Lokakarya Fungsional Non Peneliti 1997
POTENSI DAN PEMANFAATAN PUPUK ORGANIK ASAL KOTORAN SAM Entang Suganda Balai Penelitian Ternak, P .O . Box 221, Bogor, 16002 PENDAHULUAN Ketersediaan unsur hara dalam tanah sangat penting artinya bagi usaha pertanian, utamanya untuk tanaman pangan . Peranan unsur hara tersebut akan lebih nampak jelas apabila lahan yang dijadikan usaha tanaman pangan dikerjakan secara intensif . Penggunaan lahan yang secara terus menerus tanpa diimbangi dengan upaya mengembalikan unsur hara melalui pemupukan akan menyebabkan lahan garapan menjadi kurang/tidak produktif . Hasil panen yang diperoleh menjadi berkurang sampai saat tertentu lahan tersebut tidak lagi dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian tanaman . Dengan perkataan lain keberhasilan usaha pertanian tanaman akan dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara yang dibutuhkan tanaman . Oleh karena itu pemupukan sangat penting artinya dalam usaha pertanian tanaman pangan/pakan hijauan . Pupuk pada umumnya dibagi menjadi dua kelompok, yakni pupuk kimia/anorganik dan pupuk organik atau sering disebut dengan kompos . Pemupukan dengan menggunakan pupuk anorganik secara tunggal dan terus menerus tanpa diimbangi dengan pupuk organik akan menyebabkan tanah menjadi padat/tidak gembur, penetrasi air, drainase, aerasi dan hara tanah menjadi terganggu . Hal tersebut di atas akan menyebabkan sifat fisik dan biologi mikroorganisme tanah menjadi terganggu, bahan organik tanah, partikel tanah akan tercuci dan hasil yang diharapkan tidak dapat tercapai . Oleh karena itu, untuk mencegah rusaknya sifat fisik dan biologi tanah maka perlu dilakukan usaha konservasi . Salah satunya adalah dengan cara pemupukan yang berimbang antara pupuk anorganik dan organik . Pupuk organik atau sering disebut sebagai kompos umumnya tersusun dari campuran limbah petanian, limbah dapur dan hasil sampingan pemeliharaan ternak (feses, urin dan sisa-sisa pakan) . Meskipun penggunaan kotoran ternak sudah banyak dipergunakan namun dalam pelaksanaannya sering belum memberikan hasil yang memuaskan . Hal ini disebabkan pemanfaatan pupuk organik asal kotoran ternak dipergunakan secara langsung dan belum melalui suatu proses pematangan . Pada kesempatan ini penulis mencoba mengutarakan potensi, proses pembuatan pupuk organik asal kotoran (terutama asal ternak sapi), pemanfaatannya serta sedikit tinjauan ekonomisnya .
8
Lokakarya Fungsional Non Peneliti 1997
PEMBUATAN PUPUK ORGANIK ASAL KOTORAN SAPI Hasil sampingan pemeliharaan ternak sapi atau sering juga disebut sebagai kotoran sapi tersusun dari feses, urine dan sisa pakan yang diberikan (terutama untuk ternak yang dikandangkan) . Hasil sampingan ini merupakan bahan utama pembuatan kompos yang sangat balk dan cukup berpotensi untuk dijadikan pupuk organik serta memiliki nilai hara yang cukup balk . Pemeliharaan ternak sapi di Pulau Jawa dan Bali umumnya dilakukan secara intensif dengan cara dikandangkan dan penyediaan pakan dilakukan dengan sistem "potong angkut " . Jumlah pemilikannya pun sangat terbatas yakni antara 1 sampai 5 ekor . Dengan sistem demikian maka hasil sampingan tersedia di sekitar kandang dan sangat mudah dalam pengumpulannya . Apabila ternak sapi yang dipelihara memiliki bobot hidup rataan 250 kg maka setiap petani paling sedikit harus menyediakan pakan hijauan (tidak diberi konsentrat) 7,5 kg bahan kering (3% x 250 kg) . Bila diasumsikan bahwa kandungan bahan kering pakan hijauan lapang sama dengan 20% maka jumlah tersebut setara dengan 37,5 kg (100 : 20 x 7,5 kg) . Angka tersebut harus ditingkatkan sebanyak 30% dari pemberian agar ternak mendapat kesempatan memilih pakan hijauan yang disenangi Dengan demikian jumlah tersebut menjadi lebih kurang 50 kg . Selanjutnya apabila tingkat kecernaan bahan pakan tersebut adalah 50% maka jumlah yang dikeluarkan kembali dalam bentuk feses segar adalah 25 kg . Dengan perkataan lain setiap tahunnya feses yang dihasilkan setiap ekor ternak sapi dapat mencapai 9 ton dan jumlah ini lebih rendah dari yang dilaporkan Sihombing (1990) . Selanjutnya dikatakan bahwa ternak sapi dapat menghasilkan feses sejumlah 10 -15 ton/ekor/tahun . Rendahnya jumlah yang diperoleh dalam perhitungan di atas kemungkinan disebabkan karena nilai sisa pakan belum diperhitungan . Dengan asumsi pengumpulan feses dilakukan setiap empat bulan sekali maka setiap petani dengan jumlah pemilikan ternak sapi sebanyak satu ekor dapat menyediakan bahan pupuk organik sebanyak 3 ton . Suatu jumlah yang cukup besar artinya bila dihubungkan dengan luas pemilikan lahan yang pada umumnya berkisar 0,2 - 0,5 Ha/petani (satu Ha membutuhkan pupuk kandang sejumlah 17,5 ton) . Agar dapat memberikan manfaat yang maksimal maka hasil sampingan pemeliharaan ternak sapi tersebut harus diproses sebelum dipergunakan sebagai pupuk . Umumnya proses pengolahan dimaksud terdiri dari dua kelompok, yakni pengolahan secara terbuka dan tertutup . Pengolahan secara terbuka dilakukan hanya dengan menumpukan kotoran ternak sapi pada suatu area[ tertentu selama waktu yang tidak tentu . Namun pada umumnya dipergunakan menjelang musim tanam atau pada saat pengolahan tanah dilakukan . Cara ini tidak membutuhkan biaya yang terlalu banyak, karena biaya yang dikeluarkan hanya untuk tenaga kerja dan tidak diperhitungkan karena tenaga yang dipergunakan adalah tenaga keluarga . Pengolahan yang kedua adalah dengan proses tertutup . Cara ini dilakukan dengan mem-
9
Lokakarya Fungsional Non Peneliti 1997
benamkan kotoran ternak ke dalam sebuah lubang yang telah dipersiapkan sebelumnya . Pembuatan lubang/silo disarankan untuk dilakukan di bawah naungan dan areal yang tidak mudah tergenang air bila terjadi musim hujan . Di bawah naungan dapat diartikan sebagai tempat di bawah pohon yang rindang atau pun di bawah naungan atap yang memang disiapkan untuk tujuan tersebut . Pembuatan silo tersebut dapat dilakukan dengan kedalaman yang sesuai dengan volume yang diinginkan dan sebaiknya dinding silo tersebut tahan terhadap rembesan air dari samping . Tujuannya adalah selain mencegah masuknya air ke dalam kotoran juga berfungsi agar unsur hara seperti nitrogen, yang ada dalam kotoran tidak hilang tercuci air yang dapat masuk/merembes . Untuk dapat menampung kotoran sapi sebanyak 3 ton maka ukuran yang dibutuhkan adalah dua meter kali satu meter dengan kedalaman dua meter. Bila memungkinkan pembuatan silo dapat juga dilakukan dengan mempergunakan gorong-gorong berpenampang 1 meter dan disusun sebanyak tidak lebih dari 3 buah . Sesuai dengan ukuran goronggorong yang ada di pasaran maka, dua buah gorong-gorong ditempatkan di bawah permukaan tanah (sedalam 90 cm) dan sebuahnya lagi dapat ditumpuk di atas permukaan tanah (setinggi 100 cm) . Dengan ukuran silo dapat menampung tiga ton kotoran sapi . Kotoran sapi yang tersedia selanjutnya diaduk agar tercampur secara merata antara feses, urine dan sisa pakan . Bila telah homogen maka kotoran sapi dapat dimasukan ke dalam silo secara baik agar cukup padat sampai hampir penuh . Selanjutnya dapat ditutup dengan menggunakan tanah galian lubang yang ada setinggi lebih kurang 30cm . Timbunan tersebut selanjutnya dibiarkan untuk suatu satuan waktu tertentu, misalnya 3 bulan (Mathius, 1994), namun pada umumnya disesuaikan dengan waktu penggunaannya, yakni disesuaikan dengan musim tanam . Setelah melewati waktu yang diinginkan diharapkan kotoran yang telah melewati proses perombakan/dekomposisi, dapat menjadi kompos yang diharapkan dan siap dibongkar . Kompos tersebut selanjutnya dapat dipergunakan secara langsung ke lahan pertanian atau pun dapat dianginkan/dikeringkan di bawah sinar matahari . Hasil pengeringan tersebut selanjutnya dihancurkan agar tidak menggumpal/padat dan dapat disaring dengan ayakan yang sesuai dengan ukuran-ukuran yang diinginkan . Untuk tujuan sebagai pupuk tanaman hias maka hasil ayakannya harus cukup kecil (2-3 mm), demikian juga bila ditujukan untuk tanaman rumput di lapangan golf . Sedangkan untuk tujuan pemupukan tanaman pangan setahun, maka hasil proses dekomposisasi tersebut dapat dipergunakan langsung ke lapang dan dibenamkan pada saat persiapan lahan sedang dikerjakan/diolah . PEMANFAATANNYA UNTUK TANAMAN Sebagai yang telah diutarakan terdahulu, kotoran sapi dapat dipergunakan secara langsung ke lapang . Namun cara tersebut belum memberikan hasil yang memuaskan dan bahkan cenderung dapat menurunkan produksi,
10
Lokakarya Fungsional Non Peneliti 1997
tertutama untuk tahun pertama pemupukan . Oleh karena itu penggunaannya disarankan setelah melalui proses dekomposisi . Cara penggunaannya dapat dilakukan dengan beberapa cara, yakni dengan menabur ke lahan yang akan dipupuk atau dengan membenamkan pupuk tersebut pada saat lahan diolah . Cara pertama kurang balk, karena dengan sistem tersebut banyak unsur hara yang akan terbuang percuma . Hilangnya unsur hara tersebut disebabkan terjadinya penguapan atau pun tercuci oleh aliran air hujan . Jacobs yang dikutip oleh Mathius (1994) menyarankan untuk mendapatkan hasil yang balk dalam penggunaan kotoran ternak sebagai pupuk maka kotoran tersebut sebaiknya dibenamkan di bawah permukaan tanah . Hal ini disebabkan selain unsur hara tidak terbuang/menguap maka derigan pembenaman tersebut kandungan humus tanah dapat meningkatkan, sifat fisik tanah menjadi lebih baik serta ketersediaan air yang ada dalam tanah dapat diikat oleh kompos dan slap dipergunakan oleh tanaman yang tumbuh di areal tersebut . Pengujian penggunaan pupuk kotoran sapi untuk tanaman pangan belum banyak dilaporkan . Namun hasil pengamatan Manurung dkk . (1975) melaporkan bahwa dengan penggunaan kotoran ternak secara tunggal memberikan hasil yang terbaik terhadap produksi rumput gajah jika dibandingkan dengan penggunaan pupuk organik/kimia, yakni 184 ton/Ha/tahun atau dua kali lebih banyak apabila dibandingkan dengan pemupukan menggunakan urea . Penggunaan secara bersama-sama antara pupuk organik dan anorganik memberikan hasil yang lebih baik jika dibandingkan dengan penggunaan pupuk anorganik/kimia namun tidak sebaik bila dipergunakan secara tunggal (pupuk kandang) . NILAI TAMBAH PUPUK ORGANIK KOTORAN SAPI Sebagai hasil sampingan, kotoran sapi belum banyak diperdagangkan, meskipun pada kenyataannya telah banyak dipergunakan sebagai pupuk pada tingkat untuk memenuhi keperluan sendiri . Dengan asumsi harga jual pupuk organik Rp 30,- sampai Rp 40,- per kg maka setiap petani yang memiliki ternak sapi sebanyak satu ekor dapat memperoleh nilai tambah sejumlah Rp315 .000,- setahun, yang pada umumnya nilai tersebut tidak pernah diperhitungkan . Mathius (1994) membandingkan harga pupuk kandang dengan nilai bell pupuk anorganik/urea atas dasar kandungan nitrogen dan menyatakan bahwa nilai jual nitrogen pupuk kandang lebih mahal daripada nilai bell nitrogen asal urea, bila diperhitungkan dalam satuan waktu sesaat (satu tahun) . Namun bila diperhitungkan atas dasar daya pakai pupuk kandang maka akan sangat menguntungkan . Penggunaan pupuk urea dilakukan secara berulang setiap tahun dengan rataan jumlah sebanyak 300 kg/Ha/tahun . Sedangkan pupuk kandang dapat dipergunakan sekali untuk setiap 13 tahun (Peat dan Brown, 1962) dengan jumlah penggunaan sebanyak 17 .500 kg/Ha . Dengan demikian maka nilai bell pupuk kandang yang harus dikeluarkan untuk 13 tahun adalah Rp 612 .500,- (17500 x Rp 35,-), sedangkan untuk pupuk urea
11
Lokakarya Fungsional Non Peneliti 1997
adalah Rp 1 .365 .000,-(300 kg x Rp350,- x 13 tahun) . Dengan demikian nilai rupiah yang masih dapat diamankan sejumlah Rp 752 .000,- Nilai keuntungan ini akan menjadi lebih besar apabila produksi yang dihasilkan dari pemupukan dengan menggunakan pupuk kandang turut diperhitungkan . Sebagai contoh, dapat kita pergunakan data yang dilaporkan Manurung dkk . (1975) . Dilaporkan bahwa dengan menggunakan pupuk kandang poduksi rumput gajah meningkat dua kali lebih banyak atau mencapai 100 % lebih tinggi jika dibandingkan bila hanya menggunakan pupuk anorganik/urea (90 ton vs 184 ton) . Secara sederhana dan dengan asumsi nilai jual rumput gajah selama 13 tahun tetap sama yakni adalah Rp50, -/kg maka selama 13 tahun akan diperoleh pemapukan sebanyak Rp 58 .500 .000,-(90 .000 x 13 tahun x Rp50, -), apabila menggunakan pupuk urea . Sedangkan apabila pemupukan dilakukan dengan menggunakan pupuk kandang maka nilai yang akan diperoleh adalah Rp119 .600 .000,- (184 .000 x 13 tahun x Rp50, -) . Dari gambaran sederhana tersebut dapat dikatakan bahwa penggunaan pupuk kandang lebih balk dari pada hanya dengan pengggunaan pupuk anorganik . KESIMPULAN DAN SARAN Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa kotoran sapi memiliki potensi yang cukup besar untuk dapat dijadikan pupuk kompos dan mempunyai nilai tambah yang menguntungkan untuk digarap . Penggunaan kotoran kandang dapat menghemat pengeluaran biaya pembelian pupuk . Oleh karena itu disarankan pemanfaatan pupuk kandang perlu digalakkan, khususnya untuk tanaman pakan ternak . DAFTAR BACAAN Manurung T ., A . Djajanegara dan M .E . Siregar . 1975 . Kombinasi pupuk kandang dengan pupuk buatan (N, P dan K) terhadap produksi hijauan rumput gajah (P. Purpureum var. Hawaii) Bull . LPP . 13 :58-63 . Mathius, I-W . 1994 . Potensi dan pemanfaatan pupuk organik asal kotoran kambing-domba . Wartazoa 3(2-4) :1-8 . Peat, J .E . and K .J . Brown . 1962 . The yield response of rain grow cotton at Ukirigara in the lake Province of Tanganyika . 1 . The use of organic manure, inorganik fertilizers and cotton seed ash . Em . J . Exp . Agric ., 30 :215-231 . Sihombing, D .T .H . 1990 . Teknologi hasil penelitian pengembangan petemakan lahan pasang surut dan rawa . Aplikasi paket teknologi pertanian pada hari Krida Pertanian XVIII, 26-29 Juni 1990 di Palembang . Proyek Penelitian Pertanian Lahan Pasang Surut dan Rawa SWAMPS-II .
12