LAPORAN AKHIR PENERAPAN IPTEKS
Pembuatan Perangkat Pembelajaran IPA Berbasis Satua Bali Sebagai Media Pendidikan Karakter di Gugus V Kecamatan Gerokgak
Oleh: Putu Nanci Riastini, S.Pd.,M.Pd. (Ketua) NIP. 198604272009122003 I Gede Margunayasa, S.Pd.,M.Pd. (Anggota) NIP. 198504022009121009 Drs. Ndara T Rendra, M.Pd. (Anggota) NIP. 195709061986031004
Dibiayai dari DIPA Universitas Pendidikan Ganesha SPK Nomor: 101/UN48.16/PM/2016 tanggal 1 Maret 2016
JURUSAN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA TAHUN 2016
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor To remove this notice, visit: www.foxitsoftware.com/shopping
HALAMAN PENGESAHAN 1.
2.
Judul Program
: Pembuatan Perangkat Pembelajaran IPA Berbasis Satua Bali Sebagai Media Pendidikan Karakter di Gugus V Kecamatan Gerokgak
Ketua Pelaksana a. Nama lengkap b. Jenis kelamin c. NIP d. Disiplin ilmu e. Pangkat/Gol f. Jabatan g. Fakultas / jurusan h. Alamat Kantor i. Telp j. Alamat Rumah k. Telp
: : Putu Nanci Riastini, S.Pd., M.Pd. : Perempuan : 198604272009122003 : Pend. IPA SD : Penata /IIIc : Lektor : Ilmu Pendidikan / PGSD : Jln. Udayana-Singaraja : (0362) 23950 : Dusun Pendem, Desa Alasangker, Singaraja : 085737192895
3. 4.
Jumlah anggota pelaksana
: 2 orang
Lokasi Kegiatan a. Nama b. Kecamatan c. Kabupaten d. Provinsi
: : Guru SD Gugus V : Gerokgak : Buleleng : Bali
5. 6.
Jumlah biaya kegiatan Lama Kegiatan
: Rp. 10.000.000,00 : 8 Bulan
Mengetahui, Dekan FIP Undiksha
Singaraja, 14 November 2016 Ketua Pelaksana,
Prof. Dr. Ni Ketut Suarni, M.S. NIP 195703031983032001
Putu Nanci Riastini, S.Pd., M.Pd. NIP 198604272009122003
Mengetahui, Ketua LPPM Undiksha
Prof. Dr. I Nengah Suandi, M.Hum. NIP 195612311983031022
i
Kata Pengantar Puji syukur dihaturkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan anugrah dan karunia-Nya sehingga laporan akhir program pengabdian kepada masyarakat dengan judul “Pembuatan Perangkat Pembelajaran IPA Berbasis Satua Bali Sebagai Media Pendidikan Karakter di Gugus V Kecamatan Gerokgak” dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Pada kesempatan ini ijinkan kami mengucapkan terimakasih yang sebesarbesarnya terhadap Lembaga Pengabdian pada Masyarakat Undiksha yang telah mempercayai program ini untuk dibiayai dan guru-guru KKG Gugus V Kecamatan Gerokgak yang telah menjadi mitra yang sangat baik bagi terlaksananya program ini. Dan semua pihak yang telah membantu pelaksanaan program ini. Tentunya laporan ini masih jauh dari sempurna khususnya mengenai isi yang kemungkinan besar belum dapat mewakili apa yang telah kami lakukan dalam pelaksanaan program pengabdian kepada masyarakat di KKG Gugus V Kecamatan Gerokgak. Oleh karena itu, besar harapan kami adanya saran dan masukan guna kesempurnaan laporan ini yang nantinya akan dikembangkan menjadi laporan akhir. Tim pelaksana,
ii
DAFTAR ISI
HalamanPengesahan ......................................................................................... i Kata Pengantar.................................................................................................. ii Daftar Isi .......................................................................................................... iii BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1 BAB II.METODE PELAKSANAAN ............................................................. 5 BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ 7 BAB IV. PENUTUP ......................................................................................... 11 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 12 LAMPIRAN .................................................................................................... 13
iii
BAB I PENDAHULUAN
a. Analisis Situasi Gugus V Kecamatan Gerokgak merupakan salah satu gugus sekolah dasar yang ada di Kecamatan Gerokgak. Gugus V Kecamatan Gerokgak beranggotakan beberapa SD yang tersebar di tiga desa berbeda, yaitu Desa Musi, Desa Penyabangan, dan Desa Banyupoh. Sekolah-sekolah yang ada di desa tersebut, yaitu: SDN 1 Musi, SDN 2 Musi, SDN 1 Penyabangan, SDN 2 Penyabangan, SDN 1 Banyupoh, SDN 2 Banyupoh, dan SDN 3 Banyupoh. Jumlah guru di masing-masing SD tersebut berbeda-beda, tergantung pada jumlah guru kelas yang ada pada tiap sekolah. Berdasarkan data guru gugus V, jumlah guru di gugus tersebut adalah 60 orang, dengan jumlah guru laki-laki adalah 27 orang dan guru perempuan adalah 33 orang. Berdasarkan tingkat pendidikan guru, sebagian besar guru telah berpendidikan S1 (91,67%) dan sekitar 8,33% guru masih berpendidikan D2. Berdasarkan hasil wawancara dengan ketua Gugus V Kecamatan Gerokgak, Bapak Putu Buda Ada, S.Pd. pada tanggal 16 September 2015, diperoleh informasi bahwa guru-guru di Gugus V Kec. Gerokgak belum memiliki pemahaman yang lebih mendalam mengenai perangkat pembelajaran IPA terutama pada RPP. Memang guru-guru sudah mampu menerapkan pembelajaran di kelas, namun secara administratif berkaitan dengan RPP mereka masih binggung. Diduga faktor yang menyebabkan hal ini terjadi adalah kurangnya pelatihan atau sosialisasi secara kontinyu mengenai perangkat pembelajaran. Di awal diterapkan KTSP, memang guru-guru berlatih secara intensif mengenai perangkat pembelajaran. Akan tetapi, sepanjang perjalanannya mereka tidak pernah dilatih lagi. Mereka menggunakan RPP yang dibuat oleh kelompok KKG di Kecamatan Gerokgak pada saat KTSP mulai diberlakukan. RPP yang mereka gunakan tidak pernah mereka revisi dalam kaitannya dengan isi dan kegiatan pembelajarannya cenderung sama untuk semua sekolah. Mereka hanya merevisi tanggal, tahun, sekolah, dan kegiatan RPP dilaksanakan.
1
Di lain pihak, sepanjang perjalanan KTSP, di awal tahun 2010 pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mengintegrasikan pendidikan karakter dalam pembelajaran di RPP dan implementasinya di kelas. Akan tetapi, sosialisasi, pelatihan atau workshop mengenai hal itu tidak pernah dilakukan oleh pemerintah terutama di Kecamatan Gerokgak. Mereka hanya mendapat contoh mengenai RPP berbasis pendidikan karakter dari pengawas mereka. Mereka belum memiliki pemahaman yang memadai tentang pendidikan karakter. Mereka juga belum memiliki keterampilan dalam membuat RPP berbasis pendidikan karakter, apalagi mengimplementasikan di kelas. Berdasarkan hasil wawancara, diketahui juga bahwa guru-guru di Gugus V Kecamatan Gerokgak belum pernah dilatih untuk mengintegrasikan satua Bali sebagai basis pendidikan karakter di sekolah dasar. Padahal, satua Bali sarat akan nilai-nilai karakter yang sangat berpeluang untuk mewujudkan pendidikan karakter berbasis budaya lokal. Berdasarkan wawancara, dipaparkan juga harapan dari ketua Gugus V Kecamatan Sukasada mengenai adanya kegiatan pengabdian yang dilakukan oleh Undiksha berkaitan dengan pembuatan perangkat pembelajaran IPA, integrasi nilai budaya lokal dalam hal ini satua Bali, dan pendidikan karakter. Untuk itu, solusi yang ditawarkan oleh tim adalah berupa kegiatan Pembuatan Perangkat Pembelajaran IPA berbasis Satua Bali sebagai Media Pendidikan Karakter di Gugus V Kecamatan Gerokgak.
b. Identifikasi dan Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, permasalahan yang dapat diidentifikasi dan diprioritaskan untuk ditangani adalah sebagai berikut. 1. Pemahaman yang masih kurang yang dimiliki oleh guru sekolah mitra mengenai perangkat pembelajaran IPA, terutama bagian kegiatan pembelajaran. 2. Pemahaman yang masih kurang yang dimiliki oleh guru sekolah mitra mengenai integrasi pendidikan karakter dalam pembelajaran. 3. Keterampilan guru sekolah mitra yang masih kurang dalam membuat perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali.
2
4. Guru sekolah mitra belum memiliki keterampilan dalam menerapkan perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali dalam pembelajaran di kelas. Masalah diatas dapat dipecahkan dengan memberikan solusi berupa kegiatan pembuatan perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali sebagai media pendidikan karakter di Gugus V Kecamatan Gerokgak. Dengan demikian dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut.
Apakah kegiatan pembuatan perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali sebagai media pendidikan karakter di Gugus V Kecamatan Gerokgak dapat meningkatkan pemahaman guru sekolah mitra mengenai perangkat pembelajaran IPA?
Apakah kegiatan pembuatan perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali sebagai media pendidikan karakter di Gugus V Kecamatan Gerokgak dapat meningkatkan pemahaman guru sekolah mitra mengenai integrasi pendidikan karakter dalam pembelajaran?
Apakah kegiatan pembuatan perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali sebagai media pendidikan karakter di Gugus V Kecamatan Gerokgak dapat meningkatkan keterampilan guru sekolah mitra dalam membuat perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali?
Apakah kegiatan pembuatan perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali sebagai media pendidikan karakter di Gugus V Kecamatan Gerokgak dapat meningkatkan keterampilan guru sekolah mitra dalam menerapkan perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali dalam pembelajaran di kelas?
c. Tujuan Kegiatan Tujuan dari pelaksanaan P2M ini adalah sebagai berikut.
Untuk meningkatkan pemahaman guru sekolah mitra mengenai perangkat pembelajaran IPA melalui kegiatan pembuatan perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali sebagai media pendidikan karakter di Gugus V Kecamatan Gerokgak?
3
Untuk meningkatkan pemahaman guru sekolah mitra mengenai integrasi pendidikan karakter dalam pembelajaran melalui kegiatan pembuatan perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali sebagai media pendidikan karakter di Gugus V Kecamatan Gerokgak?
Untuk meningkatkan keterampilan guru sekolah mitra dalam membuat perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali melalui kegiatan pembuatan perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali sebagai media pendidikan karakter di Gugus V Kecamatan Gerokgak?
Untuk meningkatkan keterampilan guru sekolah mitra dalam menerapkan perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali dalam pembelajaran di kelas melalui kegiatan pembuatan perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali sebagai media pendidikan karakter di Gugus V Kecamatan Gerokgak?
d. Manfaat Kegiatan Adapun manfaat dari pelaksanaan P2M ini adalah sebagai berikut. 1. Bagi guru, memperoleh tambahan pengetahuan mengenai perangkat pembelajaran IPA. Di samping itu, guru sekolah mitra memperoleh informasi mengenai integrasi pendidikan karakter dalam pembelajaran. Guru sekolah mitra juga memperoleh keterampilan dalam membuat perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali, serta memiliki keterampilan dalam menerapkan perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali dalam pembelajaran di kelas. 2. Bagi kepala sekolah, memperoleh pengetahuan tambahan mengenai perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali dalam pendidikan karakter. 3. Bagi pengawas sekolah, memperoleh pengetahuan tambahan tentang perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali sebagai media pendidikan karakter, serta dapat berbagi dengan tim mengenai pendidikan karakter. 4. Bagi unit pengelola pendidikan, dapat mengarsip segala hasil kegiatan yang dilaksanakan yang nantinya dapat dikembangkan di seluruh gugus yang ada di Kecamatan Gerokgak.
4
BAB II METODE PELAKSANAAN
a. Waktu dan Tempat Kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat di Gugus V Kecamatan Gerokgak telah dilaksanakan mulai tanggal 8 April 2016 sampai dengan 29 April 2016. Tempat pelaksanaan kegiatan dilakukan di SDN 2 Banyupoh, Kecamatan Gerokgak. b. Metode Pelaksanaan Untuk mengimplementasikan kegiatan pembuatan perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali sebagai media pendidikan karakter di Gugus V Kecamatan Gerokgak, maka akan diadakan tiga kegiatan inti dengan metode pelaksanaan sebagai berikut: 1. Seminar mengenai perangkat pembelajaran IPA dan pendidikan karakter. Seminar ini akan membahas perangkat pembelajaran IPA, terutama bagian RPP dan integrasi Pendidikan Karakter ke dalam RPP. Seminar ini akan dihadiri oleh 28 orang guru dari Gugus V Kecamatan Gerokgak dan 2 mahasiswa Jurusan PGSD sebagai peserta seminar. Metode yang digunakan dalam seminar adalah ceramah, tanya jawab, dan diskusi. 2. Workshop pembuatan perangkat pembelajaran IPA berbasis satua bali. Workshop ini akan membahas mengenai satua Bali dan integrasi satua Bali dalam perangkat pembelajaran IPA, terutama bagian RPP dan media satua Bali. Selain itu, workshop ini akan mengerjakan RPP berbasis satua Bali. Wokshop ini akan dihadiri oleh 28 orang guru dari Gugus V Kecamatan Gerokgak dan 2 mahasiswa Jurusan PGSD sebagai peserta workshop. Metode yang digunakan dalam workshop adalah ceramah, tanya jawab, diskusi, penugasan, dan kerja kelompok. 3. Pendampingan selama penerapan perangkat di dalam kelas. Setelah perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali (RPP dan media satua Bali) selesai dikerjakan, maka tahapan selanjutnya adalah pendampingan selama penerapan perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali (RPP
5
dan media satua Bali) di dalam kelas. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kebiasaan dengan menerapkan metode drill. Kegiatan pengabdian yang dilakukan terlihat pada bagan berikut. Kesepakatan Pelatihan
Perizinan pada instansi terkait
Seminar perangkat pembelajaran dan integrasi pendidikan karakter dalam pembelajaran Perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali dan video pembelajaran
Workshop mengenai pembuatan perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali Pendampingan pembuatan dan pengimplementasian perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali
Gugus V Kecamatan Gerokgak
Pemahaman, keterampilan membuat, dan mengimplementasikan perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali
Gambar 1. Bagan Pelaksanaan Kegiatan
6
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil Kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat dengan judul Pembuatan Perangkat Pembelajaran IPA Berbasis Satua Bali Sebagai Media Pendidikan Karakter di Gugus V Kecamatan Gerokgak sampai pada bulan Oktober 2016 telah dilaksanakan sebanyak 100% dari program yang dirancang. Kegiatan-kegiatan yang telah terlaksana adalah seminar dan workshop pembuatan perangkat pembelajaran IPA berbasis Satua Bali dan pendampingan pembelajaran. Pada tahap awal pelaksanaan program, telah dilaksanakan kegiatan berupa perancangan kegiatan workshop, penyiapan narasumber, sosialisasi dan koordinasi dengan ketua UPP Kecamatan Gerokgak, sosialisasi dan koordinasi dengan ketua Gugus V Kecamatan Gerokgak, penentuan jadwal kegiatan bersama mitra, penyiapan bahan workshop, dan penyiapan lokasi serta sarana prasarana kegiatan. Kegiatan persiapan dilaksanakan dari tanggal 8 sampai dengan 21 April 2016. Setelah tahap persiapan, dilaksanakan kegiatan workshop dan pendampingan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Kegiatan dilaksanakan di SDN 2 Banyupoh. Masing-masing kegiatan dipaparkan di bawah ini. a. Seminar perangkat pembelajaran IPA dan Satua Bali Seminar mengenai perangkat pembelajaran IPA dan Satua Bali dilaksanakan pada tanggal 22 April 2016. Narasumber dalam kegiatan ini adalah Bapak I Gede Margunayasa, S.Pd, M.Pd. Kegiatan ini bertujuan untuk membekali mitra tentang model-model pembelajaran inovatif untuk mata pelajaran IPA dan media Satua Bali. Respon mitra terhadap kegiatan pelatihan sangat baik. Mereka antusias berpartisipasi dalam diskusi interaktif mengenai media satua Bali. Dalam pelaksanaan seminar ini tidak ditemukan kendala yang berarti.
b. Workshop perangkat pembelajaran IPA dan Satua Bali Workshop pembuatan perangkat pembelajaran IPA berbasis Media Satua Bali dilaksanakan pada tanggal 23 April 2016. Narasumber dalam kegiatan ini
7
adalah Tim Pelaksanakan P2M yang diketuai oleh Ibu Putu Nanci Riastini, S.Pd.,M.Pd. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan keterampilan mitra dalam membuat perangkat pembelajaran IPA berbasis Media Satua Bali. Respon mitra terhadap kegiatan pelatihan sangat baik. Hal in terlihat dari antusiasme peserta berpartisipasi dalam diskusi interaktif.
c. Pendampingan penerapan perangkat pembelajaran Pendampingan penerapan perangkat pembelajaran IPA berbasis Satua Bali dilaksanakan sebanyak 3 kali, yaitu tanggal 25, 28, dan 29 April 2016. Kegiatan yang dilaksanakan adalah dua orang guru ditunjuk oleh tim untuk menerapkan perangkat pembelajaran yang dibuat di kelas yang mereka ampu. Kemudian tim melaksanakanobservasi untuk melihat keterlaksanaan pembelajarannya. Setelah itu, diadakan refleksi kembali oleh tim dan guru yang menerapkan pembelajaran. Dari kegiatan yang dilaksanakan, semuanya berjalan dengan baik dan tidak ada kendala.
3.2 Pembahasan Penerapan nilai-nilai karakter dalam kurikulum dapat dilakukan melalui integrasi dalam mata pelajaran, integrasi dalam muatan lokal, dan integrasi melalui kegiatan pengembangan diri (Pusat Kurikulum dan Perbukuan, 2011). Untuk itu, maka penerapan nilai-nilai karakter pada “Satua Bali” juga dapat dilakukan melalui integrasi dalam mata pelajaran. Integrasi nilai-nilai karakter dalam mata pelajaran dapat dilakukan melalui pengembangan silabus dan RPP pada kompetensi yang telah ada sesuai dengan nilai yang akan diterapkan. Supaya silabus dan RPP yang dikembangkan memuat penerapan nilai-nilai karakter dalam satua bali, maka langkah-langkah dalam pengembangan silabus adalah: Menganalisis nilai karakter yang ada pada “Satua Bali” dan menyesuaikan dengan materi yang ada. Kemudian menganalisis Indikator, baik kata kerjanya maupun materinya. Penganalisisan pertama menentukan kata kerjanya apakah ranah kognitif, afiktif, atau psikomotor, kemudian lihat tingkat kesulitannya, kemudian tentukan nilai karakter apa dan “Satua Bali” mana yang digunakan. Langkah berikutnya memasukkan nilai karakter dari “Satua Bali” yang terpilih kedalam
8
silabus. Nilai Karakter yang terpilih yang telah dimuat sebelum kegiatan pembelajaran, satu demi satu secara berangsur dimasukkan kedalam langkahlangkah proses kegiatan pembelajaran, yang tentunya nilai-nilai karakter yang sesuai dengan kegiatan pembelajaran siswa, sehingga tercermin pada setiap langkah kegiatan pembelajaran, baik pada kegiatan exsplorasi, elaborasi maupun pada kegiatan konfirmasi. Dalam RPP, “Satua Bali” dapat dimasukkan di kegiatan inti pada tahap eksplorasi. Pada tahap ini, siswa diberikan “Satua Bali”, kemudian siswa diminta untuk membacakan sekaligus menghayatinya. Selain itu, guru juga dapat membacakannya dan siswa menyimaknya. Pada tahap elaborasi, siswa diminta untuk mendiskusikan secara berkelompok mengenai nilai karakter setiap tokoh yang ada dalam cerita dan mendiskusikan materi pelajaran yang ada. Pada tahap konfirmasi, guru mempertegas nilai-nilai karakter yang ada dalam “Satua Bali”, meminta siswa untuk menceritakannya di depan kelas, dan mengkonfirmasi materi pelajaran dalam “Satua Bali”, dan menambahkan materi sesuai dengan kurikulum yang berlaku.
Dengan demikian, penerapan “Satua Bali” dalam
pembelajaran dapat melestarikan kebudayaan lokal, menumbuhkan nilai-nilai karakter siswa, dan sangat berkaitan dengan materi yang ada di kurikulum. Disamping itu, dengan “Satua Bali”, maka dapat melatih kemampuan membaca dan kemampuan menyimak siswa. Ada beberapa faktor perlunya Satua Bali digunakan sebagai media pembelajaran. Pertama, keberadaan sebuah media pembelajaran, dalam hal ini Satua Bali, sangat penting bagi keberhasilan proses pembelajaran. Adanya media pembelajaran membuat materi pelajaran menjadi lebih kontekstual dan mendorong rasa ingin tahu siswa. Materi yang dimaksud adalah ditinjau dari ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor. Jika anak mengalami hal-hal yang bersifat kontekstual dan memiliki rasa ingin tahu tinggi terhadap sesuatu, maka anak akan belajar secara aktif dan bermakna. Implikasinya adalah pengetahuan dapat tersimpan dalam long term memory, sikap dapat dibudayakan, dan keterampilan pun dapat diasah secara tidak langsung. Dengan demikian, media pembelajaran membuat anak belajar secara kontekstual dan menumbuhkan rasa ingin tahu siswa sehingga menghasilkan sesuatu yang bermakna. Penjelasan di
9
atas sesuai dengan pendapat Willis (2012), yang menyatakan bahwa manfaat sebuah media diantaranya menarik minat siswa untuk belajar, siswa memperoleh gambaran nyata tentang sesuatu, mendorong keingintahuan siswa, dan membuat siswa riang belajar. Kedua, kegiatan belajar merupakan kegiatan yang melibatkan fisik dan jiwa siswa. Untuk menciptakan terjadinya belajar yang demikian, maka siswa harus belajar aktif. Belajar aktif yang dimaksud adalah siswa berpikir, berkata, dan melakukan kegiatan yang dapat membuat mereka memperoleh pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Untuk mewujudkan pembelajaran yang demikian, tidak bisa hanya dilakukan dengan mendengarkan penjelasan guru. Pembelajaran tersebut dapat terwujud bila siswa terlibat langsung dalam kegiatan pembelajaran, termasuk memanipulasi media pembelajaran. Jika hal ini dapat dilakukan, maka pengetahuan dapat diperoleh dengan benar, sikap dapat diamalkan, dan keterampilan dapat dikembangkan. Pemaparan tersebut sesuai dengan pendapat Silberman (2007), yang menyatakan bahwa belajar membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan pelajar itu sendiri. Cara belajar aktiflah yang dapat mewujudkan belajar tersebut, sehingga belajar dapat dikategorikan belajar yang sebenarnya dan tahan lama. Ketiga,
pendidikan
karakter
bukan
sekedar
sebuah
pengaturan
pembelajaran di sekolah. Implementasi pendidikan karakter lebih mengarah pada transformasi budaya dan perikehidupan sekolah, bukan sekedar menambahkan materi nilai-nilai karakter dalam kurikulum. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah
dengan
bercerita
sebagai
salah
satu
cara
efektif
untuk
mengimplementasikan nilai-nilai karakter bagi anak. Melalui kegiatan seperti ini, siswa dapat membedakan sikap baik dan buruk dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, implementasi pendidikan karakter dapat terjadi dengan bantuan cerita. Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Lickona (1991), yang menyatakan bahwa salah satu cara agar pendidikan karakter dapat berjalan efektif adalah dengan penggunaan cerita dalam pembelajaran.
10
BAB IV PENUTUP
a. Simpulan Kesimpulan yang dapat diperoleh dari pelaksanaan program pengabdian kepada masyarakat ini adalah: 1. Pelaksanaan program mampu meningkatkan pemahaman guru-guru di Gugus V Kecamatan Gerokgak tentang perangkat pembelajaran IPA dan media satua Bali. Di samping itu, guru-guru juga memiliki keterampilan dalam membuat dan melaksanakan pembelajaran IPA dengan media Satua Bali. 2. Pelaksanaan
program
mampu
menghasilkan
luaran-luaran
yang
diharapkan oleh program pengabdian kepada masyarakat ini, antara lain perangkat pembelajaran IPA dengan media satua bali.
b. Saran Tingkat partisipasi dan antusiasme peserta dalam program ini sangat tinggi. Hal ini dapat dijadikan modal dasar dalam kegiatan-kegiatan berikutnya di tingkat KKG di Gugus V Kecamatan Gerokgak. Dukungan dari segala pihak yang meliputi dukungan penuh dari kepala UPP, pengawas, dan ketua gugus sangat baik dan terus dipertahankan sehingga segala kegiatan yang dilaksanakan di tingkat KKG dapat berjalan dengan baik dan sudah tentu dapat meningkatkan pemahaman dan keterampilan guru dalam membuat dan melaksanakan pembelajaran IPA dengan media Satua Bali.
11
DAFTAR PUSTAKA Baittstich. History Teacher’s Discussion Forum, July 2008. http://www.schoolhistory.co.uk (diakses tanggal 8 Oktober 2013). Depdiknas. 2003. Peraturan Pemerintah nomor 19 Tahun 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan, Jakarta. Depdiknas. 2006. Panduan Pengembangan Pembelajaran IPA Terpadu. Jakarta: Depdiknas. Depdiknas. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 41 tahun 2007, tentang Standar Proses Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta. Elkind, David H. dan Sweet, Freddy. How to Do Character Education. Artikel yang diterbitkan pada bulan September/Oktober 2004 Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010. Kemdiknas. Buku Induk Pembangunan Karakter. Jakarta. 2010. Lickona, Thomas. Educating for Character. New York: Bantam Book. 1991. Lickona, Thomas, Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Books, 1992. Lickona, Tom; Schaps, Eric, dan Lewis, Catherine. Eleven Principles of Effective Character Education. Character Education Partnership, 2007. Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan Nasional. 2011. Pusat Kurikulum. Jakarta: Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah (hal. 9-10). 2009. Riastini, Putu Nanci & I Gede Margunayasa. Pengaruh Satua Bali terhadap NilaiNilai Karakter Bangsa (Quasi eksperimen pada siswa kelas IV SD Gugus III Kecamatan Buleleng). Prosiding. Singaraja: Lembaga Penelitian Undiksha. 2013. Sairin, Weinata. Pendidikan yang Mendidik. Jakarta: Yudhistira, 2001 Schwartz, Merle J. Effective Character Education. New York: Mc. Graw-Hill Companies. 2008. Silberman, Mel. Active Learning; 101 Strategi Pembelajaran Aktif. Penerjemah: Sarjuli dkk. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani. 2007.
12
LAMPIRAN
13
LAMPIRAN FOTO KEGIATAN
PEMBELAJARAN BERBASIS NILAI KARAKTER DALAM SATUA BALI I Gede Margunayasa, Putu Nanci Riastini
PENDAHULUAN
Penanaman nilai-nilai karakter bangsa saat ini menjadi isu utama dunia pendidikan. Salah satu landasan yang mendukung penanaman nilai karakter adalah pernyataan pada Pembukaan UUD 1945 alinea 4. Selanjutnya, ditegaskan pula penanaman nilai karakter dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Pada Bab I pasal 1 (1) UU No. 20 Tahun 2003 dinyatakan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Mengacu pada pernyataan tersebut, pendidikan diamanatkan untuk membentuk manusia Indonesia yang cerdas dan berakhlak mulia. Artinya, pendidikan tidak hanya difokuskan pada kegiatan kognitif semata, tetapi juga pembentukan nilai-nilai karakter bagi generasi muda bangsa. Pendidikan merupakan salah satu strategi dasar dari pembangunan karakter bangsa yang dalam pelaksanaannya harus dilakukan secara koheren dengan beberapa strategi lain. Strategi tersebut mencakup: sosialisasi atau penyadaran, pemberdayaan, pembudayaan, dan kerjasama seluruh komponen bangsa. Pembangunan karakter dilakukan dengan pendekatan sistematik dan integratif dengan melibatkan keluarga, satuan pendidikan, pemerintah, masyarakat sipil, anggota legislatif, media massa, dunia usaha, dan dunia industri (Sumber: Buku Induk Pembangunan Karakter, 2010). Dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter pada satuan pendidikan telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu: (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial, (18) Tanggung Jawab (Sumber: Pusat Kurikulum. Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. 2009:9-10). Menurut Baittstich (2008) bahwa pembangunan karakter yang efektif dapat dilakukan dalam lingkungan sekolah yang memungkinkan semua anak menunjukkan potensi mereka untuk mencapai tujuan yang sangat penting. Artinya, kegiatan-kegiatan di sekolah, khususnya proses pembelajaran, merupakan cara yang paling efektif untuk pembangunan karakter. Salah satu cara pembenahan dalam proses pembelajaran untuk mengembangkan nilai karakter pada anak adalah dengan penggunaan perangkat pembelajaran yang bersumber pada kebudayaan lokal. Pendapat ini didasarkan pada Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional. Instruksi ini mengamanatkan tentang kurikulum dan metode pembelajaran aktif berdasarkan nilai-nilai budaya bangsa untuk membentuk daya saing dan karakter bangsa. Sebagai contoh implementasinya, satua Bali, yang sarat nilai-nilai moral dan nilai-nilai karakter. Penggunaan satua Bali dalam
proses pembelajaran sangat berdampak positif bagi karakter anak. Hal ini dibuktikan oleh hasil penelitian Riastini dan I Gede Margunayasa (2013), yang menunjukkan bahwa penggunaan media satua Bali dalam pembelajaran berpengaruh terhadap nilainilai karakter bangsa, khususnya aspek bersahabat/komunikatif, toleransi, disiplin, dan tanggung jawab. PEMBAHASAN
Nilai karakter dalam satua bali Berdasarkan hasil kajian, Satua Bali yang memungkinkan untuk dikembangkan dalam pembelajaran untuk menumbuhkan nilai-nilai karakter ada sebanyak 20 judul satua bali. Masing-masing satua memuat nilai-nilai karakter yang beragam dan materi yang berbeda pula. Hasil analisis satua Bali tampak pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil analisis “Satua Bali” No 1 2 3
Judul I Lutung Teken I Kekua Kambing Takutin Macan I Ketimun Mas
4
I Buta Teken I Rumpuh
5
I Belog
6
I Pengangon Bebek
7
I Siap selem
8
Men Sugih teken Men Tiwas Nang Bangsing teken I Belog
9
10
Lutung teken Kekua memaling isen
11
I Bawang teken i kesuna
12
Anak ririh
13
I Lutung dadi pecalang
Materi yang dikandung Pengetahuan Nilai karakter Bentuk tubuh hewan dan fungsinya Toleransi Buah dan kandungannya Kejujuran Ciri-ciri mahluk hidup Kreatif Hewan langka Cermat Indera pendengaran Tanggung jawab Indera penglihatan Tolong-menolong Hubungan timbal balik antara manusia Teliti dengan hewan Hewan dan makanannya Indera penglihatan Kerjasama Sistem rangka tubuh Tulus Iklas Jenis makanan Tolong-menolong Ciri-ciri mahluk hidup Tanggung jawab Ciri-ciri khusus mahluk hidup Cermat Cara merawat mahluk hidup Tanggung jawab Sumber daya alam Cinta kasih Kejujuran Ciri-ciri mahluk hidup Percaya diri Gaya gravitasi Keiklasan Jenis-jenis sumber daya alam Keiklasan Teknologi sederhana dan modern Kejujuran Teknologi sederhana Kejujuran Sumber daya alam hayati Hati-hati Peduli lingkungan Ciri-ciri tumbuhan Peduli lingkungan Manfaat tumbuhan Teliti Pemanfaatan hewan Tanggung jawab Air dan manfaatnya Kesabaran Berbagai jenis benda dan sifatnya Keiklasan Tanggung jawab Pentingnya matahari bagi kehidupan Kreatif, Jujur Teknologi sederhana dan manfaatnya Tanggung jawab Sumber bunyi Disiplin Cahaya dan sifatnya Tanggung jawab Ciri-ciri-khusus mahluk hidup Kerjasama Tolong-menolong
No
Judul
14
I Ubuh
15
I Lanjana
16
I Tuung Kuning
17
I Belibis Putih
18
Men Tingkes
19
I Pucung
20
Ni Daa Tua
Materi yang dikandung Pengetahuan Nilai karakter Teknologi sederhana Tekun Sumber daya alam dan manfaatnya Tolong menolong Sumber daya alam hayati dan non hayati Peduli Ciri-ciri hewan dan makanannya Kreatif Percaya diri Hubungan sumber daya alam dan Keiklasan pekerjaan Tanggung jawab Kandungan bahan makanan Pemeliharaan hewan Jenis-jenis makanan dan kandungannya Kasih sayang Ciri-ciri hewan Tolong menolong Proses menanam padi Kerjasama Jenis sumber daya alam hewan yang dimanfaatkan dan cara pemanfaatannya Makanan dan manfaatnya Tolong menolong Sumber daya alam Kasih sayang Peduli lingkungan Jenis-jenis buah Kejujuran Manfaat air Teliti Hewan dan makanannya Tolong menolong Kasih sayang Ketulusan Pemanfaatan tumbuhan Tidak iri hati Hutan dan pemanfaatannya Peduli lingkungan Perdagangan sumber daya alam Menghargai milik orang lain
Penerapan nilai karakter dalam pembelajaran Penerapan nilai-nilai karakter dalam kurikulum dapat dilakukan melalui integrasi dalam mata pelajaran, integrasi dalam muatan lokal, dan integrasi melalui kegiatan pengembangan diri (Pusat Kurikulum dan Perbukuan, 2011). Untuk itu, maka penerapan nilai-nilai karakter pada “Satua Bali” juga dapat dilakukan melalui integrasi dalam mata pelajaran. Integrasi nilai-nilai karakter dalam mata pelajaran dapat dilakukan melalui pengembangan silabus dan RPP pada kompetensi yang telah ada sesuai dengan nilai yang akan diterapkan. Supaya silabus dan RPP yang dikembangkan memuat penerapan nilai-nilai karakter dalam satua bali, maka langkah-langkah dalam pengembangan silabus adalah: Menganalisis nilai karakter yang ada pada “Satua Bali” dan menyesuaikan dengan materi yang ada. Kemudian menganalisis Indikator, baik kata kerjanya maupun materinya. Penganalisisan pertama menentukan kata kerjanya apakah ranah kognitif, afiktif, atau psikomotor, kemudian lihat tingkat kesulitannya, kemudian tentukan nilai karakter apa dan “Satua Bali” mana yang digunakan. Langkah berikutnya memasukkan nilai karakter dari “Satua Bali” yang terpilih kedalam silabus. Nilai Karakter yang terpilih yang telah dimuat sebelum kegiatan pembelajaran, satu demi satu secara berangsur dimasukkan kedalam langkah-langkah proses kegiatan pembelajaran, yang tentunya nilai-nilai karakter yang sesuai dengan kegiatan pembelajaran siswa, sehingga tercermin pada setiap langkah kegiatan pembelajaran, baik pada kegiatan exsplorasi, elaborasi maupun pada kegiatan konfirmasi.
Dalam RPP, “Satua Bali” dapat dimasukkan di kegiatan inti pada tahap eksplorasi. Pada tahap ini, siswa diberikan “Satua Bali”, kemudian siswa diminta untuk membacakan sekaligus menghayatinya. Selain itu, guru juga dapat membacakannya dan siswa menyimaknya. Pada tahap elaborasi, siswa diminta untuk mendiskusikan secara berkelompok mengenai nilai karakter setiap tokoh yang ada dalam cerita dan mendiskusikan materi pelajaran yang ada. Pada tahap konfirmasi, guru mempertegas nilai-nilai karakter yang ada dalam “Satua Bali”, meminta siswa untuk menceritakannya di depan kelas, dan mengkonfirmasi materi pelajaran dalam “Satua Bali”, dan menambahkan materi sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Dengan demikian, penerapan “Satua Bali” dalam pembelajaran dapat melestarikan kebudayaan lokal, menumbuhkan nilai-nilai karakter siswa, dan sangat berkaitan dengan materi yang ada di kurikulum. Disamping itu, dengan “Satua Bali”, maka dapat melatih kemampuan membaca dan kemampuan menyimak siswa. Ada beberapa faktor perlunya Satua Bali digunakan sebagai media pembelajaran. Pertama, keberadaan sebuah media pembelajaran, dalam hal ini Satua Bali, sangat penting bagi keberhasilan proses pembelajaran. Adanya media pembelajaran membuat materi pelajaran menjadi lebih kontekstual dan mendorong rasa ingin tahu siswa. Materi yang dimaksud adalah ditinjau dari ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor. Jika anak mengalami hal-hal yang bersifat kontekstual dan memiliki rasa ingin tahu tinggi terhadap sesuatu, maka anak akan belajar secara aktif dan bermakna. Implikasinya adalah pengetahuan dapat tersimpan dalam long term memory, sikap dapat dibudayakan, dan keterampilan pun dapat diasah secara tidak langsung. Dengan demikian, media pembelajaran membuat anak belajar secara kontekstual dan menumbuhkan rasa ingin tahu siswa sehingga menghasilkan sesuatu yang bermakna. Penjelasan di atas sesuai dengan pendapat Willis (2012), yang menyatakan bahwa manfaat sebuah media diantaranya menarik minat siswa untuk belajar, siswa memperoleh gambaran nyata tentang sesuatu, mendorong keingintahuan siswa, dan membuat siswa riang belajar. Kedua, kegiatan belajar merupakan kegiatan yang melibatkan fisik dan jiwa siswa. Untuk menciptakan terjadinya belajar yang demikian, maka siswa harus belajar aktif. Belajar aktif yang dimaksud adalah siswa berpikir, berkata, dan melakukan kegiatan yang dapat membuat mereka memperoleh pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Untuk mewujudkan pembelajaran yang demikian, tidak bisa hanya dilakukan dengan mendengarkan penjelasan guru. Pembelajaran tersebut dapat terwujud bila siswa terlibat langsung dalam kegiatan pembelajaran, termasuk memanipulasi media pembelajaran. Jika hal ini dapat dilakukan, maka pengetahuan dapat diperoleh dengan benar, sikap dapat diamalkan, dan keterampilan dapat dikembangkan. Pemaparan tersebut sesuai dengan pendapat Silberman (2007), yang menyatakan bahwa belajar membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan pelajar itu sendiri. Cara belajar aktiflah yang dapat mewujudkan belajar tersebut, sehingga belajar dapat dikategorikan belajar yang sebenarnya dan tahan lama. Ketiga, pendidikan karakter bukan sekedar sebuah pengaturan pembelajaran di sekolah. Implementasi pendidikan karakter lebih mengarah pada transformasi budaya dan perikehidupan sekolah, bukan sekedar menambahkan materi nilai-nilai karakter dalam kurikulum. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan bercerita sebagai salah satu cara efektif untuk mengimplementasikan nilai-nilai karakter bagi anak. Melalui kegiatan seperti ini, siswa dapat membedakan sikap baik dan buruk dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, implementasi pendidikan karakter dapat terjadi dengan bantuan cerita. Pendapat tersebut sejalan
dengan pendapat Lickona (1991), yang menyatakan bahwa salah satu cara agar pendidikan karakter dapat berjalan efektif adalah dengan penggunaan cerita dalam pembelajaran. SIMPULAN
Satua bali tidak saja berisi nilai karakter, akan tetapi sangat berkaitan dengan materi kurikulum di sekolah dasar. Begitu juga, Satua bali sangat cocok diterapkan pada kurikulum 2013 di sekolah dasar. Dalam pembelajaran, “Satua Bali” dapat dimasukkan di kegiatan inti pada tahap eksplorasi. Pada tahap ini, siswa diberikan “Satua Bali”, kemudian siswa diminta untuk membacakan sekaligus menghayatinya. Selain itu, guru juga dapat membacakannya dan siswa menyimaknya. Pada tahap elaborasi, siswa diminta untuk mendiskusikan secara berkelompok mengenai nilai karakter setiap tokoh yang ada dalam cerita dan mendiskusikan materi pelajaran yang ada. Pada tahap konfirmasi, guru mempertegas nilai-nilai karakter yang ada dalam “Satua Bali”, meminta siswa untuk menceritakannya di depan kelas, dan mengkonfirmasi materi pelajaran dalam “Satua Bali”, dan menambahkan materi sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Dengan demikian, penerapan “Satua Bali” dalam pembelajaran dapat melestarikan kebudayaan lokal, menumbuhkan nilai-nilai karakter siswa, dan sangat berkaitan dengan materi yang ada di kurikulum. Disamping itu, dengan “Satua Bali”, maka dapat melatih kemampuan membaca dan kemampuan menyimak siswa. DAFTAR RUJUKAN
Baittstich. History Teacher’s Discussion Forum, July http://www.schoolhistory.co.uk (diakses tanggal 8 Oktober 2013).
2008.
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010. Jackson, Paul. The Pop-up Book. Singapore: Anness Publishing Limited. 2000. Kemdiknas. Buku Induk Pembangunan Karakter. Jakarta. 2010. Lickona, Thomas. Educating for Character. New York: Bantam Book. 1991. Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan Nasional. 2011. Pusat Kurikulum. Jakarta: Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah (hal. 9-10). 2009. Riastini, Putu Nanci & I Gede Margunayasa. Pengaruh Satua Bali terhadap Nilai-Nilai Karakter Bangsa (Quasi eksperimen pada siswa kelas IV SD Gugus III Kecamatan Buleleng). Prosiding. Singaraja: Lembaga Penelitian Undiksha. 2013. Schwartz, Merle J. Effective Character Education. New York: Mc. Graw-Hill Companies. 2008. Silberman, Mel. Active Learning; 101 Strategi Pembelajaran Aktif. Penerjemah: Sarjuli dkk. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani. 2007. UU No. 20 Tahun 2003. www.mandikdasmen.depdiknas.go.id (diakses tanggal 20 Agustus 2012). Willis, Sofyan S. Psikologi Pendidikan. Bandung: CV Alfabeta. 2012.
Pembelajaran IPA yang Inovatif*
Oleh I Gede Margunayasa**
* Makalah Disajikan pada Workshop P2M dengan tema: “ Pembuatan Perangkat Pembelajaran IPA Berbasis Satua Bali Sebagai Media Pendidikan Karakter di Gugus V Kecamatan Gerokgak”. ** Dosen Jurusan PGSD FIP Undiksha
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PENDIDIKA GANESHA SINGARAJA 2016
Dalam UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 pasal 29 ayat 2 menyebutkan bahwa pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan. Dalam konteks sistem pendidikan nasional tersebut, seorang pendidik harus memiliki kompetensi untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Agar bisa menjalankan tugasnya dengan baik dan profesional, maka guru dituntut memiliki empat kompetensi, yakni kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial (UU Sisdiknas, 2003 & PP No 19, 2005). Dalam Standar Nasional Pendidikan, penjelasan Pasal 28 ayat (3) butir a dikemukakan bahwa kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Slamet PH (2006) mengatakan kompetensi pedagogik terdiri dari sub kompetensi (1) berkontribusi dalam pengembangan KTSP yang terkait dengan matapelajaran yang diajarkan; (2) mengembangkan silabus matapelajaran berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar; (3) merencanakan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) berdasarkan silabus yang telah dikembangkan; (4) merancang manajemen pembelajaran dan manajemen kelas; (5) melaksanakan pembelajaran yang pro perubahan (aktif, kreatif, inovatif, eksperimentatif, efektif dan menyenangkan); (6) menilai hasil belajar peserta didik secara otentik; (7) membimbing peserta didik dalam berbagai aspek, misalnya pelajaran, kepribadian, bakat, minat dan karir; dan (8) mengembangkan profesionalisme diri sebagai guru (Sagala, 2009:31-32). Dalam pandangan tersebut, dapat ditegaskan bahwa kompetensi pedagogik merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta didik meliputi (1) pemahaman wawasan guru akan landasan dan filsafat pendidikan; (2) guru mampu memahami potensi dan keberagaman peserta didik, sehingga dapat didesain strategi pelayanan belajar sesuai keunikan masing-masing peserta didik;(3) guru mampu mengembangkan kurikulum/ silabus baik dalam bentuk dokumen maupun implementasi dalam bentuk pengalaman belajar; (4) guru mampu menyusun rencana dan strategi pembelajaran berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar; (5) mampu melaksanakan pembelajaran yang mendidik dengan suasana dialogis dan interaktif; (6) mampu melakukan evaluasi hasil belajar dengan memenuhi prosedur dan standar yang dipersyaratkan; dan (7) mampu mengembangkan bakat dan minat peserta didik melalui kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler untuk mengaktualisasikan berbagai otensi yang dimilikinya. Dengan demikian, tampak bahwa kemampuan pedagogik bagi guru bukanlah hal yang sederhana, karena kualitas guru harus di atas rata-rata. Kualitas ini dapat dilihat dari aspek intelektual meliputi aspek (1) logika sebagai pengembangan kognitif mencakup kemampuan intelektual mengenal lingkungan terdiri atas enam macam yang disusun secara hierarkis dari yang sederhana sampai yang kompleks. Yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan penilaian; (2) etika sebagai pengembangan afektif mencakup kemampuan emosional dalam mengalami dan menghayati sesuatu hal meliputi lima macam kemampuan emosional disusun secara hierarkis. Yaitu : kesadaran, partisipasi, penghayatan nilai, pengorganisasian nilai dan karakterisasi diri. dan (3) estetika sebagai pengembangan psikomotorik. Untuk menghadapi tantangan tersebut, guru perlu berpikir secara antisipatif dan proaktif. Guru harus secara terus menerus belajar sebagai upaya melakukan pembaharuan atas ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Salah satu upaya yang dilakukan guru untuk dapat meningkatkan kompetensi pedagogiknya adalah dengan memahami pembelajaran inovatif dan menerapkannya di dalam kelas. Dengan demikian, makalah ini akan memaparkan 4 model pembelajaran inovatif seperti yang diamanatkan dalam K13 yang dapat digunakan sebagai rujukan dalam menerapkan pembelajaran inovatif di kelas pembelajaran.
1
PEMBAHASAN Pembelajaran Berbasis Masalah Pembelajaran sains dengan menerapkan model pembelajaran berbasis masalah, selalu diawali dengan penyajian masalah. Proses pembelajaran dimulai setelah siswa dikonfrontasikan dengan struktur masalah real, sehingga siswa mengetahui mengapa mereka harus mempelajari materi ajar tersebut. Informasi-informasi akan mereka kumpulkan dan mereka analisis dari unit-unit materi ajar yang mereka pelajari dengan tujuan untuk dapat memecahkan masalah yang dihadapinya. Masalah yang disajikan hendaknya dapat memunculkan konsep-konsep maupun prinsip-prinsip yang relevan dengan content domain. Melalui model pembelajaran berbasis masalah para siswa akan belajar bagaimana menggunakan suatu proses interaktif dalam mengevaluasi apa yang mereka ketahui, mengidentifikasi apa yang perlu mereka ketahui, mengumpulkan informasi, dan berkolaborasi dalam mengevaluasi suatu hipotesis berdasarkan data yang telah mereka kumpulkan. Sedangkan, guru lebih berperan sebagai tutor dan fasilitator dalam menggali dan menemukan hipotesis, serta dalam mengambil kesimpulan. Terdapat empat penerapan esensial dari model pembelajaran berbasis masalah seperti yang diurutkan oleh Gallagher et al. (dalam Sadia & Suma, 2006), yaitu sebagai berikut. 1. Pemusatan masalah di sekitar pembelajaran dari konsep-konsep sains yang penting. 2. Memberikan kesempatan bagi pebelajar untuk menguji ide mereka dengan berbagai teori maupun dengan eksperimen. 3. Memberikan kesempatan kepada siswa mengolah data sebagai bagian dari melatih metakognitif. 4. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempresentasikan pemecahan masalah yang mereka hasilkan, dengan tiap kelompok mempresentasikan laporannya dalam suatu bentuk diskusi kelas. Menurut Arends (2004), berbagai pengembangan pembelajaran berdasarkan masalah telah memberikan model pembelajaran ini memiliki karakteristik sebagai berikut. 1. Pengajuan pertanyaan atau masalah. Pembelajaran berdasarkan masalah tidak hanya mengorganisasikan di sekitar prisip-prinsip atau kemampuan akademik tertentu namun mengorganisasikan pengajaran di sekitar pertanyaan dan masalah yang dua-duanya secara sosial penting dan secara pribadi bermakna untuk siswa. 2. Berfokus pada keterkaitan antar disiplin. Pembelajaran berdasarkan masalah mungkin berpusat pada mata pelajaran tertentu (IPA, matematika, ilmu-ilmu sosial), masalah yang akan diselidiki telah dipilih benar-benar nyata agar dalam pemecahannya siswa meninjau masalah itu dari banyak mata pelajaran. 3. Penyelidikan autentik. Pembelajaran berdasarkan masalah mengharuskan siswa melakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata. Mereka harus menganalisis dan mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis, dan membuat ramalan, mengumpulkan dan menganalisa informasi, melakukan eksperimen, membuat inferensi, dan merumuskan kesimpulan. Metode penyelidikan yang digunakan akan bergantung kepada masalah yang sedang dipelajari. 4. Menghasilkan produk dan mempresentasikannya. Pembelajaran berdasarkan masalah menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan. Produk tersebut dapat berupa transkrip debat, laporan, model fisik, video maupun program komputer. Karya nyata dan peragaan seperti yang akan dijelaskan kemudian, direncanakan oleh siswa untuk mendemonstrasikan kepada teman-temannya yang lain tentang apa yang mereka pelajari. 5. Kolaborasi. Pembelajaran berdasarkan masalah dicirikan oleh adanya kerja sama antara satu siswa dengan siswa yang lainnya, paling tidak secara berpasangan atau dalam kelompok kecil untuk menyelesaikan permasalahan. Bekerja sama antar siswa akan dapat memberikan motivasi untuk secara berkelanjutan terlibat dalam tugas-tugas kompleks dan 2
memperbanyak peluang untuk berbagi inkuiri dan dialog serta untuk mengembangkan kemampuan sosial dan kemampuan berfikir. Menurut Barrows (1996) dalam tulisannya yang berjudul Problem-Based Learning in Medicine and Beyond juga mengemukakan beberapa karakteristik model pembelajaran berbasis masalah sebagai berikut. 1. Proses pembelajaran bersifat Student-Centered. Melalui bimbingan tutor (guru) siswa harus bertanggung jawab atas pembelajaran dirinya, mengidentifikasi apa yang mereka perlu ketahui untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik, mengelola permasalahan, dan menentukan di mana mereka akan memperoleh informasi (buku teks, jurnal, Internet, dll.). 2. Proses pembelajaran berlangsung dalam kelompok kecil. Setiap kelompok biasanya terdiri atas 5-8 orang. Anggota kelompok sebaiknya ditukar untuk setiap unit kurikulum lainnya. Kondisi demikian akan memberi pengalaman praktis kepada siswa untuk bekerja dan belajar secara lebih intensif dan efektif dalam variasi kelompok yang berbeda. 3. Guru berperan sebagai fasilitator atau pembimbing. Guru tidak berperan sebagai pemberi ceramah atau pemberi informasi faktual. Peran guru sebagai fasilitator yakni tidak memberi tahu siswa secara langsung apakah pemikiran siswanya benar atau salah, dan juga tidak memberi tahu siswa tentang apa yang harus mereka pelajari atau baca. Siswa itu sendirilah (secara berkelompok) yang mengidentifikasi dan menentukan konsep-konsep atau prinsipprinsip apa yang harus mereka pelajari dan mereka pahami agar mampu memecahkan masalah yang telah disajikan guru pada awal pembelajaran. 4. Permasalahan-permasalahan yang disajikan dalam pembelajaran diorganisasi dalam bentuk dan fokus tertentu dan merupakan stimulus pembelajaran. Kondisi demikian akan menantang dan menghadapkan siswa dalam situasi praktis serta akan memotivasi siswa untuk belajar. Siswa dalam memecahkan masalah tersebut akan merealisasikan apa yang perlu mereka pelajari dari ilmu-ilmu dasar (basic science), serta akan mengarahkan mereka untuk mengintegrasikan informasi-informasi dari berbagai disiplin ilmu. 5. Informasi baru diperoleh melalui belajar secara mandiri (self-directed learning). Siswa diharapkan belajar dari dunia pengetahuan dan mengakumulasikan keahliannya melalui belajar secara mandiri, serta dapat berbuat seperti praktisi yang sesungguhnya. Selama proses belajar secara mandiri, siswa bekerja bersama dalam kelompok, berdiskusi, melakukan komparasi, me-review, serta berdebat tentang apa yang sudah mereka pelajari. 6. Masalah merupakan wahana untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah klinik. Format permasalahan hendaknya mempresentasikan permasalahan sesuai dengan dunia realita. Format permasalahan juga harus memberi kesempatan kepada siswa untuk mengajukan pertanyan-pertanyaan kepada pasien, melakukan test fisik, test laboratorium, dan lainnya. Ada lima tahapan dalam penerapan model pembelajaran berbasis masalah yang diuraikan oleh Arends (2004), di mana pembelajaran dimulai dengan guru memperkenalkan siswa dengan situasi real dan akhirnya dengan penyajian dan analisis hasil kerja siswa. Kelima tahapan itu adalah sebagai berikut. 1. Orientasi siswa pada masalah Pada saat mulai pembelajaran, guru menyampaikan tujuan pembelajaran secara jelas, menumbuhkan sikap positif terhadap pelajaran. Guru menyampaikan bahwa tujuan utama dari pembelajaran adalah tidak untuk mempelajari sejumlah informasi baru, namun lebih kepada bagaimana menyelidiki masalah-masalah penting dan bagaimana menjadikan pebelajar yang mandiri. Guru perlu menyajikan masalah dengan hati-hati dengan prosedur yang jelas untuk melibatkan siswa dalam identifikasi. Hal penting disini adalah orientasi kepada situasi masalah menentukan tahap untuk penyelidikan selanjutnya. Oleh karena itu, pada tahap ini presentasi masalah harus menarik minat siswa dan menimbulkan rasa ingin tahu.
3
2. Mengorganisasikan siswa untuk belajar Model pembelajaran berbasis masalah membutuhkan kemampuan kolaborasi di antara siswa yang nantinya digunakan untuk menyelidiki masalah secara bersama. Oleh karena itu mereka juga membutuhkan bantuan untuk merencanakan penyelidikan dan tugas-tugas belajarnya. Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar kooperatif juga berlaku untuk mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok model pembelajaran berbasis masalah. Intinya disini adalah guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah yang akan dipecahkan. 3. Membantu penyelidikan siswa Pada tahap ini guru mendorong siswa untuk mengumpulkan data-data atau melaksanakan eksperimen sampai mereka betul-betul memahami dimensi dari masalah tersebut. Tujuannya agar siswa mengumpulkan cukup informasi untuk membangun ide mereka sendiri. Siswa akan membutuhkan untuk diajarkan bagaimana menjadi penyelidik yang aktif dan bagaimana menggunakan metode yang sesuai untuk masalah yang sedang dipelajari. Setelah siswa mengumpulkan cukup data mereka akan mulai menawarkan penjelasan dalam bentuk hipotesis, penjelasan dan pemecahan. Selama tahap ini guru mendorong semua ide dan menerima sepenuhnya ide tersebut. 4. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya Pada tahap ini guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan hasil karya yang akan disajikan. Masing-masing kelompok menyajikan hasil pemecahan masalah yang diperoleh dalam suatu diskusi. Penyajian hasil karya ini dapat berupa laporan, poster maupun media-media yang lain. 5. Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah Tahap akhir ini meliputi aktivitas yang dimaksudkan untuk membantu siswa menganalisis dan mengevaluasi proses berpikir mereka sendiri dan di samping itu juga untuk mengevaluasi kemampuan penyelidikan dan kemampuan intelektual yang telah mereka gunakan. Model pembelajaran berbasis masalah memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan model pembelajaran yang lain. Beberapa keunggulan dari model pembelajaran berbasis masalah adalah sebagai berikut. 1. Pembelajaran berbasis masalah merupakan teknik yang cukup bagus untuk memahami isi pelajaran. 2. Pembelajaran berbasis masalah dapat menantang kemampuan siswa serta memberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru bagi siswa. 3. Pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa 4. Pembelajaran berbasis masalah dapat membantu siswa bagaimana mentransfer pengetahuan untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata. 5. Pembelajaran berbasis masalah dapat membantu siswa mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggungjawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan. Di samping itu, PBL dapat mendorong siswa untuk melakukan evaluasi sendiri baik terhadap hasil maupun proses belajarnya. 6. Pembelajaran berbasis masalah dipandang lebih mengasikkan dan disukai siswa. 7. Pembelajaran berbasis masalah dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan mengembangkan kemampuan mereka untuk menyelesaikan dengan pengetahuan baru. 8. Pembelajaran berbasis masalah dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang telah mereka miliki dalam dunia nyata. Implementasi model pembelajaran berbasis masalah akan memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam perbaikan proses belajar mengajar, khususnya dalam menumbuhkembangkan kemampuan berpikir kritis siswa, baik dalam merumuskan masalah, memberikan argumen, melakukan deduksi, melakukan induksi, melakukan evaluasi, dan memutuskan serta melaksanakan. 4
Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing Inkuiri yang dalam bahasa Inggris inquriy, berarti pertanyaan, pemeriksaan atau penyelidikan. Pembelajaran inkuiri berarti suatu rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuan dengan penuh percaya diri 1. Lebih lanjut Kuslan & Stone menyatakan ciri-ciri mengajar dengan inkuiri2 adalah sebagai berikut ini. Menggunakan keterampilan proses IPA. Waktu tidak menjadi suatu masalah karena tidak ada keharusan untuk menyelesaikan unit tertentu dalam waktu tertentu. Jawaban-jawaban yang dicari tidak diketahui lebih dahulu. Jawaban-jwaban ini tidak ditemukan dalam buku pelajaran, sebab buku-buku pelajaran dan buku-buku petunjuk yang dipilih berisi pertanyaan-pertanyaan dan saran-saran untuk menemukan jawaban, bukan memberi jawaban. Siswa berhasrat untuk menemukan pemecahan masalah. Proses belajar mengajar lebih berpusat pada pertanyaan “mengapa”, “bagaimana”. Suatu masalah yang ditemukan kemudian dipersempit, hingga terlihat pemecahan masalah tersebut. Siswa merumuskan hipotesis untuk membimbing penyelidikan. Siswa mengusulkan cara mengumpulkan data dengan melakukan eksperimen, mengadakan pengamatan,membaca, dan menggunakan sumber-sumber lain. Semua usul dinilai bersama. Bila mungkin ditentukan pula asumsi-asumsi, keterbatasanketerbatasan dan kesukaran-kesukarannya. Para siswa melakukan penelitian secara individual atau kelompok untuk mengumpulkan data yang diperlukan guna menguji hipotesis. Para siswa mengolah data sehingga mereka sampai pada kesimpulan sementara. Inkuiri adalah bentuk aktivitas yang melibatkan pengamatan, pengajuan pertanyaan, merujuk pada buku dan sumber-sumber lain, merencanakan penyelidikan, meninjau ulang apa yang telah diketahui dari bukti-bukti hasil percobaan sederhana menggunakan perangkat-perangkat untuk mengumpulkan, menganalisis, dan menginterpretasi data, pengajuan jawaban, penjelasan dan perkiraan, serta mengkomunikasikan hasil3. Lee menyatakan bahwa ”the inquiry-based teaching lays special emphasis on the core concepts of cognitive and discovery learning and its goal to develop higher-order thinking. In other words, teachers do not teach everything directly or explicitly. Instead, learners are expected and encouraged to discover the knowledge, to generate underlined rules based on a series of examples and counterexamples, and to be able to further apply these rules or knowledge to novel cases and deal with everyday life situations. The teacher thus becomes the facilitator to assist learners in exploring and constructing their conceptual system. It is evident that this type of teaching challenges”4. Dalam hal ini, dapat diartikan bahwa pengajaran berbasis inquiri meletakkan penekanan khusus pada konsep inti dari pembelajaran kognitif dan penemuan dan tujuannya untuk mengembangkan pemikiran tingkat tinggi. Dengan kata lain, guru tidak mengajarkan segala sesuatu secara langsung atau eksplisit. Sebaliknya, peserta didik diharapkan dan didorong untuk menemukan pengetahuan, untuk menghasilkan aturan berdasarkan serangkaian contoh dan untuk 1 2
3
4
Gulo, W, Strategi Belajar Mengajar (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2002). Suastra, I Wayan, Pembelajaran Sains Terkini: Mendekatkan Siswa dengan Lingkungan Alamiah dan Sosial Budaya (Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha, 2009). Olson, Steve and Horsley, Susan Loucks, Inquiry and The National Science Education Standards, A Guide for Teaching and Learning (Washington, D.C: National Academy Press, 2000). Lee, Horng-Yi. “Inquiry-based Teaching in Second and Foreign Language Pedagogy”. Journal of Language Teaching and Research, Vol. 5, No. 6, 2014. Tersedia pada http://ojs.academy publisher.com/index.php/jltr/article/view/jltr050612361244/10235 (diakses tanggal 16 Nopember 2015).
5
dapat lebih menerapkan aturan ini atau pengetahuan ini untuk kasus baru dan menghadapi situasi kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, guru menjadi fasilitator untuk membantu peserta didik dalam mengeksplorasi dan membangun sistem konseptual mereka sehingga pengajaran menjadi menantang. Sund and Trowbridge menyatakan bahwa “Inquiry” as a teaching method aimed at finding out how scientists develop, understand and apply new knowledge of ideas through systematic questioning, hypothesizing and experimenting which involves discovery rather than verification of facts ie “search rather than the product”5. Menyatakan bahwa inkuiri merupakan metode pengajaran yang bertujuan menemukan bagaimana ilmuan mengembangkan, memahami, dan menerapkan pengetahuan baru dari ide dengan pertanyaan yang sistematis, membuat hipotesis, dan bereksperimen dengan melibatkan penemuan bukan memverifikasi data. Joyce & Weil menjelaskan “inquiry training has five phases. The first phase is the student’s confrotation with the puzzling situation. Phases two and three are the data gathering operations of verication and experimentation. In these two phases students ask a series of questions to which the teacher replies yes or no, and they conduct a series of experiments on the enviroment of the problem situation. In the fourt phases students organize the information they obtained during the data gathering and try to explain the discrepancy. Finally in phase five, student reflect on the problem solving strategies they used during the inquiry”6. Joyce & Weil menjelaskan ada lima fase dari model pelatihan inkuiri. Fase 1 adalah siswa dikonfrontasikan dengan situasi yang acak / membingungkan. Fase 2 dan 3 adalah pengumpulan data melalui verifikasi dan eksperimen. Dalam kedua fase ini siswa menanyakan serangkaian pertanyaan ke guru untuk dijawab ya atau tidak, dan mereka melakukan serangkaian eksperimen di lingkungan situasi masalah. Fase 4, siswa mengorganisasikan informasi yang mereka peroleh selama pengumpulan data dan mencoba untuk menjelaskan kesenjangan. Terakhir, fase 5, siswa merefleksi strategi pemecahan masalah yang mereka gunakan selama melakukan inkuiri. Tahap model pelatihan inkuri seperti Tabel 1. Tabel 1. Sintak Model Pelatihan Inkuri FASE 1 PERTEMUAN DENGAN MASALAH Menjelaskan prosedur inkuiri. Menyajikan kesenjangan kejadian
FASE 2 PENGUMPULAN DATA VERIFIKASI Verifikasi objek dan kondisi Verifikasi kejadian dari masalah FASE 4 MEMFORMULASIKAN PENJELASAN Memformulasikan aturan menjelaskan
FASE 3 PENGUMPULAN DATA DAN EKSPERIMEN Mengisolasi variabel yang relevan. Membuat hipotesis dan menguji hubungan sebab akibat.
DAN
situasi
DAN untuk
FASE 5 ANALISIS PROSES INKUIRI Analisis strategi inkuiri dan mengembangkan strategi yang efektif
Karen Worth et al menjelaskan The process of science inquiry can be represented here as a set of 4 stages: 1) Explore: students become familiar with the phenomenon they will study, 2) Investigate: students plan and carry out investigations (plan and design, implement, organize and analyze data, draw tentative conclusions, and formulate new question), 3) Draw final conclusions: students synthesize what they have learned and come to some final conclusions. 4) Communicate:
5
6
Sund, R.B. and L.W. Trowbridge, Teaching Science by Inquiry in the Secondary School. 2 nd Edn., (Ohio: Merrill Columbus, 1973). Joyce, Bruce and Weil, Marsha, Model of Teaching (New Jersey: Prentice-Hall, Inc, 1980), h 65-66.
6
students communicate their new understanding to a wider audience7. Menyatakan bahwa ada 4 tahap dalam proses inkuiri ilmiah, yaitu 1) eksplorasi, siswa berkenalan dengan penomena yang akan dipelajari, 2) investigasi, siswa membuat perencanaan dan melaksanakan penyelidikan (melalui perencanaan dan perancangan, implementasi, organisasi dan analisis data, membuat simpulan sementara, dan memformulasikan pertanyaan baru), 3) membuat simpulan akhir, siswa membuat sintesa apa yang sudah dipelajari dan membuat simpulan akhir, dan 4) mengkomunikasikan, siswa mengkomunikasi pemahaman barunya ke pendengar. Liewellyn menjelaskan 6 langkah dari siklus inkuri: 1. Inquisition – stating a “what if ” or “I wonder” question to be investigated, 2. Acquisition – brainstorming possible procedures, 3. Supposition – identifying an “I think” statement to test, 4. Implementation – designing and carrying out a plan, 5. Summation – collecting evidence and drawing conclusions, 6. Exhibition – sharing and communication results8. Liewellyn menjelaskan 6 langkah dari siklus inkuri: 1. Inkuisisi – dimulai dengan pertanyaan "bagaimana jika" atau "aku pikir" pertanyaan untuk diselidiki, 2. Akuisisi – memungkinkan adanya prosedur brainstorming, 3. Menduga - mengidentifikasi sebuah pernyataan "Saya pikir" untuk diuji, 4. Pelaksanaan - merancang dan melaksanakan sebuah perencanaan, 5. Penyajian akhir - mengumpulkan bukti dan menarik kesimpulan, 6. Pertunjukan berbagi dan mengkomunikasikan hasil. Siklus inkuiri diilustrasikan lebih lanjut dalam Gambar 2. 1. Inkuisisi Dimulai dari pertanyaan untuk diselidiki 6.
2. Akuisisi Brainstorming kemungkinan solusi
Pertunjukkan
berbagi dan mengkomunikasikan hasil
Siklus Inkuiri 5.
3. Menduga Memilih pernyataan untuk diuji
Penyajian akhir
mengumpulkan bukti dan menarik kesimpulan
4.
Implementasi
merancang dan melaksanakan sebuah perencanaan
Gambar 2. Siklus inkuiri Brown et al menyatakan bahwa: There are several techniques to teach science as inquiry. This is dependent on these three types of inquiry. 1) Guided inquiry: This is a form of inquiry whereby the teacher structures the lesson. He poses the problem and breaks it down into simpler questions and may even advise about steps which the students should take to answer the questions. 2) Free inquiry: A form of inquiry which students formulate the problem to be solved, devise methods and technique, to solve the problem as well as carrying out the investigation for a conclusion. 3) Modified inquiry: This is in between the guided inquiry and free inquiry. The teacher provides the problem and asks the students to carry out the investigation which might be in groups. The teacher acts as a resource person giving assistance to avoid frustration or lack of progress by the students9. Menyatakan bahwa ada tiga teknik dalam pengajaran sains dengan Inkuiri, yaitu 1) Inkuiri Termbimbing: adalah bentuk penyelidikan dimana struktur pelajaran dibuat guru. Guru menimbulkan masalah dan mengelompokkannya ke dalam pertanyaan sederhana dan 7
8
9
Worth, Karen, Mauricio Dugue, dan Edith Saltiel, Designing and Implementing Inquiry- Based Science Units for Primary Education (France: La main a la pate, 2009), h 10 & 25. Warner, Anna J. and Brian E. Myers, Implementing Inquiry-Based Teaching Methods (Florida: IFAS Extension University of Florida, 2014), h 1-2. Opara, op. cit. h 192.
7
bahkan mungkin menyarankan tentang langkah-langkah yang harus diambil siswa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan. 2) Inkuiri bebas: suatu bentuk penyelidikan dimana siswa merumuskan masalah yang harus dipecahkan, merancang metode dan teknik, untuk memecahkan masalah serta melakukan investigasi untuk menarik kesimpulan. 3) Inkuiri dimodifikasi: inkuiri antara inkuiri terbimbing dan inkuiri bebas. Guru memberikan masalah dan meminta siswa untuk melaksanakan penyelidikan yang mungkin dalam kelompok. Guru bertindak sebagai narasumber memberikan bantuan untuk menghindari frustrasi atau kurangnya kemajuan oleh mahasiswa. Laderman Herron’s Scale describes four levels of inquiry: Level 1. Exploration, Level 2. Direct Inquiry, Level 3. Guided Inquiry, Level 4. Open-ended Inquiry10. Menyatakan bahwa ada 4 level dari inkuiri yaitu level 1, eksplorasi, level 2, inkuiri langsung, level 3 inkuiri terbimbing, dan level 4, inkuiri masalah terbuka. Carin menyediakan 2 model dari pembelajaran inkuiri, yaitu model 1, penemuan terbimbing dan model 2, model 5E11. Massialas menyatakan bahwa pembelajaran inkuiri terbimbing, "the Guided inquiry is a teaching method that enables students to move step-by step from the identification of a problem defining the problem formulation hypothesis, collection of data, verification of results, and generalization to the drawing of conclusion”12. Pembelajaran inkuiri terbimbing dapat diartikan sebagai metode mengajar yang memungkinkan siswa untuk bergerak selangkah demi selangkah dari identifikasi masalah, mendefinisikan hipotesis, perumusan masalah, pengumpulan data, verifikasi hasil, dan generalisasi yang menggambarkan kesimpulan. Harbor Peters juga menyatakan definisi pembelajaran inkuri terbimbing, “the guided inquiry teaching approach is techno-scientifically oriented. It places the learner’s constructive mental ability first in all instructional processes. In other words it is learner centered” 13. Dalam hal ini, pembelajaran inkuiri terbimbing adalah pembelajaran yang berorientasi pada techno-ilmiah. Pembelajaran ini menempatkan kemampuan mental yang konstruktif pelajar dalam semua proses pembelajaran. Dengan kata lain, pembelajaran berpusat pada pebelajar. Chen menyatakan bahwa model pembelajaran inkuiri terbimbing merupakan model pembelajaran yang penting dalam IPA, karena melibatkan berbagai kegiatan kelas, seperti mengajukan pertanyaan, melakukan observasi, meneliti buku-buku dan sumber-sumber lain dari informasi, menganalisis data, dan mengkomunikasikan hasil14. Opara & Oguzor menyatakan keuntungan pembelajaran inkuiri Some advantages of inquiry method are summarized as follows:It makes the students opportunity to think, It gives the students opportunity to think carefully about ideas, problems and questions being considered valid by class, It creates room for students’ full participation which increases their curiosity both inside and outside classroom work, It makes the students to develop the spirit of personal initiative, It encourages patience, co-operation, unity and decision making amongst the students, It arms the students with the right type of attitudes, values. Skills and knowledge that enable them explore their social environment, It increases students understanding of processes, concept and relationship15. Keuntungan metode inkuiri yaitu memberikan siswa kesempatan untuk berpikir, memberikan siswa kesempatan untuk berpikir hatihati tentang ide-ide, masalah dan pertanyaan yang dipertimbangkan valid oleh kelas, menciptakan ruang bagi siswa untuk berpartisipasi penuh untuk meningkatkan rasa ingin tahu mereka baik di dalam dan luar kerja kelas, membuat siswa untuk mengembangkan semangat pribadi prakarsa, mendorong pasien, kerjasama, persatuan dan pengambilan keputusan di antara siswa, 10
11
12
13 14
15
Laderman, Judith Sweeney, Teaching Scientific Inquiry: Exploration, Directed, Guided, and Opened-Ended Levels (Chicago: Illinois Institute of Technology IIT). Warner, Anna J. and Brian E. Myers, Implementing Inquiry-Based Teaching Methods (Florida: IFAS Extension University of Florida, 2014), h 2. Matthew, Bakke M. & Igharo O Kenneth, “A Study On The Effects Of Guided Inquiry Teaching Method On Students Achievement In Logic”, International Researchers, Volume 2, Nomor 1, 2013, h 135-140). Matthew, loc. cit. Chen, L. C, The Effects of Integrated Information Literacy in Science Curriculum on First-Grade Students’ Memory and Comprehension Using the Super3 Model (Taiwan: National Chiayi University, 2011). Opara, op. cit. h 195.
8
Model pembelajaran berbasis proyek Model pembelajaran berbasis proyek adalah langkah-langkah pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu yang dilakukan melalui suatu proyek dalam rangka waktu tertentu dengan melalui langkah-langkah persiapan/perencanaan, pelaksanaan, pembuatan laporan, mengkomunikasikan hasil kegiatan serta evaluasi. Belajar bukan hanya sekedar menyerap materi, akan tetapi secara terpadu untuk mendapatkan banyak hal. Proyek membantu siswa melibatkan keseluruhan mental dan fisik, syaraf, indera, memberikan kesempatan untuk belajar membuat keputusan efektif, analisis kritis, dan tindakan yang strategis (Dewaters et al., 2011). Model pembelajaran berbasis proyek merupakan model pembelajaran yang mengacu hasil konstruksi kognitif melalui aktivitas siswa, sehingga siswa dapat mengkonstruksi pengetahuannya sendiri dan bermakna melalui pengalaman yang nyata (Liu, 2007). Pengalaman nyata dan refleksi terhadap pengalaman langsung dari diri sendiri merupakan kunci untuk belajar bermakna khususnya pembelajaran sains (fisika). Model pembelajaran berbasis proyek dipilih dalam pengajaran IPA, karena melalui prpyek pelajaran IPA khususnya fisika menjadi lebih menarik (Dahar, 1986). Fokus dari model pembelajaran berbasis proyek adalah pada siswa dalam kegiatan pemecahan masalah dan tugas-tugas bermakna lainnya, memberi peluang siswa bekerja secara otonom mengkonstruk belajar mereka sendiri, dan puncaknya menghasilkan produk karya siswa (Kamdi, 2008). Hal ini akan melibatkan seluruh indra, saraf, dan fisik siswa. Otak kanan dan otak kiri akan berkembang dengan tantangan-tantangan dari pembelajaran ini (Rai, 2009). Model pembelajaran berbasis proyek (MPBP) berfokus pada konsep dan prinsip inti sebuah disiplin, memfasilitasi siswa untuk berinvestigasi, pemecahan masalah, dan tugas-tugas bermakna lainnya, student-centered, dan menghasilkan produk nyata. Ada empat karakteristik MPBP, yaitu isi, kondisi, aktivitas, dan hasil. Dalam MPBP, proyek dilakukan secara kolaboratif dan inovatif, unik, yang berfokus pada pemecahan masalah yang berhubungan dengan kehidupan siswa atau kebutuhan masyarakat atau industri lokal (Santyasa, 2006). MPBP memiliki potensi yang amat besar untuk membuat pengalaman belajar yang lebih menarik dan bermakna bagi usia dewasa: siswa SMA, mahasiswa, atau pelatihan tradisional untuk membangun keterampilan kerja (Gaer, 1998). Dalam MPBP, siswa menjadi terdorong lebih aktif dalam belajar, guru hanya sebagai fasilitator, guru mengevaluasi produk hasil kinerja siswa meliputi outcome yang mampu ditampilkan dari hasil proyek yang dikerjakan. Dalam mengerjakan proyek, siswa dapat berkolaborasi dengan guru satu atau dua orang, tetapi siswa melakukan investigasi dalam kelompok kolaboratif antara 4-5 orang. Keterampilanketerampilan yang dibutuhkan dan dikembangkan oleh siswa dalam tim adalah merencanakan, mengorganisasikan, negosiasi, dan membuat tugas yang akan dikerjakan, siapa yang mengerjakan, dan bagaimana mengumpulkan informasi yang dibutuhkan dalam berinvestigasi (Santyasa, 2006). Keterampilan yang dibutuhkan dan yang akan dikembangkan oleh siswa merupakan keterampilan yang esensial sebagai landasan untuk keberhasilan hidupnya. Oleh karena hakikat kerja proyek adalah kolaboratif, maka pengembangan keterampilan tersebut seyogyanya ditujukan untuk semua tim. MPBP dapat diterapkan untuk semua bidang studi. Implementasi model MPBP mengikuti lima langkah utama (Santyasa, 2006) sebagai berikut. 1. Menetapkan tema proyek. Tema proyek hendaknya memenuhi indikator- indikator berikut: (a) memuat gagasan umum dan orisinil, (b) penting dan menarik, (c) mendeskripsikan masalah kompleks, (d) mencerminkan hubungan berbagai gagasan, (e) mengutamakan pemecahan masalah ill defined. 2. Menetapkan konteks belajar. Konteks belajar hendaknya memenuhi indikator-indikator berikut: (a) pertanyaan-pertanyaan proyek mempersoalkan masalah dunia nyata, (b) mengutamakan otonomi siswa, (c) melakukan inquiry dalam konteks masyarakat, (d) siswa mampu mengelola waktu secara efektif dan efesien, (e) siswa belajar penuh dengan kontrol diri, (f) mensimulasikan kerja secara profesional.
9
3. Merencanakan aktivitas-aktivitas. Pengalaman belajar terkait dengan merencanakan proyek adalah sebagai berikut: (a) membaca, (b) meneliti, (c) observasi, (d) interviu, (e) merekam, (f) mengunjungi obyek yang berkaitan dengan proyek, (g) akses internet. 4. Memperoses aktivitas-aktivitas. Indikator-indikator memeroses aktivitas meliputi antara lain: (a) membuat sketsa, (b) melukiskan analisa, (c) menghitung , (d) mengenerate, (e) mengembangkan prototipe. 5. Penerapan aktivitas-aktivitas untuk menyelesaikan proyek. Langkah-langkah yang dilakukan, adalah: (a) mencoba mengerjakan proyek berdasarkan sketsa, (b) menguji langkah-langkah yang telah dikerjakan dan hasil yang diperoleh, (c) mengevaluasi hasil yang telah diperoleh, (d) merevisi hasil yang telah diperoleh, (e) melakukan daur ulang proyek yang lain, (f) mengklasifikasi hasil terbaik. Kauchak & Eggen (2007) juga menyatakan bahwa langkah-langkah dalam implementasi MPBP di kelas adalah sebagai berikut. 1. Planning a) Mengidentifikasi sebuah topik pembelajaran kemudian menyusun topik pada kawasan masalah yang akan diinvestigasi oleh siswa. b) Mengorganisasikan sumber-sumber belajar yang berupa buku dan media internet. 2. Implementing a) Mengorientasikan siswa pada masalah. Masalah ini mempunyai beberapa karakteristik yang penting meliputi: (1) nyata dan bermakna bagi siswa, (2) dapat dimengerti dan membuka titik awal untuk upaya investigasi siswa, dan (3) kompleks sehingga menyediakan opsi yang banyak bagi investigasi mereka. b) Mengorganisasi siswa dalam kelompok belajar. c) Membentuk usaha-usaha kelompok dengan cara menetapkan batas waktu untuk tugas akhir. d) Mengontrol batas waktu pengerjaan proyek dengan mengadakan pertemuan dengan kelompok lain secara periode untuk memfasilitasi kemajuan kelompok yang lain. e) Mengoleksi data dan menganalisis. f) Mempresentasikan hasil proyek pada siswa lain agar diperoleh masukan-masukan yang dipakai sebagai bahan perbaikan proyek. 3. Product Hasil akhir dari pembelajaran berbasis proyek adalah berupa produk yang juga dinilai sebaga hasil belajar yang telah dilakukan oleh siswa bersama kelompoknya. Langkah-langkah pembelajaran yang menggunakan MPBP dapat dilihat pada Gambar 2.1. Planning Menetapkan tema proyek 1. Mengidentifikasi topik pembelajaran dan menyusun topik kawasan masalah. 2. Mengorientasikan siswa pada masalah dan mengorganisasi siswa dalam kelompok belajar. Menetapkan konteks belajar 1. Mengorganisasikan sumber-sumber belajar. 2. Menentukan batas waktu pengerjaan proyek. Merencanakan aktivitas-sktivitas 1. Merencanakan rancangan proyek dengan membaca, meneliti, dan mengobservasi terkait permasalahan yang diberikan untuk melengkapi data yang hendak dicari.
Implementing Memproses aktivitas-aktivitas Melakukan analisa dan menghitung data yang diperoleh.
Product Penerapan aktivitas untuk menyelesaikan proyek. Menyusun laporan hasil analisa permasalahan dan mempresentasikan hasil proyek agar diperoleh masukan-masukan yang dipakai sebagai bahan perbaikan. 10
Menurut The George Lucas Educational Foundation (dalam Nurohman, 2006), pembelajaran berbasis proyek adalah sebagai berikut. a. Project-based learning is curriculum fueled and standards based. Model pembelajaran berbasis proyek merupakan model pembelajaran yang menghendaki adanya standar isi dalam kurikulumnya. Melalui pembelajaran berbasis proyek, proses inquiry dimulai dengan memunculkan pertanyaan penuntun (a guiding question) dan membimbing siswa dalam sebuah proyek kolaboratif yang mengintegrasikan berbagai subjek (materi) dalam kurikulum. Pada saat pertanyaan terjawab, secara langsung siswa dapat melihat berbagai elemen mayor sekaligus berbagai prinsip dalam sebuah disiplin yang sedang dikajinya. b. Project-based learning ask a question or poses a problem that each student can answer. Pembelajaran berbasis proyek adalah model pembelajaran yang menuntut pengajar dan atau siswa mengembangkan pertanyaan penuntun (a guiding question). Mengingat bahwa masing-masing siswa memiliki gaya belajar yang berbeda, maka pembelajaran berbasis proyek memberikan kesempatan kepada para siswa untuk menggali konten (materi) dengan menggunakan berbagai cara yang bermakna bagi dirinya, melakukan eksperimen secara kolaboratif. Hal ini memungkinkan setiap siswa pada akhirnya mampu menjawab pertanyaan penuntun. c. Project-based learning ask student to investigate issue and topics addressing real-world problems while integrating subjects across the curriculum. Pembelajaran berbasis proyek merupakan model pembelajaran yang menuntut siswa membuat “jembatan” yang menghubungkan antar berbagai subjek materi. Melalui jalan ini, siswa dapat melihat pengetahuan secara holistik. Selain itu, pembelajaran berbasis proyek merupakan investigasi mendalam tentang sebuah topik dunia nyata, hal ini akan berharga bagi atensi dan usaha siswa. d. Project-based learning is a method that fosters abstract, intellctual tasks to explore complex issue. Pembelajaran berbasis proyek merupakan model pembelajaran yang memperhatikan pemahaman. Siswa melakukan eksplorasi, penilaian, interpretasi, dan mensistesis informasi melalui cara yang bermakna. Pada saat proses pembelajaran, model pembelajaran berbasis proyek memiliki empat karakteristik yaitu isi, kondisi, aktivitas, dan hasil. Deskripsi karakteristik pembelajaran berbasis proyek disajikan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Karakteristik Utama Pembelajaran Berbasis Proyek I. ISI: memuat gagasan yang orisinil 1. Masalah kompleks 2. Siswa menemukan hubungan antar gagasan yang diajukan 3. Siswa berhadapan pada masalah yang ill defined 4. Pertanyaan cenderung mempersoalkan masalah dunia nyata II. KONDISI: mengutamakan otonomi siswa 1. Melakukan inquiry dalam konteks masyarakat 2. Siswa mampu mengelola waktu secara efektif dan efisien 3. Siswa belajar penuh dengan kontrol diri 4. Mensimulasikan kerja secara professional III. AKTIVITAS: investigasi kelompok kolaboratif 4. Siswa berinvestigasi selama periode tertentu 5. Siswa melakukan pemecahan masalah kompleks 6. Siswa memformulasikan hubungan antar gagasan orisinilnya untuk mengkonstruksi keterampilan baru 7. Siswa menggunakan teknologi otentik dalam memecahkan masalah 8. Siswa melakukan umpan balik mengenai gagasan mereka berdasarkan respon ahli atau dari hasil tes IV. HASIL: produk nyata 1. Siswa menunjukkan produk nyata berdasarkan hasil investigasi 11
mereka 2. Siswa melakukan evaluasi diri 3. Siswa responsif terhadap segala implikasi dan kompetensi yang dimilikinya 4. Siswa mendemonstrasikan kompetensi sosial, manajemen pribadi, regulasi belajarnya (Santyasa, 2006) Model pembelajaran berbasis proyek memiliki kecocokan terhadap inovasi pada pendidikan sains khususnya fisika terutama dalam hal sebagai berikut, siswa dapat belajar secara aktif dan mandiri dengan sajian materi terintegrasi dan relevan dengan kenyataan sebenarnya, yang sering disebut student-centered serta mampu mengembangkan inisiatif. Menurut Munawaroh et al., (2012) pembelajaran berbasis proyek dapat meningkatkan motivasi belajar siswa dan membantu para siswa untuk mengembangkan keterampilan belajar jangka panjang, sehingga pembelajaran ini baik diterapkan dalam usaha meningkatkan kemampuan berpikir. Model pembelajaran berbasis proyek memiliki keuntungan-keuntungan yaitu: (1) meningkatkan motivasi belajar siswa, (2) meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, (3) meningkatkan kolaborasi, dan (4) meningkatkan keterampilan mengelola sumber yaitu bertanggungjawab untuk menyelesaikan tugas yang kompleks (Kunandar, 2007).
Model Pembelajaran Discovery learning Model pembelajaran discovery learning merupakan suatu model pembelajaran yang berangkat dari suatu pandangan bahwa siswa sebagai subjek dalam proses pembelajaran. Siswa memiliki kemampuan dasar untuk berkembang secara optimal sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Guru hanya sebagai fasilitator dan pembimbing siswa untuk memberikan rangsangan yang dapat menantang siswa untuk merasa terlibat dalam proses pembelajaran. Menurut Suryosubroto (2002:192) mengatakan bahwa “discovery learning merupakan komponen dari praktek penyelidikan yang meliputi metode mengajar yang memajukan cara belajar aktif, berorientasi pada proses, mengarahkan sendiri, mencari sendiri, dan reflektif”. Di dalam proses pembelajaran guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan sendiri informasi dan pengetahuannya berdasarkan hasil yang diperolehnya melalui pengamatannya. Sund (dalam Suryosubroto, 2002:193), mengatakan bahwa "model pembelajaran discovery learning” adalah proses mental, dimana siswa mengasimilasikan sesuatu konsep atau sesuatu prinsip. Proses mental tersebut misalnya mengamati, menggolong-golongkan, membuat dugaan, mengukur, membuat kesimpulan, dan sebagainya". Selanjutnya, pengertian discovery learning menurut Rohani (2004:37) adalah "model pembelajaran yang mengharuskan siswa untuk menemukan prinsip atau hubungan yang sebelumnya tidak diketahuinya yang merupakan akibat dari pengalaman belajarnya yang telah diatur secara cermat dan seksama oleh guru". Sedangkan menurut Roestiyah (2001:20) menjelaskan bahwa “discovery learning merupakan suatu metode yang mempergunakan teknik penemuan”. Di dalam proses pembelajarannya selalu melibatkan siswa untuk penguatan mental melalui tukar pendapat, dengan diskusi, mencoba sendiri, agar siswa dapat belajar menemukan sendiri pengetahuannya. Berdasarkan pendapat dari para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam pembelajaran dengan menggunakan discovery learning, guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan siswa anak tangga yang membawa siswa ke tingkat pemahaman yang lebih tinggi dengan catatan siswa sendiri yang mereka tulis dengan bahasa dan kata- kata mereka sendiri. Model pembelajaran discovery learning adalah langkah-langkah suatu pembelajaran dalam belajar, dimana siswa berinteraksi dengan lingkungannya dengan jalan mengekspor dan memanipulasi obyek, bergulat dengan sejumlah pertanyaan dan kontroversi atau melakukan 12
percobaan. Ide dasar teori ini yaitu siswa menjadi mudah dalam mengingat suatu konsep jika konsep tersebut mereka dapatkan sendiri melalui proses belajar penemuan. Belajar dengan model discovery learning biasanya dimulai dengan menghadapkan siswa pada satu masalah. Selanjutnya siswa berusaha untuk membandingkan kenyataan di lingkungannya dengan yang tersedia pada struktur mental yang telah dimilikinya. Melalui pengalaman yang telah dimilikinya, siswa mencoba untuk menyesuaikan atau mengorganisasikan kembali struktur-struktur agar mencapai keadaan seimbang. Untuk itu siswa harus mencoba, mengadakan analisis, menemukan informasi baru, menyingkirkan informasi yang tidak perlu, kemudian menjadikannya sebagai pengetahuan barunya. Langkah-langkah Pembelajaran Discovery Learning Dalam proses pembelajaran yang menerapkan model pembelajaran discovery learning, guru hanya berperan sebagai pembimbing dan fasilitator. Siswa diberikan kesempatan untuk menggali dan menemukan pengetahuannya sendiri. Langkah-langkah pelaksanaan model pembelajaran discovery learning menurut Gilstrap (dalam Suryosubroto, 2002:197) ialah: (1) Menilai kebutuhan dan minat siswa, dan menggunakannya sebagai dasar untuk menentukan tujuan yang berguna dan realitas untuk mengajar dengan penemuan; (2) Seleksi pendahuluan atas dasar kebutuhan dan minat siswa, prinsip-prinsip, generalisasi, pengertian dalam hubungannya dengan apa yang dipelajari; (3) Mengatur susunan kelas sedemikian rupa sehingga memudahkan terlibatnya arus bebas pikiran siswa dalam belajar dengan penemuan; (4) Berkomunikasi dengan siswa membantu menjelaskan peranan penemuan; (5) Menyiapkan suatu situasi yang mengandung masalah yang harus dipecahkan; (6) Mengecek perhatian siswa tentang masalah yang digunakan untuk merangsang belajar dengan penemuan; (7) Menambah berbagai alat peraga untuk kepentingan pelaksanaan penemuan; (8) Memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatan mengumpulkan dan bekerja dengan data, misalnya tiap siswa mempunyai data harga bahan-bahan pokok dan jumlah orang yang membutuhkan bahan-bahan pokok tersebut; (9) Mempersilahkan siswa mengumpulkan dan mengatur data sesuai dengan kecepatannya sendiri; (10) Memberi kesempatan kepada siswa melanjutkan pengalamannya belajarnya, walaupun sebagian atas tanggung jawabnya sendiri; (11) Memberi jawaban dengan cepat dan tepat sesuai dengan data dan informasi bila ditanya dan diperlukan siswa dalam kelangsungan kegiatannya; (12) Memimpin analisisnya sendiri melalui percakapan dan eksplorasinya sendiri dengan pertanyaan yang mengarahkan dan mengidentifikasi proses; (13) Mengajarkan keterampilan untuk belajar dengan penemuan yang diidentifikasi oleh kebutuhan siswa, misalnya latihan penyelidikan; (14) Merangsang interaksi siswa dengan siswa, misalnya merundingkan strategi penemuan, mendiskusikan hipotesis dan data yang terkumpul; (15) Mengajukan pertanyaan tingkat tinggi maupun pertanyaan tingkat yang sederhana; (16) Bersikap membantu jawaban siswa, ide siswa, pandangan dan tafsiran yang berbeda. Bukan menilai secara kritis, tetapi membantu; (17) Membantu siswa untuk memperkuat pertanyaannya dengan alasan dan fakta; (18) Memuji siswa yang sedang melakukan kegiatan dalam proses penemuan, misalnya seorang siswa yang bertanya kepada temannya atau guru tentang berbagai tingkat kesukaran dan siswa yang mengidentifikasi hasil dari penyelidikannya sendiri; (19) Membantu siswa menulis atau merumuskan prinsip, aturan ide, generalisasi atau pengertian yang menjadi pusat dari masalah semula dan yang telah ditemukan melalui strategi penemuan; 13
(20) Mengecek apakah siswa menggunakan apa yang telah ditemukannya, misalnya teori atau teknik, dalam situasi berikutnya, yaitu simulasi dimana siswa bebas menentukan pembelajarannya. Pendapat yang hampir sama juga disampaikan oleh disampaikan Ricard Scuhman. Langkahlangkah menurut pembelajaran dengan model discovery learning menurut Richard Scuhman (dalam Suryosubroto, 2002:199) adalah: (1) Identidikasi kebutuhan siswa; (2) Seleksi pendahuluan terhadap prinsip-prinsip, pengertian, konsep dan generalisasi yang akan dipelajari; (3) Seleksi bahan; (4) Membantu memperjelas masalah yang akan dipelajari dan peranan masing-masing siswa; (5) Mempersiapkan setting kelas dan alat-alat yang diperlukan; (6) Mengecek pemahaman siswa terhadap masalah yang akan dipecahkan dan tugas-tugas siwa; (7) Memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan penemuan; (8) Membantu siswa dengan informasi, data, jika diperlukan oleh siswa; (9) Memimpin analisis sendiri dengan pertanyaan yang mengarahkan dan mengidentifikasi proses; (10) Merangsang terjadinya interaksi antar siswa dengan siswa; (11) Memuji dan membantu siswa yang sedang melakukan dalam proses penemuan; (12) Membantu siswa merumuskan prinsip-prinsip dan generalisasi atas hasil penemuannya. Sedangkan menurut Rohani (2004:40), langkah-langkah pembelajaran yang menerapkan model discovery learning yaitu: (1) Perumusan masalah untuk dipecahkan peserta didik (2) Penetapan jawaban sementara/pengajuan hipotesis (3) Peserta didik mencari informasi, data, fakta yang diperlukan untuk menjawab/memecahkan masalah dan menguji hipotesis (4) Menarik kesimpulan dari jawaban/generalisasi (5) Aplikasi kesimpulan/generalisasi dalam situasi baru Kelebihan Discovery learning Sama halnya denga model-model pembelajaran yang lainnya, model pembelajaran discovery learning juga memiliki beberapa kelebihan. Menurut Suryosubroto (2002:200), model pembelajaran discovery learning memiliki beberapa kelebihan, antara lain: a) Discovery learning dianggap membantu siswa mengembangkan atau memperbanyak persediaan dan penguasaan keterampilan dan proses kognitif siswa, andaikata siswa itu dilibatkan terus dalam penemuan terpimpin. b) Pengetahuan diperoleh dari strategi ini sangat pribadi sifatnya dan mungkin merupakan suatu pengetahuan yang sangat kukuh, dalam arti pendalaman dari pengertian retensi dan transfer. c) Discovery learning mampu membangkitkan gairah pada siswa, misalnya siswa merasakan jerih payah penyelidikannya, menemukan keberhasilan dan kadang-kadang kegagalan. d) Discovery learning memberikan kesempatan kepada siswa untuk bergerak maju sesuai dengan kemampuannya sendiri. e) Discovery learning menyebabkan siswa mengarahkan sendiri cara belajarnya sehingga siswa lebih merasa terlibat dan berminat sendiri untuk belajar, paling sedikit pada suatu proyek penemuan khusus. f) Discovery learning dapat membantu memperkuat pribadi siswa dengan bertambahnya kepercayaan pada diri sendiri melalui proses-proses penemuan. g) Strategi ini berpusat pada anak, misalnya memberi kesempatan pada siswa dan guru berpartisipasi sebagai sesama dalam situasi penemuan yang jawabannya belum diketahui sebelumnya; 14
h) Membantu perkembangan siswa menuju skeptisisme yang sehat untuk menemukan kebenaran akhir dan mutlak. Pendapat lain yang menjelaskan kelebihan dari model pembelajaran discovery learning juga disampaikan oleh ahli alainnya. Menurut Roestiyah (2001:21) bahwa keunggulan model pembelajaran discovery learning yaitu: a) Teknik ini mampu membantu siswa untuk mengembangkan, memperbanyak kesiapan, serta penguasaan keterampilan dalam proses kognitif/pengenalan siswa. b) Siswa memperoleh pengetahuan yang bersifat sangat pribadi/individual sehingga dapat kokoh atau mendalam tertinggal dalam jiwa siswa tersebut; c) Dapat meningkatkan kegairahan belajar para siswa. d) Teknik ini mampu memberikan kesempatan kepada siswa untuk berkembang dan maju sesuai dengan kemampuannya masing-masing. e) Mampu mengarahkan cara belajar siswa, sehingga lebih memiliki minat yang kuat untuk belajar lebih giat. f) Membantu siswa untuk memperkuat dan menambah kepercayaan diri sendiri dengan proses penemuan sendiri. Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran discovery learning memiliki beberapa kelebihan, yaitu: 1) menambah pengalaman siswa dalam belajar, 2) memberikan kesempatan kepada siswa untuk lebih dekat lagi dengan sumber pengetahuan selain buku, 3) menggali kreatifitas siswa, 4) mampu meningkatkan rasa percaya diri pada siswa, dan 5) meningkatkan kerja sama antar siswa. DAFTAR RUJUKAN Arends, R. I. 2004. Learning to teach. Sixth edition. New York: The McGraw-Hill Higher Education. Barrows, H. S. 1996. Problem-based learning in medicine and beyond: A brief overview. New Directions for Teaching and Learning. San Francisco: Jossey-Bass Publisher. Chen, L. C. 2011. The Effects of Integrated Information Literacy in Science Curriculum on FirstGrade Students’ Memory and Comprehension Using the Super3 Model. Taiwan: National Chiayi University. Dahar, R W. 1986. Interaksi belajar mengajar IPA. Buku materi pokok. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Universitas Terbuka. Dewaters, J. E., Powers, S. E. 2011. Improving energy literacy among middle school youth with project-based learning pedagogies. Journal ASEE/IEEE Frontiers in Education Conference. Tersedia pada http://www.clarkson. edu. Diakses pada tanggal 2 April 2012. Gaer, S. 1998. Project based learning. Artikel. Tersedia pada http://members.aol. com. Diakses pada tanggal 5 November 2012. Kauchak, D. P. & Eggen, D. P. 2007. Learning and Teaching Research-Based Methods. New York: Pearson. Laderman, Judith Sweeney... Teaching Scientific Inquiry: Exploration, Directed, Guided, and Opened-Ended Levels. Chicago: Illinois Institute of Technology (IIT). Lee, Horng-Yi. 2014. “Inquiry-based Teaching in Second and Foreign Language Pedagogy”. Journal of Language Teaching and Research, Vol. 5, No. 6. Tersediapadahttp://ojs.academypublisher.com/index.php/jltr/article/view/jltr050612361244/ 10235 (diakses tanggal 16 Nopember 2015). Liu, W. C. 2007. Project based learning and students motivation. Journal Physics Education. Tersedia pada: http//www.google.co.id/project-based-learning-journalfiletype:pdf. Diakses pada tanggal 11 November 2012. Matthew, Bakke M. & Igharo O Kenneth. 2013. “A Study On The Effects Of Guided Inquiry Teaching Method On Students Achievement In Logic”. International Researchers, Volume 2, Nomor 1 (hlm. 135-140). 15
Munawaroh, R., Subali, B., & Sopyan, A. 2012. Penerapan model project based learning untuk membangun empat pilar pembelajaran siswa SMP. Unnes Physics Education Journal. 1(1). 33-37. Tersedia pada http://journal. unnes.ac.id. Diakses pada tanggal 4 November 2012. Olson, Steve and Horsley, Susan Loucks. 2000. Inquiry and The National Science Education Standards, A Guide for Teaching and Learning. Washington, D.C: National Academy Press. Opara, Jacinta Agbarachi and Oguzor, Nkasiobi Silas. 2011. “Inquiry Instructional Method and The School Science Curriculum”. Journal of Social Science, 3(3): 188-198, 2011. Rai, N G A. 2009. Pengaruh pembelajaran fisika berbasis proyek terhadap hasil belajar siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Baturiti tahun ajaran 2008/2009. Skripsi (tidak diterbitkan). Universitas Pendidikan Ganesha. Rohani, Ahmad, A. M. 2004. Pengelolaan Pengajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta. Roestiyah, N. K. 2001. Stategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Rineka Cipta. Sadia, I W. & Suma, K. 2006. Pengembangan kemampuan berpikir formal siswa SMA di kabupaten Buleleng melalui penerapan model pembelajaran “learning cycle” dan “problem based learning” dalam pembelajaran fisika. Laporan penelitian (tidak diterbitkan). Jurusan Pendidikan Fisika, Universitas Pendidikan Ganesha. Sagala, Syaiful. 2009. Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Kependidikan. Bandung: Alfabetha. Santyasa. 2006. Pembelajaran inovatif: model kolaboratif, basis proyek, dan orientasi nos. Makalah. Disajikan dalam Seminar Di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 2 Semarapura Tanggal 27 Desember 2006. Suastra, I Wayan. 2009. Pembelajaran Sains Terkini: Mendekatkan Siswa dengan Lingkungan Alamiah dan Sosial Budaya. Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha. Sund, R.B & Trowbridge, L.W. 1990. Teaching Science by Inquiry in The Secondary School. Ohio: Charles E. Merrill Publishing, Co. Suryosubroto, B. 2002. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: PT Rineka Cipta. Warner, Anna J. and Brian E. Myers. 2014. Implementing Inquiry-Based Teaching Methods. Florida: IFAS Extension University of Florida. P 1-2. Worth, Karen, Mauricio Dugue, dan Edith Saltiel. 2009. Designing and Implementing InquiryBased Science Units for Primary Education. France: La main a la pate. P 10.
16