REFORMASI PENDIDIKAN ISLAM: TELAAH PEMIKIRAN IBNU KHALDUN DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN MASA KINI Oleh Mujahidun, M.Pd. No. HP 081328701722 Dosen pada Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Magelang dan Mahasisa S3 Kependidikan Islam pada UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
ABSTRAK Pemikiran Ibnu Khaldun, seorang sejarahwan dan filosof, telah membawa pemikiran horizon baru dalam pemikiran pendidikan Islam. Menurut beberapa ahli, proses pemikirannya mengalami percampuran yang unik, yaitu dipengaruhi oleh dua tokoh yang saling bertolak belakang, Al-Ghozali (penentang Aristoteles) dan Ibnu Rusyd (pengikut Aristoteles). Ibnu Khaldun adalah pengikut Al-Ghozali dalam permusuhannya melawan logika Aristoteles, dan pengikut Ibnu Rusyd dalam usahanya mempengaruhi massa. Hal itulah yang membawa Ibnu Khaldun membangun suatu bentuk logika baru yang realistik, guna menggantikan logika idealistik Aristoteles yang berpola paternalistik-absolutistik-spiritualistik menjadi relatifistiktemporalistik-materialistik. Ia terkenal sebagai ilmuwan besar karena karyanya “Muqaddimah”. Dalam karyanya itu, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa ilmu pendidikan bukanlah suatu aktivitas yang semata-mata bersifat pemikiran dan perenungan, akan tetapi merupakan gejala konklusif yang lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannya dalam tahapan kebudayaan. Pendidikan menurutnya mempunyai pengertian yang cukup luas, bukan hanya merupakan proses belajar mengajar yang dibatasi oleh empat dinding, melainkan suatu proses di mana manusia secara sadar menangkap, menyerap, dan menghayati peristiwa-peristiwa alam sepanjang zaman. Tulisan ini bermasud menyoroti pemikiran Ibnu Khaldun yang terkenal dengan reformasi pendidikan tersebut dan implikasinya dalam pendidikan Islam masa kini.
Kata Kunci: reformasi pendidikan, pendidikan islam A. Pendahuluan Pemikiran pendidikan Islam, dari waktu ke waktu, mengalami perubahan seiring perubahan zaman dengan berbagai faktornya. Salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut adalah perbedaan cara pandang dalam memaknai hakekat, tujuan, metode dan sumber pendidikan Islam. Secara historis, perubahan pemikiran pendidikan Islam selalu mengalami revolusi. Muhammad Jawwad Ridla mengatakan bahwa revolusi pemikiran pendidikan Islam terjadi pada masa sahabat Usman hingga abad IV hijriyah dengan ditandai semangat sejarahwan Muslim dan dinamika perkembangan pemikiran dalam berbagai dimensi. Lebih lanjut Ridla menganalisis sejarah perkembangan pemikiran tersebut ke dalam tiga tahap, yakni pertama, berawal dari hijrah Nabi SAW hingga berdirinya Dar al-Hikmah di Baghdad (217 H/832 M); kedua, dari berdirinya Dar al-Hikmah hingga munculnya madrasah Nizamiyah di Baghdad (462 H/1065 M)
1
dan ketiga, masa setelah era madrasah Nizamiyah hingga runtuhnya kekhalifahan Turki Usmani (Ridla, 2002:22). Muhammad Jawwad Ridla (2002:22-57) menjelaskan pada tahap pertama pemikiran pendidikan Islam belum memunculkan teori pendidikan yang istimewa dan belum diformulasikan secara komprehensif. Tahap kedua merupakan fase perkembangan sumber sosial-filosofis pemikiran pendidikan Islam ditandai dengan gerakan pembentukan teori-teori pendidikan. Pada tahap ini muncul gerakan massif penerjemahan buku-buku filsafat Yunani, kedokteran, matematika dan disiplin ilmu lain ke dalam bahasa Arab (abad III dan IV M). Tahap ketiga, setelah runtuhnya dinasti Usmani, terjadilah padam pelita gerakan intelektual yang mengakibatkan pemikiran pendidikan Islam mengalami stagnasi. Dinamika perkembangan pemikiran pendidikan Islam tersebut mendorong para pemikir Muslim untuk mengkaji secara lebih mendalam agar melahirkan sebuah warisan pemikiran keislaman. Upaya tersebut, dari berbagai belahan dunia Islam, telah ditunjukkan dengan lahirnya tiga aliran utama pendidikan Islam, yaitu aliran agamis-konservatif, aliran religius-rasional dan aliran pragmatis-instrumental (Muhammad Jawwad Ridla,
2002:35). Uraian ketiga aliran tersebut sebagai
berikut. Aliran agamis-konservatif ini cenderung bersikap murni keagamaan dalam kaitannya dengan persoalan pendidikan, artinya ilmu pengetahuan hanya terbatas pada pemaknaan dari sumber utama (Al-Qur‟an dan Sunnah). Tokoh-tokoh aliran ini adalah al-Ghazali, Nasiruddin al-Thusi, Ibnu Jama‟ah, Sahnun, Ibnu Hajar alHaitami dan al-Qabisi. Aliran religius-rasional meski tidak jauh dengan pemikiran kalangan “tradisionalis-tekstualis” mengatakan bahwa semua ilmu yang tidak menghantarkan pada tujuan akherat, maka akan menjadi bumerang bagi pemiliknya. Tokoh aliran ini adalah kelompok Ikhwan al-Shafa, al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Miskawaih. Menurut aliran ini. pendidikan ditafsirkan lebih luas sebagai aktivitas sosial (interaksi dalam kehidupan sosial) dan respons positif terhadap tuntutannya. Aliran ini juga mengaskan bahwa ilmu tidak semata berdasarkan teks namun dibutuh pemikiran yang rasional.
Adapun aliran
pragmatis-instrumental dengan tokoh satu-satunya adalah Ibnu Khaldun membagi ilmu pengetahuan berdasarkan tujuan fungsionalnya, bukan berdasar nilai
2
substansialnya. Oleh karena itu pendidikan dipandang sebagai tujuan yang pragmatis dan berorientasi kepada aplikatif-praktis. Berdasarkan uraian di atas, tulisan ini ingin mencoba mendiskripsikan konsep pemikiran Ibnu Khaldun kaitannya dengan upaya-upaya mereformasi pendidikan Islam dan implikasinya dalam pendidikan Islam masa kini.
B. Biografi Singkat Ibnu Khaldun Ibnu Khaldun yang nama lengkapnya Abdurrahman Zaid Waliuddin ibnu Muhammad ibnu al-Husain ibnu Muhammad ibnu Ibrahim ibnu Abdirrahman ibnu Khaldun al-Khadlrami al-Tunisi kemudian termashur dengan nama Ibnu Khaldun (733-808 M/ 1332-1406). Ia dilahirkan di Tunisia dari keluarga Spanyol-Arab dan dikenal sebagai sejarawan dan bapak sosiologi Islam yang hafal Alquran sejak usia dini. Perjalanan hidupnya dipenuhi dengan berbagai peristiwa, pengembaraan, dan perubahan dengan sejumlah tugas besar. Dari jabatan yang diembannya dan pengembaraan tersebut melahirkan sejumlah pemikiran yang sangat berpengaruh bagi intelektual Barat dan Timur baik Muslim maupun non-Muslim dalam bidang sejarah, politik, ekonomi dan filsafat. Abu Al Maira menguraikan dari kisah yang panjang tentang Ibnu Khaldun, setidak-tidaknya dapat dikelompokkan kedalam tiga periode yang amat penting yakni,
pertama, masa dimana Ibnu Khaldun menuntut berbagai bidang ilmu
pengetahuan. Yakni, ia belajar al-Quran, tafsir, hadis, usul fikih, tauhid, fikih madzhab Maliki, ilmu nahwu dan sharaf, ilmu balaghah, fisika dan matematika. Kedua, ia terjun dalam dunia politik dan sempat menjabat berbagai posisi penting kenegaraan seperti qadhi al-qudhat (Hakim Tertinggi). Namun, akibat fitnah dari lawan-lawan politiknya, Ibnu Khaldun sempat juga dijebloskan ke dalam penjara. Ketiga, setelah ia keluar penjara, Ibnu Khaldun berkonsentrasi pada bidang penelitian dan penulisan, ia pun melengkapi dan merevisi catatan-catatannya yang telah lama dibuatnya. Seperti kitab al-‟ibar (tujuh jilid) yang menjadi Kitab al‟Ibar wa Diwanul Mubtada‟ awil Khabar fi Ayyamil „Arab wal „Ajam wal Barbar wa Man „Asharahum min Dzawis Sulthan al-Akbar. Karya-karya lainnya adalah, at-Ta‟riif bi Ibn Khaldun (sebuah kitab autobiografi, catatan dari kitab sejarahnya); Muqaddimah (pendahuluan atas kitabu al-‟ibar yang bercorak sosiologis-historis,
3
dan filosofis); Lubab al-Muhassal fi Ushul ad-Diin (sebuah kitab tentang permasalahan dan pendapat-pendapat teologi, yang merupakan ringkasan dari kitab Muhassal Afkaar al-Mutaqaddimiin wa al-Muta‟akh-khiriin karya Imam Fakhruddin ar-Razi. (Abu Al Maira,
http://jaksite.wordpress.com/biografi
diunduh pada tanggal 4 Mei 2010} Karya terbesar Ibnu Khaldun adalah “Muqaddimah” sebuah buku terlengkap pada abad ke-14 M yang telah diterjamahkan ke beberapa bahasa memuat pokokpokok pikiran tentang gejala-gejala sosial kemasyarakatan, sistem pemerintahan dan politik di masyarakat, ekonomi dalam individu, bermasayarakat dan bernegara, gejala manusia dan pengaruh faktor lingkungan geografis serta paedagogik dan ilmu pengetahuan beserta alatnya. Kontribusi dalam pendidikan Islam telah beliau tuangkan melalui buku “Muqaddimah” yang sekaligus merupakan karya monumental bagi perkembangan keilmuan menuju reformasi pendidikan Islam. Dikatakan oleh Fakhri dalam bukunya History of Islamic Philosophy sebagaimana dikutip oleh Beavers (2001:117) bahwa karya ini dipuji karena dibuat dengan penuh kesadaran dan merupakan ringkasan dari seluruh ajaran Islam.
C. Pemikiran Ibnu Khaldun Tentang Pendidikan Islam
Latar belakang yang unik dari kehidupan sosok Ibnu Khaldun menurut Beavers memunculkan pemikiran pendidikan yang istimewa menuju horizon baru pemikiran pendidikan Islam. Hal ini tercermin pada apresiasi Ibnu Khaldun terhadap ragam ilmu yang menurutnya dibagi menjadi dua yaitu ilmu-ilmu tradisional seperti al-Qur‟an, hadits, kalam, sufisme dan penafsiran mimpi dan ilmu-ilmu „aqli yaitu logika, matematika, fisika dan metafisika. Cabang-cabangnya begitu rinci, sehingga lebih bercorak ensiklopedis yang ditulis untuk tujuan pendidikan (Beavers (2001:117). Kaitannya dengan pemikiran filsafat pendidikan, dapat dikatakan bahwa pemikiran Ibnu Khaldun telah mengakomodir ide-ide falsafah pendidikan yang masih aktual hingga sekarang. Dikatakan oleh Ibnu Khaldun bahwa ilmu pendidikan bukan sebagai aktivitas yang semata-mata bersifat pemikiran dan perenungan, yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di dalam kehidupan, akan tetapi ia merupakan gejala konklusif yang
4
lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannya dalam tahapan kebudayaan, (Fathiyah, 1987:31). Diakuinya bahwa lingkungan dan pendidikan merupakan faktor determinan bagi kencenderungan-kecendurangan individu (Jawad Ridla, 2002:175). Dengan demikian pendidikan merupakan sebuah keniscayaan dalam sebuah masyarakat manusia, dan ia akan selalu berkembang sesuai perkembangan dan kemajuan peradaban manusia. Pemikiran Ibnu Khaldun dalam bidang pendidikan dapat disimpulkan yakni meliputi manusia didik, ilmu, metode pengajaran dan spesialisasi. Ibnu Khaldun berpandangan bahwa manusia adalah makhluk berfikir yang dapat melahirkan ilmu dan teknologi, di mana sifat-sifat ini tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Selanjutnya ia juga berpendapat bahwa pertumbuhan pendidikan dan ilmu pengetahuan dipengaruhi oleh peradaban (Mufidah, 2008:87).
1. Pengertian dan Tujuan Pendidikan Menurut Ibnu Khaldun Gambaran umum mengenai makna pendidikan menurut Ibnu Khaldun dituangkan dalam “Muqaddimah”. Dalam bukunya beliau mengatakan bahwa: “Barangsiapa tidak terdidik oleh orang tuanya, maka akan terdidik oleh zaman, maksudnya barangsiapa tidak memperoleh tata krama yang dibutuhkan sehubungan pergaulan bersama melalui orang tua mereka yang mencakup guruguru dan para sesepuh, dan tidak mempelajari hal itu dari mereka, maka ia akan mempelajarinya dengan bantuan alam, dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sepanjang zaman, zaman akan mengajarkannya” (Ibnu Khaldun, 1986:527). Pendidikan menurut beliau mempunyai pengertian yang cukup luas. Pendidikan bukan hanya merupakan proses belajar mengajar yang dibatasi oleh ruang dan waktu, tetapi pendidikan adalah suatu proses, di mana manusia secara sadar menangkap, menyerap, dan menghayati peristiwa-peristiwa alam sepanjang zaman. Meskipun tidak memberikan pengertian pendidikan secara jelas, namun ia menegaskan bahwa ilmu dan pendidikan tidak lain merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani. Menurut Ibnu Khaldun bahwa manusia itu secara esensial bodoh (jahil) layaknya seperti binatang, manusia hanya berupa setetes sperma, segumpal darah, sekerat daging dan masih ditentukan rupa mentalnya. Artinya manusia itu adalah jenis hewan, namun Allah SWT telah membedakan manusia dan hewan
5
dengan memberi akal pikiran kepada manusia. Pada mulanya manusia menggunakan akal pemilah, kemudian akal eksperimental dan akhirnya menggunakan akal kritis. Melalui akan pikiran inilah, manusia mampu bertindak secara teratur dan terencana. Kemampuan manusia untuk berfikir baru dapat dicapai setelah sifat kebinatangannya mencapai kesempurnaan. Dia mencapai kesempurnaan bentuknya melalui ilmu pengetahuan yang dicari melalui organ tubuhnya sendiri (pendengaran, penglihatan dan akal). Akhirnya manusia menjadi berilmu („alim) melalui pencarian ilmu pengetahuan (Ibnu Khaldun (1986:533). Melalui proses kemampuan membedakan, manusia siap menerima ilmu pengetahuan dan keahlian-keahlian. Kemudian manusia ingin mencapai apa yang menjadi tuntutan wataknya; yaitu ingin mengetahui segala sesuatu, lalu dia mencari orang yang lebih dulu memiliki ilmu atau kelebihan dan dari sinilah timbul pengajaran. Setelah itu pikiran dan pandangannya dicurahkan pada hakekat kebenaran satu demi satu serta memperhatikan peristiwa-peristiwa yang dialaminya. Akhirnya dia menjadi terlatih dan ketika itu ilmunya menjadi suatu ilmu spesial, dan jiwa generasi yang sedang tumbuh pun tertarik untuk memperoleh ilmu tersebut. Inilah yang oleh Ibnu Khaldun dikatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan hal yang alami di dalam peradaban manusia (Ibnu Khaldun, 1986:534). Al-Syaibani (1979:66) mencoba menganalisis tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun. Menurutnya ada enam tujuan pendidikan, yaitu : a) menyiapkan
seseorang dari segi keagamaan dengan memperkuat potensi iman, sebagaimana dengan potensi-potensi lain; b) menyiapkan seseorang dari segi akhlak; c) menyiapkan seseorang dari segi kemasyarakatan atau sosial; d) menyiapkan seseorang dari segi vokasional atau pekerjaan; e) menyiapkan seseorang dari segi pemikiran, sebab dengan pemikiran seseorang dapat memegang berbagai pekerjaan atau ketrampilan tertentu dan f) menyiapkan seseorang dari segi kesenian. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan bukan hanya bertujuan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan akan tetapi juga untuk mendapatkan keahlian. Ibnu Khaldun telah memberikan porsi yang sama antara
6
apa yang akan dicapai dalam urusan ukhrowi dan duniawi, karena baginya pendidikan adalah jalan untuk memperoleh rizki. Atas dasar itulah Ibnu Khaldun beranggapan bahwa target pendidikan adalah memberikan kesempatan kepada pikiran untuk aktif dan bekerja, karena dia memandang aktivitas ini sangat penting bagi terbukanya pikiran dan kematangan individu dan kematangan berfikir adalah alat bagi kemajuan ilmu industri dan sistem sosial.
2. Pandangan tentang Kurikulum dan Materi Pendidikan Pengertian kurikulum pada masa Ibnu Khaldun sebagaimana dijelaskan oleh Al-Syaibani (1979:480) masih terbatas pada maklumat dan pengetahuan yang dikemukakan oleh guru atau sekolah dalam bentuk mata pelajaran yang terbatas atau dalam bentuk kitab-kitab tradisional yang dikaji oleh murid dalam tiap tahap pendidikan. Sedangkan pengertian kurikulum modern, telah mencakup konsep yang lebih luas yang di dalamnya mencakup empat unsur pokok yaitu: tujuan pendidikan yang ingin dicapai, pengetahuan-pengetahuan, maklumat-maklumat, data kegiatan-kegiatan, pengalaman-pengalaman dari mana terbentuknya kurikulum itu, metode pengajaran serta bimbingan kepada murid, ditambah metode penilaian yang dipergunakan untuk mengukur kurikulum dan hasil proses pendidikan (Al-Syaibani, 1979:486). Ibnu Khaldun mencoba membandingkan kurikulum pada pendidikan tingkat rendah yang terjadi di negara-negara Islam bagian Barat dan Timur. Ia mengatakan bahwa sistem pendidikan dan pengajaran yang berlaku di Maghrib sebatas mempelajari al-Qur‟an dari berbagai segi kandungannya. Lain halnya di Andalusia, tidak membatasi pengajaran anak-anak pada mempelajari al-Qur‟an saja, akan tetapi dimasukkan juga pelajaran-pelajaran lain seperti syair, karang mengarang, khat, kaidah-kaidah bahasa Arab dan hafalan-hafalan. Demikian pula di Ifrikiya yang mengkombinasikan pengajaran al-Qur‟an dengan hadits dan kaidah-kaidah dasar ilmu pengetahuan tertentu (Al-Syaibani, 1979:760). Dalam Muqaddimah sebagaimana diuraikan di atas, Ibnu Khaldun membagi ilmu menjadi dua macam yaitu, pertama ilmu-ilmu tradisional yang bersumber al-Qur‟an dan Hadits (ilmu naqliyah), - peran akal hanyalah menghubungkan cabang permasalahan dengan cabang utama. Termasuk dalam
7
ilmu ini antara lain: ilmu tafsir, ilmu qiraat, ilmu hadits, ilmu ushul fiqh, ilmu fiqh, ilmu kalam, ilmu bahasa Arab, ilmu tasawuf, dan ilmu ta‟bir mimpi. Kedua, ilmu aqliyah (bersumber pada akal). Ilmu ini dimiliki semua anggota masyarakat di dunia, dan sudah ada sejak mula kehidupan peradaban umat manusia di dunia. Menurut Ibnu Khaldun ilmu-ilmu filsafat (aqliyah) ini dibagi menjadi empat macam ilmu yaitu: Ilmu logika,Ilmu fisika, Ilmu metafisika dan Ilmu matematika. Dalam hal materi pendidikan, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa ilmu pengetahuan yang dikenal umat manusia terdiri atas. Pertama, ilmu pengetahuan yang dipelajarai karena faedah ilmu itu sendiri seperti, ilmu-ilmu agama (syari‟at) yakni tafsir, hadits, fiqh dan ilmu kalam; ilmu-ilmu alam, dan sebagian filsafat yang berhubungan dengan ketuhanan. Kedua, ilmu-ilmu yang merupakan alat untuk mempelajari ilmu golongan yang pertama yakni ilmu bahasa Arab, ilmu hitung dan ilmu lainnya yang membantu mempelajari agama serta logika yang membantu mempelajari filsafat (Ibnu Khaldun, 1986:757758). Namun demikian, pandangan integral tentang ilmu dan aktivitas pembelajaran tersebut menjadi ambigu sewaktu Ibnu Khaldun mengemukakan klasifikasi ilmu menjadi dua (aqliyah dan naqliyah). Ibnu Khaldun mempunyai dualitas sikap, terhadap ilmu aqliyah ia bersikap bebas dan terbuka sedangkan terhadap ilmu naqliyah, Ibnu Khaldun telah menutup pintu ijtihad.
D. Reformasi Pendidikan Islam Menurut Ibnu Khaldun Ibnu Khaldun sering dikatakan sebagai tokoh kontroversial karena memadukan corak pemikiran filsafat yang saling bertentangan antara al Ghozali dan Ibnu Rusyd. Muhammad Abdullah Enan mengatakan bahwa Ibnu Khaldun adalah pengikut Al-Ghozali dalam permusuhannya melawan logika Aristoteles, dan pengikut Ibnu Rusyd dalam usahanya mempengaruhi massa. Ibnu Khaldun adalah satu-satunya sarjana muslim waktu itu yang menyadari arti pentingnya praduga dan katagori dalam pemikiran untuk menyelesaikan perdebatanperdebatan intelektual. Barangkali karena itulah Fuad Baali sebagaimana dikutip oleh Juwariyah menganggap bahwa Ibnu Khaldun membangun suatu bentuk logika baru yang realistik, sebagai upayanya untuk mengganti logika
8
idealistik Aristoteles yang berpola paternalistik-absolutistik-spiritualistik. Sedangkan logika realistik Ibnu Khaldun ini berpola pikir relatifistiktemporalistik-materialistik (Juwariyah dalam Machali, 2010:123-124). Dengan pola pikir semacam itu Ibnu Khaldun mengamati dan menganalisa gejala-gejala sosial
beserta
sejarahnya,
yang
pada
akhirnya
tercipta
suatu
teori
kemasyarakatan yang modern. Dalam kaitannya dengan filsafat pendidikan Islam, Ibnu Khaldun tidak ingin terjebak pada pemikiran konservatif bahwa pencarian ilmu pengetahuan tidak semata hasil pengamatan inderawi dan penalaran dari akal pikiran manusia yang merupakan pemberian Tuhan, melainkan hal itu akan terwujud dengan mengedepankan watak kebudayaan (culture oriented) Sebab, akal pikir adalah sarana manusia memperoleh kehidupan, kooperasi antar sesama dan berkemasyarakatan yang kohesif. Dalam mereformasi pendidikan, Ibnu Khaldun berusaha memadukan kedua ilmu tersebut dan mengembangkan metode pendidikan Islam yang konservatif menuju pragmatis, misalnya metode indoktrinasi dirubah menjadi diskusi. Dalam hal pola pembelajaran, Ibnu Khaldun tidak sepakat dengan model pembalajaran yang bertele-tele (semisal menghafal/ hal-hal yang tidak berguna) melainkan memfokuskan kepada hal-hal yang pokok saja. Namun demikian ia pun mengkritik pola pembelajaran yang terlalu ringkas-cepat sehingga mengaburkan materi yang diajarkan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa Ibnu Khaldun telah mencoba menghubungkan antara ilmu naqliyah dengan aqliyah atau ilmu agama dengan filsafat. Juwariyah dalam (Machali, 2010:132) mengatakan bahwa
ilmu-ilmu tersebut sangat erat dengan proses belajar
mengajar yang banyak bergantung pada para pendidik, bagaimana dan sejauhmana mereka dapat menggunakan berbagai metode yang tepat dan baik Reformasi pemikiran pendidikan pada masanya adalah terkait dengan strategi berinteraksi dengan anak didik yang “militeristik”. Menurut Ibnu Khaldun mengingatkan agar jangan sampai terjadi salah dalam pembelajaran yang pada gilirannya dapat berdampak buruk bagi anak didik berupa munculnya kelainan-kelainan psikologis dan perilaku nakal, (Jawwad Ridla, 2002:190195).
9
E. Implikasi Pemikiran Ibnu Khaldun dalam Konteks Pendidikan Masa Kini Dengan pendekatan filsafat dan historis (historical philosophy approach) beliau mampu merumuskan beberapa pendapat dan interpretasi dari suatu kenyataan dan pengalaman yang telah dilalui. Secara ringkas pemikiran Ibnu Khaldun dalam reformasi pendidikan yang dapat diemplementasikan dalam konteks kekinian yakni dalam aspek tujuan pendidikan, hakekat pendidik, hakekat peserta didik, hakekat kurikulum, metode pendidikan dan evaluasi pendidikan adalah sebagai berikut. 1.
Tujuan Pendidikan Tujuan pendidikan yang dirumuskan oleh Ibnu Khaldun adalah: a) untuk memberi kesempatan kepada pikiran untuk aktif dan bekerja, karena aktivitas ini sangat penting bagi terbukanya pikiran dan kematangan individu kemudian kematangan ini akan mendapat faedah bagi masyarakat; b) untuk memperoleh berbagai ilmu pengetahuan sebagai alat untuk membantunya, hidup dengan baik di dalam masyarakat maju dan berbudaya, dan c) untuk memperoleh lapangan pekerjaan. Alasan Ibnu Khaldum merumuskan tujuan pendidikan ini dipengaruhi oleh faktor filsafat sosiologi yang tidak bisa memisahkan antar masyarakat, ilmu pengetahuan dan kebutuhan masyarakat. Perencanaan ilmu pengetahuan sangat menentukan bagi perkembangan masyarakat berbudaya. Pendidikan sebagai aktivitas akal insani, merupakan salah satu industri yang berkembang di dalam masyarakat, karena sangat urgen dalam kehidupan setiap individu. Berkenaan dengan tujuan dan materi pendidikan, Ibnu Khaldun juga menyebutkan keutamaan metode diskusi, karena dengan metode ini anak didik telah terlibat dalam mendidik dirinya sendiri dan mengasah otak, melatih untuk berbicara, disamping mereka mempunyai kebebasan berfikir dan percaya diri. Atau dengan kata lain metode ini dapat membuat anak didik berfikir reflektif dan inovatif. Lain halnya dengan metode hafalan, yang menurutnya metode ini membuat anak didik kurang mendapatkan pemahaman yang benar. Lebih tegasnya ia mengatakan bahwa prinsip belajar bukan penghafalan di luar kepala, melainkan pemahaman, pembahasan dan kemampuan berdiskusi (Ibnu Khaldun, 1986:757-758)
10
2. Hakekat Pendidikan Dalam melaksanakan tugasnya, seorang pendidik hendaknya mampu menggunakan metode mengajar yang efektif dan efisien. Ibnu Khaldun mengemukakan 6 (enam) prinsip utama yang perlu diperhatikan pendidik, yaitu: a) prinsip pembiasaan, b) prinsip tadrij (berangsur-angsur), c) prinsip pengenalan umum (generalistik), d) prinsip kontinuitas, e) memperhatikan bakat dan kemampuan peserta didik, dan f) menghindari kekerasan dalam pendidikan. Dalam konteks kekinian, seorang pendidik harus mampu mewujudkan kompetensi akademik, personal, sosial dan profesional dalam proses pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya.
3. Hakekat Peserta Didik Peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan. Di sini peserta didik merupakan makhluk Allah yang memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang belum mencapai taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun perimbangan pada bagian-bagian lainnya. Dari segi rohaniah, ia memiliki bakat,
kehendak,
perasaan,
dan
pikiran
yang
dinamis
dan
perlu
dikembangkan. Pada dasarnya peserta didik adalah: a) bukan merupakan miniatur orang dewasa, akan tetapi memiliki dunianya sendiri. b) manusia yang memiliki diferensiasi periodesasi perkembangan dan pertumbuhan sesuai dengan faktor dan usia perkembangannya,
c)
manusia yang memiliki
kebutuhan, baik menyangkut kebutuhan jasmani maupun kebutuhan rohani yang harus dipenuhi, d) makhluk Allah yang memiliki perbedaan individual yang dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungan, e) merupakan resultan dari dua unsur alam, yaitu jasmani dan rohani. Adapun untuk mempertajam daya rasa dapat dilakukan melalui pendidikan akhlak dan ibadah, dan f) manusia yang memiliki potensi (fitrah) yang dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis.
11
4. Hakekat Kurikulum Kurikulum adalah merupakan landasan yang digunakan pendidik untuk membimbing peserta didiknya ke arah tujuan pendidikan yang diinginkan melalui akumulasi sejumlah pengetahuan, ketrampilan dan sikap mental. Menurut beliau ilmu pengetahuan dalam kebudayaan umat Islam dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu: pertama, ilmu pengetahuan syar‟iyyah yaitu ilmuilmu yang bersandar pada wahyu Tuhan. Oleh karena itu akal manusia tidak mempunyai peluang untuk “mengotak-atiknya”, kecuali dalam lingkup cabang-cabangnya. Kedua, ilmu pengetahuan filosofis yaitu ilmu yang bersifat alami yang diperoleh manusia dengan kemampuan akal dan pikirannya.
Lingkup
persoalan,
prinsip-prinsip
dasar
dan
metode
pengembangannya sepenuhnya berdasar daya jangkau akal pikir manusia.
5. Metode Pendidikan Metode pendidikan adalah segala segi kegiatan yang terarah dalam membimbing peserta didik untuk mencapai proses belajar yang diinginkan dan perubahan yang dikehendaki pada tingkah laku mereka.
Metode
pendidikan sama halnya dengan metode pembelajaran (pengajaran), yang mana pemikiran Ibnu Khaldun tentang metode pendidikan terungkap lewat empat sikap reaktifnya terhadap gaya para pendidik dimasanya dalam dasar empat dasar persoalan pendidikan. Pertama,
kebiasaan mendidik dengan
metode “indoktrinasi” terhadap anak-anak didik, para pendidik memulai dengan masalah-masalah pokok yang ilmiah untuk diajarkan kepada anakanak didik tanpa mempertimbangkan kesiapan mereka untuk menerima dan menguasainya. Maka Ibnu Khaldun lebih memilih metode secara gradual sedikit demi sedikit. Kedua, memilah-milah antara ilmu-ilmu yang mempunyai nilai instrinsik, semisal ilmu-ilmu keagamaan, kealaman, dan ketuhanan, dengan ilmu-ilmu yang instrumental, semisal ilmu-ilmu kebahasaAraban, dan ilmu hitung yang dibutuhkan oleh ilmu keagamaan, serta logika yang dibutuhkan oleh filsafat. Ketiga, Ibnu Khaldun tidak menyukai metode pendidikan yang terkait dengan strategi berinteraksi dengan anak yang “militeristik” dan keras, anak didik harus seperti ini dan seperti itu, karena
12
berdampak buruk bagi anak didik berupa munculnya kelainan-kelainan psikologis dan perilaku nakal. Ibnu Khaldun mengajarkan agar pendidik bersikap sopan dan halus pada muridnya.
6. Evaluasi Pendidikan Evaluasi pendidikan Islam ditujukan untuk menjelaskan tingkat keberhasilan pendidik dalam menyampaikan materi pendidikan Islam kepada peserta didik. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan kelemahan suatu proses pendidikan Islam (dengan seluruh komponen yang terlibat di dalamnya) dalam mencapai tujuan pendidikan yang dicita-citakan. Secara umum ada empat kegunaan evaluasi dalam pendidikan Islam, yaitu: pertama, dari segi pendidik, evaluasi berguna untuk membantu seorang pendidik mengetahui sudah sejauh mana hasil yang dicapai dalam pelaksanaan tugasnya. Kedua, dari segi peserta didik, evaluasi berguna membantu peserta didik untuk dapat mengubah atau mengembangkan tingkah lakunya secara sadar ke arah yang lebih baik. Ketiga, dari segi ahli fikir pendidikan Islam, evaluasi berguna untuk membantu para pemikir Islam dan membantu mereka dalam merumuskan kembali teori-teori pendidikan Islam yang relevan dengan arus dinamika zaman yang senantiasa berubah. Keempat, dari segi politik pengambil kebijakan pendidikan Islam (pemerintah), evaluasi berguna untuk membantu mereka dalam membenahi sistem pengawasan dan mempertimbangkan kebijakan yang akan diterapkan dalam suatu pendidikan nasional (Islam). Konsep evaluasi dalam pendidikan Islam bersifat menyeluruh, baik dalam hubungan manusia dengan Allah SWT sebagai Pencipta, hubungan manusia dengan manusia lainnya, hubungan manusia dengan alam sekitarnya, dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Spektrum kajian evaluasi dalam pendidikan Islam tidak hanya terkonsentrasi pada aspek kognitif, tetapi justru dibutuhkan keseimbangan yang terpadu antara penilaian iman, ilmu, dan amal. Sebab kualitas keimanan, keilmuan, dan amal shalihnya. Kesemuanya itu merupakan bahan pemikiran bagi pengembangan sistem evaluasi dalam pendidikan Islam.
13
Keunikan pemikiran Ibnu Khaldun bila dibandingkan dengan ahli pendidikan pada masanya (teurtama kelompok Ikhwan al-Shafa) bahwa apakah prestasi dan keberhasilan dalam pembelajaran
- hingga kini masih
diperdebatkan- ditentukan oleh bawaan atau kemampuan hasil belajar, dan Ibnu Khaldun tampaknya cenderung pada pendapat terakhir yaitu hasil kemampuan belajar (Jawwad Ridla (2002:185).
F.
Kesimpulan Walaupun di dalam menuangkan pandangannya tentang pendidikan Ibnu Khaldun hanya mengemukakan secara garis besar, namun harus diakui bahwa sumbangannya terhadap proses pendidikan cukuplah besar. Dia telah menyajikan pandangan-pandangannya dalam bentuk orientasi umum, sehingga dia mengatakan bahwa aktifitas pendidikan bukan semata-mata bersifat pemikiran dan perenungan, akan tetapi merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani, dan karenanya harus dinikmati oleh setiap makhluk sosial yang bernama manusia. Orientasi pendidikan menurutnya adalah bagaimana bisa hidup bermasyarakat. Sebagai ilmuan yang juga sejarawan Ibnu Khaldun telah banyak turut mewarnai pemikiran-pemikiran tentang pendidikan. Dia telah mencanangkan dasar-dasar dan sistem pendidikan yang patut diteladani baik di masa lalu maupun masa sekarang. Dari segi metode, materi, maupun kurikulum yang ditawarkan secara keseluruhan pantas untuk dikaji dan dicermati. Dan apabila
kita cermati satu demi satu
pandangannya tentang kurikulum materi dan metode pendidikan, maka dapat kita tarik suatu kesimpulan bahwa ilmuan yang diakui Barat dan Timur ini memang memiliki pandangan yang jauh ke depan dalam berbagai masalah pengetahuan, berfikir universal, sintetis, dan pragmatis-instrumental sehingga filsafatnya tentang pendidikan tidak pernah dirasakan usang bahkan banyak diteladani baik kawan maupun lawan.
14
DAFTAR PUSTAKA Abu Al Maira,
http://jaksite.wordpress.com/biografi. Ibnu Khaldun, diunduh pada tanggal 4 Mei 2011.
Al-Syaibani, Omar Muhammad al-Toumy., 1979. Filsafat Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, 1979, (Jakarta: Bulan Bintang) Beavers, Tedd D., 2001, Arabic Contributions to Educational Thought, (terj.) Deny Hamdani, (2001), Paradigma Filsafat Pendidikan Islam: Kontribusi Filosof Muslim, (Jakarta: Riora Cipta Publication) Jawwad Ridla, Muhammad, al-Fikr al-Tarbawiyy al-Islamiyyu Muqaddimat fi-Ushulih al-Ijtima‟iyyati wa al-„Aqlaniyyat, terj. Mahmud Arif (2002), Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-Filosofis, (Yogyakarta: Tiara Wacana) Khaldun, Ibnu, Muqaddimah, 1986, (terj.) Ahmadi Thoha, (Jakarta: Pustaka Firdaus). Langgulung, Hasan, 1989, Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, 1989, (Jakarta: Pustaka Al Husna) Machali, Imam dan Setiyawan, Adhi (ed), 2010. Antologi Kependidikan Islam, (Yogyakarta: Jurusan Kependidikan Islam Fak. Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga) Nizar, Samsul, H, 2002. Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Prakstis, (Jakarta: Ciputat Press, Jakarta) Sulaiman, Fathiyah Hasan, 1987, Pandangan Ibnu Khaldun Tentang Ilmu dan Pendidikan, (Bandung: Diponegoro). ______________,1987. Sistem Pendidikan versi Al-Ghazali, (Bandung:Diponegoro)
15