PEMIKIRAN EMHA AINUN NADJIB TENTANG KEKUASAAN DAN DEMOKRASI (1983—1998) Akhmad Nakhrowi, Didik Pradjoko, M.Hum Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya,Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia Email:
[email protected]
ABSTRAK Tulisan ini membahas pemikiran Emha Ainun Nadjib, salah seorang tokoh yang banyak dikenal sebagai budayawan, tentang kekuasaan dan demokrasi dalam esai-esainya. Skripsi ini mengambil periodisasi tahun 1983—1998. Tahun 1983adalah awal bagi Emha menerbitkan kumpulan esai-esainya, sedang 1998 adalah merupakan tahun dimana Presiden Soeharto dilengserkan. Skripsi ini menggunakan metode sejarah dengan melalui tahap heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemikiran Emha dipengaruhi oleh kondisi rezim presiden Soeharto yang represif, namun ia tetap mendasarkannya pada kesadaran akal sehat dan hati nurani serta rasa kemanusiaan. Kata Kunci: Sejarah Pemikiran; Emha Ainun Nadjib, Kekuasaan, Demokrasi
Emha Ainun Nadjib’s Thought about Power and Democracy (1983—1998) ABSTRACT The focus of this study is Emha Ainun Nadjib’s thought, a person who well known as a budayawan, in the issues of power and democracy ini his essays. The period which it concern is between 1983—1998. In 1983 was the time when Emha published his first essays and 1998 was the time when president Soeharto overthrowned from his position. The method in this study is historical method, which it has heuristic, critics, interpretation and historiography. The results of this study shows that Emha’s thought in those issues was influenced by the repressiveness of President Soeharto era, but He still use common sense, conscious of conscience and the value of humanity. Keywords
1.
: History of idea; Emha Ainun Nadjib; Power; Democracy.
Pendahuluan
Sosok Emha Ainun Nadjib, mungkin tidak lagi dikenal oleh mereka yang lahir di awal dekade 1990-an di Indonesia ini. Namun sosoknya pernah begitu dikagumi-dan bahkan sampai sekarang oleh beberapa kalangan—di periode 80an hingga awal tahun 2000. Masyarakat banyak mengenalnya sebagai seorang yang multi kemampuan atau kemanfaatan. Dia dikenal sebagai penyair, budayawan, esais, penulis lakon, pengamat politik dan seringkali sebagai kiai. Satu faktor yang konsisten pada diri Emha adalah bahwa dia tidak saja melibatkan diri di wilayah gagasan dan wacana, tetapi selalu terjun ke lapangan, membaur di tengah-tengah rakyat dan menjadi bagian integral dari mereka. Gagasan dan kegiatan hidupnya selalu mengandung dimensi sosial dan spiritual. Ini
dapat dimengerti, karena Emha terbiasa hidup di tengahtengah rakyat, berkomunikasi secara aktif dengan mereka dan bekerja di wilayah sosial. Tampaknya Emha memahami sepenuhnya fungsi sosialnya. Secara spiritual Emha tidak dapat dipisahkan dari religiusitas. Sosok manusia yang satu ini termasuk multitalenta, dan sedikit orang yang seperti ini, sehingga menarik minat saya untuk mendalaminya lebih jauh. Julukan yang sering disandangnya pun beragam dari mulai penyair, penulis naskah drama, wartawan, kyai, esais, kolumnis, dan budayawan. Semua ini tidak lepas dari bagaimana Emha mempersonifikasikan dirinya dalam segala gejolak kehidupan dan kondisi masyarakat—khususnya di Yogyakarta—yang meliputinya, atau dalam bahasa Emha, ‘Saya hanya menuruti kemauan Tuhan saja’. Merujuk Dick Hartoko yang meminjam istilah Rendra, orang seperti Emha inilah yang bisa disebut
1
Pemikiran Emha…, Akhmad Nakhrowi, FIB UI, 2014
sebagai mereka yang berumah di angin. Meraka yang tidak mau terikat oleh suatu sistem yang menghalangi kebebasannya. Bebas pula dari ikatan batin yang menyebabkan dia tidak hidup konsekuen menurut keyakinan intelektualnya. Keberanian moral pun mutlak dibutuhkan mendampingi sifat-sifat intelektual dalam diri cendikiawan seperti Emha. Sehingga, bila saatnya tiba, ia mampu menarik yang menurut Soedjatmoko disebut sebagai, ‘garis pertahanan integritas yang tak dapat ditawar lagi’. Pemikiran Emha tentang kekuasaan dan demokrasi, tidak seperti para sarjana dari pendidikan perguruan tinggi, namun lebih sebagai hasil kontemplasi dari berbagai pengetahuan yang seorang Emha miliki. Perjalannya yang terlahir sebagai anak desa yang memiliki orang tua dengan semangat filantropis yang besar emha terdidik untuk peduli dengan lingkunagn sekitarnya. Di sisi lain kemudian kondisi Orde Baru yang penuh tekanan dan represi, serta perjalanan ‘karier’-nya dalam kurun waktu tersebut mempengaruhi alam pikiran dan sikap Emha yang tertuang dalam beragam tulisannya—juga pendapat-pendapatnya di depan khalayak yang ia sampaikan langsung dalam berbagai kesempatan. Tingkah polah kekuasaan yang tidak mampu egaliter serta ketidaksiapan masyarakat (di banyak aspek) dalam berdemokrasi menjadi salah satu sorotan dalam tulisannya. Tulisan ini akan membahas tentang apa dan bagaimana pemikiran Emha tentang kekuasaan dan demokrasi dalam tulisan-tulisannya. Bagaimana pula perrjalanan kehidupan dan lingkungan intelektual yang membentuk Emha serta latar belakang sosio-politk yang melingkupinya di masa itu. Sehingga mampu mengungkapkan gagasan mendasar dari seorang Emha Ainun Nadjib.
2.
Metode Penelitian
Dalam mencapai tujuan penelitian secara lengkap dan operasional sesuai dengan permasalahan yang dibahas, maka diperlukan serangkaian data dan fakta yang diperoleh melalui penelitian di lapangan yang meliputi empat tahap yaitu, heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Pada tahap heuristik dilakukan pengumpulan data yang dapat digunakan sebagai sumber penulisan. Data-data diperoleh melalui studi kepustakaan. Studi kepustakaan adalah suatu cara untuk menelusuri data baik primer maupun sekunder dari instansi yang terkait, dan atau hasil studi yang pernah dilakukan sebelumnya mengenai Emha Ainun Nadjib. Pada tahap ini penulis mengunjungi Perpustakaan Universitas Indonesia untuk menelusuri studi tentang Emha Ainun Nadjib yang ternyata belum ada yang membahas dari disiplin ilmu apapun. Namun di perpustakaan ini penulis menemukan bahwa ternyata koleksi buku-buku karya Emha Ainun Nadjib yang termasuk di dalamnya kumpulan esai yang dibukukan
cukup lengkap di bandingkan perpustakaan lainnya yang penulis kunjungi. Oleh karenanya sebagian besar sumber esai berasal dari perpustakaan ini. Perpustakaan Nasional selanjutnya menjadi tujuan penelusuran penulis. Pada awalnya penulis memperkirakan bahwa akan banyak sumber yang bisa penulis peroleh di sana. Namun setelah melakukan penelusuran, penulis hanya menemukan sumber satu buah buku sumber primer yakni salah satu buku yang ditulis langsung Emha, disamping sumber surat kabar KOMPAS. Penulis menelusuri surat kabar ini karena diyakini menurut sumber yang diperoleh bahwa tulisan Emha banyak menghiasai kolom di surat kabar tersebut di dalam kurun waktu 1982—1998. Namun karena keterbatasan yang penulis miliki, penulis hanya mampu menelusuri harian tersebut pada kurun waktu 1982— 1985 dan tidak menemukan satupun tulisan karya Emha. Perpustakaan LIPI tidak luput penulis kunjungi untuk menelusuri sumber yang dapat digunakan untuk penulisan ini. Di perpustakaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ini penulis hanya menemukan satu hasil studi penelitian tentang Emha, namun studi tersebut hanya berfokus pada telaah atas karya-karya syair dan puisi Emha Ainun Nadjib. Sedangkan untuk buku karya Emha Ainun Nadjib sendiri tidak ada di tempat ini. Penelusuran juga penulis lakukan di perpustakaan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Di tempat ini penulis menelusuri buku-buku koleksi perpustakaan yang merupakan tulisan Emha Ainun Nadjib yang tidak dimiliki oleh perpustakaan Universitas Indonesia. Berikutnya Pusat Informasi Kompas menjadi tujuan penelusuran sumber ini, modernisasi dan digitalisasi yang dilakukan oleh Kompas di tempat ini terbukti sangat membantu bagi penulis. Karena di sinilah penelusuran tulisan-tulisan dan berita tentang Emha berhasil dilakukan. Termasuk buku-buku karya Emha Ainun Nadjib yang rupanya juga dikoleksi oleh Kompas. Tempat terakhir yang penulis kunjungi adalah Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jasin di kompleks Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Bagi penulis, tempat ini adalah tempat penuh harta karun. Karena di tempat ini hampir seluruh sumber surat kabar dan wawancara Emha di media cetak berasal dari tempat ini. Dalam penelitian ini dipergunakan sumbersumber primer berupa tulisan-tulisan karya asli Emha Ainun Nadjib. Tulisan-tulisan tersebut berasal dari kolom pada harian Masa Kini Yogyakarta, Harian Surabaya Post dan Harian Detik, termasuk pula beberapa tulisan beliau di majalah Tempo. Penulis beruntung karena sebagian besar tulisan-tulisan dari harian di atas telah di bukukan dan sebagian besar koleksi ini berada di Perpustakaan UI. Secangkir Kopi Jon Pakir merupakan kumpulan tulisan dari kolom Harian Masa Kini, Markesot Bertutur dan Markesot Bertutur Kembali merupakan kumpulan tulisan dari
2
Pemikiran Emha…, Akhmad Nakhrowi, FIB UI, 2014
kolom di harian Surabaya Post, dan Oples (Opini Plesetan) merupakan kumpulan tulisan dari harian Detik. Adapula buku-buku yang berisikan kumpulan tulisan Emha yakni Dari Pojok Sejarah: Renungan Perjalanan dan Slilit Sang Kiai. Di samping sumbersumber primer, digunakan juga sumber sekunder. Sumber sekunder yang dipakai berupa buku-buku dan artikel seperti karya Ian L Betts, Jalan Sunyi Emha, Prayogi D. Saputra, Spiritual Journey Emha Ainun Najib, Harian Jawa Pos, 10 September 1991, Emha di Mata Kuntowijoyo, . Dengan mempergunakan karyakarya sekunder, dapat diperoleh tambahan data untuk mengkaji permasalahan yang diajukan. Penelusuran data juga dilakukan melalui wawancara dengan Emha Ainun Nadjib yang dimuat di berbagai macam surat kabar dan majalah sejak kurun 1975 hingga tahun 1996. Setelah memperoleh data-data yang relevan dengan tema penelitian yang tengah digarap, maka dilakukan pengujian terhadap data atau sumber-sumber sejarah tersebut. Taraf pengujian tersebut dikenal sebagai tahap kritik, yaitu suatu tahap yang dilakukan untuk memperoleh fakta yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Sumber-sumber yang diperoleh kemudian di verifikasi kebenarannya dengan jalan membandingkan dengan buku atau sumber lain. Untuk menguji keotentikan sumber yang diperoleh, antara lain dengan melakukan analisa sumber dan kritik teks terhadap dokumen yang didapat. Melalui analisa sumber dapat dilacak apakah sumber tersebut asli atau turunan, sehingga dapat digunakan dalam penulisan ini. Langkah selanjutnya adalah melakukan kritik intern dengan cara malakukan kritik intrinsik, yaitu menentukan sifat sumber-sumber itu. Berbagai fakta yang diperoleh harus dirangkai dan dihubungkan satu sama lain hingga menjadi satu kesatuan yang harmonis dan masuk akal. Peristiwa yang satu harus dimasukan dalam keseluruhan konteks peristiwa lain yang melingkupinya. Proses menafsirkan fakta-fakta sejarah yang integral menyangkut proses seleksi sejarah, karena tidak semua fakta dapat dimasukan. Dalam hal ini hanya fakta yang relevan yang dapat disusun menjadi kisah sejarah. Faktor periodesasi dari sejarah juga termasuk dalam proses interpretasi ini, karena dalam kenyatannya peristiwa yang satu disusul dengan peristiwa yang lain tanpa batas dan putus-putus. Akan tetapi di dalam historiografi biasanya diadakan pembagian atas periode-periode yang diperinci oleh halhal yang khas. Kemudian tahap terakhir adalah historiografi atau penulisan yang bersifat akademik dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
3.
Masa Kecil Hingga Belajar Sastra di Berlin Barat
Nama lengkapnya Muhammad Ainun Nadjib. Semula, dalam masa awal kepenyairannya, dia selalu menandatangani karyanya dengan nama MH Ainun Nadjib. Tetapi lama-kelamaan, ejaannya diubah menjadi
Emha. Dan kemudian nama pop-nya menjadi Emha Ainun Nadjib. Emha lahir sebagai anak “rakyat jelata” , Ayahnya bernama Muhammad Abdul Lathif seorang guru sekolah dan sekaligus kiai kampung dan Ibunya Chalimah seorang ibu rumah tangga biasa. Anak nomor empat dari 15 bersaudara ini lahir di pelosok jombang, jawa timur pada tanggal 27 Mei 1953. Tepatnya di desa Menturo kecamatan Sumobito Jombang, Jawa Timur. Ayahnya adalah seorang petani dan kiai yang mempunyai sebuah surau, tetapi dia adalah pemimpin masyarakat, tempat bertanya dan mengadu orang desa untuk berbagai masalah yang mereka hadapi. Begitu pula ibunya. Semua masalah yang tidak dapat mereka pecahkan, mereka ajukan ke orang tua saya untuk dipecahkan. Bahkan tatkala Emha masih dalam buaian, dan kemudian menjadi anak kecil, dirinya seringkali dibawa ibu untuk mengunjungi para tetangga untuk menanyakan apa yang mereka masak, apakah mereka menyekolahkan anak-anak mereka, dan banyak masalah lain. Pengalaman ini membentuk kesadaran sikap sosial dalam dirinya, dan nilai-nilai yang dirinya anut didasarkan pada agama karena ajaran kunci dalam islam adalah menolong sesama manusia dari kemiskinan dan membuat mereka mampu berfungsi sebagai manusia seutuhnya. Emha menamatkan pendidikannya di SD negeri tetangga desanya. Walau sebenarnya sang Ayah, memimpin lembaga pendidikan yang mengelola TK sampai SMP. Tetapi ternyata Emha memilih masuk sekolah negeri di desa tetangga. Alasannya malu kalau harus belajar di desa sendiri. Tabiat ‘pemberontakan’ memang telah tumbuh sejak Emha kecil; ketika bocah, Emha Ainun Nadjib bukan anak yang “manis-manis”. Bukan anak “papimami”. Bukan pula anak manja. Meskipun sesungguhnya ia bisa mendapatkan privilege itu. Ayahnya adalah seorang kiai yang terpandang di desa Mentro, Sumobito, Jombang, Jawa Timur. Dalam hal sekolah misalnya, ia sesungguhnya bisa sekolah di madrasah milik ayahnya. Tapi, ia lebih memilih sekolah lain, yang memaksanya berjalan kaki sekitar 4 km pulang pergi setiap hari—padahal sekolahan yang ia pilih itu tak ada istimewanya, yang toh akhirnya ia tinggalkan sebelum selesai tahun-tahun studinya. Suatu ketika, Emha terlambat masuk sekolah. Resikonya ia dihukum gurunya berdiri di depan kelas samapi seluruh pelajaran selesai. Emha konsekuen dengan aturan sekolah itu. Baginya aturan itu harus dijunjung tinggi oleh siapapun. Maka, ketika pada suatu hari gurunya pun terlambat mengajar, Emha pun secara konsekuen menerapkan aturan itu. Ia menghukum sang guru untuk memikul sepedanya keliling halaman sekolah, tentu saja sang guru merasa dilecehkan. Ia tersinggung berat. Ia marah ujungnya Emha keluar dari SD itu, yang dianggapnya telah menerapkan aturan yang tidak adil.
3
Pemikiran Emha…, Akhmad Nakhrowi, FIB UI, 2014
Potongan masa silam itu hanyalah ilustrasi kecil dari daya kritis dan “kenakalan” Emha yang mendorongnya untuk selalu menggugat ketidakadilan. Tidak peduli siapa pelaku dari ketidakadilan itu. Di depan Emha, semuaya sama. Termasuk ayah dan ibunya. Masih dalam rangkaian masa kecil Emha, Suatu ketika ibunya memasak makanan yang mewah. Tapi makanan itu hanya terbatas bagi keluarganya. Tidak bisa dibagikan kepada para tetangganya yang sehari-hari hanya makan tiwul (nasi gaplek) atau nasi jagung. Emha protes keras. Makanan yang siap disantap itu diobrakabriknya. Baginya tidak etis maka makanan yang mewah di tengah orang-orang yang kesulitan makan. Lebih baik memasak makanan yang sederhana, tapi bisa dinikmati banyak orang. Protes ternyata dipahami ayah dan ibu Emha. Bahkan mereka menganggap sikap kritis dan “kenakalan” itu sebagai hal yang wajar dan wajib dikembangkan. Sikap kritis Emha memang telah terbentuk sejak dini. Peristiwa dan pengalaman itu ternyata ikut memproses sikap sosial Emha. Keadilan selalu menjadi titik pusat nilai dalam setiap aktualisasi peran sosial Emha. Atas nama keadilan pula, Emha merasa wajib “menggedor-gedor langit”. Dengan mikroskop batinnya ia meneropong system dan struktur sosial yang menganiaya manusia dan kemanusiaan; kekuasaan yang korup dan menindas; kemapanan yang melahirkan dekadensi dan seterusnya. Setelah tamat sekolah dasar Emha kemudian melanjutkan studinya di ponorogo. Pondok Pesantren Gontor dipilih sebagai pelabuhan berikutnya untuk menuntut ilmu. Pondok pesantren gontor ini dikenal sebagai lembaga pendidikan islam yang dikenal cukup progresif dan menerapkan disiplin ketat pada santrisantrinya. Emha yang memang sejak kecil tumbuh menjadi anak yang penuh gejolak tidak mampu tahan dengan displin sekolah lebih dari dua setengah tahun. Di pesantren ini ia dikenal sebagai tukang protes, dan dia memprotes kesewenang-wenangan satpam sekolah. Dan menurut versi lain ia dikeluarkaan dari pesantren adalah karena karena justru dituduh menjadi penggerak aksi santri berdemonstrasi menentang para guru. Sebuah tuduhan yang sampai sekarang ini tetap ditolaknya. Tetapi, masa dua setengah tahun tersebut memberikan kesan mendalam baginya. Budaya yang dikenakan oleh Emha adalah budaya santri. Di kemudian hari santri dalam diri Emha terekspresikan dengan kuat dalam karya-karya Emha yang bertemakan sosial, yang bergaya sastra Sufi. Pendidikannya atas islam yang kuat dari keluarga serta pengalaman menimba ilmu 2,5 tahun di pesantren Gontor di atas menjadikan Emha begitu kuat dalam pemahaman akan Islam. Idiom-idiom islam seperti kisah nabi cerita para khalifah dan ajaran islam tafsiran ayat-ayat al-quran menjadi lekat dalam banyak karya baik syair tulisan maupun ceramahnya. Termasuk
bagaimana Emha dikenal atau digolongkan sebagai penyair sastra sufi. Dari sisi ini lah terlihat bahwa faktor agama menjadi bagian penting dalam diri Emha. Karena dengan agama lah ia merasa bisa menemukan kesejatian menuju sang maha Penguasa. Meskipun bila menanyakan porsi ini, istilah yang sering disampaikan Emha dan memang mewakili betul dari perilakunya selama ini adalah bahwa Agama memberi “padi” dan kemudian Khalifah membuatnya menjadi “Nasi”. Emha kemudian tidak bisa menolak untuk kali ini terpaksa belajar di desa kelahirannya serta diajar sendiri oleh ayahnya. Kemudian dia diusahakan memperoleh ijazah SMP sehingga bisa meneruskan pelajaran di SMA muhammadiyah Yogyakarta. Entah dorongan apa, dia kemudian memilih masuk ke Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Namun, belum lengkap satu semester berada di bangku kuliah, mendadak pada pertengahan tahun 1974 datang musibah yang membuat dia akhirnya harus memilih untuk berhenti sebagai mahasiswa. Tepatnya ia berhenti pada hari kedua pada rangkaian masa ujian semester pertama. Setelah keluarnya Emha dari Universitas Gadjah Mada, Malioboro lah yang kemudian dipilih Emha sebagai tempat pendidikannya lebih lanjut. Emha kemudian mulai bergaul dengan kawan-kawannya di Malioboro dan masuk ke dalam kelompok PSK. Bersama kawan-kawanya itu kemudian Emha bergabung belajar sastra kepada Umbu Landu Paranggi. Sejak saat itulah Emha kemudian “menggelandang” di Malioboro antara kurun waktu 1970—1975. Umbu Landu Paranggi sendiri yang merupakan penjaga gawang PSK, Presiden Malioboro, atau ia lebih suka disebut Lurah Malioboro ini selain unik juga misterius. Sosok Lurah Malioboro ini telah tampil sebagai inspirator dan motivator bagi para penulis pemula pada zamannya. Emha sendiri menyebutnya sebagai ustad Umbu dan merupakan orang yang sangat berpengaruh dalam karier Emha. PSK sendiri merupakan kelompok yang melatih anggota-anggotanya melalui diskusi, dan kadangkadang para anggotanya mengunjungi kampungkampung dan kampus-kampus universitas. Klub ini sendiri melahirkan sejumlah penulis terkenal seperti Linus Suryadi AG, Yudistira Adhi Noegraha, Iman Budhi Santosa, Suwarno Pragolapati, Bambang Indra Basuki, Bambang Darto, dan Saif Bakham. Bagi Emha sendiri lingkungan kelompok ini telah banyak member sumbangsih bagi pengembangan diri Emha secara Sosial, intelektual, kultural dan spiritual. Sejak bersama kelompok ini nama Emha mulai di dengar sejalan dengan produktivitas tulisan-tulisannya baik berupa cerpen, pusisi, maupun esai. Setelah menggelandang di Yogyakarta siang dan malam, berjuang mencari nafkah, berbincang-bincang dengan segala macam jenis orang, khususnya dengan para anggota Persada Studi Klub, Emha akhirnya menerbitkan antologi pertama dari puisi-puisinya pada
4
Pemikiran Emha…, Akhmad Nakhrowi, FIB UI, 2014
tahun 1975 dalam bentuk cetakan stensil berjudul “M” Frustasi. Pada tahun ini pula bersama dengan beberapa orang temannya ia mendirikan teater Dinasti. Pada suatu acara Pesta Puisi tahun 1975 di Taman Ismail Marzuki, Emha diundang secara khusus dalam pagelaran ini sebagai pemakalah membahas kondisi dunia perpuisian di indonesia saat itu. Rupanya nama Emha sudah dikenal oleh para ‘senior’ sehingga memang tersiar kabar bila dirinya akan ‘disambut khusus’ di sini. Benar saja, para ‘senior’ di urusan puisi sejak angkatan 45 hingga angkatan 66 hadir, seperti Abdul Hadi WM, Sutardji ‘Bier’ Bachri, Leon Agusta, Krebo Darmanto Jt, Paul Gautama, Bahkan H.B Jasin turut ikut hadir. Saat diatas podium Emha pun mendapatkan sambutannya. Dirinya ‘dikerjai’, diplonco habis-habisan oleh mereka yang telah hadir, makalah yang ia siapkan secara serius pun tidak digubris menjadi bahan diskusi, alias murni menjadi ajang ‘pembantaian’ dirinya. Puisi-puisi dan Esai-esai serta cerpennya pada waktu itu sudah dimuat dalam media baik di Yogyakarta maupun di kota-kota lainnya. Baik yang beredar lokal maupun nasional. Karya-karyanya menarik para pembaca karena sifatnya yang liar, aneh tapi logis. Juga segar humoris dan menyentuh ke akar rumput. Oleh karena kepenyairanya ini Emha akhirnya punya kesempatan mengunjungi luar negeri antara lain ke Filipina dalam bermain teater multi kultur (1980), turut diundang pada Internatioal Writing Program pada Universitas Iowa Amerika Serikat (1981), Hadir di International Poetry Fetival di Rotterdam Belanda (1984), dan Ikut dalam Festival Horizonte II di Berlin Barat Jerman (1985).
4.
Masa Produktif
Beberapa tahun pertama aktivitasnya, Emha belum mengalami benturan dengan situasi politik nasional itu, karena tahun 1969—1975 konsentrasinya pada penulisan sastra, terutama puisi dan cerpen. Pada periode ini Emha telah melahirkan puisi yang terkumpul dalam antologi puisi yang kemudian dibukukan yakni “M” Frustasi pada 1975. Sesudah itu segera tampak bahwa Emha bukan terutama sebagai sastrawan, ia makin muncul sebagai makhluk sosial dalam arti bahwa eksplorasi tema sastranya mulai memasuki wilayahwilayah sosial. 1976 ke atas Emha semakin melebarkan sayapnya ke aktivitas kesenian yang lebih luas, terutama penggarapan naskah dan pentas teater bersama Kelompok Dinasti, yang temanya boleh disebut 100 persen politik. Barulah ia berjumpa dengan Orba, pusisi maupun pentas dramanya hampir selalu tidakpernah “berdamai” dengan kepentingan stabilitas politik Orba. Ia mengalami pelarangan, pencekalan, berlanjut sampai era 1980-an. Emha bahkan pernah dilarang masuk wilayah Jawa Tengah selama dua tahun. Sejalan dengan itu, ekspansi tematik dari karya-karya maupun kiprah
sosialnya semakin berkembang dan memasuki wilayahwilayah kehidupan nyata masyarakat. Metode-metode komunikasi yang ia pakai di dalam menangani berbagai masalah di masyarakat menciptakan bias tertentu pada identitasnya. Misalnya, karena tradisi religius masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, mendesak Emha untuk banyak memakai metodologi dan idiom-idiom keilmuan Islam hal ini berimplikasi kepada pandangan orang yang menggolongkannya sebagai aktivis agama disebut sebagai kiai atau ulama. Tahun 1973 depolitisasi politik dilakukan melalui mekanisme penggabungan (fusi) partai-partai politik yang masih eksis menjadi dua kelompok kompromis. Kebijakan “massa mengambang” (floating mass policy) memisahkan masyarakat dari aktivitas politik, termasuk juga pemimpin mengambang (floating leader). Tahun 1975 modul baru tentang pendidikan moral pancasila dimasukkan dalam program pengajaran sejak dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Kursus wajib tentang ideologi pancasila secara nasional. 1982—1985. Undang-undang “asas tunggal” memaksa semua organisasi masyarakat (ormas) untuk menerima pancasila sebagai satu-satunya asas, TVRI satau-satunya stasiun televisi, program acaranya difokuskan pada produk lokal dengan tema pembangunan bangsa versi pemerintah. Semua ini hanya “menguntungkan” Emha sebagai kreator dimana karya-karya Emha pada masa ini sangat ditantang dan diilhami oleh kenyataan politik yang demikian sehingga akhirnya melahirkan buku Sastra yang Membebaskan. Sastra yang membebaskan atau Sastra Pembebasan, sebenarnya merupakan respon wajar Emha atas konstelasi kebangsaan dan politik yang tengah di mana pembahasan terkait politik dirasa semakin tabuterjadi di masa itu. Sastra Pembebasan adalah gagasan yang diajukan Emha sebagai usaha untuk membebaskan sastra dari kepanglimaan politik membebaskan sastra dari otoritas politik. Emha menghendaki politik ‘harus menimba nilai dari acuan lain’ seperti misalnya agama atau kesenian. Sepulangnya Emha dalam pengembaran keliling eropa rupanya cukup memberi perenungan baru wacana pemikirannya. Perjalannanya baik di Belanda maupun di Berlin barat, Jerman telah memberi gambaran bagi Emha tentang bagaimana pembangunan dan kapitalisme dikerjakan. Dua hal yang Indonesia di masa awal Soeharto tidak mampu mengelaknya, dan bahkan menjadi program bagi pemerintahnya kemudian. Masa setelah 1976 inilah kemudian terus menggerakkan Emha untuk terus berkreativtas dalam kegelisahan yang ia rasakan dan saksikan di Indonesia. Tak kurang 5 antologi puisi berhasil dibukukan dan terbit di khalayak umum. Antologi itu antara lain: Sajak-sajak sepanjang malam (1978), Sajak-sajak Cinta (1978), Nyanyian Gelandangan (1982), 99 untuk Tuhanku (1983), dan Suluk Pesisiran (1989). Perlu pula diperhatikan bahwa pada masa ini hingga pertengahan 1990-an, Emha berada pada masa
5
Pemikiran Emha…, Akhmad Nakhrowi, FIB UI, 2014
produktifnya. Selain Puisi-puisi yang berhasil terbit dalam bentuk antologi. Emha juga rupanya sangat aktif dalam menulis esai-esai yang berhasil menghiasi media cetak yang memilki lingkup lokal hingga nasional. Ia memulai dari kolumnis lepas hingga kolumnis tetap. Seperti yang ia lakukan saat di Kompas pada periode 1977—1978 dan kolumnis tetap di tempo pada 1981. Banyak pula tulisan-tulisan rutin pengisi kolom yang bertebaran di berbagai media cetak atara lain di harian Masa Kini Yogyakarta, Surabaya Pos, dan Jawa Pos. Esai-esai ini kemudian tidak sedikit yang dikumpulkan kemudian diterbitkan sebagai buku kumpulan esai. Hingga tahun 1994 terhitung lebih kurang Emha berhasil menerbitkan 13 bukunya, yang kebanyakan berupa kumpulan esai-esainya. Temanya beragam dan paling banyak yang ia soroti adalah soal sosial dan kemanusiaan. Dan sebuah fenomena, hampir semua bukunya diserbu pembeli, laris bagai kacang goreng. Secara kualitas tulisan sangat terkat dengan waktu dan kesempatan ‘pengendapan’ yang dimiliki Emha. Mayoritas tulisannya dibuat dalam suasana yang tergesa-gesa, dan seringkali ‘terpaksa’, karena ‘melayani pesanan’. Produktivitas karyanya—bahkan berkesan over produktif—harus dibayar mahal dengan berkurangnya kualitas. Di sisi lain, kategorisasi sastra sufi yang sering disematkan kepada Emha pun hadir karena pilihan Emha dalam berekspresi dan mencipta syair banyak mengambil idiom islam serta menunjukkan sufisme yang ia pahami. Episode yang menarik adalah pada 21 Maret 1992, Emha berserta Sutardji Chalzum Bachri dan Hamid Jabbar, menggelar pembacaan puisi di Gedung Kesenian Jakarta. Acara yang bertetapatan di bulan Ramadhan ini makin menegaskan karya-karya Emha dalam sastra sufistik dengan diambilnya Jalan Sunyi sebagai tema acara tersebut. Selain tulisan dan syair, Emha kemudian muncul dengan Kyaikanjeng grup musik yang cikal bakalnya berasal dari kelompok musik Dinasti. Dengan kyaikanjeng inilah Emha muncul dalam format lain yang lebih dinamis dengan menghadirkan musik dalam mengantar setiap gagasan atau materi yang ia bawakan. Dengan grup ini pula Emha menghasilkan album kompilasi musik dengan nomor-nomor yang khas kyaikanjeng dengan harmonisasi instrumen gamelannya dengan instrumen modern. Pada tahun 1996 Emha dan Kyaikanjeng meluncurkan album bertajuk Kado Muhammad berisi tembang dan shalawat yang sejak dulu sudah dikenal di kalangan santri tradisional islam. Album ini kemudian mendapat respon yang besar dari masayarakat yang muncul sebagai hit lagu yang berjudul Tombo Ati. Meledaknya penjualan album ini membuat Emha dan grup Kyai Kanjeng membuat banyak undangan dari berbagai tempat untuk tampil. Kesempatan ini sekaligus dijadikan sebagai cara Emha dalam syiar Islam kepada masyarakat luas, dengan nama “Pengajian Tombo-Ati”. Mungkin ini babak paling gres cara Emha berdakwah,
memadukan puisi-puisi, wejangan religius, kritik-kritik sosial, dan shalawat dengan iringan nada, yang diberi nama “Musik Nusantara”. Selain Emha dan Kyai kanjeng, istrinya Novia Koloapaking yang merupakan seornag penyanyi turut diajak Emha dalam menggarap album berikutnya. Kehadiran mereka di Indonesia berhasil menyuguhkan wacana baru musik religi di indonesia pada masa itu. Terutama dengan gaya Emha yang berharap agar audien tidak semata menikmati penampilan namun juga mengarahkan agar para penonton membawa pulang palajarn-pelajaran hidup untuk kehidupan mereka.
5.
Kedungombo dan ICMI
Pada 4 mei 1981 pembangunan bendungan kedungombo mendapatkan persetujuannya dalam skema pembangunan rencana jangka panjang melalui sokongan dana IGGI. Pembangunan ini berkaitan dengan usaha perbaikan dan pengembangan sungai serta irigasi kali Serang, salah satu tugas dari proyek pengembangan wilayah sungai “Jratunseluna” yang meliputi sungaisungai Jragung, Tuntang, Serang, Lusi dan Juwana. Hal ini dilaksanakan bertujuan untuk pengairan sawah dan pengendali banjir di daerah Kudus, Pati, dan Jepara disamping juga digunakan untuk pembangkit tenaga listrik. Pekerjaan besar pembangunan waduk yang berada di wilayah kabupaten Boyolali Jawa Tengah direncanakan akan selesai pada tahun 1989, dengan rencana memindahkan sekitar 4800 KK (25.000 jiwa) dari tanah tempat tinggalnya, karena 22 desa tempat mereka tinggal yang masuk wilayah peta pembangunan akan ditenggelamkan, dimana wilayah yang akan ditenggelamkan ini meliputi kurang lebih 4700 hektar. Dalam upaya pembebasan lahan inilah cara-cara represi kekuasaan mulai dilakukan oleh pemerintah meskipun ada juga yang dengan suka rela merelakan tanahnya dibeli oleh pemerintah. Panitia pembebasan lahan dengan berbagai macam cara melakukan upaya intimidasi kepada penduduk desa yang tidak mau pindah dari wilayahnya. Ancaman hingga tuduhan anggota PKI (Partai Komunis Indonesia) diterima oleh warga penduduk desa tersebut. Mereka yang menerima tindakan semacam ini adalah utamanya para warga kecamatan Kemusu kabupaten Boyolali yang menolak dipindahkan atau menjual tanahnya. Selain alasan harga yang terlalu murah yang diberikan pemerintah sebagai ganti rugi. Faktor kedekatan mereka dengan tanah kelahiran juga turut memperkuat alasan mereka untuk tidak melepas tanahnya. Upaya intimidasi dan cara-cara kekerasan inilah yang kemudian diadukan warga sekitar kepada lembaga bantuan hukum dan lain-lainnya. Tak terkecuali Emha maju turut membantu upaya advokasi persoalan ini. Di lain pihak, Pada 6 desember 1990 bertempat di kota malang, di Gedung Student Center kampus Universitas Brawijaya Ikatan Cendikiawan Muslim se-
6
Pemikiran Emha…, Akhmad Nakhrowi, FIB UI, 2014
Indonesia didirikan dengan BJ. Habibie sebagai ketuanya, diresmikan langsung oleh presiden Soeharto waktu itu. Acara yang sesungguhnya yang berlangsung adalah sebuah simposium yang dihadiri ratusan orang yang kemudian disebut sebagai muktamar ICMI I. Pendapat bahwa pendirian organisasi ini kental dengan muatan politik mencuat keras karena kemunculannya yang lebih kurang satu setengah tahunmenuju Pemilihan Umum 1992 sehingga banyak yang menduga bahwa organisasi ini terkait dengan wacana proses pergantian elit kekuasaan. Habibie yang terpilih sebagai ketua ICMI dalam muktamar I beberapa mingu kemudian mengumumkan struktur serta susunan para pengurusnya. Dalam pengumuman tersebut nama Emha Ainun Nadjib disebut dan didudukkan sebagai ketua bidang dialog kebudayaan ICMI. Namun rupanya penunjukkan ini tidak sama sekali diketahui Emha sebelumnya sehingga kemudian ia mengirim surat kepada Habibie dan minta supaya dirinya tidak perlu dimasukkan ke dalam kepengurusan ICMI. Tak ayal habibie lantas mengirimkan utusannya untuk membicarakan yang ternyata hanya karena urusan teknis sehingga Emha gagal diberi kabar terlebih dahulu sebelum pengumuman kepengurusan tersebut. Mereka yang diutus adalah DR. Sucipto Wirosardjono dan DR. Marwah Daud Ibrahim. Dalam pembicaraan inilah lantas mengemuka keinginan Emha agar tetap berada di luar lingkar kepengurusan agar bisa menjaga jarak dengan laju ICMI. Disinilah mengemuka keinginan Emha menjadi tokoh yang dalam pewayangan disebut ontoseno (tokoh pewayangan yang ingin merdeka dan egaliter). Di saat yang sama kasus warga kedungombo masih terus berjalan dan bahkan kian pelik hingga menarik perhatian banyak orang. Habibie yang menjadi ketua ICMI tidak terkecuali memberikan pandangan dan pendapatnya soal ICMI ini. Habibie merasa ICMI harus turun tangan membantu persoalan warga waduk kedungombo agar mendapatkan solusi terbaik. Harapan besarpun muncul dari sikap ini. Namun rupanya ICMI yang dalam bahasa Emha ‘tidak sanggup memiliki ketegaran untuk mengkontribusikan proses demokrasi dan keadilan sosial’. Sehingga kemudian Emha mengambil keputusan yang mengagetkan banyak orang, yakni mundur dari ICMI. Soal ICMI emha memiliki alasan sendiri kenapa pada akhirnya ia memutuskan untuk mengundurkan diri. Emha mengakui bahwa baginya ICMI terlalu besar sehingga tidak sempat memperhatikan urgensi di bawah. di lain pihak, ICMI terlalu kecil untuk okol melawan kekuasaan konkret yang menyangkut Kedungombo dimana emha merasa dibelakangi, namun memilih untuk memahami kondisi subordinasi tersebut. Niatan keluar dari ICMI pun sebenarnya sudah ia tunda dua bulan lamanya untuk mempertimbangkan banyak hal termasuk mengkonsultasikannya kepada Kuntowijoyo, Amien Rais dan Watik Pratiknyo.
6.
Pengajian Padhang mBulan dan Maiyah
Atas gagasan Adil Amrullah—adik dari Emha— diselenggarakanlah pengajian di rumah ibu Emha di Jombang sebagai jalan silaturahmi Emha dan keluarganya. Selain itu, dimaksudkan sebagai respons Emha terhadap kondisi masyarakat pada saat itu yang mengalami ketidakpuasan, keputusasaan, amarah terpendam. Pendeknya, psikologi masyarakat sudah berada pada semangat penghancuran. Sebab, masyarakat merasakan ada lubang di hatinya yang tak terisi oleh lembaga-lembaga modern yang ada saat itu. Itu juga yang dirasakan orang-orang di lingkaran Emha. Maka, pengajian itu hadir untuk mengisi lubang di hati keluarga dan lingkaran Emha. Tetapi kemudian, pengajian ini meluas hingga kepada para tetangga satu RT, satu desa, lambat laun meluas hingga satu kecamatan, satu kabupaten, satu provinsi, dan akhirnya meluas hingga tetangga-tetangga di luar Jawa Timur. Karena pengajian itu diseleggarakan secara rutin sebulan sekali dan mengambil waktu saat bulan purnama, maka pengajian itu dinamakan Pengajian Padhang mBulan. Pengajian yang awalnya kecil-kecilan ini kemudian berkembang menjadi besar . Pada pengajian edisi pertama, jumlah jamaah yang hadir haya 40 orang. Bulan kedua 270 orang. Bulan ketiga 500-an orang. Dan terus berkembang hingga pernah mencapai 35.000 orang. Pada bulan kedua atau ketiga para intel sudah mulai melakukan operasi rahasia untuk memantau pengajian padhangmbulan. Mereka bergabung dengan jamaah dan menyaru sebagai peserta pengajian. Hingga pada suatu saat, jumlah intel yang melakukan operasi mencapai delapan puluh orang. Jumlah itu merupakan gabungan dari intel pusat, intel Jawa Timur dan intel lokal. Arti penting pengajian padhangmbulan sangat terasa pada saat kekuasaan masih berada di tangan Soeharto. Sebab, saat itu sangat sedikit orang yang berani melakukan manuver-manuver alternatif terhadap kondisi bangsa di luar restu pak harto. Pengajian padhangmbulan adalah salah satu dari sedikit wacana di luar mainstream itu. Yang membuat padhangmbulan menjadi fenomenal adalah pengajian yang dihadiri hingga puluhan ribu jamaah itu berlangsung terus dan tidak pernah dihentikan oleh penguasa. Padahal, program lain bisa jadi akan segera dibubarkan kendati telah mendapatkan izin resmi dan hanya dihadiri oleh seratus orang. Pengajian Padang mBulan sebetulnya memiliki tiga acara pokok. Pertama inventarisasi masalah orangorang yang hadir di arena pengajian, kedua sifatnya mendoakan, ketiga menjadi semacam arena konsultasi setelah acara resmi selesai. Dengan kata lain, pengajian Padang mBulan bersifat sengat khas. Suasana yang tercipta membuka peluang munculnya hubungan
7
Pemikiran Emha…, Akhmad Nakhrowi, FIB UI, 2014
emosional yang juga bersifat khas. Ketiga hal inilah yang dirasa Emha sebagai komposisi pas, karena dari pengalamannya ia selalu merasa ada yang kurang tatakala harus memebrikan ceramah di depan banyak audiens namun tidak pernah menyentu permasalan sebenarnya yang dialami audiens.
7.
Pemikiran Emha tentang Kekuasaan
Masa akhir tahun 80-an hingga awal 90-an adalah masa di mana kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara sedang 'sakit leher’ karena kondisi yang ‘umumnya tidak bisa menoleh ke kiri atau ke kanan’. Dimana kondisi ini terjadi dan menggejala sesuai dengan yang emha amati. Dalam bahasa Emha fenomena ini ia sebut nDangak atau Lok up dan nDingkluk atau Look down. Dimana kasus ndangak dang ndingkluk terjadi dalam stratifikasi atau hirarki keuatan dan kekuasaan. Mereka yang disebut tidak bisa menoleh ke kiri dan ke kanan’ diartikan bahwa ia tidak mempunyai kesanggupan untuk berposisi dan bersikap egaliter, sama dan sederajat dengan orang lain. Yakni suatu pergaulan di mana seorang menganggap orang lain sebagai ‘atasan’ atau ‘bawahannya’. Dalam prakteknya, orang itu tak bisa berdialog; ia hanya mampu di perintah atau memerintah. Lebih gawat lagi: diperbudak atau memperbudak, diperas atau memeras. Proses ini lah yang terjadi di masayarakat indonesia yang memiliki ‘bakat tinggi untuk sakit leher’. Bukan semata terjadi tiba-tiba melainkan hal ini terjadi karena sejak zaman ‘baheula’ masyarakat indonesia-jawa diperanakkan oleh suatu tatanan masyarakat yang hierarkis-feodal. Sehingga semakin berjalan waktu terbiasalah masyarakat dengan keadaan seperti ini. Ditambah lagi, ‘proses modernisasi bangsa indonesia’ tidak cukup jauh menolong penyembuhan ‘sakit leher ini’, apalagi tatkala untuk kepentingan mobilisasi politik masyarakat modern kita ‘direfeodalisasikan’ oleh yang merasa ‘empunya negara’. Lebih jauh Emha menyoroti soal budaya kekuasaan di masa orde baru. Yang ia paparkan dalam suatu kerangka strategi kebudayaan nasional Indonesia. Karena sesungguhnya apa yang disebut strategi kebudayaan tidak hanya merangkum ruang lingkup terbatas yang menyangkut hanya wilayah-wilayah yang disebut (dan secara keliru disangka) ‘budaya’ atau khususnya (nasib) kesenian dan seniman. Menurut Emha, segala perilaku politik atau bahkan apapun yang penguasa kerjakan atas rakyatnya, sebenarnya bisa kita sebut perilaku budaya juga. Oleh karena itu strategi kebudayaan pada hakikatnya termuat tidak hanya pada pemetaan dan pemagaran yang dilakukan oleh negara tehadap daerah-daerah kebudayaan, melainkan secara langsung jua terkandung dalam setiap alam pikiran dan tindakan kekuasaan. Cara sebuah lembaga kekuasaan dan lembaga bisnis
membebaskan tanah rakyat , misalnya, adalah juga perilaku budaya—dan di balik itu terefleksikan (disadari atau tdak, direkayasa atau otomatik) suatu tradisi strategi kebudayaan. Pendapatnya ini ia tuangkan seiring munculnya pernyataan Mei, sebuah pernyataan yang muncul setelah pemberedelan Tempo, Detik dan Monitor. Terkait “pernyataan Mei” ini yang muncul menjadi bahasan ke permukaan oleh khalyak terlebih seniman menurut Emha adalah bahwa soal strategi kebudayaan umumnya dipahami terbatas pada kepentingan cipta kesenian belaka. Para seniman sibuk dengan wilayhnya sendiri. Perdebatan yang muncul pun menurut emha tidak mencerminkan tradisi kepahaman dan kesadaran bahwa yang bernama “politik sebagai panglima” atau “strategi kebudayaan nasional” itu bukan hanya urusan seniman, melainkan urusan dan milik seluruh rakyat dengan segala permasalahannya. Menurut Emha dalam “Pernyataan Mei” ini, istilah politik bermaksud konotatif, karena sesungguhnya politik adalah sesuatu konsep manajemen bernegara yang mengatur kesejahteraan rakyat. Bila filosofi ini yang termuat “politik” ya maka baik-baik saja. Sedangkan yang dimaksud oleh “pernyataan mei” adalah suatu wujud politik yang berbeda, dalam hal ini dapat digunakan terminologi “negara dan rakyat”, dimana rakyat gelisah terhadap negara yang lebih berdaulat dibanding rakyat. Emha mengajak masyarakat untuk melihat dan merenung bagaimana kehidupan kreatif terlalu diatur dan dibatasi oleh yang disebut politik secara banyak yang tidak rasional. Bagaimana kehidupan partai-partai politik, bagaimana pembagian rupiah dalam politik perekonomian, bagaimana lembaga perizinan yang absurd, bagaimana nasib buruh di di depan juragan dan birokrasi dan aparat keamanan, seberapa kadar demokratik dan indemokratik mekanisme bernegara yang melanda indonesiasupaya tidak semata hanya melihat kesenian karena kemerdekaan kreatif milik semua manusia dan berlangsung di segala bidang. Ia menyayangkan media massa yang tidak mengungkapkan salah satu muatan tema diskusi “pernyataan Mei” di pusat dokumentas HB. Jassin yang menyebut bahwa kebebasan kreatif tidak menyangkut proses cipta kesenian saja, melainkan juga berkaitan langsung dengan kreativitas manusia di bidang-bidang lain, umpanya teknologi, ekonomi, agama dan politik. Artinya, bahwa masalah “politik sebagai panglima” atau “negara (bukan rakyat) sebagai panglima” tidak hanya relevan terhadap kenyataan bahwa misalnya karya seni yang dilarang pentas, tetapi juga merupakan acuan untuk menyikapi masalah penggusuran tanah, penindasan atas kamu buruh dan lain sebagainya. Kemudian Emha melanjutkan dengan apa yang ia sebut ‘persepsi melingkar’ , bahwa kepanglimaan politiksubjektif bisa berakibat ke keseluruhan situasi msyarakat (yang didalamnya bukan saja ada seniman, tetapi juga birokrasi yang perangainya
8
Pemikiran Emha…, Akhmad Nakhrowi, FIB UI, 2014
aneh serta ada industrialisme yang mengkabuti nialinilai manusia) yang antara lain melahirkan stagnasi karya seni dan degenerasi kesenian. Lebih lanjut Emha meneruskan bahwa dirinya seringkali dibikin terpingkal-pingkal oleh pantulanpantulan alam pikiran dan strategi kebudayaan para penguasa. Rastusan kali dirinya dilarang tampil di berbagai tempat, satu dua penguasa daerah menemboki dirinya dalam jangka waktu tertenttu, di beberapa tempat lain bahkan pentas dihentikan. Masalahnya kemudian, bahwa emha seringkali menemukan yang terjadi tersebut bukan murni politik, dengan segala logika dan konsitensi policy-nya, sebagaimana kebanyakan orang mengasumsikannya. Ia memaparkan bahwa pada tingkat eselon tertentu dari kekuasaan, para pelaku politik sesungguhnya hampir sama sekali tidak memahami politik, tidak mempunyai kemampuan menghitung efektivitas tindakannya, meskipun hampir semuanya juga merasa sedang melakukan tindakan politik. Dalam praktek kekuasaan atas kebudayaan, Emha menegaskan belum ada sungguh-sungguh yang dinamakan strategi kebudayaan. Belum ada tidak dalam arti bahwa tidak ada garis-garis haluan mengenai hal itu, melainkan bahwa konsep-konsepnya hampir sama sekali tidak tersosialisasikan di kalangan para pelaksananya sendiri. Bisa jadi mungkin menurut Emha karena keterbatasan pendidikan, atau karena alam pikiran dan alam sikap kekuasaan yangjauh lebih dominan dibanding tradisi berpikir dan laku kebudayaan. Hal ini pun menjadi lebih jelas karena budaya birokrasi sangat serabutan menata para fungsionarisnya. Terlalu banyak kenyataan The right man not in the right place, atau The wrong man in the wrong place, atau apapun istilah lainnya, yang jelas banyak sekali para pejabat yang secara kultural dan intelektual berada di suatu posisi yang sama sekali tidak relevan untuknya. Birokrasi indonesisa saat itu menurut Emha mengandung irrasionalitas yang kadarnya seringkali terlalu tinggi—meskipun buat logika kekuasaan ala Indonesia orde baru justru kondusif dan menguntungkan kemapanan kekuasaan. Dan yang paling tidak rasional di antara semua itu menurut Emha adalah lembaga perizinan. Puisi, drama, tabligh, makalah ilmiah, diurus dan disensor oelh orang yang sama sekali tidak memiliki latar belakang apapun untuk pantas bersentuhan dengan dunia itu. Yang ia miliki menurut Emha hanya dua hal. Pertama, kekuasaan hampir mutlak untuk tidak mengijinkan suatu acara, dengan alasan-alasan yang tidak harus berkaitan dengan konteks sesuatu yang dilarangnya, maupun dengan perhitungan sosial politik apapun. Dan kedua, kekuasaan sangat terbatas untuk mengizinkan suatu acara, dengan kelucuan-kelucuan di mana sesuatu yang dari kacamata kekuasaan sesungguhnya berbahaya malah diizinkan. Sementara hal sepele lain yang sebenarnya tidak akan
menimbulkan apa-apa malah dilarang. Dan bagi Emha tradisi kekuasaan semacam inilah yang telah sukses menciptakan berbagai kematian kreatifitas, memandegan regenerasi keseniandan lain sebagainya. Orba bagi emha telah sungguh sungguh mempraktikan apa yang disebut Politik sebagai Panglima dan terbukti menciptakan keresahan sosial yang nyata.
8.
Pemikiran Emha tentang Demokrasi
Demokrasi sebagai nilai luhur dan mulia dipandang Emha bukanlah segala-galanya, meskipun emha menginsafi betul bahwa demokrasi adalah ‘acuan agar segala inisaitif kesejarahan mengacu kepada kepentingan orang banyak’ sehingga pemerintahan haruslah mengabdi kepada rakyat. Jadi, nilai demokrasi mengutamakan peletakan rakyat sebagai yang tertinggi. Namun di satu sisi emha juga agak mengkhawatirkan sekaligus mewanti-wanti bahwa bila demokrasi dikelola secara keliru maka rakyat akan dituhankan. Ditambah demokrasi juga dengan sangat baik ‘mempeluangi kebebasan manusia atau rakyat untuk merusak dirinya sendiri’. Misalnyadalam keterjebakan materialisme, alkoholisme, hedonisme dan seterusnya. Bahkan apapun masih tetap diperkenankan sepanjang tidak bertentangan dengan kedaulatan manusia dan rakyat. Mengambil analogi yang lebih ‘mengIndonesia’, bahwa nasi dikenal berasal dari Indonesia namun beras ada di mana-mana. Maka emha mengibaratkan demokrasi itu sekadar berposisi seperti nasi. Tapi jangan lupa, berasnya benihnya, dan sawahnya ada di manamana. Termasuk ada di dalam Islam. Berangkat dari situah maka sesungguhnya demokrasi—sampai taraf tertentu—tidak mampu menjadi juru selamat manusia. Demokrasi bukan yang tertinggi. Semua manusia pelaku demokrasi membutuhkan nilai yang lebih tinggi. Nilai yang lebih sejati dan lebih menjamin keselamatan jangka panjang dan menyeluruh. Dan disinilah kemudian islam menjadi relevan. Bila mengikuti filosofi jawa, demokrasi itu adalah ‘bhenere wong akeh’, sedang otoriatarianisme atau diktatorisme itu ‘bhenere dhewe’. Sementara islam sendiri pun memuat aras nilai yang lebih tinggi, yakni ‘bhener sing sejati’. Manusia dibatasi oleh hakikatnya sendiri, sehingga yang menyejahterakan hidupnya, sesudah demokrasi, adalah kesadaran keilahian. Kebenaran yang sejati. Kompleksitas kondisi demokrasi di masa awal 1990-an adalah hasil dari keberhasilan penerapan militerisme gaya baru oleh Orba yang berhasil mencengkeram dan menghasilkan budaya politik yang makin menunjukkan kepelikannya. Emha menyoroti kondisi demokrasi di masa ini dengan mengamati usaha demokratisasi yang dilakukan oleh mereka yang berjuang untuk kembalinya demokrasi yang seutuhnya. Namun pada
9
Pemikiran Emha…, Akhmad Nakhrowi, FIB UI, 2014
perkembanganya Emha mengamatai suatu kegetiran yang nyata. Persoalannya bukan hanya terdapat di tingkat elit kelas atas namun hambatan nyata juga masih terlihat menghinggapi peri kehidupan masyarakat nyata kelas bawah, Emha mencontohkan Jika seorang Camat adalah “Raja Kecil” kepada siapa semua staf dan penduduk mesti membungkuk-bungkuk sedemikian rupa di hadapannya, serta ia tetap juga berposisi Camat ketika dia makan di restoran, ketika mancing ikan di sungai atau ketika main sepakbola – maka kacaulah cita-cita demokrasi. Bola tak akan kita rebut dari kaki pak camat ikan-ikan di kolam kita ditatar agar berduyun-duyun mengerumuni umpan pancing pak Camat – padahal ketika bermain bola dan memancing ia tidaklah berfungsi sebagai camat. “Demokrasi merupakan puncak pencapaian ilmu, ideologi, dan wisdom hasil karya umat manusia abad ke-20, ke-21. Demokrasi telah disepakati untuk menjadi satu-satunya ‘kiblat’ dalam urusan kehidupan bernegara dan berbangsa.Hampir tidak ada ketidaksepakatan terhadap demokrasi. Demokrasi bagi Emha ibarat ‘perawan’, yang merdeka dan memerdekakan.Watak demokrasi adalah mempersilahkan.Tidak punya konsep menolak, menyingkirkan atau membuang. Semua makhluk penghuni kehidupan berhak hidup bersama si Perawan, bahkan berhak mempekosanya: yang melarang memperkosa bukan si perawan itu sendiri melainkan ‘sahabat’-nya yang bernama moral dan hukum. Si perawan bisa ditunggangi oleh kaum kapitalis di Eropa untuk menyingkirkan Gereja dan dulu kerajaan-kerajaan.Dan sesudah kapitalisme menguasai panggung bangsa dan masyarakat, demokrasi tidak mengharuskan para kapitalis untuk bersikap demokratis, karena demokrasi tidak memiliki karakter untuk mengharuskan. Demokrasi itu perawan suci yang yatim dan piatu, tak punya bapak ibu, nasibnya tak pernah diperjelas.Ia memerdekakan manusia sepenuhpenuhnya. Semua dan setiap manusia sangat membutuhkan kesucian demokrasi, sebagian untuk tempat berlindung, dan sebagian lain untuk melakukan eksploitasi dan subversi pengkhianatan nilai. Emha lantas menyarankan hendaklah setiap manusia menikahi demokrasi, memperistri atau mempersuami sang perawan, tetapi ajaklah ia tinggal di rumah hukum, yang berfundamen ilmu, di lingkungan bertetanggaan moral, dengan sirkulasi udara buadaya, dengan menjaga pertatapan wajah dan sorot mata nurani, serta pemeliharaan rahasia iman dan perhubungan sunyi Tuhan. Dengan sangat menarik Emha memberikan potret yang terjadi di wilayah kelas bawah pedesaan khususnya desa tempat dimana emha lahir tentang betapa besarnya pengaruh yang berhasil dtimbulkan ‘Indonesia’ bagi peri-kehidupan pedesaan yang yang sudah berlangsung baik dan guyub,
Tatanan dan pola interaksi pskiologis yang telah terbangun baik di desa nyatanya berhasil dipengaruhi – untuk tidak mengatakan dikotori—oleh realitas politik yang tengah berlangsung yakni pemilu 1982. Kejadian ini merupakan klimaks dari retak-sosial yang menjadi salah satu hasil kongkret dari pemilu di desanya. Di desa, ada alam psikologi sosial tertentu yang barangkali tak pernah diambil pusing oleh pimpinan partai apapun orang desa memiliki keguyuban kehidupan tertentu yang terlalu mulia untuk diberaikan oleh intervensi hal-hal yang mereka sendiri tak kuasai permasalahannya. Ada ketidakseimbangan yang amat tajam antara proses pendidikan masyarakat dengan urgensi-urgensi sosial politik yang mengepung mereka. Pemilu ini memberikan ilustrasi yang paling tajam dari surealisme drama sosial yang tak bisa tidak harus terjadi di desa saya. Secara kebudayaan, ini adalah lukisan tempel atau kolase yang tak ada kesatuan-kesatuan logis antara unsur-unsurnya, tetapi secara ‘wajar’ dipaksakan kesatuannya sehingga menjadi suatu perhubungan unsur yang paling merusak atau setidaknya merusak salah satunya. Indonesia sungguh menjadi faktor teramat berperan salam proses semacam ini di desa saya. Padahal, siapakah indonesia? Kami orang desa hampir mustahil untuk tahu secara cukup layak. Menurut Emha, Indonesia menjadi unsur penentu yang cukup dominan dalam setiap gerak perubahan di desanya. Tetapi untuk hal-hal mendasar lainnya yang semsetinya dihadirkan mendahului atau mengawali setiap maksud perubahan, justru kurang mampu dihadirkan oleh Indonesia di desa saya. Kewajiban berpemilu adalah contoh kecil meskipun tajam dari jarak jauh antara urgensi partisipasi bernegara para penduduk desa dengan prasyarat kualitatif yang belum tersedia di dalam diri mereka. “Ada berpuluh istilah yang bisa dipakai untuk merumuskan apa yang terjadi; tetapi dalam bahasa sederhana; lewat long-shoot kamera sejarah, desa saya adalah bagian kecil dari sebuah lapangan sepakbola, yang rumputnya diusahakan untuk tidak tumbuh lebih dari dua tiga centimeter, agar menjadi landasan yang baik bagi permainan sepakbola 22 orang, wasit, pembantu wasit, serta para pedagang dan penyuap yang mengelilingi lapangan. Desa saya begitu tak pentingnya buat sebuah Indonesia yang besar, bagai sebuah lobang cacing di lapangan; adakah lobang cacing yang cukup dalam bagi cacing-cacing, buat berlindung dari injakan sepatu kaki-kaki para pemain yang perkasa itu? Apakah bunyi harapan bagi sebuah lapangan sepakbola?” (Emha 1992B:78)
Kondisi demikian lah yang melahirkan kritik emha bahwa kondisi realitas tujuan demokrasi menjadi ‘ambyar’ di tangan realitas kondisi kultural dan birokrasi. Diperkuat dengan pemerintah yang selalu bersikap defensive terhadap konsep demokrasi liberal. Hal yang menjadi indikasi ketidaksiapan cultural masyarakat termasuk pemerintah untuk dewasa berdemokrasi.
10
Pemikiran Emha…, Akhmad Nakhrowi, FIB UI, 2014
Untuk itu menurut Emha diperlukan sebuah formula untuk memodernisasi antara kebebasam dengan keterikatan. Bila dulu bung Karno mencetuskan dan menerapkan demokrasi terpimpin, bagi Emha orde baru lebih-lebih terpimpin lagi. Maka kemudian dalam pengamatannya demokrasi tidak dengan sungguhsungguh dijalankan. Bisa jadi karena bangsanya, termasuk pemerintah, masih merupakan ‘kere munggah bale’. Mereka masih ‘lapar’. Lapar ekonomi. Lapar kekuasaan. Sehingga dinamika demokrasi selalu terhalang.
9.
Kesimpulan
Dengan latar belakang sebagai anak desa yang dalam perjalanan hidupnya mendedikasikan diri untuk berinteraksi dan berteman dengan siapa saja Emha tahu betul bagaimana realitas sosial yang seringkali menghinggapi dirinya pergaulannya dengan masyarakat. Emha mengkritisi betul pola-pola birokrasi dan kekuasaan yang hanya mampu dan mau melihat ke atas dan bawah tanpa memperhatikan sampingnya. Maksudnya bahwa pola pemerintahan orde baru yang sentralisitk membuat kekuasaannya semakin kuat karena proses pemusatam tersebut, sehingga kepanjangan pemerintahannya di daerah adalah murni sebagai suruhan dari pusat yang bisa diatur dengan leluasa. Pola ini melahirkan apa yang disebut “Asal Bapak Senang”, dimana pejabat di bawah hanya akan menuruti kemauan pimpinan di atasnya agar sematamata menjaga kekuasaannya. Tidak jarang sikap seperti ini mengorbankan mereka yang ada di level masyarakat bawah yang tidak pernah masuk dalam perhitungan birokrasi ataupun pemerintahan sehingga bisa kapan saja dikorbankan. Dalam ranah demokrasi, Emha sadar betul bahwa psikologi sosial masyarakat telah terbentuk sedemikian rupa sehingga membuat masyarakat jauh dari prinsi-prinsip demokrasi. Hal ini tidak lain karena usaha-usaha demokratisasi di indonesia selalu menghadapi tantangan yang nyata dari kekuasaan yang seringkali dan memang terlalu kuat untuk dilawan. Disamping itu juga bahwa menurut Emha masyarakat masih mengalami ketidaksiapan kultural terhadap demokrasi. Hal ini memiliki efek yang tidak sedikit salah satunya adalah bagaimana kemudian masyarakat kelas bawah menghadapi keresahan dalam hatinya namun tidak memiliki tempat untuk mencari pemecahan. Oleh karenanya, Emha memandang demokrasi lantas jangan dipandang sebagai satu-satunya jalan untuk meyelesaikan masalah, meskipun dia menawarkan solusi yang baik bagi pemerintahan. Karena baginya demokrasi hanyalah sebagai jalan bukan tujuan. Tentunya kerangka ini harus dipahami sebagai upaya untuk menenangkan masyarakat yang biasa ia temui yang sudah tidak lagi mampu menghadapi kenyataan.
Daftar Referensi Surat Kabar dan Majalah Kedaulatan Rakyat, 17 Desember 1975, 25 Desember 1981, 15 Juni 1984. Gelora Mahasiswa (Yogyakarta), No.9 Tahun ke-II, Jauari 1976. Suara Karya, Th. VIII, 5 Mei 1978. Sinar Harapan, 22 April 1978. 29 April 1978 Pikiran Rakyat Bandung, 9 Desember 1980. Harian Waspada, 6 Desember 1980. Memorandum (Surabaya), 2 November 1980. Majalah Zaman, No. 43, 21 Juli 1984. Harian Surabaya Post, 27 28, April 1991. Harian Media Indonesia, 14 Juli 1991, 1 September 1994, 11 Juni 1995, 18 Juni 1995. Majalah Panji Masyarakat, 1—10 September 1991, 1— 10 April 1992, 1—10 Juli 1995, 1—10 Juni 1996. Suara Merdeka, 28 Maret 1992, 19 Mei 1993. Banjarmasin Post, 29 September 1992, 6 Agustus 1994. Jawa Pos, 30 September 1992, 1 Februari 1994. Detik, 11—17 Mei 1994. Kompas, 10 Desember 1980, 28 Agustus 1995. Majalah Matra,No. 67 Februari 1992, Oktober 1995. Hikmah, 1 April 1997. Eksponen, No. 44, 18—24 Agustus 1985. Majalah Amanah, No.118, 11—24 Januari 1991. Majalah Femina, No. 12, 21—27 Maret 1991. Mingguan Suarabya Post No. 111, 28 April 1991. Harian Berita Buana, No.012, 21 Agustus 1991. Majalah Humor No. 26, 23 Oktober—12 Novermber 1991. Disertasi Gayatri, Gati, Konstruksi Realitas Kepemimpinan Presiden Soeharto dalam Berita Surat Kabar; Analisis Kritis Terhadap Makna Pesan Politik yang Disampaikan dengan Menggunakan Konsep Ajaran Kepemimpinan Jawa, Disertasi pada Program Pasacasarjana FISIP-UI, 2002 Jurnal Arendregt, Bart and Wim van Zanten, Popular Music in Indonesia since 1998, in Particular Fusion, Indie and Islamic Music on Video Compact Discs and Internet, Yearbook for Traditional Music, Vol.34 (2002), pp.67-113 diunduh dari http://www.jstor.org/stable/3649190 pada 22 April 2012 Essay-essay Emha Ainun Nadjib yang dibukukan : Nadjib, Emha Ainun. Markesot Bertutur. Bandung: Penerbit Mizan, 1993 _______________. Markesot Bertutur Lagi. Jakarta: Mizan, 1994 _______________. Titik Nadir Demokrasi. Yogyakarta: Zaituna, 1996
11
Pemikiran Emha…, Akhmad Nakhrowi, FIB UI, 2014
_______________. Bola-Bola Kultural. Yogyakarta: Prima Pustaka, 1993 _______________. Secangkir Kopi Jon Pakir. Bandung: Mizan, 1992 _______________. Indonesia Bagian dari Desa Saya. Yogyakarta: Sipress, 1992 _______________. Sedang Tuhanpun Cemburu: Reflekis Sepanjang Jalan. Yogyakarta: Sipress, 1995 _______________. Kiai Sudrun Gugat. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1994 _______________. Slilit Sang Kyai. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991 _______________. Gerakan Punakawan atawa Arus Bawah. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1994 _______________.. Jejak Tinju Pak Kiai. Jakarta: Penerbit Kompas, 2008 --------------------------. Mati Ketawa Cara Refotnasi: Menyorong Rembulan. Yogyakarta: Zaituna, 1998 _______________. Oples : Opini Plesetan. Bnadung: Mizan, 1995 _______________. Anggukan Ritmis Pak Kiai. Surabaya: Risalah Gusti, 1994 _______________. Surat Kepada Kanjeng Nabi. Bandung: Mizan, 1996 _______________. Gelandangan di Kampung Sendiri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995 _______________. Sesobek Buku Harian Indonesia. Yogyakarta: Bendtang Intervisi Utama, 1993 _______________. Demokrasi Tolol Versi Saridin. Yogyakarta: Zaituna, 1998 _______________. Demokrasi La Roiba Fih. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009 _______________. Tuhanpun ‘Berpuasa’. Yogyakarta: Zaituna, 1998 _______________. Nasionalisme Muhammad : Islam Menyongsong Masa Depan. Yogyakarta: Sipress, 1995 _______________. Kiai Kocar-kacir. Yogyakarta: Zaituna, 1998 _______________. Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki. Jakarta: Gramedia, 2007 Buku-buku karya Emha Ainun Nadjib lainnya: Nadjib, Emha Ainun. Kerajaan Indonesia. Yogyakarta: PROGRESS, 2006 _______________. Kumpulan Puisi Emha Ainun Nadjib: ABACADABRA kita ngumpet. Yogyakarta: Yasayan Bentang Budaya, 1994 Buku Anderson, Bennedict R. O’G. Kuasa Kata: Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia. Yogyakarta : Matabangsa, 2000 Abdullah, Taufik., Aswab Mahasin, Daniel Dhakidae (red). Manusia dalam Kemelut Sejarah. Jakarta: LP3ES, 1978
Abdullah, Taufik dan Surjomihardjo, Abdurrachman.(Peny.).Ilmu Sejarah Dan Historiografi; Arah Dan Perspektif. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1985 Betts, Ian L, Jalan Sunyi Emha. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006. Budiman, Arief (ed.). State and Civil Society in Indonesia. Clayton : Monash Asia Institute, 1999 Colombijn, Freek dan J. Thomas Lindbald (ed.). Roots of Violencein Indonesia. Singapore: ISEAS, 2002 Crouch, Harold. The Army and Politics in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press, 1978. Dhakidae, Daniel. Cendikiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru. Jakarta : Gramediaa, 2003. Elson. R.E. Suharto : A Political Biography. Cambridge: Cambridge University Press, 2001 Elson. R.E. The Idea of Indonesia : Sejarah Pemikiran dan Gagasan. Jakarta : Serambi, 2008. Hartoko, Dick (ed.). Golongan Cendikiawan; Mereka yang berumah di Angin; sebuah bunga rampai. Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1980 Kartodirjo, Sartono. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 1992. Aspinall, Edward. Opposing Soeharto: Compromise, Resistance, and Regime Change in Indonesia. California : Stanford University Press. 2005. Bourchier, David dan Vedi R. Hadiz (ed.). Pemikiran Sosial dan Politik Indonesia Periode 1965—1999. Jakarta : Grafiti, 2006. Emmerson, Donald K. (ed.). Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, dan Transisi. Jakarta : Gramedia, 2001. Eyerman, Ron. Cendikiawan : Antara Budaya dan Politik. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1996. Fauzi, Ihsan Ali dan Samsu Rizal Panggabean (ed.). Demokrasi dan Kekecewaan. Jakarta : PUSAD Paramadina, 2009. Feith, Herbert dan Lance Castles (ed.). Pemikiran Politik Indoneisa 1945—1965. Jakarta : LP3ES, 1988. Hill, Hal (ed.). Indonesia’s New Order : The Dynamic of Socio-Economic Transformation. New South Wales: Allen & Unwin, 1994 Hindley, Donald. The Communist Party of Indonesia1951—1963. California: University of California Press, 1964. Hisyam, Muhammad (ed.). Krisis Masa Kini dan Orde Baru. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003. Jenkins, David. Soeharto & Barisan Jenderal Orba : Rezim Militer Indonesia 1975—1983. Depok: Komunitas Bambu, 2010 Kartodirdjo, Sartono. Pembangunan Bangsa : Tentang Nasionalisme, Kesadaran, dan Kebudayaan Nasional. Yogyakarta: Aditya Media, 1994. Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003.
12
Pemikiran Emha…, Akhmad Nakhrowi, FIB UI, 2014
Mahasin, Aswab dan Ismed Nasir (ed.). Cendikiawan dan Politik. Jakarta : LP3ES, 1984. Mas’oed, Mohtar. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966—1971. Jakarta: LP3ES, 1989. McDonald, Hamish. Suharto’s Indonesia. Blackburn: Fontana, 1980. Moedjanto. G, The Concept of Power in Javanese Culture, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 1990. Moeljanto, D.S. dan Taufiq Ismail (ed.). Prahara Budaya : Kilas-Balik Ofensif Lekra/PKI dkk. (Kumpulan Dokumen Pergolakan Sejarah). Jakarta: IPS, 2008. Pour, Julius. Pengalaman dan Kesaksian Sejak Proklamasi Sampai Orde Baru, Jakarta: Grasindo,1995 Raillon, Francois. Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia: Pembentukan dan Konsolidasi Orde Baru 1966—1974. Jakarta: LP3ES, 1989. Reeve, David. Golkar of Indonesia : An Alternative to The Party System. Singapore: Oxford University Press, 1985. Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200—2004. Jakarta: Serambi, 2005. Robinson, Richard. Indonesia: The Rise of Capital. Singapore: Equinox Publishing, 2008. McDonald, Hamish. Suharto’s Indonesia. Blackburn: Fontana, 1980 Saputro, Prayogi D. Spiritual Journey Emha Ainun Nadjib. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2011. Schwarz, Adam. A Nation in Waiting: Indonesia in The 1990’s. New South Wales: Allen & Unwin, 1994. Scott, James C. Senjatanya Orang-orang yang Kalah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000. Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya: Otobiografi seperti dituturkan kepada G. Dwipayana dan Ramadhan K.H. Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada, 1989. Tanter, Richard dan Kenneth Young (ed.). Politik Kelas Menengah Indonesia. Jakarta : LP3ES, 1996. Vatikiotis, Michael R.J. Indonesian Politics under Suharto : The Rise and The Fall of The New Order. London : Routledge. 1998
13
Pemikiran Emha…, Akhmad Nakhrowi, FIB UI, 2014