Majalah Ilmiah STTR Cepu
ISSN 1693 - 7066
Studi Eksperimental Penggunaan Kotoran Sapi Sebagai Bahan Bakar Alternatif Sarjono *) Muhammad Ridlo **) *)
Staf Pengajar Jurusan Teknik Mesin STTR Cepu Mahasiswa S1 Jurusan Teknik Mesin STTR Cepu Jl. Kampus Ronggolawe Blok B No. 1. Mentul Cepu E-Mail:
[email protected] [email protected]
** )
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan komposisi terbaik dalam pembuatan briket dari kotoran sapi dengan perekat yang dibuat dari tepung tapioka. Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Tinggi Teknologi Ronggolawe (STTR) Cepu. Penelitian briket dilakukan dengan berbagai variasi komposisi penggunaan kotoran sapi dengan perekat tapioka. Perlakuan menggunakan perbandingan 98%:2%, 96%:4%, 94%:6%, 92%:8%, dan 90%:10% dengan 3 kali pengulangan tiap-tiap perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa briket terbaik terdapat pada komposisi kotoran sapi : perekat tapioka adalah 96%:4% dengan nilai kalor 188,9 kal/g, nilai kalor terendah diperoleh pada komposisi kotoran sapi : perekat tapioka adalah 98%:2% yaitu sebesar 133,5 kal/gr Hasil penelitian menunjukkan bahwa Nilai karakteristik dari tiap-tiap perlakuan komposisi briket berbeda seiring dengan meningkatnya persentase perekat tapioka, maka kadar air dalam briket semakin bertambah sehingga nilai kalor semakin rendah. Nilai kalor berpengaruh terhadap laju pembakaran. Semakin tinggi nilai kalor pada briket, semakin tinggi pula laju pembakaran briket. Kata Kunci : briket, tapioka, kotoran sapi.
1.
pendahuluan Minyak bumi adalah energi yang tidak dapat diperbaharui, tetapi dalam kehidupan seharihari bahan bakar minyak masih menjadi pilihan utama sehingga akan mengakibatkan menipisnya cadangan minyak bumi di dalam bumi. Sementara gas bumi dan energi alternatif lainnya belum dimaksimalkan pemanfaatannya untuk konsumsi dalam negeri, hal ini akan menyebabkan terjadinya krisis bahan bakar terutama bahan bakar fosil. Beberapa tahun terakhir ini energi merupakan persoalan yang krusial di dunia, peningkatan permintaan energi yang disebabkan oleh pertumbuhan populasi penduduk dan menipisnya sumber cadangan minyak dunia serta permasalahan emisi dari bahan bakar fosil memberikan tekanan kepada setiap negara untuk segera memproduksi dan menggunakan energi terbarukan. Selain itu, peningkatan harga minyak dunia hingga mencapai 100 U$ per barel juga menjadi alasan yang serius yang menimpa banyak negara di dunia terutama Indonesia. Menurut data ESDM (2006) cadangan minyak Indonesia hanya tersisa sekitar 9 milliar barel. Apabila terus dikonsumsi tanpa ditemukannya cadangan minyak baru, diperkirakan cadangan minyak yang dimiliki oleh Indonesia akan habis dalam dua dekade mendatang. Untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 5 tahun 2006.tentang kebijakan energi nasional untuk mengembangkan sumber energi alternatif sebagai pengganti bahan bakar SimetriS
minyak. Kebijakan tersebut menekankan pada sumber daya yang dapat diperbaharui sebagai altenatif pengganti bahan bakar minyak. Berbagai solusi telah ditawarkan oleh para ilmuwan di dunia untuk mengatasi ketergantungan terhadap sumber energi tak terbarukan. Di antara berbagai solusi itu adalah dengan memanfaatkan energi terbarukan seperti biomassa. Sumber energi jenis ini banyak diperoleh dari hasil maupun limbah hutan, perkebunan, peternakan dan pertanian, contohnya saja limbah kotoran sapi yang hanya merupakan limbah pencemar organik apabila tidak dimanfaatkan untuk hal yang lebih baik. Untuk mengoptimalkan penggunaan bahan bakar alternatif sebagai bahan bakar pengganti minyak tanah maka perlu adanya optimalisasi dalam meningkatkan efektifitas dan efisiensi dari bahan bakar aternatif tersebut. Maka dari itu, akan dilakukan penelitian, bagaimana kemudian kotoran sapi bisa dimanfaatkan menjadi benda yang bernilai jual yaitu dengan mengubahnya menjadi energi alternatif. 2. Tinjauan Pustaka 2.1. Kajian pustaka Sihombing (1980) menyatakan bahwa sekitar 12 % penduduk Indonesia memelihara ternak dan sekitar 95 % tinggal di pedesaan, selanjutnya diterangkan bahwa Pulau Jawa yang hanya merupakan 7 % dari luas daratan di Indonesia memiliki kepadatan penduduk sekitar 63 % dari total penduduk Indonesia yang memiliki kepadatan ternak yang tinggi yaitu 63,4 % (sapi, kerbau, kambing, dan domba). Tilman (1981)
Nomor : 16, Tahun 11, Januari - Juni 2013
12
Majalah Ilmiah STTR Cepu
Menyatakan bahwa Pulau Jawa, Bali dan Madura yang meliputi 7 % dari wilayah daratan ternyata memiliki kepadatan penduduk 63,7 % dan kepadatan ternak sapi 66,1 %. Hal ini tentu sangat mempengaruhi lingkungan karena menghasilkan limbah yang sangat banyak. Menurut Biro Pusat Statistik (1999) pada tahun 1998 jumlah sapi perah dan sapi potong adalah 322.000 ekor untuk sapi perah dan 11.600.000 ekor untuk sapi potong. Hal ini menandakan terjadi peningkatan sebesar 3,73 % untuk sapi perah dan 2,46 % untuk sapi potong. Selain itu menurut Direktorat Jenderal Peternakan tahun 1999 populasi ternak sapi perah tersebar di pulau jawa yang meliputi Propinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, DKI Jakarta dan DI Yogyakarta serta di pulau Sumatra terutama terdapat di Propinsi Sumatra Utara. Berdasarkan penelitian terdahulu, kotoran sapi menghasilkan kalor sekitar 4000 kal/g dan gas metan (CH4) yang cukup tinggi. Limbah pertanian dapat menghasilkan energi kalor sekitar 6000 kal/g. Limbah pertanian yang terdiri dari sekam memiliki kadar karbon 1,33 %, jerami mempunyai kadar karbon 2,71 %, dan tempurung kelapa memilik kadar karbon yang tinggi sebesar 18,80 % (Pancapalaga, 2008). Pemanfaatan kotoran sapi dan limbah pertanian berupa sekam, jerami, dan tempurung kelapa sebagai bahan baku dalam pembuatan briket merupakan salah satu bahan bakar alternatif yang tepat sebagai sumber bahan bakar untuk mengurangi pengunaan minyak tanah. Untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang variasi komposisi bahan penyusun briket tersebut. 2.2. Landasan Teori Limbah ternak adalah sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan seperti usaha pemeliharaan ternak, rumah potong hewan, dan pengolahan produk ternak. Limbah ini meliputi limbah padat dan limbah cair feses, urin, sisa makanan, embrio, kulit telur, lemak, darah, bulu, kuku, tanduk dan isi rumen. Semakin besar usaha peternakan maka semakin besar pula limbah yang akan dihasilkan (Sihombing, 1980). 2.2.1. Biomassa Biomassa adalah suatu limbah benda padat yang bisa dimanfaatkan lagi sebagai sumber bahan bakar. Biomassa meliputi limbah kayu, limbah pertanian, limbah perkebunan, limbah hutan, komponen organik dari industri dan rumah tangga. Energi biomassa dapat menjadi sumber energi alternatif pengganti bahan bakar fosil (minyak bumi) karena beberapa sifatnya yang menguntungkan yaitu sumber energi ini dapat dimanfaatkan secara lestari karena sifatnya yang dapat diperbaharui (renewable resources), sumber energi ini relatif tidak mengandung unsur sulfur SimetriS
ISSN 1693 - 7066
sehingga tidak menyebabkan polusi udara dan juga dapat meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya hutan dan pertanian (Syafi’i, 2003). Sedangkan menurut Silalahi (2000), biomassa adalah campuran material organik yang kompleks, biasanya terdiri dari karbohidrat, lemak, protein dan beberapa mineral antara lain yang jumlahnya sedikit seperti sodium, fosfor, kalsium dan besi. Komponen utama tanaman biomassa adalah karbohidrat dimana dalam beberapa tanaman komposisinya berbeda-beda. Keuntungan penggunaan biomassa untuk sumber bahan bakar adalah keberlanjutannya. Keterbatasan dari biomassa adalah banyaknya kendala dalam penggunaan untuk bahan bakar kendaraan bermotor. Potensi biomassa di Indonesia bersumber dari produk limbah kelapa sawit, jambu mete, penggilingan padi, kayu, pabrik gula, kakao, dan limbah industri pertanian lainnya (http://www.ipard.com). 2.2.2. Biobriket Biobriket adalah bahan bakar yang berwujud padat dan berasal dari sisa-sisa bahan organik yang telah mengalami proses pemampatan dengan daya tekan tertentu. Biobriket sebagai bahan bakar alternatif selain penggunaan minyak tanah ataupun kayu bakar yang mulai meningkat konsumsinya dan berpotensi merusak ekologi hutan. 2.2.3. Kotoran Sapi Suatu usaha peternakan pasti menghasilkan limbah, disamping hasil utamanya. Limbah ternak merupakan sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan seperti usaha pemeliharaan ternak, rumah potong hewan, dan pengolahan produk ternak. Limbah ini meliputi limbah padat dan limbah cair feses, urin, sisa makanan, embrio, kulit telur, lemak, darah, bulu, kuku, tanduk dan isi rumen. Semakin besar usaha peternakan maka semakin besar pula limbah yang akan dihasilkan (Sihombing, 2000).
Gambar 1. Kotoran Sapi Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/kotoransapi_2.jpg Sebagai gambaran, seekor sapi dengan berat 454 kg akan menghasilkan 30 kg limbah feses dan urin setiap hari. Kita bisa
Nomor : 16, Tahun 11, Januari - Juni 2013
13
Majalah Ilmiah STTR Cepu
membayangkan jika memelihara 100 ekor sapi, jumlah limbah yang dihasilkan sebesar 3 ton per hari. Merupakan jumlah yang sangat besar. Keberadaan limbah ini tentu akan menjadi problem tersendiri bagi peternak dan menjadi penyebab gangguan bagi lingkungan sekitar. Pada umumnya komposisi kotoran sapi memiliki karakteristik yang dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik kotoran sapi Komponen Massa (gr) Total padatan 3-6 Total padatan volatile 80-90 (mudah menguap) Total Kjeldahl Nitrogen 2-4 Selulosa 15-20 Lignin 5-10 Hemiselulosa 20-25 Sumber : kumbahan dan industry (1979). 2.2.4. Tapioka Penambahan perekat dalam pembuatan briket arang dimaksudkan agar partikel serbuk saling berikatan dan tidak mudah hancur. Ditinjau dari jenis perekat yang digunakan, briket dapat dibagi menjadi: 1. Briket yang sedikit atau tidak mengeluarkan asap pada saat pembakaran. Jenis perekat ini tergolong kedalam perekat yang mengandung zat pati. 2. Briket yang banyak mengeluarkan asap pada saat pembakaran. Jenis perekat ini tahan terhadap kelembaban tetapi selama pembakaran menghasilkan asap. Perekat dari zat pati, dekstrin, dan tepung jagung cenderung sedikit atau tidak berasap. Sedangkan perekat dari bahan ter, pith, dan molase cenderung lebih banyak menghasilkan asap (Hartoyo & Roliadi 1978).
Gambar 2. Tepung Tapioka
ISSN 1693 - 7066
mutu pembakarannya, (Sudrajat 1983).
akan
tetapi
berasap
2.2.5. Briket Briket merupakan bahan bakar padat yang dibuat dari aneka macam bahan hayati atau biomassa, misalnya kayu, ranting, daun-daunan, rumput jerami, ataupun limbah pertanian lainnya. Briket ini dapat digunakan dengan melalui proses pengolahan. Proses pembriketan adalah proses pengolahan yang mengalami perlakuan penggerusan, pencampuran bahan baku, pencetakan dan pengeringan pada kondisi tertentu, sehingga diperoleh briket yang mempunyai bentuk, ukuran fisik, dan sifat kimia tertentu. Tujuan dari pembriketan adalah untuk meningkatkan kualitas bahan sebagai bahan bakar, mempermudah penanganan dan transportasi serta mengurangi kehilangan bahan dalam bentuk debu pada proses pengangkutan.
Gambar 3. Briket Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/bentukbriket.jpg Beberapa faktor yang mempengaruhi pembriketan antara lain: a. Ukuran dan distribusi partikel Ukuran partikel mempengaruhi kekuatan briket yang dihasilkan karena ukuran yang lebih kecil akan menghasilkan rongga yang lebih kecil pula sehingga kuat tekan briket akan semakin besar. Sedangkan distribusi ukuran akan menentukan kemungkinan penyusunan (packing) yang lebih baik. b. Kekerasan bahan Kekuatan briket yang diperoleh akan berbanding terbalik dengan kekerasan bahan penyusunnya. 2.2.6. Prinsip Pembuatan Briket Briket adalah bahan bakar padat yang dapat digunakan sebagai sumber energi alternatif yang mempunyai bentuk tertentu. Kandungan air pada pembriketan antara (10 – 20)% berat. Ukuran briket bervariasi dari (20 – 100)gram. Pemilihan proses pembriketan tentunya harus mengacu pada segmen pasar agar dicapai nilai ekonomis, teknis dan lingkungan yang optimal. Pembriketan
Perekat pati dalam bentuk cair sebagai perekat menghasilkan briket arang bernilai rendah dalam hal kerapatan, keteguhan tekan, kadar abu, dan kadar zat meguap. Tetapi akan lebih tinggi dalam hal kadar air, kadar karbon terikat, dan nilai kalornya apabila dibandingkan dengan briket arang yang mnggunakan molase (tetes tebu) akan menghasilkan briket yang sangat kuat dan baik SimetriS Nomor : 16, Tahun 11, Januari - Juni 2013
14
Majalah Ilmiah STTR Cepu
bertujuan untuk memperoleh suatu bahan bakar yang berkualitas yang dapat digunakan untuk semua sektor sebagai sumber energi pengganti. Beberapa parameter kualitas briket yang akan mempengaruhi pemanfaatannya antara lain: 1. Kandungan Air Kandungan air dapat hilang dengan penguapan, misalnya dengan pemanasan dengan bantuan sinar matahari. Kadar air briket dapat dihitung sebagai berikut: % Kadar air =
x 100 %
dengan : bb = berat briket sebelum basah (sebelum pengeringan) (gr) bk = berat briket kering (setelah pengeringan) (gr) 2. Kandungan abu. Semua briket mempunyai kandungan zat anorganik yang dapat ditentukanjumlahnya sebagai berat yang tinggal apabila briket dibakar secara sempurna. Zat yang tinggal ini disebut abu. Abu briket berasal dari clay, pasir dan bermacam-macam zat mineral lainnya. Briket dengan kandungan abu yang tinggi sangat tidak menguntungkan karena akan mempengaruhi nilai kalor briket it sendiri. Kadar abu briket dapat dihitung sebagai berikut: Kab =
ISSN 1693 - 7066
Nilai kalor briket dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut: Q = m.c.ΔT dengan: Q = panas yang diperlukan untuk menaikkan temperatur m = massa bahan bakar (gr) c = kalor jenis ΔT = perbedaan temperatur (ºC) 3. Metode Penelitian 3.1. Waktu Dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan Laboratorium Kimia STTR Cepu.
di,
3.2. Alat Dan Bahan Penelitian Alat penelitian yang digunakan adalah: 1. Alat cetak briket, sebagai alat pencetak briket
Gambar 4. Alat pencetak briket 2. Alat penumbuk, sebagai alat untuk menghalus kan kotoran sapi
x 100%
dengan : Kab =Kadar abu (gr) Bab = Berat abu (gr) Bbb = Berat Bahan bakar (gr) 3. Nilai Kalor Nilai kalor adalah suatu nilai untuk menyatakan jumlah panas yang terkandung dalam bahan bakar. Briket akan memiliki kualitas yang baik jika memiliki nilai kalor yang tinggi. Proses pembakaran dikatakan sempurna jika hasil akhir pembakaran berupa abu berwarna keputihan dan seluruh energi di dalam bahan organik dibebaskan ke lingkungan. Namun dalam pengarangan, energi pada bahan akan dibebaskan secara perlahan. Apabilah proses pembakaran dihentikan secara tiba-tiba ketika bahan masih membara, bahan tersebut akan menjadi arang yang berwarna kehitaman. Bahan tersebut masih terdapat sisa energi yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, seperti memasak, memanggang, dan mengeringkan. Bahan organik yang sudah menjadi arang tersebut akan mengeluarkan sedikit asap dibandingkan dibakar langsung menjadi abu. SimetriS
Gambar 5. Alat penghalus kotoran sapi 3. Ayakan dengan ukuran lolos 50 mesh sebagai alat untuk menyaring bubuk kotoran sapi agar ukuran partikelnya sama.
Gambar 6. Saringan
4. Timbangan merk Tricklebrand, mengukur berat bahan dan briket. Nomor : 16, Tahun 11, Januari - Juni 2013
untuk
15
Majalah Ilmiah STTR Cepu
ISSN 1693 - 7066
prosentase campuran bahan perekat yang berbeda-beda. 2. Pengaruh dan karakteristik briket dari kotoran sapi terhadap nilai kalor yang dihasilkan.
Gambar 7. Timbangan 5. Kompor briket, sebagai alat untuk menguji pembakaran briket kotoran sapi.
Gambar 8. Kompor briket 6. Termometer, sebagai alat untuk mengukur temperatur air.
Gambar 9. Termometer 7. Gelas uji, sebagai tempat memanaskan Air
Gambar 10. Gelas uji Sedangkan bahan penelitian yang digunakan adalah: 1. Kotoran sapi. 2. Tepung Tapioka 3. Air 3.3. Metode Penelitian Dalam penelitian ini, data-data yang diperlukan diperoleh percobaan yang akan dilakukan meliputi: 1. Pengaruh perbandingan dan karakteristik serta hasil pembakaran briket dengan SimetriS
3.4. Proses Penelitian Pembuatan briket kotoran sapi adalah sebagai berikut: 1. Menyiapkan bahan baku kotoran sapi. 2. Mengeringkan bahan baku yaitu kotoran sapi dengan cara dikeringkan di bawah sinar matahari sampai kering. 3. Mengecilkan ukuran bahan baku yang telah kering sampai menjadi serbuk dengan cara ditumbuk. 4. Mengayak bubuk kotoran yang sudah ditumbuk dengan ayakan ukuran 50 mesh. 5. Menimbang takaran serbuk kotoran sapi dan tepung tapioka sesuai komposisi yang akan diuji. 6. Membuat perekat dari campuran tepung tapioka yang sudah ditimbang sebelumnya dengan air yang sudah dididihkan. 7. Setelah perekat siap, dilakukan pencampuran antara bahan baku yang sudah disaring dengan perekat tapioka, pencampuran dilakukan sampai adonan merata, terdapat 5 macam campuran adonan briket dengan persentase berikut: serbuk kotoran sapi 98% + tapioka 2%, serbuk kotoran sapi 96% + tapioka 4%, serbuk kotoran sapi 94% + tapioka 6%, serbuk kotoran sapi 92% + tapioka 8%, dan serbuk kotoran sapi 90% + tapioka 10% 8. Mencetak briket dengan memasukkan adonan ke dalam alat cetak dengan bentuk cetakan adalah silinder, dan hasil ukuran briket adalah tinggi 3 cm dan diameter 6 cm. 9. Mengeluarkan hasil cetakan briket kemudian melakukan penimbangan untuk memperoleh berat awal dari briket sebelum dilakukan proses pengeringan. 10. Mengelompokkan dan mencatat data dari briket setelah dicetak yaitu berat, tinggi dan kuat tekan dari masing-masing sample sesuai presentase perekatnya. 11. Briket dikeringkan dengan cara dijemur selama selama 4-5 hari. 12. Dilakukan uji coba pembakaran briket dengan masing-masing campuran. Untuk proses uji coba, metode yang digunakan yaitu memanaskan 1 liter air. 13. Mengambil data, menganalisa dan menyimpulkan. 4. Hasil dan Pembahasan 4.1. Jenis Briket Briket yang dibuat dengan dicetak dalam 1 (satu) bentuk, yaitu bentuk silinder, hasil yang diperoleh seperti pada gambar dibawah ini:
Nomor : 16, Tahun 11, Januari - Juni 2013
16
Majalah Ilmiah STTR Cepu
ISSN 1693 - 7066
= x 100% = 35% 4.3.2. Komposisi 96%:4% % Kadar air =
x 100 %
x 100% = = 43% 4.3.3. Komposisi 94%:6% % Kadar air =
Gambar 11. Briket jadi 4.2. Spesifikasi Ukuran dan Berat Spesifikasi ukuran briket dan berat briket sebagaimana pada tabel 2 dan 3.
Diameter (mm)
Campu No ran % 1 2 3 4 5
2 4 6 8 10
1
2
60 60 60 60
60 60 60 60 60
Tinggi (mm)
Ratarata 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 3
1
2
31 28 30 28 30
30 30 31 29 29
Ratarata 29 30 29 60 29 30 29 29 29 29 3
Berat briket basah (gr) Rata1 2 3 rata 60 60 61 60 72 72 72 72 82 82 82 82 93 93 93 93 97 97 97 97
Tabel 3. Ukuran dan berat briket tiap komposisi setelah pengeringan. Diameter (mm)
Campu No ran % 1 2 3 4 5
2 4 6 8 10
1
2
3
60 60 60 60 60
60 60 60 60 60
60 60 60 60 60
Berat briket basah (gr) RataRata3 1 2 3 rata rata
Tinggi (mm) Rata1 rata 60 60 60 60 60
39 41 42 45 46
2 38 39 42 46 48
39 39 41 46 47
38.6 39.6 41.6 45.6 47
39 41 42 45 46
38 39 42 46 48
39 39 41 46 47
38.6 39.6 41.6 45.6 47
4.3. Kadar Air Kandungan kadar air briket kotoran sapi diukur setelah dilakukan pengeringan dengan cara dijemur di bawah sinar matahari sampai benarbenar kering. Kadar air dapat dihitung dengan rumus: % Kadar air =
x 100 %
dengan : bb = berat briket basah / berat briket sebelum pengeringan (gr) bk = berat briket kering / berat briket sesudah pengeringan (gr) Perhitungan di bawah ini dilakukan untuk mengetahui kadar air pada tiap komposisi briket sebagai berikut: 4.3.1. Komposisi 98%:2% % Kadar air = x 100 % SimetriS
= x 100% = 48,7% 4.3.4. Komposisi 92%:8% % Kadar air = x 100 % = x 100% = 51,6% 4.3.5. Komposisi 90%:10% % Kadar air =
x 100 %
x 100% = = 52,5% Hasil perhitungan kadar air selengkapnya terdapat pada tabel 4. dibawah: Tabel 4. Kadar air tiap komposisi. Kadar air (%) Komposisi No campuran 1 2 3 Rata-rata 1 2 3 4 5
2% 4% 6% 8% 10%
35 43 48,7 51,6 52,5
36,6 45,8 48,7 50,5 50,5
34,4 45,8 50 50,5 51,5
35,3 44,8 49,1 50,8 51,5
Pada tabel 4. menunjukkan bahwa nilai rata-rata kadar air akhir briket terendah sebesar 35,3% terdapat pada komposisi campuran 2%, sementara nilai kadar air akhir briket tertinggi yaitu 51,5% terdapat pada komposisi campuran 10%.
Kadar abu (%)
Tabel 2. Ukuran dan berat briket tiap komposisi sebelum pengeringan.
x 100 %
30 20 10 0 0
2
4
6
8
10
Jumlah perekat (%) Gambar 12. Grafik hubungan kadar air dengan jumlah perekat briket kotoran sapi.
Nomor : 16, Tahun 11, Januari - Juni 2013
17
Majalah Ilmiah STTR Cepu
4.4. Nilai Kalor Perhitungan nilai kalor briket kotoran sapi dilakukan setelah pembakaran briket. Perhitungan dapat dilakukan dengan rumus: Qair
= m.cair.ΔTair
dengan: Qair = panas yang diperlukan untuk menaikkan temperatur selama 10 menit m = massa bahan bakar (gr) cair = kalor jenis air ΔTair = perbedaan temperatur (ºC) Dengan perbedaan temperatur (ΔT) pada air yang diketahui, sehingga dapat menghitung nilai kalor dengan rumus Qair = m.Cair.ΔTair. Dengan diketahui nilai kalor, maka dapat dicari besar nilai kalor/gram yang terdapat pada tiap komposisi briket kotoran sapi dengan rumus: K= dengan: K = nilai kalor/gram bahan bakar Qair mbb
= panas yang diperlukan untuk menaikkan temperatur air selama 10 menit = massa bahan bakar (gr)
Dalam penelitian ini massa air yang dipergunakan adalah 1000 gram yang dimasukkan pada gelas uji dan dipanaskan pada kompor briket. Untuk pengukuran temperatur air dilakukan tiap 1 menit sampai dengan 10 menit pada masingmasing komposisi. 4.4.1. Hasil Pengamatan Temperatur Air Selama 10 menit. Pada percobaan ini dilakukan pembakaran 1 buah briket untuk tiap masing-masing komposisi dengan waktu 10 menit dan tiap menit dilakukan pengambilan data temperatur yang diterima oleh air dengan menggunakan termometer, hasil pengamatan selengkapnya terdapat pada tabel 5, dan hasil perhitungan ΔTair pada tabel 6 berikut:
SimetriS
Tabel 5. Hasil pengamatan temperatur air selama 10 menit. Waktu Temperatur air dari tiap komposisi Pembaka campuran briket (ºC) ran 2% 4% 6% 8% 10% (menit) 0 25 25 25 25 25 1 25,5 25,5 25,5 26 26 2 26 26 26 26,5 26 3 26,5 26,5 26,5 27 27 4 26,5 27 27 27 27,5 5 27 28,5 28,5 28,5 28 6 28 29 29 29 28 7 28,5 29,5 29,5 29,5 30 8 29,5 31 31 30,5 31,5 9 30 32,5 32,5 32 32 10 30,5 33 33 33 32 Tabel 6. Data hasil perhitungan temperatur air selama 10 menit. Berat Tawal Takhir Komposisi ΔTair No bahan air air campuran (ºC) bakar (gr) (ºC) (ºC) 1 2% 39 25 30,5 5,5 2 4% 41 25 33 8 3 6% 42 25 33 8 4 8% 45 25 33 8 5 10% 46 25 32 7 Berdasarkan tabel 4.6 terlihat bahwa temperatur tertinggi yang diterima air dari hasil pembakaran briket selama 10 menit terdapat pada campuran 4%, 6%, dan 8% yaitu 33ºC, 33ºC, dan 33ºC sedangkan temperatur terendah 30,5ºC terdapat pada campuran 2%. 35 30
Temperatur (ºC)
Dari gambar 12. dapat dilihat bahwa semakin tinggi jumlah konsentrasi kadar air maka akan semakin tinggi kadar abu pada briket. Hal ini terjadi karena semakin banyak kadar air maka semakin sulit briket terbakar karena masih mengandung kadar air yang lebih, sehingga pada saat akhir pembakaran sisa dari briket tidak sepenuhnya menjadi abu.
ISSN 1693 - 7066
25
Komposisi 98%:2%
20
Komposisi 96%:4%
15
Komposisi 94%:6%
10
Komposisi 92%:8%
5
Komposisi 90%:10%
0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9 10
Waktu (menit)
Gambar 13. Grafik hubungan waktu dengan temperatur air. Dari gambar 13. grafik hubungan antara waktu dengan temperatur air dibatas dapat kita lihat bahwa pada komposisi 98:2%, 94%:6%, 96%:4% temperatur air naik secara teratur, tetapi
Nomor : 16, Tahun 11, Januari - Juni 2013
18
Majalah Ilmiah STTR Cepu
ISSN 1693 - 7066
pada komposisi 98%:2%, dan 90%:10% temperatur tidak naik secara konstan, hal ini disebabkan karena kadar air yang dikandung masih banyak sehingga proses pembakaran tidak merata dan panas pada briket tidak tersebar dengan sempurna. 4.4.2. Pengamatan Temperatur Air tertinggi Sampai Briket Terbakar Habis Pada percobaan ini diperoleh temperatur tertinggi yang diterima oleh air dari tiap komposisi briket kotoran sapi sampai terbakar habis, pengambilan data dilakukan setiap 5 menit sampai mendapatkan temperatur air tertinggi, data selengkapya ada pada tabel 7 dibawah. Tabel 7. Pengamatan temperatur air tertinggi sampai briket terbakar habis. Temperatur air dari tiap Waktu campuran (ºC) Pembakaran (menit) 2% 4% 6% 8% 10% 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 68 70 75 77 85 87
25 27 33 36,5 38,5 40 43 42 42 41,5
25 28,5 30,5 33 36,5 39 43 45,5 47 50 53 54,5 56 58 58 58 57,5
25 28,5 33 34 35,5 36,5 38 40 41,5 43 44 47 48,5 50 52,5 55 56,5 56,5 54
25 28,5 33 34,5 35 36 37,5 38 38 40,5 41 41 44 47 49,5 51,5 53 53 51
25 28 32 33,5 34 36 37,5 39 39 40,5 42 42,5 44 44 44 46,5 48 52 53
Dari gambar 14. terlihat bahwa temperatur tertinggi yang diterima oleh air sampai briket menjadi abu terdapat pada perbandingan 94%:6% yaitu 8ºC pada menit ke 58, sedangkan pada komposisi 96%:4% temperatur air lebih rendah yaitu 56,5ºC pada menit ke 77, pada komposisi 98%:2% temperatur air 53ºC pada menit ke 77, dan pada komposisi 90%:10% temperatur air 53ºC. Ini menunjukkan bahwa semakin banyak persentase bahan perekat semakin banyak pula persentase kadar air yang menyesuaikan persentase perekatnya, sehingga semakin banyak kadar perekat semakin banyak kadar air dan semakin sulit terbakar karena membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai temperatur tertinggi, sehinga waktu yang dibutuhkan untuk terbakar seluruhnya dan menaikkan temperatur pada air membutuhkan waktu yang lebih dibandingkan briket dengan persentase perekat yang lebih sedikit. Untuk menghitung besarnya Nilai Kalor Pada Komposisi pada tiap komposisi briket adalah sebagai berikut: 4.4.2.1. Komposisi 98%:2% Qair = m.cair.ΔTair = 1000gr x 1 kal/gr.ºC x 5,5ºC = 5500 kal K = = = 141 kal/gr 4.4.2.2. Komposisi 96%:4% Qair = m.cair.ΔTair = 1000gr x 1 kal/gr.ºC x 8ºC = 8000 kal K = =
Temperatur (ºC)
Dari Tabel 7 menunjukkan bahwa temperatur air terendah sebesar 42ºC terdapat pada komposisi kotoran sapi : tapioka = 98%:2%, sedangkan temperatur air tertinggi yaitu 58ºC terlihat pada perlakuan komposisi kotoran sapi : tapioka = 96%:4%. 65 60 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
=
Campuran 96%:4%
= 190,4 kal/gr
Campuran 92%:8%
Waktu (menit)
Campuran 90%:10%
Gambar 14. Grafik hubungan waktu briket terbakar habis dengan temperatur air. SimetriS
4.4.2.3. Komposisi 94%:6% Qair = m.cair.ΔTair = 1000gr x 1 kal/gr.ºC x 8ºC = 8000 kal K =
Campuran 98%:2%
Campuran 94%:6%
0 5101520253035404550556065707580859095100
= 195,1 kal/gr
4.4.2.4. Komposisi 92%:8% Qair = m.cair.ΔTair = 1000gr x 1 kal/gr.ºC x 8ºC = 8000 kal K = = = 177,7 kal/gr
Nomor : 16, Tahun 11, Januari - Juni 2013
19
Majalah Ilmiah STTR Cepu
ISSN 1693 - 7066
4.4.2.5. Komposisi 90%:10% Qair = m.cair.ΔTair = 1000gr x 1 cal/gr.ºC x 7ºC = 7000 cal K =
5.
= = 152,1 kal/gr Tabel 8. Rata-rata nilai kalor tiap komposisi.
No
Campu ran
Massa bahan bakar (gr) Rata-rata
1 2 3 4 5
2% 4% 6% 8% 10%
40 40 42 46 47
K= ΔT (ºC) (kal/gr) Ratarata 133,5 188,9 187,8 164,2 148,9
Ratarata 5 7,5 7,6 7,5 7
Nilai kalor (kal/gr)
Berdasarkan tabel 8 dapat disimpulkan bahwa rata-rata nilai kalor terendah sebesar 133,5 kal/gr terdapat pada komposisi campuran 2%, sedangkan rata-rata nilai kalor tertinggi yaitu 188,9 kal/gr terlihat pada komposisi campuran 4%. 250 200
Kesimpulan Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: 1. Jumlah konsentrasi bahan perekat memberi pengaruh berbeda terhadap nilai kalor, terhadap kadar air, dan terhadap kadar abu yang dihasilkan. 2. Kadar air yang diperoleh dari penelitian ini untuk masing-masing jumlah konsentrasi bahan perekat 2%, 4%, 15%, 6%, 8%, 10% adalah sebesar 37,1%, 44,8%, 49,1%, 50,8%, dan 52,2%. 3. Kadar abu yang diperoleh dari penelitian ini untuk masing-masing jumlah konsentrasi bahan perekat 2%, 4%, 15%, 6%, 8%, 10% adalah sebesar 23,2%, 23,5%, 23,9%, 24%, dan 25,3%. 4. Nilai kalor terendah dalam penelitian ini diperoleh pada jumlah konsentrasi bahan perekat 2% yaitu sebesar 133,5 kal/gr, ini disebabkan karena saat pembakaran banyak serbuk dari briket yang rontok karena jumlah bahan perekat terlalu sedikit, sehingga berat briket berkurang banyak pada saat dibakar. 5. Nilai kalor tertinggi dalam penelitian ini diperoleh pada jumlah konsentrasi bahan perekat 4% yaitu sebesar 188,9 kal/gr. 6. Dari percobaan yang telah dilakukan, maka briket yang terbaik adalah dengan jumlah konsentrasi bahan perekat 4% dengan mempertimbangkan nilai kalor, kadar air, dan kadar abu yang terkandung dalam briket tersebut.
150 100 50 0 0
2
4
6
8
10
Jumlah perekat (%) Gambar 15. Grafik hubungan nilai kalor dengan jumlah perekat briket kotoran sapi.
Dari gambar 15. grafik hubungan nilai kalor dengan jumlah perekat briket kotoran sapi diatas dapat kita lihat bahwa terdapat hasil pada campuran 98%:2% tidak sesuai dengan pernyataan, yaitu semakin tinggi nilai kadar air maka nilai kalor yang dihasilkan akan rendah, begitupun sebaliknya apabila nilai kadar airnya rendah maka nailai kalor yang dihasilkan akan tinggi. Hal ini disebabkan karena jumlah perekat terlalu sedikit sehingga pada saat akan dilakukan pembakaran, banyak sekali serbuk dari briket yang rontok sehingga massa briket saat dibakar berkurang sangat banyak. SimetriS
6. Daftar Pustaka Hartoyo, J. Ando dan H. Roliadi. 1978, Percobaan pembuatan briket arang dari lima jenis kayu Indonesia. Laporan lembaga Penelitian Hasil Hutan. No.108, Bogor. Kardianto Pria, 2009, Pengaruh Jumlah Variasi Jumlah Campuran Perekat Terhadap Karakteristik Arang Briket Batang. Semarang (UNNES). Kumbahan dan industri, 1979, Sekeliling Effluen Kumbahan dan Industri. Pancapalaga, Wehandako, 2008, Evaluasi Kotoran Sapi dan Limbah Pertanian (Kosap Plus) Sebagai Bahan Bakar Alternatif. Pari, G., Dj. Hendra dan Hartoyo, 1990, Beberapa sifat fisis dan kimia briket arang dari limbah arang aktif. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, VII (2) I 61-67. Bogor. Santosa, Mislaini R., dan Swara Pratiwi Anugrah h, A. G. 2007, Pengaruh Studi Variasi Komposisi bahan Penyusun Briket Dari Kotoran Sapi Dan Limbah Pertanian. [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Andalas. Padang.
Nomor : 16, Tahun 11, Januari - Juni 2013
20
Majalah Ilmiah STTR Cepu
Sihombing, D.T.H. 1980, Prospek Penggunaan Biogas untuk Energi Pedesaan. IPB. Bogor. Sudrajat, R. 1984, Pengaruh kerapatan kayu, tekanan pengempaan dan jenis Perekat terhadap sifat briket kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, I (1). 11-15. Bogor. Suryani, A. 1986, Pengaruh Tekanan Pengempaan dan Jenis perekat terhadap dalam pembuatan briket arang dari tempurung kelapa sawit (Alaies quinensis jacg) FATEMETA. IPB.
SimetriS
ISSN 1693 - 7066
Tilman, A.D. 1981, Animal Agriculture in Indonesia. Winrock International Livestock. Research and Training Center. USA. Triono, A. 2006, Karakteristik Briket Arang dari Campuran Serbuk Gergajian Kayu Afrika (Maesopsis eminii Engl.) dan Sengon (Parasenrianthes falcataria L Nielsen) dengan Penambahan Tempurung Kelapa (Cocos mucifera L).[Skripsi]. Departemen Hasil Hutan. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Nomor : 16, Tahun 11, Januari - Juni 2013
21