BAB IV ANALISIS TERHADAP KONSEP PROF. DR. SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG KEBEBASAN MANUSIA DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN ISLAM
A. Analisis Konsep Kebebasan Manusia menurut Naquib Al Attas dalam pendidikan Islam 1. Tipologi Pemikiran Naquib Al Attas Dalam perkembangan peta pemikiran (filsafat) pendidikan, menurut Muhaimin secara umum dapat dipetakan menjadi dua kelompok besar yaitu pertama kelompok tradisional yang meliputi Perenialisme dan Essentialisme. dan
kedua, kelompok kontemporer yang meliputi
kelompok Progressivisme, Reconstructionisme, Existentialisme.1 Dalam lapangan pendidikan, masing-masing kelompok tersebut mempunyai berbagai kemungkinan sikap dan pendirian para pendidik, seperti: sikap konservatif, yakni akan mempertahankan nilai-nilai budaya manusia, sebagai perwujudan dari Essentialism; sikap regresif
yakni
kembali pada jiwa yang mengusai abad pertengahan, yaitu agama, sebagi perwujudan dari perenialism; sikap bebas dan modifikatif sebagai perwujudan dari progressivism; sikap radikal rekonstruktif sebagai perwujudan dari reconstructionism, dan sikap yang menekankan keterlibatan peserta didik dalam kehidupan empirik untuk mencari pilihan dan menemukan jati Dirinya, atau menurut Brubaceher, … in the end the learner’s identity is found is his commitments. What he chooses, that he becomes adalah perwujudan dari Existentialism2. 1
. DR. Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Yogyakarta ; Bekerjasama Pustaka Pelajar dengan Pusat Studi Agama, Politik dan Masyarakat Surabaya), 2003, hlm. 40 2 Sikap sikap pendidikan ini, di jabarkan oleh Muhaimin sebagai berikut : (1) Perenialism menghendaki agar pendidikan kembali kepada jiwa yang menguasai abad pertengahan, karena ia telah merupakan jiwa yang menuntut manusia hingga dapat dimengerti adanya tata kehidupan yang telah ditentukan secara rasional; (2) Essentialism menghendaki pendidikan yang bersendikan atas nilai-nilai yang tinggi, yang hakiki kedudukannya dalam kebudayaan, dan nilai-nilai ini hendaklah yang sampai kepada manusia melalui sivilisasi dan yang telah teruji oleh waktu. Tugas pendidikan adalah sebagai perantara atau Pembawa nilai-nilai yang ada dalam gudang diluar ke
66
Lebih lanjut Muhaimin memetakan pandangan masing-masing kelompok pemikiran (filsafat) pendidikan sebagai berikut3
TIPOLOGI PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
PARAMETER
1
2
CIRI-CIRI PEMIKIRANNYA
FUNGSI PENDIDIKAN ISLAM
3
5
Perenialism – - bersumber dari Esensialisme salafi alqur’an dan assunah - regresif ke masa salaf - Konservatif mempertahankan nilai-nilai era salafi) - Wawasan kependidikan islam yang berorientasi masa silam
• Menjawab persoalan pendidikan Islam dalam Konteks Salafi • Memahami nash dengan kembali ke salafi secara tekstual • Pemahaman ayat dengan ayat lain , ayat dengan hadits dan kurangn adanya pengembangan dan elaborasi
• bersumber dari alqur’an dan assunah • regresif ke masa pasca salaf/klasik • Konservatif (mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai dan pemikiran para pendahulunya secara turun temurun) • Mengikuti aliran,pemahaman dan pemikiran
• Menekankan pada pemberian syarh dan hasyiah terhadap pemikiran pendahulunya • Kurang ada keberanian mengkritisi atau mengubah substansi materi pemikiran para pendahulunya.
- Melestarikan dan mempertahankan nilai dan budaya masyarakat salaf, karena dipandang sebagai masyarakat ideal. - Pengembangan potensi dan interaksinya dengan nilai dan budaya masyarakat era salaf. - Melestarikan dan mempertahankan nilai dan budaya serta tradisi dari satu generasi kegenerasi berikutnya - Pengembangan potensi dan interaksinya dengan nilai dan budaya masyarakat terdahulu
PerenialEsensialism madzhabi
dalam jiwa peserta didik, sehingga ia perlu dilatih agar mempunyai kemampuan absorbsi (penyerapan) yang tinggi; (3) Progressivism menghendaki pendidikan yang pada hakikatnya progresif, tujuan pendidikan hendaknnya diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang terusmenerus, agar peserta didik dapat berbuat sesuatu yang inteligen dan mampu mengadakan penyesuaian dan penyesuaian kembali sesuai dengan tuntutan dari lingkungan; (4) Reconstructionism menghendaki agar peserta didik dapat dibangkitkan kemampuannya untuk secara konstruktif menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan dan perkembangan masyarakat sebagai akibat adanya pengaruh dari ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga peserta didik tetap berada dalam suasana aman dan bebas, dan (5) Existentialism menghendaki agar pendidikan selalu melibatkan peserta didik dalam mencari pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhannya masingmasing dan menentukan jati dirinya, karena masing-masing individu adalah makhluk yang unik dan bertanggung jawab atas diri nasibnya sendiri. Lihat Ibid, hlm.40 3 Ibid, hlm 65-67
67
terdahulu yang dianggap mapan • Wawasan kependidikan Islam yang tradisional dan berorientasi masa silam
Modernis
Perenial –Esensialis Kontekstual Falsifikatif
- Bersumber dari Al qur’an dan alSunnah - Bebas modifikatif tapi terikat nilai nilai kebenaran universal (Allah) - Progresif dan dinamis dalam menghadapi dan merespon tuntutan dan kebutuhan lingkungannya - Wawasan kependidikan Islam Kontemporer
• Tidak berkepentingan untuk mempertahankan dan melestarikan pemikiran dan sistem pendidikan para pendahulunya • Lapang dada dalam menerima dan mendengarkan pemikiran pendidikan dari manapun dan siapapun untuk kemajuan pendidikan Islam • Sesalu menyesuaikan dan melakukan penyesuaian kembali pendidikan Islam dengan tuntutan prubahan sosial dan perkembangan iptek
- Pengembangan potensi individu secara optimal - Interaksi potensi dengan tuntutan dan kebutuhan lingkungannya - Rekonstruksi pengalaman yang terus menerus agar dapat berbuat sesuatu yang intelegen danmampu melakukan penyesuaian kembali dengan tuntutan dan kebutuhan lingkungannya
• Bersumber dari alqur’an dan assunah • regresif dan konservatif dengan melakukan kontekstualisasi dan uji falsifikasi • Rekronstruktif yang kurang radikal • Wawasan kependidikan Islam yang konsrn terhadap kesinambungan pemikiran pendidikn Islam dalam merespon tuntutan dan perkembangan
• Menghargai Pemikiran Pendidikan Islam yang berkembang pada era salaf, klasik dan pertengahan • Mendudukan pemikiran Pendidikan Islam era salaf dan klasik serta pertengahan dalam konteks ruang dan zamannya untuk difalsifikasi • Rekonstruksi Pemikiran Pendidikan Islam terdahulu yang dianggap kurang relevan dengan tuntutan dan kebutuhan
- Pengembangan potensial - Interaksi potensi dengan tuntutan dan kebutuhan lingkungannya - Melestarikn nilainilai ilahiyah dan insaniyah sekaligus menumbuhkembang kannya dalam konteks perkembangan iptek dan perubahan sosial yang ada.
68
Rekonstruksi Sosial
-
-
-
iptek dan perubahan sosial Bersumber dari Al qur’an dan alSunnah Progresif dan dinamis Rekonstruksi sosial berkelanjutan yang dibangun dari bottom up, grass root, dan pluralisme Wawasan kependidikan Islam yang pro aktif dan antisipatif dalam mengahdapi percepatan perkembangan iptek, tuntutan perubahan yang tak terduga dan eksponensial atau berorientasi ke masa depan.
kontemporer • Tidak menampilkan konstruk tertentu yang closed-ended, tapi konstruk yang terus dikembangkan bolak-balik antara empiri dan konsep teori • Rekonstruksi sosial di kembangkan post paradigmatik atau paradigmanya terus dikembangkan • Komitmen terhadap kreatifitas yang berkelanjutan • Dalam menghadapi keragaman budaya , moral hidup ditampilkan dalam a fair justice dan mampu membuat overlapping concencus tata nilai
- Menumbuyhkan kreativitas peserta didik secara berkelanjutan - Memperkaya khazanah budaya manusia, memperkaya isi nilai-nilai insani dan ilahi - Menyiapkan tenaga kerja produktif serta mengantisipasi masa depan atau memberi corak struktur kerja masa depan - Ketiga fungsi tersebut intinya untuk mengembangkan manusia agar kreatif untuk selanjutnya mampu bertanggungjawab terhadap pengembangan masyarakat
Dalam pemikiran (filsafat) pendidikan Islam, Hasan Langgulung (1980) menyatakan bahwa “ sumber-sumber pemikiran pendidikan Islam adalah kitab Allah (Al Qur’an), sunnah, kata sahabat, kemaslahan sosial, nilai-nilai dan kebiasaan sosial, serta pemikir-pemikir Islam”. Pendapat Langulung ini ada kesamaan dengan al Syaibani dalam bukunya Falsafah at Tarbiyah al Islamiyyah. Pendapat Al Syaibany dan Langgulung menunjukkan bahwa pemikiran (filsafat) pendidikan Islam tidak sekedar regresif dan konservatif terhadap pemikiran para pendahulunya, tetapi juga berusaha melakukan kontekstualisasi dan verifikasi atau falsifikasi sesuai dengan tuntutan lingkungan dan kebutuhan zamnnya, karena kembali kepada Islam berarti kembali kepada sumber-sumber atau prinsip-prinsip umumnya yang hidup, dinamis dan fleksibel. Selain itu diperlukan kajian
69
kritis terhadap pemikiran-pemikiran dari non muslim untuk tidak terjebak ke dalam filsafat pendidikan yang tidak Islami. Mengkelompokkan peta pemikiran Islam sampai hari ini banyak penulis masih kesulitan untuk membuat tipologi pemikiran seseorang. Karena bagaimanpun juga pemikiran seseorang sangat dipengaruhi proses dialektika diluar dirinya. Berdasarkan dari peta pemikiran (filsafat) pendidikan Islam tersebut diatas, Naquib Al Attas tergolong sebagai kelompok pemikir Perenial –Esensialis Kontekstual Falsifikatif. Hal ini dapat dilihat dari parameter, ciri pemikirannya dan fungsi Pendidikan Islam sesuai dengan konsep yang dia bangun selama ini. Misalnya dalam tujuan pendidikan, Al Attas lebih berorientasi kepada Individu bukan masyarakat atau negara. Tetapi tetap menghargai tradisi keilmuan klasik. Namun, menurut Drs A. Khudori Soleh, M.A dalam pengantar (editor) buku Pemikiran Islam Kontemporer mengategorikan pemikiran Naquib Al Attas dalam kelompok tipologi pemikir tradisionalistik (salaf). Kelompok pemikir ini berusaha untuk berpegang teguh
pada tradisi-
tradisi yang telah mapan. Namun kelompok ini tidak menolak pencapaian modernitas, karena apa yang dihasilkan modernitas , sains, dan teknologi, bagi mereka tidak lebih dari apa yang telah di capai umat Islam pada masa kejayaan dahulu. Mereka mau “mengadopsi” peradaban luar, tapi dengan syarat semua itu harus di islamkan lebih dahulu.4 Sedangkan menurut Happy Susanto mengutip pendapat Ziaudin Sardar bahwa ada tiga tipologi Pemikiran Islam dalam memandang sains modern. Pertama, kelompok muslim apologetik ; kelompok ini menganggap sains modern bersifat netral dan universal. Mereka berusaha melegitimasi hasil-hasil penemuan sains modern. Kelompok ini di wakili oleh Fazlurrahman (pemikir neo modernis). Kedua, kelompok yang mengakui sains barat, tetapi mereka berusaha mempelajari sejarah dan 4
Drs. A. Khudori Soleh (editor), Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta ; Jendela), 2003, hlm. xvi
70
filsafat ilmuan agar dapat menyaring elemen-elemen yang “tidak islami”. Dan tipologi pemikiran Islam yang ketiga adalah kelompok yang percaya dengan adanya sains Islam dan berusaha membangun islamisasi di seluruh elemen sains. Kelompok ini diantaranya adalah Ismail R. Al-Faruqi.5 Al Attas dalam kelompok ini di tipologikan oleh Sardar sebagai pemikir yang menganut pandangan kelompok kedua, yaitu Kelompok yang mengakui sains barat. karena menurut Al Attas melakukan “desekularisasi” ilmu yang dilandasi dengan epistemologi Islam adalah strategi untuk melakukan Islamisasi ilmu.6 Berbeda dengan Syafi’i Ma’arif yang dikutip Mahfudz Junaidi bahwa dalam dalam peta pemikiran Islam, Syafi’i mengkategorikan Al Attas
dalam
kelompok
pemikir
Islam
Neo-Tradisionalis
karena
kecenderungan corak pemikirannya dengan tasawuf yang kental bercampur dengan filsafat. Sehingga corak pemikirannya lebih di landasi akal spiritual transendental.7 2. Realitas Pendidikan Islam di dunia Islam. Selama pemerintahan orde baru, pendidikan telah keluar dari “fitrahnya” dimana pendidikan seharusnya menjadi alat pemberdayaan manusia didik, tetapi realitasnya pendidikan hanya menjadi alat propaganda ideologi dan kepentingan negara8. Sehingga pendidikan tidak mampu melakukan humanisasi. Namun dalam rangka meletakkan dasar pendidikan Islam sebagai proses humanisasi, pun mengalami kegagalan. Hal ini dapat di indikasikan dari Pendidikan Islam yang di dasarkan atas konsep-konsep Pendidikan klasik—yang masih menjadikan pendidikan sebagai proses alih pelestarian nilai-nilai lama tanpa disertai nilai yang muatan liberation force sebagai counter terhadap perubahan yang setiap saat terjadi. Namun yang lebih mendasari dari problem 5
Happy Susanto, ada apa dengan Islamisasi Ilmu, www.geocities.com/iiitindonesia Ibid 7 Jurnal Pendidikan Islam, Diskursus Pemikiran Islam Memasuki Abad XXI (sebuah potret Pemikiran), Fakultas Tarbiyah, Volume 10, Nomor 2, Oktober 2001. hlm 257 8 A. Atmadi, Y Setyaningsih (editor), Transformasi Pendidikan Memasuki Milenium Ketiga,(Yogyakarta ; Kanisius bekerjasama dengan Univesrsitas Sanata Dharma), 2000,hlm 18-19 6
71
pendidikan kita adalah bangunan pengertian dan pemahaman pendidikan yang tidak didasari oleh wacana kemanusiaan yang utuh. Pemahaman yang kaku dan setengah-setengah terhadap konsep manusia—dimana manusia adalah mahluk yang dinamis. Karena pemahaman tentang dimensi manusia yang parsial akan melahirkan konsep dan praktek pendidikan yang kurang proporsional9 Dalam perspektif epistemologi, kenyataan di dunia Islam terjadi polarisasi pemikiran atau dikotomik pemikiran tidak muncul tiba-tiba. Epistemologi keilmuan barat, yang lebih bercorak positivistik, yang dilandasi rasionalisme, emperisme, objektivisme, dan eksperimentalisme,10 dalam praktek pendidikannya hanya akan berorientasi antroposentrisme. Sehingga para ilmuwan barat dalam memandang kebebasan manusia adalah manusia mempunyai kebebasan yang mutlak---demikian juga sebagaimana pendapat Sartre, salah satu tokoh eksistensialisme11. Bahwa manusia
yang
merencanakan
masa
depannya
dan
dia
yang
bertanggungjawab atas rencana itu tanpa ada yang mengintervensinya. Bahkan Tuhan, menurutnya Tuhan hanya akan merugikan hidup dan kebebasan manusia. Bagi Al Attas, pandangan barat yang positivistik inilah yang sebenarnya meletakkan kebebasan manusia dalam sudut pandang yang sempit. Dan pola pikir seperti inilah yang telah mereduksi Ilmu Pengetahuan Islam. Dalam struktur bangunan ilmu kita juga mengenal pendekatan
suprarasionalism,
experiental-intuitif
juga
metaempirisme,
dalam
epistemologi
subjektivisme
dan
12
Islam ---mengutip
9
A. Waidl, Pendidikan yang memahami manusia, dalam A. Atmadi, Y Setyaningsih (editor), Tranformasi Pendidikan memasuki milinium ketiga.(Yogyakarta : bekerjasama Kanisius dan Universitas Sanata Dharma), 2000, hlm 21-22 10 Agus Purwadi, Teologi Filsafat Sains ; Pergumulan dalam peradaban mencari Paradigma Islam untuk ilmu dan Pendidikan, (Yogyakarta ; UUM Pres), 2002, hlm.129 11 Muzairi, MA, Jean Paul Sartre ; Sumur tanpa kebebasan Manusia, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar), 2002, hlm. 151 12 Menurut sardar sebagaimana dikutip Happy Susanto ciri utama epistemologi Islam adalah 1). Didasarkan atas suatu pedoman mutlak, 2). Epistemolgi Islam bersifat aktif tidak pasif, 3). Memandang objektif sebagi masalah umum, 4). Sebagian besar bersifat deduktif, 5). Memadukan Pengetahuan dengan nilai-nilai Islam, 6). Memandang Pengatahun bersifat Inklusif,
72
penjelasan Abid Al Jabiri sebagaimana dikutip Happy Susanto, ada trilogi sumber pengetahuan Islam yaitu burhani, bayani dan irfani.13 Problem filosofis diatas, berimplikasi terhadap pemahaman yang dikotomik antara pendidikan Islam dan barat. Atau sistem barat dan Islam. Ahmad
Syafi’i
Ma’arif
menjelaskan
bahwa
persoalan
tersebut
mengindikasikan masih lemahnya dasar filosofis Pendidikan Islam. Dualisme ini juga terlihat jelas di system pendidikan Negara-negara Islam ; sistem pesantren dengan segala variasinya dalam mengkatkan dan pembentukan wawasan intelektual keislaman
ummat dan sistem
pendidikan sekuler dengan segala dampak dan akibatnya dalam persepsi keagamaan kita.14 Al Attas
berpendapat bahwa kemunduran umat Islam itu
disebabkan oleh lemahnya dan rusaknya ilmu pengetahuan (Corruption Knowledge), sehingga tidak bisa membedakan antara kebenaran dan kepalsuan. Bagi Al Attas, dominasi barat telah membuat deislamisasi, maka harus ada dekonstruksi ilmu pengetahuan barat dan di rekonstruksi dalam pengetahuan Islam.15 Sedangkan menurut Islmail Raji al-Faruqi yang dikutip Abdurahman Mas’ud bahwa ada empat faktor yang menyebabkan kelesuan intelektualisme Islam yaitu proses penyempitan makna fikih serta status fakihyang jauh berbeda dengan pendiri madzhab, pertentangan antara wahyu dan akal, keterpisahan antara kata dan perbuatan serta sekularisme dalam memandang budaya dan agama16. Menurut Abdurrahman Mas’ud, dikotomi dalam Pendidikan Islam hanyalah produk penjajah atau pengaruh sekularisme dunia pendidikan 7). Menyusun pengalaman subyektif, 8). Perpaduan konsep tingkat kesadaran dengan tingkat pengalaman subyektif, 9). Tidak bertentangan dengan pandangan holistic. Lihat Happy Susanto,Op.Cit., www.geocities.com/iiitindonesia 13 Ibid, www.geocities.com/iiitindonesia 14 . A. Syafi’I Ma’arif, Pendidikan Islam Sebagai paradigma Pembebasan, dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan islam di Indonesia antara Cita dan Fakta,(Yogyakarta ; Tiara Wacana), 1991, hlm. 18 15 Nitha Yusofa, Islamisasi Ilmu sebagai upaya pembebasan. Media Indonesia, 31 – 08 – 2003. 16 Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik ; Humanisme Relegius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta ; Gama Media), 2002, hlm.5
73
barat adalah asumsi yang agak cukup terlambat dan ahistoris17. Baginya pandangan dan pola pikir yang dikotomik akan membuat umat Islam tidak akan berkembang. Epistemologi barat jelas sangat kontra produktif dengan fungsi dasar manusia yaitu sebagai Khalifatullah tapi juga sebagai Abdullah. Ilmu pengetahuan
Islam
secara
epistemologis
selain
berorientasi
antroposentrisme tapi juga harus bersifat Transenden.. Menurut Musahadi, Studi keislaman di Indonesia termasuk juga Perguruan Tinggi Agama Islam dan institusi Pendidikan mengalami problem epistemologis yang serius, menurutnya studi keislaman kita lebih kental dengan pendekatan rasionalisme spekulatif yang berwatak deduktif.. tapi tidak pernah menggunakan empirisme praktis yang berwatak induktif.18
Sehingga kemudian pendidikan Islam atau studi
keislaman tidak pernah relevan dengan dinamika masyarakat.—yang bisa berakibat dehumanisasi. Apalagi dalam era globalisasi, pendidikan juga menjadi bagian menjadi sasaran komoditisasi, hal ini menurut Francis Wahono sebagai upaya dehumanisasi. Bagi francis pendidikan yang seharusnya berupaya membangun eksistensi manusia sebagai upaya memanusiakan manusia harus diganti dengan
sistem kapitalistik yang berwatak eksploitatif.
Menurutnya Pendidikan harus dikembalikan pada visi dan misinya sejak awal
yaitu
membangun
nilai-nilai
kemanusiaan
dan
semangat
kerakyatan.19 3. Implikasi Kebebasan Manusia dalam Pendidikan Islam Manusia dan Pendidikan tidak bisa berdiri sendiri, artinya keduanya saling terkait karena subyek dan obyek pendidikan adalah manusia. Menurut A. Waidl, untuk mewujudkan Pendidikan Islam yang
17
Ibid, hlm.7 Musahadi MA, Pemikiran Ulang Perguruan Tinggi Agama, WWW.suaramerdeka.com/harian/0307/11/kha1.htm 19 . Francis Wahono, Kapitalisme Pendidikan ; antara kompetisi dan keadilan, (Yogyakarta ; Kerjasama Insist press, Cindelaras, dan Pustaka pelajar), Cet. II, 2001, hlm. 3 18
74
komprehensif maka harus diimbangi oleh pemahaman manusia yang harus utuh.20 Manusia
merupakan
mahluk
yang
bebas,
yakni
adanya
kemampuan manusia untuk mengambil sikap terhadap berbagai macam pengaruh dan penetuan yang ada, termasuk kenyataan masa lampaunya.21 Kebebasan merupakan syarat mutlak untuk pengembangan potensi fitrah manusia serta kemampuannya untuk berinteraksi dengan lingkungan. Sebagaimana dikutip Chabib Thoha, Iqbal dalam sebuah sajaknya tentang kebebasan menggambarkan bahwa kehidupan seperti aliran air, dan pendidikan adalah proses mengalirkan debit air yang bersumber dari kesadaran individualisme manusia sendiri.22 Dalam tradisi pemikiran Islam, kebebasan manusia sudah lama jadi perdebatan di berbagai aliran teolgi Islam. Dari mulai konsepnya Jabariyah, Qadariyah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah23 dan masih banyak lagi. Perbedaan dalam konsep Kebebasan Manusia oleh masingmasing aliran jelas berimplikasi berbeda khususnya apabila diterapkan dalam konsep dan praktek Pendidikan Islam. Sedangkan konsep kebebasan manusia Al Attas dilandasi oleh konsep metafisika yang cukup kuat. Menurutnya pencarian manusia akan kehidupan beragama yang benar hanya akan dapat ditemukan dengan cara 20
A. Atmadi, Y Setyaningsih (editor), Op.Cit, hlm 18-19 Alex lanur , Dampak Konsep “manusia” filsafat manusia yang bersifat personalistik pada Pendidikan, dalam Sindhunata (editor) , Menggagas Paradigma Baru Pendidikan ; Demokratisasi, otonomi, Civil Socviety, Globalisasi, (Jogyakarta ; Kanisius), 2000. hlm. 190 22 Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta ; Pustaka pelajar), 1996, hlm.34 23 Jabariyah memandang kebebasan manusia adalah tidak hakiki karena yang hakiki adalah perbuatan Tuhan. Qadariyah berpendapat semua perbuatan manusia itu adalah hakiki bukan kiasan. Manusia mempunyai kebebasan untuk berbuat. Dalam perkembangannya kemudian muncul golongan seperti Mu’tazilah yang lebih dekat dengan paham qadariyah, manusia berbuat baik atau buruk , patuh atau tidak patuh pada Tuhan itu manusia sendiri yang menciptakannya. Perbuatan manusia tidak sama dengan perbuatan Tuhan, karena manusia adalah mahluk yang bebas memilih. Berbeda dengan Mu’tazilah, kalau Asy’ariyah berpendapat Perbuatan manusia pada hakekatnya adalah perbuatan Tuhan, namun manusia memiliki kemampuan yang disebut kasb, berbeda dengan Konsep Maturidiyah, golongan ini berpendapat bahwa kebebasan yang dimiliki manusia adalah kebebasan dalam memilih antara apa yang disukai dan apa yang tidak disukai Tuhan..Lihat Drs. Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama 1, (Jakarta ; Logos Wacana Ilmu), 1997, hlm 206-210 21
75
kembali kepada fitrah yang asal, karena baginya keinginan dan pengetahuan mengenai penyerahan diri kepada Tuhanlah yang sebenarnya disebut dengan kebebasan manusia sejati. Baginya kebebasan manusia sejati hanya bisa dicapai ketika manusia telah memperoleh illuminasi spiritual atau gnosis (ma’rifah), yaitu ketika ia berhasil mengesampingkan hawa nafsunya untuk memperoleh jati diri yang lebih tinggi. Bahkan pada tahap ini pun, ia masih terikat dengan kewajiban untuk menghambakan diri
kepada
Tuhan
(‘Ubudiyah).24
Artinya
mengutamakan Allah di atas segalanya
orang
yang
dapat
dialah orang yang sungguh-
sungguh merdeka atau mencapai kebebasan. Ia dapat melepaskan dirinya dari segala sesuatu yang menghalanginya untuk mencapai kesempurnaan eksistensinya sebagai manusia. Kebebasan Manusia dalam Pendidikan Islam dapat dilihat dari konsep Tujuan Pendidikan Islam Al Attas, yaitu membentuk manusia yang “baik”. Dengan tujuan akhir pendidikan adalah mengidealkan manusia yang sempurna (insan al kamil25). Dimana juga tesirat kesempurnaan eksistensi manusia. Adapun elemen penting untuk mencapai kesempurnaan eksistensi adalah kebebasan. Implikasinya dalam pendidikan adalah bahwa Pendidikan tidak hanya menyangkut pengalihan pengetahuan
dan
latihan
ketrampilan,
melainkan
pertama-tama
membentuk watak dan sikap hidup. Hal ini juga dapat dilihat dari pengambilan istilah Pendidikan Islam dengan kata Ta’dib (baca ; Ta’dib) oleh Al Attas. Secara komprehenshif
Al Attas menjelaskan bahwa
manusia yang beradab atau manusia sempurna yang akan diwujudkan dalam Pendidikan Islam Individu yang sadar sepenuhnya akan 24
Ibid, hlm. 102-103 yang dimaksud dengan Insan Kamil adalah manusia yang bercirikan : pertama, manusia yang seimbang, memiliki keterpaduan dua dimensi kepribadian, (a) dimensi isoterik vertikal yang intinya tunduk dan patuh kepada Allah, (b) dimensi eksoterik, dialektikal, horisontal, membawa misi keselamatan bagi lingkungan sosial alamnya. Kedua, manusia yang seimbang dalam kualitas fikir, zikir dan amalnya. Lihat Ismail SM, Paradigma Pendidikan Islam Prof. DR. Syed Muhammad Naquib Al-Attas, dalam Ruswan Thoyyib dan Darmu’in, (Ed.), Pemikiran Pendidikan Islam : Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta ; Pustaka Pelajar), 1999, hlm.292. 25
76
individualitasnya dan hubungannya yang tepat dengan diri, Tuhan, masyarakat dan alam yang tampak maupun yang gaib26. Untuk mencapai tujuan pendidikan Islam, dan berangkat dari dimensi manusia yang bersifat dualistis,
maka dalam kurikulum dan
materi pendidikan Islamnya Al Attas mencoba mengintegrasikan antara Materi ilmu-ilmu agama ( baca ; fard a’in) dan ilmu rasional, intelek dan filosofis (baca ; fardu kifayah). Bagi Al Attas kurikulum pendidikan Islam harus menggambarkan manusia dan hakekatnya yang bersifat ganda (dual nature) yaitu aspek fisikalnya yang lebih berhubungan deengan ilmu-ilmu fisik, teknikal, atau fardu kifayah, sedangkan aspek spiritualnya berhubungan dengan ilmu inti atau fardu ain27 Al
Attas
menggunakan
metode
tauhid
di
dalam
mengiplementasikan konsepnya. Sebagaimana dikutip Wan Mohd Nor Wan Daud, Al Attas menemukan bahwa seluruh representasi tradisi Islam juga mengaplikasikan pelbagai metode dalam penyelidikan mereka. Seperti religius dan ilmiah, empiris dan rasional, deduktif dan induktif, subjektif dan objektif tanpa menjadikan salah satu lebih dominan. Sebagaimana
tradisi barat dimana terjadi dominasi sistem pemikiran
berdasarkan materialisme atau idealisme yang didukung oleh pendekatan dan posisi metodologis, seperti empirisme, rasionalisme, realisme, nominalisme,
pragmatisme,
positivisme,
logika
positivisme,
dan
kritisisme, yang bergerak maju mundur dari abad ke abad dan muncul silih berganti hingga hari ini.
28
dengan metode tauhid inilah, dalam praktek
pendidikan Islam tidak akan terjadi dikotomi antara teori dan praktek,. Artinya jika benar-benar memahami suatu teori, maka sudah semestinya mampu melaksanakannya dalam praktek, kecuali jika terhalang oleh sebab-sebab eksternal yang tidak terelakkan.29
26
. Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam Syed Naquib Al Attas,( Bandung ; Mizan), 2003, hlm. 189 27 Ibid, hlm. 274 28 Ibid, hlm. 294 29 Ibid, hlm 296
77
Operasionalisasi yang lebih jelas tentang kebebasan dapat dilihat dalam pendidikan tinggi, dimana Al Attas dalam prakteknya memberikan kebebasan akademik fakultas dan para mahasiswa diambil dari makna dasar pencapaian dan penyebarluasan adab setinggi-tingginya sesuai kemampuan. Misalnya ilmuwan di beri kebebasan untuk melakukan penelitian dengan segala objek yang disukainya.30 Kebebasan ilmuwan adalah mengajar, mengadakan penelitian dan menerbitkan penemuanpenemuan yang akan turut memberikan kontribusi untuk kepentingan agama dan kemanusiaan. Adapun mahasiswa di beri kebebasan untuk belajar dan menjadi orang yang berpengetahuan. Bagi Al Attas, Taqlid adalah sikap bagi orang yang belum cukup pengetahuan dalam bidang tertentu bukan mengikuti sesuatu dengan membabi buta.31 Adapun konsepsi dan praktek Al Attas mengenai kebebasan akademis dan toleransi berdasarkan ikhtiar dan samawah ataupun istilah muhibbah. Samawah berarti kebebasan, kedermawanan, kelembuatan sedangkan Muhibbah adalah sesuatu yang berharga dan disukai oleh seseorang.32
Menurut Ahmad Ludjito, kebebasan akademik adalah
kesediaan para mahasiswa untuk menjadikan ilmu secara objektif sebagai landasan keputusannya baik ilmu naqliyah maupun ilmu aqliyah. Lujdito mencontohkan kesediaan mahasiswa masuk IAIN, dimana disana tidak madzhab atau sekte islam tertentu yang dijadikan pola dasar orientasinya. Hal ini menurutnya adalah merupakan modal dasar untuk membebaskan diri dari ikatan primordial yang mungkin telah membelenggunya.33 Kalau di amati lebih lanjut, konsep Islamisasi Pengetahuan Al Attas juga tidak bisa dilepaskan dari pemahamanya tentang konsep manusia dan kebebasan manusia untuk mencapai insan kamil. Sehingga ketika terjadi dominasi atau hegemoni pengetahuan barat terhadap umat
30
Ibid, hlm. 237 Ibid, hlm. 238 32 Ibid, hlm. 239 33 Ahmad Ludjito, Pendidikan Islam sebagai upaya Pembebasan Manusia, Makalah pada seminar sehari Senat Mahasiswa Fak. Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 14 Oktober 1995. 31
78
Islam dam budaya hindu-budha khususnya di Melayu–Indonesia Al Attas mengkritisinya bahwa telah terjadi deislamisasi. Karena bagi Al Attas, Ilmu pengetahuan itu tidak bersifat netral atau bebas nilai. Lebih jelas, semangat pembebasan manusia atau Individu Al Attas dapat lihat dalam gagasan Islamisasi Ilmunya.dimana Islamisasi ilmu menurutnya adalah Pembebesan manusia/Individu dari tradisi magis, mitos, animis dan faham kebangsaan dan kebudayaan pra-Islam, serta dari kendali sekuler (barat) atas nalar dan bahasanya.34 . Implikasi yang sangat jelas dari konsep kebebasan manusia Al Attas yang dilandasi bangunan metafisika yang sangat kuat sehingga secara filosofis konsep pendidikan Islam Al Attas berorientasi pada antroposentrisme transendental. Artinya konsep-konsep dasar Pendidikan Islam Al Attas sebagai Implementasi dari konsep Islamisasinya mengarah kepada bangunan pendidikan yang dititik beratkan kepada manusia dan nilai spritualitas. Berbeda dengan konsep pendidikan barat yang sangat lemah dan kering akan nilai spiritualitas. Menurut Al Attas, Pendidikan Barat dilandasi oleh konsep manusia yang sekuler (the rational animal) yang tak punya ruh tanpa lingkaran tanpa titik pusat. Masing- masing fakultas dan departemen dalam sebuah universitas bergerak sendiri-sendiri sepertinya mempunyai free will-nya sendiri35. Sehingga konsep pengetahuan atau Pendidikan mereka lebih berorientasi pada antroposentrisme an sich. Dan menafikan sesuatu yang bersifat transenden Dus, pemahaman terhadap konsep dasar manusia secara holistik, yang menempatkan dirinya sebagai abdullah dan sekaligus sebagai khalifah Allah, dimana kebebasan menjadi salah satu potensi dasarnya, akan memberikan sebuah konsep pendidikan Islam yang berwawasan kemanusiaan. Upaya ini harus ditindaklanjuti dengan merekonstruksi pendidikan Islam sebagai sebuah paradigma pembebasan. yaitu pendidikan 34
Naquib Al-Attas (Ed.), Konsep Pendidikan dalam Islam ; sutau rangka –pikir pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, Op.Cit., hlm.95 35 Aminullah Elhady, Op.Cit, hlm 348
79
yang mampu menempatkan manusia/individu pada posisi sentral dalam setiap perubahan yang terjadi, serta mampu pula mengarahkan dan mengendalikan setiap perubahan itu. Sistem pendidikan yang ditawarkan harus dapat merangsang individu untuk meningkatkan daya kritis terhadap fenomena yang terjadi, kemudian merekonstruksi fenomena yang ada menjadi sebuah peradaban yang dapat dinikmati oleh manusia dan makhluk yang lain. Disinilah sesungguhnya eksistensi manusia (-kebebasan manusia) sebagai pengemban kholifah fil ardh yang mampu membawa misi rahmat lil al-‘alamin.36
B. Relevansi dan Aktualisasi konsep Al-Attas tentang kebebasan manusia dalam pendidikan Islam era sekarang. Pemikiran atau gagasan kebebasan manusia Naquib Al Attas yang dijadikan landasan filosofis konsep dan praktek pendidikan Islamnya. Adalah wacana pembaharuan pendidikan Islam di dunia Islam. Hal ini dapat dilihat dari Tujuan Pendidikan Islam yang dirumuskannya. Menurut Al Attas Tujuan Pendidikan Islam lebih berorientasi kepada pengembangan individu. Artinya yang perlu ditekankan dalam pendidikan adalah nilai manusia sebagai manusia sejati, sebagai warga negara, sebagai sesuatu yang bersifat spiritual bukan nilai manusia sebagai entitas fisik yang diukur dalam konteks pragmatis dan utilitarian berdasarkan kegunaannya bagi negara, masyarakat dan dunia37. Menurut Wan Mohd Nor Wan Daud, kemajuan luar biasa telah dicapai manusia modern dalam bidang tekhnologi, medis, ekonomi, namun ia tidak meningkatkan taraf kebebasan, pencapaian moral dan etika, keadilan dan kebahagiaan manusia.38 Tujuan pendidikan Islam harus mengembangkan seluruh potensi manusia termasuk kebebasan (sebagai hak tabi’inya) untuk membentuk manusia yang beradab. Inilah perbedaan tujuan pendidikan barat dan Islam. Dimana
tujuan
pendidikan
Islam selalu
dilandasi
nilai-nilai
moral
36
Samsul Nizar, M.A, Op.Cit, hlm. 213 Wan Mohd Nor Wan Daud, Op.Cit, hlm. 172 38 Ibid, hlm .202 37
80
tarnsendental sehingga jati diri manusia tetap utuh39. Dus, dengan demikian pendidikan merupakan proses penyadaran atau dalam bahasa Paulo Freire Pendidikan adalah proses konsientisasi40. Sedangkan penyadaran yang dimaksud dalam pendidikan Islam adalah kesadaran akan realitas aktual sekaligus kesadaran sebagai diri pribadi yang utuh. Dalam Relasi peserta didik dan guru, Al Attas memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk mecari guru yang terbaik. Artinya peserta didik tidak boleh tergesa-gesa belajar kepada sembarangan guru sebaiknya peserta didik meluangkan waktu untuk mencari siapkah guru yang terbaik dalam bidang yang ia gemari41. Demokratisasi yang dibuka lebar oleh Al Attas terhadap peserta didik untuk belajar dan memilih orang yang mengajar akan memberikan ruang kreativitas bagi peserta didik. Guru juga harus menghargai nasehat datang dari peserta didik dan harus membiarkannya berproses sesuai dengan kemampuannya. Peranan guru dan otoritas dalam pendidikan Islam harus tetap menghargai individualitas peserta didik, kebebasannya atau kreativitasnya.42 Komersialisasi Pendidikan, menurut Al Attas adalah bentuk dari pendidikan modern yang berdasarkan filsafat kehidupannya pada fondasi sekuler dan mengadopsi nilai-nilai materialistik sebagai jalan hidupnya. Makna ,nilai serta kualitas hidup individu hanya akan diukur dari kedudukannya sebgai warga negara, pekerjaannya dan keguanaannya serta kekuatan kerja dan penghasilannya dalam hubungannya dengan negara. Ketika pada usia tua hal itu hilang. Wan Mohd Nor Wan Daud, menjelaskan bahwa prinsip Islam dan aplikasinya lebih efektif membebaskan pendidikan dan lembaga pendidikan dari monopoli dan kontrol negara dan kepentingan bisnis.
39
Achmad Warid Khan, Membebaskan Pendidikan Islam, (Yogyakarta : bekerjasama Institut Tafsir Wacana dengan penerbit Wacana), 2002, hlm. 182 40 Konsientisasi atau penyadaran adalah diartikan sebagai belajar memahami kontradiksi sosial, politik, dan ekonomi, serta mengambil tindakan untuk melawan unsur-unsur yang menindas dari realitas tersebut” lihat Paulo Freire, Pendidikan sebagai praktek pembebasan (Jakarta : Gramedia,, edisi terjemahan Alois A. Nugroho), 1985, hlm. 41 41 Wan Mohd Nor Wan Daud, Op.Cit, hlm. 260 42 Ibid, hlm. 263
81
Komoditisasi pendidikan merupakan penindasan bagi seluruh potensi manusia.43 Sebagai seorang pakar sekaligus praktisi, Al Attas tidak hanya mampu membuat kerangka teoritis saja tetapi juga langsung diaplikasikannya. Hal ini dapat dilihat dari sistem pendidikan yang diterapkan di International Institute Of Islamic Though and Civilization (ISTAC). Sebagaimana konsep Paulo Freire seorang tokoh pendidikan pembebasan Amerika Latin, bahwa pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang di dasarkan atas teori dan praktek atau dalam bahasa Freire teori dan tindakan (aksi dan refleksi). Semangat pembebasan manusia (baca ; Islamisasi) merupakan bagian dari “revolusi epistemologi“ Islam. Konsep kebebasan manusia yang tidak lepas dari epistemologi dan metafisika telah memberikan warna bagi bangunan konseptual Al Attas. Ditengah arus globalisasi dan modernisasi pendidikan Islam, terlepas dari serangan dari kelompok pemikir Islam/non muslim Modernis atau postmodernis atas gagasan Islamisasi Ilmu.Gagasan Al Attas masih sangat relevan dimana proses pendidikan saat ini secara dinamis harus diberi inovasi-inovasi baru sehingga tidak ketinggalan oleh perkembangan dan memiliki arah tujuan yang jelas. Disinilah aktualisasi yang diperlukan untuk mengkonstruksi dasar filosofis pendidikan Islam yang mampu mengarahkan proses pendidikan kepada keberhasilan yang substantif. Beradasarkan realitas pendidikan Islam saat ini dan untuk menghadapi arus globalisasi. Maka Pendidikan Islam ke depan, pertama, harus mengacu kepada hakekat keberadaan (eksistensi) manusia yang selalu dimanis. Kedua, nilai-nilai Islam sebagai landasan moral transendental.44 Disamping beberapa hal diatas, menurut A. Waidl dalam pelaksanaan pendidikan ada beberapa hal yang penting, dalam mewujudkan
43 44
Ibid, hlm. 261 A. Waridl Khan, Op.Cit., hlm 210
82
pendidikan Islam yang berwawasan kemanusiaan—yang menghargai seluruh potensi manusia termasuk kebebasannya yaitu, antara lain45 : pertama, menjadikan kritik sebagai metodologi, artinya bahwa dalam perjalanan mengetahui perabot metodologi seperti logika, induksi, deduksi, analogi dan komparasi, kritik dijiwai dengan analisis kritis. Dengan analisis kritis ini memberikan kemungkinan seseorang memiliki kemampuan berfikir kritis sebagai dasar memanusiakan manusia. Kedua, Kurikulum yang integratif dan kritis, artinya kurikulum integratif meniadakan batas-batas antar mata pelajaran dan menyajikan bahan pelajaran dalam bentuk unit atau keseluruhan. Ada dua syarat dimana sebuah kurikulum terintegrasi (1) adanya keseimbangan dan kebersamaan antara sektor transendental dengan imanen (2). Integrasi antara teori dan praktek. Agar kurikulum mampu menumbhkan sikap kritis maka kurikulum harus memuat tiga materi yaitu filsafat, sejarah dan bahasa. Ketiga, relasi guru dan siswa yang transformatif. Relasi tarnsformatif adalah relasi dimana proses dialog mereka saling mengajar dan menyerap, otoritas tunggal tidak berlaku, kecuali otoritas yang berpihak kepada kebebasan dan wacana kemanusiaan. Berangkat dari situlah, sehingga pendidikan Islam mampu menghasilkan manusia yang sempurna (insan kamil), dimana manusia yang mampu
mengembangkan
semua
potensi
kemanusiaannya
dan
ber
tanggungjawab atas dirinya baik sebagai abdullah maupun khalifah Allah dimuka bumi ini. Wallahu ‘alam.
45
A. Waidl, Op.cit. hlm 23-26
83