PEMIKIRAN POLITIK LUAR NEGERI MOHAMMAD HATTA
Disusun Oleh : Asep Muharudin NIM: 204033203121
Jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2009 M / 1430 H
Pengesahan Panitia Ujian
Skripsi berjudul “PEMIKIRAN POLITIK LUAR NEGERI MOHAMMAD HATTA”, telah diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 15 April 2009. Skripsi ini telah ditetapkan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S. Sos) pada Program Studi Pemikiran Politik Islam. Jakarta, 26 April 2009 Sidang Munaqosyah Ketua Merangkap Anggota
Sekretaris Merangkap Anggota
Drs. Harun Rasyid, M.A NIP. 150 232 921
Drs. Rifqi Muchtar, M.A NIP. 150 282 120 Anggota,
Penguji I,
Penguji II,
Dr. Sirajudin Aly, M.A. NIP. 150 318684
Drs. M. Amin Nurdin, M.A NIP. 150 262 447 Pembimbing,
Drs. Agus Nugraha, M. Si NIP. 150 299 478
PEMIKIRAN POLITIK LUAR NEGERI MOHAMMAD HATTA
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
Oleh: Asep Muharudin NIM: 204033203121
Pembimbing
Drs. Agus Nugraha, M.Si. NIP :150299478
PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H/2009 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1.
Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata-1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan in telah saya cantumkan dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ciputat, 20 Februari 2009
Asep Muharudin
KATA PENGANTAR
Untaian rasa syukur senantiasa kita hadiratkan kepada Allah SWT, Tuhan yang menciptakan alam semesta ini dengan kesempurnaan dan dengan kebesaran sifat-sifatnya. Yang telah menunjukan kita kepada Inayah dan Hidayah-Nya. Sholawat dan Salam kita curahkan kepada Baginda Nabi besar Muhammad SAW yang telah memberikan kita tauladan yang baik untuk menuju Insan cendikiawan yang berakhlak. Penulis menyadari dengan benar bahwa keterbatasan dan kelemahan penulis, skripsi ini tidak akan bisa terselsesaikan tanpa adanya pihak-pihak selain penulis. Oleh karenanya, dalam hal ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Dr. Amin Nurdin, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Drs. Agus Darmaji, M.Fils dan Ibu Dra. Wiwi Sajaroh, M. Ag selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Bapak Drs. Harun Rasyid, M.A dan Drs. Rifqi Muchtar, M.A selaku Ketua dan Sekretaris Program Non Reguler Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Bapak Drs. Agus Nugraha, M.Si. dan keluarga selaku Dosen Pembimbing atas semua dedikasi dan perhatiannya dalam memberikan masukan dan arahan selama penulis menyelesaikan skripsi ini. 6. Seluruh dosen dan staff pengajar pada Program Studi Pemikiran Politik Islam (PPI) yang telah sangat banyak mentransformasikan ilmu dan intelektualitas selama penulis duduk di bangku perkuliahan. 7. Seluruh jajaran, staff, dan petugas di Perpustakaan Utama UIN Jakarta, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia, Perpustakaan Miriam Budiardjo (Fakultas FISIP UI), Perpustakaan Freedom Institut, Perpustakaan CSIS dan semua Website alternatif yang menyediakan segudang informasi untuk penulis akses. 8. Setinggi-tingginya penghargaan ini penulis persembahkan kepada kedua orangtua, Ayahanda Adi Supriyatna dan Ibunda Suyanti, Kak Herlina Setyawati (Alm), Kak Euis Nurhayati dan Nurdin, Kak Muhamad Supandi dan Anik, Saudaraku Bowo Istanto, dan tak lupa kepada Adikku Nissaul Mukaromah serta keponakan-keponakan penulis, karena mereka semua tak pernah lelah memotivasi penulis untuk menjadi lebih baik. Dan mereka semua layak mendapat balasan surga dari Allah swt. 9. Kepada seluruh teman-teman kelas PPI Angkatan 2004 Extensi, Yusuf Fadli, Hadi Nafis Kamil, Supyan, Ibnu Tsani, Pujiono, Noor Ishak, Yulita, Indra Permana, Tauhid Hudini, Ahmad Hudori, Saiman, Muksin, Zulfikar, Rei, Isti, Bukhari, Fadil, Galo, Iin Solihin, Awe,
Surono, dan lain-lain. Keyakinan dan kesungguhan merekalah yang menjadi sumber inspirasi penulis. 10. Rekan-rekan yang tergabung dalam Forum Komunikasi Keluarga Betawi (FKKB), Jeni, Husni, Beben, Yasin, Amin Nabirong, Ajat, Ru’yat, Ijudin, Orkan, Cepot, dan sebagainya. Terimakasih atas jalinan persaudaraannya, semoga cita-cita kita semua segera terengkuh. Skripsi ini tentu saja bukan tanpa ada kesalahan dan cacat, hanya Allah SWT lah yang Maha Sempurna. Maka dari itu penulis menyadari segala sesuatu yang dilakukan itu ada kekurangannya seperti pepatah mengatakan “No Body is perfect” namun penulis selalu ingin berusaha untuk terus dan terus lebih baik dalam hal apapun. Oleh karena itu penulis sangat membutuhkan saran & kritik yang membangun.
Ciputat, 21 Februari 2009 Asep Muharudin
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Mohammad Hatta dalam bukunya yang berjudul Demokrasi Kita, menegaskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus di hapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Pernyataan ini yang lahir dari penderitaan sendiri, tidak saja menentukan politik kedalam tetapi mempengaruhi juga politik luar negeri Republik Indonesia.”1 Dalam alinea ke-empat diperkuat pendapat itu dengan meletakkan kewajiban atas pemerintah untuk ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Disinilah pula terletak dasar fundamental dari pada politik luar negeri Republik Indonesia yang terkenal sebagai politik bebas dan aktif. Perkembangan
awal
politik
luar
negeri
Indonesia
cenderung
dipengaruhi politik global pada masa itu yang sedang menyoalkan perlucutan senjata dan soal krisis dunia. Dimana negara-negara di Eropa berlomba menjadi negara yang mempunyai teknologi senjata yang paling canggih dan mempunyai barisan armada yang paling banyak, dan hal itu dapat memicu terjadinya perang. Walupun konferensi perlucutan senjata
1
Mohammad Hatta, Demokrasi Kita (Jakarta: Pandji Masyarakat, 1960), h. 29
yang berlangsung pada tahun 1919 di Versailles memaksa pihak Jerman untuk menanggalkan senjata, tetapi kemudian pihak Jerman merasa tertipu karena hanya Jerman saja yang dilucuti senjatanya dan sering dipandang sebagai negara kelas dua. Sedangkan Perancis pada saat yang sama malah memperkuat persenjataan di negerinya dengan dalih keamanan. Hal tersebut membuat pihak Jerman gerah dan membuat gerakan Fasisme di Jerman semakin maju. Hal tersebut menjadikan perang di Eropa bukan lagi menyoalkan kehormatan atas negeri tetapi sudah masuk tataran perang antar Ideologi. Si Vis Pacem, Para Bellum, yang bermakna siapa yang ingin akan perdamaian, bersedialah buat berperang. Siapa yang ingin perdamaian, artinya siapa yang takut dilanggar musuh, jagalah diri supaya musuh jangan datang menyerang. Sampai sekarangpun pepatah tersebut belum hilang malah sekarang menjadi dasar politik luar negeri. Maka dari itu, semakin banyak diadakan konferensi perlucutan senjata diadakan, semakin giat orang memperkuat senjata perangnya.2 Politik yang seperti ini tidak sedikit memakan ongkos. Sering kali ongkos perlengkapan senjata atau persediaan perang membahayakan anggaran belanja rakyat. Hal tersebut berdampak pada krisis ekonomi dalam negeri yang merambah ke krisis global. Krisis tersebut memaksa negara-negara jadi mabuk akan kepunyaan, mempunyai bangsa asing sebagai harta. Tiap-tiap negeri menjaga
2
Mohammad Hatta, Kumpulan Karangan Jilid II, h. 127
kepunyaannya sendiri dan mencoba mengambil kepunyaan negeri lain yang dikenal dengan istilah menjajah. Indonesia sebagai bangsa jajahan, ikut merasakan imbasnya perang ideologi tersebut. Apa yang dipunya Indonesia dirampas oleh bangsa yang ingin lebih memperkuat persenjataan perang. Kalau di Eropa terjadi perang antar ideologi Fasisme dan Demokrasi Liberal, Indonesia yang harus bersebelahan dengan Demokrasi Liberal melawan Imperialisme Jepang yang merupakan suatu ancaman bagi cita-cita Indonesia. Dalam hal ini Hatta menggambarkan bahwa alur kapitalisme selalu melalui sebuah tahapan krisis. Adanya krisis yang terjadi pada zaman malaise (tahun 1920/1930), menunjukan kapitalisme mempunyai masalah pada dirinya. Demikian pula krisis yang sekarang melanda perekonomian Indonesia. Sesungguhnya keberadaannya persis dengan gambaran Hatta tentang masalah yang ada dalam kapitalisme tersebut, Cuma bentuk detail penyebabnya berbeda. Krisis sekarang ini bukan disebabkan masalah “overproduksi”,
tapi
lebih
disebabkan
karena
adanya
kenyataan
yang
menghasilkan perbedaan antara sektor moneter dan real.3 Pada masa Hatta problem moneter tentu belum di kenal. Indonesia tahu, bahwa kapitalisme itu memajukan imperialisme. Bertambah besar kapitalisme itu bertambah kuat sepak terjang imperialisme. Bukan saja imperialisme politik, akan tetapi juga imperialisme ekonomi. Maka kalau Indonesia tidak menyusun pertahanan yang teratur dari mulai 3
Mohammad Hatta, Kumpulan Karangan Jilid II, h. 128
kini, Indonesia akan tenggelam dilaut penghidupan. Bukan saja pertahanan politik , tetapi juga ekonomi. Orde Baru telah membuktikan kata-kata Hatta ini, dengan kehancuran ekonomi Indonesia, meski Indonesia sangat tergantung dengan negaranegara maju yang berakibat pula pada ketidakmerdekaan politik. Ikutnya Indonesia dalam GATT (General Agreement on Tariff and Trade) dan WTO (World Trade Organization) jelas-jelas mendudukan Indonesia sebagai negara yang tidak lagi merdeka secara sepenuhnya, karena keputusankeputusan politiknya banyak ditentukan oleh negara-negara maju. Negara Indonesia tidak lagi berdaya melawan pengaturan arus barang dan bea masuk dari WTO. Dan kebijakan ekonomi diintervensi IMF (International Monetary Fund). Mengingat serangan dan ancaman kapitalisme dan imperialsme barat tadi, nyatalah bahwa pertahanan Indonesia baru sempurna kalau tersusun dari tenaga rakyat yang banyak, yang bersatu paham. Segala perjuangan yang tidak disokong oleh paham dan iman rakyat tidak akan membawa hasil. Sebab itu pergerakan bangsa Indonesia tidak akan kuat kalau rakyat banyak yang tidak diajar berpikir, tidak diajar menimbang buruk dan baik, akan tetapi hanya tahu bersoraki dan bertepuk tangan pada pidato-pidato yang nyaring bunyinya. Pendidikan rakyat haruslah bersifat: membentuk budi dan pekerti, agar terdapat pertahanan yang kokoh dalam berjuang dengan imperialisme barat. Dan supaya kapitalisme barat tadi jangan pula menukar bulu menjadi kapitalisme sini yang akan menelan rakyat Indonesia,
perlulah Indonesia bekerja untuk mencapai suatu masyarakat baru yang berdasarkan keadilan dan kebenaran, satu masyarakat yang sempurna, sehingga tidak ada orang yang ditindas oleh orang lain, si lemah diperkosa oleh yang kuat atau si miskin diperas oleh si kaya. Bangsa Indonesia sudah melihat bagaimana seduhnya penyakit sosial yang ditimbulkan oleh kapitalisme sendiri di benua barat dan .. di negeri Indonesia sendiri. Sebab itu Bangsa Indonesia harus menjaga, supaya tanaman asing itu jangan sampai berakar dalam sini. 4 Bagi Hatta, Indonesia yang merupakan warga dunia, harus ikut serta aktif
mewujudkan
cita-cita
internasionalisme
yang
menghendaki
kemufakatan dan bekerja bersama antar negara-negara dan bangsa atas hak yang sama dengan tidak memandang kulit dan warna demi tercapainya perdamaian.5 Indikasi Hatta dengan percaturan politik luar negeri sudah dimulai pada masa pergerakan kebangsaan ketika ia bersama Perhimpunan Indonesia melakukan gerakan-gerakan subversif terhadap Belanda pada Tahun 1927 ketika Indonesia masih dibawah jajahan Belanda. Hatta dan kawan-kawan berjuang dinegeri penjajah sebagai kekuatan yang mampu menggelisahkan pemerintahan Belanda. Hatta yang pada saat itu menjabat sebagai ketua Perhimpunan Indonesia, menjalankan propaganda yang aktif keluar negeri untuk cita-cita “Indonesia Merdeka”.
4
Mohammad Hatta, Krisis Dunia dan Nasib Rakyat Indonesia, pengantar dalam buku Sosialisme Religius (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2000), h. 11 5 Mohammad Hatta, Kumpulan Karangan Jilid I, h. 144
Tiap-tiap Kongres Internasional yang terbuka baginya selalu dimasuki, dan hampir selalu Hatta yang memimpin delegasi. Dalam Kongres Internasional itu Hatta belajar kenal dengan pemimpin-pemimpin kaum buruh, pergerakan demokrasi dan perdamaian yang terkenal di Eropa dan dengan pemimpin Asia.6 Pada tahun 1926, dengan tujuan memperkenalkan nama "Indonesia", Hatta memimpin delegasi pada Kongres Demokrasi Internasional untuk Perdamaian di Bierville, Perancis. Tanpa banyak oposisi, "Indonesia" secara resmi diakui oleh kongres. Nama "Indonesia" untuk menyebutkan wilayah Hindia Belanda ketika itu telah benar-benar dikenal kalangan organisasiorganisasi internasional. Hatta dan pergerakan nasional Indonesia mendapat pengalaman penting di Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial, suatu kongres internasional yang diadakan di Brussels tanggal 10-15 Februari 1927. Di kongres ini Hatta berkenalan dengan pemimpin-pemimpin pergerakan buruh seperti G. Ledebour dan Edo Fimmen, serta tokoh-tokoh yang kemudian menjadi negarawan-negarawan di Asia dan Afrika seperti Jawaharlal Nehru (India), Hafiz Ramadhan Bey (Mesir), dan Senghor (Afrika). Persahabatan pribadinya dengan Nehru mulai dirintis sejak saat itu. Pada tahun 1927 itu pula, Hatta dan Nehru diundang untuk memberikan ceramah bagi "Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kebebasan"
6
Mohammad Hatta, Kumpulan Karangan Jilid I, h. 13
di Gland, Swiss. Judul ceramah Hatta L 'Indonesie et son Probleme de I' Independence (Indonesia dan Persoalan Kemerdekaan). Perkembangan selanjutnya, kegiatan-kegiatan politik luar negeri Hatta dilakukan ketika ia menjabat sebagai Wakil Presiden pertama yang merangkap sebagai Perdana Menteri. Selepas dari itu, pikiran-pikiran mengenai pola hubungan internasional dituang kedalam tulisan-tulisannya. Pada tanggal 2 September 1948, Hatta yang menjabat sebagai Perdana Menteri memimpin kabinet presidensial memberikan keterangan politiknya terhadap BP KNP (Badan Pekerja Komite Nasional Pusat). Di dalam pidatonya ia mengemukakan permasalahan yang sedang terjadi yang terkait dengan urusan BP KNP di antaranya persoalan kedudukan Indonesia di mata dunia Internasional. Walaupun terjadi perselisihan dan perbedaan yang sangat kental dengan kubu sosialis (Luat Siregar, Nyoto, Tjoegito,dan Tan Ling Djie), Hatta tetap kepada pendiriannya untuk konsep Revolusi Nasional yaitu kemerdekaan Indonesia yang sepenuhnya termasuk dalam kebijakan politik luar negeri.7 Politik Luar negeri memang sangat tergantung pada motif persahabatan dan permusuhan sehingga dapat dikatakan kedua motif tersebut merupakan faktor pertentangan yang menyebabkan potensi antara perdamaian dan perang. Motif-motif itu tidak pula statis, melainkan berubah-ubah menurut perkembangan masa dan sangat tergantung pada temperamen pihak yang
7
Mohammad Hatta, Mendayung Antara Dua Karang (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1988), h. 10.
berkuasa disuatu negara.8 Dan dengan demikian politik luar negeri lebih kepada bagaimana pencapaian diplomasi yang dilakukan oleh pihak yang berkuasa tentunya kebijakannya didasari atas kepentingan nasional. Cara menjalankan politik luar negeri berlainan dari masa ke masa. Politik yang dijalankan oleh suatu negara tidak pula selalu sama dari dahulu sampai sekarang. Ada masanya suatu negara menjaga keselamatannya dengan menjalankan politik Isolasionisme, memisahkan diri. Ada masanya negara-negara menjamin keamanannya terhadap yang lain dengan mengadakan aliansi dengan beberapa negara sahabat. Ada negeri yang menjaga dirinya dengan menjalankan politik balance of power. Ada pula masanya yang beberapa negeri kecil menggantungkan kemerdekaannya pada guarantess of the Great Powers (jaminan negara-negara besar), yang dicapai dengan perjanjian. Kemudian, kelihatan pula imperialisme dijadikan dasar politik yang tertentu bagi politik luar negeri.9 Sejalan dengan itu, prinsip yang menjiwai strategi kebijakan luar negeri RI, sejak pidato Bung Hatta pada 1948: Mendayung di antara Dua Karang, ialah konstansi dan konsistensi bebas aktif. Idealisme bebas aktif telah sukses mengarungi sejarah tiga orde (Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi)
pemerintahan
RI.
Karenanya,
pihak
mana
pun
yang
memenangkan Pemilu, konteks dan landasan idealisme bahasa bakunya akan tetap dalam rangka meneruskan dan memantapkan politik luar negeri
8 Alfan Jusuf Helmi, Diplomasi dari Desa ke Kota-Kota Dunia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989), h. 112 9 Mohammad Hatta, Dasar Politik Luar Negeri Republik Indonesia (Jakarta: Tintamas, 1953), h. 1.
bebas aktif. Sebab, ini merupakan atribut yang bertengger di wilayah idealisme, bukan pada jenjang fungsional parameter konsistensi kebijakan. Para ilmuwan politik luar negeri RI yang mengukur kadar bebas aktif operasi kebijakan luar negeri RI cenderung terjebak output analisis yang membingungkan. Sampai-sampai ada pakar asing menyatakan mungkin fenomena kebijakan luar negeri RI modern tak dapat diukur berdasarkan indikator akademik ilmu politik Barat. Hal menarik inilah yang membuat Penulis mengambil judul Skripsi “Pemikiran Politik Luar Negeri Mohammad Hatta”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Untuk lebih memfokuskan pembahasan tentang Pemikiran Politik Luar Negeri Mohammad Hatta, maka pembatasan masalah dalam tulisan ini memiliki titik tekan beberapa tema seperti: 1.
Iklim politik global yang mewarnai kondisi Indonesia pra kemerdekaan hingga paska kemerdekaan (1920-1955).
2.
Melacak
kegiatan-kegiatan
Mohammad
Hatta
pada
masa
Pergerakan hingga pasca kemerdekaan yang menjadikan landasan konsep politik luar negeri Mohammad Hatta. 3.
Perbandingan politik luar negeri Mohammad Hatta dengan penerapannya pada masa kini pun akan masuk sebagai bagian dalam pembahasan.
Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana pemikiran politik luar negeri Mohammad Hatta?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian skripsi ini adalah : a.
Untuk mengetahui kondisi politik bangsa Indonesia yang dipengaruhi oleh pengaruh kondisi politik global, mengingat pada masa itu Indonesia sebagai negara yang sedang dijajah.
b.
Untuk mengetahui perjalanan politik dan konsep politik luar negeri Mohammad Hatta sebagai Founding Father salah satu tokoh pendiri Indonesia, mengingat perjuangan dan kontribusi terhadap negaranya yang cukup signifikan dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia.
c.
Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan politik luar negeri Mohammad Hatta dengan Indonesia dewasa ini.
2. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi akademis dan ilmiah mengenai pemahaman tentang studi hubungan inernasional dilingkungan jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta dan sekitarnya.
D. Metodologi Penulisan. Pembahasan tentang Pemikiran Politik Luar Negeri Mohammad Hatta menggunakan metode kualitatif, pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan mencari literatur dalam bentuk buku, surat kabar, jurnal, artikel, majalah dan sebagainya.10 yang berhubungan dengan masalah tersebut. Penulisan skripsi ini, secara umum menggunakan buku Pedoman Akademik UIN Syarif Hidayatullah tahun 2007-2008. E. Sistematika Penulisan Sistematika dalam tulisan akan terdiri dari beberapa bab. Bab pertama, berisikan tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, serta sistematika penulisan. Bab Kedua akan mengupas tentang biografi Mohammad Hatta, yang berisi tentang latar belakang keluarga, latar belakang pendidikan dan pertautannya dengan politik luar negeri. Bab Ketiga, terdapat tinjauan umum tentang politik luar negeri yang diawali dengan definisi, kepentingan nasional, peran dan diplomasi serta etika dalam hubungan internasional. Bab Keempat, mencoba menguraikan tentang pemikiran politik luar negeri Mohammad Hatta Bab ini akan mengulas serta melacak pemikiran politik Mohammad Hatta dalam dunia internasional dan realisasinya yang berkaitan dengan kegiatan dan implementasinya terhadap bangsa indonesia. Sedangkan Bab Kelima yang merupakan bab terakhir dalam tulisan ini berisikan tentang kesimpulan dari pemikiran politik luar negeri Mohammad Hatta. 10
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 206.
BAB II
BIOGRAFI MOHAMMAD HATTA
A. Latar Belakang Keluarga
Mohammad Hatta adalah anak dari pasangan Mohammad Djamil anak dari Syekh Arsyad, seorang pemuka agama dan Siti Saleha anak dari Ilyas Bagindo Marah, seorang pedagang, yang lahir pada tanggal 12 Agustus 1902 di Bukittinggi. Di kota kecil yang indah inilah Bung Hatta dibesarkan di lingkungan keluarga ibunya. Ayahnya, Haji Mohammad Djamil, meninggal ketika Hatta berusia delapan bulan. Kemudian Ibunya menikah dengan Mas Agung yang seorang pedagang. Dari ibunya, Hatta memiliki enam saudara perempuan. Ia adalah anak laki-laki satu-satunya. Hatta adalah anak kedua dalam keluarganya. Kakak kandungnya yang perempuan bernama Rafiah, dua tahun lebih tua dari Hatta. Di masa kecilnya Hatta tidak banyak mempunyai teman, hal ini dikarenakan neneknya sangat keras memeperlakukan beliau, takut-takut Hatta mendapat cidera. Namun Hatta mempunyai teman yang sangat akrab waktu kecil yang bernama Rasyid Manggis. Ketika dilahirkan, kedua orangtuanya memberi nama Mohammad Athar yang berarti harum. Dalam kesehariannya Athar biasa dipanggil Atta, sehingga lama-kelamaan namanya berubah menjadi Hatta, lengkapnya Mohammad Hatta.11
11
Syahbuddin Mangandaralam, Apa dan Siapa Bung Hatta, (Jakarta: PT. Rosda Jayaputra, 1986), h. 3.
B. Latar Belakang Pendidikan.
Mohammad Hatta mengikuti jenjang pendidikan pertama kali berawal dari Sekolah Rakyat. Sampai tahun ketiga, pertengahan tahun ajaran ia pindah ke sekolah Belanda, yakni Europese Lagere School (ELS). Pada tahun 1916 Mohammad Hatta tamat dari ELS. Kemudian atas anjuran ibunya ia masuk Meer Uitgebreid Legeire Onderwijs (MULO) di Padang. MULO merupakan jenjang pendidikan yang setingkat dengan SLTP sekarang. Sejak duduk di MULO di kota Padang, ia telah tertarik pada pergerakan. Sejak tahun 1916, timbul perkumpulan-perkumpulan pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa. dan Jong Ambon. Hatta masuk ke perkumpulan Jong Sumatranen Bond. Sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond, ia menyadari pentingnya arti keuangan bagi hidupnya perkumpulan. Tetapi sumber keuangan baik dari iuran anggota maupun dari sumbangan luar hanya mungkin lancar kalau para anggotanya mempunyai rasa tanggung jawab dan disiplin. Rasa tanggung jawab dan disiplin selanjutnya menjadi ciri khas sifat-sifat Mohammad Hatta.12 Setelah tiga tahun tamat dari MULO, Mohammad Hatta kemudian masuk Sekolah Dagang yang bernama Prins Hendrik School (PHS). Karena PHS berada di Jakarta maka beliau pun tinggal bersama pamannya Ayub
12
Mangandaralam, Apa dan Siapa Bung Hatta, h. 4.
Rais. Setelah lulus dari PHS, beliau pun mengikuti nasehat gurunya untuk melanjutkan jenjang pendidikan tingginya ke Belanda atas beasiswa Yayasan Van de Venter. Pada tahun 1921 Hatta tiba di Negeri Belanda untuk belajar pada Handels Hoge School (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam. Mula-mula beliau mengambil Jurusan Ekonomi Perdagangan sampai memperoleh ijazah Sarjana Muda, namun setelah itu ia beralih Jurusan Ekonomi Kenegaraan untuk menutup sarjana lengkapnya.
C. Karir Politik.
Ketika masih di negeri belanda, ia mendaftar sebagai anggota Indische Vereniging. Tahun 1922, perkumpulan ini berganti nama menjadi Indonesische Vereniging. Perkumpulan yang menolak bekerja sama dengan Belanda itu kemudian berganti nama lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).13 Hatta juga mengusahakan agar majalah perkumpulan, Hindia Poetra, terbit secara teratur sebagai dasar pengikat antar anggota. Pada tahun 1924 majalah ini berganti nama menjadi Indonesia Merdeka. Hatta lulus dalam ujian handels economie (ekonomi perdagangan) pada tahun 1923. Semula dia bermaksud menempuh ujian doctoral di bidang ilmu ekonomi pada akhir tahun 1925. Karena itu pada tahun 1924 dia non-aktif dalam PI. Tetapi waktu itu dibuka jurusan baru, yaitu hukum negara dan
13
Suwidi Tono (Ed), Mahakarya Soekarno-Hatta, (Jakarta: PT. Perspektif Media Komunika, 2008), h. 95
hukum administratif. Hatta pun memasuki jurusan itu terdorong oleh minatnya yang besar di bidang politik. Perpanjangan rencana studinya itu memungkinkan Hatta terpilih menjadi Ketua PI pada tanggal 17 Januari 1926. Pada kesempatan itu, ia mengucapkan pidato inagurasi yang berjudul Economische Wereldbouw en Machtstegenstellingen
“Struktur
Ekonomi
Dunia
dan
Pertentangan
kekuasaan”. Dia mencoba menganalisis struktur ekonomi dunia dan berdasarkan itu, menunjuk landasan kebijaksanaan non-kooperatif.14 Sejak tahun 1926 sampai 1930, berturut-turut Hatta dipilih menjadi Ketua PI. Di bawah kepemimpinannya, PI berkembang dari perkumpulan mahasiswa biasa menjadi organisasi politik yang mempengaruhi jalannya politik rakyat di Indonesia. Sehingga akhirnya diakui oleh Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPI) PI sebagai pos depan dari pergerakan nasional yang berada di Eropa. PI melakukan propaganda aktif di luar negeri Belanda. Hampir setiap kongres intemasional di Eropa dimasukinya, dan menerima perkumpulan ini. Selama itu, hampir selalu Hatta sendiri yang memimpin delegasi. Pada tahun 1926, dengan tujuan memperkenalkan nama "Indonesia", Hatta memimpin delegasi ke Kongres Demokrasi Intemasional untuk Perdamaian di Bierville, Perancis. Tanpa banyak oposisi, "Indonesia" secara resmi diakui oleh kongres. Nama "Indonesia" untuk menyebutkan wilayah
14
Mohammad Hatta, Kumpulan Karangan Jilid 1(Jakarta: 1953), h. 13.
Hindia Belanda ketika itu telah benar-benar dikenal kalangan organisasiorganisasi internasional. Hatta dan pergerakan nasional Indonesia mendapat pengalaman penting di Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial, suatu kongres internasional yang diadakan di Brussels tanggal 10-15 Pebruari 1927. Di kongres ini Hatta berkenalan dengan pemimpin-pemimpin pergerakan buruh seperti G. Ledebour dan Edo Fimmen, serta tokoh-tokoh yang kemudian menjadi negarawan-negarawan di Asia dan Afrika seperti Jawaharlal Nehru (India), Hafiz Ramadhan Bey (Mesir), dan Senghor (Afrika). Persahabatan pribadinya dengan Nehru mulai dirintis sejak saat itu. Pada tahun 1927 itu pula, Hatta dan Nehru diundang untuk memberikan ceramah bagi "Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kebebasan" di Gland, Swiss. Judul ceramah Hatta “L 'Indonesie et son Probleme de I' Independence” (Indonesia dan Persoalan Kemerdekaan).15 Bersama dengan Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojoadiningrat, Hatta dipenjara selama lima setengah bulan. Pada tanggal 22 Maret 1928, mahkamah pengadilan di Den Haag membebaskan keempatnya dari segala tuduhan. Dalam sidang yang bersejarah itu, Hatta mengemukakan pidato pembelaan yang mengagumkan, yang kemudian diterbitkan sebagai brosur dengan nama "Indonesia Vrij", dan kemudian
15
Lihat Kumpulan Pidato-Pidato Hatta Dalam Karya Lengkap Bung Hatta, Buku 3 Tentang Perdamaian Dunia dan Keadilan Sosial ,(Jakarta: LP3ES, 2001)
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai buku dengan judul Indonesia Merdeka16. Antara tahun 1930-1931, Hatta memusatkan diri kepada studinya serta penulisan karangan untuk majalah Daulat Ra‘jat dan kadang-kadang De Socialist. Ia merencanakan untuk mengakhiri studinya pada pertengahan tahun 1932. Pada bulan Juli 1932, Hatta berhasil menyelesaikan studinya di Negeri Belanda dan sebulan kemudian ia tiba di Jakarta. Antara akhir tahun 1932 dan 1933, kesibukan utama Hatta adalah menulis berbagai artikel politik dan ekonomi untuk Daulat Ra’jat dan melakukan berbagai kegiatan politik, terutama pendidikan kader-kader politik pada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Prinsip non-kooperasi selalu ditekankan kepada kaderkadernya. Reaksi Hatta yang keras terhadap sikap Soekarno sehubungan dengan penahannya oleh Pemerintah Kolonial Belanda, yang berakhir dengan pembuangan Soekarno ke Ende, Flores, terlihat pada tulisan-tulisannya di Daulat Ra’jat, yang berjudul "Soekarno Ditahan" (10 Agustus 1933), "Tragedi Soekarno" (30 November 1933), dan "Sikap Pemimpin" (10 Desember 1933). Pada bulan Februari 1934, setelah Soekarno dibuang ke Ende, Pemerintah Kolonial Belanda mengalihkan perhatiannya kepada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Para pimpinan Partai Pendidikan Nasional Indonesia ditahan dan kemudian dibuang ke Boven Digoel. Seluruhnya
16
Yayasan Idayu, Dwitunggal, (Jakarta : Yayasan Idayu, 1980), h. 11.
berjumlah tujuh orang. Dari kantor Jakarta adalah Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Bondan. Dari kantor Bandung: Maskun Sumadiredja, Burhanuddin, Soeka, dan Murwoto. Sebelum ke Digoel, mereka dipenjara selama hampir setahun di penjara Glodok dan Cipinang, Jakarta. Di penjara Glodok, Hatta menulis buku berjudul “Krisis Ekonomi dan Kapitalisme”. Pada bulan Januari 1935, Hatta dan kawan-kawannya tiba di Tanah Merah, Boven Digoel (Papua). Kepala pemerintahan di sana, Kapten van Langen, menawarkan dua pilihan: bekerja untuk pemerintahan kolonial dengan upah 40 sen sehari dengan harapan nanti akan dikirim pulang ke daerah asal, atau menjadi buangan dengan menerima bahan makanan in natura, dengan tiada harapan akan dipulangkan ke daerah asal. Hatta menjawab, bila dia mau bekerja untuk pemerintah kolonial waktu dia masih di Jakarta, pasti telah menjadi orang besar dengan gaji besar pula. Maka tak perlulah dia ke Tanah Merah untuk menjadi kuli dengan gaji 40 sen sehari.17 Dalam pembuangan, Hatta secara teratur menulis artikel-artikel untuk surat kabar Pemandangan. Honorariumnya cukup untuk biaya hidup di Tanah Merah dan dia dapat pula membantu kawan-kawannya. Rumahnya di Digoel dipenuhi oleh buku-bukunya yang khusus dibawa dari Jakarta sebanyak 16 peti. Dengan demikian, Hatta mempunyai cukup banyak bahan untuk memberikan pelajaran kepada kawan-kawannya di pembuangan mengenai ilmu ekonomi, sejarah, dan filsafat. Kumpulan bahan-bahan pelajaran itu di kemudian hari dibukukan dengan judul-judul antara lain, 17
Mangandaralam, Apa dan Siapa Bung Hatta, h. 25.
"Pengantar ke Jalan llmu dan Pengetahuan" dan "Alam Pikiran Yunani." (empat jilid). Pada bulan Desember 1935, Kapten Wiarda, pengganti van Langen, memberitahukan bahwa tempat pembuangan Hatta dan Sjahrir dipindah ke Bandaneira. Pada Januari 1936 keduanya berangkat ke Bandaneira. Mereka bertemu Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Mr. Iwa Kusumasumantri. Di Bandaneira, Hatta dan Sjahrir dapat bergaul bebas dengan penduduk setempat dan memberi pelajaran kepada anak-anak setempat dalam bidang sejarah, tatabuku, politik, dan lain-Iain. Pada tanggal 3 Februari 1942, Hatta dan Sjahrir dibawa ke Sukabumi. Pada tanggal 9 Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang, dan pada tanggal 22 Maret 1942 Hatta dan Sjahrir dibawa ke Jakarta. 18 Pada masa pendudukan Jepang, Hatta diminta untuk bekerja sama sebagai penasehat. Hatta mengatakan tentang cita-cita bangsa Indonesia untuk merdeka, dan dia bertanya, apakah Jepang akan menjajah Indonesia? Kepala pemerintahan harian sementara, Mayor Jenderal Harada. menjawab bahwa Jepang tidak akan menjajah. Namun Hatta mengetahui, bahwa Kemerdekaan Indonesia dalam pemahaman Jepang berbeda dengan pengertiannya sendiri. Pengakuan Indonesia Merdeka oleh Jepang perlu bagi Hatta sebagai senjata terhadap Sekutu kelak. Bila Jepang yang fasis itu mau mengakui, apakah sekutu yang demokratis tidak akan mau? Karena
18
Mangandaralam, Apa dan Siapa Bung Hatta, h. 31.
itulah maka Jepang selalu didesaknya untuk memberi pengakuan tersebut, yang baru diperoleh pada bulan September 1944. Selama masa pendudukan Jepang, Hatta tidak banyak bicara. Namun pidato yang diucapkan di Lapangan Ikada (sekarang Lapangan Merdeka) pada tanggaI 8 Desember 1942 menggemparkan banyak kalangan. Ia mengatakan, “Indonesia terlepas dari penjajahan imperialisme Belanda. Dan oleh karena itu ia tak ingin menjadi jajahan kembali. Tua dan muda merasakan ini setajam-tajamnya. Bagi pemuda Indonesia, ia Iebih suka melihat Indonesia tenggelam ke dalam lautan daripada mempunyainya sebagai jajahan orang kembali."19 Pada awal Agustus 1945, Panitia Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia diganti dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dengan Soekamo sebagai Ketua dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua. Anggotanya terdiri dari wakil-wakil daerah di seluruh Indonesia, sembilan dari Pulau Jawa dan dua belas orang dari luar Pulau Jawa. Pada tanggal 16 Agustus 1945 malam, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempersiapkan proklamasi dalam rapat di rumah Admiral Maeda (JI Imam Bonjol, sekarang), yang berakhir pada pukul 03.00 pagi keesokan harinya. Panitia kecil yang terdiri dari 5 orang, yaitu Soekamo, Hatta, Soebardjo, Soekarni, dan Sayuti Malik masing-masing memisahkan diri ke suatu ruangan untuk menyusun teks proklamasi kemerdekaan. Soekarno 19
Yayasan Idayu, Dwitunggal, h. 31.
meminta Hatta menyusun teks proklamasi yang ringkas. Hatta menyarankan agar Soekarno yang menuliskan kata-kata yang didiktekannya. Setelah pekerjaan itu selesai. mereka membawanya ke ruang tengah, tempat para anggota lainnya menanti. Soekarni mengusulkan agar naskah proklamasi tersebut ditandatangi oleh dua orang saja, Soekarno dan Mohammad Hatta. Semua yang hadir menyambut dengan bertepuk tangan riuh. Tangal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia, tepat pada jam 10.00 pagi di Jalan Pengangsaan Timur 56 Jakarta. Tanggal 18 Agustus 1945, Ir Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia dan Drs. Mohammad Hatta diangkat menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia. Soekardjo Wijopranoto mengemukakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden harus merupakan satu dwitunggal. 20 Indonesia
harus
mempertahankan
kemerdekaannya
dari
usaha
Pemerintah Belanda yang ingin menjajah kembali. Pemerintah Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dua kali perundingan dengan Belanda menghasilkan Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Reville, tetapi selalu berakhir dengan kegagalan akibat kecurangan pihak Belanda. Untuk mencari dukungan luar negeri, pada Juli I947, Bung Hatta pergi ke India menemui Jawaharlal Nehru dan Mahatma Gandhi. dengan menyamar sebagai kopilot bernama Abdullah (Pilot pesawat adalah Biju Patnaik yang kemudian menjadi Menteri Baja India di masa Pemerintah 20
Yayasan Idayu, Dwitunggal, , h. 34.
Perdana Menteri Morarji Desai). Nehru berjanji, India dapat membantu Indonesia dengan protes dan resolusi kepada PBB agar Belanda dihukum. Kesukaran dan ancaman yang dihadapi silih berganti. September 1948 PKI melakukan pemberontakan. 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan agresi kedua. Presiden dan Wapres ditawan dan diasingkan ke Bangka. Namun perjuangan Rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan terus berkobar di mana-mana. Panglima Besar Soedirman melanjutkan memimpin perjuangan bersenjata. Pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag, Bung Hatta yang mengetuai Delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar untuk menerima pengakuan kedaulatan Indonesia dari Ratu Juliana. Bung Hatta juga menjadi Perdana Menteri waktu Negara Republik Indonesia Serikat berdiri. Selanjutnya setelah RIS menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bung Hatta kembali menjadi Wakil Presiden.21 Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta tetap aktif memberikan ceramah-ceramah di berbagai lembaga pendidikan tinggi. Dia juga tetap menulis berbagai karangan dan buku-buku ilmiah di bidang ekonomi dan koperasi. Dia juga aktif membimbing gerakan koperasi untuk melaksanakan cita-cita dalam konsepsi ekonominya. Tanggal 12 Juli 1951, Bung Hatta mengucapkan pidato radio untuk menyambut Hari Koperasi di Indonesia. Karena besarnya aktivitas Bung Hatta dalam gerakan koperasi, maka pada tanggal 17 Juli 1953 dia diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia pada 21
Herbert Feith dan Lance Castles (ed), Pemikiran Politik Indonesia 19451965,(Jakarta: LP3ES, 1998), h. 41
Kongres Koperasi Indonesia di Bandung. Pikiran-pikiran Bung Hatta mengenai koperasi antara lain dituangkan dalam bukunya yang berjudul Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun.22 Pada tahun 1955, Bung Hatta mengumumkan bahwa apabila parlemen dan konsituante pilihan rakyat sudah terbentuk, ia akan mengundurkan diri sebagai
Wakil
Presiden.
Niatnya
untuk
mengundurkan
diri
itu
diberitahukannya melalui sepucuk surat kepada ketua Perlemen, Mr. Sartono. Tembusan surat dikirimkan kepada Presiden Soekarno. Setelah Konstituante dibuka secara resmi oleh Presiden, Wakil Presiden Hatta mengemukakan kepada Ketua Parlemen bahwa pada tanggal l Desember 1956 ia akan meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI. Presiden Soekarno
berusaha
mencegahnya,
tetapi
Bung
Hatta
tetap
pada
pendiriannya. Pada tangal 27 November 1956, ia memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas Gajah Mada di Yoyakarta. Pada kesempatan itu, Bung Hatta mengucapkan pidato pengukuhan yang berjudul “Lampau dan Datang”. Sesudah Bung Hatta meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI, beberapa gelar akademis juga diperolehnya dari berbagai perguruan tinggi. Universitas Padjadjaran di Bandung mengukuhkan Bung Hatta sebagai guru besar dalam ilmu politik perekonomian. Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang memberikan gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang Ekonomi. 22
Mangandaralam, Apa dan Siapa Bung Hatta, h. 36.
Universitas Indonesia memberikan gelar Doctor Honoris Causa di bidang ilmu hukum. Pidato pengukuhan Bung Hatta berjudul “Menuju Negara Hukum”. Pada tahun 1960 Bung Hatta menulis "Demokrasi Kita" dalam majalah Pandji Masyarakat. Sebuah tulisan yang terkenal karena menonjolkan pandangan dan pikiran Bung Hatta mengenai perkembangan demokrasi di Indonesia waktu itu. Dalam masa pemerintahan Orde Baru, Bung Hatta lebih merupakan negarawan sesepuh bagi bangsanya daripada seorang politikus. Hatta menikah dengan Rahmi Rachim pada tanggal l8 Nopember 1945 di desa Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Mereka mempunyai tiga orang putri, yaitu Meutia Farida, Gemala Rabi'ah, dan Halida Nuriah. Dua orang putrinya yang tertua telah menikah. Yang pertama dengan Dr. Sri-Edi Swasono dan yang kedua dengan Drs. Mohammad Chalil Baridjambek. Hatta sempat menyaksikan kelahiran dua cucunya, yaitu Sri Juwita Hanum Swasono dan Mohamad Athar Baridjambek. Pada tanggal 15 Agustus 1972, Presiden Soeharto menyampaikan kepada Bung Hatta anugerah negara berupa Tanda Kehormatan tertinggi "Bintang Republik Indonesia Kelas I" pada suatu upacara kenegaraan di Istana Negara. Bung Hatta, Proklamator Kemerdekaan dan Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia, wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Dr Tjipto Mangunkusumo, Jakarta, pada usia 77 tahun dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir pada tanggal 15 Maret 1980.
BAB III
TINJAUAN UMUM POLITIK LUAR NEGERI
A. Definisi dan Teori-teori Politik Luar Negeri Berbicara mengenai Politik Luar Negeri berarti membahas studi yang mengandung banyak unsur dalam pengertiannya baik menyinggung masalah ekonomi, politik, maupun sosial dan budaya. Maka dari itu tiap-tiap negara pun memiliki definisi tentang politik luar negeri yang berbeda-beda. Ada beberapa definisi yang dipakai dari beberapa ilmuwan atau praktisi politik luar negeri. Yaitu: 23 1)
Menurut Gibson dalam bukunya ”The Road To Foreign” politik luar negeri adalah sebagai rencana konfrehensif yang dibuat dengan baik didasarkan pada pengetahuan dan pengalaman, untuk menjalankan bisnis pemerintahan dengan negara lain dan politik luar negeri ditujukan pada peningkatan dan perlindungan sebuah bangsa.
2)
Menurut Daniel S. Papp dalam bukunya
”Contemporary
International Relation” politik luar negeri didefinisikan sebagai suatu tindakan yang telah diformulasikan sedemikian rupa oleh satu pihak untuk memperjuangkan dan mencapai kepentingan nasional satu pihak.
23
S. L Roy, Diplomasi (Jakarta: Rajawali Pers, 1991, h. 33
3)
Menurut Ivo D. Duchacek bahwa politik luar negeri didefinisikan sebagai proses penilaian yang berkesinambungan dari kemampuan dan kehendak diri sendiri dari suatu bangsa.
Politik luar negeri suatu negara ditujukan untuk memajukan dan melindungi kepentingan negaranya, kemudian politik luar negeri dalam aspeknya yang dinamis adalah sebuah sistem tindakan suatu pemerintahan terhadap pemerintahan lain atau suatu negara terhadap negara lain. Ia termasuk jumlah keseluruhan hubungan luar negeri suatu bangsa. Penyusunan politik luar negeri mungkin merupakan fungsi politik paling tinggi dari suatu negara. Kesalahan dalam perumusannya bisa membawa ke akibat yang paling serius karena pentingnya, perumusan politik luar negeri telah menjadi hak preogratif pimpinan eksekutif suatu negara.24 Politik luar negeri merupakan cara atau metode suatu negara dalam menyikapi berbagai permasalahan internasional demi kepentingan negara yang bersangkutan, baik yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang. Adanya nilai-nilai yang diyakini oleh suatu masyarakat dan terlembagakan dalam struktur negara merupakan pewarna dominan dalam menentukan corak hubungan suatu negara dengan negara lain. Politik luar negeri merupakan dua komponen yang berbeda tetapi membentuk sebuah pengertian umum. Memahami konsep politik luar negeri dapat dielaborasi dengan jalan memisahkannya dalam dua komponen: politik dan luar negeri.
24
S. L Roy, Diplomasi, h. 33
Politik atau kebijakan adalah seperangkat keputusan yang menjadi pedoman untuk bertindak, atau seperangkat aksi yang bertujuan untuk mencapai sasaran-sasaran yang telah diterapkan sebelumnya. Kebijakan itu sendiri berakar pada konsep pilihan, yaitu memilih tindakan atau membuat keputusan-keputusan untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan gagasan mengenai kedaulatan dan konsep wilayah akan membantu dalam upaya memahami konsep politik luar negeri. Kedaulatan berarti kontrol atas wilayah yang dimiliki suatu negara. Jadi, politik luar negeri berarti seperangkat pedoman untuk memilih tindakan yang ditujukan keluar wilayah suatu negara. Dengan kata lain, studi politik luar negeri berada intersection (bersilangan) antara aspek dalam negeri suatu negara dan aspek internasional dari kehidupan suatu negara.25 Mengenai teori-teori dalam politik luar negeri terdapat banyak asumsi. Hal ini disebabkan sejarah panjang dari politik luar negeri itu sendiri. Politik luar negeri mulai dijalankan bilamana sebuah negara telah berdaulat, maka wajar bila teori-teori didalamnya pun banyak mengalami perkembangan. Ini terlihat dari pengkajian yang dilakukan oleh para ahli dibidang hubungan internasional. Dalam bukunya Zainudin Djafar dan kawan-kawan26, terdapat beberapa klasifikasi teori yang sering dipakai dalam mengkaji politik luar negeri. Teori-teori tersebut antara lain:
25 A A. Banyu Perwita dan Yanyan M. Yani, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, (Bandung: Rosda Karya, 2005), h. 48. 26 Zainudin Djafar, dkk, Perkembangan Studi Hubungan Internasional dan Tantangan Masa Depan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1996), h. 60-62
1. Realis Kaum realis mendasarkan diri pada empat asumsi. Pertama, negara merupakan aktor yang prinsipil dan penting dalam hubungan international. Kedua, negara adalah aktor yang merupakan satu kesatuan. Ketiga, negara adalah aktor yang rasional. Keempat, bahwa isu-isu internasional mempunyai hirarki dimana national security menempati urutan paling pertama, oleh karenanya tidaklah mengherankan kalau
power menjadi
konsep kunci dalam perspektif realis. 2. Pluralis Yang tidak kalah menarik adalah perspektif kaum pluralis yang berasumsi, Pertama, bahwa aktor non state merupakan entitas penting dan tidak boleh diabaikan dalam hubungan internasional. Kedua, bahwa negara bukanlah aktor yang satu kesatuan. Ketiga, karena negara yang rasional maka negara akan berupaya mencapai konsensus (kesepakatan). Keempat, bahwa agenda politik internasional bersifat ekstensif, artinya masalah internasional tidak harus diwarnai oleh masalah keamanan, militer,tetapi juga meluas ke masalah ekonomi dan sosial. 3. Globalis Untuk kaum globalis yang baru muncul, mereka berasumsi, Pertama, bahwa titik awal analisis hubungan internasional adalah konteks global, dimana negara-negara sebagai entitas yang berinteraksi satu sama lain. Kedua, bahwa sangat penting dan bahkan diharuskan untuk melihat hubungan internasional dari perspektif historis. Ketiga, mereka secara
tipikal sangat memperhatikan masalah ketergantungan antar negara-negara maju dengan negara-negara berkembang.
B. Pendekatan Studi Politik Luar Negeri
Studi politik luar negeri kerapkali melibatkan tinjauan domestik dan internasional. Banyak anggapan bahwa faktor-faktor domestik sama kuatnya mempengaruhi out put politik luar negeri. Kerangka teoritis pun selalu mengambil dua pertimbangan yakni unsur domestik dan elemen eksternal. Sebuah daftar kerangka teoritis yang dicatat Lyod Jensen (1982) memaparkan lima model dalam pembuatan kebijakan politik luar negeri27. Pertama, model strategis atau rasional. Pendekatan ini sering digunakan oleh sejarawan diplomatik untuk melukiskan interaksi politik luar negeri berbagai negara atau tindakan para pemimpin negara-negara itu dalam merespon negara lainnya. Negara dan pengambil keputusan dipandang sebagai aktor terpencil yang memaksimalkan tujuannya dalam politik global. Pendekatan ini memiliki kelemahan adalah asumsi kalkulasi rasional yang dilakukan para pengambil kebijakan dalam situasi ideal yang jarang terjadi. Dengan kata lain apa yang disebut rasional oleh peneliti sering dianggap rasional oleh yang lainnya. Bahkan ada kelemahan lainnya bahwa model seperti ini menyandarkan pada intuisi dan observasi. Model kedua adalah pengambilan keputusan. Penulis terkenal kerangka analisa ini adalah Richard C Snyder, HW Bruck dan Burton Sapin. Ia 27
5-11.
Lyod Jensen, Explaining Foreign Policy. (New Jersey: Prentice Hall. Inc., 1982), h.
menggambarkan modelnya dalam kerangka yang kompleks dengan meneropong jauh kedalam "kotak hitam" pengambilan kebijakan luar negeri. Salah salah satu keuntungan pendekatan ini yakni membawa dimensi manusia kedalam proses politik luar negeri secara lebih efektif. Jensen juga menyebutkan adanya model lain yakni politik birokratik. Pendekatan ini menekankan pada peran yang dimainkan birokrat yang terlibat dalam proses politik luar negeri. Menurut Jensen, karena peralihan yang signifikan dalam pemerintahan dan partai-partai politik di banyak negara, maka politik luar negeri tergantung kepada pelayanan pegawai negeri yang lebih permanen untuk informasi dan nasihat. Oleh sebab itu birokrat - termasuk di jajaran Departemen Luar Negeri - mampu mempengaruhi pembentukan politik luar negeri. Namun demikian peran birokrat ini tak bisa dibesar-besarkan karena keterbatasan pengaruhnya juga. Keempat, model adaptif menekankan pada anggapan bahwa perilaku politik luar negeri seyogyanya difokuskan pada bagaimana negara merespon hambatan dan peluang yang tersedia dalam lingkungan internasional. Disinilah pilihan politik luar negeri tidak dalam kondisi terbatas namun sangat terbuka terhadap segala pilihan. Model kelima disebut Jensen sebagai pengambilan keputusan tambahan. Karena adanya ketidakpastian dan tidak lengkapnya informasi dalam masalah-masalah internasional, disamping banyaknya aktor-aktor publik dan privat yang terkait dengan isu-isu politik luar negeri, maka keputusan tak bisa dibuat dalam pengertian kalkulasi rasional komprehensif.
Sementara itu studi politik luar negeri negara-negara sedang berkembang disebut-sebut "kurang berkembang" atau "tidak berkembang". Namun demikian studi terhadap negara berkembang, untuk membedakan dari negara maju seperi Amerika Serikat atau Inggris, tetap menarik untuk disimak. Sejauh ini seperti dikatakan Ali E Hilla Dessouki dan Bghat Korany28, ada tiga pendekatan yang mendominasi studi politik luar negeri di negaranegara berkembang baik di Asia, Afrika maupun Amerika Latin. Pertama, pendekatan psikologis. Pendekatan ini menilai politik luar negeri sebagai fungsi impuls dan idiosinkratik seorang pemimpin. Menurut pandangan ini, raja-raja dan presiden merupakan sumber politik luar negeri. Oleh karena itu perang dan damai merupakan selera pribadi dan pilihan individual. Dalam hal ini politik luar negeri dipersepsikan bukan sebagai aktivitas yang dirancang untuk mencapai tujuan-tujuan nasional atau sosietal melainkan seperti ditulis Edward Shill tahun 1962 sebagai "bagian dari hubungan
masyarakat".
Tujuannya,
memperbaiki
citra
negara,
meningkatkan popularitas pemimpin dan mengalihkan perhatian dari kesulitan-kesulitan domestik kepada ilusi-ilusi kemenangan eksternal. Terhadap pendekatan ini sedikitnya terdapat tiga kritik. Pertama, pendekatan ini membuat politik luar negeri tampak seperti sebuah kegiatan
28 Ali E Hillal Dessouki and Baghat Korany, A Literature Survey and a Framework for Analysis dalam The Foreign Policies of Arab States, (Bouleder, Westview Press, 1991), h. 8.
irasional, bukan masalah analisis sistematik. Kritik kedua, pendekatan ini mengabaikan konteks (domestik, regional dan global) dimana politik luar negeri diformulasikan dan dilaksanakan. Ketiga, pendekatan seperti ini mengabaikan fakta bahwa karena kepentingan mereka dalam survival politik, sebagian besar pemimpin menepiskan sifat eksentriknya yang berlawanan dengan sikap dominan, perasaan publik dan realitas politik. Memang sulit mengesampingkan variabel idiosinkratik di kebanyakan negara berkembang namun yang lebih penting dianalisa bagaimana konteks pembuatan kebijakan mendorong tipe-tipe kepemimpinan tertentu dan bukan tipe yang lainnya. Atau bagaimana faktor idiosinkratik pemimpin mungkin mengubah konteks, mempengaruhi orientasi politik luar negeri pemimpin lainnya. Kedua, pendekatan negara-negara besar yang dominan di kalangan pakar-pakar realis seperti Hans J Morgenthau. Pendekatan ini memandang politik luar negeri sebagai fungsi konflik Timur-Barat. Singkatnya, politik luar negeri negara-negara berkembang dipandang lemah otonominya. Negara berkembang dipengaruhi rangsangan eksternal, mereka bereaksi terhadap prakarsa dan situasi yang diciptakan kekuatan eksternal. Kelemahan utama pendekatan ini mengabaikan sumber-sumber dalam negeri dalam politik luar negeri. Ketiga, pendekatan reduksionis atau model-builders. Pendapatnya, politik luar negeri negara berkembang ditentukan oleh proses yang sama dan perhitungan keputusan yang membentuk politik luar negeri negara-negara
maju. Perbedaan dasarnya adalah kuantifikasinya. Negara berkembang memiliki sumber-sumber dan kemampuan yang kecil. Oleh sebab itu, melaksanakan politik luar negeri dalam skala yang lebih kecil. Pandangan ini berdasarkan asumsi bahwa perilaku semua negara (besar dan kecil, kaya atau miskin, berkembang atau maju) mengikuti model pengambilan keputusan aktor rasional. Dikatakan pula, semua negara berusaha meningkatkan kekuasaan dan semua negara juga dimotivasi oleh faktor-faktor keamanan. Oleh karena itulah, politik luar negeri negara-negara berkembang persis sama seperti negara maju namun dalam level lebih rendah. Pendekatan ini tidak memperhitungkan karakter khusus seperti modernisasi, pelembagaan politik yang rendah dan status ketergantungan dalam stratifikasi sistem global. Salah satu ciri-ciri kajian baru, berbeda dengan tiga pendekatan tadi, menekankan kepada sumber-sumber politik luar negeri dan bagaimana proses modernisasi dan perubahan sosial mempengaruhi perilaku eksternal negara-negara berkembang. Misalnya karya Weinstein tentang politik luar negeri Indonesia yang menghasilkan pandangan adanya tiga tujuan politik luar negeri29. Pertama, mempertahankan dipersepsikan.
kemerdekaan Kedua,
bangsa
mobilisasi
melawan
ancaman
yang
sumber-sumber
eksternal
untuk
pembangunan dalam negeri. Dan ketiga, mencapai sasaran-sasaran yang berkaitan dengan politik dalam negeri seperti mengisolasi salah satu oposisi 29
Franklin B Weinstein, Indonesian Foreign Policy and the Dilemma of Dependence: From Sukarno to Soeharto (Ithaca: Cornel University Press, 1976).
politik dari dukungan luar negeri, memanfaatkan legitimasi untuk tuntutantuntutan politik domestik dan menciptakan simbol-simbol nasionalisme dan persatuan nasional. Contoh lain kajian baru politik luar negeri negara berkembang menekankan sumber-sumber domestik dan bagaimana proses modernisasi dan perubahan sosial mempengaruhi perilaku eksterrnal. East dan Hagen menggaris bawahi faktor sumber-sumber untuk membedakan dengan ukuran-ukuran faktor itu berupa jumlah absolut sumber-sumber yang tersedia dengan faktor modernisasi yang artinya kemampuna memobilisasi, mengontrol dan menggunakan sumber-sumber ini. Modernisasi itu sendiri dipandang
sebagai
proses
dimana
negara-negara
meningkatkan
kemampuannya untuk mengontrol dan menggunakan sumber-sumbernya. Ini berarti, negara yang modern punya kemampuan yang lebih besar dalam bertindak. Unsur penting lainnya kajian politik luar negeri negara berkembang menekankan pada posisi ekonomi politik aktor dalam startifikasi sistem global. Johan Galtung seperti dikutip Marshall R Singer melukiskan dengan jelas tentang stratifikasi dalam sistem internasional ini30. Galtung memaparkan bahwa sistem politik internasional mirip dengan sistem feodal yang terdiri dari negara besar alias
"top dog",
negara menengah dan
regional serta negara berkembang atau negara "underdog" yang lebih kecil.
30 Marshall R Singer," The Foreign Policies of Small Developing States" dalam World Politics : An Introduction oleh James N Rosenau, Kenneth W Thompson dan Gavin Boyd. (New York, The Free Press, 1980), h. 275.
Dalam konteks ini, ketidaksederajatan menjadi fokus utama. Negara berkembang
eksis
dalam
tatanan
dunia
ini
dicirikan
dengan
ketidaksederajatan antara negara dalam level pembangunan sosial ekonomi, kemampuan militer dan stabilitas politik dan prestise. Akibatnya, penetrasi luar terada proses pengambilan keputusan negara-negara berkembang. Aktor eksternal berpartisipasi secara otoritatif dalam alokasi sumber-sumber dan determinasi sasaran-sasaran nasional. Dalam hal ini banyak karya ilmiah sudah ditulis tentang peranan Dana Moneter Internasional (IMF), perusahaan multinasional dan bantuan luar negeri negara-negara besar. Dari berbagai pendekatan yang ada, tulis Hillal dan Korany, analisis yang memadai terhadap politik luar negeri negara-negara berkembang semestinya mempertimbangkan bahwa politik luar negeri adalah bagian dan paket situasi umum Dunia Ketiga dan merefleksikan evolusi situasi ini. Dengan demikian, proses politik luar negeri tak dapat dipisahkan dari struktur sosial domestik atau proses politik domestik. Menurut Hillal dan Korany, untuk memahami politik luar negeri negara Dunia Ketiga perlu membuka "kotak hitam". Dunia Ketiga ini banyak dipengaruhi stratifikasi internasional. Meskipun negara berdaulat namun negara-negara Dunia Ketiga, dapat dirembesi, dipenetrasi dan bahkan didominasi. Oleh sebab itu penting pula melihat struktur global yang mempengaruhi proses pembuatan kebijakan luar negeri.31
31
Ali E Hillal Dessouki and Baghat Korany, A Literature Survey , h. 10-11.
Sedikitnya ada tiga persoalan besar yang dihadapi negara berkembang dalam melaksanakan politik luar negerinya. Pertama, dilema bantuan dan independensi. Negara Dunia Ketiga mengalami dilema anara memiliki bantuan luar negeri atau mempertahankan independensi nasional. Kedua, dilema sumber-sumber dan tujuan yang lebih menekan di negara berkembang dibandingkan negara maju. Dilema ini menyangkut kemampuan para pengambil kebijakan mengejar tujuan di tengah realisme kemampuan negaranya. Keempat, dilema keamanan dan pembangunan yang merupakan versi modern dari debat lama "senjata atau roti". Sejumlah pakar menilai politik luar negeri terutama merupakan proses atau aktivitas yang tujuan utamanya adalah mobilisasi sumber-sumber eksternal demi pembangunan masyarakat. Dari paparan teoritis tentang berbagai pendekatan untuk memahami politik luar negeri sebuah negara dan spesifik lagi untuk mengetahui lebih jauh politik luar negeri negara berkembang, penulis menyusun sebuah kerangka analisis sendiri. Kerangka analisis itu terdiri dari empat pilar yakni,
lingkungan domestik,
orientasi politik luar
negeri,
proses
pengambilan keputusan dan perilaku politik luar negeri. Ada baiknya unsur-unsur ini diuraikan untuk mengetahui bobot dan rangkaiannya dalam meneliti input dan outputs politik luar negeri berkembang. Pertama, dalam unsur lingkungan domestik sejumlah faktor dianalisa untuk mengetahui apakah yang memperkuat dan menghambat politik luar negeri seperti geografi, struktur sosial, kemampuan ekonomi,
kemampuan militer dan struktur politik. Dalam kajian struktur politik dibahas sejauh mana elemen ini memberikan peluang atau menghambat para pengambil keputusan. Menyangkut struktur politik diantaranya stabilitas, legitimasi,
tingkat
institusionalisasi dan tingkat
dukungan publik.
Faksionalisasi politik dan instabilitas domestik biasanya menghambat pelaksanaan sebuah politik luar negeri. Tingkat yang rendah dalam institusionaliasi dan tingginya instabilitas politik di sebagian besar negara berkembang menghasilkan sejumlah hal. Salah satunya adalah keutamaan eksekutif, khususnya dalam pengembangan pusat presiden yang mendominasi proses pengambilan keputusan. Kelembagaan presiden biasanya menikmati kebebasan relatif karena tiadanya kebebasan pers atau oposisi yang kuat. Di negara-negara seperti ini hubungan antara kebijakan domestik dan luar negeri lebih langsung daripada negara maju yakni politik luar negeri dikerahkan untuk mencapai tujuan domestik. Orientasi politik luar negeri menyangkut salah satu komponen output politik luar negeri. Komponen lainnya adalah keputusan dan tindakan. Orientasi adalah cara elit politik luar negeri sebuah negara mempersepsikan dunia dan peran negaranya di dunia. Holsti mendefinisikan orientasi sebuah negara sebagai "sikap umum (sebuah negara) dan komitmen terhadap lingkungan eksternal, strategi fundamental untuk mencapai tujuan domestik dan tujuan serta aspirasi eksternal dan untuk menghadapi ancaman yang ada." Ia mendefinsikan tiga orientasi yakni isolasi, nonblok dan koalisi.
Orientasi ini biasanya stabil. Perubahan berlangsung jika terjadi peralihan radikal struktur politik domestik, keseimbangan regional dan sistem global.32 Selanjutnya unsur proses pengambilan keputusan yang menekankan personalisasi karakter proses pengambilan keputusan dan lemahnya institusionalisasi di negara-negara berkembang. Sebenarnya pengambilan keputusan tidak sesedehana itu. Seorang pemimpin mungkin mengambil kata akhir untuk menentukan beberapa alternatif namun ia harus mempertimbangkan banyak variabel dan harus mengingat respon berbagai kelompok domestik yang berpengaruh. Dalam banyak contoh unit utama pengambilan keputusan bukanlah presiden secara individual melainkan presiden sebagai lembaga. Perilaku politik luar negeri
yang merupakan kerangka analisis
berikutnya berisi tindakan dan posisi konkret serta keputusan negara yang diambil atau disahkan dalam melaksanakan politik luar negeri. Tindaktanduk politik luar negeri merupakan ekspresi konkret orientasi dalam tindakan spesifik. Pada umumnya perilaku politik luar negeri dicirikan dengan dukungan dari PBB. Sementara itu studi politik luar negeri misalnya Indonesia
sudah
banyak dilakukan baik oleh akademisi dalam negeri maupun kalangan peneliti asing. Leo Suryadinata mengkategorikan kajian politik luar negeri
32
Leo Suryadinata, Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto, (Jakarta: LP3ES, 1998), h. 3.
dalam dua pendekatan yakni studi makro dan mikro33. Ia menyebutkan mereka yang studi makro antara lain Franklin Weinstein, Anak Agung Gde Agung dan Michael Leifer. Sedangkan studi skala mikro misalnya dilakukan John M Reinhardt, JAC Mackie, David Mozingo dan Dewi Fortuna Anwar. Perlu ditambahkan pula studi mutakhir bersifat mikro terhadap politik luar negeri Indonesia dilakukan Rizal Sukma34.
C. Kepentingan Nasional Indonesia
Mengingat konsep kepentingan nasional bersifat relatif, maka parameter yang mengacu kepada konsep kepentingan nasional tentu saja tidak mudah diukur. Secara sederhana konsep kepentingan nasional dapat “diukur” dari potensi strategis yang dimiliki negara itu sendiri dalam hubungannya dengan sesama aktor negara. Ada beberapa kriteria yang dibuat ahli politik internasional, Pertama, konsepsi kepentingan nasional bukan merupakan kepentingan yang terpisah dari lingkungan pergaulan antarbangsa atau bahkan dari aspirasi dan problematika yang muncul secara internal dalam suatu negara. Kepentingan nasional suatu bangsa dengan sendirinya perlu mempertimbangkan berbagai nilai yang berkembang dan menjadi ciri negara itu sendiri. Nilai-nilai
33
Leo Suryadinata, Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto, (Jakarta: LP3ES, 1998), h. 1. 34 Disertasi Rizal Sukma, Indonesia's Restoration of Diplomatic Relations with China: A Study of Foreign Polici Making and the Function of Diplomatic Ties. Department of International Relations. The London School of Economics and Political Science, University of London, United Kingdom, 1997.
kebangsaan, sejarah, dan letak geografis menjadi ciri khusus yang mempengaruhi penilaian atas konsepsi kepentingan nasional suatu negara. Kedua, kepentingan nasional bukan merupakan upaya untuk mengejar tujuan-tujuan yang abstrak, seperti perdamaian yang adil atau definisi hukum lainnya. Sebaliknya, ia mengacu kepada upaya perlindungan dari segenap potensi nasional terhadap ancaman eksternal maupun upaya konkrit yang ditujukan guna meningkatan kesejahteraan warga negara. Ketiga, konsepsi ini pada dasarnya bukan merupakan pertanyaan yang berkisar kepada tujuan, melainkan lebih kepada masalah cara dan metode yang tepat bagi penyelenggaran hubungan internasional dalam rangka mencapai tujuan tersebut secara efektif. Kalau ditarik kesimpulannya, maka konsepsi kepentingan nasional terdiri dari berbagai variabel yang menjadi acuan bagi pelaksanaan pollitik luar negeri suatu negara. Acuan ini dapat dilacak kepada konstitusi yang menjadi fondasi pembentukan negara itu sendiri. Di dalam praktek, penyelenggaran hubungan internasional kemudian didelegasikan secara penuh
kepada
penyelenggaraan
institusi hubungan
negara
yang
internasional.
bertanggung-jawab Namun
secara
dalam terbatas
pendelegasian kewenangan tersebut dapat diserahkan kepada organ-organ pemerintah lainnya, sesuai dengan spesifikasi kewenangan teknis. Upaya demikian dilakukan untuk mensinergikan segenap potensi kekuatan yang ada pada tataran domestik agar tujuan nasional dapat tercapai. Kepentingan
nasional didefinisikan sebagai kepentingan negara yang dicapai melalui kebijakan nasional. 35 Pada hakekatnya kepentingan nasional Indonesia adalah menjamin kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia yang berada
di dalam
Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila Undang Dasar 1945.
Negara
dan Undang-
Oleh karena itu, tegaknya NKRI yang memiliki
wilayah yurisdiksi nasional dari
Sabang sampai Merauke sangat perlu
untuk dipelihara. Namun mengingat wilayah Indonesia yang sangat luas, dimana terdiri lebih dari 17.500 pulau, memiliki posisi yang sangat strategis di antara benua Asia dan Australia, serta diantara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan.
Dengan
posisi strategis tersebut, maka berbagai negara khususnya negara-negara besar memiliki kepentingan terhadap kondisi stabilitas keamanan di Indonesia. Implikasi dari kepentingan negara lain tersebut menimbulkan kecenderungan campur tangan atau kepedulian yang tinggi dari negaranegara tersebut terhadap kemungkinan gangguan stabilitas keamanan Indonesia. Sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945,
maka
kepentingan nasional Indonesia adalah melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan 35
kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Daniel S Papp, Contemporary International Relation, (Boston: Allyn & Bacon, 1997.) h. 43
Kepentingan nasional tersebut diaktualisasikan salah satunya dengan pelaksanaan politik luar negeri bebas dan aktif. Politik luar negeri ini dituangkan kedalam program kerja kabinet, dan pada saat ini, kebijakan luar negeri Indonesia pada tahun 2005 merupakan bagian dari kebijakan pemerintahan Kabinet Indonesia bersatu (2004-2009), yang konsisten diabdikan bagi kepentingan nasional. Pencapaian kepentingan nasional Indonesia di dunia internasional tidak terlepas dari perubahan lingkungan strategis balik dalam tataran global maupun regional yang memberikan tantangan sekaligus kesempatan bagi proses pencapaian kepentingan tersebut. Dan dalam rangka menghadapi tatanan dunia yang semakin berubah dengan cepatnya, semakin disadari perlunya untuk mengembangkan kelenturan dan keluwesan dalam pelaksanaan kebijakan luar negeri agar dapat memanfaatkan berbagai tantangan dan peluang yang muncul dari perubahan lingkungan strategis secara optimal. Sehubungan dengan hal tersebut, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dalam pidato kuncinya pada bulan Mei 2005 telah memperkenalkan
suatu
konsep
baru
yaitu
kebijakan
luar
negeri
”konstruktivis”, yang pada intinya dimaksudkan untuk mengembangkan tiga macam kondisi dalam pelaksanaan kebijakan luar negeri Indonesia yaitu: 1.
Pola pikir positif dalam mengelola kerumitan permasalahan luar negeri.
2.
Konektivitas yang sehat dalam urusan-urusan internasional.
3.
Identitas internasional yang solid bagi Indonesia yang didasarkan pada pencapaian-pencapaian domestik dan diplomatiknya.
Diplomasi Indonesia yang dilaksanakan oleh Departemen Luar Negeri (Deplu) turut mengaktualisasikan program dan prioritas Kabinet Indonesia Bersatu yang pada intinya adalah melakukan diplomasi total untuk ikut mewujudkan Indonesia yang bersatu, lebih aman damai, adil, demokratis dan sejahtera. Untuk memastikan tercapainya tujuan nasional, Departemen Luar Negeri menekankan pada kerja sama diplomatik dengan negara-negara di dunia internasional dalam seri lingkaran konsentris (concentric circles) yang terdiri dari: 36 •
Lingkaran pertama adalah Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) yang merupakan pilar utama bangsa Indonesia dalam menjalankan politik luar negerinya.
•
Kemudian yang berada pada lingkaran konsentris kedua adalah ASEAN + 3 (Jepang, China, Korea Selatan). Di luar hal tersebut, Indonesia juga mengadakan hubungan kerja sama yang intensif dengan Amerika Serikat dan Uni Eropa yang merupakan partner utama ekonomi Indonesia.
•
Dalam lingkaran konsentris yang ketiga, Indonesia mengakui pentingnya menggalang kerja sama dengan like-minded developing countries. Itulah yang menyebabkan Indonesia secara aktif ikut
36
http://www.deplu.go.id/.
serta dalam keanggotaan Non-Aligned Movement (NAM), the Organization of the Islamic Conference (OIC), the Group of 77 (G77) dan the Group of 20 (G-20). Dengan diplomasinya
forum-forum untuk
tersebut
memperkuat
Indonesia usaha
dapat
bersama
menerapkan
dalam
rangka
menjembatani kesenjangan antara negara-negara berkembang dengan negara maju. Sementara itu, pada level global, Indonesia mengharapkan dan menekankan secara konsisten penguatan multilateralisme melalui PBB, khususnya dalam menyelesaikan segala permasalahan perdamaian dan keamanan dunia. Indonesia juga menolak segala keputusan unilateral yang diambil di luar kerangka kerja PBB. Penerapan politik luar negeri bebas - aktif tersebut juga harus disesuaikan dengan perubahan lingkungan strategis baik di tingkat global maupun regional yang sangat mempengaruhi penekanan kebijakan luar negeri Indonesia. Politik luar negeri Indonesia didesain untuk mampu mempertemukan kepentingan nasional Indonesia dengan lingkungan internasional yang selalu berubah. Tidak dapat dipungkiri perlunya politik luar negeri yang luwes dan flexible untuk menghadapi segala tantangan dimaksud. Perubahan lingkungan internasional tersebut tidak hanya disebabkan oleh dinamika hubungan antar negara tetapi juga perubahan isu, dan munculnya aktor baru dalam hubungan internasional yang berupa nonstate actors.
Upaya untuk mencapai kepentingan nasional Indonesia di dunia Internasional dilaksanakan melalui diplomasi. Diplomasi Indonesia yang dilaksanakan
oleh
Departemen
Luar
Negeri
(Deplu)
turut
mengaktualisasikan program yang pada intinya adalah melakukan diplomasi total untuk ikut mewujudkan Indonesia yang bersatu, lebih aman dan damai, adil, demokratis dan sejahtera. Dalam lingkup tugas dan kompetensi utama Deplu sebagai penyelenggara hubungan luar negeri, Deplu berupaya melibatkan
seluruh
komponen
pemangku
kepentingan
untuk
mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kepentingan
nasional
Indonesia
diterjemahkan
kedalam
visi
Departemen luar negeri yang disebut sebagai Sapta Dharma Caraka, yaitu:37 1.
Memelihara dan meningkatkan dukungan internasional terhadap keutuhan wilayah dan kedaulatan Indonesia.
2.
Membantu pencapaian Indonesia sejahtera melalui kerja sama pembangunan dan ekonomi, promosi dagang dan investasi, kesempatan kerja dan alih tekonologi.
3.
Meningkatkan peranan dan kepemimpinan Indonesia dalam proses integrasi ASEAN, peran aktif di Asia-Pasifik, membangun kemitraan strategis baru Asia-Afrika serta hubungan antar sesama negara berkembang.
4.
Memperkuat hubungan dan kerja sama bilateral, regional dan internasional di segala bidang dan meningkatkan prakarsa dan
37
http://www.deplu.go.id/.
kontribusi Indonesia dalam pencapaian keamanan dan perdamaian internasional serta memperkuat multilateralisme. 5.
Meningkatkan citra Indonesia di masyarakat internasional sebagai negara demokratis, pluralis, menghormati hal asasi manusia, dan memajukan perdamaian dunia.
6.
Meningkatkan pelayanan dan perlindungan Warga
Negara
Indonesia (WNI) di luar negeri serta melancarkan diplomasi kemanusiaan guna mendukung tanggap darurat dan rekontruksi Aceh dan Nias dari bencana gempa dan tsunami. 7.
Melanjutkan benah diri untuk peningkatan kapasitas kelembagaan, budaya kerja dan profesionalisme pelaku diplomasi serta peranan utama dalam koordinasi penyelenggaraan kebijakan dan hubungan luar negeri.
Kebijakan umum pemerintah menegaskan bahwa penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri merupakan salah satu komponen utama dalam memperjuangkan NKRI. Penegasan itu mencerminkan kebutuhan pengembangan wawasan ke-Indonesiaan, baik dalam
konteks
kewilayahan
maupun
kebangsaan.
Keberhasilan
pencapaian penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri disadari akan banyak memberi pengaruh positif terhadap eksistensi kedaulatan dan keutuhan wilayah kesatuan negara Republik Indonesia.
Politik luar negeri suatu negara sesungguhnya merupakan hasil perpaduan dan refleksi dari politik dalam negeri yang dipengaruhi oleh perkembangan situasi regional maupun internasional. Hal ini didukung oleh potensi dan kemajuan Indonesia yang kini berada dalam proses tranformasi menuju sistem politik yang demokratis dan pemerintahan yang baik. Sebab bagaimanapun kondisi tersebut merupakan prasyarat yang diperlukan dalam menopang keberhasilan pelaksanaan politik luar negeri. Masyarakat internasional menilai dinamika itu sebagai indikator-indikator penting yang memberikan harapan baru sekaligus tantangan berat bagi pemerintah dan rakyat Indonesia.38 Pada tingkat pelaksanaan, efektifitas pelaksanaan politik luar negeri memerlukan sinergi dan keterlibatan di antara seluruh stake holders yang berwujud pada diplomasi total. Dalam konteks itu, diplomasi tentunya dilakukan dengan semangat melanjutkan reformasi melalui penataan, pendalaman dan penyeimbangan berbagai aspek kebijakan pemerintahan dan pembangunan guna mewujudkan kepentingan nasional bangsa kita. Demikian pula halnya dengan politik luar negeri Indonesia yang tidak terlepas dari pengaruh beberapa faktor, antara lain posisi geografis yang strategis, yaitu posisi silang antara dua benua dan dua samudra; potensi sumber daya alam dan manusia berikut susunan demografi; dan sistem sosial-politik yang sangat mempengaruhi sikap, cara pandang serta cara kita memposisikan diri di fora internasional. 38
http://www.deplu.go.id/.
Di lingkup internasional, politik luar negeri sangat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan
mendasar
dalam
dinamika
internasional
dan
globalisasi yang bercirikan antara lain, perubahan sistem politik global dari bipolar ke multipolar; menguatnya interlinkages antara forum global, interregional, regional, subregional dan bilateral; meningkatnya peranan aktor-aktor non-negara dalam hubungan internasional; dan munculnya isuisu baru di dalam agenda internasional seperti HAM, demokratisasi, lingkungan hiclup dan sebagainya yang dampak utamanya adalah semakin kaburnya batas dan kedaulatan negara dalam pergaulan antarbangsa. 39 Interaksi yang diciptakan Indonesia dengan negara-negara tetangga dan negara-negara sahabat harus bersifat kondusif bagi langkah-langkah pelaksanaan politik luar negeri yang diambil dalam menangani berbagai persoalan di tataran internasional tersebut. Dalam konteks ini, solusi dan penanganan yang tepat terhadap persoalan-persoalan itu agar tetap dapat memajukan sikap saling pengertian dan menghormati di antara masyarakat bangsa-bangsa. Oleh karena itu, pelaksanaan politik luar negeri pun dengan sendirinya diarahkan
pada
prioritas
mengupayakan
dan
mengamankan
serta
meningkatkan kerja sama dan dukungan negara-negara sahabat serta badanbadan internasional bagi percepatan pemulihan perekonomian nasional dan sekaligus mengupayakan pulihnya kepercayaan internasional terhadap tekad 39
http://www.deplu.go.id/.
dan
kemampuan
Pemerintahan
baru
untuk
mengatasi
krisis
multidimensional yang sedang Indonesia hadapi saat ini. Dalam kaitan ini yang perlu diwaspadai adalah munculnya pertentangan persepsi di antara komponen-komponen bangsa mengenai berbagai isu nasional yang bukan hanya memperburuk citra Indonesia di mata dunia, bahkan dapat mengancam keutuhan bangsa.
BAB IV
PEMIKIRAN POLITIK LUAR NEGERI MOHAMMAD HATTA
Persepsi para pemimpin atas wilayah Indonesia dan peranannya di dunia Internasional adalah penting, karena hal ini akan memberi dampak pada perilaku politik luar negeri Indonesia. Namun demikian, persoalannya adalah dalam menentukan persepsi siapa yang harus diterima sebagai yang absah. Haruskah mereka yang merupakan elite dalam masalah politik luar negeri ataukah mereka yang merupakan pemimpin Indonesia secara umum ? Masuk akal untuk menganggap bahwa persepsi para pemimpin Indonesia yang bertanggung jawab dalam memformulasikan politik luar negeri Indonesia adalah penting. Sejarah dan tradisi Indonesia turut bertanggung jawab atas persepsi para pemimpin Indonesia dalam kaitannya dengan soal wilayah negara dan peranannya di dunia Internasional. Indonesia, sebelum bulan Agustus 1945, dikenal sebagai Hindia Belanda, dan Indonesia saat ini pun masih dilihat melalui batas-batas penjajahan Belanda. Namun, banyak pemimpin Indonesia, khususnya kaum nasiionalis praperang dan generasi 1945, melihat Indonesia sebagai kelanjutan dari dua kerajaan masa silam, Sriwijaya dan Majapahit.40
Leo Suryadinata, Politik Luar Negeri Di Bawah Soeharto, (Jakarta: LP3ES, 1998), h. 7-8.
Sebelum kemerdekaan, para pemimpin Indonesia berdebat mengenai batas-batas wilayah Indonesia merdeka. Sebagai contoh, satu persepsi yang diwakili oleh Mohammad Yamin, ia mengajukan konsep ”Indonesia Raya”.41 Ia mengatakan bahwa puncak Kerajaan Majapahit adalah masa kemegahan terbesar dalam sejarah Indonesia. Mengutip karya prapanca, penyair Jawa abad ke -14, Yamin mengatakan bahwa Indonesia, dibawah kekuasaan Majapahit, telah meliputi Hindia Belanda, Malaysia, Borneo, Timor, dan Papua. Ia percaya bahwa suatu Indonesia yang merdeka harus meliputi wilayah Kerajaan Majapahit. Namun demikian, Mohammad Hatta yang kemudian menjadi wakil ketua panitia kecil rancangan undang-undang untuk negara baru, lebih berhati-hati. Ia memilih untuk membatasi batas-batas wilayah Indonesia sesuai dengan Hindia Belanda. Menurutnya, dengan memasukkan wilayah diluar wilayah Hindia Belanda, akan menciptakan kesan bahwa Indonesia adalah Imperialistik. Hatta menunjuk imperialisme Jerman dan mengatakan bahwa Indonesia tidak harus menyamai perilaku seperti itu. Meskipun demikian selama perdebatan, Hatta mengalah dalam hal Malaysia. Baginya jika masyarakat Malaya ingin bergabung dengan Indonesia atas kehendak mereka sendiri, dia tidak keberatan. Tetapi yang jelas, ia berpendirian bahwa Indonesia harus meliputi sedikitnya wilayah Hindia Belanda, tidak termasuk Papua.42
41
Mohammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar Vol. 1, (Jakarta: Prapantja, 1959), h. 135. 42 Mohammad Yamin, Naskah Persiapan, h. 201-202
A. Pemikiran Politik Luar Negeri Mohammad Hatta 1. Politik Bebas dan Aktif Sebagai negara yang baru merdeka, maka Indonesia harus menentukan garis politiknya dimata dunia. Garis politik tidak ditentukan oleh haluan politik negeri lain yang berdasarkan kepentingan negeri itu. Mohammad Hatta menjelaskan bahwa sebelum menentukan Garis politik Indonesia, garis politik tersebut ditentukan oleh beberapa hal diantaranya: a. Tujuan Apakah tujuan Indonesia? mencapai kemerdekaan Republik Indonesia saja sebagai adanya sekarang ataukah mencapai kemerdekaan Republik Indonesia seluruhnya ? Kalau tujuannya hanya semata-mata untuk mencapai kemerdekaan Republik Indonesia saja sebagai adanya sekarang, tentu segala siasat ke luar dan ke dalam ditujukan untuk menyelenggarakannya. Politik ke luar ditujukan untuk memperkuat kedudukan Republik Indonesia terhadap Belanda, sedapat-dapatnya dengan memperoleh pengakuan de jure dari negeri lain sebanyak-banyaknya. Tetapi kalau tujuannya ialah mencapai kemerdekaan Indonesia seluruhnya, maka segala siasat ke luar dan ke dalam disusun untuk melaksanakan kemerdekaan Indonesia itu. Republik Indonesia harus berjuang sebagai pelopor untuk Indonesia merdeka. Seperti diketahui sebagian terbesar dari rakyat Indonesia masih menuju kepada Indonesia merdeka seluruhnya dan memandang Republik Indonesia sebagai modal untuk mencapai cita-cita itu. Dalam hal ini Indonesia perlu berunding
dengan pihak Belanda oleh karena daerah Indonesia diluar Republik masih dikuasai Belanda. Bahwa perundingan dihentikan sementara waktu karena pelanggaran oleh pihak Belanda, itu tidak mengubah keadaan bahwa, untuk mencapai kemerdekaan seluruh Indonesia selekas-lekasnya terpaksa berunding. b. Kedudukan Kedudukan Indonesia dalam dunia Internasional ikut menentukan politik yang mesti dijalankan untuk membela kepentingan negara Indonesia. Sebagai penduduk pulau-pulau pada persimpangan jalan dan perhubungan Internasional, yang masih dilingkungi oleh negara-negara kapitalis besar, Indonesia tidak mudah dengan begitu saja dengan semboyan belaka, melepaskan diri dari kungkungan kapitalisme Internasional. Pembawaan dan letak tanah air di tengah-tengah perhubungan Internasional menentukan sebagian besar politik yang harus dijalankan, dan karena itu Republik Indonesia tidak dapat begitu saja mengikuti langkah Soviet Rusia yang dijalankan atas dasar kepentingan Soviet Rusia sendiri berhubung dengan tempat dan waktu. Bukan ikut serta dalam perjuangan Rusia dan Amerika, tetapi mengambil keuntungan daripada pertentangan itu untuk keselamatan Indonesia.43 Dengan faktor tersebut, kedudukan Indonesia sebenarnya tidak berbeda dengan negara demokrasi lainnya. Sebab itu tidak alasan yang mendesak bagi Indonesia untuk memilih antara dua blok yang besar tadi. Baginya 43
Mohammad Hatta, Mendayung Antara Dua Karang (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1988), h. 41-42.
masih cukup alasan untuk memilih jalan sendiri, yang disebut ”politik bebas”. Daripada bermusuhan dengan satu pihak, yang hanya merugikan kepentingan sendiri. Indonesia lebih suka bersahabat denagn segala bangsa atas dasar harga-menghargai. Dasar harga-menghargai menjadi corak yang tegas dalam politik perhubungan Indonesia dengan bangsa-bangsa lain. Perbedaan struktur dan ideologi negara jangan hendaknya menjadi halangan bagi harga-menghargai itu. Bangsa yang baru merdeka sebagai bangsa Indonesia sangat kuat sentimen nasionalnya dan sangat halus perasaannya tentang harga dirinya. Baru saja terlepas dari status kolonial yang mengikatnya berabad-abad lamanya, ia berontak terhadap tiap macam percobaan untuk mengkolonialisasi dia, bagi kolonialisasi ekonomi ataupun dominasi ideologi. Faktor psikologi ini besar pula pengaruhnya atas Indonesia menentukan politik bebasnya. Sebagaimana diketahui,
politik luar negeri tidak semata-mata
ditentukan oleh faktor-faktor subyektif, sebagai keinginan satu negeri atau perasaan simpati atau antipati dari ahli-ahli negara dan pemimpinpemimpiin negara. Faktor-faktor obyektif ikut serta menentukan coraknya. Itulah sebabnya, maka haluan politik luar negeri sesuatu bangsa berlainan dari politik dalam negeri, tidak tergantung dari warna politik partai atau golongan yang pada suatu waktu memegang kekuasaan. Demikian juga politik luar negeri Indonesia, ditentukan oleh beberapa faktor obyektif: a.
Keadaan Ekonomi Dalam Negeri
Tatkala Pemerintah Indonesia menerima kedaulatan atas tanah airnya dari Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, ia mendapati negeri yang menderita kerusakan. Selanjutnya ia mendapati perbendaharaan negara yang kosong, sedangkan rencana belanja tahun 1950 dibayangkan kekurangan sejumlah Rp 1.500.000.000,- yaitu kira-kira 17 % dari jumlah seluruhnya. Suatu defisit yang besar bagi bangsa yang miskin, yang tak punya pasar kapital di dalam negeri. Oleh karena itu segala tenaga dan pikiran Pemerintah dipusatkan untuk memperbesar produksi dalam negeri. Dasar politik bebas itu pertama kali diletakkan oleh Pemerintah Indonesia dalam tahun 1943, selagi Republik Indonesia mempertahankan kemerdekaannya dan memperjuangkan kemerdekaan seluruh bangsa Indonesia terhadap Belanda. Bertentangan dengan oposisi golongan kiri di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI), Pemerintah Republik Indonesia memberi keterangan berikut kepada Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BP-KNP)44 di Yogyakarta pada tanggal 2 September 1948:
”Apakah
bangsa
Indonesia
yang
memperjuangkan
kemerdekaannya, harus memilih saja antara pro-Rusia dan ProAmerika?Apakah tak ada pendirian lain yang harus diambil dalam mengejar cita-cita bangsa? Pemerintah berpendapat bahwa pendirian yang harus diambil ialah supaya Indonesia jangan menjadi Obyek dalam pertarungan politik Internasional, melainkan ia harus tetap menjadi Subyek yang berhak menentukan sikap
44 Komite Nasional Pusat (KNP) atau Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dibentuk selama periode revolusi yang berfungsi sebagai Majelis Perwakilan Rakyat, Dewan Penasihat Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung. Lihat Ateng Winarmo, Kamus Singkatan dan Akronim: Baru dan Lama, (Yogyakarta, 1991), h. 317.
sendiri, yaitu mencapai kemerdekaan seluruhnya..........45 Politik Indonesia harus ditentukan oleh kepentingannya sendiri dan dijalankan
menurut
keadaan
dan
kenyataan
yang
kita
hadapi..........Garis politik Indonesia tidak dapat ditentukan oleh haluan politik negeri lain yang berdasarkan kepentingan negeri itu sendiri”.46 Inilah dasar yang fundamental dari politik bebas Republik Indonesia. Karena itu, apa yang dituju oleh Republik Indonesia dengan politik luar negerinya bukanlah idealisme belaka yang mendekati utopia. Disebelah masalah yang up to date yang sekarang juga mempunyai kepentingan aktual, ada cita-cita yang lain yang kiranya dapat dilaksanakan di masa datang, sekalipun pada masa yang berlain-lain jaraknya. Itulah sebabnya maka Republik Indonesia tidak memilih pihak dalam pertentangan yang hebat antara blok Amerika dan blok Rusia. Ia tidak bersedia mengadakan atau ikut campur dengan suatu blok ketiga yang dimaksud untuk mengimbangi kedua blok raksasa tadi. Karena hal itu akan menimbulkan curiga dan pertentangan. Politik yang dijalankan Republik Indonesia seringkali disebut orang ”politik netral’. Sebenarnya itu tidak betul, karena neutrality adalah suatu pengertian yang tertentu dalam hukum internasional, yang berarti sematamata tidak berat sebelah terhadap negara-negara yang berperang. Jessup menulis tentang ”neutrality” dalam Encyclopedia of Social Science, bahwa ”status hukum modern dari sikap netral ialah sikap tidak berat sebelah dari 45 46
Mohammad Hatta, Mendayung Antara Dua Karang, h. 12-13. Mohammad Hatta, Mendayung Antara Dua Karang, h. 40.
suatu negara terhadap dua negara atau lebih yang berperang”. Memang benar apa yang ditulisnya seterusnya berhubung dengan adanya Lembaga Bangsa-Bangsa: ”Di sini dapat ditegaskan, bahwa dalam hubungan solidaritas dunia sekarang atau di masa datang, netralitas itu adalah suatu sikap anti sosial”. Dengan masuknya Republik Indonesia menjadi anggota PBB, ia pada dasarnya tidak dapat lagi bersikap netral, tetapi telah mengikatkan diri kepada solidaritas internasional.47 Tetapi, politik luar negeri Indonesia bukanlah politik netral, karena politiknya tidak ditujukan kepada dua negara atau lebih yang berperang. Politiknya mengenai sikapnya dalam perdamaian dan ditujukan untuk memperkuat dan membela perdamaian. Terhadap kedua blok besar yang bertentangan, ia tidak memilih pihak. Ia mengambil jalan sendiri dalam menghadapi berbagai
masalah
internasional.
Sebab
itu
politiknya
ditegaskannya denagn sebutan ”politik bebas”, Independent Policy. Sering pula politik ini diperjelas coraknya dengan mengatakan ”politik bebas yang aktif”. Untuk menhindarkan kesalahpahaman atas keterangan ”sikap bebas” yang dipandang semata-mata bersifat negatif atau keragu-raguan dalam kalangan aliran-aliran politik kepartaian di dalam negeri, ataupun pada pihak dua blok yang bertentangan itu atau salah satunya, pemerintah menambahkan keterangan, bahwa ”sikap bebas” –nya itu bersifat aktif, dengan makna bahwa dalam sesuatu soal atau peristiwa yang timbul 47
Karya Lengkap Bung Hatta, Buku 3: Perdamaian Dunia dan Keadilan Sosial, (Jakarta: LP3ES, 2001), h. 467-468.
mengenai pertentangan dua blok itu tadi, ataupun banyak sedikitnya ada yang menyangkut kepada pertentangan itu, Republik Indonesia tetap mendasarkan sikapnya kepada kebebasanya dengan mengingat: a.
Pahamnya tentang niat dan tujuannya sebagai suatu anggota yang ikhlas, setia dan bersungguh-sungguh daripada Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
b.
Pandangannya tentang kepentingan negara dan bangsanya yang berpengaruh besar di jarak masa dekat ataupun masa jauh.48
Dengan ”aktif” dimaksudkan bahwa Republik Indonesia berusaha sekuat-kuatnya untuk memelihara perdamaian dan meredakan pertentangan, sesuai dengan cita-cita PBB. Dan sedapat-dapatnya diusahakan, supaya politik itu dibantu oleh sebanyak-banyaknya negara yang menjadi anggota PBB. Sebagai suatu ilustrasi politik ini boleh disebut usaha yang dijalankan oleh Indonesia bersama-sama dengan negara Arab dan Asia lainnya untuk menghentikan perang di Korea.49 Kemudian, secara linguistik istilah bebas aktif membuka penafsiran pemaknaan yang lebih luas. Bebas tak harus identik dengan konsep independensi dalam pemahaman sempit seperti netralisme, nonaliansi, atau antipakta militer. Bebas dapat diartikan sebagai kebebasan menentukan perilaku yang dianggap tepat pada sasaran, situasi, dan subjektivitas periode tertentu. Adapun aktif bermaknakan karakter yang diemban dalam mengoptimalkan komitmen bebas tadi sebagai satu pilihan perjuangan 48 49
Karya Lengkap Bung Hatta, Buku 3, h. 472. Karya Lengkap Bung Hatta, Buku 3, h. 469.
nasional di forum internasional. Secara teori, politik luar negeri yang bebas aktif mengandung dua unsur utama. Pertama, kata bebas dalam arti yang luas mengandaikan politik luar negeri yang bebas, yaitu menunjukan tingkat dan
nasionalisme
yang
tinggi,
yang
menolak
keterlibatan
atau
ketergantungan terhadap pihak luar negeri yang dapat mengurangi kedaulatan Indonesia. Kedua, kata aktif menunjukan bahwa politik luar negeri Indonesia tidaklah pasif dan hanya mengambil sikap netral dalam menghadapi permasalahan sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945.50 Yang dimaksud dengan "bebas aktif" adalah politik luar negeri yang pada hakikatnya bukan merupakan politik netral, melainkan politik luar negeri yang bebas menentukan sikap dan kebijaksanaan terhadap permasalahan internasional dan tidak mengikatkan diri secara a priori pada satu kekuatan dunia serta secara aktif memberikan sumbangan, baik dalam bentuk pemikiran maupun partisipasi aktif dalam menyelesaikan konflik, sengketa dan permasalahan dunia lainnya, demi terwujudnya ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Yang dimaksud dengan diabdikan untuk "kepentingan nasional" adalah politik luar negeri yang dilakukan guna mendukung terwujudnya tujuan nasional sebagaimana tersebut di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.51
2. Tujuan Politik Luar Negeri 50 Dewi Fortuna Anwar, “Hatta dan Politik Luar Negeri”. Dalam Rickard Bagun, ed., Seratus Tahun Bung Hatta (Jakarta: Kompas, 2002), h. 230. 51 Lihat Undang-Undang Republik Indonesia No. 37 Tahun 1999, Tentang Hubungan Luar Negeri Dalam Bab I Pasal 3.
Untuk melaksanakan cita-cita internasional, Indonesia perlu kerja sama dan mengadakan hubungan yang baik dengan bangsa-bangsa lain. Kita ingin dan mau memandang Perserikatan Bangsa-Bangsa
sebagai pusat untuk
memperkuat pertalian internasional dan mengikrarkan persaudaraan antara bangsa. Semuanya ini harus diketahui dahulu, supaya mengerti tujuan politik luar negeri Indonesia. Pokok-pokok daripada tujuan itu adalah: 1.
Mempertahankan kemerdekaan bangsa dan menjaga keselamatan negara.
2.
memperoleh dari luar negeri barang-barang yang diperlukan untuk memperbesar kamakmuran rakyat, apabila barang-barang itu sampai sekarang tidak atau belum dapat dihasilkan. Misalnya: a.
Barang-barang kapital untuk rehabilitasi mana yang rusak dan tandas.
b.
Barang-barang
kapital
untuk
pembangunan
dan
industrialisasi serta mekanisasi sebagian dari pada pertanian rakyat. c.
Barang-barang keperluan hidup rakyat sehari-hari: barang konsumsi sebagai pakaian serta keperluan rumah tangga lainnya, obat-obatan dan makanan, dan beras.
3.
Perdamaian internasional, karena hanya dalam damai Indonesia dapat membangun dan memperoleh syarat-syarat yang diperlukan untuk memperbesar kemakmuran rakyatnya.
4.
Persaudaraan segala bangsa sebagian pelaksanaan daripada citacita yang tersimpul dalam Pancasila, yang menjadi dasar filsafat negara Indonesia.
Untuk mencapai tujuan tersebut Indonesia menjalankan yang pokokpokoknya dapat dituliskan sebagai berikut: 1)
Politik damai.
2)
Bersahabat dengan segala bangsa atas dasar harga-menghargai, dengan tidak mencampuri soal struktur dan corak pemerintah negerinya masing-masing. Khususnya mengadakan hubungan yang baik dengan negara-negara tetangga, yang kebanyakan mengalami nasib yang sama dengan Indonesia di masa lalu.
3)
Memperkuat sendi-sendi hukum internasional dan organisasi internasional untuk menjamin perdamaian yang kekal.
4)
Berusaha mempermudah jalannya pertukaran dan pembayaran internasional.
5)
Membantu pelaksanaan keadilan sosial internasional, dengan berpedoman kepada Piagam PBB52. Khususnya Pasal-pasal 1,2 dan 55.
52
Seperti yang disebutkan pada Pasal 1 Piagamnya, tujuan-tujuan PBB adalah : 1. Mempertahankan perdamaian dan keamanan dunia, dan untuk tujuan itu: mengambil langkah-langkah bersama yang efektif buat mencegah dan mengenyahkan ancaman-ancaman kepada perdamaian dan penekanan tindakan-tindakan agresi atau pelanggaran-pelanggaran perdamaian lainnya, dan melaksanakannya dengan cara-cara damai, dan dalam kesesuaian dengan prinsip-prinsip keadilan hukum Internasional, penyesuaian atau penyelesaian pertikaian-pertikaian dunia atau keadaan-keadaan yang bisa membawa pada pelanggaran perdamaian. 2. Mengembangkan hubungan-hubungan bersahabat diantara bangsa-bangsa berdasarkan penghargaan terhadap prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri
6)
Berusaha dalam lingkungan PBB mencapai kemerdekaan bangsabangsa yang sampai sekarang negerinya masih jajahan, karena dengan tidak adanya kemerdekaan tak akan tercapai persaudaraan dan perdamaian internasional.53
Dalam mengemukakan tujuan tersebut Beliau mengakui kelemahan Indonesia, akan tetapi juga menyadari bahwa Indonesia tidak sendiri. Negara-negara tetangga juga mempunyai tujuan yang sama. Justru PBB didasarkan atas tujuan-tujuan yang demikian, dan sesungguhnya hanya sedikit orang yang tidak akan menyetujuinya. Oleh karena tujuan persaudaraan dan kerjasama Internasional yang mulia ini adalah universal di dunia, maka besar kemungkinan ia akan berhasil. Tugas para ahli Negara, kaum diplomat dan kaum politisi adalah mencari jalan untuk mencapai tujuan itu. Mohammad Hatta mencoba memberikan satu ikhtisar tentang tujuan politik luar negeri Indonesia, tujuan yang kesimpulannya mencari perdamaian untuk menjamin kemerdekaan Negara Indonesia. Ia adalah satu politik yang bukan saja sesuai dengan harapan dan keinginan bangsa dan pemimpin-pemimpinnya, akan tetapi juga sesuai dengan berbagai factor obyektif yang akhirnya menentukan politik suatu bangsa. Ia adalah politik
bansa-bangsa, dan untuk mengambil langkah-langkah yang berkesesuaianlainnya untuk memperteguh perdamaian. 3. Mencapai kerja sama Internasional dalam pemecahan masalah-masalah ekonomi, sosial , budaya, atau watak kemanusiaan, dan dalam meningkatkan dan mendorong penghargaan kepada hak-hak asasi manusia dan untuk kemerdekaan mendasar bagi semua tanpa perbedaan ras, seks, bahasa , atau agama. 4. Menjadi pusat penyelarasan tindakan bangsa-bangsa dalam mencapai tujuan bersama. 53 Karya Lengkap Bung Hatta, Buku 3, h. 465-466.
luar negeri yang demokratis yang dirangkakan dan diterima oleh badan legislatif dan administratif. Menurut pandangannya politik itu adalah politik luar negeri yang memperkuat harapan-harapan umat manusia untuk perdamaian dan keamanan. Sebagai suatu bangsa yang baru merdeka dari penjajahan, Indonesia sangat
cinta
akan
kemerdekaannya.
Semboyan-semboyan
seperti
“kemerdekaan”, “perikemanusiaan”, “keadilan sosial”, “persaudaraan segala bangsa”, dan “perdamaian yang kekal”, yang memberi semangat kepada pergerakan kebangsaan kita dahulu, masih hidup sebagai cita-cita yang harus dilaksanakan oleh Republik Indonesia. Sebab itu bangsa kita mempunyai cita-cita yang tinggi tentang pergaulan internasional dan mempunyai keyakinan bahwa cita-cita itu dikemudian hari akan menjadi bukti. Semuanya itu berpengaruh atas tujuan politik luar negeri Indonesia dan atas jalan yang akan ditempuh untuk mencapainya. Mungkin beberapa bagian dari tujuan itu tampak sebagai utopia jika ditinjau dari jurusan real-politic, merupakan hal-hal yang terletak di luar garis real dan practical policy. Akan tetapi, siapa yang sungguh-sungguh mau memperhatikan ajaran sejarah, ia akan sadar bahwa banyak hal-hal yang dahulu dipandang utopia atau mustahil akan terjadi, sekarang telah menjadi realitas. Siapakah yang mau percaya 15 tahun yang lalu, bahwa India, Burma, Sri langka , Pakistan dan Indonesia mungkin merdeka dan berdaulat? Adakah orang yang dapat mengira di waktu itu, bahwa Indonesia diterima menjadi anggota PBB dengan bantuan Belanda sendiri? Banyak
pula cita-cita Indonesia yang disebut tabu oleh ahli-ahli ekonomi klasik dan dianggap impian sosialis belaka, sekarang menjadi pokok pikiran di negeri yang bersifat kapitalis untuk mencapai industrial peace. Perhatikanlah misalnya perkembangan pendapat tentang apa yang disebut dengan social security, jaminan sosial. Pengaruh cita-cita itu didapati pula di dalam Piagam PBB dan pada usaha ILO di Geneva. Cita-cita tentang “dasar hidup yang lebih baik, bekerja penuh, dan syarat-syarat daripada
kemajuan
ekonomi dan sosial dan perkembangan kemakmuran” tercantum dalam Pasal 55 Piagam PBB. Diharapkan, pula didalam pasal itu, supaya cita-cita ini diberi stimulans sungguh-sungguh oleh pemerintah dan tidak lagi diserahkan, seperti paham dahulu, kepada free play of economic forces (percaturan
sesuka-sukanya
dari
tenaga-tenaga
ekonomi
dalam
masyarakat).54 Karena itu, apa yang dituju oleh Republik Indonesia dengan politik luar negerinya bukanlah idealisme belaka yang mendekati utopia. Di sebelah masalah yang up to date yang sekarang juga mempunyai kepentingan actual, ada cita-cita yang lain yang kiranya dapat dilaksanakan di masa dating, sekalipun pada masa yang berlain-lain jaraknya. Sebab itu politik luar negeri yang dijalankan oleh Republik Indonesia mempunyai dua aspek, yaitu politik jangka pendek dan politik jangka panjang.55 Politik jangka pendek mengenai
hal-hal
yang
mempunyai
kepentingan
aktual,
yang
penyelenggaraannya harus tercapai di waktu sekarang juga dan masa depan 54 55
Karya Lengkap Bung Hatta, Buku 3, h. 466. Karya Lengkap Bung Hatta, Buku 3, h. 466.
yang dekat. Hal-hal ini bias mengenai kepentingan Indonesia sendiri atau masalah dunia internasional, yang dapat menimbulkan ketegangan dalam perhubungan internasional. Politik jangka panjang mengenai masalahmasalah yang pelaksanaannya baru dapat diharapkan sesudah beberapa masa. Tetapi sungguh pun pelaksanaannya masih jauh di depan, apabila telah terdapat perubahan pada semangat, mentalitas dan moralitas internasional, dari sekarang juga cita-cita itu sudah harus dikemukakan dan ditegaskan supaya menjadi perhatian manusia dan penganjur-penganjur Negara yang bertanggung jawab. Dan karena itu politik jangka panjang itu rapat sekali hubungannya dengan politik jangka pendek.
3. Tugas Perwakilan di Luar Negeri
Sebagai seorang diplomat yang mewakili Negara Indonesia, maka perlu di ketahui tugasnya agar hubungan antar negara bias berjalan dengan baik. Sehubungan dengan itu Mohammad Hatta dalam dokumentasi pribadinya memberikan konsep tentang tugas perwakilan di luar negeri, yaitu:56 1. Membela kepentingan dan keselamatan negara ke luar. Berlainan dengan perjuangan politik ke dalam, di mana tiap-tiap partai berusaha mencapai bentuk negara dan perkembangan masyarakat menurut ideologinya. Sebab itu perjuangan partai sering kelihatan berpecah-
56
Karya Lengkap Bung Hatta, Buku 3, h. 501.
belah. Ke luar, yang dibela kepentingan negara. Sebab itu politik luar negeri ada kontinuitasnya. 2. Politik luar negeri bukan partai politik. Harus persetujuan segala golongan yang betul-betul membela keselamatan negara. Hubungan yang rapat antara Kementerian dan Perwakilan. Diantaranya: a. Instruksi yang tegas dari Perwakilan b. Penerangan yang tepat dari Perwakilan tentang suasana di luar (Reaksi negeri itu, pemerintahnya dan opini public, Politik negeri itu, Perkembangan diplomasi di sana) 3. Mempengaruhi negeri itu secara simpatik, sekurang-kurangnya mengerti politik negeri sendiri. 4. Politik bebas. Dasarnya : kita tetap subyek bukan obyek dan kita tidak dalam posisi memihak negara manapun, tetapi menuju cita-cita sendiri, yaitu: a. Mempertahankan kemerdekaan. b. Mencapai keselamatan bangsa c. Membela cita-cita perdamaian dunia di atas dasar saling menghargai. 5. Dalam membela politik perdamaian, harus bekerja sama yang rapat dan memperkuat persahabatan dengan segala negara tetangga. 6. Tidak perlu pegang pimpinan, tetapi aktivis politik perdamaian Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
di
7. Memperjuangkan politik bebas bukan memperjuangkan formula kosong, melainkan membela kepentingan, kemerdekaan dan keselamatan Indonesia, supaya kedudukan kita bertambah kuat. B. Realisasi Pemikiran Politik Luar Negeri Dalam perjuangannya untuk merealisasikan pemikirannya, terdapat beberapa kontribusi Bung Hatta dalam politik luar negerinya, antara lain : •
Pada tahun 1926, dengan tujuan memperkenalkan nama "Indonesia", Hatta memimpin delegasi ke Kongres Demokrasi Intemasional untuk Perdamaian di Bierville, Prancis. Tanpa banyak oposisi, "Indonesia" secara resmi diakui oleh kongres. Nama "Indonesia" untuk menyebutkan wilayah Hindia Belanda ketika itu telah benar-benar dikenal kalangan organisasiorganisasi internasional.
•
Periode Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia, Indonesia harus mempertahankan kemerdekaannya dari usaha Pemerintah Belanda yang ingin menjajah kembali. Pemerintah Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dua kali perundingan
dengan
Belanda
menghasilkan
Perjanjian
Linggarjati dan Perjanjian Reville, tetapi selalu berakhir dengan kegagalan akibat kecurangan pihak Belanda. Untuk mencari dukungan luar negeri, pada Juli I947, Bung Hatta pergi ke India menemui Jawaharlal Nehru dan Mahatma Gandhi. dengan menyamar sebagai kopilot bernama Abdullah (Pilot pesawat
adalah Biju Patnaik yang kemudian menjadi Menteri Baja India di masa Pemerintah Perdana Menteri Morarji Desai). Nehru berjanji, India dapat membantu Indonesia dengan protes dan resolusi kepada PBB agar Belanda dihukum. •
Dalam Pidato Radionya pada tanggal 23 Juni 1946, Hatta dengan tegas mengemukakan untuk memberi bantuan beras 250. 000 ton lebih kepada rakyat India yang sedang dilanda kelaparan. Memang tidak terlalu banyak, jika dibandingkan dengan keperluan India yang begitu besar. Tetapi sebagai sumbangan dari rakyat Indonesia kepada rakyat India, sangat besar artinya. Sumbangan yang demikian rupa ternyat telah mempengaruhi susunan politik internasional. Dengan tawaran beras untuk India itu, mata dunia tertuju kembali kepada Indonesia.
•
Dalam pidatonya di depan Nihon Kogyo Club, Tokyo, Jepang pada tanggal 21 Oktober 1957, Hatta mengemukakan bahwa negara-negara Asia harus mencari suatu konsepsi politik perekonomian, yang lambat laun menjamin kemerdekaannya di dalam melaksanakan ekonomi nasional.
•
Pada pertengahan November 1949, setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Hatta singgah di Singapura untuk memenuhi undangan makan malam oleh Malcolm MacDonald
Komisaris Tinggi Inggris di Asia Tenggar. Pada kesempatan itu Hatta mengemukakan bahwa:57 “ Saat ini Indonesia telah Menjadi sebuah negara merdeka, saya harap Inggris juga akan memberikan kemerdekaan kepada Malaya, Singapura dan Kalimantan Utara. Dengan berbuat demikian, Inggris hanya akan melanjutkan apa yang telah dimulainya dengan India. Saya akan gembira sekali melihat Malaya merdeka, sebuah Singapura merdeka dan Kalimantan Utara merdeka”. Perkembangan selanjutnya, kegiatan-kegiatan politik luar negeri Hatta dilakukan ketika ia menjabat sebagai Wakil Presiden pertama yang merangkap sebagai Perdana Menteri. Selepas dari itu, pikiran-pikiran mengenai pola hubungan internasional dituang kedalam tulisan-tulisannya.
57
Karya Lengkap Bung Hatta, Buku 3, h. 603
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis lakukan, sebagaimana telah diuraikan dalam pembahasan pada bab sebelumnya, maka penulis mencoba menarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Politik atau kebijakan luar negeri pada hakikatnya merupakan ”kepanjangan tangan” dari politik dalam negeri sebuah negara. Politik luar negeri suatu negara sedikitnya dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu kondisi politik dalam negeri; kemampuan ekonomi dan militer; serta lingkungan internasionalnya. Sejak Bung Hatta menyampaikan pidatonya berjudul ”Mendayung Antara Dua Karang” (1948), RI menganut ”politik luar negeri yang bebas dan aktif” yang dipahami sebagai sikap dasar RI yang menolak
masuk
dalam
salah
satu
blok
negara-negara
superpowers; menentang pembangunan pangkalan militer asing di dalam negeri; serta menolak terlibat dalam pakta pertahanan negara-negara besar. Namun, RI tetap berusaha aktif terlibat dalam
setiap
internasional.
upaya Seperti
meredakan diamanatkan
ketegangan konstitusi,
di RI
dunia juga
menentang segala bentuk penjajahan di atas muka bumi ini, dan
menegaskan bahwa politik luar negeri harus diabdikan untuk kepentingan nasional. 2. Pendulum pelaksanaan politik bebas-aktif dapat bergerak ke kiri dan ke kanan, sesuai dengan kepentingan nasional pada masamasa tertentu. Dengan kata lain, kebijakan luar negeri merupakan refleksi dari politik dalam negeri dan dipengaruhi perubahan dalam tata hubungan internasional baik dalam bentuk regional maupun global. Karena itu, setiap dinamika yang terjadi dalam perpolitikan dalam negeri akan mempengaruhi diplomasi sebagai manifestasi kebijakan luar negeri. Politik luar negeri Indonesia bukanlah politik netral, karena politiknya tidak ditujukan kepada dua negara atau lebih yang berperang. Politiknya mengenai sikapnya dalam perdamaian dan ditujukan untuk memperkuat dan membela perdamaian. Terhadap kedua blok besar yang bertentangan, ia tidak memilih pihak. Ia mengambil jalan sendiri dalam menghadapi berbagai masalah internasional. Sebab itu politiknya ditegaskannya denagn sebutan ”politik bebas”, Independent Policy. Sering pula politik ini diperjelas coraknya dengan mengatakan ”politik bebas yang aktif”. 3. Cara menjalankan politik luar negeri berlainan dari masa ke masa. Politik yang dijalankan oleh sesuatu negara tidak pula selalu sama dari dahulu sampai sekarang. Ada masanya sesuatu
negara menjaga keselamatannya dengan menjalankan politik Isolasionisme, memisahkan diri. Ada masanya negara-negara menjamin keamanannya terhadap yang lain dengan mengadakan aliansi dengan beberapa negara sahabat. Ada negeri yang menjaga dirinya dengan menjalankan politik balance of power. Ada pula masanya yang beberapa negeri kecil menggantungkan kemerdekaannya pada guarantess of the Great Powers (jaminan negara-negara
besar),
yang
dicapai
dengan
perjanjian.
Kemudian, kelihatan pula imperialisme dijadikan dasar politik yang tertentu bagi politik luar negeri. B. Saran 1. Maka seharusnya pemerintah harus memiliki pendirian yang kuat bahwa sikap-sikap politik luar negeri yang kita ambil seharusnya memposisikan kita sebagai subjek yang bebas dan berhak menentukan sikapnya sendiri, serta memihak pada kebenaran dan keadilan bukannya menjadi objek dalam pergulatan politik internasional, bahkan menjadi boneka dalam scenario kepentingan kapitalisme asing. 2. Secara umum visi dan orientasi politik luar negeri RI seharusnya tidak berubah. Namun, perubahan dimungkinkan jika berkaitan dengan usaha perbaikan ekonomi dan citra RI di mata internasional. Dasarnya tetap bertitik tolak pada konstitusi, tetap
ikut membantu menciptakan perdamaian dan keadilan sosial serta politik bebas-aktif yang diabdikan pada kepentingan nasional. 3. Karena masalah luar negeri adalah pos strategis, Deplu perlu membentuk saluran publikatif untuk mensosialisasikan kebijakan luar negeri pada masyarakat. Langkah ini dapat membendung kontroversi dan kecaman atas pemerintah sendiri. Sebab, pemerintahan yang mengakui demokratis perlu melibatkan partisipasi,
menyiapkan
diskursus rasional,
konsensus
informasi yang jelas dalam pengambilan keputusan.
dan
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta, 2002. Banyu, A A., dkk. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: Rosda Karya, 2005. Dahlan, Muhidin M. Sosialisme Religius Suatu Jalan Keempat. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2000. Dessouki, Ali E Hillal, dkk. A Literature Survey and a Framework for Analysis dalam The Foreign Policies of Arab States. Bouleder: Westview Press, 1991. Feith, Herbert ed. Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965. Jakarta: LP3ES, 1998. Hatta, Mohammad. Dasar Politik Luar Negeri Republik Indonesia. Jakarta: Tintamas, 1953. . Demokrasi Kita. Jakarta: Pandji Masjarakat, 1960. . “Karya Lengkap Bung Hatta”, Buku 3 Tentang Perdamaian Dunia dan Keadilan Sosial . Jakarta: LP3ES, 2001. . Kumpulan Karangan Jilid I. Jakarta: Balai Buku Indonesia, 1954. . Kumpulan Karangan Jilid II. Jakarta: Balai Buku Indonesia, 1954. . Kumpulan Karangan Jilid III. Jakarta: Balai Buku Indonesia, 1954. . Mendayung Antara Dua Karang. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1988. Helmi, Alfian Yusuf. Diplomasi Dari Desa Ke Kota-Kota Dunia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989. Jafar, Zainudin, dkk. Perkembangan Studi Hubungan Internasional dan Tantangan Masa Depan. Jakarta: Pustaka Jaya, 1996. Jensen, Lyod. Explaining Foreign Policy. New jersey: prentice Hall. Inc., 1982. Mangandaralam, Syahbuddin. Apa dan Siapa Bung Hatta. Jakarta: PT. Rosda Jayaputra, 1986. Tono, Suwidi ed. Mahakarya Soekarno-Hatta. Jakarta: PT. Perspektif Media Komunika, 2008. Papp, Daniel S. Contemporary International Relation: Frameworks For Understanding. Boston: Allyn & Bacon, 1997.
Roy, S.L. Diplomasi. Jakarta: Rajawali Pers, 1991. Sabir, M. Politik Bebas Aktif. Jakarta: CV. Haji Mas Agung. 2006. Singer, Marshall R." The Foreign Policies of Small Developing States" dalam World Politics : An Introduction oleh James N Rosenau, Kenneth W Thompson dan Gavin Boyd. New York: The Free Press, 1980. Sufatni, dkk. Sejarah Tokoh Bangsa. Jakarta: Pustaka Tokoh Bangsa, 2007. Suryadinata, Leo. Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto. Jakarta: LP3ES, 1998. Weinstein, Franklin B. Indonesian Foreign Policy and the Dilemma of Dependence: From Sukarno to Soeharto. Ithaca: Cornel University Press, 1976. Yamin, Mohammad. Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar Vol. 1. Jakarta: Prapantja, 1959. Yayasan Idayu. Dwitunggal. Jakarta : Yayasan Idayu, 1980. Berita, artikel koran dan website Kajian Politik Luar Negeri Di Akses Dari http://www.deplu.go.id/. Sukma, Rizal Indonesia's Restoration of Diplomatic Relations with China: A Study of Foreign Polici Making and the Function of Diplomatic Ties. Department of International Relations. The London School of Economics and Political Science, University of London, United Kingdom, 1997.