PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TERTUTUP SEBAGAI UPAYA BARU PENEGAKAN HUKUM DI BIDANG PERPAJAKAN Rafika Amilia Lesmana Dikdik Suwardi, S.Sos, M.E Salah satu upaya DJP mengamankan penerimaan negara tahun 2013 adalah dengan meningkatkan penegakan hukum pajak yang direalisasikan dengan mengeluarkan PMK No.18/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana Perpajakan. Kini, DJP berwenang melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup dimana Wajib Pajak tidak diberi Surat Pemberitahuan akan dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan. Dengan metode penelitian kualitatif, hasil penelitian menunjukan bahwa Pemeriksaan Bukti Permulaan sebelum PMK No. 18/PMK.03/2013 belum efektif dalam mendapatkan Bukti Permulaan. Hal ini disebabkan oleh faktor aturan, faktor penegak hukum, faktor fasilitas, maupun faktor masyarakat itu sendiri. Untuk itu PMK No. 18/PMK.03/2013 dibentuk sebagai hasil penyempurnaan aturan terdahulu. One effort DJP in securing state receipts 2013 is to intensify the law enforcement tax realized issue PMK No. 18/PMK.03/2013 on procedures Pre-Investigation tax crime. With the existence of this policy, DJP authorized for closed Tax PreInvestigation where taxpayers not given notification letter. With the qualitative methods, research showed that Tax Pre-Investigation before PMK No. 18/PMK.03/2013 not effective in getting evidence beginning tax crime. It is caused by several factors, either from factor rule, factor fiscus, facilities factor, and factor society itself. For that formed PMK No. 18/PMK.03/2013 as their consummation procedurs Tax Pre-Investigation first. Keywords: Tax Examination Evidence Beginning, Tax Evasion, Law Enforcement
1. Pendahuluan Walaupun pada tahun 2012, penerimaan negara dari sektor pajak tidak memenuhi target, atau hanya 96,1% dari APBN-P (2012, www.detikfinace.com), Direktorat Jenderal Pajak dihadapi oleh tantangan besar, yaitu dinaikkannya kembali target penerimaan pajak di tahun 2013 dengan nilai Rp 1.042,32 triliun atau tumbuh 24,79% dari realisasi penerimaan pajak di tahun 2012. Untuk menjawab tantangan ini, Direktorat Jenderal Pajak sebagai lembaga yang bertugas melakukan pemungutan pajak telah menyusun langkah strategis untuk
Pemeriksaan bukti..., Rafika Almilia Lesmana..., FISIP-UI, 2013
mengamankan penerimaan pajak di tahun 2013, salah satunya dengan meningkatkan law enforcement di bidang perpajakan (Siaran Pers Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan “Strategi Pemangamanan Penerimaan Pajak Tahun 2013). Menindaklanjuti strategi yang telah dibuat tersebut, pada bulan Februari 2013 Direktorat Jenderal Pajak mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan sebagai salah satu upaya penegakan hukum di bidang perpajakan. Dengan adanya kebijakan baru ini, terjadi perubahan besar dalam sistem penegakan hukum di bidang perpajakan, terutama dalam Pemeriksaan Bukti Permulaan. Pemeriksaan Bukti Permulaan tidak lagi menjadi bagian dari Pemeriksaan Pajak biasa, melainkan sudah menjadi bagian dari Penyidikan Pajak seperti Penyelidikan pada instansi penegak hukum lain. Berdasarkan uraian di atas, pokok permasalahan yang relevan untuk dibahas dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana efektifitas kebijakan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebelum Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2013? 2. Apa saja hambatan yang dihadapi Pemeriksa Bukti Permulaan sebelum Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2013? 3. Bagaimana kebijakan Pemeriksaan Bukti Permulaan tertutup sebagai upaya baru penegakan hukum di bidang perpajakan? 2. Kerangka Teori 2.1 Hukum Tindak Pidana Pajak Sehubungan dengan tindak pidana pajak dalam terminologi hukum pajak terdapat beberapa istilah yang mengacu dan mirip dengan tindak pidana pajak, seperti tax offense, tax fraud, tax evasion, dan tax avoidance yang sebenarnya memiliki arti yang berbeda dan tidak sama dengan tindak pidana pajak. Menurut Djangkung Sudjarwadi (Sudjarwadi, 2) dalam makalah yang disampaikan pada Seminar Perpajakan di Hotel Sahid Jaya Jakarta pada tanggal 7 September 2004 istilah-istilah tersebut diartikan sebagai berikut:
Pemeriksaan bukti..., Rafika Almilia Lesmana..., FISIP-UI, 2013
Tax offense adalah upaya perlawanan wajib pajak baik secara pasif maupun aktif tidak melaporkan dan tidak membayar pajak yang terutang dengan ketentuan undang-undang, baik dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak meupaun bekerjasama dengan orang lain, termasuk kolusi dengan oknum aparat pajak. Tax fraud is form of deliberate evasion of tax which is generally punishable by law. The term includes situation in which deliberate false statements are submitted, fake documents are produce, etc. (pengelakan pajak secara sengaja melalui pelaporan SPT yang isinya tidak benar, memberikan dokumen-dokumen palsu, dan pada umumnya diancam dengan hukuman pidana) Tax evasion is the term applied to the avoidance of tax by unlawful means. i.e. the tax payer less tax than legally obligated to pay. Tax evasion can be carried out by the omission of taxable income or transaction, or reduction of the amount properly due by fraudulent misstatement or misrepresentation. (pengelakan pajak atau penghindaran pajak dengan cara yang bertentangan dengan undang-undang perpajakan sehingga diancam dengan sanksi baik secara administratif, maupun hukuman pidana) Tax avoidance adalah penghindaran pajakmelalui pemanfaatan celah ketidaklengkapan peraturan perundang-undangan pajak (loopholes), sehingga dianggap tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa objek hukum tindak pidana pajak adalah perbuatan-perbuatan yang melanggar larangan-larangan atau kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam undang-undang pajak, yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Sedangkan subjek hukum tindak pidana pajak adalah orang atau badan atau siapa yang dapat dipertanggung jawabkan atas pelanggaran hukum pidana pajak. 2.2.Penegakan Hukum Pajak Penegakan hukum menurut Purnadi Purbacaraka, seperti yang disadur dari Soerjono Soekanto adalah: “… kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah/pandangan-pandangan menilai yang mantap dan mengejewantahkan dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan (sebagai “social engineering”,
Pemeriksaan bukti..., Rafika Almilia Lesmana..., FISIP-UI, 2013
memelihara, dan mempertahankan (sebagai “social control” kedamaian pergaulan hidup”. (Soekanto, 13) Dengan demikian sistem penegakan hukum (yang baik) menyangkut penyerasian antara nilai dengan kaidah serta dengan perilaku nyata manusia. Menurut Soerjono Soekanto (Soekanto, 30) terdapat empat faktor yang mempengaruhi berfungsinya suatu kaidah hukum atau peraturan: 1. Kaidah hukum atau peraturan itu sendiri Dalam hal ini, hukum yang dimaksud adalah peraturan yang tertulis yang merupakan undang-undang resmi. Masalah yang dapat timbul antara lain: a. Apakah peraturan yang ada mengenai bidang kehidupan tertentu cukup sistematis? b. Apakah peraturan yang ada mengenai bidang kehidupan tertentu cukup sinkron, artinya: o Apakah secara hirarkis tidak ada pertentangan? o Apakah secara horizontal tidak ada pertentangan? c. Apakah secara kuantitatif dan kualitatif peraturan yang mengatur bidang kehidupan tertentu sudah cukup? d. Apakah penerbitan peraturan tertentu sesuai dengan persyaratan yuridis yang ada? 2. Petugas yang menegakan atau yang menerapkan Petugas penegak hukum mencakup ruang lingkup yang sangat luas, oleh karena menyangkut petugas pada strata atas, menengah, dan bawah. Dalam hal penegakan hukum tersebut, mungkin sekali para petugas menghadapi masalah sebagai berikut: a. Sampai sejauh mana petugas terikat oleh peraturan yang ada? b. Sampai batas manakah petugas diperkenankan memberikan “kebijaksanaan”? c. Teladan macam apakah yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada masyarakat? d. Sampai sejauh manakah derajat sinkronisasi penugasan yang diberikan kepada petugas sehingga memberikan batas yang tegas pada wewenangnya?
Pemeriksaan bukti..., Rafika Almilia Lesmana..., FISIP-UI, 2013
3. Fasilitas yang diharapkan dapat mendukung pelaksanaan kaidah hukum Secara sederhana, fasilitas dapat dirumuskan sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Ruang lingkupnya terutama adalah sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. a. Apa yang sudah ada, dipelihara agar setiap saat berfungsi b. Apa yang belum ada, perlu diadakan dengan memperhitungkan jangka waktu pengadaannya c. Apa yang kurang perlu dilengkapi d. Apa yang telah rusak diperbaiki atau diganti e. Apa yang macet, dilancarkan f. Apa yang telah mundur, ditingkatkan 4. Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan tersebut. Pembahasan mengenai warga masyarakat tentu berkaitan dengan masalah derajat kepatuhan. Secara sempit dapat dikatakan bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan. Hal yang dapat menyangkut warga masyarakat berkisar pada: a. Penyuluhan hukum yang teratur b. Pemberian teladan yang baik dari petugas dalam hal kepatuhan terhadap hukum dan respek terhadap hukum c. Pelembagaan yang terencana dan terarah Penegakan dengan tegas Undang-Undang Perpajakan atau yang disebut sebagai tax law enforcement atau enforcement di bidang perpajakan telah dirumuskan oleh IBFD (International Bureu of Fiscal Documentation) sebagai berikut: Action taken by the tax authority to ensure that the taxpayer or potential taxpayer complies with the tax law, e.g. by rendering returns or account etc. Or providing other relevant information, and paying or otherwise accounting for tax which is due. Means of enforcement may include penalties for failure to render returns stc, interest charged on late payments of tax, criminal prosecution in case of evasion of freaud etc (Nurmantu, 159).
Pemeriksaan bukti..., Rafika Almilia Lesmana..., FISIP-UI, 2013
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa penegakan hukum di bidang perpajakan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh pejabat terkait untuk menjamin agar pembayar pajak (Wajib Pajak) atau pembayar pajak potensial lainnya (calon pembayar pajak) memenuhi ketentuan Undang-Undang Perpajakan. 2.3 Efektivitas Penegakan Hukum Hukum sebagai kaidah merupakan patokan mengenai sikap tindak atau perilaku yang pantas. Metode berpikir yang dipergunakan adalah metode deduktif-rasional, sehingga menimbulkan jalan pikiran yang dogmatis. Di lain pihak ada yang memandang hukum sebagai sikap tindak atau perilaku yang teratur (ajeg). Metode berpikir yang digunakan adalah induktif-empiris, sehingga hukum itu dilihatnya sebagai tindak yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama, yang mempunyai tujuan tertentu. Menurut Soerjono Soekanto dalam bukunya yang berjudul “Penegakan Hukum” (Soekanto, 73) menyatakan bahwa efektivitas hukum dalam tindakan atau realita hukum dapat diketahui apabila seseorang menyatakan bahwa suatu kaidah hukum berhasil atau gagal mencapai tujuanya, maka hal itu biasanya diketahui apakah pengaruhnya berhasil mengatur sikap tindak atau perilaku tertentu sehingga sesuai dengan tujuannya atau tidak. 3. Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian “Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagai Upaya Baru Penegakan Hukum Pajak” ini adalah pendekatan kualitatif. Berdasarkan tujuan penelitian, penelitian termasuk ke dalam kategori penggambaran fenomena sosial. Tujuan penelitian ini disebut penelitian deskriptif. Penelitian ini, berdasarkan manfaatnya termasuk dalam kategori penelitian murni. Dari segi dimensi waktu, penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional. Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional karena hanya dilakukan pada satu periode waktu tertentu, yakni pada bulan Januari-Juni 2013 di DKI Jakarta tanpa bertujuan untuk melakukan penelitian ulang dengan topik yang
Pemeriksaan bukti..., Rafika Almilia Lesmana..., FISIP-UI, 2013
sama
dan
membandingkannya
dengan
penelitian
sebelumnya.
Teknik
pengumpulan data melalui studi literatur dan studi lapangan. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif. Data yang diperoleh bersumber dari hasil studi literatur, dan wawancara yang mendalam. Kemudian memilih hasil wawancara yang paling relevan dengan topik penelitian untuk kemudian dipahami lebih lanjut. Kemudian membuat daftar untuk mengategorisasikan topik dan memberikan kode pada topik-topik tersebut. Selanjutnya mereduksi daftar tersebut, hanya yang terkait dengan permasalahan penelitian. proses terakhir adalah melakukan analisis dari proses pengumpulan dan pengategorisasian hasil wawancara dengan cara mengaitkannya dengan masalah penelitian. Data yang terkumpul disajikan dalam bentuk kutipan-kutipan langsung atau penjelasan dari hasil wawancara dengan informan penelitian, serta kajian bahan tulisan yang dimulai dengan menelaah seluruh data yang pada akhirnya memperoleh informasi yang akurat untuk dituangkan dalam laporan penelitian ini.
4. Hasil dan Pembahasan 4.1 Efektifitas Pemeriksaan Bukti Permulaan sebelum Peraturan Menteri Keuangan No. 18/PMK.03/2013 Menurut Soerjono Soekanto dalam bukunya yang berjudul “Penegakan Hukum” (Soekanto, 73), hukum adalah suatu pola kehidupan dalam masyarakat, oleh karena masyarakat itu sendiri menghendaki proses pergaulan hidup yang normal, yang berarti adanya suatu keserasian antara kepentingan kehidupan berkelompok dengan kepentingan kehidupan orang-perorangan atau pribadi. Citacita untuk mencapai keserasian antara kepentingan kelompok dengan kepentingan orang-perorangan, antara lain terwujud dalam tujuan hukum untuk mencapai keserasian antara ketertiban (kepastian hukum, orde atau order) dengan keadilan (ketentraman, ketenangan, rust atau freedom), sehingga sering dikatakan bahwa hukum bertujuan untuk mencapai rechtvaardigeordening der samenleving. Efektifitas adalah ketercapaian tujuan. Untuk mengukur efektifitas Pemeriksaan Bukti Permulaan, tentunya kita harus mengetahui terlebih dahulu
Pemeriksaan bukti..., Rafika Almilia Lesmana..., FISIP-UI, 2013
tujuan dari Pemeriksaan Bukti Permulaan itu sendiri. Tujuan dari Pemeriksaan Bukti Permulaan ada tiga. Pertama, ditemukannya Bukti Permulaan. Kedua, sebagai pemberi efek gentar dan jera. Ketiga, sebagai upaya meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Tujuan utama dari Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah mencari Bukti Permulaan. Hal ini sesuai dengan jawaban dari Bapak Rachmad Auludi (Wawancara mendalam, 10 Mei 2013) ketika ditanya mengenai tujuan utama dari Pemeriksaan Bukti Permulaan, yaitu untuk mendapatkan Bukti Permulaan. Dengan demikian untuk mengukur efektifitas Pemeriksaan Bukti Permulaan, dapat dilihat dari jumlah kasus yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, kemudian jumlah kasus yang berhasil ditemukan Bukti Permulaannya. Untuk mengukur efektivitas tujuan Pemeriksaan Bukti Permulaan yang pertama, yaitu ditemukannya bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan, maka dapat kita lihat dari tabel 4.1 di bawah ini yang menyajikan data jumlah kasus yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan dan Tindak Lanjutnya. Tabel 4.1 Pemeriksaan Bukti Permulaan dan Tindak Lanjutnya Selesai Tahu n
Tunggaka n Awal
Surat Perinta h
2007
503
2008
Tunggaka n Akhir
Sidi k
Pengungkapan Ketidakbenara n
Risala h
Surat Ketetapa n Pajak
Sumi r
760
93
12
0
114
169
883
883
410
32
16
1
154
193
897
2009
897
458
59
60
7
56
177
996
2010
996
478
67
131
35
20
209
1012
2011
1012
464
49
105
48
20
167
1087
2012
1087
574
50
131
42
5
234
1199
Sumber: Direktorat Intelijen dan Penyidikan Pajak Pada tabel di atas, disajikan data Pemeriksaan Bukti Permulaan dan tindak lanjutnya dalam 6 tahun terakhir, yaitu dari tahun 2007 sampai dengan 2012. Pada tahun 2007-2012, tata cara Pemeriksaan Bukti Permulaan masih mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan No. 202/PMK.03/2007. Dalam
Pemeriksaan bukti..., Rafika Almilia Lesmana..., FISIP-UI, 2013
Peraturan Menteri Keuangan No. 202/PMK.03/2007 Pemeriksaan Bukti Permulaan ditindaklanjuti dengan Penyidikan dan tindakan lainnya. Tindakan lain yang dimaksud diatur dalam Pasal 13 Peraturan Menteri Keuangan No. 202/PMK.03/2007 yang berbunyi Tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dapat berupa: a.
Penerbitan Surat Ketetapan Pajak dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan dilaksanakan terhadap: 1) Wajib Pajak yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan atas kealpaan yang pertama kali diketahui oleh Direktur Jenderal Pjak 2) Wajib Pajak badan yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 29 ayat (3) dan ayat (3a) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, tetapi tidak ditemukan bukti permulaan bahwa Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan
b.
Pembuatan laporan kepada pihak lain yang berwenang apabila ditemukan bukti permulaan yang mengandung adanya unsur tindak pidana selain di bidang perpajakan;
c.
Pembuatan
laporan
sumir
apabila
Wajib
Pajak
mengungkapkan
ketidakbenaran perbuatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; d.
Pembuatan laporan sumir apabila tidak ditemukan adanya indikasi tindak pidana di bidang perpajakan, Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan tidak ditemukan, Wajib Pajak orang pribadi yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan meninggal dunia; atau
e.
Mengirimkan risalah mengenai temuan Pemeriksaan Bukti Permulaan terkait dengan pembuatan laporan sumir sebagaimana dimaksud pada huruf d dalam hal terdapat pajak yang terutang. Tabel 4.2 Efektifitas Pemeriksaan Bukti Permulaan
Tahun
Pemeriksaan Bukti Permulaan yang berhasil
Kasus yang ditindaklanjuti Presentase ke Penyidikan
Pemeriksaan bukti..., Rafika Almilia Lesmana..., FISIP-UI, 2013
2007
di selesaikan 380
93
24,5%
2008
396
32
8,1%
2009
359
59
16,4%
2010
462
67
14,5%
2011
389
49
12,6%
2012
462
50
10,8%
Sumber data: Diolah oleh Peneliti Melihat aturan yang berlaku tentang tindak lanjut Pemeriksaan Bukti Permulaan pada tahun 2007-2012, maka hanya kolom “sidik” pada tabel 4.2 yang dapat
dikatagorikan
sebagai
ditemukannya
bukti
permulaan.
Dengan
mempertimbangkan data di atas, dapat disimpulkan bahwa Pemeriksaan Bukti Permulaan saat Peraturan Menteri Keuangan No. 202/PMK.03/2007 dapat dikatakan kurang efektif dalam menemukan Bukti Permulaan tindak pidana di bidang perpajakan. Namun, pada Pemeriksaan Bukti Permulaan yang tidak dapat ditemukan Bukti Permulaannya belum tentu menunjukkan ketidakefektifan Pemeriksaan Bukti Permulaan. Hal ini dapat saja mengindikasikan memang Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan tersebut tidak melakukan tindak pidana perpajakan. Untuk itu, perlu dianalisis pula alasan tidak ditemukannya Bukti Permulaan tersebut. Jika tidak ditemukannya Bukti Permulaan tersebut karena memang Wajib Pajak tidak melakukan tindak pidana maka Pemeriksaan Bukti Permulaan tersebut dianggap berhasil, namun jika karena hal lain maka Pemeriksaan Bukti Permulaan itu dianggap tidak berhasil. Hal ini senada dengan Profesor Gunadi selaku Dosen Tindak Pidana Perpajakan di Universitas Indonesia yang menyatakan bahwa: “Pemeriksaan Bukti Permulaan tersebut salah sasaran. Jadi ya termasuk efektif juga, efektif karena dia tahu kalau salah. Karena memang didasari oleh kecurigaan. Dulu ketika sebelum menuju Pemeriksaan Bukti Permulaan belum ada tanda-tanda yang diduga kuat. Diduga kuatnya itu yang harus dicari” (Wawancara mendalam, 13 Juni 2013)
Pemeriksaan bukti..., Rafika Almilia Lesmana..., FISIP-UI, 2013
4.2 Hambatan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebelum Peraturan Menteri Keuangan No. 18/PMK.03/2013 Kurang efektifnya Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam mencari Bukti Permulaan tindak pidana di bidang perpajakan pada peraturan sebelum Peraturan Menteri Keuangan No. 18/PMK.03/2013 dikarenakan adanya hambatan-hambatan yang ditemui di lapangan. Soerjono Soekanto dalam bukunya yang berjudul “Penegakan Hukum” menyatakan bahwa ada empat faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu 1) Kaidah hukum atau peraturan; 2) Penegak hukum; 3) Fasilitas atau sarana untuk mencapai tujuan; 4) Warga masyarakat terkait derajat kepatuhan (Soekano, 30). Jika ditinjau dari faktor yang mempengaruhinya, hambatan-hambatan tersebut dapat diidentifikasi menjadi: 1. Kaidah hukum dan peraturan Dalam hal ini, pembicaraan dibatasi pada peraturan tertulis yang merupakan perundang-undangan resmi, yaitu Peraturan Menteri Keuangan No. 202/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan tindak pidana di bidang perpajakan. Hambatan yang dapat diidentifikasi, antara lain: -‐
Surat
Pemberitahuan
Pemeriksaan
Bukti
Permulaan
pada
PMK
202/PMK.03/2007 harus disampaikan terlebih dahulu kepada Wajib Pajak. Setelah Surat Pemberitahuan tersebut sudah diterima oleh Wajib Pajak, barulah Pemeriksaan Bukti Permulaan dapat dilakukan. Namun, kenyataan di
lapangan
seringkali
Pemeriksa
mengalami
kesulitan
dalam
menyampaikan Surat Pemberitahuan Permeriksaan Bukti Permulaan tersebut karena Wajib Pajak tidak ditemukan. Dengan demikian, apabila Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan tidak disampaikan, maka Pemeriksaan Bukti Permulaan tidak dapat dimulai. 2. Penegak hukum Dalam melaksanakan Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana Perpajakan, Pemeriksa diminta untuk berpatokan pada 3 hal, yaitu yang pertama jangan bertindak diluar aturan, kedua jangan sewenang-wenang, dan terakhir jangan menerima apa-apa yang sifatnya integritas. Adapun hambatan dari segi penegak hukum, antara lain:
Pemeriksaan bukti..., Rafika Almilia Lesmana..., FISIP-UI, 2013
-‐
Dari segi jumlah, Pemeriksa Bukti Permulaan sebagai aparat penegak hukum dapat dikatakan cukup. Walaupun masih dirasa kurang di beberapa Kantor Wilayah, namun hal tersebut dikarenakan luasnya wilayah kerja dan masih dapat diatasi dengan sistem mutasi. Ya sebetulnya kita masih kurang. Kan kita ini tergantung kebutuhan, kadang di Kanwil satu ini sudah cukup, kanwil satunya masih terasa kurang karena wilayah kerjanya. Makanya ada pola mutasi. Tapi kalau disini sudah cukup. (Wawancara dengan Bapak Budi selaku Kepala Tim Pemeriksaan Bukti Permulaan di Kantor Pusat DJP pada 21 Mei 2013 pukul 18.00 WIB)
-‐
Dari segi pendidikan, kompetensi yang harus dimiliki Pemeriksa adalah pengetahuan di bidang hukum, akuntansi, dan teknologi informasi. Untuk kompetensi di bidang akuntansi sudah dapat dipenuhi karena rata-rata Pemeriksa merupakan lulusan STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara). Namun untuk pengetahuan di bidang hukum yang masih kurang.
3. Fasilitas Fasilitas yang dibutuhkan dalam rangka pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan, antara lain Surat Tugas, Surat Perintah Perjalanan Dinas, kendaraan, alat untuk cloning data, alat untuk menyadap telefon, alat untuk mengembalikan data yang telah dihapus pada alat elektronik. Dari segi jumlah dan kondisi fasilitas, tidak ada hambatan yang berarti. 4. Masyarakat Wajib Pajak memiliki kecenderungan untuk menghindari pajak yang dapat berupa Tax Avoidance atau Tax Evasion juga berlanjut pada saat Wajib Pajak dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan. Wajib Pajak cenderung menyembunyikan barang bukti yang mengarahkannya terhadap tindakannya melakukan tindak pidana pajak. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa kasus. Modus lainnya adalah Wajib Pajak tersebut kabur ke luar negeri untuk menghindari pemeriksaan. Dengan kaburnya Wajib Pajak ke luar negeri atau ke luar wilayah yuridiksi hukum Indonesia, dengan demikian kasus penggelapan pajak tersebut tidak dapat diproses.
Pemeriksaan bukti..., Rafika Almilia Lesmana..., FISIP-UI, 2013
4.3 Pemeriksaan Bukti Permulaan Tertutup sebagai Upaya Baru Penegakan Hukum di Bidang Perpajakan Penegakan hukum menurut Purnadi Purbacaraka, seperti yang disadur dari Soerjono Soekanto adalah: “… kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah/pandangan-pandangan menilai yang mantap dan mengejewantahkan dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan (sebagai “social engineering”, memelihara, dan mempertahankan (sebagai “social control” kedamaian pergaulan hidup”. (Soekanto, 13) Pemeriksaan Bukti Permulaan pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2013
mengalami
perubahan
yang
signifikan
dari
kebijakan
Pemeriksaan Bukti Permulaan sebelumnya, yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 202/PMK.03/2007. Konsepsi dasar dari pembentukan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2013 ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011. Pada kebijakan yang baru ini, Pemeriksaan Bukti Permulaan bukan lagi merupakan bagian dari Pemeriksaan Pajak, melainkan sudah masuk ke dalam tahap Penyidikan Pajak dan apabila dikaitkan dengan aparat penegak hukum yang lain, Pemeriksaan Pajak dipersamakan dengan tahap Penyelidikan dalam proses pemidanaan. Hal ini senada dengan pernyataan Tunjung Nugroho selaku konseptor Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011. “Akhirnya dengan PP No. 74, kita sempurnakanlah prosedur Pemeriksaan Bukti Permulaan ini. Termasuk mencoba meng-clear kan Pemeriksaan Bukti Permulaan itu seperti penyelidikan pada penegak hukum yang lain”. (Wawancara mendalam, 14 Juni 2013) Dengan adanya perubahan yang mendasar ini, diperlukan beberapa perubahan besar dalam tata caranya, yaitu dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan tertutup seperti diatur dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2013. Dengan dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup, Wajib Pajak tidak mengetahui bahwa dirinya sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan karena Pemeriksaan Bukti Permulaan tertutup dilakukan tanpa penyampaian Surat Perintah
Pemeriksaan Bukti Permulaan
kepada Wajib Pajak. Selain itu, dalam permintaan keterangan kepada pihak ketiga
Pemeriksaan bukti..., Rafika Almilia Lesmana..., FISIP-UI, 2013
juga dilakukan tanpa mengungkapkan identitas Wajib Pajak yang sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan. Cara ini dilakukan seperti proses Penyelidikan pada Penegak Hukum lain, seperti Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan lain-lain. Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2013 terdapat beberapa perubahan dari peraturan sebelumnya, yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 202/PMK.03/2013 yang dapat menunjang Pemeriksa dalam melaksanakan tugasnya untuk mencari Bukti Permulaan. Perubahan-perubahan itu antara lain: 1.
Pemeriksa Bukti Permulaan Pada ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2013
diatur bahwa Pemeriksaan Bukti Permulaan merupakan seorang Penyidik, sedangkan pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 202/PMK.03/2007 Pemeriksa Bukti Permulaan minimal terdiri dari satu orang Penyidik. Perbedaan ini dilandasi karena pada Pemeriksaan Bukti Permulaan pada PMK No. 18/PMK.03/2013 telah dimaknai sebagai bagian dari Penyidikan, yaitu Penyelidikan. Sehingga dalam proses pelaksanaannya harus dilakukan oleh Penyidik, yaitu Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang telah dilatih dan diberi pengetahuan mengenai hukum pidana dan terdaftar sebagai Penyidik pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. 2.
Pemeriksaan ulang bagi yang telah diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Apabila pengembangan dan analisis Informasi, Data, Laporan, dan
Pengaduan terkait dengan Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak yang sudah diterbirkan Surat Ketetapan Pajak, hasil pengembangan analisis tersebut ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan atau Pemeriksaan ulang. Hal ini tidak diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 202/PMK.03/2007. Ketentuan ini diatur untuk menjaga kepastian hukum Wajib Pajak. 3.
Perluasan Ruang Lingkup Dengan diaturnya ketentuan mengenai perluasan ruang lingkup ini, maka
Pemeriksaan Bukti Permulaan tertutup tidak lagi terpaku pada hasil analisis
Pemeriksaan bukti..., Rafika Almilia Lesmana..., FISIP-UI, 2013
Informasi, Data, Laporan, Pengaduan, maupun hasil laporan intelijen. Apabila dalam proses Pemeriksaan Bukti Permulaan ditemukan adanya indikasi tindak pidana perpajakan dari tahun dan jenis pajak yang semula tidak termasuk dalam ruang lingkup awal, maka Pemeriksaan Bukti Permulaan dapat diperluas. 4.
Jangka Waktu Pemeriksaan Bukti Permulaan Pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2013, jangka
waktu Pemeriksaan Bukti Permulaan ditetapkan paling lama 6 bulan, sedangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 202 tidak diatur mengenai jangka waktu pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan. Dengan diaturnya jangka waktu Pemeriksaan Bukti Permulaan, maka menjamin kepastian hukum bagi Wajib Pajak, walaupun Pemeriksaan Bukti Permulaan itu dapat diperpanjang sampai batas waktu yang tidak ditentukan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2013 tersebut. 5.
Kewajiban Pemeriksa merahasiakan identitas Wajib Pajak Pada Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup, Pemeriksa Bukti
Permulaan selain wajib mengamnkan bahan bukti dan membuat Laporan Kejadian apabila Pemeriksaan Bukti Permulaan ditindaklanjuti dengan Penyidikan, Pemeriksa Bukti Permulaan juga tidak boleh mengungkapkan identitas Wajib Pajak yang sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan. Hal ini diatur pada Pasal 28 ayat (1) huruf a. 6.
Kewajiban Wajib Pajak Dalam Pemeriksaan Bukti Permulaan tertutup, tidak ada pasal khusus
yang membahas mengenai kewajiban Wajib Pajak pada Pemeriksa Bukti Permulaan Tertutup karena memang tidak ada kontak langsung antara Pemeriksa Bukti Permulaan dengan Wajib Pajak dalam rangka Pemeriksaan Bukti Permulaan.
7.
Kewenangan Pemeriksa Bukti Permulaan
Pemeriksaan bukti..., Rafika Almilia Lesmana..., FISIP-UI, 2013
Pada Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup, Pemeriksa Bukti Permulaan tidak dapat meminjam dokumen dari Wajib Pajak secara langsung atau melakukan Penyegelan tempat atau ruang tertentu yang dicurigai sebagai tempat penyimpanan barang bukti. Dengan demikinan, cara yang dapat dilakukan Pemeriksa untuk mencari Bukti Permulaan adalah dengan melakukan kegiatan intelijen, seperti pengamatan (observasi), pembuntutan, (surveillance), dan penyamaran (undercover). Seperti diatur dalam Pasal 28 ayat (2) huruf a Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2013. 8.
Hak Wajib Pajak Pada Pemeriksaan Bukti Permulaan Tertutup, Wajib Pajak dengan
kemauan sendiri masih dapat melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan, baik pembetulan karena kekeliruan yang menyatakan kurang bayar ataupun yang menyatakan lebih bayar, bahkan Wajib Pajak masih diberikan kesempatan untuk melakukan pembetulan Surat Pemberitahunan Tahunan walaupun menerima Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan di Surat Pemberitahuan Tahunan tersebut dan dalam Pemeriksaan Bukti Permulaannya dilakukan dengan mempertimbangkan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 32 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2013. Akan tetapi, Wajib Pajak tidak dapat menggunakan hak untuk melakukan upaya perdamaian Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Nomor 16 Tahun 2009. Hal ini berbanding terbalik dengan tata cara Pemeriksaan Bukti Permulaan terbuka dimana upaya perdamaian Pasal 8 ayat (3) dapat digunakan oleh Wajib Pajak.
9.
Ketentuan Pemeriksaan Bukti Permulaan saat Wajib Pajak dilakukan Pemeriksaan Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara
tertutup yang juga dilakukan Pemeriksaan ditentukan berdasarkan tindak lanjut Pemeriksaan
Bukti
Permulaan.
Apabila
Pemeriksaan
Pemeriksaan bukti..., Rafika Almilia Lesmana..., FISIP-UI, 2013
Bukti
Permulaan
ditindaklanjuti dengan penyidikan, maka Pemeriksaan ditangguhkan sampai Penyidikan dihentikan, baik karena tidak terdapat cukup bukti, atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan, atau penyidikan dihentikan karena peristiwanya sudah daluwarsa, atau tersangka meninggal dunia, atau dihentkan karena Wajib Pajak menggunakan hak upaya perdamaian Pasal 44B, maupun dihentikan karena telah diputuskan di Pengadilan atas tindak pidana di bidang perpajakan tersebut. Jika penghentian karena tidak terdapat cukup bukti, atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan, atau penyidikan dihentikan karena peristiwanya sudah daluwarsa, atau tersangka meninggal dunia, atau karena sudah diputuskan oleh pengadilan atas tindak pidana tersebut, maka Pemeriksaan dilanjutkan kembali. Namun, jika penghentian Penyidikan dilakukan karena upaya perdamaian, maka Pemeriksaan Pajak tersebut dihentikan. Ketentuan ini diatur untuk menjaga kepastian hukum Wajib Pajak yang sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan bersamaan dengan Pemeriksaan Pajak.
10. Kertas Kerja Kertas Kerja Pemeriksaan Bukti Permulaan pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2013 sudah diatur menjadi lebih sistematis. Pada Pemeriksaan Bukti Permulaan pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.04/2013, Pemeriksa harus memberikan analisis kasus dan analisis yuridis. Analisis kasus itu meliputi modus operansi, waktu kejadian, tempat kejadian, dan Pasal yang disangkakan. Sedangkan analisis yuridis meliputi unsur subjek, kesalahan, perbuatan, dan kerugian pada pendapatan negara. 11. Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan menjadi sangat penting dalam Pemeriksaan Bukti Permulaan tertutup karena laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan menjadi bukti telah dilakukannya Pemeriksaan Bukti Permulaan. 12. Tindak Lanjut Pemeriksaan Bukti Permulaan
Pemeriksaan bukti..., Rafika Almilia Lesmana..., FISIP-UI, 2013
Tindak lanjut hasil pemeriksaan pada Pemeriksaan Bukti Permulaan tertutup dilakukan dengan cara yang sama dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka. Yang berbeda, apabila tidak ditemukan tindak pidananya, maka pada Pemeriksaan Bukti Permulaan tertutup tidak perlu diberitahukan kepada Wajib Pajak. Selain itu, pada Pemeriksaan Bukti Permulaan tertutup, tidak dikenal adanya
Surat Ketetapan Pajak bagi Wajib Pajak yang melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan No. 16 Tahun 2009, yaitu mengenai perbuatan tindak pidana yang atas kealpaan yang pertama kali diketahui Direktur Jenderal Pajak. 5. Kesimpulan Mengacu pada latar belakang masalah, masalah pokok, serta teori terkait yang digunakan dalam pembahasan, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut: 1. Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam rangka penegakan hukum di bidang perpajakan dapat dilihat dari ketercapaian tujuan Pemeriksaan Bukti Permulaan itu sendiri. Tujuan Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah untuk mencari Bukti Permulaan tindak pidana di bidang perpajakan, yang diharapkan dapat menimbulkan deterrence effect sehingga dapat meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktorat Intelijen dan Penyidikan Pajak dapat disimpulkan bahwa Pemeriksaan Bukti Permulaan sebelum Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2013 belum dapat dikatakan efektif. 2. Efektifitas pada pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebelum Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2013 disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu faktor aturan, faktor penegak hukum, faktor fasilitas, dan faktor masyarakat. Faktor yang paling berpengaruh terhadap efektivitas Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah factor masyarakat. Dari hasil penelitian, ditemukan bahwa Wajib Pajak cenderung untuk menghindari Pemeriksaan Bukti Permulaan dengan cara menghilangkan bukti tindak pidana yang dilakukannya atau dengan cara melarikan diri.
Pemeriksaan bukti..., Rafika Almilia Lesmana..., FISIP-UI, 2013
3. Pemeriksaan Bukti Permulaan pada Peraturan Menteri Keuangan No. 18/PMK.03/2013 mengalami perubahan yang signifikan dari kebijakan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebelumnya. Dengan peraturan yang baru ini, Pemeriksaan Bukti Permulaan bukan lagi merupakan bagian dari Pemeriksaan Pajak, melainkan sudah masuk ke dalam tahap Penyidikan Pajak. Apabila dikaitkan dengan aparat penegak hukum yang lain, Pemeriksaan Pajak dipersamakan dengan tahap Penyelidikan dalam proses pemidanaan. Untuk itu diperlukan beberapa perubahan besar dalam tata caranya,
yaitu
dengan
Pemeriksaan
Bukti
Permulaan
tertutup.
Pemeriksaan Bukti permulaan tertutup dilakukan dengan cara tidak memberitahukan kepada Wajib Pajak bahwa ia sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan tindak pidana perpajakan. Dengan demikian, Pemeriksa Bukti Permulaan tidak dapat kontak secara langsung kepada Wajib Pajak dan dalam pencarian buktinya pun harus merahasiakan nama Wajib Pajak, sehingga diperlukan kemampuan teknikteknik intelijen dalam melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaannya. Dengan adanya Pemeriksa Bukti Permulaan tertutup ini, diharapkan pencarian Bukti Permulaan dapat lebih efektif lagi.
Pemeriksaan bukti..., Rafika Almilia Lesmana..., FISIP-UI, 2013
DAFTAR REFERENSI
Buku Afiah, Ratna Nurul. Barang Bukti dalam Proses Pidana. Jakarta: Sinar Grafika. 1989 Nurmantu, Safri. Pengantar Perpajakan Edisi Ketiga. Jakarta: Granit. 2005 Pudyatmoko, Y. Sri. Penegakan dan Perlindungan Hukum di Bidang Pajak. Jakarta: Salemba Empat. 2002 Saidi, Muhammad Djafar. Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam Penyelesaian Sengketa Pajak. Jakarta: Rajawali Pers. 2008 Soekanto, Soerjono. Penegakan Hukum. Bandung: Binacipta. 1983 Suandy, Early. Perencanaan Pajak. Jakarta: Salemba Empat. 2011
Jurnal Salmon, Khairiansyah. Audit Investigatif: Metode Efektif dalam Pengungkapan Kecurangan. Depok: Ebar 1 November hal 5-16. 2005 Sukirno, Timur. Bukti Audit dari Perspektif Hukum. Depok: Ebar 1 November hal 29-36. 2005
Peraturan Undang-Undang No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan Peraturan Menteri Keuangan N0.202/PMK.03/2007 tentang Tata Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan
Pemeriksaan bukti..., Rafika Almilia Lesmana..., FISIP-UI, 2013
Cara
Peraturan Menteri Keuangan No. 18/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan Publikasi Elektronik Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2013 Laporan Tahun 2011 Direktorat Jenderal Pajak. Siaran Pers Direktorat Jendera Pajak Kementerian Keuangan “Strategi Pengamanan Penerimaan Pajak Tahun 2013” ____. Tahun 2012, Kepatuhan Wajib Pajak Masih rendah, pelitaonline.com, 30 Desember 2012 ____. Tak Capai Target, Penerimaan Pajak 2012 memble, detikfinance.com. 7 Januari 2013
Pemeriksaan bukti..., Rafika Almilia Lesmana..., FISIP-UI, 2013