor of AKHMAD FAUZI, KOOSWARDHONO MUDIKDJO and ERNAN RUSTIADI. Fisheries development in Indonesia is facing a paradox. Abundant resources in Indonesian water are not reflected in the welfare of fishermen and other user of resources. Even though there has been a significant progress during the last five years, this progress is relatively insignificant compared to potentials that could have been generated. This research attempts to seek answers to such a question through the development of hybrid model. The model aims to incorporate regional aspect into fisheries management. In general this research aims to measure and analysis economic performance of fisheries development in accordance to regional development, specifically the objectives are 1) to assess the exploitation status of fisheries viewed from effort, levels biomass and its resource rent, 2) to measure resource depreciation and its impact to fisheries development, 3) to analyze the dynamic interaction among fisheries component in the fisheries sector, 4) to analyze the degree of competitiveness of fisheries sector within four regions in the north coast of Java and 5) to determine the optimal levels of fisheries management in the regions. Results of study show that the performance of fisheries development is attributed to differences in regional performance. This can be seen from the level of depreciation and degradation within the regions relative to the overall north coast of Java. Among four regions, Cirebon is the only region that did not affect very much to the overall fisheries performance in the north coast of Java. Increasing performance can be made by curtailing the level of effort as much as 56,38% (Karawang), 8,60% (Subang), 46,51% (Indramayu) dan 58,57% (Cirebon) respectively. The opportunity cost of fisheries could have been allocated to other industries which are more efficient. Keywords: Resource economic, Regional Economic, Hybrid Model, North coast of Java, Depreciation, Degradation.
ii
ABSTRAK SOFYAN, Pemodelan Keragaan Sektor Perikanan Untuk Pengembangan Ekonomi Sumberdaya Dan Regional Pesisir: Suatu Analisis Model Hybrid. Dimbing oleh AKHMAD FAUZI, KOOSWARDHONO MUDIKDJO DAN ERNAN RUSTIADI. Pembangunan perikanan di Indonesia dihadapkan pada dua dilema. Di satu sisi, kita dihadapkan pada sumberdaya perikanan yang konon katanya kaya dan mampu menghasilkan potensi ekonomi. Tetapi di sisi lain kenyataannya, potensi tersebut belum mampu meningkatkan ekonomi para pelakunya secara signifikan. Meski mengalami peningkatan pertumbuhan produksi dan devisa serta penerimaan lainnya selama beberapa tahun belakangan ini, namun peningkatan tersebut relatif masih kecil dibandingkan dengan potensi ekonomi yang dapat dihasilkan. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan hybrid model, yaitu memasukan aspek regional ke dalam bio-ekonomi. Pada akhirnya kebijakan yang harus dilakukanpun akan berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menilai performance (keragaan) dari sektor perikanan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan secara terintegrasi dilihat dari aspek ekonomi sumberdaya. Secara khusus, penelitian ini bertujuan menganalisis keragaan sumberdaya perikanan tangkap di Pantai Utara Jawa Barat dan di empat Kabupaten (Karawang, Subang, Indramayu dan Cirebon), melalui pengukuran: (1) nilai biomass, produksi dan rente sumberdaya perikanan pada kondisi aktual, lestari dan optimum, (2) depresiasi sumberdaya perikanan dan dampaknya terhadap keragaan perikanan, (3) interaksi dinamik antara komponen-komponen produksi dan effort, guna menentukan perbaikan kinerja perikanan secara menyeluruh dan berkelanjutan, (4) Tingkat (Derajat) Competitiveness sektor perikanan, untuk menilai kontribusi wilayah dalam keragaan kegiatan perikanan, dan (5) pengelolaan sumberdaya perikanan yang optimal serta tingkat efisiensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kontribusi antara satu kabupaten dengan kabupaten lainnya terhadap Perairan Pantai Utara Jawa Barat secara keseluruhan memberikan warna yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat kita lihat baik dari kontribusinya terhadap degradasi, depresiasi maupun tingkat efisiensi relatifnya. Sehingga waktu yang diperlukan antara biomas dan effort untuk mencapai steady state (keseimbangan) sangat bervariasi. Dari empat kabupaten yang dianalisis, hanya Kabupaten Cirebon yang tidak berpengaruh positif terhadap Pantura Jawa Barat secara keseluruhan. Kemudian untuk meningkatkan efisiensi industri perikanan perlu dilakukan pengendalian input untuk masingmasing kabupaten sebesar 56,38% (Karawang), 8,60% (Subang), 46,51% (Indramayu) dan 58,57% (Cirebon). Opportunity cost dari kegiatan perikanan tangkap tersebut dapat diinvestasikan untuk pengembangan regional dengan meningkatkan nilai tambah dari industri perikanan itu sendiri yang lebih efisien. Kata Kunci : Ekonomi Sumberdaya, Ekonomi Regional,Model Hybrid, Pantura Jawa Barat, Degradasi, Depresiasi, Efisiensi.
iii
SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul : Pemodelan Keragaan Sektor Perikanan Untuk Pengembangan Ekonomi Sumberdaya Dan Regional Pesisir : Suatu Analisis Model Hybrid Adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutif dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Februari 2006
Sofyan Nrp: C.226010031
iv
© Hak cipta milik Sofyan, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya
v
PEMODELAN KERAGAAN SEKTOR PERIKANAN UNTUK PENGEMBANGAN EKONOMI SUMBERDAYA DAN REGIONAL PESISIR: SUATU ANALISIS MODEL HYBRID
SOFYAN
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
vi
Judul Disertasi
: Pemodelan Keragaan Sektor Perikanan Untuk Pengembangan Ekonomi Sumberdaya dan Regional Pesisir: Suatu Analisis Model Hybrid
Nama
: Sofyan
NRP
: C.226010031
Menyetujui, Komisi Pembimbing
Dr.Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc. Ketua
Prof.Dr.Ir. Kooswardhono Mudikdjo, M.Sc. Anggota
Dr.Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof.Dr.Ir. Rokhmin Dahuri, MS
Tanggal Ujian: 26 Januari 2006
Prof.Dr.Ir. Sjafrida Manuwoto, M.Sc.
Tanggal Lulus :
vii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ciamis 5 Nopember 1966, merupakan anak ke lima dari tujuh bersaudara keluarga Bapak Samsudin (alm) dan Ibu Ikah (almh). Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan di SD Negeri 1 Sukakerta, Panumbangan, Ciamis pada tahun 1979, sedangkan sekolah menengah pertama diselesaikan di SMP Negeri Panumbangan, Ciamis pada tahun 1982. Sekolah menengah atas diselesaikan pada tahun 1985 di SMA Negeri 1 Karawang. Pada tahun 1986, penulis tercatat sebagai sebagai mahasiswa Fakultas Pertanian Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Universitas Syiah Kuala Darussalam-Banda Aceh, dan selesai pada tahun 1991. Pada April 1995, penulis mendapat kesempatan untuk mengikuti pendidikan Bahasa Jepang di Kokusai Gakuyu Kai Nihongo Gakko, Tokyo Jepang. Kemudian pada September 1995 – Maret 1996, mengikuti Reseach Student di Universitas Saga. Pada bulan April 1996, penulis melanjutkan program master pada bidang ekonomi pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Saga, Jepang dengan bantuan beasiswa OECF-Unsyiah dan selesai pada tahun 1998. Kemudian penulis pada tahun 2001 tercatat sebagai mahasiswa program doktor di Pasca Sarjana (sekarang Sekolah Pascasarjana) Institut Pertanian Bogor. Sejak tahun 1992, penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Almamater, Universitas Syiah Kuala Darussalam-Banda Aceh. Penulis menikah dengan Ir. Evi Lisna, M.Sc. pada tahun 1992 dan telah dikaruniai dua orang putra yaitu: Faiz Yafie Naufal (lahir di Banda Aceh, 9 Desember 1993) dan Wildan Dhia Yafie (lahir di Banda Aceh, 1 Oktober 1999).
viii
PRAKATA
Syukur Allhamdulillah, saya panjatkan kepada Allah SWT bahwa atas segala rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Penelitian ini sesuai dengan rencana. Penelitian ini merupakan salah satu syarat dalam mengikuti perkuliahan pada jenjang Program Doktor pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berjudul Pemodelan Keragaan Sektor Perikanan Untuk Pengembangan Ekonomi Suberdaya dan Regional Pesisir: Suatu Analisis Model Hybrid, sebagai upaya untuk memberikan gambaran yang komprehensif mengenai keragaan sektor perikanan dan kelautan di lihat dari aspek ekonomi sumberdaya dan regional. Penulis mengharapkan dengan adanya penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran yang lebih komprehensif dan menyeluruh sehingga akan melahirkan pilihan kebijakan yang tepat dalam upaya membangun perikanan yang berkelanjutan seperti yang diamanatkan dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries. Kritik dan saran sangat penulis harapkan dalam penyempurnaan penulisan. Semoga usulan rencana penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang memerlukan. Bogor, Februari 2006 Sofyan
ix
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulisan disertasi ini menjadi terasa lebih ringan dan menyenangkan berkat dorongan, arahan, doa dan bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada : 1. Bapak Dr. Ir. Akhmad Fauzi Syam, M.Sc., selaku ketua Komisi pembimbing yang tidak pernah mengenal lelah dan selalu meluangkan waktu untuk memberi arahan dan bimbingan sejak awal penulisan disertasi ini hingga selesai. Dengan sentuhan beliau, disertasi ini terasa memberikan nuansa dan warna tersendiri terhadap kontribusinya pada ilmu pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. 2. Bapak Prof. Dr. Ir. Kooswardhono Mudikdjo, M.Sc., selaku Anggota Komisi Pembimbing yang selalu memberikan semangat dan selalu meluangkan waktu untuk memberi arahan dan bimbingan sejak awal penulisan disertasi ini hingga selesai. 3. Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr., selaku Anggota Komisi Pembimbing yang memonitor perkembangan penulisan disertasi ini dan selalu meluangkan waktu untuk memberi arahan dan bimbingan sejak awal penulisan disertasi ini hingga selesai. Beliau selalu memberikan filosofi dan kontribusi yang kritis untuk kesempurnaan disertasi ini. 4. Bapak Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup dan Bapak Dr.Ir. Andin H. Taryoto dan Bapak Dr.Ir. Sutrisno Sukimin, DEA, selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka. 5. Ketua dan Sekertaris serta seluruh civitas akademika Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor atas segala bekal ilmu, dorongan dan bantuannya selama penulis menimba ilmu di PS-SPL IPB. Khusus untuk staf adminitistrasi di PS-SPL Mas Zainal, Mas Helmi dan Mas Yoyo terimakasih atas segala bantuannya selama ini. 6. Segenap civitas akademika Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala, khususnya kepada Ketua Jurusan Sosial Ekonomi Pertanaian, Dekan Fakultas Pertanian dan Rektor Universitas Syiah Kuala Darussalam-Banda Aceh yang
x
telah memberikan dorongan dan izin kepada penulis untuk melanjutkan studi program S3 di IPB ini. 7. Penulis juga menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Pemda Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), atas segala bantuannya selama ini. Bantuan Pemerintah NAD tersebut sangat berarti bagi upaya penyelesaian program doktor ini. 8. Bapak Kepala Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Karawang, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Subang, Indramayu dan Cirebon, atas segala bantuannya selama penulis dilapangan. 9. Teman-teman Mahasiswa SPL, khususnya Angkatan 4, 5 dan 6 yang telah banyak memberikan dorongan dan semangat. Khusus kepada Dr. Armen, Dr. Toni, Indra, Dr. Uci, Dr. Ina, Winy, Des, Dr. Dewayani, Abu Bakar, Asbar, Feira, Niki dan Sofie, mereka adalah teman-teman yang selama ini telah banyak memberikan tukar pikiran. 10. Seluruh mahasiswa Sekolah Pascasarjana asal NAD, khususnya Kepada Keluarga Bapak T. Fauzi, Keluaraga Dr. Agussabti, Keluarga Razali, Keluarga Edo dan lain-lain. 11. Ayahanda Samsudin (alm), Ibunda Ikah (almh), mereka berdua telah menanamkan pondasi yang kuat kepada penulis dalam mengarungi kehidupan ini. 12. Istri tercinta Ir. Evi Lisna, M.Sc., dan kedua putraku Faiz Yafie Naufal dan Wildan Dhia Yafie. Keberhasilan menyelesaikan disertasi ini tak terlepas dari dorongan, pengorbanan dan doa yang sangat luar biasa dari mereka.
Bogor, Februari 2006 Sofyan
xi
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL………………………………………………………..
xi
DAFTAR GAMBAR.................................................................................. xiii DAFTAR LAMPIRAN............................................................................... xviii 1. PENDAHULUAN................................................................................. 1 1.1. 1.2. 1.3. 1.4.
Latar Belakang.............................................................................. Perumusan Masalah...................................................................... Hipotesis………………………………………………………… Tujuan dan Kegunaan Penelitian………………………………..
1 2 6 8
2. TINJAUAN PUSTAKA....................................................................... 9 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6
Sumberdaya Pesisir…………………………………………….. Optimasi Sumberdaya Perikanan................................................. Pembangunan Berkelanjutan........................................................ Teori Pertumbuhan....................................................................... Disparitas Wilayah....................................................................... Konsep Efisiensi...........................................................................
9 12 17 21 30 33
3. METODOLOGI PENELITIAN............................................................ 40 3.1 3.2
Pendekatan, Lingkup, dan Keterbatasan Studi............................. Metode Analisis………………………………………………… 3.2.1 Standarisasi Alat............................................................... 3.2.2 Uji Stationarity.................................................................. 3.2.3 Model Bio-Ekonomi Sumberdaya Perikanan Perikanan... 3.2.4 Estimasi Discount Rate…………………………………. 3.2.5 Analisis Laju Degradasi dan Penilaian Depresiasi Sumberdaya Perikanan………………………………….. 3.2.6 Model Komplementari dan Kompetitif............................. 3.2.7 Data Envelopment Analysis (DEA).................................. 3.3 Waktu dan Lokasi Penelitian……………………………………. 3.4 Data Penelitian…………………………………………………...
40 43 43 43 45 47 48 53 55 57 57
4. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN…………………….. 59 4.1
Kondisi Bio-Ekologis Sumberdaya Perikanan Pantai Utara Jawa Barat..................................................................................... 4.2 Produksi dan Nilai Produksi......................................................... 4.3 Peran Sektor Perikanan Terhadap Perekonomian Jawa Barat.................................................................................... 4.4 Perkembangan Rumah Tangga Perikanan, Armada dan Alat Tangkap................................................................................
59 59 62 64
5. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN..................................... 68 5.1 5.2
Data Produksi Perikanan………………………………………… 68 Standarisasi Unit Effort………………………………………….. 73 xii
5.3 5.4 5.5 5.6 5.7 5.8 5.9 5.10 5.11 5.12 5.13
Estimasi Parameter Biologi……………………………………… 76 Estimasi Sustainable Yield……………………………………… 77 Analisis Degradasi………………………………………………. 91 Struktur Biaya…………………………………………………… 101 Analisis Discount Rate………………………………………….. 103 Analisi Depresiasi………………………………………………. 103 Pengelolaan Sumberdaya Yang Optimal………………………... 110 Analisis Kesejahteraan Produsen……………………………….. 130 Analisis Konvergensi……………………………………………. 142 Analisis Sistem Dinamis………………………………………… 143 Analisis Efisiensi………………………………………………... 152
6. KESIMPULAN DAN SARAN.............................................................. 167 6.1 Kesimpulan.................................................................................... 167 6.2 Saran.............................................................................................. 169 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xiii
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Perkembangan Produksi Perikanan Pantai Utara Jawa Barat............
60
2.
Perkembangan Jumlah Rumah Tangga Nelayan Berdasarkan Besarnya Usaha di Pantai Utara Jawa Barat Tahun 1980 – 2001.....
65
3.
Parameter Biologi Perikanan Pelagik di Lokasi Penelitian………..
77
4.
Fungsi Produksi Lestari Gompertz………………………………….. 78
5.
Keragaan Effort, Produksi Aktual dan Produksi Lestari Gompertz di Pantai Utara Jawa Barat................................................ 80
6.
Perkembangan Tingkat Degradasi Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Pantai Utara Jawa Barat................................................................. 92
7.
Rata-rata Biaya Riil Penangkapan Ikan per Unit Effort Menurut Lokasi Penelitian (Rp. Ribu per Trip)................................................
102
8.
Perubahan Depresiasi Sumberdaya Perikanan Pelagik Di Pantai Utara Jawa Barat................................................................. 104
9.
Perubahan Depresiasi Sumberdaya Perikanan Pelagik Di Kabupaten Karawang..................................................................... 106
10. Perubahan Depresiasi Sumberdaya Perikanan Pelagik Di Kabupaten Subang.......................................................................... 108 11. Perubahan Depresiasi Sumberdaya Perikanan Pelagik Di Kabupaten Indramayu..................................................................... 109 12. Perubahan Depresiasi Sumberdaya Perikanan Pelagik Di Kabupaten Cirebon......................................................................... 110 13. Nilai Optimal Biomas, produksi dan Effort pada Discount Rate 15% dan 5,54% di Pantai Utara Jawa Barat........................................ 113 14. Nilai Biomas, Produksi dan Input Optimal dengan Menggunakan Discount Rate 15% dan 5,54%............................................................ 114 15. Rente Optimal Lestari di Pantai Utara Jawa Barat.............................. 122 16. Rente Optimal Lestari di Kabupaten Karawang.................................. 124 17. Rente Optimal Lestari di Kabupaten Subang...................................... 124 18. Rente Optimal Lestari di Kabupaten Indramayu................................. 125 19. Rente Optimal Lestari di Kabupaten Cirebon………………………. 125 20. Perbedaan Present Value Rente Optimal dan Lestari di pantai Utara Jawa Barat…………………………………………..
127
21. Potensial Surplus Produsen di Lokasi Penelitian................................ 131 xiv
22. Matriks Analisis Komplementari........................................................ 143 23. Skor Efisiensi Unit Fisik DEA di Pantai Utara Jawa Barat................ 153 24. Skor Efisiensi Unit Fisik DEA di Empat Lokasi Penelitian...............
155
25. Potensi Perbaikan Efisiensi Fisik dari DMU (Lokasi Penelitian)....... 164
xv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Kerangka Permasalahan...................................................................... 7
2.
Kurva Pertumbuhan ...........................................................................
3.
Kurva Yield Effort………………………………………………….. 15
4.
Keseimbangan Bioekonomi Gordon-Schaefer...................................
16
5.
Hubungan Antara Tiga Tujuan Dari Pembangunan Berkelanjutan…
19
6.
Konsep Pengukuran Efisiensi Dari Sisi Input....................................
34
7.
Konsep Pengukuran Efisiensi Dari Sisi Output.................................. 36
8.
Alur Penelitian....................................................................................
9.
Perkembangan Kontribusi Produksi Perikanan Tangkap Empat Kabupaten Lokasi Penelitian Terhadap Produksi Total Perikanan Tangkap Pantai Utara Jawa Barat....................................................... 61
14
42
10. Perkembangan PDRB Total dan PDRB Perikanan Propinsi Jawa Jawa Barat Tahun 1994 – 2003........................................................... 62 11. Perkembangan PDRB Total dan PDRB Perikanan dan Pertanian Di Propinsi Jawa Jawa Barat Tahun 1994 – 2003............................... 63 12. Perkembangan Jumlah Rumah Tangga Nelayan Berdasarkan Besarnya Usaha di Pantai Utara Jawa Barat Tahun 1980-2001.......... 66 13. Perkembangan Jumlah Perahu Motor Tempel dan Perahu Tanpa Motor Penangkap Perikanan Laut di Pantai Utara Jawa Barat........... 67 14. Perkembangan Produksi Perikanan Tangkap Untuk Tiga Alat Tangkap di Pantai Utara Jawa Barat................................................... 70 15. Perkembangan Produksi Perikanan Tangkap Untuk Tiga Alat Tangkap di Kabupaten Karawang....................................................... 71 16. Perkembangan Produksi Perikanan Tangkap Untuk Tiga Alat Tangkap di Kabupaten Subang............................................................ 72 17. Perkembangan Produksi Perikanan Tangkap Untuk Tiga Alat Tangkap di Kabupaten Indramayu....................................................... 72 18. Perkembangan Produksi Perikanan Tangkap Untuk Tiga Alat Tangkap di Kabupaten Cirebon........................................................... 73 19. Perkembangan Standarisasi Effort dari Alat Tangkap Terpilih di Pantai Utara Jawa Barat.................................................................. 75 20. Fungsi Produksi Lestari Gompertz di Lokasi Penelitian..................... 79
xvi
21. Produksi Aktual dan Produksi Lestari Gompertz di Pantai Utara Jawa Barat........................................................................................... 81 22. Produksi Aktual dan Produksi Lestari Gompertz di Kabupaten Karawang............................................................................................
82
23. Produksi Aktual dan Produksi Lestari Gompertz di Kabupaten Subang................................................................................................. 83 24. Produksi Aktual dan Produksi Lestari Gompertz di Kabupaten Indramayu............................................................................................ 83 25. Produksi Aktual dan Produksi Lestari Gompertz di Kabupaten Cirebon ............................................................................................ 84 26. Kurva Lestari Gompertz dan Produksi Aktual di Pantai Utara Jawa Barat............................................................................................ 85 27. Copes Eye Ball Loop Untuk Fungsi Produksi Lestari Gompertz Di Pantai Utara Jawa Barat.................................................................. 86 28. Kurva Lestari Gompertz dan Produksi Aktual di Kabupaten Karawang............................................................................................. 87 29. Copes Eye Ball Loop Untuk Fungsi Produksi Lestari Gompertz Di Kabupaten Karawang..................................................................... 87 30. Kurva Lestari Gompertz dan Produksi Aktual di Kabupaten Subang................................................................................................. 88 31. Copes Eye Ball Loop Untuk Fungsi Produksi Lestari Gompertz Di Kabupaten Subang.......................................................................... 88 32. Kurva Lestari Gompertz dan Produksi Aktual di Kabupaten Indramayu............................................................................................ 89 33. Copes Eye Ball Loop Untuk Fungsi Produksi Lestari Gompertz Di Kabupaten Indramayu..................................................................... 89 34. Kurva Lestari Gompertz dan Produksi Aktual di Kabupaten Cirebon................................................................................................. 90 35. Copes Eye Ball Loop Untuk Fungsi Produksi Lestari Gompertz Di Kabupaten Cirebon.......................................................................... 91 36. Perkembangan Nilai Koefisien Degradasi di Pantai Utara Jawa Barat............................................................................................ 93 37. Grafik Perkembangan Nilai Koefisien Degradasi di Lokasi Penelitian.............................................................................................. 94 38. Perbandingan Perkembangan Laju Degradasi Dengan Laju Produksi Aktual di Pantai Utara Jawa Barat........................................................ 96 39. Perbandingan Perkembangan Laju Degradasi Dengan Laju Produksi Aktual di Kabupaten Karawang............................................................ 96
xvii
40. Perbandingan Perkembangan Laju Degradasi Dengan Laju Produksi Aktual di Kabupaten Subang................................................................. 97 41. Perbandingan Perkembangan Laju Degradasi Dengan Laju Produksi Aktual di Kabupaten Indramayu............................................................ 97 42. Perbandingan Perkembangan Laju Degradasi Dengan Laju Produksi Aktual di Kabupaten Cirebon................................................................ 98 43. Perbandingan Perkembangan Laju Degradasi Dengan Effort di Pantai Utara Jawa Barat........................................................................ 99 44. Perbandingan Perkembangan Laju Degradasi Dengan Effort di Kabupaten Karawang............................................................................ 99 45. Perbandingan Perkembangan Laju Degradasi Dengan Effort di Kabupaten Suabang.............................................................................. 100 46. Perbandingan Perkembangan Laju Degradasi Dengan Effort di Kabupaten Indramayu........................................................................... 100 47. Perbandingan Perkembangan Laju Degradasi Dengan Effort di Kabupaten Cirebon............................................................................... 101 48. Trajektori Nilai Biomas dan Produksi Optimal pada Discount Rate 15% dan 5,54% di Pantai Utara Jawa Barat…………………………. 114 49. Trajektori Nilai Biomas dan Produksi Optimal pada Discount Rate 15% dan 5,54% di Empat Kabupaten Lokasi Penelitian…………….. 115 50. Perbandingan Produksi Aktual, Lestari dan Optimal Di Pantai Utara Jawa Barat.................................................................. 117 51. Perbandingan Input Aktual dan Optimal di Pantai Utara Jawa Barat.. 117 52. Perbandingan Produksi Aktual, Lestari dan Optimal (δ=15% dan δ=5,54%) di Empat Kabupaten Lokasi Penelitian............................... 119 53. Perbandingan Input Aktual dan Optimal (δ=15% dan δ=5,54%) di Empat Kabupaten Lokasi Penelitian............................... 120 54. Perkembangan Rente Optimal Lestari di Pantai Utara Jawa Barat...... 122 55. Persentase Perbedaan Effort Optimal dengan Aktual (a) dan Rente Optimal dengan Lestari (b) di Pantai Utara Jawa Barat............. 127 56. Persentase Perbedaan Effort Optimal dengan Aktual (a) dan Rente Optimal dengan Lestari (b) di Kabupaten Karawang................. 128 57. Persentase Perbedaan Effort Optimal dengan Aktual (a) dan Rente Optimal dengan Lestari (b) di Kabupaten Subang...................... 129 58. Persentase Perbedaan Effort Optimal dengan Aktual (a) dan Rente Optimal dengan Lestari (b) di Kabupaten Indramayu................. 129 59. Persentase Perbedaan Effort Optimal dengan Aktual (a) dan Rente Optimal dengan Lestari (b) di Kabupaten Cirebon..................... 130
xviii
60. Perbandingan Antara Input (Effort) dengan Surplus Produsen Di Pantai Utara Jawa Barat................................................................... 132 61. Perbandingan Antara Input (Effort) dengan Surplus Produsen Di Kabupaten Karawang....................................................................... 133 62. Perbandingan Antara Input (Effort) dengan Surplus Produsen Di Kabupaten Subang........................................................................... 133 63. Perbandingan Antara Input (Effort) dengan Surplus Produsen Di KabupatenIndramayu....................................................................... 134 64. Perbandingan Antara Input (Effort) dengan Surplus Produsen Di Kabupaten Cirebon.......................................................................... 134 65. Trajektori Rasio Produksi Aktual dan Biomas Di Pantai Utara Jawa Barat................................................................... 136 66. Trajektori Rasio Produksi Aktual dan Biomas Di Empat Kabupaten Lokasi Penelitian................................................. 137 67. Trajektori Rasio Produksi Aktual dan Tenaga Kerja Di Pantai Utara Jawa Barat................................................................... 138 68. Trajektori Rasio Produksi Aktual dan Tenaga Kerja Di Empat Kabupaten Lokasi Penelitian................................................. 139 69. Trajektori Cost Price Ratio di Pantai Utara Jawa Barat........................ 140 70. Trajektori Cost Price Ratio Di Empat Kabupaten Lokasi Penelitian.... 141 71. Trajektori Dinamis Antara Effort dan Biomas Di Pantai Utara Jawa Barat................................................................... 145 72. Trajektori Dinamis Antara Effort dan Biomas Di Kabupaten Karawang....................................................................... 146 73. Trajektori Dinamis Antara Effort dan Biomas Di Kabupaten Subang............................................................................ 147 74. Trajektori Dinamis Antara Effort dan Biomas Di Kabupaten Indramayu....................................................................... 147 75. Trajektori Dinamis Antara Effort dan Biomas Di Kabupaten Cirebon............................................................................ 148 76. Analisis Phase Plane di Pantai Utara Jawa Barat.................................. 148 77. Analisis Phase Plane di Kabupaten Karawang...................................... 149 78. Analisis Phase Plane di Kabupaten Subang.......................................... 150 79. Analisis Phase Plane di Kabupaten Indramayu.................................... 150 80. Analisis Phase Plane di Kabupaten Cirebon......................................... 151 81. Analsisi Phase Plane Posisi Keempat Kabupaten Terhadap Pantura Jawa Barat............................................................................................. 152
xix
82. Tajektori Skor Efisiensi DEA di Pantai Utara Jawa Barat…………... 154 83. Tajektori Skor Efisiensi DEA di Empat Kabupaten Lokasi Penelitian 156 84. Potensi Perbaikan Effort di Pantai Utara Jawa Barat........................... 157 85. Potensi Perbaikan Produksi Aktual di Pantai Utara Jawa Barat........... 157 86. Potensi Perbaikan Produksi Lestaridi Pantai Utara Jawa Barat............ 158 87. Potensi Perbaikan Efsiensi dari Efort.................................................... 159 88. Potensi Perbaikan Efsiensi dari Produksi Aktual.................................. 160 89. Potensi Perbaikan Efsiensi dari Produksi Lestari.................................. 161 90. Analisis Relatif Efisiensi Fisik Frontir................................................. 162 91. Analisis Relatif Efisiensi Moneter Frontir............................................ 163 92. Potensi Perbaikan Efisiensi Fisik dari DMU (Lokasi Penelitian)……. 164
xx
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Disagregasi Produksi Perikanan Pelagik di Kabupaten Karawang.....
179
2.
Standarisasi Unit Upaya (Trip) Perikanan Pelagik di Kabupaten Karawang......................................................................
182
3.
Disagregasi Produksi Perikanan Pelagik Kabupaten Subang.............
183
4.
Standarisasi Unit Upaya (Trip) Perikanan Pelagik Di Kabupaten Subang.........................................................................
186
5.
Disagregasi Produksi Perikanan Pelagik Kabupaten Cirebon.............
187
6.
Standarisasi Unit Upaya (Trip) Perikanan Pelagik Di Kabupaten Cirebon.........................................................................
189
7.
Disagregasi Produksi Perikanan Pelagik Kabupaten Indramayu........
191
8.
Standarisasi Unit Upaya (Trip) Perikanan Pelagik Di Kabupaten Cirebon.........................................................................
194
Disagregasi Produksi Perikanan Pelagik di Pantai Utara Jawa Barat..
195
10. Standarisasi Unit Upaya (Trip) Perikanan Pelagik Di di Pantai Utara Jawa Barat..............................................................
197
11. Print out Analisis CYP di Pantai Utara Jawa Barat............................
198
12. Print out Analisis CYP di Kabupaten Karawang................................
201
13. Print out Analisis CYP di Kabupaten Subang.....................................
204
14. Print out Analisis CYP di Kabupaten Indramayu................................
207
15. Print out Analisis CYP di Kabupaten Cirebon....................................
210
16. Perhitungan Koefisien Degradasi di Pantura Jawa Barat...................
213
17. Perhitungan Koefisien Degradasi di Kabupaten Karawang...............
214
18. Perhitungan Koefisien Degradasi di Kabupaten Subang...................
215
19. Perhitungan Koefisien Degradasi di Kabupaten Indramayu……….
216
20. Perhitungan Koefisien Degradasi di Kabupaten Cirebon…………..
217
21. Print Out Perhitungan Discount Rate Kulla…………………………
218
22. Maple Output Untuk Optimal Biomas, Produksi dan Effort ………..
220
23. Algoritma Model Dinamik …………………………………………
222
24. Maple Output untuk perhitungan Surplus Produsen………………..
223
25. Gams Output Untuk Analisis DEA Model Perikanan di Pantai Utara Jawa Barat.................................................................
224
9.
xxi
26. Potensi Perbaikan Efisiensi dari DMU Pantai Utara Jawa Barat.......
227
27. Potensi Perbaikan Efisiensi dari DMU di Empat Kabupaten Terpilh
228
28. Estimasi Potensi, Produksi, dan Tingkat Pemanfaatan, Masing-masing kelompok Sumberdaya Laut Pada Setaip Wilayah Pengelolaan Perikanan, 2001……………………………...
229
29. Peta Wilayah Pengelolaan Perikanan Laut (WPP) di Indonesia……
230
30. Perkembangan PDRB Propinsi Jawa Barat, Tahun 1994 – 2003.......
231
xxii
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sektor perikanan dan kelautan pada saat ini merupakan salah satu sektor yang diharapkan menjadi tumpuan bagi bangsa Indonseia untuk melakukan pemulihan ekonomi akibat krisis yang berlangsung sejak tahun 1997. Setidaknya ada tiga alasan utama yang diyakini bahwa sektor perikanan dan kelautan dapat berperan sebagai salah satu sektor andalan yang mampu membangkitkan kembali perekonomian nasional melalui penggalian sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru atau peningkatan sumber pertumbuhan yang selama ini berlangsung. Pertama, secara fisik negara Indonesia adalah negara kepulauan terbesar dengan 17.508 pulau dan memiliki panjang garis pantai 81.000 km. Kedua, wilayah pesisir Indonesia memiliki sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (enviromental services) yang beraneka ragam dan besar sebagai potensi pembangunan yang belum dimanfaatkan secara optimal. Ketiga, seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dunia dan semakin menipisnya sumberdaya alam di daratan, permintaan terhadap produk-produk dan jasa-jasa kelautan baik yang berasal dari pasar domestik maupun pasar global diperkirakan akan semakin meningkat. Berdasarkan potensi yang dimiliki di atas tidak berlebihan rasanya sektor perikanan dapat dijadikan sebagai sebagai prime mover.
sumber pertumbuhan ekonomi baru atau
Kemudian ditambah lagi dengan kebijakan politik untuk
memacu desentralisasi, maka pengelolaan sumberdaya pesisir ke depan akan lebih banyak didelegasikan kepada pemerintah daerah. Hal ini tentu saja memberikan peluang yang lebih besar untuk mengelola dan memanfaatkan potensi pesisir secara lebih efisien dan arif.
Namun di sisi lain, kondisi ini menciptakan
kemungkinan eksploitasi sumberdaya hanya untuk memacu pertumbuhan daerah. Ditambah lagi dengan kondisi umum sumberdaya manusia, ekosistem, dan kebijakan pembangunan pesisir dan laut selama ini menjadi tantangan tersendiri bagi semua pihak untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya tersebut yang lestari dan memihak pada kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan.
2 Memasuki abad 21 ini, yang dicirikan dengan era globalisasi dan perdagangan bebas, dituntut suatu pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan dari suatu bangsa hanya dapat diwujudkan apabila bangsa tersebut mampu menciptakan sumber pertumbuhan ekonomi baru dan memelihara dan meningkatkan efisiensi sumber (sektor) pertumbuhan yang ada melalui produksi barang dan jasa yang efisien dan memiliki daya saing tinggi (kompetitif). Di negara kita, pembangunan perikanan dihadapkan pada dua dilema. Di satu sisi, kita dihadapkan pada sumberdaya perikanan yang konon katanya kaya dan mampu menghasilkan potensi ekonomi. Tetapi di sisi lain kenyataannya, potensi tersebut belum juga dapat meningkatkan ekonomi para pelakunya secara signifikan. Meski mengalami peningkatan pertumbuhan produksi dan devisa serta penerimaan lainnya selama beberapa tahun belakangan ini, namun peningkatan tersebut relatif masih kecil dibandingkan dengan potensi ekonomi yang dapat dihasilkan. 1.2 Perumusan Masalah Wilayah pesisir Indonesia mempunyai sumberdaya yang sangat melimpah, baik dari sektor perikanan secara langsung maupun dari sektor kelautan lainnya. Hal ini dapat kita lihat misalnya dari potensi sumberdaya yang ada, terutama misalnya potensi sumberdaya perikanannya baik secara kuantitas maupun secara diversitasnya.
Ironisnya, walaupun potensi sumberdaya perikanan Indonesia
cukup tinggi baik ditinjau dari segi luasan maupun dari ekosistemnya, tetapi kenyataannya potensi yang tinggi tersebut belum terefleksikan secara signifikan pada masyarakat pesisir kita, khususnya nelayan. Kemudian kalau kita lihat sisi lain, walaupun kontribusi sektor perikanan dan kelautan terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) nasional mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Seperti pada tahun 1995 total PDB yang
disumbangkan oleh sektor perikanan dan kelautan baru mencapai Rp. 55,9 triliun atau 13,32 persen dari total PDB Nasional.
Nilai tersebut terus mengalami
peningkatan, dan pada tahun 1998, total PDB yang disumbangkan bidang kelautan telah mencapai Rp.189,13 triliun atau 20,06 persen dari total PDB nasional. (Kusumastanto, 2002).
3 Namun demikian, ekspansi ekonomi yang diarahkan pada penciptaan pertumbuhan produksi maksimal yang dicirikan dengan kegiatan eksploitatif telah mewarnai praktek pembangunan bidang perikanan dalam tiga dasawarsa ini. Keadaan ini telah mengakibatkan adanya semacam ongkos yang harus ditanggung (eksternalitas) dalam dimensi jangka panjang. Disamping itu fakta ketimpangan antar sektor modern yang padat modal dan teknologi yang diyakini mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan sektor-sektor tradisional merupakan bukti nyata bahwa pencapaian hasil-hasil pembangunan di sektor berbasis sumberdaya perikanan ini memberikan gambaran yang beragam. Dari tujuh kegiatan ekonomi yang berbasis perikanan dan kelautan yang ada, hanya sektor pertambangan dan energi saja yang telah memberikan hasil dan sumbangan nyata terhadap perekonomian bangsa, sementara sektor perikanan dan pariwisata bahari walaupun secara potensi sangat besar, hasil-hasil yang dicapai masih jauh dari harapan. Dilihat dari komposisi PDB setiap sektor terhadap PDB kelautan, sektor pertambangan mendominasi sekitar 35,2 persen pada tahun 1995 dan pada tahun 1998 meningkat menjadi 49,78 persen. Sementara PDB sektor perikanan pada tahun 1995 hanya berkontribusi sebesar 11,56 persen dan meningkat hingga mencapai 15,36 persen pada tahun 1997 dan kembali mengalami penurunan pada tahun 1998 menjadi 10,76 persen walaupun di sisi lain nilai meningkat menjadi Rp 20,3 milyar (Kusumastanto, 2002). Dalam ekonomi jangka panjang kontribusi yang disumbangkan sektor perikanan dan pariwisata bahari mampu memberikan manfaat ekonomi lain yang kurang diperoleh dari sektor pertambangan dan energi yaitu selain menciptakan pertumbuhan, pada saat yang sama dapat mendorong pemerataan secara lebih adil. Demikian juga halnya dengan sektor transportasi laut, bangunan kelautan, industri maritim dan jasa-jasa kelautan lainnya belum berkembang secara optimal, bahkan tertinggal jauh. Ketimpangan tersebut tidak hanya terjadi antar sektor kegiatan pada bidang kelautan melainkan juga antar kelompok-kelompok masyarakat yang bekerja pada masing-masing kegiatan sektor tersebut. Dengan potret dan pencapaian di atas, akibatnya meskipun pertumbuhan yang diperoleh dari sektor ekonomi berbasis sumberdaya perikanan relatif cukup tinggi dan sumbangan yang diberikan sektor ini cukup nyata terhadap PDB,
4 namun kenyataannya bahwa 70 persen dari jumlah nelayan, pembudidaya ikan dan masyarakat pesisir masih terjebak dalam kemiskinan. Ironisnya kemiskinan dan ketertinggalan masyarakat nelayan/ pesisir justru terjadi di negara maritim yang notabenenya memiliki sumberdaya kelautan yang melimpah. Keadaan ini kemudian diikuti oleh kerusakan lingkungan berupa overfishing (tangkap lebih), kepunahan jenis (species extinction), kerusakan terumbu karang, degradasi hutan mangrove, pencemaran, dan lainnya di berbagai kawasan pesisir dan laut, bahkan telah mencapai suatu tingkat yang mengancam sustainable capacity terhadap ekosistem pesisir dan laut itu sendiri. Kondisi di atas diperburuk lagi dengan kondisi tenaga kerja yang ada, seperti jumlah tenaga kerja yang mampu diserap masih relatif rendah dibandingkan sektor lainnya, yaitu pada tahun 2000 jumlah nelayan Indonesia sekitar 2.486.456 orang (Dahuri, 2003). Tingkat konsumsi ikan per kapita juga masih sangat rendah (21,78 kg pada tahun 2001). Kemudian sumbangan terhadap devisa negarapun masih relatif kecil. Sementara kalau kita lihat dari aspek fisik, panjang garis pantai kita merupakan terpanjang kedua setelah Kanada, tetapi sebagai perbandingan Negara Thailand misalnya, dengan panjang garis pantai yang dimiliki cuma 2.600 km atau 3,21 persen nya dari panjang garis pantai Indonesia, nilai ekspor perikanan telah mencapai $ 4,2 milyar, sementara Indonesia baru mencapai $ 1,76 milyar (1998). Di sisi lain, pembangunan sektor perikanan terkendala pula oleh pembangunan wilayah pesisir yang cenderung lebih tertinggal dibanding dengan wilayah perkotaan.
Infrastruktur wilayah pesisir yang banyak dicirikan oleh
infrastruktur penunjang perikanan dan kelautan belum terintegrasi secara terpadu. Infrastruktur jalan, air, dan sarana fisik lainnya sering tidak menyentuh kebutuhan panunjang pembangunan perikanan. Beberapa Tempat Pelelangan Ikan (TPI) misalnya tidak memiliki sarana air bersih dan infrastruktur jalan dan pabrik es yang memadai.
Kondisi ini tentu saja menyulitkan berkembangnya sektor
perikanan. Pantai Utara Jawa Barat sebagai salah satu daerah perikanan yang cukup penting di Indonesia juga tidak terlepas dari kondisi di atas. Perikanan Pantai Utara Jawa Barat ini merupakan kombinasi jenis perikanan demersal dan pelagis
5 kecil. Perikanan ini merupakan perikanan yang bersifat multi species dan dengan alat tangkap yang beragam (multi gear) . Karakteristik lain dari wilayah perairan ini adalah perikanan dengan landing base di banyak tempat dan memiliki daerah penangkapan (fishing ground) yang cukup luas, mulai dari wilayah Laut Jawa sampai dengan perairan Laut Cina Selatan. Perikanan Pantura Jawa Barat telah berkembang sangat lama dengan tingkat intensitas pemanfaatan yang tinggi dan memiliki komunitas nelayan yang cukup penting bagi perikanan Indonesia. Dari fenomena di atas, ada beberapa hal yang diduga merupakan masalah rendahnya kontribusi sektor perikanan di Indonesia, diantaranya adalah : a) Kapasitas sumberdaya alam (stok ikan) yang cenderung mulai menurun di beberapa daerah penangkapan ikan. b) Sumber ekonomi perikanan yang terdistorsi, dimana beberapa produk perikanan memiliki pasar yang sifatnya monopsonis, sementara dari sisi input produk input perikanan juga bersifat monopolistik. c) Sumberdaya manusia pada sektor pesisir relatif masih rendah, dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. d) Kapasitas perikanan di beberapa daerah mulai melebihi kapasitas sumberdayanya (Fauzi , 2002). e) Belum terintegrasi pengembangan wilayah pesisir dengan pembangunan sektor perikanan. Bertitik tolak dari kelima permasalahan di atas satu resultan yang bisa ditarik adalah aspek pengembangan wilayah dan aspek efisiensi dari industri itu sendiri. Kemudian lemahnya daya saing sumberdaya perikanan kita dibandingkan dengan negara lainnya adalah karena aspek inefisiensi yang dihadapi oleh sektor perikanan di Indonesia.
Selain itu tidak berkembangnya wilayah-wilayah
perikanan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi juga disebabkan aspek ekonomi regional yang kurang mendapat perhatian.
Oleh karena itu penelitian yang
mengarah kepada perbaikan kedua aspek tersebut secara terintegrasi perlu mendapat perhatian. Tumbuhnya kepentingan untuk menganalisis lebih rinci dan mendalam pengembangan sumberdaya pesisir dilihat dari kedua sisi tersebut, menimbulkan beberapa pertanyaan sebagai berikut :
6 1. Apakah ekstraksi yang berlebihan menjadi penyebab rendahnya kontribusi perikanan ? 2. Apakah efisiensi pengelolaan perikanan berperan penting dalam meningkatkan atau menurunkan kinerja perikanan? 3. Apakah
konvergensi keragaan perikanan
berperan dalam pembangunan
wilayah pesisir? 4. Apakah depresiasi sumberdaya perikanan
manjadi pemicu rendahnya
keragaan ekonomi perikanan? 5. Oleh karena sumberdaya ikan sangat bersifat dinamis, demikian juga aktifitas ekologinya.
Apakah dengan melihat aspek dinamika tersebut dapat
memberikan jawaban terhadap keragaan perikanan ? 6. Bagaimana implikasi kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan
yang
diturunkan atas jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas? 1.3
Hipotesis Berangkat dari latar belakang permasalahan penelitian seperti diuraikan di
atas, maka dapat diturunkan hipotesis sebagai berikut : 1. Diduga bahwa ekstraksi yang tidak berkelanjutan menimbulkan depresiasi sumberdaya ikan yang berakibat pada rendahnya kinerja perikanan. 2. Diduga perbedaan input dan output antar wilayah pesisir berkontribusi terhadap perbedaan depresiasi sumberdaya ikan yang kemudian secara agregrat berkontribusi terhadap keragaan perikanan di Pantura Jawa Barat. 3. Diduga bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan yang tidak efisien berkontribusi terhadap rendahnya keragaan sektor perikanan. 4. Diduga konvergensi pertumbuhan sektor Perikanan akan berkontribusi terhadap kinerja dan keragaan perikanan secara keseluruhan. 5. Diduga bahwa interaksi dinamik akan menentukan keberlanjutan usaha perikanan dalam jangka panjang dan berperan dalam memperbaiki keragaan perikanan.
7
Gambar 1. Kerangka Permasalahan
8 1.4
Tujuan dan Kegunaan Penelitian Atas dasar permasalahan dan hipotesis penelitian di atas, maka penelitian
ini secara umum bertujuan untuk : “Menilai keragaan dari sektor perikanan dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir secara terintegrasi dilihat dari aspek ekonomi sumberdaya”. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk ; 1.
Menganalisis, menilai dan membandingkan keragaan perikanan melalui pengukuran nilai biomass, produksi dan rente sumberdaya perikanan pada kondisi aktual, lestari dan optimum, baik secara keseluruhan di Pantai Utara Jawa Barat maupun secara parsial di empat lokasi kabupaten penelitian.
2.
Menghitung depresiasi sumberdaya perikanan
dan dampaknya terhadap
keragaan perikanan secara agregrat maupun secara parsial di empat lokasi kabupaten penelitian. 3.
Menganalisis interaksi dinamik antara komponen-komponen produksi dan effort, guna menentukan perbaikan kinerja perikanan secara menyeluruh dan berkelanjutan.
4.
Menganalisis Tingkat (Derajat) ‘Competitiveness’ sektor perikanan, untuk menilai kontribusi wilayah dalam keragaan kegiatan perikanan.
5.
Menganalisis implikasi kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan yang optimal serta menganalisis tingkat efisiensi perikanan tangkap di Pantai Utara Jawa Barat dan di empat lokasi penelitian. Dari hasil penelitian ini diharapkan akan diperoleh gambaran yang jelas
dan komprehensif mengenai kondisi sumberdaya perikanan, khususnya kondisi perikanan di daerah penelitian sehingga akhirnya dapat merupakan bahan untuk menentukan kebijakan yang tepat guna mencapai pembangunan perikanan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, sebagaimana yang disyaratkan dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries (FAO, 1995).
9
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Sumberdaya Pesisir Wilayah pesisir merupakan suatu kawasan ekonomi yang strategis.
Dikatakan strategis karena secara potensial memiliki efek ganda (multiplier effect) yang signifikan baik secara lintas sektoral, lintas spasial (lintas wilayah) maupun lintas pelaku.
Dari kenyataan diatas diharapkan wilayah pesisir dapat
memberikan efek sentrifugal yang mampu menggerakkan secara efektif perkembangan ekonomi sektor-sektor lainnya. Dengan kata lain wilayah pesisir dapat berfungsi sebagai prime mover. Meskipun terdapat beragam definisi wilayah pesisir, dalam konteks pengelolaan, wilayah pesisir dapat didefinisikan sebagai pertemuan antara daratan dan lautan dengan dinamika yang sangat tinggi (Alder and Kay, 1999). Dengan demikian, wilayah pesisir merupakan suatu wilayah yang unik yang merupakan peralihan daratan dan lautan. Wilayah pesisir dipengaruhi oleh dua regim yang berbeda yaitu daratan dan lautan sehingga wilayah pesisir memiliki karakter yang sangat spesifik.
Karakter ini berkaitan dengan proses sumberdaya dan
pemanfaatannya. Jadi dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa wilayah pesisir memiliki karakteristik sebagai berikut : 1) Memiliki produktifitas yang tinggi dan kerentanan dalam keseimbangan sistemnya. 2) Memiliki beragam fungsi dan proses, yaitu fungsi hidrologis, geofisik, biofisik, dan ekologis. 3) Menampung beragam pengguna. 4) Memiliki beragam tema. Berangkat dari keempat karakteristik di atas, maka wilayah pesisir sebagai suatu ekosistem alamiah memiliki empat fungsi pokok bagi kehidupan manusia (Ortolando, 1984 dalam Dahuri dkk., 2001) , yaitu : 1) Sebagai penyedia jasa-jasa bagi pendukung kehidupan. 2) Memberikan jasa-jasa kenyamanan. 3) Penyedia sumberdaya alam.
10 4) Penerima limbah Peranan strategis wilayah pesisir hanya tercapai jika memenuhi persyaratan-persyaratan berikut (Rustiadi, 2001): 1) Basis
ekonomi
(economic
base)
wilayah
yang
bertumbuh
atas
sumberdaya-sumberdaya domestik yang terbaharui (domestic renewable resources). Aktifitas wilayah berbasis bukan sumberdaya domestik (foot loose) akan cenderung tidak stabil, rentan dan sangat tergantung pada dinamika eksternal. Sedangkan tumpuan pada sumberdaya tak terbaharui (non renewable resources) tidak menjamin pembangunan yang lestari seiring dengan berkurangnya sumberdaya (depletion) yang menjadi tumpuannya. 2) Memiliki keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan ke depan (forward lingkage) terhadap berbagai sektor ekonomi lainnya di daerah bersangkutan secara signifikan, sehingga perkembangan sektor basis dapat menimbulkan efek ganda (multiplier effect) terhadap perkembangan sektor-sektor lainnya di daerah yang bersangkuatan. Tingkat backward linkage dan forward linkage yang lebih rendah dari potensi yang dimiliki daerah menciptakan kebocoran wilayah (regional leakages). Akibatnya, potensi pertumbuhan yang dimiliki akan dinikmati oleh wilayah lainnya, walaupun wilayah lain tersebut memiliki keunggulan komparatif yang lebih rendah namun memiliki keunggulan kompetitif akibat berbagai fasilitas dan struktur kebijakan (struktur insentif) yang lebih baik. Kebocoran wilayah di sentra-sentra produksi ikan di kawasan pesisir juga banyak bersumber dari proses penyusutan (secara kuantitas dan kualitas) yang pada semestinya. Tidak berkembangnya industri-industri penunjang dan pengolahan hasil tangkapan/budidaya ikan di sentra-sentra produksi ikan menyebabkan berbagai wilayah pesisir mengalami kebocoran wilayah yang sangat masif. 3) Efek ganda (multiplier effect) yang signifikan dari sektor basis dan sektorsektor turunan dan penunjangnya dengan penciptaan tenaga kerja dan pendapatan masyarakat (sektor rumah tangga), sektor pemerintah lokal/ daerah (sektor pajak/ restribusi) dan PDRB wilayah. Keterkaitan yang
11 signifikan dengan aktifitas ekonomi masyarakat hanya dapat terjamin pada struktur usaha yang terhindar dari bentuk-bentuk monopoli-oligopoli ataupun dari struktur pasar yang monopsoni-oligopsoni. Struktur pajak/ restribusi yang tidak tepat serta berbagai bentuk misleading policy yang sekilas nampak ditujukan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui sektor-sektor yang secara kuantitas sengat besar namun sebenarnya memiliki tingkat rent yang rendah pada gilirannya malah menurunkan daya kompetisi wilayah (regional competitive advantage) dan secara jangka menengah dan panjang akhirnya malah menurunkan PAD. Struktur kebijakan (struktur insentif) harus diarahkan agar mendorong daya kompetitif dan menjamin multiplier yang tinggi terhadap penyediaan lapangan kerja dan penerimaan rumah tangga (bukan hanya penerimaan sektor usaha). 4) Keterkaitan lintas regional di dalam maupun antar wilayah yang tinggi (intra and interregional interactions) akan lebih menjamin aliran alokasi dan distribusi sumberdaya yang efisien dan stabil sehingga menurunkan ketidakpastian (uncertainty). Untuk itu sarana dan prasarana transportasi, komunikasi dan informasi yang umumnya merupakan sektor-sektor publik dimana sektor non pemerintah masih belum memiliki insentif atau kapasitas, perlu ditingkatkan. 5) Terjadinya learning process secara berkelanjutan yang mendorong terjadinya koreksi dan peningkatan secara terus menerus. Proses ini harus terus dikembangkan melalui berbagai bentuk proses dialog dan networking lintas stakeholders sebagai bentuk pengembangan social capital, disamping pengembangan human, natural dan man-made capitals. Indonesia memiliki sumberdaya alam pesisir dan laut yang jumlahnya sangat besar (Dahuri dkk., 2001). Sumberdaya mineral, minyak dan gas bumi, perikanan serta pariwisata di wilayah pesisir dan laut merupakan aset yang sangat signifikan bagi kelangsungan kehidupan bangsa Indonesia. Sumberdaya perikanan dan kelautan, sebagaimana sumberdaya alam lainnya merupakan aset negara (daerah) yang apabila dikelola dengan baik dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi kesejahteraan suatu bangsa (wealth of
12 nation) atau suatu daerah.
Untuk itu pemanfaatan sumberdaya pesisir dan
kelautan tidak terlepas dari aspek pengguna (stake holder) yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pesisir dan kelautan dengan berbagai kepentingannya. Tetapi kenyataannya memperlihatkan bahwa aspek pengguna sumberdaya seringkali tidak menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan kelautan.
Akibatnya
menimbulkan berbagai masalah baik itu dari aspek alokasi sumberdaya maupun dalam penyediaan produk-produk yang diperlukan. 2.2
Optimasi Sumberdaya Perikanan Sumberdaya perikanan, apabila dikelola secara baik dan benar dapat
merupakan salah satu kekuatan ekonomi yang dapat diandalkan. Oleh karena itu salah satu pertanyaan yang paling mendasar dalam pengelolaan sumberdaya perikanan adalah bagaimana memanfaatkan sumberdaya tersebut, sehingga diperoleh manfaat ekonomi yang setinggi-tingginya bagi pengguna dengan tetap menjaga kelestarian sumberdaya tersebut. Pada mulanya, pengelolaan sumberdaya ini banyak didasarkan pada faktor biologi semata dengan pendekatan yang disebut Maximum Sustainable Yield (MSY) atau tangkapan maksimum yang lestari. Inti pendekatan ini adalah bahwa setiap spesies ikan memiliki kemampuan untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksi (surplus), sehingga apabila surplus ini di panen (tidak lebih dan tidak kurang), maka stok ikan akan mampu bertahan secara berkesinambungan (sustainable). Pendekatan biologi dengan menggunakan kerangka surplus produksi ini sendiri merupakan salah satu pendekatan dari tiga pendekatan umum yang biasa dipakai khususnya untuk perikanan yang multi species. Pendekatan lain seperti Total Biomass Schaefer Model (TBSM) yang dikembangkan oleh Brown et al. (1976), Pope (1979), Pauly (1979) dan Panayotou (1985), serta pendekatan independen single species yang dikembangkan oleh Anderson dan Ursin (1977) dan May et al. (1979) memerlukan data dan perhitungan yang ekstensif sehingga sulit diterapkan wilayah yang memiliki multi spesies.
13 Dalam model surplus produksi, dinamika dari biomas digambarkan sebagai selisih antara produksi dan mortalitas alami sebagaimana digambarkan pada persamaan berikut: Biomas pada t+1 = biomas pada t + produksi – mortalitas alami Persamaan tersebut di atas menyatakan bahwa jika produksi melebihi mortalitas alami, maka biomas akan meningkat, sebaliknya jika mortalitas alami lebih tinggi dari pada produksi, maka biomas akan menurun. Istilah surplus produksi sendiri menggambarkan perbedaan atau selisih antara produksi dan mortalitas alami di atas. Lebih jauh Hilborn dan Walter (1992) menyatakan bahwa surplus produksi menggambarkan jumlah peningkatan stok ikan dalam kondisi tidak ada aktifitas penangkapan atau dengan kata lain jumlah yang bisa ditangkap jika biomas dipertahankan dalam tingkat yang tetap. Scott
Gordon
merupakan
seorang
ekonom
yang
pertama
kali
memperkenalkan istilah bioekonomi, dimana menggunakan pendekatan ekonomi untuk menganalisis pengelolaan sumberdaya ikan yang optimal.
Kemudian
seiring dengan perjalanan waktu istilah ini semakin intensif digunakan setelah Collin Clark dan Gordon Munro memperkenalkan pendekatan kapital untuk memahami pengelolaan sumberdaya ikan yang optimal. Model bioekonomi Gordon-Schaefer (GS) sendiri dibangun dari model produksi surplus yang telah dikembangkan sebelumnya oleh Graham pada tahun 1935. Model ini mengasumsikan bahwa pertumbuhan populasi ikan mengikuti fungsi pertumbuhan logistik dan tanpa adanya gangguan atau penangkapan oleh manusia. Secara matematis dapat ditulis : ∂x x = F ( x) = rx (1 − ) ∂t k
(2.1)
dimana : x = biomasa ikan r = pertumbuhan alamiah (kelahiran dikurangi kematian) k = kapasitas daya dukung lingkungan. Secara grafik persamaan (2.1) di atas dapat digambarkan sebagai berikut :
14
F(x)
Gambar 2. Kurva Pertumbuhan
x
Kemudian jika produksi perikanan oleh manusia diasumsikan tergantung dari input yang digunakan (I) dan jumlah biomasa ikan yang tersedia (x) serta kemampuan teknologi yang digunakan θ (koefisien daya tangkap), maka :
h = θxI
(2.2)
Kemudian dengan mensubtitusikan persamaan (2.1) ke dalam persamaan (2.2) menjadi: ∂x x = rx (1 − ) − h k ∂t x = rx (1 − ) − θxI k
(2.3)
Salah satu masalah yang dihadapi oleh pengelola perikanan adalah adnya variabel yang tidak dapat dikontrol (biomassa) yang sulit diamati, sementara pada kenyataannya variabel yang tersedia adalah variabel yang dapat dikontrol yaitu data produksi (h) dan jumlah input yang digunakan (I) seperti jumlah kapal, jumlah trip atau jumlah hari melaut.
Kenyataan (kendala) ini dalam model
bioekonomi GS diatasi dengan mengasumsikan kondisi ekologi dalam keadaan seimbang (∂b / ∂t = 0) , sehingga persamaan (2.2) dapat dipecahkan untuk mencari nilai biomassa (x) sebagai fungsi dari input, secara matematis dapat ditulis: ⎛ θ ⎞ x = k ⎜1 − I ⎟ r ⎠ ⎝
(2.4)
15 sehingga kalau kita substitusikan persamaan (2.4) ke dalam persamaan (2.2) akan menjadi : ⎛ θ ⎞ h = θkI ⎜1 − I ⎟ r ⎠ ⎝
(2.5)
Persamaan (2.5) di atas dalam model bioekonomi dikenal dengan istilah Yield
h (yield)
Effort Curve.
MSY
e
Gambar 3. Kurva Yield Effort Dari kurva tersebut terlihat bahwa jika tidak ada aktivitas perikanan (effort =0), maka produksi juga akan nol. Kemudian effort akan mencapai titik yang maksimum pada E MSY yang berhubungan dengan tangkap maksimum lestari ( H MSY ). Didalam pendekatan biologi, pengelolaan sumberdaya perikanan yang optimal dilakukan pada titik H MSY ini, karena pada titik inilah diperoleh tingkat produksi yang maksimum, dengan asumsi bahwa ekosistem dalam keadaan keseimbangan, koefisien tangkap (Catchability Coeffisien) konstan (Clark, 1990) dan tidak ada dependensi antar spesies (Conrad and Clark, 1987). Menurut Fauzi (2004a), pendekatan pengelolaan dengan konsep ini belakangan banyak dikritik oleh berbagai pihak sebagai pendekatan yang terlalu sederhana dan tidak mencukupi. Kritik yang paling mendasar di antaranya adalah karena pendekatan MSY tidak mempertimbangkan sama sekali aspek sosial
16 ekonomi pengelolaan sumberdaya alam. Lebih jauh Conrad dan Clark (1989), misalnya, menyatakan bahwa pendekatan MSY antara lain: 1. Tidak bersifat stabil, karena, perkiraan stok yang meleset sedikit saja bisa mengarah ke pengurasan stok (stock depletion). 2. Tidak memperhitungkan nilai ekonomis apabila stok ikan tidak dipanen (imputed value). 3. Sulit diterapkan pada kondisi dimana perikanan memiliki ciri ragam jenis (multi species). Dengan memasukkan parameter ekonomi yakni harga dari ouput (harga ikan per satuan berat) dan biaya dari input (cost per unit effort), Gordon mentransformasikan kurva yield-effort dari Schaefer di atas menjadi kurva yang menggambarkan antara manfaat bersih (total revenue dan total cost) yang dihasilkan dari sumberdaya perikanan dengan input produksi (effort) yang digunakan sebagaimana terlihat pada Gambar 4.
Gambar 4 tampak bahwa tiga
jenis rente ekonomi sumberdaya yang diartikan sebagai selisih (surplus) dari penerimaan yang diperoleh dari sumberdaya setelah kurangi seluruh biaya ekstraksi, dihasilkan pada titik E OA , E MSY dan E * .
Manfaat dan Biaya
TC
TR
E*
EMSY
EOA
Effort
Gambar 4. Keseimbangan Bioekonomi Gordon-Schaefer Gambar 4 di atas dapat kita gunakan untuk menguraikan inti model Gordon-Schaefer mengenai pengelolaan perikanan dalam dua rezim pengelolaan
17 yang berbeda.
Dalam kondisi (open access), sumberdaya perikanan akan
mencapai titik keseimbangan pada tingkat EOA dimana penerimaan total (TR) sama dengan biaya total (TC). Dalam hal ini pelaku perikanan hanya menerima biaya opportunitas saja dan rente ekonomi sumberdaya atau profit tidak ada. Tingkat effort pada posisi ini adalah tingkat effort keseimbangan yang oleh Gordon disebut sebagai “bioeconomic equilibrium of open access fishery” atau keseimbangan bionomik dalam kondisi akses terbuka (Fauzi, 2004b). Secara verbal, keseimbangan bioekonomi dapat dijelaskan sebagai berikut; Pada setiap tingkat effort dibawah EOA, penerimaan total akan melebihi biaya total sehingga pelaku perikanan (nelayan) akan lebih banyak tertarik (entry) untuk menangkap ikan. Sebaliknya pada tingkat effort di atas EOA, biaya total melebihi penerimaan total sehingga banyak pelaku perikanan akan keluar (exit) dari perikanan. Dengan demikian hanya pada tingkat effort EOA, keseimbangan tercapai sehingga entry dan exit tidak terjadi. Dalam model Gordon, pendekatan pengelolaan perikanan yang optimum disebut sebagai pendekatan MEY (Maximum Economic Yield). Titik MEY ini sendiri diperoleh pada titik E* dimana rente ekonomi diperoleh secara maksimal (jarak TR dan TC terbesar).
Dengan demikian dibanding dengan model
pendekatan biologi di atas, model pendekatan Gordon lebih menekankan pada efisiensi input dengan rente ekonomi yang maksimum mengingat jumlah input produksi yang digunakan pada model Gordon jauh lebih sedikit dari pada EMSY dan EOA. Kaitannya dengan depresiasi sumberdaya, pada pendekatan biologi, depresiasi sumberdaya tidak diperhitungkan sama sekali, sementara pada model Gordon, depresiasi sumberdaya perikanan dilihat sebagai hilangnya rente ekonomi (dissipated) akibat mismanagement sumberdaya perikanan yang open access. 2.3
Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi
kebutuhan hidup saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (WECD, 1987). Dari pengertian di atas setidaknya di dalamnya terkandung dua gagasan penting yaitu : (1) gagasan "kebutuhan" yaitu kebutuhan esensial untuk memberlanjutkan kehidupan manusia, dan (2) gagasan keterbatasan yang bersumber pada kondisi teknologi dan
18 organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan kini dan hari depan. Pemenuhan kebutuhan dan aspirasi manusia adalah tujuan utama pembangunan.
Pembangunan
berkelanjutan
mengharuskan
dipenuhinya
kebutuhan-kebutuhan dasar bagi semuanya dan diberinya kesempatan kepada semua untuk mengejar cita-cita akan kehidupan yang lebih baik. Kebutuhan yang wajar ditentukan secara sosial dan kultural, dan pembangunan berkelanjutan harus menyebarluaskan nilai-nilai yang menciptakan standar konsumsi yang berada dalam batas-batas kemampuan ekologi, serta yang secara wajar semua orang dapat mencita-citakannya. Pemenuhan kebutuhan esensial bergantung sebagian pada tercapainya potensi pertumbuhan secara penuh, dan pembangunan berkelanjutan jelas mensyaratkan pertumbuhan ekonomi di tempat-tempat yang kebutuhan esensial tadi belum bisa konsisten dengan pertumbuhan ekonomi, asalkan isi pertumbuhan itu mencerminkan prinsip-prinsip yang luas mengenai keberlanjutan dan noneksploitasi kepada sesama. Akan tetapi pertumbuhan itu sa ja belum cukup. Aktivitas produksi yang tinggi dapat terjadi b ersamaan
dengan
kemelaratan
yang
tersebar
luas,
dan
ini
dapat
membahayakan lingkungan. Jadi pembangunan berkelanjutan menyaratkan bahwa masyarakat memenuhi kebutuhan manusia dengan cara meningkatkan potensi produksi mereka dan sekaligus menjamin kesempatan yang sama bagi semuanya. Peningkatan
jumlah
penduduk
dapat
menambah
tekanan
pada
sumberdaya dan memperlambat peningkatan taraf hidup di daerah-daerah yang keme l aratan sudah tersebar luas. Meskipun masalahnya bukanlah semata-mata jumlah penduduk namun adalah distribusi sumberdaya, pembangunan berkelanjutan hanya dapat dicapai bila pembangunan demografi selaras dengan perubahan potensi produktif ekosistem. Pertumbuhan
ekonomi
dan
pembangunan jelas mengakibatkan
perubahan-perubahan pada ekosistem fisiknya. Ekosistem manapun tidak dapat dipertahankan untuk tak terjamah. Suatu hutan mungkin ditebangi di salah satu bagian daerah aliran sungai dan diperluas di bagian lainnya, yang bukan
19 merup akan hal buruk bila eksploitasi itu telah direncanakan masak-masak dan dampaknya terhadap laju erosi tanah, sumber air, dan kerugian genetik telah diperhitungkan. Secara umum sumberdaya yang dapat pulih, seperti sumberdaya perikanan dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, asalkan laju pemanfaatannya dalam batas-batas regenerasi dan pertumbuhan alam. Akan tetapi sebagian besar sumberdaya alam yang dapat pulih merupakan bagian dari suatu ekosistem yang rumit dan saling terkait, dan hasil berlanjut yang maksimum harus ditentukan setelah memperhitungkan dampak eksploitasi terhadap sistem tersebut. Pada pokoknya, pembangunan berkelanjutan adalah suatu proses perubahan yang
di
dalamnya
eksploitasi
sumberdaya,
arah
investasi
orientasi
pengembangan teknologi, dan perubahan kelembagaan semuanya dalam keadaan yang selaras serta meningkatkan potensi masa kini dan masa depan untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia. Secara
ideal
keberlanjutan
pembangunan
harus
memiliki
(membutuhkan) tiga pilar utama (Munasinghe, 1993), yaitu pilar ekonomi, ekologi dan sosial yang membentuk sebuah bangunan segi tiga seperti pada Gambar 5 berikut ini :
EKONOMIC OBJECTIVE EFFEICIENCY/GROWTH
SOCIAL OBJECTIVE PROPERTY/EQUITY
ECOLOGICAL OBJECTIVE NATURAL RESOURCES
Gambar 5. Hubungan Antara Tiga Tujuan Dari Pembangunan Berkelanjutan
20 a. Keberlanjutan ekologis Keberlanjutan ekologis adalah suatu prasyarat mutlak yang tidak hanya untuk pembangunan, tetapi juga untuk keberlanjutan kehidupan. Untuk menjamin keberlanjutan ekologis harus diupayakan hal-hal sebagai berikut : (a) Memelihara integritas tatanan lingkungan (ekosistem) agar sistem penunjang kehidupan di bumi ini tetap terjamin. Menurut Serageldin (1993) tiga aspek yang harus diperhatikan untuk memelihara integritas tatanan lingkungan yaitu; daya dukung, daya asimilatif dan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya terpulihkan; (b) Memelihara keanekaragaman hayati pada keaneka-ragaman kehidupan dimana proses ekologis menggantungkan keberlanjutannya. b. Keberlanjutan Ekonomi Secara tegas Munasinghe (1993) mengatakan bahwa pilar ekonomi pada prinsipnya menekankan pada perolehan pendapatan yang berbasiskan pada penggunaan
sumberdaya
yang
efisien.
Kemudian
Serageldin
(1993)
menambahkan bahwa keberlanjutan ekonomi meliputi pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan modal (capital maintenance), dan efisiensi penggunaan sumberdaya dan modal Kemudian kalau di lihat dari perspektif pembangunan , keberlanjutan ekonomi memiliki dua hal utama yang keduanya mempunyai keterkaitan yang erat dengan tujuan keperlanjutan aspek lainnya. Keberlanjutan
ekonomi
makro
dan
keberlanjutan sektoral. Keberlanjutan ekonomi makro menjamin kemajuan ekonomi secara berkelanjutan dan mendorong efisiensi ekonomi melalui reformasi struktural dan nasional. Tiga elemen utama untuk memberlanjutkan ekonomi makro yaitu; efisiensi ekonomi, ke sejahteraan ekonomi yang berkesinambungan, dan meningkatkan pemerataan dan distribusi kemakmuran. Keberlanjutan ekonomi sektoral. Penyesuaian kebijakan yang meningkatkan keberlanjutan ekonomi makro secara jangka pendek akan mengakibatkan distorsi sektoral yang selanjutnya mengabaikan keberlanjutan ekologis. Hal ini harus diperbaiki melalui kebijaksanaan sektoral yang spesifik dan terarah. Oleh karena itu penting mengindahkan keberlanjutan aktifitas dan ekonomi sektoral.
21 Setidaknya ada dua hal yang dapat dilakukan untuk mencapai keberlanjutan ekonomi sektoral, pertama, sumberdaya alam di mana nilai ekonominya dapat dihitung harus diperlakukan sebagai kapital yang "tangible" dalam kerangka akunting ekonomi. Kedua, koreksi terhadap harga barang dan jasa perlu diintroduksikan. Secara prinsip, harga sumberdaya alam harus merefleksikan biaya ekstraksi/ pengiriman, ditambah biaya lingkungan ditambah biaya pemanfaatan. Pakar ekonomi mengidentifikasikan bahwa sumberdaya yang terpulihkan seperti perikanan dapat memberi manfaat secara berkelanjutan bila : (a) Tidak memperlakukan produktivitas ekonomi sebagai fungsi yang pasif atau jasa yang mengalir (flow service); (b) Menggunakan prinsip pengelolaan yang berkelanjutan; c. Keberlanjutan Sosial dan Budaya Menurut Serageldin (1993), bahwa implementasi pembangunan berkelanjutan yang pertama kali harus diperhatikan adalah aspek sosial. Hal ini dapat dipahami karena aspek sosial dapat berperan sebagai pusat dari pembungnan. Aspek sosial yang paling penting adalah adalah pendekatan kesejahteraan (well-being) dan pemberdayaan (empowerment). Secara lebih tegas lagi dapat dikatakan bahwa keberlanjutan sosial dinyatakan dalam "keadilan sosial, harga diri manusia dan peningkatan kualitas hidup seluruh manusia". Keberlanjutan sosial dan budaya mempunyai tiga sasaran : (a) Stabilitas penduduk; (b) Memenuhi kebutuhan dasar manusia, dengan memerangi kemiskinan dan mengurangi kemiskinan absolut;
(c)
Mempertahankan keanekaragaman budaya, dengan mengakui dan menghargai sistem sosial dan kebudayaan seluruh bangsa di dunia, dan dengan memahami dan menggunakan
pengetahuan
tradisional
demi
manfaat
masyarakat dan
pembangunan ekonomi. 2.4
Teori Pertumbuhan Pertumbuhan ekonomi yang menggambarkan kemampuan atau kapasitas
dari suatu perekonomian untuk menghasilkan barang-barang dan jasa, merupakan unsur yang sangat penting dan menjadi tujuan utama dalam pembangunan ekonomi. Ada berbagai pandangan atau teori yang membahas tentang faktor-faktor yang menentukan atau mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Secara umum,
22 faktor-faktor yang menentukan atau mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, dapat dibedakan ke dalam (1) faktor-faktor penentu dan sisi penawaran (supply side) dan (2) faktor-faktor penentu dan sisi permintaan (demand side).
Dan sisi
penawaran, faktor-faktor penentu pertumbuhan ekonomi mencakup: jumlah penduduk (sumber daya manusia), stok kapital, sumberdaya alam, dan teknologi. Sedangkan dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi ditentukan atau dipengaruhi antara lain oleh pengeluaran pemerintah (government expenditure), investasi swasta (private investment) dan jumlah uang beredar (money supply). 2.4.1
Teori Harrod-Domar Teori Harrod-Domar (H-D) pada dasarnya berusaha untuk memadukan
pandangan kaum Klasik yang dinilai terlalu menekankan sisi penawaran dan pandangan Keynes yang lebih menekankan pada sisi permintaan (demand side). Dalam kaitan ini, Harrod-Domar mengatakan bahwa investasi memainkan peran ganda (dual role) yaitu di satu sisi, investasi akan meningkatkan kemampuan produktif (productive capacity) dan perekonomian (Klasik) dan di sisi lain, investasi akan menciptakan atau meningkatkan permintaan (demand creating) di dalam perekonomian (Keynes). Dalam teori H-D, investasi merupakan faktor penentu yang sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi. Bahkan mereka mengatakan bahwa “tabungan dan investasi merupakan kekuatan sentral dibalik pertumbuhan ekonomi” (saving and investment is central forces behind economic growth). Secara sederhana, kaitan pertumbuhan ekonomi, tabungan dan investasi dalam versi model H-D dapat dinyatakan sebagai berikut: Misalkan tabungan (S) adalah bagian dalam jumlah tertentu, atau, s, dari pendapatan nasional (Y). Oleh karena itu, kita pun dapat menuliskan hubungan tersebut dalam bentuk persamaan yang sederhana : S = sY
(2.6)
Investasi (I) didefinisikan sebagai perubahan dari stok modal (K) yang dapat diwakili oleh ∆K, sehingga kita dapat menuliskan persamaan sederhana yang kedua sebagai berikut : I = ∆K
(2.7)
23 Akan tetapi, karena jumlah stok modal K mempunyai hubungan langsung dengan jumlah pendapatan nasional atau output Y, seperti telah ditunjukkan oleh rasio modal-output, k, maka : K/Y = k atau ∆K/∆Y = k Akhirnya
∆K = k∆Y
(2.8)
Yang terakhir, mengingat jumlah keseluruhan dari tabungan nasional (S) harus sama dengan keseluruhan investasi (I), maka persamaan berikutnya dapat ditulis sebagai berikut : S=I
(2.9)
Dari persamaan (2.6) di atas telah diketahui bahwa S = sY dan dari persamaan (2.7) dan (2.8), kita juga telah mengetahui bahwasannya: I = ∆K = k∆Y. Dengan demikian, ‘identitas’ tabungan yang merupakan persamaan modal dalam persamaan (2.9) adalah sebagai berikut : S = sY = k∆Y = ∆k = I
(2.10)
Atau bisa diringkas menjadi sY = k∆Y
(2.11)
Selanjutnya, apabila kedua sisi persamaan (2.11) dibagi mula-mula dengan Y dan kemudian dengan k, maka akan didapat :
∆Y/Y = s/k
(2.12)
Dimana : (∆Y/Y) = pertumbuhan ekonomi s
= tingkat tabungan nasional
k
= ICOR (incremental capital output rasio, ∆K/∆Y atau I/∆Y)
Y
= Output nasional atan GNP, K = stok kapital, I=investasi Persamaan tersebut menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi (∆Y/Y)
ditentukan secara bersama-sama oleh rasio tabungan nasional (s), dan rasio modal output nasional (k), dan memiliki makna secara ekonomi bahwa agar suatu perekonomian dapat bertumbuh, maka perekonomian yang bersangkutan haruslah menabung dan menginvestasikan proporsi tertentu dari GNP-nya. Semakin banyak suatu perekonomian menabung dan menginvestasikan, semakin pesat pertumbuhan ekonominya (Todaro, 2000)
24 2.4.2
Teori Pertumbuhan Solow Teori lain yang juga banyak membahas tentang pertumbuhan ekonomi
adalah teori pertumbuhan ekonomi neoklasik (neoclasical growth thoery) atau sering disebut Teori Pertumbuhan Solow (Solow growth theory). Dalam model Harrod-Domar hanya memfokuskan pada faktor tabungan dan investasi, maka dalam model pertumbuhan Solow, selain faktor kapital, juga menekankan pentingnya faktor tenaga kerja dan teknologi. Bagian ini difokuskan pada model yang umumnya digunakan oleh ahli ekonomi untuk mengkaji issue-issue diatas yaitu model pertumbuhan Solow. Model pertumbuhan Solow adalah titik awal bagi sebagian besar analisis ekonomi, bahkan untuk model-model yang secara mendasar berbeda dari model Solow, akan lebih mudah dipahami dengan model pertumbuhan Solow ini. Model Solow memfokuskan pada empat variabel: output (Y), modal (K), tenaga kerja (L) dan “pengetahuan” atau “efektivitas tenaga kerja” (A). Pada waktu tertentu, ekonomi memiliki sejumlah modal, tenaga kerja, dan pengetahuan yang kombinasinya menghasilkan output. Fungsi produksi akan berbentuk: Y(t) = F(K(t), A(t)L(t)),
(2.13)
dimana t adalah waktu Dua features dari fungsi produksi ini yang perlu dicatat. Pertama, waktu tidak masuk dalam fungsi produksi secara langsung tetapi hanya melalui K, L dan A. Yaitu bahwa output akan berubah terhadap waktu hanya jika input produksinya berubah. Pada khususnya, output yang diperoleh dari jumlah modal dan tenaga kerja tertentu akan meningkat terhadap waktu – dengan kemajuan teknologi – hanya jika jumlah pengetahuannya meningkat. Kedua, A dan L masuk secara multiplikatif. AL menunjukkan tenaga kerja yang efektif dan perkembangan teknologi yang dikenal sebagai labor augmenting atau Harrod-neutral. Cara-cara dalam menspesifikkan bagaimana A masuk bersama-sama dengan asumsi lainnya dalam model, akan berimplikasi bahwa rasio modal terhadap output (K/Y) akan menurun. Dalam prakteknya, rasio modal-output tidak menunjukkan kecenderungan meningkat
25 atau menurun terhadap periode waktu. Sebagai tambahan, membangun model sehingga rasionya konstan maka akan membuat analisis menjadi lebih sederhana. Dengan mengasumsikan A dikalikan dengan L akan lebih mempermudah. Asumsi utama dari model pertumbuhan Solow adalah difokuskan pada fungsi produksi dan evolusi ketiga input produksi (capital, labor, dan knowledge) terhadap waktu. Asumsi penting dalam model yang terkait dengan fungsi produksi adalah constan return to scale yang dijelaskan dengan 2 input modal (capital) dan tenaga kerja efektif (effective labor). Yaitu dengan menggandakan jumlah modal dan tenaga kerja efektif (sebagai contohnya, dengan menggandakan K dan L dengan A tetap) maka akan menggandakan jumlah produksinya. Lebih umum, mengkalikan kedua penjelas dengan konstanta c non negatif akan menyebabkan output berubah dengan faktor yang sama. untuk semua c ≥ 0
F(cK,cAL) = cF(K, AL)
(2.14)
Asumsi constan return to scale dapat dipandang sebagai kombinasi dari dua asumsi.
Yang pertama adalah ekonomi cukup besar dimana
perolehan dari spesialisasinya telah dihabiskan. Dalam ekonomi yang sangat kecil, terdapat kemungkinan untuk melakukan spesialisasi lebih lanjut yang akan menggandakan jumlah modal dan tenaga kerjanya lebih dari penggandaan outputnya.
Namun, model Solow mengasumsikan bahwa
ekonominya cukup besar, jika modal dan tenaga kerja digandakan, maka outputnya juga akan digandakan. Asumsi kedua adalah bahwa input selain modal, tenaga kerja dan pengetahuan
adalah
relatif
tidak
penting.
Khususnya,
mengesampingkan lahan dan sumberdaya alam lainnya.
model
ini
Jika sumberdaya
alam adalah penting, menggandakan modal dan tenaga kerja akan lebih kecil dari penggandaan outputnya.
Namun, dalam prakteknya, ketersediaan
sumberdaya alam nampaknya bukan merupakan kendala utama untuk pertumbuhan. Mengasumsikan constan return to capital dan labor saja nampaknya sudah menjadi sutau perkiraan reasonable.
26 2.4.3
Teori Pertumbuhan Baru (New Growth Theory) Model yang telah dikembangkan di atas tidak memberikan jawaban yang
memuaskan tentang pertumbuhan ekonomi. Salah satu kelemahan prinsip model yang dihasilkan yaitu jika penerimaan kapital sebagai refleksi dari kontribusi output dan merupakan share income total disederhanakan, kemudian akumulasi kapital tidak dapat dihitung untuk sebagian besar pertumbuhan jangka panjang dan perbedaan income antar negara, serta hanya menentukan income dalam model sedangkan kapital masih menjadi variabel misteri, labor efektif (A) yang tidak diartikan secara spesifik dan perilakunya dianggap eksogenus. New growth theory memperhatikan dua pandangan besar yaitu : 1.
Pandangan bahwa kekuatan penggerak pertumbuhan adalah akumulasi knowledge.
Pandangan ini setuju dengan Solow model dan akumulasi
kapital bukan penggerak utama pertumbuhan, tetapi berbeda dalam interpretasi eksplisit efektif labor sebagai knowledge dan secara formal model setiap waktu mengalami evolusi. Analisis dinamika ekonomi dilakukan ketika akumulasi knowledge secara eksplisit masuk dalam model dan memperhatikan perbedaan pandangan bagaimana knowledge dihasilkan dan apakah akan menentukan alokasi sumber daya produksi knowledge. 2.
Pandangan yang berlawanan dengan Solow model dan kapital sebagai sentral pertumbuhan. Model secara spesifik memandang lebih luas kapital daripada sebelumnya dengan memasukkan human capital.
Model ini
mengimplikasikan bahwa share income kapital fisik tidak mungkin menjadi petunjuk bagus untuk keseluruhan kapital yang penting. Pada model ini akan terlihat bahwa akumulasi kapital sendiri memiliki efek yang lebih besar terhadap real income. Pandangan pada model pertumbuhan bahwa efektif labor sebagai representasi knowledge atau teknologi.
Pasti dapat diterima alasan
bahwa
kemajuan teknologi menyebabkan output yang diproduksi sekarang lebih besar dari satu atau dua abad yang lalu. Untuk penyederhanaan diperlukan dua hal tetapi tidak secara berarti mengubah implikasi model yaitu: Pertama Fungsi produksi R&D dan barang diasumsikan secara umum menjadi fungsi Cobb-Douglas, Kedua, Berdasarkan
27 Solow model maka model yang memakai fraksi output yang di saving dan fraksi tenaga kerja dan stok kapital yang digunakan pada sektor R&D sebagai eksogenus dan konstan. Asumsi ini tidak merubah implikasi utama dari model ini. Berkenaan dengan perbedaan real pendapatan dari beberapa negara, relevansi dan hubungan dalam model kurang jelas. Ada dua kesulitan, pertama adalah kuantitatif. Jika satu percaya bahwa perekonomian digambarkan melalui sesuatu seperti
model Solow tetapi tidak semuanya memiliki akses kepada
teknologi yang sama, lag dalam difusi ilmu pengetahuan dari negara kaya kepada negara miskin adalah diperlukan untuk menghitung perbedaan observasi dalam income adalah panjangnya luar biasa sekali pada urutan abad atau lebih. Sukar dipercaya bahwa alasan dari beberapa negara miskin adalah bahwa mereka tidak mempunyai akses untuk memperbaiki teknologi yang terjadi beberapa abad yang lalu. Kesulitan kedua adalah konseptual.
Teknologi adalah nonrival, jika
digunakan oleh satu perusahaan tidak dapat mencegah digunakan oleh perusahaan lainnya. Secara alami timbul pertanyaan
mengapa negara miskin tidak
mempunyai akses teknologi yang sama dengan negara kaya.
Jika ilmu
pengetahuan yang relevan tersedia di depan umum, negara miskin dapat menjadi negara kaya jika pekerja atau manager mereka membaca literatur yang tepat. Dan jika ilmu pengetahuan yang relevan diproduksi oleh pemilik pengetahuan melalui private R&D, negara miskin dapat menjadi negara kaya melalui program institusi yang dapat dipercaya mengenai kepemilikan hak milik untuk perusahaanperusahaan asing. Dengan program yang cukup, perusahaan-perusahaan dinegara berkembang dengan pemilik ilmu pengetahuan dapat membuka pabrik di negara miskin, menggaji tenaga kerja mereka yang tidak mahal, menghasilkan output menggunakan teknologi sendiri. Hasilnya dapat menjadi produk marginal dari tenaga kerja dinegara miskin dan karena itu gaji secara cepat naik pada tingkat negara berkembang. Satu objek yang layak untuk argumen dasar bahwa kesulitan yang dihadapi beberapa wilayah/negara adalah akses kepada teknologi maju tidak kurang, tetapi kurangnya kemampuan untuk menggunakan teknologi tersebut. Tetapi keberatan ini mengimplikasikan bahwa sumber utama dari perbedaan
28 dalam standar kehidupan pada level ilmu pengetahuan atau teknologi tidak berbeda tetapi berbeda pada apa saja faktor-faktor yang mengijinkan negaranegara yang lebih kaya mengambil keuntungan yang lebih baik dari kemajuan teknologi. Oleh karena itu pengertian perbedaan dalam pendapatan membutuhkan pengertian alasan untuk perbedaan dalam beberapa faktor. Model pertumbuhan baru ini pada dasarnya merupakan pengembangan dari model Solow sebelumnya. Studi terbaru tentang pertumbuhan ekonomi mengungkapkan
bahwa peranan kapital, termasuk modal
manusia (human
capital) atau investasi dalam sumberdaya manusia (human capital investment) lebih besar daripada apa yang diukur oleh kerangka pertumbuhan Solow. Ide dasar dari penelitian baru tersebut adalah bahwa investasi kapital, baik itu dalam mesin maupun dalam manusia, menciptakan eksternalitas yang positif (positive externalities). Artinya investasi tidak hanya meningkatkan kapasitas produktif dari perusahaan yang melakukan investasi atau tenaga kerja, tetapi juga kapasitas produktif dari perusahaan-perusahaan atau tenaga kerja lainnya yang terkait. Singkatnya, dalam model pertumbuhan yang baru ini inovasi teknologi (technological innovation) dan pembentukan modal manusia (human capital formation) dilihat sebagai sumber utama dari pertumbuhan produktivitas, dan pertumbuhan produktivitas itu sendiri pada gilirannya merupakan motor penggerak dari pertumbuhan ekonomi (engine of growth) (Romer, 1996) Perbedaan utama model Solow dan model pertumbuhan endogen terletak pada perlakuan mereka terhadap faktor teknologi. Kalau dalam model Solow, kemajuan teknologi dianggap sebagai sesuatu yang bersifat eksogen, sedangkan dalam model pertumbuhan yang baru, faktor teknologi diperlakukan sebagai sesuatu yang bersifat endogen. Fungsi produksi versi model pertumbuhan baru, tingkat output bergantung pada tingkat stok kapital (K), jumlah tenaga kerja, dan juga pada tingkat teknologi atau produktivitas (A). Dalam model pertumbuhan baru ini, dengan demikian, tingkat kemajuan teknologi atau produktivitas tidak lagi dianggap sebagai faktor yang bersifat eksogen, akan tetapi diasumsikan sebagai faktor yang bersifat endogen, yang bergantung pada pertumbuhan kapital (Froyen, 1996).
29 Salah satu hal yang ditekankan dalam model pertumbuhan baru adalah pentingnya peranan pemerintah, hal mana tidak ditekankan dalam model Solow. Menurut model pertumbuhan baru, kebijakan pemerintah terutama dalam meningkatkan infrastruktur, membangun sumberdaya manusia (human capital), dan mendorong penelitian dan pengembangan adalah sangat penting dalam rangka meningkatkan produktivitas suatu bangsa, dimana pertumbuhan produktivitas itu sendiri pada gilirannya merupakan motor penggerak pertumbuhan (engine of growth) (Abel dan Bernanke, 1998). 2.4.4. Convergence Hipotesis Isue yang banyak menarik perhatian dalam studi pertumbuhan adalah apakah negara/ wilayah miskin cenderung tumbuh lebih cepat dibandingkan negara/wilayah kaya. Setidaknya terdapat 3 alasan mengenai konvergensi ini, yaitu: Pertama, model Solow memprediksi bahwa negara-negara tersebut akan bertemu dengan jalur pertumbuhan seimbangnya.
Kedua, model Solow
mengindikasikan bahwa tingkat pengembalian terhadap modal adalah lebih rendah di negara-negara yang mempunyai rasio modal per pekerja yang lebih besar. Jadi terdapat insentif bagi modal untuk mengalir dari negara kaya ke negara miskin.
Hal ini juga cenderung akan menyebabkan terjadinya
konvergensi. Ketiga, jika terjadi kesenjangan difusi pengetahuan, perbedaan pendapatan akan muncul karena beberapa negara belum menerapkan teknologi terbaik yang sudah ada. Meskipun dalam beberapa studi prediksi convergence terjadi, misalnya penelitian dari Nazara et al. (2000) serta Garcia dan Soelistianingsih (1997) untuk short term pendapatan perkapita antar wilayah di Indonesia, namun pembuktian tersebut sangat terbatas (limited). Pada kenyataannya teori convergence gagal dibuktikan dalam kasus yang lebih luas, mengingat terjadinya perbedaan yang mendasar antar wilayah yang menyangkut politik, kelembagaan dan struktur ekonomi. Keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dan dampaknya terhadap sumberdaya alam dan lingkungan merupakan keterkaitan yang sangat erat sebagaimana dipostulatkan dalam material balance principle. Pertumbuhan ekonomi memerlukan peningkatan terhadap input materi dan energi yang sangat
30 potensial terhadap penurunan kualitas dan kuantitas sumberdaya alam. Misalnya, dalam situasi dimana substitusi tidak dimungkinkan, material balance principle menyatakan bahwa
input energi dan materi yang dibutuhkan sebanding
(proporsional) dengan kegiatan ekonomi, sehingga pertumbuhan secara tidak terhindarkan akan menyebabkan deteriorasi sumberdaya alam. 2.5
Disparitas Wilayah Disparitas
wilayah
merupakan
suatu
bentuk
tidak
seimbangnya
pertumbuhan sektor-sektor primer, sekunder, tersier dan atau sektor-sektor sosial antar wilayah. Setiap wilayah (negara), baik itu wilayah (negara) maju atau sedang berkembang, wikayah agragris atau industri maju selalu memiliki wilayahwlayah yang beragam pertumbuhan ekonominya. Kemajuan atau keterbelakangan ekonomi mungkin dapat saja terbatas dalam dimensi sektoral maupun agregrat. Pembangunan wilayah yang berimbang ditunjukkan oleh adanya tingkat pertumbuhan yang seimbang antar wilayah sesuai dengan kapasitas dan kebutuhan-kebutuhan pembangunannya. Dengan demikian jelaslah bahwa tidak berarti bahwa setiap wilayah harus sama tingkat perkembangannya atau mempunyai tingkat perkembangan industrialisasi yang sama maupun suatu pola ekonomi yang seragam. Secara sederhana ini berarti tercapainya secara penuh kapasitas pembangunan wilayah yang sesuai dengan potensi wilayah tersebut. Menurut Murty (2000), sebenarnya gagasan pembangunan regional berimbang pada mulanya merupakan ide populer Stalin yang ingin membangun setiap negara wilayah dari Soviet sebagai bagian dari upaya meningkatkan pertahanan negara. Di Inggris, gagasan ini diwujudkan dengan menyebarkan aktifitas industri dan serta pembangunan wilayah terbelakang setelah penyerbuan Jerman selama perang dunia kedua.
Di Amerika, wilayah terbelakang dari
wilayah Tannesse menerima perhatian utama.
Jelaslah bahwa ide-ide
pembangunan berimbang telah lama muncul di berbagai negara, khususnya negara-negara maju.
Akan tetapi permasalahan disparitas regional dalam
pembangunan ekonomi lebih relepan lazim dan sangat parah terjadi di negaranegara berkembang.
Dalam beberapa dekade terakhir hampir seluruh negara
sedang berkembang telah semakin memahami pentingnya pembangunan wilayah secara berimbang.
31 Untuk mengidentifikasi peubah-peubah yang sangat menentukan pola pertumbuhan suatu wilayah, maka diperlukan suatu analisis untuk melihat hubungan antara pola pembangunan ekonomi dengan berbagai fisik dan sosial ekonomi
wilayah.
Tetapi
dalam
kenyataannya
penyebab
terjadinya
ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah bersifat sangat beragam antar satu wilayah dengan wilayah lainnya.
Tetapi walaupun demikian terdapat
beberapa generalisasi yang dapat diambil.
Hasil kajian Murty (2000),
memperlihatkan bahwa faktor-faktor penentu terjadinya disparitas regional dapat diklasifikasikan sebagai berikut : a) Faktor geografis Faktor geografis atau faktor alamiah pada dasarnya adalah merupakan implikasi logis dari sifat alamiah, dimana sumberdaya alam tersebar secara tidak merata secara spasial. Hal ini dapat dipahami karena sumberdaya alam umumnya bersifat melekat pada berbagai permukaan bumi atau posisi geografis dan tersebar secara tidak merata.
Sehingga sangat jelas bahwa
berbagai sumberdaya pesisir, topografi dan iklim tersebar secara tidak merata. Apalagi kalau kita lihat kasus Indonesia, dimana secara fisik wilayah pesisir Indonesia merupakan wilayah yang sangat luas. b) Historis Tingkat pembangunan di dalam sebuah komunitas juga tergantung pada apa yang telah diwariskan dari masa lalu. Sistem kelembagaan yang berkembang di masa lalu merupakan suatu landasan terbentuknya struktur insentif serta sistem hubungan antara pekerja dan pengusaha. Sistem feodal memberikan insentif yang sangat kecil untuk pekerja keras. Kemudian di dalam sistem industri dimana para pekerja merasa dieksploitasi serta pendekatan perencanaan restriktif membatasi menimbulkan sedikitnya inisiatif untuk investasi swasta dan menyebabkan terganggunya proses pembangunan. c) Politis Aspek kekuatan politik umumnya tidak sama untuk setiap wilayah. Sistem politik dapat menyebabkan sebaran perwakilan aspirasi politik dirasakan tidak adil oleh sebagian wilayah. Wilayah-wilayah tertentu sering merasa mendapat perlakuan yang dianaktirikan dibandingkan dengan wilayah-wilayah yang
32 memiliki wakil-wakil yang lebih banyak dari partai yang berkuasa pada kursi legislatif. d) Kebijakan Hampir semua negara yang telah berkembang menerapkan konsep negara welfare state.
Pembangunan diarahkan untuk menciptakan kesetaraan
perkembangan antar wilayah. Kekuatan-kekuatan pasar yang menyebabkan terjadinya backwash process cenderung dilemahkan dan sebaliknya kekuatankekuatan pasar
yang mendorong spread effect justru semakin didorong.
Namun di negara-negara yang sedang berkembang umumnya baru dilakukan dengan sangat terbatas. kebijakan-kebijakan
yang
Yang banyak didukung pada umumnya justru mendorong
proses
eksploitasi
dan
aliran
sumberdaya yang menciptakan ketimpangan-ketimpangan pembangunan dan pengembangan kelembagaan-kelembagaan feodalisme dan kelembagaan non egaliter serta berbagai struktur
kekuasaan yang mendorong kelompok kaya
mengeksplotasi kelompok miskin. e) Administratif Sistem administrasi atau birokrasi yang efisien atau tidak efisien seringkali malah semakin memperlebar jurang kesenjangan pemisah pembangunan regional. f) Sosial Berbagai faktor sosial telah menimbulkan berbagai masalah di dalam proses pembangunan.
Berbagai sistem sosial budaya tidak menciptakan keadaan
yang kondusif untuk pembangunan ekonomi (kepercayaan tradisional, nilainilai sosial primitif). Keterbelakangan sosial ini menggiring wilayah-wilayah tersebut masuk ke dalam pusaran keterbelakangan ekonomi. Dipihak lain penduduk wilayah yang maju memiliki pendirian dan sikap yang kondusif untuk pembangunan.
Mereka sangat percaya pada norma agama, tradisi,
kepercayaan sosial dan attitude yang lebih fleksibel. g) Ekonomi Kemudian dari dimensi ekonomi penyebab terjadinya disparitas wilayah bersumber dari : (1) keragaman kualitas dan kuantitas faktor-faktor produksi modal, tenaga kerja, teknologi dan sebagainya, (2) proses kumulatif, seperti
33 dalam masalah kemiskinan, lingkaran setan kemiskinan telah menyebabkan tidak keterbelakangan dan tidak berkembangnya sumberdaya-sumberdaya, (3) kekuatan-kekuatan pasar yang bebas nilai (free play of market forces) serta efek multipliernya , dan (4) ketidaksempurnaan pasar. 2.6
Konsep Pengukuran Efisiensi Farrel (1957) dalam Coelli et al. (1998) mengemukakan bahwa ada tiga
komponen efisiensi yang dapat diukur, yaitu : 1. Efisiensi Teknis, mencerminkan kemampuan perusahaan untuk mencapai output maksimum pada penggunaan input tertentu. 2. Efisiensi
Alokatif,
menggambarkan
kemampuan
perusahaan
untuk
berproduksi pada tingkat output tertentu dengan menggunakan input pada biaya minimum. 3. Efisiensi Ekonomis, merupakan gabungan efisiensi teknis dan efisiensi alokatif. Pada prinsipnya konsep pengukuran efisiensi dapat didekati dari dua sisi, yaitu pendekatan dari sisi input dan pendekatan dari sisi output. Berkaitan dengan pendekatan dari sisi input Coelli et al. (1998) mengilustrasikan idenya secara sederhana seperti diperlihatkan pada Gambar 6. X2/y
S • P
A
• Q • R
0
Q` •
S`
A` Gambar 6. Konsep Pengukuran Efisiensi Dari Sisi Input
X1/y
34 Gambar 6 memperlihatkan, misalkan ada suatu unit produksi yang menggunakan dua input x1 dan x2 untuk memproduksi output y. Kita asumsikan juga bahwa hubungan antara output dan input mengikuti fungsi produksi y=f(x1,x2) yang mempunyai ciri (Constant Return to Scale) sehingga fungsi tersebut dapat ditulis sebagai 1 = (x1/y,x2/y). Misalkan unit produksi tersebut menggunakan input (x10,x20) untuk memproduksi y0 dan titik P pada Gambar 6 menggambarkan kombinasi inputoutput (x10/ y0,x20/ y0). Inefisiensi teknis dicerminkan oleh rasio OQ/OP karena sebenarnya tingkat output y0 dapat dihasilkan oleh OQ yang jelas menggunakan lebih sedikit input dibandingkan OP. Selanjutnya, titik R mempunyai tingkat biaya produksi yang sama dengan titik Q` karena terletak pada isocost yang sama.
Dilain pihak tingkat biaya
produksi pada titik R lebih rendah dari titik Q yang walaupun secara teknis efisien tetapi secara alokatif tidak lebih efisien dibandingkan dengan titik Q`. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa rasio OR/OQ mengukur inefisiensi alokatif. Berdasarkan konsep Farrel, ukuran efisiensi dapat dirumuskan sebagai berikut : 1.
Efisiensi Teknis (ET)
:
ET =
OQ OP
(2.15) 2.
Efisiensi Alokatif (EA):
EA =
3.
Efisiensi Ekonomis(EE)
:
OR OQ EE =
(2.16) OQ OR OR × = OP OQ OP
(2.17)
Kopp dan Diewert (1982) dalam Kumbhakar (2003) mengembangkan konsep efisiensi Farrel dengan cara mengkaitkan dengan fungsi biaya sehingga diperoleh konsep efisiensi dual. Mereka menetapkan v sebagai vektor dari hargaharga input (garis isocost AA` pada Gambar 6). Biaya total untuk memproduksi output observasi y0 dengan kombinasi input yang tidak efisien (P) adalah vP, sedangkan biaya total untuk memproduksi output observasi y0 dengan kombinasi input yang efisien secara teknis (Q) adalah vQ. Selanjutnya pengukuran efisiensi dapat dirumuskan sebagai berikut :
35
1.
Efisiensi Teknis (ET)
:
ET =
v × OQ w × OP
:
EA =
v × OR v × OQ
(2.18) 2.
Efisiensi Alokatif (EA)
(2.19)
Menurut Kopp dan Diewert, karena sifat alamiah dari konsep dual terhadap ukuran-ukuran efisiensi, maka dapat digunakan hubungan berikut : v × OR OR v × OQ OQ dan = = w × OQ OQ w × OP OP
(2.20)
dengan pengembangan Kopp dan Diewert, ukuran efisiensi teknis dan alokatif dapat diperoleh dengan menggunakan sekaligus fungsi produksi batas dan fungsi biaya dualnya. Pendekatan efisiensi dari sisi output dapat diilustrasikan secara sederhana seperti pada Gambar 7. y2/x1
D • • B
Z •
C •
B`
A
D` 0
Z`
Y1/x1
Gambar 7. Konsep Pengukuran Efisiensi Dari Sisi Output Gambar 7 dimisalkan ada suatu unit usaha yang memproduksi dua output y1 dan y2 dengan menggunakan input tertentu, x. Unit usaha tersebut dianggap menghasilkan output (y10,y20) dengan menggunakan input x0 dan titik A pada Gambar 7 menggambarkan kombinasi output-input (y10/x0, y20/x0). Inefisiensi
36 teknis dicerminkan oleh rasio OA/OB karena sebenarnya penggunaan input x0 dapat menghasilkan OB yang jelas menghasilkan lebih banyak output dibandingkan OA. Selanjutnya, titik C mempunyai tingkat penerimaan sama dengan titik B` karena terletak pada isorevenue yang sama. Dilain pihak, tingkat penerimaan pada titik C lebih tinggi dari titik B yang walaupun secara teknis efisien tetapi secara alokatif tidak lebih efisien dibandingkan titik B`. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa rasio OB/OC mengukur inefisiensi alokatif. Ada berbagai metode yang telah diaplikasikan oleh para peneliti untuk mengukur efisiensi, diantaranya dengan metode Atkinson, metode utilitarian, metode Dalton, dan lain-lain (Simkin, 1998 dalam Fauzi, 2002). Metode-metode tersebut pada dasarnya lebih kepada penilaian mengenai seberapa efisien suatu kebijakan terhadap perubahan kesejahteraan masyarakat dalam konteks ketidakmerataan (inequality). Penilaian terhadap kebijakan yang menyangkut efisiensi, pada dasarnya dapat dilakukan juga dengan menggunakan Data Envelopment Analysis (DEA), biasa disebut juga sebagai frontier analysis. Teknik DEA pertama sekali diperkenalkan oleh Michael Jamer Farell (1957).
Namun selanjutnya ditemukan kembali oleh Charnes, Chooper dan
Rhodes atau CCR (1978) yang menggunakan metode pemrograman matematis dalam mengukur teknik efisiensi sebagai Data Envelopment Analysis. Paper CCR telah mengawali banyaknya paper yang menggunakan DEA yang sebagian besar untuk ilmu manajemen atau jurnal riset operasi.
Teknik DEA merupakan
pengukuran atau penialaian terhadap performance untuk mengevaluasi efisiensi relatif dari unit pengambilan keputusan dalam suatu aktivitas. Pada prinsipnya DEA merupakan pengukuran efisiensi yang bersifat bebas nilai (value free) karena didasarkan pada data yang tersedia tanpa harus mempertimbangkan penilaian (judgement) dari pengambil keputusan (Dinc and Haynes, 1999a). Dimana teknik ini didasarkan pada pemrograman metematis (mathematical programming) untuk mengukur keragaan optimal berkaitan dengan sejumlah kendala yang ada. Dengan kata lain DEA bertujuan untuk mengukur keragaan relatif (relative performance) dari unit analisis pada kondisi keberadaan multiple inputs dan outputs (Beasley, 2000).
37 Pengukuran efisiensi pada dasarnya adalah merupakan rasio antara output dan input, atau: Effisiensi =
output input
(2.21)
Seperti dijelaskan di atas, pengukuran efisiensi ini menjadi tidak tepat apabila kita berhadapan dengan data multiple inputs dan outputs yang berkaitan dengan sumberdaya, faktor aktivitas dan laingkungan yang berbeda.
Meskipun
pengukuran efisiensi yang menyangkut multiple input dan output dapat diatasi dengan menggunakan pengukurab efisiensi relatif yang dibobot seperti berikut : Jumlah output yang sudah dibobot Efisiensi = Jumlah input yang sudah dibobot Atau secara matematis dapat ditulis : Efisiensi dari unit j =
w1 y1 j + w2 y 2 j + ... v1 x1 j + v 2 x 2 j + ...
(2.22)
Keterangan : w1 = Pembobotan untuk output 1 Y1j = Jumlah output 1 dari unit j v1 = Pembobotan untuk output 1 x1j = Jumlah dari input 1 ke unit j Namun demikian, pengukuran di atas masih tetap memiliki keterbatasan berupa sulitnya menentukan bobot yang seimbang untuk input dan output. Pendekatan ekonometrik tradisional tidak cukup untuk menjelaskan isu tentang efisiensi, terutama apabila entiti yang sedang dipertimbangkan mempunyai multi input dan output (Sieford & Thrall, 1990). Salah satu teknik pengukuran efisiensi yang cukup berguna dan telah digunakan secara luas adalah dengan Data Envelopment Analysis (DEA).
Dimana DEA ini merupakan suatu teknik
matematika programming, yang memberikan suatu pendekatan non-parametrik untuk pengukuran efisiensi relatif dari entiti-entiti ini. DEA mengukur efisiensi relatif dari suatu Decicion Making Unit (DMU), Dengan rektrisi yang sederhana bahwa semua DUM berada tepat atau dibawah efisiensi frontir (Sieford & Thrall, 1990). Dalam DEA, efisiensi diartikan sebagai target untuk mencapai efisiensi yang maksimum dengan kendala relatif efisiensi dari seluruh unit yang tidak boleh
38 melebihi 100%. Secara matematis, efisiensi dalam DEA merupakan solusi dari persamaan berikut :
∑w y ∑v x i
ij m
k
ij m
i
Max Em =
k
Dengan kendala :
∑w y ∑v x i
ij m
k
ij m
i
k
≤ 1 untuk setiap unit ke j
(2.23)
wi , v k ≥ ε Pemecahan masalah permrogaman matematis di atas akan menghasilkan nilai Em yang maksimum sekaligus nilai bobot (w dan v) yang mengarah ke efisiensi. Jadi jika nilai Em=1, maka unit ke m tersebut dikatakan efisien relative terhadap unit lainnya. Sebaliknya jika nilai Em lebih kecil dari 1, maka unit yang lain dikatakan lebih efisien relatif terhadap unit m, meskipun pembobotan dipilih untuk memaksimisasi unit m. Salah satu kendala dari pemecahan persamaan (2.23) adalah persamaan berbentuk fractional sehingga sulit untuk dipecahkan melalui melakukan pemrograman linier. Namun demikian, dengan melakukan linierisasi, persamaan (9) di atas dapat diubah menjadi persamaan linier sehingga pemecahan melalui pemograman liniear (linear programming) dapat dilakukan. Linierisasi persamaan di atas menghasilkan persamaan sebagai berikut : max E m = ∑ wi jijm
(2.24)
i
dengan kendala :
∑v
k
k
x kjm = ϖ
∑w y i
i
ijm
− ∑ v k x kjm ≤ 1 k
wi , v k ≥ ε
Dalam penelitian ini, input yang berorientasi pada model BBC (Banker et al., 1984) digunakan untuk menghitung pengaruh skala pengembalian di dalam grup DMU yang dianalisis.
Model ini mensyaratkan bahwa titik
39 referensi pada fungsi produksi untuk DMUk adalah suatu kombinasi cembung dari efisiensi DMU yang teramati. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasikan skala (ukuran) yang paling efisien untuk setiap DMU dan pada saat yang sama mengidentifikasikan efisiensi teknisnya. Untuk melakukan hal ini, model BCC memberikan kendala, yaitu kecembungan, dalam batas ini.
Hal ini akan
memberikan DMU tersebut rasio input-output yang tertinggi atau yang terbaik diantara skala DMU yang sama.
Pada “bobot yang terbaik” ini setiap DMU
tidak dibandingkan terhadap semua DMU tetapi terhadap DMU dengan ukuran yang sama. Ini adalah model yang paling banyak digunakan dan merupakan model yang sesuai untuk efisiensi sektoral suatu negara karena terdapat variais skala antar sektor dan nampak bahwa efisiensi dipengaruhi oleh skala ekonominya.
40
3. METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan, Lingkup dan Keterbatasan Studi Untuk mencapai tujuan penelitian sebagaimana disebutkan pada bagian terdahulu, maka penelitian akan mengikuti alur penelitian seperti di perlihatkan pada Gambar 8. Alur pikir ini dikembangkan berdasarkan penilaian bahwa untuk melahirkan suatu pilihan kebijakan pengelolaan pembangunan perikanan yang komprehensif maka diperlukan suatu penilaian (assesment) penggunaan sumberdaya tersebut dari berbagai aspek secara terintegrasi. Pendekatan terhadap keragaan dari sumberdaya perikanan didasarkan pada karakteristik dan kelimpahan dari sumberdaya tersebut.
Atas dasar tersebut diyakini bahwa
sumberdaya pesisir akan merupakan salah satu prime mover dalam rangka pemulihan dan pengembangan ekonomi Indonesia yang selama lima tahun terakhir ini mengalami keterpurukan. Seperti kita ketahui bahwa cakupan sektor perikanan dan kelautan cukup luas yaitu meliputi berbagai sektor ekonomi. Sehingga selama ini pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan tidak dilakukan oleh satu koordinasi lembaga negara, tetapi dilakukan secara parsial oleh beberapa lembaga negara setingkat dengan departemen. Oleh sebab itu bidang perikanan dan kelautan bukanlah merupakan sektor tetapi merupakan multi sektor. Sementara selama ini yang dijadikan growth center adalah sektor perikanan. Untuk itu lingkup penelitian ini dibatasi pada sub-sektor perikanan, khusunya perikanan tangkap. Kemudian apabila dibandingkan dengan kegiatan studi sebelumnya, penelitian ini memberikan sumbangan dalam hal pemahaman keterkaitan antara sumberdaya, sektoral dan regional. Selama ini penelitian yang telah dilakukan adalah mengembangkan apa yang disebut dengan Lumped model, yaitu suatu model yang dikembangkan secara agregrat apakah secara wilayah keseluruhan atau secara spesies keseluruhan. Memang ada kelebihan-kelebihan dari lumped model ini, diantaranya adalah (1) model relatif sederhana, (2) biaya komputasional relatif rendah. Tetapi disisi lain ada kelemahan dari lumped model tersebut yaitu tidak dapat memilah-milah kontribusi antara satu wilayah dengan wilayah lainnya.
41 Jadi dalam lumped model ini dapat dikatakan tidak fair, karena faktor keadilan (kontribusi ekonomi, degradasi, dll) tidak diperhitungkan secara proporsional. Disinilah urgensinya penelitian ini, mencoba mengurai, karena diyakini bahwa kontribusi ekonomi, degradasi antara satu wilayah dengan wilayah lainnya itu akan berbeda. Dimana pendekatan yang dilakukan adalah dengan pendekatan hybrid model, yaitu memasukkan aspek regional ke dalam bio-ekonomi. Sehingga pada akhirnya kebijakan yang harus dilakukanpun akan berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Namun demikian, studi ini memiliki beberapa keterbatasan. Dilihat dari aspek metodologis, studi ini banyak menggunakan data sekunder yang tentunya memiliki tingkat kehandalan yang lebih rendah karena mengandung interpretasi sumber data kedua, kemudian studi ini juga terbatas pada penggunaan data crosssection yang bersifat statis, sementara aspek yang dianalisis memiliki dimensi dinamis.
42
Gambar 8. Alur Penelitian 42
3.2 Metode Analisis 3.2.1
Standarisasi Alat Mengingat beragamnya alat tangkap yang beroperasi di wilayah penelitian,
maka untuk mengukur dengan satuan yang setara, dilakukan standardisasi effort antar alat dengan teknik standardisasi mengikuti yang dikembangkan oleh King (1995) dimana: E jt = j jt D jt
(3.1)
dengan j jt =
u jt
(3.2)
u st
Ejt = effort dari alat tangkap j pada waktu t yang distandarisasi Djt = jumlah hari laut (fishing days) dari alat tangkap j pada waktu t jjt = nilai fishing power dari alat tangkap j pada periode t ujt = catch per unit effort (CPUE) dari alat tangkap j pada waktu t ust = catch per unit effort (CPUE) dari alat tangkap yang dijadikan basis standardisasi 3.2.2
Uji Stationarity Dalam analisis times series terlebih dahulu perlu ditentukan data
generating process (DGP) terutama mengenai stationarity dan non-stationarity dari data yang dipergunakan dalam estimasi regresi.
Kemudian kita ketahui
bahwa dalam inferensia ekonometrika biasa seperti yang tercakup dalam Ordinary Least Square (OLS) hanya berlaku bagi data yang bersifat stationer.
Untuk
variabel-variabel yang bersifat non-stationer maka OLS akan bersifat spurious regression. Artinya, koefisien dari hasil estimasi dalam regresi tersebut tidak valid dan tidak dapat diinterpretasikan. Oleh karena itu, sebelum analisis regresi dilakukan maka DGP dari masing-masing variabel perlu ditentukan terlebih dahulu. Suatu data times series dikatakan bersifat stationer apabila mean, variance dan autocovariannya bersifat finite. Dalam bahasa statistik, suatu variabel yt dikatakan stationer jika kondisi berikut terpenuhi :
44 (1) E(yt) = E(yt-1) = µ (2) E[(yt - µ)2] = E[(yt-1 - µ)2] = σy2
(3.3)
(3) E[(yt - µ)(yt - µ)2]] = E(yt-1) = µ Oleh karenanya untuk menguji reliability (keabsahan) dari persamaan di atas akan digunakan suatu teknik modern untuk menganalisis sifat stationarity dari data time series dengan Dickey-Fuller unit root test (Dickey et al., 1994). Teknik uji Dickey –Fuller unit root ini
dapat dijelaskan dalam persamaan
berikut. Dimisalkan bahwa : yt = a1yt-1 + εt
(3.3)
Persamaan diatas menyatakan bahwa variabel yt pada periode tergantung pada nilai y pada periode sebelumnya dan error term. bersifat stationary jika a1
< 1
Variabel yt tersebut akan
dan akan bersifat non-stationarity jika a1 = 1.
Dengan mengurangi kedua sisi persamaan di atas dengan yt-1 maka dihasilkan persamaan berikut: yt – yt-1 = (a1 – 1) yt-1 + εt
(3.5)
atau dapat disederhanakan menjadi:
∆yt = γ yt-1 + εt
(3.6)
dimana γ = a1 – 1. tentu saja menguji hipotesis a1 = 1 equivalen dengan menguji bahwa γ = 0 . Parameter yang menjadi pusat perhatian kita dari uji Dickey-Fuller adalah parameter γ. Jika γ = 0 maka jelas variabel yt mengandung unit root atau variabel tersebut bersifat non-stationarity.
Jadi, null hypothesis dari Dickey
Fuller test adalah γ = 0. Artinya jika nilai t-statistic dari γ lebih kecil dari critical value, maka variable yt tersebut bersifat non-stationary, dan parameter yang dihasilkan dapat dikatakan tidak reliable. Dalam kondisi dimana data time series yang ada menunjukkan adanya gejala non-stationarity, akan menimbulkan beberapa masalah ekonometrik (Fauzi, 1998).
Pertama asumsi stationarity yang merupakan dasar untuk melakukan
regresi time series, menjadi tidak dapat dilakukan. Kedua estimasi parameter yang dihasilkan dari OLS menjadi tidak ada artinya (Dickey et al., 1994). Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menghadapi masalah non-stationarity ini.
Salah satunya adalah
differencing.
Metode ini bagaimanapun tidaklah
45 merupakan solusi yang sempurna, karena menurut Gujarati (1995), dengan melakukan differencing maka kemungkinan kita akan kehilangan hubungan longterm yang penting diantara variabel. Sebagai contoh dalam model hubungan antara CPUE dan effort, hubungan dibangun dalam bentuk tingkat yang bukan bentuk difference pertama atau kedua. Metode lain yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah variabel non-stationarity adalah dengan menggunakan teknik modern yang disebut cointegration. Konsep cointegration ini secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut : Jika pada data time series ditemukan adanya variabel yang akan digunakan untuk regresi ternyata non-stationarity, maka mungkin saja kombinasi linear dari variabel-variabel ini dapat stationer. Dengan demikian variabel ini mungkin saja cointegrated. Variabel-variabel ini menjadi tidak terlalu jauh satu sama lainnya. Dalam kondisi ini hasil yang diturunkan dari estimasi OLS dapat menjadi berarti. Dalam menggunakan metode cointegration ini, variabel yang diuji harus berada dalam order integrasi yang sama, misalnya keduanya harus non-stationarity (Enders, 1995). 3.3.1
Model Bio-Ekonomi Sumberdaya Perikanan Mengestimasi tangkapan lestari dari stok ikan adalah merupakan suatu hal
yang sangat penting dalam kaitannya dengan penilaian sumberdaya perikanan. Untuk keakuratan hasil yang diperoleh idealnya dilakukan pada setiap spesies ikan (stock- by- stock basis). Mengingat keterbatasan waktu dan data yang ada, penelitian dilakukan hanya pada beberapa spesies ikan yang dominan ada di wilayah penelitian, khususnya untuk perikanan pelagis.
Bagaimanapun juga,
penggunaan spesies ikan tertentu dalam penelitian ini hanyalah sebagai basic model, karena pada dasarnya metode yang dilakukan dapat dengan sama dilakukan pada semua group spesies lainnya. Sehingga secara keseluruhan kita sebenarnya dapat menghitung nilai depresiasi total sumberdaya perikanan di wilayah penelitian maupun daerah lainnya dengan cara menjumlahkan
nilai
depresiasi dari seluruh group spesies di seluruh wilayah. Untuk mengetahui nilai estimasi tangkapan lestari, terlebih dahulu perlu diketahui produktivitas dari stok ikan, yang biasanya diestimasi dengan model kuantitatif. Seperti kita ketahui, produktivitas stok ikan dipengaruhi oleh berbagai faktor baik biologi, iklim, maupun aktivitas manusia yang menyebabkan turunnya
46 kualitas dan kuantitas sumberdaya tersebut. Faktor eksogenous seperti penggunaan input atau upaya penangkapan, serta pengelolaan dan regulasi sumberdaya juga akan sangat mempengaruhi produktivitas stok ikan. Dalam penelitian ini, dengan kondisi data yang ada, maka untuk memudahkan dalam menganalisis stok ikan digunakan model surplus produksi.
Model ini
mengasumsikan stok ikan sebagai penjumlahan biomass dengan persamaan: ∂x = F ( xt ) − ht ∂t
(3.7)
Dimana F (x t ) adalah laju pertumbuhan alami atau laju penambahan asset biomass, ht adalah laju penangkapan atau laju pengambilan. Ada dua bentuk model fungsional untuk menerangkan stok biomass, yaitu bentuk Logistik dan bentuk Gompertz, sebagaimana persamaan di bawah ini. Bentuk Logistik :
x ∂xt = rxt (1 − t ) − ht ∂t K
Bentuk Gompertz :
⎡K ⎤ ∂xt = rxt ln ⎢ ⎥ − ht ∂t ⎣ xt ⎦
(3.8) (3.9)
Dimana r adalah laju pertumbuhan intrinsik, K adalah daya dukung lingkungan. Bentuk fungsional logistik adalah simetris, sementara Gompertz tidak. Selanjutnya diasumsikan bahwa laju penangkapan linear terhadap biomas dan effort sebagaimana ditulis berikut ini: ht = qEt xt
(3.10)
Dimana q adalah koefesien kemampuan penangkapan dan Et adalah upaya penangkapan. Dengan mengasumsikan kondisi keseimbangan (equilibrium) maka kurva tangkapan-upaya lestari (yield-effort curve) dari kedua fungsi di atas dapat ditulis sebagai: Logistik
: ht = qKEt (1 −
Gompertz
: ht = qKE t exp
qEt ) r − qE r
(3.11) (3.12)
Estimasi parameter r, K dan q untuk persamaan yield-effort dari kedua model di atas (logistik dan Gompertz) melibatkan teknik non-linear. Namun demikian
47 dengan menuliskan U t = ht / E t , persamaan
(3.11) dan (3.12) di atas dapat
ditransformasikan menjadi persamaan linear sehingga metode regresi biasa dapat digunakan untuk mengestimasi parameter biologi dari fungsi di atas. Dalam penelitian ini teknik estimasi parameter yang dikembangkan oleh Clarke, Yoshimoto dan Pooley (1992) atau sering dikenal sebagai metode CYP digunakan untuk menduga parameter r,q dan K melalui persamaan: ln(U t +1 ) =
2r (2 − r ) q ln(qK ) + ln(U t ) − ( Et + Et +1 ) (2 + r ) (2 + r ) (2 + r )
(3.13)
Data time series produksi dan upaya (catch and effort) selama dua puluh satu tahun (1980 – 2001) di wilayah penelitian dijadikan basis untuk perhitungan kurva yield-effort dengan menggunakan perangkat lunak SHAZAM. Dalam penelitian ini ditentukan tiga jenis alat tangkap yang dominan menangkap ikan pelagik dan beroperasi di wilayah penelitian adalah payang, pukat pantai dan jaring insang hanyut. Oleh karenanya untuk memperoleh nilai unit upaya yang benar, seluruh unit effort distandarisasi (standardized) berdasarkan pada jenis alat tangkap payang.
Sementara data ekonomi yakni berupa informasi biaya dan
harga per satuan unit ikan yang didaratkan diperoleh dari survei. Seluruh data ekonomi dikonversi ke nilai riil dengan menyesuaikan nilai nominal ke indeks harga konsumen (consumer’s price index).
Khusus untuk data time series dari
biaya per unit upaya, mengingat data time series untuk hal tersebut tidak tersedia, teknik perhitungan sebagaimana dilakukan oleh Tai et al. (2000) dan Anna (2003). Untuk menkonversi data cross-section biaya ke time series dilakukan dengan menyesuaikannya dengan indeks harga konsumen.
Perhitungan nilai
optimal produksi dan upaya serta rente ekonomi dilakukan secara numerik dengan perangkat lunak MAPLE 9.5. 3.2.4
Estimasi Discount Rate Untuk menentukan nilai diskount rate eksploitasi sumberdaya ikan pada
penelitian ini digunakan real discount rate dengan pendekatan Ramsey . Dalam penelitian ini teknik yang digunakan adalah yang dikembangkan oleh Kula (1984) dan teknik ini telah dilakukan oleh Anna (2003). Dimana pada dasarnya teknik yang dikembangkan pada Kulla (1984) menggunakan formula yang sama dengan
48 formula yang digunakan oleh Remsey. Real discount rate (r) Kulla didefinisikan sebagai berikut : r = ρ − ηg
(3.14)
Dimana : r = pure time preference konsumsi sumberdaya alam, yang didasarkan pada nominal discount rate. η = elastisitas pendapatan terhadap konsumsi sumberdaya perikanan g = laju pertumbuhan ekonomi karena ekstraksi sumberdaya alam. Kemudian laju pertumbuhan ekonomi yang diakibatkan oleh ekstraksi sumberdaya perikanan dihitung dari laju komsusi sumberdaya perikanan yang didekati melalui PDRB perikanan.
Nilai tersebut diperoleh melalui perhitungan
dengan persamaan sebagai berikut : ln C t = a o + at ln t
(3.15)
Dimana : Ct = PDRB Perikanan Jawa Barat pada tahun ke t. Sehingga dari derivative persamaan di atas dapat diperoleh nilai elastisitas konsumsi sumberdaya alam, yaitu ;
a1 =
∂ ln Ct ∂ ln t
(3.16)
Yang kemudian dengan penyederhanaan matematis dapat ditulis sebagai berikut : ∆C C
∆t =g t
(3.17)
Kemudian mengikuti teknik yang dilakukan Brent dalam Anna (2003) , dengan menggunakan standar elastisitas pendapatan terhadap konsumsi sumberdaya alam sebesar 1, dan ρ menggunakan nilai discount rate saat ini dari Ramsey sebesar 15 persen, maka diperoleh nilai real discount rate sebagai berikut : r = marketdisc ountrate − 1( g )
(3.18)
3.2.5 Analisis Laju Degradasi dan Penilaian Depresiasi Sumberdaya Perikanan Sumberdaya
alam,
tak
terkecuali
sumberdaya
perikanan,
telah
memperlihatkan terjadinya penurunanan (degradasi) baik kualitas maupun
49 kuantitas. Beberapa studi mengenai besaran laju degradasi sumberdaya selain perikanan telah dilakukan oleh beberapa peneliti.
Diantaranya adalah yang
menyangkut laju degradasi sumberdaya lahan yang dilakukan oleh Amman dan Duraiappah (2001) dalam penelitian mengenai “Land Tenure and Conflict Resolution: A Game Theoretic Approach in the Narok District in Kenya”. Kemudian untuk sumberdaya perikanan itu sendiri telah dilakukan oleh beberapa peneliti seperti Fauzi (2002), Anna (2003). Dalam penelitiannya, kedua peneliti melakukan
perhitungan
laju
degradasi
sumberdaya
perikanan
dengan
mengembangkan model yang telah dilakukan oleh Amman and Duraiappah (2001), dengan mengasumsikan bahwa degradasi sumberdaya perikanan akan mengikuti fungsi logistik. Untuk aplikasi pada sumberdaya perikanan, laju degradasi dari Amman dan Durraipah di atas dapat digunakan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :
φD =
1 1+ e
hs ha
(3.19)
Dimana : φD = Persentase degradasi hs = Produksi sustainable ha = Produksi aktual
Selanjutnya pada penelitian ini untuk menghitung/menilai depresiasi sumberdaya perikanan pelagis digunakan metode present value. Artinya bahwa seluruh rente yang akan datang (future value of rent) yang diharapkan dihasilkan dari sumberdaya perikanan dihitung dalam nilai dimasa sekarang (Present Value). Dalam studi ini dilakukan dua sekenarioa perhitungan depresiasi, yaitu dengan menggunakan dua nilai discount rate yang berbeda, yaitu social discount rate dan nominal discount rate dari Ramsey.
Dengan asumsi bahwa kurva
permintaan bersifat elastis, maka rente sumberdaya perikanan dihitung berdasarkan persamaan:
50
π t = (a − bH t ) H t − cEt = U ( H t ) − cEt
(3.20)
Dimana :
π t = rente sumberdaya perikanan, a = adalah intersep kurva permintaan, b
= slope (kemiringan),
H t = tangkapan lestari, E t = tingkat upaya, ct = biaya per unit upaya U(H) =utilitas (manfaat) yang dihasilkan dari sumberdaya perikanan dan t
= periode waktu.
Jika diasumsikan bahwa biaya per unit input adalah konstan,
maka
present value dari rente perikanan pada periode tidak terbatas (t=0 sampai tak hingga) adalah sebagai berikut : ∞⎧ π π π π π Vt = ∑ ⎨ + + + .... + T 3 4 t =1⎩ (1 + δ ) (1 + δ ) 2 (1 + δ ) (1 + δ ) (1 + δ ) ∞ ⎧ ⎪ 1 = ∑π⎨ + t =1 (1 + δ )
⎪⎩
1 (1 + δ )
2
1
+
(1 + δ )
1
+
3
(1 + δ )
4
⎫ ⎬ ⎭
1
.... +
(1 + δ )
T
(3.21) ⎫⎪ ⎬ ⎪⎭
Formula yang berada dalam kurung kurawal atau { }adalah bilangan seri. Kalau bilangan seri ini dimisalkan sebagai: S =
1 ⎧ 1 + ⎨ 2 ⎩ (1 + δ ) (1 + δ )
+
1 (1 + δ )
3
+
1 (1 + δ )
4
... +
1 (1 + δ )
T
⎫ ⎬ ⎭
(3.22)
maka dengan mengalikan formula yang disebelah kiri dan yang berada di sebelah kanan masing-masing dengan
1 , maka akan diperoleh: (1 + δ )
1 ⎧ 1 ⎫ ⎧ 1 + ⎬=⎨ 2 ⎩ (1 + δ ) ⎭ ⎩ (1 + δ ) (1 + δ )
S⎨
+
1 (1 + δ )
3
+
1 (1 + δ )
4
... +
1 (1 + δ )
⎫
T +1 ⎬
⎭
(3.23)
Dengan mengurangi persamaan (3.22) dan (3.23) maka akan diperoleh: ⎡ ⎢ ⎣
S 1−
⎤ ⎥= (1 + δ ) ⎦ 1
1 (1 + δ )
−
1 (1 + δ )
T +1
(3.24)
51 ⎧ 1 ⎫ sehingga dengan membagi kedua belah persamaan dengan ⎨1 − ⎬ akan ⎩ (1 + δ ) ⎭ menghasilkan 1 1 − d δ (1 + δ ) T
S=
(3.25)
sehingga manakala T mendekati tak hingga atau lim t →∞
1 =0 δ (1 + δ ) T
(3.26)
maka persamaan S menjadi: S=
1
(3.27)
δ
sehingga
Vt =
πt δ
(3.28)
dimana δ adalah nilai discount rate seperti dijelaskan pada persamaan (3.14). Perubahan present value dari sumberdaya antara periode (t-1) dan (t), (Vt-Vt-1), menyebabkan nilai bersih perubahan dalam stok sumberdaya terdepresiasi sebagai berikut :
(Vt − Vt −1 ) =
(π t − π t −1 )
δ
(3.29)
Dimana : Vt = V ( H t , p t ( H t ), Et , ct , δ ) dan Vt −1 = V ( H t −1 , pt −1 ), Et −1 , ct −1 , δ ) Untuk mengetahui eksploitasi optimal dari sumberdaya perikanan sepanjang waktu, diperoleh dengan menggunakan pendekatan teori kapital ekonomi sumberdaya yang dikembangkan oleh Clark dan Munro (1975), dimana secara matematis manfaat dari eksploitasi sumberdaya perikanan sepanjang waktu adalah: ∞
Max Vt = ∫ π t ( H t , xt , Et )e −δ t dt t =0
Dengan kendala : ∂x = x = F ( x ) − h ( x, E ) ∂t
(3.30)
52 0 ≤ x ≤ xmax 0 ≤ H ≤ H max Kemudian dengan memberlakukan Pontryagins Maximum Principle, masalah di atas dapat dipecahkan dengan teknik Hamiltonian, yaitu: H = e − δ t π ( x, H ) + λ e − δ t ( F ( x ) − H )
Persamaan
di
atas
mengkan
“present
value”
(3.31)
Hamiltonian.
Dengan
mentransformasikan persamaan di atas menjadi “current value” Hamiltonian, maka persamaan (3.31) berubah menjadi: ~ H = eδ t H = π ( x , H ) + µ ( F ( x ) − H )
(3.32)
~ dimana µ = e −δ t λ adalah current value shadow price, dan H adalah current
value Hamiltonian.
Pontryagin Maximum Principle dari persamaan di atas
menjadi: ~ ∂H ∂π ( x, h) = −µ =0 ∂h ∂h ~ ⎡ ∂H ⎤ µ&− δµ = − ⎢ ⎥ ⎣ ∂x ⎦
(3.33) (3.33)
∂F ⎤ ⎡ ∂π ( x, h) = −⎢ −µ ∂x ⎥⎦ ⎣ ∂x x&= F ( x ) − h
(3.33)
Dalam kondisi steady state,maka x&= 0 dan µ&= 0 , sehingga dari persamaan (3.34) dan persamaan (3.36) menghasilkan:
µ=
∂π ( x, h) dan ∂h
F ( x) = h
(3.36) (3.37)
Dengan menggunakan persamaan (3.35) dihasilkan: 0=
∂π ( x, h) ⎡ ∂F ⎤ ∂π ( x, h) − δ− ⎢ ∂h ⎣ ∂x ⎥⎦ ∂x
(3.38)
Persamaan (3.38) dapat disederhanakan menjadi: ∂π ( x, h) ∂π ( x, h) ∂F ∂π ( x, h) =δ − ∂h ∂x ∂x ∂h
(3.39)
53 Dengan mengalikan kedua sisi persamaan (3.39) dan menyederhanakan, maka akan diperoleh Modified Golden Rule sebagai: ∂F ∂π ( x, h) ∂x =δ + ∂x ∂π ( x, h) ∂h
(3. 40)
Dimana : F (x ) = pertumbuhan alami dari stok ikan,
∂p( x, h) = adalah rente marjinal akibat perubahan biomass, ∂x ∂p( x, h) = rente marjinal akibat perubahan produksi. ∂h
Parameter ekonomi dan biologi ditentukan oleh besaran c (biaya per unit effort), p (harga ikan), δ (discount rate) dan q yang merupakan koefisien penangkapan. Hasil dari persamaan di atas menghasilkan x ∗ (optimal) yang dapat digunakan untuk menghitung tingkat tangkapan dan upaya yang optimal. Dengan demikian maka dapat diketahui rente sumberdaya perikanan yang merupakan hasil dari perkalian antara harga produk ikan dengan tangkapan optimal dikurangi biaya dari tingkat upaya optimal, atau :
π t = p t ( H t* ) H t* − cH t* 3.2.6
(3. 41)
Model Komplementari dan Kompetitif Dalam penelitian ini model yang digunakan adalah model yang
dikembangkan oleh Dendrinos dan Sonis (1988), dan model ini telah diterapakan pada variabel ekonomi oleh Hewings et al. (1996).
Secara eskplisit sebagai
sistem persamaan berikut : 1 ⎧ n ⎪⎪ x1 (t + 1) = 1 + ∑ Gr [ x(t )] ⎨ r =2 ⎪ ⎪⎩ x r (t + 1) = x1 (t + 1)Gr [ x(t )] dimana r = 2,3,…,n Numeraire mempunyai peran yang signifikan dalam model,
Ini
menjamin bahwa penjumlahan dari bagian-bagian dari seluruh sub sektor dalam sistem ini adalah satu.
Ini mungkin tidak penting namun secara esensial,
54 mengimplikasikan bahwa sebuah pertumbuhan ekonomi sektoral tidaklah bebas dari share regional sektor lainnya. Dalam penelitian ini akan mengadopsi suatu bentuk spesipikasi log-linier dari Gr[x(0)] seperti yang dikembangkan oleh Dendrinos dan Sonis (1988), yaitu : Gr [ x(0)] = Ar ∏r x kta
(3.42)
dimana r = 2,…, n: k = 1,…,n Koefesien Ar > 0 menunjukkan lokasional advantages dari suatu wilayah pesisir r =2,…n. Dan koefisien ark dapat ditulis seperti berikut ini :
a rk =
∂ ln Gr [ x(0)] ∂ ln x kt
(3.43)
koefisien ini dapat menginterprestasikan presentase perubahan dari pendapatan, yaitu persentase pertumbuhan pada wilayah pesisir r relatif terhadap wilayah pesisir 1, pembanding, berkenaan dengan satu persen perubahan pendapatan (income) pada wilayah pesisir k. Koefisien ini tiada lain merupakan elastisitas. Bentuk eksplisit dari fungsi log-linier dapat dilihat seperti persamaan berikut. n
ln x r (t + 1) − ln x1 (t + 1) = ln Ar + ∑ a rk ln x k (t )
(3.44)
k =1
dimana r = 2,…,n dan k = 1,…, n Koefisien ark adalah sentral dari analisis kompetisi dan komplementari, baik besarannya maupun tandanya (sign).
Sebuah nilai positif akan
mengindikasikan terjadinya pertumbuhan yang saling komplementer antara dua wilayah r dan k. Yaitu setiap satu persen pertumbuhan pendapatan pada wilayah k akan menghubungkan pada sebuah ark persen pertumbuhan pendapatan pada wilayah r . Dan sebaliknya, nilai negatif dari ark akan mengindikasikan suatu hubungan kompetitif diantara dua wilayah. Jika share pada satu sektor tumbuh, maka share sektor yang lainnya akan menurun. Sehingga kalau wilayah pesisir Pantai Utara Jawa Barat sebanyak 4 kabupaten, maka sistem persamaannya menjadi sebagai berikut. n
ln x 2 (t + 1) − ln x1 (t + 1) = ln A 2 + ∑ a 2 k ln x k (t ) k =1
(3.45a)
n
ln x3 (t + 1) − ln x1 (t + 1) = ln A 3 + ∑ a3k ln x k (t ) k =1
(3.45b)
55 n
ln x 4 (t + 1) − ln x1 (t + 1) = ln A 4 + ∑ a 4 k ln x k (t )
(3.45c)
k =1
dimana : k = 1, ..., 4 1 = Kabupaten Karawang 2 = Kabupaten Subang 3 = Kabupaten Cirebon 4 = Kabupaten Indramayu
x = Gross value / PDRB dari sektor perikanan . Karena merupakan sebuah sistem persamaan, maka akan digunakan Seemingly
Unrelated
Regression
(SUR)
estimator.
Pengolahan
data
menggunakan software Shazam versi 8.0. 3.2.7 Data Envelopment Analysis (DEA) Dalam ilmu ekonomi, fungsi produksi menggambarkan suatu hubungan teknikal antara input dan output dalam suatu proses produksi. Dengan kata lain, fungsi produksi mengambarkan output maksimum yang dapat
dicapai
dari
suatu
set
input
tertentu,
dan
untuk
menghasilkan/mendapatkan suatu level maksimum output tergantung pada efisiensi dari unit produksi.
Sehingga tidak mungkin bahwa semua unit
produksi akan mencapai suatu level maksimum output.
Oleh karena itu,
penggunaan yang efisien dari sumberdaya menjadi perhatian utama dari pengambil kebijakan karena efisiensi merupakan kriteria evaluasi yang penting untuk memutuskan level input yang digunakan dalam rangka mencapai output yang diinginkan. Pengertian efisiensi mencerminkan keberhasilan dari penggunaan sumberdaya . Dengan kata lain Cooper et al. (1995) mengatakan bahwa suatu entity, perusahaan, sektor, atau wilayah tertentu dikatakan efisien hanya jika sektor tersebut tidak mungkin meningkatkan beberapa input atau output dengan tidak menjadi lebih buruk input atau output lain. Kemudian Mayes et al. (1995) menegaskan lagi bahwa kegagalan untuk mencapai efisiensi mungkin hasil dari keterbatasan teknologi yang diminta, kualitas input, skala produksi, alokasi sumberdaya, dan kemampuan managerial dan administratif.
Efisiensi dapat
56 ditingkatkan dengan meminimasi input sementara output yang dihasilkan konstan, atau dengan memaksimumkan output sementara input yang digunakan konstan, atau kombinasi keduanya. Pengukuran dan diagnosa produktifitas merupakan suatu syarat yang harus dipenuhi dalam jangka panjang hubungannya dengan kompetitif dari suatu perusahaan, sektor atau wilayah. Pendekatan ekonometrik tradisional tidak cukup untuk menjelaskan isu tentang efisiensi, terutama apabila entiti yang sedang dipertimbangkan mempunyai multi input dan output (Sieford & Thrall, 1990). Salah satu teknik pengukuran efisiensi yang cukup berguna dan telah digunakan secara luas adalah dengan Data Envelopment Analysis (DEA). Dimana DEA ini merupakan suatu teknik matematika programming, yang memberikan suatu pendekatan nonparametrik untuk pengukuran efisiensi relatif dari entiti-entiti ini. DEA mengukur efisiensi relatif dari suatu Decicion Making Unit (DMU), dalam kasus ini adalah sektor perikanan dan kelautan di wilayah pesisir, relatif terhadap DMU sub sektor perikanan dan lautan lainnya. Dengan rektrisi yang sederhana bahwa semua DMU berada tepat atau dibawah efisiensi frontir (Seiford & Thrall, 1990). Dalam penelitian ini, input yang berorientasi pada model BBC (Banker et al., 1984) digunakan untuk menghitung pengaruh skala pengembalian di dalam grup DMU yang dianalisis. Model ini mensyaratkan bahwa titik referensi pada fungsi produksi untuk DMUk adalah suatu kombinasi cembung dari efisiensi DMU yang teramati.
Tujuannya adalah untuk mengidentifikasikan skala
(ukuran) yang paling efisien untuk setiap DMU dan pada saat yang sama mengidentifikasikan efisiensi teknisnya. Untuk melakukan hal ini, model BCC memberikan kendala, yaitu kecembungan, dalam batas ini.
Hal ini akan
memberikan DMU tersebut rasio input-output yang tertinggi atau yang terbaik diantara skala DMU yang sama. Pada “bobot yang terbaik” ini setiap DMU tidak dibandingkan terhadap semua DMU tetapi terhadap DMU dengan ukuran yang sama. Perumusan dari model tersebut adalah :
⎛ ⎞ Min hk = θ k − ε ⎜ ∑ σ o + ∑ s p ⎟ ⎜ ⎟ p ⎝ o ⎠
57
Dengan kendala :
∑y
oj
λ j − σ o = y ok
∑x
pj
λ j − θ k x pk + s p = 0
∑λ
j
=1
(3.46)
j
σo,sp ,λj ≥ 0 dimana : j
= DMU
o
= Output
p
= Input
yoj = Nilai dari output ke-o dari ke-j DMU xpj = Nilai dari input ke-p untuk DMU ke-j hk = Efisiensi relatif dari DMU 3.3
Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayah peisir Pantai Utara (Pantura) Jawa
Barat, di 4 (empat) kabupaten yaitu : Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang, Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Indramayu. Setidaknya ada dua pertimbangan wilayah Pantura Jawa Barat ini dijadikan sebagai lokasi penelitian: (1) Wilayah Pantura Jawa Barat merupakan salah satu wilayah pesisir yang sangat dinamis, (2) tingkat pemanfaatan sumberdaya ikannya telah melampaui kapasitasnya. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan September 2003 sampai dengan Mei 2004. 3.4
Data Penelitian Data yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder. Data primer yang diperlukan meliputi struktur biaya dari usaha penangkapan ikan. Data sekunder yang digunakan meliputi data landing (produksi) dan input yang digunakan (effort), harga per unit output (harga ikan per kg per tahun), indeks harga konsumen (Consumers Price Index), gross domestic regional
58 product (PDRB) wilayah Jawa Barat dan data penunjang lainnya. Data sekunder ini diperoleh
Dinas/Instansi/Lembaga yang meliputi: Dinas Perikanan dan
kelautan dan Badan Pusat Statistik baik ditingkat Propinsi Jawa Barat maupun di tingkat kabupaten yang meliputi Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang, Kabupaten Indramayu dan kabupaten Cirebon, dan lain-lain.
59
4. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Kondisi Bio-Ekologis Sumberdaya Perikanan Pantai Utara Jawa Barat Pantai Utara Jawa Barat adalah merupakan salah satu bagian wilayah pesisir yang berada di sisi utara Pulau Jawa, yang dalam konteks penelitian ini meliputi wilayah administrasi Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Indramayu, Subang, Karawang, Bekasi, Tanggerang dan Serang. Wilayah Perairan Pantai Utara Jawa Barat, jika dibandingkan dengan wilayah Perairan Selatan Pantai Utara Jawa Barat memiliki beberapa posisi strategis yaitu : pertama memiliki daerah penangkapan yang cukup potensial, karena memiliki sungai-sungai yang cukup besar dan relatif subur, kedua secara lokasi dekat dengan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, kemudian memiliki sumber daya manusia, sarana prasarana dan fasilitas sosial yang relatif lebih baik. Laut Jawa menjadi salah satu daerah penangkapan utama dari nelayan yang berdomisili dan mendaratkan ikan hasil tangkapannya di daerah Pantai Utara Jawa Barat. Daerah penangkapan lain yang penting bagi nelayan Pantura Jabar adalah Laut Cina Selatan, serta Selat Makasar dan Laut Flores. Sedangkan berdasarkan biogeochemical status, maka perairan Pantai Utara Jawa Barat dapat dikelompokkan sebagai perairan dengan domain coastal. Secara tegas Mittelsteadt (1991) dalam Taryono (2003) menyatakan bahwa wilayah tersebut merupakan suatu wilayah yang secara umum sirkulasi kelautan secara jelas dipengaruhi oleh interaksi topografi pesisir dengan sistem angin pantainya. 4.2 Produksi dan Nilai Produksi Volume produksi perikanan laut di Perairan Pantai Utara Jawa Barat selama 22 tahun periode pengamatan terjadi peningkatan yang sangat signifikan. Peningkatan tersebut terutama dipengaruhi oleh semakin meningkatnya effort/input yang dilakukan. Produksi perikanan laut Perairan Pantai Utara Jawa Barat pada tahun 2001 sebesar 132.308,50 ton, meningkat sebesar 28,22% dalam volume dari 103.183,70 ton pada tahun 1995. Kemudian kalau kita lihat secara spasial, peningkatan produksi juga terjadi untuk setiap Kabupaten lokasi penelitian (Tabel 1).
60 Tabel 1. Perkembangan Produksi Perikanan Pantai Utara Jawa Barat. Tahun
Karawang Produksi
Subang
Indramayu
Cirebon
Pantura Jabar
%
Produksi
%
Produksi
%
Produksi
%
Produksi
1980
7213.70
11.94
4,152.30
6.87
20,339.90
33.66
5,598.50
9.27
60,425.60
1981
9268.90
14.53
4,697.60
7.36
23,564.10
36.93
7,347.80
11.52
63,806.50
1982
9297.80
12.80
5,996.80
8.26
29,802.30
41.04
8,412.30
11.58
72,618.50
1983
9294.00
11.29
6,495.50
7.89
33,794.10
41.06
12,719.70
15.45
82,308.00
1984
8708.00
10.58
6,876.00
8.35
34,775.00
42.25
13,875.00
16.86
82,308.00
1985
8470.40
9.90
6,653.70
7.78
36,103.50
42.22
15,276.40
17.86
85,519.50
1986
7450.90
9.05
6,622.10
8.05
37,597.00
45.69
13,284.90
16.14
82,293.00
1987
7924.90
8.73
7,946.70
8.75
40,756.20
44.90
14,618.20
16.11
90,767.70
1988
8768.61
9.45
8,733.41
9.41
41,978.60
45.22
15,335.41
16.52
92,831.30
1989
10137.50
10.14
8,794.00
8.79
44,431.20
44.42
16,856.30
16.85
100,018.90
1990
8618.10
8.50
8,813.60
8.69
46,652.70
45.99
17,609.80
17.36
101,438.40
1991
9262.50
9.07
10,070.10
9.87
49,245.20
48.25
16,709.70
16.37
102,067.60
1992
9705.90
9.03
11,095.10
10.32
51,805.00
48.20
16,900.80
15.73
107,474.80
1993
10509.30
9.21
12,343.70
10.82
54,760.10
48.01
17,010.30
14.91
114,060.30
1994
11055.40
9.36
13,218.90
11.19
58,374.30
49.40
16,280.80
13.78
118,161.70
1995
9650.20
9.35
14,043.40
13.61
60,217.00
58.36
15,946.80
15.45
103,183.70
1996
8299.10
6.85
14,339.70
11.84
62,134.60
51.32
16,186.30
13.37
121,080.80
1997
8773.70
6.99
14,735.70
11.73
65,320.70
52.01
16,061.30
12.79
125,599.20
1998
10544.10
8.36
13,632.90
10.81
62,614.20
49.63
16,494.70
13.08
126,150.40
1999
15071.30
11.70
13,103.20
10.17
60,976.50
47.32
16,829.00
13.06
128,855.60
2000
11426.30
8.93
13,574.70
10.61
61,891.50
48.37
17,047.80
13.32
127,949.80
2001
12061.40
9.12
14,070.70
10.63
61,062.10
46.15
39,968.70
30.21
132,308.50
61
100%
80%
60%
40%
20%
2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
0%
TAHUN Karawang
Subang
Indramayu
Cirebon
Lainnya
Gambar 9. Perkembangan Kontribusi Produksi Perikanan Tangkap Empat Kabupaten Lokasi Penelitian Terhadap Produksi Total Perikanan Tangkap Pantai Utara Jawa Barat. Gambar 9 di atas memperlihatkan bahwa kontribusi masing-masing kabupaten terhadap total produksi perikanan laut Pantai Utara Jawa Barat memberikan warna yang yang berbeda. Seperti misalnya Kabupaten Indramayu merupakan kabupaten yang memberikan kontribusi yang paling tinggi terhadap total produksi perikanan laut Pantai Utara Jawa Barat.
Selain itu kontribusi
Indramayu terhadap total produksi Pantura Jabar cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahunnya.
Berbeda halnya dengan Kabupaten
Karawang misalnya, walaupun secara total produksi mengindikasikan suatu peningkatan yang cukup signifikan, tetapi secara prosentase kontribusi terhadap total
produksi
Pantura
Jabar
mengindikasikan suatu penurunan.
selama
22
tahun
periode
pengamatan
62 4.3 Peran Sektor Perikanan Terhadap Perekonomian Jawa Barat Seperti kita ketahui bahwa sejak pertengahan tahun 1997 Indonesia telah dilanda krisis ekonomi yang berkepanjangan, dan secara nyata telah berdampak terhadap perekonomian secara keseluruhan tidak terkecuali perkembangan perekonomian di Propinsi Jawa Barat, khususnya daerah Pantai Utara Jawa Barat. Pertumbuhan ekonomi terakhir di Jawa Barat yang direfleksikan lewat pertumbuhan PDRB (Produk Demestik regional Bruto) selama 10 tahun terakhir, maka apabila pertumbuhan PDRB didasarkan atas harga konstan tahun 1993, maka perkembangan selama 10 tahun terakhir (1994 – 2003) mengalami mengalami pertumbuhan yang berfluktuasi. Secara grfis perkembangan PDRB
80
0.700
70
0.600
60
0.500
50
0.400
40 0.300
30
0.200
20
PDRB PERIKANAN (Milyar Rupiah)
TOTAL PDRB ( Milyar Rupiah)
Jawa Barat selama periode 1994-2003 dapat dilihat pada Gambar 10 berikut ini.
0.100
10
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
0
TAHUN Total PDRB
PDRB Perikanan
Gambar 10. Perkembangan PDRB Total dan PDRB Perikanan Provinsi Jawa Barat Tahun 1994 – 2003 Dari Gambar 10 di atas dapat dilihat bahwa selama periode 10 tahun terakhir PDRB Jawa Barat hampir tidak mengalami pertumbuhan. Tetapi apabila dilihat lebih lanjut, kenaikkan PDRB terbesar terjadi pada periode tahun 1997
63 sebesar
Rp 71,568,924 juta, dimana pada tahun 1993 baru mencapai Rp.
53.939.673 juta. Tetapi memasuki krisis ekononimi yang berkepanjangan, PDRB Jawa Barat pada tahun 1998 mengalami penurunan secara signifikan mencapai 22 persen dari tahun sebelumnya. Selanjutnya secara bertahap perekonomian Jawa Barat mulai bangkit lagi secara perlahan, dimana pada tahun 2003 telah mencapai Rp. 63.179.491 juta. Kemudian apabila dicermati lebih lanjut, walaupun secara PDRB Total selama periode 1994 – 2003 hampir tidak mengalami pertumbuhan, bahkan untuk PDRB sektor pertanian cenderung mengalami penurunan,
tetapi PDRB sub-
sektor perikanan memberikan peningkatan yang cukup berarti. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 11 berikut ini.
18.00
1.00
16.00
0.90
14.00
0.80
PERSEN
0.60
10.00
0.50 8.00
0.40
6.00
PERSEN
0.70
12.00
0.30
2003
2002
2001
2000
1999
1998
0.00 1997
0.10 1996
2.00
1995
0.20
1994
4.00
TAHUN Pertanian
Perikanan
Gambar 11. Perkembangan PDRB Perikanan dan Pertanain di Propinsi Jawa Barat Tahun 1994 – 2003
64 4.4 Perkembangan Rumah Tangga Perikanan, Armada dan Alat Tangkap Sumberdaya perikanan apabila dikelola secara baik bukan hal yang mustahil dapat memberikan kesejahteraan kepada penggunanya. Kemudian kalau kita berbicara mengenai sumberdaya perikanan, maka dalam pengelolaannya tidak terlepas dari peran sumberdaya manusia yang menguasai teknologi penangkapan, sedangkan penguasaan teknologi itu sendiri memerlukan menagement yang dikelola baik secara kelompok maupun perorangan. Maka dari itu sumberdaya manusia memiliki peran yang strategis untuk mengelola sumberdaya tersebut. Tabel 2 dibawah ini memperlihatkan perkembangan jumlah rumah tangga nelayan didasarkan atas klasifikasi besarnya usaha. Kalau kita perhatikan tabel tersebut, maka selama kurun waktu 22 tahun terakhir (1980 – 2001) rumah tangga nelayan jumlahnya terus mengalami pertumbuhan.
Ini berarti bahwa selama
periode tersebut masyarakat di kawasa Pantura Jawa Barat yang menjadikan nelayan sebagai sumber mata pencaharian utama terus mengalami peningkatan, walaupun peningkatannya relatif kecil, yaitu rata-rata 0,21 persen per tahun. Perkembangan
peningkatan
jumlah
nelayan
ini
kelihatannya
cenderung
disebabkan oleh hadirnya para rumah tangga baru yang memang sebelumnya telah menekuni bidang ini, artinya bahwa tenaga-tenaga nelayan yang semula belum berumah tangga kini memasuki jenjang rumah tangga.
Fenoma
ini dapat
dipahami karena profesi nelayan merupakan profesi yang tidak mudah untuk dimasuki oleh setiap orang. Karena profesi ini selain membutuhkan keuletan dan kerja keras juga membtuhkan keahlian yang sulit dicapai dalam waktu singkat.
65 Tabel 2.
Perkembangan Jumlah Rumah Tangga Nelayan Berdasarkan Besarnya Usaha di Pantai Utara Jawa Barat Tahun 1980 – 2001.
Tahun
Tanpa Perahu
Perahu Tanpa Motor
Perahu Motor Tempel
Kapal Motor
Total
1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000
314 534 605 634 941 783 480 850 218 223 278 238 103 61 78 164 580 625 537 396 427
6774 5981 5741 5600 3218 2199 1383 864 628 574 587 933 359 298 366 532 644 592 429 854 624
1224 5664 6002 5708 6702 7140 7052 8165 8678 9358 9708 9077 9509 9890 9840 9944 9342 9140 9196 15664 9011
112 242 279 274 224 240 205 166 166 178 163 169 321 255 297 376 1041 1030 1045 1653 539
8424 12421 12627 12216 11085 10362 9120 10045 9690 10333 10736 10417 10292 10504 10581 11016 11607 11387 11207 18567 10601
2001
467
394
8000
428
8822
Pertumbuhan Rata-rata/tahun
1,82
-12.13
8.91
6.28
0.21
Tabel 2 di atas juga memperlihatkan bahwa selama kurun waktu 22 tahun, telah terjadi pergeseran struktur rumah tangga nelayan di Pantai Utara Jawa Barat. Hal ini dapat dilihat bahwa jumlah rumah tangga nelayan yang menguasai perahu tanpa motor mengalami penurunan cukup signifikan yaitu rata-rata sebesar 12,13 persen per tahun. Sementara itu disisi lain rumah tangga nelayan yang menguasai perahu motor cenderung meningkat mencapai rata-rata 8,91 persen per tahun dan rumah tangga nelayan yang menguasai kapal motor juga meningkat sebesar 6,28 persen per tahun.
Hal ini mengindikasikan bahwa perkembangan teknologi
66 armada penangkapan di Pantai Utara Jawa Barat telah terjadi hampir disebagian besar rumah tangga nelayan.
Walaupun nelayan yang sama sekali tidak
menguasai aset penangkapan juga cenderung konstan jumlahnya. Secara grafis perkembangan jumlah rumah tangga nelayan dapat dilihat pada Gambar 12 berikut ini.
12000 11000 10000 9000 8000 RTP
7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
0
TAHUN Tanpa Perahu
Perahu Tanpa Motor
Perahu Motor Tempel
Kapal Motor
Gambar 12. Perkembangan Jumlah Rumah Tangga Nelayan Berdasarkan Besarnya Usaha di Pantai Utara Jawa Barat Tahun 1980 – 2001. Gambar 13 di bawah ini memperlihatkan bahwa selama 22 tahun periode pengamatan telah modernisasi (motorisasi) armada tangkap di wilayah penelitian. Hal ini terlihat dari struktur kepemilikan perahu tanpa motor secara signifikan memasuki tahun 1985 secara drastis telah terjadi penurunan. Tingkat penurunan pada perahu tanpa motor ini diikuti oleh secara signifikannya kenaikan pada unit motor tempel.
67
8000
12000
10000
6000 8000
5000 4000
6000
3000
4000
MOTOR TEMPEL (UNIT)
PERAHU TANPA MOTOR (UNIT)
7000
2000 2000
1000
2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
0 1980
0
TAHUN Perahu Tanpa Motor
Motor Tempel
Gambar 13. Perkembangan Jumlah Perahu Motor Tempel dan Perahu Tanpa Motor Penangkap Perikanan Laut di Pantai Utara Jawa Barat.
68
5. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Data Produksi Perikanan Untuk menganalisis komponen biologi dalam penelitian ini, telah digunakan data time series produksi dan effort perikanan Pantai Utara Jawa Barat selama 22 tahun (1980-2001) periode pengamatan.
Selanjutnya karena data
yang tersedia sangat bersifat agregrat sekali, maka dilakukan dekomposisi data untuk menentukan
data produksi dan effort untuk jenis alat tertentu yang
beroperasi di Pantai Utara Jawa Barat.
Dekomposisi dilakukan dengan dipilih
alat tangkap yang dominan beroperasi di Pantai Utara Jawa Barat, yaitu payang, pukat pantai dan jaring insang hanyut dengan target spesies jenis pelagis layang, selar, tembang dan kembung. Kemudian dari proses tersebut akhirnya diperoleh data target spesies produksi perikanan yang akurat. Untuk menghitung proporsi produksi layang, selar, tembang dan kembung terhadap total tangkap dari alat tangkap Payang, Pukat Pantai dan Jaring Insang Hanyut untuk lokasi penelitian Pantai Utara Jawa Barat diperoleh dengan formula sebagai berikut : 1
⎡ ⎤ n −1 hit ht = ∏ ⎢ ⎥ t =1 ⎢ ⎣ hPyt + hPpt + hJht ⎥⎦ m
i = 1, 2,3,4
Dengan diketahuinya proporsi ini, maka dapat diketahui disagregasi data terhadap keempat spesies pelagis di atas terhadap total alat tangkap.
Proses
dekomposisi untuk menentukan produksi perikanan pelagis di Pantai Utara Jawa Barat ini dilakukan dengan perhitungan melalui persamaan di bawah ini: hijt = φij hit 1
⎡ h ⎤ n −1 φij = ∏ ⎢ ij ⎥ t =1 ⎢ ⎣ ∑ hi ⎥⎦ 3
Jadi produksi spesies i oleh alat j pada periode t adalah :
(5.1)
69 1 ⎡ 3 ⎤ n −1 ⎡ ⎤ h ij ⎢ ⎥ hijt = ⎢∏ ⎢ ⎥ ⎥ ∗ hit h ⎢⎣ t =1 ⎢⎣ ∑ i ⎥⎦ ⎥⎦
(5.2)
Sehingga total produksi perikanan pelagis setelah dikomposisi adalah : hDt = ∑∑ hijt i
j
(5.3)
Secara verbal persamaan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut: Jika dimisalkan bahwa catch dari spesies i oleh alat tangkap j pada periode t sebagai hijt , maka persamaan (5.1) menjelaskan bahwa hijt adalah proporsional terhadap
jumlah spesies i yang diproduksi secara total pada periode t. Untuk menentukan proporsi yang tepat, maka digunakan rataan geometrik antara rasio dari produksi spesies i oleh alat tangkap j dengan total produksi dari spesies i sebagaimana ditunjukkan pada persamaan (5.2), sehingga total produksi pelagis pada periode t sebagaimana ditunjukkan pada persamaan
(5.3) merupakan penjumlahan
produksi dari spesies i oleh seluruh alat tangkap j. Teknik ini telah dilakukan oleh Anna (2003) dengan memodifikasi teknik yang dikembangkan oleh Watson et al. (2001). Hasil analisis data produksi perikanan pelagis (layang, selar, tembang dan kembung dari alat tangkap payang, pukat pantai dan jaring insang hanyut) di Pantai Utara Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 14 dibawah ini.
70
20000 18000 16000 14000 TON
12000 10000 8000 6000 4000 2000 2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
0
TAHUN Payang
Pukat Pantai
Jar. Ins. Hanyut
Gambar 14. Perkembangan Produksi Perikanan Tangkap Untuk Tiga Alat Tangkap di Pantai Utara Jawa Barat. Dari Gambar 14 di atas dapat dilihat bahwa sepanjang tahun pengamatan, alat tangkap payang menangkap ikan pelagis ini lebih banyak dari pada alat tangkap pukat pantai dan jaring insang hanyut.
Hasil analisis data juga
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan produksi ikan pelagis dari tahun ke tahun secara signifikan. Konsekuensi dari kenaikan yang terjadi terus menerus ini akan menjadi masalah dalam analisis time series selanjutnya apabila ternyata kemudian didapatkan bahwa data bersifat trending (non-stationary). Karena penentuan/ estimasi parameter biologi yang akan akan dilakukan dengan teknik oldinary least square (OLS), dimana untuk mendapatkan hasil estimasi yang baik mensyaratkan data yang akan digunakan tidak bersifat trending. Oleh karena itu diperlukan analisis stationarity dengan uji Dickey Fuller serta handling data yang bersifat trending dengan menggunakan teknik cointegration Gambar 15, 16, 17 dan 18 di bawah ini memperlihatkan perkembangan produksi perikanan pelagis berdasarkan jenis alat tangkap di empat kabupaten lokasi terpilih.
71
1100 1000 900 800
TON
700 600 500 400 300 200 100 2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
0
TAHUN Payang
Pukat Pantai
Jar. Ins. Hanyut
Gambar 15. Perkembangan Produksi Perikanan Tangkap Untuk Tiga Alat Tangkap di Kabupaten Karawang. Gambar 15 di atas menunjukkan bahwa perkembangan produksi ikan pelagis di Kabupaten Karawang memperlihatkan pola yang sama untuk keempat target spesies yang kita pilih, alat tangkap payang masih memberikan share yang paling tinggi diikuti dengan jaring insang hanyut dan pukat pantai. Pola ini juga terjadi di Kabupaten Subang, Indramayu dan Cirebon (Gambar 16, 17 dan 18). Kemudian selama periode pengamatan, produksi ikan pelagis mengalami peningkatan yang cukup signifikan.
72
2000 1800 1600 1400
TON
1200 1000 800 600 400 200 2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
0
TAHUN Payang
Pukat Pantai
Jar. Ins. Hanyut
Gambar 16. Perkembangan Produksi Perikanan Tangkap Untuk Tiga Alat Tangkap di Kabupaten Subang.
4000 3500 3000
TON
2500 2000 1500 1000 500
2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
0
TAHUN Payang
Pukat Pantai
Jar. Ins. Hanyut
Gambar 17. Perkembangan Produksi Perikanan Tangkap Untuk Tiga Alat Tangkap di Kabupaten Indramayu.
73
2200 2000 1800 1600
TON
1400 1200 1000 800 600 400 200 2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
0
TAHUN Payang
Pukat Pantai
Jar. Ins. Hanyut
Gambar 18. Perkembangan Produksi Perikanan Tangkap Untuk Tiga Alat Tangkap di Kabupaten Cirebon. 5.2 Standardisasi Unit Effort Standarisasi unit effort merupakan suatu keharusan dalam menganalisis data perikanan tangkap. Langkah ini diperlukan karena adanya variasi atau keragaman dari kekuatan alat tangkap yang digunakan atau dengan kata lain karena produktivitas dari setiap jenis alat penangkapan berbeda antara satu dengan dengan yang lainnya. Sehingga kalau tidak dilakukan standarisasi tidak mungkin dapat dijumlahkan total unit input agregrat (total effort) dari perikanan yang dianalisis. Pada penelitian ini sebelum dilakukan perhitungan parameter biologi, maka terlebih dahulu dilakukan kalibrasi data dan standardisasi dari unit effort. Kalibrasi dilakukan mengingat data spesifik mengenai effort yang ditujukan khusus untuk spesifik target yang digunakan dalam penelitian ini tidak tersedia. Seperti pada umumnya perikanan tropis, di Pantai Utara Jawa Barat juga memiliki kondisi perikanan yang multi-species dan multi-gear , sehingga problem yang kemudian muncul adalah kesulitan untuk mendapatkan data effort yang langsung untuk setiap spesies.
Karena pada kenyataannya satu alat tangkap dapat
74 menangkap lebih dari satu spesies. Menurut Smit (1996) yang diacu dalam Fauzi (1998), agregasi effort adalah merupakan satu-satunya cara pengukuran effort yang dapat diandalkan pada perikanan multi-spesies. Dalam perkembangannya effort dapat dilihat dari dua konsep yang berbeda, pertama adalah efektif fishing effort, dimana menurut Cunningham et al. (1985), konsep ini mengacu pada konsep mortalitas ikan, karena itulah pakar biologi perikanan mendefinisikan efektif fishing effort sebagai laju kematian ikan karena penangkapan. Selanjutnya pakar biologi perikanan menggunakan konsep ini untuk menilai perkembangan stok ikan, sehingga Catch Per Unit effort (CPUE) digunakan sebagai ukuran untuk menilai keberhasilan penangkapan. Kedua, sebagai nominal fishing effort yang terkait dengan pendekatan ekonomi terhadap effort. Menurut Cunningham et al. (1985) konsep ini banyak digunakan oleh pakar ekonomi perikanan sebagai ukuran untuk menilai produktivitas dari alat tangkap yang beroperasi pada suatu perairan. Dalam penelitian ini penentuan standardisasi effort, digunakan unit jumlah trip per tahun dari alat tangkap Payang, pukat pantai dan jaring insang hanyut. Seperti dijelaskan di atas pemilihan ketiga jenis alat tangkap ini didasarkan pada kondisi di lapangan bahwa ketiga jenis alat tangkap merupakan jenis alat tangkap yang cukup dominan digunakan oleh nelayan di Pantura Jawa Barat. Kemudian ketiga alat tangkap tersebut secara konstan menangkap keempat target spesies tersebut dari tahun 1980 sampai sekarang. Dalam penelitian ini, pengukuran fishing effort menggunakan unit trip. Walaupun para ahli perikanan menganggap bahwa jumlah hari melaut lebih tepat sebagai alat ukur fishing effort dibandingkan dengan jumlah trip. Seperti dijelaskan di atas, bahwa ketiga alat tangkap di atas memiliki kemampuan yang berbeda dalam menangkap ikan (adanya variasi atau keragaman dari kekuatan alat tangkap), maka diperlukan standardisasi unit fishing effort. Karena apabila tidak dilakukan standarisasi maka total unit input agregrat (total effort) dari perikanan yang dianalisis tidak bisa dijumlahkan. Gambar 19 di bawah ini meperlihatkan perkembangan effort yang sudah distandarisasi selama periode pengamatan 22 tahun. Angka tersebut merupakan
75 hasil standardisasi effort dengan menggunakan formula di atas, dimana menggunakan payang sebagai baseline.
300 275 250
EFFORT (ribu trip)
225 200 175 150 125 100 75 50 25 2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
0
TAHUN
Pantura
Karawang
Subang
Indramayu
Cirebon
Gambar 19. Perkembangan Standardisasi Effort dari Alat Tangkap Terpilih di Pantai Utara Jawa Barat. Gambar 19 di atas memperlihatkan jumlah effort yang digunakan nelayan Pantura Jawa Barat memperlihatkan suatu trend yang semakin meningkat. Dimana trend peningkatannnya antara satu kabupaten dengan kabupaten lainnya berbeda, dengan trend peningkatan yang tinggi terjadi di kabupaten Subang (12,48 %) kemudian diikuti oleh Kabupaten Cirebon, Indramayu dan Karawang, masing-masing adalah 11,47 % , 7,20 % dan 4,06 %. Perbedaan jumlah effort antara satu wilayah dengan wilayah lainnya ini juga disebabkan oleh jumlah nelayan dan armada penangkapan juga berbeda.
76 5.3 Estimasi Parameter Biologi Setelah data produksi dan effort diketahui, maka
analisis selanjutnya
adalah menentukan/ estimasi parameter biologi. Selanjutnya untuk keperluan analisis,
parameter biologi yang diperlukan adalah menyangkut parameter
pertumbuhan (r), carrying capacity (k) dan koefisien daya tangkap (q). Ketiga parameter tersebut diduga/ diestimasi dengan menggunakan metode CYP seperti dijelaskan pada Bab 3. Pendugaan parameter dilakukan dengan menggunakan software Shazam Versi 8.0. Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa sehubungan dengan data times series yang digunakan dalam penelitian ini, maka terlebih dahulu perlu ditentukan data generating process (DGP) terutama mengenai stationarity dan non stationarity dari data yang dipergunakan dalam estimasi regresi. Karena kecenderungan terjadinya data yang bersifat trending besar sekali. Oleh karena itu untuk mendapatkan hasil estimasi yang baik terlebih dahulu dilakukan uji stationarity dari data dan prosedur Cochran-Orcutt untuk menguji auto correlation dari variabel. Hasil uji stationarity dengan menggunakan prosedur Dickey-Fuller test mengindikasikan bahwa variabel logaritma dari catch per unit effort dan variabel effort menunjukkan adanya gejala non stationarity (trending). Hal ini ditunjukkan dengan besaran nilai kritis dari Dickey-Fuller test yang lebih kecil dari nilai absolut 2,57 (hanya log CPUE dengan trend yang menunjukkan data stasioner) sebagaimana dapat dilihat pada Lampiran 11, 12, 13, 14 dan 15. Dengan hasil tersebut, maka dilakukan pendekatan teknik cointegration untuk menghadapi masalah non-stationarity dalam pendugaan parameter ini. Setelah dilakukan teknik cointegration dan melalui iterasi Cohran-Orcutt untuk menghilangkan auto-korelasi, maka dihasilkan parameter biologi seperti disajikan pada Tabel 3 di bawah ini.
77 Tabel 3. Parameter Biologi Perikanan Pelagis di Lokasi Penelitian Parameter Biologi Lokasi
Pertumbuhan Intrisik (r)
Koefisien Daya Tangkap (q)
Carrying Capacity (K)
Karawang
0.554
0.019
6.176,720
Subang
0.811
0.053
4.228,545
Cirebon
0.593
0.013
6.316,018
Indramayu
0.730
0.020
27.980,053
Pantura Jawa Barat
0.596
0.003
79.082.018
Tabel 3 di atas memperlihatkan bahwa antara satu wilayah dengan wilayah lainnya memiliki nilai parameter biologi yang berbeda. Dari nilai parameter di atas yang sangat memberikan warna terhadap kondisi perikanan suatu wilayah perairan adalah nilai carryng capacity. Karena nilai ini memberikan gambaran tentang sampai sejauh mana stok perikanan di wilayah tersebut.
Kabupaten
Indramayu memiliki nilai carrying capacity yang paling tinggi (27.980) dibandingkan dengan 3 wilayah kabupaten lainnya. Hal ini seperti dijelaskan dibagian terdahulu, bahwa kontribusi sub sektor perikanan terhadap total PDRB Kabupaten Indramayu selama 10 tahun terkhir ini rata-rata mencapai 105 milyar rupiah. Nilai ini berarti hampair 3 kali lipat lebih dibandingkan dengan 3 Kabupaten Karawang, Subang dan Cirebon. 5.4 Estimasi Sustainable Yield Dari hasil perhitungan parameter biologi yang telah dilakukan, maka analisis selanjutnya adalah menduga fungsi produksi tangkap lestari. Produksi lestari merupakan keseimbangan tangkapan ikan jangka panjang.
Atau dengan
kata lain merupakan tingkat produksi yang sesuai dengan daya dukung lingkungan terhadap potensi ikan dalam perairan tersebut. Sedangkan produksi aktual merupakan hasil tangkapan nelayan yang secara resmi dicatat pada statistik perikanan. Sebagaimana dijelaskan dalam Bab Metodologi Penelitian, bahwa untuk mengestimasi fungsi produksi lestari dari perikanan tangkap pelagis di lokasi
78 peneltian dilakukan dengan menggunakan fungsi produksi lestari Gompertz dan Logistik. Dari hasil perhitungan untuk kedua fungsi produksi lestrai tersebut ternyata diperoleh hasil yang berbeda antara fungsi Gompertz dan fungsi logistik. Dimana fungsi produksi lestari Gompertz nilainya lebih reliable dibandingkan dengan fungsi logistik.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini fungsi produksi
lestari yang digunakan adalah fungsi produksi lestari Gompertz. Tabel 4 berikut ini memberikan gambaran hasil analisis dari sustainable yield dengan menggunakan parameter sebagaimana disajikan pada Tabel 3 untuk masing-masing lokasi penelitian diperoleh persamaan sebagai berikut: Tabel 4. Fungsi Produksi Lestari Gompertz No
Lokasi
Persamaan Gompertz
1
Kabupaten Karawang
ht = 117,3577 E t exp −0, 03429 Et
2
Kabupaten Subang
ht = 224,1126 E t exp −0, 065367 Et
3
Kabupaten Indramayu
ht = 142,70762 E t exp −0, 01258 Et
4
Kabupaten Cirebon
ht = 82,10826 E t exp −0, 02193 Et
5
Pantai Utara Jawa Barat
ht = 267,7657 E t exp −0, 005681 Et
Tabel 4 di atas memperlihatkan bahwa nilai persamaan fungsi lestari Gompertz antara satu lokasi dengan lokasi lainnya sangat berbeda. Hal ini dapat dipahami karena kontribusi dan upaya yang dilakukanpun berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Dan ini berakibat kepada hasil tangkapan berbeda.
Kemudian dengan menggunakan persamaan pada Tabel 4
atas, maka nilai
sustainable yield-effort dapat diperoleh. Gambar 20 di bawah ini menunjukkan bagaimana keragaan Pantai Utara Jawa Barat dan keempat kabupaten lokasi penelitian dilihat dari fungsi produksi lestari Gompertz. Gambar 20 Juga memperlihatkan bahwa kontribusi sumberdaya perikanan pelagis antara satu wilayah dengan wilayah lainnya berbeda. Hal ini dapat dilihat secara jelas antara Kabupaten Karawang dan Cirebon. Walaupun
79 kedua lokasi ini memiliki parameter biologi (misalnya carryng capacity) yang hampir sama, tetapi memberikan kontribusi yang berbeda terhadap total agregrat sumberdaya perikanan pelagis Pantura Jawa Barat.
20000 18000 16000
Produksi (ton)
14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 0
200
400
600
800
1000
1200
Effort (trip) Pantura
Karawang
Subang
Indramayu
Cirebon
Gambar 20. Fungsi Produksi Lestari Gompertz di Lokasi Penelitian Analisis selanjutnya untuk melihat sejauh mana performance (keragaan) dari produksi perikanan tangkap di Pantai Utara Jawa Barat selama periode 22 tahun (1980-2001) dilakukan perbandingan antara produksi aktual dan produksi lestari. Tabel 5 berikut ini memperlihatkan perkembangan perbandingan produksi aktual dan lestari dari fungsi produksi lestari Gompertz di Pantai Utara Jawa Barat.
Tabel 5. Keragaan Effort, Produksi Aktual dan Produksi Lestari Gompertz di Pantai Utara Jawa Barat.
80
Tahun
Effort
Produksi Aktual
1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001
48.986,88 71.694,75 40.011,39 53.821,21 64.593,32 54.618,41 77.299,93 80.937,94 93.619,30 118.827,19 137.246,99 103.427,36 114.419,35 129.464,97 175.252,96 139.160,99 158.075,42 249.260,24 121.561,23 176.073,50 132.927,89 104.980,17
8.587,40 11.872,65 7.826,23 9.257,25 13.532,30 11.513,56 15.228,09 13.767,54 15.044,62 20.545,22 20.628,22 14.252,29 14.897,40 18.345,19 22.116,92 16.337,50 15.159,43 16.027,43 14.210,51 18.223,61 14.848,05 13.458,46
Produksi Lestari 9.930,36 12.774,49 8.535,22 10.614,77 11.983,01 10.723,32 13.341,52 13.683,65 14.727,37 16.198,62 16.850,64 15.388,45 15.993,28 16.613,72 17.338,18 16.900,84 17.241,94 16.195,21 16.315,91 17.338,34 16.725,78 15.482,30
Tabel 5 di atas memperlihatkan bahwa nilai produksi lestari hampir sepanjang periode pengamatan lebih rendah dari produksi aktual, kecuali untuk periode pengamatan tahun 1984 - 1988 dan peiode tahun 1994 – 1998. Penomena di atas secara grafis dapat dilihat dengan jelas pada Gambar 21 berikut ini.
81
25000 22500
Produksi (ton)
20000 17500 15000 12500 10000 7500 5000 2500 2002
2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
0
Tahun Produksi Aktual
Produksi Lestari
Gambar 21. Produksi Aktual dan Produksi Lestari Gompertz di Pantai Utara Jawa Barat Kemudian kalau kita analisis secara parsial, perbandingan antara kurva produksi aktual dan produksi lestari ternyata memberikan
fenomena yang
berbeda.
memperlihatkan
Walaupun
semua
kabupaten
yang
dianalisis
kecenderungan produksi aktual telah melebihi dari keseimbangannya. Hal ini dapat dilihat secara grafis pada Gambar 22, 23, 24 dan 25 berikut ini.
82
1700 1550
Produksi (ton)
1400 1250 1100 950 800 650 500 350 2002
2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
200
Tahun Produksi Aktual
Produksi Lestari
Gambar 22. Produksi Aktual dan Produksi Lestari Gompertz di Kabupaten Karawang Kalau kita perhatikan Gambar 22 di atas, pola yang terjadi antara produksi aktual dan lestari di Kabupaten Karawang hampir sama dengan Pantura Jabar. Dimana pada sepuluh tahun pertama periode pengamatan, produksi aktual masih dibawah produksi lestarinya. Sementara memasuki tahun 1990 sampai dengan tahun 1998 produksi aktual telah melampaui produksi lestarinya. Tetapi lain halnya dengan Kabupaten Subang, dan Kabupaten Indramayu (Gambar 23 dan 24) dimana terajektori yang terjadi adalah awal periode pengamatan sampai awal tahun 1990 an, produksi aktual hampir tepat berada pada produksi lestari. Tetapi memasuki periode 10 tahun terakhir pengamatan, produksi aktual dengan cepat mengalami kenaikan. Sehingga kondisi yang terjadi adalah produksi aktual semakin menjauhi keseimbangan.
83
2700 2400 Produksi (ton)
2100 1800 1500 1200 900 600 300 2002
2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
0
Tahun Produksi Aktual
Produksi Lestari
Tahun Produksi Aktual
Produksi Lestari
Gambar 24. Produksi Aktual dan Produksi Lestari Gompertz di Kabupaten Indramayu
2002
2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
6000 5500 5000 4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 1980
Produksi (ton)
Gambar 23. Produksi Aktual dan Produksi Lestari Gompertz di Kabupaten Subang
84 Sementara untuk Kabupaten Cirebon trajektori yang terjadi adalah sejak awal periode pengamatan produksi aktual sudah melebihi produksi lestari. Dan hal ini sulit sekali untuk kembali ke keseimbangan.
3000 2700
Pro duksi (ton)
2400 2100 1800 1500 1200 900 600 300
Tahun Produksi Lestari
2002
2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
0
Produksi Aktual
Gambar 25. Produksi Aktual dan Produksi Lestari Gompertz di Kabupaten Cirebon Dari sisi lain Gambar 21, 22, 23 24 dan 25 di atas memperlihatkan fenomena
gradasi produksi, dimana baik secara agregrat (Pantai Utara Jawa
Barat) maupun secara parsial (Kabupaten) memberikan gambaran adanya kecenderungan jumlah ikan hasil tangkapan yang didaratkan (aktual) melebihi batas keseimbangan (produksi lestari).
Terutama pada lokasi penelitian di
Kabupaten Cirebon, dimana kondisinya produksi aktual jauh di atas produksi lestari. Keadaan ini dapat disebabkan oleh karena jumlah effort yang digunakan untuk menangkap ikan sangat tinggi, sehingga telah menyebakan terjadinya ecomic overfishing. Analisis selanjutnya untuk melihat trajektori atau loop kontraksi dan ekspansi dari input (effort), dalam studi ini, dianalisis dengan metode Copes Eye Ball. Metode Copes eye Ball ini diperoleh dengan cara melakukan overlay antara
85 produksi aktual dengan produksi lestari. Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 26 di bawah ini.
24000 22500
'94
21000
'89'90
19500
'93
18000
Produksi (ton)
16500
'99
'95 '86'8 8 '92'00 '9 6 '91'98 '84'87 '01
15000 13500 12000
'9 7
'85'81
10500
'83 '80 '82
9000 7500 6000 4500 3000 1500 0
0
50
1 00
150
200
25 0
300
350
40 0
450
500
Effo rt
Gambar 26. Kurva Lestari Gompertz dan Produksi Aktual di Pantai Utara Jawa Barat Gambar 26 di atas, garis biru solid menunjukan kurva sustainable yield, sedangkan kurva dengan garis dot merah untuk produksi aktual. Kalau kita telaah secara cermat maka gambar di atas memberikan gambaran yang kuat lagi tentang keragaan produksi perikanan laut di Pantai Utara Jawa barat. Dimana telah terjadi kontraksi dan ekspansi dalam dua periode . Kontraksi dan ekspansi pertama terjadi pada awal-awal periode sampai periode awal tahun 90 an, dimana pergerakannya mendekati titik maksimum sustaineble yield. Ekspansi berikutnya terjadi pada awal tahun 90 an hingga menajuhi kurva sustainable yield, yang pada akhirnya terjadi kontraksi yang sangat kuat pada tahun 1995 dimana produksi aktual berada pada titik dibawah kurva sustainable yield. Trajektori ini menjadi sulit untuk kembali ke titik keseimbangan, hal ini mungkin diakibatkan oleh kondisi sumberdaya perikanan di Pantai Utara Jawa Barat telah terjadi eksploitasi yang berlebihan, sehingga kemampuan untuk recovery dari sumberdaya perikanan itu sendiri mengalami stagnasi.
86 Melihat pola di atas, bila dilihat dengan menggunakan Copes Eye Ball method (Gambar 27), maka ada dua loop yang terjadi yang berkaitan dengan ekstraksi sumberdaya pelagis. Loop pertama yaitu loop ekspnasi yang dikuti oleh loop kontraksi pendek yang menuju ke titik keseimbangan yang terjadi pada periode 80 an sampai pada peiode akhir 90 an. Sementara loop kedua adalah loop ekspansi yang diikuti loop kontraksi yang kuat, ini terjadi pada periode awal 90 an sampai dengan periode pertengahan tahun 2000 an.
Produksi
Ekspansi
Kontraksi
Effort
Gambar 27. Copes Eye Ball Loop Untuk Fungsi Produksi Lestari Gompertz di Pantai Utara Jawa Barat Pola yang hampir sama juga dapat kita lihat untuk masing-masing kabupaten lokasi penelitian berikut ini.
87
1600 1500
'0 0 '8'988 '8 '8 5'999'9 4 '0 1
1400 1300
'8 6 '8 3 4 '9 1 '8 '9'95 3 '8 1 '9 0 '9 2 '8 2 '8 0'8 7 '9 6
1200
Produksi (mt)
1100 1000 900
'9 7
800 700 600 500 400 300 200 100 0
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
E ffo rt
Produksi
Gambar 28. Kuva Lestari Gompertz dan Produksi Aktual di Kabupaten Karawang
Effort
Gambar 29. Copes Eye Ball Loop untuk fungsi Gompertz di Kabupaten Karawang Untuk Kabupaten Karawang, pada awal periode pengamatan telah terjadi ekspansi. Kemudian memasuki periode tahun 1990 an terjadi kontraksi yang sangat kuat, sehingga produksi aktual kembali ke titik keseimbangannya. Tetapi
88 kondisi ini sulit bertahan, dan pada akhir periode pengamatan kembali terjadi
Produksi (ton)
ekaspansi yang sangat kuat dan menjauhi titik keseimbangan.
2550 2400 2250 2100 1950 1800 1650 1500 1350 1200 1050 900 750 600 450 300 150 0
'01
'00 '98
'97
'96
'99 '94 '93'95 '92 '91 '88 '89 '90 '87 '86 '85 '84 '83 '80 '82 '81
0
5
10
15
20
25
30
35
40
Effort
Produksi
Gambar 30. Kurva Lestari Gompertz dan Produksi Aktual di Kabupaten Subang
Effort
Gambar 31. Copes Eye Ball Loop untuk fungsi Gompertz di Kabupaten Subang Lain halnya yang terjadi di Kabupaten Subang, dimana pada awal periode pengamatan produksi aktual berada pada titik keseimbangannya. Tetapi begitu
89 memasuki periode tahun 1995 di Kabuapaten Subang telah terjadi peningkatan effort yang signifikan, hal ini berakibat kepada peningkatan produksi aktualnya. Sehingga kondisi yang terjadi tujuah tahun terakhir periode pengamatan, produksi
Produksi (ton)
aktual telah jauh melampaui titik keseimbangannya. 6000 5700 5400 5100 4800 4500 4200 3900 3600 3300 3000 2700 2400 2100 1800 1500 1200 900 600 300 0
'96 '94 '01 '99 '00 '98 '93 '90'95 '89 '92 '88 '87'91 '97 '86 '82 '83 '85 '84 '81 '80
0
20
40
60
80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300
Effort
Produksi
Gambar 32. Kuva Lestari Gompertz dan Produksi Aktual di Kabupaten Indramayu
Effort
Gambar 33. Copes Eye Ball Loop untuk fungsi Gompertz di Kabupaten Indramayu
90 Fenomena yang sama juga terjadi di Kabuapten Indramayu, dimana pada awal
periode
pengamatan
produksi
aktual
masih
berada
pada
titik
keseimbangannya, dan memasuki periode 1994 terjadi ekspansi yang sangat kuat. Kemudian memasuki periode 1997, dimana merupakan awal dari krisis moneter di Indonesia, baik langsung maupun tidak langsung berpengaruh secara signifikan terhadap nelayan di Indramayu, sehingga pada tahun tersebut terjadi kontraksi yang sangat kuat jauh di bawah titik keseimbangannya. Tetapi kondisi ini tidak berlangsung lama dan memasuki tahun 1998 terjadi lagi ekspansi yang sangat kuat menjauhi titik keseimbangannya.
3000 2800
'94
2600
'89 '91'95 '01 '98 '87 '85 '92 '97 '84'90 '96
2400 2200
Produksi (ton)
2000
'88 '86
1800
'93
'99
'00
1600 1400
'82 '83 '81
1200 1000
'80
800 600 400 200 0 0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
Effort
Gambar 34. Kuva Lestari Gompertz dan Produksi Aktual di Kabupaten Cirebon
Produksi
91
Effort
Gambar 35. Copes Eye Ball Loop untuk fungsi Gompertz di Kabupaten Cirebon Sementara untuk Kabupaten Cirebon, sebagaimana hasil analisis sebelumnya, dimana sejak awal periode pengamatan telah terjadi ekspansi yang sangat hebat, sehingga yang terjadi adalah produksi aktual telah melampaui titik keseimbangannya dan kondisi ini sulit untuk kembali ke titik kesembangan. 5.5. Analisis Degradasi Konsekuensi dari hasil tangkapan aktual yang telah melebihi dari produksi lestarinya adalah menyebabkan terjadinya tereksploitasinya sumberdaya ikan yang ada di lokasi penelitian. Eksploitasi sumberdaya alam (perikanan) yang melebihi titik keseimbangannya ini akan menyebabkan terdegradasinya sumberdaya alam itu sendiri.
Degradasi diartikan sebagai penurunan kualitas atau kuantitas
sumberdaya alam dapat diperbahurui, dalam hal ini sumberdaya alam dapat diperbarukan berkurang kemampuan alaminya untuk bergenerasi sesuai kapasitas produksinya.
Sehingga tingkat degradasi sumberdaya perikanan akan
memberikan suatu gambaran yang menunjukkan adanya gejala penurunan potensi dari sumberdaya perikanan itu sendiri. Tabel 6 berikut ini memperlihatkan nilai tingkat degradasi yang telah terjadi di Pantai Utara Jawa Barat selama 22 tahun (1980-2001) periode pengamatan.
92 Tabel 6.
Tahun
Perkembangan Tingkat Degradasi Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di Pantai Utara Jawa Barat Tahun 1980 – 2001. Lokasi Penelitian Pantura Jabar
Karawang
Subang
Cirebon
Indramayu
1980
0.16
0.25
0.16
0.10
0.18
1981
0.23
0.26
0.10
0.16
0.22
1982
0.14
0.25
0.14
0.18
0.24
1983
0.18
0.27
0.16
0.17
0.23
1984
0.26
0.27
0.17
0.29
0.23
1985
0.22
0.29
0.17
0.30
0.23
1986
0.28
0.28
0.17
0.25
0.25
1987
0.26
0.24
0.19
0.30
0.25
1988
0.28
0.30
0.25
0.27
0.26
1989
0.33
0.29
0.23
0.31
0.27
1990
0.33
0.26
0.23
0.29
0.28
1991
0.27
0.27
0.26
0.31
0.26
1992
0.28
0.26
0.28
0.29
0.27
1993
0.31
0.26
0.29
0.27
0.29
1994
0.34
0.29
0.32
0.33
0.31
1995
0.29
0.26
0.29
0.31
0.28
1996
0.28
0.23
0.37
0.29
0.33
1997
0.29
0.18
0.37
0.29
0.25
1998
0.27
0.30
0.37
0.30
0.31
1999
0.31
0.29
0.35
0.27
0.31
2000
0.28
0.31
0.38
0.25
0.30
2001
0.26
0.29
0.40
0.31
0.31
Rataan
0.26
0.26
0.24
0.26
0.26
Dari Tabel 6 diatas dapat dilihat bahwa di Wilayah Pantai Utara Jawa Barat sumberdaya ikan selama periode 22 tahun (1980-2001) telah terdegradasi rata-rata 26 persen per tahun. Kondisi ini ternyata kalau kita lihat untuk masingmasing kabupaten memberikan warna/ kontribusi yang sama dengan kisaran nilai
93 koefisien degradasi yang tidak jauh berbeda kecuali untuk kabupaten Subang, nilainya relatif lebih rendah yaitu sebesar 24 persen. Hal ini sejalan dengan analisis sebelumnya dimana pada umumnya hampir semua kabupaten di Pantai Utara Jawa Barat, penangkapan ikan telah jauh melampui titik keseimbangannya. Secara grafis trajektori nilai degradasi sumberdaya ikan di Pantai Utara Jawa Barat dan di empat kabupaten terpilih dapat dilihat pada Gambar 36 dan 37 berikut.
0.40 0.35
Koefisien Degradasi
0.30 0.25 0.20 0.15 0.10 0.05
2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
-
TAHUN
Gambar 36. Perkembangan Nilai Koefisien Degradasi di Pantai Utara Jawa Barat Gambar 36 di atas tampak bahwa pada awal periode pengamatan sampai pada awal tahun 1990 an nilai koefisien degradasi semakin tinggi. Peningkatan ini seiring dengan peningkatan produksi yang cukup signifikan.
Sementara
memasuki periode 1991 sampai tahun 2001 ada kecenderungam menurun, walaupun penurunan itu berfluktuasi. Sementara itu untuk kabupaten Karawang (Gambar 37a) nilai koefisien degradasi terjadi hampir tidak memperlihatkan suatau gejala yang meningkat. Hal ini disebabkan oleh karena kondisi perairan kabupaten Karawang yang relatif
94 telah tereksploitasi sumberdaya perikanannya. lihat di Kabupaten Cirebon,
Fenomena yang sama dapat kita
dimana memasuki tahun 1984, nilai koefisien
degradasi yang dihasilkan cenderung stagnan.
Hal ini juga diakibatkan oleh
kondisi sumberdaya perikanan di Kabupaten Cirebon yang telah terkuras, sehingga yang terjadi adalah nelayan Cirebon melakukan fleet migration ke wilayah yang lebih luas.
0 .4 5
0 .3 5
0 .4 0
0 .3 0
0 .3 5
0 .2 5
0 .3 0
0 .2 0
0 .2 5
0 .15
0 .2 0 0 .15
0 .10
0 .10
0 .0 5
0 .0 5
-
-
T A H UN
T A H UN
(a) Karawang
(b) Subang
0 .3 5
0 .3 5
0 .3 0
0 .3 0
0 .2 5
0 .2 5
0 .2 0
0 .2 0
0 .15
0 .15
0 .10
0 .10
0 .0 5
0 .0 5
-
-
T A H UN
(c) Indramayu
T A H UN
(d) Cirebon
Gambar 37. Grafik Perkembangan Nilai Koefisien Degradasi di Lokasi Penelitian Sedangkan untuk Kabupaten Subang trend yang terjadi adalah semakin meningkatnya nilai koefisien degradasi, mulai dari periode awal sampai akhir pengamatan. Dan peningkatan ini semakin terlihat tajam ketika memasuki tahun
95 1995. gajala ini dapat dipahami, karena memasuki periode 1995 ini telah terjadi peningkatan produksi yang sangat signifikan dibandingkan dengan periode sebelumnya. Hal yang menarik dari fenomena nilai degradasi di atas adalah terlihat secara jelas bahwa masing-masing kabupaten memberikan kontribusi yang berbeda terhadap menurunnya kualitas dan kuantitas sumberdaya perikanan di Pantai Utara Jawa Barat. Kemudian hal yang menarik lainnya adalah degradasi yang terjadi di Kabupaten Subang, dimana pada tahun 1994 telah terjadi penurunan kualitas sumberdaya perikanan sebesar 46 persen, ini berarti memasuki periode tahun 1994 kualitas sumberdaya perikanan di Kabupaten Subang telah menurun dua kali lipat dibandingkan dengan periode sebelumnya. Kemudian dalam analisis perbandingan antara laju degradasi dengan produksi aktual (Gambar 38) secara agregrat nampak bahwa laju degradasi memiliki pola yang sama dengan produksi aktual. Hal ini dapat kita lihat bahwa laju degradasi meningkat seiiring dengan peningkatan produksi aktual. Demikian juga ketika terjadi penurunan produksi maka laju degradasi mengikuti pola penurunan produksi walau tidak sedrastis penurunan produksi (lihat kondisi tahun 1994-2001). Hasil analisis regresi
hubungan antara produksi aktual dengan laju
degradasi di Pantai Utara Jawa Barat memberikan nilai korelasi sebesar 0,67. Sementara apabila kita analisis per wilayah kabupaten, korelasi antara produksi aktual dengan laju degradasi memberikan nilai yang berbeda.
Tetapi nilai yang
diperoleh berada di atas nilai korelasi Pantura secara agregrat, Karawang (R=0,81), Subang (R=0,80), Indramayu (R=0,76) dan Cirebon (R=0,87). Nilainilai di atas mengindikasikan bahwa korelasi terjadinya degradasi sumberdaya ikan pelagis di Pantai Utara Jawa Barat sangat erat kaitannnya dengan tingkat eksploitasi sumberdaya ikan.
96
Koefisien Degradasi (%)
0.35
20000
0.30 0.25
15000
0.20 10000
0.15 0.10
5000
0.05 2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
0 1980
0.00
Produksi Aktual (ton)
25000
0.40
TAHUN Koefisen Degradasi
Produksi Aktual
Gambar 38. Perbandingan Perkembangan Laju Degradasi dengan Produksi Aktual di Pantai Utara Jawa Barat Pola yang sama juga dapat kita lihat untuk masing-masing kabupaten (Gambar 39, 40, 41 da 42). Diamana adanya kecenderungan pergerakan yang
1400 1200 1000 800 600 400 200
Produk si Aktual (ton)
1600
0.50 0.45 0.40 0.35 0.30 0.25 0.20 0.15 0.10 0.05 2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
0 1980
Koefisien Degradasi (%)
sama antara laju degradasi dengan produksi aktual.
TAHUN Koefisien Degredasi
Produksi Aktual
Gambar 39. Perbandingan Perkembangan Laju Degradasi dengan Produksi Aktual di Kabupaten Karawang
97
3000
0.500
2500
0.400 0.350
2000
0.300
1500
0.250 0.200
1000
0.150 0.100
Produksi Aktual (% )
Koefisien Degradasi (%)
0.450
500
0.050 2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
0 1980
0.000
TAHUN Koefisien Degredasi
Produksi Aktual
Gambar 40. Perbandingan Perkembangan Laju Degradasi dengan Produksi Aktual di Kabupaten Subang
6000
0.500
5000
0.400 0.350
4000
0.300
3000
0.250 0.200
2000
0.150 0.100
1000
0.050 2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
0 1980
0.000
Produksi Aktual (ton)
Koefisien Degradasi
0.450
TAHUN Koefisien Degredasi
Produksi Aktual
Gambar 41. Perbandingan Perkembangan Laju Degradasi dengan Produksi Aktual di Kabupaten Indramayu
98
Koefisien Degradasi (%)
0.450
2500
0.400 0.350
2000
0.300
1500
0.250 0.200
1000
0.150 0.100
500
0.050 2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
0 1980
0.000
Produksi Aktual (ton)
3000
0.500
TAHUN Koefisien Degredasi
Produksi Aktual
Gambar 42. Perbandingan Perkembangan Laju Degradasi dengan Produksi Aktual di Kabupaten Cirebon Kemudian kalau kita bandingkan antara laju degradasi dengan effort, ternyata memberikan pola yang sama juga baik secara agregrat (pantai Utara Jawa Barat) maupun secara parsial (kabupaten).
Tetapi walaupun demikian hasil
analisis regresi memperlihatkan bahwa korelasi antara laju degradasi dengan tingkat upaya yang dikeluarkan tidak memberikan nilai yang cukup kuat. Hal ini dapat dipahami karena nilai koefisien degradasi itu sendiri merupakan derivatif dari nilai produksi aktual dan lestari. Jadi korelasinya dengan effort tidak secara langsung
(Pantura Jabar (R=0,35), Karawang (R=0,32), Subang (R=0,53),
Indramayu (R=0,56), Cirebon (R=0,35)). Secara grafis, hubungan antara laju degradasi dan tingkat effort yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 43, 44, 45, 46, dan 47 berikut ini.
99
300000
0.40
250000
0.30 200000
0.25
150000
0.20 0.15
Effort (trip)
Koefisen Degradasi (%)
0.35
100000
0.10 50000
0.05
2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
0 1980
0.00
TAHUN Koefisen Degradasi
Effort
Gambar 43. Perbandingan Perkembangan Laju Degradasi dengan Effort di Pantai Utara Jawa Barat
30000
0.50
25000
0.40 0.35
20000
0.30
15000
0.25 0.20
10000
0.15 0.10
Effort (trip)
Koefisien Degradasi (%)
0.45
5000
0.05 2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
0 1980
-
TAHUN Koefisien Degredasi
Effort
Gambar 44. Perbandingan Perkembangan Laju Degradasi dengan Effort di Kabupaten Karawang
100
35000
0.500
30000
0.400 0.350
25000
0.300
20000
0.250 0.200
15000
0.150
10000
0.100
Effort (trip)
Koefisien Degradasi (%)
0.450
5000
0.050 2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
0 1980
0.000
TAHUN Koefisien Degredasi
Effort
Gambar 45. Perbandingan Perkembangan Laju Degradasi dengan Effort di Kabupaten Subang
0.500
120000 100000
0.400 0.350
80000
0.300 0.250
60000
0.200
Effort (trip)
Koefisien Degradasi (%)
0.450
40000
0.150 0.100
20000
0.050 2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
0 1980
0.000
TAHUN Koefisien Degredasi
Effort
Gambar 46. Perbandingan Perkembangan Laju Degradasi dengan Effort di Kabupaten Indramayu
101
70000
0.500
60000
0.400 0.350
50000
0.300
40000
0.250 0.200
30000
0.150
20000
0.100
Effort (trip)
Koefisien Degradasi (%)
0.450
10000
0.050 2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
0 1980
0.000
TAHUN Koefisien Degredasi
Effort
Gambar 47. Perbandingan Perkembangan Laju Degradasi dengan Effort di Kabupaten Cirebon 5.6
Struktur Biaya Salah satu faktor yang sangat penting dalam usaha perikanan tangkap
adalah biaya. Karena biaya baik secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap efisiensi suatu usaha penangkapan ikan.
Salah satu unsur
yang penting dalam struktur biaya yang berpengaruh langsung terhadap usaha penangkapan ikan adalah biaya operasional.
Dimana biaya operasional
penangkapan ikan sangat dipengaruhi oleh besar kecilnya ukuran kapal, jarak dekatnya jelajah kapal menuju tempat penangkapan ikan di laut (fishing ground), jumlah waktu yang dibutuhkan serta besar kecilnya biaya lainnya seperti biaya pengawetan ikan, biaya ransum dan lain-lain. Besarnya biaya per trip akan berbeda antara satu jenis alat penangkapan dengan jenis alat penangkapan lainnya dan antara satu lokasi dengan lokasi lainnya. Perkembangan rata-rata biaya penangkapan ikan, berdasarkan lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 7 berikut.
102 Tabel 7. Rata-rata Biaya Riil Penangkapan Ikan per Unit Effort Menurut Lokasi Penelitian (Rp. Ribu per Trip)
Tahun
Lokasi Karawang
Subang
Indramayu
Cirebon
Pantura Jabar
1980
36.98
36.85
34.81
35.71
36.09
1981
41.52
41.37
39.09
40.09
40.52
1982
45.19
45.02
42.54
43.63
44.10
1983
45.40
45.23
42.74
43.84
44.30
1984
47.20
47.03
44.44
45.58
46.06
1985
47.97
47.80
45.16
46.32
46.81
1986
49.10
48.93
46.23
47.42
47.92
1987
53.92
53.72
50.76
52.06
52.61
1988
61.07
60.85
57.50
58.97
59.60
1989
70.13
69.88
66.03
67.72
68.44
1990
75.09
74.82
70.69
72.51
73.28
1991
81.48
81.18
76.71
78.67
79.51
1992
83.15
82.86
78.29
80.30
81.15
1993
88.70
88.38
83.51
85.65
86.56
1994
91.92
91.59
86.54
88.76
89.70
1995
100.95
100.59
95.04
97.48
98.52
1996
113.70
113.29
107.04
109.79
110.95
1997
125.43
124.99
118.10
121.12
122.41
1998
198.63
197.92
187.01
191.80
193.84
1999
278.35
277.35
262.07
268.78
271.64
2000
301.85
300.77
284.19
291.47
294.57
2001
287.16
286.13
270.36
277.29
280.24
Biaya penangkapan ikan per unit effort pada Tabel 7 tersebut merupakan biaya riil penangkapan setelah memperhitungkan nilai inflasi. Dimana laju inflasi ini diperoleh dari indeks harga konsumen ikan segar di Cirebon.
Seperti dapat
dilihat pada table di atas biaya penangkapan yang dikeluarkan nelayan antara satu lokasi dengan lokasi lainnya berbeda. penangkapan berkisar antara
Dimana untuk tahun 2003 biaya
Rp. 316.764,50. sampai Rp.336.450,80. Dengan
biaya tertinggi di Kabupaten Karawang dan terendah di Kabupaten Indramayu. Kemudian biaya riil di atas dipergunakan untuk berbagai perhitungan dan analisis lainnya.
103 5.7 Estimasi Discount Rate Untuk menentukan nilai discount rate eksploitasi sumberdaya ikan pada penelitian ini digunakan real discount rate oleh Ramsey dalam Anna (2003), dengan menggunakan persamaan (3.14) Hasil perhitungan diatas diperoleh nilai estimasi g = 0.0946 (9,46 persen). Kemudian mengikuti teknik yang dilakukan Brent dalam Anna 2003 , dengan menggunakan standar elastisitas pendapatan terhadap konsumsi sumberdaya alam sebesar 1, dan ρ menggunakan nilai discount rate saat ini dari Ramsey sebesar 15 persen, maka diperoleh nilai real discount rate sebagai berikut : r = 15 − 1(9,46) = 5,54 persen
Nilai tersebut di atas dalam penelitian ini digunakan untuk analisis selanjutnya dimana sebagai nilai real discount rate (r) = 5,54 persen dan nilai nominal discount rate (r) = 15 persen. 5.8 Analisis Depresiasi Hasil analisis perhitungan depresiasi sumberdaya perikanan pelagis di Pantai Utara Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 8 di bawah ini.
104 Tabel 8.
Tahun
Perubahan Derpresiasi Sumberdaya perikanan Pelagis di Pantai Utara Jawa Barat Rente Lestari (Rp Juta)
PV Rente Lestari 15% (Rp. Juta)
∆ PV Rente Lestari 15% (Rp. Juta)
PV Rente Lestari 5,54% (Rp. Juta)
∆ PV Rente Lestari 5,54% (Rp. Juta)
1980
3,610.95
24,072.98
24,072.98
65,179.56
65,179.56
1981
5,187.39
34,582.60
10,509.61
93,635.19
28,455.63
1982
3,800.02
25,333.49
-9,249.11
68,592.48
-25,042.71
1983
4,733.55
31,556.99
6,223.50
85,443.12
16,850.64
1984
5,542.09
36,947.28
5,390.29
100,037.77
14,594.65
1985
5,052.05
33,680.31
-3,266.98
91,192.16
-8,845.60
1986
6,398.31
42,655.42
8,975.12
115,493.02
24,300.86
1987
7,198.39
47,989.24
5,333.82
129,934.77
14,441.75
1988
8,744.69
58,297.96
10,308.72
157,846.46
27,911.69
1989
10,958.27
73,055.10
14,757.14
197,802.63
39,956.17
1990
12,125.05
80,833.64
7,778.54
218,863.66
21,061.02
1991
12,154.32
81,028.78
195.14
219,392.01
528.35
1992
12,847.45
85,649.64
4,620.86
231,903.36
12,511.35
1993
14,162.38
94,415.89
8,766.25
255,638.70
23,735.34
1994
15,028.16
100,187.75
5,771.86
271,266.48
15,627.78
1995
16,338.22
108,921.44
8,733.69
294,913.65
23,647.17
1996
18,629.41
124,196.06
15,274.62
336,270.92
41,357.27
1997
18,318.05
122,120.32
-2,075.74
330,650.68
-5,620.24
1998
31,232.21
208,214.70
86,094.39
563,758.22
233,107.54
1999
45,491.61
303,277.41
95,062.71
821,148.23
257,390.00
2000
48,459.72
323,064.79
19,787.38
874,724.15
53,575.93
2001
43,079.01
287,193.43
-35,871.36
777,599.53
-97,124.62
Dari hasil perhitungan sebagaimana disajikan pada Tabel 8 di atas terlihat bahwa dengan market discount rate sebesar 15 %, sumberdaya perikanan pelagis di lokasi penelitian, mengalami depresiasi selama kurun waktu tahun 1982, 1985, 1997 dan 2001. Dimana nilai depresiasi sumberdaya perikanan pelagis di Pantai Utara Jawa Barat berkisar antara Rp. 2 milyar sampai Rp. 36 milyar. Sepanjang kurun waktu tersebut nilai depresiasi rente sumberdaya perikanan pelagis diestimasikan sebesar Rp. 50,463 milyar. Dengan rata-rata nilai Present Value dari rente sumberdaya sebesar Rp 105,8 milyar sepanjang tahun pengamatan, besaran depresiasi tersebut cukup signifikan untuk mengurangi nilai rente
105 sumberdaya yang sebenarnya. Perhitungan rente sumberdaya perikanan dengan menggunakan discount rate yang lebih konservatif dari Kula (5,54 %) menghasilkan rata-rata nilai present value yang jauh lebih tinggi dari perhitungan rente dengan market discount rate, yakni sebesar Rp. 286,4 milyar. Dengan discount rate Kula ini depresiasi sumberdaya perikanan pelagis terjadi pada tahun pengamatan yang sama pada market discount rate 15%, diestimasikan bernilai 136,6 milyar. Suatu nilai kehilangan yang relatif cukup signifikan. Depresiasi ini seharusnya diperhitungkan dalam statistik pendapatan sub sektor perikanan di wilayah Jawa Barat, jika tidak, nilai PDRB dari sub sektor perikanan ini akan terlalu rendah pada tahun-tahun dimana nilai stok ikan terapresiasi dan terlalu tinggi pada tahun-tahun dimana nilai stok ikan terdepresiasi. Dengan discount rate Kula yang lebih konservatif, seperti dijelaskan di atas, ternyata dihasilkan nilai rente Present value yang lebih tinggi, juga nilai depresiasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan market discount rate yang notabene tidak merefleksikan pertumbuhan ekonomi di wilayah penelitian. Perubahan discount rate disini hanya merupakan perubahan numeirare, sehingga tidak dapat dipakai sebagai suatu kesimpulan atau dijadikan suatu basis indikator untuk menentukan penyebab
terjadinya perubahan nilai rente
sumberdaya dan depresiasi berdasarkan stock assessment, sebagaimana yang dilakukan oleh Clark (1990). Pola depresiasi sumberdaya mengalami pola yang counter cyclical antara effort dan produksi aktual. Pada saat effort terjadi penurunan/ peningkatan, penurunan/ peningkatan pada produksi aktual tidak menunjukan suatu proporsi yang seimbang. Pola atau prilaku yang counter cyclical ini menyebabkan penurunan pada tangkap lestari (sustainable yield) sehingga mengakibatkan terjadinya depresiasi rente pada sumberdaya alam.
Sehingga implikasinya
terhadap kebijakan adalah bahwa untuk meningkatkan nilai stok sumberdaya ikan, kebijakan untuk menurunkan level input (effort) adalah merupakan suatu kebijakan yang tepat. Tabel 9 Berikut ini memperlihatkan Perkembangan perubahan depresiasi sumberdaya perikanan pelagis di Kabupaten Karawang.
106 Tabel 9. Perubahan Derpresiasi Sumberdaya perikanan Pelagis di Kabupaten Karawang Tahun
Rente Lestari (Rp Juta)
PV Rente Lestari 15% (Rp. Juta)
∆ PV Rente Lestari 15% (Rp. Juta)
PV Rente Lestari 5,54% (Rp. Juta)
∆ PV Rente Lestari 5,54% (Rp. Juta)
1980
306.83
2,045.55
2,045.55
5,538.49
5,538.49
1981
356.99
2,379.92
334.37
6,443.83
905.33
1982
381.56
2,543.75
163.83
6,887.40
443.58
1983
425.28
2,835.22
291.47
7,676.59
789.19
1984
442.69
2,951.26
116.04
7,990.77
314.19
1985
469.46
3,129.75
178.49
8,474.04
483.27
1986
462.80
3,085.36
-44.39
8,353.85
-120.19
1987
488.89
3,259.24
173.88
8,824.66
470.81
1988
602.41
4,016.08
756.84
10,873.86
2,049.20
1989
691.62
4,610.77
594.69
12,484.03
1,610.17
1990
724.22
4,828.12
217.35
13,072.52
588.49
1991
801.17
5,341.13
513.01
14,461.53
1,389.01
1992
820.50
5,469.99
128.87
14,810.45
348.91
1993
872.43
5,816.17
346.18
15,747.75
937.30
1994
899.97
5,999.83
183.66
16,245.02
497.27
1995
995.92
6,639.45
639.62
17,976.85
1,731.83
1996
1,119.17
7,461.12
821.67
20,201.58
2,224.73
1997
1,224.78
8,165.17
704.05
22,107.86
1,906.28
1998
1,959.80
13,065.35
4,900.18
35,375.51
13,267.65
1999
2,746.40
18,309.34
5,243.99
49,574.03
14,198.52
2000
2,977.71
19,851.41
1,542.07
53,749.31
4,175.28
2001
2,832.27
18,881.81
-969.60
51,124.03
-2,625.27
Untuk Kabupaten Karawang seperti terlihat pada Tabel 9 di atas, dengan market discount rate sebesar 15 %, sumberdaya perikanan pelagis di Kabupaten Karawang, mengalami depresiasi selama kurun waktu tahun 1986 dan 2001. Dimana nilai depresiasi sumberdaya perikanan pelagis di Pantai Utara Jawa Barat berkisar antara Rp. 44 juta sampai Rp. 970 juta. Sepanjang kurun waktu tersebut nilai depresiasi rente sumberdaya perikanan pelagis diperkirakan sebesar Rp. 1,01 milyar. Dengan rata-rata nilai Present Value dari rente sumberdaya sebesar Rp 1,03 milyar sepanjang tahun pengamatan, besaran depresiasi tersebut sangat signifikan untuk mengurangi nilai rente sumberdaya yang sebenarnya. Demikian
107 halnya juga dengan menggunakan discount rate yang lebih konservatif dari Kula (5,54 %), rata-rata nilai Present value yang jauh lebih tinggi dari perhitungan rente dengan market discount rate, yakni sebesar Rp. 18,5 milyar.
Dengan
discount rate Kula ini depresiasi sumberdaya perikanan pelagis terjadi pada tahun pengamatan yang sama pada market discount rate 15%, diestimasikan bernilai 2,75 milyar yang seharusnya diperhitungkan dalam statistik pendapatan sub sektor perikanan di Kabupaten Karawang, jika tidak maka nilai PDRB dari sub sektor perikanan ini akan terlalu rendah pada tahun-tahun dimana nilai stok ikan terapresiasi dan terlalu tinggi pada tahun-tahun dimana nilai stok ikan terdepresiasi. Demikian juga halnya Kabupaten Subang (Tabel 10), sumberdaya perikanan pelagis telah mengalami depresiasi selama kurun waktu tahun 1981, 1984, 1997 dan 2001. Degan market discount rate sebesar 15% sepanjang kurun waktu tersebut nilai depresiasi rente sumberdaya perikanan pelagis diperkirakan sebesar Rp. 3,85 milyar. Dengan rata-rata nilai Present Value dari rente sumberdaya sebesar Rp 1,1 milyar sepanjang tahun pengamatan.
Demikian
halnya juga dengan menggunakan discount rate yang lebih konservatif dari Kula (5,54 %), rata-rata nilai Present value yang jauh lebih tinggi dari perhitungan rente dengan market discount rate, yakni sebesar Rp. 20,14 milyar.
108 Tabel 10. Perubahan Derpresiasi Sumberdaya perikanan Pelagis di Kabupaten Subang Tahun
Rente Lestari (Rp Juta)
PV Rente Lestari 15% (Rp. Juta)
∆ PV Rente Lestari 15% (Rp. Juta)
PV Rente Lestari 5,54% (Rp. Juta)
∆ PV Rente Lestari 5,54% (Rp. Juta)
1980
238.34
1,588.96
1,588.96
4,302.24
4,302.24
1981
230.84
1,538.92
-50.04
4,166.76
-135.48
1982
248.32
1,655.50
116.58
4,482.40
315.64
1983
303.96
2,026.39
370.89
5,486.62
1,004.22
1984
273.46
1,823.08
-203.31
4,936.14
-550.47
1985
276.74
1,844.93
21.85
4,995.30
59.16
1986
300.52
2,003.47
158.54
5,424.56
429.26
1987
398.12
2,654.11
650.63
7,186.21
1,761.65
1988
554.82
3,698.82
1,044.71
10,014.85
2,828.64
1989
584.45
3,896.31
197.49
10,549.58
534.73
1990
682.00
4,546.65
650.34
12,310.42
1,760.84
1991
848.71
5,658.06
1,111.41
15,319.66
3,009.23
1992
928.54
6,190.27
532.21
16,760.67
1,441.01
1993
985.46
6,569.73
379.46
17,788.09
1,027.42
1994
1,127.58
7,517.23
947.49
20,353.50
2,565.41
1995
1,194.21
7,961.37
444.14
21,556.06
1,202.55
1996
1,337.26
8,915.07
953.70
24,138.28
2,582.22
1997
1,016.39
6,775.95
-2,139.12
18,346.43
-5,791.84
1998
2,493.56
16,623.74
9,847.79
45,010.13
26,663.70
1999
3,491.04
23,273.60
6,649.86
63,015.17
18,005.04
2000
3,624.02
24,160.11
886.51
65,415.46
2,400.29
2001
3,405.91
22,706.05
-1,454.06
61,478.47
-3,936.99
Berbeda dengan lokasi lainnya, Kabupaten Indramayu sepanjang periode pengataman depresiasi hanya taerjadi pada tahun 2001. Tetapi walaupun demikin nilai depresiasi dari sumberdaya perikanan pelagis ini relatif sangat besar, yaitu sebesar Rp. 4,4 milyar (discount rate 15%) dan Rp. 11,8 milyar (discount rate 5,54%). Secara rinci prubahan nilai depresiasi sumberdaya perikanan pelagis di Kabupaten Indramayu dapat dilihat pada Tabel 11 berikut ini.
109 Tabel 11. Perubahan Derpresiasi Sumberdaya perikanan Pelagis di Kabupaten Indramayu Tahun
Rente Lestari (Rp Juta)
PV Rente Lestari 15% (Rp. Juta)
∆ PV Rente Lestari 15% (Rp. Juta)
PV Rente Lestari 5,54% (Rp. Juta)
∆ PV Rente Lestari 5,54% (Rp. Juta)
1980
906.40
6,042.66
6,042.66
16,360.99
16,360.99
1981
1,179.12
7,860.80
1,818.14
21,283.76
4,922.77
1982
1,390.72
9,271.44
1,410.64
25,103.19
3,819.42
1983
1,399.58
9,330.55
59.11
25,263.23
160.05
1984
1,481.17
9,874.48
543.92
26,735.95
1,472.71
1985
1,548.54
10,323.62
449.14
27,952.03
1,216.08
1986
1,628.75
10,858.36
534.75
29,399.89
1,447.87
1987
1,788.78
11,925.23
1,066.87
32,288.53
2,888.64
1988
2,112.00
14,080.00
2,154.77
38,122.74
5,834.21
1989
2,491.78
16,611.89
2,531.89
44,978.04
6,855.30
1990
2,737.11
18,247.40
1,635.51
49,406.33
4,428.29
1991
2,952.21
19,681.43
1,434.03
53,289.07
3,882.74
1992
3,011.77
20,078.49
397.06
54,364.15
1,075.08
1993
3,342.26
22,281.72
2,203.22
60,329.56
5,965.41
1994
3,487.29
23,248.61
966.89
62,947.50
2,617.94
1995
3,805.94
25,372.97
2,124.36
68,699.37
5,751.87
1996
4,218.80
28,125.30
2,752.34
76,151.54
7,452.18
1997
4,758.30
31,722.01
3,596.70
85,889.91
9,738.37
1998
7,052.26
47,015.09
15,293.08
127,297.17
41,407.26
1999
10,092.05
67,280.33
20,265.25
182,166.97
54,869.80
2000
11,198.52
74,656.78
7,376.45
202,139.30
19,972.33
2001
10,543.64
70,290.91
-4,365.87
190,318.35
-11,820.95
Sementara untuk Kabupaten Cirebon (Tabel 12), sumberdaya perikanan pelagis telah mengalami depresiasi selama kurun waktu tahun 1983, 1986, 1994, 1997, 2000 dan 2001. Dimana degan market discount rate sebesar 15% sepanjang kurun waktu tersebut diperkirakan nilai depresiasi rente sumberdaya perikanan pelagis sebesar Rp. 3,26 milyar. Dengan rata-rata nilai Present Value dari rente sumberdaya sebesar Rp 0,951 milyar sepanjang tahun pengamatan. Demikian halnya juga dengan menggunakan discount rate yang lebih konservatif dari Kula (5,54 %), rata-rata nilai Present value yang jauh lebih tinggi dari perhitungan rente dengan market discount rate, yakni sebesar Rp. 17,18 milyar.
110 Tabel 12. Perubahan Derpresiasi Sumberdaya perikanan Pelagis di Kabupaten Cirebon Tahun
Rente Lestari (Rp Juta)
PV Rente Lestari 15% (Rp. Juta)
∆ PV Rente Lestari 15% (Rp. Juta)
PV Rente Lestari 5,54% (Rp. Juta)
∆ PV Rente Lestari 5,54% (Rp. Juta)
1980
219.79
1,465.26
1,465.26
3,967.32
3,967.32
1981
305.06
2,033.73
568.47
5,506.50
1,539.18
1982
338.27
2,255.10
221.37
6,105.87
599.37
1983
330.10
2,200.70
-54.40
5,958.57
-147.30
1984
478.17
3,187.83
987.13
8,631.30
2,672.73
1985
479.34
3,195.58
7.76
8,652.31
21.00
1986
461.22
3,074.82
-120.76
8,325.33
-326.97
1987
555.97
3,706.49
631.67
10,035.62
1,710.28
1988
618.14
4,120.92
414.44
11,157.74
1,122.12
1989
739.19
4,927.93
807.01
13,342.77
2,185.03
1990
785.63
5,237.52
309.59
14,181.01
838.24
1991
844.25
5,628.30
390.78
15,239.08
1,058.07
1992
878.17
5,854.48
226.18
15,851.49
612.41
1993
936.65
6,244.35
389.87
16,907.08
1,055.59
1994
927.45
6,183.02
-61.33
16,741.04
-166.04
1995
994.82
6,632.16
449.14
17,957.12
1,216.08
1996
1,081.14
7,207.58
575.42
19,515.10
1,557.99
1997
979.50
6,529.98
-677.60
17,680.45
-1,834.65
1998
1,590.66
10,604.40
4,074.42
28,712.26
11,031.81
1999
2,602.93
17,352.84
6,748.45
46,984.24
18,271.97
2000
2,536.32
16,908.78
-444.07
45,781.89
-1,202.35
2001
2,251.53
15,010.18
-1,898.60
40,641.29
-5,140.60
5.9 Pengelolaan Sumberdaya yang Optimal Pada prinsipanya sama halnya dengan sumberdaya alam lainnya, sumberdaya perikanan dapat dipandang sebagai suatu aset kapital, sehingga di dalam pengelolaannyapun diperlukan pendekatan kapital.
Dengan demikian
aspek intertemporal sangat perlu untuk dipertimbangkan dalam analisisnya. Kalau kita berbibacara tentang aspek temporal, maka sangat terkait dengan besarnya discount rate.
Dimana besarnya discount rate tersebut secara tidak
langsung akan menggambarkan biaya korbanan (opportunity cost) untuk
111 mengeksploitasi sumberdaya perikanan. Biaya korbanan di dalam studi ini dihitung melalui perhitungan rente ekonomi optimal (optimal rent) yang seharusnya didapat dari sumberdaya perikanan, jika sumberdaya tersebut dikelola secara optimal. Dalam penelitian ini digunakan nominal discount rate (15 persen) dan real discoun rate dari Kulla (5,54 persen). Nominal discount rate menggambarkan tingkat eksploitasi sumberdaya, dimana biaya oportunitas kapital (δ) sama dengan sosial discount rate (i). Dalam penelitian ini seperti dijelaskan dalam bab 3, pengelolaan sumberdaya yang optimal didekati dengan menggunakan persamaan
δ=
NRix + Fx . Persamaan tersebut dikenal sabagai Golden Rule dari eksploitasi NRiE
sumberdaya ikan, dimana NRx adalah marginal net benefit dari sumberdaya ikan, NRE adalah marginal net benefit dari effort dan Fx adalah produktifitas marginal dari sumberdaya ikan. Kemudian dengan memberlakukan Pontryagins Maximum Principle, dimana diasumsikan bahwa harga ikan konstan maka secara eksplisit tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan yang optimal dapat ditulis sebagai berikut : ∂F cF ( x) + =δ ∂x x(qxp( F ( x)) − c) Dimana F(x) adalah pertumbuhan alami dari stok ikan, c adalah biaya per unit effort, p adalah harga ikan, δ adalah discount rate dan q merupakan koefisien penangkapan. Dari persamaan di atas menghasilkan x * (optimal) yang dapat digunakan untuk menghitung tingkat tangkapan dan upaya yang optimal. Dengan demikian maka dapat diketahui rente sumberdaya perikanan yang optimal (π*) yang merupakan hasil dari perkalian antara harga produk ikan dengan tangkapan optimal dikurangi biaya dari tingkat upaya optimal, secara matematis dapat ditulis sebagai berikut :
π * = P(h * ).h * − cE * Dengan menggunakan fungsi biologi Gompertz, diperoleh nilai optimal dari sumberdaya perikanan melalui persamaan berikut :
112 cr ln(k x) k r ln( ) − r + −δ = 0 x x( pqx − c) Dalam penelitian ini analisis dilakukan dua tahap, pertama
dengan
menggunakan market discount rate 15 persen, kedua dengan menggunakan real discount rate 5,54 persen. Dari hasil analitik melalui program MAPLE 9.5, untuk Pantai Utara Jawa Barat diperoleh nilai biomass, produksi dan input yang optimal (δ=15%) masing-masing adalah sebesar x* = 22.636,83 ton, h* = 16.875,82 ton dan E* = 248,50 ribu trip.
Sementara dengan menggunakan nilai real discount
rate dari Kula (5,54 persen), diperoleh nilai biomass, produksi dan input optimal masing-masing sebesar x* = 26.524,56 ton, h* = 17.268,70 ton dan E* = 217,01 ribu trip.
Dari hasil perhitngan tersebut dapat dilihat
bahwa dengan
menggunakan nilai discount rate yang lebih kecil (real discount rate) dari Kula ternyata diperoleh nilai optimal yang relatif lebih tinggi untuk biomass dan produksi (yield), dimana input yang digunakan lebih rendah daripada hasil perhitungan dengan market discount rate. Secara lebih detil hasil perhitungan biomass optimal, produksi optimal dan input optimal untuk kedua discount rate yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 13.
113 Tabel 13. Nilai Optimal Biomas, Produksi dan Effort pada Discount Rate 15% dan 5,54% di Pantai Utara Jawa Barat. Discount Rate 15 %
Discount Rate 5.54 %
Tahun
Biomas Optimal
Produksi Optimal (ton)
Effort Optimal (ribu trip)
Biomas Optimal
Produksi Optimal (ton)
Effort Optimal (ribu trip)
1980
22629.75
16,874.76
116.79
26518.81
17268.39
101.99
1981
22631.22
16,874.98
116.79
26520.00
17268.46
101.98
1982
22629.22
16,874.68
116.80
26518.38
17268.37
101.99
1983
22630.05
16,874.81
116.79
26519.05
17268.40
101.99
1984
22630.74
16,874.91
116.79
26519.61
17268.43
101.99
1985
22630.10
16,874.82
116.79
26519.09
17268.41
101.99
1986
22631.61
16,875.04
116.79
26520.32
17268.47
101.98
1987
22631.87
16,875.08
116.79
26520.53
17268.49
101.98
1988
22632.82
16,875.22
116.79
26521.30
17268.53
101.98
1989
22634.93
16,875.54
116.78
26523.02
17268.62
101.98
1990
22636.68
16,875.80
116.78
26524.44
17268.70
101.98
1991
22633.61
16,875.34
116.79
26521.94
17268.56
101.98
1992
22634.54
16,875.48
116.79
26522.70
17268.61
101.98
1993
22635.92
16,875.69
116.78
26523.82
17268.67
101.98
1994
22640.91
16,876.43
116.77
26527.88
17268.89
101.97
1995
22636.87
16,875.83
116.78
26524.59
17268.71
101.98
1996
22638.89
16,876.13
116.78
26526.23
17268.80
101.97
1997
22652.30
16,878.13
116.75
26537.14
17269.40
101.96
1998
22635.18
16,875.58
116.78
26523.22
17268.63
101.98
1999
22641.02
16,876.45
116.77
26527.96
17268.89
101.97
2000
22636.25
16,875.74
116.78
26524.09
17268.68
101.98
2001
22633.74
16,875.36
116.79
26522.05
17268.57
101.98
Secara grafis perbedaan nilai produksi optimal dan biomas optimal sepanjang tahun untuk kedua nilai discount rate yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 48 dibawah ini.
114
30000
Biomas dan Produksi Optimal
27000 24000 21000 18000 15000 12000 9000 6000 3000
2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
0
TAHUN Opt Biomas δ=15% Opt Biomas δ=5,54%
Produksi Optimal δ=15% Produksi Optimal δ=5,54%
Gambar 48. Trajektori Nilai Biomas dan Produksi Optimal pada Discount Rate 15% dan 5,54% di Pantai Utara Jawa Barat. Demikian halnya juga untuk masing-masing kabupaten lokasi penelitian, dimana hasil analisis menunjukkan bahwa hasil perhitungan yang diperoleh untuk biomas, produksi dan input dengan discount rate yang berbeda disajikan pada Tabel 14 di bawah ini. Tabel 14.
Nilai Biomas, Produksi dan Input Optimal dengan Menggunakan Discount Rate 15% dan 5,54% δ = 15%
Kabupaten
Biomas (ton)
δ = 5,54%
Produksi Input (ton) ( ribu trip)
Biomas (ton)
Produksi Input (ton) ( ribu trip)
Karawang
1740.19
1221.27
36.93
2061.52
1253.25
31.99
Subang
1294,64
1242,75
18,11
1454,40
1258,85
16,33
Indramayu
4185,76
4113,04
89,33
4685,14
4162,82
80,77
Cirebon
1823,06
1343,31
56,68
2131,59
1373,02
49,55
115 Secara lebih detil trajektori dari perbandingan biomas optimal dan produksi optimal dengan menggunakan discount rate 15% dan 5,54% untuk masing-masing kabupaten dalam upaya pengelolaan
sumberdaya perikanan pelagis secara
optimal diperlihatkan pada Gambar 49 di bawah ini. 3000
2000
2700
1800
2400
1600
2100
1400
1800
1200
1500
1000
1200
800
900
60 0
600
400
300
200
0
0
TAHUN
TAHUN Opt Biomas δ=15% Produksi Optimal δ=15% Opt Biomas δ=5,54% Produksi Optimal δ=5,54%
Opt Biomas δ=15%
Produksi Optimal δ=15%
Opt Biomas δ=5,54% Produksi Optimal δ=5,54%
(a) Kab. Karawang
(b) Kab. Subang
5000 2400
4800 4600
2100
4400
1800
4200
1500
4000
1200
3800
900
3600
600
3400 3200
300
3000
0
TAHUN Opt Biomas δ=15% Produksi Opt imal δ=15% Opt Biomas δ=5,54% Produksi Opt imal δ=5,54%
(c) Kab. Indramayu
TAHUN Opt Biomas δ=15% Produksi Opt imal δ=15% Opt Biomas δ=5,54% Produksi Opt imal δ=5,54%
(d) Kab. Cirebon
Gambar 49. Nilai Biomas dan Produksi Optimal pada Discount Rate 15% dan 5,54% di Empat Kabupaten Lokasi Penelitian Perbedaan nilai discount rate yang lebih tinggi akan menyebabkan peningkatan laju optimal dari eksploitasi pada sumberdaya yang terbarukan, sehingga akan meningkatkan kemungkinan terjadinya kepunahan (Clark (1971) dalam Hannesson (1987) dan Clark (1990)).
116 Lebih jauh lagi Hanneson (1987) menjelaskan bahwa seperti juga pada sumberdaya tidak terbarukan, pada dasarnya dampak discount rate terhadap laju eksploitasi dan standing stock biomass dari sumberdaya terbarukan tidak pasti (ambiguous), dan ketidak pastian ini tergantung pada peran ganda dari discount rate. Pada satu sisi, discount rate meningkatkan laju nilai dari aset. Untuk sumberdaya terbarukan seperti perikanan yang memiliki fungsi pertumbuhan berbentuk cembung (concave), discount rate yang lebih tinggi akan menyebabkan stok biomass menjadi lebih sedikit.
Pada sisi lain discount rate ini juga
mengekspresikan opportunity cost dari kapital untuk diinvestasikan pada peralatan produksi. Semakin tinggi discount rate, dengan demikian akan menyebabkan biaya produksi menjadi lebih tinggi, yang pada akhirnya akan menyebabkan produksi intensif optimal menjadi lebih rendah dan stok yang semakin tinggi. Hasil penelitian ini, seperti dijelaskan diatas mengindikasikan terjadinya penurunan level biomass pada discount rate yang lebih tinggi. Hal ini dapat difahami karena penelitian ini menggunakan parameter real cost yang disesuaikan dengan indeks harga konsumen, sehingga price ratio menjadi relatif konstan. Dengan demikian yang akan lebih mempengaruhi dalam hal ini adalah fungsi produksi itu sendiri yang akan menyebabkan penurunan biomass pada tingkat discount rate yang lebih tinggi. Kemudian dengan mengetahui nilai optimal ketiga variabel tersebut, maka akan dapat dibandingkan kondisi pengelolaan sumberdaya perikanan baik pada kondisi aktual,
lestari maupun optimal.
Gambar 50 dan 51 berikut ini
memperlihatkan trajektori perbandingan antara produksi pada kondisi aktual, lestari dan optimal dan perbandingan antara standarisasi effort dengan effort optimal di Pantai Utara Jawa Barat dengan menggunakan discount rate 15% dan 5,54%.
117
24000 22000 20000
Produksi (ton)
18000 16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
0
TAHUN
Produksi Lestari Produksi Optimal δ=5,54%
Produksi Aktual Produksi Optimal δ=15%
Gambar 50. Perbandingan Produksi Aktual, Lestari dan Optimal di Pantai Utara Jawa Barat
270000 240000 210000 Effort (Trip)
180000 150000 120000 90000 60000 30000
2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
0
TAHUN Std Effort
Effort Optimal δ=15%
Effort Optimal δ=5,54%
Gambar 51. Perbandingan Input Aktual dan Optimal di Pantai Utara Jawa Barat
118 Pada Gambar 50 dan 51 di atas dapat dilihat bahwa apabila sumberdaya perikanan dikelola secara optimal maka produksi harus mengikuti trajektori optimal (garis biru), yaitu sebesar 16.875,22 ton untuk discount rate 15 % dan 17.268,40 ton untuk discount rate 5,54%. Sementara input yang harus digunakan mengikuti trajektori optimal untuk masing-masing discount rate adalah pada level 248.365,21 trip dan level 216.921,11 trip. Dari
gambar di atas juga tampak bahwa pada awal-awal periode
pengamatan sampai tahun 1988, produksi aktual masih dibawah kondisi optimal. Namun setelah periode 1988 produksi aktual mengalami peningkatan yang signifikan.
Peningkatan ini telah melebihi produksi lestari maupun optimal.
Tetapi kondisi ini tidak bertahan lama dan pada tahun 1995 produksi aktual kembali berada di bawah titik optimalnya bahkan dibawah produksi lestarinya. Dengan demikian jika dilihat dari sisi kondisi lestari maupun optimal, kondisi setelah tahun 1988 mengindikasikan terjadinya economic overfishing. Sehingga disaat produksi menurun secara tajam pada tahun 1995, tidak mampu lagi untuk meningkatkan produksinya. Selanjutnya Gambar 52 di bawah ini adalah merupakan trajektori produksi aktual, lestari dan optimal untuk masing-masing kabupaten. Sedangkan Gambar 52 adalah trajektori input aktual dan optimal untuk masing-masing kabupaten lokasi penelitian.
119
2,000
2700
1,800
2400
1,600
2100
1,400
1800
1,200
1500
1,000
1200
800 600
900
400
600
200
300
-
0
TAHUN
TAHUN
Produksi Aktual Produksi Lestari Produksi Optimal δ=15% Produksi Optimal δ=5,54%
Produksi Aktual Produksi Lestari Produksi Optimal δ=15% Produksi Optimal δ=5,54%
(a) Kab. Karawang
(b) Kab. Subang
3000
600 0 550 0 5000
2700 2400
4500 4000
2100
3500 3000
1800 1500
2500 2000
1200 900
1500 1000
600
500 0
300 0
TAHUN TAHUN
Produksi Aktual Produksi Lestari Produksi Optimal δ=15% Produksi Optimal δ=5,54%
(c) Kab. Indramayu
Produksi Aktual Produksi Lestari Produksi Optimal δ=15% Produksi Optimal δ=5,54%
(d) Kab. Cirebon
Gambar 52. Perbandingan Produksi Aktual, Lestari dan Optimal ( δ=15% dan δ=5,54%) di Empat Kabupaten Lokasi Penelitian Gambar 52 dan 53 di atas, seperti halnya untuk Pantura Jawa Barat secara keseluruhan, dapat dilihat bahwa untuk kabupaten Karawang apabila sumberdaya perikanan dikelola secara optimal maka produksi harus mengikuti trajektori optimal (garis biru), yaitu sebesar 1.221,27 ton untuk discount rate 15 % dan 1.253,25 ton untuk discount rate 5,54% (garis hijau). Sementara input yang harus
120 digunakan mengikuti trajektori optimal untuk masing-masing discount rate adalah pada level 36,93 ribu trip dan level 31,99 ribu trip. Demikian halnya juga untuk Kabupaten Subang, level produksi optimal yang harus dicapai sebesar 1.242,75 ton (δ=15%) dan 1.258,85 ton (δ=5,54%). Dengan input optimal yang harus dicapai sebesar 18,11 ribu trip (δ=15%) dan 16,33 ribu trip (δ=5,54%). Sementara untuk Kabupaten Indramayu level produksi optimal yang harus dicapai untuk masing-masing discount rate sebesar 4.113,04 ton (δ=15%) dan 4.162,82 ton(δ=5,54%) dan input yang harus digunakan sebesar 89,33 ribu trip (δ=15%) dan 80,77 ribu trip (δ=5,54%).
40000
35000
35000
30000
30000
25000
25000
20000
20000
15000
15000
10000
10000 5000
5000
0
0
TAHUN
TAHUN
St d. Eff ort
Std. Effort
Ef f ort Opt imal δ=15%
Effort Optimal δ=15%
Ef f ort Opt imal δ=5,54%
Effort Optimal δ=5,54%
(a) Kab. Karawang
(b) Kab. Subang 70000
120000
60000
100000
50000
80000
40000 60000
30000
40000
20000
20000
10000
0
0
TAHUN
St d. Eff ort
TAHUN Std. Effort
Ef fort Optimal δ=15%
Effort Optimal δ=15%
Ef fort Optimal δ=5,54%
Effort Optimal δ=5,54%
(c) Kab. Indramayu
(d) Kab. Cirebon
Gambar 53. Perbandingan Input Aktual dan Optimal ( δ=15% dan δ=5,54%) di Empat Kabupaten Lokasi Penelitian
121 Hal yang menarik dari Gambar 52 dan 53 di atas adalah ternyata secara umum pola yang terjadi hampir sama dengan kondisi Pantura Jawa Barat secara keseluruhan. Khusus untuk Kabupaten Cirebon, seperti hasil analisis sebelumnya memberikan warna tersendiri, dimana sejak awal periode pengamatan produksi aktualnya telah melebihi produksi lestarinya.
Bahkan memasuki tahun 1984
produksi aktual telah jauh melebihi produksi lestari maupun optimalnya. Kondisi ini secara jelas memperlihatkan bahwa hampir selama 22 tahun periode pengamatan di Kabupaten Cirebon telah terjadi economic overfishing. Keadaan ini sangat sulit sekali untuk kembali ke tingkat optimalnya maupun ke level lestarinya. Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa jika sumberdaya perikanan pelagis ini dikelola dengan baik, maka harus mengikuti trajektori optimal di atas, sehingga rente lestari dari sumberdaya perikanan pelagis tersebut dapat diperoleh. Tabel 15 dibawah ini adalah merupakan rente lestari optimal dari sumberdaya perikanan pelagis yang di peroleh di Pantai Utara Jawa Barat, apabila pengelolaannya mengikuti tajektori optimal.
122 Tabel 15. Rente Optimal Lestari di Pantai Utara Jawa Barat δ=15% Tahun
Rente Optimal
1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001
δ=5,54% PV Rente Optimal
6,039.26 6,780.91 7,379.93 7,414.46 7,709.39 7,834.67 8,020.01 8,805.81 9,974.66 11,454.57 12,264.33 13,307.30 13,581.73 14,487.65 15,014.11 16,488.80 18,570.98 20,491.05 32,442.26 45,466.46 49,302.76 46,902.24
Rente Optimal
40,261.76 45,206.10 49,199.52 49,429.72 51,395.95 52,231.16 53,466.75 58,705.42 66,497.72 76,363.78 81,762.19 88,715.32 90,544.89 96,584.36 100,094.04 109,925.31 123,806.52 136,607.00 216,281.75 303,109.75 328,685.04 312,681.57
PV Rente Optimal
6,486.63 7,283.14 7,926.64 7,963.68 8,280.42 8,415.02 8,613.99 9,457.97 10,713.30 12,302.60 13,172.14 14,292.64 14,587.29 15,560.12 16,124.93 17,709.27 19,945.27 22,005.19 34,844.04 48,830.29 52,952.33 50,375.07
117,087.24 131,464.64 143,080.17 143,748.71 149,466.00 151,895.64 155,487.12 170,721.42 193,380.82 222,068.59 237,764.18 257,989.90 263,308.54 280,868.64 291,063.80 319,661.98 360,022.94 397,205.62 628,953.82 881,413.20 955,818.15 909,297.36
60,000 54,000 RENTE (Juta rupiah)
48,000 42,000 36,000 30,000 24,000 18,000 12,000 6,000 2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
-
TAHUN Rente Optimal 15%
Rente Optimal 5,54%
Gambar 54. Perkembangan Rente Optimal Lestari di Pantai Utara Jawa Barat
123 Gambar 54 di atas memperlihatkan bahwa selama 22 tahun periode pengamatan rente optimal lestari dari sumberdaya perikanan pelagis di pantai Utara memperlihatkan suatu trend yang meningkat. Seharusnya rente tersebut di atas diterima oleh pemerintah sebagai wakil kepemilikan sumberdaya perikanan tersebut. Sehingga dari rente tersebut pemerintah dapat mengembalikan apakah dalam bentuk pembangunan sarana prasarana ataupun dalam bentuk lainnya. Tetapi ironisnya kondisi dilapangan memperlihatkan lain, dimana selama ini nilai rente tersebut hanya merupakan suatu nilai “lost rent”. Demikian halnya juga dengan Kabupaten Karawang, apabila sumberdaya perikanan pelagis di wilayah ini dekelola dengan mengikuti trajektori optimal, maka akan diperoleh nilai rente optimal lestari. Dimana rata-rata nilai rente optimal lestari yang diperoleh sebesar Rp. 917,53 juta (δ=15%) dan Rp. 991,51 juta (δ=5,54%).
Sementara rata-rata nilai rente optimal lestari yang diperoleh
untuk Kabupaten Subang sebesar Rp. 1.288,06 juta (δ=15%) dan Rp. 1.321,74 juta (δ=5,54%), Kabupaten Indramayu sebesar Rp. 3.825,89 juta (δ=15%) dan Rp. 3.948,93 juta (δ=5,54%) dan Kabupaten Cirebon sebesar Rp. 948,03 juta (δ=15%) dan Rp. 1.037.51 juta (δ=5,54%). Tabel 16, 18, 19 dan 20 di bawah ini menunjukkan trajektori rente optimal lestari setiap tahunnya untuk masing-masing kabupaten lokasi penelitian selama 22 tahun periode pengamatan.
124 Tabel 16. Rente Optimal Lestari di Kabupaten Karawang δ=15% Tahun 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001
Rente Optimal 320.85 360.27 392.09 394.01 409.69 416.45 426.20 467.90 530.27 608.93 651.79 707.58 722.05 770.31 798.34 876.61 987.14 1,088.92 1,724.76 2,417.03 2,621.16 2,493.38
PV Rente Optimal 2,139.01 2,401.78 2,613.93 2,626.76 2,731.24 2,776.34 2,841.31 3,119.31 3,535.15 4,059.51 4,345.24 4,717.17 4,813.69 5,135.43 5,322.24 5,844.06 6,580.91 7,259.48 11,498.38 16,113.55 17,474.37 16,622.51
δ=5,54% Rente Optimal 346.85 389.44 423.85 425.87 442.81 450.06 460.65 505.76 573.01 658.01 704.43 764.52 780.23 832.32 862.55 947.23 1,066.75 1,176.82 1,863.72 2,611.76 2,832.30 2,694.36
PV Rente Optimal 6,260.74 7,029.65 7,650.70 7,687.23 7,992.97 8,123.81 8,315.01 9,129.21 10,343.23 11,877.49 12,715.41 13,800.09 14,083.63 15,023.76 15,569.50 17,097.93 19,255.37 21,242.20 33,641.10 47,143.77 51,124.56 48,634.70
Tabel 17. Rente Optimal Lestari di Kabupaten Subang δ=15% Tahun 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001
Rente Optimal 450.62 505.95 550.66 553.23 575.23 584.58 598.40 657.04 744.26 854.66 915.06 992.93 1,013.42 1,081.00 1,120.27 1,230.33 1,385.98 1,529.72 2,421.05 3,392.80 3,679.53 3,500.53
δ=5,54% PV Rente Optimal 3,004.15 3,373.00 3,671.04 3,688.21 3,834.87 3,897.22 3,989.36 4,380.26 4,961.72 5,697.70 6,100.43 6,619.56 6,756.11 7,206.64 7,468.45 8,202.17 9,239.86 10,198.11 16,140.34 22,618.70 24,530.22 23,336.85
Rente Optimal 462.45 519.23 565.11 567.75 590.33 599.93 614.11 674.28 763.78 877.08 939.07 1,018.97 1,039.99 1,109.34 1,149.61 1,262.57 1,422.13 1,569.27 2,484.34 3,481.49 3,775.56 3,591.86
PV Rente Optimal 8,347.48 9,372.42 10,200.57 10,248.25 10,655.80 10,829.03 11,085.05 12,171.19 13,786.71 15,831.80 16,950.76 18,393.03 18,772.31 20,024.15 20,751.15 22,790.05 25,670.23 28,326.17 44,843.63 62,842.77 68,150.99 64,834.96
125 Tabel 18. Rente Optimal Lestari di Kabupaten Indramayu δ=15% Tahun
1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001
Rente Optimal
δ=5,54% PV Rente Optimal
1,338.14 1,502.51 1,635.33 1,642.97 1,708.33 1,736.13 1,777.20 1,951.33 2,210.39 2,538.36 2,717.86 2,949.05 3,009.84 3,210.89 3,327.70 3,654.38 4,116.84 4,541.09 7,193.32 10,079.79 10,929.80 10,398.37
8,920.96 10,016.75 10,902.20 10,953.12 11,388.84 11,574.18 11,848.01 13,008.84 14,735.94 16,922.41 18,119.07 19,660.36 20,065.61 21,405.96 22,184.64 24,362.55 27,445.58 30,273.94 47,955.47 67,198.63 72,865.32 69,322.48
Rente Optimal
PV Rente Optimal
1,381.46 1,551.12 1,688.21 1,696.09 1,763.56 1,792.24 1,834.63 2,014.38 2,281.78 2,620.30 2,805.55 3,044.21 3,106.96 3,314.34 3,434.76 3,772.11 4,248.94 4,687.18 7,423.56 10,402.78 11,280.52 10,731.81
24,936.11 27,998.57 30,473.07 30,615.40 31,833.15 32,350.94 33,116.04 36,360.66 41,187.35 47,297.91 50,641.67 54,949.72 56,082.39 59,825.64 61,999.30 68,088.64 76,695.69 84,606.19 133,999.22 187,775.78 203,619.48 193,715.00
Tabel 19. Rente Optimal Lestari di Kabupaten Cirebon δ=15% Tahun 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001
Rente Optimal 330.38 371.04 403.83 405.70 422.29 429.11 439.10 482.44 546.36 627.84 672.05 730.14 744.60 794.21 824.15 905.47 1,020.30 1,128.09 1,785.90 2,498.42 2,712.66 2,582.49
PV Rente Optimal 2,202.52 2,473.57 2,692.22 2,704.67 2,815.27 2,860.72 2,927.34 3,216.24 3,642.39 4,185.58 4,480.30 4,867.61 4,963.99 5,294.75 5,494.35 6,036.49 6,801.97 7,520.60 11,905.99 16,656.12 18,084.41 17,216.59
δ=5,54% Rente Optimal 362.33 406.87 442.83 444.88 462.82 470.31 481.35 528.68 598.79 687.84 736.37 799.50 815.67 870.04 902.20 991.03 1,116.41 1,232.96 1,952.17 2,733.48 2,965.99 2,822.61
PV Rente Optimal 6,540.26 7,344.19 7,993.24 8,030.40 8,354.07 8,489.43 8,688.70 9,542.94 10,808.50 12,415.92 13,291.86 14,431.36 14,723.24 15,704.70 16,285.14 17,888.57 20,151.83 22,255.53 35,237.77 49,340.72 53,537.73 50,949.70
126 Perbandingan rente ekonomi yang diperoleh antara rente lestari dan rente dalam kondisi pengelolaan optimal dapat dilihat pada Gambar 55. Hasil analisis sebagaimana disajikan pada Gambar 55 menunjukan bahwa apabila sumberdaya perikanan dikelola secara optimal maka rente ekonomi yang diperoleh secara keseluruhan lebih besar dari pada rente lestari
Hal ini ditunjukan dengan
perbedaan rente yang besar. Gambar 55 juga meperlihatkan bahwa pada awal periode pengamatan perbedaan antara rente optimal dengan rente lestari pada awal periode pengamatan memiliki nilai yang cukup besar, tetapi memasuki periode tahun 1990 an perbedaan ini menjadi sangat kecil, bahkan pada tahun 1994, 1996 dan tahun 1999 selisih ini bernilai negatif. Hal ini berimplikasi bahwa walaupun nilai ekonomi sumberdaya perikanan pelagis ini sudah sulit untuk ditingkatkan, tetapi dengan pengendalian input yang baik, dimasa yang akan datang masih dimungkinkan untuk meningktkan nilai ekonomi sumberdaya perikanan pelagis di Pantai Utara Jawa Barat. Pengendalian input ini sangat mendesak sekali, terutama dalam dekade terkahir periode pengamatan. Secara grafis perbedaan effort antara optimal effort dengan aktual effort dapat dilihat pada Gambar 55(b), dimana grafis tersebut memperlihatkan selama dekade terakhir dari periode pengamatan jumlah effort yang beroperasi terlalu banyak dibandingkan dengan tingkat effort yang optimal. Hal ini terlihat nilai persentase perbedaan effort yang negatif selama dekade terkahir periode pengamatan. Dilihat dari sisi depresiasi, meskipun nilai Present value dari rente yang diperoleh dalam pengelolaan optimal relatif lebih besar dari pada kondisi lesatri (Tabel 20), namun pengelolaan optimal ini akan menyebabkan rente sumberdaya tidak terdepresiasi, terbukti dengan nilai PVt − PVt −1 positif, artinya rente sumberdaya malahan terapresiasi. Hal ini membuktikan bahwa pengelolaan sumberdaya yang optimal dalam jangka panjang akan memberikan manfaat ekonomi yang lebih tinggi daripada kondisi aktual, sehingga perhitungan resource accounting
tidak akan mengalami distorsi yang banyak mengingat faktor
pengurang (depresiasi) makin tidak ada atau mengecil bahkan terapresiasi. Namun demikian dalam pengelolaan optimal inipun, nilai apresiasi harus tetap diperhitungkan dalam resource accounting.
127 Tabel 20. Perbedaan Present Value Rente Optimal dan Lestari di Pantai Utara Jawa Barat
1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001
PV Rente Lestari
PV Rente Optimal δ=15%
PV Rente Optimal δ = 5,54%
∆ PV Rente
∆ PV Rente
(1) 24,072.98 34,582.60 25,333.49 31,556.99 36,947.28 33,680.31 42,655.42 47,989.24 58,297.96 73,055.10 80,833.64 81,028.78 85,649.64 94,415.89 100,187.75 108,921.44 124,196.06 122,120.32 208,214.70 303,277.41 323,064.79 287,193.43
(2) 42,509.54 47,729.20 51,946.58 52,189.18 54,264.79 55,146.99 56,450.68 61,981.55 70,208.02 80,622.82 86,320.76 93,664.51 95,595.23 101,970.12 105,670.08 116,053.85 130,706.26 144,200.24 228,343.84 319,995.07 347,012.06 330,124.81
(3) 117,782.86 132,245.16 143,930.43 144,602.62 150,353.59 152,797.92 156,410.10 171,734.71 194,528.10 223,384.80 239,172.30 259,519.94 264,869.47 282,532.62 292,784.25 321,554.95 362,152.97 399,541.27 632,681.24 886,622.90 961,479.92 914,689.76
(2-1) 18,436.56 13,146.60 26,613.09 20,632.19 17,317.51 21,466.68 13,795.25 13,992.31 11,910.06 7,567.71 5,487.11 12,635.73 9,945.59 7,554.23 5,482.33 7,132.41 6,510.20 22,079.92 20,129.14 16,717.66 23,947.27 42,931.38
(3-1) 93,709.88 97,662.56 118,596.94 113,045.63 113,406.31 119,117.61 113,754.68 123,745.46 136,230.14 150,329.70 158,338.66 178,491.16 179,219.82 188,116.72 192,596.49 212,633.51 237,956.91 277,420.95 424,466.53 583,345.49 638,415.13 627,496.33
200 150 100 50 0 -50 -100
Persentase Perbedaan ( %)
100
1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000
Persentase Perbedaan ( %)
250
75 50 25 0 -25
TAHUN
(a)
1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000
Tahun
TAHUN
(b)
Gambar 55. Persentase Perbedaan Effort Optimal dengan Aktual (a) dan Rente Optimal dengan Lestari (b) di Pantai Utara Jawa Barat
128 Kemudian apabila kita lihat secara parsial,
Kabupaten Karawang
(Gambar 56)misalnya memperlihatkan suatu pola yang berbeda dibandingkan dengan Pantura Jawa Barat. Dimana perbedaan rente ekonomi yang diperoleh memiliki nilai negatif sejak awal periode pengamatan. Hal ini terjadi karena memang berdasarkan analisis sebelumnya, tingkat produksi aktual yang terjadi Kabupaten Karawang masih di bawah tingkat produksi optimalnya. Kondisi ini terjadi karena adanya faktor Adjacency (kedekatan). Dimana banyak nelayan karawang karena didorong kekuatan pasa, menjual (mendaratkan) ikannya di wilayah Jakartar. Hal ini juga mengindikasikan bahwa basis TPI di kabupaten Karawang relatif masih lemah.
-30 -70
2000
1996 1998
1994
1992
-7
1990
-3
1988
1 1986
10
5
1984
50
9
1982
90
13
1980
130
Persentase Perbedaan (%)
170
1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000
Persentase Perbedaan (%)
210
-11 -15
TAHUN
(a)
TAHUN
(b)
Gambar 56. Persentase Perbedaan Effort Optimal dengan Aktual (a) dan Rente Optimal dengan Lestari (b) di Kabupaten Karawang Berbeda halnya dengan pola yang diperlihatkan oleh Kabupaten Subang, dimana sejak awala periode pengamatan jumlah effort aktual yang digunakan sudah melebihi tingkat optimalnya, hal ini diperlihatkan dengan nilai perbedaan effort yang negatif. Tetapi dari sisi nilai rente ekonomi yang dihasil kan secara keseluruhan memberikan nilai perbedaan yang cukup besar, walaupun trend nya semakin menurun. Kondisi ini mengindikasikan bahwa dengan pengendalian input yang baik, masih dimungkinkan untuk meningkatkan nilai ekonomi dari sumberdaya pelagis di kabupaten Subang.
TAHUN
5 -15 -35 -55 -75 -95
130 100 70 40 10 -20
1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000
Persentase Perbedaan (%)
25
Persentase Perbedaan (%)
1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000
129
-50
-115
TAHUN
(a)
(b)
Gambar 57. Persentase Perbedaan Effort Optimal dengan Aktual (a) dan Rente Optimal dengan Lestari (b) di Kabupaten Subang Demikian halnya dengan Kabupaten Indramayu (Gambar 58) dan Kabupaten Cirebon (Gambar 59), memberikan pola yang sama dengan Kabupaten Karawang, dimana rente ekonomi sumberdaya perikanan pelagis di wilayah tersebut memberikan nilai yang negatif perbedaan antara rente optimal dengan
60
120 80 40 0 -40 -80
50 40 30 20 10 0 -10
1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000
240 200 160
Persentase Perbedaan (%)
280
1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000
Persentase Perbedaan (%)
rente lestari.
-20
TAHUN
T AHUN
(a)
(b)
Gambar 58. Persentase Perbedaan Effort Optimal dengan Aktual (a) dan Rente Optimal dengan Lestari (b) di Kabupaten Indramayu
60 50 40 30 20 10 0 -10 -20
1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000
Persentase Perbedaan (%)
450 390 330 270 210 150 90 30 -30 -90 -150
1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000
Persentase Perbedaan (%)
130
TAHUN
TAHUN
(a)
(b)
Gambar 59. Persentase Perbedaan Effort Optimal dengan Aktual (a) dan Rente Optimal dengan Lestari (b) di Kabupaten Cirebon 5.9 Analisis Kesejahteraan Produsen Analisis berikutnnya yang dilakukan untuk melihat keragaan ekonomi sumberdaya ikan di Pantai Utara Jawa Barat adalah melihat sampai sejauhmana dampak aktifitas perikanan tangkap terhadap kesejahteraan produsen (nelayan) sepanjang periode pengamatan.
Pada penelitian ini indikator kesejahteraan
nelayan diukur dengan menghitung surplus produsen.
Analisis ini dilakukan
secara numerik dengan menggunakan fungsi kurva suplai dari sumberdaya perikanan (backward bending supply curve).
Dimana pendekatan surplus
produsen dilakukan dengan menggunakan persamaan suplai perikanan sebagai berikut: S=
2c
α ± −4 β h + α 2
dimana c adalah biaya per unit effort, h adalah produksi lestari dan α dan β adalah koefisien biofisik. Dengan demikian S merupakan fungsi suplai perikanan yang tergantung pada hasil tangkapan (h). fungsi ini dikenal sebagai backward bending supply function. Dengan mengetahui kurva penawaran tersebut di atas, maka surplus produsen (PS) dapat didefinisikan sebagai berikut : h0
PS = p0 h0 − ∫ 0
2c a + − 4b + a 2
131 Untuk pemecahannya intergral di atas dilakukan secara analitik dengan program MAPLE 9,5.
Hasil integrasi dari persamaan di atas menghasilkan Surplus
Produsen yang secara eksplisit menghasilkan persamaan sebagai berikut: ⎛ 1 cα ln( h ) c − 4 β h + α 2 PS = P0 h0 − ⎜ + ⎜2 β β ⎝
h0
1 h0 cα ln(α − 4 β h + α 2 ) ⎞ ⎟ + 2 ⎟ β ⎠0
-
1 cα ln(α + − 4 β h + α 2 β 2
h0
0
0
Dengan menggunakan parameter biofisik dan ekonomi sebagaimana yang telah dihitung sebelumnya, maka diperoleh surplus produsen untuk setiap tahun baik secara agregrat (Pantai Utara Jawa Barat) maupun secara parsial (Kabupaten).
Secara detil surplus produsen yang seharusnya diterima oleh
nelayan pertahunnya dapat di lihat pada Tabel 21 di bawah ini. Tabel 21. Potensial Surplus Produsen di Lokasi Penelitian TAHUN 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001
Surplus Produsen (Rp. Juta) Pantura Jabar
Karawang
37,147.27 69,041.42 33,524.86 52,114.32 69,066.62 56,200.80 89,069.08 102,876.45 134,983.13 187,492.53 217,182.94 196,601.68 216,719.88 249,417.77 281,285.82 293,726.14 344,195.24 334,113.91 538,728.89 851,803.21 860,239.99 701,402.27
335.00 407.53 425.72 547.25 570.66 658.46 601.41 599.23 875.42 1,002.53 981.24 1,199.99 1,202.27 1,305.72 1,361.41 1,466.43 1,603.09 1,706.94 2,877.76 4,033.45 4,388.10 4,110.33
Subang 151.63 126.23 134.19 201.07 155.95 157.15 181.29 291.35 504.22 485.04 619.64 893.60 1,056.79 1,115.09 1,441.22 1,455.39 1,834.85 1,238.34 3,446.59 4,827.06 4,998.33 4,683.72
Indramayu 2,431.06 3,709.93 4,788.27 4,828.13 5,115.63 5,634.68 6,121.51 6,725.03 8,360.09 10,222.50 11,650.33 12,453.24 12,696.40 15,119.93 16,308.05 17,242.33 20,339.45 22,290.44 34,272.30 48,953.36 53,993.76 51,015.03
Cirebon 164.81 290.24 328.85 310.32 469.41 679.75 594.95 837.80 896.89 1,193.95 1,230.08 1,486.12 1,453.09 1,541.83 1,678.44 1,829.99 2,026.21 1,963.66 3,164.75 4,914.16 4,972.30 4,508.25
132 Tabel 21 di atas memperlihatkan bahwa sepanjang periode pengamatan nilai surplus produsen mengalami peningkatan. Peningkatakan tersebut secara tajam terjadi pada tahun 1997 an, dimana gejala ini terjadi untuk hampir semua wilayah yang dianalisis. Kemudian kalau kita hubungkan antara surplus produsen dengan upaya (effort) yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 60 berikut ini.
300
1,000,000 900,000 800,000 700,000
200
600,000 150
500,000 400,000
100
300,000
(Juta Rupiah)
(Ribu Trip)
250
200,000
50
100,000 2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
-
TAHUN Effort
Surplus Produsen
Gambar 60. Perbandingan antara Input (Effort) dengan Surplus Produsen di Pantai Utara Jawa Barat Gambar 60 di atas menunjukkan bahwa antara effort dan surplus produsen sepanjang periode pengamatan memperlihatkan suatu pola trend yang sama. Ini berarti bahwa peningkatan terhadap input yang digunakan akan meningkatan terhadap surplus produsen yang akan diterima. Berbeda halnya yang terjadi di Kabupaten Karawang, dimana Pola trend yang terjadi antara input dengan surplus produsen tidak memberikan trend yang sama. Hal ini terjadi seperti hasil analisis sebelumnya, bahwa di lokasi ini terjadi adanya faktor Adjacency.
2,500
12
2,000
9
1,500
6
1,000
3
500
-
-
Effort
(J uta Rupiah)
15
2000
3,000
1998
18
1996
3,500
1994
21
1992
4,000
1990
24
1988
4,500
1986
27
1984
5,000
1982
30
1980
(Ribu Trip)
133
TAHUNSurplus Produsen
Gambar 61. Perbandingan antara Input (Effort) dengan Surplus Produsen di Kabupaten Karawang Sedangkan
untuk
Kabupaten
Subang,
Indramayu,
dan
Cirebon
memberikan pola yang sama seperti Pantura Jabar secara agregrat (Gambar 62,
35
6,000
30
5,000
(Ribu Trip)
25
4,000
20 3,000 15 2,000
10
2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1,000
1980
5
(Juta Rupiah)
63, dan 64). Dimana antara input dan surplus produsen memilki trend sama.
TAHUN Effort
Surplus Produsen
Gambar 62. Perbandingan antara Input (Effort) dengan Surplus Produsen di Kabupaten Subang
120
60,000
100
50,000
80
40,000
60
30,000
40
20,000
20
10,000
2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
-
(Juta Rupiah)
(Ribu Trip)
134
TAHUN Effort
Surplus Produsen
70
6,000
60
5,000
(Ribu Trip)
50
4,000
40 3,000 30 2,000
20
(Juta Rupiah)
Gambar 63. Perbandingan antara Input (Effort) dengan Surplus Produsen di Kabupaten Indramayu
1,000
10
2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
-
TAHUN Effort
Surplus Produsen
Gambar 64. Perbandingan antara Input (Effort) dengan Surplus Produsen di Kabupaten Cirebon
135 Surplus produsen sebenarnya merupakan suatu gambaran (indikator) mengenai sampai sejauhmana kesejahteraan produsen (nelayan). Sehingga kalau kita lihat Tabel 21 atas, seharusnya indikator tersebut mencerminkan tingkat kesejahteraan nelayan di lokasi penelitian.
Artinya bahwa selama periode
pengamatan telah terjadi peningkatan kesejahteraan pada nelayan. Tetapi kenyataan memperlihatkan bahwa kondisi umumnya nelayan yang ada di lokasi penelitian tidak memperlihatkan hal demikian. Pertama yang menjadikan kondisi ini terjadi adalah
lemahnya kepemilikan modal dari nelayan sehingga yang
diuntungkan hanyalah “Juragan Darat”, yang notabenenya pemilik modal (aset). Kedua adalah nilai surplus produsen tersebut merupakan nilai potensial surplus produsen , hal ini mengandung pengertian bahwa potensial surplus produsen dapat dimiliki oleh nelayan apabila rezim pengelolaan perikanan tangkap kita dikelola secara benar. Analisis selanjutnya adalah untuk melihat sampai sejauhmana peluang untuk mengembangkan industri perikanan dengan melihat beberapa faktor penggerak (pemicu) yang terjadi pada perairan tersebut.
Ada tiga faktor
penggerak yang dilihat pada penelitian ini adalah : (a) teknological driven yaitu merupakan rasio antara produksi aktual dan lestari, (b) Social driven yaitu merupakan rasio antara tenaga kerja dengan produksi aktual, dan (c) economic driven yaitu merupakan rasio biaya dengan harga. Gambar 65 di bawah ini menggambarkan trajektori rasio produksi aktual dan lestari di Pantai Utara Jawa Barat.
136
1.40 1.30 1.20 1.10 1.00 0.90 0.80 0.70 0.60 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
0.00
TAHUN
Gambar 65. Trajektori Rasio Produksi Aktual dan Lestari di Pantai Utara Jawa Barat Dari Gambar 65 di atas dapat di lihat bahwa rasio produksi aktual dan lestari di Pantai Utara Jawa Barat memperlihatkan suatu trend yang meningkat selama periode pengamatan. Dimana rasio produksi aktual dan biomas rata-rata pertahun selama periode pengamatan sebesar 65,40%. Kemudian kalau kita analisis per kabupaten, ternyata nilai rasio produksi aktual dan biomas memperlihatkan nilai rataan yang lebih besar dibandingkan dengan nilai rasio di Pantai Utara Jawa Barat.
Dimana untuk Kabupaten
Karawang sebesar 71,26%, sementara untuk Kabupaten Subang sebesar 87,89%, Indramayu sebesar 95,69% dan Cirebon 112,89%. Hal yang menarik dari nilai tersebut adalah bahwa kondisi perairan Pantai Utara Jawa telah memperlihatkan suatu kondisi dimana stok ikannnya dari tahun ke tahun semakin menipis. kabupaten lokasi penelitian.
Kondisi ini juga terjadi untuk masing-masing
1.400
2 .2 5 0
1.200
2 .0 0 0 1.7 5 0
1.000
1.5 0 0
0.800
1.2 5 0 1.0 0 0
0.600
0 .7 5 0
0.400
0 .5 0 0
2001
1998
1995
TAHUN
T A H UN
(b) Kabupaten Subang
TAHUN
(c) Kabupaten Indramayu
2000
1998
2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
0.000
1996
0.200
1994
0.400
1992
0.600
1990
0.800
1986
1.000
3.000 2.750 2.500 2.250 2.000 1.750 1.500 1.250 1.000 0.750 0.500 0.250 0.000 1984
1.200
RASIO PRODACT PRODSUST
RASIO PRODACT PRODSUST
1.400
1982
1.600
1980
(a) Kabupaten Karawang
1988
1992
0 .0 0 0 1989
0.000 1986
0 .2 5 0 1983
0.200
1980
RASIO PRODACT PRODSUST
137
TAHUN
(d) Kabupaten Cirebon
Gambar 66. Trajektori Rasio Produksi Aktual dan Lestari di Empat Kabupaten Lokasi Penelitian Gambar 66 berikut ini memperlihatkan bagaimana trajektori rasio tenaga kerja dengan produksi aktual di pantai Utara Jawa Barat, dimana nilai ini menggambarkan “social driven” atau produktivitas nelayan di lokasi penelitian. Selama periode pengamatan pola yang terjadi adalah adanya kecenderungan nilai dari social driven ini hampir tidak berubah. Hal ini menindikasikan bahwa ratarata produktivitas nelayan di Pantai Utara Jawa Barat tidak mengalami peningkatan. Dengan rata-rata sebesar 1,88 atau dengan kata lain bahwa rata-rata setiap nelayan di Pantai Utara Jawa Barat hanya menghasilkan 1,88 ton ikan
138 setiap tahunnya.
Kalau nilai tadi dikonversikan kedalam bentuk pendapatan,
maka nelayan pantai Utara Jawa Barat pendapatan kotornya hanya sekitar Rp. 7.500.000,- per tahun.
Apabila dari pendapatan kotor tersebut 60% diterima
nelayan, hal ini berarti bahwa tingkat pendapatan nelayan di Pantai Utara Jawa Barat masih berada di bawah Upah Minimum Regional Jawa Barat ( Rp. 408.260 per bulan). Apalagi dengan kondisi sekarang dimana Bahan Bakar Minyak (solar) telah melebihi Rp. 5000 per liter di tingkat nelayan, akan memberikan dampak yang cukup kuat terhadap nelayan kaitannya dengan beban biaya yang harus dikeluarkan untuk menangkap ikan. Selama kondisi ini terus bertahan, maka akan sulit bagi nelayan keluar dari lingkaran kemiskinan yang selama ini melekat dalam kehidupan mereka.
0.900 0.800 0.700 0.600 0.500 0.400 0.300 0.200 0.100 2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
0.000
TAHUN
Gambar 67. Trajektori Rasio Tenaga Kerja dan Produksi Aktual di Pantai Utara Jawa Barat Analisis selanjutnya adalah melihat sampai sejauhmana social driven terjadi di empat kabupaten lokasi penelitian ( Gambar 67). Seperti dapat dilihat pada Gambar 68, pola yang sama juga terjadi untuk masing-masing kabupaten. Dimana produkstifitas nelayan di lokasi penelitian memperlihatkan suatu trend yang stabil.
Untuk Kabupaten Subang, seperti hasil analisis sebelumnya
139 fenomena yang terjadi adalah terjadinya peningkatan yang cukup signifikan selama 10 tahun terkahir periode pengamatan.
0.550
0.450
RASIO TENAGA KERJA PRODACT
0.500
0.400
0.450
0.350
0.400
0.300
0.350 0.300
0.250
0.250
0.200
0.200
0 . 15 0
0.150
0 . 10 0
0.100
0.050
0.050
0.000 2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
0.000
TAHUN
TA H U N
(a) Kabupaten Karawang
(b) Kabupaten Subang
1. 8 0 0
0.600
RASIO TENAGA KERJA PRODACT
1. 6 0 0 0.500
1. 4 0 0 1. 2 0 0
0.400
1. 0 0 0 0.300
0.800 0.600
0.200
0.400 0.100
0.200 0.000
TAHUN
(c) Kabupaten Indramayu
2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
0.000
TA H U N
(d) Kabupaten Cirebon
Gambar 68. Trajektori Rasio Produksi Aktual dan Tenaga Kerja Kemudian kalau kita bandingkan produktifitas antara satu Kabupaten dengan kabupaten lainnya, memberikan warna tersendiri. Dimana dari empat kabupaten lokasi penelitian Kabupaten Subang memberikan nilai yang relatif tinggi yaitu rata-rata sebesar 3,71 ton/ tenaga kerja. Sementara untuk kabupaten Karawang, Indramayu dan Cirebon selama periode pengamatan nilai rasio antara
140 produksi aktual dan tenaga kerja masing-masing sebesar 2,75 ton/tenaga kerja, 2,53 ton/ tenaga kerja dan 1,05 ton/ tenaga kerja.
Nilai rasio tersebut ternyata
masih di atas nilai rata-rata untuk Pantai Utara Jawa Barat secara keseluruhan (1,88 ton/ tenaga kerja) kecuali untuk Kabupaten Cirebon. Analisis selanjutnya adalah mengukur kelangkaan sumberdaya perikanan didasarkan kepada unit cost.
Aspek kelangkaan ini menjadi sangat penting,
karena dari sinilah kemudian muncul persoalan bagaimana mengelola sumberdaya yang optimal. Biasanya tingkat kelangkaan sumberdaya alam diukur secara fisik yaitu dengan cara menghitung sisa umur ekonomis. Pengukuran dengan cara ini memiliki kelemahan, karena dalam perhotungannya sama sekali tidak memasukan aspek ekonomi didalamnya. Menyadari akan kelemahan tersebut Hanleys et al. (1997) dalam Fauzi (2004b) menyarakan bahwa untuk menggunakan pengukuran moneter dengan cara menghitung harga riil, unit cost dan rente ekonomi sumberdaya. Seperti dikatakan sebelumnya bahwa dalam penelitian ini analisis kelangkaan yang dilakukan adalah dengan pendekatan pengukuran berdasarkan unit cost. Pengukuran ini didasarkan pada prinsip bahwa jika sumberdaya alam ini mulai langka, biaya untuk mengektraksinya juga menjadi semakin besar. Gambar 69 berikut ini menggambarkan trajektori dari rasio antara biaya ekstraksi yang dikeluarkan dengan harga riil ikan di Pantai Utara Jawa Barat.
0.15 0.14 0.12 Nilai Rasio
0.11 0.09 0.08 0.06 0.05 0.03 0.02 2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
0.00
TAHUN
Gambar 69. Trajektori Cost Price Rasio Pantura Jawa Barat
141 Seperti dapat dilihat pada Gambar 69 di atas, kecenderungan nilai ratio antara biaya dan harga ikan di Pantai Utara Jawa Barat menunjukkan suatu trend yang semakin meningkat. Peningkatan tersebut secara signifikan terutama terjadi pada 10 tahun terkahir periode pengamatan. Seperti halnya untuk Pantura Jabar, nilai rasio yang diberikan untuk masing-masing kabupatenpun memberikan pola yang berbeda. Walaupun selama 22 tahun periode pengamatan kencederungannya terjadi peningkatan . Dan peningktanan inipun secara signifikan terjadi mulai awal tahun 1990 an. Secara lebih jelas gambaran ini dapat dilihat pada Gambar 70 dibawah ini.
0.15
0.28
0.14
0.25
0.12
0.21
0.11
0.18
0.09
0.14
0.08 0.06
0.11
0.05
0.07
0.03
0.04
0.02
0.00
0.00
TA HUN
TA HUN
(a) Kabupaten Karawang
0.18
(b) Kabupaten Subang
0.28
0.15
0.25
0.13
0.21 0.18
0.10
0.14
0.08
0.11
0.05
0.07
0.03
0.04
0.00
0.00
TA HUN
(c) Kabupaten Indramayu
TA HUN
(d) Kabupaten Cirebon
Gambar 70. Trajektori Cost Price Rasio di Empat Kabupaten Lokasi Penelitian
142 Gambar 70 di atas memperlihatkan bahwa nilai price cost ratio untuk masing masing kabupaten sangat berbeda. Dengan rata-rata selama 22 tahun periode pengamatan untuk Kabupaten Karawang (0,15), Subang (0,05), Indramayu (0,10), dan Cirebon (014).
Nilai tersebut memberikan gambaran
bahwa biaya yang dikeluarkan untuk menangkap setiap satu kilogram ikan antara satu wilayah dengan wilayah lainnya di Pantura Jabar sangat bergam.
Dan
kondisi ini akan sangat terkait dengan efisiensi dari usaha perikanan untuk masing-masing wilayah.. 5.10
Analisis Konvergensi Sesuia dengan UU No 19 tahun 1999 tentang otonomi daerah, kemudian
sesuai dengan kebijakan politik untuk memacu desentralisasi, maka pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut akan lebih banyak didelegasikan kepada pemerintah daerah.
Kondisi ini setidaknya dapat memberikan dua implikasi: pertama
memberikan peluang yang lebih besar bagi daerah untuk mengelola dan memanfaatkan potensi pesisir dan kelautannya bagi kesejahteraan daerah. Kedua disisi lain juga menciptakan kemungkinan eksploitasi sumberdaya hanya untuk memacu pertumbuhan daerah. Tetapi kalau kita lihat lagi bahwa sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya yang mobilitasnya tinggi, sumberdaya ini hampir tidak mengenal batasan ekologi apalagi batasan administrasi. Sehingga dalam pengelolaannya perlu koordinasi antar satu wilayah dengan wilayah lainnya. Tabel 22 berikut ini memberikan gambaran hasil analisis kompetitif dan komplementari antara satu kabupaten dan kabupaten lainnya dan bagaimana masing-masing kabupten itu memberikan warna terhadap Perairan Pantai Utara Jawa Barat secara keseluruhan.
143 Tabel 22. Matrik Analisis Komplementari Kabupaten
Karawang
Subang
Indramayu
Cirebon
Pantura
Karawang
+
+
+
+
+
Subang
+
+
-
+
+
Indramayu
+
-
+
-
+
Cirebon
+
+
-
+
-
Tabel 22 di atas memperlihatkan bahwa tanda positif mengindikasikan antara satu wilayah dengan wilayah lainnya terjadi saling melengkapi (komplemen), artinya bahwa pertumbuhan / degradasi yang terjadi antara satu wilayah akan mempengaruhi pertumbuhan / degradasi wilayah lainnya.
Sebagai contoh
misalnya kondisi sumberdaya perikanan yang terjadi di kabupaten Karawang akan memicu secara positif kondisi sumberdaya perikanan di kabupaten Subang dan Kabupaten Indramayu.
Hal ini mengindikasikan bahwa pengelolaan
sumberdaya perikanan dan kelautan tidak bisa dipandang / dilakukan dalam konteks ruang yang spasial (kabupaten), tetapi harus dilakukan secara integral. Hal yang menarik lainnya dari hasil analisis di atas adalah adanya wilayah (kabupaten) yang seolah-olah terpisah keberdaanya dari kabupaten lainnya di wilayah Pantai Utara Jawa Barat yaitu Kabupaten Cirebon.
Kondisi ini
disebabkan karena adanya sifat Adjacenncy, yang berdekatan dengan wilayah potensial lainnya (Jawa Tengah) 5.11
Analisis Sistem Dinamis Seperti disampaikan pada Bab III terdahulu, sumberdaya perikanan
sebagai salah satu sumberdaya terbaharui merupakan sumberdaya alam yang bersifat sangat dinamis. Hal ini berarti bahwa antara stok ikan (X) dan effort (E) baik secara langsung maupun tidak langsung terjadi interaksi yang dinamis antara satu dengan lainnya. Peningkatan
effort panangkapan disatu pihak akan
144 berpengaruh terhadap stok ikan. Secara matematis hubungan tersebut ditunjukkan melalui sistem persamaan sebagai berikut : •
x = F ( X ) − qxE •
E = f ( x, E ) Dari persamaan SODE di atas, dapat dilihat bahwa perubahan terhadap waktu ( x&) tergantung pada stok ikan x dan E, demikian juga halnya dengan perubahan yang terajadi pada effort menurut waktu ( E&) tergantung pada perubahan stok ikan dan perubahan effort penangkapan ikan (E). Analisis sistem dinamis dalam penelitian ini dilakukan dengan dengan menggunakan model standar yang dikembangkan oleh Willen (Anna, 2003), yaitu dinamika biomass dengan effort. Secara matematis model tersebut dapat ditulis sebagai berikut :
x ) − qxE K E&= δπ ( x, E ) = ph − cE = E ( pqx − c) x&= rx(1 −
Persamanan di atas merupakan persamaan Willens’s open acces, dimana δ merupakan Willen’s adjusment coeficient yang diasumsikan sama dengan satu. Solusi keseimbangan dari kedua persamaan diatas dilakukan dengan mencari isocline x&=0 dan E&=0.
Isocline (demarcation curve) adalah kurva yang
membagi dua wilayah variabel x dan y , dimana variabel x dan y sendiri berada dalam kondisi keseimbangan (stationery) (Chiang, 1992). Isocline x&=0 dalam ruang (x,E) diperoleh melalui : x=0 ⎧ ⎪⎪ x&= 0⎨ ⎪E = r − r x ⎪⎩ q qK Sementara untuk isocline E&=0 di peroleh melalui :
⎧ E=0 ⎪⎪ E&= 0⎨ ⎪x = c ⎪⎩ pq
145 Berdasarkan nilai parameter biologi dan ekonomi r, q, K, p dan c yang diperoleh dari hasil perhitungan sebelumnya, maka analisis SODE ini dipecahkan melalui teknik numerik dengan menggunakan software Berkeley Madonna 8.0 dan Maple 9.5.
Hasil analisis
bagaimana trajektori dinamis antara effort dan biomas
sepanjang waktu dapat dilihat pada Gambar 71 berikut ini.
Biomas Effort
Gambar 71. Trajektori Dinamis Antara Effort dan Biomass di Pantai Utara Jawa Barat.
Gambar 71 di atas memperlihatakn bahwa di Pantai Utara Jawa Barat hubungan antara effort dan biomas sepanjang waktu bersifat timbal balik. Dimana pada awal-awal periode ketika tingkat effort masih rendah, level biomas masih relatif tinggi. Kemudian ketika effort mengalami peningkatan, yang terjadi pada biomas mengalami penurunan sampai kemudian mencapai tingkat steady state pada t > 70 dan seterusnya. Tingkat steady state effort sendiri akan dicapai pada t yang hampir bersamaan dengan tingkat steady state biomass. Namun demikian jelas terlihat bahwa pada saat biomas sudah mengalami penurunan, maka tingkat effort pun mengalami penurunan karena rente ekonomi yang dihasilkan akan mengalami penurunan. Pada analisis dinamis ini unit t (time) yang digunakan adalah tahun, dimana sebagai tahun 0 adalah tahun 2001.
146
Biomas Effort
Gambar 72. Trajektori Dinamis Antara Effort dan Biomass di Kabupaten Karawang
Pola yang sama juga terjadi di Kabupaten Karawang, dimana hubungan antara effort dan biomas bersifat terbalik. Dari Gambar 72 diatas juga dapat dilihat bahwa pola trajektori antara biomas dan effort tidak banyak mengalami perubahan, tetapi waktu yang ditempuh ke arah keseimbangan dimana trajektori biomass dan effort dicapai pada waktu t=8. Kemudian steady state effort dan bimoass dicapai setelah t > 40 Tetapi lain halnya untuk Kabupaten Subang, dimana waktu yang dicapai oleh effort dan biomas untuk mencapai steady state lebih pendek yaitu pada saat t > 30, seperti dapat dilihat pada Gambar 73 di bawah ini. Dimikian juga halnya dengan trajektori effort dan biomass di Kabupaten Indramayu(Gambar 70), memberikan pola yang hampir sama dengan Kabupaten Subang. Walaupun untuk
Kabupaten
Indramayu
waktu
yang
keseimbangan relatif lebih lama yaitu t > 50.
diperlukan
untuk
mencapai
147
Biomas Effort
Gambar 73. Trajektori Dinamis Antara Effort dan Biomass di Kabupaten Subang
Biomas Effort
Gambar 74. Trajektori Dinamis Antara Effort dan Biomass di Kabupaten Indramayu
148
Biomas Effort
Gambar 75. Trajektori Dinamis Antara Effort dan Biomass di Kabupaten Cirebon.
Selanjutnya analisis Phase Plane untuk model Perikanan Tangkap Pantai Utara Jawa Barat disajikan pada Gambar 76 di bawah ini.
Keterangan : Rata-rata selama periode pengamatan Rata-rata 3 tahun terakhir
Gambar 76. Analisis Phase Plane Pantai Utara Jawa Barat
149 Gambar 76 di atas memperlihatkan dengan jelas bahwa phase plane antara biomas dan effort memiliki sifat keseimbangan stable focus yaitu keseimbangan sistim akan dicapai dengan melalui penyesuaian antara effort dan biomas. Hal ini mengandung pengertian bahwa peningkatan biomas hanya bisa dicapai jika effort dikurangi. Dan gambaran di atas menunjukkan juga bahwa tingkat effort yang ada saat ini dapat dikatagorikan excessive (kelebihan) sehingga keseimbangan dapat dicapai dalam waktu yang relatif lama dimana pada saat biomas sudah mengalami penurunan. Garis solid hitam menggambarkan phase plane antara effort dan biomas dengan titik awal rata-rata effort dan biomas selama 22 tahun periode pengatamatan. Sementara garis solid merah merupakan suatu kondisi dimana titik awalnya rata-rata tiga tahun terakhir. Pola yang sama juga terjadi di Kabupaten Karawang, dimana phase plane antara biomass dan effort memiliki sifat keseimbangan stable focus.
Keterangan : Rata-rata selama periode pengamatan Rata-rata 3 tahun terakhir
Gambar 77. Analisis Phase Plane Kabupaten Karawang
Demikian halnya juga dengan Kabupaten Subang, phase plane antara biomas dan effort mempunyai keseimbangan yang bersifat stable focus (Gambar 78).
150
Keterangan : Rata-rata selama periode pengamatan Rata-rata 3 tahun terakhir
Gambar 78. Analisis Phase Plane Kabupaten Subang
Sementara untuk kabupaten Indramayu pola yang terjadi phase plane antara biomas dan effort memiliki sifat keseimbangan stable focus (Gambar 79) .
Keterangan : Rata-rata selama periode pengamatan Rata-rata 3 tahun terakhir
Gambar 79. Analisis Phase Plane Kabupaten Indramayu
151 Demikian juga halnya dengan Kabupaten Cirebon, phase plane antara effort dengan biomas keseimbangan yang terjadi adalah Stable focus (Gambar 80). cukup
Tetapi kondisinya sangat berbeda, dimana penurunan level effort yang tajam
merupakan
suatu
keharusan,
sampai
mencapai
titik
keseimbangannya.
Keterangan : Rata-rata selama periode pengamatan Rata-rata 3 tahun terakhir
Gambar 80. Analisis Phase Plane Kabupaten Cirebon
Kemudian kalau kita petakan posisi keempat lokasi penelitian tersebut terhadap kondisi Pantura Jawa Barat secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 81 berikut ini. Gambar 81 memperlihatkan bahwa walaupun phase plane antara biomas dan effort di empat kabupaten di atas memiliki sifat keseimbangan stable focus, tetapi posisi antara satu kabupaten dengan kabupaten lainnya terhadap Pantura Jabar sangat berbeda. Hal tersebut juga mengindikasikan bahwa seperti misalnya untuk Kabupaten Cirebon dan Indramayu penurunan effort merupakan suatu hal yang sangat mendesak sekali. Sementara untuk Kabupaten Karawang dan Subang penurunan effort relatif masih punya waktu yang relatif lebih longgar.
152
INDRAMAYU CIREBON
KARAWANG
SUBANG
Gambar 81. Analisis Phase Plane Posisi Keempat Kabupaten Terhadap Pantura Jawa Barat
5.12
Analisis Efisiensi
Efisiensi merupakan tujuan esensial dalam alokasi sumberdaya. studi ini analisis efisiensi dilakukan Envelopment Analysis (DEA).
Pada
dengan menggunakan teknik Data
Dimana teknik DEA yang digunakan adalah
merupakan DEA non konvensional pendekatan DEA dari Haynes and Dinc (1999) yang memungkinkan dilakukannya analisis efisiensi secara intertemporal . Hasil analisis untuk unit fisik dengan menggunakan software GAMS dan DEA-Solver disajikan pada
Tabel 23 dan 26.
Analisis dilakukan
dengan
menggunakan time reference terdiri dari tiga saat pengamatan yaitu di awal tahun pengamatan (1980), periode pertengahan (1990) dan periode akhir (2001). Analisis menunjukkan bahwa untuk kondisi dimana output yang dijadikan referensi adalah produksi aktual dan produksi lestari, tingkat efisiensi tertinggi terjadi pada awal periode periode analisis yaitu pada periode tahun 1980 sampai dengan tahun 1986, sedangkan skor efisiensi terendah terjadi pada tahun 2000. Hal ini dapat dijelaskan bahwa apabila kita melihat kondisi pada saat awal periode tahun pengamatan, yang telah dianalisis pada beberapa analisis sebelumnya baik yang menyangkut analisis sustainable yield-effort dengan Copes eye ball method, analisis dinamik untuk melihat trajektori ke arah keseimbangan, juga analisis laju
153 degradasi. Hasil analisis-analisis tersebut sejalan dengan hasil analisis DEA. Pada tahun-tahun yang disebutkan di atas memiliki tingkat efisiensi tertinggi karena memang berdasarkan analisis sebelumnya pada tahun-tahun tersebut baik tingkat effort maupun tingkat produksi berada pada trajektori menuju keseimbangan dan laju degradasi masih pada tingkat yang rendah. Tabel 23. Skor efisiensi unit fisik DEA Pantai Utara Jawa Barat Tahun 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 MStat-p MStat-d obj-check
1980
1990
1,000 0,998 0,990 0,961 0,951 0,952 0,929 0,845 0,834 0,828 0,836 0,856 0,795 0,775 0,707 0,686 0,647 0,619 0,622 0,610 0,578 0,898 1,000 1,000 -1.4211E-14
1,000 0,998 0,990 0,961 0,951 0,952 0,929 0,845 0,834 0,828 0,836 0,855 0,794 0,774 0,706 0,686 0,647 0,619 0,622 0,610 0,578 0,897 1,000 1,000 1.4211E-14
Skor DEA 2001 Min 1,000 0,998 0,990 0,961 0,951 0,952 0,929 0,845 0,834 0,828 0,836 0,855 0,794 0,774 0,706 0,686 0,647 0,619 0,622 0,610 0,578 0,897 1,000 1,000
1,000 0,998 0,990 0,961 0,951 0,952 0,929 0,845 0,834 0,828 0,836 0,855 0,794 0,774 0,706 0,686 0,647 0,619 0,622 0,610 0,578 0,897
Max
Avg
1,000 0,998 0,990 0,961 0,951 0,952 0,929 0,845 0,834 0,828 0,836 0,856 0,795 0,775 0,707 0,686 0,647 0,619 0,622 0,610 0,578 0,898
1,000 0,998 0,990 0,961 0,951 0,952 0,929 0,845 0,834 0,828 0,836 0,855 0,795 0,774 0,706 0,686 0,647 0,619 0,622 0,610 0,578 0,897
Gambar 82 di bawah ini memperlihatkan trajektori dari DMU (Decision Making Unit) selama periode pengamatan. Dari gambar di atas terlihat bahwa penurunan efisiensi yang cukup tajam sepanjang periode pengamatan. Hal ini disebabkan karena sepanjang pengamatan telah terjadi peningkatan pada jumlah input (fleet yang beroperasi). Peningkatan input ini walaupun diikuti dengan
154 peningkatan output, tetapi proporsi peningkatan output masih dibawah proporsi peningkatan input, sehingga tingkat efisiensinya menjadi rendah. Setelah periode tahun 2000 tingkat efisiensi meningkat secara tajam. Hal ini disebabkan oleh pada tahun 2001 terjadi penurunan input yang cukup signifikan. Penurunan input ini sebenarnay diikuti oleh penurunan output, tetapi proporsi penuruanan input jauh lebih tinggi dari penurunan output terhadap periode sebelumnya. Akibatnya pada tahun 2001 ini skor efisiensi menjadi meningkat tajam dibandingkan dengan tahun sebelumnya
1 0.9
Skor Efisiensi DEA
0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
0
TAHUN
Gambar 82. Trajektori skor efisien DEA Pantai Utara Jawa Barat
Kemudian apabila kita analisis efsisiensi DEA ini per kabupaten, ternyata memperlihatkan fenomena yang sama kecuali untuk Kabupaten Subang. Pada awal periode tahun pengamatan skor efisiensinya relatif tinggi. Fenomena ini dapat dijelaskan bahwa memang pada awal periode pengamatan di kabupaten Karawang, Indramayu dan Cirebon telah terjadi peningkatan produksi, walaupun peningkatan produksi ini diikuti juga oleh peningkatan input. Tetapi proporsi peningkatan input dan output ini masih seimbang, sehingga pada 3 tahun awal periode pengamatan skor efisiensi relatif tingg. Sementara untuk kabupaten Subang selama periode pengamatan tahun 1980 -1995 skor efisiensi semakin
155 rendah.
Hal ini dapat dipahami karena selama periode tersebut proporsi
peningkatan input tidak diimbangi dengan proporsi peningkatan output, dengan kata lain proporsi peningkatan input melebihi proporsi peningkatan output. Sedangkan setelah periode tahun 1995 terjadi peningkatan skor efisiensi yang sangat signifikan, hal ini terjadi karena pada periode tersebut proporsi peningkatan output jauh melebihi proporsi peningkatan input. Secara jelas dapat dilihat pada Tabel 24 dan Gambar 83 dibawah ini. Tabel 24. Skor efisiensi unit fisik DEA di Empat Lokasi Penelitian DMU 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001
Karawang 1,000 0,970 0,982 0,842 0,845 0,753 0,841 0,869 0,698 0,695 0,765 0,610 0,639 0,605 0,610 0,636 0,636 0,651 0,655 0,678 0,671 0,689
Skor DEA Subang Indramayu 0,616 0,637 0,646 0,609 0,642 0,642 0,630 0,590 0,538 0,564 0,535 0,484 0,450 0,456 0,993 0,412 0,879 0,756 0,951 0,916 0,922 0,967
1,000 0,962 0,923 0,903 0,846 0,819 0,820 0,833 0,794 0,768 0,758 0,690 0,731 0,697 0,694 0,655 0,631 0,480 0,480 0,515 0,539 0,537
Cirebon 0,989 0,969 0,997 1,000 0,906 0,974 0,926 0,879 0,808 0,816 0,778 0,639 0,697 0,635 0,651 0,558 0,465 0,384 0,412 0,408 0,342 0,429
156
1 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
1 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
TAHUN
TAHUN
(a) Karawang
1 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
(b) Subang
1 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
TAHUN
(c) Indramayu
TAHUN
(d) Cirebon
Gambar 83. Trajektori skor efisien DEA di Lokasi Penelitian
Untuk Kabupaten Subang, pada awal periode analisis yaitu tahun 1980 sampai pada tahun 1993, skor efisiensi terjadi penurunan. Tetapi memasuki tahun 1993, skor efisiensi secara tajam meningkat dari 0,456 pada tahun 1993 menjadi 0,993 pada tahun 1994. Walaupun pada tahun 1995 sempat terjadi penurunan secara signifikan, tetapi periode berikutnya mengalami peningkatan. Tabel 25 berikut ini memperlihatkan potensi perbaikan dari efisiensi pada setiap DMU di Pantai Utara Jawa Barat. Dari Tabel 25 terlihat bahwa tidak ada lagi ruang untuk peningkatan effort dari tahun ke tahun sepanjang periode pengamatan. Yang terjadi adalah perlunya penurunan effort. Hal ini dapat dilihat bahwa seluruh proyeksi dari effort berada dalam kisaran 0,00% sampai 50% dari
157 effort aktual. Ini berarti bahwa untuk meningkatkan efisiensi maka perlu perlu pengurangan effort sampai 50%. Sebaliknya, dengan meningkatkan efisiensi, potensi perbaikan output, dalam hal ini produksi dapat dilakukan dengan kisaran 0% sampai 6,03 persen untuk produksi aktual, dan 2,84 persen sampai 18,81 persen untuk produksi lestari. Hal ini berarti bahwa secara umum di pantai Utara Jawa Barat selama periode pengamatan telah terjadi kelebihan input, sehingga hal
2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
menyebabkan terjadinya economic overfishing (overfishing secara ekonomi).
10% TAHUN
Potensi Perbaikan Effort
0% -10% -20% -30% -40% -50% -60% -70% -80%
Gambar 84. Potensi Perbaikan Effort di Pantai Utara Jawa Barat
2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
10% 9% 8% 7% 6% 5% 4% 3% 2% 1% 0% -1%
TAHUN
Gambar 85. Potensi Perbaikan Produksi Aktual di Pantai Utara Jawa Barat
158
30% 25% 20% 15% 10% 5% 0% 2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
-5%
TAHUN
Gambar 86. Potensi Perbaikan Produksi Lestari di Pantai Utara Jawa Barat
Gejala yang sama juga dapat kita lihat secara parsial, dimana keempat kabupaten yang dijadikan lokasi penelitian memperlihatkan fenomena yang sama. Untuk effort tidak ada lagi ruang untuk ditingkatkan dari tahun ke tahun sepanjang periode pengamatan. Tetapi yang terjadi adalah seluruh nilai proyeksi effort di empat kabupaten tersebut berada di bawah nilai effort aktual. Ini berarti bahwa perlu adanya penurunan effort dengan kisaran 2,26 persen sampai 38,45 persen untuk Kabupaten Karawang, 0,26 persen sampai 69.48 untuk Kabupaten Subang, 6,01 persen sampai 53,68 persen untuk Kabupaten Indramayu dan 0,24 persen sampai 65,59 persen untuk Kabupaten Cirebon. Sebaliknya, dengan meningkatkan efisiensi, potensi perbaikan output, dalam hal ini produksi, untuk masing-masing kabupaten dapat dilakukan dengan kisaran 0,63 persen sampai 67,43 persen, 1.39 persen sampai 17,78 persen, dan 1,09 persen sampai 20,79 persen untuk produksi aktual.
Kemudian untuk produksi lestari masing-masing kabupaten dapat
ditingkan dengan kisaran 1,23 persen sampai 6,35 persen, 0.47 persen sampai 78.64 pesen. kecuali untuk Kabupaten Cirebon, dimana produksi aktual sama sekali tidak ada lagi ruang untuk ditingkatkan, sementara untuk produksi lestari dengan adanya perbaikan efisiensi ini, dapat ditingkatkan sebesar kisaran 1,17 persen sampai dengan 35,58 persen. Gambar 87, 88 dan 89 berikut ini memperlihatkan secara detil potensi perbaikan effort, produksi aktual dan produksi lestari yang dapat dilakukan di empat kabupaten terpilih.
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
1989
1988
1987
1986
1985
1984
1983
1982
1981
1980
159
10% TAHUN 0%
Perbaikan Effort
-10% -20% -30% -40% -50% -60% -70% -80% Karawang
Subang
Indramayu
Cirebon
Gambar 87. Potensi Perbaikan Efisiensi dari Effort 159
160
75%
55% 45% 35% 25% 15%
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
1989
1988
1987
1986
1985
1984
1983
1982
-5%
1981
5% 1980
Perbaikan Produksi Aktual
65%
-15% TAHUN Karawang
Subang
Indramayu
Cirebon
Gambar 88. Potensi Perbaikan Efisiensi dari Produksi Aktual 160
161
80% 70%
50% 40% 30% 20% 10%
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
1989
1988
1987
1986
1985
1984
1983
1982
-10%
1981
0% 1980
Perbaikan Produksi Lestari
60%
TAHUN Karawang
Subang
Indramayu
Cirebon
Gambar 89. Potensi Perbaikan Efisiensi dari Produksi Lestari 161
162 Gambar 90 berikut ini memperlihatkan posisi relatif analisis frontier, dimana empat kabupaten terplih dijadikan sabagai DMU (Decision Making Unit). Hasil analisis memperlihatkan bahwa dari keempat kabupaten yang dipilih sebagai DMU, hanya Kabupaten Subang secara relatif berada pada garis frontir. Ini berarti bahwa selama periode pengamatan secara relatif Kabupaten Subang lebih efisien dibandingkan dengan tiga kabupaten lainnya.
Gambar 90. Analisis Relatif Efisiensi Fisik Frontir
163
Gambar 91. Analisis Relatif Efisiensi Moneter Frontir
Kemudian hasil analisis potensi perbaikan effort , produksi aktual dan produksi lestari dengan lokasi (kabupaten) sebagai DMU dapat dilihat pada Tabel 25 dan Gambar 92 di bawah ini. Dari Tabel 25 dapat dilihat bahwa sesuai dengan hasil analisis sebelumnya, selama periode pengamatan telah terjadi kelebihan input untuk seluruh lokasi. Sehingga hasil analisis memperlihatkan bahwa untuk meningkatkan efisiensi, maka perlu dilakukan pengurangan input untuk masingmasing kabupaten sebesar 56,38 persen ( Karawang), 8,60 persen (Subang), 46,51 persen (Indramayu) dan 58,57 persen (Cirebon). Sedangkan untuk produksi aktual, dikeempat kabupaten terpilih sudah tidak ada lagi ruang untuk meningkatkan produksi aktual. Tetapi setidaknya, dengan adanya perbaikan efisiensi dari effort dapat meningkatkan produksi lestari sebesar 3,34 persen untuk Kabupaten Karawang, 24.23 persen untuk Kabupaten Subang, 6.49 persen untuk Kabupaten Indramayu, dan untuk Kabupaten Cirebon sebesar 67.24 persen.
164 Tabel 25. Potensi Perbaikan Efisiensi Fisikdari DMU (Lokasi Penelitian) No
DMU
Parameter Effort
1
2
3
Pantura
Karawang
Subang
Indramayu
Cirebon
Perbedaan
Persen (%)
111.193,70
0,00
0,00
Produksi Aktual
14.803,63
14.803,63
0,00
0,00
Produksi Lestari
14.586,22
14.586,22
0,00
0,00
Effort
21.347,82
9.312,21
-12.035,61
-56,38
Produksi Aktual
1.239,77
1.239,77
0,00
0,00
Produksi Lestari
1.180,94
1.221,56
40,62
3,44
Effort
9.350,54
8.546,26
-804,28
-8,60
Produksi Aktual
1.137,8
1.137,80
0,00
0,00
Produksi Lestari
902,4
1.121,09
218,69
24,23
56.223,44
30.072,02
-26.151,42
-46,51
Produksi Atrual
4003,6
4.003,60
0,00
0,00
Produksi Lestari
3.704,27
3.944,80
240,53
6,49
37.250,37
15.431,40
-21.818,97
-58,57
Produksi Aktual
2.054,44
2.054,44
0,00
0,00
Produksi Lestari
1.210,4
2.024,27
813,87
67,24
Effort 5
Proyeksi
111.193,70
Effort 4
Skor Data
n bo C ire
In
dr am ay u
g an Su b
K ar
aw
an g
a tu r
80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% -10% -20% -30% -40% -50% -60% -70%
Pa n
Potensi Perbaikan
165
DMU Lokasi
Effort
Produksi Lestari
Gambar 92. Potensi Perbaikan Efisiensi Fisikdari DMU (Lokasi Penelitian)
Pengertian dari pengurangan effort itu sendiri tidak identik dengan pengurangan jumlah nelayan yang ada.
Tetapi bagaimana kita mampu
memanfaatkan investasi modal tersebut (input yang berlebihan) untuk dapat diinvestasikan, yang mampu mendukung pertumbuhan ekonomi regional di wilayah pesisir.
Tabel 26 berikut ini kemungkinan investasi yang dapat
dilkakukan akibat dari kelebihan effort yang digunakan. Tabel 26. Opportunity Cost dari Effort di Lokasi Penelitian
Kabupaten
Kelebihan Effort (trip/tahun)
Nilai (Juta Rp)
PDRB 2001 (Juta Rp) Persentase Harga Kontan 1993
12,035.61
3,456.19
116,306.00
2.97
804.28
230.13
34,127.00
0.67
Indramayu
26,151.42
7,070.32
128,334.00
5.51
Cirebon
21,818.97
6,050.15
57,034.00
10.61
Karawang Subang
166 Dari tabel 26 di atas dapat dilihat bahwa telah terjadi opportunity cost yang cukup signifikan akibat dari penggunaan input (effort), yang melebihi titik optimalnya. Seperti misalnya Kabupaten Cirebon, hasil analisis menunjukkan bahwa apabila level efisien dari input yang digunakan ini dapat tercapai, maka kelebihan input yang terjadi (21.818,97 trip) apabila kita konversikan kedalam bentuk moneter mencapai nilai enam milyar rupiah. Nilai tersebut apabila kita bandingkan dengan nilai PDRB perikanan Kabupaten Cirebon pada Tahun 2001 dengan harga konstan (1993) mencapai 10,61%. signifikan
sekali
apabila
diinvestasikan
dalam
Nilai tersebut akan sangat bentuk
investasi
untuk
pengembangan income alternative, seperti meningkatkan nilai tambah dari industri ikan itu sendiri. Sehingga pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut diharapkan dapat tumbuh dengan baik. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Harrod-Domar bahwa investasi memainkan peran ganda (dual role) yaitu di satu sisi, investasi akan meningkatkan kemampuan produktif (productive capacity) dan perekonomian (Klasik) dan di sisi lain, investasi akan menciptakan atau meningkatkan permintaan (demand creating) di dalam perekonomian (Keynes) (Romer, 1996) dengan kata lain investasi merupakan faktor penentu yang sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi. Bahkan mereka mengatakan bahwa investasi merupakan kekuatan sentral dibalik pertumbuhan ekonomi.
167
6. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1
Kesimpulan
Hasil penelitian dengan pendekatan analisis model hybrid yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa karakteristik wilayah (kabupaten) terhadap kondisi perikanan Pantura Jawa Barat secara keseluruhan memberikan warna tersendiri. Dan kondisi ini tidak dapat dilihat apabila kita menggunakan model konvensional (lump model). 1.
Setiap
wilayah
memberikan
kontribusi
overfishing
yang
berbeda.
Karakaterisk tersebut terlihat dari: pertama adanya sifat adjacency, yaitu yang berkaitan dengan market yang lebih baik sehingga hal ini dapat menimbulkan overfishing. Kedua, adanya fleet migration yang diakibatkan oleh telah padatnya wilayah penangkapan dan adanya pemburuan ikan yang bernilai ekonomi tinggi. 2.
Demikinan halnya juga dengan laju degradasi, untuk setiap wilayah memberikan kontribusi degradasi yang berbeda. Dimana secara keseluruhan di Pantai utara Jawa Barat sumberdaya perikanan pelagis telah terdegradasi sebesar 26%. Kontribusi untuk masing-masing kabupaten terhadap laju degradasi ini juga berbeda. Kabupaten Cirebon (26%), Indramayu (26%) dan Karawang (26%) memberikanan kontribusi yang relatif paling tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Subang (24%).
3.
Akibat dari ektraksi yang tidak berkelanjutan tersebut di atas telah menimbulkan sumberdaya ikan terdepresiasi.
Masing-masing wilayah
terdepresiasi dengan nilai yang berbeda. Kabupaten Indramayu dengan laju degradasi sebesar 26% telah mengakibatkan sumberdaya perikanan pelagis terdepresiasi sebesar Rp. 4,36 milyar ( δ =15 %) dan sebesar Rp. 11,82 milyar ( δ =5,54%). 4.
Demikian halnya juga dengan hasil analisis dinamik, setiap wilayah memberikan karakteristik tersendiri. Hal ini dapat dilihat dari waktu (t) yang diperlukan untuk mencapai steady state (keseimbangan) oleh setiap wilayah
168 yang berbeda. Misalnya waktu yang diperlukan oleh Kabupaten Subang, untuk mencapai steady state relatif lebih cepat (t>30) dibandingkan dengan dengan Kabupaten Cirebon dan Indramayu yang memerlukan waktu (t>60) relatif lebih lama.
Hal ini sangat terkait dengan kondisi sumberdaya
perikanan itu sendiri. Dimana Kabupaten Subang merupakan wilayah yang relatif efisien dan memiliki tingkat degradasi yang relatif lebih rendah. 5.
Dari Aspek efisiensi, masing-maing kabupaten memperlihatkan tingkat efisiensi yang berbeda. Untuk Perairan Pantai Utara Jawa Barat tingkat efisiensi tertinggi terjadi pada tujuh tahun pertama periode pengamatan yaitu pada tahun 1980 sampai dengan 1986, sedangkan skor efisiensi terendah terjadi pada tahun 2000. Hal ini juga terjadi secara spasial, dimana tingkat efisiensi tertinggi terjadi pada tahun 1980 (Kab. Karawang, Cirebon dan Indramayu), sedangkan tingkat efsiensi terendah untuk ketiga kabupaten tersebut terjadi pada tahun 1993, 1997, dan 2000.
Sementara untuk
Kabupaten Subang, tingkat efisiensi tertinggi terjadi pada akhir periode pengamatan (tahun 2001)dan tingkat efisiensi terendah terjadi pada tahun 1995. 6.
Kemudian untuk potensi perbaikan dari efisiensi pada setiap DMU juga memberikan karakteristik yang berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Dimana untuk setiap wilayah dapat dikategorikan sudah tidak ada ruang lagi untuk peningkatan effort dari tahun ke tahun sepanjang periode pengamatan. Seluruh proyeksi dari effort harus ada pengurangan mencapai kisaran 70%, dimana proporsi pengurangan effort tertinggi terjadi di Kabupaten Cirebon, dengan rata-rata 59%. Pengurangan effort ini, walaupun tidak dapat merubah potensi perbaikan output (produksi aktual) secara signifikan, tetapi hal ini dapat meningkatkan efisiensi dan meningkatkan produksi lestari. Akibat dari penggunaan effort yang berlebihan ini, opportunity cost dari kegiatan perikanan tangkap pelagis ini rata-rata per tahun telah mencapai kisaran 0,7% sampai 10,6 dari nilai PDRB Perikanan di masing-masing kabupaten.
169 6.2.Saran
1.
Dalam kontek regional, overfishing bisa sebagai akibat dan bisa sebagai penyebab. Unstuk itu upaya mencapai pengelolaan perikanan yang optimal, yang mampu memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat dan negara, maka dalam upaya menuju ke sana faktor penyebab keragaan perikanan tersebut manjadi rendah harus diselesaikan. Misalnya adanya sifat Adjacency, maka yang dapat dilakukan adalah memperbaiki infrastruktur , sehingga market aktractive dapat diperoleh dengan baik. Apalagi sekarang dengan dukungan politik yang cukup kental dengan desentralisasinya, dimana secara ilmu ekonomi tujuan dari desentralisasi adalah untuk mengurangi transaction cost. Untuk dapat menekan biaya transaksi (transaction cost) maka rent seeking behavior harus dihilangkan/ ditekan.
Untuk dapat
menekan/menghilangkan rent seeking behavior maka tidak boleh terjadi asymetric information.
Kemudian untuk menjamin terjadi symetric
information maka harus ditumbuh kembangkan kelembagaan di sektor perikanan menjadi lebih kuat dan baik. 2.
Untuk analisis efisiensi, pengembangan model ke depan dapat dilakukan dengan mempertimbangkan aspek ketidakpastian dan aspek seasonal variation (keragaman musim). Untuk aspek seasonal variation, misalnya dapat dikembangkan dengan mengembangkan lebih lanjut model perikanan dinamik terbaru seperti model Homans-Willen (Heap, 2003). Dimana model ini menjembatani model yang stochastik menjadi deterministik dengan terlebih dahulu memasukkan faktor seasonal variation dalam model.
3.
Selain pengendalian input dan output, dalam upaya mempertahankan/ meningkatkan stok biomas, maka perlu upaya pengkayaan stok terutama untuk jenis-jenis ikan yang telah melampaui kapasitasnya.
170 DAFTAR PUSTAKA
Alder, J.A. and Kay, R.C. 1999. Costal Planning and Management. An Imprint of Routledge. London and New York. Amman, H. M. and A. K. Duraiappah. 2001. Land Tenure and Conflict Resolution : A Games Theoretic Approach in The Narok District in Kenya. Working Paper No. 37. International Institut for Environment and Development, London. Anderson, K., and Ursin, E. 1977. A multispecies extension to the Beverton and Holt theory of fishing, with account of phosphorous circulation and primary production. The Danish Institute of Fisheries and Marine Research. Anna, S. 2003. Model Dinamik Embedded Ekonomi Interaksi PerikananPencemaran. Disertasi Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor (IPB). Bogor. Aziz, K.A., M. Boer, J. Widodo, N. Naamin, M.H. Amarullah, B. Hasyim, A. Djamali, dan B.E. Priyono. 1998. Potensi, Pemanfaatan dan Peluang Pengembangan Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya Perikanan Laut- Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Fakultas Perikanan dan Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Badan Pusat Statistik. 2002. PDRB Kabupaten/ Kota di Jawa Barat 2000-2001. Bandung. Badan Pusat Statistik. 2001. PDRB Kabupaten/ Kota di Jawa Barat 1997-2000. Bandung. Badan Pusat Statistik. 2000. PDRB Kabupaten Karawang Menurut Lapangan Usaha 1995-1999. Karawang. Badan Pusat Statistik. 2002. PDRB Kabupaten Karawang Menurut Lapangan Usaha 1997-2001. Karawang. Badan Pusat Statistik. 2000. PDRB Kabupaten Karawang Menurut Lapangan Usaha 1995-1999. Karawang. Badan Pusat Statistik. 1985. Kabupaten Daerah Tingkat II Karawang Dalam Angka Tahun 1984. Karawang Badan Pusat Statistik. 1985. Kabupaten Daerah Tingkat II Karawang Dalam Angka Tahun 1984. Karawang. Banker, R.D., A. Charnes, and W.W.Cooper. 1984. Some Models for Estimating Technical and Scale Inefficiencies in Data Envelopment Analysis. Management Science 30: 1078-1092.
171
Beasley, J.E. 2000. Data Envelopment http://mscmga.ms.ic.ac.uk/jeb. 14pp.
Analysis,OR
Notes.
Bromley, D.W. and M. Cernea. 1989. The Management of Common Property Natural Resources. World Bank Discussion Papers 57. Brown, B.,Brennan, J., Grosslein, M., Heyersdahl, E., and Hennemuth, R. 1976. The Effect of Fishing on the Marine Finfish Biomass in the Northwest Atlantic from the Gulf of Maine to Cope Hatteras. Int. Comm. Northwest, Atl. Fish. res. Bull. 12: 49-68. Charnes A., Cooper W.W. and Rhodes E. 1978. Measuring the Efficiency of Decision Making Units. Eur Journal. Opl. Res 2:429-444. Clark, C., and G. Munro. 1975. The Economics of Fishing and Modern Capital Theory: A Simplified Approach. Journal of Environmental Economics and Management 2:92-106. Clark, C.W. 1990. Mathematical Bioeconomics The Optimal Management of Renewable Resources .2nd ed. John Wiley & Sons, Inc. New York. P
P
Clarke, R.P., S.S. Yoshimoto, and S.G. Pooley. 1992. A Bioeconomic Analysis of the North-WesternHawaiian Island Lobster Fishery. Marine Resource Economics 7(2):115-40. Coelli et.al. 1998. An Introduction to Efficiency and Productivity Analysis. Kluwer Academic Publishers. London. Conrad, J.M, and Clark, C.W. 1987. Natural Resource Economics, Notes and Problem. Cambridge University Press. New York. Cunningham, S., M.R. Dunn, and D. Whitmarsh. 1985. Fisheries Economics An Introduction. Mansell Publishing Limited, London. Dahuri, R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasisi Kelautan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 18 Januari 2003. Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, dan M.J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Dendrinos, D and Michael Sonis. (1988). Nonliniear Discrete Relative Population Dynamics of the US Regions. Applied mathematics and Computations.
172 Depnakertrans, 2005. Upah Minimum Propinsi, http://www.nakertrans.go.id/ pusdatinnaker/upah/ UMP %202005.htm HTU
UTH
Dickey, D.A., D.W. Jensen, and D.L. Thornton. 1994. A Primer on Cointegration with an Application to Money and Income. In B.B. Rao (Ed) Cointegration for the Applied Economist. pp:9-45. St. Martin's Press, Inc. New York. U
U
Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Barat. 1981. Satatistika Perikanan Tahun 1980. Bandung. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Barat. 1982. Satatistika Perikanan Tahun 1981. Bandung. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Barat. 1983. Satatistika Perikanan Tahun 1982. Bandung. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Barat. 1984. Satatistika Perikanan Tahun 1983. Bandung. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Barat. 1985. Satatistika Perikanan Tahun 1984. Bandung. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Barat. 1986. Satatistika Perikanan Tahun 1985. Bandung. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Barat. 1987. Satatistika Perikanan Tahun1986. Bandung. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Barat. 1988. Satatistika Perikanan Tahun 1987. Bandung. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Barat. 1989. Satatistika Perikanan Tahun 1988. Bandung. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Barat. 1990. Satatistika Perikanan Tahun 1989. Bandung. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Barat. 1991. Satatistika Perikanan Tahun 1990. Bandung. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Barat. 1992. Satatistika Perikanan Tahun1991. Bandung. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Barat. 1993. Satatistika Perikanan Tahun 1992. Bandung. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Barat. 1994. Satatistika Perikanan Tahun 1993. Bandung.
173 Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Barat. 1995. Satatistika Perikanan Tahun 1994. Bandung. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Barat. 1996. Satatistika Perikanan Tahun 1995. Bandung. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Barat. 1997. Satatistika Perikanan Tahun 1996. Bandung. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Barat. 1998. Satatistika Perikanan Tahun 1997. Bandung. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Barat. 1999. Satatistika Perikanan Tahun 1998. Bandung. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Barat. 2000. Satatistika Perikanan Tahun 1999. Bandung. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Barat. 2001. Satatistika Perikanan Tahun 2000. Bandung. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Barat. 2002. Satatistika Perikanan Tahun 2001. Bandung. Dinc, M., and K.E. Haynes,. 1999a. Regional Efficiency in the Manufacturing Sector: Integrated Shift-Share and Data Envelopment Analysis. Economic Development Quarterly. Sage Publications, Inc. Baverly Hills, CA. Vol 13 No. 2: 183-199. Dinc, M., and K.E. Haynes,. 1999b. Sources of regional Inefficiency, An Integrated Shift-Share, Data Envelopment Analysis and Input-Output Approach. The Annals of Regional Science. Springer-Verlag. Vol. 33: 469-489. Dinc, M., and K.E. Haynes,. 1998. International Trade and Shift-Share Analysis: A Specifications Note, Rejoinder. Economic Development Quarterly. Sage Publications, Inc. Baverly Hills, CA. Vol 12 No. 4: 351-354. Dupont, D.P., and S.A. Phipps,. 1989. Incorporating Equity Cosiderations Into Fisheries Policy Assesment. Paper Presented at an AERE session of the Allied Social Science Associations meeting in Atlanta, Georgia. December 28-30. Enders, W. 1995. Applied Econometrics Time Series. John Wiley and Son Inc. New York FAO, 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries. Rome, Italy.
174 FAO, 1996. Integration of Fisheries and Into Coastal Area Management. Rome, Italy. FAO. 1998. Assessing Excess Fishing Capacity at World-WideLevel. Rome: Food and Agriculture Organization of the United nation. FAO. 1999. Indicator for Sustainable Development of Marine Capture Fisheries. FAO Technical Guidelines for Responsible Fisheries No.8. Rome. FAO. 2000. The State of World Fisheries and Aquaculture. FAO Fisheries Department. Rome. Fauzi, A. 1998. The Management of Competing Multi Species Fisheries: A Case of A Small Pelagic Fishery On The North Coast of Central Java. Thesis. Departement of Economics, Simon Fraser University, Vancouver, Canada. Fauzi, A. 2000a. Menggagas penerimaan Negara Melalui Fishing Fee. Media Indonesia. November 16. Jakarta. Fauzi, A. 2000b. Persepsi Terhadap Nilai Ekonomi Sumberdaya. Paper Presented at the Training for Trainers on Integrated Coastal Zone Management (ICZM). Proyek Pesisir. Bogor. November 2000. Fauzi, A. 2001a. Prinsip-Prinsip Penelitian Sosial Ekonomi : Panduan Singkat. Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan dan Kelautan, IPB. Bogor. Fauzi, A. 2001b. An Econometric Analysis of the Surplus Production Function: An Application for Indonesian Small Pelagic Fishery. Paper presented at the National Seminar organized by Persada (Japanese Alumni Association). Bogor January 2001. Fauzi, A., and S. Anna,. 2002. Data Envelopment Analysis (DEA) Kapasitas Sumberdaya Perikanan Pesisir. Working Paper Series: WP02/SEI/01. Department Socio-Economics of Marine and Fisheries. Faculty of Fisheries and Marine Sciences. Bogor Agricultural University (IPB). Bogor. Fauzi, A. 2002. Mencari Penerimaan Negara Melalui “Fishing (User)Fee”. Warta Pesisir dan Lautan. PKSPL-IPB. Bogor. Fauzi, A., and Suzy Anna. 2003. Assessment of Sustainability of Integrated Coastal Management Projects: A CBA-DEA Approach. Journal of Coastal and Marine Resources, Special Issue (Forthcoming).
Fauzi, A. 2004a. Pemodelan Bioekonomi Untuk Sumberdaya Ikan. Paper disampaikan pada Apresiasi Monitoring dan Evaluasi Sumberdaya Ikan
175 Demersal di Wilayah Pengelolaan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Departemen Kelautan dan Perikanan, Puncak, Bogor, 9 Juni 2004. Fauzi, A. 2004b. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Teori dan Aplikasi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Fauzi, A. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan. Isu, Sintesis dan Gagasan. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Fauzi, A., and Suzy Anna. 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Froyen, Richard T. 1996. Macroeconomics : Theories and Policies. Fifth Edition. New Jersey : Prentice-Hall, Inc. Garcia, J.G., and L. Soelistianingsih. 1998. “Why do Differences in Provincial Incomes Persist in Indonesia?”. Bulletin of Indonesian Economics Studies 34(1): 95-120. Green, W. H., 1993. Econometric Analysis. 2nd Edition. Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey. P
P
Gujarati, D.N. 1995. Basic Econometrics: Third Edition. Mc Graw-Hill, Inc. New York. Hanneson, R. 1987. The effect of Discount Rate on the Optimal Exploitation of Renewable Resources. Marine Resource Economics, Vol.3 No.4 :319-329. Hardin, G. 1968. The Tragedy of The Commons. Science 162:1243-1248. Hartwick, J.M., and Nancy, D. O. 1998. The Economics of Natural Resource Use, 2nd ed. Addison-Wesley Educational Publishers, Inc. USA. P
P
Heaps, T. 2003. The Effects on Wellfare of the Imposition of Individual Transferable Quota's on a Heterogeneous Fishing Fleet. Journal of Environmental Economics and Management (Forthcoming). Hilborn, R., and C.J. Walters. 1992. Quantitative Fisheries Stock Assessment, Choice, Dynamics and Uncertainty. Intriligator, M.D., R.G. Bodkin, and C. Hsiao. Econometric Model, Tehniques, and Applications. 2nd.Edition. Prentice-Hall International, Inc. New Jersey. P
P
King, M., 1995. Fisheries Biology, Assessment and Management. Fishing News Book. Great Britain.
176 Korhonen, P., A. Siljamaki, and M. Soismaa, 1998. Practical Aspects of Value Efficiency Analysis. International Institute for Applied Systems Analysis (IIASA). Luxenburg. Austria. Interim Report, IR-98-042/June. Kula, E. 1984. Derivation of Social Time Preference Rates for the U.S. and Canada. Quarterly Journal of Economics, 99: 873-882. Kuncoro, M. 2001. Metode Kuantitatif, Teori dan Aplikasi Untuk Bisnis dan Ekonomi. UPP AMP YKPN, Yogyakarta. Kusumastanto, T., 2002. Reposisi “Ocean Policy” Dalam Pembangunan Ekonomi di Era Otonomi Daerah. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Kebijakan Ekonomi Perikanan dan Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Intitut Pertanian Bogor. Bogor. 21 September 2002. Levin, J and James, A. F., 1990. Elementary Statistics In Social Reseach.seventh edition. Logman, New York. Mankiw, N.G., 2000. Teori Makro. Edisi ke-4. Penerbit Erlangga. Jakarta. May, R., Beddington, J., Clark, C., Holt, S., and Laws, R., 1979. Management of Multispecies Fisheries. Science 205, 267-277. Munasinghe, Mohan. 1993. Environmental Economics and Sustainable Development. The Word Bank paper. Number 3. Washington D.C. Murty, S. 2000. Regional Planning and Sustainable Develoment (A. Shukla Edit.). Kanishka Publishers, New Delhi. Nazara, S., M. Sonis, and Hewing, G.J.D. 2000. Interregional Competition and Complementary in Indonesia. Working Paper. The Regional Economics Applications Laboratory (REAL). University of Illinois and The Federal Bank of Chicago. Urbana, IL. Nicholson, W. 1999. Teori Ekonomi Mikro Prinsip Dasar dan Pengembangannya. Edis Kedua. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Nikujuluw, V.P.H., 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Pusat Pemberdayaan dan Pembangunan Regional (P3R). Jakarta. Panayatou, T., 1985. Small-scale Fisheries in Asia: A Socio-Economic Analysis and Policy. IDRC, Ottawa, Canada. Pascoe, S and Greboval, D. 2003. Measuring capacity in fisheries. FAO Fisheries Technical Paper. No. 445. Rome.
177 Pauly, D., 1979. Theory and Management of Tropical Multispecies Stocks. A Review with Emphasis on the Southeast Asia Demersal Fishery. ICLARM Study Review 1. Pezzey, J. 1992. Sustainable Development Concepts An Economic Analysis. The Word Bank. Washington D.C. Pope, J., 1979 Stock Assessment in multispecies fisheries with special reference to the trawl fishery in the Gulf of Thailand. South China Sea Fish. Dev. Coop Programme. SCS/DEV?79/19. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi Lembaga Ilmu pengetahuan Indonesia, 2000. Kajian Kontribusi Ekonomi Sektor Kelautan Dalam Pembangunan Nasional. Jakarta. ________, 2001. Potensi, Pemanfaatan dan Peluang Pengembangan Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Jakarta. Romer, D. 1996. Advanced Macroeconomics. McGraw Hill Companies, Inc. Berkeley, USA. Rustiadi, E. 2001. Pengembangan Wilayah Pesisir Sebagai Kawasan Strategis Pembangunan Daerah. Makalah dalam Pelatihan Pengelolaan dan Perencanaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu (ICZM), Jakarta. Scoot, R. Steele,. 2001. Property Regimes as Informations Regimes: Efficiency and Economies of Joint Production. Environmental and Resource Economics, , Kluwer Academic Publisher. Netherland, 18: 317-337. Seiford, L.M., and Thrall, R.M. 1990. Recent Developments in DEA: The mathematical programming approach to frontier analysis. Journal of Econometrics No.46 (1&2) pp.7-38. Seijo, J.C., Defeo, E. and Salas, S. 1998. Fisheries Bioeconomics. Theory, Modelling and Management. FAO Fisheries Technical Paper. No. 368. Rome. Serageldin, I. 1993. Promoting Sustainable development toword a new paradigm. In valuing The Enviroment Proceeding of The First Annual International Conference an Enviromentally Sustainable Development. September 30 – 1 Desember 1993. Stiglitz, J.E. 2000. Economics of The Public Sector. Third Edition. W.W. Norton dan Company. New York. Tai, Shzee Yew., Kusairi Mohd. Noh, and Nik Mustapha Raja Abdullah. 2000. Valuing Fisheries Depreciation in Natural Resource Accounting. Environmental and Resource Economics 15:227-241.
178 Taryono, 2003.Analisis Ekonomi Kelestarian Sumberdaya Perikanan Laut Pantai Utara Jawa. Thesis Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor (IPB). Bogor. The Neoclassical Growth Model, http:/Cepa. newschool. edu/het/essays/growth/ neoclass/solowref.html The Neoclassical Growth: Empirical Implications. http:/Cepa. newschool. edu/ het/essays/growth/neoclass/solowref.html Tietenberg, Tom. 1992. Environmental and Natural Resources Economics, New York, USA. Harper Collins Publisher Inc. Todaro, M.P., 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi Ke-7. Penerbit Erlangga. Jakarta. Watson, R., A.Gelchu, and D. Pauly. 2001. Mapping Fisheries Landings With Emphasis on the North Atlantic., In Zeller, D., R. Watson and D. Pauly(eds)., Fisheries Impact on North Atlantic Ecosystems: Catch, Effort and National/Regional Data Sets. Fisheries Centre Research Reports 2001 Vol.9 No.3. University of British Columbia, Canada. WCED, 1987. Our Common Future. Oxford University Press, New York.
179 Lampiran 1. Disagregasi Produksi Perikanan Pelagis Kabupaten Karawang Tahun
Produksi (ton) Layang
Selar
Tembang
Kembung
1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000
28,30 72,80 92,70 149,20 180,80 343,90 295,80 263,80 151,90 140,25 140,25 193,80 222,30 225,50 189,20 155,61 320,80 162,37 171,70 162,85 162,85
929,50 943,50 612,10 623,50 683,00 693,10 511,50 594,50 764,00 728,10 736,10 717,80 743,00 910,10 922,70 788,34 716,70 495,40 592,70 597,30 780,60
917,30 957,10 945,60 806,50 597,70 626,50 636,00 304,60 829,60 812,20 886,70 864,90 759,40 689,00 935,40 822,03 513,00 501,40 1418,50 1324,50 1373,20
138,40 139,70 296,50 505,60 654,50 680,90 676,50 663,40 681,10 671,50 307,10 366,70 308,00 303,80 383,30 332,09 227,30 250,90 259,90 288,00 281,20
2001
162,85
538,60
1409,90
220,60
180
180 Lampiran 1. Lanjutan Tahun 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001
Share Oleh Payang Layang 12,62 32,46 41,33 66,52 80,61 153,32 131,88 117,61 67,72 62,53 62,53 86,40 99,11 100,54 84,35 69,38 143,02 72,39 76,55 72,60 72,60 72,60
Selar 248,86 252,60 163,88 166,93 182,86 185,56 136,94 159,17 204,55 194,94 197,08 192,18 198,92 243,66 247,04 211,06 191,88 132,63 158,68 159,92 208,99 144,20
Tembang 403,13 420,62 415,57 354,44 262,67 275,33 279,51 133,86 364,59 356,94 389,68 380,10 333,74 302,80 411,09 361,26 225,45 220,35 623,40 582,09 603,49 619,62
Share Oleh Pukat Pantai Kembung 73,31 73,99 157,04 267,80 346,66 360,65 358,32 351,38 360,75 355,67 162,66 194,23 163,14 160,91 203,02 175,89 120,39 132,89 137,66 152,54 148,94 116,84
Layang 3,70 9,51 12,11 19,49 23,62 44,93 38,64 34,46 19,84 18,32 18,32 25,32 29,04 29,46 24,72 20,33 41,91 21,21 22,43 21,28 21,28 21,28
Selar 117,07 118,83 77,09 78,53 86,02 87,29 64,42 74,88 96,22 91,70 92,71 90,40 93,58 114,62 116,21 99,29 90,27 62,39 74,65 75,23 98,31 67,84
Tembang 22,59 23,57 23,28 19,86 14,72 15,43 15,66 7,50 20,43 20,00 21,83 21,30 18,70 16,97 23,03 20,24 12,63 12,35 34,93 32,61 33,81 34,72
Kembung 1,57 1,59 3,37 5,75 7,44 7,74 7,69 7,54 7,74 7,64 3,49 4,17 3,50 3,45 4,36 3,78 2,58 2,85 2,96 3,27 3,20 2,51
Share Oleh Jaring Insang Hanyut Layang 1,42 3,65 4,65 7,49 9,08 17,26 14,85 13,24 7,62 7,04 7,04 9,73 11,16 11,32 9,50 7,81 16,10 8,15 8,62 8,17 8,17 8,17
Selar 75,82 76,96 49,93 50,86 55,71 56,54 41,72 48,49 62,32 59,39 60,05 58,55 60,61 74,24 75,27 64,31 58,46 40,41 48,35 48,72 63,68 43,93
Tembang 128,51 134,09 132,48 112,99 83,74 87,77 89,10 42,67 116,23 113,79 124,23 121,17 106,39 96,53 131,05 115,16 71,87 70,25 198,73 185,56 192,38 197,53
Kembung 19,86 20,05 42,55 72,55 93,92 97,70 97,07 95,19 97,73 96,36 44,07 52,62 44,20 43,59 55,00 47,65 32,62 36,00 37,29 41,33 40,35 31,65
181 Lampiran 1. Lanjutan Tahun 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001
Total Produksi Alat Tangkap Payang P. Pantai J. I. Hanyut 737,91 144,93 225,61 779,68 153,50 234,75 777,82 115,86 229,61 855,68 123,63 243,89 872,81 131,80 242,44 974,87 155,39 259,28 906,65 126,42 242,75 762,02 124,38 199,60 997,61 144,24 283,91 970,08 137,66 276,58 811,95 136,36 235,38 852,91 141,19 242,07 794,91 144,82 222,35 807,91 164,50 225,68 945,49 168,32 270,81 817,59 143,63 234,93 680,75 147,39 179,05 558,27 98,81 154,81 996,29 134,96 292,99 967,15 132,39 283,78 1034,03 156,60 304,58 953,27 126,33 281,29
Grand Total 1.108,45 1.167,93 1.123,29 1.223,20 1.247,05 1.389,53 1.275,81 1.086,01 1.425,76 1.384,31 1.183,69 1.236,17 1.162,08 1.198,09 1.384,63 1.196,16 1.007,20 811,89 1.424,24 1.383,32 1.495,21 1.360,89
182
182 Lampiran 2. Standarisasi Unit Upaya (Trip) Perikanan Pelagis Kabupaten Karawang, Effort
Tahun Payang
P. Pantai
CPUE
Indeks
J. I. Hanyut
Payang
P. Pantai
J.I.Hanyut
P. Pantai
Standarisasi Effort
J. I. Hanyut
Payang
P. Pantai
J.I. Hanyut
Total Standardized Effort
1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000
8.715,00 9.421,00 9.398,00 12.364,00 12.416,00 15.122,00 12.821,00 11.261,12 16.648,00 16.549,00 13.578,00 18.120,00 16.695,00 17.662,00 18.604,00 16.942,00 15.421,00 14.580,00 17.187,00 17.187,00 17.187,00
1.894,00 1.938,00 1.366,00 1.298,00 1.875,00 2.990,00 1.403,00 1.668,00 2.198,00 2.354,00 3.545,00 3.294,00 3.242,00 4.188,00 4.345,00 4.115,00 4.410,00 2.910,00 3.058,00 3.058,00 3.058,00
30.458,00 32.442,00 33.235,00 32.023,46 32.023,46 35.684,00 32.606,37 23.763,00 28.334,00 27.486,00 28.939,00 29.375,00 30.373,27 30.373,27 30.373,27 26.326,00 28.425,00 22.960,00 24.900,00 24.900,00 34.900,00
0,0847 0,0828 0,0828 0,0692 0,0703 0,0645 0,0707 0,0677 0,0599 0,0586 0,0598 0,0471 0,0476 0,0457 0,0508 0,0483 0,0441 0,0383 0,0580 0,0563 0,0602
0,0765 0,0792 0,0848 0,0952 0,0703 0,0520 0,0901 0,0746 0,0656 0,0585 0,0385 0,0429 0,0447 0,0393 0,0387 0,0349 0,0334 0,0340 0,0441 0,0433 0,0512
0,0074 0,0072 0,0069 0,0076 0,0076 0,0073 0,0074 0,0084 0,0100 0,0101 0,0081 0,0082 0,0073 0,0074 0,0089 0,0089 0,0063 0,0067 0,0118 0,0114 0,0087
0,9037 0,9570 1,0248 1,3762 1,0000 0,8062 1,2742 1,1020 1,0951 0,9976 0,6432 0,9106 0,9382 0,8587 0,7622 0,7233 0,7571 0,8867 0,7614 0,7694 0,8512
0,0875 0,0874 0,0835 0,1100 0,1077 0,1127 0,1053 0,1241 0,1672 0,1717 0,1360 0,1751 0,1538 0,1624 0,1754 0,1849 0,1427 0,1761 0,2030 0,2025 0,1451
8.715,00 9.421,00 9.398,00 12.364,00 12.416,00 15.122,00 12.821,00 11.261,12 16.648,00 16.549,00 13.578,00 18.120,00 16.695,00 17.662,00 18.604,00 16.942,00 15.421,00 14.580,00 17.187,00 17.187,00 17.187,00
1.711,62 1.854,73 1.399,85 1.786,32 1.874,92 2.410,39 1.787,70 1.838,12 2.407,06 2.348,40 2.280,27 2.999,55 3.041,60 3.596,28 3.311,94 2.976,36 3.338,87 2.580,44 2.328,25 2.352,70 2.602,91
2.664,59 2.836,56 2.774,22 3.524,02 3.448,84 4.021,87 3.432,74 2.949,75 4.737,78 4.718,27 3.936,16 5.142,78 4.669,97 4.933,66 5.328,66 4.868,27 4.056,06 4.043,06 5.054,38 5.043,07 5.062,62
13.091,21 14.112,29 13.572,07 17.674,35 17.739,76 21.554,26 18.041,44 16.048,99 23.792,83 23.615,66 19.794,43 26.262,33 24.406,57 26.191,94 27.244,60 24.786,63 22.815,93 21.203,50 24.569,63 24.582,77 24.852,53
2001
16.600,00
4.200,00
32.340,00
0,0574
0,0301
0,0087
0,5238
0,1515
16.600,00
2.199,97
4.898,32
23.698,29
183 Lampiran 3. Disagregasi Produksi Perikanan Pelagis Kabupaten Subang Tahun
Produksi Layang
Selar
Tembang
Kembung
1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000
84,20 80,50 90,10 110,50 108,10 110,20 112,50 110,31 111,70 114,80 117,50 128,80 138,60 160,20 190,70 152,82 352,40 616,00 508,40 376,80 697,10
211,30 160,20 126,70 151,20 150,60 153,30 154,40 144,40 209,60 197,20 195,80 231,30 255,10 274,40 323,10 268,94 597,60 659,00 665,50 691,40 777,70
633,00 523,40 671,10 729,30 743,20 738,70 743,10 971,20 1.108,10 1.020,60 1.009,90 1.191,70 1.310,00 1.392,30 1.427,80 1.327,27 1.620,00 1.364,00 1.219,40 1.110,20 1.475,60
92,60 38,30 34,80 52,50 52,60 53,80 53,50 57,50 85,30 90,40 90,60 100,90 108,00 120,40 347,30 146,10 608,50 567,60 716,80 620,00 599,50
2001
598,60
667,80
2.049,60
822,00
184
184 Lampiran 3, Lanjutan Tahun
Share Oleh Payang Layang
Selar
Tembang
Share Oleh Pukat Pantai Kembung
Layang
Selar
Tembang
Share Oleh Jaring Insang Hanyut Kembung
Layang
Selar
Tembang
Kembung
1980
37,54
56,57
278,19
49,05
11,00
26,61
15,59
1,05
4,23
17,24
88,68
13,29
1981
35,89
42,89
230,02
20,29
10,52
20,18
12,89
0,44
4,04
13,07
73,33
5,50
1982
40,17
33,92
294,93
18,43
11,77
15,96
16,52
0,40
4,52
10,34
94,02
4,99
1983
49,27
40,48
320,51
27,81
14,44
19,04
17,96
0,60
5,55
12,33
102,17
7,53
1984
48,20
40,32
326,62
27,86
14,12
18,97
18,30
0,60
5,43
12,28
104,12
7,55
1985
49,13
41,04
324,64
28,50
14,40
19,31
18,19
0,61
5,53
12,51
103,49
7,72
1986
50,16
41,34
326,57
28,34
14,70
19,45
18,30
0,61
5,65
12,59
104,11
7,68
1987
49,18
1,18
426,82
30,46
14,41
0,55
23,91
0,65
5,54
0,36
136,06
8,25
1988
49,80
56,12
486,98
45,18
14,59
26,40
27,28
0,97
5,61
17,10
155,24
12,24
1989
51,18
52,80
448,53
47,88
15,00
24,84
25,13
1,03
5,76
16,09
142,98
12,97
1990
52,39
52,42
443,83
47,99
15,35
24,66
24,87
1,03
5,90
15,97
141,49
13,00
1991
57,42
61,93
523,72
53,44
16,83
29,13
29,34
1,15
6,47
18,87
166,96
14,48
1992
61,79
68,30
575,71
57,20
18,11
32,13
32,26
1,23
6,96
20,81
183,53
15,50
1993
71,42
73,47
611,88
63,77
20,93
34,56
34,28
1,37
8,04
22,38
195,06
17,28
1994
85,02
86,50
627,48
183,95
24,91
40,69
35,16
3,95
9,57
26,36
200,03
49,84
1995
68,13
72,00
583,30
77,39
19,96
33,87
32,68
1,66
7,67
21,94
185,95
20,96
1996
157,11
160,00
711,95
322,30
46,04
75,27
39,89
6,92
17,69
48,75
226,96
87,32
1997
274,64
176,43
599,45
300,64
80,48
83,00
33,59
6,45
30,92
53,76
191,09
81,45
1998
226,66
178,18
535,90
379,66
66,42
83,82
30,03
8,15
25,52
54,29
170,84
102,86
1999
167,99
185,11
487,91
328,39
49,23
87,08
27,34
7,05
18,91
56,40
155,54
88,97
2000
310,79
208,21
648,49
317,53
91,07
97,95
36,33
6,82
34,99
63,44
206,73
86,02
2001
266,88
178,79
900,75
435,38
78,20
84,11
50,47
9,35
30,05
54,47
287,15
117,95
185 Lampiran 3, Lanjutan Tahun
Total Produksi Alat Tangkap Payang
P. Pantai
Grand
J. I. Hanyut
Total
1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000
421,35 329,09 387,46 438,06 442,99 443,31 446,41 507,63 638,08 600,39 596,62 696,52 763,01 820,54 982,96 800,82 1.351,36 1.351,15 1.320,40 1.169,40 1.485,03
54,25 44,02 44,65 52,03 51,99 52,51 53,05 39,53 69,25 65,99 65,91 76,45 83,72 91,14 104,71 88,18 168,11 203,51 188,41 170,69 232,17
123,43 95,93 113,87 127,59 129,38 129,25 130,03 150,21 190,19 177,81 176,36 206,77 226,79 242,76 285,80 236,52 380,71 357,22 353,50 319,82 391,18
599,03 469,04 545,98 617,68 624,36 625,06 629,48 697,38 897,51 844,19 838,89 979,73 1.073,52 1.154,44 1.373,47 1.125,53 1.900,18 1.911,88 1.862,31 1.659,91 2.108,39
2001
1.781,80
222,12
489,62
2.493,54
186
186 Lampiran 4. Standarisasi Unit Upaya (Trip) Pelagis Kabupaten Subang Effort
Tahun
CPUE
Payang
P. Pantai
J. I. Hanyut
Payang
1980
2.403
9.861
729
0,1753
1981
1.987
8.649
625
1982
1.981
9.878
1983
2.547
1984
P. Pantai
Indeks
Standarisasi Effort
J. I. Hanyut
P. Pantai
J. I. Hanyut
0,0055
0,1693
0,0314
0,9656
0,1656
0,0051
0,1535
0,0307
940
0,1956
0,0045
0,1211
11.110
885
0,1720
0,0047
2.115
11.803
1.074
0,2095
1985
2.103
12.351
1.123
1986
2.266
16.409
1987
2.985
1988
Payang
Total Standarized Effort
P. Pantai
J. I. Hanyut
2.403,00
309,41
703,96
3.416,36
0,9268
1.987,00
265,77
579,23
2.832,00
0,0231
0,6194
1.981,00
228,28
582,21
2.791,49
0,1442
0,0272
0,8382
2.547,00
302,54
741,82
3.591,36
0,0044
0,1205
0,0210
0,5751
2.115,00
248,21
617,70
2.980,91
0,2108
0,0043
0,1151
0,0202
0,5460
2.103,00
249,08
613,13
2.965,21
5.567
0,1970
0,0032
0,0234
0,0164
0,1186
2.266,00
269,28
660,02
3.195,31
19.024
8.304
0,1701
0,0021
0,0181
0,0122
0,1064
2.985,00
232,47
883,27
4.100,74
3.970
32.097
3.194
0,1607
0,0022
0,0595
0,0134
0,3705
3.970,00
430,83
1.183,31
5.584,14
1989
3.472
32.955
4.150
0,1729
0,0020
0,0428
0,0116
0,2478
3.472,00
381,63
1.028,23
4.881,86
1990
3.970
32.545
6.361
0,1503
0,0020
0,0277
0,0135
0,1845
3.970,00
438,56
1.173,50
5.582,06
1991
5.056
39.405
7.048
0,1378
0,0019
0,0293
0,0141
0,2130
5.056,00
554,94
1.500,92
7.111,86
1992
5.859
44.414
8.033
0,1302
0,0019
0,0282
0,0145
0,2168
5.859,00
642,87
1.741,50
8.243,37
1993
5.791
46.893
9.302
0,1417
0,0019
0,0261
0,0137
0,1842
5.791,00
643,23
1.713,29
8.147,52
1994
7.786
53.271
11.914
0,1262
0,0020
0,0240
0,0156
0,1900
7.786,00
829,43
2.263,79
10.879,21
1995
6.820
48.421
12.401
0,1174
0,0018
0,0191
0,0155
0,1624
6.820,00
750,95
2.014,28
9.585,23
1996
14.087
75.724
29.925
0,0959
0,0022
0,0127
0,0231
0,1326
14.087,00
1.752,46
3.968,67
19.808,13
1997
21.002
98.976
32.393
0,0643
0,0021
0,0110
0,0320
0,1714
21.002,00
3.163,38
5.552,52
29.717,90
1998
11.298
94.815
15.937
0,1169
0,0020
0,0222
0,0170
0,1898
11.298,00
1.612,15
3.024,72
15.934,87
1999
11.298
94.815
15.937
0,1035
0,0018
0,0201
0,0174
0,1939
11.298,00
1.649,12
3.089,87
16.036,99
2000
13.298
134.815
15.937
0,1117
0,0017
0,0245
0,0154
0,2198
13.298,00
2.079,01
3.502,94
18.879,95
2001
13.895
134.389
13.200
0,1282
0,0017
0,0371
0,0129
0,2893
13.895,00
1.732,19
3.818,19
19.445,38
187 Lampiran 5. Disagregasi Produksi Perikanan Pelagis Kabupaten Cirebon Tahun 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001
Produksi Layang 28,30 72,80 45,39 49,20 80,80 43,90 95,80 63,80 51,90 55,72 55,72 93,80 82,30 85,50 89,20 62,86 20,80 50,20 71,70 63,87 63,02 61,67
Selar 154,02 154,02 154,02 155,17 155,17 155,17 155,17 155,17 169,80 141,80 407,59 407,59 407,59 822,90 492,20 636,42 504,70 532,50 671,50 249,00 220,80 121,40
Tembang 234,60 705,90 668,00 229,50 1.987,80 1.758,30 1.443,60 1.568,50 1.752,60 2.198,70 2.166,10 2.274,50 2.079,70 1.160,30 1.960,80 1.927,41 1.138,90 1.713,50 1.745,40 1.343,50 1.502,80 2.658,60
Kembung 992,80 980,90 1.150,80 1.454,50 1.326,70 1.658,50 1.216,60 1.855,30 1.171,60 1.594,10 1.011,10 1.234,30 1.120,40 1.290,00 1.872,90 1.422,17 1.822,90 1.343,70 1.375,80 1.438,00 1.167,00 1.176,90
188
188 Lampiran 5. Lanjutan Tahun 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001
Share Oleh Payang Layang 12,62 32,46 20,24 21,94 36,02 19,57 42,71 28,44 23,14 24,84 24,84 41,82 36,69 38,12 39,77 28,03 9,27 22,38 31,97 28,48 28,09 27,50
Selar 41,23 41,23 41,23 41,54 41,54 41,54 41,54 41,54 45,46 37,96 109,13 109,13 109,13 220,32 131,78 170,39 135,12 142,57 179,78 66,67 59,12 32,50
Tembang 103,10 310,23 293,57 100,86 873,59 772,73 634,43 689,32 770,23 966,28 951,95 999,59 913,98 509,92 861,73 847,05 500,52 753,04 767,06 590,44 660,44 1168,39
Share Oleh Pukat Pantai Kembung 525,85 519,54 609,53 770,39 702,70 878,44 644,39 982,68 620,55 844,33 535,54 653,76 593,43 683,26 992,00 753,27 965,52 711,71 728,71 761,65 618,11 623,36
Layang 3,70 9,51 5,93 6,43 10,56 5,74 12,52 8,33 6,78 7,28 7,28 12,25 10,75 11,17 11,65 8,21 2,72 6,56 9,37 8,34 8,23 8,06
Selar 19,40 19,40 19,40 19,54 19,54 19,54 19,54 19,54 21,39 17,86 51,34 51,34 51,34 103,64 61,99 80,16 63,57 67,07 84,57 31,36 27,81 15,29
Tembang 5,78 17,38 16,45 5,65 48,95 43,29 35,55 38,62 43,15 54,14 53,34 56,01 51,21 28,57 48,28 47,46 28,04 42,19 42,98 33,08 37,00 65,46
Share Oleh Jaring Insang Hanyut Kembung 11,29 11,15 13,09 16,54 15,09 18,86 13,83 21,10 13,32 18,13 11,50 14,03 12,74 14,67 21,30 16,17 20,73 15,28 15,64 16,35 13,27 13,38
Layang 1,42 3,65 2,28 2,47 4,06 2,20 4,81 3,20 2,61 2,80 2,80 4,71 4,13 4,29 4,48 3,16 1,04 2,52 3,60 3,21 3,16 3,10
Selar 12,56 12,56 12,56 12,66 12,66 12,66 12,66 12,66 13,85 11,57 33,25 33,25 33,25 67,13 40,15 51,91 41,17 43,44 54,78 20,31 18,01 9,90
Tembang 32,87 98,90 93,59 32,15 278,49 246,34 202,25 219,74 245,54 308,04 303,47 318,65 291,36 162,56 274,71 270,03 159,56 240,06 244,53 188,22 210,54 372,47
Kembung 142,46 140,75 165,13 208,71 190,37 237,98 174,57 266,22 168,12 228,74 145,09 177,11 160,77 185,11 268,75 204,07 261,57 192,81 197,42 206,34 167,46 168,88
189 Lampiran 5. Lanjutan Tahun 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001
Total Produksi Alat Tangkap Payang 682,80 903,46 964,58 934,73 1.653,86 1.712,29 1.363,07 1.741,99 1.459,38 1.873,41 1.621,46 1.804,29 1.653,23 1.451,62 2.025,27 1.798,74 1.610,44 1.629,70 1.707,52 1.447,23 1.365,77 1.851,75
Pukat Pantai 40,16 57,44 54,86 48,16 94,13 87,43 81,44 87,60 84,64 97,40 123,45 133,63 126,04 158,05 143,22 152,00 115,05 131,10 152,56 89,14 86,31 102,19
J. I. Hanyut 189,31 255,87 273,56 255,99 485,57 499,18 394,29 501,83 430,11 551,14 484,60 533,73 489,51 419,08 588,08 529,17 463,35 478,83 500,32 418,08 399,17 554,34
Grand Total 912,27 1.216,77 1.293,00 1.238,88 2.233,56 2.298,90 1.838,79 2.331,41 1.974,13 2.521,96 2.229,50 2.471,65 2.268,78 2.028,75 2.756,58 2.479,90 2.188,84 2.239,62 2.360,40 1.954,45 1.851,26 2.508,28
190
190 Lampiran 6. Standarisasi Unit Upaya (Trip) Pelagis Kabupaten Cirebon Effort
Tahun Payang
P. Pantai
CPUE J. I. Hanyut
Payang
Indeks
P. Pantai
J. I. Hanyut
P. Pantai
Standarisasi Effort
J. I. Hanyut
Payang
P. Pantai
J. I. Hanyut
Total Standarized Effort
1980
7.767,95
53,65
56.016,00
0,0879
0,7485
0,0034
8,5153
0,0384
7.767,95
456,89
2.153,72
10.378,56
1981
10.448,65
79,01
46.742,00
0,0865
0,7270
0,0055
8,4081
0,0633
10.448,65
664,34
2.959,12
14.072,11
1982
10.808,00
84,32
114.138,00
0,0892
0,6506
0,0024
7,2904
0,0269
10.808,00
614,72
3.065,22
14.487,94
1983
10.448,00
80,41
193.917,00
0,0895
0,5989
0,0013
6,6943
0,0148
10.448,00
538,31
2.861,36
13.847,67
1984
20.181,00
161,00
227.242,00
0,0820
0,5847
0,0021
7,1342
0,0261
20.181,00
1.148,61
5.925,16
27.254,77
1985
19.384,00
158,00
242.591,00
0,0883
0,5534
0,0021
6,2644
0,0233
19.384,00
989,77
5.650,99
26.024,75
1986
16.347,00
149,62
123.385,00
0,0834
0,5443
0,0032
6,5276
0,0383
16.347,00
976,67
4.728,61
22.052,28
1987
21.877,00
176,15
122.707,00
0,0796
0,4973
0,0041
6,2451
0,0514
21.877,00
1.100,08
6.302,29
29.279,37
1988
20.087,00
210,07
110.819,00
0,0727
0,4029
0,0039
5,5459
0,0534
20.087,00
1.165,03
5.920,08
27.172,11
1989
25.304,00
170,71
140.989,00
0,0740
0,5706
0,0039
7,7069
0,0528
25.304,00
1.315,62
7.444,21
34.063,83
1990
23.087,00
314,81
82.096,00
0,0702
0,3921
0,0059
5,5834
0,0840
23.087,00
1.757,70
6.899,94
31.744,64
1991
31.198,00
374,00
142.268,00
0,0578
0,3573
0,0038
6,1780
0,0649
31.198,00
2.310,58
9.228,63
42.737,22
1992
26.313,00
296,00
130.872,00
0,0628
0,4258
0,0037
6,7770
0,0595
26.313,00
2.006,00
7.791,15
36.110,15
1993
25.508,00
467,00
143.396,00
0,0569
0,3384
0,0029
5,9470
0,0514
25.508,00
2.777,26
7.364,12
35.649,38
1994
34.226,00
523,00
174.750,00
0,0592
0,2738
0,0034
4,6278
0,0569
34.226,00
2.420,36
9.938,27
46.584,63
1995
35.658,00
829,00
143.310,00
0,0504
0,1834
0,0037
3,6347
0,0732
35.658,00
3.013,19
10.490,22
49.161,42
1996
38.536,00
696,00
109.385,00
0,0418
0,1653
0,0042
3,9556
0,1014
38.536,00
2.753,11
11.087,39
52.376,50
1997
46.956,00
1.044,00
85.810,00
0,0347
0,1256
0,0056
3,6180
0,1608
46.956,00
3.777,22
13.796,36
64.529,58
1998
45.767,00
1.190,00
31.471,00
0,0373
0,1282
0,0159
3,4363
0,4261
45.767,00
4.089,14
13.410,24
63.266,38
1999
39.767,00
1.090,00
31.471,00
0,0364
0,0818
0,0133
2,2471
0,3650
39.767,00
2.449,32
11.488,11
53.704,43
2000
44.767,00
1.090,00
31.471,00
0,0305
0,0792
0,0127
2,5956
0,4157
44.767,00
2.829,21
13.084,00
60.680,22
2001
47.492,00
1.254,72
47.934,00
0,0390
0,0814
0,0116
2,0889
0,2966
47.492,00
2.620,93
14.217,30
64.330,23
191 Lampiran 7, Disagregasi Produksi Perikanan Pelagis Kabupaten Indramayu Tahun
Produksi (ton) Layang
Selar
Tembang
Kembung
1980
1.618,80
723,40
3.643,30
1.239,60
1981
1.671,30
892,20
3.597,30
2.394,30
1982
1.685,80
872,10
4.598,90
2.322,90
1983
1.678,90
807,40
3.857,40
2.835,60
1984
1.384,50
1.221,70
3.936,40
2.529,10
1985
1.439,30
1.244,80
3.750,70
2.817,90
1986
2.142,70
1.322,30
3.848,80
2.672,00
1987
2.499,50
1.383,00
4.440,00
2.022,10
1988
2.683,80
1.479,90
4.023,50
2.627,90
1989
2.403,90
1.358,30
4.367,70
2.988,30
1990
2.448,90
1.554,30
4.678,20
3.272,50
1991
2.558,60
1.545,00
3.585,40
3.047,60
1992
2.415,30
1.530,30
3.403,40
3.814,40
1993
2.615,10
1.624,30
3.297,40
5.161,40
1994
2.659,40
1.965,10
3.225,70
6.349,80
1995
2.639,49
1.893,01
3.276,53
4.418,02
1996
2.673,40
1.998,70
5.618,60
5.408,20
1997
2.060,10
1.099,30
3.013,20
3.770,80
1998
2.760,10
2.414,30
4.506,80
4.291,80
1999
2.741,40
2.620,30
4721,60
4.234,20
2000
2.753,50
2.258,00
4393,40
4.342,20
2001
2.553,80
2.323,40
4799,70
4.497,00
192
192 Lampiran 7 , Lanjutan Tahun
Share Oleh Payang Layang
Selar
Share Oleh Pukat Pantai
Tembang
Kembung
Layang
Selar
Tembang
Share Oleh Jaring Insang Hanyut
Kembung
Layang
Selar
Tembang
Kembung
1980
349,40
92,40
872,48
284,69
69,71
6,94
76,96
14,10
81,26
59,01
510,42
177,87
1981
360,73
113,96
861,47
549,88
71,97
8,56
75,99
27,22
83,89
72,78
503,98
343,57
1982
363,86
111,39
1.101,33
533,48
72,60
8,37
97,14
26,41
84,62
71,14
644,30
333,32
1983
362,37
103,13
923,76
651,23
72,30
7,75
81,48
32,24
84,27
65,86
540,42
406,89
1984
298,83
156,05
942,67
580,84
59,62
11,72
83,15
28,76
69,50
99,66
551,48
362,91
1985
310,66
159,00
898,20
647,16
61,98
11,94
79,23
32,04
72,25
101,54
525,47
404,35
1986
462,48
168,90
921,70
613,65
92,27
12,69
81,30
30,38
107,55
107,86
539,21
383,41
1987
539,49
176,65
1.063,27
464,40
107,64
13,27
93,79
22,99
125,46
112,81
622,04
290,16
1988
579,26
189,03
963,53
603,53
115,58
14,20
84,99
29,88
134,72
120,72
563,69
377,09
1989
518,85
173,50
1.045,96
686,30
103,52
13,03
92,26
33,98
120,67
110,80
611,91
428,80
1990
528,56
198,53
1.120,32
751,57
105,46
14,91
98,82
37,21
122,92
126,79
655,41
469,58
1991
552,24
197,35
858,62
699,91
110,18
14,82
75,73
34,65
128,43
126,03
502,31
437,31
1992
521,31
195,47
815,03
876,02
104,01
14,68
71,89
43,37
121,24
124,83
476,81
547,34
1993
564,44
207,47
789,65
1.185,37
112,62
15,58
69,65
58,69
131,27
132,50
461,96
740,63
1994
574,00
251,00
772,48
1.458,30
114,52
18,85
68,14
72,20
133,49
160,30
451,92
911,16
1995
569,70
241,80
784,65
1.014,65
113,67
18,16
69,21
50,24
132,49
154,42
459,04
633,96
1996
577,02
255,30
1.345,52
1.242,05
115,13
19,18
118,68
61,49
134,19
163,04
787,16
776,04
1997
444,65
140,42
721,59
866,01
88,72
10,55
63,65
42,88
103,41
89,67
422,15
541,09
1998
595,73
308,38
1.079,27
985,66
118,86
23,16
95,20
48,80
138,55
196,94
631,40
615,85
1999
591,70
334,69
1.130,71
972,43
118,06
25,14
99,74
48,15
137,61
213,74
661,49
607,58
2000
594,31
288,42
1.052,11
997,23
118,58
21,66
92,80
49,37
138,21
184,19
615,51
623,08
2001
551,21
296,77
1.149,41
1.032,78
109,98
22,29
101,38
51,13
128,19
189,52
672,43
645,29
193 Lampiran 7 , Lanjutan Tahun 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001
Total Produksi Alat Tangkap Payang P. Pantai J. I. Hanyut 1.598,97 167,71 828,56 1.886,04 183,74 1.004,22 2.110,06 204,52 1.133,38 2.040,48 193,77 1.097,44 1.978,39 183,25 1.083,55 2.015,02 185,19 1.103,61 2.166,72 216,64 1.138,04 2.243,81 237,69 1.150,48 2.335,35 244,64 1.196,21 2.424,61 242,79 1.272,18 2.598,98 256,40 1.374,71 2.308,12 235,40 1.194,08 2.407,83 233,96 1.270,22 2.746,93 256,54 1.466,35 3.055,78 273,72 1.656,86 2.610,80 251,28 1.379,90 3.419,89 314,48 1.860,43 2.172,66 205,79 1.156,31 2.969,05 286,02 1.582,73 3.029,53 291,08 1.620,42 2.932,07 282,42 1.560,99 3.030,18 284,79 1.635,44
Grand Total 2.595,24 3.074,00 3.447,96 3.331,70 3.245,18 3.303,82 3.521,41 3.631,97 3.776,21 3.939,58 4.230,09 3.737,60 3.912,01 4.469,83 4.986,36 4.241,98 5.594,81 3.534,76 4.837,80 4.941,03 4.775,49 4.950,40
194
194 Lampiran 8. Standarisasi Unit Upaya (Trip) Pelagis Kabupaten Indramayu Tahun
Effort Payang
P. Pantai
CPUE J. I. Hanyut
Payang
P. Pantai
Indeks J.I.Hanyut
P. Pantai
Standarisasi Effort
J. I. Hanyut
Payang
P. Pantai
Total
J.I. Hanyut
Standardized Effort
1980
14.688
10.880
17.716
0,1089
0,0154
0,0468
0,142
0,430
14.688,00
1.540,53
7.611,11
23.839,64
1981
18.432
12.079
22.044
0,1023
0,0152
0,0456
0,149
0,445
18.432,00
1.795,71
9.814,07
30.041,79
1982
21.222
12.422
23.808
0,0994
0,0165
0,0476
0,166
0,479
21.222,00
2.056,98
11.399,02
34.678,00
1983
21.307
12.465
22.787
0,0958
0,0155
0,0482
0,162
0,503
21.307,00
2.023,38
11.459,65
34.790,03
1984
21.947
14.693
26.109
0,0901
0,0125
0,0415
0,138
0,460
21.947,00
2.032,87
12.020,21
36.000,08
1985
23.257
14.388
26.793
0,0866
0,0129
0,0412
0,149
0,475
23.257,00
2.137,47
12.737,64
38.132,11
1986
24.885
19.718
34.922
0,0871
0,0110
0,0326
0,126
0,374
24.885,00
2.488,15
13.070,54
40.443,68
1987
25.000
19.471
30.685
0,0898
0,0122
0,0375
0,136
0,418
25.000,00
2.648,26
12.818,33
40.466,59
1988
27.665
22.560
51.503
0,0844
0,0108
0,0232
0,128
0,275
27.665,00
2.898,10
14.170,50
44.733,60
1989
29.699
21.222
51.694
0,0816
0,0114
0,0246
0,140
0,301
29.699,00
2.973,97
15.582,90
48.255,87
1990
32.299
23.984
56.242
0,0805
0,0107
0,0244
0,133
0,304
32.299,00
3.186,45
17.084,24
52.569,69
1991
31.764
23.616
49.250
0,0727
0,0100
0,0242
0,137
0,334
31.764,00
3.239,48
16.432,78
51.436,26
1992
31.611
23.697
51.194
0,0762
0,0099
0,0248
0,130
0,326
31.611,00
3.071,50
16.676,00
51.358,50
1993
38.288
29.500
53.179
0,0717
0,0087
0,0276
0,121
0,384
38.288,00
3.575,80
20.438,73
62.302,53
1994
43.184
33.268
62.424
0,0708
0,0082
0,0265
0,116
0,375
43.184,00
3.868,15
23.414,59
70.466,74
1995
38.525
32.255
53.336
0,0678
0,0078
0,0259
0,115
0,382
38.525,00
3.707,85
20.361,92
62.594,77
1996
51.617
37.847
72.196
0,0663
0,0083
0,0258
0,125
0,389
51.617,00
4.746,53
28.079,85
84.443,38
1997
43.645
45.281
72.789
0,0498
0,0045
0,0159
0,091
0,319
43.645,00
4.133,94
23.228,36
71.007,30
1998
58.884
44.523
62.685
0,0504
0,0064
0,0252
0,127
0,501
58.884,00
5.672,61
31.389,69
95.946,30
1999
55.884
44.523
63.685
0,0542
0,0065
0,0254
0,121
0,469
55.884,00
5.369,34
29.890,96
91.144,30
2000
51.884
44.523
61.685
0,0565
0,0063
0,0253
0,112
0,448
51.884,00
4.997,48
27.622,26
84.503,74
2001
53.719
44.223
64.405
0,0564
0,0064
0,0254
0,114
0,450
53.719,00
5.048,73
28.993,07
87.760,80
195
195 Lampiran 9. Disagregasi Produksi Perikanan Pelagis Pantai Utara Jawa Barat PAYANG
Tahun Layang
Selar
Tembang
PUKAT PANTAI Kembung
TOTAL
Layang
Selar
Tembang
JARING INSANG HANYUT
Kembung
TOTAL
Layang
Selar
Tembang
Kembung
TOTAL
1980
628,60
1.527,90
689,40
332,80
3.178,70
222,30
5,20
75,20
23,00
325,70
120,10
125,80
4.564,50
272,60
5.083,00
1981
1.003,90
1.768,60
889,70
534,80
4.197,00
224,45
24,00
97,90
15,50
361,85
237,10
183,00
5.508,00
1.385,70
7.313,80
1982
520,50
860,40
783,17
500,00
2.664,07
226,00
84,20
40,80
28,60
379,60
168,75
102,10
3.897,10
614,61
4.782,55
1983
741,20
1.170,50
1.653,40
1.625,80
5.190,90
225,90
83,20
114,80
50,40
474,30
168,75
199,30
1.656,10
1.567,90
3.592,05
1984
630,60
1.267,50
3.769,60
3.213,30
8.881,00
216,30
67,40
312,30
134,10
730,10
167,10
161,10
1.472,00
2.121,00
3.921,20
1985
805,80
1.036,20
2.989,80
2.450,10
7.281,90
222,96
23,10
206,40
37,60
490,06
135,00
121,40
817,90
2.667,30
3.741,60
1986
2.733,80
1.423,10
4.863,90
2.454,30
11.475,10
222,96
33,29
194,00
37,06
487,31
162,32
144,65
1.339,70
1.619,00
3.265,68
1987
2.400,20
1.531,30
4.355,20
2.477,00
10.763,70
222,96
37,00
199,20
37,06
496,22
162,32
186,20
966,60
1.192,50
2.507,62
1988
2.066,10
1.192,80
6.329,80
1.860,60
11.449,30
340,10
53,20
262,20
66,60
722,10
162,32
243,50
1.936,30
531,10
2.873,22
1989
2.553,30
3.020,90
6.587,80
3.085,40
15.247,40
380,30
64,10
368,50
15,60
828,50
162,32
150,30
2.936,00
1.220,70
4.469,32
1990
2.908,20
5.044,20
5.976,20
3.412,60
17.341,20
397,30
56,50
304,30
36,04
794,14
142,10
156,88
1.320,30
873,60
2.492,88
1991
2.080,80
1.517,90
3.546,60
2.827,40
9.972,70
256,32
22,90
475,60
37,70
792,52
160,37
233,90
2.569,00
523,80
3.487,07
1992
2.985,50
1.748,00
2.178,60
3.427,40
10.339,50
317,20
11,20
252,30
41,20
621,90
143,50
118,30
3.299,70
374,50
3.936,00
1993
1.878,60
2.368,90
6.191,10
3.448,20
13.886,80
426,60
34,05
187,80
42,73
691,19
173,40
848,60
1.743,50
1.001,70
3.767,20
1994
2.288,80
3.094,70
6.770,50
4.448,10
16.602,10
448,80
54,50
256,70
42,03
802,03
159,99
554,30
1.682,40
2.316,10
4.712,79
1995
340,10
1.907,20
6.045,70
3.805,90
12.098,90
510,40
42,00
214,10
518,50
1285,00
109,90
449,50
1.704,80
689,40
2.953,60
1996
1.984,10
1.189,40
4.302,10
3.193,80
10.669,40
647,60
35,53
134,70
518,50
1336,33
124,00
596,20
1.574,20
859,30
3.153,70
1997
1.489,40
1.194,10
4.440,70
3.701,10
10.825,30
298,10
35,53
230,90
681,80
1246,33
132,00
655,30
1.688,40
1.480,10
3.955,80
1998
910,40
1.194,10
2.797,30
5.291,80
10.193,60
439,37
35,53
648,40
387,00
1510,31
160,00
355,30
925,30
1.066,00
2.506,60
1999
910,40
1.194,10
6.703,90
5.291,80
14.100,20
439,37
35,53
648,40
493,40
1616,71
160,10
355,30
925,30
1.066,00
2.506,70
2000
2.522,00
1.370,60
5.093,80
2.553,50
11.539,90
656,70
56,70
111,20
111,41
936,01
135,74
406,50
1.189,60
640,30
2.372,14
2001
2.085,90
847,40
4.626,30
1.926,90
9.486,50
636,30
36,33
103,60
116,29
892,52
135,74
278,10
1.645,50
1.020,10
3.079,44
196 Lampiran 9 , Lanjutan Tahun 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001
Payang 3.178,70 4.197,00 2.664,07 5.190,90 8.881,00 7.281,90 11.475,10 10.763,70 11.449,30 15.247,40 17.341,20 9.972,70 10.339,50 13.886,80 16.602,10 12.098,90 10.669,40 10.825,30 10.193,60 14.100,20 11.539,90 9.486,50
Total Produksi (ton) Pukat Pantai Jar. Ins. Hanyut 325,70 5.083,00 361,85 7.313,80 379,60 4.782,55 474,30 3.592,05 730,10 3.921,20 490,06 3.741,60 487,31 3.265,68 496,22 2.507,62 722,10 2.873,22 828,50 4.469,32 794,14 2.492,88 792,52 3.487,07 621,90 3.936,00 691,19 3.767,20 802,03 4.712,79 1.285,00 2.953,60 1.336,33 3.153,70 1.246,33 3.955,80 1.510,31 2.506,60 1.616,71 2.506,70 936,01 2.372,14 892,52 3.079,44
Grand Total 8587,40 1.1872,65 7826,23 9257,25 1.3532,30 1.1513,56 1.5228,09 1.3767,54 1.5044,62 2.0545,22 2.0628,22 1.4252,29 1.4897,40 1.8345,19 2.2116,92 1.6337,50 1.5159,43 1.6027,43 1.4210,51 1.8223,61 1.4848,05 1.3458,46
197
197 Lampiran 10. Standarisasi Unit Upaya (Trip) Pelagis Pantai Utara Jawa Barat Tahun
1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001
Effort
CPUE
Indeks
Payang
P. Pantai
J.I Hanyut
Payang
P. Pantai
J.I Hanyut
18.132,92 25.344,20 13.620,00 30.179,65 42.391,41 34.544,12 58.249,24 63.278,66 71.246,42 88.186,23 115.377,25 72.370,83 79.412,44 98.001,41 131.553,88 103.057,07 111.255,47 168.356,14 87.199,32 136.233,82 103.311,55 73.997,66
59.218,18 70.950,98 84.355,56 100.914,89 165.931,82 113.967,57 152.284,89 236.295,78 328.227,27 414.250,00 397.070,20 417.115,64 327.315,54 363.782,08 401.015,81 713.888,89 607.424,16 593.491,98 755.153,60 898.170,67 550.592,51 525.011,96
30.023,63 47.646,91 39.492,61 24.910,18 32.541,08 32.507,38 139.558,78 138.542,63 48.289,44 104.423,40 89.995,76 119.012,63 139.574,47 144.337,16 196.366,34 154.638,74 248.322,83 359.618,18 112.909,91 124.711,44 96.821,95 83.003,72
0,18 0,17 0,20 0,17 0,21 0,21 0,20 0,17 0,16 0,17 0,15 0,14 0,13 0,14 0,13 0,12 0,10 0,06 0,12 0,10 0,11 0,13
0,01 0,01 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,17 0,15 0,12 0,14 0,12 0,12 0,02 0,02 0,06 0,04 0,03 0,03 0,03 0,03 0,02 0,02 0,01 0,01 0,02 0,02 0,02 0,04
Standarisasi Effort
P. Pantai
J.I. Hanyut
0,03 0,03 0,02 0,03 0,02 0,02 0,02 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,02 0,02 0,02 0,03 0,02 0,02 0,02 0,01
0,97 0,93 0,62 0,84 0,58 0,55 0,12 0,11 0,37 0,25 0,18 0,21 0,22 0,18 0,19 0,16 0,13 0,17 0,19 0,19 0,22 0,29
Payang
P. Pantai
18.132,92 25.344,20 13.620,00 30.179,65 42.391,41 34.544,12 58.249,24 63.278,66 71.246,42 88.186,23 115.377,25 72.370,83 79.412,44 98.001,41 131.553,88 103.057,07 111.255,47 168.356,14 87.199,32 136.233,82 103.311,55 73.997,66
1.857,96 2.185,08 1.940,70 2.757,56 3.484,96 2.324,77 2.473,66 2.917,23 4.493,47 4.791,79 5.283,70 5.751,23 4.776,49 4.877,81 6.355,24 10.945,49 13.934,65 19.383,10 12.919,65 15.620,36 8.379,65 6.961,94
J.I. Hanyut
28.996,01 44.165,46 24.450,69 20.884,00 18.716,95 17.749,53 16.577,03 14.742,04 17.879,41 25.849,17 16.586,04 25.305,30 30.230,41 26.585,74 37.343,84 25.158,43 32.885,30 61.521,00 21.442,26 24.219,32 21.236,69 24.020,58
Total Effort
48.986,88 71.694,75 40.011,39 53.821,21 64.593,32 54.618,41 77.299,93 80.937,94 93.619,30 118.827,19 137.246,99 103.427,36 114.419,35 129.464,97 175.252,96 139.160,99 158.075,42 249.260,24 121.561,23 176.073,50 132.927,89 104.980,17
198 Lampiran 11. Print out Analisis CYP Pantai Utara Jawa Barat |_File Screen c:/Shazamw/Bionomic/Pantura/Output/Panjabar.out UNIT 86 IS NOW ASSIGNED TO: c:\Shazamw\Bionomic\Pantura\Output\Panjabar.out |_File 11 c:/Shazamw/Bionomic/Pantura/Data/Panjabar.txt UNIT 11 IS NOW ASSIGNED TO: c:\Shazamw\Bionomic\Pantura\Data\Panjabar.txt |_Sample 1 21 |_read(11) E E2 U LnU LnU1/ skiplines=1 5 VARIABLES AND 21 OBSERVATIONS STARTING AT OBS 1 |_Print E E2 U LnU LnU1 E E2
U
LNU
11.41281 23.88366 564.9512 6.336739 12.47085 27.21382 563.9271 6.334925 14.74297 30.47964 559.5218 6.327083 15.73667 31.26267 543.3892 6.297826 15.52600 30.43093 537.5454 6.287013 14.90493 33.14077 538.1346 6.288109 18.23585 38.35460 525.4419 6.264240 20.11875 41.01986 477.8098 6.169213 20.90111 43.41179 471.5987 6.156128 22.51068 47.11292 468.0383 6.148550 24.60224 46.41732 472.8551 6.158789 21.81508 45.86398 483.8527 6.181781 24.04890 52.64569 449.2301 6.107535 28.59679 59.67757 438.1660 6.082598 31.08079 64.89827 399.4344 5.990050 33.81749 69.90871 387.9493 5.960875 36.09123 71.90493 366.0355 5.902730 35.81370 72.08990 350.0121 5.857968 36.27620 70.99733 351.6660 5.862682 34.72113 72.46867 345.0325 5.843639 37.74755 76.52673 326.6362 5.788847 |_stat E E2 U LnU LnU1/ pcor NAME N MEAN ST. DEV VARIANCE MINIMUM E 21 24.342 8.8620 78.536 11.413 E2 21 49.986 17.656 311.73 23.884 U 21 458.15 80.428 6468.6 326.64 LNU 21 6.1118 0.18234 0.33248E-01 5.7888 LNU1 21 6.0833 0.19198 0.36857E-01 5.7378 CORRELATION MATRIX OF VARIABLES E E2 U LNU LNU1
1.0000 0.99526 -0.98851 -0.98453 -0.98047 E
1.0000 -0.98857 -0.98337 -0.98670 E2
LNU1 6.334925 6.327083 6.297826 6.287013 6.288109 6.264240 6.169213 6.156128 6.148550 6.158789 6.181781 6.107535 6.082598 5.990050 5.960875 5.902730 5.857968 5.862682 5.843639 5.788847 5.737783 MAXIMUM 37.748 76.527 564.95 6.3367 6.3349
21 OBSERVATIONS
1.0000 0.99747 0.98451 U
1.0000 0.98608 LNU
|_ols LnU1 LnU E2/ rstat anova REQUIRED MEMORY IS PAR= 2 CURRENT PAR= 500 OLS ESTIMATION 21 OBSERVATIONS DEPENDENT VARIABLE = LNU1 ...NOTE..SAMPLE RANGE SET TO: 1. 21 R-SQUARE = 0.7811 R-SQUARE ADJUSTED = 0.7790 VARIANCE OF THE ESTIMATE-SIGMA**2 = 0.77230E-03 STANDARD ERROR OF THE ESTIMATE-SIGMA = 0.27790E-01 SUM OF SQUARED ERRORS-SSE= 0.13901E-01 MEAN OF DEPENDENT VARIABLE = 6.0833 LOG OF THE LIKELIHOOD FUNCTION = 47.0653 MODEL SELECTION TESTS - SEE JUDGE ET AL. (1985.P.242) AKAIKE (1969) FINAL PREDICTION ERROR - FPE = 0.88263E-03 (FPE IS ALSO KNOWN AS AMEMIYA PREDICTION CRITERION - PC) AKAIKE (1973) INFORMATION CRITERION - LOG AIC = -7.0346 SCHWARZ (1978) CRITERION - LOG SC = -6.8854 MODEL SELECTION TESTS - SEE RAMANATHAN (1992.P.167) CRAVEN-WAHBA (1979) GENERALIZED CROSS VALIDATION - GCV = 0.90102E-03
1.0000 LNU1
199 HANNAN AND QUINN (1979) CRITERION = RICE (1984) CRITERION = SHIBATA (1981) CRITERION = SCHWARZ (1978) CRITERION - SC = AKAIKE (1974) INFORMATION CRITERION - AIC =
0.90989E-03 0.92676E-03 0.85111E-03 0.10227E-02 0.88090E-03
REGRESSION ERROR TOTAL
ANALYSIS OF VARIANCE - FROM MEAN SS DF MS 0.72323 2. 0.36162 0.13901E-01 18. 0.77230E-03 0.73714 20. 0.36857E-01
F 468.233 P-VALUE 0.000
REGRESSION ERROR TOTAL
ANALYSIS OF VARIANCE - FROM ZERO SS DF MS 777.85 3. 259.28 0.13901E-01 18. 0.77230E-03 777.86 21. 37.041
F 335727.230 P-VALUE 0.000
VARIABLE ESTIMATED STANDARD T-RATIO NAME COEFFICIENT ERROR 18 DF LNU 0.50399 0.1876 2.686 E2 -0.56106E-02 0.1938E-02 -2.895 CONSTANT 3.2835 1.242 2.643
PARTIAL STANDARDIZED ELASTICITY P-VALUE CORR. COEFFICIENT AT MEANS 0.015 0.535 0.4787 0.5063 0.010-0.564 -0.5160 -0.0461 0.017 0.529 0.0000 0.5398
DURBIN-WATSON = 1.7798 VON NEUMANN RATIO = 1.8688 RHO = 0.07257 RESIDUAL SUM = -0.21441E-14 RESIDUAL VARIANCE = 0.77230E-03 SUM OF ABSOLUTE ERRORS= 0.40331 R-SQUARE BETWEEN OBSERVED AND PREDICTED = 0.9811 RUNS TEST: 11 RUNS. 12 POS. 0 ZERO. 9 NEG NORMAL STATISTIC = -0.1307 |_auto LnU1 LnU E2/ rstat REQUIRED MEMORY IS PAR=
4 CURRENT PAR=
500
DEPENDENT VARIABLE = LNU1 ..NOTE..R-SQUARE.ANOVA.RESIDUALS DONE ON ORIGINAL VARS LEAST SQUARES ESTIMATION 21 OBSERVATIONS BY COCHRANE-ORCUTT TYPE PROCEDURE WITH CONVERGENCE = 0.00100 ITERATION 1 2 3 4 5 6 7 LOG L.F. =
RHO
RHO 0.00000 0.07257 0.09499 0.10311 0.10620 0.10740 0.10787 47.1336
ESTIMATE 0.10787
LOG L.F. 47.0653 47.1288 47.1337 47.1339 47.1338 47.1337 47.1336 AT RHO =
ASYMPTOTIC VARIANCE 0.04706
ASYMPTOTIC ST.ERROR 0.21694
SSE 0.13901E-01 0.13814E-01 0.13805E-01 0.13804E-01 0.13804E-01 0.13804E-01 0.13804E-01
0.10787 ASYMPTOTIC T-RATIO 0.49723
R-SQUARE = 0.7813 R-SQUARE ADJUSTED = 0.7792 VARIANCE OF THE ESTIMATE-SIGMA**2 = 0.76686E-03 STANDARD ERROR OF THE ESTIMATE-SIGMA = 0.27692E-01 SUM OF SQUARED ERRORS-SSE= 0.13804E-01 MEAN OF DEPENDENT VARIABLE = 6.0833 LOG OF THE LIKELIHOOD FUNCTION = 47.1336 VARIABLE ESTIMATED STANDARD T-RATIO NAME COEFFICIENT ERROR 18 DF LNU 0.45656 0.1968 2.320 E2 -0.60998E-02 0.2035E-02 -2.998 CONSTANT 3.4975 1.266 2.762
PARTIAL STANDARDIZED ELASTICITY P-VALUE CORR. COEFFICIENT AT MEANS 0.032 0.480 0.4336 0.4587 0.008-0.577 -0.5610 -0.0501 0.013 0.546 0.0000 0.5914
DURBIN-WATSON = 1.9049 VON NEUMANN RATIO = 2.0002 RHO = 0.00700 RESIDUAL SUM = 0.10784E-02 RESIDUAL VARIANCE = 0.76693E-03 SUM OF ABSOLUTE ERRORS= 0.40148 R-SQUARE BETWEEN OBSERVED AND PREDICTED = 0.7813 RUNS TEST: 11 RUNS. 11 POS. 0 ZERO. 10 NEG NORMAL STATISTIC = -0.2137 DURBIN H STATISTIC (ASYMPTOTIC NORMAL) = 0.29752
200 MODIFIED FOR AUTO ORDER=1 |_coint LnU1 LnU E2 ...NOTE..SAMPLE RANGE SET TO:
1.
21
REQUIRED MEMORY IS PAR= 4 CURRENT PAR= ...NOTE..TEST LAG ORDER AUTOMATICALLY SET TOTAL NUMBER OF OBSERVATIONS = VARIABLE : LNU1 DICKEY-FULLER TESTS - NO.LAGS =
500
21
0
NO.OBS =
20
NULL TEST ASY. CRITICAL HYPOTHESIS STATISTIC VALUE 10% --------------------------------------------------------------------------CONSTANT. NO TREND A(1)=0 Z-TEST 0.62463 -11.2 A(1)=0 T-TEST 0.73284 -2.57 A(0)=A(1)=0 8.2910 3.78 AIC = -6.708 SC = -6.608 --------------------------------------------------------------------------CONSTANT. TREND A(1)=0 Z-TEST -7.0567 -18.2 A(1)=0 T-TEST -3.9676 -3.13 A(0)=A(1)=A(2)=0 8.3017 4.03 A(1)=A(2)=0 2.7312 5.34 AIC = -6.857 SC = -6.708 --------------------------------------------------------------------------VARIABLE : LNU DICKEY-FULLER TESTS - NO.LAGS =
0
NO.OBS =
20
NULL TEST ASY. CRITICAL HYPOTHESIS STATISTIC VALUE 10% --------------------------------------------------------------------------CONSTANT. NO TREND A(1)=0 Z-TEST 0.63994 -11.2 A(1)=0 T-TEST 0.71107 -2.57 A(0)=A(1)=0 6.9253 3.78 AIC = -6.696 SC = -6.596 --------------------------------------------------------------------------CONSTANT. TREND A(1)=0 Z-TEST -7.0488 -18.2 A(1)=0 T-TEST -2.0843 -3.13 A(0)=A(1)=A(2)=0 7.5925 4.03 A(1)=A(2)=0 3.0557 5.34 AIC = -6.875 SC = -6.726 --------------------------------------------------------------------------VARIABLE : E2 DICKEY-FULLER TESTS - NO.LAGS =
4
NO.OBS =
16
NULL TEST ASY. CRITICAL HYPOTHESIS STATISTIC VALUE 10% --------------------------------------------------------------------------CONSTANT. NO TREND A(1)=0 T-TEST 0.29410 -2.57 A(0)=A(1)=0 8.4106 3.78 AIC = 1.423 SC = 1.713 --------------------------------------------------------------------------CONSTANT. TREND A(1)=0 T-TEST -3.3130 -3.13 A(0)=A(1)=A(2)=0 6.6769 4.03 A(1)=A(2)=0 0.95871 5.34 AIC = 1.364 SC = 1.702 --------------------------------------------------------------------------|_stop
201 Lampiran 12. Print out Analisis CYP Kabupaten Karawang |_File Screen c:/Shazamw/Bionomic/karawang/Output/KarCYP.out UNIT 86 IS NOW ASSIGNED TO: c:\Shazamw\Bionomic\karawang\Output\KarCYP.out |_File 11 c:/Shazamw/Bionomic/karawang/Data/KarCYP.txt UNIT 11 IS NOW ASSIGNED TO: c:\Shazamw\Bionomic\karawang\Data\KarCYP.txt |_Sample 1 21 |_read(11) E E2 U LnU LnU1/ skiplines=1 5 VARIABLES AND 21 OBSERVATIONS STARTING AT OBS 1 |_Print E E2 U LnU LnU1 E E2
U
LNU
13.09121 27.20350 84.67127 4.438776 14.11229 27.68436 82.75957 4.415940 13.57207 31.24641 82.76449 4.415999 17.67435 35.41411 69.20767 4.237112 17.73976 39.29403 70.29687 4.252727 21.55426 39.59570 64.46674 4.166149 18.04144 34.09043 70.71569 4.258667 16.04899 39.84182 67.66819 4.214616 23.79283 47.40849 59.92377 4.093073 23.61566 43.41009 58.61837 4.071048 19.79443 46.05676 59.79893 4.090988 26.26233 50.66890 47.07012 3.851638 24.40657 50.59851 47.61353 3.863117 26.19194 53.43654 45.74277 3.823034 27.24460 52.03123 50.82204 3.928330 24.78663 47.60256 48.25836 3.876569 22.81593 44.01943 44.14441 3.787466 21.20350 45.77312 38.29018 3.645194 24.56963 49.15239 57.96769 4.059886 24.58277 49.43530 56.27213 4.030199 24.85253 48.55082 60.16321 4.097061 |_stat E E2 U LnU LnU1/ pcor NAME N MEAN ST. DEV VARIANCE MINIMUM E 21 21.236 4.4649 19.935 13.091 E2 21 42.977 7.9700 63.521 27.204 U 21 60.345 13.258 175.77 38.290 LNU 21 4.0770 0.22069 0.48703E-01 3.6452 LNU1 21 4.0585 0.20454 0.41836E-01 3.6452 CORRELATION MATRIX OF VARIABLES -
E E2 U LNU LNU1
1.0000 0.93864 -0.84203 -0.79475 -0.72152 E
1.0000 -0.87117 -0.82605 -0.79019 E2
LNU1 4.415940 4.415999 4.237112 4.252727 4.166149 4.258667 4.214616 4.093073 4.071048 4.090988 3.851638 3.863117 3.823034 3.928330 3.876569 3.787466 3.645194 4.059886 4.030199 4.097061 4.050491 MAXIMUM 27.245 53.437 84.671 4.4388 4.4160
21 OBSERVATIONS
1.0000 0.99328 0.83584 U
1.0000 0.81475 LNU
|_ols LnU1 LnU E2/ rstat anova REQUIRED MEMORY IS PAR= 2 CURRENT PAR= 500 OLS ESTIMATION 21 OBSERVATIONS DEPENDENT VARIABLE = LNU1 ...NOTE..SAMPLE RANGE SET TO: 1. 21 R-SQUARE = 0.7070 R-SQUARE ADJUSTED = 0.6745 VARIANCE OF THE ESTIMATE-SIGMA**2 = 0.13618E-01 STANDARD ERROR OF THE ESTIMATE-SIGMA = 0.11670 SUM OF SQUARED ERRORS-SSE= 0.24513 MEAN OF DEPENDENT VARIABLE = 4.0585 LOG OF THE LIKELIHOOD FUNCTION = 16.9323 MODEL SELECTION TESTS - SEE JUDGE ET AL. (1985.P.242) AKAIKE (1969) FINAL PREDICTION ERROR - FPE = 0.15564E-01 (FPE IS ALSO KNOWN AS AMEMIYA PREDICTION CRITERION - PC) AKAIKE (1973) INFORMATION CRITERION - LOG AIC = -4.1648 SCHWARZ (1978) CRITERION - LOG SC = -4.0155 MODEL SELECTION TESTS - SEE RAMANATHAN (1992.P.167) CRAVEN-WAHBA (1979)
1.0000 LNU1
202 GENERALIZED CROSS VALIDATION - GCV = HANNAN AND QUINN (1979) CRITERION = RICE (1984) CRITERION = SHIBATA (1981) CRITERION = SCHWARZ (1978) CRITERION - SC = AKAIKE (1974) INFORMATION CRITERION - AIC =
0.15888E-01 0.16045E-01 0.16342E-01 0.15008E-01 0.18033E-01 0.15533E-01
REGRESSION ERROR TOTAL
ANALYSIS OF VARIANCE - FROM MEAN SS DF MS 0.59159 2. 0.29579 0.24513 18. 0.13618E-01 0.83672 20. 0.41836E-01
F 21.720 P-VALUE 0.000
REGRESSION ERROR TOTAL
ANALYSIS OF VARIANCE - FROM ZERO SS DF MS 346.50 3. 115.50 0.24513 18. 0.13618E-01 346.74 21. 16.512
F 8481.079 P-VALUE 0.000
VARIABLE ESTIMATED STANDARD T-RATIO NAME COEFFICIENT ERROR 18 DF LNU 0.47272 0.2098 2.253 E2 -0.94665E-02 0.5809E-02 -1.630 CONSTANT 2.5381 1.071 2.369
PARTIAL STANDARDIZED ELASTICITY P-VALUE CORR. COEFFICIENT AT MEANS 0.037 0.469 0.5100 0.4749 0.121-0.359 -0.3689 -0.1002 0.029 0.488 0.0000 0.6254
DURBIN-WATSON = 2.2123 VON NEUMANN RATIO = 2.3229 RHO = -0.11207 RESIDUAL SUM = 0.58981E-15 RESIDUAL VARIANCE = 0.13618E-01 SUM OF ABSOLUTE ERRORS= 1.7297 R-SQUARE BETWEEN OBSERVED AND PREDICTED = 0.7070 RUNS TEST: 11 RUNS. 11 POS. 0 ZERO. 10 NEG NORMAL STATISTIC = -0.2137 |_auto LnU1 LnU E2/ rstat REQUIRED MEMORY IS PAR=
4 CURRENT PAR=
500
DEPENDENT VARIABLE = LNU1 ..NOTE..R-SQUARE.ANOVA.RESIDUALS DONE ON ORIGINAL VARS LEAST SQUARES ESTIMATION 21 OBSERVATIONS BY COCHRANE-ORCUTT TYPE PROCEDURE WITH CONVERGENCE = 0.00100 ITERATION 1 2 3 4 5 6 7 LOG L.F. =
RHO
RHO 0.00000 -0.11207 -0.15868 -0.17373 -0.17811 -0.17934 -0.17968 17.1431
ESTIMATE -0.17968
LOG L.F. 16.9323 17.1177 17.1430 17.1438 17.1434 17.1432 17.1431 AT RHO =
ASYMPTOTIC VARIANCE 0.04608
SSE 0.24513 0.24070 0.23997 0.23989 0.23989 0.23988 0.23988
-0.17968
ASYMPTOTIC ST.ERROR 0.21467
ASYMPTOTIC T-RATIO -0.83703
R-SQUARE = 0.7133 R-SQUARE ADJUSTED = 0.6814 VARIANCE OF THE ESTIMATE-SIGMA**2 = 0.13327E-01 STANDARD ERROR OF THE ESTIMATE-SIGMA = 0.11544 SUM OF SQUARED ERRORS-SSE= 0.23988 MEAN OF DEPENDENT VARIABLE = 4.0585 LOG OF THE LIKELIHOOD FUNCTION = 17.1431 VARIABLE ESTIMATED STANDARD T-RATIO NAME COEFFICIENT ERROR 18 DF LNU 0.56609 0.1938 2.920 E2 -0.75847E-02 0.5352E-02 -1.417 CONSTANT 2.0761 0.9930 2.091
PARTIAL STANDARDIZED ELASTICITY P-VALUE CORR. COEFFICIENT AT MEANS 0.009 0.567 0.6108 0.5687 0.173-0.317 -0.2955 -0.0803 0.051 0.442 0.0000 0.5115
DURBIN-WATSON = 2.0201 VON NEUMANN RATIO = 2.1211 RHO = -0.01650 RESIDUAL SUM = 0.60002E-02 RESIDUAL VARIANCE = 0.13329E-01 SUM OF ABSOLUTE ERRORS= 1.7269 R-SQUARE BETWEEN OBSERVED AND PREDICTED = 0.7133 RUNS TEST: 11 RUNS. 12 POS. 0 ZERO. 9 NEG NORMAL STATISTIC = -0.1307 DURBIN H STATISTIC (ASYMPTOTIC NORMAL) = -0.42080
203 MODIFIED FOR AUTO ORDER=1 |_coint LnU1 LnU E2 ...NOTE..SAMPLE RANGE SET TO:
1.
21
REQUIRED MEMORY IS PAR= 4 CURRENT PAR= 500 ...NOTE..TEST LAG ORDER AUTOMATICALLY SET TOTAL NUMBER OF OBSERVATIONS = 21 VARIABLE : LNU1 DICKEY-FULLER TESTS - NO.LAGS = 0 NO.OBS =
20
NULL TEST ASY. CRITICAL HYPOTHESIS STATISTIC VALUE 10% --------------------------------------------------------------------------CONSTANT. NO TREND A(1)=0 Z-TEST -5.6623 -11.2 A(1)=0 T-TEST -3.1042 -2.57 A(0)=A(1)=0 2.4343 3.78 AIC = -4.095 SC = -3.996 --------------------------------------------------------------------------CONSTANT. TREND A(1)=0 Z-TEST -7.4605 -18.2 A(1)=0 T-TEST -1.8254 -3.13 A(0)=A(1)=A(2)=0 1.6817 4.03 A(1)=A(2)=0 2.3100 5.34 AIC = -4.016 SC = -3.867 --------------------------------------------------------------------------VARIABLE : LNU DICKEY-FULLER TESTS - NO.LAGS =
0
NO.OBS =
20
NULL TEST ASY. CRITICAL HYPOTHESIS STATISTIC VALUE 10% --------------------------------------------------------------------------CONSTANT. NO TREND A(1)=0 Z-TEST -4.8874 -11.2 A(1)=0 T-TEST -2.9308 -2.57 A(0)=A(1)=0 2.0512 3.78 AIC = -4.066 SC = -3.967 --------------------------------------------------------------------------CONSTANT. TREND A(1)=0 Z-TEST -7.7873 -18.2 A(1)=0 T-TEST -1.6217 -3.13 A(0)=A(1)=A(2)=0 1.5004 4.03 A(1)=A(2)=0 2.0686 5.34 AIC = -3.996 SC = -3.846 --------------------------------------------------------------------------VARIABLE : E2 DICKEY-FULLER TESTS - NO.LAGS =
0
NO.OBS =
20
NULL TEST ASY. CRITICAL HYPOTHESIS STATISTIC VALUE 10% --------------------------------------------------------------------------CONSTANT. NO TREND A(1)=0 Z-TEST -3.8295 -11.2 A(1)=0 T-TEST -3.0209 -2.57 A(0)=A(1)=0 3.0672 3.78 AIC = 2.503 SC = 2.602 --------------------------------------------------------------------------CONSTANT. TREND A(1)=0 Z-TEST -6.2393 -18.2 A(1)=0 T-TEST -1.7759 -3.13 A(0)=A(1)=A(2)=0 2.2301 4.03 A(1)=A(2)=0 2.3387 5.34 AIC = 2.564 SC = 2.713 --------------------------------------------------------------------------|_stop
204 Lampiran 13. Print out Analisis CYP Kabupaten Subang |_File 11 c:/Shazamw/Bionomic/Subang/Data/SubCYP.txt UNIT 11 IS NOW ASSIGNED TO: c:\Shazamw\Bionomic\Subang\Data\SubCYP.txt |_Sample 4 20 |_read(11) E E2 U LnU LnU1/ skiplines=1 5 VARIABLES AND 17 OBSERVATIONS STARTING AT OBS 4 |_Print E E2 U LnU LnU1 3.416000 2.832000 2.791000 3.591000 2.981000 2.965000 3.195000 4.101000 5.584000 4.882000 5.582000 7.112000 8.243000 8.148000 10.87900 9.585000 19.80800
6.248000 5.623000 6.383000 6.572000 5.946000 6.161000 7.296000 9.685000 10.46600 10.46400 12.69400 15.35500 16.39100 19.02700 20.46400 29.39300 49.52600
175.3420 165.6210 195.5860 171.9920 209.4540 210.8000 197.0020 170.0620 160.7260 172.9230 150.2830 137.7600 130.2280 141.6930 126.2470 117.4230 95.93000
|_stat E E2 U LnU LnU1/ pcor NAME N MEAN ST. DEV E 17 6.2174 4.3417 E2 17 13.982 11.274 U 17 160.53 32.791 LNU 17 5.0575 0.21624 LNU1 17 4.9985 0.30366 CORRELATION MATRIX OF VARIABLES -
E E2 U LNU LNU1
1.0000 0.97676 -0.86588 -0.91372 -0.93864 E
1.0000 -0.84406 -0.89808 -0.96146 E2
5.167000 5.110000 5.276000 5.147000 5.345000 5.351000 5.283000 5.136000 5.080000 5.153000 5.013000 4.926000 4.869000 4.954000 4.838000 4.766000 4.564000
VARIANCE 18.850 127.11 1075.3 0.46759E-01 0.92211E-01
MINIMUM 2.7910 5.6230 95.930 4.5640 4.1640
5.110000 5.276000 5.147000 5.345000 5.351000 5.283000 5.136000 5.080000 5.153000 5.013000 4.926000 4.869000 4.954000 4.838000 4.766000 4.564000 4.164000
MAXIMUM 19.808 49.526 210.80 5.3510 5.3510
17 OBSERVATIONS
1.0000 0.99283 0.86910 U
1.0000 0.90624 LNU
|_ols LnU1 LnU E2/ rstat anova REQUIRED MEMORY IS PAR= 2 CURRENT PAR= 500 OLS ESTIMATION 17 OBSERVATIONS DEPENDENT VARIABLE = LNU1 ...NOTE..SAMPLE RANGE SET TO: 4. 20 R-SQUARE = 0.9339 R-SQUARE ADJUSTED = 0.9244 VARIANCE OF THE ESTIMATE-SIGMA**2 = 0.69694E-02 STANDARD ERROR OF THE ESTIMATE-SIGMA = 0.83483E-01 SUM OF SQUARED ERRORS-SSE= 0.97571E-01 MEAN OF DEPENDENT VARIABLE = 4.9985 LOG OF THE LIKELIHOOD FUNCTION = 19.7414 MODEL SELECTION TESTS - SEE JUDGE ET AL. (1985.P.242) AKAIKE (1969) FINAL PREDICTION ERROR - FPE = 0.81992E-02 (FPE IS ALSO KNOWN AS AMEMIYA PREDICTION CRITERION - PC) AKAIKE (1973) INFORMATION CRITERION - LOG AIC = -4.8074 SCHWARZ (1978) CRITERION - LOG SC = -4.6604 MODEL SELECTION TESTS - SEE RAMANATHAN (1992.P.167) CRAVEN-WAHBA (1979) GENERALIZED CROSS VALIDATION - GCV = 0.84628E-02 HANNAN AND QUINN (1979) CRITERION = 0.82889E-02 RICE (1984) CRITERION = 0.88701E-02 SHIBATA (1981) CRITERION = 0.77652E-02 SCHWARZ (1978) CRITERION - SC = 0.94626E-02
1.0000 LNU1
205 AKAIKE (1974) INFORMATION CRITERION - AIC =
0.81687E-02
REGRESSION ERROR TOTAL
ANALYSIS OF VARIANCE - FROM MEAN SS DF MS 1.3778 2. 0.68891 0.97571E-01 14. 0.69694E-02 1.4754 16. 0.92211E-01
F 98.848 P-VALUE 0.000
REGRESSION ERROR TOTAL
ANALYSIS OF VARIANCE - FROM ZERO SS DF MS 426.13 3. 142.04 0.97571E-01 14. 0.69694E-02 426.23 17. 25.072
F 20381.041 P-VALUE 0.000
VARIABLE ESTIMATED STANDARD T-RATIO NAME COEFFICIENT ERROR 14 DF LNU 0.31050 0.2194 1.415 E2 -0.20548E-01 0.4209E-02 -4.882 CONSTANT 3.7154 1.163 3.194
PARTIAL STANDARDIZED ELASTICITY P-VALUE CORR. COEFFICIENT AT MEANS 0.179 0.354 0.2211 0.3142 0.000-0.794 -0.7629 -0.0575 0.006 0.649 0.0000 0.7433
DURBIN-WATSON = 2.0843 VON NEUMANN RATIO = 2.2146 RHO = -0.09074 RESIDUAL SUM = 0.25813E-14 RESIDUAL VARIANCE = 0.69694E-02 SUM OF ABSOLUTE ERRORS= 1.1488 R-SQUARE BETWEEN OBSERVED AND PREDICTED = 0.9339 RUNS TEST: 10 RUNS. 7 POS. 0 ZERO. 10 NEG NORMAL STATISTIC =
0.3963
|_auto LnU1 LnU E2/ rstat REQUIRED MEMORY IS PAR=
3 CURRENT PAR=
500
DEPENDENT VARIABLE = LNU1 ..NOTE..R-SQUARE.ANOVA.RESIDUALS DONE ON ORIGINAL VARS LEAST SQUARES ESTIMATION 17 OBSERVATIONS BY COCHRANE-ORCUTT TYPE PROCEDURE WITH CONVERGENCE = 0.00100 ITERATION 1 2 3 4 5 6 7 8 LOG L.F. =
RHO
RHO 0.00000 -0.09074 -0.15139 -0.18209 -0.19508 -0.20012 -0.20200 -0.20270 19.9238
ESTIMATE -0.20270
LOG L.F. 19.7414 19.8594 19.9084 19.9208 19.9232 19.9237 19.9238 19.9238 AT RHO =
ASYMPTOTIC VARIANCE 0.05641
SSE 0.97571E-01 0.96178E-01 0.95541E-01 0.95343E-01 0.95288E-01 0.95271E-01 0.95266E-01 0.95264E-01
-0.20270
ASYMPTOTIC ST.ERROR 0.23750
ASYMPTOTIC T-RATIO -0.85345
R-SQUARE = 0.9354 R-SQUARE ADJUSTED = 0.9262 VARIANCE OF THE ESTIMATE-SIGMA**2 = 0.68046E-02 STANDARD ERROR OF THE ESTIMATE-SIGMA = 0.82490E-01 SUM OF SQUARED ERRORS-SSE= 0.95264E-01 MEAN OF DEPENDENT VARIABLE = 4.9985 LOG OF THE LIKELIHOOD FUNCTION = 19.9238
VARIABLE ESTIMATED STANDARD T-RATIO NAME COEFFICIENT ERROR 14 DF LNU 0.42305 0.2006 2.109 E2 -0.18877E-01 0.3952E-02 -4.777 CONSTANT 3.1232 1.065 2.933
PARTIAL STANDARDIZED ELASTICITY P-VALUE CORR. COEFFICIENT AT MEANS 0.053 0.491 0.3013 0.4280 0.000-0.787 -0.7009 -0.0528 0.011 0.617 0.0000 0.6248
DURBIN-WATSON = 1.9330 VON NEUMANN RATIO = 2.0538 RHO = -0.00984 RESIDUAL SUM = -0.16458E-01 RESIDUAL VARIANCE = 0.68239E-02 SUM OF ABSOLUTE ERRORS= 1.1269 R-SQUARE BETWEEN OBSERVED AND PREDICTED = 0.9353 RUNS TEST: 10 RUNS. 7 POS. 0 ZERO. 10 NEG NORMAL STATISTIC = DURBIN H STATISTIC (ASYMPTOTIC NORMAL) = -0.20023 MODIFIED FOR AUTO ORDER=1
0.3963
206 |_coint LnU1 LnU E2 ...NOTE..SAMPLE RANGE SET TO:
4.
20
REQUIRED MEMORY IS PAR= 3 CURRENT PAR= ...NOTE..TEST LAG ORDER AUTOMATICALLY SET TOTAL NUMBER OF OBSERVATIONS = VARIABLE : LNU1 DICKEY-FULLER TESTS - NO.LAGS =
500
17
0
NO.OBS =
16
NULL TEST ASY. CRITICAL HYPOTHESIS STATISTIC VALUE 10% --------------------------------------------------------------------------CONSTANT. NO TREND A(1)=0 Z-TEST 4.4326 -11.2 A(1)=0 T-TEST 1.7339 -2.57 A(0)=A(1)=0 2.9927 3.78 AIC = -3.859 SC = -3.762 --------------------------------------------------------------------------CONSTANT. TREND A(1)=0 Z-TEST -3.5088 -18.2 A(1)=0 T-TEST -0.77611 -3.13 A(0)=A(1)=A(2)=0 3.8385 4.03 A(1)=A(2)=0 3.9305 5.34 AIC = -4.012 SC = -3.867 --------------------------------------------------------------------------VARIABLE : LNU DICKEY-FULLER TESTS - NO.LAGS =
0
NO.OBS =
16
NULL TEST ASY. CRITICAL HYPOTHESIS STATISTIC VALUE 10% --------------------------------------------------------------------------CONSTANT. NO TREND A(1)=0 Z-TEST 0.82257 -11.2 A(1)=0 T-TEST 0.30516 -2.57 A(0)=A(1)=0 0.86465 3.78 AIC = -4.160 SC = -4.064 --------------------------------------------------------------------------CONSTANT. TREND A(1)=0 Z-TEST -6.7550 -18.2 A(1)=0 T-TEST -1.7471 -3.13 A(0)=A(1)=A(2)=0 2.7772 4.03 A(1)=A(2)=0 3.0564 5.34 AIC = -4.414 SC = -4.269 --------------------------------------------------------------------------VARIABLE : E2 DICKEY-FULLER TESTS - NO.LAGS =
0
NO.OBS =
16
NULL TEST ASY. CRITICAL HYPOTHESIS STATISTIC VALUE 10% --------------------------------------------------------------------------CONSTANT. NO TREND A(1)=0 Z-TEST 10.178 -11.2 A(1)=0 T-TEST 5.7271 -2.57 A(0)=A(1)=0 23.262 3.78 AIC = 2.260 SC = 2.357 --------------------------------------------------------------------------CONSTANT. TREND A(1)=0 Z-TEST 17.078 -18.2 A(1)=0 T-TEST 4.5498 -3.13 A(0)=A(1)=A(2)=0 20.361 4.03 A(1)=A(2)=0 22.142 5.34 AIC = 2.109 SC = 2.254 --------------------------------------------------------------------------|_stop
207 Lampiran 14. Print out Analisis CYP Kabupaten Indramayu |_File Screen c:/Shazamw/Bionomic/Indramyu/Output/Dataasli2.out UNIT 86 IS NOW ASSIGNED TO: c:\Shazamw\Bionomic\Indramyu\Output\Dataasli2.out |_File 11 c:/Shazamw/Bionomic/Indramyu/Data/Dataasli2.txt UNIT 11 IS NOW ASSIGNED TO: c:\Shazamw\Bionomic\Indramyu\Data\Dataasli2.txt |_Sample 1 16 |_read(11) E E2 U LnU LnU1/ skiplines=1 5 VARIABLES AND 16 OBSERVATIONS STARTING AT OBS 1 |_Print E E2 U LnU LnU1 E E2
U
LNU
20.40450 45.81260 216.0342 5.375400 25.40800 54.66050 207.9586 5.337300 29.25240 58.47280 199.6295 5.296500 29.22040 59.60950 195.3267 5.274700 30.38910 62.53350 182.8892 5.208900 32.14440 66.66360 176.9721 5.176000 34.51920 69.41240 177.4574 5.178700 34.89320 73.39720 180.2778 5.194500 38.50410 79.62400 171.8013 5.146300 41.12000 85.87460 166.2579 5.113500 44.75460 88.87720 164.0057 5.099900 44.12250 87.77530 149.3596 5.006400 43.65280 96.19000 158.2548 5.064200 52.53720 111.7069 151.0579 5.017700 59.16970 112.4603 150.3482 5.013000 53.29070 124.3625 141.8199 4.954600 |_stat E E2 U LnU LnU1/ pcor NAME N MEAN ST. DEV VARIANCE MINIMUM E 16 38.336 10.808 116.82 20.405 E2 16 79.840 22.791 519.42 45.813 U 16 174.34 22.076 487.34 141.82 LNU 16 5.1536 0.12541 0.15729E-01 4.9546 LNU1 16 5.1250 0.12355 0.15264E-01 4.9185 CORRELATION MATRIX OF VARIABLES -
E E2 U LNU LNU1
1.0000 0.97454 -0.93768 -0.94373 -0.95901 E
1.0000 -0.93533 -0.94662 -0.96290 E2
LNU1 5.337300 5.296500 5.274700 5.208900 5.176000 5.178700 5.194500 5.146300 5.113500 5.099900 5.006400 5.064200 5.017700 5.013000 4.954600 4.918500 MAXIMUM 59.170 124.36 216.03 5.3754 5.3373
16 OBSERVATIONS
1.0000 0.99816 0.95812 U
1.0000 0.95972 LNU
|_ols LnU1 LnU E2/ rstat anova REQUIRED MEMORY IS PAR= 2 CURRENT PAR= 500 OLS ESTIMATION 16 OBSERVATIONS DEPENDENT VARIABLE = LNU1 ...NOTE..SAMPLE RANGE SET TO: 1. 16 R-SQUARE = 0.8495 R-SQUARE ADJUSTED = 0.8418 VARIANCE OF THE ESTIMATE-SIGMA**2 = 0.88858E-03 STANDARD ERROR OF THE ESTIMATE-SIGMA = 0.29809E-01 SUM OF SQUARED ERRORS-SSE= 0.11552E-01 MEAN OF DEPENDENT VARIABLE = 5.1250 LOG OF THE LIKELIHOOD FUNCTION = 35.1652 MODEL SELECTION TESTS - SEE JUDGE ET AL. (1985.P.242) AKAIKE (1969) FINAL PREDICTION ERROR - FPE = 0.10552E-02 (FPE IS ALSO KNOWN AS AMEMIYA PREDICTION CRITERION - PC) AKAIKE (1973) INFORMATION CRITERION - LOG AIC = -6.8585 SCHWARZ (1978) CRITERION - LOG SC = -6.7137 MODEL SELECTION TESTS - SEE RAMANATHAN (1992.P.167) CRAVEN-WAHBA (1979) GENERALIZED CROSS VALIDATION - GCV = 0.10936E-02 HANNAN AND QUINN (1979) CRITERION = 0.10583E-02 RICE (1984) CRITERION = 0.11552E-02 SHIBATA (1981) CRITERION = 0.99271E-03
1.0000 LNU1
208 SCHWARZ (1978) CRITERION - SC = AKAIKE (1974) INFORMATION CRITERION - AIC =
0.12142E-02 0.10505E-02
REGRESSION ERROR TOTAL
ANALYSIS OF VARIANCE - FROM MEAN SS DF MS 0.21741 2. 0.10871 0.11552E-01 13. 0.88858E-03 0.22896 15. 0.15264E-01
F 122.336 P-VALUE 0.000
REGRESSION ERROR TOTAL
ANALYSIS OF VARIANCE - FROM ZERO SS DF MS 420.47 3. 140.16 0.11552E-01 13. 0.88858E-03 420.49 16. 26.280
F 157733.109 P-VALUE 0.000
VARIABLE ESTIMATED STANDARD T-RATIO NAME COEFFICIENT ERROR 13 DF LNU 0.45708 0.1904 2.401 E2 -0.28388E-02 0.1048E-02 -2.710 CONSTANT 2.9961 1.061 2.825
PARTIAL STANDARDIZED ELASTICITY P-VALUE CORR. COEFFICIENT AT MEANS 0.032 0.554 0.4640 0.4596 0.018-0.601 -0.5237 -0.0442 0.014 0.617 0.0000 0.5846
DURBIN-WATSON = 2.7597 VON NEUMANN RATIO = 2.9437 RHO = -0.39776 RESIDUAL SUM = 0.32717E-14 RESIDUAL VARIANCE = 0.88858E-03 SUM OF ABSOLUTE ERRORS= 0.35800 R-SQUARE BETWEEN OBSERVED AND PREDICTED = 0.8495 RUNS TEST: 11 RUNS. 9 POS. 0 ZERO. 7 NEG NORMAL STATISTIC =
1.1185
|_auto LnU1 LnU E2/ rstat REQUIRED MEMORY IS PAR=
3 CURRENT PAR=
500
DEPENDENT VARIABLE = LNU1 ..NOTE..R-SQUARE.ANOVA.RESIDUALS DONE ON ORIGINAL VARS LEAST SQUARES ESTIMATION 16 OBSERVATIONS BY COCHRANE-ORCUTT TYPE PROCEDURE WITH CONVERGENCE = 0.00100 ITERATION 1 2 3 4 5 LOG L.F. =
RHO
RHO 0.00000 -0.39776 -0.51425 -0.52365 -0.52420 37.1560
ESTIMATE -0.52420
LOG L.F. 35.1652 37.0643 37.1616 37.1563 37.1560 AT RHO =
ASYMPTOTIC VARIANCE 0.04533
SSE 0.11552E-01 0.90129E-02 0.88293E-02 0.88277E-02 0.88277E-02
-0.52420
ASYMPTOTIC ST.ERROR 0.21290
ASYMPTOTIC T-RATIO -2.46218
R-SQUARE = 0.8614 R-SQUARE ADJUSTED = 0.8555 VARIANCE OF THE ESTIMATE-SIGMA**2 = 0.67905E-03 STANDARD ERROR OF THE ESTIMATE-SIGMA = 0.26059E-01 SUM OF SQUARED ERRORS-SSE= 0.88277E-02 MEAN OF DEPENDENT VARIABLE = 5.1250 LOG OF THE LIKELIHOOD FUNCTION = 37.1560
VARIABLE ESTIMATED STANDARD T-RATIO NAME COEFFICIENT ERROR 13 DF LNU 0.61632 0.1297 4.752 E2 -0.47227E-02 0.1666E-02 -2.834 CONSTANT 2.1100 0.7228 2.919
PARTIAL STANDARDIZED ELASTICITY P-VALUE CORR. COEFFICIENT AT MEANS 0.000 0.797 0.6256 0.6198 0.014-0.618 -0.3731 -0.0315 0.012 0.629 0.0000 0.4117
DURBIN-WATSON = 2.0934 VON NEUMANN RATIO = 2.2330 RHO = -0.04997 RESIDUAL SUM = 0.36793E-02 RESIDUAL VARIANCE = 0.68009E-03 SUM OF ABSOLUTE ERRORS= 0.27421 R-SQUARE BETWEEN OBSERVED AND PREDICTED = 0.8614 RUNS TEST: 8 RUNS. 11 POS. 0 ZERO. 5 NEG NORMAL STATISTIC = DURBIN H STATISTIC (ASYMPTOTIC NORMAL) = -0.38132 MODIFIED FOR AUTO ORDER=1 |_coint LnU1 LnU E2
0.0762
209 ...NOTE..SAMPLE RANGE SET TO:
1.
16
REQUIRED MEMORY IS PAR= 3 CURRENT PAR= ...NOTE..TEST LAG ORDER AUTOMATICALLY SET TOTAL NUMBER OF OBSERVATIONS = VARIABLE : LNU1 DICKEY-FULLER TESTS - NO.LAGS =
500
16
0
NO.OBS =
15
NULL TEST ASY. CRITICAL HYPOTHESIS STATISTIC VALUE 10% --------------------------------------------------------------------------CONSTANT. NO TREND A(1)=0 Z-TEST -0.86804 -11.2 A(1)=0 T-TEST -0.66488 -2.57 A(0)=A(1)=0 4.4279 3.78 AIC = -6.455 SC = -6.361 --------------------------------------------------------------------------CONSTANT. TREND A(1)=0 Z-TEST -15.966 -18.2 A(1)=0 T-TEST -3.7539 -3.13 A(0)=A(1)=A(2)=0 10.147 4.03 A(1)=A(2)=0 7.0513 5.34 AIC = -7.065 SC = -6.924 --------------------------------------------------------------------------VARIABLE : LNU DICKEY-FULLER TESTS - NO.LAGS =
0
NO.OBS =
15
NULL TEST ASY. CRITICAL HYPOTHESIS STATISTIC VALUE 10% --------------------------------------------------------------------------CONSTANT. NO TREND A(1)=0 Z-TEST -1.1210 -11.2 A(1)=0 T-TEST -0.89302 -2.57 A(0)=A(1)=0 4.7496 3.78 AIC = -6.479 SC = -6.385 --------------------------------------------------------------------------CONSTANT. TREND A(1)=0 Z-TEST -14.839 -18.2 A(1)=0 T-TEST -3.6157 -3.13 A(0)=A(1)=A(2)=0 9.7161 4.03 A(1)=A(2)=0 6.6169 5.34 AIC = -7.030 SC = -6.888 --------------------------------------------------------------------------VARIABLE : E2 DICKEY-FULLER TESTS - NO.LAGS =
0
NO.OBS =
15
NULL TEST ASY. CRITICAL HYPOTHESIS STATISTIC VALUE 10% --------------------------------------------------------------------------CONSTANT. NO TREND A(1)=0 Z-TEST 0.80025 -11.2 A(1)=0 T-TEST 0.90311 -2.57 A(0)=A(1)=0 10.789 3.78 AIC = 3.110 SC = 3.204 --------------------------------------------------------------------------CONSTANT. TREND A(1)=0 Z-TEST -4.9843 -18.2 A(1)=0 T-TEST -1.0983 -3.13 A(0)=A(1)=A(2)=0 8.1343 4.03 A(1)=A(2)=0 1.2722 5.34 AIC = 3.112 SC = 3.253 --------------------------------------------------------------------------|_stop
210 Lampiran 15. Print out Analisis CYP Kabupaten Cirebon |_File Screen c:/Shazamw/Bionomic/Cirebon/Output/CirCYP1.out UNIT 86 IS NOW ASSIGNED TO: c:\Shazamw\Bionomic\Cirebon\Output\CirCYP1.out |_File 11 c:/Shazamw/Bionomic/Cirebon/Data/CirCYP1.txt UNIT 11 IS NOW ASSIGNED TO: c:\Shazamw\Bionomic\Cirebon\Data\CirCYP1.txt |_Sample 1 21 |_read(11) E E2 U LnU LnU1/ skiplines=1 5 VARIABLES AND 21 OBSERVATIONS STARTING AT OBS 1 |_Print E E2 U LnU LnU1 E E2
U
LNU
10.37900 24.45100 87.90000 4.476000 14.07200 28.56000 86.46700 4.460000 14.48800 28.33600 89.24600 4.491000 13.84800 41.10200 89.46500 4.494000 27.25500 53.28000 81.95100 4.406000 26.02500 48.07700 88.33500 4.481000 22.05200 51.33200 83.38300 4.423000 29.27900 56.45100 79.62600 4.377000 27.17200 61.23600 72.65300 4.286000 34.06400 65.80800 74.03600 4.305000 31.74500 74.48200 70.23200 4.252000 42.73700 78.84700 57.83400 4.058000 36.11000 71.76000 62.82900 4.140000 35.64900 82.23400 56.90900 4.041000 46.58500 95.74600 59.17400 4.080000 49.16100 101.5380 50.44400 3.921000 52.37600 116.9060 41.79000 3.733000 64.53000 127.7960 34.70700 3.547000 63.26600 116.9710 37.30900 3.619000 53.70400 114.3850 36.39300 3.594000 60.68000 125.0100 30.50800 3.418000 |_stat E E2 U LnU LnU1/ pcor NAME N MEAN ST. DEV VARIANCE MINIMUM E 21 35.961 16.860 284.25 10.379 E2 21 74.491 33.149 1098.9 24.451 U 21 65.295 20.396 415.98 30.508 LNU 21 4.1239 0.35489 0.12595 3.4180 LNU1 21 4.0852 0.35888 0.12880 3.4180 CORRELATION MATRIX OF VARIABLES -
E E2 U LNU LNU1
1.0000 0.98256 -0.96254 -0.95007 -0.93002 E
1.0000 -0.97456 -0.96036 -0.95917 E2
LNU1 4.460000 4.491000 4.494000 4.406000 4.481000 4.423000 4.377000 4.286000 4.305000 4.252000 4.058000 4.140000 4.041000 4.080000 3.921000 3.733000 3.547000 3.619000 3.594000 3.418000 3.663000 MAXIMUM 64.530 127.80 89.465 4.4940 4.4940
21 OBSERVATIONS
1.0000 0.99091 0.96102 U
1.0000 0.95143 LNU
|_ols LnU1 LnU E2/ rstat anova REQUIRED MEMORY IS PAR= 2 CURRENT PAR= 500 OLS ESTIMATION 21 OBSERVATIONS DEPENDENT VARIABLE = LNU1 ...NOTE..SAMPLE RANGE SET TO: 1. 21 R-SQUARE = 0.9318 R-SQUARE ADJUSTED = 0.9242 VARIANCE OF THE ESTIMATE-SIGMA**2 = 0.97595E-02 STANDARD ERROR OF THE ESTIMATE-SIGMA = 0.98790E-01 SUM OF SQUARED ERRORS-SSE= 0.17567 MEAN OF DEPENDENT VARIABLE = 4.0852 LOG OF THE LIKELIHOOD FUNCTION = 20.4308 MODEL SELECTION TESTS - SEE JUDGE ET AL. (1985.P.242) AKAIKE (1969) FINAL PREDICTION ERROR - FPE = 0.11154E-01 (FPE IS ALSO KNOWN AS AMEMIYA PREDICTION CRITERION - PC) AKAIKE (1973) INFORMATION CRITERION - LOG AIC = -4.4980 SCHWARZ (1978) CRITERION - LOG SC = -4.3487 MODEL SELECTION TESTS - SEE RAMANATHAN (1992.P.167) CRAVEN-WAHBA (1979)
1.0000 LNU1
211 GENERALIZED CROSS VALIDATION - GCV = HANNAN AND QUINN (1979) CRITERION = RICE (1984) CRITERION = SHIBATA (1981) CRITERION = SCHWARZ (1978) CRITERION - SC = AKAIKE (1974) INFORMATION CRITERION - AIC =
0.11386E-01 0.11498E-01 0.11711E-01 0.10755E-01 0.12923E-01 0.11132E-01
REGRESSION ERROR TOTAL
ANALYSIS OF VARIANCE - FROM MEAN SS DF MS 2.4003 2. 1.2001 0.17567 18. 0.97595E-02 2.5760 20. 0.12880
F 122.972 P-VALUE 0.000
REGRESSION ERROR TOTAL
ANALYSIS OF VARIANCE - FROM ZERO SS DF MS 352.86 3. 117.62 0.17567 18. 0.97595E-02 353.04 21. 16.811
F 12052.025 P-VALUE 0.000
VARIABLE ESTIMATED STANDARD T-RATIO NAME COEFFICIENT ERROR 18 DF LNU 0.39408 0.2233 1.765 E2 -0.63325E-02 0.2391E-02 -2.649 CONSTANT 2.9317 1.093 2.682
PARTIAL STANDARDIZED ELASTICITY P-VALUE CORR. COEFFICIENT AT MEANS 0.095 0.384 0.3897 0.3978 0.016-0.530 -0.5849 -0.1155 0.015 0.534 0.0000 0.7177
DURBIN-WATSON = 2.3890 VON NEUMANN RATIO = 2.5084 RHO = -0.36553 RESIDUAL SUM = 0.50238E-14 RESIDUAL VARIANCE = 0.97595E-02 SUM OF ABSOLUTE ERRORS= 1.5588 R-SQUARE BETWEEN OBSERVED AND PREDICTED = 0.9318 RUNS TEST: 12 RUNS. 9 POS. 0 ZERO. 12 NEG NORMAL STATISTIC =
0.3269
|_auto LnU1 LnU E2/ rstat REQUIRED MEMORY IS PAR=
4 CURRENT PAR=
500
DEPENDENT VARIABLE = LNU1 ..NOTE..R-SQUARE.ANOVA.RESIDUALS DONE ON ORIGINAL VARS LEAST SQUARES ESTIMATION 21 OBSERVATIONS BY COCHRANE-ORCUTT TYPE PROCEDURE WITH CONVERGENCE = 0.00100 ITERATION 1 2 3 4 5 6 LOG L.F. =
RHO
RHO 0.00000 -0.36553 -0.50058 -0.52435 -0.52770 -0.52815 22.3186
ESTIMATE -0.52815
LOG L.F. 20.4308 22.1407 22.3208 22.3197 22.3187 22.3186 AT RHO =
ASYMPTOTIC VARIANCE 0.03434
SSE 0.17567 0.14825 0.14473 0.14452 0.14450 0.14450
-0.52815
ASYMPTOTIC ST.ERROR 0.18530
ASYMPTOTIC T-RATIO -2.85027
R-SQUARE = 0.9439 R-SQUARE ADJUSTED = 0.9377 VARIANCE OF THE ESTIMATE-SIGMA**2 = 0.80275E-02 STANDARD ERROR OF THE ESTIMATE-SIGMA = 0.89596E-01 SUM OF SQUARED ERRORS-SSE= 0.14450 MEAN OF DEPENDENT VARIABLE = 4.0852 LOG OF THE LIKELIHOOD FUNCTION = 22.3186 VARIABLE ESTIMATED STANDARD T-RATIO NAME COEFFICIENT ERROR 18 DF LNU 0.54268 0.1517 3.577 E2 -0.51641E-02 0.1615E-02 -3.198 CONSTANT 2.0294 0.7435 2.729
PARTIAL STANDARDIZED ELASTICITY P-VALUE CORR. COEFFICIENT AT MEANS 0.002 0.645 0.5366 0.5478 0.005-0.602 -0.4770 -0.0942 0.008 0.577 0.0000 0.5457
DURBIN-WATSON = 2.1392 VON NEUMANN RATIO = 2.2462 RHO = -0.16973 RESIDUAL SUM = -0.38117E-01 RESIDUAL VARIANCE = 0.81082E-02 SUM OF ABSOLUTE ERRORS= 1.4874 R-SQUARE BETWEEN OBSERVED AND PREDICTED = 0.9434 RUNS TEST: 12 RUNS. 11 POS. 0 ZERO. 10 NEG NORMAL STATISTIC = DURBIN H STATISTIC (ASYMPTOTIC NORMAL) = -1.4726 MODIFIED FOR AUTO ORDER=1
0.2351
212
|_coint LnU1 LnU E2 ...NOTE..SAMPLE RANGE SET TO:
1.
21
REQUIRED MEMORY IS PAR= 4 CURRENT PAR= ...NOTE..TEST LAG ORDER AUTOMATICALLY SET TOTAL NUMBER OF OBSERVATIONS = VARIABLE : LNU1 DICKEY-FULLER TESTS - NO.LAGS =
500
21
0
NO.OBS =
20
NULL TEST ASY. CRITICAL HYPOTHESIS STATISTIC VALUE 10% --------------------------------------------------------------------------CONSTANT. NO TREND A(1)=0 Z-TEST -0.86893 -11.2 A(1)=0 T-TEST -0.57828 -2.57 A(0)=A(1)=0 1.3449 3.78 AIC = -4.212 SC = -4.112 --------------------------------------------------------------------------CONSTANT. TREND A(1)=0 Z-TEST -12.422 -18.2 A(1)=0 T-TEST -3.9116 -3.13 A(0)=A(1)=A(2)=0 3.9312 4.03 A(1)=A(2)=0 4.2578 5.34 AIC = -4.499 SC = -4.350 --------------------------------------------------------------------------VARIABLE : LNU DICKEY-FULLER TESTS - NO.LAGS =
0
NO.OBS =
20
NULL TEST ASY. CRITICAL HYPOTHESIS STATISTIC VALUE 10% --------------------------------------------------------------------------CONSTANT. NO TREND A(1)=0 Z-TEST 1.1514 -11.2 A(1)=0 T-TEST 0.87190 -2.57 A(0)=A(1)=0 3.5960 3.78 AIC = -4.650 SC = -4.550 --------------------------------------------------------------------------CONSTANT. TREND A(1)=0 Z-TEST -6.8577 -18.2 A(1)=0 T-TEST -3.9639 -3.13 A(0)=A(1)=A(2)=0 5.0290 4.03 A(1)=A(2)=0 3.4474 5.34 AIC = -4.849 SC = -4.699 --------------------------------------------------------------------------VARIABLE : E2 DICKEY-FULLER TESTS - NO.LAGS =
4
NO.OBS =
16
NULL TEST ASY. CRITICAL HYPOTHESIS STATISTIC VALUE 10% --------------------------------------------------------------------------CONSTANT. NO TREND A(1)=0 T-TEST 0.88214 -2.57 A(0)=A(1)=0 4.4243 3.78 AIC = 3.862 SC = 4.151 --------------------------------------------------------------------------CONSTANT. TREND A(1)=0 T-TEST -3.7001 -3.13 A(0)=A(1)=A(2)=0 4.7438 4.03 A(1)=A(2)=0 2.1422 5.34 AIC = 3.672 SC = 4.010 --------------------------------------------------------------------------|_stop
213 Lampiran 16. Perhitungan Koefisien Degredasi di Pantura Jawa Barat Tahun 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001
Produksi Aktual 8.587,40 11.872,65 7.826,23 9.257,25 13.532,30 11.513,56 15.228,09 13.767,54 15.044,62 20.545,22 20.628,22 14.252,29 14.897,40 18.345,19 22.116,92 16.337,50 15.159,43 16.027,43 14.210,51 18.223,61 14.848,05 13.458,46
Produksi Lestari 9.930,36 12.774,49 8.535,22 10.614,77 11.983,01 10.723,32 13.341,52 13.683,65 14.727,37 16.198,62 16.850,64 15.388,45 15.993,28 16.613,72 17.338,18 16.900,84 17.241,94 16.195,21 16.315,91 17.338,34 16.725,78 15.482,30
les/akt
expD
1,156 1,076 1,091 1,147 0,886 0,931 0,876 0,994 0,979 0,788 0,817 1,080 1,074 0,906 0,784 1,034 1,137 1,010 1,148 0,951 1,126 1,150
3,178 2,933 2,976 3,148 2,424 2,538 2,402 2,702 2,662 2,200 2,263 2,944 2,926 2,473 2,190 2,814 3,119 2,747 3,152 2,589 3,085 3,159
1+expd 4,178 3,933 3,976 4,148 3,424 3,538 3,402 3,702 3,662 3,200 3,263 3,944 3,926 3,473 3,190 3,814 4,119 3,747 4,152 3,589 4,085 4,159
Koefisien Degredasi 0,239 0,254 0,252 0,241 0,292 0,283 0,294 0,270 0,273 0,313 0,306 0,254 0,255 0,288 0,313 0,262 0,243 0,267 0,241 0,279 0,245 0,240
(Dengan menggunakan produksi aktual)
Tahun 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001
Prod Rataan/ Prod Aktual 1,668 1,207 1,831 1,548 1,059 1,244 0,941 1,041 0,952 0,697 0,695 1,005 0,962 0,781 0,648 0,877 0,945 0,894 1,008 0,786 0,965 1,064
expI
1+expI
5,303 3,342 6,237 4,700 2,883 3,471 2,562 2,831 2,592 2,008 2,003 2,732 2,616 2,184 1,911 2,403 2,573 2,445 2,741 2,195 2,624 2,899
6,303 4,342 7,237 5,700 3,883 4,471 3,562 3,831 3,592 3,008 3,003 3,732 3,616 3,184 2,911 3,403 3,573 3,445 3,741 3,195 3,624 3,899
(Dengan menggunakan produksi rataan geometric)
Koefisien Degredasi 0,159 0,230 0,138 0,175 0,258 0,224 0,281 0,261 0,278 0,332 0,333 0,268 0,277 0,314 0,343 0,294 0,280 0,290 0,267 0,313 0,276 0,256
214 Lampiran 17. Perhitungan Koefisien Degredasi di Kabupaten Karawang Tahun 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001
Produksi Aktual 1.108,450 1.167,930 1.123,290 1.223,200 1.247,050 1.389,530 1.275,810 1.086,010 1.425,760 1.384,310 1.183,690 1.236,170 1.162,080 1.198,090 1.384,630 1.196,160 1.007,200 811,890 1.424,240 1.383,320 1.495,210 1.360,890
Produksi Lestari 980,705 1.020,823 1.000,101 1.131,489 1.133,133 1.207,984 1.140,543 1.086,324 1.234,916 1.233,190 1.178,360 1.252,417 1.240,390 1.252,079 1.256,228 1.243,395 1.224,553 1.202,704 1.241,715 1.241,819 1.243,887 1.234,003
les/akt
expD
0,885 0,874 0,890 0,925 0,909 0,869 0,894 1,000 0,866 0,891 0,995 1,013 1,067 1,045 0,907 1,039 1,216 1,481 0,872 0,898 0,832 0,907
2,422 2,397 2,436 2,522 2,481 2,385 2,445 2,719 2,378 2,437 2,706 2,754 2,908 2,844 2,478 2,828 3,373 4,399 2,391 2,454 2,298 2,476
1+expd 3,422 3,397 3,436 3,522 3,481 3,385 3,445 3,719 3,378 3,437 3,706 3,754 3,908 3,844 3,478 3,828 4,373 5,399 3,391 3,454 3,298 3,476
Koefisien Degredasi 0,292 0,294 0,291 0,284 0,287 0,295 0,290 0,269 0,296 0,291 0,270 0,266 0,256 0,260 0,288 0,261 0,229 0,185 0,295 0,290 0,303 0,288
(Dengan menggunakan produksi aktual)
Tahun 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001
Prod Rataan/ Prod Aktual 1,109 1,052 1,094 1,005 0,985 0,884 0,963 1,132 0,862 0,888 1,038 0,994 1,058 1,026 0,888 1,027 1,220 1,514 0,863 0,888 0,822 0,903
expI
1+expI
3,030 2,864 2,986 2,731 2,679 2,422 2,620 3,101 2,368 2,430 2,824 2,702 2,879 2,789 2,429 2,794 3,388 4,543 2,370 2,431 2,275 2,467
4,030 3,864 3,986 3,731 3,679 3,422 3,620 4,101 3,368 3,430 3,824 3,702 3,879 3,789 3,429 3,794 4,388 5,543 3,370 3,431 3,275 3,467
(Dengan menggunakan produksi rataan geometric)
Koefisien Degredasi 0,248 0,259 0,251 0,268 0,272 0,292 0,276 0,244 0,297 0,292 0,261 0,270 0,258 0,264 0,292 0,264 0,228 0,180 0,297 0,291 0,305 0,288
215 Lampiran 18. Perhitungan Koefisien Degredasi di Kabupaten Subang Tahun 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001
Produksi Aktual 599,030 469,040 545,980 617,680 624,360 625,060 629,480 697,380 897,510 844,190 838,890 979,730 1.073,520 1.154,440 1.373,470 1.125,530 1.900,180 1.911,880 1.862,310 1.659,910 2.108,390 2.493,540
Produksi Lestari 612,412 527,427 521,261 636,460 549,782 547,448 581,123 702,932 868,752 795,173 868,546 1.001,273 1.077,834 1.071,997 227,080 1.148,037 390,011 548,427 321,794 323,640 373,998 383,778
les/akt
expD
1,022 1,124 0,955 1,030 0,881 0,876 0,923 1,008 0,968 0,942 1,035 1,022 1,004 0,929 0,165 1,020 0,205 0,287 0,173 0,195 0,177 0,154
1+expd
2,780 3,079 2,598 2,802 2,412 2,401 2,517 2,740 2,633 2,565 2,816 2,779 2,729 2,531 1,180 2,773 1,228 1,332 1,189 1,215 1,194 1,166
3,780 4,079 3,598 3,802 3,412 3,401 3,517 3,740 3,633 3,565 3,816 3,779 3,729 3,531 2,180 3,773 2,228 2,332 2,189 2,215 2,194 2,166
Koefisien Degredasi 0,265 0,245 0,278 0,263 0,293 0,294 0,284 0,267 0,275 0,281 0,262 0,265 0,268 0,283 0,459 0,265 0,449 0,429 0,457 0,451 0,456 0,462
(Dengan menggunakan produksi aktual)
Tahun 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001
Prod Rataan/ Prod Aktual 1,680 2,145 1,843 1,629 1,611 1,610 1,598 1,443 1,121 1,192 1,199 1,027 0,937 0,872 0,733 0,894 0,529 0,526 0,540 0,606 0,477 0,403
expI
1+expI
5,363 8,542 6,314 5,098 5,010 5,001 4,945 4,232 3,068 3,293 3,318 2,792 2,553 2,391 2,080 2,445 1,698 1,693 1,716 1,833 1,612 1,497
(Dengan menggunakan produksi rataan geometric)
6,363 9,542 7,314 6,098 6,010 6,001 5,945 5,232 4,068 4,293 4,318 3,792 3,553 3,391 3,080 3,445 2,698 2,693 2,716 2,833 2,612 2,497
Koefisien Degredasi 0,157 0,105 0,137 0,164 0,166 0,167 0,168 0,191 0,246 0,233 0,232 0,264 0,281 0,295 0,325 0,290 0,371 0,371 0,368 0,353 0,383 0,400
216 Lampiran 19. Perhitungan Koefisien Degredasi di Kabupaten Indramayu Tahun 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001
Produksi Aktual 2.595,239 3.073,996 3.447,962 3.331,695 3.245,184 3.303,821 3.521,411 3.631,974 3.776,207 3.939,575 4.230,087 3.737,597 3.912,012 4.469,828 4.986,361 4.241,977 5.594,805 3.534,758 4.837,798 4.941,032 4.775,485 4.950,402
Produksi Lestari 2.520,345 2.937,590 3.198,766 3.204,579 3.265,929 3.367,770 3.469,521 3.470,486 3.635,869 3.752,107 3.871,554 3.842,497 3.840,444 4.059,433 4.143,109 4.063,504 4.164,138 4.146,589 4.093,775 4.131,125 4.163,950 4.150,786
les/akt
expD
0,971 0,956 0,928 0,962 1,006 1,019 0,985 0,956 0,963 0,952 0,915 1,028 0,982 0,908 0,831 0,958 0,744 1,173 0,846 0,836 0,872 0,838
2,641 2,600 2,529 2,617 2,736 2,771 2,679 2,600 2,619 2,592 2,497 2,796 2,669 2,480 2,295 2,606 2,105 3,232 2,331 2,307 2,392 2,313
1+expd 3,641 3,600 3,529 3,617 3,736 3,771 3,679 3,600 3,619 3,592 3,497 3,796 3,669 3,480 3,295 3,606 3,105 4,232 3,331 3,307 3,392 3,313
Koefisien Degredasi 0,275 0,278 0,283 0,277 0,268 0,265 0,272 0,278 0,276 0,278 0,286 0,263 0,273 0,287 0,303 0,277 0,322 0,236 0,300 0,302 0,295 0,302
(Dengan menggunakan produksi aktual)
Tahun 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001
Prod Rataan/ Prod Aktual 1,516 1,280 1,141 1,181 1,212 1,191 1,117 1,083 1,042 0,999 0,930 1,053 1,006 0,880 0,789 0,927 0,703 1,113 0,813 0,796 0,824 0,795
expI
1+expI
4,554 3,596 3,130 3,257 3,361 3,290 3,056 2,954 2,834 2,715 2,535 2,865 2,734 2,411 2,201 2,528 2,020 3,044 2,255 2,217 2,279 2,214
5,554 4,596 4,130 4,257 4,361 4,290 4,056 3,954 3,834 3,715 3,535 3,865 3,734 3,411 3,201 3,528 3,020 4,044 3,255 3,217 3,279 3,214
(Dengan menggunakan produksi rataan geometric)
Koefisien Degredasi 0,180 0,218 0,242 0,235 0,229 0,233 0,247 0,253 0,261 0,269 0,283 0,259 0,268 0,293 0,312 0,283 0,331 0,247 0,307 0,311 0,305 0,311
217 Lampiran 20. Perhitungan Koefisien Degredasi di Kabupaten Cirebon Tahun 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001
Produksi Aktual 912,270 1.216,770 1.293,000 1.238,880 2.233,560 2.298,900 1.838,790 2.331,410 1.974,130 2.521,960 2.229,500 2.471,650 2.268,780 2.028,750 2.756,580 2.479,900 2.188,840 2.239,620 2.360,400 1.954,450 1.851,260 2.508,280
Produksi Lestari 678,727 848,684 865,832 839,268 1.231,115 1.207,690 1.116,477 1.265,141 1.229,608 1.325,290 1.299,488 1.374,777 1.343,263 1.339,588 1.377,312 1.373,652 1.363,872 1.287,270 1.297,515 1.358,320 1.317,082 1.288,914
les/akt
expD
0,744 0,697 0,670 0,677 0,551 0,525 0,607 0,543 0,623 0,526 0,583 0,556 0,592 0,660 0,500 0,554 0,623 0,575 0,550 0,695 0,711 0,514
2,104 2,009 1,954 1,969 1,735 1,691 1,835 1,721 1,864 1,691 1,791 1,744 1,808 1,935 1,648 1,740 1,865 1,777 1,733 2,004 2,037 1,672
1+expd 3,104 3,009 2,954 2,969 2,735 2,691 2,835 2,721 2,864 2,691 2,791 2,744 2,808 2,935 2,648 2,740 2,865 2,777 2,733 3,004 3,037 2,672
Koefisien Degredasi 0,322 0,332 0,339 0,337 0,366 0,372 0,353 0,368 0,349 0,372 0,358 0,364 0,356 0,341 0,378 0,365 0,349 0,360 0,366 0,333 0,329 0,374
(Dengan menggunakan produksi aktual)
Tahun 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001
Prod Rataan/ Prod Aktual 2,176 1,631 1,535 1,602 0,889 0,863 1,079 0,851 1,005 0,787 0,890 0,803 0,875 0,978 0,720 0,800 0,907 0,886 0,841 1,016 1,072 0,791
expI
1+expI
8,809 5,110 4,642 4,964 2,432 2,371 2,943 2,343 2,733 2,197 2,436 2,232 2,399 2,660 2,055 2,226 2,476 2,426 2,318 2,761 2,922 2,206
(Dengan menggunakan produksi rataan geometric)
9,809 6,110 5,642 5,964 3,432 3,371 3,943 3,343 3,733 3,197 3,436 3,232 3,399 3,660 3,055 3,226 3,476 3,426 3,318 3,761 3,922 3,206
Koefisien Degredasi 0,102 0,164 0,177 0,168 0,291 0,297 0,254 0,299 0,268 0,313 0,291 0,309 0,294 0,273 0,327 0,310 0,288 0,292 0,301 0,266 0,255 0,312
218 Lampiran 21. Print Out Perhitungan Discount Rate Kulla |_File Screen c:/Shazamw/Data/Kulla/Kulla2.out UNIT 86 IS NOW ASSIGNED TO: c:\Shazamw\Data\Kulla\Kulla2.out |_File 11 c:/Shazamw/Data/Kulla/Kulla2.txt UNIT 11 IS NOW ASSIGNED TO: c:\Shazamw\Data\Kulla\Kulla2.txt |_Sample 1 10 |_read(11) PDRB T/ skiplines=1 2 VARIABLES AND 10 OBSERVATIONS STARTING AT OBS |_Print PDRB T PDRB T 17.33580 0.0000000 17.42670 0.6931000 17.50140 1.098600 17.55950 1.386300 17.64190 1.609400 17.43860 1.791800 17.49960 1.945900 17.54540 2.079400 17.56990 2.197200 17.61020 2.302600 |_stat PDRB T/ pcor NAME N MEAN PDRB 10 17.513 T 10 1.5104
ST. DEV VARIANCE 0.92622E-01 0.85788E-02 0.73303 0.53733
CORRELATION MATRIX OF VARIABLES PDRB T
1.0000 0.74902 PDRB
MINIMUM 17.336 0.00000
1
MAXIMUM 17.642 2.3026
10 OBSERVATIONS
1.0000 T
1 |_OLS PDRB T/ rstat anova REQUIRED MEMORY IS PAR= 1 CURRENT PAR= 500 OLS ESTIMATION 10 OBSERVATIONS DEPENDENT VARIABLE = PDRB ...NOTE..SAMPLE RANGE SET TO: 1. 10 R-SQUARE = 0.5610 R-SQUARE ADJUSTED = 0.5062 VARIANCE OF THE ESTIMATE-SIGMA**2 = 0.42366E-02 STANDARD ERROR OF THE ESTIMATE-SIGMA = 0.65089E-01 SUM OF SQUARED ERRORS-SSE= 0.33893E-01 MEAN OF DEPENDENT VARIABLE = 17.513 LOG OF THE LIKELIHOOD FUNCTION = 14.2463 MODEL SELECTION TESTS - SEE JUDGE ET AL. (1985.P.242) AKAIKE (1969) FINAL PREDICTION ERROR - FPE = 0.50839E-02 (FPE IS ALSO KNOWN AS AMEMIYA PREDICTION CRITERION - PC) AKAIKE (1973) INFORMATION CRITERION - LOG AIC = -5.2871 SCHWARZ (1978) CRITERION - LOG SC = -5.2266 MODEL SELECTION TESTS - SEE RAMANATHAN (1992.P.167) CRAVEN-WAHBA (1979) GENERALIZED CROSS VALIDATION - GCV = 0.52957E-02 HANNAN AND QUINN (1979) CRITERION = 0.47314E-02 RICE (1984) CRITERION = 0.56488E-02 SHIBATA (1981) CRITERION = 0.47450E-02 SCHWARZ (1978) CRITERION - SC = 0.53716E-02 AKAIKE (1974) INFORMATION CRITERION - AIC = 0.50562E-02
REGRESSION ERROR TOTAL
ANALYSIS OF VARIANCE - FROM MEAN SS DF MS 0.43317E-01 1. 0.43317E-01 0.33893E-01 8. 0.42366E-02 0.77210E-01 9. 0.85788E-02
F 10.224 P-VALUE 0.013
REGRESSION ERROR TOTAL
ANALYSIS OF VARIANCE - FROM ZERO SS DF MS 3067.1 2. 1533.5 0.33893E-01 8. 0.42366E-02 3067.1 10. 306.71
F 361972.397 P-VALUE 0.000
219
VARIABLE NAME T CONSTANT
ESTIMATED STANDARD T-RATIO COEFFICIENT ERROR 8 DF 0.94643E-01 0.2960E-01 3.198 17.370 0.4922E-01 352.9
PARTIAL STANDARDIZED ELASTICITY P-VALUE CORR. COEFFICIENT AT MEANS 0.013 0.749 0.7490 0.0082 0.000 1.000 0.0000 0.9918
DURBIN-WATSON = 1.7605 VON NEUMANN RATIO = 1.9561 RHO = 0.09661 RESIDUAL SUM = -0.49787E-14 RESIDUAL VARIANCE = 0.42366E-02 SUM OF ABSOLUTE ERRORS= 0.45557 R-SQUARE BETWEEN OBSERVED AND PREDICTED = 0.5610 RUNS TEST: 4 RUNS. 4 POS. 0 ZERO. 6 NEG NORMAL STATISTIC = -1.2644 COEFFICIENT OF SKEWNESS = 0.4218 WITH STANDARD DEVIATION OF 0.6870 COEFFICIENT OF EXCESS KURTOSIS = 0.7613 WITH STANDARD DEVIATION OF 1.3342 GOODNESS OF FIT TEST FOR NORMALITY OF RESIDUALS - 6 GROUPS OBSERVED 0.0 1.0 5.0 3.0 1.0 0.0 EXPECTED 0.2 1.4 3.4 3.4 1.4 0.2 CHI-SQUARE = 1.4336 WITH 2 DEGREES OF FREEDOM. P-VALUE= 0.488 |_stop TYPE COMMAND
220 Lampiran 22a. Maple Output Untuk Optimal Biomas, Produksi dan Effort (δ=15%). Tahun 1980 > restart; > r:=0.595969757; k:=79082.018; q:=0.003;p:= 3752.37; c:=141.42; i:=0.15; r := 0.595969757 k := 79082.018 q := 0.003 p := 3752.37 c := 141.42 i := 0.15
> f(x):=r*ln(k/x)-r+(c*r*ln(k/x)/(x*(p*q*x-c)))=i; f(x) := 0.595969757 ln⎛⎜ ⎝
⎛ 79082.018 ⎞ 84.28204303 ln⎜ ⎟ x 79082.018 ⎞ ⎠ = 0.15 ⎝ 0.595969757 + ⎟ x x (11.25711 x - 141.42) ⎠
> solve(f(x),x); 22619.10545
> g(x):=ln(k/x)-1(i/r)+(c*r)/(p*q*x)+(c*i)/(p*q*r*x)=0; 79082.018 ⎞ 10.64892597 g(x) := ln⎛⎜ =0 ⎟ - 1.251690624 + x x ⎠ ⎝
> a:=fsolve(g(x),x); a := 22629.75118
> optx:=a; optx := 22629.75118
> h:=r*optx*ln(k/optx); h := 16874.76355
> E:=h/(q*optx); E := 248.5631034
> Go(y):=q*k*y*exp((-q/r)*y); Go(y) := 237.246054 y e
(-0.005033812479 y)
221 Lampiran 22b. Maple Output Untuk Optimal Biomas, Produksi dan Effort (δ=5,54%). Tahun 1980 > restart; > r:=0.595969757; k:=79082.018; q:=0.003;p:= 3752.37; c:=141.42; i:=0.0554; r := 0.595969757 k := 79082.018 q := 0.003 p := 3752.37 c := 141.42 i := 0.0554
> f(x):=r*ln(k/x)-r+(c*r*ln(k/x)/(x*(p*q*x-c)))=i; ⎛ f(x) := 0.595969757 ln⎜ ⎝
⎛ 79082.018 ⎞ 84.28204303 ln⎜ ⎟ x 79082.018 ⎞ ⎠ = 0.0554 ⎝ 0.595969757 + ⎟ x x ( 11.25711 x 141.42 ) ⎠
> solve(f(x),x); 26510.15319
> g(x):=ln(k/x)-1(i/r)+(c*r)/(p*q*x)+(c*i)/(p*q*r*x)=0; ⎛ 79082.018 ⎞ - 1.092957737 + 8.654808046 = 0 g(x) := ln⎜ ⎟ x x ⎠ ⎝
> a:=fsolve(g(x),x); a := 26518.80607
> optx:=a; optx := 26518.80607
> h:=r*optx*ln(k/optx); h := 17268.39026
> E:=h/(q*optx); E := 217.0584178
> Go(y):=q*k*y*exp((-q/r)*y); Go(y) := 237.246054 y e
(-0.005033812479 y)
222 Lampiran 23. Algoritma Model Dinamik METHOD RK2 STARTTIME = 0 STOPTIME=100 DT = 0.01 r=0.746 K=37.23988 q=0.017 p=16.93051 c=1.06272 theta=0.5 x'=r*x*(1-x/K)-q*x*E E'=theta*(p*q*x-c)*E init x=0.0 init E=0.0
223 Lampiran 24. Maple Output untuk perhitungan Surplus Produsen > restart; > AC:=2*c/(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); 2c
AC := α+
-4 β h + α
2
> A:=int(AC.h); c α ln(h) c A := 2β
-4 β h + α β
2
-
⎛ c α ln⎝ α -
2 -4 β h + α ⎞⎠
2β
+
⎛ c α ln⎝ α +
2 -4 β h + α ⎞⎠
2β
> PS:=p0*h0-A; PS := p0 h0 -
c α ln(h) 2β
+
c
-4 β h + α β
2
+
⎛ c α ln⎝ α -
2 -4 β h + α ⎞⎠
2β
-
⎛ c α ln⎝ α +
2 -4 β h + α ⎞⎠
2β
> restart; > alpha:=267.7656516; beta:=1.521275136; p0:=3752.37; c:=141.42;h:=9930.36; α := 267.7656516 β := 1.521275136
p0 := 3752.37 c := 141.42 h := 9930.36
> AC:=2*c/(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); AC := 0.7563950528
> A:=1/2*c/beta*alpha*ln(h)-c/beta*(4*beta*h+alpha^2)^(1/2)-1/2*c/beta*alpha*ln(alphasqrt(4*beta*h+alpha^2))+1/2*c/beta*alpha*ln(alpha+sqrt(4*beta*h+alpha^2)); A := 1.151166178 105
> PS:=p0*h-A; PS := 3.714726833 107
224 Lampiran 25. Gams Output Untuk Analisis DEA Model Perikanan di Pantai Utara Jawa Barat GAMS Rev 128 Windows NT/95/98 Data Envelopment Analysis - DEA (DEA.SEQ=192)
06/21/04 11:58:08
PAGE
1
“ANALISIS DEA UNTUK PERIKANAN TANGKAP DI PANTAI UTARA JAWA BARAT” 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56
sets
i is(i) j ji(j) jo(j)
units selected unit inputs and outputs inputs outputs
Parameter data(i.j) vlo ulo norm Variables v(ji) u(jo) eff var
unit input output v lower bound u lower bound normalizing constant
input weights output weights efficiency dual convexicty
lam(i) dual weights vs(ji) input duals us(jo) output duals Z positive variables u.v.vs.us.lam; Equations defe(i) efficiency definition - weighted output denom(i) weighted input lime(i) 'output / input < 1' dii(i.ji) input duals dio(i.jo) output dual defvar variable return to scale dobj dual objective; *
primal model
defe(is)..
eff =e= sum(jo. u(jo)*data(is.jo)) - 1*var;
denom(is)..
sum(ji. v(ji)*data(is.ji)) =e= norm;
lime(i)..
sum(jo. u(jo)*data(i.jo)) =l= sum(ji. v(ji)*data(i.ji)) + var;
57
GAMS Rev 128 Windows NT/95/98 Data Envelopment Analysis - DEA (DEA.SEQ=192) 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75
*
06/21/04 11:58:08
PAGE
dual model
dii(is.ji).. sum(i. lam(i)*data(i.ji)) + vs(ji) =e= z*data(is.ji); dio(is.jo).. sum(i. lam(i)*data(i.jo)) - us(jo) =e= defvar..
data(is.jo);
sum(i. lam(i)) =e= 1;
dobj.. eff =e= norm*z - vlo*sum(ji. vs(ji)) - ulo*sum(jo. us(jo));
model deap primal / defe. denom.lime / deadc dual with CRS / dobj. dii. dio / deadv dual with VRS / dobj. dii. dio. defvar
/
2
225 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 110 111 112 113
sets
i units /1980*2001/ j inputs and outputs /effort. prodact. prodsust / ji(j) inputs / effort / jo(j) outputs /prodact. prodsust /
Table data(i.j) effort 1980 11.41 1981 12.47 1982 14.74 1983 15.74 1984 15.53 1985 14.90 1986 18.24 1987 20.12 1988 20.90 1989 22.51 1990 24.60 1991 21.82 1992 24.05 1993 28.60 1994 31.08 1995 33.82 1996 36.09 1997 35.81 1998 36.28 1999 34.72 2000 37.75 2001 23.70
Prodact 6447.68 7032.65 8249.02 8551.13 8345.93 8020.86 9581.88 9612.94 9856.94 10535.86 11633.30 10555.28 10803.49 12530.14 12414.74 13119.47 13210.67 12535.23 12757.11 11979.92 12329.72 12036.11
option limcol=0 limrow=0 solveopt=replace;
Prodsust 5510.37 5879.88 6605.50 6895.18 6835.13 6653.83 7554.29 7989.35 8155.53 8471.87 8834.34 8339.29 8743.58 9387.98 9650.05 9874.11 10013.61 9998.71 10023.22 9934.37 10090.89 8684.19
// no column listing // no row listing // don't keep old var and equ values
GAMS Rev 128 Windows NT/95/98 Data Envelopment Analysis - DEA (DEA.SEQ=192) 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145
var.fx = 0; var.lo = -inf; *var.up = +inf; vlo=1e-4; ulo=1e-4; norm=100;
06/21/04 11:58:08
PAGE
// to run CRS with the primal model // to run VRS with the primal model // to run VRS with the primal model
v.lo(ji) = vlo; u.lo(jo) = ulo; *deadc.solprint=2; *deadv.solprint=2; *deap.solprint=2; set ii(i) set of units to analyze / 1980. 1990. 2001 /; *ii(i) = yes; is(i) = no;
// use to run all depots
parameter rep summary report; loop(ii. is(ii) = yes; solve deap us lp max eff; rep(i.ii) = sum(jo. u.l(jo)*data(i.jo))/sum(ji. v.l(ji)*data(i.ji)); rep('MStat-p'.ii) = deap.modelstat; solve deadc us lp min eff ; rep('MStat-d'.ii) = deadc.modelstat; rep('obj-check'.ii) = deadc.objval - deap.objval; is(ii) = no);
3
226 146 147 148 149 150 151
rep(i.'Min') = smin(ii. rep(i.ii)); rep(i.'Max') = smax(ii. rep(i.ii)); rep(i.'Avg') = sum(ii. rep(i.ii))/card(ii); display rep;
**** REPORT SUMMARY :
0 NONOPT 0 INFEASIBLE 0 UNBOUNDED
GAMS Rev 128 Windows NT/95/98 Data Envelopment Analysis - DEA (DEA.SEQ=192) E x e c u t i o n ----
151 PARAMETER rep 1980
1990
2001 1.000 0.998 0.990 0.961 0.951 0.952 0.929 0.845 0.834 0.828 0.836 0.855 0.794 0.774 0.706 0.686 0.647 0.619 0.622 0.610 0.578 0.897 1.000 1.000
GAMS Rev 128 Windows NT/95/98 Data Envelopment Analysis - DEA (DEA.SEQ=192) E x e c u t i o n =
PAGE
0.016 SECONDS
Min
Max
1.000 0.998 0.990 0.961 0.951 0.952 0.929 0.845 0.834 0.828 0.836 0.855 0.794 0.774 0.706 0.686 0.647 0.619 0.622 0.610 0.578 0.897
1.000 0.998 0.990 0.961 0.951 0.952 0.929 0.845 0.834 0.828 0.836 0.856 0.795 0.775 0.707 0.686 0.647 0.619 0.622 0.610 0.578 0.898
06/21/04 11:58:08
1.4 Mb
Avg 1.000 0.998 0.990 0.961 0.951 0.952 0.929 0.845 0.834 0.828 0.836 0.855 0.795 0.774 0.706 0.686 0.647 0.619 0.622 0.610 0.578 0.897
PAGE
WIN202-128
USER: GAMS Development Corporation. Washington. DC G871201:0000XX-XXX Free Demo. 202-342-0180.
[email protected]. www.gams.com DC9999 **** FILE SUMMARY INPUT OUTPUT
22
summary report
1980 1.000 1.000 1981 0.998 0.998 1982 0.990 0.990 1983 0.961 0.961 1984 0.951 0.951 1985 0.952 0.952 1986 0.929 0.929 1987 0.845 0.845 1988 0.834 0.834 1989 0.828 0.828 1990 0.836 0.836 1991 0.856 0.855 1992 0.795 0.794 1993 0.775 0.774 1994 0.707 0.706 1995 0.686 0.686 1996 0.647 0.647 1997 0.619 0.619 1998 0.622 0.622 1999 0.610 0.610 2000 0.578 0.578 2001 0.898 0.897 MStat-p 1.000 1.000 MStat-d 1.000 1.000 obj-check -1.4211E-14 1.42109E-14
EXECUTION TIME
06/21/04 11:58:08
D:\SOFYAN\DATA GAMS\DEAPANJABAR.GMS D:\WINDOWS\GAMSDIR\DEAPANJABAR.LST
23
227 Lampiran 26. Potensi Perbaikan Efisiensi dari DMU Pantai Utara Jawa Barat Effort DMU
Skor Data
Produksi Aktual
Proyeksi Perbedaan -4,97%
Skor Data 8587,40
Produksi Lestari
Proyeksi Perbedaan 9105,48
9930,36
Proyeksi Perbedaan
1980
48986,88
46551,51
1981
71694,75
60296,40
1982
40011,39
40011,39
0,00%
7826,23
7826,23
1983
53821,21
49759,87
-7,55%
9257,25
9733,03
5,14% 10614,77 10614,77
0,00%
1984
64593,32
64194,97
-0,62% 13532,30 13532,30
0,00% 11983,01 12603,50
5,18%
1985
54618,41
54618,41
0,00% 11513,56 11513,56
0,00% 10723,32 10723,32
0,00%
1986
77299,93
72239,50
-6,55% 15228,09 15228,09
0,00% 13341,52 14182,89
6,31%
1987
80937,94
67304,41
-16,84% 13767,54 13767,54
0,00% 13683,65 13683,65
0,00%
1988
93619,30
73025,33
-22,00% 15044,62 15044,62
0,00% 14727,37 14727,37
0,00%
1989
118827,19
97463,10
-17,98% 20545,22 20545,22
0,00% 16198,62 19135,08
18,13%
1990
137246,99
97856,85
-28,70% 20628,22 20628,22
0,00% 16850,64 19212,39
14,02%
1991
103427,36
72505,65
-29,90% 14252,29 14252,29
0,00% 15388,45 15388,45
0,00%
1992
114419,35
75575,19
-33,95% 14897,40 14897,40
0,00% 15993,28 15993,28
0,00%
1993
129464,97
87026,50
-32,78% 18345,19 18345,19
0,00% 16613,72 17086,05
2,84%
1994
175252,96 104918,99
-40,13% 22116,92 22116,92
0,00% 17338,18 20598,91
18,81%
1995
139160,99
81402,71
-41,50% 16337,50 16337,50
0,00% 16900,84 16900,84
0,00%
1996
158075,42
80826,68
-48,87% 15159,43 15809,70
4,29% 17241,94 17241,94
0,00%
1997
249260,24
78966,72
-68,32% 16027,43 16027,43
0,00% 16195,21 16195,21
0,00%
1998
121561,23
76485,67
-37,08% 14210,51 14960,60
5,28% 16315,91 16315,91
0,00%
1999
176073,50
87296,00
-50,42% 18223,61 18223,61
0,00% 17338,34 17338,34
0,00%
2000
132927,89
78407,06
-41,02% 14848,05 15336,42
3,29% 16725,78 16725,78
0,00%
2001
104980,17
72577,86
-30,87% 13458,46 14196,23
5,48% 15482,30 15482,30
0,00%
-15,90% 11872,65 11872,65
6,03%
Skor Data
9930,36
0,00%
0,00% 12774,49 12774,49
0,00%
0,00%
0,00%
8535,22
8535,22
228
228 Lampiran 27. Potensi Perbaikan Efisiensi dari DMU di Empat Kabupaten Terpilih DMU
Effort
Produksi Aktual
Produksi Lestari
Karawang
Subang
Indramayu
Cirebon
Karawang
Subang
Indramayu
Cirebon
Karawang
Subang
Indramayu
Cirebon
1980
0,00%
-4,00%
0,00%
0,00%
0,00%
7,08%
0,00%
0,00%
0,00%
0,00%
0,00%
0,00%
1981
-2,26%
-0,26%
-6,01%
-2,83%
0,00%
17,78%
0,00%
0,00%
1,23%
0,00%
1,62%
0,00%
1982
-1,64%
0,00%
-8,67%
-0,24%
0,63%
0,00%
0,00%
0,00%
0,00%
0,00%
4,68%
1,17%
1983
-14,54%
-5,09%
-12,03%
0,00%
4,55%
7,93%
0,00%
0,00%
0,00%
0,00%
0,97%
0,00%
1984
-14,73%
-0,18%
-14,19%
-8,40%
2,70%
0,00%
3,63%
0,00%
0,00%
0,00%
0,00%
22,91%
1985
-23,86%
0,00%
-16,46%
-1,26%
0,00%
0,00%
4,96%
0,00%
1,77%
0,00%
0,00%
28,95%
1986
-15,61%
-2,18%
-18,86%
-6,80%
1,04%
0,00%
1,45%
0,00%
0,00%
0,00%
0,00%
11,57%
1987
-9,64%
-8,20%
-17,55%
-11,00%
13,06%
5,58%
0,00%
0,00%
0,00%
0,00%
1,63%
24,84%
1988
-29,23%
-16,69%
-22,46%
-18,79%
0,00%
1,39%
0,00%
0,00%
2,15%
0,00%
0,86%
8,76%
1989
-30,29%
-12,62%
-25,01%
-17,25%
0,69%
0,00%
0,00%
0,00%
0,00%
0,00%
1,97%
28,91%
1990
-20,53%
-16,67%
-26,08%
-21,50%
12,52%
8,44%
0,00%
0,00%
0,00%
0,00%
6,11%
16,23%
1991
-36,34%
-24,60%
-29,34%
-35,36%
14,51%
7,05%
5,86%
0,00%
0,00%
0,00%
0,00%
21,79%
1992
-32,16%
-29,98%
-29,27%
-29,77%
20,64%
5,16%
1,09%
0,00%
0,00%
0,00%
0,00%
14,42%
1993
-36,19%
-29,29%
-34,10%
-36,39%
18,12%
0,00%
0,00%
0,00%
0,00%
0,00%
6,93%
2,60%
1994
-38,45%
-40,11%
-35,00%
-33,86%
2,54%
0,00%
0,00%
0,00%
0,00%
0,47%
16,88%
35,58%
1995
-33,04%
-35,86%
-37,75%
-43,62%
17,49%
6,84%
0,00%
0,00%
0,00%
0,00%
1,38%
22,30%
1996
-28,36%
-54,49%
-39,14%
-53,29%
37,42%
0,00%
0,00%
0,00%
0,00%
36,85%
30,48%
8,72%
1997
-24,28%
-69,48%
-44,76%
-61,21%
67,43%
0,00%
20,79%
0,00%
0,00%
75,41%
0,00%
17,86%
1998
-31,54%
-44,56%
-53,68%
-58,30%
0,00%
0,00%
0,00%
0,00%
1,48%
29,43%
14,76%
23,24%
1999
-32,57%
-50,90%
-50,20%
-59,13%
1,46%
0,00%
0,00%
0,00%
0,00%
15,40%
16,15%
0,00%
2000
-28,94%
-47,02%
-48,09%
-65,59%
0,00%
0,00%
0,00%
0,00%
6,35%
49,93%
11,38%
0,00%
2001
-30,49%
-39,17%
-48,18%
-56,42%
2,49%
0,00%
0,00%
0,00%
0,00%
78,64%
15,82%
31,83%
229
229 Lampiran 28. Estimasi Potensi. Produksi. dan Tingkat Pemanfaatan. Masing-masing kelompok Sumberdaya Laut Pada Setiap Wilayah Pengelolaan Perikanan di Perairan Indonesia, Tahun 2001. No
Wilayah Pengelolaan Perikanan
Kelompok Sumberdaya 1
1
2
7
8
9
66,08
55,00
193,60
104,12
106,51
175,26
50,86
386,26
1.165,36
35,27
35,16
137,82
85,10
29,10
37,46
153,43
34,55
188,28
736,17
Pemanfaatan (%)
>100
53,21
>100
43,96
27,95
35,17
87,54
67,93
48,74
63,17
143,30
621,50
340,00
605,44
132,00
379,44
384,75
468,66
526,57
3.605,66
132,70
205,53
507,53
333,35
146,47
119,43
62,45
12,31
264,56
1.784,33
90,15
33,07
>100
55,06
>100
31,48
16,23
2,63
50,21
49,49
Ikan Pelagis Kecil
Ikan Demersal Potensi (103 ton/ tahun)
82,40
334,80
375,20
87,20
9,32
83,84
54,86
202,34
135,13
1.365,09
146,23
54,69
334,92
167,38
43,20
32,14
15,31
156,80
134,83
1.085,50
>100
16,34
89,26
>100
>100
38,33
27,91
77,49
99,78
79,52
Potensi (103 ton/ tahun)
5,00
21,57
9,50
34,10
32,10
12,50
14,50
3,10
12,88
145,25
Produksi (103 ton/ tahun)
21,60
7,88
48,24
24,11
6,22
4,63
2,21
22,58
19,42
156,89
Pemanfaatan (%)
>100
36,53
>100
70,70
19,38
37,04
15,24
>100
>100
>100
11,40
10,00
11,40
4,80
0,00
0,90
2,50
43,10
10,70
94,8
Produksi (10 ton/ tahun)
49,46
70,51
52,86
36,91
0,00
1,11
2,18
36,67
10,24
259,94
Pemanfaatan (%)
>100
>100
>100
>100
0,00
>100
87,20
85,08
95,70
>100
Potensi (103 ton/ tahun)
0,40
0,40
0,50
0,70
0,40
0,30
0,40
0,10
1,60
4,80
Produksi (103 ton/ tahun)
0,87
1,24
0,93
0,65
0,01
0,02
0,04
0,16
0,16
4,08
>100
>100
>100
92,86
2,5
6,67
10
>100
10
85
Potensi (103 ton/ tahun)
1,86
2,70
5,04
3,88
0,05
7,13
0,45
3,39
3,75
28,25
Produksi (103 ton/ tahun)
3,15
4,89
12,11
7,95
3,48
2,85
1,49
0,30
6,29
42,51
>100
>100
>100
>100
>100
39,97
>100
8,85
>100
>100
Produksi (103 ton/ tahun) Pemanfaatan (%) Ikan Karang Konsumsi
Udang Penaeid Potensi (103 ton/ tahun) 3
Lobster
Pemanfaatan (%) 7
6
27,67
Produksi (10 ton/ tahun)
6
5
Potensi (103 ton/ tahun)
Pemanfaatan (%)
5
Perikanan Indonesia
4
Produksi (103 ton/ tahun)
3
4
3
Ikan Pelagis Besar
Potensi (103 ton/ tahun)
3
2
Cumi-cumi
Pemanfaatan (%) Sumberdaya Ikan Laut Potensi (103 ton/ tahun) 3
Produksi (10 ton/ tahun) Pemanfaatan (%)
Sumber : Puslitbang Osenologi- LIPI. 2001 1. Selat Malaka 2. Laut Cina Selatan 7. Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik
276,03
1.057,05
796,64
929,72
277,99
590,62
632,72
771,55
1.076,80
6.409,21
389,28
379,9
1.094,41
655,45
228,48
197,64
237,11
263,37
623,78
4.069,42
>100
35,94
>100
70,50
82,19
33,46
37,47
34,14
57,92
63,49
3. Laut Jawa 8. Laut Arafura
4. Selat Makasar dan Laut Flores 9. Samudera Hindia
5. Laut Banda
6. Laut Seram dan Teluk Tomini
230
230 Lampiran 29. Peta Wilayah Pengelolaan Perikanan Laut (WPP) di Perairan Indonesia
1
2
7
6
3 4 9
5 8
Keterangan : 1. Selat Malaka 2. Laut Cina Selatan 7. Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik
3. Laut Jawa 8. Laut Arafura
4. Selat Makasar dan Laut Flores 9. Samudera Hindia
5. Laut Banda
6. Laut Seram dan Teluk Tomini
231
231 Lampiran 30. Perkembangan PDRB Propinsi Jawa Barat, Tahun 1994 - 2003
No. 1.
Lapangan Usaha Pertanian a. Tanaman Pangan b. Tanaman perkebunan
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
8,989,698
9,350,686
9,383,964
8,675,504
8,013,996
9,098,516
7,842,831
8,468,325
8,047,249
(15.55)
(14.96)
(13.90)
(12.12)
(13.62
15.12
14.09
14.52
13.28
12.37
6,486,131
6,719,715
6,749,098
6,346,859
6,151,708
6,878,101
6,158,679
6,431,052
5,805,107
5,484,508
7,817,204
(11.22)
(10.75)
(10.00)
(8.87)
(10.45
11.43
11.06
11.03
9.58
8.68
657,690
683,974
631,038
556,171
422,696
586,912
423,330
442,056
500,257
515,514
(1.14)
(1.09)
(0.93)
(0.78)
(0.72
0.98
0.76
0.76
0.83
0.82
c. Peternakan
1,263,264
1,323,348
1,380,420
1,121,551
854,540
962,184
698,164
983,193
1,094,405
1,138,044
(2.18)
(2.12)
(2.04)
(1.57)
(1.45
1.60
1.25
1.69
1.81
1.80
d. Kehutanan
83,186
90,803
90,311
90,812
85,924
102,236
88,585
98,324
78,432
81,628
(0.14)
(0.15)
(0.13)
(0.13)
(0.15
0.17
0.16
0.17
0.13
0.13
e. Perikanan
499,427
532,846
533,097
560,111
499,128
569,083
474,073
513,700
569,049
597,509
(0.86)
(0.85)
(0.79)
(0.78)
(0.85
0.95
0.85
0.88
0.94
0.95
3,538,119
3,464,618
3,588,869
3,624,037
2,912,315
2,142,073
3,487,447
3,273,481
3,126,111
3,005,026
2.
Pertambangan dan Penggalian
3.
Industri Pengolahan
(31.38)
(33.30)
(34.67)
(36.76)
(35.54
34.94
39.23
39.29
39.00
38.82
4.
Listrik, Gas dan Air Bersih
1,303,723
1,390,037
1,633,677
1,859,827
1,816,765
2,046,564
1,800,088
1,919,108
2,072,936
2,123,222
(2.25)
(2.22)
(2.42)
(2.60)
(3.09
3.40
3.23
3.29
3.42
3.36
5.
Bangunan
3,558,630
3,847,812
4,298,221
4,202,306
2,262,253
2,210,240
1,904,918
1,875,250
2,032,148
2,182,380
6.
Perdagangan Hotel dan Restoran
(18.67)
(18.53)
(18.59)
(18.88)
(19.65
19.89
16.42
16.46
17.19
17.18
7.
Pengangkutan dan Komunikasi
3,314,599
3,569,072
3,844,345
3,908,369
3,497,994
3,555,871
2,708,612
2,894,893
3,232,450
3,495,539
(5.73)
(5.71)
(5.69)
(5.46)
5.94
5.91
4.87
4.96
5.33
5.53
8.
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
2,836,519
3,019,396
3,157,865
3,666,643
2,189,229
2,369,171
2,226,119
2,471,576
2,720,137
3,029,302
(4.91)
(4.83)
(4.68)
(5.12)
3.72
3.94
4.00
4.24
4.49
4.79
9.
Jasa-Jasa
5,342,375
5,461,635
5,651,045
5,810,194
5,676,177
5,760,294
4,717,178
4,904,009
5,316,102
6,142,134
(9.24)
(8.74)
(8.37)
(8.12)
9.65
9.57
8.47
8.41
8.77
9.72
57,823,106
62,491,165
67,522,301
71,568,924
58,847,840
60,180,705
55,660,205
58,311,798
60,594,235
63,179,491
TOTAL
(6.12)
(5.54)
(5.32)
(5.06)
(4.95
3.56
6.27
5.61
5.16
4.76
18,142,182
20,810,291
23,411,801
26,310,836
20,913,548
21,029,934
21,833,139
22,908,171
23,631,807
24,528,735
(6.15)
(6.16)
(6.37)
(5.87)
(3.84
3.67
3.42
3.22
3.35
3.45
10,797,261
11,577,618
12,552,514
13,511,208
11,565,563
11,968,042
9,139,872
9,596,985
10,415,295
10,855,949