PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG PENDIDIKAN ISLAM Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh IZZAH FAUZIAH NIM 109011000140
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014 M / 1435 H
ABSTRAK Izzah Fauziah, NIM : 109011000140, Pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas tentang Pendidikan Islam Masalah pendidikan Islam merupakan masalah yang tidak akan pernah tuntas diwacanakan, tidak akan pernah rampung didesign, dan tidak akan pernah diperoleh solusi akhir, karena pendidikan Islam berkenaan dengan persoalan umat Islam dengan jumlah yang sangat besar, melebihi satu milyar, dengan pola kehidupan masingmasing yang sangat dinamis. Berbagai pemikiran dan solusi telah dikemukakan oleh para ahli, terutama menyangkut konsep dan implementasi konsep tersebut, yang sudah tentu bahwa warna-warni pemikirannya banyak dipengaruhi oleh pandangan hidup, nilai-nilai, dan pengalaman yang mereka lalui. Salah satu tokoh pendidikan Islam yang merumuskan pendidikan Islam adalah Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Peneliti mengangkat tokoh ini, karena beliau adalah salah seorang intelektual Muslim yang memberikan kontribusi baru dalam dunia pendidikan Islam. Adapun fokus dari penelitian ini adalah apa saja pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas tentang pendidikan Islam dan relevansinya pada era sekarang? Sedangkan tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui dan mengkaji pendidikan Islam menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan pendekatan library research yaitu lebih menitikberatkan pada pengumpulan data dari berbagai sumber yang relevan. Dalam hal ini mencakup buku-buku, internet, dan hasil penelitian yang terkait dengan judul karya ilmiah ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa menurut pandangan Syed Muhammad Naquib Al-Attas, pendidikan Islam adalah proses penanaman ilmu ke dalam diri manusia. Tujuan mencari pengetahuan dalam Islam ialah menanamkan kebaikan dalam diri manusia sebagai manusia dan sebagai diri individual. Tujuan akhir pendidikan Islam ialah menghasilkan manusia yang baik. “Baik” dalam konsep manusia yang baik berarti tepat sebagai manusia adab dalam pengertian yang dijelaskan di sini, yakni meliputi kehidupan material dan spiritual manusia. Karena dalam Islam, tujuan mencari pengetahuan pada puncaknya adalah untuk menjadi seorang manusia yang baik. Relevansi pendidikan Islam pada era sekarang bagi Syed Muhammad Naquib Al-Attas adalah perwujudan paling tinggi dan paling sempurna dari sistem pendidikan adalah universitas. Dan mengingat bahwa universitas merupakan sistematisasi pengetahuan yang paling tinggi dan yang sempurna – yang dirancang untuk mencerminkan yang universal – maka ia mestilah juga merupakan pencerminan dari bukan sekedar manusia apa saja, melainkan Manusia Universal atau Sempurna (al-insanul kamil :
)االنسان الكامل.
Maka dari itu, pendidikan Islam
membutuhkan adanya tempat/lembaga pendidikan yang mampu membina manusia sempurna.
i
KATA PENGANTAR Bismillahir rahmanir rahim... Alhamdulillahi rabbil „alamin. Segala puji syukur, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat dan karunia, taufiq dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini berjudul “Pemikiran Pendidikan Islam Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas” diajukan dalam rangka melengkapi dan memenuhi syarat untuk mencapai gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I) Strata Satu (S1) Jurusan Pendidikan Agama Islam, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Penyusunan skripsi ini dapat penulis selesaikan tepat pada waktunya berkat adanya bantuan dan kerjasama yang baik dari berbagai pihak yang ada hubungannya dengan pembahasan judul skripsi ini. Maka pada kesempatan kali ini, penulis dengan setulus hati ingin menyampaikan terima kasih kepada : 1. Ibu Dr. Hj. Nurlena Rifa‟i, MA, Ph. D selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu dalam kelancaram perkuliahan. 2. Bpk. Drs. Abdul Majid Khon, MA selaku Ketua Jurusan (Kajur) Pendidikan Agama Islam dan Ibu Marhamah Saleh, Lc. MA, selaku Sekretaris Jurusan (Sekjur) Pendidikan Agama Islam yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis. 3. Bpk. Prof. Dr. Ahmad Syafi‟ie Noor selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah memberikan nasehat dan motivasi penulis agar menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. 4. Bpk. Ahmad Irfan Mufid, MA selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah meluangkan waktu, memberikan arahan dan bimbingan agar penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.
ii
5. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen yang telah memberikan ilmunya selama perkuliahan berlangsung. Semoga ilmu yang Bapak dan Ibu Dosen beri kepada penulis selalu bermanfaat. Amiin Ya Rabbal „Alamin. 6. Pimpinan dan seluruh staff karyawan/i Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu memberikan pelayanan yang baik dalam hal peminjaman dan pengembalian buku kepada penulis. 7. Ayahanda (Bpk. Wasito, S.Ag) dan Ibunda (Ibu Muzdalifah) yang selalu memberikan motivasi, bimbingan, arahan baik berupa materi maupun non-materi hingga terselesaikannya skripsi ini. Skripsi penulis persembahkan untuk ayahanda dan ibunda. 8. Adik-adik tercinta Muhammad Khothif Arham dan Muhammad Faiq Ammar yang selalu memberikan motivasi agar penulis selalu semangat dalam menyelesaikan skripsi ini. 9. Kawan-kawan tercinta PAI angkatan thn. 2009 khususnya kelas D dan TH yang selalu memberikan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 10. Dan seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang juga telah turut memberikan motivasi agar penulis menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Harapan penulis, semoga hasil pembahasan dalam skripsi ini akan bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya serta mendapat ridha Allah SWT. Segala kekurangan dan kesalahan dalam skripsi ini mohon dimaklumi, segala kritik dan saran yang membangun akan penulis terima dengan senang hati, demi kebaikan dan kebenaran. Semoga Allah SWT. berkenan mengampuni dosa dan kesalahan kita. Amiin Ya Rabbal „Alamin.. Hormat penulis,
(Izzah Fauziah) iii
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING LEMBAR KARYA SENDIRI ABSTRAK
i
KATA PENGANTAR
ii
DAFTAR ISI
iv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
1
B. Identifikasi Masalah
6
C. Pembatasan Masalah
6
D. Perumusan Masalah
7
E. Tujuan Penelitian
7
F. Kegunaan Penelitian
7
BAB II LANDASAN TEORITIS A. Pendidikan Islam 1. Pengertian Pendidikan Islam
9
2. Tujuan Pendidikan Islam
21
3. Fungsi Pendidikan Islam
29
4. Kurikulum Pendidikan Islam
32
5. Metodologi Pendidikan Islam
35
B. Pemikiran Pendidikan Islam
37
C. Hasil Penelitian yang Relevan
38
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian
40 iv
B. Metode Penelitian
41
C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
42
D. Pemeriksaan atau Pengecekan Keabsahan Data
44
E. Analisis Data
44
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Biografi Syed Muhammad Naquib Al-Attas 1. Riwayat Hidup Syed Muhammad Naquib Al-Attas
45
2. Latar Belakang Pendidikan dan Karir Syed Muhammad Naquib Al-Attas
46
3. Karya-karya Syed Muhammad Naquib Al-Attas
49
B. Pembahasan 1. Pengertian Pendidikan Islam
55
2. Pengertian Pendidikan Islam “Ta’dib”
58
3. Pengertian Pendidikan Islam “Tarbiyah”
61
4. Tujuan Pendidikan Islam
65
5. Sistem Pendidikan dalam Islam
67
6. Kurikulum Pendidikan Islam
69
7. Metode Pendidikan Islam
76
8. Pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas tentang Pendidikan Islam dan Relevansinya pada Era Sekarang
77
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan
79
B. Saran
80
DAFTAR PUSTAKA
81
LAMPIRAN-LAMPIRAN
v
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Agama Islam adalah agama yang universal. Yang mengajarkan kepada umat manusia mengenai berbagai aspek kehidupan, baik duniawi maupun ukhrawi. Salah satu diantara ajaran Islam tersebut adalah mewajibkan kepada umat Islam untuk melaksanakan pendidikan. Karena menurut ajaran Islam, pendidikan adalah juga merupakan kebutuhan hidup manusia yang mutlak harus dipenuhi, demi untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan pendidikan itu pula manusia akan mendapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan untuk bekal dan kehidupannya.1 Menurut Islam, pendidikan adalah pemberi corak hitam putihnya perjalanan hidup seseorang. Oleh karena itu, ajaran Islam menetapkan bahwa pendidikan merupakan salah satu kegiatan yang wajib hukumnya bagi pria dan wanita, dan berlangsung seumur hidup – semenjak dari buaian hingga ajal datang (Al-Hadis) – life long education.2
1 2
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), cet ke-5, h. 98 Zuhairini, op.cit., h. 1
1
2
Apabila kita memperhatikan ayat-ayat yang pertama kali diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad, maka nyatalah bahwa Allah telah menekankan perlunya orang belajar baca tulis dan belajar ilmu pengetahuan. Firman Allah dalam Surat Al-‘Alaq ayat 1-5 :
ِ ِ ِ خلَق. ك الَّ ِذى خلَق َعلَّ َم. الَّ ِذي َعلَّ َم بِالْ َقلَ ِم. ك االَ ْكَرُم َ ُّ اقْ َرأْ َوَرب. االنْ َسا َن ِم ْن َعلَ ٍق َ ُّاس ِم رب َ َ َ َ ْ ِاقْ َرأْ ب ِ .االنْ َسا َن َما ََلْ يَ ْعلَ ْم “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah Tuhanmu yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada apa yang tidak ketahui. (QS. Al-‘Alaq : 1-5) Dari ayat-ayat tersebut, jelaslah bahwa agama Islam mendorong umatnya agar menjadi umat yang pandai, dimulai dengan belajar baca tulis dan diteruskan dengan berbagai macam ilmu pengetahuan.3 Pendidikan merupakan disiplin ilmu yang di dalamnya mengandung berbagai dimensi. Seperti dimensi manusia sebagai subyek atau pelaku pendidikan (baik berstatus sebagai pendidik atau peserta didik), maupun dimensi landasan, tujuan, materi atau kurikulum, metodologi, dan dimensi institusi dalam penyelenggaraan pendidikan. Dimensi-dimensi tersebut merupakan faktor penting yang mendukung keberhasilan pelaksanaan proses kegiatan pendidikan, dan masing-masing dimensi ini memiliki paradigma fungsional sendiri-sendiri dan saling terkait untuk bersinergi dalam sebuah sistem pendidikan.4 Pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup dan kehidupan manusia. John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan sebagai salah satu kebutuhan, fungsi sosial, sebagai bimbingan, sarana pertumbuhan yang mempersiapkan dan membukakan serta membentuk disiplin ilmu. Pernyataan ini setidaknya mengisyaratkan bahwa bagaimanapun sederhananya suatu komunitas manusia, memerlukan adanya pendidikan. 3
Ibid., h. 99 A. Fatah Yasin, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: UIN Malang Press), cet ke-1, h. iii-iv 4
3
Maka dalam pengertian umum, kehidupan dari komunitas tersebut akan ditentukan aktivitas pendidikan di dalamnya. Sebab pendidikan secara alami sudah merupakan kebutuhan hidup manusia.5 Pendidikan merupakan bagian vital dalam kehidupan manusia, karena pendidikan Islam berorientasi dalam memberikan bekal kepada manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, pendidikan menjadi perhatian utama dalam rangka memajukan generasi sejalan dengan tuntutan masyarakat. Semestinya pendidikan Islam selalu diperbaharui konsep dan aktualisasinya dalam rangka merespon perkembangan zaman yang selalu dinamis dan temporal, agar manusia tidak hanya menginginkan kebahagiaan hidup setelah mati (eskatologis), namun kebahagiaan di duniapun bisa diraihnya. Pada kehidupan masyarakat yang semakin berbudaya dengan tuntutan hidup yang makin tinggi, pendidikan ditujukan bukan hanya pada pembinaan keterampilan, melainkan kepada pengembangan kemampuan-kemampuan teoretis dan praktis berdasarkan konsep-konsep berpikir ilmiah.6 Dalam perkembangannya, pendidikan Islam telah melahirkan dua pola pemikiran yang kontradiktif. Keduanya mengambil bentuk yang berbeda, baik pada aspek materi, sistem pendekatan, atau dalam bentuk kelembagaan sekalipun, sebagai akumulasi dari respon dari sejarah pemikiran manusia dari masa ke masa terhadap adanya kebutuhan akan pendidikan. Dua model bentuk yang dimaksud adalah pendidikan Islam yang bercorak tradisionalis dan pendidikan Islam yang bercorak modernis. Pendidikan Islam yang bercorak tradisionalis dalam perkembangannya lebih menekankan pada aspek doktriner normatif yang cenderung eksklusif-literalis, apologetis. Sementara pendidikan Islam modernis, lama-kelamaan ditengarai mulai kehilangan ruh-ruh mendasarnya.7 5
Jalaludin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), cet. ke-2, h. 67 Arifin, Ilmu Pendidikan Islam : Tinjauan Teoretis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003), cet ke-1, h. 2 7 Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma Profetik : Upaya Konstruktif Membongkar Dikotomi Sistem Pendidikan Islam, (Jawa Timur: UMG Press, 2004), cet ke-1, h. 6 6
4
Pada dasarnya, pendidikan dalam perspektif Islam berupaya untuk mengembangkan
seluruh potensi peserta didik seoptimal mungkin, baik yang
menyangkut aspek jasmaniah, maupun rohaniah, akal dan akhlak. Dengan optimalisasi seluruh potensi
yang dimiliknya, pendidikan Islam berupaya
mengantarkan peserta didik ke arah kedewasaan pribadi secara paripurna, yaitu yang beriman dan berilmu pengetahuan.8 Islam memandang peserta didik sebagai makhluk Allah dengan segala potensinya yang sempurna sebagai khalifah fil ardh, dan terbaik di antara makhluk lainnya. Kelebihan manusia tersebut bukan hanya sekedar fisik, tetapi lebih jauh dari itu, manusia memiliki kelebihan pada aspek psikisnya. Kedua aspek manusia tersebut memiliki potensinya masing-masing yang sangat mendukung bagi proses aktualisasi diri pada posisinya sebagai makhluk yang mulia. Dengan potensi fisik dan psikis, atau dengan kata lain potensi material dan spiritual tersebut menjadikan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang terbaik.9 Seperti diketahui, masalah pendidikan Islam merupakan masalah yang tidak akan pernah tuntas diwacanakan, tidak akan pernah rampung didesign, dan tidak akan pernah diperoleh solusi akhir, karena pendidikan Islam berkenaan dengan persoalan umat Islam dengan jumlah yang sangat besar, melebihi satu milyar, dengan pola kehidupan masing-masing yang sangat dinamis. Berbagai pemikiran dan solusi telah dikemukakan oleh para ahli, terutama menyangkut konsep dan implementasi konsep tersebut, yang sudah tentu bahwa warna-warni pemikirannya banyak dipengaruhi oleh pandangan hidup, nilai-nilai, dan pengalaman yang mereka lalui. Tetapi ada kesan kuat bahwa dalam satu hal mereka sepakat, bahwa pendidikan Islam harus bertujuan memberikan bekal dan pengembangan potensi keimanan, keislaman dan keihsanan. Selain itu, agar pendidikan Islam tidak mengabaikan pengembangan potensi jasmani, ‘aqal, dan qalbunya secara seimbang dan integral, agar dia memiliki 8
Samsul Nizar, Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), cet ke-1, h. vii 9 A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: AMZAH, 2009), cet ke-1, h. 1
5
kesiapan menghadapi masa depannya dengan penuh percaya diri dan penuh tanggung jawab.10 Sejarah memang mencatat bahwa peradaban Islam pernah menikmati posisi sebagai kiblat ilmu pengetahuan dunia, dan masa keemasan tersebut diperkirakan dinikmati umat Islam sekitar abad ke-7 hingga ke-15. Setelah itu masa-masa tersebut kejayaan peradaban ilmiah Islam mulai melayu dan statis, kalau tidak lebih tepat dikatakan ‘mundur’, dan kemunduran itu berlanjut hingga abad ke-21 ini.11 Dunia Islam akhir-akhir ini tengah mengadapi berbagai permasalahan seputar krisis pendidikan Islam. Masa depan Islam akan sangat tergantung pada bagaimana dunia itu menghadapi tantangan ini. Inilah yang menuntut agar selalu dilakukan pembaharuan (modernisasi) dalam hal pendidikan dan segala hal yang terkait dengan kehidupan umat Islam. Dari sudut pandang Islam, pendidikan menduduki posisi sangat urgen dan prinsipil. Karena pendidikan merupakan sesuatu yang sangat inheren dalam kehidupan umat manusia.12 Pendidikan berkembang dari yang sederhana (primitif), yang berlangsung ketika manusia masih berada dalam ruang lingkup kehidupan yang serba sederhana serta konsep tujuan yang amat terbatas pada hal-hal yang bersifat survival (pertahanan hidup terhadap ancaman alam sekitar), sampai pada bentuk pendidikan yang sarat dengan metode, tujuan, serta model pendidikan yang sesuai dengan masyarakat saat ini.13 Pendidikan Islam bukan sekedar proses penanaman nilai-nilai moral untuk membentengi diri dari akses negatif globalisasi. Tetapi yang paling urgen adalah bagaimana nilai-nilai moral yang telah ditanamkan pendidikan Islam tersebut mampu berperan sebagai kekuatan pembebas (liberating force) dari himpitan kemiskinan, 10
Abdul Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru sampai UU Sisdiknas, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), cet ke-1, h. v 11 Abdur Rahman Assegaf, Pendidikan Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Suka Press, 2007), cet. ke1, h. vii 12 Mohammad Tidjani Djauhari, Pendidikan untuk Kebangkitan Islam, (Jakarta: TAJ, 2008), cet. ke-1, h. 48 13 Arifin, op.cit., h. 1
6
kebodohan, dan keterbelakangan budaya dan ekonomi. Kandungan materi pelajaran dalam pendidikan Islam yang masih berkutat pada tujuan yang lebih bersifat ortodoksi diakibatkan adanya kesalahan dalam memahami konsep-konsep pendidikan yang masih bersifat dikotomis, yakni pemilahan antara pendidikan agama dan pendidikan umum (sekular), bahkan mendudukkan keduanya secara diametral.14 Menindaklanjuti masalah ini, salah satu tokoh pendidikan Islam yang sangat peduli terhadap eksistensi pendidikan Islam kontemporer, Syed Muhammad Naquib Al-Attas yang berdedukasi dipertengahan abad ke-20, merupakan otoritas yang sangat berpengaruh pada kebijakan Islam Melayu bahkan dunia internasional. AlAttas bukan hanya seorang ideator ulung maupun hanya teoritis semata, namun AlAttas telah merealisasikan dalam penerapan gagasan dan idenya pada Universitas (ISTAC) dan sukses dengan hasil yang patut dibanggakan. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis termotivasi untuk menyusun sebuah skripsi dengan judul “Pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas tentang Pendidikan Islam”. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan di atas, maka dapat diidentifikasikan masalah penelitian sebagai berikut : 1. Terdapat banyak perbedaan terhadap konsep pendidikan Islam 2. Perlu dirumuskan konsep pendidikan Islam yang ideal, sehingga dapat menjawab kekurangan pada pendidikan Islam yang telah diterapkan selama ini. C. Pembatasan Masalah Mengingat luasnya permasalahan yang ada, terbatasnya waktu, biaya yang diperlukan dan kemampuan berfikir penulis yang masih sangat terbatas, maka penulis 14
Moh. Shofan, op.cit., h. 5-6
7
perlu membatasi masalah agar lebih terarah dan tidak menimbulkan kekeliruan dalam pemahamannya. Masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini tentang: 1. Mengenal sosok Syed Muhammad Naquib Al-Attas, latar belakang keluarga, pendidikan dan pengalaman serta karya – karyanya. 2. Menguraikan konsep pendidikan Islam menurut Syed Muhammad Naquib AlAttas. D. Perumusan Masalah Dengan adanya pembatasan masalah di atas, penulis akan berusaha untuk menjawab permasalahan tentang: 1. Bagaimana pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas tentang pendidikan Islam? 2. Apa relevansi pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas tentang pendidikan Islam pada era sekarang? E. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengkaji pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas tentang pendidikan Islam. 2. Mengeksplorasi relevansi pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas tentang pendidikan Islam pada era sekarang. F. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi di dunia pendidikan pada umumnya, mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah, dan peneliti khususnya. Dengan adanya penelitian ini, terdapat kegunaan bagi:
8
1. Masyarakat sebagai tambahan bahan informasi tentang pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas tentang pendidikan Islam. 2. Peneliti lain yang akan melakukan penelitian yang sama untuk ditindaklanjuti dan dikembangkan lebih jauh tentang pemikiran Syed Muhammad Naquib AlAttas tentang pendidikan Islam. 3. Peneliti sendiri agar memperoleh wawasan yang cukup luas dalam mengkaji, menemukan dan menganalisa pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas tentang pendidikan Islam.
BAB II KAJIAN TEORI A. Pendidikan Islam 1. Pengertian Pendidikan Islam Dalam bahasa Indonesia, kata pendidikan terdiri dari kata didik yang mendapat awalan pen- dan akiran –an. Kata tersebut sebagaimana dijelaskan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah perbuatan (hal, cara dan sebagainya) mendidik.1 Pengertian ini memberi kesan bahwa kata pendidikan lebih mengacu kepada cara melakukan sesuatu perbuatan dalam hal ini mendidik. Selain kata pendidikan, dalam bahasa Indonesia terdapat pula kata pengajaran. Kata ini sebagaimana dijelaskan Poerwadarminta adalah cara (perbuatan dan sebagainya) mengajar atau mengajarkan. Kata lain yang serumpun dengan kata tersebut adalah mengajar yang berarti memberi pengetahuan dan pelajaran.
1
Js. Badudu dan Sutan Muhammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), cet ke-1, h. 342
9
10
Kata pendidikan selanjutnya sering digunakan untuk menerjemahkan kata education
dalam
bahasa
Inggris.
Sedangkan
pengajaran
digunakan
untuk
menerjemahkan kata teaching juga dalam bahasa Inggris. Jika pengertian secara semantik (kebahasaan) dari kata pendidikan, pengajaran (education atau teaching) sebagaimana disebutkan di atas diperhatikan secara seksama, nampak bahwa kata tersebut lebih menunjukkan pada suatu kegiatan atau proses yang berhubungan dengan pembinaan yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain. Pengertian tersebut belum menunjukkan adanya program, sistem, dan metode yang lazimnya digunakan dalam melakukan pendidikan atau pengajaran. 2 Dalam arti sederhana pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Dalam perkembangannya, istilah pendidikan atau paedagogie berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa.3 Selanjutnya, pendidikan diartikan sebagai usaha yang dijalankan oleh seseorang atau kelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental.4 Pendidikan adalah suatu aktivitas untuk mengembangkan seluruh aspek kepribadian manusia yang berjalan seumur hidup. Dengan kata lain, pendidikan tidak hanya berlangsung di dalam kelas, tetapi berlangsung pula di luar kelas. Pendidikan bukan sifat formal saja, tetapi mencakup pula yang non formal.5 Pendidikan ialah segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan. Atau lebih jelas lagi, pendidikan ialah pimpinan yang diberikan dengan
2
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), cet ke-1, h. 4-5 Dewasa di sini dimaksudkan adalah dapat bertanggung jawab terhadap diri sendiri secara biologis, psikologis, paedagogis, dan sosiologis. 4 Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 1 5 Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), cet ke-3, h. 149 3
11
sengaja oleh orang dewasa kepada anak-anak, dalam pertumbuhannya (jasmani dan rohani) agar berguna bagi diri sendiri dan bagi masyarakat.6 Dari pengertian pendidikan diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah usaha yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang dalam mempengaruhi orang lain yang bertujuan untuk mendewasakan manusia seutuhnya, baik lahir maupun bathin. Artinya, dengan pendidikan, manusia bisa memiliki kesetabilan dalam tingkah laku atau tindakan, kesetabilan dalam pandangan hidup dan kesetabilan dalam nilai-nilai kehidupan dengan penuh rasa tanggung jawab.7 Di Indonesia, menurut UU No. 20 Th. 2003 dalam Hasbullah menyatakan bahwa: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran
agar
peserta
didik secara
aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.” 8 Pengertian pendidikan saat ini sudah sangat beragam, sehingga banyak sekali pakar pendidikan yang mendefinisikan pendidikan itu sendiri. Bukan hanya para pakar yang mendefinisikan pendidikan itu sendiri, namun Islam (agama yang diridhai oleh Allah SWT) mampu mendefinisikan pendidikan. Pendidikan dalam Islam memiliki tiga istilah dalam bahasa Arab yaitu attarbiyah, at-ta‟lim, dan at-ta‟dib. Dari ketiga istilah ini, kata at-tarbiyah sering kali digunakan pada saat ini. Namun kata at-ta‟lim dan at-ta‟dib jarang sekali digunakan, padahal kata at-ta‟lim dan at-ta‟dib ini sudah ada pada awal pertumbuhan pendidikan Islam.9
6
M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, t.t), h. 10 7 Armai Arief, Pembaharuan Pendidikan Islam di Minangkabau, (Jakarta: Suara ADI, 2009), cet ke-1, h. 33 8 Hasbullah, op.cit., h. 4 9 Zuhairini, op.cit., h. 120
12
Istilah tarbiyah berakar dari tiga kata, yakni pertama dari kata rabba – yarbu yang berarti “bertambah dan tumbuh”, kedua kata rabiya – yarba yang berarti “tumbuh dan berkembang”, dan ketiga kata rabba – yarubbu yang berarti “memperbaiki, menguasai, dan memimpin, menjaga dan memelihara”. Kata al-Rabb, juga berasal dari kata tarbiyah dan berarti “mengantarkan sesuatu kepada kesempurnaan” secara bertahap atau membuat sesuatu mencapai kesempurnaannya secara bertahap atau membuat sesuatu menjadi sempurna secara berangsur-angsur. 10 Kata pendidikan, yang dalam bahasa Inggris ”education” dalam bahasa Arab (bahasa persatuan Islam) disebut “tarbiyah”. Kata tarbiyah, berasal dari kata dasar “rabba – yurabbi – tarbiyah (تَربِية
َ ْ - ”) َريَّب – يَُري َّْب
yang berarti tumbuh dan
berkembang (Al-Munjid). Dalam Al-Mu‟jam al-Wasith, terdapat penjelasan sebagai berikut:
اْلُلُ ِقي ِة ْ َوَربياهُ ََنيى قُ يواهُ الَ َس ِد يِة َوالْ َع ْقلِي ِة َو
“Mendidiknya, berarti menumbuhkan potensi jasmaniah, akliah (akal) serta akhlak (budi pekerti)”. 11 Abdurrahman al-Nahlawi yang menggunakan kata Tarbiyah dalam arti pendidikan berpendapat bahwa istilah tarbiyah berarti : a. Memelihara fitrah anak. b. Menumbuhkan seluruh bakat dan kesiapannya. c. Mengarahkan fitrah dan seluruh bakatnya agar menjadi baik dan sempurna. d. Bertahap dalam prosesnya.
Berdasarkan pengertian pendidikan di atas, al-Nahlawi menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Tarbiyah adalah : a. Pendidikan adalah proses yang mempunyai tujuan, sasaran, dan target. 10
Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma Profetik : Upaya Konstruktif Membongkar Dikotomi Sistem Pendidikan Islam, (Jawa Timur: UMG Press, 2004), cet ke-1, h. 38 11 Zuhairini, op.cit., h. 120-121
13
b. Pendidik yang sebenarnya adalah Allah, karena Dialah yang menciptakan fitrah dan bakat manusia. Dialah yang membuat dan memberlakukan hukum-hukum perkembangan serta bagaimana fitrah dan bakat itu berinteraksi. Dialah pula yang menggariskan syariat untuk mewujudkan kesempurnaan, kebaikan, dan kebahagiaannya. c. Pendidikan menghendaki penyusunan langkah-langkah sistematis yang harus didahului secara bertahap oleh berbagai kegiatan dan pengajaran. 12
Tarbiyah dimaknai sebagai proses penanaman etika yang dimulai pada jiwa anak yang sedang tumbuh dengan cara memberi petunjuk dan nasihat, sehingga ia memiliki potensi–potensi dan kompetensi–kompetensi jiwa yang mantap, yang dapat membuahkan sifat–sifat bijak, baik, cinta akan kreasi, dan berguna bagi tanah airnya.13 Dari beberapa istilah di atas dapat disimpulkan bahwa kata tarbiyah berarti upaya memelihara, mengurus, mengatur, dan memperbaiki sesuatu atau potensi atau fitrah manusia yang sudah ada sejak lahir agar tumbuh dan berkembang menjadi dewasa atau sempurna.14 Dalam pengertian tarbiyah ini, terdapat lima kata kunci yang dapat dianalisis : a. Menyampaikan (al-tabligh). Pendidikan dipandang sebagai usaha penyampaian, pemindahan, dan transformasi dari orang yang tahu (pendidik) pada orang yang tidak tahu (peserta didik) dan dari orang dewasa pada orang yang belum dewasa. b. Sesuatu (asy-syay‟). Maksud dari “sesuatu” di sini adalah kebudayaan, baik material maupun non-material (ilmu pengetahuan, seni, estetik, etika, dan lain-lain) yang harus dketahui dan diinternalisasikan oleh peserta didik. 12
Moh. Shofan, op.cit., h. 40-41 Rois Mahfud, Al-Islam : Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Erlangga, 2011), h. 144 14 A. Fatah Yasin, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 21 13
14
c. Sampai pada batas kesempurnaan (ila kamalihi). Maksudnya adalah bahwa proses pendidikan itu berlangsung terus–menerus tanpa henti, sehingga peserta didik memperoleh kesempurnaan, baik dalam pembentukan karakter dengan nilai – nilai tertentu maupun memiliki kompetensi tertentu dengan ilmu pengetahuan. d. Tahap demi tahap (syay‟ fa syay‟). Maksudnya, transformasi ilmu pengetahuan dan nilai dilakukan dengan berjenjang menurut tingkat kedewasaan peserta didik, baik secara biologis, psikologis, sosial maupun spiritual. e. Sebatas pada kesanggupannya (bi hasbi isti‟dadihi). Maksudnya, dalam proses transformasi pengetahuan dan nilai itu harus mengetahui tingkat peserta didik, baik dari sisi usia, kondisi fisik, psikis, sosial, ekonomi dan sebagainya, agar dalam tarbiyah itu ia tidak mengalami kesulitan. 15 At – ta‟lim secara etimologis berasal dari kata kerja „allama yang berarti “mengajar”. Jadi makna ta‟lim dapat diartikan “pengajaran” seperti dalam bahasa Arab dinyatakan tarbiyah wa ta‟lim berarti “Pendidikan dan Pengajaran”, sedangkan pendidikan Islam dalam bahasa Arabnya “al–Tarbiyah al-Islamiyah”. Kata ta‟lim dengan kata kerja „allama juga sudah digunakan pada zaman Nabi, baik di dalam AlQur‟an maupun Hadis serta pemakaian sehari-hari pada masa dulu lebih sering digunakan dari pada tarbiyah. Kata „allama memberi pengertian sekedar memberi tahu atau memberi pengetahuan, tidak mengandung arti pembinaan kepribadian, karena sedikit sekali kemungkinan ke arah pembentukan kepribadian yang disebabkan pemberian pengetahuan. 16 Kata ta‟lim adalah isim mashdar dari „allama – yu‟allimu – ta‟liiman. Menurut al-Raghib al-Asfahani dalam Abudin Nata menyebutkan bahwa: Kata al-ta‟lim adalah al-tanbih al-nafs littashawur al-ma‟aniy yang artinya memperingatkan jiwa untuk menggambarkan berbagai pengertian. Sedangkan kata at15
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), cet. ke-2,
h. 14 16
Moh. Shofan, op.cit., h. 41-42
15
ta‟allum berarti proses mengingatkan jiwa dengan tujuan untuk memperoleh gambaran tentang berbagai makna. Kata ta‟lim terkadang digunakan juga untuk pengertian memberitahukan, jika penggunaan kata ta‟lim tersebut dilakukan secara berulang-ulang.17 Muhammad Rasyid Ridha mengartikan ta‟lim dengan “proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu.” Pengertian ini didasarkan atas firman Allah SWT. dalam QS. Al-Baqarah ayat 31 tentang „allama Tuhan kepada Nabi Adam as. Proses transmisi itu dilakukan secara bertahap sebagaimana Nabi Adam menyaksikan dan menganalisis asma‟ (nama - nama) yang diajarkan oleh Allah kepadanya.18 Penunjukkan kata al-ta‟liim pada pengertian pendidikan, sesuai dengan firman Allah SWT. :
ِ ِ ال أَنْبئ ِوِن بِاَ ْْس ِاء هؤالَِء اِ ْن ُكْنتم ِ ِ : ْي (البقرة ْ َو َعلي َم ءَ َاد َم األ َ َْسَاءَ ُكلي َها ُثُي َعَر ُ َ َ ْ َُ َ ض ُه ْم َعلَى الْ َمالَئ َكة فَ َق َ ْ صادق َ ُْ )۱۳ “Dan Allah mengajarkan kepada Adam segala nama, kemudian Allah berkata kepada malaikat : ”Beritahukanlah kepada-Ku nama-nama semua itu, jika kamu besar”. (QS. Al-Baqarah : 31) 19 Al-Qur‟an tidak menyebutkan secara eksplisit kata “ta‟lim”. Rasyid Ridha dalam Asrorun Niam Sholeh mendefinisikan: “Al-ta‟lim sebagai proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan kepada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan. Muhammad Naquib Al-Attas mengartikan
ta‟lim
dengan
“pengajaran
tanpa
pengenalan
secara
mendasar”.”20 Istilah ta‟lim merupakan bagian kecil dari tarbiyah al–aqliyah yang bertujuan memperoleh pengetahuan dan keahlian berpikir, yang sifatnya mengacu pada
17
Abuddin Nata, Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur‟an, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 93 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, op.cit., h. 19 19 Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), cet ke-1, h. 87 20 Asrorun Niam Sholeh, Reorientasi Pendidikan Islam : Mengurai Relevansi Konsep Al-Ghazali dalam Konteks Kekinian, (Jakarta: ELSAS Jakarta, 2008), cet ke-6, h. 94 18
16
dominan kognitif. Sebaliknya at – tarbiyah tidak hanya mencakup domain kognitif, tetapi juga domain afektif dan psikomotorik.21 Kata ta‟diib merupakan mashdar dari addaba – yuaddibu – ta‟diiban (
– أَ يد َب
تَأْ ِديْبًا- ب ُ )يُاَيدyang dapat diartikan kepada proses pendidik yang lebih tertuju pada pembinaan dan penyempurnaan akhlak atau budi pekerti peserta didik. Orientasi kata ta‟diib lebih terfokus pada upaya pembentukan pribadi muslim yang berakhlak mulia. Pengertian ini didasarkan pada sabda Nabi Muhammad SAW. :
)َح َس َن تَأْ ِديِْب (احلديث ْ َدبيِِن َريِّب فَأ
“Tuhan telah mendidikku, maka Ia sempurnakan pendidikanku”. (Al-Hadits)22
Proses ta‟dib harus didasarkan pada komitmen kuat untuk membangun moralitas manusia dan dimulai diri sendiri. Dalam ta‟dib, seorang pendidik harus selalu sadar bahwa proses ta‟dib tidak pernah lepas dari arahan Allah. Tuhan ikut campur dengan mengarahkan langkah pendidik.23 Ta‟dib, sebagai upaya dalam pembentukan adab (tata krama) terbagi atas empat macam : a. Ta‟dib adab al-haqq, pendidikan tata krama spiritual dalam kebenaran, yang memerlukan pengetahuan tentang wujud kebenaran, yang di dalamnya segala yang ada memiliki kebenaran tersendiri dan yang dengannya segala sesuatu diciptakan. b. Ta‟dib adab al-khidmah, pendidikan tata krama spiritual dalam pengabdian. Sebagai seorang hamba, manusia harus mengabdi kepada sang Raja (Malik) dengan menempuh tata krama yang pantas. c. Ta‟dib adab al-syari‟ah, pendidikan tata krama spiritual dalam syari‟a, yang tata caranya telah digariskan oleh Tuhan melalui wahyu. Segala 21
Rois Mahfud, op.cit., h. 144 Samsul Nizar, op.cit., h. 90 23 Asrorun Niam Sholeh, op.cit., h. 95 22
17
pemenuhan syari‟ah Tuhan akan berimplikasi pada tata krama yang mulia. d. Ta‟dib adab al-shuhbah, pendidikan tata krama spiritual dalam persahabata, berupa saling menghormati dan berprilaku mulia di antara sesama.24 Sedangkan istilah ta‟dib menurut Daud (1987) dalam Rois Mahfud menyatakan bahwa “Ta‟dib berarti pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur–angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat–tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa untuk membimbing manusia ke arah pengenalan dan pengakuan kekuasaan dan keagungan Tuhan di dalam tatanan wujud dan keberadaannya.”25 Hasil Konferensi Pendidikan Islam se-Dunia Kedua tahun 1980 di Islamabad, Pakistan, merumuskan bahwa pendidikan Islam adalah suatu usaha untuk mengembangkan manusia dalam semua aspeknya, baik aspek spiritual, intelektual, imajinasi, jasmaniah, dan ilmiah baik secara individual maupun kolektif menuju ke arah pencapaian kesempurnaan hidup sesuai dengan ajaran Islam.26 Menurut Dr. Muhammad Fadil Al-Djamaly dalam Muzayyin Arifin menyatakan: “Pendidikan Islam adalah proses yang mengarahkan manusia kepada yang baik dan yang mengangkat derajat kemanusiannya sesuai dengan kemampuan dasar (fithrah) dan kemampuan ajarnya (pengaruh dari luar).”27 Arifin dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam : Tinjauan Teoretis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner mengemukakan bahwa hakikat pendidikan Islam adalah usaha orang dewasa muslim yang bertaqwa secara sadar mengarahkan dan membimbing pertumbuhan dan perkembangan fitrah (kemampuan dasar) anak 24
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, op.cit., h. 20-21 Rois Mahfud, op.cit., h. 144 26 A. Fatah Yasin, op.cit., h. 24 27 Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010), cet ke-5, h. 17-18 25
18
didik
melalui
ajaran
perkembangannya.
Islam
ke
arah
titik
maksimal
pertumbuhan
dan
28
Sedangkan menurut Armai Arief, pendidikan Islam adalah suatu proses penanaman nilai-nilai Islam melalui pengajaran, bimbingan dan latihan yang dilakukan dengan sadar dan penuh tanggung jawab dalam rangka pembentukan, pembinaan, pendayagunaan, dan pengembangan pikir, zikir, dan kreasi manusia, sehingga
terbentuk
pribadi
muslim
sejati,
yang
mampu
mengembangkan
kehidupannya dengan penuh tanggung jawab dalam rangka beribadah kepada Allah SWT. untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. 29 Dari pengertian ini nampak penekanannya kepada usaha membimbing pertumbuhan dan perkembangan fitrah (kemampuan dasar) anak didik ke tingkat maksimal. Dalam pengertian ini terkandung makna usaha orang dewasa muslim yang sadar (pendidik muslim), melalui ajaran Islam, menuju titik maksimal pertumbuhan dan perkembangannya (sebagai tujuan pendidikan).30 Pendidikan Islam, sebelumnya hanya dipersepsi sebagai materi, sekarang persepsi umat telah berubah, pendidikan Islam tidak hanya dipersepsi sebagai materi, tetapi juga sebagai institusi, sebagai kultur dan aktivitas, dan sebagai sistem. Inilah yang sekarang tercermin dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah yang secara operasional mengatur pelaksanaan undang-undang tersebut. Dengan demikian, maka penyebutan istilah “Pendidikan Islam” bisa mencakup empat persepsi tersebut: pertama, pendidikan Islam dalam pengertian materi; kedua, pendidikan Islam dalam pengertian institusi; ketiga, pendidikan Islam dalam pengertian kultur dan aktivitas; keempat, pendidikan Islam dalam pengertian pendidikan Islam yang islami. Pendidikan Islam menurut pengertian yang pertama, (pendidikan Islam dalam pengertian materi), maka yang dimaksud pendidikan 28
Islam adalah “materi
Arifin, Ilmu Pendidikan Islam : Tinjauan Teoretis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003), cet ke-1, h. 22 29 Armai Arief, op.cit., h. 36 30 Moh. Shofan, op.cit., h. 51-52
19
Pendidikan Agama Islam (PAI)” yang wajib diberikan di semua jenis, bentuk, dan jenjang pendidikan, baik di sekolah (SD, SMP, SMA, SMK, dan/atau yang sederajat), di Madrasah sebagai sekolah umum berciri khas Islam (MI, MTs, MA, MAK, dan/atau yang sederajat), dan di Madrasah Diniyah (Ula, Wustha dan „Ulya), karena sesuai dengan penegasan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa PAI adalah isi kurikulum yang wajib diajarkan di setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan. Perbedaan pokok antara materi PAI di Sekolah, di Sekolah Umum Berciri Khas Islam, dan di Madrasah Diniyah adalah sebagai berikut: kalau di Sekolah, PAI merupakan mata pelajaran dalam kelompok mata pelajaran agama dan akhlak (dengan sub mata pelajaran atau unsur pokok keimanan, ibadah, Al-Qur‟an hadis, akhlak, mu‟amalah, syari‟ah, dan tarikh) dengan satu silabi, sedang di Madrasah sebagai sekolah umum berciri khas Islam, PAI merupakan satu kelompok mata pelajaran agama dan akhlak (terdiri dari Qur‟an, Hadis, Fikih, Akidah Akhlak, SKI, dan bahasa Arab) dan setiap mata pelajaran memiliki silabi tersendiri. Selanjutnya, di Madrasah Diniyah PAI menjadi materi inti dan tujuan institusional lembaga adalah dalam rangka tafaqquh fiddin. Di Madrasah Diniyah ada variasi lagi, kalau di Madrasah Salafiyah menggunakan referensi kitab kuning, sedang di Diniyah Takmiliyah PAI bersifat pelengkap bagi peningkatan kompetensi keagamaan siswa yang sedang belajar di Sekolah atau Sekolah Umum Berciri Khas Islam. Pendidikan Islam menurut pengertian yang kedua, (pendidikan Islam dalam pengertian institusi), maka yang dimaksud pendidikan Islam adalah institusi-institusi pendidikan Islam seperti: pondok pesantren, madrasah diniyah, madrasah sebagai sekolah umum berciri khas Islam, dan sebagainya. Berkembangnya bentuk institusi pendidikan Islam seperti pondok pesantren, madrasah diniyah, madrasah sebagai sekolah umum berciri khas Islam dan sekolah Islam itu, selain telah menunjukkan keagamaan visi-misi perjuangan, sekaligus menunjukkan belum adanya grand design sistem kelambagaan pendidikan Islam. Karena itu, rekonstruksi sistem kelembagaan sangat diperlukan agar muncul ghirah yang bisa menginisiasi format institusi pendidikan Islam yang mampu mengatur dan mensintesakan berbagai bentuk
20
kelembagaan itu dalam sebuah kelembagaan yang integral, sistemik, dan holistik serta mampu menjelma sebagai ”magnet school”, yakni lembaga yang mampu menyedot potensi dari partisipasi masyarakat karena reputasi kelembagaannya yang menyajikan layanan pendidikan yang berkualitas.31 Pendidikan Islam menurut pengertian yang ketiga, (pendidikan Islam dalam pengertian kultur dan aktivitas), maka yang dimaksud adalah budaya, kultur atau nilai-nilai keislaman dan aktivitas yang tumbuh dan berkembang dan berpengaruh terhadap iklim pendidikan Islam, citra pendidikan Islam, performance institusi pendidikan Islam, dan aktivitas pendidikan Islam. Kultur pendidikan Islam, selama ini kurang tergarap secara baik dan profesional, sehingga terjadi kesenjangan yang begitu jauh antara idealitas ajaran Islam yang menekankan kebesihan dan citra kelembagaan pendidikan Islam yang kerap disebut “kumuh”, ada kesenjangan antara cita dan fakta, dan sebagainya. Kultur dan aktivitas pendidikan Islam seperti ini penting digagas dan dikembangkan dalam rangka memberdayakan pendidikan Islam sekaligus mengangkat pendidikan Islam dari keterpurukannya. Yang terakhir, pendidikan Islam menurut pengertian yang keempat, (pendidikan Islam dalam pengertian pendidikan yang islami), maka yang dimaksud adalah sistem pendidikan yang islami. Pendidikan Islam, sebagaimana pendidikan lainnya, memiliki komponen-komponen utama, seperti: dasar, tujuan, prinsip, metode, evaluasi dan sebagainya. Konstruksi komponen-komponen utama tersebut, menurut pengertian yang keempat, selalu mengacu pada ajaran normatif (Al-Qur‟an dan al-hadits) dan terapannya dalam pendidikan.32 Pendidikan Islam merupakan upaya pelayanan ataupun usaha secara sadar, secara terencana bagi pengembangan optimalisasi potensi dasar yang ada dalam diri setiap individu. Potensi dasar tersebut berupa potensi untuk mengakui Allah sebagai Tuhan yang menciptakan alam semesta, potensi untuk menjadi manusia yang baik 31
Abd. Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru sampai UU SISDIKNAS, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), cet ke-1, h. 2-4 32 Ibid., h. 4-5
21
dan berbuat baik, potensi untuk mengembangkan naluri kekhalifahan, dan potensi untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan lain-lain.33 Jadi, pendidikan Islam adalah suatu upaya atau proses, pencarian, pembentukan,
dan
pengembangan
sikap
dan
perilaku
untuk
mencari,
mengembangkan, memelihara, serta menggunakan ilmu dan perangkat teknologi atau keterampilan demi kepentingan manusia sesuai dengan ajaran Islam.34 2. Tujuan Pendidikan Islam Tujuan adalah dunia cita, yakni suasana ideal yang ingin diwujudkan. Dalam tujuan pendidikan suasana ideal itu nampak pada tujuan akhir (ultimate aims of education). Tujuan akhir biasanya dirumuskan secara padat dan singkat. 35 Sedangkan tujuan umum dari pendidikan ialah membawa anak kepada kedewasaannya, yang berarti bahwa ia harus dapat menentukan diri sendiri dan bertanggung jawab sendiri.36 Secara umum, tujuan pendidikan Islam terbagi kepada: tujuan umum, tujuan sementara, tujuan akhir dan tujuan operasional. Tujuan umum adalah tujuan yang akan dicapai dengan semua kegiatan pendidikan baik dengan pengajaran atau dengan cara lain. Tujuan sementara adalah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam sebuah kurikulum. Tujuan akhir adalah tujuan yang dikehendaki agar peserta didik menjadi manusia-manusia yang sempurna (insan kamil) setelah ia menghabisi sisa umurnya. Sementara tujuan operasional adalah tujuan praktis yang akan dicapai dengan sejumlah kegiatan pendidikan tertentu.37 33
Saidan, Perbandingan Pemikiran Pendidikan Islam Antara Hasan Al-Banna dan Mohammad Natsir, (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2011), h. 44 34 Jusuf Amir Feisal, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), cet. ke- 1, h. 96 35 Zuhairini, op.cit., h. 160 36 M. Ngalim Purwanto, op.cit., h. 19 37 Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 18-19
22
Ada yang memerinci tujuan pendidikan dalam bentuk taksonomi (sistem klasifikasi) yang terutama meliputi: a. Pembinaan kepribadian (nilai formil). Sikap (attitude). Daya pikir praktis rasional. Obyektivitas. Loyalitas kepada bangsa dan ideologi. Sadar nilai-nilai moral dan agama. b. Pembinaan aspek pengetahuan (nilai materiil), yaitu materi ilmu sendiri. c. Pembinaan aspek kecakapan, keterampilain (skill) nilai-nilai praktis. d. Pembinaan jasmani yang sehat.38 Tujuan pendidikan nasional menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab II, Pasal 3 yang berbunyi: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggung jawab”.39 Sedangkan, tujuan pendidikan Islam adalah untuk mempersiapkan anak didik atau individu dan menumbuhkan segenap potensi yang ada, baik jasmani maupun rohani, dengan pertumbuhan yang terus menerus agar dapat hidup dan berpenghidupan sempurna, sehingga ia dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna bagi dirinya dan umatnya.40
38
Zuhairini, op.cit., h. 161 Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Undang-undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2006), h. 8 40 Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, (Jakarta: CRSD Press, 2005), cet ke-1, h. 21 39
23
Secara umum, tujuan pendidikan Islam itu adalah dengan mengacu pada QS. 51 : 56, yaitu menjadikan manusia sebagai insan pengabdi kepada Khaliqnya, guna mampu membangun dunia dan mengelola alam semesta sesuai dengan konsep yang telah ditetapkan Allah SWT.41 Rumusan tujuan ini diilhami oleh firman Allah sebagai berikut :
ِْ وما خلَ ْقت ِ )٦٥ : س اِالي لِيَ ْعبُ ُد ْو َن (الذريات َ َ ََ َ ْال ين َو االن
“Dan Aku tidak menjadikan jin dan manusia melainkan supaya menyembah-Ku”. (QS. Adz-Dzariyat : 56) 42 Dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam, paling tidak ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu : a. Tujuan dan tugas manusia di muka bumi, baik secara vertikal maupun horizontal. b. Sifat-sifat dasar manusia. c. Tuntutan masyarakat dan dinamika peradaban kemanusiaan. d. Dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam. Dalam aspek ini, setidaknya ada 3 macam dimensi ideal Islam, yaitu : (a) mengandung nilai yang berupaya meningkatkan kesejahteraan hidup manusia di muka bumi. (b) mengandung nilai yang mendorong manusia berusaha keras untuk meraih kehidupan yang baik, (c) mengandung nilai yang dapat memadukan antara kepentingan kehidupan dunia dan akhirat (fi al-dunya hasanah wa fi alakhirat al-hasanah). Menurut al-Syaibani dalam Samsul Nizar mengemukakan bahwa tujuan tertinggi pendidikan Islam adalah mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat. Sementara tujuan akhir yang akan dicapai adalah mengembangkan fitrah peserta didik, baik ruh, pisik, kemauan, dan akalnya secara dinamis, sehingga akan terbentuk pribadi yang utuh dan mendukung bagi pelaksanaan fungsinya sebagai khalifah fil
41 42
Samsul Nizar, op.cit., h. 105 Abudin Nata, op.cit., h. 173
24
ardh. Pendekatan tujuan ini memiliki makna, bahwa upaya pendidikan Islam adalah pembinaan pribadi muslim sejati yang mengabdi dan merealisasikan “kehendak” Tuhan sesuai dengan syariat Islam, serta mengisi tugas kehidupannya di dunia dan menjadikan kehidupan akhirat sebagai tujuan utama pendidikannya.43 Tujuan pendidikan dalam konsep Islam harus mengarah pada hakikat pendidikan yang meliputi beberapa aspeknya yaitu tujuan dan tugas hidup manusia, memperhatikan sifat–sifat dasar manusia, tuntutan masyarakat, dan dimensi–dimensi ideal Islam. Pertama, terkait dengan ontologi hakikat manusia sudah sangat jelas dalam konsep Islam di mana manusia diciptakan bukan karena kebetulan atau sia – sia, ia diciptakan dengan membawa tujuan dan tugas hidup tertentu seperti dikatakan dalam QS. Ali „Imran [3] : 191. Tujuan diciptakan manusia adalah mutlak untuk Allah SWT, mendedikasikan dirinya baik sebagai wakil-Nya di muka bumi maupun sebagai „abd Allah SWT. Kedua, memperhatikan sifat – sifat dasar manusia (nature of human) yang oleh Allah SWT ditempatkan sebagai khalifah-Nya di muka bumi yang bertujuan untuk mengabdi kepada-Nya sebagaimana dilukiskan dalam QS. Al-Dzariyat [51] : 56 :
ِ وما خلَ ْق ِ )٥٦ : س اِالي لِيَ ْعبُ ُد ْو َن (الذاريات َ َ ََ َ ْت ال ين َو االن Artinya : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada – Ku.” (QS. Adz-Dzariyat : 56) Ketiga, tuntutan masyarakat baik berupa pelestarian nilai – nilai budaya yang telah melembaga dalam kehidupan suatu masyarakat, maupun pemenuhan terhadap tuntutan kebutuhan hidupnya dalam mengantisipasi perkembangan dan tuntutan dunia modern. 43
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam : Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), cet ke-1, h. 35-36
25
Keempat, dimensi kehidupan ideal Islam mengandung nilai yang dapat meningkatkan kesejahteraan hidup manusia di dunia untuk mengelola dan memanfaatkan dunia sebagai bekal kehidupan di akhirat, serta mengandung nilai yang mendorong manusia berusaha keras untuk meraih kehidupan di akhirat yang membahagiakan sehingga manusia dituntut agar tidak terbelenggu oleh rantai kekayaan duniawi atau material yang dimiliki. Namun demikian, manusia dituntut untuk menempatkan secara selaras antara kebutuhan dunia dan akhirat secara proporsional seperti yang direkomendasikan dalam QS. Al-Qashash [28] : 77 :
ِ ِ ِ ك اهلل الد ك َوالَ تَْب ِغ َ ك ِم َن الُّْن يَا َو اَ ْح ِس ْن َك َما اَ ْح َس َن اهللُ الَْي َ َس نَ ِسب َ ُ َ ََوابْتَ ِغ فْي َما ءَا ت َ ياراالَخَرَة َو الَ تَْن ِ الْ َف َس َاد ِِف االَْر )٧٧ : ب الْ ُم ْف ِس ُد ْو َن (القصص ُّ ض اِ ين اهللَ الَ ُُِي
Artinya : “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang – orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al – Qashash : 77)44 Menurut tugas dan fungsi manusia secara filosofis, tujuan pendidikan bisa dibedakan sebagai berikut : a. Tujuan individual yang menyangkut individu, melalui proses belajar dengan tujuan mempersiapkan dirinya dalam kehidupan dunia dan akhirat. b. Tujuan sosial yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan, dan dengan tingkah laku masyarakat umumnya serta dengan perubahan-perubahan yang diinginkan pada pertumbuhan pribadi, pengalaman dan kemajuan hidupnya.
44
Rois Mahfud, op.cit., h. 145-147
26
c. Tujuan profesional yang menyangkut pengajaran sebagai ilmu, seni, dan profesi serta sebagai suatu kegiatan dalam masyarakat. Dalam proses kependidikan, ketiga tujuan di atas dicapai secara integral, tidak terpisah, sehingga dapat mewujudkan tipe manusia paripurna seperti dikehendaki oleh ajaran Islam. 45 Menurut al-Qabisy dalam A. Fattah Yasin menyatakan: “Tujuan pendidikan Islam itu adalah upaya menyiapkan peserta didik agar menjadi muslim yang dapat menyesuaikan hidupnya sesuai dengan ajaranajaran Islam. Dengan tujuan ini diharapkan peserta didik juga mampu memiliki pengetahuan dan mampu mengamalkan ajaran Islam, karena hidup di dunia ini tidak lain adalah jembatan menuju hidup di akhirat.”46 Menurut Prof. Muhammad Athiyah Al-Abrasyi dalam kajiannya tentang pendidikan Islam dalam Muzayyin Arifin telah menyimpulkan 5 (lima) tujuan yang asasi bagi pendidikan Islam yang diuraikan dalam “At-Tarbiyah Al-Islamiyah Wa Falsafatuha”, yaitu : a. Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia. Islam menetapkan bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam – buitstu li utammima makarimal akhlak – dan bahwa mencapai akhlak yang sempurna adalah tujuan pendidikan yang sebenarnya. Dan bukanlah tujuan pendidikan dan pengajaran dalam rangka pemikiran Islam untuk mengisi otak pelajar dengan informasi–informasi kering dan mengajar mereka pelajaran–pelajaran yang belum mereka ketahui. Dapat diringkaskan tujuan asasi pendidikan Islam itu dalam suatu kata, yaitu “keutamaan” (alfadhilah). Menurut tujuan ini setiap pengajaran harus berorientasi pada pendidikan akhlak, dan akhlak keagamaan di atas segala – galanya. b. Persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Pendidikan Islam tidak hanya menaruh perhatian pada segi keagamaan saja dan tidak hanya 45 46
Arifin, op.cit., h. 29 A. Fatah Yasin, op.cit., h. 110
27
segi keduniaan saja, tetapi ia menaruh perhatian pada kedua–duanya sekaligus dan ia memandang persiapan untuk kedua kehidupan itu sebagai tujuan tertinggi dan terakhir bagi pendidikan. c. Menumbuhkan ruh ilmiah (Scientific Spirit) pada pelajaran dan memuaskan
keinginan
hati
untuk
mengetahui
(curiosity)
dan
memungkinkan ia mengkaji ilmu sebagai sekedar ilmu. Pada waktu pendidik–pendidik muslim menaruh perhatian kepada pendidikan agama dan akhlak dan mempersiapkan diri untuk kehidupan dunia dan akhirat dan mempersiapkan untuk mencari rezeki, mereka juga menumbuhkan perhatian pada sains, sastra, kesenian dalam berbagai jenisnya, sekedar sebagai sains, sastra dan seni. d. Menyiapkan pelajar dari segi profesional, teknis, dan perusahaan tertentu, supaya ia dapat menguasai profesi tertentu, supaya dapat ia mencari rezeki dalam hidup dan hidup dengan mulia di samping memelihara segi kerohanian dan keagamaan. Pendidikan Islam, sekalipun menekankan segi kerohanian dan akhlak, tidaklah lupa menyiapkan seseorang untuk hidup dan mencari rezeki. Begitu juga ia tak lupa melatih badan, akal, hati, perasaan–perasaan, kemauan, tangan, lidah, dan pribadi. e. Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi–segi kemanfaatan. Pendidikan Islam tidaklah semuanya bersifat agama atau akhlak, atau spiritual semata–mata, tetapi menaruh perhatian pada segi kemanfaatan pada tujuan–tujuan, kurikulum, dan aktifitasnya. 47 Menurut Ahmad D. Marimba dalam Moh. Shofan mengemukakan bahwa suatu usaha tanpa tujuan tidak akan berarti apa-apa. Oleh karenanya, setiap usaha mesti ada tujuan dan begitu pula dalam pendidikan Islam sangat penting adanya tujuan pendidikan yang dilaksanakan. Ada empat fungsi tujuan dalam pendidikan Islam, yaitu :
47
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), cet. ke- 4, h. 164-166
28
Pertama, tujuan berfungsi mengakhiri usaha, dalam hal ini perlu sekali antisipasi ke depan dan efisiensi dalam tujuan agar tidak terjadi penyimpangan. Kedua, tujuan berfungsi mengerahkan usaha, dalam hal ini tujuan dapat menjadi pedoman sebagai arah kegiatan. Ketiga, tujuan dapat merupakan titik pangkal untuk mencapai tujaun lainnya, baik merupakan kelanjutan tujuan sebelumnya maupun bagi tujuan baru, dalam hal ini ada tujuan yang lebih luhur, mulia daripada usaha lainnya. Di samping itu tujuan bisa bersifat paralel ataupun garis lurus (linier), bisa juga tujuan dekat, jauh dan lebih jauh atau tujuan sementara (antara) dan tujuan akhir.48 Tujuan pendidikan Islam pada hakikatnya sama dan sesuai dengan tujuan diturunkannya agama Islam itu sendiri, yaitu untuk membentuk manusia muttaqin yang rentangannya berdimensi infinitum (tidak terbatas menurut jangkauan manusia), baik secara linear maupun secara algoritmik (berurutan secara logis) berada dalam garis-garis mukmin – muslim – muhsin dengan perangkat komponen, variabel, dan parameternya masing-masing yang secara kualitatif bersifat kompetitif. Oleh karena itu, tujuan pendidikan Islam dapat dipecah menjadi tujuan-tujuan berikut ini: a. Membentuk manusia muslim yang dapat melaksanakan ibadah mahdhah. b. Membentuk manusia muslim yang di samping dapat melaksanakan ibadah mahdhah
dapat
juga
melaksanakan
ibadah
muamalah
dalam
kedudukannya sebagai orang perorang atau sebagai anggota masyarakat dalam lingkungan tertentu. c. Membentuk warga negara yang bertanggungjawab kepada masyarakat dan bangsanya dalam rangka bertanggungjawab kepada Allah Penciptanya. d. Membentuk dan mengembangkan tenaga profesional yang siap dan terampil atau tenaga setengah terampil untuk memungkinkan memasuki teknostruktur masyarakatnya.
48
Moh. Shofan, op.cit., h. 55
29
e. Mengembangkan tenaga ahli di bidang ilmu (agama dan ilmu-ilmu islami lainnya). 49 Tujuan umum dalam pendidikan Islam adalah mencapai kepribadian yang sempurna dari segala aspek insaniah, seperti jasmaniah, ruhaniah, intelek, dan sebagainya. Sedangkan tujuan akhir dalam pendidikan Islam adalah perwujudan ketundukkan yang sempurna kepada Allah SWT. 3. Fungsi Pendidikan Islam Pendidikan mempunyai peran dan fungsi ganda, pertama peran dan fungsinya sebagai instrumen penyiapan generasi bangsa yang berkualitas, kedua, peran serta fungsi sebagai instrumen transfer nilai. Fungsi pertama menyiratkan bahwa pendidikan memiliki peran artikulasi dalam membekali seseorang atau sekelompok orang dengan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan, yang berfungsi sebagai alat untuk menjalani hidup yang penuh dengan dinamika, kompetisi, dan perubahan. Fungsi kedua menyiratkan peran dan fungsi pendidikan sebagai instrumen transformasi nilai – nilai luhur dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kedua fungsi tersebut secara eksplisit menandai bahwa pendidikan mengandung makna bagi pengembangan sains dan teknologi serta pengembangan etika, moral, dan nilai – nilai spiritual kepada masyarakat agar tumbuh dan berkembang menjadi warga negara yang beradab dan bermartabat, terampil, demokratis, dan memiliki keunggulan kompetitif (competitive advantage) serta keunggulan komperatif (comperative advantage). 50 Bila dilihat secara operasional, fungsi pendidikan dapat dilihat dari dua bentuk, yaitu:
49 50
Jusuf Amir Feisal, op.cit., h. 96 Rois Mahfud, op.cit., h. 147
30
a. Alat untuk memelihara, memperluas, dan menghubungkan tingkat-tingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial, serta ide-ide masyarakat dan nasional. b. Alat untuk mengadakan perubahan, inovasi, dan perkembangan. Pada garis besarnya, upaya ini dilakukan melalui potensi ilmu pengetahuan dan skill yang dimiliki, serta melatih tenaga-tenaga manusia (peserta didik) yang produktif dalam menemukan perimbangan perubahan sosial dan ekonomi yang demikian dinamis.51 Dari batasan terminologis dan tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan Islam, terlihat bahwa peranan pendidikan sangat besar dalam membangun peradaban manusia. Artinya, peradaban dan kebudayaan manusia tumbuh dan berkembang melalui pendidikan. Agar peradaban bisa terbentuk sesuai dengan yang diinginkan, maka dalam konsep pendidikan harus didasari oleh nilai-nilai, cita-cita, dan falsafah yang berlaku di suatu masyarakat atau bangsa. Untuk mencapai konsep di atas, maka kesemuanya itu merupakan tanggung jawab yang dibebankan dalam pendidikan yang ada. Maka dalam konteks ini, fungsi pendidikan Islam dapat dilihat dari dua dimensi : a. Dimensi mikro (internal), yaitu manusia sebagai subyek dan obyek pendidikan. Pada dimensi ini, pendidikan yang dilakukan berfungsi memelihara dan mengembangkan fitrah (potensi) insani yang ada dalam diri anak didik seoptimal mungkin sesuai dengan norma agama. Dengan upaya ini diharapkan pendidikan Islam mampu membentuk insan yang berkualitas dan mampu melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, baik sebagai pribadi, maupun kepada masyarakat. Dengan kata lain, fungsi pendidikan Islam sebagai upaya menuju terbentuknya kepribadian insan muslim seutuhnya.
51
Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis: Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Ciputat Press, 2005), h. 34
31
Dari batasan di atas, terlihat bahwa fungsi pendidikan dalam perspektif Islam adalah proses penanaman nilai-nilai Ilahiyah pada diri anak didik, sehingga
mereka
mampu
mengaktualisasikan
dirinya
semaksimal
mungkin sesuai dengan prinsip-prinsip religius. b. Dimensi makro (eksternal), yaitu perkembangan kebudayaan dan peradaban manusia sebagai hasil akumulasi dengan lingkungannya. Pada dimensi ini, pendidikan yang dilakukan berfungsi sebagai sarana pewarisan budaya dan identitas suatu komunitas yang di dalamnya manusia melakukan berbagai bentuk interaksi dan saling mempengaruhi antara satu dengan yang lain.52 Untuk itu, pendidikan Islam harus mampu menjadi fasilitator bagi pelaksanaan aktualisasi seluruh potensi peserta didik dan transformasi nilai-nilai sosiokulturalnya dengan ruh islami. Upaya lintas sektoral ini, akan membuat pendidikan Islam lebih proporsional dan mampu mengayomi seluruh kepentingan manusia dengan segala karakteristik yang dimiliknya. Dengan pola ini akan meletakkan pendidikan Islam sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan kepentingan masyarakat di mana pendidikan Islam itu terlaksana. Bila fungsi pendidikan Islam diatas telah dapat terlaksana dengan sebaik-baiknya, maka otomatis akan memungkinkan akan terlaksananya tugas pendidikan sebagai alat yang membimbing dan mengarahkan seluruh potensi peserta didik untuk tumbuh dan berkembang seoptimal mungkin terwujud dengan baik pula.53 Pendidikan Islam, dengan bertitik tolak dari prinsip iman – islam – ihsan atau akidah – ibadah – akhlak untuk menuju suatu sasaran kemuliaan manusia dan budaya yang diridhai Allah SWT, setidak-tidaknya memiliki fungsi-fungsi berikut ini: a. Individualisasi nilai dan ajaran Islam demi terbentuknya derajat manusia muttaqin dalam bersikap, berpikir, dan berperilaku. b. Sosialisasi nilai-nilai dan ajaran Islam demi terbentuknya umat Islam. 52 53
Samsul Nizar, op.cit., h. 121-122 Ibid., h. 123
32
c. Rekayasa kultur Islam demi terbentuk dan berkembangnya peradaban Islam. d. Menemukan, mengembangkan, serta memelihara ilmu, teknologi, dan keterampilan demi terbentuknya para manajer dan manusia profesional. e. Pengembangan
intelektual
muslim
yang
mampu
mencari,
mengembangkan, serta memelihara ilmu dan teknologi. f. Pengembangan pendidikan yang berkelanjutan dalam bidang ekonomi, fisika, kimia, arsitektur, seni musik, seni budaya, politik, olahraga, kesehatan dan sebagainya. g. Pengembangan kualitas muslim dan warga negara sebagai anggota dan pembina masyarakat yang berkualitas kompetitif.54 4. Kurikulum Pendidikan Islam Secara etimologi, kurikulum dari bahasa Yunani, yaitu curir yang artinya pelari dan curere yang berarti jarak yang harus ditempuh oleh pelari. Istilah ini pada mulanya digunakan dalam dunia olahraga yang berarti “a little racecourse” (suatu jarak yang harus ditempuh dalam pertandingan olahraga). Berdasarkan pengertian ini, dalam konteksnya dengan dunia pendidikan, memberinya pengertian sebagai “circle of instruction” yaitu lingkaran pengajaran dimana guru dan murid terlibat di dalamnya. Sementara pendapat lain mengemukakan bahwa kurikulum ialah arena pertandingan tempat pelajar bertanding untuk menguasai pelajaran guna mencapai garis penamat berupa diploma, ijazah atau gelar kesarjanaan. 55 Kata “kurikulum” mulai dikenal sebagai istilah dalam dunia pendidikan sejak kurang – lebih satu abad yang lalu. Istilah kurikulum muncul untuk pertama kalinya dalam kamus Webster tahun 1856. Pada tahun itu kurikulum digunakan dalam bidang olahraga, yakni suatu alat yang membawa orang dari start sampai ke finish. Barulah
54 55
Jusuf Amir Feisal, op.cit., h. 95-96 Samsul Nizar, op.cit., h. 55-56
33
pada tahun 1955 istilah kurikulum dipakai dalam bidang pendidikan dengan arti sejumlah mata pelajaran di suatu perguruan. Dalam kamus tersebut kurikulum diartikan dua macam, yaitu : a. Sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari siswa di sekolah atau perguruan tinggi untuk memperoleh ijazah tertentu. b. Sejumlah mata pelajaran yang ditawarkan oleh suatu lembaga pendidikan atau jurusan. 56 Di dalam kurikulum tidak hanya dijabarkan serangkaian ilmu yang harus diajarkan oleh pendidik (guru) kepada anak didik, dan anak didik mempelajarinya, tetapi juga segala kegiatan yang bersifat kependidikan yang dipandang perlu, karena mempunyai pengaruh terhadap anak didik, dalam rangka mencapai tujuan pendidikan Islam, misalnya olahraga, kepramukaan, widya wisata, seni budaya; mempunyai pengaruh cukup besar dalam proses mendidik anak didik, sehingga perlu diintegrasikan ke dalam kurikulum itu.57 Dasar-dasar kurikulum pendidikan Islam antara lain adalah : a. Dasar agama. Kurikulum diharapkan dapat menolong siswa untuk membina iman yang kuat, teguh terhadap ajaran agama, berakhlak mulia dan melengkapinya dengan ilmu yang bermanfaat di dunia dan akhirat. b. Dasar falsafah Pendidikan Islam harus berdasarkan wahyu Tuhan dan tuntunan Nabi SAW. serta warisan para ulama. c. Dasar psikologis Kurikulum tersebut harus sejalan dengan ciri perkembangan siswa, tahap kematangan dan semua segi perkembangannya.
56 57
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), cet. ke-7, h. 53 Muzayyin Arifin, op.cit., h. 77-78
34
d. Dasar sosial Kurikulum diharapkan turut serta dalam proses kemasyarakatan terhadap
siswa,
penyesuaian
mereka
dengan
lingkungannya,
pengetahuan dan kemahiran yang akan menambah produktifitas dan keikutsertaan mereka dalam membina umat dan bangsanya. 58 Secara umum karakteristik kurikulum pendidikan Islam adalah pencerminan nilai-nilai Islami yang dihasilkan dari pemikiran kefilsafatan dan termanifestasi dalam seluruh aktivitas dan kegiatan pendidikan dalam prakteknya. Dalam konteks ini harus difahami bahwa karakteristik kurikulum pendidikan Islam senantiasa memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan dengan prinsip-prinsip yang telah diletakkan Allah SWT dan Rasul-Nya, Muhammad SAW. Konsep inilah yang membedakan kurikulum pendidikan Islam dengan kurikulum pendidikan pada umumnya. 59 Dalam Islam, kurikulum pendidikan harus berdasarkan aqidah Islam. Apabila aqidah Islam sudah menjadi asas yang mendasar bagi kehidupan seorang Muslim, asas bagi negaranya, asass bagi hubungan antar Muslim, asas bagi aturan dan masyarakat umumnya, maka seluruh pengetahuan yang diterima seorang Muslim harus berdasarkan aqidah Islam pula, baik hal itu berupa antar Muslim, masalahmasalah politik, dan kenegaraan, atau masalah apa pun yang ada kaitannya dengan kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat.60 Kurikulum pendidikan Islam seharusnya mempunyai ciri–ciri sebagai berikut: a. Kurikulum pendidikan Islam harus menonjolkan mata pelajaran agama dan akhlak. Agama dan akhlak itu harus diambil oleh Al-Qur‟an dan hadis serta contoh – contoh dari tokoh terdahulu yang saleh. b. Kurikulum pendidikan Islam harus memperhatikan pengembangan menyeluruh aspek pribadi siswa, yaitu aspek jasmani, akal, dan rohani.
58
Armai Arief, op.cit., h. 34-35 Samsul Nizar, op.cit., h. 61 60 Abdur Rahman Al-Baghdadi, Sistem Pendidikan Islam di Masa Khilafah Islam, (Surabaya: AlIzzah, 1996), cet. ke-1, h. 9 59
35
Untuk pengembangan menyeluruh ini kurikulum harus berisi mata pelajaran yang banyak, sesuai dengan tujuan pembinaan setiap aspek itu. c. Kurikulum pendidikan Islam memperhatikan keseimbangan antara pribadi dan masyarakat, dunia dan akhirat; jasmani, akal, dan rohani manusia. Keseimbangan itu tentulah bersifat relatif karena tidak dapat diukur secara objektif. d. Kurikulum pendidikan Islam memperhatikan juga seni halus, yaitu ukir, pahat, tulis – indah, gambar dan sejenisnya. Selain itu, memperhatikan juga pendidikan jasmani, latihan militer, teknik, keterampilan, dan bahasa asing sekalipun semuanya ini diberikan kepada perseorangan secara efektif berdasar bakat, minat, dan kebutuhan. Kurikulum pendidikan Islam mempertimbangkan perbedaan–perbedaan kebudayaan yang sering terdapat di tengah manusia karena perbedaan tempat dan juga perbedaan zaman. Kurikulum dirancang sesuai dengan kebudayaan itu. 61 5. Metodologi Pendidikan Islam Metodologi pendidikan adalah suatu ilmu pengetahuan tentang metode yang dipergunakan dalam pekerjaan mendidik. Asal kata “metode” mengandung pengertian “suatu jalan yang dilalui untuk mencapai suatu tujuan”. Metode berasal dari dua perkataan yaitu meta dan hodos. Meta berarti “melalui” dan hodos berarti “jalan atau cara”, bila ditambah dengan logi sehingga menjadi metodologi berarti “ilmu pengetahuan tentang jalan atau cara yang harus dilalui” untuk mencapai suatu tujuan, oleh karena kata logi yang berasal dari bahasa Greek (Yunani) logos berarti “akal” atau “ilmu”. 62 Sementara itu, pendidikan merupakan usaha membimbing dan membina serta bertanggung jawab untuk mengembangkan intelektual pribadi anak didik ke arah
61 62
Ahmad Tafsir, op.cit., h. 65-66 Arifin, op.cit., h. 65
36
kedewasaan dan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Maka pendidikan Islam adalah sebuah proses dalam membentuk manusia-manusia muslim yang mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk mewujudkan dan merealisasikan tugas dan fungsinya sebagai khalifah Allah SWT., baik kepada Tuhannya, sesama manusia dan sesama makhluk lainnya. Pendidikan yang dimaksud selalu berdasarkan kepada ajaran Al-Qur‟an dan Hadits. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan metodologi pendidikan Islam adalah cara yang dapat ditempuh dalam memudahkan pencapaian tujuan pendidikan Islam. Metodologi
Pendidikan
Islam
yang
dinyatakan
dalam
Al-Qur‟an
menggunakan sistem multi approach yang meliputi antara lain : a. Pendidikan religius, bahwa manusia diciptakan memiliki potensi dasar (fitrah) atau bakat agama. b. Pendekatan filosofis, bahwa manusia adalah makhluk rasional atau berakal pikiran untuk mengembangkan diri dan kehidupannya. c. Pendekatan
rasio-kultural,
bermasyarakat
dan
bahwa
manusia
berkebudayaan
sehingga
adalah latar
makhluk
belakangnya
mempengaruhi proses pendidikan. d. Pendekatan scientific, bahwa manusia memliki kemampuan kognitif dan afektif yang harus ditumbuhkembangkan. Berdasarkan multi approach tersebut, penggunaan metode harus dipandang secara komprehensif terhadap anak. Karena anak didik tidak saja dipandang dari segi perkembangan, tetapi juga harus dilihat dari berbagai aspek yang mempengaruhinya. 63
An-Nahlawi mengemukakan beberapa metode yang paling penting dalam pendidikan Islam, yaitu : a. Metode hiwar (percakapan) Qur‟ani dan Nabawi. b. Mendidik dengan kisah-kisah Qur‟ani dan Nabawi.
63
Armai Arief, op.cit., h. 40-41
37
c. Mendidik dengan amtsal (perumpamaan) Qur‟ani dan Nabawi. d. Mendidik dengan memberi teladan. e. Mendidik dengan pembiasaan diri dan pengamalan. f. Mendidik dengan mengambil ibrah (pelajaran) dan mau‟izhah (peringatan). g. Mendidik dengan targhib (membuat senang) dan tarhib (membuat takut). 64 Metodologi pendidikan Islam sebagai perangkat ilmu yang bukan saja bicara tentang
metode
pendidikan/pengajaran
pendidikan
(agama)
Islam
secara
konvemsional, tapi di dalamnya menyangkut pendekatan/prosedur, metode/strategi, dan teknik/langkah-langkah operasional pelaksanaan pendidikan Islam secara menyeluruh. Hal ini menyangkut metodologi pendidikan Islam sebagai ilmu yang perlu dididikkan dan dipelajari sehingga dapat dipahami, dihayati, dan diamalkan, juga Islam sebagai nilai normatif yang perlu tanamkan untuk dipedomani dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.65 B. Pemikiran Pendidikan Islam Secara etimologi, pemikiran berasal dari kata dasar “pikir” yang berarti proses, cara, atau perbuatan memikir, yaitu menggunakan akal budi untuk memutuskan suatu persoalan dengan mempertimbangkan segala sesuatu secara bijaksana. Dalam konteks ini, pemikiran dapat diartikan sebagai upaya cerdas dan proses kerja akal dan kalbu untuk melihat fenomena dan berusaha mencari penyelesaiannya secara bijaksana. Secara terminologis, menurut Mohammad Labib An-Najihi dalam A. Susanto mengemukakan:
64 65
Samsul Nizar, op.cit., h. 73 A. Fatah Yasin, op.cit., h. 147
38
“Pemikiran pendidikan Islam adalah aktivitas pikiran yang teratur dengan mempergunakan metode filsafat. Pendekatan tersebut dipergunakan untuk mengatur, menyelaraskan, dan memadukan proses pendidikan dalam sebuah sistem yang integral.” Pemikiran pendidikan Islam adalah serangkaian proses kerja akal dan kalbu yang dilakukan secara sungguh-sungguh dalam melihat berbagai persoalan yang ada dalam pendidikan Islam dan berupaya untuk membangun sebuah paradigma pendidikan yang mampu menjadi wahana bagi pembinaan dan pengembangan peserta didik secara paripurna. Tujuan dari pemikiran pendidikan Islam untuk mengungkap dan merumuskan paradigma pendidikan Islam dan peranannya dalam pengembangan sistem pendidikan di Indonesia. Pemikiran pendidikan Islam ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan masukan dalam merekonstruksi pola atau model pendidikan yang lebih adaptik dan integral – dengan nuansa Islami – terutama bagi pengembangan sistem pendidikan nasional, serta ikut memperkaya khazanah perkembangan pemikirian ilmu pengetahuan, baik pengetahuan keislaman maupun pengetahuan umum lainnya. 66 C. Hasil Penelitian yang Relevan Hasil penelitian yang relevan dengan judul penelitian yang peneliti teliti sebagai berikut : 1. Miftah Faridl, NIM: 108011000024, jurusan Pendidikan Agama Islam, masuk tahun 2008, lulus tahun 2013, dengan judul “Konsep ta‟dib Menurut Syed Muhammad Naqib Al-Attas”. Di dalam skripsinya, beliau menjelaskan dan mengkaji tentang konsep ta‟dib saja tanpa menjelaskan pemikiran pendidikan Islam yang lainnya menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Sehingga peneliti tertarik untuk menjelaskan dan mengkaji lebih dalam tentang pendidikan Islam menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas walaupun di 66
A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: AMZAH, 2009), cet ke-1, h. 3-5
39
dalam penjelasan, peneliti sedikit menyinggung konsep ta‟dib di dalam skripsi ini. Karena Syed Muhammad Naquib Al-Attas, menggagas pendidikan Islam dengan istilah ta‟dib bukan tarbiyah maupun ta‟lim. Dan beliau menjelaskan tentang implementasi ta‟dib dalam pendidikan formal dan informal. Sedangkan peneliti menjelaskan pendidikan Islam pada Era sekarang. 2. Baharudin, NIM : 01.2.001.03.01.0068, jurusan Pasca Sarjana Pendidikan Agama Islam, lulus tahun 2005, dengan judul “Pemikiran Pendidikan Naquib Al-Attas : Aktualisasinya dalam Konteks Pendidikan Islam Kontemporer”. Di dalam tesisnya, beliau menjelaskan dan mengkaji lebih rinci dan mendetail tentang pendidikan Islam menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas terutama dalam sistem pendidikan yang digagas Al-Attas dalam bentuk universitas. Sedangkan peneliti lebih mengkaji tentang tujuan pendidikan dan kurikulum pendidikan Islam yang digagas oleh Al-Attas.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Iman Jama’, Lebak Bulus. 2. Waktu Penelitian Penelitian yang berjudul “Pemikiran Pendidikan Islam menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas” ini dilaksanakan dengan pengaturan waktu sebagai berikut : 26 Februari 2013 sampai dengan 30 September 2013 digunakan untuk pengumpulan data mengenai sumber-sumber tertulis yang diperoleh dari buku, jurnal, dan internet yang mendukung penelitian, terutama yang berkaitan dengan pendidikan Islam.
40
41
B. Metode Penelitian Skripsi ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah suatu pendekatan penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual atau kelompok.1 Metode yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan library research yaitu lebih menitikberatkan pada pengumpulan data dari berbagai sumber yang relevan (seperti buku, jurnal, dan internet) yang terkait dengan judul. Guna menjawab permasalahan Pemikiran Pendidikan Islam menurut Syed Muhammad Naquib AlAttas. Peneliti menelusuri karya-karya atau tulisan Syed Muhammad Naquib AlAttas serta sumber-sumber berkaitan dengan kerangka berpikir yang membangun gagasan-gagasan yang dikemukakan oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas tentang pendidikan Islam. Setelah data diperoleh, penulis menganalisis data tersebut dengan pendekatan deskriptif analitik. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang berusaha untuk menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan data–data, jadi ia juga menyajikan data, menganalisis, dan menginterpretasikan.2 Pendekatan
deskriptif
yaitu
menjelaskan
tentang
pendidikan
Islam.
Analisisnya yaitu menganalisis pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas tersebut dengan berbagai dalil-dalil yang memiliki keterkaitan, baik dalil Al-Qur’an, Hadits, dan juga beberapa disiplin ilmu pengetahuan lainnya. Berkenaan dengan teknik penulisan, penulis merujuk pedoman penulisan skripsi yang menjadi acuan bagi civitas akademika di lingkungan UIN Syarif
1
Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), cet. ke-3, h. 60 2 Chalid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 44
42
Hidayatullah Jakarta. Buku yang dimaksud adalah Panduan Akademik Thn. Ajaran 2013-2014 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Prosedur Pengumpulan Data Prosedur pengumpulan data dilakukan untuk menunjang penelitian, karena data yang digunakan adalah berbagai informasi, misalnya buku-buku yang berkaitan dengan penelitian, ensiklopedi, dan internet. Dalam proses pengumpulan data, penulis menggunakan teknik metode dokumentasi. Pemeriksaan dokumentasi (studi dokumentasi) dilakukan dengan meneliti bahan dokumentasi yang ada dan mempunyai relevansi dengan tujuan penelitian.3 Untuk memperoleh data dan informasi yang berhubungan dengan tujuan penelitian, maka sumber data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. a. Sumber Primer Sumber primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data.4 Sedangkan yang dimaksud dari sumber primer dalam penelitian ini adalah karya-karya yang ditulis sendiri oleh tokoh yang diteliti, dalam penelitian ini adalah Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Sumber primer yang menjadi acuan utama dalam penelitian ini adalah karya Syed Muhammad Naquib Al-Attas yang berjudul Konsep Pendidikan dalam Islam, Terj. dari The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education, terbit di Bandung: Mizan, tahun 1996. Buku ini membahas tentang pemikiran-pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas mengenai pendidikan Islam. 3
Anas Sudijono, Pengantar Statistik Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), h. 30 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan : Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2010), cet. ke-11, h. 193 4
43
b. Sumber Sekunder Sumber sekunder adalah sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data. Sedangkan yang dimaksud dari sumber sekunder dalam penelitian ini adalah karya-karya orang lain di dalamnya membahas tokoh yang akan diteliti. Sumber sekunder yang merujuk kepada penelitian ini, penulis menemukan beberapa buku mengenai Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Diantaranya adalah: 1) Karya Wan Mohd Nor Wan Daud yang berjudul Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al-Attas, terbit di Bandung: Mizan, tahun 2003. Dalam buku ini membahas tentang berbagai macam pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas, mengenai pandangan Al-Attas tentang metafisika, ilmu pengetahuan, islamisasi ilmu pengetahuan serta pemikiran yang lainnya. Namun, dalam buku ini pula membahas tentang konsep pendidikan Islam. Diantaranya mengenai profil, pendidikan, serta karya-karya Syed Muhammad Naquib Al-Attas, dan pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas tentang konsep pendidikan Islam. 2) Karya Achmad Gholib yang berjudul Teologi dalam Perspektif Islam, terbit di Jakarta: UIN Jakarta Press, tahun 2004. Dalam buku ini membahas tentang biografi singkat Syed Muhammad Naquib AlAttas, pemikirannya tentang konsep islamisasi ilmu pengetahuan, dan pendidikan Islam yang menjadikan manusia menjadi insan kamil. 3) Karya Ridjaluddin yang berjudul Filsafat Pendidikan Islam, terbit di Jakarta: Pusat Kajian Islam FAI UHAMKA, tahun 2009. Dalam buku ini membahas tentang definisi pendidikan Islam (ta’dib) Syed Muhammad Naquib Al-Attas.
44
2. Pengolahan Data Setelah data terkumpul, peneliti mengolah data dengan cara mengkaji, menganalisis, menelaah dan mempelajari berbagai literatur yang erat kaitannya dengan masalah yang dibahas. D. Pemeriksaan atau Pengecekan Keabsahan Data
Pemeriksaan data yang dilakukan adalah berbagai literature yang digunakan oleh peneliti terutama data-data primer maupun data sekunder. Apakah data-data tersebut berkaitan dengan masalah yang akan diteliti. E. Analisis Data Analisis yang dipergunakan dalam penelitian kualitatif adalah model analisis mengalir (flow model). Sejumlah langkah analisis terdapat dalam model ini, yakni pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.5
5
Dekan FITK UIN Syarif Hidayatullah, Pedoman Penulisan Skripsi FITK UIN Syarif Hidayatullah, (Jakarta: tp, 2013), h. 69
BAB IV SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS A. Biografi Syed Muhammad Naquib Al-Attas 1. Riwayat Hidup Syed Muhammad Naquib Al-Attas Syed Muhammad Naquib Al-Attas dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 5 September 1931.1 Silsilah keluarganya bisa dilacak hingga ribuan tahun ke belakang melalui silsilah sayyid dalam keluarga Ba‟Alawi di hadramaut dengan silsilah yang sampai kepada Imam Hussein, cucu Nabi Muhammad SAW. Di antara leluhurnya ada yang menjadi wali dan ulama. Salah seorang di antara mereka adalah Syed Muhammad Al-„Aydarus (dari pihak ibu), guru dan pembimbing ruhani syed Abu Hafs „Umar ba Syaiban dari Hadramaut, yang mengantarkan Nur Al-Din AlRaniri, salah seorang alim ulama terkemuka di dunia Melayu, ke tarekat Rifa‟iyyah. Ibunda Syed Muhammad Naquib Al-Attas yaitu Syarifah Raquan Al-„Ayadrus, berasal dari Bogor, Jawa Barat, dan merupakan keturunan ningrat Sunda di Sukapura.
1
Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedia Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Ciputat Press, 2005), h. 118
45
46
Dari pihak bapak, kakek Syed Muhammad Naquib Al-Attas yang bernama Syed Abdullah ibn Muhsin ibn Muhammad Al-Attas adalah seorang wali yang pengaruhnya tidak hanya terasa di Indonesia, tetapi juga sampai ke negeri Arab. Muridnya, Syed Hasan Fad‟ak, kawan Lawrence of Arabia, dilantik menjadi penasihat agama Amir Faisal, saudara Raja Abdullah dari Yordania. Neneknya, Ruqayah Hanum adalah wanita Turki berdarah aristokrat yang menikah dengan Ungku Abdul Majid, adik Sultan Abu Bakar Johor (w. 1895) yang menikah dengan adik Ruqayah Hanum, Khadijah, yang kemudian menjadi Ratu Johor. Setelah Ungku Abdul Majid wafat (meninggalkan dua orang anak), Ruqayah menikah yang kedua kalinya dengan Syed Abdullah Al-Attas, dan dikaruniai seorang anak, Syed Ali AlAttas, yaitu bapak Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Syed Muhammad Naquib Al-Attas adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Yang sulung bernama Syed Hussein, seorang ahli sosiologi dan mantan Wakil rektor Universitas Malaya, sedangkan yang bungsu bernama Syed Zaid, seorang insinyur kimia dan mantan dosen Institut Teknologi MARA.2 2. Latar Belakang Pendidikan dan Karir Syed Muhammad Naquib AlAttas Sejarawan, ahli filsafat, dan seniman berkewarganegaraan Malaysia. Dalam dunia akademis, ia dikenal sebagai sejarawan yang mengkhususkan diri pada sejarah Islam di Melayu. Ia adalah pendiri The International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), Kuala Lumpur, Malaysia.3 Pada waktu itu Indonesia berada di bawah kolonialisme Belanda. Bila dilihat dari garis keturunannya, al-Attas termasuk orang yang beruntung secara inheren. Sebab dari kedua belah pihak, baik pihak ayah maupun ibu merupakan orang-orang
2
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib AlAttas, (Bandung: Mizan, 2003), cet. ke-1, h. 45-46 3 Hasan Muarif Hambaly. et.al., Suplemen Ensiklopedi Islam Jilid 2, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), cet. ke-1, h. 78
47
yang berdarah biru. Ibunya yang asli Bogor itu masih keturunan bangsawan Sunda. Sedangkan pihak ayah masih tergolong bangsawan di Johor. Bahkan mendapat gelar sayyed yang dalam tradisi Islam orang yang mendapat gelar tersebut merupakan keturunan langsung dari Nabi Muhammad SAW. 4 Ketika berusia 5 tahun, Al-Attas diajak orang tuanya migrasi ke Malaysia. Di Malaysia, Al-Attas dimasukkan dalam pendidikan dasar Ngee Heng Primary School sampai usia 10 tahun (1936-1941). Melihat perkembangan yang menguntungkan yakni ketika Jepang menguasai Malaysia, maka Al-Attas dan keluarga pindah lagi ke Indonesia. Di sini, ia kemudian melanjutkan pendidikan di sekolah „Urwah al-Wusqa, Sukabumi selama lima tahun. Di tempat lain, Al-Attas mulai mendalami dan mendapatkan pemahaman tradisi Islam yang kuat, terutama tarekat. Hal ini bisa difahami, karena saat itu, di Sukabumi telah berkembang perkumpulan tarekat Naqsabandiyyah.5 Ia kembali ke Indonesia ketika Jepang menduduki Malaya untuk belajar ilmuilmu keislaman di madrasah al-Urwatul Wutsqa‟, Sukabumi, Jawa Barat (1941-1945). Setelah menyelesaikan sekolah lanjutan atas, ia memasuki ketentaraan Malaysia dan sempat dikirim untuk belajar di beberapa sekolah militer di Inggris, termasuk Royal Military Academy, Sandhurst (1952-1955). Pada tahun 1957, ia keluar dari duni militer dan belajar di Universiti Malaya, Malaysia, selama dua tahun. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Institute of Islamic Studies, Mc.Gill University, Canada (1959-1962), hingga meraih gelar Master dengan tesis yang berjudul Raniri and The Wujudiyyah of 17th Century Acheh (diterbitkan 1966).6 Belum puas dengan pengembaraan intelektualnya, Al-Attas kemudian melanjutkan studi ke School of Oriental and African Studies di Universitas London. Di sinilah ia bertemu dengan Lings, seorang profesor asal Inggris yang mempunyai pengaruh besar dalam diri Al-Attas, walaupun itu hanya terbatas pada dataran 4
Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis: Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Ciputat Press, 2005), h. 117 5 Ramayulis dan Samsul Nizar, op.cit., h. 118 6 Hasan Muarif Hambaly. et.al., op.cit., h. 78
48
metodologis. Selama kurang lebih dua tahun (1963-1965), dengan bimbingan Martin Lings, Al-Attas menyelesaikan perkuliahan dan mempertahankan disertasinya yang berjudul The Mysticism of Hamzah Fansuri (diterbitkan 1970).7 Dalam perjalanan karir akademiknya, Al-Attas mengawali karirnya dengan menjadi seorang dosen. Dia banyak membina perguruan tinggi dan ikut berpartisipasi dalam pendirian universitas di Malaysia, baik sebagai ketua jurusan, dekan, direktur dan rektor. Pada tahun 1968-1970 Al-Attas menjabat sebagai ketua Departemen Kesusastraan dalam Pengkajian Melayu. Al-Attas merancang dasar bahasa Malaysia pada tahun 1970. Dan pada tahun 1970-1973 Al-Attas menjabat Dekan pada Fakultas Sastra di universitas tersebut. Akhirnya pada tanggal 24 Januari 1972 dia diangkat menjadi Profesor Bahasa dan Kesusastraan Melayu, dalam pengukuhannya dia membacakan pidato ilmiah yang berjudul Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu.8 Mulai awal 1980-an, Al-Attas berusaha mempraktekkan gagasannya mengenai konsep pendidikan Islam dalam bentuk universitas. Hal ini antara lain dikemukakan dalam Konferensi Dunia Pendidikan Islam pertama di Mekah pada tahun 1977. Sebgai tindak lanjut konferensi tersebut, Organisasi Konferensi Islam (OKI) bersedia membantu pemerintah Malaysia mendirikan suatu universitas Islam internasional di Malaysia, yang kemudian diberi nama International Islamic University (Universitas Islam Internasional), pada tahun 1984. Konsep universitas ini adalah universitas biasa, namun dengan tambahan pengajaran dan dasar-dasar Islam dan bahasa Arab. Pengetahuan dasar tentang Islam diberi cukup mendalam agar mahasiswa dapat menyaring konsep-konsep tak islami dari ilmu-ilmu yang dipelajarinya. Artinya, islamisasi terjadi dalam diri mahasiswa yang mempelajari ilmu-ilmu modern itu, dan bukan sesuatu yang dilakukan terhadap disiplin itu sendiri.
7
Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, op.cit., h. 118 Inpas Online, Islamisasi Ilmu Pengetahuan Tinjauan Atas Pemikiran Syed M. Naquib Al-Attas dan Ismail Raji‟ Al-Faruqi, dalam http://www.Inpasonline.com, diakses pada tanggal 16 Oktober 2013 8
49
Belakangan arah konsep universitas ini berubah menjadi lebih dekat dengan konsep universitas Islam versi International Institute of Islamic Thought (IIIT) – sebuah lembaga penelitian yang berpusat di Washington D.C., Amerika Serikat, serta diilhami oleh pemikiran almarhum Ismail Raji‟ Al-Faruqi – yaitu islamisasi disiplin ilmu itu sendiri. Merasa tidak sejalan dengan arah baru universitas ini, Al-Attas berusaha mendirikan sebuah lembaga pengajaran dan penelitian yang mengkhususkan diri pada pemikiran Islam – khususnya filsafat – sebagai jantung dari proses islamisasi yang dibayangkannya itu. Gagasannya tersebut terwujud dengan berdirinya ISTAC di Kuala Lumpur pada tanggal 27 Februari 1987. Pada bulan Desember 1987, Al-Attas diangkat menjadi profesor bidang pemikiran dan peradaban Islam pada lembaga tersebut. Ia juga merancang gedung ISTAC yang diresmikan tahun 1991. Selain itu, ia juga memperoleh penghargaan Al-Ghazali Chair of Islamic Thought pada bulan Desember 1993 dari lembaga ini atas sumbangannya dalam pemikiran Islam kontemporer.9 3. Karya-karya Syed Muhammad Naquib Al-Attas Al-Attas di samping mengajar dan memberikan seminar di berbagai tempat, ia juga sangat produktif dalam menulis, berbagai karya, baik dalam bahasa Inggris maupun Melayu telah ia hasilkan. Hasil karyanya telah banyak diterjemahkan dalam berbagai bahasa, seperti bahasa Arab, Persia, Turki, Urdu, Malaya, Indonesia, Prancis, Jerman, Rusia, Bosnia, Jepang, India, Korea, dan Al-Bania.10 Di antara karya-karya Al-Attas dalam buku dan monograph: a. Al-Raniry and the Wujudiyah of 17th Century Acheh (Monograph of the Royal Asiatic Society, Cabang Malaysia, No. 111, Singapura, 1996) adalah judul tesis yang ditulis ketika menempuh dan menyelesaikan studi S2 di Mc. Gill, Canada. Dalam tesis ini Al-Attas berpendapat bahwa 9
Hasan Muarif Hambaly. et.al., op.cit., h. 78 A. Khudhori Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, ) cet. ke-1, h.
10
251
50
Nuruddin al-Raniry telah mampu mendefinisikan dan menjelaskan medan semantik dari kata kunci Melayu yang berhubungan dengan Islam. Dengan kata lain tesis ini menjelaskan tentang hubungan yang sangat erat antara proses islamisasi dengan sejarah Melayu itu sendiri. Hal ini dibuktikan dengan istilah yang yang berkembang dalam sejarah Melayu. Tesis ini diperkuat dengan hasil riset al-Attas sendiri yang berjudul Some Aspects of Sufism as Understood and Practiced Among the Malays yang diterbitkan oleh Malaysian Sociological Research di Singapura. b. The Origin of The Malay Sha‟ir (DPB, Kuala Lumpur, 1968), Islam in the History and Cultures of Malays (Universiti Malaysia, Kuala Lumpur, 1972) dan Comments on the Re examination of alRaniry‟s Hujjat alShiddiq: Refutation (Museums Department, Kuala Lumpur, 1975), The Mysticism of Hamzah Fansuri (University of Malaya Press, Kuala Lumpur, 1970) merupakan disertasi yang berhasil dipertahankan ketika menempuh studi program doktoral di Universitas London di bawah bimbingan Martin Lings. Dalam disertasi ini, al-Attas mengemukakan bahwa terdapat kesatuan gagasan metafisika di dunia Islam dan pandangan sistemik tentang realitas baik mengenal Tuhan, alam semesta, manusia maupun ilmu. Semua itu dapat diungkapkan dalam bahasa rasional dan teoritis, sehingga dapat menjadi dasar dari suatu filsafat sains Islami. c. Islam dan Sekulerisme merupakan terjemahan Islam and Secularism (ABIM, Kuala Lumpur, 1978). Buku berisi tentang terjadinya reduksi terminologi Islam, sehingga perlu dilakukan kajian ulang secara filologis dan hermeneutis tentang istilah tersebut. Langkahnya adalah dengan de westernisasi dan islamisasi yang berusaha mengembalikan terminologi Islam pada posisi yang proporsional. d. Islam the Concept of Religion and the Foundation of Ethics and Moralty (Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM), Kuala Lumpur, 1976), Al-Attas mencoba menjelaskan tentang arti pentingnya penguasaan ilmu sebagai
51
landasan bagi praktek, etika, dan moralitas keagamaan secara menyeluruh. Hal ini dapat dilakukan dengan memahami secara mendalam teks AlQur‟an dan segala yang telah diperbuat oleh Nabi Muhammad sebagai uswatun hasanah, sehingga dalam upaya ini harus didudukkan dulu istilah din dalam terminologi Islam, agar tidak terjebak dalam distorsi makna. e. Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and the Definition and Aims of Education mengungkap tentang arti pentingnya upaya merumuskan dan memadukan unsur-unsur Islam yang esensial serta konsep-konsep kuncinya sehingga menghasilkan suatu komposisi yang akan merangkum pengetahuan inti, kemudian dikembangkan dalam sistem pendidikan Islam dari tingkat bawah sampai tingkat tertinggi. f. The Concept of Education in Islam, A Framework for an Islamic Philosophy of Education (ABIM, Kuala Lumpur, 1980), Al-Attas menjelaskan tentang penggunaan istilah tarbiyah, ta‟lim, dan ta‟dib, sebagai terma yang tepat untuk menterjemahkan pendidikan adalah ta‟dib. Sebab inti dari pendidikan adalah pembentukan watak dan akhlak yang mulia. Juga disinggung pembagian ilmu yang terdiri dari dua bagian besar yaitu pertama, ilmu agama yang meliputi Al-Qur‟an, Al-Sunnah, AlSyari‟ah, Al-Tauhid, Al-Tasawuf, dan bahasa. Kedua, ilmu rasional, intelektual dan filsafat yang meliputi ilmu tentang manusia, alam, terapan dan teknologi.11 g. Islam and the Philosophy of Science (ISTAC, Kuala Lumpur, 1989). Buku ini telah diterjemahkan berbagai bahasa, seperti bahasa Indonesia, Bosnia, Persia, dan Turki. Karya ini memaparkan masalah penting yang dihadapi umat Islam dewasa ini adalah masalah ilmu yang kemudian menjadi faktor penyebab dari masalah-masalah lain. Oleh sebab itu, Al-Attas berusaha mengungkap kembali sistem metafisika yang pernah terbangun dalam
11
Ramayulis dan Samsul Nizar, op.cit., h. 122-125
52
tradisi Islam. Sebagai langkah praktisnya adalah perencanaan sebuah universitas yang memiliki struktur yang berasas pada pandangan dunia Islam dan merupakan medium penyampaian hikmah dalam tradisi Islam. h. The Natural Man and the Psychology of Human Soul (ISTAC, Kuala Lumpur, 1990). Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Persia. Isi buku ini merupakan kelanjutan dari gagasan Al-Attas dalam menjelaskan kembali tentang metafisika Islam sebagaimana yang dituangkan dalam bukunya yang pertama seri metafisika Islam, yaitu Islam and the Philosophy of Science.12 i. The Meaning and Experince of Happines in Islam (ISTAC, Kuala Lumpur, 1993). j. On Quiddity and Essence (ISTAC, Kuala Lumpur, 1990). k. The Intuition of Existence (ISTAC, Kuala Lumpur, 1990). l. Degrees of Existence (ISTAC, Kuala Lumpur, 1994).13 m. Rangkaian Ruba‟iyat (Dewan Bahasa dan Pustaka (DPB), Kuala Lumpur 1959). n. Some Aspects of Shufism as Understood and Practised Among the Malays (Malaysian Sociological Research Institue, Singapura, 1963). o. Concluding Postscript to the Origin of The Malays Sya‟ir (DPB, Kuala Lumpur, 1971). p. The Correct Date of Terengganu Inscriptio (Museums Department, Kuala Lumpur, 1972). q. Risalah untuk Kaum Muslimin (monograf yang belum diterbitkan, 286 h., ditulis antara Februari-Maret 1973). Buku ini kemudian diterbitkan di Kuala Lumpur oleh ISTAC pada 2001 – penerj. r. Islam: Paham Agama dan Asas Akhlak (ABIM, Kuala Lumpur, 1997).
12 13
A. Khudhori Sholeh, op.cit., h. 55 Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, op.cit., hal. 122-125
53
s. (Ed.) Aims and Objectives of Islamic Education : Islamic Eduv=cation Series (Hodder and Stiughton dan King Abdul Aziz University, London, 1979). t. Islam, Secularism, and The Philosophy of The Future (Mansell, London dan New York, 1985). u. A Commentary on The Hujjat Al-Shiddiq of nur Al-Din Al-Raniri (Kementerian Kebudayaan, Kuala Lumpur, 1986). v. The Oldest Known Malay Manuscript : A 16th Century Malay Translation of the Aqa‟id Al-Nasafi (Dept. Penerbitan Universitas Malaya, Kuala Lumpur, 1988). 14 Sedangkan karya-karya Al-Attas dalam bentuk artikel tidak termasuk ceramah-ceramah ilmiah yang telah disampaikannya di depan publik. Berjumlah lebih dari 400 dan disampaikan di Malaysia dan luar negeri antara pertengahan 19601970, aktivitas ceramah ilmiah ini masih berlangsung sampai sekarang. a. “Note on The Opening of Relations between Malaka and Cina, 1403-5”, Journal of The Malayan Branch of The Royal Asiatic Society (JMBARS), vol. 38, pt. 1, Singapura, 1965. b. “Islamic Culture in Malaysia”, Malaysian Society od Orientalist, Kuala Lumpur, 1966. c. “New Light on The Life of Hamzah Fanshuri”, JMBRAS, vol. 40, pt. 1, Singapura, 1967. d. “Rampaian Sajak”, Bahasa, Persatuan Bahasa Melayu Universiti Malaya no.9, Kuala Lumpur, 1968. e. “hamzah Fanshuri”, The Penguin Companion to Literature, Classical and Byzantine, Oriental, and African, vol. 4, London, 1969. f. “Indonesia: 4 (a) History: The Islamic Period”, Encyclopedia of Islam, edisi baru, E.J. Brill, Leiden, 1971.
14
Wan Mohd Nor Wan Daud, op.cit., h. 55-57
54
g. “Comparative Philosophy: A Southeast Asian Islamic Viewpoint”, Acts of the V International Congress of Medieval Philosophy, Madrid-CordovaGranada, 5-12 September 1971. h. “Konsep Baru mengenai Rencana serta Cara-gaya Penelitian Ilmiah Pengkajian Bahasa, Kesusasteraan, dan Kebudayaan Melayu”, Buku Panduan Jabatan Bahasa dan Kesusasteraan Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur, t.t. i. “The Art of Writing, Dept. Museum”, Kuala Lumpur, t.t. j. “Perkembangan Tulisan Jawi Sepintas Lalu”, Pameran Khat, Kuala Lumpur, 14-21 Oktober 1973. k. “Nilai-nilai
Kebudayaan,
Bahasa,
Kesusasteraan
Melayu”,
Asas
Kebudayaan Kebangsaan, Kementerian Kebudayaan Belia dan Sukan, Kuala Lumpur, 1973. l. “Islam in Malaysia” (versi bahasa Jerman), Kleines Lexicon der Islamischen Welt, ed. K. Kreiser, W. Kohlhammer, Berlin (Barat), Jerman, 1974. m. “Islam in Malaysia”, Malaysia Panorama, Edisi Spesial, Kementerian Luar Negeri Malaysia, Kuala Lumpur, 1974. Juga diterbitkan dalam edisi bahasa Arab dan Prancis, n. “Islam dan Kebudayaan Malaysia”, Syarahan Tun Sri Lanang, seri kedua, Kementerian Kebudayaan, Belia dan Sukan, Kuala Lumpur, 1974. o. “Pidato Penghargaan terhadap ZAABA”, Zainal Abidin ibn Ahmad, Kementerian Kebudayaan, Belia dan Sukan, Kuala Lumpur, 1976. p. “A General Theory of The Islamization of The Malay Archipelago”, Profils of Malay Culture, Historiagraphy, Religion, and Politics, editor Sartono Kartodirdjo, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1976. q. “Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and the Definition and Aims of Education”, First World Conference on Muslim Education, Makkah, 1977. Juga tersedia dalam edisi bahasa Arab dan Urdu.
55
r. “Some Reflections on The Philosopichal Aspects of Iqbal‟s Thought”, International Congress on the Centenary of Muhammad Iqbal, Lahore, 1977. s. “The Concept of Education in Islam: Its Form, method, and System of Implementation”, World Symposium of Al-Isra‟, Amman, 1979. Juga tersedia dalam edisi bahasa Arab. t. “ASEAN – Ke mana Haluan Gagasan Kebudayaan Mau Diarahkan?” Diskusi, jil.4, no. 11-12, November-Desember, 1979. u. “Hijrah: Apa Artinya?” Panji Masyarakat, Desember, 1979. v. “Knowledge and Non-Knowledge”, Reading in Islam, no.8, first quarter, Kuala Lumpur, 1980. w. “Islam dan Alam Melayu”, Budiman, Edisi Spesial Memperingati Abad Ke-15 Hijriah, Universiti Malaya, Desember 1979. x. “The Concept of Education in Islam”, Second World Conference on Muslim Education, Islamabad, 1980. y. “Preliminary Thoughts on an Islamic Philosophy of Science”, Zarrouq Festival, Misrata, Libia: 1980. Juga diterbitkan dalam edisi bahasa Arab. z. “Religion and Secularity”, Congress of the World‟s Religions, New York, 1985. aa. “The Corruption of Knowledge”, Congress of the World‟s Religions, Istanbul, 1985.15 B. Pembahasan 1. Pengertian Pendidikan Islam Makna pendidikan dan segala yang terlibat di dalamnya merupakan hal yang sangat penting dalam perumusana sistem pendidikan dan implementasinya. Sekiranya 15
Ibid., h. 57-59
56
saya ditanya : “Apakah pendidikan itu?”, saya menjawab : “Pendidikan adalah suatu proses penanaman sesuatu ke dalam diri manusia”. Dalam jawaban ini, “ suatu proses penanaman” mengacu pada metode dan sistem untuk menanamkan apa yang disebut sebagai “pendidikan” secara bertahap. “Sesuatu” mengacu pada kandungan yang ditanamkan; dan “diri manusia” mengacu pada penerima proses dan kandungan itu. 16 Jawaban yang diberikan diatas telah meliputi tiga unsur dasar yang membentuk pendidikan : proses, kandungan dan penerima. Tetapi semuanya itu belum lagi suatu definisi, karena unsur-unsur tersebut masih begitu saja dibiarkan tidak jelas. Lagipula cara merumuskan kalimat yang dimaksudkan untuk dikembangkan menjadi suatu definisi sebagaimana di atas, memberikan kesan bahwa yang ditonjolkan adalah prosesnya. Misalnya saya rumuskan kembali jawaban terhadap pertanyaan di atas seperti ini : “Pendidikan adalah sesuatu yang secara bertahap ditanamkan ke dalam manusia”. Di dalam konteks tersebut masih meliputi tiga unsur dasar yang melekat dalam pendidikan, tetapi urutan keterdahuluan unsur penting yang membentuk pendidikan kali ini adalah kandungan dan bukan proses. Unsur pertama dalam pendidikan adalah manusia. Definisi manusia telah secara umum diketahui, yakni bahwa ia adalah “binatang rasional”. Karena rasionalitas adalah penentu manusia, maka sekurang-kurangnya kita harus memiliki beberapa gagasan tentang apa arti “rasional” dan semua sepakat bahwa hal itu mengacu pada “nalar”. Pemikir-pemikir muslim tidak menganggap apa yang dipahami sebagai rasio sebagai sesuatu yang terpisah dari apa yang dipahamkan sebagai intellectus. Mereka menganggap „aql ( )عقلsebagai suatu kesatuan organik dari rasio maupun intellectus.
16
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, Terj. dari The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education oleh Haidar Bagir, (Bandung: Mizan, 1996), cet.ke-7, h. 35
57
Dengan pemikiran seperti ini, seorang muslim mendefinisikan manusia sebagai alHayawanu Nathiq (الناطق Unsur
penting
)احليوانyang dalam hal ini istilah nathiq berarti “rasional”.17 kedua
yang
melekat
di
dalam
pendidikan
adalah
kandungannya, yang di sini disebut sebagai “sesuatu”. Hal ini dilakukan secara sengaja, karena meskipun kita telah tahu bahwa hal itu harus mengacu kepada ilmu, kita masih harus menetapkan apa yang kita maksud dengannya. Pengajaran dan proses mempelajari keterampilan saja – betapapun ilmiahnya dan bagaimanapun yang diajarkan dan dipelajari tercakupkan dalam konsep umum tentang “ilmu” – tidak harus berarti pendidikan. Pengajaran dan proses belajar sains-sains kemanusiaan, alam, dan terapan saja tidak merupakan bagian dari pendidikan dalam arti yang sedang dijelaskan sekarang ini. Harus ada “sesuatu” di dalam pendidikan yang jika tidak ditanamkan, tidak akan membuat pengajaran serta proses belajar dan asimilasinya sebagai suatu pendidikan. Kenyataannya, “sesuatu” yang disinggung di sini itu sendiri adalah ilmu. 18 Ada banyak definisi yang menguraikan sifat ilmu, tetapi yang relevan di sisni adalah definisi epitemologis, mengingat pentingnya memahami segala sesuatu yang dilibatkan dan disiratkan dalam konteks epistemologi Islam. Barangkali implikasinya yang paling besar terletak pada pengaruhnya atas cara pandang kita terhadap hakikat, kebenaran dan metodologi penelitian; cakupan intelektual dan penerapan praktikal dalam perencanaan apa yang disebut sebagai “perkembangan”, yang semuanya didasarkan pada pemahaman tentang pendidikan. Orang-orang muslim sepakat bahwa semua ilmu datang dari Allah. Dan manusia pun tahu cara kedatangannya, tempat dan indera yang menerima dan menafsirkannya tidaklah sama. Oleh karena semua pengetahuan datang dari Allah dan ditafsirkan oleh jiwa lewat tempat-tempat spiritualnya dan fisikalnya, maka definisi yang paling cocok – dengan mengacu kepada Allah sebagai asalnya – adalah 17 18
Ibid., h. 36-37 Ibid., h. 41
58
bahwa ilmu pengetahuan ialah kedatangan (hushul :
)حصول
makna sesuatu atau
suatu obyek pengetahuan dalam jiwa. Sedangkan dengan mengacu kepada jiwa sebagai penafsirnya, pengetahuan adalah sampainya (wushul :
وصول
) jiwa pada
makna sesuatu atau obyek pengetahuan. 19 Format
pemikiran
pendidikan
yang
ditawarkan
Al-Attas
berusaha
menampilkan wajah pendidikan menurutnya adalah mewujudkan manusia yang baik yaitu manusia universal (Al-Insan Kamil). Al-Insan Kamil yang dimaksud adalah manusia yang bercirikan pertama manusia yang seimbang memiliki keterpaduan dua dimensi kepribadiannya. Kedua manusia seimbang dalam kualitas fikir, zikir, dan amalnya. Sistem pendidikan terpadu menurut Al-Attas adalah yang tertuang dalam rumusan sistem pendidikan yang diformulasikannya, dimana tampak sangat jelas upaya Al-Attas untuk mengislamisasi ilmu pengetahuan dimana pendidikan Islam harus menghadirkan dan mengajarkan dalam proses pendidikannya tidak hanya ilmuilmu agama tetapi ilmu-ilmu rasional intelek dan filosofis.20 2. Pengertian Pendidikan Islam “Ta’dib” Dalam dunia pendidikan dikenal adanya tiga rangkaian istilah yang disering digunakan untuk menunjukkan pendidikan Islam, secara keseluruhan yang terdapat dalam konotasi istilah tarbiyah, ta‟lim, dan ta‟dib, yang dipakai secara bersamaan. Ketika tampil sebagai pembicara utama dalam Konferensi Dunia pertama tentang pendidikan Islam tahun 1977 di Makkah, Syed Muhammad Naquib Al-Attas sebagai ketua komite yang membahas tentang cita-cita dan tujuan pendidikan dalam konferensi tersebut, secara sistematis mengajukan agar definisi pendidikan Islam diganti menjadi “Penanaman adab” dan istilah pendidikan dalam Islam, menjadi
19 20
155
Ibid., h. 42-43 Achmad Gholib, Teologi dalam Perspektif Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004), cet. ke-1, h.
59
ta‟dib. Setelah melalui perdebatan yang sengit, akhirnya usul tersebut di atas untuk merujuk kepada istilah pendidikan Islam.21 Lebih jelasnya Al-Attas menegaskan bahwa: Bagi saya, istilah tarbiyah bukanlah istilah yang tepat dan bukan pula istilah yang benar untuk memaksudkan pendidikan dalam pengertian Islam. Karena istilah yang dipergunakan mesti membawa gagasan yang benar tentang pendidikan dan segala yang terlibat dalam proses pendidikan, maka wajib bagi kita sekarang untuk menguji istilah tarbiyah secara kritis dan jika perlu menggantikannya dengan pilihan yang lebih tepat dan benar. Menurut Al-Attas, istilah yang paling tepat untuk menunjukkan pendidikan Islam adalah al-ta‟dib. Konsep ini didasarkan pada hadis Nabi :
)اََّدبَي ِْن َري ِّْب فَاَ ْح َس َن تَأْ يديْي ِْب (رواه العسكرى عن علّي Artinya : “Tuhan telah mendidikku, maka Ia sempurnakan pendidikanku”. (HR. Al„Askary dari „Ali ra) Kata addaba dalam hadis di atas dimaknai Al-Attas sebagai “mendidik”. Selanjutnya ia mengemukakan, bahwa hadis tersebut bisa dimaknai kepada “Tuhanku telah membuatku mengenali dan mengakui dengan adab yang dilakukan secara berangsur-angsur ditanamkan-Nya ke dalam diriku, tempat-tempat yang tepat bagi segala sesuatu di dalam penciptaan, sehingga hal itu membimbingku ke arah pengenalan dan pengakuan tempat-Nya yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian, serta – sebagai akibatnya – Ia telah membuat pendidikanku yang paling baik”. Menurut Wan Mohd Nor Wan Daud, Al-Attas adalah orang pertama yang memahami dan menerjemahkan perkataan “addabani” dengan “mendidikku”. Menurut sarjana-sarjana terdahulu, kandungan ta‟dib adalah akhlak. Fakta 21
Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pusat Kajian Islam FAI UHAMKA, 2009), h. 101-102
60
bahwasannya pendidikan Nabi Muhammad SAW. dijadikan Allah sebagai pendidikan yang terbaik didukung oleh Al-Qur‟an yang mengafirmasikan kedudukan Rasulullah yang mulia (akram), teladan yang paling baik.22 Berdasarkan batasan tersebut, maka al-ta‟dib berarti pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia (peserta didik) tentang tempat–tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan. Dengan pendekatan ini, pendidikan akan berfungsi sebagai pembimbing ke arah pengenalan dan pengakuan Tuhan yang tepat dalam tatanan wujud dan kepribadiannya.23 Al-Attas yang tidak setuju dengan penerimaan yang kompromis ini kemudia menyatakan kembali argumentasinya dalam The Concept of Education in Islam yang disampaikannya pada Konferensi Dunia Kedua mengenai Pendidikan Islam yang diselenggarakan di Islamabad, pada 1980. Menurut Al-Attas, jika benar-benar dipahami dan dijelaskan dengan baik, konsep ta‟dib adalah konsep yang paling tepat untuk pendidikan Islam, bukannya tarbiyah ataupun ta‟lim sebagaimana yang dipakai pada masa itu. Al-Attas dalam Wan Mohd Nor Wan Daud mengatakan, “struktur konsep ta‟dib sudah mencakup unsur-unsur ilmu („ilm), instruksi (ta‟lim), dan pembinaan yang baik (tarbiyah) sehingga tidak perlu lagi dikatakan bahwa konsep pendidikan Islam adalah sebagaimana terdapat dalam tiga serangkai konsep tarbiyahta‟lim-ta‟dib.” Walaupun Al-Qur‟an tidak memakai istilah adab ataupun istilah lain yang memiliki akar kata yang sama dengannya, perkataan adab itu sendiri dan cabang-cabangnya disebutkan dalam ucapan-ucapan Nabi SAW., para sahabat r.a., dalam puisi ataupun karya sarjana-sarjana Muslim yang datang setelah mereka.24 Salah satu bidang spesialisasi Al-Attas adalah bahasa dan sastra, oleh karena itu ia sangat menekankan penggunaan sebuah istilah yang benar. Karena menurutnya, penggunaan sebuah istilah yang keliru bukan hanya merusak eksistensi bahasa itu 22
Wan Mohd Nor Wan Daud, op.cit., h. 176 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam : Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), cet. ke-1, h. 30 24 Wan Mohd Nor Wan Daud, op.cit., h. 175 23
61
snediri, akan tetapi juga dapat merusak persepsi kita tentang suatu kebenaran. Penekanan terhadap istilah ta‟dib bagi pendidikan Islam tersebut, nampaknya merupakan salah satu upaya merekonstruksi kembali arah dan tujuan pendidikan yang dikehendaki oleh Al-Attas. Senada dengan ini, cendekiawan Muslim Indonesia Prof. Dr. H. Azyumardi Azra dalam Ridjaluddin menyatakan: Proses pengajaran dalam pendidikan dewasa ini, hanya mengisi aspek kognitif intelektual saja, tapi tidak mengisi aspek pembentukan kepribadian dan watak. Oleh karena itu, ia menawarkan beberapa arah rekonstruksi pendidikan Islam, salah satunya adalah perumusan kembali makna pendidikan dan menyatakan kesetujuannya dengan konsep ta‟dib yang diajukan Al-Attas, lebih lanjut Azyumardi Azra menegaskan: .....arah rekonstruksi keempat adalah perumusan kembali makna pendidikan. Dalam hal ini saya setuju dnegan Prof. Naquib Al-Attas: bahwa proses pendidikan Islam yang kita tempuh lebih baik menggunakan istilah ta‟dib ketimbang tarbiyah, karena ta‟dib mengandung proses inkulturasi, proses pembudayaan. Tidak hanya proses intelektualisasi, tapi karena ta‟dib berkaitan dengan kata adab, akhlak dan sebagainya, maka kemudian yang akan muncul dari sistem pendidikan di dalam paradigma ta‟dib ini adalah manusia yang betul-betul berbudaya, berkarakter, dan berakhlak.25 3. Pengertian Pendidikan Islam “Tarbiyah” Menurut Al-Attas, tarbiyah merupakan istilah yang relatif baru, yang bisa dikatakan telah dibuat–buat oleh orang–orang yang mengaitkan dirinya dengan pemikiran modernis. Istilah tersebut dimaksudkan untuk mengungkapkan makna pendidikan tanpa memperhatikan sifat yang sebenarnya. Adapun kata – kata Latin educare dan educatio, yang dalam bahasa Inggris berarti “educate” dan “education”, secara konseptual dikaitkan dengan bahasa Latin educare atau dalam bahasa Inggris “educe” – menghasilkan, mengembangkan dari kepribadian yang tersembunyi atau potensial, yang di dalamnya “proses menghasilkan dan mengembangkan” mengacu kepada segala sesuatu yang bersifat fisik dan material. Yang dituju dalam konsepsi 25
Ridjaluddin, op.cit., h. 103-105
62
pendidikan yang diturunkan dari konsep–konsep Latin yang dikembangkan dari istilah–istilah tersebut di atas meliputi spesies hewan dan tidak dibatasi pada “hewan berakal”.26 Mereka yang membuat–buat istilah tarbiyah untuk maksud pendidikan pada hakikatnya mencerminkan konsep Barat tentang pendidikan. Mengingat istilah tarbiyah, tidak sebagaimana mereka masih nyatakan, adalah suatu terjemahan yang jelas dari istilah education menurut artian Barat, karena makna–makna dasar yang dikandung olehnya mirip dengan yang bisa ditemui di dalam rekanan Latinnya. Meskipun para penganjur penggunaan istilah tarbiyah terus membela istilah itu – yang mereka katakan sebagai dikembangkan dari Al-Qur‟an – pengembangannya didasarkan atas dugaan belaka. Hal ini mengungkapkan ketidaksadaran mereka akan struktur semantik sistem konseptual al-Qur‟an, mengingat secara semantik istilah tarbiyah tidak tepat dan tidak memadai untuk membawakan konsep pendidikan dalam pengertian Islam sebagaimana dipaparkan berikut ini. Pertama, istilah tarbiyah yang dipahami dalam pengertian pendidikan, sebagaimana dipergunakan di masa kini. Ibnu Manzhur memang merekam bentuk tarbiyah bersama dengan beberapa bentuk–bentuk lain dari akar raba ( )ربdan rabba ( )ربّاsebagaimana diriwayatkan oleh al-Asma‟i yang mengatakan bahwa istilah–istilah tersebut memuat makna yang sama. Mengenai maknanya, al-Jauhari mengatakan bahwa tarbiyah dan beberapa bentuk lain yang disebutkan oleh alAsma‟i berarti : memberi makan, memelihara, mengasuh; yakni dari kata ghadza atau ghadzau ( غذوdan
)غذا.
Makna ini mengacu kepada segala sesuatu yang tumbuh,
seperti anak-anak, tanaman, dan sebagainya. Pada dasarnya tarbiyah berarti mengasuh, menanggung, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membuat, menjadikan bertambah dalam pertumbuhan, membesarkan, memproduksi hasil–hasil 26
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, op.cit., h. 64
63
yang sudah matang dan menjinakkan. Penerapannya dalam bahasa Arab tidak hanya terbatas pada manusia saja, dan medan–medan semantiknya meluas kepada spesies– spesies lain – untuk mineral, tanaman, dan hewan. Orang bisa mengacu pada peternakan sapi, peternakan hewan, peternakan ayam dan unggas; peternakan ikan serta perkebunan; masing–masing sebagai suatu bentuk tarbiyah. Meskipun demikian, sebagaimana telah terlebih dulu kita tunjukkan, pendidikan dalam arti Islam adalah sesuatu yang khusus hanya untuk manusia. Dengan mengacu pada kaidah penerapan secara tepat istilah–istilah dan konsep–konsep sebagaimana dilukiskan oleh al-Jahiz sehubungan dengan bukhl misalnya; soal di atas itu saja sudah cukup menunjukkan bahwa tarbiyah sebagai sebuah istilah dan konsep yang bisa diterapkan untuk berbagai spesies dan tidak terbatas hanya untuk manusia, tidak cukup cocok untuk menunjukkan pendidikan dalam arti Islam yang dimaksudkan hanya untuk manusia saja. 27 Sudah jelas bahwa unsur–unsur kualitatif bawaan dalam konsep Islam tentang pendidikan dan kegiatan atau proses yang dicakupnya tidak sama dengan yang tercakup di dalam tarbiyah. Lagipula, tarbiyah pada dasarnya juga mengacu pada gagasan “pemilikan”, seperti pemilikan keturunan oleh orang–orang tuanya dan biasanya para orang tua – pemilik inilah yang melaksanakan tarbiyah atas obyek– obyek pemilikan yang relevan seperti keturunannya atau yang lain–lain. Pemilikan– pemilikan yang dimaksudkan di sini hanyalah jenis relasional, mengingat pemilikan yang sebenarnya ada pada Tuhan saja, Sang Pencipta, Pemelihara, Penjaga, Pemberi, Pengurus, dan Pemilik segala sesuatu, yang ke semuanya itu tercakup dan ditunjukkan oleh sebuah istilah tunggal ar-Rabb. Jadi, kata rabba dan yang diturunkan daripadanya, jika diterapkan pada manusia dan hewan–hewan, menunjukkan suatu “milik yang dipinjam”. Yang mereka kerjakan dengan milik yang dipinjam ini adalah tarbiyah jika yang mereka kerjakan adalah mengasuh, menanggung, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membesarkan,
27
Ibid., h. 65-67
64
menjadikan bertambah di dalam pertumbuhan, menghasilkan produk matang, menjinakkan dan sebagainya. Kesemuanya itu tentu bukan pekerjaan mendidik jika pendidikan kita maksudkan terutama sebagai penanaman pengetahuanyang berkenaan dengan manusia saja, dan dengan intelek manusia pada khususnya. Jadi, jika dalam menggambarkan tarbiyah, sebagai pendidikan, kita susupkan ke dalam istilah itu makna esensial yang membawa unsur fundamental pengetahuan, maka penyusupan seperti itu hanyalah dibuat-buat, karena makna bawaan struktur konseptual tarbiyah tidak secara alami mencakup pengetahuan sebagai salah satu di antaranya. Sekarang, dalam kasus manusia, biasanya orangtualah yang melakukan tarbiyah atas keturunannya sehubungan dengan hak milik pinjaman dari orang tua terhadap anaknya. Jika penyelenggaraan tarbiyah dipandang sebagai pendidikan dialihkan kepada keadaan seperti itu terdapat bahaya bahwa pendidikan akan menjadi suatu pekerjaan sekuler, dan itulah kenyataan yang terjadi. Hal itu terjadi karena tujuan tarbiyah, secara normal, bersifat fisik dan material serta berwatak kuantitatif, mengingat konsep bawaan yang termuat dalam istilah tersebut berhubungan dengan pertumbuhan dan kematangan material dan fisik saja; dan karena nilai – nilai yang ditetapkan oleh keadaan itu disesuaikan dengan tujuan menghasilkan pendudukpenduduk – nilai-nilai yang secara alami diatur oleh prinsip-prinsip utilitarian yang cenderung pada aspek–aspek fisik dan material kehidupan sosial dan politis manusia. 28
Kedua, dengan mengacu pada alasan bahwa tarbiyah, dipandang sebagai pendidikan, dikembangkan dari penggunaan Al-Qur‟an berkenaan dengan istilah raba dan rabba yang berarti sama, apa yang dikatakan pada sebelumnya sudah dijelaskan titik poros masalah, yaitu bahwa makna dasar istilah–istilah ini – tentunya berpuncak pada otoritas Al-Qur‟an sendiri – tidak secara alami mengandung unsur-unsur
28
Ibid., h. 67-69
65
esensial pengetahuan, intelegensi dan kebajikan yang pada hakikatnya, merupakan unsur-unsur pendidikan yang sebenarnya.29 Ketiga, jika sekiranya dikatakan bahwa suatu makna yang berhubungan dengan pengetahuan bisa disusupkan ke dalam konsep rabba, makna tersebut mengacu pada pemilikan pengetahuan dan bukan penanamannya. Oleh karenanya, hal itu tidak mengacu pada pendidikan dalam artian yang dimaksudkan. Yang Al-
)ربَّ يyaitu nama yang diberikan bagi orangAttas maksudkan adalah istilah rabbani (ان َ orang bijaksana yang terpelajar dalam bidang pengetahuan tentang ar-Rabb. Al-Attas menolak peristilahan tarbiyah dan ta‟lim yang selama ini dianggap sebagai pengertian yang lengkap mengenai pendidikan dalam Islam, baik salah satu (tarbiyah atau ta‟lim) maupun keduanya (tarbiyah wa ta‟lim), sebab istilah tersebut menunjukkan ketidaksesuaian makna. Beliau menolak istilah tarbiyah sebab istilah ini hanya menyinggung aspek fisikal dalam mengembangkan tanam-tanaman dan terbatas pada aspek fisikal dan emosional dalam pertumbuhan dan perkembangan binatang dan manusia.30 4. Tujuan Pendidikan Islam Tujuan mencari pengetahuan dalam Islam ialah menanamkan kebaikan dalam diri manusia sebagai manusia dan sebagai diri individual. Tujuan akhir pendidikan Islam ialah menghasilkan manusia yang baik dan bukan, seperti dalam peradaban Barat, warganegara yang baik. “Baik” dalam konsep manusia yang baik berarti tepat sebagai manusia adab dalam pengertian yang dijelaskan di sini, yakni meliputi kehidupan material dan spiritual manusia. Karena manusia, sebelum menjadi manusia telah mengikat perjanjian (mitsaq :
29 30
)ميثاقindividual
Ibid., h. 69-70 Wan Mohd Nor Wan Daud, op.cit., h. 180
secara kolektif dengan Tuhan,
66
serta telah mengenal dan mengakui Allah sebagai Tuhan (ar-Rabb :
الرب ّ ) ketika ia
mempersaksikan untuk dirinya dan menegaskan “benar!” (bala : )بلىpada pertanyaan Allah “Bukankah Aku Tuhanmu?” (
)اَلَ ْست بيَربيك ْم.31
Jika tujuan pengetahuan adalah untuk menghasilkan seorang manusia yang baik, maka kita tidak bermaksud mengatakan bahwa menghasilkan sebuah masyarakat yang baik bukanlah merupakan tujuan, karena masyarakat terdiri dari perseorangan–perseorangan maka membuat setiap orang atau sebagian besar di antaranya menjadi orang–orang baik berarti pula menghasilkan masyarakat yang baik. Pendidikan adalah bahan masyarakat. Penekanan pada adab yang mencakup „amal dalam pendidikan dan proses pendidikan adalah untuk menjamin bahwasannya ilmu („ilm) dipergunakan secara baik di dalam masyarakat. Karena alasan inilah maka orang-orang bijak, para cerdik cendekia dan para sarjana di antara orang–orang Islam terdahulu mengombinasikan „ilm dengan „amal dan adab, dan menganggap kombinasi harmonis ketiganya sebagai pendidikan. Pendidikan dalam kenyataannya adalah ta‟dib ( )تأديبkarena adab, sebagaimana didefinisikan di sini, sudah mencakup „ilmu dan „amal sekaligus.32 Al-Attas, pemikir kontemporer Muslim pertama yang mendefinisikan arti pendidikan secara sistematis, menegaskan dan menjelaskan bahwa tujuan pendidikan menurut Islam bukanlah untuk menghasilkan warga negara dan pekerja yang baik. Sebaliknya, tujuan tersebut adalah untuk menciptakan manusia yang baik. Pada September 1970, Al-Attas mengajukan kepada Ghazali Syafie, yang kemudian menjadi Menteri Dalam Negeri Malaysia, bahwa “tujuan pendidikan dari tingkat yang paling rendah hingga tingkat yang paling tinggi seharusnya tidak ditujukan untuk menghasilkan warga negara yang sempurna (complete citizen), tetapi untuk 31 32
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, op.cit., h. 54-55 Ibid., h. 59-60
67
memunculkan manusia paripurna”. Hal ini disebutkannya lagi secara lebih detail dalam bukunya Islam and Secularism dalam Wan Mohd Nor Wan Daud : Tujuan mencari ilmu adalah untuk menanamkan kebaikan ataupun keadilan dalam diri manusia sebagai seorang manusia dan individu, bukan hanya sebagai seorang warga negara ataupun anggota masyarakat. Yang perlu ditekankan (dalam pendidikan) adalah nilai manusia sebagai manusia sejati, sebagai warga kota, sebagai warga negara dalam kerajaannya yang mikro, sebagai sesuatu yang bersifat spiritual, (dengan demikian yang ditekankan itu) bukanlah nilai manusia sebagai identitas fisik yang diukur dalam konteks pragmatis dan utilitarian berdasarkan kegunaannya bagi negara, masyarakat, dan dunia.33 5. Sistem Pendidikan dalam Islam Setiap manusia tak ubahnya sebuah miniatur kerajaan, representasi mikrokosmos (alam shaghir : صغري
)عاملdari makrokosmos (alam kabir : )عامل كبري. Ia
adalah seorang penghuni di dalam kota (madinah :
)مدينةdirinya sendiri, tempat ia
menyelenggarakan dinnya. Karena dalam Islam, tujuan mencari pengetahuan pada puncaknya adalah untuk menjadi seorang manusia yang baik – sebagaimana telah diuraikan – dan bukannya seorang penduduk yang baik dari sebuah negara sekuler, maka sistem pendidikan dalam Islam mestilah mencerminkan manusia, bukan negara. Perwujudan paling tinggi dan paling sempurna dari sistem pendidikan adalah universitas. Dan mengingat bahwa universitas merupakan sistematisasi pengetahuan yang paling tinggi dan yang sempurna – yang dirancang untuk mencerminkan yang universal – maka ia mestilah juga merupakan pencerminan dari bukan sekedar manusia apa saja, melainkan Manusia Universal atau Sempurna (al-insanul kamil :
33
Wan Mohd Nor Wan Daud, op.cit., h. 172
68
)االنسان الكامل.
Universitas modern yang berdasarkan model-model Barat tidak
mencerminkan manusia, melainkan lebih mencerminkan negara sekuler. Hal ini terjadi karena dalam peradaban Barat, atau peradaban–peradaban lain selain Islam, tidak pernah ada seorang Manusia Sempurna pun yang bisa menjadi model untuk ditiru dalam hidup dan yang bisa dipakai untuk memproyeksikan pengetahuan dan tindakan yang benar dalam bentuk universal sebagai universitas. Hanya dalam Islam, dalam pribadi suci Nabi SAW. sajalah Manusia Universal atau Sempurna ternyatakan. Karena konsep pendidikan dalam Islam hanya berkenaan dengan manusia saja, maka perumusannya sebagai suatu sistem harus mengambil model manusia tersempurnakan di dalam pribadi suci Nabi SAW. Jadi, universitas Islam itu mesti mencerminkan Nabi dalam hal pengetahuan dan tindakan yang benar; dan fungsinya adalah untuk menghasilkan manusia, laki–laki dan perempuan, yang mutunya sedekat mungkin menyerupai beliau – masing-masing sesuai dengan kapasitas dan potensi bawaannya – untuk menghasilkan laki–laki dan perempuan yang baik; untuk menghasilkan laki–laki dan perempuan beradab sebagai tiruan dia yang bersabda: “Tuhanku telah mendidikku, dan dengan demikian menjadikan pendidikanku yang terbaik”.34 Dengan adanya tujuan pendidikan Islam yang menjadikan manusia menjadi manusia sempurna, Al-Attas menganggap ISTAC sebagai nucleus dari universitas Islam yang sebenarnya. Al-Attas berjuang untuk menjadikan ISTAC sebagai refleksi dari insan kamil. Ditinjau dari aspek spiritual, Al-Attas telah berusaha dan berhasil melaksanakan peletakan batu pertama untuk pembangunan ISTAC pada malam ke27 bulan Rajab, menurut kalender Muslim, bersamaan peringatan Isra‟ dan Mi‟raj Nabi Muhammad SAW. Selama acara tersebut, dia berdoa semoga Allah melimpahi kita dengan hikmah dan sifat-sifat terpuji yang telah dikaruniakan kepada Nabi tercinta-Nya.35 34 35
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, op.cit., h. 83-85 Wan Mohd Nor Wan Daud, op.cit., h. 209
69
Konsepsi mengenai universitas yang benar-benar islami sebagai sebuah refleksi dari insan kamil atau manusia universal tidak saja signifikan, tetapi juga riil. Alasannya, figur seperti Nabi Muhammad SAW. adalah contoh riil insan kamil dan universal tersebut. Oleh karena itu, universitas dalam Islam harus merefleksikan figur Nabi Muhammad dalam hal ilmu pengetahuan dan amal saleh dan fungsinya adalah membentuk laki-laki dan wanita yang beradab agar memiliki kualitas seperti Nabi Muhammad SAW. sesuai dengan kemampuan dan potensinya masing-masing.36 6. Kurikulum Pendidikan Islam Manusia adalah jiwa sekaligus jasad, sekaligus wujud jasmaniah dan ruhaniah; dan jiwanya mesti mengatur jasadnya sebagaimana Allah mengatur jagad. Dia terpadukan sebagai satu kesatuan dan dengan adanya saling keterkaitan antara wujud ruhaniah dengan wujud jasmaniah serta inderanya, ia membimbing dan memelihara kehidupannya di dalam dunia ini. Sebagaimana manusia memiliki dwi – sifat, demikian pulalah ilmu terdiri dari dua jenis: yang pertama adalah berian Allah, dan yang kedua adalah ilmu capaian (yang diperoleh dengan usaha). Pada hakikatnya, dalam Islam, semua ilmu datang dari Allah, tapi cara kedatangannya – yaitu hushul dan wushul – serta wujud–wujud dan indera–indera yang menerima dan menafsirkannya berbeda. Mengingat ilmu jenis pertama adalah mutlak penting bagi pembimbingan dan penyelamatan manusia, maka ilmu tentangnya – yang tercakup di dalam ilmu–ilmu agama – bersifat perlu dan wajib atas semua muslim (fardhu „ain :
)فرض عني.
Pencapaian ilmu jenis kedua – yang mencakup ilmu–ilmu rasional,
intelektual dan filosofis – wajib bagi sebagian muslim saja (fardhu kifayah :
)فرض كفاية.
36
Ibid., h. 211-213
70
Skema berikut ini tentang manusia, ilmu dan universitas akan menjelaskan kaitan yang ditemukan di antara kesemuanya itu : I MANUSIA a. Jiwa dan wujud batini yahnya (ruh, nafs, qalb, „aql). b. Jasad, wujud jasmaniah dan indera – inderanya. II PENGETAHUAN a. Ilmu berian Allah. b. Ilmu capaian. III UNIVERSITAS a. Ilmu – ilmu agama (fardhu „ain). b. Ilmu – ilmu rasional, intelektual, dan filosofis (fardhu kifayah).37 Jika kita tumpangtindihkan skema pengetahuan dengan skema manusia, tampak jelas bahwa pengetahuan berian Allah mengacu pada wujud dan indera ruhaniah manusia, sementara ilmu capaian mengacu pada fakultas dan indera jasmaniahnya. Intelek („aql) adalah mata rantai penghubung antara yang jasmaniah dan ruhaniah yang menjadikan manusia bisa memahami hakikat dan kebenaran ruhaniah. Dan jika kita tumpangtindihkan skema manusia – yang mencerminkan universitas – dengan skema ilmu dan manusia, tampak jelas bahwa ilmu–ilmu agama memiliki pengetahuan fardhu „ain pada jantung universitas yang sebagaimana jiwa manusia, merupakan pusat universitas yang permanen dan abadi, dan mewujudkan pengungkapan dan sistematisasi tertinggi dari segala yang wajib atas tiap muslim. Apa yang secara umum di masa kini telah dipahami sebagai konsep fardhu „ain adalah bentuk terbatas yang tersusun dari sebuah rumus statis yang diajarkan pada tahap kehidupan anak–anak dan dibatasi hanya pada esensi–esensi pokoknya. Yang mesti dipahami mengenai konsep itu adalah makna dan maksud aslinya, yaitu bahwa ilmu seperti itu bebas alirannya, dan tidak tersekat, dan bertambah dalam hal ruang lingkup dan kandungannya, sebagaimana seseorang bertambah dalam hal kedewasaan dan tanggung jawab serta sesuai dengan kapasitas dan potensi seseorang. Jadi, dalam sistem pendidikan tiga tahap (rendah, menengah, tinggi) ilmu fardhu „ain diajarkan tidak hanya pada tingkat primer (rendah) melainkan juga pada tingkat sekunder
37
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, op.cit., h.85-87
71
(menengah) pra-universitas dan juga tingkat universitas. Ruang lingkup dan kandungan pada tingkat universitas harus lebih dahulu dirumuskan sebelum bisa diproyeksikan ke dalam tahapan–tahapan yang lebih sedikit secara berurutan ke tingkat–tingkat yang lebih rendah, mengingat tingkat universitas mencerminkan perumusan sistematisasi yang paling lengkap dan paling tinggi, dan hanya jika hal itu bisa dicapai barulah dia akan bisa menjadi model bagi yang berikut di bawahnya. Jika tidak – yaitu kalau kita mulai dengan usaha perumusan ruang lingkup dan kandungannya dari tingkat – tingkat yang lebih rendah – kita taka akan pernah berhasil, mengingat tidak adanya model yang sempurna dan lengkap dari keteraturan yang lebih tinggi agar bisa bertindak sebagai kriteria bagi perumusan ruang lingkup dan kandungannya. Pengetahuan inti yang mencerminkan fardhu „ain – yang terpadukan dan tersusun sebagai suatu kesatuan harmonis pada tingkat universitas sebagai struktur model bagi tingkat–tingkat yang lebih rendah, dan mesti dicerminkan dalam bentuk yang lebih mudah secara berurutan pada pra-universitas, tingkat– tingkat sekunder dan primer dari sistem pendidikan di seluruh dunia muslim – harus mencerminkan tidak hanya pemahaman Sunni tentangnya, tapi juga mencakup penafsiran Syi‟i. Pembagian dua jenis ilmu tersebut bisa secara ringkas diikhtisarkan sebagai berikut : a. Ilmu–ilmu agama 1) Al-Qur‟an: pembacaan dan penafsirannya (tafsir dan ta‟wil). 2) As-Sunnah: kehidupan Nabi, sejarah dan pesan–pesan para rasul sebelumnya, hadits, dan riwayat–riwayat otoritatifnya. 3) Asy-Syari‟ah : Undang–undang dan Hukum, prinsip–prinsip dan praktek–praktek Islam (Islam : اسالم, Iman : اميان, dan Ihsan : )احسان 4) Teologi: Tuhan, Esensi-Nya, Sifat–sifat dan nama–nama–Nya serta tindakan–tindakan–Nya (at-Tauhid : )التوحيد
72
5) Metafisika Islam (at–Tashawwuf :
التصوف ّ ) psikologi, kosmologi dan
ontologi: unsur–unsur yang sah dalam filsafat Islam (termasuk doktrin–doktrin kosmologis yang benar, berkenaan dengan tingkatan– tingkatan wujud) 6) Ilmu–ilmu Linguistik: bahasa Arab, tata bahasa, leksikografi, dan kesusasteraannya. b. Ilmu–ilmu rasional, intelektual, dan filosofis 1) Ilmu–ilmu kemanusiaan. 2) Ilmu–ilmu alam. 3) Ilmu–ilmu terapan. 4) Ilmu–ilmu teknologi. 38 Menurut Al-Attas, struktur ilmu pengetahuan dan kurikulum pendidikan Islam seharusnya menggambarkan manusia dan hakikatnya yang harus diimplementasikan pertama-tama pada tingkat universitas. Struktur dan kurikulum ini secara bertahap kemudian diaplikasikan pada tingkat rendah. Secara alami, kurikulum tersebut diambil dari hakikat manusia yang bersifat ganda (dual nature); aspek fisikalnya lebih berhubungan dengan pengetahuannya mengenai ilmu-ilmu fisikal dan teknikal, atau fardhu kifayah; sedangkan keadaan spiritualnya sebagaimana terkandung dalam istilah-istilah ruh, nafs, qalb, dan „aql lebih tepatnya berhubungan dengan ilmu inti atau fardhu „ain. Kandungan umum yang terperinci dari dua ketgori tersebut pada tingkat pendidikan tinggi adalah : a. Fardhu ‘Ain (ilmu-ilmu agama) 1) Kitab suci Al-Qur‟an: pembacaannya dan interpretasinya (tafsir dan ta‟wil). Di ISTAC, Al-Attas telah menyetujui mata kuliah sejarah dan metodologi „Ulum Al-Qur‟an. Ia merupakan studi mengenai AlQur‟an, konsep dan sejarah wahyu, penurunannya, pengumpulan, penjagaan, dan penyebarannya, ilmu-ilmu untuk memahami Al-Qur‟an 38
Ibid., h. 87-90
73
(seperti nasikh-mansukh, al-khashsh wa al-„am, muhkam-mutasyabih, dan amr-nahy). Ia juga meliputi studi komparatif mengenai asal-usul, perkembangan, dan metodologi literatur tafsir, jenis-jenis dan mazhabmazhabnya. 2) Sunnah : kehidupan Nabi : sejarah dan risalah nabi-nabi terdahulu, hadis dan perawiannya. Mata kuliah sejarah dan metodologi hadis wajib bagi semua mahasiswa ISTAC. Selain itu, mata kuliah ini merupakan pengkajian yang mendalam mengenai sejarah kritik hadis, beberapa
istilah
teknisnya
(musthalahat
al-hadis),
analisis
perbandingan terhadap kitab-kitab kumpulan hadis yang penting dan pengategoriannya, ilmu biografi, dan kamus utama mengenai biografi.39 3) Syariat : fiqih dan hukum; prinsip-prinsip dan pengamalan Islam (Islam, iman, ihsan). Al-Attas menganggap pengetahuan syariat sebagai aspek terpenting dalam pendidikan Islam. Bagaimanapun, pelaksanaan syariat dalam kehidupan individu dan masyarakat harus didasarkan pada ilmu yang tepat, sikap moderat, dan adil. Al-Attas menilai bahwa pengajaran hukum Islam mendapat perhatian yang lebih besar daripada yang diperlukan kebanyakan Muslim dalam bidang pemikiran pendidikan dan administratif, sampai pada tingkat mengurangi perhatian pada masalah-masalah yang lebih fundamental lainnya, seperti teologi, metafisika, dan etika. 4) Teologi (Ilmu Kalam): Tuhan, Zat-Nya, Sifat-sifat, Nama-nama, dan Perbuatan-Nya (al-tauhid). Teologi Islam merupakan subjek yang sangat penting yang masih belum diberi tempat yang layak dalam kurikulum pendidikan tinggi
Islam sekarang ini.
Alasannya,
ketidakmampuan banyak ilmuwan Muslim modern menunjukkan
39
Wan Mohd Nor Wan Daud, op.cit., h.274-276
74
bahwa permasalahan dan isu yang diangkat dalam subjek ini bukanlah hal kuno dan ketinggalan zaman, karena itu tidak relevan bagi Muslim modern. Sebaliknya, Al-Attas secara konsisten berpendapat dan membuktikan bahwa permasalahan dan isu-isu yang diangkat dalam teologi itu muncul kembali, terutama dari sumber-sumber kebudayaan. Memahami dengan baik pendapat yang dikembangkan oleh beberapa ahli teologi Muslim yang terkenal akan sangat membantu mengurangi kerancuan (pemahaman) keagamaan yang terjadi di kalangan pemimpin Muslim hari ini.40 5) Metafisika Islam (al-tashawwuf „irfan): psikologi, kosmologi, dan ontologi; elemen-eleman filsafat Islam yang cukup dikenal terdiri dari doktrin-doktrin kosmologi yang berkaitan dengan hierarki wujud. Mata kuliah ini mungkin merupakan yang paling fundamental dalam kurikulum pendidikan Al-Attas, bukan saja karena meliputi semua elemen yang paling penting dalam pandangan Islam mengenai realitas dan kebenaran sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur‟an dan hadis, melainkan juga karena mencakup ringkasan semua disiplin intelektual lain, seperti ilmu Al-Qur‟an, hadis, teologi dan filsafat, serta ilmu pengetahuan mengenai bahasa Arab klasik. 6) Ilmu bahasa: bahasa Arab, tata bahasanya, leksikografi, dan sastra. Tujuannya bukan hanya menguasai keterampilan berbicara melainkan lebih penting lagi untuk menganalisis dan menginterpretasikan sumber-sumber primer dalam Islam, khazanah intelektual dan spiritual penting dalam bahasa Arab.41 Harus disebutkan di sini bahwa kategori fardhu „ain merupakan gambaran dari integrasi pelbagai mazhab yang dianut dalam tradisi pendidikan Muslim. Lebih jauh lagi, harus digarisbawahi bahwa konsepsi Islam mengenai fardhu „ain, 40 41
Ibid., 276-277 Ibid., h. 277
75
sebagaimana dipahami oleh Al-Attas, pada dasarnya berbeda dari pengategorian bidang studi pendidikan sekuler liberal modern yang biasanya berupa bidang studi permanen atau kurikulum inti atau pendidikan umum, dengan alasan berikut. Pertama, bidang studi permanen pada pendidikan umum tidak pernah diberi status normatif sebagaimana fardhu „ain. Kedua, bidang studi permanen dan pendidikan umum secara keseluruhan pada dasarnya difokuskan untuk program S1 pada pendidikan universitas, sedangkan pengetahuan fardhu „ain harus dipelajari sejak akil baligh sampai tingkat pendidikan tertinggi bahkan sampai meninggal dunia. Ketiga, berbeda dari pengetahuan inti pada pendidikan umum, pengetahuan fardu „ain diambil dari dan berakar pada Wahyu Ilahi dan hadis Nabi yang tidak pernah ditentang oleh ilmuwan Muslim siapa pun sepanjang zaman.42 b. Fardhu Kifayah Pengetahuan mengenai fardhu kifayah tidak diwajibkan kepada setiap Muslim untuk mempelajarinya, tetapi seluruh masyarakat Mukmin akan bertanggung jawab jika tidak ada seorangpun dari masyarakat tersebut yang mempelajarinya, karena memberikan landasan teoretis dan motivasi keagamaan kepada umat Islam untuk mempelajari dan mengembangkan segala ilmu ataupun teknologi yang diperlukan untuk kemakmuran masyarakat. Al-Attas membagi pengetahuan fardhu kifayah menjadi delapan disiplin ilmu : 1) Ilmu Kemanusiaan. 2) Ilmu Alam. 3) Ilmu Terapan. 4) Ilmu Teknologi. 5) Perbandingan Agama. 6) Kebudayaan Barat. 42
Ibid., h. 279-281
76
7) Ilmu Linguistik: Bahasa Islam. 8) Sejarah Islam Sudah tentu Al-Attas tidak membatasi pengetahuan fardhu kifayah pada delapan disiplin ilmu di atas. Hal ini bisa dipahami karena pengetahuan („ilm) itu sendiri, sebagai Sifat Tuhan, tidak terbatas. Selain itu, fardhu „ain itu dinamis dan berkembang seseuai dengan kemampuan intelektual dan spiritual seseorang serta keadaan masyarakatnya, pengetahuan fardhu kifayah juga akan berkembang dengan keperluan dan program masyarakat tertentu.43 7. Metode Pendidikan Islam Ciri-ciri metode pendidikan Al-Attas yang lain adalah penggunaan metafora dan cerita sebagai contoh atau perumpamaan yang juga banyak digunkana dalam AlQur‟an dan hadis. Adalah sesuatu yang wajar bahwa para ulama, khususnya para sufi (sebagaimana digambarkan oleh Izutsu, yang mengamati kecenderungan serupa pada kalangan cerdik pandai di Timur) menggunakan cara-cara ini sebagai bagian integral dari paedagogi mereka. Efektifitas metode ini tidak diragukan lagi, pun di dalam sejarah pendidikan Barat. Komentar Izutsu dalam Wan Mohd Nor Wan Daud sangat relevan : Para filosof Muslim cenderung menggunakan metafora dan perumpamaan dalam metafisika, khususnya dalam penjelasan mengenai hubungan antara Kesatuan dan Keragaman atau realitas absolut dan hal-hal fenomenal yang tampak kontradiktif. Metafora yang sering dipakai dalam metafisika adalah salah satu ciri khas filsafat Islam, atau boleh juga kita katakan filsafat Timur umumnya. Ia tidak dapat dianggap sekadar hiasan puitis. Sebenarnya, fungsi kognitif itu lebih tepat melalui penggunaan metafora.44
43 44
Ibid., h. 281-282 Ibid., h. 310-311
77
8. Pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas tentang Pendidikan Islam dan Relevansinya pada Era Sekarang Terhadap tantangan-tantangan yang sedang dihadapi dunia pendidikan Islam dewasa ini, ternyata konsep pendidikan yang digagas Al-Attas adalah berusaha untuk menjawabnya. Al-Attas muncul pada era yang telah mengalami kemajuan zaman modern (canggih) yang nota bene seluruh aspek kehidupan telah berhubungan dan tersentuh oleh teknologi dan sains. Melalui pandangan filosofisnya, Al-Attas telah berhasil mendiagnosa penyebab kemunduran umat Islam di zaman ini. Perspektif yang menyatakan bahwa hancurnya umat Islam bukan disebabkan karena kemunduran dibidang ekonomi, politik dan sebagainya. Namun persoalan yang lebih fundamental adalah kehancuran pada tingkatan metafisis, dimana umat Islam telah mengalami yang namanya corruption of knowledge (korupsi ilmu pengetahuan), keadaan inilah yang menyebabkan umat Islam kehilangan sebuah pijakan pada tradisi keilmuan yang gemilang tersimpan. Sehingga nilai adab dalam diri umat Islam dan jatuh pada kemerosotan yang sangat dalam. Perlu kembali ditegaskan, bahwa tujuan mencari ilmu pengetahuan pada puncaknya adalah untuk menjadi manusia-manusia yang baik, dan bukan menjadi seorang warganegara yang baik, karena itu pendidikan mencerminkan manusia bukan negara. Menurut Islam, manusia seperti itu (Insan al-Kamil) itu telah ternyatakan pada diri Nabi Muhammad SAW. Rumusan tujuan pendidikan Islam dewasa ini yang merupakan hasil tiruan dari Barat, ternyata tidak mampu menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi pendidikan Islam. Menurut Al-Attas cara seperti itu tidak akan pernah berhasil mengingat tidak adanya model yang sempurna dan lengkap dari keteraturan yang yang lebih tinggi untuk dijadikan kriteria bagi perumusan ruang lingkup dan kandungannya, dan pada pendidikan sekuler gambaran mengenai manusia yang utuh memang tidak dimilikinya. Karena tujuan tertinggi pendidikan Islam adalah
78
pembentukan manusia yang baik (insan kamil), maka puncak perwujudan dan kesempurnaan dalam pendidikan Islam adalah universitas, maka Al-Attas merumuskan skema antara manusia, pengetahuan, dan universitas sebagaimana dibawa ini: Upaya yang dilakukan Al-Attas ini merupakan kelanjutan dari upaya yang telah dilakukan Al-Ghazali dalam konsep “Ihya Ulum Ad-Din” yang memulihkan kembali nilai adab, dan Al-Attas ini mengemukakannya kembali konsep tersebut pada zaman yang sudah modern ini. Zaman yang telah penuh dengan kontaminasi unsur sekuler dari Barat, dan upaya yang dilakukan pun tidak lain adalah upaya penanaman nilai-nilai Islam dengan ta‟dib. Indikasi sederhananya berusaha bertindak dan bertingkah laku secara Islami. Oleh karena itu, wajar kalau pendidikan juga dapat diartikan sebagai upaya bimbingan atau tuntutan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian utama.45
45
Zulkarnain Ar, Pendidikan Islam Menurut Syekh Muhammad Naquib Al-Attas, dalam http://andeskopraya.blogspot.com, 13 Februari 2014
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka peneliti dapat menemukan beberapa kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah. Adapun hasil kesimpulan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Menurut pandangan Syed Muhammad Naquib Al-Attas, pendidikan Islam adalah proses penanaman ilmu ke dalam diri manusia. Tujuan mencari pengetahuan dalam Islam ialah menanamkan kebaikan dalam diri manusia sebagai manusia dan sebagai diri individual. Tujuan akhir pendidikan Islam ialah menghasilkan manusia yang baik dan bukan, seperti dalam peradaban Barat, warganegara yang baik. “Baik” dalam konsep manusia yang baik berarti tepat sebagai manusia adab dalam pengertian yang dijelaskan di sini, yakni meliputi kehidupan material dan spiritual manusia. Karena dalam Islam, tujuan mencari pengetahuan pada puncaknya adalah untuk menjadi seorang manusia yang baik. 2. Relevansi pendidikan Islam pada era sekarang bagi Syed Muhammad Naquib Al-Attas adalah perwujudan paling tinggi dan paling sempurna dari sistem pendidikan adalah universitas. Dan mengingat bahwa universitas merupakan
79
80
sistematisasi pengetahuan yang paling tinggi dan yang sempurna – yang dirancang untuk mencerminkan yang universal – maka ia mestilah juga merupakan pencerminan dari bukan sekedar manusia apa saja, melainkan Manusia Universal atau Sempurna (al-insanul kamil :
)االنسان الكامل.
Maka
dari itu, pendidikan Islam membutuhkan adanya tempat/lembaga pendidikan yang mampu membina manusia sempurna. B. Saran Dari pembahasan yang telah dikaji, maka peneliti dapat memberikan saransaran kepada para pembaca baik sebagai pemimpin pendidikan atau pendidik. Adapun saran-saran tersebut sebagai berikut : 1. Dalam dunia pendidikan, terdapat banyak tokoh yang menuangkan pemikirannya tentang pendidikan Islam. Sehingga banyak pandangan yang didapat, namun sebagai pendidik perlu memilih pendidikan Islam yang pantas dirumuskan di dalam suatu instansi atau lembaga. Agar pendidikan yang ada di Indonesia mampu menanamkan adab dan pengajaran yang baik sehingga mencapai tujuan akhir pendidikan Islam yaitu perwujudan ketundukkan yang sempurna kepada Allah SWT. 2. Dalam dunia pendidikan, banyak sekali pengaruh dari luar (Barat) yang bersifat negatif. Sehingga pendidik harus selektif dalam memfilter pengaruh yang ditimbulkan dari luar (Barat). Karena pendidikan Barat seringkali membawa dampak negatif dalam pendidikan Islam. Namun, tidak semua pendidikan Barat memberikan dampak negatif ke dalam pendidikan Islam, ada dampak positif yang bisa diambil dari pendidikan Barat untuk kemajuan pendidikan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Konsep Pendidikan dalam Islam. Terj. dari The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education oleh Haidar Bagir. Bandung: Mizan. 1996. Cet.ke-7. Al-Baghdadi, Abdur Rahman. Sistem Pendidikan Islam di Masa Khilafah Islam. Surabaya: Al-Izzah. 1996. Cet. ke-1. Al-Rasyidin., dan Nizar, Samsul. Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis: Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT Ciputat Press. 2005. Arief, Armai. Reformulasi Pendidikan Islam. Jakarta: CRSD Press. 2005. Cet ke-1. -----. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press. 2002. -----.Pembaharuan Pendidikan Islam di Minangkabau. Jakarta: Suara ADI 2009. Cet. ke-1. Arifin, Muzayyin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2008. Cet. ke- 4. -----. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara. 2010. Cet ke-5. Arifin. Ilmu Pendidikan Islam : Tinjauan Teoretis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Jakarta: PT Bumi Aksara. 2003. Cet ke-1. Badudu, Js., dan Zain, Sutan Muhammad. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1994. Cet ke-1. Daud,Wan Mohd Nor Wan.Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al-Attas.Bandung: Mizan. 2003. Cet. ke-1. Dekan FITK UIN Syarif Hidayatullah. Pedoman Penulisan Skripsi FITK UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta: tp. 2013. Direktorat Jenderal Pendidikan Islam. Undang-undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan. Jakarta: Departemen Agama RI. 2006. Feisal, Jusuf Amir.Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Gema Insani Press. 1995. Cet. ke- 1.
81
82
Gholib,Achmad.Teologi dalam Perspektif Islam. Jakarta: UIN Jakarta Press. 2004. Cet. ke-1. Hambaly,Hasan Muarif. et.al., Suplemen Ensiklopedi Islam Jilid 2. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve. 1996. Cet. ke-1. Hasbullah. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2005. Jalaludin. Teologi Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2002. Cet. ke-2. Mahfud, Rois. Al-Islam : Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Erlangga. 2011. Mujib, Abdul., dan Mudzakkir, Jusuf. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana. 2008. Cet. ke-2. Narbuko, Chalid., dan Abu Achmadi. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara. 2009. Nata, Abuddin. Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: UIN Jakarta Press 2005. -----. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997. Cet ke-1. Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam : Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis. Jakarta: Ciputat Press. 2002. Cet ke-1. -----. Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2001. Cet ke-1. Online, Inpas. Islamisasi Ilmu Pengetahuan Tinjauan Atas Pemikiran Syed M. Naquib
Al-Attas
dan
Ismail
Raji’
Al-Faruqi.dalam
http://www.Inpasonline.com. diakses pada tanggal 16 Oktober 2013. Purwanto, M. Ngalim Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. t.t. Ramayulis., dan Nizar, Samsul. Ensiklopedia Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: PT Ciputat Press. 2005. Ridjaluddin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Pusat Kajian Islam FAI UHAMKA. 2009. Saidan.Perbandingan Pemikiran Pendidikan Islam Antara Hasan Al-Banna dan Mohammad Natsir. Jakarta: Kementerian Agama RI. 2011.
83
Shofan, Moh. Pendidikan Berparadigma Profetik : Upaya Konstruktif Membongkar Dikotomi Sistem Pendidikan Islam. Jawa Timur: UMG Press. 2004. Cet ke-1. Sholeh, A. Khudhori.Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. t.t. Cet. ke-1. Sholeh,Asrorun Niam.Reorientasi Pendidikan Islam : Mengurai Relevansi Konsep Al-Ghazali dalam Konteks Kekinian. Jakarta: ELSAS Jakarta. 2008. Cet. ke-6. Soebahar, Abdul Halim. Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru sampai UU Sisdiknas. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2013. Cet ke-1. Sudijono, Anas. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2008. Sukmadinata, Nana Syaodih. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2007. Cet ke-3. Susanto, A. Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: AMZAH. 2009. Cet ke-1. Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2007. Cet. ke-7. Yasin, A. Fatah.Dimensi-dimensi Pendidikan Islam. Malang: UIN Malang Press 2008. Cet ke-1 Zuhairini Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2009. Cet ke-5. -----. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2004. Cet ke-3. Zulkarnain Ar, Pendidikan Islam Menurut Syekh Muhammad Naquib Al-Attas, dalam http://andeskopraya.blogspot.com, 13 Februari 2014.