Pemetaan Bahasa di Wilayah Cagar Budaya Betawi Condet: Sebuah Kajian Dialektologi Diar Luthfi Khairina, Sri Munawarah Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok
[email protected]
Abstrak Condet pernah dijadikan sebagai Cagar Budaya Betawi. Akan tetapi, keputusan tersebut telah dicabut oleh pemerintah dengan alasan pelanggaran izin pembangunan. Seiring dengan perkembangan zaman, Condet telah bertransformasi dengan berbagai penyebab. Dengan demikian, hal tersebut akan memengaruhi bahasa Betawi di wilayah Condet. Berdasarkan hal tersebut, skripsi ini akan memperlihatkan persebaran dan variasi bahasa Betawi di wilayah Condet yang terletak di kawasan Jakarta Timur. Pengumpulan dan pengolahan data dilakukan dengan metode kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan di wilayah Condet hanya satu, yaitu bahasa Melayu dialek Jakarta subdialek Pinggiran.
Language Mapping in Condet Betawi Cultural Heritage: a Dialectal Analysis Abstract Condet had been granted as a cultural heritage area. But, the status was removed by the government by reason of the construction permit violations. Along with the times, Condet has been transformed by a variety of causes. As the results, Betawi language as a mother tongue in this area will be affected. The purpose of this research is to define the spread and variants of Betawi language in this area. Collected and processed data were conducted in qualitative and quantity method. The results of this research prove that the only spoken language in this area is Malay languange of Jakarta dialect and Pingguran subdialect. Keywords: language; dialect; dialectology; language variation.
Pendahuluan Kebudayaan masyarakat di daerah Jakarta berkembang sebagai akibat sintesis antarunsur kebudayaan yang telah ada sebelumnya dengan unsur-unsur kebudayaan yang dibawa oleh kaum pendatang, sehingga terjelmalah corak kebudayaan yang berciri khas, yang kemudian dikenal dengan nama kebudayaan betawi (Budiawan, et. al., 1979:11). Namun, asal muasal kebudayaan betawi tidak dapat dipastikan. Akan tetapi, kebudayaan tersebut tetap hidup karena adanya kelompok masyarakat yang mendukungnya, secara turun-temurun, yang dikenal dengan sebutan “orang Betawi”. Pada pertengahan abad ke-19 keturunan macammacam kelompok bangsa Indonesia bertransformasi menjadi suku baru, yaitu anak Betawi (Ikranegara, 1988: 2-3). Lalu, bahasa Melayu yang mereka gunakan mereka sebut dengan
1 Pemetaan Bahasa..., Diar Luthfi Khairina, FIB UI, 2014
bahasa Betawi. Bahasa Betawi terbagi menurut perbedaan dialektal, yaitu Bahasa Betawi Tengahan dan Pinggiran (Muhadjir, 1999: 71). Pada tahun 1975, Condet dijadikan cagar budaya Betawi. Saat itu, pemerintah daerah setempat menganggap perlu melestarikan budaya dan sumber daya alam yang terdapat di wilayah Condet. Putusan tersebut dicabut pada tahun 2004. Hal tersebut disebabkan oleh pelanggaran oleh penduduk setempat mengenai izin pembangunan. Hal tersebut menarik perhatian saya untuk meneliti lebih jauh tentang situasi kebahasaan di kawasan tersebut. Ada kemungkinan bahwa dicabutnya Condet sebagai cagar budaya Betawi berpengaruh pada situasi kebahasaan di Condet, bukan hanya perihal pelanggaran peraturan yang ditetapkan. Condet terletak di kawasan Kramat Jati, Jakarta Timur. Secara geografis, kawasan Condet dikelilingi oleh sarana-sarana modern yang ada di Jakarta, misalnya Pasar Grosir Cililitan, Terminal Bus Cililitan, Lippo Mall Kramat Jati, dan Pasar Induk. Meskipun Condet terletak di pinggiran Jakarta, tetapi tetap mendapatkan pengaruh kebudayaan modern yang terdapat di Jakarta. Tingginya arus urbanisasi dan batas-batas wilayah yang didukung dengan sarana modern diduga dapat menyebabkan perubahan situasi kebahasaan yang ada dan dipakai di kawasan tersebut. Dengan demikian, pemetaan bahasa di wilayah Condet merupakan salah satu langkah untuk mendapatkan situasi kebahasaannya. Oleh karena itu, rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana situasi kebahasaan yang ada di wilayah Condet dilihat dengan pendekatan dialektologi. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan situasi kebahasaan di wilayah Condet melalui pemetaan bahasa. Pemetaan bahasa yang dilakukan bertujuan untuk menjelaskan bahasa apa yang digunakan sebagai bahasa penutur asli di wilayah Condet. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk memaparkan apakah bahasa di wilayah Condet merupakan bahasa yang homogen atau terdapat bahasa lain.
Tinjauan Teoritis Penelitian ini membutuhkan teori sebagai landasan dan penopang penelitian. Selain itu, penelitian yang dilakukan menggunakan metode kuantatif yang terdiri atas peta bahasa dan penghitungan dialektometri. Di bawah ini akan dijelaskan secara singkat mengenai teori yang dipakai dalam penelitian ini. 2 Pemetaan Bahasa..., Diar Luthfi Khairina, FIB UI, 2014
Istilah isoglos pertama kali digunakan oleh J. G. A. Bielenstein, ahli dialek Latvia, pada tahun 1892. Isoglos merupakan garis yang menandai batas-batas antara dua wilayah yang berbeda sehubungan dengan beberapa faktor linguistik, misalnya yang berhubungan dengan leksikal atau pengucapan dari kata tertentu (Chambers dan Trudgill, 2004: 89). Isoglos berfungsi untuk menyatukan titik-titik pengamatan yang menampilkan gejala kebahasaan yang serupa (Lauder, 2007: 92). Jean Seguy (1973) dalam “La Dialectometrie dans l’Atlas Linguistiques de la Gascogne” memperkenalkan metode baru yang disebut dialektometri (Lauder, 2007: 95).
Dengan
memperhitungkan jumlah beda pemakaian kosakata pada titik pengamatan yang satu dengan yang lainnya yang dikalikan dengan 100 lalu dibagi dengan jumlah nyata banyaknya peta yang dibandingkan, diperoleh persentase jarak kosakata di antara kedua titik pengamatan tersebut. Rumus penghitungan dialektometri yang dipakai di dalam penelitian ini adalah rumus yang diajukan oleh Jean Seguy (Lauder, 2007: 96), yaitu: (s x 100) = d% n
s = jumlah beda dengan titik pengamatan lain n = jumlah peta yang diperbandingkan d = jarak kosakata dalam % Menurut Lauder dalam Ayatrohaedi (2002: 12), perbedaan hasil persentase perhitungan dialektometri adalah sebagai berikut: 0%—30%
dianggap tidak memiliki perbedaan
31%—40%
dianggap memiliki perbedaan wicara (parler)
41%—50%
dianggap memiliki perbedaan subdialek (sous dialecte)
51%—70%
dianggap memiliki perbedaan dialek (dialecte)
di atas 70%
dianggap memiliki perbedaan bahasa (langue)
Secara umum, para peneliti Dialektologi menggunakan konsep yang diajukan Guiter untuk membedakan hasil persentase perhitungan dialektometri. Namun, bahasa di Indonesia yang memiliki tingkat kerumitan yang cukup tinggi, dianggap lebih cocok menggunakan formula 3 Pemetaan Bahasa..., Diar Luthfi Khairina, FIB UI, 2014
Lauder dibandingkan dengan formula Guiter. Oleh karena itu, dengan pertimbangan bahwa situasi kebahasaan di wilayah Condet cukup rumit, penulis menggunakan konsep Lauder.
Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah gabungan dari metode kualitatif dan kuantitatif dengan teknik pupuan lapangan. Teknik pupuan lapangan adalah salah satu ciri dari Mazhab Prancis. Teknik tersebut dilakukan dengan mendengar, memerhatikan, dan mencatat langsung informasi yang diberikan oleh informan saat wawancara. Lalu, metode kualitatif digunakan dalam interpretasi data yang deskriptif, sedangkan metode kuantitatif digunakan dalam penghitungan dialektometri. Dipilihnya ketiga metode tersebut karena dianggap lebih mampu menghasilkan data serta hasil penelitian yang lebih relevan.
Hasil Penelitian Peta bahasa yang berjumlah 250 buah terdiri atas 200 Kosakata Dasar Morish Swadesh, 11 Kosakata Budaya Dasar bidang Kata Ganti, Sapaan, dan Acuan, 25 Kosakata Budaya Dasar bidang Sistem Kekerabatan, dan 14 Kosakata Budaya Dasar bidang Peralatan dan Perlengkapan memiliki 6 kelompok etima. Kelompok tersebut adalah satu etima, dua etima, tiga etima, empat etima, lima etima, dan enam etima. Kelompok etima yang disebutkan di atas masih terbagi lagi menjadi beberapa jenis kelompok yang dibedakan berdasarkan jumlah pelambang. Pada Kosakata Dasar Morish Swadesh dari 4 kelompok etima terdapat 17 kelompok, dari 5 kelompok etima yang dimiliki oleh Kosakata Budaya Dasar bidang Kata Ganti, Sapaan, dan Acuan terdapat 7 kelompok, pada Kosakata Budaya Dasar bidang Sistem Kekerabatan yang memiliki 5 kelompok etima terdapat 11 kelompok, dan pada Kosakata Budaya Dasar bidang Peralatan dan Perlengkapan yang memiliki 3 kelompok etima terdapat 7 kelompok Pada kelompok Kosakata Dasar Morish Swadesh, kosakata terbanyak terdapat pada kelompok satu etima dengan jumlah 144 kosakata. Kosakata yang paling sedikit terdapat pada kelompok empat etima dengan jumlah 6 kosakata. Banyaknya kosakata yang muncul pada kelompok satu etima menimbulkan anggapan bahwa bahasa yang ada di wilayah Condet tidak memiliki perbedaan. 4 Pemetaan Bahasa..., Diar Luthfi Khairina, FIB UI, 2014
Pada kelompok Kosakata Budaya Dasar bidang Kata Ganti, Sapaan, dan Acuan, kosakata terbanyak terdapat pada kelompok dua dan empat etima dengan jumlah masing-masing 4 kosakata. Kosakata yang paling sedikit terdapat pada kelompok satu, lima, dan enam etima dengan jumlah masing-masing 1 kosakata. Pada kelompok kosakata ini, penduduk bahasa di Condet memiliki banyak variasi dalam pelafalan kosakata yang diajukan. Namun, perbedaan kosakata tersebut tidak menimbulkan pemahaman yang berbeda di antara penutur bahasa. Pada kelompok Kosakata Budaya Dasar bidang Sistem Kekerabatan, kosakata terbanyak terdapat pada kelompok satu etima dengan jumlah 12 kosakata. Kosakata yang paling sedikit terdapat pada kelompok lima etima dengan jumlah 1 kosakata. Sama halnya dengan kelompok Kosakata Dasar Morish Swadesh, kelompok Kosakata Budaya Dasar bidang Sistem Kekerabatan yang memiliki kosakata dominan pada kelompok satu etima juga menimbulkan anggapan bahwa di Condet hanya memiliki satu bahasa. Pada kelompok Kosakata Budaya Dasar bidang Peralatan dan Perlengkapan, kosakata terbanyak terdapat pada kelompok satu etima dengan jumlah 7 kosakata. Kosakata yang paling sedikit terdapat pada kelompok dua etima dengan jumlah 1 kosakata. Kelompok satu etima yang dominan pada kelompok ini, semakin menguatkan anggapan mengenai meratanya bahasa yang dipakai di seluruh titik pengamatan di wilayah Condet. Berdasarkan visualisasi yang didapatkan dari berkas isoglos Kosakata Dasar Morish Swadesh menunjukkan pola garis yang seimbang dan tidak terdapat penumpukan. Seperti yang kita ketahui bahwa Kosakata Dasar Morish Swadesh dianggap tidak mudah berubah. Tidak adanya penumpukan pada berkas isoglos Kosakata Dasar Morish Swadesh menimbulkan anggapan bahwa bahasa Betawi di wilayah Condet menyebar secara merata di seluruh titik. Berikut merupakan peta berkas isoglos Kosakata Dasar Morish Swadesh.
5 Pemetaan Bahasa..., Diar Luthfi Khairina, FIB UI, 2014
Figure 1. Berkas Isoglos Kosakata Dasar Morish Swadesh
Selanjutnya, pada peta berkas isoglos Kosakata Budaya bidang Kata Ganti, Sapaan, dan Acuan ditemukan satu penumpukan pada titik pengamatan (12). Namun, secara keseluruhan garis pada peta ini seimbang. Salah satu penyebab seimbangnya pola berkas isoglos pada kategori ini adalah jumlah kosakatanya hanya sedikit, yaitu 11 kosakata. Selain itu, kosakata yang dimiliki oleh masyarakat wilayah Condet mengenai Kosakata Budaya bidang Kata Ganti, Sapaan, dan Acuan tidak variatif. Berikut merupakan peta berkas isoglos Kosakata Budaya bidang Kata Ganti, Sapaan, dan Acuan.
6 Pemetaan Bahasa..., Diar Luthfi Khairina, FIB UI, 2014
Figure 2. Berkas Isoglos Kosakata Budaya bidang Kata Ganti, Sapaan, dan Acuan
Pada peta berkas isoglos Kosakata Budaya bidang Sistem Kekerabatan, penumpukan terjadi pada peta pengamatan (2) Kelurahan Kampung Tengah RW 1, (9) Kelurahan Kampung Tengah RW 5, dan (11) Kelurahan Batu Ampar RW 3. Namun, secara keseluruhan pola pada peta ini dapat dikatakan seimbang. Variatifnya kosakata yang dipakai oleh masyarakat bahasa wilayah Condet untuk kategori Kosakata Budaya bidang Sistem Kekerabatan adalah dasar penyebab terjadinya penumpukan di kedua titik tersebut. Berikut berkas isoglos Kosakata Budaya bidang Sistem Kekerabatan.
7 Pemetaan Bahasa..., Diar Luthfi Khairina, FIB UI, 2014
Figure 3. Berkas Isoglos Kosakata Budaya bidang Sistem Kekerabatan
Pola yang seimbang ditemukan kembali pada peta berkas isoglos Kosakata Budaya bidang Peralatan dan Perlengkapan. Secara keseluruhan, tidak terdapat penumpukan garis. Hanya saja, pada titik pengamatan (6) dan (7) terlihat garis yang lebih banyak dibandingkan di titik lainnya. Seimbangnya pola tersebut disebabkan oleh jumlah kosakata yang hanya sedikit, yakni 14 kosakata. Selain itu, pemakaian bahasa untuk kategori ini tidak terlalu variatif. Berikut berkas isoglos Kosakata Budaya bidang Peralatan dan Perlengkapan.
8 Pemetaan Bahasa..., Diar Luthfi Khairina, FIB UI, 2014
Figure 4. Berkas Isoglos Kosakata Budaya bidang Peralatan dan Perlengkapan
Pada penghitungan dialektometri ini, penulis menggunakan formula dari Lauder. Bahasa di Indonesia yang memiliki tingkat kerumitan yang cukup tinggi, dianggap lebih cocok menggunakan formula ini dibandingkan dengan formula Guiter. Secara keseluruhan, penghitungan dialektometri pada empat kategori yang digunakan, menunjukkan hasil bahwa di wilayah Condet tidak ada perbedaan. Namun, hasil penghitungan dialektometri yang akan ditampilkan hanya penghitungan dialektometri dari kelompok Kosakata Dasar Morish Swadesh. Hal tersebut dikarenakan Kosakata Dasar Morish Swadesh adalah kosakata yang pasti ada di setiap bahasa dan merupakan kosakata yang tidak mudah berubah. Persentase tertinggi yang dihasilkan oleh Kosakata Dasar Morish Swadesh berada di antara titik pengamatan (2) Kelurahan Kampung Tengah RW 1 dan (3) Kelurahan Kampung Tengah 9 Pemetaan Bahasa..., Diar Luthfi Khairina, FIB UI, 2014
RW 6 serta (17) Kelurahan Balekambang RW 4 dan (21) Kelurahan Balekambang RW 1 dengan jumlah 14,5%. Persentase dengan jumlah terendah terdapat di antara titik pengamatan (1) Kelurahan Kampung Tengah RW 7 dan (3) Kelurahan Kampung Tengah RW 6 dengan jumlah 3,5%. Berikut merupakan tabel yang berisi hasil penghitungan dialektometri dari 200 Kosakata Dasar Morish Swadesh. Table 1. Penghitungan Dialektometri Kosakata Dasar Morish Swadesh Titik RW 1—2 1—3 1—4 1—12 2—3 2—7 2—8 3—4 3—6 3—7 4—5 4—6 4—12 5—6 5—11 5—12 6—7 6—10 6—11 7—8 7—10 8—9 8—10 9—10 9—15
Persentase 11.50% 3.50% 7.50% 5.00% 14.50% 11.00% 9.00% 10.00% 8.50% 13.00% 8.00% 6.50% 10.00% 5.50% 8.00% 8.00% 8.00% 4.00% 8.00% 5.50% 9.00% 10.00% 7.50% 10.00% 8.00%
Keterangan*: 0—30% : 31—40% : 41—50% : 51—70% : 71—100% :
Titik RW 9—19 10—11 10—15 11—12 11—14 11—15 11—16 12—13 12—14 13—14 13—17 13—21 14—16 14—17 15—16 15—18 15—19 16—17 16—18 17—18 17—20 17—21 18—19 18—20 19—20 20—21
Persentase 9.50% 8.50% 7.50% 6.00% 9.00% 6.50% 9.50% 10.00% 8.00% 5.50% 11.00% 7.50% 6.00% 12.00% 7.00% 7.50% 8.00% 11.00% 8.50% 10.50% 9.50% 14.50% 8.00% 4.50% 6.00% 6.50%
Tidak ada perbedaan Perbedaan wicara Perbedaan subdialek Perbedaan dialek Perbedaan bahasa
*) berdasarkan penghitungan dialektometri formula Lauder
Pembahasan Seperti yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa peta bahasa yang ada terdiri atas enam etima. Kosakata Dasar Morish Swadesh memiliki jumlah kosakata terbanyak pada 10 Pemetaan Bahasa..., Diar Luthfi Khairina, FIB UI, 2014
kelompok satu etima, yaitu 144 kosakata. Selain itu, kelompok yang paling dominan muncul dalam peta adalah kelompok satu etima dengan satu pelambang. Berdasarkan berkas isoglos, pada Kosakata Dasar Morish Swadesh menunjukkan pola garis yang seimbang. Hal serupa ditemukan juga pada ketiga berkas isoglos kelompok kosakata lainnya. Menurut penghitungan dialektometri, pada kelompok Kosakata Dasar Morish Swadesh menunjukkan hasil 14,50% yang berarti tidak ada perbedaan. Namun, pada Kosakata Budaya Dasar bidang Kata Ganti, Sapaan, dan Acuan, banyak titik yang menunjukkan persentase di atas 70%. Hal tersebut disebabkan oleh jumlah kosakata yang sedikit, yakni 11 kosakata. Berdasarkan identifikasi di atas wilayah Condet diketahui hanya memiliki satu bahasa. Bahasa tersebut adalah bahasa Melayu dialek Jakarta subdialek Pinggiran. Identifikasi yang telah dilakukan penulis didasarkan pada jumlah etima, berkas isoglos, dan penghitungan dialektometri. Menurut Muhadjir (2000: 71), bahasa Betawi terbagi ke dalam dua bagian, yaitu dialek Jakarta subdialek Tengahan dan dialek Jakarta subdialek Pinggiran. Di dalam bahasa Melayu dialek Jakarta subdialek Pinggiran terdapat beberapa pengaruh dari bahasa daerah lain, seperti Jawa dan Sunda. Transmigrasi merupakan salah satu pengaruh terbesar adanya bahasa dari daerah lain. Bahasa Betawi di Condet menunjukkan ciri fonetis subdialek Pinggiran, yaitu adanya akhiran vokal a dan konsonan h diucapkan sebagaimana pengucapannya di dalam bahasa Indonesia, misalnya kata ‘saya’ menjadi saya dan sayah. Bahasa Melayu dialek Jakarta subdialek Pinggiran seringkali disebut sebagai Betawi Ora. Hal tersebut terjadi karena kata ora ‘tidak’ yang berasal dari Jawa seringkali muncul dalam pemakaiannya sebagai pengganti kata kagaɂ atau əәŋgaɂ. Ciri tersebut tidak muncul di dalam subdialek Tengahan. Berdasarkan hasil penelitian, masyarakat bahasa wilayah Condet menggunakan əәŋgaɂ untuk arti ‘tidak’. Kosakata ora tidak ditemukan di seluruh wilayah Condet. Hal yang sama terjadi pada penelitian Pratiwi di kecamatan Cipayung pada tahun 1996. Hasil penelitian ini dan hasil penelitian Pratiwi yang menandakan tidak ditemukannya kosakata ora sebagai salah satu ciri Dialek Pinggiran memperkuat anggapan bahwa Dialek Pinggiran atau Betawi Pinggiran bukan merupakan Betawi Ora. Oleh karena itu, muncul anggapan bahwa bahasa Betawi masa kini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu Betawi Tengahan, Betawi Pinggiran, dan Betawi Ora.
11 Pemetaan Bahasa..., Diar Luthfi Khairina, FIB UI, 2014
Wilayah Condet yang terdiri atas tiga kelurahan yang terletak di Kecamatan Kramat Jati ditetapkan sebagai Cagar Budaya dan Buah-buahan pada tahun 1975. Namun, pada tahun 2004 keputusan tersebut dicabut kembali oleh pemerintah daerah setempat. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat bahasa Jawa dan Sunda yang dipakai di wilayah Condet. Saat melakukan wawancara dengan penduduk wilayah Condet, beberapa penduduk juga mengakui bahwa di daerah tersebut banyak penduduk pendatang yang berlatar belakang suku Jawa dan Sunda. Selain itu, dekatnya wilayah Condet dengan mall dan pusat perbelanjaan serta berbatasan dengan sungai Ciliwung juga menjadi penyebab lunturnya bahasa Betawi di wilayah ini. Hal tersebut dibuktikan dengan sedikitnya kosakata khas Betawi yang ditemukan di wilayah Condet. Kegagalan Condet sebagai cagar budaya Betawi bukan berarti wilayah ini tidak lagi penting bagi penduduk Betawi. Wilayah Condet tetap menjadi sejarah penting dalam peradaban bahasa dan budaya Betawi. Oleh karena itu, wilayah Condet harus tetap dijaga dan dilestarikan bahasa dan kebudayaan Betawinya.
Kesimpulan Berdasarkan 250 daftar tanyaan yang diberikan kepada informan yang terdiri atas 200 Kosakata Dasar Morish Swadesh; 11 Kosakata Budaya Dasar bidang Kata Ganti, Sapaan, dan Acuan; 25 Kosakata Budaya Dasar bidang Sistem Kekerabatan; dan 14 Kosakata Budaya Dasar bidang Peralatan dan Perlengkapan, ditemukan 164 glos satu etima, 48 glos dua etima, 18 glos tiga etima, 17 glos empat etima, 2 glos lima etima, dan 1 glos enam etima. Glos satu etima di ke-21 titik yang mendominasi menunjukkan tidak terdapatnya perbedaan bahasa di Wilayah Condet. Bahasa yang ada di wilayah Condet merupakan bahasa Melayu dialek Jakarta subdialek Pinggiran. Perbedaan leksikal yang ada pada glos yang beretima lebih dari satu merupakan varasi bahasa yang masih dapat dimengerti oleh masyarakat bahasa Wilayah Condet. Berkas isoglos dalam Kosakata Dasar Morish Swadesh menunjukkan pola garis yang seimbang. Hal serupa ditemukan pada berkas isoglos Kosakata Budaya Dasar bidang Kata Ganti, Sapaan, dan Acuan, Kosakata Budaya bidang Sistem Kekerabatan, dan Kosakata Budaya bidang Peralatan dan Perlengkapan yang tidak menunjukkan penumpukan.
12 Pemetaan Bahasa..., Diar Luthfi Khairina, FIB UI, 2014
Penghitungan dialektometri dalam Kosakata Dasar Morish Swadesh menunjukkan persentase tertinggi senilai 14,5%, yaitu di antara titik pengamatan (2) Kelurahan Kampung Tengah RW 1 dan (3) Kelurahan Kampung Tengah RW 6 serta (17) Kelurahan Balekambang RW 4 dan (21) Kelurahan Balekambang RW 1. Berdasarkan formula Lauder, hal tersebut menunjukkan bahwa di Wilayah Condet tidak terdapat perbedaan. Meskipun di wilayah Condet tidak terdapat perbedaan bahasa, bukan berarti tidak ada bahasa lain yang masuk ke wilayah tersebut. Terdapat beberapa bahasa, yaitu bahasa Indonesia, Jawa, dan Sunda yang menyebar di beberapa titik pengamatan, khususnya dalam kelompok kata ganti, sapaan, dan acuan serta sistem kekerabatan. Hal tersebut disebabkan oleh banyaknya penduduk luar daerah yang bermukim di wilayah Condet. Kegagalan Condet sebagai cagar budaya Betawi dibuktikan dengan menurunnya pemakaian bahasa Betawi di daerah ini. Bahasa Indonesia lebih banyak dipakai dalam kegiatan seharisehari. Selain itu, penutur asli bahasa Betawi di wilayah ini tidak menurunkan bahasa Betawi kepada anak-cucunya. Kosakata ora sebagai penanda sebutan Betawi Ora tidak ditemukan di kecamatan Cipayung dalam penelitian Pratiwi (1996) dan juga di wilayah Condet dalam penelitian ini. Hal tersebut memperkuat anggapan bahwa Betawi Pinggiran bukan merupakan Betawi Ora. Oleh karena itu, muncul anggapan bahwa bahasa Betawi masa kini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu Betawi Tengahan, Betawi Pinggiran, dan Betawi Ora.
Saran Berdasarkan kesimpulan yang ada, penulis berpendapat bahwa perlu adanya penelitian sosiolinguistik mengenai pemertahanan bahasa di wilayah Condet. Hasil dari penelitian tersebut akan dapat digunakan untuk menentukan strategi yang tepat supaya pemakai bahasa Betawi di wilayah Condet mengajarkan bahasa Betawi kepada keturunannya sehingga bahasa Betawi terus ada hingga generasi masa kini. Selain itu, perlu adanya kajian mengenai muatan lokal yang ada di Jakarta. Hal ini disebabkan muatan lokal di sekolah-sekolah di Jakarta merupakan Kesenian Jakarta. Bahasa Betawi dianggap sebagai bahasa daerah khas Jakarta, namun tidak digunakan sebagai muatan lokal di Jakarta. Akan tetapi, di daerah lain
13 Pemetaan Bahasa..., Diar Luthfi Khairina, FIB UI, 2014
menggunakan bahasa daerah sebagai muatan lokal, contohnya Jawa Barat yang menggunakan bahasa Sunda serta Jawa Timur dan Jawa Tengah yang menggunakan bahasa Jawa.
Daftar Referensi Alwi, Hasan, dkk. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia: Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka, 2003. Ayatrohaedi. Dialektologi: Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, 1979. . Pedoman Penelitian Dialektologi. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2002. BPS Kota Administrasi Jakarta Timur. Jakarta dalam Angka. Jakarta: BPS Kota Administrasi Jakarta Timur, 2013. Budiawan, et al. Folklor Betawi. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1979. Chambers, J.K, dan Peter Trudgill. Dialectology: Second Edition. Cambridge: Cambridge University Press, 2007. Campbell, Lyle. Historical Linguistic: An Introduction. Cambridge: The MIT Press, 1998. Ikranagara, Kay. Tata Bahasa Melayu Betawi. Jakarta: Balai Pustaka, 1988. Keraf, Gorys. Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa. Flores: Nusa Indah, 1997. Kushartanti, dkk (ed.) Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007. Larasati, Indra Siswarini. “Bahasa dan Adat di Condet: Suatu Studi mengenai Masyarakat Transisi”. Skripsi tidak diterbitkan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1983. Lauder, Multamia RMT. Sekilas Mengenai Pemetaan Bahasa. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2007. . “Pemetaan dan Distribusi Bahasa-bahasa di Tanggerang”. Disertasi tidak diterbitkan di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok, 1990. Muhadjir.
Bahasa
Betawi:
Sejarah
dan
Perkembangannya.
Jakarta:
Puslitbang
Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB-LIPI) dan The Ford Foundation, 1999. Muhadjir. Fungsi dan Kedudukan Dialek Jakarta. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1979.
14 Pemetaan Bahasa..., Diar Luthfi Khairina, FIB UI, 2014
Pratiwi, Endang Hesti. “Bahasa Betawi di Cipayung DKI Jakarta: Sebuah Pemetaan Bahasa dan Analisis Kebahasaan”. Skripsi tidak diterbitkan di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1996. Wijaya, Hussein. Seni Budaya Betawi. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1976
15 Pemetaan Bahasa..., Diar Luthfi Khairina, FIB UI, 2014