Jurnal at-Tajdid
PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM SYEKH NAWAWI AL-BANTANI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENDIDIKAN MODERN Nurul Faiqah ﻣﻠﺨﺺ وﻗﺪ.وﻫﻮ اﻟﺸﻴﺦ اﻟﻌﻼﻣﺔ اﺠﻮوي اﻛﻨﺘﺎ أﺣﺪ اﻟﻌﻠﻤﺎء اﻤﻟﺸﻬﻮرة ﺑﻌﻠﻮﻣﻪ وﻓﻜﺮﺗﻪ ﻲﻓ ﻋﺮﺼه إن ﻓﻜﺮة اﻟﺮﺘﺑﻴﺔ.ﺑﺬل ﺟﻬﺪه ﻲﻓ اﻟﺮﺘﺑﻴﺔ اﻻﺳﻼﻣﻴﺔ وﺟﻮاﻧﺒﻬﺎ اﻟ ﺗﺘﻨﺎﺳﺐ ﻣﻨﺬ اﻵن وﻣﻦ اﻤﻟﺒﺎدئ.اﻻﺳﻼﻣﻴﺔ ﻟﻠﻨﻮوي ﻻﺗﺰال ﺗﻨﺎﺳﺒﺎ وﺗﻄﺒﻴﻘﺎ ﻲﻓ ﺠﻣﺘﻤﻊ اﻻﻧﺪوﻧﻴﺴﻴﺎ اﻤﻟﺨﺘﻠﻔﺔ وﻞﻛ.اﻬﻟﺎﻣﺔ اﻟ ﻃﺒﻖ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻲﻫ اﻻﺑﻌﺎد اﻹﻟﻲﻬ واﻷﺑﻌﺎد اﻹﻧﺴﺎ واﻷﺑﻌﺎد ﻟﺴﻨﺔ اﷲ ﺗﻌﺎﻰﻟ وﺣﻘﻴﻘﺔ اﻟﺮﺘﺑﻴﺔ واﺤﻛﻌﻠﻴﻢ ﻲﻓ اﻻﺳﻼم ﻋﻨﺪ.ﻫﺬه اﻤﻟﺒﺎدي ﺗﻄﺒﻖ ﻲﻓ ﻋﻤﻠﻴﺔ اﺤﻛﻌﻠﻢ وﺗﻌﻠﻴﻢ ا ﻮم وﺗﺸﻤﻞ اﻟﺮﺘﺑﻴﺔ ﺒﻟ ﻧﻘﻞ اﻤﻟﻌﺮ.رأي اﺠﻮوي ﻲﻫ ﺗﺘﻀﻤﻦ ﻣﺼﻄﻠﺢ اﺤﻛﻌﻠﻴﻢ واﻟﺮﺘﺑﻴﺔ واﺤﻛﺄدﻳﺐ ( و ﻧﻘﻞ اﻤﻟﻨﻬﺞtransfer of value) ( و ﻧﻘﻞ اﻟﻘﻴﻢtransfer of knowledge) .(Transformation) ( و اﺤﻛﻨﻘﻴﻞ واﺤﻛﺤﻮﻳﻞtransfer of methodology) . اﻟﺮﺘﺑﻴﺔ اﻻﺳﻼﻣﻴﺔ ;اﻟﺸﻴﺦ اﺠﻮوي ;اﻟﺮﺘﺑﻴﺔ اﺤﻟﺪﻳﺜﺔ:اﻟﻠﻜﻤﺎت اﻟﺮﺋﻴﺴﻴﺔ
PENDAHULUAN Nama Syekh Nawawi Al-Banten sudah tidak asing lagi bagi umat Islam Indonesia. Bahkan sering terdengar disamakan kebesarannya dengan tokoh ulama klasik madzhab Syafi’i Imam Nawawi Asy-Syam. Melalui karya-karyanya yang tersebar di pesantren-pesantren tradisional yang sampai sekarang masih banyak dikaji, nama Kiai asal Banten ini seakan masih hidup dan terus menyertai umat memberikan wejangan ajaran Islam yang menyejukkan. Di setiap majlis ta’lim karyanya selalu dijadikan rujukan utama dalam berbagai ilmu; dari ilmu tauhid, fiqh, tasawuf sampai tafsir. Syekh Nawawi Al-Bantani sejatinya merupakan tokoh yang piawai dalam gerakan dan pembaharuan pemikiran kependidikan.
Dosen STIT Muhammadiyah Pacitan E-mail:
[email protected]
1
Pemikiran Pendidikan Islam Syekh Nawawi... Sebagaimana dapat disaksikan, bahwa Syekh Nawawi Al-Bantani diakui atau tidak bisa dikategorikan sebagai generasi awal yang mengembangkan sistem pendidikan Islam (pesantren), terutama di Jawa.1 Di kalangan komunitas pesantren Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai ulama penulis kitab, tapi juga ia adalah mahaguru sejati (the great scholar). Syekh Nawawi telah banyak berjasa meletakkan landasan teologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pendidikan islam. Pemikiran pendidikannya masih relevan diaplikasikan baik yang menyangkut nilai-nilai dasar maupun aktivitas-aktivitas pendidikan islam dalam masyarakat Indonesia yang religius dan majemuk.2 Meskipun tidak lengkap, dan sebanding dengan keterbatasan kepustakaan yang dibaca dan tersedia, maka tulisan ini berusaha untuk membahas lebih jauh lagi mengenai Syekh Nawawi al-Bantani beserta pemikirannya, khususnya pemikiran tentang pendidikan Islam. SKETSA BIOGRAFI SYEKH NAWAWI AL-BANTANI 1. Syekh Nawawi Al-Bantani: Sebuah Profil Nama lengkap Syekh Nawawi ialah Muhammad Nawawi bin Umar bin ‘Arabi. Beliau juga dikenal dengan sebutan Abu Abdul Mu’thi. Ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani. Dilahirkan di Kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun 1813 M/1230 H dan wafat di Ma’la Mekkah Saudi Arabia. Pada tanggal 25 Syawal tahun 1314 H/1897 M dalam usia 84 tahun. Ia dimakamkan di Ma’la dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin istri Nabi.3 Syekh Nawawi lebih populer dengan julukan Sayyid Ulama Hijaz (Pemimpin Ulama Hijaz). Melalui pelacakan geneologi Syeikh Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bernama Sunyararas (Tajul ‘Arsy). Nasabnya bersambung dengan Nabi Muhammad SAW melalui Imam Ja’far Assidiq, Imam Muhammad Al-Baqir, Imam Ali Zain Al-Abidin, Sayyidina Husain, Fatimah AlZahra. Melalui bapaknya yang bernama Umar bin Arabi dan ibunya 2
Jurnal Ilmu Tarbiyah “At‐Tajdid”, Vol. 4 No. 1, Januari 2015
Nurul Faiqah bernama Zubaidah, Syekh Nawawi hidup dalam keluarga yang miskin dan di lingkungan ulama. Ayahnya seorang penghulu dan pemimpin masjid serta pendidik muslim di Tanara.4 Syeikh Nawawi mempunyai dua istri, yang pertama adalah Nasima, seorang jawa, dan Hamdara. Dari isteri pertama Syeikh Nawawi mempunyai tiga anak perempuan Ruqayyah, Nafisah, dan Maryam. Sedangkan dari isteri yang kedua mempunyai satu anak perempuan yakni Zahro.5 2. Latar pendidikan dan guru-gurunya Syekh Nawawi, tentu bukan sekedar sebuah nama. Ia adalah ulama besar, enlighter, sosok yang cerdas, dan manusia Banten yang sejak kecil memiliki bakat intelektual.6 Pada masa kanak-kanaknya, beliau bersama dua saudara kandungnya, Tamim dan Ahmad telah memperoleh pengetahuan dasar dalam bahasa Arab (Nahwu dan Sharaf), Fiqih, Tauhid, dan Tafsir langsung dari ayahnya KH. Umar Ibnu Arabi. 7 Pengetahuan dasar tersebut mendorongnya untuk meneruskan pelajarannya, lalu beliau pergi ke beberapa pesantren di Jawa.8 Selain itu ia belajar pada Kiai Sahal di daerah Banten dan Kiai Yusuf di Purwakarta. Pada usia 15 tahun ia pergi menunaikan ibadah haji ke Mekkah dan bermukim di sana selama 3 tahun. Di Mekah, ia belajar pada beberapa orang syekh yang bertempat tinggal di Masjidil Haram, seperti Syekh Ahmad Nahrawi, Syekh Dimyati, dan Syekh Ahmad Dahlan. Ia juga pernah belajar di Madinah di bawah bimbingan Syekh Muhammad Khatib al-Hambali. Sekitar tahun 1248 H/1831 M ia kembali ke Indonesia. Di tempat kelahirannya, ia membina pesantren peninggalan orang tuanya. Karena situasi politik yang tidak menguntungkan, ia kembali ke Mekah setelah 3 tahun berada di Tanara dan meneruskan belajar di sana. Sejak keberangkatannya yang kedua kalinya ini, Syekh Nawawi tidak pernah kembali ke Indonesia. Menurut catatan sejarah, di Mekah ia berupaya mendalami ilmu-ilmu agama dari para gurunya, seperti Syekh Muhammad Khatib Sambas, Syekh Abdul gani Bima, Syekh Yusuf Sumulaweni, dan Syekh Abdul Hamid Dagastani.9
Jurnal Ilmu Tarbiyah “At‐Tajdid”, Vol. 4 No. 1, Januari 2015
3
Pemikiran Pendidikan Islam Syekh Nawawi... 3.
Pengajaran dan murid-muridnya Kecerdasan dan ketekunannya memngantarkan ia menjadi salah satu murid yang terpandang di Masjidil Haram. Ketika Syekh Ahmad Khatib Sambas uzur menjadi imam Masjidil Haram, Syekh Nawawi ditunjuk menggantikannya. Sejak saat itulah ia menjadi Imam Masjidil Haram dengan panggilan ‘Syekh Nawawi Al-Jawi’. Selain menjadi imam Masjid, ia juga mengajar dan menyelenggarakan halaqah (diskusi ilmiah) bagi murid-muridnya yang datang dari berbagai belahan dunia.10 Pada tahun 1860 M. Syekh Nawawi mulai mengajar di lingkungan Masjidil Haram. Prestasi mengajarnya cukup memuaskan, karena dengan kedalaman pengetahuan agamanya, ia tercatat sebagai Syekh di sana.11 Menurut laporan C. Snouck Hurgronje, seorang orientalis yang pernah mengunjungi Mekah ditahun 1884-1885 menyebutkan bahwa sejak pukul 07.30 hingga 12.00, Syekh Nawawi memberikan tiga perkuliahan sesuai dengan kebutuhan jumlah muridnya.12 Sebagian murid-muridnya berasal dari Indonesia, yaitu KH. Khalil (Madura), KH. Hasyim Asy’ari (Jawa Timur), KH. Raden Asnawi (Jawa Tengah), KH. Asy’ari (Bawean), KH. Asnawi dari Caringin, Labuan Banten, KH. Tubagus Bakri dari Sempur, Purwakarta; serta KH. Arsyad Thawil dari Banten.13 4. Karya-karyanya Kedalaman ilmu dan keluasan pemikiran syekh Nawawi tercermin dalam kitab-kitab dan karya yang ditulisnya yang meliputi berbagai disiplin ilmu dan lintas mazhab. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya karangan yang telah ditulisnya dan percetakan yang menerbitkannya serta seringnya kitab-kitab tersebut dicetak ulang di Timur Tengah.14 Syekh Nawawi menulis karya-karyanya dengan mempergunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantarnya, sehingga pada waktu itu dapat dicetak di Mesir dan Mekkah, kemudian beredar di dunia Islam, terutama di negara-negara yang bermazhab Syafi’i.15 Sedangkan jumlah kitab yang menjadi karyanya, para peneliti memberikan kesimpulan yang beragam. Syekh Nawawi sangat banyak menguasai perlbagai bidang dan disiplin keilmuan serta banyak menghasilkan karya mulai bidang teologi, bidang Fiqh (Hukum Islam), bidang Akhlak/Tasawuf, bidang Tarikh atau Sîrah 4
Jurnal Ilmu Tarbiyah “At‐Tajdid”, Vol. 4 No. 1, Januari 2015
Nurul Faiqah Nabawiyah, bidang Tatabahasa dan Kesusasteraan Arab, dan bidang Tafsir-Hadits. PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM SYEKH NAWAWI ALBANTANI 1. Ide-ide sentral pendidikan Syekh Nawawi Al-Bantani Dalam pandangan Syekh Nawawi, sesuai dengan pandangan Islam, bahwa manusia pada prinsipnya terdiri atas dua dimensi yaitu dimensi materi (fisiologis) dan dimensi immateri (psikologis). Baik dimensi fisiologis maupun psikologis adalah satu kesatuan integral yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya dan keduanya saling melengkapi. Fitrah manusia menurutnya ialah fitrah ketuhanan (tauhid)-dualis dan aksinya terhadap dunia luar bersifat interaktif-responsif.16 Islam tidak memandang manusia sebagai makhluk yang kosong dari daya-daya dan potensi seperti halnya konsep tabularasa seperti yang dikemukakan oleh John Locke (16231704), karena itu pendekatan yang totalitas terhadap semua daya atau potensi yang telah dimiliki manusia.17 Manusia mempunyai keterbatasan-keterbatasan sesuai dengan sifat kemanusiaannya dan dibatasi kebebasannya dengan sunnatullah yang pasti. Karena adanya keterbatasan itu, maka ilmu pengetahuan yang ditemukannya pun bersifat relatif dan nisbi. Untuk itu manusia tetap berada di dalam lingkungan Tauhid Uluhiyah, Tauhid Rububiyah, dan Tauhid al-Asma wa al-Sifah Sehingga manusia dalam pemikiran pendidikan Islam bersifat teosentris.18 Keberhasilan dalam menata kebudayaan termasuk pendidikan Islam merupakan perpaduan antara kehendak dan kemauan bebas manusia, hereditas, dan pengaruh dunia luar terhadap peserta didik. Tentu tiga faktor ini merupakan antroposentris yakni hasil dari akal budi manusia sesuai dengan sunnatullah yang diketahui dan diarahkan untuk mencapai kesejahteraan dunia.19 Dalam pandangan Islam, pola pemikiran seperti ini tidaklah cukup, karena mengingat keterbatasan-keterbatasan manusia. Untuk itu mau tak mau kita harus bersandar kepada Yang Maha Pengatur Jagad Raya dan segala sunnatullah-Nya. Potensi-potensi fisiologis dan psikologis manusia tidaklah cukup jika hanya mengandalkan perjanjian primordial
Jurnal Ilmu Tarbiyah “At‐Tajdid”, Vol. 4 No. 1, Januari 2015
5
Pemikiran Pendidikan Islam Syekh Nawawi... dengan Tuhan. Potensi-potensi itu harus dikembangkan melalui pendidikan. Karena tanpa ilmu maka manusia tidak akan mampu mengemban amanah khalifah dan melaksanakan ‘ubûdiyah yang merupakan tanggung jawab manusia untuk menunaikannya.20 2. Prinsip-prinsip aktivitas Pendidikan Islam Hakikat pendidikan dan pengajaran dalam Islam menurut Nawawi mencakup term ta’lim, tarbiyah dan ta’dib. Pendidikan mencakup transfer of knowledge (alih pengetahuan), transfer of value (alih nilai), transfer of methodology (alih metode), dan transformasi. Pendidikan mencakup jasmani (praktik/amal), intelektual, mental/spiritual dan berjalan sepanjang hidup dan integral yang harus berjalan secara bersama-sama. Pengajaran (transfer) merupakan strategi untuk mengaktualkan pendidikan (transformasi).21 Penentuan tujuan pendidikan dalam pemikiran Syekh Nawawi diambil dari penjelasannya tentang tujuan peserta didik menuntut ilmu dan syarat-syarat seseorang memperoleh ilmu serta ayat-ayat tentang pendidikan. Ayat-ayat tersebut menurutnya adalah QS. adzDzariyat: 56 berbunyi22; ∩∈∉∪ Èβρ߉ç7÷èu‹Ï9 ωÎ) }§ΡM}$#uρ £⎯Ågø:$# àMø)n=yz $tΒuρ “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyah: 56) Tampaknya tujuan pendidikan Islam menurut Syekh Nawawi merupakan refleksi dari fungsi manusia sebagai ‘ubûdiyah dan khalîfah (co creator). Sebagaimana tercermin dari pendapatnya bahwa tujuan pendidikan dalam Islam (memperoleh Ilmu) ada empat yakni; 1) agar memperoleh rida (rela) dari Allah (mardhatillah) dan memperoleh kehidupan ukhrawi; 2) untuk menyingkirkan kebodohan dari dirinya (peserta didik) dan mengamalkan ilmunya; 3) menghidupkan agama dan mengabadikan Islam dengan sinaran ilmu; 4) untuk mensyukuri nikmat Allah berupa pemberian akal dan badan yang sehat.23 Dari empat tujuan pendidikan yang digagas Syekh Nawawi tersebut, tampaknya beliau dapat mengkonstruksi tujuan pendidikan berada pada tujuan-tujuan idealis dan tujuan realistis. Idealis berkaitan dengan nilai mardhatillah dan membangun kebahagiaan ukhrawi, sedangkan tujuan realistis ialah menghilang6
Jurnal Ilmu Tarbiyah “At‐Tajdid”, Vol. 4 No. 1, Januari 2015
Nurul Faiqah kan kebodohan, mengabadikan Islam dengan sinaran ilmu, mengoptimalkan potensi-potensi akal dan tubuh.24 Dari berbagai percikan pemikiran Syekh Nawawi baik sewaktu ia bicar tentang tujuan memperoleh ilmu, etika terhadap ilmu, dan etika relasi edukatif guru dan peserta didik, maka dapat diklasifikasikan paling tidak ada empat dimensi yaitu; (a) dimensi pendidikan spiritual, yaitu tauhid, takwa dan ahlak mulia. Dimensi akhlak yakni pembentukan pribadi-pribadi yang terpuji akhlaknya; (b) dimensi pendidikan akal (kognisi) yakni mengajarkan ilmu, mendidik akal dan pemanfaatan atau pengaplikasian terhadap apa yang diketahui oleh peserta didik; (c) dimensi pendidikan Jasmani; guru sebagai pemimpin, fasilitator, instruktor pendidikan haruslah kuat jasmaninya. Ilmu, akhlak dan kekuatan atau kesehatan fisik merupakan satu kesatuan integral dalam konsep syekh Nawawi; (d) dimensi pendidikan sosial yakni berkaitan dengan refomasi sosial keseluruhan dan tanggung jawab kemasyarakatan yang membawa kepada perubahan dan kemajuan; dan (e) dimensi pendidikan profesional yakni yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai profesi dan sebagai suatu aktivitas di antara aktivitas-aktivitas masyarakat.25 Salah satu fungsi pendidikan ialah transfer of methodology (pengalihan metode). Syekh Nawawi tidak secara eksplisit mengemukakan metode apa yang harus digunakan, tetapi ia memberikan prinsipprinsipnya. Diantara prinsip tersebut menurutnya ketika penyampaian bahan ajar yaitu pendidik harus mengetahui keadaan peserta didiknya, baik latar belakang ekonomi, mental, keluarga dan bantuan apa yang harus diberikan dalam memperoleh informasi, memecehkan persoalan dan mengetahui kelebihan dan kekurangan serta potensi peserta didiknya.26 Dari berbagai percikan pemikiran Syekh Nawawi tersebut dapat dijelaskan bahwa prinsip-prinsip umum yang mendasari metode pengajaran dalam pendidikan Islam ialah27; (1) dalam penyajian materi, dimulai dari yang mudah, yang konkrit, dan dapat dipahami oleh kognisi peserta didik. Dalam arti, adanya prinsip berjenjang atau bertahap (gradual); (2) prinsip heterogenitas peserta didik, guru hendaknya mengetahui taraf kematangan, perbedaan individual, dan lain sebagainya; (3) prinsip penggunaan metode mengajar sesuai
Jurnal Ilmu Tarbiyah “At‐Tajdid”, Vol. 4 No. 1, Januari 2015
7
Pemikiran Pendidikan Islam Syekh Nawawi... dengan tingkat kemampuan dan tipologi peserta didiknya; (4) prinsip pengajaran sebagai pengalaman menyenangkan (joyfull experience); (5) prinsip partisipasi aktif; (6) prinsip penjelasan materi (ekplanasi); (7) prinsip tikrâr (pengulangan atau repetisi). IMPLIKASI PEMIKIRAN SYEKH NAWAWI TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM Dilihat dari berbagai ide-ide dasar Syekh Nawawi tentang pendidikan Islam nampaknya tokoh ini dapat diklasifikasikan lebih berat kecenderungannya pada Aliran Religius Konservatif, dibanding dengan aliran Religius Rasional dan Aliran Pragmatis Instrumental. Syekh Nawawi dalam menggambarkan ide-ide dasar pendidikan, kecenderungan nuansa agamisnya lebih dominan sehingga aspek lain menjadi kurang dominan. Penafsiran realitas berpangkal pada agama, maka pendidikan pun dijadikannya sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan keagamaan.28 Sebagai implikasi dari pandangan Syekh Nawawi tersebut tentu terdapat dampak positif edukatif dan juga terdapat dampak negatif edukatifnya. Dampak edukatif positifnya adalah rasa tanggung jawab yang sangat kuat telah menghujam pada pemikiran pendidikannya, dan mengukuhkan rasa tanggung jawab moral. Penghargaannya terhadap persoalan pendidikan Islam sangat tinggi, bahkan menilainya sebagai wujud tanggung jawab keagamaan yang sangat luhur. Tugas mengajar dan belajar tidak sekadar sebagai tugas-tugas profesi kerja dan tugas-tugas kemanusiaan tetapi lebih jauh dari itu yakni sebagai tuntutan kewajiban agama. Tanggung jawab dan kewajiban agama sebagai titik sentral baik dalam kontruksi tataran konsep maupun tataran aplikasi pendidikan. Atau dengan kata lain jika tuntutan tidak sejalan dengan tuntutan keagamaan, maka yang harus didahulukan ialah tuntutan keagamaan.29 Menurut Ridha yang dikutip oleh Maragustam, bahwa aliran religius konservatif ini membawa implikasi pendidikan yang negatif. Kata al-’ilm dalam al-Qur’an dan hadits bersifat mutlak tanpa batas menjadi bersifat muqayyad (terbatas) pada ilmu tentang Tuhan menurut sebagian besar ahli pemdidik muslim saat itu; adanya 8
Jurnal Ilmu Tarbiyah “At‐Tajdid”, Vol. 4 No. 1, Januari 2015
Nurul Faiqah kecenderungan pendakian spiritual yang mendorong pemikiran pendidikan Islam konservatif ke arah pengabaian urusan dunia dengan segala kemanfaatan dan amal usaha yang sebenarnya boleh dinikmati dan bisa dikerjakan; dan keterpakuan para ahli pendidikan muslim pada anggapan ilmu sebagai tujuan akhir. Oleh karena pengabaian urusan dunia, maka ilmu-ilmu yang bersifat keduniaan dikuasai oleh non muslim. Padahal penguasaan dunia sebagai sarana pendakian kebahagiaan di akhirat.30 Jika Syekh Nawawi diposisikan dalam sistem filsafat pendidikan yakni progeresivisme, esensialisme, perenialisme dan rekonstruktivisme, kemudian dielaborasi oleh Muhaimin menjadi tipologi pemikiran filsafat pendidikan Islam nampaknya lebih dekat kepada aliran perenialisme-Esensialisme Mazhabi.31 Ide-ide Syekh Nawawi tentang etika pendidik dan peserta didik dan etika bersama terdapat implikasi bahwa tokoh ini melihat peserta didik masih memerlukan tuntunan dan bimbingan. Peserta didik belum bisa lepas dari pendidik, ia tetap dalam bimbingan dan pengawasan pendidik. Peserta didik merupakan orang yang belum dewasa, namun memiliki potensi yang luar biasa. Untuk itu pendidik berperan besar untuk mengaktualisasikannya.32 Menurut Amin Abdullah, sangat boleh jadi implikasi dan konsekuensi etika ini sangat besar pengaruhnya dalam menumpulkan daya kreativitas, etos kerja, dan etos ilmu secara bersama-sama. Paling tidak manusia tidak bisa lagi otonom dihadapan sang guru/pendidik. Setiap tindakan harus dikonsultasikan kepada sang guru.33 Dari berbagai keterangan Syekh Nawawi tentang kurikulum pengajaran, terdapat implikasi bahwa memandang pengetahuan itu berdasarkan dari sudut pandang aplikatif dari norma-norma agama bukan dari sudut substansi ilmu tersebut. Dengan kata lain dasar atau hal yang esensial didahulukan kemudian disusul dengan materi lain. Mendahulukan matan kitab dari pada syarh dalam pendidikan. Mendahulukan kewajiban personal kemudian disusul dengan kewajiban komunal dan sunnah komunal. Sekalipun yang wajib personal itu banyak, maka yang didahulukan diajarkan ialah ilmu yang fungsional yang menjadi tanggung jawab peserta didik dalam arti tanggung jawab keagamaan.34
Jurnal Ilmu Tarbiyah “At‐Tajdid”, Vol. 4 No. 1, Januari 2015
9
Pemikiran Pendidikan Islam Syekh Nawawi... ANALISIS Melihat ide-ide dasar Syekh Nawawi tentang pendidikan Islam nampaknya tokoh ini tergolong dalam Aliran Konservatif Religius yakni ketika tokoh ini menggambarkan ide-ide dasar pendidikan, kecenderungan nuansa agamisnya lebih dominan sehingga aspek lain menjadi kurang dominan. Penafsiran realitas berpangkal pada agama, maka pendidikan pun dijadikannya sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan keagamaan. Hal ini terlihat pada rumusannya mengenai prinsip-prinsip dasar pendidikan Islam yaitu etika pendidik dan peserta didik. Secara keseluruhan prinsip-prinsip yang ditawarkan oleh Syekh Nawawi tersebut sesuai dengan butir nilai-nilai pendidikan karakter yaitu, Religius, Jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja Keras, Kreatif, Mandiri, Demokratis, Rasa Ingin Tahu, Semangat Kebangsaan, Cinta tanah air, Menghargai prestasi, Bersahabat/komunikatif, Cinta Damai, Gemar membaca, Peduli lingkungan, Peduli social, Tanggung jawab. Syekh Nawawi dengan pemikiran pendidikannya telah banyak memberikan konseptualisasi pendidikan Islam hingga saat ini. Pemikiran pendidikannya masih relevan diaplikasikan baik yang menyangkut nilai-nilai dasar maupun aktivitas-aktivitas pendidikan Islam dalam masyarakat Indonesia yang religius dan majemuk. Diantara prinsip-prinsip itu ialah tiga dimensi integral yakni dimensi teosentris, dimensi antroposentris, dan dimensi sunnatullah, dapat diaplikasikan dalam proses pendidikan sekarang ini. Dalam tataran teoritik, pemikiran Syekh Nawawi tentang pendidikan Islam secara umum dapat dijadikan sebagai pedoman dalam pendidikan Islam dan akan lebih baik apabila dilanjutkan dengan menguraikan ide-idenya menjadi lebih operasional. Sekalipun ide-ide tersebut berasal dari tokoh pemikir kependidikan Islam pada abad ke-19, namun hal-hal yang substantif masih relevan dilaksanakan khususnya dalam pendidikan Islam di Indonesia. PENUTUP Dari pemaparan di atas, dapatlah diketahui bahwa ketokohan KH. Nawawi dikalangan masyarakat dan organisasi Islam tradi10
Jurnal Ilmu Tarbiyah “At‐Tajdid”, Vol. 4 No. 1, Januari 2015
Nurul Faiqah sional bukan saja sangat sentral tetapi juga menjadi tipe utama seorang pemimpin, sebagaimana diketahui dalam sejarah pendidikan tradisional, khususnya di Banten. Hakekat pendidikan dan pengajaran dalam Islam menurut Syekh Nawawi mencakup term ta’lim, tarbiyah dan ta’dib. Sedangkan tujuan memperoleh ilmu (tujuan pendidikan) ialah mardatillah dan memperoleh kehidupan ukhrawiyah, memberantas kebodohan, memajukan Islam, melestarikan Islam dengan kaidah-kaidah ilmu serta sebagai perwujudan dari rasa syukur karena diberi akal dan tubuh yang sehat. Salah satu dampak edukatif positif pandangan Syekh Nawawi adalah rasa tanggung jawab yang sangat kuat telah menghujam pada pemikiran pendidikannya, dan mengukuhkan rasa tanggung jawab moral. Sedangkan dampak negatifnya adalah kecenderungan mengabaikan urusan dunia.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, M. Amin, Falsafah Kalam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995. al-Jawi, Syekh Nawawi, Syarh Marâq Al-‘Ubûdiyah, Indonesia: AlHaramain, t.t. Anshory, Ma’ruf Amin dan Nasruddin, “Pemikiran Syekh Nawawi AlBantani”, Pesantren, No 1 /Vol. VI/1989. As-Samfuriy, Sya'roni,“Syekh Nawawi bin Umar Al-bantani Al-Jawi”, dalam Website
Jurnal Ilmu Tarbiyah “At‐Tajdid”, Vol. 4 No. 1, Januari 2015
11
Pemikiran Pendidikan Islam Syekh Nawawi... Hanafi, Muhammad, “Pemikiran Kalam Imam Nawawi Al-Bantani dalam Kitab Qatr Al-Gais (1230-1314 H/1815-1897 M) Tahqiq dan Dirasah”, Tesis. Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta: Perpustakaan Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2010. Iqbal, Asep Muhammad, Yahudi Dan Nasrani Dalam Al-Qur’an Hubungan Antaragama Menurut Syeikh Nawawi Banten, Bandung: Teraju PT Mizan Publika, 2004. Ma'mun, Sukron, “Syekh Nawawi Al-Bantani: Lokomotif Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia”, dalam Website http://shofasaid.blogspot.com/, 14 Desember 2015. Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. Naharin, Sri, “Pemikiran tasawuf Imam Nawawi al-Bantani dan M. Shaleh Darat Al-Samarani”, Tesis, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta: Perpustakaan Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2006. Nasution dkk (ed.), Harun, Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jakarta: Dirjen Binbaga PT Agama Islam, 1987. Siregar, Maragustam, Pemikiran Pendidikan Syeikh Nawawi Al-Bantani, Yogyakarta: Datamedia, 2007. Tim Penyusun, Ensiklopedi Pendidikan Islam Jilid IV, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
ENDNOTES 1
2
3
4
5
Sukron Ma'mun, “Syekh Nawawi Al-Bantani: Lokomotif Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia”, dalam Website http://shofasaid.blogspot.com/, Diakses 14 Desember 2015. Maragustam Siregar, Pemikiran Pendidikan Syeikh Nawawi Al-Bantani (Yogyakarta: Datamedia, 2007), hlm. 278. Harun Nasution dkk (ed.), Ensiklopedi Islam di Indonesia (Jakarta: Dirjen Binbaga PT Agama Islam, 1987), hlm. 666. Ma’ruf Amin dan Nasruddin Anshory, “Pemikiran Syekh Nawawi AlBantani”, Pesantren, No 1 /Vol. VI/1989, hlm. 95-96. Asep Muhammad Iqbal, Yahudi dan Nasrani dalam Al-Qur’an Hubungan antar agama menurut Syeikh Nawawi Banten (Bandung: Teraju PT Mizan Publika, 2004), hlm. 49.
12
Jurnal Ilmu Tarbiyah “At‐Tajdid”, Vol. 4 No. 1, Januari 2015
Nurul Faiqah 6
7
8
9
10 11
12
13
14
15
16 17
Di usia yang masih kanak-kanak ini, beliau pernah bermimipi bermain dengan anak-anak sebayanya di sungai, karena merasakan haus ia meminum air sungai tersebut sampai habis. Namun rasa dahaganya tak kunjung surut. Maka Nawawi bersama teman-temanya beramai-ramai pergi ke laut dan air lautpun di minumnya seorang diri hingga mengering. Lihat Sya'roni As-Samfuriy, “Syekh Nawawi bin Umar Albantani Al-Jawi”, dalam Website http://biografiulamahabaib.blogspot.com/2012/10/syekh-nawawi-albantani.html.I Diakses 14 Desember 2015. Lihat Sri Naharin, “Pemikiran tasawuf Imam Nawawi al-Bantani dan M. Shaleh Darat Al-Samarani”, Tesis, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga (Yogyakarta: Perpustakaan Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2006), hlm. 25. Lihat Sya'roni As-Samfuriy, “Syekh Nawawi bin Umar Al-bantani Al-Jawi”, dalam Website http://biografiulamahabaib.blogspot.com/2012/10/syekhnawawi-al-bantani.html. Diakses 14 Desember 2015. Tim Penyusun, Ensiklopedi Pendidikan Islam Jilid IV (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hlm. 23-24; Harun Nasution dkk (ed.), Ensiklopedi Islam, hlm 667. Sri Naharin, Pemikiran tasawuf Imam Nawawi al-Bantani., hlm. 26. M. Ulul Fahmi, Ulama Besar Indonesia: Biografi dan Karyanya (Kendal: Pustaka Amanah, 2008), hlm. 8. Beliau menerima murid baru, sejak tingkat permulaan tata bahasa Arab (mubtadi), disamping murid yang sudah cukup pintar dan yang mengajar sendiri di tempat mereka. Golongan ini juga mengambil alih sebagian tugasnya di bidang pendidikan dasar seperti juga beberapa orang yang hidup di rumahnya (antara lain Adiknya sendiri Abdullah umur 16 tahun, yang sepanjang hidupnya dididik oleh oleh kakaknya). Dalam Maragustam Siregar, Pemikiran Pendidikan., hlm. 104 Ma’ruf Amin dan Nasruddin Anshory, “Pemikiran., hlm. 667; Maragustam Siregar, Pemikiran Pendidikan., hlm. 103 Setelah Indonesia merdeka, kitab-kitab karangan syekh Nawawi dicetak ulang berkali-kali, bukan hanya di Mesir dan Makkah saja, tapi juga di Indonesia, Singapura, Malaysia, dan lain-lain. Lihat Muhammad Hanafi, “Pemikiran Kalam Imam Nawawi Al-Bantani dalam Kitab Qatr Al-Gais (12301314 H/1815-1897 M) Tahqiq dan Dirasah”, Tesis. Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga (Yogyakarta: Perpustakaan Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2010), hlm. 30. Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai (Jakarta: Penerbit LP3ES, 1985), hlm. 89. Maragustam Siregar, Pemikiran Pendidikan., hlm. 250. Suwito dan Fauzan, Sejarah Para Tokoh Pemikiran Pendidikan (Bandung: Angkasa, 2003), hlm. 294.
Jurnal Ilmu Tarbiyah “At‐Tajdid”, Vol. 4 No. 1, Januari 2015
13
Pemikiran Pendidikan Islam Syekh Nawawi... 18 19 20
21 22
23 24
25 26 27 28 29 30 31
32 33
34
Maragustam, Pemikiran., hlm. 252. Ibid., hlm. 253. Ibid., Maka dari itu Tuhan memberi tugas amanah yang berat, maka Dia memberi berbagai potensi kepada manusia, kebebasan berkehendak (free will), berkemauan dan berbuat (free act), menyediakan alam seisinya sebagai medan empirik. Maragustam, Pemikiran., hlm. 200. Diantara ayat-ayat yang dijadikan dalam penentuan tujuan pendidikan menurut Syekh Nawawi yakni QS. Al-Baqarah (2): 21, al-Anbiya’ (21): 25, dan al-Nahl (16): 36. Maragustam, Pemikiran., hlm. 211. Tujuan-tujuan pendidikan yang digagas oleh Syekh Nawawi tersebut juga terekam dalam salah satu kitabnya. Lihat Syekh Nawawi al-Jawi, Syarh Marâq Al-‘Ubûdiyah (Indonesia: Al-Haramain, t..t..), hlm. 3. Maragustam, Pemikiran Pendidikan., hlm. 216-217 Ibid., hlm. 218 Ibid., hlm. 222-223 Ibid., hlm. 266 Ibid., hlm. 267. Ibid., hlm. 268. Menurut Muhaimin, tipologi filsafat pendidikan Islam yang PerenialEsensialis Mazhabi dapat dilihat dari tiga sisi yakni parameter, ciri-ciri pemikirannya, dan fungsi pendidikan Islam. Dari segi parameter, ciricirinya ialah bersumber dari Al-Qur’an dan al-Sunnah; regresif ke masa pasca salaf/klasik; konservatif (mempertahankan dan melestarikan nilainilai dan pemikiran para pendahulunya secara turun-temurun. Ciri-ciri pemikirannya ialah menekankan pada pemberian syarah dan hasyiyah terhadap pemikiran pendahulunya; kurang ada keberanian mengkritisi atau mengubah substansi materi pemikiran para pendahulunya. Fungsi pendidikan Islam ialah melestarikan dan mempertahankan nilai dan budaya serta tradisi dari satu generasi ke generasi berikutnya dan pengembangan potensi dan interaksinya dengan nilai dan budaya masyarakat terdahulu. Lihat Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 65. Maragustam, Pemikiran Pendidikan., hlm. 269. M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 135 Maragustam, Pemikiran Pendidikan., hlm. 270.
14
Jurnal Ilmu Tarbiyah “At‐Tajdid”, Vol. 4 No. 1, Januari 2015