PEMETAAN LAMA KETERGENANGAN ZONA INTERTIDAL DI PANTAI TIMUR BINTAN DESA TELUK BAKAU
Arief Herriansyah; Risandi Dwirama Putra, ST, M.Eng; Arief Pratomo, ST, M.Si.*) Jurusan Ilmu Kelautan Fakulas Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji Jl Politeknik Senggarang KM 24 Tanjungpinang 29125 - Telepon: (0771) 4500098 Email :
[email protected];
[email protected];
[email protected]
ABSTRAK Herriansyah, Arief. 2016. Pemetaan Lama Ketergenangan Zona Intertidal di Pantai Timur Bintan Desa Teluk Bakau. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Maritim Raja Ali Haji. Pembimbing I : Risandi Dwirama Putra, ST, M.Eng. Pembimbing II : Arief Pratomo, ST, M.Si. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan, menganalisa dan mengklasifikasikan zona intertidal berdasarkan data lama ketergenangan perairan di daerah Pantai Trikora Desa Teluk Bakau. Pengambilan data survey lapangan meliputi 2 data, yaitu data batimetri perairan dan kemiringan pantai. Data batimetri kemudian dikoreksi dengan nilai kedalaman transducer serta data pasang surut DISHIDROS TNI-AL 2016 stasiun Tanjung Uban. Kontur batimetri perairan diolah menggunakan Surfer untuk menghasilkan daerah batasan zona intertidal dan lama ketergenangannya yang diolah berdasarkan data tabel pasang surut DISHIDROS TNI-AL 2016 selama 1 tahun. Kelas kemiringan didapati pada daerah Pantai Trikora Desa Teluk Bakau lereng miring medominasi wilayah ini dengan persentase 50.7%. Batasan zona intertidal pada daerah Pesisir Teluk Bakau tersebut yaitu pada kedalaman 3.4 m diukur saat pasang tertinggi (Hide Astronomical Tide/HAT) dengan lama ketergenangannya pada kedalaman 0-0.5 m akan digenangi selama 8.4 hari/tahun; kedalaman 0.5-1 m tergenang selama 52 hari/tahun; kedalaman 1-1.5 m; 1.5-2 m; 2-2.5 m; dan 2.5-3 m akan mengalami masa genangan beturut selama 134 hari; 252 hari; 357 hari; dan 365 hari/tahun. Kata Kunci : Zona Intertidal, Lama Ketergenangan, Batimetri, Kemiringan, Pantai, Pasang Surut, Surfer 10, Arc GIS 10.1.
ABSTRACT Herriansyah, Arief. 2016. Mapping of Intertidal Zone Puddle Period on the East Coast Teluk Bakau Bintan. Faculty of Marine Sciences and Fisheries. Maritime University of Raja Ali Haji. Supervisor I: Risandi Dwirama Putra, ST, M.Eng. Supervisor II: Arief Pratomo, ST, M.Si. This study aims to map, analyze and classify the intertidal zone is based on puddle period data Trikora Beach area waters in the village of Teluk Bakau. Data retrieval field survey covers 2, data bathymetry and slope of the coastal waters. Bathymetry data is then corrected by the value of the depth transducer and tide data DISHIDROS-TNI AL 2016 Tanjung Uban station. Bathymetric contour
processed using Surfer to generate local restrictions and long puddle period intertidal zone are processed by a data table tidal DISHIDROS the Navy in 2016 for 1 year. Class found in the slope of Trikora Beach area Teluk Bakau angled slopes dominanted this region with the percentage of 50.7%. Limitation of the intertidal zone in the Gulf Coast area of mangrove, which is at a depth of 3.4 m measured at the highest tide (Hide Astronomical Tide / HAT) with long puddle period at a depth of 0-0.5 m will be inundated during the 8.4 days / year; depth of 0.5-1 m stagnant for 52 days / year; depth 1-1.5 m; 1.5-2 m; 2-2.5 m; and 2.5-3 m will experience a period of inundation continue for 134 days; 252 days; 357 days; 365 days / year. Keywords: Intertidal Zone, Puddle Period, Bathymetry, Tilt, Beach, Tidal, Surfer 10, Arc GIS 10.1. sebagai acuan dalam pengembangan kegiatan penelitian yang lebih lanjut.
PENDAHULUAN Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah daratan yang berbatasan dengan laut, dengan batas di daratan meliputi daerah-daerah yang tergenang air maupun yang tidak tergenang air yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang surut, arus, dan gelombang.
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari – Maret 2016. Tempat penelitian di perairan pesisir Teluk Bakau, Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Lokasi pengamatan (Gambar 4) terletak pada 1.000 LU – 1.005 LU hingga 104.035 BT – 104.040 BT.
Desa Teluk Bakau merupakan salah satu daerah di Kepulauan Riau yang ditetapkan menjadi daerah konservasi padang lamun dimana pada bagian zona intertidalnya terdapat berbagai ekosistem yang menjadi rumah bagi bermacam-macam organisme. Banyaknya faktor lingkungan maupun dari manusia ikut turut mempengaruhi keberlangsungan ekosistem tersebut, salah satunya ialah lamanya ketergenangan perairan akibat adanya pasang surut. Zona intertidal merupakan suatu kawasan di daerah pantai dimana didalamnya terdapat pengaruh pasang surut air laut secara berkala. Penelitian tentang zonasi daerah intetidal ini sangat dibutuhkan untuk keperluan penelitian dan pengetahuan terhadap keberadaan zona intertidal. Penelitian zonasi ini dilakukan dengan memetakan suatu zona intertidal atau daerah pasang surut. Dengan adanya pemetaan zona intertidal, akan didapatkan data dasar mengenai zona pasang surut dan lama ketergenangan perairan di daerah Teluk Bakau yang berguna
Gambar 1. Lokasi Penelitian Alat dan Bahan Adapun peralatan serta bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini tertera pada tabel dibawah :
2
Tabel 1. Alat dan Bahan No
Nama Alat dan Bahan Fish Finder
Deskripsi
4
Digunakan untuk keperluan survey pemeruman perairan intertidal. Global Positioning Menentukan titik koordinat/mencatat posisi dalam System (GPS) penelitian. Perahu Motor Digunakan sebagai alat transportasi dalam survey pemeruman. Tongkat Ukur Digunakan sebagai alat ukur kemiringan pantai.
5
Selang Waterpass
Diguanakan sebagai penyeimbang dalam pengukuran pantai.
6
Lembar Kerja dan alat Sebagai media pencatatan data selama survey tulis pemeruman.
7
Kamera
Keperluan dokumentasi.
8
ArcGIS versi (10.1)
9
Microsoft Excel 2007
Digunakan dalam pengolahan citra kemudian mendigitasi wilayah penelitian, membuat pemetaan wilayah genangan. Digunakan untuk pengolahan data.
10
Surfer versi (10)
11
Data Pasang DIHISROS
12
Citra SPOT
1 2 3
ditentukan perencanaan lajur perum pada peta lokasi. Lajur pemeruman dibuat berupa garis, dilakukan sebanyak 4 garis lajur sejajar garis pantai dengan jarak antar lajur 50 m. Pemeruman akan dilakukan mengikuti garis dengan jarak antara titik pengambilan data kedalaman perairan yaitu 25-30 m.
Digunakan untuk analisa kontur dan pembuatan kontur 3D zona intertidal. Surut Digunakan untuk meramalkan masa lama genangan pada zona intertidal. Digunakan sebagai bahan dasar dalam pemetaan.
Gambar 2. Contoh Lajur Pemeruman Dengan Metode Shallow Sonding (BIG, dimodifikasi)
Pengumpulan Data
Pengukuran Kemiringan Pantai
Data yang dikumpulkan terdiri dari 2 jenis, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang didapat dari hasil survey pemeruman dan kemiringan pantai. Sedangkan data sekunder di peroleh dari instansi terkait seperti data pasang surut dari DIHIDROS TNI-AL dan citra satelit dengan lokasi Pulau Bintan. Kemudian untuk mengolah dan menganalisis data dilakukan di Laboratorium Sistem Informasi dan Komputasi, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji.
Pengukuran kemiringan dari pantai ini bertujuan untuk mendapatkan klasifikasi dari profil pantai. Selain itu titik koordinat yang didapat akan digunakan sebagai penentu batas pasang tertinggi. Pengukuran dilakukan pada saat surut terendah.
Pengukuran Batimetri Pengambilan data pemeruman/batimetri menggunakan alat perum gema (fishfinder) secara singlebeam (pancaran tunggal). Pengukuran data kedalaman dilakukan langsung di pesisir perairan pantai Trikora Desa Teluk Bakau dengan metode Shallow Sounding menggunakan perahu motor. Sebelum melakukan pemeruman terlebih dahulu
Gambar 3. Pengukuran Kemiringan Pantai Dan gambar diatas, diketahui bahwa X merupakan jarak antara kedua tongkat ukur, Y merupakan selisih antara ketinggian tongkat ukur dari pantai (b) dan ketinggian tongkat ukur 3
pada perairan (a), serta α merupakan besarnya persentase sudut dari kemiringan pantai. Hubungan antara tiap komponen tersebut dapat dirumuskan seperti berikut ini : 𝛼=
𝑌 𝑋
O1
M2
x 100% S2
Keterangan: α : Besarnya persentase (%) kemiringan pantai (slope) Y : Selisih ketinggian yang diperoleh tongkat ukur (cm) X : Jarak antara kedua tongkat ukur (cm)
Untuk penentuan Chart datum (Z0) dalam penelitian ini dihitung menggunakan persamaan yang digunakan DISHIDROS Cilacap (Ongkosongo dan Suyarso, 1987), sebagai berikut:
Kemudian dari hasil tersebut diklasifikasikan jenis profil pantai menurut Sunarto (1991). Penentuan titik stasiun penelitian berdasarkan titik koordinat yang diambil GPS saat survey lapangan. Jarak antara masing-masing titik ialah ± 25 – 30 m.
Z0 : S0 – (1.2 x (M2 + S2 + K2)) Keterangan : S0 Z0 M2
Analisis Data Analisis Konstanta Harmonik Pasang Surut
S2 Pasang surut dianalisa menggunakan metode Least Square. Analisis menggunakan metode Least Square menghasilkan besarnya nilai komponen-komponen harmonik pasang surut air laut (S0, M2, S2, N2, K2, K1, O1, P1, MS4, dan M4), sehingga dapat dihitung nilai Formzahl untuk mengetahui tipe pasang surut. Rumus Formzahl ialah sebagai berikut : 𝐹=
K2
: Muka air rata-rata (Mean Sea Level) : Chart Datum : Amplitudo dari anak gelombang pasang surut harian ganda rata-rata yang dipengaruhi oleh bulan : Amplitudo dari anak gelombang pasang surut harian ganda rata-rata yang dipengaruhi oleh matahari. : Amplitudo dari anak gelombang pasang surut semi diurnal karena pengaruh perubahan jarak akibat lintasan bulan yang elips.
Setelah didapatkan nilai Formzahl dan chart datum, kemudian akan dicari nilai dari HAT (Highest Astronomical Tide) atau pasang tertinggi berdasarkan astronomi, MSL (Mean Sea Level) atau muka rerata air laut, dan LAT (Lowest Astronomical Tide) atau surut terendah berdasarkan astronomi. HAT ini akan dijadikan sebagai acuan dalam nilai koreksi kedalaman.
𝐾1 + 𝑂1 𝑀2 + 𝑆2
Dimana : F K1
: Amplitudo dari anak gelombang pasang surut harian tunggal yang dipengaruhi oleh deklinasi matahari : Amplitudo dari anak gelombang pasang surut harian ganda rata-rata yang dipengaruhi oleh bulan : Amplitudo dari anak gelombang pasang surut harian ganda rata-rata yang dipengaruhi oleh matahari.
: Formzahl atau konstanta pasang surut : Amplitudo dari anak gelombang pasang surut harian tunggal rata-rata yang dipengaruhi oleh deklinasi bulan dan mata hari
HAT : Z0 + (K1 + O1 + S2 + M2 + N2 + K2 + P1 + M4 + MS4) MSL : Z0 4
LAT : Z0 - (K1 + O1 + S2 + M2 + N2 + K2 + P1 + M4 + MS4)
d : Kedalaman koreksi terhadap transducer (m) B : Kedalaman air hasil sounding (m) A : Jarak transducer ke permukaan air (nilai koreksi draft transducer) (m)
Keterangan : HAT
LAT
: Highest Astronomical Tides / nilai muka air tertinggi dihitung berdasarkan astronomi. : Lowest Astronomical Tides / nilai muka air terendah dihitung berdasarkan astronomi.
Koreksi Terhadap Kedalaman Acuan Nilai acuan (datum) yang digunakan dalam penelitian ini ialah HAT (Hide Astronomical Tide). Nilai HAT akan menjadi nilai kedalaman terendah atau nilai nol (0) meter yang merupakan zona atas intertidal. HAT diperoleh dari hasil analisis konstanta harmonik pasang surut tabel DISHIDROS TNI-AL pada 1 bulan tertentu. Adapun rumus koreksi terhadap kedalaman acuan ialah sebagai berikut :
Koreksi Kedalaman Koreksi Kedalaman Alat Menurut Soeprapto (1999) dalam Simanjuntak (2012) bahwa data hasil pengukuran batimetri harus dikoreksi terhadap kedudukan permukaan air laut pada waktu pengukuran dan dilakukan koreksi terhadap jarak tenggelam transducer (draft transducer) agar diperoleh kedalaman sebenarnya. Setelah nilai koreksi transducer diperoleh maka dapat dilakukan koreksi terhadap nilai kedalaman hasil ukur dengan cara menjumlahkan nilai koreksi transducer dengan nilai kedalaman hasil ukur. Sehingga hasilnya diperoleh nilai kedalaman sebenarnya terhadap koreksi alat.
Z : d(t) + (hmax – htab (t)). Dimana : Z d(t) hmax
: Kedalaman koreksi terhadap acuan (m) : Kedalaman saat pengukuran (m) : Highest Astronomical Tides / nilai muka air tertinggi dihitung berdasarkan astronomi (m) Htab (t) : Nilai tinggi pasang surut pada tabel DISHIDROS saat pengukuran (m) Analisis Kontur Menghasilkan Peta
Kedalaman
Untuk
Pengolahan peta kedalaman dengan menggunakan software Surfer 10. Data yang dimasukkan dalam membuat peta kontur kedalaman adalah nilai koordinat dalam sistem proyeksi Universal Transverse Mercator (UTM) yaitu easting (X) dan northing (Y) serta nilai kedalaman perairan (Z).
Gambar 4. Koreksi Alat Transducer
Penentuan Zona Intertidal
Dari gambar 4 maka untuk mencari nilai kedalaman sebenarnya terhadap koreksi transducer dapat dirumuskan sebagai berikut :
Penentuan Zona Intertidal dilakukan dengan cara kontur kedalaman dibatasi sampai dengan kedalaman perairan saat HAT/mencapai pasang tertinggi saat astronomis sehingga terlihat tiap batasan zona intertidal dalam peta
d=A+B Keterangan : 5
dasar sepanjang daerah Teluk Bakau tersebut. Hal ini digunakan dalam menentukan segmentasi dari kelas-kelas kedalaman suatu perairan pada saat mengalami pasang maupun surut.
Tabel 2. Kalkulasi Lama Terhadap Kelas Kedalaman No 1 2 3 4 5
Lama Genangan Pengolahan data lama ketergenangan ini menggunakan data pasang surut dari DISHIDROS TNI AL tahun 2016 pada stasiun Tanjung Uban. Data pasang surut diolah dengan Microsoft Excel yang kemudian dibagi berdasarkan kelas-kelas kedalaman yang telah ditentukan sebelumnya. Lama ketergenangan dalam suatu kelas kedalaman dikalkulasikan berdasarkan seberapa lama air tersebut mengalami pasang maupun surut di perairan tiap kurun waktu tertentu. Rumus yang digunakan dalam menentukan kelas kedalaman ialah : Kelas Kedalaman :
Kelas Kedalaman a- b b -c c- d d -e e-f
Ketergenangan
Kalkulasi Lama Ketergena n gan a+b a+b+c a+b+c+d a+b+c+d+e a+b+c+d+e+f
HASIL DAN PEMBAHASAN Batimetri Perairan
HAT – LAT 0,5
Dimana : LAT
HAT
: Lowest Astronomical Tides / nilai muka air terendah dihitung berdasarkan astronomi : Highest Astronomical Tides / nilai muka air tertinggi dihitung berdasarkan astronomi.
Gambar 5. Jalur Survey Pemeruman Survey kedalaman perairan dilakukan pada tanggal 7-8 Maret 2016 pada perairan Pantai Trikora Desa Teluk Bakau dengan menggunakan Fishfinder dan GPS untuk mengkoordinatkan titik kedalaman suatu perairan saat penelitian dan mencatat waktu saat penelitian.
Setelah didapatkan kelas lama ketergenangan, langkah selanjutnya ialah melakukan penyortiran terhadap data tabel pasang surut DISHIDROS TNI AL dalam kurun waktu selama 1 tahun. Setiap penambahan kelas kedalaman maka nilai kelas kedalaman yang sebelumnya juga ikut ditambah, hal ini mencerminkan lama ketergenangan suatu perairan dimana bertambahnya suatu kedalaman perairan akan mebuat lama ketergenangannya pun menjadi lebih panjang. Rumus yang di gunakan ialah sebagai berikut :
Gambar 5. menunjukan peta data hasil pemeruman yang telah dilakukan. Total titik pemeruman berjumlah 616 titik dan lajur pemeruman di bagi menjadi 3 bagian. Data kedalaman yang diperoleh pada penelitian ini adalah yang telah dikoreksi oleh draft transduser, kemudian data yang terkoreksi oleh draft transduser dikoreksi kembali dengan koreksi pasang surut. 6
Kemiringan (Slope) Pantai Pengukuran kemiringan (Slope) pantai dilakukan dengan menyusuri sepanjang garis pantai pada daerah Teluk Bakau. Pengukuran dimulai pada titik 1.07865 N ; 104.6405 E hingga 1.02485 N ; 104.65447 E mengunakan GPS, tongkat skala serta selang waterpass.
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Jarak antar tiap titik pengukuran kemiringan pantai berkisar ± 25 – 30 m, hingga jumlah total pengukuran kemiringan mencapai 278 titik.
Bujur 104.6405 104.6407 104.6408 104.641 104.6411 104.6419 104.642 104.6421 104.6422 104.6424 104.6424 104.6445 104.644 104.6441 104.6442 104.6443 104.6444 104.6522 104.6524 104.6525 104.6518 104.6519 104.6518 104.6536 104.6538
y (m)
x (m)
%
Beda Tinggi (m)
2.01 1.84 1.83 1.43 0.85 2.14 2.3 2.6 2.18 2.23 2.24 1.28 1.85 2.03 2.29 2.15 2.11 2.35 2.22 1.75 1.44 1.79 2.31 1.73 2
15.23 16.38 12.85 13 15.9 15.83 17.73 17.48 14.77 14.14 13.56 14.8 12.29 11.49 13.07 12.27 13.61 11.6 10.81 9.6 7.49 10.06 7.71 11.09 11.47
9.914642 8.180708 10.35019 7.153846 2.201258 11.6235 10.15228 14.30206 13.40555 14.35644 15.04425 5.27027 10.98454 13.31593 15.22571 15.07742 13.29904 19.39655 19.61147 15.10417 12.55007 12.82306 23.47601 11.09107 13.07759
0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.3 0.5 0.1 0.2 0.2 0.2 0.5 0.5 0.5 0.3 0.3 0.3 0.1 0.1 0.3 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5
Kemiringan
Lintang 1.07865 1.07848 1.07829 1.0781 1.0779 1.07611 1.07593 1.07571 1.07552 1.07531 1.0751 1.07252 1.07209 1.07187 1.07165 1.07146 1.07128 1.06198 1.06181 1.06169 1.05959 1.05984 1.05931 1.04927 1.04911
Kelas Kemiringan Lereng Miring Lereng Miring Lereng Miring Lereng Landai Lereng Datar Lereng Miring Lereng Miring Lereng Sangat Miring Lereng Miring Lereng Sangat Miring Lereng Sangat Miring Lereng Landai Lereng Miring Lereng Miring Lereng Sangat Miring Lereng Sangat Miring Lereng Miring Lereng Sangat Miring Lereng Sangat Miring Lereng Sangat Miring Lereng Miring Lereng Miring Lereng Curam Lereng Miring Lereng Miring
Sumber : Data Primer (2016)
Tujuan dari pengukuran kemiringan pantai ini ialah untuk mendapatkan klasifikasi kemiringan pantai daerah Teluk Bakau serta mendapatan titik batas antara pasang tinggi di sepanjang pantai secara aktual. Berikut ini merupakan tabel sebagai gambaran contoh hasil pengukuran kemiringan pantai.
Gambar 7. Persentase Total Kemiringan Pantai Trikora Daerah Teluk Bakau
Klasifikasi kemiringan pantai yang digunakan merupakan klasifikasi menurut Sunarto (1991) yang membaginya dalam bentuk persentase, dimana : 0.0-2.9 % 3.-7.9 % 8.0-13.9 % 14.0-20.9 %
: Lereng Curam : Lereng Sangat Curam : Lereng Terjal
Tabel 3. Pengukuran Kemiringan Pantai
Gambar 6. Peta Jalur Pengukuran Kemiringan Pantai Desa Teluk Bakau
21.0-55.9 % 56.0-140.9 % >140.9 %
Berdasarkan perhitungan, untuk nilai kemiringan terendah yaitu 2.201% dengan kelas kemiringan lereng datar. Sedangkan untuk nilai kemiringan tertinggi dengan persentase 23.476% dan termasuk kedalam kelas kemiringan lereng curam. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa
: Lereng Datar : Lereng Landai : Lereng Miring : Lereng Sangat Miring 7
kelerengan yang medominasi di wilayah Pantai Trikora Desa Teluk Bakau ialah lereng miring. Analisis Pasang Surut Untuk analisis pasang surut, data yang digunakan dalam penelitian ini ialah data tabel pasang surut DISHIDROS TNI AL tahun 2016 bulan Maret. Data yang digunakan merupakan data tabel pasang surut stasiun Tanjung Uban. Data pasang surut kemudian analisa dengan metode Least Square untuk didapatkan nilai komponen harmonik pasang surut.
Gambar 8. Pola Pasang Surut Dalam penelitian ini hasil analisis yang digunakan sebagai acuan datum dari ketinggian pasang surut, yaitu HAT (Highest Astronomical Tide). Nilai HAT yang didapat dari hasil analisis ialah 3.4 m, artinya dalam kurun waktu tertentu pasang tertinggi dapat mencapai ketinggian 3.4 m.
Tabel 4. Hasil Analisis Komponen Harmonik Pasang Surut
Koreksi Kedalaman Perairan Tabel 5. Koreksi Kedalaman Perairan
Sumber : Data Primer (2016) Nilai amplitudo yang telah didapatkan akan digunakan untuk menentukan tipe pasang surut dengan menggunakan rumus Formzahl. Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan nilai bilangan Formzahl sebesar 0.59. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tipe pasang surut pada stasiun Tanjung Uban yang mewakili perairan Bintan termasuk dalam mixed semi-diurnal ataupun pasang campuran condong ke ganda. Pasang surut campuran condong ke ganda berarti dalam 1 hari terjadi 2 kali pasang dan 2 kali surut, namun tinggi antara pasang surut yang satu berbeda dengan yang lainnya atau yang kedua.
No
Bujur
Lintang
Kedalaman (m)
d(t) (m)
Hmax (m)
Htab(t) (M)
Z (M)
1
104.64468
1.08067
2.9
3.4
3.4
1.200
5.60
2
104.64464
1.08038
4.7
5.2
3.4
1.200
7.40
3
104.64467
1.08011
4.9
5.4
3.4
1.200
7.60
4
104.64469
1.0799
4.5
5
3.4
1.200
7.20
5
104.64489
1.07954
4.3
4.8
3.4
1.200
7.00
6
104.64504
1.07925
3.7
4.2
3.4
1.200
6.40
7
104.64529
1.07901
3.1
3.6
3.4
1.200
5.80
8
104.64552
1.07885
2.9
3.4
3.4
1.200
5.60
9
104.64574
1.07867
4.2
4.7
3.4
1.200
6.90
10
104.6459
1.07841
4.6
5.1
3.4
1.200
7.30
11
104.64604
1.07815
7.4
7.9
3.4
1.200
10.10
12
104.64611
1.0779
9
9.5
3.4
1.200
11.70
13
104.64607
1.07755
9
9.5
3.4
1.200
11.70
14
104.64603
1.07716
8.3
8.8
3.4
1.200
11.00
15
104.64616
1.0768
3.3
3.8
3.4
1.200
6.00
16
104.6463
1.07657
3.4
3.9
3.4
1.200
6.10
17
104.64645
1.07636
3.4
3.9
3.4
1.200
6.10
18
104.64652
1.07583
2.4
2.9
3.4
1.200
5.10
19
104.64664
1.07547
2.7
3.2
3.4
1.200
5.40
20
104.64671
1.0751
2.6
3.1
3.4
1.200
5.30
21
104.64662
1.07478
3
3.5
3.4
1.200
5.70
22
104.64654
1.07447
4.8
5.3
3.4
1.200
7.50
23
104.64662
1.07408
4.9
5.4
3.4
1.200
7.60
24
104.64675
1.07376
4.9
5.4
3.4
1.200
7.60
25
104.64688
1.07351
4.8
5.3
3.4
1.200
7.50
Sumber : Data Primer (2016) Data kedalaman yang didapatkan saat pemeruman kemudian terlebih dahulu dikoreksi dengan kedalaman draft tranducer dan setelah itu akan dilanjutkan dengan koreksi dari pasang surut yang sebelumnya sudah dianalisa. Dengan 8
adanya koreksi ini akan didapatkan data kedalaman yang aktual/data fiks pemeruman. Untuk nilai koreksi draft tranducer diukur saat memasang alat tersebut pada saat survey pemeruman dilakukan dan didapati kedalaman draft tranducer sepanjang 0.5 m dari permukaan perairan. Analisa Kontur Kedalaman Data fiks pemeruman yang telah dikoreksi kemudian diolah untuk diinterpolasi dengan bantuan perangkat lunak Surfer 10. Data yang di input kemudian di interpolasikan dengan metode Krigging.
Gambar 10. Peta Batimetri Daerah Teluk Bakau Luas wilayah area pemeruman mencapai 3.8 km2, dan tampak bahwa kedalaman perairan pada wilayah Teluk Bakau sangatlah bervariasi, kelas kedalaman terbagi kedalam 24 kelas dengan kedalamam mencapai 11.5 m. Pembuatan Peta Zona Intertidal dan Peta Lama Ketergenangan Pantai Trikora Desa Teluk Bakau
Gambar 9. Hasil Awal Interpolator Krigging Pada Surfer 10
Dalam penentuan zona intertidal pada daerah Pantai Trikora di Desa Teluk Bakau didasarkan oleh hasil analisa komponen harmonik pasang surut dari tabel DISHIDROS tahun 2016. Hasil analisa menunjukkan bahwa HAT (Highest Asronomical Tide) atau pasang tertinggi dapat mencapai kedalaman 3.4 m. kedalaman inilah yang dijadikan sebagai acuan dalam penentuan zona intertidal. Sehingga batas zona intertidal pada daerah Pantai Trikora di desa Teluk Bakau berada pada kedalaman 3.4 m, sebagaimana yang dapat dilihat pada peta zona intertidal (gambar 11).
Gambar diatas merupakan hasil dari proses interpolator titik fiks dari pemeruman dengan menggunakan metode Krigging. Setelah itu, hasil tersebut akan di export kedalam bentuk shapefile (shp) dan kemudian akan diolah lebih lanjut menggunakan perangkat lunak ArcGIS 10.1. Pembuatan Peta Batimetri Pantai Trikora Desa Teluk Bakau Data fiks pemeruman yang telah diinterpolasi kemudian diolah lebih lanjut mengunakan ArcGIS 10.1. Untuk pembuatan peta batimetri, wilayah analisis yang dihasilkan dari interpolasi dengan metode Krigging kemudian dibatasi dalam wilayah cakupan saat pengambilan data batimetri dilapangan.
9
Tabel 6. Prediksi Lama Ketergenangan Zona Intetidal Daerah Teluk Bakau dalam Tahun 2016 No
Kelas Kedalaman (m)
Prediksi Lama Ketergenangan Bulan
Hari
Jam
1
0-0.5
0.3
8.4
202
2
0.6-1
1.7
52
1245
3
1.1-1.5
4.4
134
3213
4
1.6-2
8.4
252
6054
5
2.1-2.5
11.9
357
8565
6
2.6-3
12
366
8784
Sumber : Data Primer (2016) Data prediksi lama ketergenangan (tabel 6) yang telah didapat kemudian di input kedalam peta zona intertidal. Pembuatan peta lama ketergenangan zona intertidal Teluk Bakau ini diproyeksikan dengan skala 1 : 25.000. Berikut ini merupakan peta lama ketergenangan zona intertidal daerah Teluk Bakau.
Gambar 11. Peta Zona Intertidal Daerah Teluk Bakau Data lama ketergenangan diolah dari data tabel pasang surut DISHIDROS TNI AL tahun 2016 mulai dari bulan Januari sampai Desember sebagai data estimasi lama ketergenangan dalam 1 tahun. Data tabel pasang surut DISHIDROS TNI AL diolah dengan menggunakan Microsoft Excel.
Gambar 12. Peta Lama Ketergenangan Zona Intertidal Daerah Teluk Bakau Tahun 2016 10
menentukan komunitas dan biota yang berasosiasi dengan sistem ekologi di daerah pasang surut. Mangrove Watson (1987) dalam Brown (2006) menjelaskan kelas pertumbuhan mangrove untuk wilayah Indonesia dapat di bagi menjadi beberapa kelas, sebagaimana berikut ini : Gambar 13. Grafik Prediksi Lama Ketergenangan Zona Intertidal Daerah Teluk Bakau Tahun 2016
Peta lama ketergenangan zona intertidal (gambar 13) dan grafik diatas menunjukkan prediksi lama genangan selama 1 tahun. dalam satuan waktu hari (1 Tahun : 365 Hari), terlihat dari peta tersebut lama ketergenangan pada kedalaman 0.0-0.5 m merupakan wilayah yang digenangi perairan selama 8.4 hari dalam setahun. Selanjutnya pada kedalaman 0.6-1 m kawasan tersebut akan tergenang selama 52 hari. Pada kedalaman 1.1-1.5 m akan digenangi selama 134 hari, selanjutnya pada kedalaman 1.6-2 m; 2.1-2.5 m; dan 2.6-3 m merupakan kawasan yang tergenang selama 252 hari; 357 hari; dan 365 hari atau tergenang selama 1 tahun penuh.
Keterkaitan Lama Ketergenangan Perairan
Kawasan zona intertidal di daerah Teluk Bakau disusun oleh 3 penampang ekosistem utama, yaitu mangrove, lamun, dan ekosistem karang. Didalam ketiga ekosistem tersebut, terutama lamun dan karang terdapat biota yang berasosiasi dan hidup didalamnya sebagai tempat perkembangbiakan (spawning ground), pengasuhan (nursery ground), serta sumber makanan (feeding ground) bagi biota-biota perairan laut. Keragaman dan sebaran organisme sangat berkaitan dengan keragaman karakteristik habitat dan sangat dipengaruhi oleh ketergenangan air laut. Keragaman habitat akan 11
Kelas 1, Mangrove dalam kelas ini hidup di atas ketinggian muka air laut rata-rata (MSL), dimana kondisinya tergenang oleh semua ketinggian air. Spesies dominan yang tumbuh disini adalah Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa dan Rhizophora apiculata. Di Indonesia Timur, Avicennia sp. dan Sonneratia sp. mendominasi zona ini; Kelas 2, Mangrove pada kelas ini hidup di atas ketinggian rata-rata muka air laut tertinggi (HAT), dimana kondisi genangan ini hanya terjadi pada saat air tinggi. Spesies yang umumnya dapat tumbuh di sini adalah Brugueira sp., Xylocarpus sp., Lumnitzera littorea, dan Exoecaria agallocha. Rhizophora sp. jarang ditemui di areal ini karena lahannya terlalu kering untuk tumbuh; Kelas 3, Genangan hanya terjadi pada saat air pasang besar. Spesies utama adalah Brugeira gymnorrhiza (dominan), Instia bijuga, Nypa fruticans, Herritera littoralis, Exoecaria agallocha dan Aegiceras sp..
Thalassia hempricii dan Thalassodendron ciliatum. Untuk penyebaran lamun mulai dari pantai hingga ke daerah tubir. Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Arifa (2014) ditemukan 5 jenis lamun, yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Syringodium isoetifolium, Halodule universis, dan Halophila Ovalis.
Gambar 13. Peta Estimasi Distribusi Ekosistem Mangrove Zona Intertidal Daerah Teluk Bakau Jika diestimasikan berdasarkan kelas kedalaman menurut Brown (2006) dengan lama ketergenangan perairan zona intertidal Teluk Bakau dan melihat sebaran umum jenis mangrove yang berada di Pulau Bintan, maka zonasi mangrove jenis Rhizopora sp. dan Avicennia sp. akan hidup diatas kedalaman ratarata (MSL) yaitu ± 1.7 m. dan digenangi sekitar ± 8.4 bulan dalam setahun menurut peta lama ketergenangan zona intertidal daerah Teluk Bakau. Dan untuk jenis Brugueira sp., Xylocarpus sp., Nypa fruticans, serta berbagai jenis mangrove ikutan lainnya akan hidup pada area dengan kedalaman ± 0.5 m hingga ke wilayah yang menjadi batas pasang tertinggi (HAT), serta terus merambah vegetasi darat pantai yang tidak pernah terkena genangan pasang surut.
Gambar 14. Distribusi Spasial Lamun di Daerah Teluk Bakau (Nainggolan, 2011) Karang Berbagai biota yang hidup pada zona intertidal baik fauna maupun flora mempunya keanekaragaman yang tinggi. Seperti yang dapat dijumpai pada ekosistem karang. Yulianda (2007) membagi zona intertidal menjadi 3 zona, yaitu :
Lamun Untuk identifikasi jenis lamun yang berada di Teluk Bakau, Nainggolan (2011) telah melakukan penelitian dan mendapati jenis lamun yang berada di Teluk Bakau. Terdapat 10 jenis lamun yang hidup di perairan Teluk Bakau, yaitu Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Halodule pinifolia, Halodule uninervis, Halophila ovalis, Halophila spinulosa, Syringodium isoetifolium,
12
Zona 1, merupakan daerah pasang atas (tertinggi) yang terdiri dari komunitas lamun dan rumput laut;
kedalam jenis mixed semi-diurnal ataupun pasang campuran condong ke ganda.
Zona 2, yaitu daerah pasang tengah yang terdiri dari komunitas karang dan rumput laut; Zona 3, adalah zona pasang bawah yang terdiri dari komunitas karang dan rumput laut.
Bedasarakan hasil analisis konstanta harmonik, didapatkan nilai pasang tertinggi (HAT) yaitu sebesar 3.4 m, MSL 1.7 m, dan LAT 0 m.
Berdasarkan klasifikasi tersebut, komunitas karang umumnya terdapat pada zona pasang tengah dan pasang bawah, hal ini diindikasikan bahwa komunitas karang tidak dapat beradaptasi dengan baik pada zona pasang atas karena karang merupakan biota yang harus hidup dibawah perairan. Kemudian untuk wilayah Teluk Bakau di estimasikan letak ekosistem karang yang ada pada perairan dengan zona pasang tengah. Zona pasang tengah dianggap sebagai MSL atau muka rata-rata perairan. Dengan begitu keberadaan ekosistem karanga berkisar pada ± 1.7 m sampai ke laut dalam dengan lama genangannya selama 8.4 bulan dalam setahun. Keberadaan ekosistem karang ini tidak kalah penting karena banyak berbaagi jenis biota yang hidup didalamnya.
Untuk lama ketergenangan daerah Teluk Bakau hasil prediksi 1 tahun, pada kedalaman 00.5 m lama ketergenangannya selama 8.4 hari/tahun. Kemudian pada kedalaman 0.6-1 m wilayah tersebut terendam selama 52 hari/tahun, selanjutnya pada kedalaman 1.1-1.5 m wilayah yang terendam dalam 1 tahun selama 134 hari. Untuk kedalaman selanjutnya yaitu 1.6-2 m, 2.12.5 m, dan 2.6-3 m lama ketergenangannya dalam 1 tahun ialah 252 hari, 357 hari, dan 365 hari. Saran Saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian ini ialah untuk penelitian selanjutnya dapat melakukan kajian yang lebih komperhensif mengenai distribusi dan sebaran dari biota baik flora maupun fauna yang tinggal pada zona intertidal perairan Teluk Bakau berdasarkan lama ketergenangannya sehingga didapatkan data hasil penelitian dan digabungkan hasil estimasi. DAFTAR PUSTAKA Adibrata, Sudirman. 2007. Analisis Pasang Surut di Pulau Karampuang, Provinsi Sulawesi Barat. Vol 1 : 1. Ahmad et al. 2011. Distribution of Intertidal Organisms in the Shores of Teluk Aling, Pulau Pinang, Malaysia. Kyoto University Research Information Repository. Vol 41. Hlm 51-61. Akhrianti, Irma. 2014. Tesis : Distribusi Spasial dan Preferensi Habitat Bivalva di Pesisir Kecamatan Simpang Pesak Kabupaten Belitung Timur. FPIK IPB : Bogor.
Gambar 15. Peta Estimasi Distribusi Ekosistem Karang Zona Intertidal Daerah Teluk Bakau KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pasang surut pada daerah Bintan, dalam hal ini termasuk daerah Teluk Bakau termasuk 13
Arifa, D. 2014. Biomassa Padang Lamun di Perairan Desa Teluk Bakau Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau. FIKP UMRAH : Tanjungpinang. Awaludin, N. 2010. Geographical Information Systems With ArcGIS 9.x Principles, Techniques, Applications, and Management. ANDI : Yogyakarta. Bengen, D.G. 2001. Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. PSPKL-IPB : Bogor. BIG, ____. Presentasi Pendahuluan : Pekerjaan Survey Hidrografi dan Pembuatan Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) Skala 1 : 25000 (Paket 2). Slide Peresentasi. Brown, B. 2006. 5 Tahap Rehabilitasi Mangrove. Mangrove Action Project dan Yayasan Akar Rumput Laut Indonesia : Yogyakarta. Dahuri, R. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita : Jakarta. Denadai, M. R., Amaral ACZ dan Turra A. 2001. Spatial distribution of molusca on sandy intertidal substrates with rock fragments in South Eastern Brazil. Estuarine, Coastal and Shelf Science. Vol. 53. Hlm. 733-743. Dianovita, Coryelisabety. 2011. Skripsi : Pemetaan Batimetri Perairan Dangkal Karang Congkak dan Karang Lebar Dengan Menggunakan Citra Ikonos PanSharpened. FPIK IPB : Bogor. Fatoni, Khoirol Imam. 2011. Tesis : Pemetaan Pasang Surut dan Pola Perambatannya di Indonesia. FPIK IPB : Bogor. Hartoni, dan Andi Agussalim. 2013. Komposisi dan Kelimpahan Moluska (Gastropoda dan Bivalvia) di Ekosistem Mangrove Muara Sungai Musi Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatra Selatan. Vol 5 : 1. Hlm. 6-15. Ismail, Neira Purwaty. 2012. Skripsi : Dinamika Perubahan Garis Pantai Pekalongan dan Batang, Jawa Tengah. FPIK IPB : Bogor. Katili, Abubakar Sidik. 2011. Struktur Komunitas Echinodermata Pada Zona Intertidal di Gorontalo. Vol 8 : 1. Kiswara, W. 1997. Struktur Komunitas Padang Lamun Perairan Indonesia. Inventarisasi dan evaluasi potensi laut-pesisir, geologi,
kimia, biologi, dan ekologi. Hlm. 54-61. LIPI : Jakarta. Kiswara, W. dan Winardi. 1999. Sebaran Lamun di Teluk Kuta dan Teluk Gerupuk, Lombok. Dinamika Komunitas Biologi Pada Ekosistem Lamun di Perairan Lombok, Indonesia. Hlm. 11-24. LIPI : Jakarta. Lolong, Maxi dan Jendry Masinambow. 2011. Penentuan Karakteristik Dan Kinerja Hidro Oceanografi Pantai (Studi Kasus Pantai Inobonto). Vol 1 : 2. Masrukhin, M. Ali Agus. et al. 2014. Studi Batimetri dan Morfologi Dasar Laut Dalam Penentuan Jalur Peletakan Pipa Bawah Laut (Perairan LaranganMaribaya, Kabupaten Tegal). Vol 3 : 1. (Internet). (diunduh 8 Desember 2015). Mudzni, Al. 2014. Tesis : Sebaran Teritip Intertidal dan Hubungannya Dengan Kondisi Lingkungan Perairan di Pelabuhan Kota Dumai. FPIK IPB : Bogor. Musrifin. 2011. Analisis Pasang Surut Perairan Muara Sungai Mesjid Dumai. Vol 16 : 1. Mustary, La Ode Ahmad. 2013. Skripsi : Pemetaan Batimetri Perairan Laut Dangkal di Gugusan Pulau Tiga, Kabupaten Natuna Dengan Menggunakan Citra Alos Avnir-2. FPIK IPB : Bogor. Nainggolan, P. 2011. Skripsi : Distribusi Spasial dan Pengelolaan Lamun (Seagrass) Di Teluk Bakau, Kepulauan Riau. FPIK IPB : Bogor. Nugraha, A. R., Siddhi S., dan Purwanto. 2013. Pemetaan Batimetri dan Analisis Pasang Surut untuk Menentukan Elevasi Lantai dan Panjang Dermaga 136 di Muara Sungai Mahakam, Sanga-Sanga, Kalimantan Timur. Jurnal Ilmiah Semesta Teknika, Vol. 16, No. 1, Hlm. 21-30. Nyabakken. James. Wiley. 1988. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Biologi. Gramedia : Jakarta. Ongkosongo, Otto S. R. 1989. Penerapan Pengetahuan dan Data Pasang-Surut. Katalog Dalam Terbitan (KDT) LIPI, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Penyunting : OSR Ongkosongo dan Suyarso. Jakarta. Hal 241-255. 14
Pariwono, J.I,. 1989. Gaya Penggerak PasangSurut. Katalog Dalam Terbitan (KDT) LIPI, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Penyunting : OSR Ongkosongo dan Suyarso. Jakarta. Hal 13-23 Patty. Wilhelmia. 2010. Karakeristik Tipe Dasar dan Pemanfaatan Perairan di Sekitar Pulau Gangga, Kabupaten Minut. Vol 6 : 2. Poerbandono dan Djunarsjah, E. 2005. Survei Hidrografi. Refika Aditama : Bandung. Rampengan, R. M. 2013. Amplitudo Konstanta Pasang Surut M2, S2, K1, dan O1 di Perairan Sekitar Kota Bitung Sulawesi Utara. Jurnal Ilmiah Platax, Vol. 1. No. 3. Hlm. 118-124. Rinaldy N, Yose. et al. 2014. Analisis Pengukuran Batimetri dan Pasang Surut Untuk Menentukan Kedalaman Kolam Pelabuhan. (Studi Kasus : Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya). Vol. 3. No. 4. Hlm 25-36. Rizaq, Habbie. 2013. Skripsi : Kajian Tingkat Pengaruh Signifikansi Pasut Laut dan Kemiringan Pantai Dalam Pendefinisian Garis Pantai Berdasarkan Undangundang Informasi Geospasial (UU No 4 Tahun 2011). FITK ITB : Bandung. Seri, D. S. 2014. Skripsi : Analisis Harmonik Gelombang Pasang Surut dan Gelombang Permukaan di Teluk Pelabuhan Ratu. FPIK IPB : Bogor. Siregar, V. P., dan M. Banda. Selamat. 2009. Interpolator Dalam Pembuatan Kontur Peta Batimetri (Interpolator In Bathymetric Map Contouring). E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 1, No. 1, Hlm. 39-47. Subagio. 2003. Pengetahuan Peta. Penerbit ITB : Bandung. Sunarto. 1991. Geomorphologi Pantai. Pusat Antar Universitas. UGM : Yogyakarta. Surbakti, Heron. 2000. Skripsi : Pemetaan Pasang Surut Serta Analisis Komponen Pasang Surut di Seluruh Perairan Indonesia. FPIK IPB : Bogor. Surfer ®. 2011. Quick Start Guide : Contouring and 3D Surface Mapping for Scientists and Engineers. Golden Software, Inc : Colorado.
Suryana. 2010. Metodologi Penelitian. Buku Ajar Perkuliahan. Universitas Pendidikan Indonesia : Bandung. Tania, A. L. 2014. Tesis : Kajian Dampak Kegiatan Madak Terhadap Ekosistem Intertidal di Daerah Pasang Surut Pesisir Batu Hijau, Sumbawa Barat. FPIK IPB : Bogor. Tarigan, M. Salam. 2007. Perubahan Garis Pantai di Wilayah Pesisir Perairan Cisadane, Provinsi Banten. Vol 11 : 1. Triatmodjo B. 1999. Teknik Pantai. Beta Offset : Yogyakarta Winarso, G. et al. 2009. Kajian Penggunaan Data Inderaja Untuk Pemetaan Garis Pantai (Studi Kasus Pantai Utara Jakarta). Yenni. 1989. Skripsi : Karakteristik Komunitas Fauna Benthos di Daerah Intertidal Pantai Kamal Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. FPIK IPB : Bogor. Yulianda, F. 1999. Aspek Biologi Reproduksi Siput Gastropoda Laut. FPIK IPB : Bogor. Yulianda, F. 2007. Komunitas Intertidal Bersubstrat Pasir, Karang dan Berbatu Pada Musim Hujan dan Musim Kemarau di Sumbawa Barat. Jurnal Pesisir dan Lautan, Vol. 8, No. 1, Hlm. 1-7. Yulianda, F., Yusuf M.S., dan Prayogo W. 2013. Zonasi Dan Kepadatan Komunitas Intertidal Di Daerah Pasang Surut, Pesisir Batu Hijau, Sumbawa. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Hlm. 409-416.
15