ANALISIS KUMPULAN PUISI LAUTAN JILBAB KARYA EMHA AINUN NADJIB DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI ISLAMI
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Program Strata 1 (S 1) Ilmu Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama Islam
Oleh: DWI ROYANTO NIM 063111083
FAKULTAS TARBIYAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2011
KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS TARBIYAH Alamat: Prof. Dr. Hamka Kampus II Telp. 7601295 Fak. 7615387 Semarang
NOTA PEMBIMBING
Semarang, 10 April 2011
Kepada Yth. Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang di- Semarang Assalamu’alaikum Wr. Wb. Dengan ini diberitahukan bahwa saya telah melakukan bimbingan, arahan dan koreksi naskah skripsi dengan : : Analisis Kumpulan Puisi Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib dalam perspektif Psikologi Islami Nama : Dwi Royanto NIM : 063111083 Jurusan : Pendidikan Agama Islam (PAI) Program Studi : Pendidikan Agama Islam (PAI) Judul
Saya memandang bahwa naskah skripsi tersebut sudah dapat diajukan kepada Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo untuk diajukan dalam sidang Munaqasah. Wassalau’alaikum Wr. Wb.
KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS TARBIYAH Alamat: Prof. Dr. Hamka Kampus II Telp. 7601295 Fak. 7615387 Semarang
NOTA PEMBIMBING
Semarang, 10 April 2011
Kepada Yth. Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang di- Semarang Assalamu’alaikum Wr. Wb. Dengan ini diberitahukan bahwa saya telah melakukan bimbingan, arahan dan koreksi naskah skripsi dengan : : Analisis Kumpulan Puisi Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib dalam perspektif Psikologi Islami Nama : Dwi Royanto NIM : 063111083 Jurusan : Pendidikan Agama Islam (PAI) Program Studi : Pendidikan Agama Islam (PAI) Judul
Saya memandang bahwa naskah skripsi tersebut sudah dapat diajukan kepada Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo untuk diajukan dalam sidang Munaqasah. Wassalau’alaikum Wr. Wb.
ABSTRAK Judul Nama NIM
: Analisis Kumpulan Puisi Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib dalam perspektif Psikologi Islami : Dwi Royanto : 063111083
Skripsi ini membahas tentang analisis kumpulan puisi Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib dalam perspektif Psikologi Islami. Peneliti memandang pentingnya metode alternatif untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan Islam. Analisis mengenai sasaran pendidikan Islam secara ilmiah memerlukan sistem pendekatan, orientasi, model yang sejalan dengan karakteristik (ciri-ciri) sasaran yang hendak dideskripsikan, dan dijelaskan. Banyak pendekatan serta metode yang dipakai pendidik berkaitan dengan pelaksanaan pendidikan, di antaranya dengan pendekatan budaya. Salah satunya diimplementasikan lewat puisi. Kajiannya dilatarbelakangi oleh puisi Lautan Jilbab sebagai karya sastra yang bersifat imajinatif, bahasa sastra bersifat konotatif dan banyak digunakan makna kias dan makna lambang (majas). Studi ini dimaksudkan untuk menjawab permasalahan 1) Bagaimana isi yang terkandung dalam kumpulan puisi Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib? 2) Bagaimana Perspektif psikologi Islami dalam kumpulan puisi Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib? Permasalahan tersebut dibahas melalui penelitian kepustakaan. Sumber data berasal dari data primer yaitu kumpulan puisi Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib dan data sekunder atau data pendukung, selain itu peneliti juga melakukan wawancara dengan Emha Ainun Nadjib sebagai tokoh dalam penelitian ini, setelah data terkumpul lalu dianalisis dengan menggunakan analisis data melaui dua bentuk yaitu analisis struktural untuk memahami sistem makna kata yang terdapat dalam kumpulan puisi serta analisis semiotik untuk menganalisis, mengungkap dan mendeskripsikan makna-makna yang terkandung dalam kumpulan puisi Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib. Kajian ini menunjukkan bahwa: (1) Kumpulan puisi Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib berisi tentang pesan moral yang secara implisit mengandung tema besar yaitu pendidikan kepribadian muslim (puisi didaktik). Dalam teori psikologi Islami dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga) tipologi kepribadian meliputi: a.Tipologi Kepribadian Ammarah yang ajarannya mengarah pada sisi kepribadian kaum perempuan dengan segala bentuk perilaku berpakaian yang tidak sesuai dengan syariat Islam.. Pendidikan kepribadian Islam berperan penting dalam membentuk kepribadian wanita-wanita Islam, b. Tipologi kepribadian Lawwamah yang mengarah pada perilaku seorang wanita dalam kehidupannya sehari-hari. Dalam Islam telah banyak dijelaskan dan diatur secara terperinci mengenai etikaetika seorang muslimah dalam hal berpenampilan. (3) Tipologi kepribadian Mut}mainnah yang mengarah pada kemulyaan hamba yang selalu menjaga hati, nafsu dan akalnya untuk menghambakan diri kepada Allah SWT. Penelitian ini diharapkan akan menjadi informasi dan masukan bagi para mahasiswa, para peneliti, pencinta sastra puisi dan semua pihak yang membutuhkan.
TRSNSLITERASI ARAB-LATIN Penulisan transliterasi huruf-huruf arab Latin dalam skripsi ini berpedoman pada SKB Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. Nomor: 158/1987 dan Nomor: 0543b/U/1987. Penyimpangan kata sandang [al-] disengaja secara konsisten supaya sesuai teks Arabnya.
ا
a
d}
ب
b
t}
ت
t
z}
ث
s\
‘
ج
j
g
ح
h}
f
خ
kh
q
د
d
k
ذ
z\
l
ر
r
m
ز
z
n
س
s
w
ش
sy
h
ص
s}
‘
y
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Dengan kerendahan hati dan kesadaran penuh, peneliti sampaikan bahwa skripsi ini tidak akan mungkin terselesaikan tanpa adanya dukungan dan bantuan dari semua pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih sebanyak-banyaknya kepada semua pihak yang telah membantu. Adapun ucapan terima kasih secara khusus penulis sampaikan kepada : 1. Bapak dan Ibu yang selalu memberi do’a restu serta kakak dan adik tercinta. 2. Dr. Sudja’i, M. Ag, selaku Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, beserta staf yang telah memberikan pengarahan dan pelayanan dengan baik, selama masa penelitian 3. Dr. Abdul Wahib, M. Ag dan Drs Sajid Iskandar selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan sekripsi ini. 4. Segenap Civitas Akademik IAIN Walisongo Semarang yang telah memberikan bimbingan kepada penulis untuk meningkatkan ilmu. 5. Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) penulis kumpulan puisi Lautan Jilbab yang telah menjadi tokoh dalam penelitian ini. 6. Semua karib kerabat yang telah memberikan motivasi dalam penyelesaian skripsi ini. Lebih-lebih kepada semua sedulur-sedulur KPT beta yang selalu mendukung dan memotivasi proses saya.
Kepada mereka semua, peneliti mengucapkan terima kasih disertai do’a semoga budi baik mereka diterima oleh Allah SWT, dan mendapatkan balasan berlipat ganda dari Allah SWT.
Kemudian peneliti mengakui kekurangan dan keterbatasan kemampuan dalam menyusun skripsi ini, maka diharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif, evaluatif dari semua pihak guna kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya semoga dapat bermanfaat bagi diri peneliti khususnya.
Semarang, juni 2011
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................................
i
PERNYATAAN KEASLIAN...............................................................................
ii
PENGESAHAN ....................................................................................................
iii
NOTA PEMBIMBING .........................................................................................
iv
ABSTRAK ............................................................................................................
vi
TRANSLITERASI ................................................................................................
vii
KATA PENGANTAR ..........................................................................................
viii
DAFTAR ISI .........................................................................................................
x
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang ........................................................................
1
B. Rumusan Masalah ...................................................................
7
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ..............................
7
D. Kajian Pustaka.........................................................................
8
E. Metode Penelitian....................................................................
9
PUISI DAN PSIKOLOGI ISLAMI A. PUISI ....................................................................................... 11 1. Pengertian Puisi.................................................................. 11 2. Hakekat Puisi ..................................................................... 15 3. Struktur Puisi ..................................................................... 18 4. Mencari Makna dalam Puisi .............................................. 19 5. Macam-macam Puisi ......................................................... 20 B. PSIKOLOGI ISLAMI .............................................................. 22 1. Pengertian Psikologi Islami ............................................... 22 2. Ruang Lingkup Psikologi Islami ........................................ 23 C. KONTRIBUSI PUISI DALAM PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN.......................................................................
29
BAB III
PUISI LAUTAN JILBAB KARYA EMHA AINUN NAJIB A. Biografi Emha Ainun Najib ..................................................... 35 B. Proses Penciptaan Puisi ............................................................ 43 C. Puisi Lautan Jilbab .................................................................. 45
BAB IV
ANALISIS
KUMPULAN
PUISI
LAUTAN
JILBAB
KARYA EMHA AINUN NADJIB DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI ISLAMI A. Tipologi Kepribadian Ammarah ........................................... 64 B. Tipologi Kepribadian Lawwamah......................................... 71 C. Tipologi Kepribadian Mut}mainnah ..................................... 83
BAB V
PENUTUP A. Simpulan .................................................................................. 91 B. Saran-Saran .............................................................................. 93 C. Penutup..................................................................................... 93
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya. Tujuannya agar peserta didik memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.1 Pertumbuhan psikologis yang baik melalui berbagai media dan metode dapat
menolong
individu
dan
menghaluskan
perasaannya
dan
mengarahkannya ke arah yang diingini. Dalam hal ini ia menjadi kekuatan dan motivasi ke arah kebaikan kerja yang membina dan berhasil. Sehingga dapat mencapai kemaslahatan diri sendiri dan kemaslahatan masyarakat. Ia juga dapat menumbuhkan perasaan mulia dalam diri manusia, yang menjadikan manusia mencintai kebaikan bagi orang lain, mampu berinteraksi dengan mereka, turut merasakan penderitaan dan masalah-masalahnya dan turut berkorban untuk mereka serta membantunya untuk menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri dan juga masyarakat.2 Berkaitan dengan itu Islam menganut pendidikan sebagai suatu proses spiritual, akhlak, intelektual, dan berusaha membimbing manusia serta memberinya nilai-nilai, prinsip-prinsip dan teladan ideal dalam kehidupan. Berkaitan dengan itu juga bertujuan mempersiapkan manusia untuk kehidupan di dunia dan akhirat. Ia juga bertujuan mengembangkan tujuan pribadinya dan memberinya segala pengetahuan, keterampilan dan sikap yang berguna, di samping mengembangkan keterampilan diri sendiri yang berkesinambungan,
1 Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Semarang: Aneka Ilmu, 1992), hlm. 2. 2 Mel Siberrnen, 101 Strategi Pembelajaran Aktif (Active Learning), terj. Sarjuli dan Azfat Ammar, (Jakarta: Yakpendis, 2001), hlm. 65.
1
2
dan tidak terbatas oleh waktu dan tempat kecuali taqwa. Firman Allah swt dalam surat Al-Baqarah ayat 282 menyebut:
(٢٨٢ :ﻢ )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ ﻴﻋﻠ ﻲ ٍﺀ ﺷ ﻪ ﹺﺑ ﹸﻜ ﱢﻞ ﺍﻟﱠﻠﻪ ﻭ ﻢ ﺍﻟﱠﻠ ﻤ ﹸﻜ ﻌﱢﻠ ﻳﻪ ﻭ ﺗﻘﹸﻮﺍ ﺍﻟﱠﻠﺍ ﻭ... …Bertaqwalah kamu kepada Allah swt niscaya Allah swt akan mengajarmu, sebab Allah SWT Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS Al-Baqoroh: 282)3. Persoalan besar yang muncul di tengah-tengah umat manusia sekarang ini adalah keringnya aspek rohani. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang didominasi rasionalisme, empirisme, dan positivisme ternyata membawa manusia kepada kehidupan modern yang bermental sekularis. Mereka menjadi terasingkan dari aspek spiritual yang merupakan kebutuhan rohaninya Dalam dinamika semacam itu, berbagai metode perlu diupayakan sebagai alternatif pemecahan. Posisi ini berhadapan dengan universalisme ajaran Islam yang selalu bisa mengimbangi perkembangan zaman, sehingga peneliti memandang pentingnya metode alternatif untuk menanamkan nilainilai pendidikan Islam. Analisis mengenai sasaran pendidikan Islam secara ilmiah memerlukan sistem pendekatan, orientasi, model yang sejalan dengan karakteristik (ciri-ciri) sasaran yang hendak dideskripsikan, dan dijelaskan. Banyak pendekatan serta metode yang dipakai pendidik berkaitan dengan pelaksanaan pendidikan, di antaranya dengan pendekatan budaya.4 Salah satunya diimplementasikan lewat puisi. Karya seni, khususnya puisi dipandang oleh para filsuf muslim terutama Ibnu Sina dan Al Jurjani, sebagai persembahan mimesis (mutabaqah), yaitu ekspresi perasaan dan pikiran seorang penyair yang mencoba mengungkapkan perasaan dengan menggunakan pikiran dan
3
Soenarjo, dkk, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Departemen Agama, 2003), hlm.
71. 4
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 30.
3
imajinasi.5 Kegiatan penciptaan karya seni digolongkan sebagai kegiatan intelektual yang berhubungan dengan hikmah dan makrifat.6 Puisi ialah jenis karya sastra yang memiliki sifat puitis.7 Pada dasarnya puisi adalah wujud representasi dunia dalam bentuk lambang (kebahasaan). Kata-kata yang dimunculkan dalam puisi mengandung pengertian yang mendalam dan penuh simbol-simbol. Pada hakikatnya puisi adalah bentuk dari curahan pengalaman batin penyairnya, yang mampu menunjukkan keadaan atau situasi yang sedang dialami olehnya, yang pada akhirnya dapat memberikan kesan yang mendalam kepada pembacanya. Meskipun demikian, banyak puisi yang ditulis tanpa ada pesan moral yang akan disampaikan kepada pembacanya. Dewasa ini, salah seorang penyair yang dikenal banyak menyisipkan pesan moral dalam puisinya adalah Emha Ainun Nadjib (Cak Nun). Beliau selain sebagai seorang ulama beliau juga seorang musisi, budayawan dan seorang penyair yang tidak hanya bermain dengan kata-kata, namun banyak di antara coretan penanya yang berbentuk puisi mempunyai makna religius, berisi pesan moral, dan nilai-nilai pendidikan Islam, khususnya sebagai bentuk penghambaan sang penyair kepada Tuhannya. Di antara beberapa karyanya yang sangat terkenal adalah yang terangkum dalam kumpulan puisi Lautan Jilbab. Pada kesempatan ini peneliti mencoba menganalisis kumpulan puisi Lautan Jilbab dari sudut pandang psikologi islami. Tentunya dari sudut pandang ini akan bayak ditemukan kajian psikologi Islam baik humaniora maupun humanisme. Berikut bait teks yang ada dalam kumpulan puisi Lautan Jilbab dalam
judul Tersungkur
yang mempunyai semangat keislaman dilihat dari jiwa
penulisnya:
5
Abdul Hadi W.M, Hermeunetika, Esteika dan Religiusitas, Esai-Esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa, (Yogyakarta: Matahari, 2004), hlm. 36. 6 Abdul Hadi W.M, Hermeunetika, hlm. 36. 7 Soedjarwo, Bunga-Bunga Puisi dan Taman Sastra Kita, (Yogyakarta: Duta Wacana University Press., 1993), hlm. 3.
4
Hanya satu dua kali Burung-burung Ababil menabur dari sunyi Hanya ketika hati Allah dilukai Atau ketika cintaNya menetes ke jiwa yang Sendiri Angkasa senyap Belantara pepohonan rebah ke bumi Dan gunung dan laut dan sungai Mengulang-ngulang sujud beribu kali Dan mereka bernyanyi: Kekasih, Ya kekasih! Kalau mula dan akhir kita satu Kenapa harus begini lama berburu!8 Kutipan puisi di atas dapat ditafsirkan bahwasanya semangat keislaman yang luar biasa sang penulis terhadap Allah swt , terlihat dari bahasa yang begitu menggebu tentang kerinduan yang mendalam sebagai wujud kecintaan hamba kepada Tuhannya. Rasa cinta dan kerinduan inilah yang menjadikan sang penyair menuliskan puisi ini dengan penjiwaan yang luar biasa sebagaimana kerinduanya terhadap Tuhannya. Berikut bait teks yang ada dalam kumpulan puisi Lautan Jilbab dalam
judul Penyangga ‘Arsy yang mempunyai nilai akhlaq. O, beribu jilbab! O, lautan! Bergerak ke cakrawala Lautan penyangga ‘Arsy Beribu jilbab perawat peradaban Barisan ummat terjaga dari tidur Pergi berduyun memasuki diri sendiri9 Kutipan puisi di atas mengisyaratkan ketegasan terhadap perilaku
mereka, kaum berjilbab (perempuan) adalah aset utama yang dimiliki oleh peradaban manusia, yang mampu mengubah ataukah merusak peradaban umat manusia. Tentunya haruslah ada tatanan nilai tersendiri yang wajib dilakukan 8 9
Emha Ainun Nadjib, Syair Lautan Jilbab (Yogyakarta: Sippress, 1989), hlm: 1 Emha Ainun Nadjib, Syair, hlm. 6
5
oleh umat dan bukan hanya kepada kaum perempuan. Nilai dan tatanan tersebut berupa etika ataupun akhlaq. Untuk menghindari agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam menafsirkan judul skripsi ini, perlu diberikan penegasan mengenai beberapa istilah. Dan peneliti mengelompokkan judul skripsi ini menjadi tiga aspek. 1. Analisis Kata analisis berasal dari bahasa yunani yaitu analyein yang berarti menyelesaikan, menguraikan. Analisis merupakan bagian yang tak terpisahkan dari penelitian, sebab kegiatan menguraikan ini, yaitu memisah-misahkan sesuatu menjadi bagian-bagian yang lebih kecil di dalam suatu entitas dengan cara mengidentifikasi, membandingbandingkan, menemukan hubungan berdasarkan parameter tertentu adalah suatu upaya menguji atau membuktikan kebenaran.10 2. Kumpulan Puisi Lautan Jilbab Secara istilah puisi adalah karya sastra yang bersifat imajinatif, bahasa sastra yang bersifat konotatif karena banyak digunakan makna kias dan makna lambang (majas).11 Sedangkan Kumpulan puisi adalah beberapa judul puisi yang tersusun dalam satu buku. Syair Lautan Jilbab merupakan kumpulan puisi karya Emha Ainun Nadjib yang diterbitkan pada tahun 1989; Syair Lautan Jilbab merupakan sebuah puisi mendadak yang ditulis ketika harus merespons dan tampil di acara pentas seni Ramadhan jama’ah Shalahuddin UGM 1986.12 Jadi yang dimaksud dengan kumpulan puisi Lautan Jilbab adalah beberapa judul puisi yang ada dalam sajak-sajak Lautan Jilbab yang sedikit banyak menceritakan semangat kaum muslimin untuk merespon tatanan kesenian umat Islam dalam menyikapi keadaan sosial pada saat itu.
10
Siswantoro, Metode Penelitian Sastra, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 10 Herman J. Waluyo, Teori & Apresiasi Puisi, (Jakarta : Erlangga, t.th.), hlm. 22. 12 Herman J. Waluyo, Teori, hlm. v 11
6
3. Emha Ainun Nadjib Emha Ainun Nadjib lahir di Jombang, 27 Mei 1953, anak ke-4 dari 15 bersaudara. Pendidikan formalnya hanya berakhir di semester 1 Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Sebelum itu ia ‘diusir’ dari Pondok Modern Gontor Ponorogo karena ‘demo’ melawan Departemen Keamanan pada pertengahan tahun ketiga studinya. Kemudian ia pindah ke Yogyakarta dan lumayan bisa tamat SMA Muhammadiyah I. Lima tahun hidup menggelandang di Malioboro Yogyakarta antara 1970-1975 ketika belajar sastra kepada guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat mempengaruhi perjalanan Emha. Di antara karya-karya puisinya antara lain: · “M” Frustasi (1976), · Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978), · Sajak-Sajak Cinta (1978), · Nyanyian Gelandangan (1982), · 99 Untuk Tuhanku (1983), · Suluk Pesisiran (1989),· Lautan Jilbab (1989), · Seribu Masjid Satu Jumlahnya ( 1990), · Cahaya Maha Cahaya (1991), · Sesobek Buku Harian Indonesia (1993), · Abacadabra (1994), · Syair Amaul Husna (1994), dll.13 4. Perspektif Psikologi Islami Bastaman (1994) salah satu pencetus nama Psikologi Islami mengharapkan nama tersebut sudah mencerminkan karakteristik dan identitasnya, yakni berdasar dan bermuara pada nilai-nilai yang bersifat Islami. Ia merumuskan psikologi islami sebagai berikut. 13
2011
Afif, Emha Ainun Nadjib I, http://blog.its.ac.id/afif/archives/68, diakses Sabtu, 15-01-
7
Corak psikologi berlandaskan citra manusia menurut ajaran Islam yang mempelajari keunikan dan pola perilaku manusia sebagai ungkapan pengalaman interaksi dengan diri sendiri, lingkungan sekitar dan alam keruhanian dengan tujuan meningkatkan kesehatan mental dan kualitas keberagamaan 14
B. Rumusan Masalah Berangkat dari latar belakang di atas dapat peneliti kemukakan permasalahan sebagai berikut. 1. Apa sajakah isi dalam kumpulan puisi Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib? 2. Bagaimana analisis kumpulan puisi Lautan Jilbab Karya Emha Ainun Nadjib dalam perspektif Psikologi islami? C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian skripsi ini adalah: 1. Mengetahui isi dalam kumpulan puisi Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib 2. Mengetahui bagaimana perspektif psikologi Islam dalam kumpulan puisi Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib. Sedangkan hasil penelitian pada intinya diharapkan dapat memberi manfaat antara lain: 1. Memberikan wacana pemikiran bagi dunia pendidikan, khususnya pendidikan Islam bahwa media pembelajaran pun dapat berupa karya sastra, termasuk karya sastra puisi. 2. Membantu pembaca karya sastra dalam menemukan dan mengapresiasi keindahan dari kumpulan puisi Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib. 3. Melengkapi dan melanjutkan penelitian karya sastra yang pernah ada, khususnya kumpulan puisi Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib. 14
Zaenal Abidin, Pengertian Psikologi Islami, http://staff.undip.ac.id/psikologi/zaenal_abidin/2010/07/20/pengertian- psikologi islami, diakses Sabtu, 15-01-2011
8
D. Kajian Pustaka Dalam tinjauan pustaka ini akan dideskripsikan beberapa penelitian yang dilakukan terdahulu relevansinya dengan penelitian ini. Adapun karyakarya tersebut adalah: 1. Penelitian Abdul Wachid, buku yang berjudul Gandrung Cinta (Tafsir terhadap Puisi A. Mustofa Bisri), buku tersebut menguraikan dimensi kerohanian sajak-sajak cinta Gandrung karya Mustofa Bisri dari sudut pandang “tasawuf cinta” sebagai sinonim dari “ihsan”, karena kerohanian keislamannya lebih tampak sosoknya. Sosok itu sebagaimana diungkapkan dalam
hadits
terkenal
mengenai
singgasana
Allah
(al’arsy):
“Sesungguhnya, kasih sayang-Ku melampaui kemurkaan-Ku” (inna rahmati sabaqat ghadhabu). Perspektif “cinta” seperti ini adalah tasawuf, yang ekspresinya muncul dalam wujud keindahan, cinta, puisi, dan musik, yang mencitrakan hubungan begitu berat tak terpisahkan antara dimensi keindahan dan rahmat Allah. 2.
Penelitian Sukandar, skripsi yang berjudul Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Puisi A. Mustofa Bisri (Telaah Kumpulan Puisi Negeri Daging). Hasil penelitian menunjukkan Puisi Negeri Daging merupakan salah satu dari sekian banyak hasil karya sastra yang ikut berperan dalam perbaikan akhlak negeri tercinta ini, di dalam puisi Negeri Daging terdapat tiga materi pendidikan akhlak yang terkandung di dalamnya. Pendidikan akhlak manusia terhadap Tuhan, pendidikan akhlak manusia terhadap manusia lainnya, dan pendidikan akhlak manusia terhadap dirinya. Pendidikan akhlak terhadap Tuhan terintegrasi dengan pelaksanaan ibadah kepada Tuhan. Materi yang kedua dan ketiga adalah pendidikan akhlak terhadap sesamanya dan terhadap dirinya sendiri, dimulai dengan menghilangkan penyakit-penyakit hati seperti dengki, iri hati, sombong, takabur, tamak, kikir dan lain-lain. Penyakit-penyakit hati bisa melemahkan harga diri dan meruntuhkan sendi-sendi kehidupan sosial. Dari kedua penelitian di atas terdapat kesamaan dengan penelitian
yang sedang peneliti kaji yaitu mencari makna yang terkandung dalam sebuah
9
sajak puisi yang konkret, akan tetapi analisis kumpulan puisi Lautan Jilbab Karya Emha Ainun Nadjib dalam perspektif Psikologi islami ini tentunya akan mempunyai kandungan tersendiri yang tentunya berbeda dengan penelitian di atas. E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan, yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka. Membaca, mencatat, serta mengolah bahan penelitian.15 karya ini dimaksudkan sebagai penelitian dengan mempelajari naskah-naskah yang berkaitan dengan pokok permasalahan. 2. Sumber Data Sumber data menjadi penelitian ini peneliti kelompokkan menjadi dua macam, yaitu data primer dan data sekunder : a. Data primer adalah data yang menjadi rujukan pokok dalam menyusun skripsi. Data yang termasuk dalam kategori primer dalam ini adalah kumpulan puisi Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib. b. Data sekunder, adalah data yang berfungsi sebagai pendukung data primer. Data ini diambil dari buku-buku, jurnal, majalah, artikel, dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan fokus penelitian ini. Selain itu peneliti juga menggunakan metode wawancara. Metode ini dipandang sebagai metode pengumpulan data dengan jalan tanya jawab sepihak yang dikerjakan secara sistematis dan berlandaskan pada tujuan penelitian.16 Wawancara dilakukan dengan cara terstruktur yaitu hanya memuat garis besarnya saja. Metode ini dilakukan melalui wawancara langsung dengan Emha Ainun Nadjib sebagai tokoh dalam penelitian ini. 3. Metode Analisis Data a. Metode Struktural 15
Zed Mestika, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2004), cet. I, hlm.3. 16 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta : Andi Offset, 1994 ) hlm. 9
10
Analisis struktural bertujuan membongkar dan memaparkan dengan cermat, teliti, dan merenik keterkaitan dan keterjalinan semua unsur karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna seutuhnya.17 Dengan kata lain metode ini digunakan untuk memahami makna tanda-tanda yang terjalin dalam sistem (struktur). Dalam hal ini memahami sistem makna kata yang terdapat dalam kumpulan puisi Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib18 b. Metode Semiotik Puisi mempunyai satuan-satuan tanda (yang minimal) seperti kosa kata, bahasa kiasan, di antaranya: personifikasi, simile, metafora, dan metomini, sedangkan konvensi-konvensi puisi adalah konvensi kebahasaan: bahasa kiasan, sarana retorika, dan gaya bahasa pada umumnya.19 Studi sastra bersifat semiotik berusaha menganalisis sastra, puisi khususnya sebagai suatu sistem tanda-tanda dan menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai makna.20 Kedua metode di atas adalah untuk menganalisis, mengungkap dan mendeskripsikan makna-makna yang terkandung dalam kumpulan puisi-puisi Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib.
17
Rahmat Djoko Pradopo, Kritik Sastra Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 72. 18 Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik dan Penerapannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), Cet. III, hlm. 141. 19 Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa, hlm. 141. 20 Rahmat Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press: 2005), Cet. IX, hlm. 118.
BAB II PUISI DAN PSIKOLOGI ISLAMI
A. PUISI 1. Pengertian Puisi Puisi merupakan salah satu jenis karya sastra yang memiliki pernyataan sastra yang paling dalam. Kata-kata yang dimunculkan mengandung pengertian yang mendalam dan penuh simbol-simbol. Membaca puisi merupakan sebuah kenikmatan seni sastra karena pembaca dibawa serta ke dalam pernyataan-pernyataan yang dicurahkan seorang penyair melalui baris-baris puisinya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa puisi adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait.1 Rahmat Djoko Pradopo memberikan definisi puisi sebagai karangan terikat. Keterbatasan puisi tersebut berdasarkan keterikatan atas (1) Banyak baris dalam tiap bait, (2) Banyak kata dalam tiap baris, (3) Banyak suku kata dalam tiap baris, (4) Rima, dan (5) Irama.2 Apabila dilihat dari pengertian di atas, maka pengertian tersebut sudah tidak cocok lagi dengan wujud puisi zaman sekarang. Keterikatan puisi sudah tidak tervisualisasikan pada bentuk puisi-puisi modern pada saat ini. Secara etimologi, istilah puisi berasal dari bahasa Yunani "poeima" membuat atau " pembuatan”, dan dalam bahasa Inggris disebut poem atau poetry. Puisi diartikan "membuat" dan "pembuatan", karena lewat puisi pada dasarnya seseorang telah menciptakan sesuatu dunia tersendiri, yang
1
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta :Balai Pustaka, 1991), hlm. 749 Rahmat Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), Cet. IX, hlm. 5 2
11
12
mungkin berisi pesan atau gambaran suasana-suasana tertentu, baik fisik maupun batiniah.3 Pengertian tersebut sejalan dengan pendapat Shelley yang mengatakan bahwa puisi merupakan rekaman detik-detik yang paling indah dalam hidup kita. Misalkan saja peristiwa-peristiwa yang sangat mengesankan dan menimbulkan keharuan yang kuat, seperti kebahagiaan, kegembiraan yang memuncak, percintaan, bahkan kesedihan karena kematian orang yang sangat dicintai.4 Menurut sejarahnya poeisis, yaitu penciptaan puisi dan seni (tetapi perhatikan bahwa kata poeisis secara etimologi tidak lain artinya daripada hanya “pembuatan” saja, tidak khas untuk seni) dapat pula diberikan sebagai perwujudan gagasan manusia selaku pencipta, yang berkembang secara berangsur-angsur. Baik dalam dunia klasik dengan karya seni sebagai bentuk tekhne yang tertinggi, tetapi masih dalam rangka peneladanan alam.5 Sebagai sebuah genre, puisi berbeda dari novel, drama atau cerita pendek. Perbedaannya terletak pada kepadatan komposisi dengan konvensi yang ketat, sehingga puisi tidak memberi ruang gerak yang longgar pada penyair dalam berkreasai secara bebas. Wajar kalau puisi dikatakan sebagai the most condensed and concentrated from of literature (Parrine, 1974:553) yang maksudnya adalah puisi merupakan bentuk sastra yang paling padat dan terkonsentrasi. Kepadatan komposisi tersebut ditandai dengan pemakaian sedikit kata, namun mengungkap lebih banyak hal. Sebab itu, puisi dapat didefinifikan sebagai berikut: Puisi dapat didefinisikan sebagai sejenis bahasa yang mengatakan lebih banyak dan lebih intensif daripada apa yang dikatakan oleh bahasa harian. (Parrine, 1979 dalam Aminuddin, 2004:134)
3
Aminuddin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra, (Bandung: Sinar baru Algesindo, 2004), Cet. V, hlm. 134 4 Rachmat Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi, hlm. 6-7 5 A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta Pusat: PT Dunia Pusaka Jaya, 1984), Cet. I, hlm.158
13
Definisi di atas menyatakan secara implisit bahwa puisi sebagai bentuk sastra menggunakan bahasa sebagai media pengungkapnya. Hanya saja bahasa
puisi memiliki ciri tersendiri yakni kemampuannya
mengungkap lebih intensif dan lebih banyak ketimbang kemampuan yang dimiliki oleh bahasa biasa yang cenderung bersifat informatif praktis. Oleh sebab itu, pesan yang disampaikan bersifat jelas dan tidak mengandung dimensi ambigu. Hari ini Jakarta berawan; harga kebutuhan pokok menjelang puasa naik; kereta Argo Lawu jurusan Solo-Jakarta anjlok di cirebon, adalah sederet contoh bahasa harian.6 Terlepas dari beberapa pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa sifat yang terpenting dari puisi adalah puitis. Sesuatu disebut puitis bila hal itu membangkitkan perasaan, menarik perhatian, menimbulkan tanggapan yang jelas. Secara umum bila hal itu menimbulkan keharuan disebut puitis. Dalam hal ini puitik bukanlah referensi, acuan di luar ungkapan bahasa itu yang penting, tetapi kata-kata, pemakaian bahasa itu sendiri yang menjadi pusat perhatian itu walaupun fungsi-fungsi lain bukan tak ada dalam puisi.7 Kepuitisan itu dapat dicapai dengan bermacam-macam cara, misalnya dengan bentuk visual, tipografi, susunan bait, dengan bunyi: persajakan, asonansi, aliterasi,8 kiasan bunyi, lambang rasa, dan orkestrasi, dengan pemilihan kata (diksi), bahasa kiasan, sarana retorika, unsur-unsur ketatabahasaan, gaya bahasa dan sebagainya.9 Di antara kemungkinan cara yang disediakan oleh sistem bahasa, dalam bahasa puitik dipilih kemungkinan yang dari segi tertentu menonjolkan ekuivalensi;bekuivalensi itu dapat terwujud dalam gejala yang sangat beranekaragam: ekuivalensi bunyi, dalam bentuk rima, aliterasi, asonansi,; tetapi pula dalam skema mantra seperti dalam kidung dan kakawin, yang mempunyai kesejajaran, 6
Siswantoro, Metode Penelitian Sastra, Analisis Struktur Puisi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010) hlm. 23-24 7 A. Teeuw, Sastra dan Ilmu, hlm. 74 8 Aliterasi adalah ulangan bunyi konsonan yang biasanya terdapat pada awal kata yang berurutan untuk mencapai efek keindahan bunyi, sedangkan asonansi adalah ulangan bunyi vokal yang berurutan, runtun vokal. Lihat : Abdul Razak Zaidan, Kamus Istilah Sastra,(Jakarta : Balai Pustaka, 2004), hlm. 26 &36 9 Rachmat Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi, hlm. 13
14
antara larik dengan larik, antara pupuh dengan pupuh dan di dalam larik ada macam-macam kesejajaran; seluruhnya disebut sistem mantra.10 Dari beberapa penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa pemakaian bahasa yang tepat sangat dibutuhkan dalam puisi, sehingga dapat menggetarkan jiwa, dengan keindahan bahasa yang ada dalam puisi. Karena puisi itu ialah keindahan yang terdapat dalam karya seni, keindahan itu kita rasakan sebagai rasa senang, gembira, bahagia, terharu, kagum dan takjub. Dalam keindahan terkandung kebenaran. Kebenaran di sini ialah kebenaran tentang arti kehidupan, kebenaran yang belum dispesialisasikan dalam bidang-bidang ilmu tertentu. Kebenaran dalam puisi irepresentasikan melalui
rangkaian
kejadian
yang
dialami oleh
pelaku-pelakunya.
Kebenaran yang sekaligus diserap oleh cipta, rasa dan karsa ini dekat pengertiannya dengan kebijaksanaan, kearifan, atau kelapangan dada (broad mindedness).11 Puisi dianggap lebih berhasil bila mampu memberikan manfaat dan hiburan. Bermanfaat dapat diartikan mampu memberikan nilai-nilai yang mengarah pada tujuan manusia hidup di dunia. Demikian pula dengan penelitian jenis sastra seperti puisi misalnya, pokoknya diambil dari teori yang dikembangkan dalam poetika tulisan Aristoteles. Sifat bermanfaat dan nikmat (utile dan dulce) sebagai tujuan dari fungsi karya sastra, tetap merupakan tolak ukur sastra.12Nilai-nilai itu memunculkan hikmah-hikmah yang dalam dari suatu peristiwa maupun kisah - kisah yang muncul dalam pernyataan-pernyataan puisi. Nilai puisi tersebut juga mampu memberikan manfaat bagi pembaca dalam rangka membentuk pandangan hidupnya, karena puisi sangat erat hubungannya dengan falsafah dan agama.13 Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa puisi sebagai salah satu karya seni memberikan gambaran kepada para pendengar, pembaca dan 10
A. Teeuw, Sastra dan Ilmu, hlm.76-77 Rachmat Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi, hlm. 10 12 A. Teeuw, Sastra dan Ilmu, hlm. 8 13 Aminuddin, Pengantar, hlm. 197 11
15
penikmat akan maksud dan nilai yang ada pada bait yang diungkapkan oleh penyair. Lalu dari beberapa definisi mengenai puisi oleh beberapa tokoh dapat ditarik benang merah bahwa garis-garis besar tentang puisi itu sebenarnya merupakan unsur-unsur yang berupa emosi, imajinasi, pemikiran, ide, nada, irama, kesan panca indera, susunan kata, kata kiasan, kepadatan, dan perasaan yang bercampur-campur yang dituangkan pengarang (penyair) dalam prosesnya. 2. Hakikat Puisi Struktur fisik puisi adalah medium untuk mengungkapkan makna yang hendak disampaikan penyair. I.A. Richard menyebut makna atau struktur batin itu dengan istilah hakikat puisi, ada empat unsur hakikat puisi, yakni: tema (sense), perasaan penyair (feeling), nada atau sikap penyair terhadap pembaca (tone), dan amanat (intention). Keempat unsur itu menyatu dalam wujud penyampaian bahasa penyair. 1) Tema Merupakan gagasan pokok atau subject-matter yang di kemukakan penyair. Pokok pikiran atau pokok persoalan itu begitu kuat mendesak dalam jiwa penyair, sehingga menjadi landasan utama pengucapannya. Jika desakan kuat itu berupa hubungan antara penyair dengan Tuhan, maka puisinya bertema ketuhanan. Jika desakan yang kuat berupa rasa belas kasih atau kemanusiaan, maka puisi bertema kemanusiaan. Jika yang kuat adalah dorongan untuk memprotres ketidakadilan, maka tema puisinya adalah protes atau kritik sosial. Perasaan cinta atau hati yang kuat juga dapat melahirkan tema cinta, atau tema kedukaan hati karena cinta. Latar pengetahuan mempengaruhi penafsir-penafsir puisi untuk memberikan tafsiran tema yang sama bagi sebuah puisi, karena tema puisi bersifat lugas, obyektif, dan khusus. Tema puisi harus dihubungkan dengan penyairnya, dengan konsep-konsepnya yang terimajinasikan. Oleh
16
sebab itu tema bersifat khusus (penyair), tetapi obyektif (bagi semua penafsir), dan lugas (tidak dibuat-buat).14 2) Perasaan (feeling) Perasaan penyair dalam menciptakan puisi ikut diekspresikan dan ikut dihayati pembaca. Tema yang sama akan dituturkan perasaan penyair secara berbeda, sehingga hasil puisi yang diciptakan berbeda pula. Menghadapi tema keadilan sosial atau kemanusiaan, penyair banyak menampilkan kehidupan pengemis atau orang gelandangan.15 3) Nada dan Suasana Apabila ada seseorang bicara, kita menagkap apa yang dibicarakan dan suara bicara kadang-kadang meninggi-merendah (nadanya),
mengeras-melembut
(tekanannya)
atau
mencepat-
melambat (temponya). Selain itu jiga kita menangkap bagaimana sikap pembicara terhadap apa yang dibicarakannya.16 Penyair mempunyai sikap tertentu dalam menuliskan puisi, apakah dia ingin bersikap menggurui, menasehati, mengejek, menyindir, atau bersikap lugas hanya menceritakan sesuatu kepada pembaca. Sikap penyair kepada pembaca ini disebut nada puisi. Sering kali puisi bernada santai karena penyair bersikap santai kepada pembaca. Hal ini dapat kita jumpai dalam puisi-puisi mbeling. Jika nada merupakan sikap penyair kepada pembaca, maka suasana adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi itu atau akibat psikologis yang ditimbulkan puisi itu terhadap pembaca. Sikap pencipta yang dapat kita tangkap dari sajak, cerita atau drama disebut nada.17 Jika kita bicara tentang sikap penyair, maka kita berbicara tentang nada, jika kita berbicara tentang suasana jiwa pembaca yang
14 15 16
Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, (Jakarta: Erlangga, 1997), hlm. 106 Herman J. Waluyo, Teori, hlm. 121
S. Effendi, Bimbingan Apresiasi Puisi, (Jakarta: Penerbitan Nusa Indah-Percetakan Arnoldus, Cet.II 1974), hlm. 88 17 S. Effendi, Bimbingan, hlm. 89
17
timbul setelah membaca puisi, maka kita berbicara tentang suasana. Nada dan suasana puisi saling berhubungan karena nada puisi menimbulkan suasana terhadap pembacanya. Nada duka yang diciptakan penyair dapat menimbulkan suasana iba hati pembaca. Nada kritik yang diberikan penyair, dapat menimbulkan suasana penuh pemberontakan bagi pembaca. Nada religius dapat menimbulkan suasana khusyuk.18 4) Amanat (pesan) Amanat yang hendak disampaikan oleh penyair dapat ditelaah setelah kita memahami tema, rasa, dan nada puisi itu. Tujuan atau amanat merupakan hal yang mendorong penyair untuk menciptakan puisi. Amanat tersirat dibalik kata-kata yang disusun, dan juga berada dibalik tema yang diungkapkan.19 Ahmadun Yosi Herfanda berpendapat bahwa karya sastra yang bagus memang tidak hanya memancarkan pesona estetik (keindahan) tetapi juga mampu memberikan pencerahan batin dan intelektual kepada para pembacanya. Dalam bahasa pers ia mampu membangun semacam opini publik. Jika bangunan publik itu menguat dan meluas, maka dari situlah proses perubahan social-budaya dapat digerakkan.20 Berdasarkan tujuan penciptaannya karya sastra dapat dikelompokkan ke dalam empat orientasi. Pertama, karya sastra sebagai tiruan alam atau penggambaran alam. Kedua, karya sastra sebagai media untuk mencapai tujuan tertentu pada pembacanya. Ketiga, karya sastra sebagai pancaran perasaan, pikiran, ataupun pengalaman sastrawannya dan Keempat, karya sastra sebagai sesuatu yang otonom, mandiri, lepas dari sekelilingnya, pembaca maupun pengarangnya. Sebenarnya apapun orientasi penciptaan karya sastra, karena merupakan suatu sistem tanda yang menyimpan makna,
18 19 20
Herman J. Waluyo, Teori, hlm.125 Herman J. Waluyo, Teori, hlm. 130
Ahmadun Yosi Herfanda, Antara Kecendikiaan dan Budaya Berkarya, (Makalah untuk Symposium Pemberdayaan Ummat, ICMI Orsat Kairo, di Auditorium Fakultas Kedokteran Universitas Al-Azhar, Kairo, 19 April 2002)
18
maka ia akan memiliki kemampuan yang tersembunyi (subversif) untuk mempengaruhi perasaan dan pikiran pembacanya. Banyak orang misalnya, meyakini bahwa karya-karya besar seperti Max Havelar (Multatuli), Uncle tom Cabin (Beecher Stower), dan sajak-sajak Rabindranat Tagore telah menginspirasi perubahan sosial di lingkungan masyarakat pembacanya masing-masing. Max havelar menginspirasi gerakan politik etis di Hindia Belanda, sajak-sajak Tagore mendorong gerakan pembebasan bangsa India dari penjajahan Inggris, dan Uncle Tom Cabin menginspirasi gerakan anti perbudakan di Amerika Serikat. Dapat disebut juga sajak-sajak cinta tanah air Mohammad Yamin dan Ki Hajar Dewantara yang ikut memupuk rasa kebangsaan anak-anak muda generasi 1920-an dan 1930-an, serta sangatlah mungkin menjadi sumber inspirasi lahirnya Sumpah pemuda.21 Dari pandangan bahwa sastra sebagai sumber inspirasi untuk perubahan sosial-budaya, maka dapat dipahami bahwa sastra sebenarnya mempunyai orientasi pada kebermanfaatan, yaitu sebagai media pencerahan dan pencerdasan masyarakat. 3. Struktur Puisi Struktur karya sastra khususnya puisi mencakup struktur intrinsik dan struktur ekstrinsik . a. Struktur Intrinsik Intrinsik berarti unsur dalam. Dalam karya sastra berarti unsurunsur yang secara langsung membangun karya sastra itu.22 Hal-hal yang berhubungan dengan struktur ini seperti alur (plot), latar, pusat pengisahan dan penokohan, kemudian juga hal-hal yang berhubungan dengan pengungkapan tema dan amanat.juga termasuk ke dalam hal-hal yang berhubungan dengan imajinasi dan emosi. Sedangkan unsur intrinsik sebuah puisi meliputi: diksi, rima, ritme, bait, baris, dan tipografi. 21 MH Abrams, A Glossary Of Literary Lamps, Holt Rinehart and Winston, (New York, first edition, 1981), hlm. 39 22 Nyoman Thusthi Eddy, Kamus Istilah Sastra Indonesia, (Yogyakarta: Nusa Indah, 1991 ) hlm. 69
19
b. Struktur Ekstrinsik Faktor ekstrinsik adalah segala faktor luar yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra. Ia merupakan milik subjektif pengarang yang bisa berupa kondisi social, motivasi, tendensi yang mendorong dan mempengaruhi kepengarangan seseorang. Faktor-faktor ekstrinsik itu dapat meliputi: (1) tradisi dan nilai-nilai, (2) struktur kehidupan social, (3) keyakinan dan pandangan hidup, (4) suasana politik, (5) lingkungan hidup, (6) agama dan sebagainya.23 Nyoman Thusthi Eddy menyatakan faktor-faktor ekstrinsik juga meliputi: (1) sejarah, (2) sosiologi, (3) psikologi, (4) politik, ekonomi, dan ideology.24 Sejalan dengan dua pendapat di atas Wellek dan Warren (dalam Waluyo, 1994:64) menyatakan di dalam unsur ekstrinsik ini juga terdapat faktor seperti: 1) biografi pengarang, 2) psikologi (proses kreatif), 3) sosiologis (kemasyarakatan) sosial budaya masyarakat, dan 4) filosofis (aliran filsafat pengarang). Kemudian yang termasuk ke dalam faktor sosiologis seperti, aspek-aspek profesi/institusi, problem hubungan sosial, adat-istiadat dan antar hubungan masyarakat. Untuk faktor hubungan historis, yaitu hubungan sastra dengan faktor sosial, yakni menganggap sastra sebagai dokumen sosial.25
4. Mencari Makna dalam Puisi Kata-kata, frasa, dan kalimat dalam puisi biasanya mengandung makna tambahan
atau
makna
konotatif.
Bahasa
figuratif
yang
digunakan
menyebabkan makna dalam baris-baris puisi itu tersembunyi dan harus di tafsirkan. Proses mencari makna dalam puisi merupakan proses pergulatan penyair dan pendengar terus menerus . Bahasa puisi adalah bahasa figuratif yang bersusun-susun. 23
Zainuddin Fanani, Telaah Sastra, (Yogyakarta: Muhammadiyah University Press, 2000) Hlm. 77 24 Nyoman Thusthi Eddy, Kamus, hlm. 69 25 Herman J. Waluyo, Pengkajian Cerita Fiksi, (Solo: Universitas Sebelas Maret Press, 1994) Hlm. 56-60
20
Sebuah kata memiliki kemungkinan makna ganda. Kata yang nampaknya tidak bermakna diberi makna oleh penyair. Makna kata mungkin diberi makna baru. Nilai rasa diberi nilai rasa baru. tidak semua kata, frasa, dan kalimat bermakna tambahan. Kalau keadaannya demikian, puisi akan menjadi sangat gelap. Sebaliknya, puisi tidak mungkin tanpa makna tambahan (transparan), sehingga kehilangan kodrat bahasa puisi. Kata-kata dalam puisi tidak tunduk pada aturan logis sebuah kalimat, namun tunduk pada rima larik puisi. Hal ini disebabkan oleh kesatuan katakata itu bukanlah kalimat akan tetapi larik-larik puisi itu. Kata-kata tidak terikat oleh struktur kalimat dan lebih terikat pada larik-larik puisi. Pertalian antara larik dengan larik, atau antar kata dalam sebuah larik, akan lebih mudah terlihat apabila kita memunculkan penanda-penanda pertaliannya.26 Penanda- penanda tersebut bisa berupa tanda kurung () dalam setiap kata dalam larik dengan memunculkan kata penghubung seperti, adalah, di, dan, dalam, dan sebagainya. Dari cara di atas tentu akan memudahkan kita dalam memahami pertalian makna dalam sebuah puisi serta menyimpulkan makna dari puisi tersebut.
5. Macam-Macam Puisi Ditinjau dari zamannya, puisi di Indonesia dikelompokkan menjadi: a. Masa kelahiran atau masa penjadian (± 1900 – 1945), yang dapat dibagi lagi menjadi beberapa periode, yaitu : 1). Periode awal hingga 1933 2). Periode 1933 – 1942 3). Periode 1942 – 1945. b. Masa perkembangan (1945 hingga sekarang) yang lebih lanjut dapat pula dibagi menjadi beberapa periode sebagai berikut : 1). Periode 1945 – 11953 2). Periode 1953 – 1961
26
S. Effendi, Bimbingan, hlm.25
21
3). Periode 1961 – sekarang.27 Sedangkan menurut Rahmat Djoko Pradopo, berdasarkan ciri-ciri tiap periode, pembabakan waktu puisi Indonesia modern dapat disusun sebagai berikut. 1). - Periode Pra-Pujangga Baru : 1920 – 1933 - Periode Pujangga Baru : 1933 – 1942 2). Periode Angkatan 45 : 1942 – 1955 3). Periode 50 – 60an : 1955 – 1970, dan 4). Periode 70 – 80an : 1970 – 1990.28 Ditinjau dari bentuk maupun isinya, ragam puisi ada bermacammacam : 1). Puisi epik, yaitu puisi yang di dalamnya mengandung cerita kepahlawanan, baik kepahlawanan yang berhubungan dengan legenda, kepercayaan, maupun sejarah. 2). Puisi naratif, yakni puisi yang di dalamnya mengandung suatu cerita, dengan pelaku, perwatakan, setting, maupun rangkaian peristiwa tertentu yang menjalin cerita. 3). Puisi lirik, yakni puisi yang berarti luapan batin individual penyairnya dengan segala macam endapan pengalaman, sikap maupun suasana batin yang melingkupinya. 4). Puisi dramatik, yakni salah satu jenis puisi yang secara objektif menggambarkan perilaku seseorang, baik lewat lakuan, dialog, maupun monolog, sehingga mengandung suatu gambaran kisah tertentu. 5). Puisi didaktik, yakni puisi yang mengandung nilai-nilai kependidikan yang umumnya tertampil eksplisit. 6). Puisi satirik, yakni puisi yang mengandung sindiran atau kritik tentang kepincangan atau ketidakberesan kehidupan suatu kelompok maupun suatu masyarakat. 27
Ajip Rosidi, Ikhisar Sejarah Sastra Indonesia, hlm. 13 Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra: Metode Kritik, dan Penerapannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), Cet. III, hlm. 40 28
22
7). Romance, yakni puisi yang berisi luapan rasa cinta seseorang terhadap sang kekasih. 8). Elegi, yakni puisi ratapan yang mengungkapkan rasa pedih seseorang,. 9). Ode, yaitu puisi yang berisi pujian terhadap seseorang yang memiliki jasa atau sikap kepahlawanan. 10). Himne, adalah puisi yang berisi pujian kepada Tuhan, maupun ungkapan rasa, cinta terhadap bangsa ataupun tanah air.29
B. PSIKOLOGI ISLAMI 1. Pengertian Psikologi Islami Untuk mengadakan penelitian terhadap kebenaran semua ilmu, maka yang pertama kali dilakukan adalah harus mengerti apa sebenarnya apa yang akan dikaji dari ilmu itu. Yaitu mengenai maksud baik secara bahasa maupun istilah. Demikian juga halnya dengan Psikologi Islam, harus mengetahui makna dari psikologi Islam itu sendiri. Disini penulis mencoba menjabarkan terlebih dahulu pengertian psikologi Islam. Banyaknya pakar yang mamberikan definisi tentang psikologi Islam. Pada dasarnya masing-masing pengertian memiliki kesamaan dalam makna dan tujuan. Hanna Djumhana Bastaman, memberikan definisi bahwa psikologi Islam adalah: Corak psikologi berlandasan citra manusia menurut ajaran Islam, yang mempelajari keunikan dan pola perilaku manusia sebagai ungkapan pengalaman interaksi dengan diri sendiri, lingkungan sekitar dan alam keruhaniaan, dengan tujuan meningkatkan kesehatan mental dan kualitas keberagaman.30 Menurut Dr. Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, berpendapat ada dua definisi psikologi Islam :
29
Aminuddin, Pengantar, hlm. 134-136 H.D. Bastman, Intregasi Psikologi Dengan Islam, (Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta: 1995), hlm.10 30
23
Pendekatan pertama, psikologi Islam adalah suatu konsep psikologi modern di mana telah mengalami proses filterisasi dan di dalamnya terdapat wawasan tentang Islam. Pendekatan kedua, Psikologi Islam adalah ilmu tentang manusia yang kerangka konsepnya benar-benar dibangun dengan semangat Islam dan bersandarkan pada sumber-sumber formal Islam, yaitu Al Qur’an dan Al Hadits, sesuai dengan syarat ilmiah.31 Dari pendapat pakar di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa psikologi Islam sebagai suatu ilmu pengetahuan yang bersifat empiris, namun tidak bisa dilepaskan dari hubungan transenden yaitu Tuhan. Yang menciptakan alam semesta serta isinya termasuk di dalamnya adalah manusia dengan segala tingkah laku dan pemikirannya. Dan segala pemikiran, pengetahuan dan pemahamannya tentang nilai-nilai Islam akan tampak jelas dalam kehidupan sehari-hari. Dari kajian psikologi Islam ini, bisa diketahui bahwa seseorang akan mempunyai jiwa keagamaan yang mantap. Maka hal ini juga akan memberikan pengaruh kuat dalam sikap dan perilakunya. Baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan bermasyarakat. 2. Ruang Lingkup Psikologi Islami Psikologi berhubungan erat dengan kaidah dan akidah agama, antara lain mengenai sampai berapa jauh suatu ilmu mempunyai manfaat dan menghindarkan dari madharatnya, diteliti, dipublikasi, dan ditetapkan. Psikologi Islami akan mengkaji jiwa dengan memperhatikan badan. Keadaan tubuh manusia bisa jadi merupakan cerminan jiwanya. Ekspresi badan hanyalah salah satu fenomena kejiwaan. Dalam merumuskan siapa manusia itu, psikologi Islami melihat manusia tidak semata-mata dari perilaku yang diperlihatkan badannya. Bukan pula berdasarkan spekulasi tentang apa dan siapa manusia. Psikologi Islami bermaksud menjelaskan manusia dengan memulainya dengan merumuskan apa kata Tuhan tentang manusia. 31
Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), Cet. 2, hlm. 146.
24
Fenomena manusia dapat di ketahui salah satunya melalui kepribadiannya. Kepribadian menggambarkan tingkah laku, menentukan dan mengkategorikan sifat-sifat dan tipologi-tipologi khas individu dan aspek-aspek kejiwaan tertentu yang menentukan sifat dan tipologinya. Tipologi
merupakan
salah
satu
pendekatan
(approach)
psikologi
kepribadian yang didasarkan atas tipe-tipe manusia tertentu, padahal dalam psikologi kepribadian masih terdapat pendekatan lain yang masih digunakan, seperti pendekatan penyifatan (trait approach). Sedangkan makna kepribadian sangat ditentukan oleh konsepkonsep empirik tertentu yang merupakan bagian dari teori kepribadian. Konsep-konsep empirik disini meliputi dasar-dasar pemikiran mengenai wawasan, landasan fungsi-fungsi, tujuan, ruang lingkup dan metodologi yang
dipakai
perumus.
Oleh
sebab
itu,
tidak
satupun
definisi
dilatarbelakangi oleh konsep-konsep empiris yang berbeda-beda.32 Dalam Psikologi Islam, kepribadian manusia setidaknya terbagi menjadi tiga aspek. Pertama, aspek nafsiah adalah keseluruhan kualitas khas kemanusiaan, berupa pikiran, perasaan, kemauan, dan kebebasan. Aspek ini merupakan persentuhan antara aspek jismiah dengan aspek rohaniah. Aspek ini mewadahi kedua aspek yang saling berbeda, dan mungkin berlawanan itu. Kedua, aspek jismiah dengan karakteristik utamanya yang bersifat empiris, konkret, indrawi, mekanistik dan determenistik. Ketiga, aspek rohaniah bersifat spiritual, transenden, suci, bebas, tidak terikat pada hukum dan prinsip alam dan cenderung kepada kebaikan. Keduanya saling berbeda dan berlawanan, tetapi keduanya juga saling membutuhkan. Sebab aspek jismiah akan hilang daya hidupnya apabila tidak memiliki aspek ruhaniah, aspek rohaniah tidak akan mewujud secara konkret tanpa aspek jismiah. Disinilah aspek nafsiah berada, yaitu berada diantara dua aspek yang berbeda itu dan berusaha mewadahi kedua kepentingan yang berbeda. 32
Netty Hartati, Msi dkk, “Islam dan Psikologi”, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2005), hlm. 117-119.
25
Aspek nafsiah ini memiliki tiga dimensi utama, yaitu dimensi alnafsu, al-‘aql, dan al-qalb. Ketiga dimensi inilah yang menjadi sarana bagi aspek nafsiah ini untuk mewujudkan peran dan fungsinya. Berikut ini akan dijelaskan ketiga dimensi itu.33 a. Dimensi an-nafsu Dimensi ini
adalah
dimensi yang memiliki
sifat-sifat
kebinatangan dalam sistem psikis manusia. Namun demikian ia dapat diarahkan kepada kemanusiaan setelah mendapat pengaruh yang besar dari dimensi lainnya, seperti al’aql dan al-qalb, ar-ruh dan al-fitrah. Prinsip kerjanya berusaha untuk mengejar kenikmatan dan berusaha untuk mengumbar dorongan-dorongan agresif dan seksual. Prinsip kerja nafsu ini bersamaan dengan prinsip kerja binatang, baik binatang buas maupun binatang jinak. Binatang buas memiliki dorongan agresif (menyerang), sementara binatang jinak memiliki dorongan seksual. 34 b. Dimensi al’aql Dimensi akal adalah dimensi psikis dari aspek nafsiah yang berada diantara dua dimensi lainnya yang saling berbeda dan berlawanan, yaitu berada diantara dimensi an-nafsu dan dimensi alqalb. Ia menjadi pewadah dan penengah kepentingan kedua dimensi yang berbeda itu. Dimensi an-nafsu yang memiliki sifat kebinatangan, sementara dimensi al-qalb yang memiliki sifat dasar kemanusiaan dan berdaya cita rasa. Dalam kedudukannya seperti itulah, akal menjadi perantara dan penghubungan antara kedua dimensi tersebut. Dimensi ini memiliki peranan penting berupa fungsi pikiran yang merupakan kualitas insaniyah pada psikis manusia. 35 c. Dimensi al-qalb Dimensi qalb adalah dimensi psikis yang ketiga dan aspek nafsiah. Dimensi ini memiliki peranan yang sangat penting dalam 33
Baharudin, Aktualisasi Psikologhi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 65 Baharudin, Aktualisasi, hlm. 66 35 Baharudin, Aktualisasi, hlm. 68 34
26
memberikan sifat insaniyah (kemanusiaan) bagi psikis manusia. Ini dapat dipahami dari banyaknya istilah lain yang semakna dengan alqalb yang mengandung makna tersebut. Diantaranya adalah 1) As-Sadr yaitu perasaan was was. 2) al-qalb merupakan tempat iman, 3) asysyaghaf, yaitu tempat cinta, 4) al-fu’ad, yang dapat memelihara kebenaran, 5) habat al-qalb, yaitu tempat cinta dan kebenaran, 6) assuwida, yaitu tempat ilmu dan agama, 7) mahajah al-qalb, yang merupakan manifestasi sifat-sifat Allah , 8) al-damir, yang merupakan tempat merasa dan daya rekoleksi (al-quwwah al-latifah), dan (as-sirr, sebagai bagian qalb yang paling halus dan rahasia. 36 Pertama, dari sudut fungsi al-qalb memiliki sedikitnya tiga fungsi sebagai berikut: 1) Fungsi kognisi yang menimbulkan daya cipta, seperti berfikir (aql ())ﻋﻘﻞ, memahami (fiqh ( )ﻓﻘﻪmengetahui (‘ilm ()ﻋﻠﻢ, memperhatikan (dabr ()ﺩﺑﺮ, mengingat (zikr ()ﺫﻛﺮ, dan melupakan (gulf()ﻏﻠﻒ 2) Fungsi emosi yang menimbulkan daya rasa, seperti tenang (tama’ninah ())ﻃﻤﺄﻧﻴﻨﺔ, jinak atau sayang (ulfah())ﺃﻟﻔﺔ, senang (ya’ba) dan lain sebagainya. 3) Fungsi konasi yang menimbulkan daya karsa, seperti berusaha (kasb ())ﻛﺴﺐ37 Jiwa manusia sangat dipengaruhi oleh apa yang telah ada dalam potensi asal dan pengaruh eksternal dari lingkungannya. Perpaduan antara apa yang ada dalam diri manusia dan pengaruh eksternal akan melahirkan kondisi jiwa yang berbeda-beda antara manusia satu dengan manusia yang lain. Bila sesuatu yang sudah ada dalam jiwa itu bertemu dengan dunia eksternal positif, maka jiwa akan bertumbuh kembang menjadi jiwa yang positif, sehat dan kuat. Sebaliknya, bila kondisi dalam yang secara alami positif itu tidak mendapat dukungan positif dari lingkungan, maka jiwa 36 37
Baharudin, Aktualisasi, hlm.72 Baharudin, Aktualisasi, hlm.73-74
27
bertumbuh kembang tidak secara optimal, diantaranya berkembanglah apa yang disebut hawa nafsu, atau syahwat, dan karenanya akan lahir berbagai perbuatan yang negatif bahkan destruktif. Teori Psikologi al-Ghazali tentang hubungan antara jiwa dan tingkah laku lahiriah adalah sejalan dengan teori psikologi modern. Menurut Psikologi modern, hubungan jiwa dan perbuatan lahiriah hampir tak bisa dipisahkan, karena tingkah laku lahiriah ditentukan oleh keadaan psikologis yang ada dalam pikiran dan perasaan.38 Al-qur’an menggambarkan bahwa jika nafs (jiwa) dijaga dari dorongan hawa nafsu atau dorongan syahwat (QS. Al-Nazi’at, 79: 40) dan disucikan (QS. Al-Syams, 91: 9), nafs akan meningkat kualitasnya.
﴾٤١﴿ ﻯﻤ ﹾﺄﻭ ﻲ ﺍﹾﻟ ﻫ ﻨ ﹶﺔﺠ ﴾ ﹶﻓﹺﺈ ﱠﻥ ﺍﹾﻟ٤٠﴿ ﻯﻬﻮ ﻋ ﹺﻦ ﺍﹾﻟ ﺲ ﻨ ﹾﻔﻰ ﺍﻟﻧﻬﻭ ﻪ ﺑﺭ ﻡ ﻣﻘﹶﺎ ﻑ ﺎﻦ ﺧ ﻣ ﺎﻭﹶﺃﻣ Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya). (Al-Naziat, 79: 4041). Sedangkan Tipologi Kepribadian menurut Abdul Mujid terbagi menjadi: a. Tipologi kepribadian ammarah Kepribadian ammarah adalah kepribadian yang cenderung melakukan
perbuatan-perbuatan
rendah
sesuai
dengan
naluri
primitifnya, sehingga ia merupakan tempat dan sumber kejelekan dan perbuatan tercela. Ia mengikuti tabiat jasad dan mengejar pada prinsipprinsip kenikmatan (pleasure principle) syahwati. Bentuk-bentuk tipologi kepribadian ammarah adalah syirik, kufur, riya’, nifaq, zindiq, bidh’ah, sihir, membangga-banggakan kekayaan, mengikuti hawa nafsu dan syahwat, sombong dan ujub, membuat kerusakan, boros, memakan riba, mengumpat, pelit, durhaka atau membangkang, benci, pengecut atau takut, fitnah, memata-matai, 38
157
H. Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 156
28
angan-angan atau menghayal, husud, khianat, senang dengan duka orang lain, ragu-ragu, buruk sangka, rakus, aniaya atau dzalim, marah, menceritakan kejelekan orang lain, menipu, jahat tau fujur, dusta, sumpah palsu, berbuat keji, menuduh zina, makar, bunuh diri, dan adu domba. b. Tipologi kepribadian lawwamah Kepribadian lawwamah adalah kepribadian yang mencela perbuatan buruknya setelah memperoleh cahaya qalbu. Ia bangkit untuk memperbaiki kebimbangannya dan kadang-kadang tumbuh perbuatan
yang
buruk
yang
disebabkan
oleh
watak
gelap
(zhulmaniyyah)-nya, tetapi kemudian ia diingatkan oleh nur Ilahi, sehingga ia berbuat dan memohon ampunan (istighfar). Bentuk-bentuk tipologi kepribadian lawwamah sulit ditentukan, sebab ia merupakan kepribadian antara, yakni antara kepribadian ammarah dan kepribadian
mut}ma’innah, yang bernilai netral.
Maksud netral di sini dapat berarti (1) tidak memiliki nilai buruk atau nilai baik, tetapi dengan gesekan motifasi, netralitas suatu tingkah laku itu akan menjadi baik atau akan menjadi buruk. Baik buruk nilainya tergantung pada kualitas daya yang memengaruhi; (2) ia bernilai baik menurut ukuran manusia, tetapi belum tentu baik menurut ukuran Tuhan, seperti rasonialitas, moralitas dan sosialitas yang dimotifasi oleh antroposentris (insaniyah). Pada prinsipnya, Islam menghargai kretivitas manuisia, baik dalam bentuk pikiran maupun perbuatan, sebab fitrah asli manusia adalah baik, sehingga apa yang dihasilkannya bernilai baik. Tentu kebaikan yang dimaksud tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang ditetapkan oleh Tuhan. c. Tipologi kepribadian mut}ma’innah Kepribadian mut}ma’innah adalah kepribadian yang tenang setelah diberi kesempurnaan nur kalbu, sehingga dapat meninggalkan sifat-sifat tercela dan tumbuh sifat-sifat yang baik. Kepribadian ini
29
selalu berorientasi ke komponen kalbu untuk mendapatkan kesucian dan menghilangkan segala kotoran. Bentuk-bentuk
tipologi
kepribadian
mut}ma’innah
sebagaimana disebutkan bahwa terdapat tiga aspek yang menjadi sistm kepribadian Islam, yaitu iman, islam dan ihsan. Ketiga aspek ini dapat diturunkan sebagai desain kepribadian mut}ma’innah.39
C. Kontribusi Puisi dalam Pembentukan Kepribadian Istilah “psikologi sastra” mempunyai empat kemungkinan pengertian. Yang pertama adalah studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Yang kedua adalah studi proses kreatif. Yang ketiga studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Dan yang keempat mempelajari dampak sastra pada pembaca (psikologi pembaca).40 Dari gambaran di atas penulis mencoba mengaksentuasikan beberapa tipe pengertian yang erat hubungannya dengan maksud dari karya sastra, kemudian mencoba memberikan intepretasi tentang hukum-hukum psikologi yang diterapkan dalam karya sastra. Berbicara tentang kepribadian tentunya tak lepas dari pembahasan pendidikan itu sendiri. Tujuan pendidikan biasanya mengantarkan peseta didik menuju pada perubahan tingkah laku, perubahan itu tercermin baik dari segi intelek, moral, maupun hubungannya dengan sosial.41 Pendidikan berusaha mengembangkan aspek-aspek kepribadian anak didik, baik jasmaniah maupun rohaniah, termasuk di dalamnya aspek individualitas, sosialitas, moralitas, maupun aspek relijius. Sehingga dengan pendidikan itu akan tercapai kehidupan harmonis, seimbang antara kehidupan fisik material dengan kebutuhan mental spiritual dan antara duniawi dan ukhrawi.42
39
Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, (Jakarta : PT Raja Grafundo Persada, 2006), hlm. 176-177 40 Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995), hlm. 90 41 Fatah Syukur, Teknologi Pendidikan, (Semarang : RaSAIL, 2005),hlm.127 42 Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1995), cet.II, hlm. 95
30
Sebelum melakukan telaah bagaimana hubungan antara kepribadian dan karya sastra, terdapat beberapa unsur yang perlu diketahui. Pertama, kita perlu mengamati si pengarang untuk menjelaskan karyanya. Telaah dilakukan terhadap eksponen yang memisahkan dan menjelaskan kualitas khusus suatu karya sastra melaluli referensi kualitas nalar, kehidupan dan lingkungan si pengarang. Kedua, kita perlu memahami si pengarang terlepas dari karyanya; caranya, kita amati biografi pengarang untuk merekonstruksi si pengerang dari sisi kehidupannya dan menggunakan karyanya sebagai rekaman kehidupan dan perwatakan. Ketiga, kita perlu membaca karya sastra untuk menemukan cerminan kepribadian si pengarang di dalam karya tersebut. Terhadap tipe ini pengamatan
tertuju
pada
nilai-nilai
estetika
dan
apresiasi
sambil
mengedepankan kualitas estetika sebagai proyeksi kualitas personal dengan mengamati karya tersebut sebagai media yang transparan untuk mendapatkan jiwa si pengarang di dalamnya.43 Pada dasarnya perasaan kita yang paling dalam, nafsu dan hasrat kita merupakan pedoman penting, dan spesies manusia berhutang amat banyak pada kekuatan emosi karena dengan adanya kekuatan emosilah manusia dapat menunjukkan
keberadaannya
dalam
masalah-masalah
manusiawi.44
Bimbingan terhadap perasaan dapat berupa penjelasan-penjelasan, dan keterangan. Tetapi penjelasan tidak memberikan saluran bahkan kadangkadang merupakan bendungan, kecuali dengan cara-cara yang bijaksana tetapi inipun sering kali sukar untuk dilaksanakan puber sering kali merupakan person yang tertutup. Menyalurkannya ke dalam bidang kesenian merupakan salah satu cara yang paling sehat: seni tari, seni musik, khususnya seni sastra puisi. Kesusasteraan merupakan suatu cara untuk mengungkapkan suatu gagasan, ide, pemikiran dengan gambaran-gambaran pengalaman. Aspek kejiwaan yang menjadi sasaran karya sastra bukan hanya bersifat kognitif, 43 Arbertine Minderop, Psikologi Sastra: Karya Sastra, Metode, Teori dan Contoh Kasus, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), hlm. 61 44 Daniel Goleman, Emotional Intelligence, terj T Hermaya, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm. 4
31
tetapi juga afektif dan konatif. Aspek kognitif juga tidak hanya terbatas kepada pemikiran saja akan tetapi, penginderaan dan daya fantasi. Sebuah karya sastra berusaha menggugah kesadaran penglihatan, pendengaran, penciuman,
perabaan. Pendek kata karya
sastra ingin memberikan
pengalaman-pengalaman imajinatif.45 Terkait dengan hubungan antara sastra dan psikologi, terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan. Pertama, suatu karya sastra harus merefleksikan kekuatan, kekaryaan dan kepakaran penciptanya. Kedua, karya sastra harus memiliki keistimewaan dalam hal gaya dan masalah bahasa sebagai alat untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan pengarang. Ketiga, masalah gaya, struktur dan tema karya sastra harus saling terkait dengan elemen-elemen yang mencerminkan pikiran dan perasaan individu, tercakup di dalamnya:
pesan
utama,
peminatan,
gelora
jiwa,
kesenangan
dan
ketidaksenangan yang memberikan kesinambungan dan koherensi terhadap kepribadian.46 Puisi
mempunyai
kekuatan
tersendiri
dalam
mempengaruhi
pembacanya, karena bahasa yang digunakan dapat membawa pembaca seolaholah ikut merasakan apa-apa yang dirasakan oleh penyair, sehingga pembaca terpengaruh oleh nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Nilai-nilai itu akan memunculkan hikmah-hikmah yang dalam dari suatu peristiwa atau kisahkisah yang muncul dalam pernyataan-pernyataan puisi. Nilai puisi tersebut juga mampu memberikan manfaat bagi pembaca dalam rangka membentuk pandangan hidupnya, karena puisi sangat erat hubungannya dengan falsafah dan agama.47 Sehingga tidak berlebihan apabila puisi dapat digunakan sebagai media pendidikan dalam menanamkan nila-nilai pendidikan Islam. Puisi merupakan kesenian yang mempunyai nilai tersendiri yaitu berupa nilai otonom (bukan berarti terpisah dari nilai kehidupan), kecuali sebagai hiburan, puisi juga mempunyai nilai kehidupan yang besar, karena 45 EM. K. Kaswardi, Pendidikan Nilai Menghadapi Tahun 2000, (Jakarta, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 1993), hlm. 147 46 Albertine Minderop, Psikologi Sastra, hlm. 61-62 47 Aminuddin, Pengantar, hlm.197
32
dapat memperhalus dan memperkaya batin manusia. Seorang seniman dapat memilih tema mulai dari cinta kasih sesama manusia, kebobrokan moral, kepincangan sosial, kebengisan manusia, perjuangan manusia, dan hubungan dengan mahluk yang maha tinggi (Tuhan). Semua tema tersebut dapat diolah dengan bagus agar dapat mengena pada sasaran (audien). Beberapa disiplin ilmu seperti menulis, menggambar, menyalin, memperagakan, bermain musik, dan sastra merupakan salah satu sumber inspirasi yang mampu menimbulkan rasa estetika (keindahan) dan unsur pendidikan. Hal itu disebabkan karena adanya unsur kesenangan dan kegembiraan yang ada di dalamnya.48 Kenikmatan
ini
dirasakan
oleh
orang
yang
merangkai
dan
membangkitkannya (penulis), orang yang menyuguhkan (presenter), dan orang yang menonton (audien), seni tersebut akan berpengaruh di dalam pola kehidupan orang dewasa seperti halnya juga dalam kepribadian anak-anak. Karena seni merupakan santapan rohani dan jasmani secara bersamaan, walaupun sajian yang diperuntukkan bagi anak-anak berupa jenis, porsi, gaya bahasa, dan cara penyampaian harus dibedakan dengan sajian orang dewasa yang tentunya lebih mudah menyerapnya.49 Pesan moral sastra puisi yang berwujud moral religius, termasuk di dalamnya yang bersifat keagamaan, dan kritik sosial banyak ditemukan dalam karya fiksi termasuk juga dalam puisi, atau genre sastra yang lain. Kedua hal tersebut merupakan “lahan” yang banyak memberikan inspirasi bagi para penulis, khususnya para penulis sastra Indonesia modern, hal itu mungkin disebabkan banyaknya masalah kehidupan yang tidak sesuai dengan harapannya, kemudian mereka menawarkan sesuatu yang diidealkan. Pesan atau amanat sebuah puisi akan lebih mudah dihayati oleh pembaca atau pendengar puisi. Amanat itu biasanya memberikan manfaat dalam kehidupan secara praktis, amanat itu menyoroti masalah manfaat yang dapat dipetik dengan karya drama itu, dalam keadaan demikian karya yang 48
Abdul Aziz Abdul Majid, Mendidik Anak Lewat Cerita, (Jakarta, Mustaqim, 2003),
49
Abdul Aziz, Mendidik., hlm. 20
hlm. 19
33
jelek sekalipun akan memberikan manfaat kepada kita, jika kita mampu memetik manfaatnya.50 Pesan moral tersebut dalam pandangan psikologi Islami pada dasarnya berangkat dari konsep kpribadian manusia yang memiliki dua substansi asal, yaitu ruh dan tubuh (jasad, jism). Ketika keduanya bertemu, maka lahirlah substansi ketiga yang namanya jiwa. Jiwa ini bukanlah alat, tetapi ia merupakan suatu sistem di mana komponen-komponen yang ada di dalam dirinya berada dalam wadag jiwa itu. Wadag jiwa itu terdiri atas qalbu, akal, dan nafsu. Bagaimana kualitas jiwa sangat bergantung kepada tingkat berfungsinya alat-alat yang bekerja dalam wadag jiwa itu. 51 Jiwa tersebut bisa di sentuh atau diarahkan melaui bait puisi yang mengetarkan jiwa pembaca. Pendidikan estetika kepada siswa akan menjadikan ia seorang yang selalu akan menghargai keindahan, kehalusan dan ketertiban dalam tindakannya yang ikut menentukan warna kepribadiannya. Puisi sebagai karya sastra dijadikan media untuk memberikan pendidikan kepribadian melalui pemaknaan dari bait-bait dalam puisi, media puisi merupakan salah satu cara lain untuk memberikan proses pembelajaran kepada peserta didik dengan menyentuh emosinya dalam memahami nilainilai pendidikan Islam, dengan keindahan dan struktur katanya peserta didik menjadi terpacu untuk mendalami ajaran Islam.
50 Herman J. Waluyo, Drama Teori dan Pengajarannya, (Yogyakarta: Hanindita Graha Widya, 2001), hlm. 28 51 Fuad Nashori, Potensi-Potensi Manusia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 105-106
BAB III PUISI LAUTAN JILBAB KARYA EMHA AINUN NADJIB Penyebab utama lahirnya karya sastra adalah penciptaannya sendiri yaitu sang pengarang. Itulah alasannya penjelasan tentang kepribadian dan kehidupan pengarang adalah metode tertua dan paling mapan dalam studi sastra. Biografi hanya sejauh memberi masukan tentang penciptaan karya sastra. Tetapi biografi juga dapat dinikmati karena
mempelajari
hidup
pengarang
yang
jenius,
menelusuri
perkembangan moral, mental dan intelektualnya, yang tentu menarik. Biografi dapat juga dianggap sebagai studi yang sistematis tentang psikologi pengarang dan proses kreatif. Tiga sudut pandang ini perlu dibedakan. Yang relevan dengan studi sastra adalah yang pertama, yang menganggap bahwa biografi menerangkan dan menjelaskan proses penciptaan karya sastra yang sebenarnya. Sudut pandang kedua mengalihkan pusat perhatian karya sastra ke pribadi pengarang. Sedang yang ketiga memperlakukan biografi sebagai bahan untuk ilmu pengetahuan atau psikologi penciptaan artistik. Biografi adalah genre yang sudah kuno. Pertama-tama biografi secara kronologis maupun secara logis adalah bagian dari historiografi. Pengarang adalah orang biasa yang perkembangan moral, intelektual, karier dan emosinya bisa direkonstruksi dan dinilai berdasarkan standar tertentu, biasanya sistem nilai etika dan norma-norma perilaku tertentu. Oleh karena itu, biografi bisa berbentuk fakta biasa, seperti fakta dalam kehidupan siapa saja.1 Berikut peneliti susun biografi penulis kumpulan puisi Lautan Jilbab yaitu Emha Ainun Nadjib (Cak Nun). Setidaknya dalam penulisan biografi ini peneliti mempunyai dua tujuan. Pertama, biografi tersebut dapat dijadikan sebagai bahan atau pembuktian untuk memanfaatkan karya
1
Renne Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: PT. Gramedia, 1989), hlm. 82-83
34
35
sastra khususnya kumpulan puisi Lautan Jilbab ini. Kedua, biografi ini penulis anggap sangatlah penting dan relevan untuk memahami karya sastra.
A. Biografi Emha Ainun Nadjib 1. Riwayat Hidup Singkat Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dilahirkan di Menturo, Sumobito, Jombang, Jawa Timur pada Rabu Legi 27 Mei 1953 sebagai putra keempat dari 15 bersaudara, dari suami istri H.A. Lathif dan Halimah. Cak Nun yang ketika masih muda dipanggil Ainun dibesarkan orang tuanya yang sibuk oleh urusan madrasah, langgar, dan berbagai kegiatan sosial dengan penduduk di dusunnya.2 Riwayat pendidikan formalnya acak-acakan: setelah tamat Sekolah Dasar di desanya ia melanjutkan studi di Pondok Modern Gontor. Pada 1968 setelah matrud (dikeluarkan) dari Pondok Gontor, Ainun menempuh ujian di SMP Muhammadiyah IV Yogyakarta, lalu melanjutkan di SMA Muhammadiyah IV Yogyakarta, lalu melanjutkan di SMA I Yogyakarta. Di sekolah ini ia pernah keluar tapi kemudian masuk lagi sampai tamat. Yang terakhir Ainun mengikuti kuliah di Fakultas Ekonomi UGM, tapi hanya empat bulan.3 Dengan berbekal kemampuan berbahasa Inggris dan Arab Ainun banyak membaca, menguak berbagai ilmu yang terdapat dalam kitab-kitab kuning maupun referensi para sarjana Barat.4 Pada tahun-tahun awal 70-an Ainun bersama PSK (Persada Studi Klub. Persatuan Sastrawan Muda) yang bermarkas di Yogyakarta, dengan bimbingan al- Mukarrom Ustadz-Sastra Umbu Landu Paranggi, bersama rekan-rekannya mengisi kehidupan dunia sastra. Pada awalnya di sekitar
2 Jabrohim, Tahajjud Cinta Emha Ainun Nadjib Sebuah Kajian Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 27 3 Jabrohim, Tahajjud, hlm. 27 4 Jabrohim, Tahajjud, hlm. 28
36
lingkungan sendiri: diskusi di antara sesama penyair, cerpenis, penulis atau wartawan yang hampir setiap minggu diadakan di kantor surat kabar Pelopor Yogya. Sesekali kegiatan melebar dan menjelajah kampung dan kampus. Beberapa nama berkibar bersama Ainun, seperti Linus Suyadi, Yudhistira Aji Nugraha, Imam Budhi Santoso, Suwarno Pragolapati, Bambang Indra Basuki, Bambang Darto, Saiff Bakham.5 Pada proses selanjutnya, kehadiran Ainun semakin meluas bukan hanya di YogyaJakarta; tapi merambah ke wilayah-wilayah lain di tanah air.6 Sebuah puisinya yang berjudul “Lautan Jilbab”- sebuah puisi mendadak yang ditulisnya ketika harus merespon dan tampil dalam acara Pentas Seni Ramadhan, Jamaah Shalahuddin UGM tahun 1986-banyak diminta kaum muda muslimin untuk dibacakannya di mana saja Ainun muncul.7 Puisi-puisi
Ainun
selain
dibacakan
banyak
pula
yang
dimusikalisasikan. Hal ini berawal ketika pada tahun 1970-an Ainun aktif menyelenggarakan poetry singing di Yogyakara bersama beberapa penyanyi muda waktu itu. Oleh karenanya, Ainun di sebut-sebut melatarbelakangi penciptaan puisi-puisi Ebiet G. Ade, sebab waktu itu Ebiet juga bersamanya. Bahkan lebih dari itu, Ebiet sebenarnya banyak belajar dari Ainun.8 Ainun pernah bergabung dengan kelompok Teater Dinasti pimpinan Fajar Suharno yang kemudian bubar sekitar tahun 1987. Setelah itu Ainun lebih menyibukkan waktunya bersama jamaah, karena jamaah merupakan bagian tak terhindarkan dari kehidupan keyakinannya. Secara sosiologis maupun ideologis, Islam senantiasa menganjurkan umatNya untuk berkumpul, menyatukan diri bersama-sama-Nya dalam mencapai nilai tertinggi. Antara “Ada bersama-sama” dan “Ada bersama-Nya”, tak terpisahkan. Selain menulis Ainun lebih banyak berkeliling ke berbagai 5
Emha Ainun Nadjib, Terus Mencoba Budaya Tanding, “Fenomena Emha” Halim HD ; Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. xiii 6 Emha Ainun Nadjib, Terus. 7 Jabrohim, Tahajjud, hlm.30 8 Jabrohim, Tahajjud, hlm. 31
37
daerah di tanah air, bertemu dengan jamaah-jamaah dan berbagai kelompok masyarakat untuk bersilaturrahmi dan bekerja sosial.9 Ainun-Jamaah dan Jamaah-Ainun mempunyai implikasi sosial politik yang bukan main dahsyatnya. Larangan terhadap dirinya bukan sekedar karena kesenian yang diciptakannya, tapi kesenian bersama Ainun telah membingkai sebuah kekuatan sosial yang kritis terhadap mekanisme sosial- politik dan segi-segi lain dalam kehidupan kemasyarakatan maupun kenegaraan. Bagi Jamaahnya, Ainun senantiasa diminta memberikan kesaksian dan keberpihakan kepada lapisan bawah atau mereka yang tersingkir.10 Memang Cak Nun tidak sepopuler Zainuddin M.Z ataupun Abdullah Gymnastiar, itu karena Ainun sejak mulai berdakwah di depan publik sudah menyadari kedaifannya sebagai manusia biasa, terutama setelah percakapannya yang intens dengan seorang tokoh yang dalam tulisannya sering disebut “Sudrun”. “Kamu ini artis, tapi merasa kiai. Kamu ini pedagang, tapi merasa juru dakwah!” Begitu Sudrun menggugat jati diri Cak Nun.11 Pada akhirnya kegiatan dakwah Cak Nun banyak menghindar dan bahkan menolak diliput media. Cak Nun tidak setuju dengan trend dakwah para mubaligh pop yang menjadi instrumen industri kapitalisme. Menurutnya kehadiran agama baru yang bernama globalisasi telah membodohi umat dengan propaganda-propaganda melalui media massa. Sekarang yang menentukan seseorang adalah Kiai atau ustad bukanlah umat, tetapi media. Asal media mengorbitkan seseorang sebagai ustad maka seluruh pelosok negeri menganggapnya ustad. Maraknya para artis melantunkan lagu-lagu sholawat di televisi pada bulan Ramadhan menurut Cak Nun bukanlah gejala religius tetapi gejala kapitalisme. Mereka hanya
9
Jabrohim, Tahajjud, hlm.29 Emha Ainun Nadjib, Terus, hlm. xviii 11 Emha Ainun Nadjib, Kiai Sudrun Gugat, (Jakarta: Grafiti, 1995), Cet. 2, hlm. 2003 10
38
berjualan. Musim salak jualan salak. Musim rambutan berjualan rambutan. Bulan ramadhan berjualan Islam.12 Kalau orang bershalawat adalah serius, berbeda dengan orang yang melagukan sholawat. Bagi orang yang bersholawat “tombo ati” bukan sebagai lagu tapi sebagai komunikasi sosial. Maka bagi Cak Nun dan Kiai Kanjeng, bukan musik yang pertama kali mereka abdi tapi komunikasi dengan masyarakat.13 Posisi paling unik Ainun oleh Halim HD dikatakan, melebar, mencair, menelusup ke segala arah, seperti Romo Mangunwijaya, salah satunya tampak pada jamaahnya. Jamaah Ainun bukan hanya dari selingkungan kesamaan keyakinan dalam beragama, tapi juga dari kalangan yang memiliki keyakinan berbeda, namun mempunyai satu tujuan yang sama: cita-cita meninggikan harkat kemanusiaan, melalui kegiatan kebudayaan.14 Beberapa kali ia diundang untuk mengisi ceramah di depan puluhan pastur. Pernah ia menyuguhkan joke bahwa ada seorang Kiai punya tiga anak, yang seorang diantaranya masuk Kristen. Kiai itu menangisi nasibnya. Tuhan pun memarahinya: “kamu ini cengeng. Dari ketiga anakmu, cuma satu yang masuk kristen sudah kamu tangisi. Lihatlah Saya! Sudah punya anak satu-satunya, itu pun masuk Kristen”. Para Pastur pun ger-geran (tertawa).15 Ainun pernah mengikuti berbagai kegiatan di luar negeri, antara lain International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat (1981), Workshop Teater di PETA Philipina, International Poetry Reading di Rotterdam Belanda (1984), dan mengembara di beberapa negara Eropa selama satu setengah tahun lebih. Ia pernah juga menjadi redaktur Indonesian side yang terbit di Bangkok.16 12 Diambil dari ceramah Emha Ainun Nadjib pada Silaturrahmi Nasional Jam’iyah Maiyah di Semarang, 25 September 2005. Rekaman ada pada peneliti 13 Komentar Emha Ainun Nadjib dalam VCD Kiai Kanjeng Indonesia, (Yogyakarta: CNKK Production, 2005) 14 Emha Ainun Nadjib, Terus. 15 Tempo, 14 Maret 1992, hlm. 38 16 Jabrohim, Tahajjud.
39
Pada tahun 1993 M./ 1414 H. Cak Nun mengibarkan group musik “Kiai Kanjeng” yang kemudian bersama-sama dengannya berkeliling ke jamaah Maiyah di penjuru tanah air, terutama sejak reformasi 1998. Dalam Maiyah pemusik dan pelantun lagu tidak berada di panggung sebagaimana pertunjukan musik, tetapi melingkar di tengah ruangan, indoor ataupun out door. Tidak ada penonton, karena semua yang hadir, kadang ratusan, kadang ribuan, beberapa kali puluhan ribu tidak menjadi penonton, melainkan berpartisipasi menjadi pelantun lagu-lagu. Jadi tidak ada group yang ditonton dan penonton. Semua orang, pemusik, juga alat-alat musik, bersama-sama menghadap kepada Allah.17 Dari bentuk kebersamaan seperti itu ditumbuhkan maiyah-maiyah dalam konteks yang meluas. Maiyah berarti kebersamaan. Pertama, melakukan apa saja bersama Allah. Kedua bersama siapa saja yang mau bersama. Maiyah bisa berarti komitmen nasionalisme, kedewasaan heterogenisme, kearifan pluralisme, tidak adanya kesenjangan ekonomi. Sebab kalau yang sini terlalu miskain dan yang sana terlalu kaya itu namanya bukan hidup bersama. Bukan maiyah.18 Cak Nun bersama Kiai Kanjeng memiliki jadwal rutin bulanan hampir di seluruh Nusantara. Di Jombang, Jawa Timur setiap tanggal 15 Qomariyah dalam “Pengajian Padhang Mbulan”. Di Yogyakarta “Mocopat Syafaat” setiap tanggal 17 M., di semarang setiap tanggal 25 dalam “Gambang Syafaat”, Bandung “Tali Kasih”, Jakarta “Kenduri Cinta”, dan seterusnya, bahkan sampai ke luar negeri seperti: Malaysia, Korea, Mesir, dan terakhir tahun 2005 ini Cak Nun bersama Kiai Kanjeng menggelar pentas sampai Australia, Amerika Serikat, Roma, Inggris, Itali, Jerman, dan negara-negara Eropa yang lain.19
17
Diambil dari sampul kaset Emha Ainun Nadjib dan Kiai Kanjeng, Maiyah Tanah Air, Musica Studio, 2001 18 Diambil dari sampul kaset Emha Ainun Nadjib dan Kiai Kanjeng, Maiyah Tanah Air, Musica Studio, 2001 19 Lihat dalam VCD Emha Ainun Nadjib dan Kiai Kanjeng, Greets England, (Yogyakarta: Progress, 2005)
40
Meski sudah menginternasional (go international) bukan berarti hanya kota-kota yang menjadi tujuan kegiatan Cak Nun, ia tetap bersilaturrahmi ke desa-desa terpencil sebagaimana dulu ia pernah berjuang membela masyarakat Kedung Ombo. Baru-baru ini Cak Nun berkunjung ke komunitas Sikep di desa Baturejo, kecamatan Sukolilo, Pati Jawa Tengah, komunitas tersebut masih termasuk komunitas Samin. Kedatangan Cak Nun disambut layaknya seorang saudara. Di situ ia didaulat untuk bicara wacana kemerdekaan. Dia merasa bahwa sedulur (saudara) Sikeplah yang telah memperoleh kemerdekannya, “Sedulur Sikep itu tegas, selalu memandang segala sesuatunya secara lugas dan tidak pura-pura,” tandas Cak Nun sebagaimana dimuat dalam Suara Merdeka.20 Dalam esai Emha berjudul Surat Kepada Kanjeng Nabi, Emha mengatakan tentang proses kreatif, bahwa mengenai kejadian apa saja harus diolah untuk memacu kreativitas. “ gembira ya harus kreatif, sedih ya kreatif. Bebas ya kreatif, kena cekal ya kreatif,. Kaya ya kreatif, miskin ya kreatif. Semua adalah rahmat Allah bagi saya. Tidak ada musibah. Semuanya rezeki, dengan syatrat kita menggali ilmu Allah untuk mengkhalifahinya ”.21 Di mata Kuntowijoyo, Sosok Emha bukanlah sekedar seorang penyair. Emha sebagai budayawan maupun sebagai pribadi adalah cerminan dari sensibilitas atau cara masyarakat merasakan sesuatu. Terutama lapisan masyarakat generasi muda pada saat ini.
Untuk
memahami sosok Emha secara keseluruhan, kita bisa melihat Emha sebagai pribadi maupun sebagai publick figure. Dalam karya-karya sastranya telah tercermin pula sejumlah pikiran, persepsi, dan emosi yang tidak terwakili di tempat-tempat lain. Karya-karya sastranya tersebut merupakan ekspresi dari semuanya itu, yang tidak tercermin dalam
20 21
hlm. xiv
Suara Medeka, Sabtu, 27 Agusus 2005, hlm.1-2 Emha Ainun Nadjib, Surat Kepada Kanjeng Nabi, (Bandung: Mizan, cet. II, 1997),
41
ucapan-ucapannya, tulisan-tulisannya, maupun pada tingkah lakunya. Karya-karya sastra Emha itu dilandasi kesadaran keagamaannya. Yakni, kesadaran keagamaan yang kemudian dimunculkan untuk bereaksi terhadap dunia luar. Misalnya, bagaimana Emha dalam melihat masalah kemiskinan, keadilan, masyarakat, maupun kekuasaan. Melalui medium puisi buah tangannya, ia merefleksikan kesadaran keagamaannya tersebut.22 2. Karya-karya Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) Emha Ainun Nadjib adalah seorang penyair dan budayawan yang sangat produktif sehingga karyanya tidak terbatas pada satu bentuk saja. Dia adalah seorang penyair, cerpenis, kolumnis, dan eseis masalah sastra, budaya, sosial, dan agama. Dari rumah kontrakannya paling tidak ia menghasilkan enam buah tulisan dalam seminggu yang rutin dimuat di Surabaya Post, Jawa Post, Berita Nasional, Yogya Post, Suara Merdeka, dan Suara Karya. Tulisan-tulisannya yang menggigit dan penuh percik humor banyak dimuat di Tempo, Kompas, Suara Pembaharuan, Kiblat, Matra dan sebagainya.23 Karya-karya
Cak
Nun
yang
telah
dibukukan
dapat
diklasifikasikan dalam berbagai bentuk. Pertama, bentuk esei: Sastra yang Membebaskan (Yogyakarta: P3PM), Slilit Sang Kiai (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992), Anggukan Ritmis Pak Kiai (Surabaya: Risalah Gusti), Kiai Sudrun Gugat (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1994), Indonesia, Bagian dari Desa Saya (Yogyakarta: SIPRESS), Dari Pojok Sejarah, (Bandung: Mizan), Markesot bertutur (Bandung: Mizan, 1993), Markesot bertutur Lagi (Bandung: Mizan, 1993), Terus Mencoba Budaya Tanding (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), Sedang TUHAN pun Cemburu
(Yogyakarta:
SIPRESS),
‘Nasinalisme
Muhammad’
(Yogyakarta: SIPRESS), Secangkir Kopi Jon Pakir (Mizan, 1992), Surat Kepada Kanjeng Nabi (Mizan, 1997), Oples (Opini Plesetan) (Bandung: 22 23
Emha Ainun Nadjib, Surat, hlm, xvi Jabrohim, Tahajjud.
42
Mizan, 1997), Gelandangan Di Kampung Sendiri (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), Iblis Nusantara dajjal Dunia (Yogyakarta: Zaituna, 1998), Keranjang Sampah (Yogyakarta: Zaituna, 1998), Kiai Kocar-kacir (Yogyakarta: Zaituna, 1998), Mati Ketawa Cara Refotnasi (Yogyakarta: Zaituna, 1998), Demokrasi Tolol Versi Saridin (Yogyakarta: Zaituna, 1998), Saat-saat Terakhir Bersama Soeharto (Yogyakarta: Zaituna, 1998), Puasa itu Puasa (Yogyakarta: Progress, 2005), Fokloor (Yogyakarta: Progress, 2005), Kerajaan Indonesia (Yogyakarta: Progress, 2006). Kedua, bentuk novel: Gerakan Punakawan atawa Arus Bawah (Yogyakarta: Bentang) Ketiga, cerita pendek: Yang Terhormat Nama Saya (Yogyakarta: SIPRESS) Keempat, naskah drama: Pak Kanjeng (Yogyakarta: Progress, 2005). Kelima,
puisi:
Syair-syair
Lautan
Jilbab
(Yogyakarta:
Masyarakat Puitika Indonesia-SIPRESS, 1991), Cahaya Maha Cahaya (Jakarta: Pustaka Firdaus,1991), 99 untuk Tuhanku (Yogyakarta: Bentang), Sesobek Buku Harian Indonesia (Yogyakarta: Bentang), Syair-syair Asmaul Husna (Yogyakarta: Pustaka Pelajar-Shalahuddin Press), Seribu Masjid
satu
Jumlahnya
(Bandung:
Mizan,
1991),
Abakadabra
(Yogyakarta: Bentang), Doa Mohon Kutukan (Surabaya: Risalah Gusti). Dan masih ada beberapa judul buku lagi yang penulis tidak hafal. Banyak pula naskah-naskah pementasan teater maupun puisi yang belum diterbitkan sampai sekarang. Cak Nun bersama Kiai Kanjeng yang didirikannya pada tahun 1993 juga telah mengeluarkan banyak album dalam kaset dan VCD: Kado Muhammad, Meyorong Rembulan, Wirid Padhang Mbulan, Jaman Wis Akhir, Allah Merasa Heran (puisi dengan dilatar belakangi musik yang melantunkan hadits-hadist Qudsi), Perahu Nuh, Kenduri Cinta, Maiyyah Nusantara, Perjalanan Cinta Kiai Kanjeng (Cairo), Kiai Kanjeng Indonesia, Kanjeng Leo Tidak Percaya, Kesaksian Orang Biasa, dan
43
masih ada banyak lagi sampul album lain, termasuk album-album perjalanan pentas mereka di negara-negara Eropa tahun 2005. B. Proses Penciptaan Puisi Pandangan-pandangan yang dilontarkan Emha banyak memberi pendidikan kepada masyarakat untuk menjalankan agama bukan hanya sebagai ritual, tetapi harus termanifestasi dalam sikap sosial. Seperti dalam hal kesaksian, menurut Emha bersyahadat adalah berbeda dengan membaca kalimat syahadat. Membaca syahadat adalah mengatur dan mengendalikan lidah untuk mengeluarkan suara dan sejumlah kata-kata, tapi bersyahadat adalah keberanian membuktikan bahwa ia benar-benar meyakini apa yang disyahadatkannya dan siap menjadi pejuang dari nilainilai yang terkandung di dalamnya.24 Pandangan-pandangan Emha tersebut disampaikan dalam berbagai bentuk mulai dari puisi, cerpen, esai, puisi, bahkan naskah drama yang sebagian dimuat secara rutin dalam berbagai surat kabar. Kini diterbitkan dalam puluhan buku kumpulan puisi, cerpen, ataupun artikel. Sebagaimana bidang dan disiplin lain dalam kebudayaan masyarakat, seni sastra memiliki kontribusinya sendiri. Tradisi ilmu menawarkan kepada manusia disiplin untuk menggali, memilih, meyakini dan memelihara yang benar sebagai benar dan yang salah sebagi salah. Tradisi moral/etik/religi menumbuhkan pengetahuan, penghayatan dan pemesraan terhadap nilai kebaikan. Adapun tradisi estetika, dimana sastra merupakan salah satu pemeran, sarana atau pemandunya, menanamkan kedalam kejiwaan manusia dan masyarakat: gagasan, taste, dan pendalaman tentang sesuatu yang indah, lembut dan mesra.25 Dalam hubungan ini, Islam memberikan prinsip bahwa seni (estetika) diperlukan bagi kehidupan manusia untuk memperhalus budi, sehingga membawa umat dekat pada Maha Pencipta keindahan, atau seni 24
Emha Ainun Nadjib, Demokrasi Tolol Versi Saridin, (Yogyakarta : Zaituna, 1998), Cet.
4, hlm. 47 25
Emha Ainun Nadjib, Terus Mencoba Budaya Tanding, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1995), Cet. 1, hlm. 53
44
bukan sekedar untuk seni. Seni adalah untuk mengagungkan nama Allah.26 Dalam
sebuah
hadits
yang
populer
dalam
kaitannya
dengan
pengembangan seni disebutkan “Allahu jamiilun wa yuhibbul jamala” (Allah Mahaindah dan cinta kepada keindahan). Sastra dapatlah dipandang sebagai cara manusia untuk menata kembali kehidupan lewat imaji dengan cara yang dirasakan paling mesra.27 Ketika Emha kuliah di Universitas Malioboro, ia bergabung dengan kelompok penulis muda yang bergelut di bidang sastra Persada Study Club (PSK) di bawah “maha guru” Umbu Landu Paranggi, manusia sufi yang sangat mempengaruhi perjalanan kreatif Emha dalam kehidupan sastra. Nama Emha semakin berkibar tatkala ia begitu produktif dalam berkaraya (tulisannya terutama esai, puisi dan cerpen bertebaran di berbagai media massa), dan pementasan pembacaan-pembacaan puisinya bersama teater Dinasti pada tahun 1980-an. Pada masanya kegiatan-kegiatan kesenian di berbagai negarapun pernah ia ikuti untuk mengolah kreatifitas menulisnya, baik puisi, cerpen, esai dan lain sebagainya. Di antaranya: 1.
Kegiatan teater di Filiphina (1980), juga sebagai social worker di berbagai daerah Luzon.
2.
International Writing, Program di Universitas Lowa, Lowa City Amerika Serikat (1981)
3.
Festival Penyair International di Rotterdam (1984)
4.
Festival Horizonte II di Berlin Barat, Jerman Barat (1985) sambil aktif di berbagai kegiatan kebudayaan dan keagamaan, terutama melalui kampus Institute Of Social Studies di Den Haag, Negeri Belanda. Pengalaman-pengalaman itulah yang memberikan sumbangsih
kreatif Emha dalam menulis karya sastra sampai saat ini. Dari pengalaman itu dapat disimpulkan bahwa Emha Ainun Nadjib yang sering disapa Cak
26
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 2003), Cet. 1,
27
Jabrohim, Tahajjud., hlm. 1
hlm. 131
45
Nun di dalam proses kreatifnya menjalani berbagi pendidikan kesenian yang cukup lama. Sehingga dari situlah bekal ide-ide kreatifnya mengalami proses pematangan sampai saat ini. Bukan hanya karya sastra yang bersifat umum yang lahir dari torehan penanya saja, melainkan banyak sastra yang bernuansa keIslaman lahir yang mampu memupuk semangat perjuangan dan keberagamaan umat di negeri ini. Salah satu buktinya adalah lahirnya kumpulan puisi Lautan Jibab (1991) yang sedang penulis teliti. Kumpulan puisi ini lahir dan sempat menjadi rujukan umat Islam (sampai saat ini), di mana di dalamnya mengandung nilai ekstrinsik Agama, Psikologi dan social kemasyarakatan yang cukup mendalam. Sempat
pula
diistilahkan
sebagai
“Syair-syair
greget
semangat
keberagamaan dan greget perubahan sejarah” yang menarik perhatian ummat untuk lebih mengilhami keseniaan dalam pola keberagamaannya.28 C. Puisi Lautan Jilbab Puisi Lautan Jilbab merupakan kumpulan puisi yang memiliki nilai-nilai agama. Di dalamnya sedikit banyak mengandung amanat (pesan) moral yang religius, mampu memberikan semangat untuk perubahan kepribadian ummat, serta menjadi sebuah kahzanah keIslaman yang memupuk rasa cinta kepada Allah SWT (Aqidah). Dari nilai-nilai agama yang menjadi pesan moral di atas menjadi suatu alasan utama peneliti untuk meneliti puisi Lautan Jilbab ini, di sisi lain karena di dalam puisi Lautan Jilbab ini mengandung pesan-pesan yang mampu memupuk semangat keIslaman yang disampaikan dengan bahasa yang sangat indah dan menggebu di tiap bait dalam puisi. Berkaitan dengan psikologi kepribadian, kumpulan puisi Lautan Jilbab ini dengan keindahan bahasanya mampu menggambarkan bagaimana aspek psikologi khusunya kepribadian umat saat ini, serta menjadi media dakwah kultural agama Islam demi menyikapi arus zaman yang semakin mengikis nilai budayanya. 28
Diambil dari pengantar penerbit kumpulan puisi Lutan Jilbab Emha Ainun Nadjib (Yogyakarta: Masyarakat Puitika Indonesia-SIPRESS, 1991)
46
Berikutnya Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) menyampaikan pelajaran tentang kepribadian bahwa kepribadian tak ada hubungannya dengan penampilan. Sebab penampilan hanyalah formalitas perilaku bukan substansi.29 Ketika diwawancarai penulis ia menjelaskan sebagai berikut:30 Kelakuan tak ada hubungannya dengan baju, akhlak tak ada hubungannya dengan penampilan yang necis (rapi). Selama ini dalam kebudayaan kita kalau orang menggambarkan akhlak yang baik selalu dengan wajah yang menarik, perilaku mriyayi dan segala macam. Yang pertama kali melakukan perlawanan pada hal tersebut adalah para wali dengan menampilkan tokoh Semar, Pethruk, Gareng, dan Bagong yang mempunyai komitmen kerakyatan yang baik dan akhlak yang baik tetapi digambarkan dengan wajah yang tidak tampan dan penampilan yang tidak rapi.
Dari pemaparan Emha di atas setidaknya menggambarkan betapa pentingnya sebuah pribadi yang Islami, bukan semata dinilai dari cara seseorang dalam berpakaian tetapi yang lebih penting dari itu adalah kepribadian yang baik atau hati yang mencerminkan kepribadian mut\ma’innah. Dalam pandangan ini Emha banyak menyinggung sebuah kepribadian dalam karya puisinya yang bertemakan Lautan Jilbab. Di dalam kumpulan puisi Lautan Jilbab juga terdapat satu puisi yang berjudul Di Awang Uwung, di mana puisi ini merupakan imajinasi Emha Ainun Nadjib dalam melukiskan situasi sosial pada saat itu. Di mana digambarkan dengan sangat indah tentang kisah dua malikat yang berada di suatu tempat yang sangat jauh. Kemudian kedua malaikat itu memandang jauh ke sebuah negeri di mana terlihat gambaran perilaku manusia kaum berjilbab (perempuan) yang dengan asyik sedang melakukan aktivitasnya masing-masing. Ada yang memang dengan tulus berdoa kepada Tuhannya, ada pula yang sibuk menggunjing tetangga sebelahnya, pula ada yang sedang merumuskan bagaimana esok mengais rizki, dan yang terakhir ada yang sedang sibuk memilih warna jilbab apa 29 30
2011
Emha Ainun Nadjib, Kyai Sudrun Gugat, hlm. 35 Wawancara Penulis dengan Emha Ainun Nadjib di Yogyakarta tanggal 20 Februari
47
yang cocok untuknya agar bisa menjadi trend zaman yang sedang dihadapi. Gambaran mengenai puisi itu setidaknya dapat menjadi cerminan kepribadian manusia, yang mampu memberikan kritik (satiris) dalam kehidupan kita. Ada tipe-tipe
kepribadian yang sangat beragam di
tampakkan Emha Ainun Nadjib dalam puisi yang berjudul Di Awang Uwung ini. Kumpulan puisi Lautan Jilbab merupakan sebuah antologi (kumpulan) puisi yang ditulis oleh Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) pada tahun 1989 dan mengalami proses pembaharuan percetakan pada tahun 1991. Di dalamnya terdiri atas 33 (tiga puluh tiga) puisi dengan tema Lautan Jilbab dan berbagai judul yang merupakan bagian dari tema besar puisi. Di sini peneliti setidaknya mencoba menganalisis 7 (tujuh) judul puisi dari kumpulan puisi tersebut, dengan melihat aspek isi yang disampaikan sesuai dengan tema peneliti. Peneliti beranggapan tujuh dari salah satu kumpulan puisi Lautan Jilbab ini sudah dapat mewakili tema besar puisi. Puisi-puisi
tersebut adalah: 1) Putih, Putih, Putih, 2)
Penyangga ‘Arsy, 3) Bahasa Kambing Hitam, 4) Cahaya Aurat, 5) Berjiwa Telaga, 6) Merawat Rahasia, dan 7) Di Awang Uwung. Berikut tujuh puisi dalam kumpulan puisi Lautan Jilbab yang menjadi kajian peneliti.
Putih, Putih, Putih Meratap bagai bayi Terkapar bagai si tua renta Di padang Mahsyar Di padang penantian Di depan pintu gerbang janji penantian Saksikan beribu-ribu jilbab Hai! Bermilyar-milyar jilbab! Samudera putih
48
Lautan cinta kasih Gelombang sejarah Pengembaraan amat panjang Di padang Mahsyar Menjelang hari perhitungan Seribu galaksi Hamparan jiwa suci Bersujud Memanggil Allah, satu-satunya nama Bersujud Putih, putih, putih Bersujud Menyeru belaian tangan kekasih Bersujud Dan alam raya Jagat segala jagat Bintang-bintang dan ruang kosong Mendengar panggilan itu Dengan telinga ilmu seratus abad: -
Wahai jiwa bening!
wahai mut\ma’innah Kembalikan kepada Tuhanmu Dengan rela dan direlakan Masuklah ke pihakKu Masukilah sorgaKu Wahai jiwa, wahai yang telah jiwa! Wahai telaga Yang hening Hingga tiada!
Penyangga ‘Arsy
49
O, beribu jilbab! O, lautan! Bergerak ke cakrawala
Lautan penyangga ‘Arsy Beribu jilbab perawat peradaban
Barisan ummat terjaga dari tidur Pergi berduyun memasuki diri sendiri
Lautan jilbab Bersemayam di jagat mut\ma’innah Bergerak di sorga iman, belajar menyapu dusta
Biarkan air mata mengucur Tapi jangan menangis
Duka membelit-belit Tapi kalian tak bersedih
Kuman apa yang kalian sandang Dari tangan sejarah? Dari abad yang tak kenal diri sendiri?
Tangan kalian mengepal Memukul-mukul dada
Amarah kalian menggumpal Namun jiwa lembut bagai ketiadaan
O, lautan jilbab
50
Bergerak ke janji Tuhan Dengan mulut bisu mrngajarkan keabadian.
Bahasa Kambing Hitam Seseorang, dari beribu jilbab, berkata Bicaralah dengan bahasa badan! Sunyi belum sempurna. Ini dunia nyata Tabir belum dikuakkan Hijab belum disingkap seluruhnya Ruh tak bicara kecuali hanya kepada dirinya Bicaralah dengan bahasa badan Dengan bahasa kehidupan yang bersahaja Perhitungan sejarah belum selesai Ini bukan mahsyar, padang sunyi senyap Bicaralah dengan bahasa keringat Bahasa got dan selokan Dusun-dusun suram dan sawah ladang Yang entah siapa sekarang pemiliknnya Anak-anak antri cari sekolah dan kerja Dendam kepada kesempitan, terusir dan Tertepikan Pasar yang sumpeg, dikangkangi monopoli Jilbab-jilbab bertaburan tidak di langit tinggi Melainkan di bumi, tanah-tanah becek Teori pembangunan yang aneh Kemajuan yang menipu Jilbab-jilbab terserimpung di kubangan sejarah Melayani cinta palsu dan kecurigaan Cekikan yang samar Dan tekanan yang tak habis-habisnya
51
Jilbab-jilbab dikambinghitamkan Bicaralah dengan bahasa kambing hitam!
Cahaya Aurat Ribuan jilbab berwajah cinta Membungkus rambut, tumbuh sampai ujung kakinya karena hakekat cahaya Allah lalah terbungkus di selubung rahasia
siapa bisa menemukan cahaya? lalah suami, bukan asal manusia jika aurat dipamerkan di Koran dan di jalanan Allah mengambil kembali cahayaNya
Tinggal paha mulus dan leher jenjang Tinggal bentuk pinggul dan warna buah dada Para lelaki yang memelototkan mata Hanya menemukan benda
Jika wanita bangga sebagai benda Turun ke tingkat batu derajat kemakhlukannya Jika lelaki terbius oleh keayuan dunia Luntur manusianya, tinggal syahwatnya.
Merawat Rahasia Wanita yang memamerkan pahanya
52
Hendaklah jangan tersinggung Kalau para lelaki memandanginya Sebab demikianlah hakekat tegur sapa
Siapa ingin tak menyapa tak disapa Tinggallah di balik yang tertutup pintunya Sebab begitu pintu di buka Orang berhak mengetuk dan memasukinya
Maka dengan menonjolkan auratnya Wanita member hak kepada laki-laki siapa saja Untuk menatapi benda indah suguhannya Serta membayangkan betapa nikmat rasanya
Hendaklah wanita punya rasa sayang Kepada ratusan lelaki di sepanjang jalan Dengan tidak menyodorkan godaan Yang tak ada manfaatnya kecuali untuk dipandang
Adapun lelaki, sampai habis usia Hanya bisa berkata: betapa indah wanita! Maka bantulah ia merawat rahasia Yang hanya boleh dikuakkan oleh isterinya.
Di Awang Uwung Di awang uwung, seolah dua malaikat, duduk Termangu di kursi hampa, sambil menyandarkan Kepalanya di segumpal satelit
53
Yang satu menggamit pundak rekannya dan berkata: Lihatlah, beribu jilbab, lihatlah gejala alam. Mungkin belum sepenuhnya merupakan gejala kesadaran manusia, tapi siapa berani meremehkannya? Lihatlah jilbab-jilbab itu. Ada yang nekad hendak menguak kabut sejarah. Ada yang hanya sibuk berdoa saja. Ada yang tiap hari berunding bagaiamana membelah tembok di hadapannya. Ada yang berjam-jam merenungkan warna dan model jilbab mana yang paling tampak ceria dan trendy. Ada yang berduyun-duyun menyerbu wilayah-wilayah gelap yang disembunyikan oleh generasi tua mereka. Ada yang sekedar bergaya. Ada yang mengepalkan tangan dan seperti hendak memberontak. Ada yang menghabiskan waktu untuk bersenda gurau. Ada yang tak menoleh ke kiri ke kanan karena terlalu erat mendekap pinggang kekasih-nya di dalam kendaraan. Lihatlah, apakah kau tahu mereka ini generasi jilbab dari jaman apa?
Rekannya menjawab: Mereka tinggal di kepulauan mutiara. Di negeri amat kaya raya. yang aneh. Dialamnya terdapat orang terkaya di dunia sekaligus orang termiskin di dunia. Di negeri yang paling kaya kemungkinan untuk berpura-pura. Negeri di mana penindas dipuja-puja dan pahlawan diejek hingga putus asa. Negeri di mana kebaikan dan kejahatan bisa
54
di rakit menjadi suatu bentuk keselarasan. Di mana orang yang diperkosa malah tertawa. Di mana ketidakjujuran dipelihara bersama. Di mana agama tidak mengatur manusia melainkan diatur oleh manusia. Di mana masyarakatnya hidup rukun dan penuh maaf. Jika seseorang kelaparan, tetangganya bingung memanfaatkan uang. Jika seseorang sakit jiwa karena selalu gagal memperoleh pekerjaan, tetangganya sibuk menyiapkan lomba siul dan kontes betis indah. Jika beribu penduduk suatu perkampungan diusir oleh pembangunan, orang lain mendiskusikan bagaimana memahami tuyul. Jika sekumpulan manusia diberondong oleh peluru, orang lain bingung ganti mobil baru dan makan jembatan.
Yang satunya tertawa dalam kesedihan: Luar biasa! Siapa yang mengarang? Tuhan tak pernah mentakdirkan model masyarakat yang demikian. Sesudah penciptaan, Tuhan menganugerahkan kemerdekaan kepada manusia. Namun rupanya manusia memahami kemerdekaan hanya melalui pintu hak. Manusia tidak belajar mendengarkan ucapan Tuhan yang memancar pada tradisi alam, hukum jagat raya serta diri manusia sendiri. Mereka tak bisa paham bahwa manusia adalah ucapan Tuhan. Mereka merebut manusia dari hakekatnya.
Di awing uwung, terpantul hati kecil manusia,
55
jiwa sejati kehidupan, yang di muka bumi hampir tak boleh bersemayam.
BAB IV ANALISIS KUMPULAN PUISI LAUTAN JILBAB KARYA EMHA AINUN NADJIB DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI ISLAMI
Pada dasarnya perasaan manusia yang paling dalam, termasuk nafsu dan hasrat merupakan pedoman penting, dan manusia berhutang amat banyak pada kekuatan emosi karena dengan adanya kekuatan emosilah manusia dapat menunjukkan keberadaannya dalam masalah-masalah manusiawi.1 Bimbingan terhadap perasaan dapat berupa penjelasan-penjelasan, dan keterangan. Tetapi penjelasan tidak memberikan saluran bahkan kadang-kadang merupakan bendungan, kecuali dengan cara-cara yang bijaksana; tetapi itupun seringkali sukar untuk dilaksanakan puber, sering kali merupakan person yang tertutup. Menyalurkannya ke dalam bidang kesenian merupakan salah satu cara yang paling sehat: seni tari, seni musik, khususnya seni sastra puisi. Puisi merupakan kesenian yang mempunyai nilai tersendiri yaitu berupa nilai otonom (bukan berarti terpisah dari nilai kehidupan), kecuali sebagai hiburan puisi juga mempunyai nilai kehidupan yang besar, karena dapat memperhalus dan memperkaya batin manusia. Seorang seniman dapat memilih tema mulai dari cinta kasih sesama manusia, kebobrokan moral, kepincangan sosial, kebengisan manusia, perjuangan manusia, dan hubungan dengan mahluk yang maha tinggi (Tuhan). Semua tema tersebut dapat diolah dengan bagus agar dapat mengena pada sasaran (audiensi). Sebagai kreasi manusia yang diangkat dari realitas kehidupan, sastra juga mampu menjadi wakil dari zamannya, karena sastra pada dasarnya juga merupakan kegiatan kebudayaan maupun peradaban dari setiap situasi, masa ataupun zaman saat sastra itu dihasilkan. Dalam situasi demikian berarti terdapat pengaruh timbal balik antara sastra sebagai perekam dan pemapar unsur-unsur
1
Daniel Goleman, Emotional Intelligence, terj T Hermaya, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996) hlm. 4
56
57
sosiokultural yang akan memberi manfaat mengembangkan sikap kritis pembaca dalam mengamati perkembangan zamannya.2 Sebagaimana bidang dan disiplin lain dalam kebudayaan masyarakat, karya sastra memiliki kemungkinan kontribusinya sendiri. Tradisi ilmu menanamkan kepada manusia disiplin untuk mengenali, memilih, meyakini, dan memelihara yang benar sebagai benar dan yang salah sebagai salah. Tradisi moral/etik/religi menumbuhkan pengetahuan, penghayatan dan pemesraan terhadap nilai kebaikan. Adapun tradisi estetika, dimana sastra merupakan salah satu pemeran, sarana atau pemandunya, menanamkan ke dalam kejiwaan manusia dan masyarakat: gagasan, taste dan pendalaman tentang segala sesuatu yang indah, lembut dan mesra.3 Istilah “psikologi sastra” mempunyai empat kemungkinan pengertian. Yang pertama adalah studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Yang kedua adalah studi proses kreatif. Yang ketiga studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Dan yang keempat mempelajari dampak sastra pada pembaca (psikologi pembaca).4 Dari gambaran ini dapat diaksentuasikan beberapa tipe pengertian yang erat hubungannya dengan maksud dari karya sastra, kemudian mencoba memberikan intepretasi tentang hukum-hukum psikologi yang diterapkan dalam karya sastra. Berbicara tentang kepribadian tentunya tak lepas dari pembahasan pendidikan itu sendiri. Terkait dengan hubungan antara sastra (dalam hal ini puisi) dan psikologi, terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan. Pertama, suatu karya sastra harus merefleksikan kekuatan, kekaryaan dan kepakaran penciptanya. Kedua, karya sastra harus memiliki keistimewaan dalam hal gaya dan masalah bahasa sebagai alat untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan pengarang. Ketiga, masalah gaya, struktur dan tema karya sastra harus saling terkait dengan elemen2
Aminuddin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra, (Bandung: Sinar Baru, 1991), Cet. 2,
hlm. 63 3 Emha Ainun Nadjib, Terus Mencoba Budaya Tanding, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 53 4 Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995), hlm. 90
58
elemen yang mencerminkan pikiran dan perasaan individu, tercakup di dalamnya: pesan utama, peminatan, gelora jiwa, kesenangan dan ketidaksenangan yang memberikan kesinambungan dan koherensi terhadap kepribadian.5 Dari faktor yang keempat dapat penulis memberikan pandangan bahwa puisi dalam hal ini memberikan sebuah tatanan nilai yang lahir dari gaya bahasa dan struktur penulisannya, serta memunculkan amanat yang sangat mendalam sehingga memunculkan gelora jiwa (kedalaman indera), menumbuhkan minat yang berupa semangat, kesenangan dan yang terakhir akan memunculkan cermin kepribadian dalam kehidupan. Ini berarti bahwa puisi mampu memberikan pendidikan psikologi serta mempunyai kesinambungan emosi dalam menentukan kepribadian seseorang. Beberapa
disiplin ilmu seperti menulis, menggambar, menyalin,
memperagakan, bermain musik, dan sastra merupakan salah satu sumber inspirasi yang mampu menimbulkan rasa estetika (keindahan) dan unsur pendidikan. Hal itu disebabkan oleh adanya unsur kesenangan dan kegembiraan yang ada di dalamnya.6 Tahap-tahap proses pendekatan pembentukan nilai ini lebih banyak ditentukan dari arah mana dan bagaimana seseorang itu menerima nilai yang berasal dari luar kemudian menginternalisasikan nilai-nilai tersebut kedalam dirinya. Tentunya hal ini tak lepas dari pendidikan psikologi yang mana sangatlah mempengaruhi
perubahan
seseorang
dalam
aplikasi
perilakunya
di
lingkungannya. Nilai-nilai tersebut akan membentuk kepribadian seseorang berkaitan dengan baik buruknya perilaku. Berkaitan dengan itu suatu nilai dapat diterima oleh seseorang karena nilai itu sesuai dengan kepentingan dan kebutuhannya, dalam hubungan dengan dirinya sendiri dan lingkungannya. Oleh karena itu perlu adanya pendekatan yang memungkinkan seseorang mampu merasakan diri dalam konteks hubungannya dengan lingkungannya. Hubungan yang dimaksud dalam pembicaraan ini adalah 5 Albertine Minderop, Psikologi Sastra: Karya Sastra, Metode, Teori dan Contoh Kasus, (Jakarta: Yayasan pustaka Obor Indinesia, 2010). hlm. 61-62 6 Abdul Aziz Abdul Majid, Mendidik Anak Lewat Cerita, (Jakarta, Mustaqim, 2003), hlm. 19
59
pendekatan yang mampu menanamkan nilai-nilai di dalam hati seseorang agar terwujud suatu tatanan kepribadian yang baik. Pendidikan dalam arti luas adalah pengembangan pribadi dalam semua aspeknya,7 dengan penjelasan dari Ahmad tafsir bahwa yang dimaksud dengan pengembangan pribadi ialah yang mencakup pendidikan oleh diri sendiri, pendidikan oleh lingkungan, dan pendidikan oleh orang lain (guru). Termasuk bimbingan oleh kebudayaan dimana seni atau karya sastra ada di dalamnya. Seluruh aspek mencakup jasmani, akal, dan hati.8 Hal ini sesuai dengan yang disampaikan Muhamad Athijah Al-Abrasy bahwa metode pendidikan dapat dilakukan secara langsung dengan menggunakan petunjuk, tuntunan, nasihat, dimana hal itu bisa mendorong orang untuk berbudi pekerti tinggi dan menghindari hal-hal tercela dan dapat pula secara tidak langsung, atau dengan menggunakan media-media seperti karya sastra atau seni.9 Habiburrahman El Shirazy, penulis Ayat-Ayat Cinta sebagaimana dimuat Suara Merdeka menyatakan: bukan hanya sastra, bahkan komik pun punya peran dalam membentuk watak suatu bangsa. Para budayawan Amerika telah menyadari hal tersebut. Melalui komik, mereka menciptakan tokoh-tokoh heroik seperti Superman, Batman, dan Spiderman. Tokoh fiktif itu telah membentuk watak bangsa Amerika yang superior. Reproduksi watak superior bangsa Amerika itu masih kental hingga kini, tercermin dari arogansi George Bush.10 Bukankah salah satu keajaiban al-Qur’an yang menjadi pemikat pembacanya adalah karena ungkapan atau gaya bahasa yang dipakai sangat menawan. Al-Qur’an dalam mengarahkan manusia ke arah yang dikehendakinya banyak menggunakan “kisah”. Setiap kisah dalam al-Qur’an menunjang materi yang disajikan, baik kisah tersebut benar-benar terjadi maupun kisah simbolik.11
7
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspekif Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994), Cet.2, hlm. 25 8 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspekif Islam., hlm. 25 9 Muhammad Athijah Al-Abrasiy, Attarbiyah Al-Islamiyyah, Terj. Bustami A. gani, “Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam”, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hlm. 111-112 10 Suara Merdeka, 22 September 2005, hlm. 10 11 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2001), Cet. 22, hlm.17
60
Sastra adalah salah satu metode menyampaikan pesan kepada manusia melalui puisi dan kisah. Dalam pendekatan ini secara garis besar pendidik diharapkan mampu melakukan hal-hal sebagai berikut. 1. Menciptakan situasi kehidupan sosial, dalam hal ini pelajar dihubungkan dengan lingkup sosial yang memberikan kesempatan kepadanya untuk melakukan pilihan dan merasakan akibat dari pilihan itu bagi dirinya dan masyarakat. 2. Memberi kesempatan bagi pelajar berdasarkan pengalamannya untuk merenungkan dan memikirkan berbagai konsekuensi dari apa yang diterimanya dan yang tidak diterimanya suatu nilai dalam kehidupan masyarakat dimana pribadi pelajar itu berada. 3. Memberi kesempatan kepada pelajar untuk merasakan faedah dari diterimanya suatu nilai dalam hubungannya dengan kehidupan bersama. 4. Mendorong pelajar, melalui pemberian penghargaan dan pujian untuk mengamalkan nilai yang telah dipahami dan mulai diterima.12 Lautan Jilbab sebagai salah satu bentuk karya sastra puisi memberikan banyak nilai yang mampu membentuk psikologi kepribadian para pembacanya untuk mengilhami tentang fenomena-fenomena lingkungan pada saat itu serta diharapkan dapat diaplikasikan dalam wujud kehidupan sosial yang mempunyai kepribadian yang islami, karena menurut Emha Ainun Nadjib puisi Lautan Jilbab yang dibuatnya ini tidak mengekang siapa saja untuk menginterpretasikannya. Jika dilihat dari penyair dan karya puisinya, dalam pandangan peneliti, ada beberapa tipologi (komponen) kepribadian dalam Islam yang diterapkan penyair terhadap pembaca, di antaranya, tipologi kepribadian ammarah, tipologi kepribadian lawwamah, dan tipologi kepribadian mut}ma’innah. Pendapat bahwa tiga istilah itu merupakan komponen kepribadian antara lain pernah diungkapkan oleh M. Dawam Rahardjo. Dalam buku Ensiklopedi AlQur’an, Rahardjo menegaskan bahwa Al- Nafs al- Ammarah adalah dorongan 12
Soedijarto, Menuju Pendidikan Nasional yang Relevan dan Bermutu (Kumpulan tentang Pemikiran dan Usaha Meningkatkan Mutu dan Relevansi Pendidikan Nasional), (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hlm. 151
61
dasar dalam diri manusia untuk memenuhi apa yang diinginkannya. Al- Nafs alMut}ma’innah adalah dorongan yang ada dalam diri manusia untuk mengikuti nilai-nilai dan norma-norma yang berkembang dalam komunitas individu itu. Sementara Al- Nafs al- Lawwamah adalah komponen yang mengkompromikan dorongan pemuasan diri dan dorongan mengikuti nilai-norma masyarakat. Lebih lanjut, Rahardjo membandingkan konsep di atas dengan pandangan Sigmund Freud. Secara simplisistis, Rahardjo memandang bahwa Al- Nafs al- Ammarah sebanding dengan id (lapisan psikis yang paling dasar dan bergerak sesuai dengan prinsip kesenangan.), Al- Nafs al- Mut}ma’innah sebanding dengan superego (aspek moral kepribadian dan mampu membedakan yang benar dan yang salah serta cenderung memilih yang benar), dan Al- Nafs al- Lawwamah sebanding dengan ego (aspek psikologis manusia dan timbul karena kebutuhan organisme untuk berhubungan baik dengan dunia (realita) dan berprinsip “kenyataan atau realitas” ). Penafsiran yang kedua mengungkapkan bahwa tiga istilah yaitu Al- Nafs al- Ammarah, Al- Nafs al- Lawaamah, dan Al- Nafs al- Muthmainnah merupakan gambaran tingkatan aktual jiwa manusia. Manusia telah memiliki jiwa yang lengkap dengan komponen akal-qalbu-nafsu. Dalam menjalankan kehidupannya di dunia ini, komponen-komponen tersebut bisa jadi bertumbuh kembang, artinya seseorang menyucikan dan mengembangkan jiwanya. Sebaliknya, komponenkomponen tersebut bisa mengalami kemandulan bila jiwa tidak dikembangkan. Dikatakan oleh M. Quraish Shihab bahwa jiwa manusia terdiri atas tiga tingkatan, sesuai kecerahan dan kegelapan, yaitu nafs Al- Mut}ma’innah (yang tenang), nafs Al- Lawwamah (yang selalu mengecam dan menyesali kesalahan), dan nafs alAmmarah bi al- Su’ (yang mendorong manusia ke arah negatif).13 Dari teori tentang komponen (tipologi) kepribadian di atas, berikut akan peneliti uraikan satu per satu tipe tersebut dalam puisi Lautan Jilbab terutama dari delapan judul puisi yaitu 1) Putih, Putih, Putih, 2) Penyangga ‘Arsy 3) Bahasa
13
H. Fuad Nashori, Potensi- Potensi Manusia Seri Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), Cet.II, hlm.122-124
62
Kambing Hitam, 4) Cahaya Aurat, 5) Berjiwa Telaga, 6) Merawat Rahasia, dan 7) Di Awang Uwung disertai uraian keseluruhan puisi maupun dari bait-baitnya.
A. Tipologi Kepribadian Ammarah Tipe kepribadian ini dicapai seseorang yang didominasi oleh nafsunya. Akal melayani nafsu dan qalbu dalam keadaan tak berdaya atau berpenyakit (qalbun maridh) bahkan dikunci mati (qalbun mayyit). Ketika seseorang menjauh dari Allah dan mendekati perbuatan-perbuatan yang maksiat, maka ia berada dalam situasi yang kacau balau (al-nafs alammarah). Dalam al-Qur’an telah di jelaskan:
ﻢ ﻴﺭﺣ ﺭ ﻲ ﹶﻏﻔﹸﻮﺭﺑ ﻲ ﹺﺇ ﱠﻥﺭﺑ ﻢ ﺣ ﺭ ﺎﻮﺀِ ﹺﺇﻟﱠﺎ ﻣﺭﹲﺓ ﺑﹺﺎﻟﺴ ﺎﺲ ﹶﻟﹶﺄﻣ ﻨ ﹾﻔﻧ ﹾﻔﺴِﻲ ﹺﺇ ﱠﻥ ﺍﻟ ﺉ ﺮ ﺑﺎ ﹸﺃﻭﻣ ﴾٥٣﴿ Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku maha pengampun lagi maha penyayang (Q.S Yusuf, 12:53) Kumpulan puisi Lautan Jilbab terutama dalam judul Bahasa Kambing Hitam seolah memberikan gambaran sisi negatif manusia dengan segala perilaku yang menyimpang dari tatanan nilai di masyarakat. Dalam puisi ini Emha Ainun Nadjib mengibaratkannya dengan konotasi bahasa kambing hitam: Seseorang, dari beribu jilbab, berkata Bicaralah dengan bahasa badan! Sunyi belum sempurna. Ini dunia nyata Tabir belum dikuakkan Hijab belum disingkap seluruhnya Ruh tak bicara kecuali hanya kepada dirinya Bicaralah dengan bahasa badan Dengan bahasa kehidupan yang bersahaja Perhitungan sejarah belum selesai Ini bukan mahsyar, padang sunyi senyap Bicaralah dengan bahasa keringat
63
Bahasa got dan selokan Dusun-dusun suram dan sawah ladang Yang entah siapa sekarang pemiliknnya Anak-anak antri cari sekolah dan kerja Dendam kepada kesempitan, terusir dan Tertepikan Pasar yang sumpeg, dikangkangi monopoli Jilbab-jilbab bertaburan tidak di langit tinggi Melainkan di bumi, tanah-tanah becek Teori pembangunan yang aneh Kemajuan yang menipu Jilbab-jilbab terserimpung di kubangan sejarah Melayani cinta palsu dan kecurigaan Cekikan yang samar Dan tekanan yang tak habis-habisnya Jilbab-jilbab dikambinghitamkan Bicaralah dengan bahasa kambing hitam! Untuk mempermudah pemahaman, peneliti deskripsikan sebagai berikut: Seseorang, dari (kaum) beribu jilbab (perempuan), berkata(:) (perintah) Bicaralah dengan bahasa badan! Sunyi belum (sepenuhnya) sempurna. Ini (adalah) dunia (yang) nyata Tabir (rahasia) belum (juga) dikuakkan (dibuka) Hijab (tutup) belum (juga) disingkap (secara) seluruhnya Ruh tak (tidak pula) bicara (,) kecuali hanya kepada dirinya (ruh) (perintah) Bicaralah dengan (memakai) bahasa badan Dengan (perumpamaan) bahasa kehidupan yang bersahaja Perhitungan sejarah (hidup) belum selesai Ini (dunia) bukan (padang) mahsyar, padang (yang) sunyi (dan) senyap Bicaralah dengan (menggunakan) bahasa keringat Bahasa (perumpamaan) got dan selokan Dusun-dusun (yang) suram dan sawah ladang Yang entah siapa sekarang pemiliknya (dusun-dusun, sawah dan ladang) Anak-anak antri (kesulitan) cari (mencari) sekolah dan kerja Dendam kepada kesempitan (kesengsaraan), terusir dan Tertepikan (hina)
64
(kondisi) Pasar yang (terasa) sumpeg, dikangkangi (dikuasai) monopoli Jilbab-jilbab (kaum perempuan) bertaburan (menyebar) tidak (berada) di (atas) langit (yang) tinggi Melainkan di (bawah) bumi, tanah-tanah (yang) becek (rendah) Teori pembangunan yang aneh Kemajuan yang menipu Jilbab-jilbab terserimpung (tersesat) di kubangan (tempat yang hina) sejarah Melayani cinta palsu dan kecurigaan Cekikan (kebiri) yang samar (nampak kasat mata) Dan tekanan yang tak habis-habisnya Jilbab-jilbab (kaum perempuan) dikambinghitamkan Bicaralah dengan (menggunakan) bahasa kambing hitam! (perumpamaan kambing hitam) Puisi yang berjudul Bahasa Kambing Hitam di atas jika secara intrinsik tidak dipisahkan dari bait per bait, namun menjadi satu kesatuan utuh dalam keseluruhan larik. Ada 29 larik yang dalam struktur rimanya berakhir indah, seperti pada tiga larik awal. Seseorang, dari beribu jilbab, berkata Bicaralah dengan bahasa badan! Sunyi belum sempurna. Ini dunia nyata Tabir belum dikuakkan Keindahan rima yang lahir dari empat larik pertama tersebut mampu menjadikan suatu gambaran cerita yang sangat komunikatif, karena secara langsung terjadi unsur cerita yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca. Rima-rima yang saling terkait tersebut mampu menimbulkan irama yang sangat mendayu saat diucapkan. Untuk memahami pertalian makna yang saling berkait pada larik satu dengan larik berikutnya maka dibutuhkan penanda yang mampu mengaitkan kata satu dengan kata selanjutnya sehingga menjadi kesatuan utuh. Kutipan puisi di atas memberikan isyarat perintah bahwa “Seseorang, dari beribu jilbab, berkata” merupakan suatu ungkapan
65
perumpamaan kaum perempuan yang penggambarannya sebagai “beribu jilbab” dengan nada tinggi berkata “ Bicaralah dengan bahasa badan!” bahasa badan ini bisa saja berupa anggota badan yang tidak hanya mulut yang berbicara, namun hati ataupun indera yang lain pada diri manusia. Kalimat ini ditulis dengan tanda seru (!), seolah perintah yang benar-benar penting karena bahasa badan adalah bahasa kejujuran setelah mulut terbiasa berbohong. “Sunyi belum (sepenuhnya) sempurna. Ini (adalah) dunia (yang) nyata” mengisyaratkan pada sunyi yang belum sempurna. Ini artinya bahwa dunia ini benar-benar nyata dan belum sempurna (akhir dari dunia/kiamat). ”Tabir (rahasia) belum (juga) dikuakkan (dibuka)” menyambung dari kalimat diatas bahwa dunia yang nyata adalah di mana tabir/rahasia hidup belum dibuka untuk dimintai pertanggungjawabannya, “Hijab (tutup) belum (juga) disingkap (secara) seluruhnya” salah dan benar ataupun hijab belum seluruhnya diketahui. “Ruh tak (tidak pula) bicara (,) kecuali hanya kepada dirinya (ruh)” dan ruh hanya berputar pada dirinya sendiri, berbicara kepada dirinya yang menyatu pada jasad seseorang. “(perintah) Bicaralah dengan (memakai) bahasa badan” sebuah repetisi (pengulangan) kalimat yang berupa perintah “bicaralah” setidaknya mempunyai maksud bahwa bahasa badan ini dirasa memang sangatlah penting, “Dengan (perumpamaan) bahasa kehidupan yang bersahaja” perumpamaan bahasa kehidupan yang bersahaja, merujuk pada nilai-nilai kehidupan yang madani dan penuh makna, “Perhitungan sejarah (hidup) belum selesai” bahwa hidup belum sepenuhnnya selesai ataupun sejarah masih bisa dirubah untuk meneruskan ke masa depan, “Ini (dunia) bukan (padang) mahsyar, padang (yang) sunyi (dan) senyap” penegasan kembali bahwa sang wanita berbicara tentang realitas dunia yang benar-benar nyata dan bukan padang mahsyar, padang yang sunyi senyap (alam barzah). “Bicaralah dengan (menggunakan) bahasa keringat” perintah berbicara yang ketiga ini merupakan bentuk repetisi bahasa yang diungkapkan dengan objek yang berbeda, perintah berbicara dengan menggunakan
66
bahasa keringat, maksud dari bahasa keringat ini adalah simbol bahasa dalam
pola
kehidupan
manusia
dari
segala
aspek,
“Bahasa
(perumpamaan) got dan selokan” aspek yang di tampakkan adalah aspek kehidupan dalam perumpamaan “got dan selokan” yaitu sisi kehidupan pinggiran manusia yang penuh dengan segala keterbatasan dalam dunia yang keras, “Dusun-dusun (yang) suram dan sawah ladang, yang entah siapa sekarang pemiliknya” suatu kondisi masyarakat yang begitu memprihatinkan, tidak tahu siapa yang memiliki dan ini akibat dari perbuatan manusia itu sendiri, ketika ladang dan sawah semakin hilang oleh kerakusan penguasa kemudian dijadikannya pabrik-pabrik sebagai lahan industri, “Anak-anak antri (kesulitan) cari (mencari) sekolah dan kerja, Dendam kepada kesempitan (kesengsaraan), terusir dan tertepikan (hina)” sebuah realitas pendidikan di mana anak-anak di negeri ini kesulitan untuk mengenyam bangku sekolahan, serta makin sempitnya lapangan kerja bagi para pemuda, terlalu sering kesulitan meraja hingga muncul rasa dendam terhadap kemiskinan, “(kondisi) Pasar yang (terasa) sumpeg, dikangkangi (dikuasai) monopoli” pada bidang ekonomi, pemilihan kata “sumpeg” berarti suatu kondisi yang terbelit sistem yang begitu menjerat, perdagangan yang penuh dengan monopoli perdagangan dan hanya menguntungkan para penguasa. “Jilbab-jilbab (kaum perempuan) bertaburan (menyebar) tidak (berada) di (atas) langit (yang) tinggi” yakni tidak berperilaku sesuai dengan normanorma yang berlaku sebagai fitrahnya wanita. Karena norma-norma ini dianggap agung, jadi dalam bahasanya “tidak di langit tinggi”, “Melainkan di (bawah) bumi, tanah-tanah (yang) becek (rendah)” melainkan derajatnya begitu rendah, bahkan teramat rendah seperti tanahtanah becek yang selalu mengibarkan aib di masyarakat, perilaku yang ini seperti halnya tindak asusila yang lebih merendahkan harkat martabat kaum perempuan. “Teori pembangunan yang aneh, kemajuan yang menipu” kondisi di atas digambarkan sebagai cermin pembangunan yang begitu aneh, mengingat kewajiban yang harus dilakukan oleh kaum
67
perempuan tidak dihiraukan oleh kaum berjilbab (perempuan), “Jilbabjilbab terserimpung (tersesat) di kubangan (tempat yang hina) sejarah, Melayani cinta palsu dan kecurigaan” kaum perempuan telah benar-benar tersesat dalam kehinaan yang begitu rendah dalam perjalanan sejarah manusia, dengan keluar dari fitrahnya yang hanya sebagai tumbal kaum laki-laki hidung belang yang hanya memberikan cinta palsu dan sesaat. Sehingga dalam perjalanan cintanya dirundung oleh kecugiaan, “Cekikan (kebiri) yang samar (nampak kasat mata), dan tekanan yang tak habishabisnya” ia (kaum perempuan) dalam realita kehidupan sebenarnya mengalami penyiksaan yang menyakitkan dan tekanan yang tak habishabisnya. Siksaan ini akibat perbuatan yang ditimbulkan dari perbuatannya di
dunia.
“Jilbab-jilbab
(kaum
perempuan)
dikambinghitamkan”
kepribadian yang buruk ini disimpulkan dengan tuduhan-tuduhan bahwa kaum perempuan dijadikan objek kesalahan dan segala perilakunya selalu dikambinghitamkan, “Bicaralah dengan (menggunakan) bahasa kambing hitam!” perintah untuk berbicara pada kaum perempuan dengan bahasa kambing hitam. Tipologi kepribadian ammarah yang termaktub dalam puisi di atas adalah sebuah gambaran realitas hidup umat manusia, yang menyinggung mereka kaum perempuan (beribu jilbab) dengan perintah untuk berbicara dengan bahasa badan, bahwa relitas kebobrokan moral yang terjadi adalah benar-benar nyata dalam bahasa kehidupan ummat di era modern, di mana kebenaran dipandang sebagai angan-angan semata. Ketika manusia jauh dari kebenaran yang terjadi adalah ketidakjelasan latar belakang diri manusia, bobroknya moral akibat ulah manusia sendiri, kondisi ekonomi yang sarat dengan monopoli juga merupakan hasil dari hawa nafsu manusia yang selalu mengikuti nafsunya dan jauh dari cahaya Tuhan (nur Ilahi). Sehingga yang terjadi adalah ank-anak keluarga kurang mampu yang
kesulitan
mengenyam
bangku
pendidikan,
para
pemuda
pengangguran dan sulit mendapatkan lapangan kerja. Semuanya akibat dari nafsu keduniaan manusia (nafs al-ammarah).
68
Sementara gambaran tentang kepribadian kaum perempuan yang seolah hilang dari peradaban manusia, adalah ketika mereka telah terjerumus dalam jurang kenistaan sehingga tidaklah khayal bahwa kondisi ini disebut-sebut dalam puisi ini sebagai sebuah (teori pembangunan yang aneh dan kemajuan yang menipu), tatkala kaum perempuan telah menjauhi hakikat sebagai seorang wanita, dengan menerjang norma-norma susila yang menjadi fitrah kaum hawa. Perilaku-perilaku tersebut seperti perempuan yang hanya mengikuti syahwatnya dengan menjual dirinya hanya untuk kepuasan serta demi mencari kekayaan dengan cara menjual diri, memberikan tubuhnya kepada laki-laki hidung belang, sebatas melayani cinta palsu dan penuh dengan kecurigaan. Realiatas hidup seperti inilah yang kemudian mereka (kaum berjilbab) menjadi manusia yang selalu dikambinghitamkan dan selalu disalahkan. Maksud dari puisi di atas secara ekstrinsik menggambarkan sisi kehidupan sosial kaum perempuan yang mana di dalam Islam perilaku sehari-hari dalam masyarakat sangatlah diperhatikan terutama dalam masalah berpakaian. Dalam hal ini Muhammad Ibn Muhammad Ali berpendapat bahwa wanita-wanita Islam memainkan peranan yang tidak kalah pentingnya dari laki-laki, tetapi mereka harus tetap di dalam penutup. Dengan ini kemuliaan dan kehormatan mereka terpelihara, selamat dari fitnah, selamat dari godaan, dan kesucian hidup pun dapat dipelihara di dalam masyarakat.14 Pendidikan kepribadian Islam berperan penting dalam pembentukan kepribadian wanita-wanita Islam, karena tanpa pendidikan kepribadian seseorang seakan-akan tidak ada yang mengarahkan, membina dan mendidik sehingga tidak akan mencapai sebagai sosok manusia yang baik dan sempurna (insan kamil). Jadi dengan pendidikan kepribadian Islam manusia dapat pribadinya menjadi sosok pribadi yang bermoral,
14
Muhammad Ibn Muhammad Ali, Hijab Risalah tentang Aurat, (Jakarta: Pustaka Sufi, 2002), hlm. 12
69
berakhlak, dan berbudi pekerti luhur yang dapat menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan yang dapat merusak citra diri.
B. Tipologi Kepribadian Lawwamah Tipe kepribadian ini terjadi ketika qalbu yang masih beriman, akal maupun nafs secara bergantungan mendominasi jiwa seseorang. Jika seseorang menyadari kekurangannya dan kesalahannya, ia mencoba memperbaiki diri namun masih saja
banyak kemaksiatan yang
dilakukannya, maka ia berada dalam situasi yang tidak berkepastian (alnafs al- lawwamah). Dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa:
﴾٢﴿ ﺔ ﻣ ﺍﺲ ﺍﻟﱠﻠﻮ ﻨ ﹾﻔ ﹺﻢ ﺑﹺﺎﻟ ﺴ ِ ﻭﻟﹶﺎ ﹸﺃ ﹾﻗ ﴾١﴿ ﺔ ﻣ ﺎﻘﻴ ﻮ ﹺﻡ ﺍﹾﻟ ﻴﻢ ﹺﺑ ﺴ ِ ﻟﹶﺎ ﹸﺃ ﹾﻗ Aku bersumpah dengan hari kiamat, dan aku bersumpah dengan jiwa yang menyesali (dirinya sendiri). Q.S Al- Qiyyamah, 75:1-2 Bait puisi yang setidaknya memberikan gambaran mengenai tipologi kepribadian lawwamah adalah puisi yang berjudul Cahaya Aurat berikut: Ribuan jilbab berwajah cinta Membungkus rambut, tumbuh sampai ujung kakinya karena hakekat cahaya Allah lalah terbungkus di selubung rahasia siapa bisa menemukan cahaya? lalah suami, bukan asal manusia jika aurat dipamerkan di Koran dan di jalanan Allah mengambil kembali cahayaNya Tinggal paha mulus dan leher jenjang Tinggal bentuk pinggul dan warna buah dada Para lelaki yang memelototkan mata Hanya menemukan benda
Jika wanita bangga sebagai benda
70
Turun ke tingkat batu derajat kemakhlukannya Jika lelaki terbius oleh keayuan dunia Luntur manusianya, tinggal syahwatnya.
Puisi yang berjudul Cahaya Aurat
di atas terdiri atas empat
(empat) bait yang saling terkait satu bait dengan bait selanjutnya. Pada bait pertama terdiri atas 5 (lima larik) serta pada bait-bait selanjutnya berisi 4 (empat) larik pada setiap baitnya. Pada tiap bait menunjukkan pertalian makna yang sangat berkait antara larik satu dengan larik yang lain. Pertalian makna tersebut dapat dipahami dengan menggunakan penanda sebagai berikut. Ribuan (bentuk) jilbab (adalah) berwajah cinta (indah) Membungkus (seluruh) rambut, (yang) tumbuh sampai (dengan) ujung kakinya karena hakekat (sebenarnya) cahaya (petunjuk) Allah lalah terbungkus di selubung (tersembunyi) rahasia
Maksud bait puisi di atas adalah gambaran ribuan (bentuk) jilbab (adalah) berwajah cinta yang penuh dengan keindahan, yang membungkus (seluruh) rambut (yang) tumbuh sampai (dengan) ujung kakinya. Karena hakekat (sebenarnya) cahaya (petunjuk) Allah ialah terbungkus di selubung yang (tersembunyi) dan rahasia. Ini berarti petunjuk Allah adalah suatu rahasia yang tak dapat dilihat oleh mata (bersifat rahasia).
Siapa (yang) bisa menemukan cahaya? lalah (seorang) suami, bukan (hakekat) asal manusia jika aurat dipamerkan di (dalam) Koran dan di (sepanjang) jalanan (maka) Allah (akan) mengambil kembali cahayaNya (Allah)
71
Siapa (yang) bisa menemukan cahaya Allah, Dialah (seorang) suami, serta bukan (hakekat) asal manusia jika aurat dipamerkan di (dalam) koran dan dipamerkan di (sepanjang) jalan. (Maka) jika demikian adanya Allah akan mengambil kembali cahayaNya (cahaya/petunjuk Allah) Jika wanita (yang) bangga sebagai (sebuah) benda (maka) (ia) Turun ke tingkat (posisi) batu derajat kemakhlukannya (wanita) Jika lelaki terbius (tergoda) oleh keayuan dunia (maka) Luntur manusianya (lelaki), (lalu) (tersisa) tinggal syahwatnya (lelaki).
Maksudnya jika ada wanita (yang) bangga sebagai (sebuah) benda, (maka) (ia) turun ke tingkat (posisi) batu (lebih rendah dari asal mula penciptaanya yaitu tanah) derajat kemakhlukannya (wanita). Jika lelaki terbius (tergoda) oleh keayuan dunia, (maka) luntur manusianya (lelaki), (lalu) (tersisa) tinggal syahwatnya (lelaki).
Secara ekstrinsik puisi di atas menggambarkan betapa besar anugerah yang diberikan Allah kepada manusia baik laki-laki maupun perempuan. Betapa tidak saat Allah menciptakan keindahan bagi seorang wanita, pada kalimat “Ribuan jilbab berwajah cinta, membungkus rambut, tumbuh sampai ujung kakinya” diciptakannya jilbab sebagai wujud keindahan seorang wanita yang membungkus rambut, tumbuh sampai kepada ujung kakinya. Anugerah inilah yang kemudian menjadi ibarat bahwa petunjuk Allah tersirat di balik sesuatu yang begitu rahasia. Menurut memperlihatkan
peneliti, kehidupan
Islam jiwa
bukanlah
sebuah
seseorang/dimensi
sistem di
yang
dalamnya,
sementara mengabaikan tubuhnya, aspek eksternalnya. Sebaliknya Islam memandang manusia sebagai suatu kesatuan yang menyeluruh dan menyatakan diri sebagai totalitas kehidupannya, menunjukkan bahwa
72
muslim
haruslah
menjadi
seorang
muslim
yang
sesungguhnya,
merefleksikan ajaran-ajaran Islam, hukum-hukum Allah bagi manusia, dengan keseluruhan keberadaannya. Ini jelas meliputi penampilan dan pakaian, dasar pemikiran yang telah kita lihat adalah tampil sederhana di depan umum. Jilbab bukan merupakan sebuah aspek yang terisolasi dalam kehidupan wanita muslim, namun harus sesuai dan menguatkan sistem sosial yang Islami, khususnya konsep Islam tentang kewanitaan. Seperti halnya dengan pakaian wanita dalam peradaban barat. Demikian pula halnya dengan pakaian wanita muslim dan pandangan hidup. Jilbab bukanlah hanya sekedar baju yang menutupi tubuh, namun yang lebih penting adalah sesuatu yang harus dijaga oleh wanita muslim, yaitu jiwa dan kesadarannya setiap saat untuk berlaku sebagai tirai dari haya’ antara dirinya sendiri dengan laki-laki yang dengannya ia melakukan kontak. Dengan
begitu
ini
menyangkut
totalitas
sopan
santun
dan
kesederhanaannya dalam perilaku adab, bicara dan penampilannya. Berkaitan dengan tipologi kepribadian lawwamah ini, Allah memberikan pertanyaan “siapa bisa menemukan cahaya?”siapa bisa menemukan petunjuk Allah, maka ialah seorang suami yang mampu menjaga martabatnya sebagai suami. Suami yang bukan mengumbar aibnya beserta aib isterinya di muka umum. Jika itu dilakukan “Allah mengambil kembali cahayaNya” Allah tak segan-segan mengambil kembali hidayahNya. Gambaran ini setidaknya tersirat bahwa di dalam diri manusia tersembunyi akal dan nafsu yang silih berganti mendominasi jiwanya. Terkadang sisi positif pada jiwa manusia menuntun untuk berlaku baik dan disenangi Allah, kadang pula melakukan hal-hal negatif dengan menuruti hawa nafsunya saja sehingga mengakibatkan ia jauh dari Allah. Perintah Allah yang berhubungan dengan masalah jilbab atau busana muslimah adalah sebagai berikut : 1. Surat al-Ahzab ayat 59 :
73
ﻦ ﻣ ﻦ ﻴ ﹺﻬﻋﹶﻠ ﲔ ﺪﹺﻧ ﻳ ﲔ ﻣﹺﻨ ﺆ ﻤ ﺎ ِﺀ ﺍﹾﻟﻭﹺﻧﺴ ﺗﻚﺎﺑﻨﻭ ﻚ ﺍ ﹺﺟﺯﻭ ﻟﹶﺄ ﻲ ﹸﻗ ﹾﻞ ﻨﹺﺒﺎ ﺍﻟﻳﻬﺎﹶﺃﻳ ﺎﻴﻤﺭﺣ ﺍﻪ ﹶﻏﻔﹸﻮﺭ ﻭﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﺍﻟﱠﻠ ﻦ ﻳﺆ ﹶﺫ ﻳ ﻦ ﹶﻓﻠﹶﺎ ﺮ ﹾﻓ ﻌ ﻳ ﻰ ﹶﺃ ﹾﻥﺩﻧ ﻚ ﹶﺃ ﻟﻦ ﹶﺫ ﺟﻠﹶﺎﺑﹺﻴﹺﺒ ﹺﻬ (٥٩ : )ﺍﻻﺣﺰﺍﺏ Artinya : Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang. (Qs. Al-Ahzab : 59) Dalam ayat ini Allah SWT dalam memerintahkan kepada perempuan-perempuan untuk berjilbab secara syar’i memulainya dengan menyuruh istri-istri nabi dan putri-putrinya. Ini memberi petunjuk bahwa mereka adalah wanita-wanita panutan yang menjadi ikutan semua wanita sehingga mereka wajib berpegangan adab syar’i untuk diikuti oleh wanita-wanita lainnya, karena dakwah itu tidak akan membuahkan suatu hasil melainkan apabila da'inya memulai dari dirinya sendiri dan keluarganya. 2. Surat al-‘Araf ayat 26 :
ﺱ ﺎﻟﺒﻭ ﺎﻭﺭﹺﻳﺸ ﻢ ﺗ ﹸﻜﺁﺳﻮ ﺍﺭﹺﻱﻳﻮ ﺎﺎﺳﻟﺒ ﻢ ﻴ ﹸﻜﻋﹶﻠ ﺎﺰﹾﻟﻨ ﻧﺪ ﹶﺃ ﻡ ﹶﻗ ﺩ ﺑﻨﹺﻲ ﺀَﺍﺎﻳ : ﻭ ﹶﻥ )ﺍﻻﻋﺮﻑﻳ ﱠﺬ ﱠﻛﺮ ﻢ ﻬ ﻌﱠﻠ ﻪ ﹶﻟ ﺕ ﺍﻟﱠﻠ ﺎﻦ ﺀَﺍﻳ ﻣ ﻚ ﻟﺮ ﹶﺫ ﻴﺧ ﻚ ﻟﻯ ﹶﺫﺘ ﹾﻘﻮﺍﻟ (26 Artinya : Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi `auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat. (Qs. Al‘Araf : 26)
74
Dengan
ayat
ini
Allah
menegaskan
bahwa
Islam
menjadikan pakaian itu untuk manusia dengan maksud untuk dijadikan penutup aurat dan perhiasan diri. Dengan pakaian ini berbeda antara manusia dengan hewan. Jadi kalau ada pakaian yang tidak dapat menutupi aurat sebagai baju bagi wanita yang tidak memakai lengan/tidak dapat menutupi punggung/celana pendek bagi pria yang membuka paha, semua itu belum dinamakan pakaian menurut hukum Islam. Dalam kehidupan bermasyarakat individu tidak dapat melepaskan dirinya dari keterkaitan sosial, maka diperlukan adanya etika pergaulan antara pria dan wanita yang apabila dua jenis manusia yang berbeda itu jika bertemu dalam kondisi yang bebas mereka akan melakukan sesuatu yang melanggar norma. Dari gambaran mengenai kepribadian wanita dalam masyarakat
khususnya
dalam
berpakaian,
peneliti
sedikit
menegaskan bahwa sebenarnya isyarat Allah tersebut mengandung dua konsekwensi yang pertama adalah kewajiban berjilbab mempunyai konteks moral agama dan menghindarkan diri dari perilaku menyimpang sebagai wanita muslim, dan yang kedua makna pakaian itu sendiri di tengah-tengah masyarakat yang majemuk mempunyai korelasi budaya dan keamanan bagi seorang wanita. Jilbab merupakan cerminan wanita terhormat yang menjaga kehormatan dirinya sendiri dan juga menghormati orang lain. Wanita yang berjilbab akan terhindar dari beberapa gangguan antara lain adalah : 1.
Menjauhkan wanita dari laki-laki jahil
2.
Membedakan antara wanita yang berakhlak mulia dan yang berakhlak kurang mulia.
3.
Mencegah timbulnya fitnah birahi pada kaum laki-laki
4.
Memelihara kesucian agama.
75
Jadi dapat peneliti simpulkan bahwa perilaku wanita dalam berjilb seperti yang digambarkan dalam bait puisi yang berjudul Cahaya Aurat ini adalah bentuk-bentuk kepribadian Lawwamah seorang wanita dalam kehidupannya sehari-hari. Analisis peneliti ini sesuai dengan isi puisi yang mencontohkan betapa seorang wanita dianggap hina karena mengikuti nafsunya dan hanya menggunakan akal dalam cara berpakaian. Padahal dalam Islam telah banyak dijelaskan dan diatur secara terperinci mengenai etika-etika seorang muslimah dalam hal berpakaian khususnya dalam berjilbab. Puisi selanjutnya berjudul Merawat Rahasia. Puisi ini juga berkaitan dengan tipologi kepribadian lawwamah menurut analisis peneliti. Puisi ini sebenarnya terdiri atas (lima) bait dalam keseluruhan puisi. Namun peneliti hanya memparkan satu bait puisi pada bait pertama dengan alasan satu bait pertama ini mengandung makna keseluruhan puisi di semua baitnya. Pada bait pertama berisi 4 (empat) larik. Wanita yang memamerkan pahanya Hendaklah jangan tersinggung Kalau para lelaki memandanginya Sebab demikianlah hakekat tegur sapa
Untuk lebih mudah memahaminya, peneliti deskripsikan penanda berikut dengan maksud lebih memupermudah dalam mencari pertalian makna pada tiapan larik. Wanita yang memamerkan pahanya Hendaklah jangan (merasa) tersinggung Kalau para lelaki (akan) memandanginya (paha) Sebab (yang) demikianlah (adalah) hakekat tegur sapa
Maksud dari bait puisi di atas pada larik pertama “ wanita yang memamerkan pahanya” adalah sebuah ungkapan yang mencerminkan kepribadian wanita yang memperlihatkan/memamerkan bentuk pahanya
76
(auratnya) maka “Hendaklah jangan (merasa) tersinggung” hendaklah tidak perlu merasa tersinggung ataupun marah “Kalau para lelaki (akan) memandanginya (paha)” jika kaum laki-laki akan memandangi aurat wanita tersebut. Hal ini adalah hakikat hukum sebab akibat yang pasti terjadi dalam setiap keadaan,. Jika Allah menciptakan laki-laki dan wanita, maka dari keduanya akan timbul rasa suka. Kata.“sebab (yang) demikian (adalah) hakekat tegur sapa” merupakan hukum sebab akibat dunia ini. Petikan dari puisi di atas menggambarkan secara detail bahwa manusia (laki-laki dan perempuan) memiliki nafsu, akal dan hati. Kecenderungan kepribadian lawwamah ini dalam bait puisi sangatlah nampak. Ketika qalbu/hati wanita tidak digunakan dalam bahasa tubuh kesehariannya, maka yang terjadi adalah perilaku negatif dalam hal berpakaian yang begitu mencolok dan menimbulkan birahi bagi siapa saja yang melihat, khususnya para kaum lelaki. Ini terjadi bila wanita dalam bersikap hanya menggunakan akal dan nafsu semata, sehingga keluar dari fitrah wanita. Dampak negatif dari terbukanya aurat wanita ini kiranya semua orang sudah maklum. Dampak jangka pendek adalah menimbulkan rangsangan atau syahwat pada pria yang melihatnya, sedangkan dampak jangka panjang adalah dapat merubah tatanan nilai yang berlaku dalam masyarakat. Dalam hal masalah pakaian dan perhiasan, Islam juga memberikan beberapa prinsip tertentu bagi manusia laki-laki, seperti pantas, cukup mengikuti mode, sopan dan gagah. Semua bentuk pakaian laki-laki yang tidak sesuai dengan ketentuan itu tidak dibolehkan dalam Islam. Dan pakaian yang dapat menimbulkan kesombongan terhadap pemakainya, menjatuhkan gengsi dan merangsang, amat tidak dibolehkan lagi. Manusia harus memakai perhiasan yang memang ia perlu memakainya dan sesuai dengan dirinya, jika suatu perhiasan tidak pantas dipakai oleh seseorang,
77
maka sebaiknya ia tidak memakainya, karena hal itu akan menjatuhkan gengsinya di pandangan orang lain, apalagi ia seorang muslim.15 Sedangkan pada puisi Di Awang-Uwung ini banyak sekali menggambarkan tipologi kepribadian Lawwamah yang sangat beragam. Karena puisi ini membahaskan dengan gamblang kepribadian umat manusia dari berbagai sudut pandang. Singkat kata dapat dipilah mengenai sisi negatif ataupun positif perilaku seseorang dalam puisi ini dan unsurunsur yang mengaitkan antara nafsu-akal-hati pada diri manusia. Lihatlah jilbab-jilbab itu. Ada yang nekad hendak menguak kabut sejarah. Ada yang hanya sibuk berdoa saja. Ada yang tiap hari berunding bagaimana membelah tembok di hadapannya. Ada yang berjam-jam merenungkan warna dan model jilbab mana yang paling tampak ceria dan trendy. Ada yang berduyun-duyun menyerbu wilayah-wilayah gelap yang disembunyikan oleh generasi tua mereka. Ada yang sekedar bergaya. Ada yang mengepalkan tangan dan seperti hendak memberontak. Ada yang menghabiskan waktu untuk bersenda gurau. Ada yang tak menoleh ke kiri ke kanan karena terlalu erat mendekap pinggang kekasih-nya di dalam kendaraan. Lihatlah, apakah kau tahu mereka ini generasi jilbab dari jaman apa? Untuk mempermudah pemahaman berikut peneliti deskripsikan sebagai berikut : Lihatlah (kumpulan) jilbab-jilbab (kaum wanita) itu. Ada yang nekad hendak (ingin) menguak kabut (buram) sejarah. Ada yang hanya sibuk (melakukan) berdoa saja. Ada yang (se) tiap hari berunding bagaiamana (cara) membelah tembok (yang ada) di hadapannya. Ada yang berjam-jam merenungkan (tentang) warna dan model jilbab mana yang paling tampak ceria dan trendy. Ada yang berduyun-duyun menyerbu 15
Mammudah Abdalati, Islam Suatu Kepastian, (Jakarta: Media Da’wah,1983), hlm. 241
78
wilayah-wilayah gelap yang disembunyikan oleh generasi tua mereka. Ada yang (hanya) sekedar bergaya. Ada yang mengepalkan tangan dan seperti hendak memberontak. Ada yang menghabiskan waktu untuk bersenda gurau. Ada yang tak menoleh ke kiri (atau) ke kanan karena terlalu erat mendekap pinggang kekasih-nya di dalam kendaraan. Lihatlah, apakah kau tahu mereka ini generasi jilbab dari jaman apa? Bait puisi di atas dapat difahami sebagaimana kata kunci pada larik pertama, “Lihatlah (kumpulan) jilbab-jilbab (kaum wanita) itu” mengisyaratkan pada tema wanita dengan segala tingkah lakunya “di sana” adalah suatu tempat yang entah di bumi mana, tapi gambaran ini mencakup secara umum kondisi masyarakat tertentu. “Ada yang nekad hendak (ingin) menguak kabut (buram) sejarah” pada kondisi pertama terlihat kaum wanita yang dengan semangat ingin menguak kabut sejarah. Maksudnya kurang lebih tentang wanita yang dengan segala kemampuan terbatas berambisi melakukan pekerjaan yang tak semestinya dilakukan oleh wanita. Serta pada larik berikutnya “Ada yang hanya sibuk (melakukan) berdoa saja. Ada yang (se) tiap hari berunding bagaiamana (cara) membelah tembok (yang ada) di hadapannya” Sebuah isyarat lain tentang perilaku wanita yang memang taat beragama. Pada larik, “Ada yang hanya sibuk (melakukan) berdoa saja” merupakan wujud kepatuhan seorang wanita. “Ada yang (se) tiap hari berunding bagaiamana (cara) membelah tembok (yang ada) di hadapannya” maksudnya kurang lebih adalah bagaimana seorang wanita yang ingin keluar dari derajad kemakhlukan/fitrahnya. Berkaitan dengan pemahaman larik di atas secara ekstrinsik Bakr bin Abdullah Abu Zaid menuliskan bahwa jika seorang wanita berada di dalam rumahnya, maka dinding rumahnya bisa dijadikan hijab baginya dari lelaki asing yang masuk ke dalam rumahnya. Jika ia berada di luar
79
rumahnya, maka ia harus menutup seluruh jasadnya dari lelaki asing dengan kain jilbab dan kerudungnya.16 Dari pendapat tersebut peneliti sedikit menambahkan bahwasanya “tembok di hadapannya” berarti “hijab” yang mampu menyembunyikan rahasia wanita terhadap para lelaki asing (bukan mahramnya) yang ingin masuk ke dalam rumahnya. Namun di sisi yang lain ada juga wanita yang hanya memikirkan trend dan warna jilbab apa yang cocok baginya, pada larik “Ada yang berjam-jam merenungkan (tentang) warna dan model jilbab mana yang paling tampak ceria dan trendy”. Jilbab merupakan busana muslimah yang digunakan wanita untuk menutupi keindahan bentuk tubuh wanita. Mengenai model jilbab atau busana muslimah tidak ditentukan secara terinci. Mode adalah usaha yang bertujuan untuk menciptakan dan memberi bentuk baru terhadap pakaian wanita agar dapat sesuai dengan selera-selera pemakainya sebagai warga masyarakat yang berkebudayaan modern, yang dikerjakan oleh ahli-ahlinya yang telah dipersiapkan dan dididik dalam lapangan itu sebelumnya. Namun pada realitas kehidupan wanita zaman sekarang kebanyakan wanita hanya memmentingkan mode ataupun trend jilbab semata tanpa memperhatikan madharat yang muncul darinya. Sebuah kepribadian muslim yang teramat memprihatinkan dan hanya mengikuti nafsu semata. Pada sisi lain digambarkan mengenai symbol pribadi wanita yang banyak menjajakan tubuhnya di warung-warung gelap/warung remangremang yang di zaman sekarang lebih dikenal dengan tempat-tempat prostitusi. Tepatnya pada larik “Ada yang berduyun-duyun menyerbu wilayah-wilayah gelap yang disembunyikan oleh generasi tua mereka” sebuah bahasa ungkap yang cukup dalam menggambarkan tentang suatu tempat yang disembunyikan oleh generasi tua mereka. Dalam bahsa puisi tempat-tempat seperti itu sudah lebih dahulu ada sebelum mereka lahir.
16
Bakr bin Abdullah Abu Zaid, Menjaga Kesucian Wanita Muslimah, (Rembang: Pustaka Anisa, 2004), hlm. 35
80
“Ada yang tak menoleh ke kiri (atau) ke kanan karena terlalu erat mendekap pinggang kekasih-nya di dalam kendaraan”. Suatu keadaan di mana sangat gambalang digambarkan tentang kepribadian wanita yang hanya mengukiti hawa nafsunya. Fragmen yang dimunculakan dalam larik puisi di atas adalah ketika wanita tak lagi menghiraukan aturan-aturan di masyarakat serta norma-norma agama, yang terjadi adalah kebobrokan moral generasi muda, terutama para kaum wanita. Kondisi yang demikian menurut hemat peneliti, terjadinya banyak kasus yang di masyarakat kita perilaku-perilaku wanita yang hanya mengikuti perkembangan zaman dalam berpenampilan mengakibatkan banyak ancaman bagi dirinya sendiri dan masyarakat. Sementara Hasan Langgulung menyebut beberapa alasan yang mengakibatkan adanya keharusan bagi wanita untuk memakai pakaian tertutup alasan pertama antara lain adalah alasan filosofis yang berpusat pada kecenderungan ke arah kerahiban dan perjuangan melawan kenikmatan dalam rangka melawan nafsu manusiawi, namun yang pasti ditetapkan oleh agama Islam bentuk pakaian tertutup, baik tertutup secara keseluruhan maupun sebagian. Alasan yang kedua memakai pakaian tertutup adalah demi keamanan. Alasan ketiga penyebab lahirnya pakaian tertutup adalah karena untuk menghalangi wanita keluar rumah adalah alasan ekonomi.17 Pemakai jilbab dengan cara dan model jilbab yang dipakai dapat dicakup oleh ancaman di atas, jika niat dan tujuan memilih mode atau cara memakainya mengundang perhatian dan popularitas. Di sisi lain, perlu dicatat bahwa peringatan di atas bukan berarti seseorang dilarang memakai pakaian yang bersih dan indah. Seorang sahabat Nabi SAW bertanya bahwa, “Bila ada seseorang yang senang pakaiannya indah, alas kakinya indah, apakah itu termasuk kesombongan ?” Nabi SAW menjawab, “ sesungguhnya 17
Allah
maha
indah
(dan)
menyenangi
keindahan.
Hasan Langgulung, Teori-teori Kesehatan Mental, (Jakarta: Pustaka Al-Hurra, 1986), hlm. 101-102
81
Keangkuhan adalah menolak yang haq dan melecehkan manusia” (HR. AtTirmidzi) antara lain melalui pakaian yang dipakainya. Itu semua, selama tidak disertai dengan rasa angkuh, berlebihan, atau melanggar norma agama. Jadi dapat disimpulkan bahwa pada puisi awang-uwung di atas dijelaskan tentang perilaku wanita di berbagai sudut kehidupan. Jiwa wanita yang lebih mendominasi akal dan nafsu semata, sehingga akibatnya terjadi satu bentuk sikap yang keluar dari norma agama serta norma yang berlaku di masyarakat, lebih-lebih merugikan diri sendiri. C. Tipologi Kepribadian Mut}ma’innah Tipe kepribadian ini dicapai seseorang bila qalbunya yang sehat (qalbun salim) yang berisi keimanan yang aktif mendominasi jiwa seseorang; akal dalam keadaan mendukung qalbu, dan nafsu dikendalikan oleh qalbu. Ia adalah gambaran jiwa yang telah menyatu dengan Allah SWT, dapat mengetahui, mengamalkan, menghayati perbuatan yang mendekatkan diri kepada Allah. Dikarenakan potensi positif manusia dan ditambah bahwa aksi-aksi manusia di dunia ini positif, maka jiwa itu berada dalam keadaan yang tenang (al- mut}ma’innah). Al- Qur’an menjelaskan bahwa:
﴾٢٨﴿ ﻴ ﹰﺔﺿ ﺮ ﻣ ﻴ ﹰﺔﺿ ﺍﻚ ﺭ ﺑﺭ ﻲ ﹺﺇﻟﹶﻰﺭ ﹺﺟﻌ ﴾ ﺍ٢٧﴿ ﻨ ﹸﺔﺌﻤ ﻤ ﹾﻄ ﺲ ﺍﹾﻟ ﻨ ﹾﻔﺎ ﺍﻟﺘﻬﻳﺎ ﹶﺃﻳ ﴾٣٠﴿ ﻲﻨﺘﺟ ﻲﺧﻠ ﺩ ﺍ﴾ ﻭ٢٩﴿ ﻱﺎﺩﻋﺒ ﻲﻲ ﻓﺧﻠ ﺩ ﻓﹶﺎ Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi di ridhaiNya. Maka masuklah kedalam jamaah hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku. (Q.S Al- Fajr, 89:27-30) Bait puisi yang berjudul Putih, Putih, Putih ini sedikit banyak menggambarkan betapa mulianya kepribadian mut}ma’innah di sisi Allah Sesuai dengan yang di firmankan Allah SWT di atas. Puisi ini terdiri atas 37 larik yang terkumpul dalam satu bait. Di antara larik satu dengan yang lain saling terkait dalam penggalian maknanya.
82
Meratap bagai bayi Terkapar bagai si tua renta Di padang Mahsyar Di padang penantian Di depan pintu gerbang janji penantian Saksikan beribu-ribu jilbab Hai! Bermilyar-milyar jilbab! Samudera putih Lautan cinta kasih Gelombang sejarah Pengembaraan amat panjang Di padang Mahsyar Menjelang hari perhitungan Seribu galaksi Hamparan jiwa suci Bersujud Memanggil Allah, satu-satunya nama Bersujud Putih, putih, putih Bersujud Menyeru belaian tangan kekasih Bersujud Dan alam raya Jagat segala jagat Bintang-bintang dan ruang kosong Mendengar panggilan itu Dengan telinga ilmu seratus abad: - Wahai jiwa bening! wahai mut}ma’innah Kembalikan kepada Tuhanmu Dengan rela dan direlakan Masuklah ke pihakKu Masukilah sorgaKu Wahai jiwa, wahai yang telah jiwa! Wahai telaga Yang hening Hingga tiada! Untuk lebih mudah memahami puisi di atas, peneliti deskripsikan penanda untuk memahami pertalian maknanya sebagai berikut: Meratap bagai bayi (yang suci) Terkapar (tertidur) bagai (seorang) si tua renta Di (dalam) padang Mahsyar Di padang penantian
83
Di depan pintu gerbang janji penantian Saksikan beribu-ribu jilbab Hai! Bermilyar-milyar jilbab! Samudera (berwarna) putih Lautan cinta (dan) kasih Gelombang sejarah Pengembaraan (yang) amat panjang Di (dalam) padang Mahsyar Menjelang hari perhitungan Seribu galaksi Hamparan jiwa (yang) suci Bersujud Memanggil (nama) Allah, (Ialah) satu-satunya nama Bersujud Putih, putih, putih Bersujud Menyeru (dengan) belaian tangan kekasih Bersujud Dan alam raya Jagat segala jagat Bintang-bintang dan ruang kosong Mendengar panggilan itu Dengan telinga ilmu seratus abad: -
Wahai jiwa (jiwa) bening!
Wahai (jiwa) mut}ma’innah Kembalikan (lah) kepada Tuhanmu Dengan (hati) rela dan direlakan Masuklah ke (dalam) pihakKu Masukilah sorgaKu Wahai jiwa, wahai yang telah jiwa! Wahai telaga
84
Yang hening Hingga tiada! Larik pertama diawali dengan sebuah perumpamaan “Meratap bagai bayi, terkapar bagai si tua renta” adalah bentuk ratapan seorang hamba yang (dalam perumpamaannya) seperti bayi. Ratapan itru merupakan bentuk penghambaan kepada sang kholiq sang pencipta jagad raya.“Di (dalam) padang Mahsyar, di padang penantian di depan pintu gerbang janji penantian, saksikan beribu-ribu jilbab” merupakan gambaran tentang kehidupan setelah hari kiamat karena menyebutkan padhang mahsyar yang merupakan suatu tempat dikumpulkannya manusia setelah kiamat. Pada kalimat “saksikan beribu-ribu jilbab” ini adalah sebuah perintah di mana di padang mahsyar Allah SWT mengumpulkan mereka kaum berjilbab. Pada larik, “Hamparan jiwa (yang) bersujud,
suci,
Memanggil (nama) Allah, (Ialah) satu-satunya nama”
disebutkan kata “jiwa suci” yang berarti jiwa yang putih, dan terhindar dari dosa-dosa besar. Jiwa suci ini setidaknya merujuk pada “qalbun salim” atau hati yang selamat dari dosa. Jiwa ini selanjutnya disebut sebagai Al nafs al Mut}ma’innah (jiwa yang tenang/hening). “Bersujud” berarti jiwa tersebut melakukan sujud dengan menyerahkan jiwanya kepada Allah SWT, “Putih, putih, putih” merujuk pada beribu-ribu jilbab yang mempunyai jiwa mut}ma’innah dan suci “Bersujud” melakukan sujud kepada Allah SWT “Menyeru (dengan) belaian tangan kekasih” melafldz seruan dengan kasih sayang Allah yang diberikan kepadanya. Kemudian dengan sujud dari jiwa yang suci ini mengisyaratkan pada panggilan yang didengar oleh Allah SWT dan Allah menjawab sujud para hamba yang beriman tersebut serta menyeru melalui kalimat “Wahai jiwa (jiwa) bening! “wahai (jiwa) mut}ma’innah”” isyarat panggilan kepada setiap jiwa yang terbebaskan dari segala dosa semasa hidupnya, “Kembalikan (lah) kepada Tuhanmu Dengan (hati) rela dan direlakan, masuklah ke (dalam)pihakKu, masukilah sorgaKu, wahai jiwa,wahai yang telah jiwa! wahai telaga Yang hening, hingga tiada!”
85
”Bait puisi
ini sesuai dengan ayat Al-qur’an tentang nafs
Mut}ma’innah yaitu:
ﻴ ﹰﺔﺿ ﺮ ﻣ ﻴ ﹰﺔﺿ ﺍﻚ ﺭ ﺑﺭ ﻲ ﹺﺇﻟﹶﻰﺭ ﹺﺟﻌ ﴾ ﺍ٢٧﴿ ﻨ ﹸﺔﺌﻤ ﻤ ﹾﻄ ﺲ ﺍﹾﻟ ﻨ ﹾﻔﺎ ﺍﻟﺘﻬﻳﺎ ﹶﺃﻳ ﴾٣٠﴿ ﻲﻨﺘﺟ ﻲﺧﻠ ﺩ ﺍ﴾ ﻭ٢٩﴿ ﻱﺎﺩﻋﺒ ﻲﻲ ﻓﺧﻠ ﺩ ﴾ ﻓﹶﺎ٢٨﴿ Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi di ridhaiNya. Maka masuklah kedalam jamaah hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku. (Q.S Al- Fajr, 89:27-30) Ayat di atas mempunyai maksud tentang panggilan Allah kepada setiap jiwa yang suci, panggilan untuk kembali kepada Allah dengan membawa jiwa yang suci dan diridhai, artinya setelah manusia menjalani kehidupan di dunia dengan segala aturan Allah yang tertulis dalam kitab suci Al-Qur’an, maka di kehidupan selanjutnya (kehidupan setelah mati) Allah SWT telah mempersilahkan mereka ke dalam golongan kekasih Allah yaitu golongan penghuni surga. Golongan-golongan ini adalah mereka yang selama hidup di dunia mempunyai hati yang selamat (Qalbun salim) dengan selalu menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya. Golongan orang yang dalam bahasa puisi “jiwa yang telah jiwa” serta “jiwa telaga” yaitu jiwa yang telah benar-benar menjiwai dan menyatu dengan Allah dan ibarat sebuah telaga yang bening dan suci. Selanjutnya
pada
puisi
yang
berjudul
Penyangga
‘Arsy
memaparkan betapa mulianya ribuan jilbab (kaum wanita) di mata Allah SWT, karena disebut-sebut sebagai barisan ummat yang selalu terjaga dari tidur. Beribu jilbab itu tidak lain adalah mereka (kaum berjilbab) yang selalu mengedepankan nafs mut}ma’innahnya. Berikut bait puisi yang berjudul Penyangga ‘Arsy : O, beribu jilbab! O, lautan! Bergerak ke cakrawala Lautan penyangga ‘Arsy Beribu jilbab perawat peradaban
86
Barisan ummat terjaga dari tidur Pergi berduyun memasuki diri sendiri Lautan jilbab Bersemayam di jagat mut}ma’innah Bergerak di sorga iman, belajar menyapu dusta Biarkan air mata mengucur Tapi jangan menangis Duka membelit-belit Tapi kalian tak bersedih Kuman apa yang kalian sandang Dari tangan sejarah? Dari abad yang tak kenal diri sendiri? Tangan kalian mengepal Memukul-mukul dada Amarah kalian menggumpal Namun jiwa lembut bagai ketiadaan O, lautan jilbab Bergerak ke janji Tuhan Dengan mulut bisu mengajarkan keabadian. Puisi tersebut terdiri atas 10 (sepuluh) bait dengan jumlah larik yang sangat sedikit, yaitu rata-rata dua larik dalam tiap baitnya. Untuk lebih memudahkan pemahaman, peneliti deskripsikan sebagai berikut: O, (golongan) beribu jilbab! O, (seperti) lautan! Bergerak ke (atas) cakrawala
Barisan ummat (yang) terjaga dari tidur (nya) Pergi berduyun (dan) memasuki diri sendiri
Lautan jilbab Bersemayam di (dalam) jagat mut}ma’innah
87
Bergerak di sorga iman, belajar menyapu dusta
Biarkan air mata (saja) mengucur Tapi jangan (lah) menangis
Duka (yang) membelit-belit Tapi kalian (beribu jilbab) tak bersedih
Kuman apa yang kalian sandang Dari tangan sejarah? Dari abad yang tak (pernah) kenal diri sendiri?
Tangan kalian mengepal Memukul-mukul dada
Amarah kalian menggumpal Namun jiwa (tetap) lembut bagai (kan suatu) ketiadaan
O, lautan jilbab Bergerak ke (dalam) janji Tuhan Dengan mulut (yang) bisu (lalu) mengajarkan (tentang) keabadian.
Maksud puisi di atas adalah alangkah mulianya para kaum berjilbab (kaum wanita) yang mempunyai jiwa mut}ma’innah, pada petikan kata, “O, beribu jilbab!, O, lautan!, Bergerak ke cakrawala” sebuah kekaguman yang dinyatakan dalam bentuk kalimat terbang ke atas cakrawala yang teramat tinggi. Ini bisa pula berarti derajat yang tinggi. Selanjutnya pujian-pujian itu berlanjut pada larik “Lautan penyangga ‘Arsy, beribu jilbab perawat peradaban” maksudnya ‘Arsy merupakan tempat yang paling tinggi dan ribuan jilbab ini menjadi penghuni yang
88
merawat peradaban. Pada petikan kata, “Lautan jilbab, bersemayam di jagat mut}ma’innah, bergerak di sorga iman, belajar menyapu dusta” mempunyai maksud lautan jilab ini adalah golongan wanita-wanita yang berjiwa mut}ma’innah serta selalu menjaga keimanan kepada Allah dan selalu meninggalkan perbuatan buruk. Bahkan di saat duka menyelimuti dengan berbagi cobaan yang diberiakan Allah kepadanya, iapun tak menangisinya, karena kesabaran yang begitu luar biasa. Hal ini sesuai dengan petikan kata, “Biarkan air mata mengucur, tapi jangan menangis, duka membelit-belit, tapi kalian tak bersedih” saat Ammarah datang melingkupi diri iapun tak pernah meronta dan lebih mendekatkan diri kepada Allah. Sungguh mulia hati wanita ini seperti petikan puisi, “Amarah kalian menggumpal, namun jiwa lembut bagai ketiadaan” Maka pada penutup/bait terakhir puisi ini menggambarkan betapa nikmat Allah yang diberikan kepada hamba wanita yang selalu beriman kepadanya dengan menuju surga yang merupakan janji Allah SWT di Akhirat dengan segala keabadian “O, lautan jilbab, bergerak ke janji Tuhan, dengan mulut bisu mengajarkan keabadian”. Sebenarnya petikan puisi di atas pada sisi ekstrinsiknya juga mengajarkan tentang hikmah mencintai Allah dengan jiwa yang suci sebagai wujud keimanan kita kepada Allah SWT. Kepribadian inilah yang selanjutnya dalam teori psikologi kepribadian disebut sebagi tipologi kepribadian mut}ma’innah, karena konsep qalbun salim adalah hati yang selamat dan selalu menganggap Allah sebagai kekasihnya serta ia dikatakan telah benar-benar ihsan.
Dalam Islam, ajaran cinta kepada
Allah bukan hal yang baru karena sejak semula Rasulullah telah mengajarkan ajaran cinta tersebut. Cinta adalah perasaan yang menenangkan hati dan mendamaikan kalbu. Cinta dapat ditingkatkan mencapai puncaknya dan puncak segala cinta adalah cinta kepada yang mencinta yaitu Allah. Al Junaid berkata: "Cintalah kecenderungan hati"
89
Artinya hati seorang cenderung kepada Allah dan apa-apa yang datang dari Allah.18
18
Abu Bakar M. Kalabadzi, Ajaran-Ajaran Sufi. Terj. Nasir Yusuf, (Bandung: PT. Pustaka, 1985), hlm 150.
BAB V PENUTUP
A. Simpulan Dari penjelasan pada bab-bab sebelumnya dapat diambil kesimpulan sebagai berikut. 1. Kumpulan puisi Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib berisi tentang pesan moral yang secara implisit mengandung tema besar yaitu pendidikan kepribadian muslim (puisi didaktik). Tema ini terlihat sedemikian lugas dari tiap judul puisi serta bait-bait yang ada di dalamnya. Kepribadian yang dimaksud dalam teori psikologi Islami dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga) tipologi kepribadian meliputi: a. Tipologi Kepribadian Ammarah, b. Tipologi Kepribadian Lawwamah, dan c. Tipologi Kepribadian Mut}mainnah. Dalam isi puisi Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib ketiga tipologi kepribadian tersebut diungkapkan dengan bahasa yang sangat gamblang dan detail sehingga menjadi suatu pendidikan moral bagi peserta didik dalam rangka pembentukan karakter muslim yang mulia. 2. Dalam perspektif psikologi Islami kumpulan puisi Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib memberikan gambaran tentang kepribadian yang di dapat dikategorikan dalam tiga tipologi, meliputi: a. Tipologi Kepribadian Ammarah yang ajarannya mengarah pada sisi kepribadian kaum perempuan dengan segala bentuk perilaku berpakaian yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Hal ini menyebabkan berbagai macam kebobrokan moral di segala bidang kehidupan, merugikan diri sendiri dan masyarakat. Pendidikan kepribadian Islam berperan penting dalam pembentukan kepribadian wanita-wanita Islam, karena tanpa pendidikan kepribadian seseorang seakan-akan tidak ada yang mengarahkan, membina dan mendidik sehingga tidak akan mencapai sebagai sosok manusia yang baik dan sempurna (insan kamil). Jadi
90
91
dengan pendidikan kepribadian Islam manusia dapat pribadinya menjadi sosok pribadi yang bermoral, berakhlak, dan berbudi pekerti luhur yang dapat menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan yang dapat merusak citra diri b. Tipologi kepribadian Lawwamah yang mengarah pada perilaku seorang wanita dalam kehidupannya sehari-hari. Sesuai dengan isi puisi yang mencontohkan betapa seorang wanita dianggap hina karena mengikuti nafsu serta menggunakan akal semata dalam cara ia berpakaian. Wanita yang selalu mengumbar auratnya demi menuruti nafsu syahwatnya untuk dipamerkan kepada setiap laki-laki. Sungguh kepribadian yang teramat buruk dan keluar dari fitrah dan derajat kewanitaannya. Padahal dalam Islam telah banyak dijelaskan dan diatur secara terperinci mengenai etika-etika seorang muslimah dalam hal berpenampilan. Tipologi
kepribadian
Mut}mainnah
yang
mengarah
pada
kemulyaan hamba yang selalu menjaga hati, nafsu dan akalnya untuk menghambakan diri kepada Allah SWT. Hamba yang selalu menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya. Serta gambaran kemulyaan kaum wanita yang selalu menjaga fitrah kemakhlukannya dengan jiwa yang suci. Maka merekalah yang disebut sebagi insan kamil (manusia sempurna) dan memperoleh derajat ihsan dalam posisi makhluk Allah. Di sisi lain kepribadian Mut}mainnah dalam puisi Lautan Jilbab juga mengajarkan tentang hikmah mencintai Allah dengan jiwa yang suci sebagai wujud keimanan kita kepada Allah SWT. Dalam Islam, ajaran cinta kepada Allah bukan hal yang baru karena sejak semula Rasulullah telah mengajarkan ajaran cinta tersebut. Cinta adalah perasaan yang menenangkan hati dan mendamaikan kalbu. Cinta dapat ditingkatkan mencapai puncaknya dan puncak segala cinta adalah cinta kepada yang mencinta yaitu Allah. Al Junaid berkata: "Cintalah kecenderungan hati". Artinya hati seorang cenderung kepada Allah dan apa-apa yang datang dari Allah.
92
B. Saran-Saran Adapun saran-saran yang perlu disampaikan untuk pengembangan nilai-nilai pendidikan Islam dalam sebuah lirik lagu antara lain: 1. Pendidikan kepribadian dalam Islam dapat memanfaatkan sebuah puisi sebagai media pendidikan. Dengan cara memahami sebuah bait puisi yang sekiranya mengarah kepada kebaikan untuk lebih memperkuat karakter seseorang agar tercipta kepribadian muslim yang Islami. 2. Puisi-puisi dewasa ini banyak bertemakan religius. Hal tersebut dapat memudahkan pendidik untuk memanfaatkanya sebagai media pendidikan, untuk menambah wawasan peserta didik dan melatih peserta didik dalam mempertajam intuisinya sehingga perilaku yang dibawa selalu dikembalikan kepada hati nurani yang hakiki. 3. Para sastrawan hendaknya mampu menciptakan puisi yang hanya tentang percintaan duniawi, tetapi juga yang lebih berbobot lagi, yaitu berupa puisipuisi yang mengandung amar ma’ruf nahi mungkar, pendidikan Islam, moral dan sebagainya. C. Penutup Demikian skripsi yang penulis susun. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Karenanya dengan kerendahan hati, kritik dan saran yang membangun dari pembaca menjadi harapan penulis. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat-Nya, sehingga kita semua dapat menggapai ketenteraman lahir dan batin untuk mengabdi kepada-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, MH, A Glossary Of Literary Lamps, Holt Rinehart and Winston, New York, First Edition, 1981. Abu Zaid, Bakr bin Abdullah, Menjaga Kesucian Wanita Muslimah, Rembang: Pustaka Anisa, 2004. Afif, Emha Ainun Nadjib I, http://blog.its.ac.id/afif/archives/68, diakses Sabtu, 15-01-2011 Al-Abrasiy, Muhammad Athijah, Attarbiyah Al-Islamiyyah, Terj. Bustami A. gani, “Dasardasar Pokok Pendidikan Islam”, Jakarta: Bulan Bintang, 1970. Ali, Muhammad Ibn Muhammad, Hijab Risalah tentang Aurat, Jakarta: Pustaka Sufi, 2002. Aminuddin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2004, Cet. V. Ancok, Djamaludin dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995, Cet. 2. Arifin, Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 2003, Cet. 1. Baharudin, Aktualisasi Psikologhi Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Bastman, H.D., Intregasi Psikologi Dengan Islam, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta: 1995. Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta :Balai Pustaka, 1991. Eddy, Nyoman Thusthi, Kamus Istilah Sastra Indonesia, Yogyakarta: Nusa Indah, 1991. Effendi, S., Bimbingan Apresiasi Puisi, Jakarta: Penerbitan Nusa Indah-Percetakan Arnoldus, Cet.II 1974. Fanani, Zainuddin, Telaah Sastra, Yogyakarta: Muhammadiyah University Press, 2000. Goleman, Daniel, Emotional Intelligence, terj T Hermaya, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996. Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Yogyakarta : Andi Offset, 1994. Hartati, Netty, dkk, “Islam dan Psikologi”, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2005. Herfanda, Ahmadun Yosi, Antara Kecendikiaan dan Budaya Berkarya, Makalah untuk Symposium Pemberdayaan Ummat, ICMI Orsat Kairo, di Auditorium Fakultas Kedokteran Universitas Al-Azhar, Kairo, 19 April 2002. Jabrohim, Tahajjud Cinta Emha Ainun Nadjib Sebuah Kajian Sosiologi Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. Jalaluddin, H., Psikologi Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
Kaswardi, EM. K., Pendidikan Nilai Menghadapi Tahun 2000, Jakarta, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 1993. Langgulung, Hasan, Teori-teori Kesehatan Mental, Jakarta: Pustaka Al-Hurra, 1986. M. Kalabadzi, Abu Bakar, Ajaran-Ajaran Sufi. Terj. Nasir Yusuf, Bandung: PT. Pustaka, 1985. Majid, Abdul Aziz Abdul, Mendidik Anak Lewat Cerita, Jakarta, Mustaqim, 2003. Mammudah Abdalati, Islam Suatu Kepastian, Jakarta: Media Da’wah, 1983. Mestika, Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004, Cet. I. Minderop, Albertine, Psikologi Sastra: Karya Sastra, Metode, Teori dan Contoh Kasus, Jakarta: Yayasan pustaka Obor Indinesia, 2010. Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001. Mujib, Abdul, Kepribadian dalam Psikologi Islam, Jakarta : PT Raja Grafundo Persada, 2006. Nadjib, Emha Ainun, Demokrasi Tolol Versi Saridin, Yogyakarta: Zaituna, 1998, Cet. 4. ____________, Kiai Sudrun Gugat, Jakarta: Grafiti, 1995, Cet. 2. ____________, Lutan Jilbab, Yogyakarta: Masyarakat Puitika Indonesia-SIPRESS, 1991. ____________, Surat Kepada Kanjeng Nabi, Bandung: Mizan, Cet. II, 1997. ____________, Syair Lautan Jilbab, Yogyakarta: Sippress, 1989. ____________, Terus Mencoba Budaya Tanding, “Fenomena Emha” Halim HD; Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995. Nashori, Fuad, Potensi- Potensi Manusia Seri Psikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, Cet.II. Nashori, Fuad, Potensi-Potensi Manusia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Pradopo, Rachmat Djoko, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik dan Penerapannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, Cet. III. ____________, Kritik Sastra Indonesia Modern, Yogyakarta: Gama Media, 2002. ____________, Pengkajian Puisi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005, Cet. IX. Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2001, Cet. 22. Siberrnen, Mel, 101 Strategi Pembelajaran Aktif (Active Learning), terj. Sarjuli dan Azfat Ammar, Jakarta: Yakpendis, 2001.
Siswantoro, Metode Penelitian Sastra, Analisis Struktur Puisi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Soedijarto, Menuju Pendidikan Nasional yang Relevan dan Bermutu (Kumpulan tentang Pemikiran dan Usaha Meningkatkan Mutu dan Relevansi Pendidikan Nasional), Jakarta: Balai Pustaka, 1993. ____________, Bunga-Bunga Puisi dan Taman Sastra Kita, Yogyakarta: Duta Wacana University Press., 1993. Soenarjo, dkk, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Departemen Agama, 2003. Syukur, Fatah, Teknologi Pendidikan, Semarang : RaSAIL, 2005. Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspekif Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994, Cet.2. Teeuw, A., Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra, Jakarta Pusat: PT Dunia Pusaka Jaya, 1984, Cet. I. Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Semarang: Aneka Ilmu, 1992. W.M, Abdul Hadi, Hermeunetika, Esteika dan Religiusitas, Esai-Esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa, Yogyakarta: Matahari, 2004. Waluyo, Herman J., Drama Teori dan Pengajarannya, Yogyakarta: Hanindita Graha Widya, 2001. ____________, Pengkajian Cerita Fiksi, Solo: Universitas Sebelas Maret Press, 1994. ____________, Teori dan Apresiasi Puisi, Jakarta: Erlangga, 1997. Wellek, Rene dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995. Zaenal
Abidin, Pengertian Psikologi http://staff.undip.ac.id/psikologi/zaenal_abidin/2010/07/20/pengertianislami, diakses Sabtu, 15-01-2011
Zaidan, Abdul Razak, Kamus Istilah Sastra, Jakarta : Balai Pustaka, 2004. Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1995, Cet.II.
Islami, psikologi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Dwi Royanto
Tempat/ tanggal lahir : Wonosobo/ 17 September 1987 Alamat
: Desa Kalipuru/Rt. 03/05, Kepil, Wonosobo
Jenjang Pendidikan
:
1. SD
N Kalipuru
Lulus Tahun
1999
2. SLTP
N 02 Kepil
Lulus Tahun
2003
3. MAK
Al- Iman Purworejo
Lulus Tahun
2006
Angkatan
2006
4. IAIN Walisongo Semarang