PEMBUATAN DAN PENYIMPANAN BUMBU DASAR MERAH
Oleh: FARAH F34103130
2008 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PEMBUATAN DAN PENYIMPANAN BUMBU DASAR MERAH
SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh : FARAH F34103130
2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
SURAT PERNYATAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul “Pembuatan dan Penyimpanan Bumbu Dasar Merah” merupakan karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.
Bogor, November 2007 Yang membuat pernyataan,
Farah F34103130
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PEMBUATAN DAN PENYIMPANAN BUMBU DASAR MERAH
SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh : FARAH F34103130
Dilahirkan pada tanggal 10 Agustus 1984 Di Bogor
Tanggal Lulus : Bogor,
November 2007
November 2007
Menyetujui,
Indah Yuliasih, S. TP, Msi. Dosen Pembimbing I
Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, M.Si. Dosen Pembimbing II
RIWAYAT HIDUP
Penulis yang mempunyai nama lengkap Farah dilahirkan di Bogor pada tanggal 10 Agustus 1984. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Taufieq M Bafadhal dan Elly Nirmala Sari. Penulis memulai pendidikannya di TK Aisyiah 61 pada tahun 1990, kemudian dilanjutkan di SDN 03 Rawajati pada tahun 1991. Pendidikan dilanjutkan di SLTPN 182 Empang Tiga pada tahun 1997. Lulus dari SLTPN 182 Empang Tiga, penulis melanjutkan pendidikan di SMUN 55 Duren Tiga pada tahun 2000. Pada tahun 2002, penulis diterima di Universitas Padjadjaran, Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian melalui jalur SPMB. Namun pada tahun 2003, penulis melanjutkan kuliah di IPB, Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian melalui jalur SPMB. Selama kuliah di IPB penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (HIMALOGIN) sebagai Bendahara Umum periode 2004-2005 dan Anggota Departemen Kesekretariatan periode 2005-2006. Penulis penah menjadi Asisten mata kuliah Teknologi Minyak Atsiri dan Kosmetika pada tahun 2006. Pada tahun yang sama penulis melakukan kegiatan Praktek Lapangan di PT Winner Food Industry
FARAH. F34103130. Pembuatan dan Penyimpanan Bumbu Dasar Merah. Di bawah bimbingan : Indah Yuliasih dan Mulyorini Rahayuningsih. 2007. RINGKASAN Bumbu dasar siap masak menjadi kecenderungan masa kini karena kesibukan kerja dan alasan kepraktisan. Bumbu dasar dapat digunakan untuk berbagai macam resep masakan sehingga dapat menghemat waktu dalam pembuatan masakan. Bumbu dasar terdiri dari berbagai macam warna sesuai dengan bahan-bahan penyusunnya, yaitu merah, putih dan kuning. Namun yang memiliki penggunaan paling luas adalah bumbu dasar merah. Bumbu dasar merah memiliki bentuk pasta dengan kadar air diatas 69%, sehingga bersifat kurang stabil selama penyimpanan. Untuk itu diperlukan penyimpanan dingin, jenis kemasan dan cara pemanasan yang sesuai untuk memperkecil perubahan mutu bumbu dasar merah selama penyimpanan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan: (1) karakteristik bumbu dasar merah yang dibuat dengan cara yang berbeda (tanpa perlakuan, dengan penumisan dan pengukusan), (2) perubahan mutu dan (3) penilaian organoleptik bumbu dasar merah selama penyimpanan dalam kemasan yang berbeda (PP rigid 1 dan PP rigid 2 yang memiliki perbedaan ketebalan, serta PE fleksibel). Bumbu dasar merah yang digunakan pada penelitian ini didapat dari resep Rudy Choirudin dan merupakan campuran dari cabai merah, bawang merah dan bawang putih yang mengalami sortasi bahan, pengupasan dan pencucian, penimbangan, penggilingan dan pemanasan. Proses pemanasan bumbu dasar merah yaitu penumisan dan pengukusan. Kemasan yang digunakan yaitu PP rigid 1, PP rigid 2 dan PE fleksibel. Keseluruhan bumbu dasar merah tersebut disimpan di lemari pendingin bagian chiller dengan suhu berkisar antara 5-10oC dengan lama penyimpanan 2 minggu. Pengamatan terhadap perubahan mutu bumbu dasar merah dilakukan setiap hari, yang meliputi : total mikroba, kadar air, aw, total asam, pH dan penilaian organoleptik (tingkat penerimaan panelis). Berdasarkan karakteristik bumbu segar, tumis dan kukus sebelum disimpan, bumbu segar memiliki kadar air 71,12 %. Proses penumisan menyebabkan penurunan kadar air bumbu tumis menjadi 70,18 %. Sedangkan proses pengukusan menyebabkan peningkatan kadar air bumbu kukus menjadi 80,12 %. Kadar abu dari bumbu segar, tumis dan kukus pada awal penyimpanan memiliki nilai yang relatif sama (± 5 %). Bumbu segar mengandung protein (24,61 %) relatif lebih tinggi daripada bumbu tumis dan kukus (9,04 dan 13,66 %). Proses pemanasan (penumisan dan pengukusan) menyebabkan peningkatan nilai kecerahan (nilai L) dan oHue warna bumbu dasar merah berturut-turut dari 44 ke 60 dan 53 o ke 75o (untuk bumbu tumis) dan 44 ke 51 dan 53o ke 73o (untuk bumbu kukus). Berdasarkan nilai aw dan pH (0,705; 5,96), jenis mikroorganisme yang terdapat di dalam bumbu segar diduga kapang serofilik. Nilai aw dan pH bumbu tumis dan kukus berturut-turut 0,876; 5,89 dan 0,836; 5,87, jenis mikroorganisme yang tumbuh diduga kapang. Bumbu segar memiliki nilai VRS 1151,17 µ.eq/g. Setelah penumisan dan pengukusan terjadi penurunan kadar VRS, yaitu 312,29 dan 281,83 µ.eq/g. Total mikroba bumbu segar mencapai 4 log koloni/g. Proses penumisan dan pengukusan menyebabkan penurunan jumlah total mikroba bumbu
dasar merah menjadi 2 log koloni/g (untuk bumbu tumis) dan 1 log koloni/g (untuk bumbu kukus). Karakteristik dari bahan pengemas bumbu yaitu: luas permukaan dan ketebalan dari kemasan PP rigid 1, PP rigid 2, PE fleksibel secara berturut-turut yaitu 2235,6 cm2 dan 0,187 cm; 2092,5 cm2 dan 0,150 cm; 1360 cm2 dan 0,004 cm. Perbedaan luas permukaan dan ketebalan ini menyebabkan perbedaan laju transmisi kemasan terhadap oksigen dan uap air. PP rigid 1 yang memiliki ketebalan terbesar menyebabkan laju transmisi oksigen dan uap airnya lebih rendah dibandingkan PP rigid 2 dan PE fleksibel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama penyimpanan terjadi peningkatan jumlah total mikroba. Pada hari pengamatan ke-14, jumlah total mikroba bumbu segar mencapai 7 log koloni/g, sedangkan jumlah total mikroba pada bumbu tumis dan kukus mencapai 4 log koloni/g. Semua jenis bumbu yang disimpan dalam kemasan PP rigid 2 memiliki nilai total mikroba lebih kecil dibandingkan dengan PP rigid 1 dan PE Fleksibel. Kadar air bumbu segar dan kukus yang disimpan semakin meningkat, sedangkan bumbu tumis mengalami penurunan. Kemasan yang dapat mempertahankan kadar air bumbu adalah PP rigid 1. Nilai aw yang didapat dari hasil pengamatan untuk bumbu segar adalah 0,628-0,917, untuk bumbu tumis berkisar antara 0,768-0,879 dan untuk bumbu kukus adalah 0,725-0,866. Nilai total asam, selama penyimpanan mengalami peningkatan. Bumbu segar, tumis dan kukus yang disimpan dalam kemasan PP rigid 1 memiliki slope penurunan total asam terkecil. Nilai slope penurunan pH bumbu tumis dan kukus yang relatif sama pada ketiga jenis kemasan menandakan nilai pH pada bumbu tumis dan kukus tidak dipengaruhi oleh kemasan dan lamanya penyimpanan. Penurunan nilai L dan oHue bumbu segar, tumis dan kukus pada tiap kemasan relatif sama selama penyimpanan. Kadar VRS bumbu segar yang disimpan pada PE fleksibel mengalami penurunan yang relatif besar. Bumbu tumis yang disimpan pada PP rigid 1 mengalami perubahan kadar VRS relatif kecil, sedangkan bumbu kukus yang disimpan dalam PP rigid 1 mengalami perubahan kadar VRS relatif besar. Hasil uji organoleptik, baik warna, aroma dan konsistensi bumbu dasar merah selama penyimpanan mengalami penurunan. Berdasarkan hasil uji organoleptik, bumbu segar yang lebih diminati adalah yang disimpan pada PP rigid 2, sedangkan bumbu tumis yang lebih disukai adalah yang disimpan pada PP rigid 1 dan bumbu kukus yang lebih diminati adalah yang disimpan dalam PP rigid 2. Berdasarkan analisa perubahan mutu bumbu, yaitu warna, kadar air, aw, total asam, pH, total mikroba didapatkan hasil bahwa bumbu segar, tumis dan kukus lebih baik disimpan pada kemasan PP rigid 1.
FARAH. F34103130. The Process and Storage Red Basic Seasoning. Supervised by Indah Yuliasih and Mulyorini Rahayuningsih. SUMMARY
Nowadays, ready-to-cook seasoning becomes a trend because of practical reason. Basic seasoning could be use for many cooking recipes so that could save time in making food. Basic seasoning consists of various colour according to the ingredients, which are red, white and yellow. Red basic seasoning is a paste with moisture content above 69%, so that it is very unstable during storage. To reduce the decreasing quality during storage, red basic seasoning needs appropriate type of packaging, temperatures and way of cooking process. This research aims to get the information about : (1) characteristics of red basic seasoning produced by different way (control, with pan-frying and steaming), (2) quality changes and (3) sensory evaluation of red basic seasoning during storage in different packaging (PP rigid 1, PP rigid 2 with different thickness, and also PE flexible). Red basic seasoning that is used in this research is adapted from Rudy Choirudin’s recipe. The ingredients are red pepper, shallots and garlic which have been sortaged, peeled and washed, scaled, grinded, mixed, and heated. The heating process of this red basic seasoning are pan-frying and steaming. The seasoning stored in cool storage with temperature range is 5-10oC for 2 weeks. The seasoning is packaged in PP rigid 1, PP rigid 2 and PE flexible. Supervision for the quality change, include total micro organism, moisture content, water activity, total acid, pH, colours and sensory evaluation (panelist level acceptance) is done everyday. Fresh seasoning have moisture content 71.12 % before storage. Pan-frying makes decrease of moisture content become 70.18 %. Whereas steaming makes increasing moisture content of 80.12 %. The ash value of fresh, pan-fry and steam seasonings relatively same (± 5 %). Fresh seasoning contain protein (24.61 %) relatively higher than pan-fry and steam seasoning. Heating processes (pan-frying and steaming) increasing brightness (L value) and oHue red basic seasoning in order from 44 to 60 and 53o to 75o (for pan-fry seasoning) and 44 to 51 and 53o to 73o (for steam seasoning). Based on water activity and pH value (0.705; 5.96), type of micro organism in fresh seasoning is supposed to be xerophylic fungi. Water activity and pH of pan-fry and steam seasonings are 0.876; 5.89 and 0.836; 5.87 respectively micro organism is supposed to be fungi. Fresh seasoning has VRS value of 1151.17 µ.eq/g. Pan-frying and steaming process decreased VRS values, which are 312.29 and 281.83 µ.eq/g. Total plate count of fresh seasoning is 4 log colony/g. Panfrying and steaming process decreased total plate count of red basic seasoning is 2 log colony/g (for pan-fry seasoning) and 1 log colony/g (for steam seasoning). Characteristic of packaging materials that is considered is the surface area and thickness. The surface area and thickness of PP rigid 1 are 2235.6 cm2 and 0.187 cm, PP rigid 2 are 2092.5 cm2 and 0.150 cm, and PE flexible are 1360 cm2 and 0.004 cm. The difference of surface area and thickness will influence the
difference of packaging transmission rate. The oxygen and water vapour transmission rate of PP 1 are smaller than PP 2 and PE flexible. Result of this research showed that total plate count was increased during storage. In the experiment days of 14th, total plate count of fresh seasoning reached 7 log colony/g, whereas total plate count of pan-fry and steam seasoning reached 4 log colony/g. All type of seasonings stored in PP rigid 2 have total micro organism smaller than those which stored in PP rigid 1 and PE flexible. Moisture content of fresh and steam seasonings increased, whereas pan-fry seasoning decreased. Packaging that can preserve moisture content of seasoning is PP rigid 1. Water activity in experimental result for fresh seasoning is 0.628-0.917, for pan-fry seasoning range between 0.768-0.879 and for steam seasoning is 0.725-0.866. Total acidity value increased during storage. Fresh, pan-fry and steam seasonings stored in PP rigid 1 have smallest slope of decreasing total acidity. Rate of decreasing pH of fresh, pan-fry and steam seasoning relatively same in three types of seasoning indicate pH value were not influenced by packaging and storage. The brightness (L value) and ohue of fresh, pan-fry and steam seasonings relatively same during storage. VRS content of fresh seasoning stored in PE flexible decreased relatively high. Pan-fry seasoning stored in PP rigid 1 having changes VRS content relatively low, whereas steam seasoning stored in PP rigid 1 having changes VRS content relatively high. Sensory evaluation for colour, aroma and consistency of red basic seasoning decreased during storage. Based on sensory evaluation, consistency of fresh, pan-fry and steam seasoning stored in PP rigid 2 got the highest scored from panelist. Based on quality changes analysis of the seasoning, include the characteristic of total micro organism, moisture content, water activity, total acid, pH and colour showed that fresh, pan-fry and steam seasonings preferred stored in PP rigid 1.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil ‘alamiiin. Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya dengan rahmat dan karunianya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul “Pembuatan dan Penyimpanan Bumbu Dasar Merah”. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada : 1. Ibu Indah Yuliasih, STP, MSi, selaku dosen pembimbing pertama yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis mulai dari konsultasi tentang perkuliahan sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi. 2. Ibu Dr. Ir. Mulyorini rahayuningsih, MSi, selaku dosen pembimbing kedua yang telah membantu dan
memberikan pengarahan bagi penulis selama
melakukan penelitian dan penulisan skripsi. 3. Bapak Ir. Sugiarto, MSi, selaku dosen penguji atas arahan dan saran yang diberikan untuk kesempurnaan skripsi. 4. Bapak Drs. Purwoko, MSi atas bantuan yang diberikan dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi. 5. PT. Tupperware Indonesia yang telah memberikan bantuan materi sehingga penelitian dapat berjalan dengan lancar. 6. Papa, Mama, Dede Iyusz, Apis dan seluruh keluarga penulis atas do’a, pengertian dan motivasi yang diberikan kepada penulis. 7. Ibu Sri, Ibu Ega, Pak Sugiardi, Pak Edi, Ibu Rini, Pak Dicky, Pak Gunawan dan Pak Anwar atas bantuan yang diberikan selama penelitian. 8. Teman satu bimbingan (Adith dan Agung) yang selalu setia menemani, baik saat suka maupun duka. I always thank to God because I meet someone like you. 9. Tim Tupperware (Derry, Helmi, Hendrick, Nurul, Purwati, Ratih, Renata, Sendy dan Umi) atas segala bantuan, kekompakan, perhatian, semangat dan kerja samanya selama perkuliahan dan penelitian.
10. Sahabat-sahabatku : Niken, Istiana, Indah, Nay, Affan, Riri, Iqro, Ikhsan yang tidak bosan-bosan memberikan semangat di saat penulis membutuhkannya. It’s great to have you as my best friend. 11. Teman-teman TIN 40 : Diah (atas pinjaman motornya), Arvi (atas pinjaman laptopnya untuk seminar), Detri (atas pesan yang diberikan), Nunu (thanks for making me feel special), Sutin, Dita, Reza, Badai, Desminda, Furi, Ratih Amet, Dhiani, Vivi, Agung Warobay, Nofal, Bayu dan Ika. Teman satu lab (Dewi dan Devi) yang berbagi suka duka. Ningrum, Sylvi, Eno, Achie (yang membantu selama ngelab). Dan teman-teman TIN 40 lainnya, kalian memberikan pelajaran berharga dan memberikan keceriaan di dalm hidupku. 12. Kakak-kakakku TIN 39 (Galih, Fitri, Dossi, Ari, Debby, Herry, Tarwin, Firman) yang senantiasa memberikan semangat dan do’a kepada penulis. Adik kelasku TIN 41 (Haekal) atas semangat dan do’a yang diberikan kepada penulis. 13. Teman-teman ‘hedon’ ku : Doni, Tathan, Fardian, Adam, Rae, Lusia dan Mayang. Kalian membuat hidup menjadi lebih hidup! 14. Teman-teman di Wisma Mega 1 terutama Eka, Reni dan Maya. Wisma Salsabilah terutama Iber (terima kasih atas tumpangan dan pengertiannya), Tya, Arin, Merti (yang mau mendengarkan curahan hati penulis) dan penghuni lain. Kalian membuatku betah tingggal di bogor. 15. Pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. Semoga Allah membalas dengan kebaikan. Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangannya. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.
Bogor, November 2007
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................
Halaman i
DAFTAR ISI...............………………………………………………
iii
DAFTAR TABEL…………………………………………………...
iv
DAFTAR GAMBAR………………………………………………..
v
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………...
vi
I. PENDAHULUAN…………………………………….............….....
1
A. Latar Belakang..............................................................................
1
B. Tujuan...........................................................................................
2
II. TINJAUAN PUSTAKA......................................................................
3
A. Bumbu Dasar Merah.....................................................................
3
B. Pengemasan...................................................................................
6
C. Penyimpanan Dingin.....................................................................
7
III. BAHAN DAN METODE...................................................................
9
A. Bahan............................................................................................
9
B. Alat...........................………..................................……………...
9
C. Metode Penelitian.......…………………………………………....
9
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.........................................................
12
A. Pembuatan dan Karakteristik Bumbu Dasar Merah......................
12
B. Karakteristik Kemasan .................................................................
17
C. Perubahan Mutu Bumbu Dasar Merah Selama Penyimpanan......
18
D. Penilaian Organoleptik Bumbu Dasar Merah Selama Penyimpanan....................................................................
31
V. KESIMPULAN DAN SARAN...........................................................
39
A. Kesimpulan...................................................................................
39
B. Saran.............................................................................................
40
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................
41
LAMPIRAN........................................................................................
44
iii
DAFTAR TABEL
Tabel 1.
Komposisi kimia cabai merah..................................................
Halaman 4
Tabel 2.
Komposisi kimia bawang merah..............................................
4
Tabel 3.
Komposisi kimia umbi bawang putih......................................
5
Tabel 4.
Komposisi bumbu dasar merah................................................
10
Tabel 5
Karakteristik bumbu segar, tumis dan kukus...........................
14
Tabel 6.
water activity untuk pertumbuhan mikroorganisme................
16
Tabel 7. Karakteristik kemasan..............................................................
17
Tabel 8.
Perubahan kadar VRS bumbu segar selama penyimpanan......
27
Tabel 9.
Perubahan kadar VRS bumbu tumis dan kukus selama penyimpanan............................................................................
27
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1.
Diagram alir pembuatan dan penyimpanan bumbu dasar merah...................................................................................
11
Gambar 2.
Penampakan bumbu segar, tumis dan kukus.......................
14
Gambar 3.
Grafik perubahan total mikroba bumbu dasar merah segar, tumis dan kukus selama penyimpanan......................
Gambar 4.
Gambar 5.
Gambar 6.
Gambar 7.
Gambar 8.
Gambar 9.
Grafik perubahan kadar air bumbu dasar merah segar, tumis dan kukus selama penyimpanan................................ Grafik perubahan nilai aw bumbu dasar merah segar, tumis dan kukus selama penyimpanan................................ Grafik perubahan total asam bumbu dasar merah segar, tumis dan kukus pada awal dan akhir penyimpanan........... Grafik perubahan nilai pH bumbu dasar merah segar, tumis dan kukus selama penyimpanan................................ Grafik perubahan kecerahan (nilai L) bumbu dasar merah segar, tumis dan kukus selama penyimpanan...................... Grafik perubahan oHue bumbu dasar merah segar, tumis dan kukus selama penyimpanan................................
Gambar 10. Grafik perubahan organoleptik warna bumbu segar, tumis dan kukus selama penyimpanan.......................................... Gambar 11. Grafik perubahan organoleptik aroma bumbu segar, tumis dan kukus selama penyimpanan.......................................... Gambar 12. Grafik perubahan organoleptik konsistensi bumbu segar, tumis dan kukus selama penyimpanan................................
v
19
22
23
25
26
29
30
32
33
35
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 44
Lampiran 1.
Prosedur analisa.........................................................
Lampiran 2.
Rekapitulasi data analisa fisik, kimia, mikrobiologi dan organoleptik bumbu dasar merah.....................................
51
Lampiran 3.
Form uji organoleptik.......................................................
52
Lampiran 4.
Perhitungan karakteristik kemasan...................................
55
Lampiran 5.
Gambar perubahan penampakan bumbu segar selama penyimpanan....................................................................
Lampiran 6.
Lampiran 7.
Gambar perubahan penampakan bumbu tumis selama penyimpanan.................................................................... Gambar perubahan penampakan bumbu kukus selama penyimpanan....................................................................
vi
58
59 60
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bumbu merupakan kebutuhan sehari-hari karena bumbu adalah bagian terpenting dari suatu masakan. Bumbu dapat memperkaya, mengubah dan menyembunyikan citarasa masakan. Selain itu, bumbu juga dapat meningkatkan warna dan penampakannya. Namun pembuatan bumbu tidak praktis karena harus dibuat setiap kali membuat masakan. Untuk itu diperlukan bumbu yang dapat digunakan untuk berbagai macam resep dan dapat disimpan selama beberapa waktu sehingga dapat menghemat waktu dalam pembuatannya. Bumbu yang memiliki semua sifat itu disebut bumbu dasar. Umumnya, karena kesibukan kerja dan alasan kepraktisan, bumbu dasar dibuat pada satu waktu (misalnya satu minggu sekali) dalam jumlah banyak untuk digunakan beberapa waktu. Selama penyimpanan, bumbu dasar mengalami perubahan mutu. Perubahan mutu yang terjadi dapat berupa perubahan warna, konsistensi (misalnya menjadi encer), aroma (bau tengik/bau asam), timbulnya buih dan tumbuhnya mikroba. Informasi mengenai perubahan mutu bumbu dasar selama penyimpanan diperlukan demi keamanan konsumen. Bumbu
dasar
ada
beberapa
macam
sesuai
dengan
bahan-bahan
penyusunnya, yaitu merah, putih dan kuning. Bumbu dasar yang sering dibuat ibu rumah tangga adalah bumbu dasar merah, yang merupakan campuran dari cabai merah, bawang merah dan bawang putih. Bumbu dasar jenis ini digunakan dalam beberapa masakan, sebagai contoh sambal goreng, nasi goreng, gulai dan sebagainya. Bumbu dasar umumnya memiliki bentuk pasta dengan kadar air di atas 69% (Siregar, 1998), sehingga bersifat kurang stabil selama penyimpanan. Untuk itu, diperlukan usaha untuk mengawetkan bumbu dasar tanpa merusak kandungan nutrisi yang ada di dalamnya. Sebagai contoh yang dilakukan Rokayah (2001), yang melakukan penambahan garam, gula dan sterilisasi bumbu rendang. Hasilnya bumbu rendang dapat disimpan selama empat minggu. Salah satu proses pengawetan bumbu dasar yang dapat dilakukan dengan mudah yaitu proses pemanasan (penumisan dan pengukusan).
Jenis kemasan dan kondisi penyimpanan sangat menentukan perubahan mutu bumbu dasar merah selama penyimpanan. Jenis kemasan yang umum digunakan adalah kemasan PP rigid (wadah plastik) dan kemasan PE fleksibel (kantong plastik). Kemasan PP rigid merupakan wadah yang kaku dan mempunyai bentuk simetris sehingga dapat ditumpuk dan menghemat volume ruang penyimpanan. Sedangkan kemasan PE fleksibel merupakan wadah yang mengikuti bentuk produk pangan yang dikemas, sehingga akan menyebabkan ketidakteraturan di dalam penataan ruang penyimpanan sehingga penggunaan volume ruang penyimpanan akan terlihat cukup tinggi. Kemasan PP lebih kaku dan kuat dibandingkan PE, mempunyai permeabilitas terhadap air dan gas yang rendah dan memiliki ketahanan yang baik terhadap lemak. PE bersifat transparan, tidak tahan terhadap minyak, mempunyai ketahanan yang baik terhadap air dan uap air, tetapi bukan penghalang yang baik bagi O2 dan CO2. Untuk penyimpanan, umumnya bumbu dasar merah disimpan dalam lemari pendingin (penyimpanan suhu rendah). Menurut Winarno dan Jenie (1983), penyimpanan suhu rendah dilakukan untuk menghambat atau mencegah reaksireaksi kimia, enzimatis atau pertumbuhan mikroba. Semakin rendah suhu ruang penyimpanan, semakin lambat reaksi-reaksi tersebut.
B. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan : (1) karakteristik bumbu dasar merah berkaitan dengan proses pengawetannya dengan pemanasan (penumisan dan pengukusan), (2) perubahan mutu dan (3) penilaian organoleptik bumbu dasar merah selama penyimpanan dalam kemasan yang berbeda (PP rigid 1 dan PP rigid 2 yang memiliki perbedaan ketebalan, serta PE fleksibel).
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Bumbu Dasar Merah Menurut Choirudin (2005), bumbu dasar dapat digunakan untuk berbagai macam resep masakan sehingga dapat menghemat waktu dalam pembuatan masakan. Bumbu dasar merah terdiri dari cabai merah, bawang merah dan bawang putih.
1.
Komposisi Bumbu Dasar Merah
a. Cabai Merah (Capsicum annuum LINN) Menurut Prajnanta (2002), cabai (Capsicum sp.) pada dasarnya terdiri atas dua golongan utama yaitu cabai besar (C. annum L.) dan cabai rawit (C. frutescens L.). Cabai besar terdiri atas cabai merah (hot pepper/cabai pedas), cabai hijau dan paprika (sweet pepper/cabai manis). Cabai merah mengandung oleoresin yang menimbulkan rasa pedas, warna merah dan cita rasa yang khas. Oleoresin adalah suatu produk bersifat fiskos yang mengandung resin, minyak-minyak esensial yang bersifat volatil dan bahan aktif lainnya yang diekstrak dengan pelarut non-aqueous seperti hidrokarbon (Furia, 1968). Purseglove et al. (1981) menyatakan bahwa komponen-komponen oleoresin yang terdapat dalam cabai merah ialah limonen, linalil, metil salisilat, 4metil-1-pentenil-2-metil butirat, isoheksilisokaproat dan heksasil-3-enol. Rasa pedas cabai dihasilkan oleh senyawa capcaisin dan vanililamida. Capcaisin bersifat tidak berwarna, tidak berbau, berbentuk cair pada suhu 65oC dan menguap pada suhu yang lebih tinggi. Menurut Pruthi (1979), vanililamida dan capcaisin adalah senyawa antimikroba yang terdapat dalam cabai merah. Warna merah pada cabai disebabkan oleh pigmen karotenoid. Menurut Winarno (2002) karotenoid merupakan kelompok pigmen yang berwarna kuning, oranye dan merah oranye yang larut dalam minyak atau lemak. Farrel (1990) mengemukakan bahwa pigmen karotenoid, kapsantin, karoten dan zeaxanthin berkontribusi terhadap warna dari cabai merah. Menurut Goodwin (1976), karoten tersusun oleh unsur-unsur C dan H yang terdiri dari α-, β- dan γ–. Pada tabel di bawah ini dapat dilihat komposisi kimia cabai merah.
Tabel 1. Komposisi kimia cabai merah* Komposisi Jumlah (%) Air
8,1
Protein
12,0
Lemak
17,3
Karbohidrat
56,6
Vitamin dan Mineral *Farrel (1990)
6,0
b. Bawang Merah (Allium cepa LINN) Bawang merah tergolong tanaman divisio Spermatophyta, subdivision Amarydilidaceae, genus Allium dan spesies Allium ascalonicum L. (Farrel, 1990). Berikut tabel komposisi kimia bawang merah. Tabel 2. Komposisi kimia bawang merah* Komposisi Jumlah (%) Air
88
Protein
1,5
Lemak
0,3
Karbohidrat
9,2
Vitamin dan Mineral *Farrel (1990)
1
Komponen-komponen oleoresin yang terdapat dalam bawang merah ialah hidrogen sulfida, thiol, disulfida, trisulfida dan thiosulfinat. Flavor bawang merah (Allium cepa L.) terbentuk dari aktivitas enzim allinase terhadap senyawa prekursor tidak berbau di dalam bawang. Saat jaringan bawang merah rusak, maka prekursor flavor utama yang disebut S-1-propanil-L-sistein sulfoksida akan terhidrolisis dengan cepat oleh enzim allinase membentuk asam sulfonat, asam piruvat dan amonia. Selanjutnya asam sulfonat berubah menjadi tiopropanal Soksida yaitu suatu senyawa volatil yang jika mengenai mata mengakibatkan perih dan keluarnya air mata pada saat bawang diiris (Farrel, 1990).
4
Turunan cycteine sulfoxide dapat memberi rasa menggigit dan membakar pada lidah dengan bantuan propyl cycteine sulfide. Senyawa antimikroba di dalam bawang merah adalah alifatik disulfida (Hui, 1991).
c. Bawang Putih (Allium sativum LINN) Jika diurutkan klasifikasinya, bawang putih termasuk dalam golongan Spermatophyta, sub-golongan Angiospermae, kelas Monocotyledone, ordo Liliflorae, famili Liliaceae, genus Allium, spesies Allium sativum. Bawang putih termasuk dalam famili yang sama dengan bawang merah. Umbi bawang putih juga mengandung mineral-mineral penting dan beberapa vitamin dalam jumlah tidak besar. Komponen-komponen oleoresin yang terdapat dalam bawang putih ialah dialil disulfida, dialil trisulfida, alil propil disulfida dan sejumlah kecil dietil disulfida, dialil polisulfida, allinin dan allisin (Farrel, 1990). Senyawa yang menentukan bau khas bawang putih adalah allisin. Senyawa allisin ini dikenal mempunyai daya antibakteri yang kuat. Allisin termasuk senyawa yang tidak stabil. Dalam udara bebas allisin akan terpecah menjadi senyawa diallyl-disulfida hanya dalam waktu satu menit saja (Wibowo, 1999). Di bawah ini disajikan tabel yang berisi komposisi kimia umbi bawang putih. Tabel 3. Komposisi kimia umbi bawang putih* Komposisi Jumlah (%) Air
67,8
Protein
7
Lemak
0,3
Total Karbohidrat
24
Vitamin dan Mineral *Farrel (1990)
0,9
2. Pembuatan Bumbu Dasar Merah Choirudin (2005) menerangkan bahwa pembuatan bumbu dasar merah meliputi sortasi bahan, pengupasan dan pencucian, penimbangan sesuai komposisi, penggilingan dan pemanasan. Sortasi merupakan proses pemilihan bahan-bahan yang terbaik. Pengupasan kulit dan pencucian dilakukan untuk
5
menghilangkan kotoran yang menempel dan mendapatkan penampakan yang baik. Penggilingan dilakukan untuk memperkecil ukuran bahan sehingga bahan tercampur membentuk pasta yang homogen. Proses pengawetan dilakukan untuk memperpanjang umur simpan produk. Menurut Desrosier (1988), pengawetan bahan pangan dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti pengolahan dengan panas, pengurangan kandungan air bebas, penambahan pengawet, pengawetan dengan pendinginan dan irradiasi bahan pangan. Penggunaan panas dalam proses pengawetan dapat membunuh atau menginaktifkan organisme yang potensial berbahaya termasuk bakteri dan virus. Efeknya tergantung suhu pemanasan dan teknik yang digunakan. Suhu berkisar antara 5oC sampai 57oC (41oF sampai 135oF) adalah “wilayah makanan dalam bahaya” karena diantara suhu tersebut bakteri dapat tumbuh dengan cepat. Dibawah kondisi tersebut bakteri dapat menggandakan angka pertumbuhan setiap 20 menit. Makanan mungkin tidak menampakkan perbedaan atau kerusakan tetapi dapat berbahaya bagi orang yang mengkonsumsinya (Arnold, 1976). Menurut Hughes and Bennion (1970), penumisan adalah salah satu bentuk pemanasan dengan menggunakan sedikit minyak goreng. Minyak goreng di dalam penumisan berfungsi sebagai media pemindah panas. Sedangkan pengukusan adalah metode pemanasan dengan menggunakan uap sebagai media pemindah panas.
B. Pengemasan Menurut Syarief dan Irawati (1988), plastik digunakan sebagai bahan pengemas karena dapat melindungi produk dari cahaya, udara, perpindahan panas, kontaminasi dan kontak dengan bahan-bahan kimia. Aliran gas dan uap air yang melalui plastik dipengaruhi oleh pori-pori plastik, tebal plastik dan ukuran molekul yang berdifusi ke produk. Menurut bentuknya, plastik dibedakan atas flexible film dan rigid container (Syarief dan Irawati, 1988). Wadah-wadah yang cukup kuat untuk ditumpuk memungkinkan penggunaan ruang secara maksimum dalam penyimpanan (Pantastico, 1986). Sedangkan berdasarkan monomer yang menyusunnya, plastik
6
terbagi menjadi Polyethylene (PE), Polyvinil Chloride (PVC), Polypropilen (PP) dan sebagainya (Paine, 1987). PE mempunyai ketahanan yang baik terhadap air dan uap air, tetapi bukan penghalang yang baik bagi O2 dan CO2. Sehingga plastik ini tidak cocok untuk mengemas produk yang sensitif terhadap O2 dan produk dari bahan yang berlemak (Hambali et al., 1988). Syarief et al. (1989) menambahkan plastik PE memiliki transmisi gas cukup tinggi, sehingga tidak cocok untuk mengemas makanan yang beraroma. Menurut Syarief dan Irawati (1988), sifat-sifat baik yang dimiliki PE, antara lain : (a) permeabilitas uap air dan air rendah; (b) fleksibel; (c) dapat digunakan untuk penyimpanan beku (-50oC); (d) transparan sampai buram. Sedangkan kelemahan PE adalah pemeabilitas oksigen agak tinggi dan tidak tahan terhadap minyak (terutama LDPE). Plastik PP lebih kaku, terang dan kuat dibandingkan PE, mempunyai permeabilitas air yang rendah, stabil pada suhu tinggi, memiliki ketahanan yang baik terhadap lemak dan permeabilitas gas yang rendah. PP memiliki ketahanan tarik yang tinggi, kekakuan dan ketahanan kikis yang lebih besar, transparan, lebih mengkilap dan permukaannya halus. Ketahanan PP terhadap minyak, lemak dan pelarut lebih baik bila dibandingkan dengan HDPE (Syarief et al., 1989). Berdasarkan hasil penelitian Rokayah (2001), jenis kemasan plastik yang umum digunakan untuk mengemas bumbu masak instan adalah PP.
C. Penyimpanan Dingin Pendinginan adalah penyimpanan bahan pangan di atas suhu pembekuan yaitu -2 sampai +10oC. Suhu dingin dalam lemari pendingin pada umumnya mencapai suhu 5-8oC (Winarno et al, 1980). Menurut Syarief dan Halid (1993), suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perubahan mutu produk pangan. Oleh karena itu, dalam menduga kecepatan penurunan mutu produk pangan selama penyimpanan, faktor suhu harus selalu diperhitungkan. Penggunaan suhu rendah dapat dilakukan untuk menghambat atau mencegah reaksi-reaksi kimia, enzimatis atau pertumbuhan mikroba. Semakin
7
rendah suhu semakin lambat reaksi-reaksi tersebut. Pertumbuhan bakteri patogen akan terhenti pada suhu di atas 65oC dan dibawah suhu 5oC (Jenie, 1988). Faktor yang mempengaruhi proses pendinginan bahan adalah suhu, kecepatan udara dalam ruang pendinginan, komposisi atmosfer serta ada tidaknya sinar ultra violet. Dianjurkan untuk mempertahankan suhu pendingin di bawah 5,6oC agar dapat menghambat pertumbuhan mikroba psychrophilik dan mencegah pertumbuhan mikroba patogen. Beberapa diantaranya dapat tumbuh pada suhu 7,78oC seperti misalnya Staphylococcus aureus. Ruang pendinginan memerlukan kondisi kelembaban yang sesuai karena perubahan kelembaban yang besar dapat menyebabkan bahan berkeringat dan terjadinya pertumbuhan jamur. Untuk itu di dalam pendinginan, perlu diperhatikan mengenai mutu bahan yang akan didinginkan, suhu ruang pendingin, kelembaban udara di dalam ruang pendingin dan sirkulasi udara serta jarak tumpukan di dalam ruang pendingin (Winarno dan Jenie, 1983).
8
METODOLOGI
A. Bahan Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah cabai merah, bawang merah dan bawang putih yang dibeli di Pasar Induk Kemang, Bogor. Sedangkan minyak goreng yang digunakan adalah minyak goreng dengan merek yang umum digunakan ibu rumah tangga. Bahan kimia yang digunakan adalah toluene, xilen, NaOH 0,01 N, indikator PP, katalis CuSO4 dan Na2SO4, H2SO4 pekat, indikator mengsel, KMnO4 0,02 N, KI 20 %, asam borat, Na2S2O3 0,02 N, indikator pati, larutan pengencer steril (garam fisiologis 0,85 %) dan PCA. Bahan kemasan yang digunakan sebagai wadah untuk menyimpan bumbu dasar merah adalah kemasan PP rigid 1 kapasitas 2,1 liter dengan ukuran 27x13,8x9 cm3, kemasan PP rigid 2 kapasitas 2 liter dengan ukuran 22,5x15,5x14,2 cm3 dan kemasan PE fleksibel kapasitas 2 kg dengan ukuran 34x20 cm2.
B. Alat Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan bumbu dasar merah yaitu pisau, talenan, blender, wajan, panci dan kompor gas. Sedangkan alat-alat yang digunakan dalam analisa bumbu dasar merah meliputi timbangan, Aufhauser, pendingin tegak, VRS apparatus, oven, penangas, cawan pengabuan, tanur, desikator, gelas piala 1 l, labu Kjeldahl, erlenmeyer 250 ml, cawan petri, buret, labu takar 250 ml, labu takar 100 ml, pH meter, colortec colorimeter, pipet mikro, otoklaf, inkubator, Quebec Colony Counter dan aw meter.
C. Metode Penelitian 1. Pembuatan bumbu dasar merah Formula bumbu dasar merah yang akan dibuat pada penelitian ini berdasarkan resep Rudy Choirudin dari buku Resep Praktis Dengan Bumbu Dasar Merah (2005). Komposisi bahan-bahan penyusun bumbu dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4. Komposisi bumbu dasar merah Bahan-bahan
Perbandingan komposisi
Jumlah (g)
Cabai merah 8 Bawang merah 2 Bawang putih 1 Sumber : Resep Rudy Choirudin (2005)
2000 500 250
Tahapan pembuatan bumbu dasar merah yaitu cabai merah, bawang merah dan bawang putih disortasi, dikupas kulitnya dan dicuci, ditimbang, digiling dan diberi perlakuan pemanasan (penumisan dan pengukusan). Pada saat penggilingan dilakukan penambahan minyak goreng sebanyak 900 ml untuk bumbu dasar merah yang akan mendapat perlakuan penumisan dan penambahan air sebanyak 900 ml untuk bumbu dasar merah yang akan mendapat perlakuan pengukusan. Bumbu dasar merah yang telah diberi penambahan minyak goreng ditumis selama 20 menit dimulai dari minyak masih dingin sampai tercium bau harum bumbu. Bumbu dasar merah yang telah diberi penambahan air dikukus selama 20 menit dimulai dari air masih dingin sampai tercium bau harum bumbu. Bumbu dasar merah segar (tanpa perlakuan) dijadikan sebagai kontrol.
2. Penyimpanan bumbu dasar merah Bumbu dasar merah yang telah diberi perlakuan yang berbeda dalam pembuatannya (tanpa perlakuan, dengan penumisan dan pengukusan) disimpan di dalam lemari pendingin bagian chiller pada suhu 5-10oC selama 2 minggu dalam kemasan PP rigid 1, PP rigid 2 dan PE fleksibel.
3. Analisa Karakterisasi bumbu dasar merah dilakukan pada awal penyimpanan meliputi : kadar air, kadar abu, kadar protein, nilai L, oHue, aw, pH, kadar VRS dan total mikroba. Pengujian kadar VRS (volatile reducing substances) dilakukan pada awal, tengah dan akhir penyimpanan. Khusus untuk bumbu tumis dilakukan pengamatan ketengikan bumbu setiap tiga hari sekali dengan uji peroksida. Pengamatan terhadap perubahan mutu bumbu dasar merah dilakukan setiap hari selama penyimpanan (2 minggu). Pengamatan yang dilakukan meliputi : total
10
mikroba, aw, kadar air, total asam, pH, kadar VRS, warna dan penilaian organoleptik (tingkat penerimaan panelis). Prosedur analisa terhadap bumbu dasar merah dapat dilihat pada Lampiran 1. Diagram alir pembuatan dan penyimpanan bumbu dasar merah adalah sebagai berikut.
Cabai merah, bawang merah, bawang putih
Sortasi Pengupasan kulit dan pencucian
Penimbangan bahan sesuai komposisi (cabai merah : bawang merah : bawang putih = 8 : 2 :1)
Penambahan air 900 ml
Penggilingan dengan blender selama 25 menit
Penambahan minyak goreng 900 ml
Penggilingan dengan blender selama 25 menit Penumisan selama 20 menit
Bumbu segar
PP rigid 1
Penambahan air 900 ml Penggilingan dengan blender selama 25 menit Pengukusan selama 20 menit
Bumbu tumis
Bumbu kukus
PP rigid 2
PE fleksibel
Penyimpanan di chiller dengan suhu 5-10oC selama 2 minggu
Gambar 1. Diagram alir pembuatan dan penyimpanan bumbu dasar merah
11
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pembuatan dan Karakteristik Bumbu Dasar Merah 1. Pembuatan Bumbu Dasar Merah Bumbu dasar merah merupakan bumbu yang terbuat dari campuran cabai merah, bawang merah dan bawang putih. Tahapan proses pembuatan bumbu dasar merah meliputi sortasi bahan, pengupasan dan pencucian, penimbangan sesuai komposisi, penggilingan dan pemanasan. Sortasi bahan merupakan proses pemilihan bahan-bahan dengan kriteria segar dan tidak busuk. Sortasi ini dilakukan untuk memisahkan bahan yang rusak agar tidak ikut dalam proses pembuatan bumbu dasar merah. Kemudian dilakukan pemetikan tangkai cabai merah, pengupasan kulit bawang merah dan bawang putih dan pencucian terhadap ketiga bahan tersebut. Proses ini dilakukan agar kotoran yang menempel di bahan hilang. Selanjutnya dilakukan penimbangan bahan sesuai komposisi bumbu dasar merah. Dilanjutkan dengan penggilingan terhadap bahan-bahan tersebut. Penggilingan bertujuan untuk memperkecil ukuran bahan dan mencampur ketiga bahan. Untuk mempercepat proses penggilingan dan memperhalus gesekan, dilakukan penambahan minyak goreng sebanyak 900 ml untuk bumbu yang mendapat perlakuan penumisan dan penambahan air sebanyak 900 ml untuk bumbu yang tidak mendapat perlakuan dan mendapat perlakuan pengukusan. Penggilingan menyebabkan terjadinya perubahan aroma, tekstur dan warna bumbu. Pada saat penggilingan struktur sel bahan rusak, sehingga flavor yang terkandung dalam bawang putih terlepas dan bercampur dengan flavor bawang merah dan cabai merah. Flavor memiliki komponen yang bersifat volatil dan non volatil. Komponen flavor yang bersifat volatil akan menguap selama penggilingan. Semakin halus hasil penggilingan, maka semakin banyak flavor yang menguap. Penggilingan bahan menghasilkan bumbu dengan tekstur yang halus. Hal ini dikarenakan penggilingan dapat memperkecil ukuran bahan sehingga bahan dengan mudah tercampur dan membentuk pasta dengan tekstur yang halus.
Proses penggilingan sangat berpengaruh terhadap perubahan warna bahan pangan. Sebagian besar pigmen tanaman terkumpul di dalam pigmen body, proses penggilingan akan membuat sel-sel ini pecah, kemudian pigmen akan keluar dan sebagian akan rusak atau teroksidasi karena kontak dengan udara. Warna bumbu hasil penggilingan dengan penambahan air adalah merah terang. Warna merah mendominasi karena adanya pigmen karotenoid yang terkandung dalam bawang merah dan cabai merah. Sedangkan warna bumbu hasil penggilingan dengan penambahan minyak goreng adalah kuning. Warna kuning minyak goreng mendominasi karena minyak goreng mengandung zat warna kuning alamiah kelapa sawit yaitu α-karoten, β-karoten, xanthofil, klorofil dan antosianin. Setelah mengalami proses penggilingan, bumbu dasar merah mendapat perlakuan pemanasan. Pemanasan bertujuan untuk membunuh mikroba patogen dan mikroba pembusuk yang dapat mengakibatkan kerusakan pada saat penyimpanan. Proses pemanasan dilakukan dengan cara penumisan dan pengukusan. Kedua proses tersebut dilakukan selama 20 menit. Bumbu segar yang tidak mendapatkan perlakuan pemanasan dijadikan sebagai kontrol. Selama proses pemanasan dapat menyebabkan terjadinya perubahan aroma, tekstur dan warna bumbu. Pemanasan juga dapat menguapkan senyawa volatil pada bahan. Hal ini dikarenakan senyawa volatil pada bahan bersifat tidak stabil bila dipanaskan. Tekstur bumbu setelah mengalami pemanasan juga mengalami perubahan. Untuk bumbu tumis, pada awalnya minyak melapisi permukaan bumbu. Pada saat penumisan terjadi penguapan air dan peresapan minyak ke dalam bumbu. Ketika bumbu didinginkan pada suhu ruang terjadi pengerasan pada permukaan bumbu, karena minyak bersifat padat pada suhu ruang. Untuk bumbu kukus, proses pengukusan menyebabkan terjadinya penambahan air sehingga tekstur bumbu kukus lebih lunak jika dibandingkan dengan bumbu tumis. Pada Gambar 2 dapat dilihat tekstur bumbu tumis yang lebih padat dan lebih kering dibandingkan bumbu segar dan kukus. Selain mengakibatkan perubahan aroma dan tekstur, pemanasan juga mengakibatkan terjadinya perubahan warna. Komponen utama bumbu dasar merah adalah cabai merah. Senyawa penyusun warna cabai merah terdiri dari
13
karotenoid, karoten, kapsorubin, kapsantin dan zeaxanthin. Karotenoid dan karoten merupakan senyawa yang larut dalam lemak, sedangkan kapsorubin, kapsantin dan zeaxanthin merupakan senyawa yang larut dalam air. Pada bumbu tumis, karotenoid dan karoten yang terikat dengan minyak mengalami pencoklatan non enzimatis akibat adanya pemanasan. Hal ini yang menyebabkan warna bumbu tumis berubah dari kuning menjadi kuning keoranyean. Pada bumbu kukus, proses pengukusan mengakibatkan kapsorubin, kapsantin dan zeaxanthin menguap, sedangkan karotenoid dan karoten teroksidasi. Hal inilah yang menyebabkan pada saat pengukusan warna bumbu berubah dari merah terang menjadi merah oranye. Perbedaan penampakan ketiga bumbu setelah mendapat perlakuan pemanasan dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Penampakan bumbu segar, tumis dan kukus 2. Karakteristik Bumbu Dasar Merah Bumbu dasar merah sebelum disimpan perlu dianalisa untuk mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi selama penyimpanan. Berikut karakteristik bumbu segar, tumis dan kukus sebelum disimpan. Tabel 5. Karakteristik bumbu segar, tumis dan kukus Komponen Kadar air (%) Kadar abu (% bk) Kadar protein (% bk) Nilai L o Hue aw pH Kadar VRS ( μ.eq/g) Total mikroba (log koloni/g)
Bumbu segar 71,12 4,96 24,61 44 53 0,705 5,96 1151,17 4
Bumbu tumis 70,18 5,05 9,04 60 75 0,876 5,89 312,29 2
Bumbu kukus 80,12 5,03 13,66 51 73 0,836 5,87 281,83 1
14
Bumbu segar memiliki kadar air 71,12 %. Proses penumisan menyebabkan penurunan kadar air bumbu tumis menjadi 70,18 %. Hal ini dikarenakan proses penumisan dilakukan dengan media minyak dan pada wadah terbuka, sehingga terjadi penguapan air. Sedangkan proses pengukusan menyebabkan peningkatan kadar air bumbu kukus menjadi 80,12 %. Proses pengukusan dilakukan pada wadah tertutup, sehingga penguapan air yang terjadi diikuti dengan terjadinya kondensasi uap air menjadi air yang jatuh kembali ke bumbu kukus. Jumlah garam dan mineral yang terdapat pada produk dapat diartikan sebagai kadar abu produk. Kadar abu merupakan unsur-unsur mineral sebagai sisa yang tertinggal setelah bahan dibakar sampai bebas karbon. Menurut Desrosier (1988), abu merupakan mineral-mineral organik yang memiliki ketahanan cukup tinggi terhadap suhu pemanasan sehingga keberadaannya dalam bahan pangan cenderung tetap. Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa kadar abu dari bumbu segar, tumis dan kukus pada awal penyimpanan memiliki nilai yang relatif sama (± 5 %). Jumlah mineral-mineral yang terkandung pada bumbu berasal dari bahan penyusun bumbu dan tidak dipengaruhi oleh bahan lain karena tidak dilakukan penambahan garam pada saat pembuatannya. Bumbu segar mengandung protein (24,61 %) relatif lebih tinggi daripada bumbu tumis dan kukus (9,04 dan 13,66 %). Proses penumisan terjadi pada suhu 180oC dan pengukusan pada suhu 100 oC. Pemanasan menyebabkan terjadinya denaturasi protein. Semakin tinggi suhu pemanasan, semakin cepat terjadinya denaturasi protein. Menurut Sikorski (2001), pemanasan menginaktifkan enzim inhibitor dan menyebabkan denaturasi protein. Pada Tabel 5, dapat dilihat proses pemanasan (penumisan dan pengukusan) menyebabkan peningkatan nilai kecerahan (nilai L) dan oHue warna bumbu dasar merah berturut-turut dari 44 ke 60 dan 53o ke 75o (untuk bumbu tumis) dan 44 ke 51 dan 53o ke 73o (untuk bumbu kukus). Bumbu tumis mengandung minyak yang memiliki kandungan karoten yang tinggi, sehingga penumisan menyebabkan bumbu menjadi berwarna kuning cerah. Sedangkan bumbu kukus tidak mengandung minyak, sehingga pengukusan menyebabkan komponen warna yang larut air menguap dan bumbu menjadi berwarna merah pudar. Menurut
15
(Hutchings, 1999), peningkatan oHue terlihat dari berubahnya tipe warna dari merah (ºHue = 18º-54º) menjadi merah kekuningan (ºHue = 54º-90º). Nilai aw dan pH bumbu segar adalah 0,705 dan 5,96. Jenis mikroorganisme yang terdapat di dalam bumbu segar diduga adalah kapang serofilik. Bumbu tumis memiliki nilai aw dan pH, yaitu 0,876 dan 5,89, sedangkan nilai aw dan pH bumbu kukus adalah 0,836 dan 5,87. Jenis mikroorganisme yang terdapat di dalam bumbu tumis dan kukus diduga adalah kapang. Nilai aw untuk pertumbuhan mikroorganisme dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Water activity untuk pertumbuhan mikroorganisme Mikroorganisme aw minimum Bakteri 0.90 Khamir 0.88 Kapang 0.80 Bakteri Halofilik 0.75 Kapang Serofilik 0.65 Khamir Osmofilik 0.60 Sumber : Syarief dan Halid (1993) Kadar VRS adalah banyaknya senyawa-senyawa volatil yang terdapat pada produk. Senyawa-senyawa volatil inilah yang menentukan aroma bumbu. Bumbu segar memiliki nilai VRS 1151,17 μ.eq/g. Setelah penumisan dan pengukusan terjadi penurunan kadar VRS. Kadar VRS bumbu tumis dan kukus yaitu 312,29 dan 281,83 μ.eq/g. Menurut Eskin et al (1971), terjadinya penurunan kadar VRS disebabkan kandungan allisin yang semakin menurun akibat pemanasan. Efek pemanasan menyebabkan allisin terkonversi ke dalam bentuk 3-vinil-(4H)-1,2ditiin dan 2-vinil-(4H)-1,3-ditiin. Penguraian allisin akan mengurangi kandungan volatil dan pada akhirnya mengurangi aroma bumbu. Menurut Heath dan Reineccius (1986), komponen volatil bumbu bersifat termolabil dan pemanasan mempengaruhi stabilitas dan kualitasnya. Total mikroba bumbu segar mencapai 4 log koloni/g. Proses penumisan dan pengukusan menyebabkan penurunan jumlah total mikroba bumbu dasar merah ke 2 log koloni/g (untuk bumbu tumis) dan ke 1 log koloni/g (untuk bumbu kukus). Masih terdapatnya mikroba pada bumbu yang mendapat perlakuan penumisan kemungkinan disebabkan oleh adanya spora-spora mikroba yang resisten terhadap
16
pemberian panas selama pengolahan. Menurut Pramono (1985), pemanasan basah pada pengukusan mempunyai efek menghancurkan mikroba lebih tinggi dibandingkan dengan pemanasan kering seperti pada penumisan. Menurut Supardi dan Sukamto (1999), bakteri lebih sulit dimusnahkan dalam minyak karena organisme tersebut terlindung dalam fase minyak.
B. Karakteristik Kemasan Kemasan yang digunakan untuk mengemas bumbu dasar merah adalah PP rigid 1, PP rigid 2 dan PE fleksibel. Pemilihan ketiga kemasan tersebut berdasarkan pada penggunaan umum penyimpanan bumbu oleh para ibu rumah tangga. Jika dilihat secara fisik, kemasan PP rigid merupakan wadah yang kaku dan mempunyai bentuk simetris sehingga dapat ditumpuk dan menghemat ruang penyimpanan. Sedangkan kemasan PE fleksibel yang digunakan adalah plastik kantong yang umumnya tipis, sehingga produk yang disimpan di dalam kantong tersebut menempel pada kemasan dan rentan mengalami kerusakan selama penyimpanan. Pada Tabel 7 disajikan karakteristik kemasan yang digunakan dalam penelitian. Tebal, panjang, lebar dan tinggi kemasan diukur dimensinya. Berdasarkan pengukuran dimensi, dihitung nilai luas permukaan, laju transmisi gas oksigen (O2TR) dan laju transmisi uap air (WVTR). Perhitungan nilai laju transmisi gas oksigen (O2TR) dan laju transmisi uap air (WVTR) dapat dilihat pada Lampiran 4. Tabel 7. Karakteristik Kemasan Plastik
Tebal (cm)
PP rigid 1 PP rigid 2 PE fleksibel * suhu 30oC
0,187 0,150 0,002
Luas permukaan (cm2) 2235,6 2092,5 1360
O2TR (cm3/hari) 3,726 4,356 719,157
WVTR (cm3/hari) 111,787 130,684 12911,500
Ketebalan suatu bahan kemasan sangat menentukan laju transmisi gas oksigen (O2TR) dan uap air (WVTR) kemasan (Robertson, 1993). Pada Tabel 6 dapat dilihat ketebalan plastik PP rigid 1 lebih tebal dibandingkan dengan PP rigid
17
2 dan PE fleksibel, namun luas permukaan PP rigid 1 lebih besar dari PP rigid 2 dan PE fleksibel. Walaupun begitu, nilai O2TR dan WVTR plastik PP rigid 1 tetap menunjukkan nilai yang lebih kecil dibandingkan dengan kedua jenis plastik lainnya. Hal ini menunjukkan kemampuan bahan kemasan tersebut menahan masuk/keluarnya O2 dan uap air relatif besar. Jika dikaitkan dengan ketebalannya, dapat diduga bahwa semakin tebal suatu bahan kemasan, kemampuannya menahan O2 dan uap air semakin besar. Sedangkan jika dikaitkan dengan luas permukaan, semakin luas permukaan suatu bahan kemasan, kemampuannya menahan O2 dan uap air semakin kecil. Bumbu dasar merah merupakan produk yang memiliki kadar air yang tinggi dan mengandung senyawa-senyawa volatil. Untuk itu dibutuhkan kemasan yang memiliki laju transmisi gas oksigen (O2TR) dan laju transmisi uap air (WVTR) yang kecil agar dapat melindungi bumbu dari proses oksidasi dan hidrolisis selama penyimpanan. Berdasarkan sifat-sifat yang telah disebutkan diatas maka kemasan PP rigid 1 diduga dapat mempertahankan mutu bumbu dasar merah selama penyimpanan dibandingkan PP rigid 2 dan PE fleksibel.
C. Perubahan Mutu Bumbu Dasar Merah Selama Penyimpanan 1. Mikrobiologi Mutu mikrobiologi bumbu dasar merah diuji dengan uji total plate count. Nilai total plate count dapat menentukan jumlah total mikroba yang ada di dalam bumbu dasar merah. Pada umumnya, penyimpanan dingin dapat memperlambat aktivitas enzim, sehingga pertumbuhan sel akan tetap naik namun lambat. Pada Gambar 3 dapat dilihat total mikroba meningkat sejalan dengan lamanya waktu penyimpanan. Bumbu segar mengandung total mikroba lebih tinggi daripada bumbu tumis dan kukus, yakni mencapai 7 log koloni/g pada pengamatan hari ke-14. Hal ini disebabkan bumbu segar tidak mengalami pemanasan, sehingga banyak mikroba kontaminan, contohnya Bacillus cereus, yang masih terdapat di dalamnya. Walaupun telah mengalami proses penumisan dan pengukusan, pada bumbu masih terdapat mikroba dalam jumlah mencapai 4 log koloni/g pada hari pengamatan yang sama. Pertumbuhan mikroba diduga disebabkan oleh adanya mikroba kontaminan yang masuk ke bumbu selama
18
pengambilan sampel. Pada Gambar 3 disajikan grafik perubahan total mikroba bumbu segar, tumis dan kukus selama penyimpanan. Bumbu Segar 10
y = 0.270Ln(x) + 3.483 2
Total mikroba (log koloni/g)
R = 0.95 y = 0.157Ln(x) + 3.375 2
R = 0.95
5
y = 0.464Ln(x) + 3.030 2
R = 0.96 0 0
3
6 Hari 9 Bumbu Tumis
12
14
10
Total mikroba (log koloni/g)
y = 0.064Ln(x) + 1.874 2
R = 0.93 5
y = 0.173Ln(x) +1.800
c
2
R = 0.93 y =0.24Ln(x) + 1.654 2
R = 0.97 0 0
3
6
9 Hari Bumbu Kukus
12
14
Total mikroba (log koloni/g)
10
y = 0.334Ln(x) - 0.419 2
R = 0.96 y = 0.175Ln(x) - 0.259
5
2
R = 0.96 y = 0.235Ln(x) + 0.34 2
R = 0.93
0 0
3
PP rigid 1
6
PP rigid 2
Hari
9
12
14
PE fleksibel
Gambar 3. Grafik perubahan total mikroba bumbu segar, tumis dan kukus selama penyimpanan Winarno et al. (1980) mengemukakan bahwa proses pemanasan pada pengolahan pangan bertujuan untuk mematikan mikroorganisme yang sensitif terhadap panas. Namun jika suhu dan waktu pemanasan kurang tepat maka tidak
19
akan mematikan mikroorganisme atau hanya menyebabkan sel mengalami kerusakan (terluka). Pemanasan ini disebut dengan pemanasan subletal. Dalam pengolahan pangan, sel-sel yang mengalami kerusakan karena pemanasan subletal mungkin dapat sembuh kembali menjadi sel-sel normal dan berkembang biak selama penyimpanan di dalam medium yang baik. Sebagian besar bakteri dalam bentuk vegetatifnya akan mati pada suhu 82-94oC, tetapi banyak spora bakteri yang masih tahan pada suhu air mendidih 100oC selama 30 menit. Bumbu dasar merah mengandung zat antimikroba yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba, diantaranya adalah capcaisin pada cabai merah (Dewanti, 1984), allil sulfonil dan allil sulfida pada bawang merah dan alisin pada bawang putih (Guenther, 1952). Bawang putih mempunyai aktivitas sebagai antibakteri dan antifungi. Kemampuan bawang putih sebagai antibakteri didukung penelitian Rustama et al. (2005) yang menyatakan bahwa bawang putih mampu menghambat pertumbuhan bakteri gram positif dan gram negatif. Kemampuan bawang putih ini dikarenakan zat kimia yang terkandung di dalam umbi. Zat kimia tersebut adalah alisin yang diduga dapat merusak dinding sel dan menghambat sintesis protein bakteri. Standar jumlah total mikroba yang diijikan dalam makanan adalah maksimal 105 koloni/g atau 5 log koloni/g (Nur dan Satiawiharja, 1999). Berdasarkan standar tersebut, bumbu segar sudah tidak aman secara mikrobiologi pada hari ke-6, sedangkan bumbu tumis dan bumbu kukus sampai hari ke-14 masih aman untuk dikonsumsi. Selama penyimpanan, jumlah total mikroba bumbu dasar merah mengalami peningkatan. Jika dikaitkan dengan jenis kemasan yang digunakan, slope peningkatan total mikroba bumbu segar yang dikemas PE fleksibel relatif tinggi. Hal ini disebabkan karena mikroorganisme aerobik dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pada bumbu yang disimpan pada kemasan tersebut. Slope peningkatan total mikroba bumbu tumis yang dikemas PP rigid 1 relatif kecil. Proses penumisan yang dilakukan pada wadah terbuka diduga menyebabkan spora mikroba aerobik masih bertahan hidup. Selama penyimpanan, spora tersebut tumbuh menjadi sel vegetatif. Penyimpanan bumbu tumis dalam
20
kemasan PP rigid 1 yang memiliki laju transmisi oksigen yang relatif kecil mengakibatkan mikroba aerobik tersebut semakin sulit tumbuh. Sedangkan pada bumbu kukus, slope peningkatan total mikroba bumbu yang dikemas PP rigid 1 relatif besar. Proses pengukusan yang dilakukan pada wadah tertutup diduga menyebabkan spora mikroba anaerobik masih dapat bertahan hidup. Selama penyimpanan, spora tersebut tumbuh menjadi sel vegetatif. Penyimpanan bumbu kukus dalam kemasan PP rigid 1 yang memiliki laju transmisi oksigen yang relatif kecil mengakibatkan mikroba anaerobik dapat semakin berkembang dengan baik.
2. Kadar air dan aw Pada Gambar 4 dapat dilihat peningkatan kadar air pada bumbu segar dan kukus selama penyimpanan. Jika dilihat dari nilai slope kenaikan kadar airnya, bumbu yang mengalami kenaikan terbesar adalah bumbu segar. Ini didukung dengan slope peningkatan total mikroba bumbu segar yang juga relatif besar (Gambar 3). Hal ini dikarenakan bumbu segar tidak mengalami proses pemanasan, sehingga jumlah mikroorganisme yang terdapat di dalamnya diduga masih relatif banyak. Salah satu aktivitas mikroorganisme adalah memecah glukosa menjadi produk antara (asam piruvat) dan produk akhir (karbondioksida, air dan asam organik). Air inilah yang menyebabkan bumbu terlihat berair. Selain itu, kenaikan kadar air juga diduga disebabkan adanya enzim pada bumbu segar yang berperan sebagai katalis dalam proses respirasi sehingga menghasilkan air. Sedangkan untuk bumbu kukus, peningkatan kadar air diduga disebabkan oleh pertumbuhan mikroba dan penguraian nutrisi bumbu oleh mikroba selama penyimpanan. Untuk bumbu tumis terjadi penurunan kadar air selama penyimpanan. Hal ini diduga disebabkan karena pada saat proses penumisan terjadi penguapan air yang menyebabkan kadar airnya turun. Selain itu, minyak yang terkandung di dalam bumbu tumis bersifat padat pada suhu dingin, sehingga kadar air bumbu tumis yang terukur kecil. Pada Gambar 4 disajikan grafik perubahan kadar air bumbu segar, tumis dan kukus selama penyimpanan.
21
Kadar air (%)
Bumbu Segar 84
y = 0.873x + 72.013
81
R = 0.87
2
78
y = 1.051x + 70.517
75
2
72
R =0.88 y = 0.985x + 70.828
69
R = 0.86
2
66 63 0
1
2
3
4
5
6
7 8 Hari
9
10 11 12 13 14
Bumbu Tumis y = -0.402x + 68.914 84
2
R = 0.88
Kadar air (%)
81 y = -0.569x + 70.976
78
2
R = 0.86
75
y = -0.420x + 70.657
72
2
R = 0.85
69 66 63 0
1
2
3
4
5
6
7 8 Hari
9
10 11 12 13 14
Kadar air (%)
Bumbu Kukus y = 0.225x + 80.958
84 81 78 75 72 69 66 63
2
R = 0.86 y = 0.242x + 79.152 2
R = 0.85 y = 0.285x + 80.247 2
R = 0.88 0
1
2
3
PP rigid 1
4
5
6
PP rigid 2
7 8 Hari
9
10 11 12 13 14
PE fleksibel
Gambar 4. Grafik perubahan kadar air bumbu dasar merah segar, tumis dan kukus selama penyimpanan Jika dikaitkan dengan jenis kemasan yang digunakan, kenaikan kadar air bumbu segar dan kukus yang dikemas dalam plastik PP rigid 1 relatif lebih kecil dibandingkan dengan jenis plastik lainnya. Kadar air bumbu dipengaruhi oleh ketebalan dan laju transmisi uap air (WVTR) plastik. Kemasan PP rigid 1 merupakan kemasan yang paling tebal dan nilai WVTR-nya yang terendah. Semakin tebal plastik maka semakin kecil laju pertambahan uap air dari luar
22
kemasan ke dalam makanan. Hal yang sama ditunjukkan oleh bumbu tumis yang mengalami penurunan kadar air terendah pada bumbu yang disimpan dalam PP rigid 1. Menurut Quast and Neto (1976), jumlah uap air yang dapat berdifusi melalui kemasan dipengaruhi oleh laju transmisi kemasan tersebut. Makin tinggi laju transmisi suatu bahan kemasan maka makin tinggi jumlah uap air yang dapat keluar masuk melalui kemasan tersebut. Hal inilah yang menyebabkan peningkatan kadar air bumbu segar dan kukus dalam kemasan PP rigid 1 relatif kecil selama penyimpanan. Pada Gambar 5 disajikan perubahan nilai aw pada bumbu segar, tumis dan kukus selama penyimpanan. Bumbu Segar 1.00 y = 0.016x + 0.715 2
aw
R = 0.90 y = 0.022x + 0.674
0.50
2
R = 0.91 y = 0.017x + 0.726 2
R = 0.91 0.00 0
1
2
3
4
5
6
7 8 9 10 11 12 13 14 Hari Bumbu Tumis
1.00
y = -0.007x + 0.869 2
R = 0.91
aw
y = -0.008x + 0.884 2
0.50
R = 0.91 y = -0.007x + 0.876 2
R = 0.91 0.00 0
1
2
3
4
5
6
1.00
7 8 9 10 11 12 13 14 Hari Bumbu Kukus y = -0.006x + 0.800 2
aw
R = 0.89 y = -0.007x + 0.844
0.50
2
R = 0.89 y = -0.007x + 0.864 2
R = 0.88 0.00 0
1
2
3
4
5
PP rigid 1
6
7 8 Hari
PP rigid 2
9
10
11
12
13
14
PE fleksibel
Gambar 5. Grafik perubahan nilai aw bumbu segar, tumis dan kukus selama penyimpanan
23
Nilai aw bumbu segar, tumis dan kukus pada tiap kemasan relatif stabil selama penyimpanan. Bumbu segar berada pada kisaran 0,70-0,98, jenis mikroorganisme yang diduga tumbuh di dalamnya adalah bakteri halofilik, kapang, khamir dan bakteri. Kisaran nilai aw bumbu tumis yaitu 0,77-0,88 menandakan jenis mikroorganisme yang diduga tumbuh adalah bakteri halofilik, kapang dan khamir. Bumbu kukus dengan kisaran nilai aw 0,72-0,86 menandakan jenis mikroorganisme yang diduga tumbuh di dalamnya adalah kapang serofilik, bakteri halofilik dan kapang. Nilai aw pada bumbu dasar merah merupakan prasyarat bagi pertumbuhan mikroorganisme yang dapat tumbuh di dalamnya.
3. Total asam dan pH Selama penyimpanan, bumbu segar mengalami peningkatan total asam yang relatif kecil pada bumbu yang dikemas PP rigid 1. Bumbu segar tidak mengalami proses pemanasan sehingga jumlah total mikrobanya diduga masih banyak. Salah satu aktivitas mikroba adalah menghidrolisis karbohidrat, sehingga dihasilkan karbondioksida, air dan asam organik. Kemasan PP rigid 1 memiliki laju transmisi yang rendah terhadap oksigen, sehingga mikroorganisme kontaminan sulit masuk pada bumbu yang disimpan pada kemasan tersebut. Semakin sedikit jumlah mikroorganisme yang ada pada PP rigid 1 menyebabkan berkurangnya jumlah karbohidrat yang dipecah menjadi asam. Hal inilah yang menyebabkan jumlah total asam bumbu segar yang disimpan pada PP rigid 1 relatif sedikit dibandingkan dengan bumbu segar yang disimpan pada kemasan PP rigid 2 dan PE fleksibel. Selain itu, bumbu segar masih mengalami respirasi. Selama berlangsungnya proses respirasi terjadi perombakan senyawa makromolekul (karbohidrat, protein, atau lemak) menjadi senyawa-senyawa sederhana. Jika oksigen tersedia dalam jumlah yang cukup maka senyawa makromolekul akan diuraikan dan menghasilkan air, karbondioksida dan sejumlah energi. Jika ketersediaan oksigen terbatas atau adanya peningkatan konsentrasi karbondioksida yang cukup signifikan di udara sekitarnya maka respirasi akan terhambat bahkan terhenti, sementara energi harus tetap dihasilkan untuk proses kehidupannya. Pada keadaan demikian energi dihasilkan dari proses fermentasi yang merombak senyawa
24
makromolekul menjadi asam-asam organik. Salah satu asam organik adalah asam laktat. Penumpukan asam laktat menyebabkan meningkatnya total asam. Berikut grafik perubahan total asam bumbu segar, tumis dan kukus selama penyimpanan : Bumbu Segar
Total asam (ml NaOH/g)
60
y = 0.627x + 35.096
50
2
R = 0.90
40
y = 1.096x + 39.470
30
2
`
R = 0.91
20
y = 0.960x + 38.814 10
2
R = 0.87
0
Total asam (ml NaOH/g)
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Hari Bumbu Tumis
10
11
12
13
14
y = 1.302x + 39.274
60
2
R = 0.86
50 40
y = 1.4685x + 40.313
30
R = 0.85
20
y = 1.683x + 38.086
10
R = 0.87
2
2
0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14
Hari Bumbu Kukus
Total asam (ml NaOH/g)
60
y = 0.889x + 40.045
50
2
R = 0.85
40
y = 1.000x + 39.317
30
2
R = 0.86
20
y = 1.005x + 38.957
10
2
R = 0.88
0 0
1
2
3
4
5
6
PP rigid 1
7 8 Hari
9
PP rigid 2
10 11 12 13 14 PE fleksibel
Gambar 6. Grafik perubahan total asam bumbu segar, tumis dan kukus selama penyimpanan Pada bumbu tumis, slope peningkatan total asam yang dikemas PP rigid 1 relatif kecil. Selain karena adanya pertumbuhan mikroba pada bumbu tumis, bumbu tumis juga mengalami oksidasi akibat kandungan minyak yang terdapat
25
didalamnya. Oksidasi ini menyebabkan nilai asam lemak bebas bumbu tumis meningkat. Peningkatan asam lemak bebas mengakibatkan peningkatan total asam bumbu tumis. Penyimpanan bumbu tumis dalam kemasan PP rigid 1 yang memiliki laju transmisi terhadap oksigen yang rendah mengakibatkan sulitnya terjadi oksidasi. Sedangkan pada bumbu kukus, proses pengukusan telah menginaktifkan enzim dan mematikan sebagian mikroba. Penyimpanan bumbu kukus dalam PP rigid 1 yang memiliki laju transmisi oksigen dan uap air yang rendah menghambat aktivitas mikroba dalam memecah karbohidrat, sehingga peningkatan total asam relatif kecil. Pada Gambar 7 ditampilkan grafik perubahan nilai pH bumbu segar, tumis dan kukus selama penyimpanan. Bumbu Se gar 6 y = -0.038x + 5.924
5.8
2
pH
R = 0.91 5.6
y = -0.014x + 6.007 2
R = 0.93
5.4
y = -0.06x + 5.959
5.2
2
R = 0.93
5 0
1
2
3
4
5
6
7 8 9 Hari Bumbu Tumis
10
11
12
13
14
6 y = -0.005x + 5.896
pH
5.8
2
R = 0.93
5.6
y = -0.006x + 5.898 2
5.4
R = 0.96 y = -0.005x + 5.885
5.2
2
R =0.93
5 0
1
2
3
4
5
6
7 8 9 10 11 12 13 14 Hari Bumbu Kukus y = -0.018x + 5.907
6
2
R = 0.92
pH
5.8
y = -0.007x + 5.856
5.6
2
R =0.90
5.4
y = -0.006x + 5.854
5.2
2
R = 0.92
5 0
1
2
3
PP rigid 1
4
5
6
PP rigid 2
7 8 Hari
9
10 11 12 13 14
PE fleksibel
Gambar 7. Grafik perubahan nilai pH bumbu segar, tumis dan kukus selama penyimpanan
26
Peningkatan total asam selama penyimpanan bumbu dasar berpengaruh terhadap penurunan nilai pHnya. Bumbu segar mengalami penurunan nilai pH dari 6,0 sampai 5,1, sedangkan bumbu tumis dan kukus mengalami penurunan nilai pH yang relatif kecil, yaitu dari 5,9 sampai 5,7. 4. Kadar VRS (Volatile Reducing Substances) Berikut tabel perubahan kadar VRS bumbu segar, tumis dan kukus selama penyimpanan. Tabel 8. Perubahan kadar VRS bumbu segar selama penyimpanan Kemasan
Bumbu segar Awal (μ.eq/gram)
Akhir (μ.eq/gram)
% perubahan
PP rigid 1
1151,17
257,44
-893,73
PP rigid 2
1151,17
237,84
-913,33
PE fleksibel
1151,17
172,33
-978,84
Tabel 9. Perubahan kadar VRS bumbu tumis dan kukus selama penyimpanan Kemasan
Bumbu tumis Awal Tengah (μ.eq/gram) (μ.eq/gram)
Bumbu kukus Akhir (μ.eq/gram)
Awal Tengah (μ.eq/gram) (μ.eq/gram)
Akhir (μ.eq/gram)
PP rigid 1
312,29
213,94
593,18
281,83
215,82
338,78
PP rigid 2
312,29
143,37
466,23
281,83
290,43
389,87
PE fleksibel
312,29
126,28
458,25
281,83
315,78
463,05
Nilai VRS bumbu segar selama penyimpanan mengalami penurunan. Penurunan kadar VRS ini disebabkan karena terjadi penguapan bahan-bahan volatil yang terkandung pada bumbu segar. Semakin lama bumbu disimpan, maka penguapan bahan-bahan volatil yang dikandungnya akan semakin besar. Penurunan kadar VRS paling besar terjadi pada bumbu segar yang disimpan dalam kemasan PE fleksibel, diikuti dengan PP rigid 2 dan PP rigid 1. Hal ini dikarenakan PE fleksibel memiliki ketebalan yang relatif kecil dibandingkan dengan PP rigid 2 dan PP rigid 1, sehingga terjadinya pertukaran uap air dengan udara luar relatif mudah. Kondisi ini mengakibatkan senyawa volatil bumbu ikut terbawa keluar bersama uap air sehingga senyawa volatil yang tertinggal dalam bumbu semakin berkurang.
27
Nilai VRS bumbu tumis dan kukus mengalami penurunan pada hari pengamatan ke-7. Penurunan kadar VRS ini diduga seperti yang dialami bumbu segar, yaitu terjadi penguapan senyawa volatil yang terkandung di dalamnya. Kemudian bumbu tumis dan kukus mengalami peningkatan kadar VRS pada hari pengamatan ke-14. Peningkatan kadar VRS ini diduga disebabkan karena telah terjadi oksidasi. Pemanasan yang dilakukan pada saat pembuatan bumbu dasar merah mengakibatkan denaturasi protein. Senyawa hasil denaturasi protein, yaitu asam amino, nukleotida dan tiamin selama penyimpanan teroksidasi dan membentuk senyawa-senyawa volatil seperti hidrogen sulfida, piridin dan pirazin. Bumbu tumis yang disimpan dalam PP rigid 1 mengalami perubahan kadar VRS yang relatif kecil dibandingkan dengan PP rigid 2 dan PE fleksibel. Kemasan PP rigid 1 memiliki laju transmisi uap air yang rendah, sehingga kandungan senyawa volatil pada bumbu tumis yang disimpan pada kemasan tersebut tertahan di dalam kemasan. Selain itu, bumbu tumis mengandung minyak yang bersifat mudah menyerap senyawa volatil. Sedangkan bumbu kukus yang disimpan dalam PP rigid 1 mengalami perubahan kadar VRS yang relatif besar dibandingkan PP rigid 2 dan PE fleksibel. Penyimpanan bumbu kukus pada PP rigid 1 menyebabkan peningkatan kadar air yang relatif kecil. Semakin sedikitnya kadar air yang terkandung di dalam bumbu mengakibatkan senyawa volatil yang ada di dalam bumbu semakin sedikit.
5. Ketengikan Ketengikan diukur dengan melakukan uji bilangan peroksida.
Menurut
Ketaren (1986), uji bilangan peroksida bertujuan untuk mengukur kadar senyawa peroksida yang terbentuk selama proses oksidasi. Pembentukan peroksida merupakan awal dimulainya proses oksidasi dan selanjutnya peroksida dikonversi menjadi aldehid, keton dan asam lemak bebas. Kenaikan bilangan peroksida merupakan indikator mulai terjadinya ketengikan. Bilangan peroksida bumbu yang mendapat perlakuan penumisan mulai dari awal penyimpanan hingga akhir penyimpanan tidak mengalami perubahan (bilangan peroksida=0). Hal ini diduga disebabkan karena bumbu tumis yang mengandung minyak bersifat mengeras selama penyimpanan dingin, sehingga
28
ketengikan selama penyimpanan tidak dapat terdeteksi dengan uji bilangan peroksida.
6. Warna Penilaian warna bumbu dasar merah dilakukan dengan mengukur tingkat kecerahan (nilai L) dan tipe warna (oHue). Pada Gambar 8 disajikan grafik perubahan nilai L bumbu segar, tumis dan kukus selama penyimpanan. Bumbu Segar 60 y = -0.477x + 42.639
50
2
R = 0.91
Nilai L
40
y = -0.487x + 44.058
30
2
R = 0.93
20 y = -0.485x + 44.031 10
2
R = 0.93
0 0
1
2
3
4
5
6
7 8 Hari
9
10
11
12
13
14
Bumbu Tumis
Nilai L
60
y = -0.153x + 59.852
50
R = 0.92
40
y = -0.178x + 60.105
30
R =0.90
20
y = -0.192x + 59.584
2
2
2
R = 0.92
10 0 0
1
2
3
4
5
6
7 8 Hari
9
10 11 12 13 14
Bumbu Kukus 60
Nilai L
50
y = -0.194x + 50.809 2
40
R = 0.90
30
y = -0.242x + 51.981 2
R = 0.91
20
y = -0.229x + 50.881
10
2
R = 0.91
0 0
1
2
3
4
PP rigid 1
5
6
7 8 Hari
PP rigid 2
9
10
11 12
13 14
PE fleksibel
Gambar 8. Grafik perubahan nilai kecerahan (nilai L) bumbu segar, tumis dan kukus selama penyimpanan
29
Pada Gambar 9 disajikan perubahan ºHue bumbu segar, tumis dan kukus selama penyimpanan.
o
Hue
Bumbu Segar 80 70
y = -0.802x + 51.149
60
R = 0.85
50 40
y = -0.989x + 54.480
2
2
R =0.86
30
y = -0.916x + 53.268
20 10
2
R =0.87
0 0
1
2
3
4
5
6
7 8 9 10 11 12 Hari Bumbu Tumis
13 14
o
Hue
80 70
y = -0.076x + 75.407
60
R =0.87
2
50
y = -0.057x + 75.229
40
2
30
R = 0.84 y = -0.037x + 75.004
20
R =0.84
2
10 0 0
1
2
3
4
5
6 Hari 7 8
9
10 11 12 13 14
o
Hue
Bumbu Kukus 80 70 60 50 40 30 20 10 0
y = -0.316x + 73.459 2
R = 0.87 y = -0.209x + 73.222 2
R = 0.85 y = -0.078x + 73.203 2
R = 0.85 0
1
2
3
4
5
PP rigid 1
6
7 8 Hari PP rigid 2
9
10 11 12 13 14
PE fleksibel
Gambar 9. Grafik perubahan ºHue bumbu segar, tumis dan kukus selama penyimpanan Pada Gambar 8 terlihat penurunan nilai kecerahan bumbu segar, tumis dan kukus relatif kecil. Bumbu segar mengalami penurunan nilai kecerahan yang lebih besar dibandingkan bumbu tumis dan kukus. Bumbu segar diduga masih
30
melakukan respirasi sehingga masih terjadi degradasi karotenoid oleh karotenase yang menghasilkan xantofil. Sedangkan bumbu yang mengalami pemanasan relatif dapat mempertahankan kecerahan warnanya. Ini dikarenakan pemanasan dapat menginaktifkan enzim yang berperan dalam respirasi sehingga kecerahan warna bumbu tumis dan kukus tidak mengalami penurunan yang besar selama penyimpanan. Penurunan kecerahan bumbu dasar merah juga didukung oleh peningkatan kadar airnya. Hal ini berkaitan dengan kemampuan memantulkan cahaya yang semakin menurun akibat semakin banyaknya air pada permukaan bumbu. Hal yang sama ditunjukkan oleh penurunan oHue bumbu segar, tumis dan kukus selama penyimpanan (Gambar 9). Jika dikaitkan dengan jenis kemasan yang digunakan, penurunan nilai L dan o
Hue bumbu segar, tumis dan kukus pada tiap kemasan relatif sama. Hal ini
menunjukkan perbedaan kemasan tidak mempengaruhi degradasi warna yang terjadi pada bumbu selama penyimpanan. 2. Penilaian Organoleptik Bumbu Dasar Merah Selama Penyimpanan Selama penyimpanan terjadi penurunan penilaian organoleptik warna bumbu dasar merah. Perubahan warna bumbu segar yang dinilai oleh panelis selama penyimpanan adalah dari merah terang ke tidak cerah (coklat). Warna bumbu tumis berubah dari kuning terang ke kuning pucat. Sedangkan untuk bumbu kukus terjadi perubahan warna dari merah keroanyean ke merah pucat. Perubahan warna diduga karena adanya penurunan kandungan pigmen akibat reaksi enzimatis, proses respirasi dan degradasi oleh mikroorganisme selama penyimpanan. Penurunan hasil organoleptik tersebut sebanding dengan hasil analisa kecerahan (nilai L) dan oHue bumbu segar, tumis dan kukus yang mengalami penurunan selama penyimpanan. Jika dikaitkan dengan jenis kemasan yang digunakan, penurunan organoleptik warna bumbu segar, tumis dan kukus yang dikemas dalam PP rigid 1 relatif lebih kecil dibandingkan dengan jenis plastik lainnya. Ini berarti panelis lebih menyukai warna bumbu segar, tumis dan kukus yang disimpan dalam kemasan PP rigid 1. Pada Gambar 10 disajikan grafik perubahan organoleptik warna bumbu segar, tumis dan kukus selama penyimpanan.
31
Bumbu Segar 10 9 8
y = -0.212x + 7.915 2
R = 0.97
Skor
7 6 5 4
y = -0.328x + 7.726 2
R = 0.98 y = -0.37x + 8.181
3 2 1
2
R = 0.98 1
2
3
4
5
6
7 8 Hari
9
10
11
12
13
14
Bumbu Tumis
Skor
10 9 8 7
y = -0.256x + 8.591
6 5
y = -0.258x + 8.573
2
R = 0.96 2
R = 0.96
4 3
y = -0.349x + 8.962
2
R =0.97
2
1 1
2
3
4
5
6
7 8 Hari
9
10
11 12
13 14
Skor
Bumbu Kukus 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1
y = -0.270x + 8.573 2
R = 0.96 y = -0.271x + 8.694 2
R =0.98 y = -0.371x + 8.981 2
R =0.97 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Hari PP rigid 1
PP rigid 2
PE fleksibel
Gambar 10. Grafik perubahan penilaian organoleptik warna bumbu segar, tumis dan kukus selama penyimpanan Selama penyimpanan, penilaian organoleptik aroma mengalami penurunan (Gambar 11). Hal ini dikarenakan telah terjadi perubahan aroma bumbu dasar merah selama penyimpanan. Perubahan aroma bumbu segar, tumis dan kukus yang dinilai oleh panelis adalah dari bau khas cabai menjadi sangat asam atau
32
sangat tengik. Berikut grafik perubahan uji organoleptik aroma bumbu segar, tumis dan kukus selama penyimpanan :
Skor
Bumbu Segar 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1
y = -0.269x + 7.699 2
R = 0.95 y = -0.272x + 7.593 2
R = 0.97 y = -0.296x + 7.640 2
R = 0.96
Skor
1
3
4
5
6
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1
7
8 9 10 11 Hari Bumbu Tumis
12
13
14
y = -0.296x + 8.432 R2 = 0.95 y = -0.382x + 8.685 R2 = 0.96 y = -0.389x + 8.72 R2 = 0.96 1
Skor
2
2
3
4
5
6
7 8 9 10 11 12 13 14 Hari Bumbu Kukus
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1
y = -0.382x + 8.911 2
R =0.98 y = -0.412x + 9.342 2
R =0.98 y = -0.313x + 8.555 2
R = 0.97 1
2
3
4
PP rigid 1
5
6
7 8 Hari
PP rigid 2
9
10 11 12 13 14
PE fleksibel
Gambar 11. Grafik perubahan penilaian organoleptik aroma bumbu segar, tumis dan kukus selama penyimpanan Perubahan aroma bumbu yang terjadi selama penyimpanan biasanya lebih kompleks daripada yang terjadi pada warna bumbu. Hal ini dikarenakan pada bumbu terdapat berbagai macam senyawa yang mudah menguap (volatil) seperti
33
senyawa hidrogen sulfida, alkohol, amoniak, amina dan senyawa-senyawa karbonil lainnya yang menyebabkan timbulnya aroma. Zat-zat organik ini sangat sensitif terhadap udara, panas dan berinteraksi satu sama lain. Sehingga dapat dikatakan aroma bersifat tidak stabil, yaitu dapat mengalami perubahan selama penanganan, pengolahan dan penyimpanan. Perubahan aroma bumbu dasar merah menjadi asam selama penyimpanan diduga juga dikarenakan timbulnya buih pada bumbu dasar merah. Terbentuknya buih dapat terlihat pada hasil pengukuran total mikroba yaitu adanya miselium kapang. Miselium kapang yang terlihat umumnya berwarna putih, kuning atau hitam. Mikroba dapat bergerminasi dan tumbuh dengan pesat setelah hilangnya sifat antimikroba rempah karena peruraian alami. Pembentukan buih oleh adanya aktivitas mikroba selalu diikuti dengan bau asam serta munculnya miselium kapang. Terdeteksinya bau asam umumnya merupakan tanda telah terjadinya penumpukan metabolit mikroba yang dapat terlihat dari penurunan nilai pH bumbu (Gambar 7). Selama penyimpanan, jumlah total mikroba bumbu dasar merah mengalami peningkatan. Muchtadi (1989) menyatakan bermacam-macam mikroba seperti bakteri, kapang dan khamir mempunyai daya perusak. Cara perusakannya adalah dengan menghidrolisis/mendegradasi makromolekul (karbohidrat, protein dan lemak) yang menyusun bahan tersebut menjadi fraksi-fraksi yang lebih kecil. Pecahnya senyawa-senyawa tersebut mengakibatkan bahan mengalami pelunakan, terjadinya asam, ketengikan, terbentuknya gas, lendir, busa, toksin dan lain-lain. Nilai total asam dan pH juga turut mendukung penurunan penilaian organoleptik aroma. Selama penyimpanan, total asam bumbu dasar merah mengalami kenaikan, sedangkan nilai pH mengalami penurunan. Jika dikaitkan dengan jenis kemasan yang digunakan, penurunan organoleptik aroma bumbu segar dan tumis yang dikemas dalam plastik PP rigid 1 dan bumbu kukus yang dikemas dalam plastik PE fleksibel relatif kecil. Ini didukung oleh hasil analisa Volatile Reducing Substances (VRS), yaitu kadar VRS bumbu segar dan tumis yang disimpan dalam kemasan PP rigid 1 memiliki persentase perubahan yang relatif kecil, sedangkan kadar VRS bumbu kukus yang disimpan pada PE fleksibel relatif kecil.
34
Pada Gambar 12 disajikan grafik penilaian organoleptik konsistensi bumbu segar, tumis dan kukus selama penyimpanan. Bumbu Segar y = -0.258x + 8.768
9
R = 0.94
8 7
y = -0.223x + 8.525
6
R = 0.92
Skor
10
2
2
5 y = -0.272x + 8.442
4 3
2
R = 0.92
2 1 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Skor
Hari
Bumbu Tumis
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1
y = -0.285x + 8.893 2
R = 0.93 y = -0.228x + 8.556 2
R = 0.94 y = -0.324x + 8.081 2
R = 0.93 1
2
3
4
5
6
7 8 Hari
9
10
11
12
13
14
Skor
Bumbu Kukus 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1
y = -0.360x + 8.661 2
R =0.94 y = -0.345x + 8.399 2
R =0.94 y = -0.408x + 8.323 2
R = 0.94 1
2
3
4
PP rigid 1
5
6
7 8 Hari
PP rigid 2
9
10
11
12
13
14
PE fleksibel
Gambar 12. Grafik perubahan penilaian organoleptik konsistensi bumbu segar, tumis dan kukus selama penyimpanan Penilaian organoleptik konsistensi bumbu segar, tumis dan kukus mengalami penurunan selama penyimpanan. Hal ini dikarenakan telah terjadi
35
perubahan konsistensi selama penyimpanan, yaitu dari kental menjadi semakin encer. Perubahan penilaian organoleptik ini diduga karena panelis meyakini bahwa bumbu dasar merah memiliki bentuk pasta, sehingga konsistensinya seharusnya kental. Penurunan penilaian organoleptik konsistensi ini didukung oleh hasil analisa jumlah total mikroba. Selama penyimpanan terjadi peningkatan total mikroba bumbu segar, tumis dan kukus. Mikroba diduga melakukan pemecahan karbohidrat bumbu dasar merah menjadi asam piruvat dan produk akhirnya (CO2, H2O dan asam organik). H2O inilah yang menyebabkan bumbu terlihat berair. Hal tersebut juga didukung dengan hasil analisa kadar air. Pada penilaian kadar air, bumbu segar dan kukus mengalami kenaikan selama penyimpanan. Jika dikaitkan dengan jenis kemasan yang digunakan, penurunan organoleptik konsistensi bumbu dasar merah yang dikemas dalam plastik PP rigid 2 relatif lebih kecil dibandingkan dengan jenis plastik lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa panelis lebih menyukai konsistensi bumbu segar, tumis dan kukus yang disimpan dalam kemasan PP rigid 2. Hal ini diduga karena laju transmisi PP rigid 1 terhadap uap air yang relatif kecil mengakibatkan air tertahan di dalam bumbu dan air tersebut keluar dari bumbu karena kontak dengan udara, sehingga bumbu lebih cepat berair dibandingkan dengan bumbu yang disimpan pada PP rigid 2. Sedangkan bumbu yang disimpan pada PE fleksibel memang sudah berair selama penyimpanan.
3. Efektivitas Kemasan Selama Penyimpanan Efektifitas PP rigid 1 dalam menghambat penurunan kualitas bumbu dasar merah, baik segar, tumis dan kukus selama penyimpanan dilihat dari perubahanperubahan kualitas fisik, kimia, mikrobiologi, dan organoleptik yang terjadi pada bumbu tersebut. Perubahan-perubahan tersebut dibandingkan dengan kemasan yang selama ini digunakan untuk menyimpan bumbu (PP rigid 2 dan PE fleksibel). PP rigid 1 dikatakan efektif jika mampu menghambat perubahan kualitas lebih baik dibanding PP rigid 2 dan PE fleksibel. Berdasarkan kualitas fisik, penurunan nilai L dan oHue bumbu segar, tumis dan kukus pada tiap kemasan relatif sama. Hal ini menunjukkan perbedaan
36
kemasan tidak mempengaruhi degradasi warna yang terjadi pada bumbu selama penyimpanan. Berdasarkan kualitas kimia, kenaikan kadar air bumbu segar, tumis dan kukus yang dikemas dalam plastik PP rigid 1 relatif lebih kecil dibandingkan dengan jenis plastik lainnya. Begitu juga dengan nilai total asam. Kenaikan nilai total asam bumbu dasar merah yang dikemas dalam plastik PP rigid 1 relatif lebih kecil dibandingkan dengan jenis plastik lainnya. Penurunan kadar VRS bumbu segar yang paling besar terjadi pada bumbu segar yang disimpan dalam kemasan PE fleksibel. Bumbu tumis yang disimpan dalam PP rigid 1 mengalami perubahan kadar VRS relatif kecil, sedangkan bumbu kukus yang disimpan dalam PP rigid 1 mengalami perubahan kadar VRS relatif besar. Kualitas mikrobiologi bumbu dasar merah dilihat dari nilai total mikroba. Peningkatan total mikroba bumbu segar dan tumis yang dikemas PP rigid 1 relatif kecil, sedangkan slope peningkatan total mikroba bumbu kukus yang dikemas PP rigid 1 relatif tinggi. Kualitas organoleptik bumbu dasar merah mengalami penurunan selama penyimpanan. Penurunan penilaian organoleptik warna bumbu segar, tumis dan kukus yang dikemas dalam PP rigid 1 relatif lebih kecil. Penurunan penilaian organoleptik aroma bumbu segar dan tumis yang dikemas dalam plastik PP rigid 1 relatif lebih kecil dibandingkan dengan jenis plastik lainnya. Penurunan penilaian organoleptik konsistensi bumbu segar, tumis dan kukus yang dikemas dalam plastik PP rigid 2 relatif kecil. Perubahan yang paling berpengaruh terhadap kualitas bumbu dasar merah diantaranya adalah nilai kadar air dan total asam. Berdasarkan hasil analisis, perubahan nilai kadar air dan total asam bumbu segar, tumis dan kukus yang disimpan dalam plastik PP rigid 1 lebih kecil dibandingkan jenis plastik lainnya. Oleh karena itu, PP rigid 1 lebih efektif menghambat perubahan kualitas bumbu segar, tumis dan kukus selama penyimpanan dibandingkan dengan jenis plastik lainnya. Kekurangan PP rigid 1 di dalam menjaga konsistensi bumbu segar, tumis dan kukus bisa diatasi dengan cara melakukan pemanasan ulang terhadap bumbu yang akan dikonsumsi.
37
V. A.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Bumbu dasar merah tersusun dari cabai merah, bawang merah dan bawang
putih. Tahapan proses pembuatan bumbu dasar merah meliputi sortasi bahan, pengupasan dan pencucian, penimbangan serta penggilingan. Pengawetan bumbu dapat dilakukan dengan cara penumisan dan pengukusan. Bumbu segar memiliki ciri berwarna merah terang, bau khas cabai dan konsistensi kental. Sedangkan warna bumbu tumis adalah kuning terang dan bumbu kukus merah keoranyean. Bumbu segar memiliki kadar air 71,12 %. Proses penumisan menyebabkan penurunan kadar air bumbu tumis menjadi 70,18 %. Sedangkan proses pengukusan menyebabkan peningkatan kadar air bumbu kukus menjadi 80,12 %. Kadar abu bumbu segar, tumis dan kukus pada awal penyimpanan memiliki nilai yang relatif sama (± 5 %). Bumbu segar mengandung protein (24,61 %) relatif lebih tinggi daripada bumbu tumis dan kukus (9,04 dan 13,66 %). Proses pemanasan (penumisan dan pengukusan) menyebabkan peningkatan nilai kecerahan (nilai L) dan oHue warna bumbu dasar merah berturut-turut dari 44 ke 60 dan 53o ke 75o (untuk bumbu tumis) dan 44 ke 51 dan 53o ke 73o (untuk bumbu kukus). Berdasarkan nilai aw dan pH (0,705; 5,96), jenis mikroorganisme yang terdapat di dalam bumbu segar diduga adalah kapang serofilik. Nilai aw dan pH bumbu tumis dan kukus berturut-turut adalah 0,876; 5,89 dan 0,836; 5,87, jenis mikroorganisme yang tumbuh diduga adalah kapang. Bumbu segar memiliki nilai VRS 1151,17 μ.eq/g. Setelah penumisan dan pengukusan terjadi penurunan kadar VRS, yaitu 312,29 dan 281,83 μ.eq/g. Total mikroba bumbu segar mencapai 4 log koloni/g. Proses penumisan dan pengukusan menyebabkan penurunan jumlah total mikroba bumbu dasar merah ke 2 log koloni/g (untuk bumbu tumis) dan ke 1 log koloni/g (untuk bumbu kukus). Karakteristik dari bahan pengemas bumbu yaitu: luas permukaan dan ketebalan dari kemasan PP rigid 1, PP rigid 2, PE fleksibel secara berturut-turut yaitu 2235,6 cm2 dan 0,187 cm; 2092,5 cm2 dan 0,150 cm; 1360 cm2 dan 0,004 cm. Perbedaan luas permukaan dan ketebalan ini menyebabkan perbedaan
permeabilitas kemasan terhadap oksigen dan uap air. PP rigid 1 yang memiliki luas permukaan dan ketebalan terbesar menyebabkan laju transmisi oksigen dan uap airnya lebih rendah dibandingkan PP rigid 2 dan PE fleksibel, sehingga bumbu yang disimpan pada kemasan PP rigid 1 relatif lebih stabil dibandingkan dengan bumbu yang disimpan pada kemasan lain. Dilihat dari kualitas fisik, penurunan nilai L dan oHue bumbu segar, tumis dan kukus pada tiap kemasan relatif sama. Berdasarkan kualitas kimia, kenaikan kadar air bumbu segar, tumis dan kukus yang dikemas dalam plastik PP rigid 1 relatif lebih kecil dibandingkan dengan jenis plastik lainnya. Begitu juga dengan nilai total asam. Penurunan kadar VRS bumbu segar yang paling besar terjadi pada bumbu segar yang disimpan dalam kemasan PE fleksibel. Bumbu tumis yang disimpan dalam PP rigid 1 mengalami perubahan kadar VRS relatif kecil, sedangkan bumbu kukus yang disimpan dalam PP rigid 1 mengalami perubahan kadar VRS relatif besar. Kualitas mikrobiologi bumbu dasar merah dilihat dari nilai total mikroba. Peningkatan total mikroba bumbu segar dan tumis yang dikemas PP rigid 1 relatif kecil, sedangkan slope peningkatan total mikroba bumbu kukus yang dikemas PP rigid 1 relatif tinggi. Hasil analisa perubahan mutu yang paling berpengaruh terhadap kualitas bumbu dasar merah, yakni kadar air dan total asam membuktikan bahwa bumbu segar, tumis dan kukus lebih baik disimpan pada kemasan PP rigid 1. Namun analisa perubahan mutu tidak sesuai dengan penilaian organoleptik konsistensi. Dari hasil penilaian organoleptik konsistensi, bumbu segar, tumis dan kukus yang lebih diminati adalah yang disimpan pada PP rigid 2.
B.
Saran Berdasarkan hasil penelitian, saran yang dapat diberikan antara lain adalah
1.
Pembuatan bumbu dilakukan hanya untuk masa simpan satu minggu.
2.
Agar dapat bertahan lebih lama, bumbu yang disimpan lebih baik dalam keadaan segar.
3.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dalam mencari dan menerapkan teknik-teknik pengawetan lain (sterilisasi otoklaf, ultraviolet dan cara
39
sterilisasi lain, serta pemberian garam) yang lebih baik dalam mempertahankan kesegaran bumbu dasar merah. 4.
Kekurangan PP rigid 1 di dalam menjaga konsistensi bumbu segar, tumis dan kukus bisa diatasi dengan cara melakukan pemanasan ulang terhadap bumbu yang akan dikonsumsi.
40
DAFTAR PUSTAKA AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of The Asosiation Official Analytical Chemist. Washington DC. USA. Arnold. 1976. Microbiological Laboratory Techniques. D. C. Heath and Company, Lexington. Choirudin, R. 2005. Resep Praktis Dengan Bumbu Dasar Merah. Gramedia, Jakarta. Desrosier, N.W. 1988. The Technology of Food Preservation. Terjemahan. Muchji Muljohardjo. Teknologi Pengawetan Pangan.. UI Press, Jakarta. Dewanti, R. 1984. Pengaruh Bubuk Cabe Merah (Capsicum annum, L) Terhadap Pertumbuhan Beberapa Bakteri Penyebab Kerusakan Pangan. Makalah Khusus-Fateta, IPB, Bogor. Eskin, N. A. M., H. M. Henderson, and R. J. Townsend. 1971. Biochemistry of Foods. Academic Press: New York Fardiaz, S. 1992. Petunjuk Laboratorium Mikrobiologi Pengolahan Pangan. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Farrel, K.T. 1990. Spcies, Condiments and Seasonings. Second Edition. Van Nostrand Reinhold, New York. Furia, T.E. 1968. Handbook of Food Additives. Florida : CRC Press Inc. Goodwin, F.W. 1976. Chemistry and Biochemistry of Plant Pigment II. Second Edition. Academic Press, San Fransisco. Hambali, E, M.Z. Nasution, S. Wiraatmadja, Y. Koerniawan dan M. Nabil. 1988. Pengantar Pengemasan. Edisi II. Laboratorium Pengemasan, Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Heath, H.B. dan G. Reineccius. 1986. Flavor Chemistry and Technology. Van Nostrand Reinhold Company, New York. Hui, Y.H. 1991. Encyclopedia Of Food Science and Technology. Vol III. Hutchings, J.B. 1999. Food Color and Appearance. Second Edition. Aspen Publishers, Inc. Gaithersburg, Maryland. Jenie, B.S.L. 1988. Sanitasi Dalam Industri Pangan. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Ketaren, S. 1986. Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI Press, Jakarta. Muchtadi, T.R. 1989. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nur, S.A. dan B. Satiawiharja. 1999. Pengaruh Proses Termal dan Penyimpanan Terhadap Sifat Fisika Kimia Minuman Temulawak. Buletin Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan. Vol. 4 No.1 Tahun 1999. Paine, F. 1987. Modern Processing, Packaging and Distribution Systems For Food. Blackie and Son Ltd. New York. Pantastico, Er.B. 1986. Post Harvest Physiology, Handling and Utilization of Tropical and Sub-Tropical Fruits and Vegetables. Terjemahan. Kamariyani. 1975. Fisiologi Pasca Panen, Penanganan dan Pemanfaatan Buah-Buahan dan Sayur-Sayuran Tropika dan Subtropika. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Prajnanta, F. 2002. Agribisnis Cabai Hibrida. Penebar Swadaya, Jakarta. Pramono, A.I. 1985. Mempelajari Penambahan Cita Rasa Pada Tahu dan Retensinya Setelah Pemasakan dan Penyimpanan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pruthi, J.S. 1979. Spices and Condiment, Chemistry, Microbiology and Technology. Academic Press, New York. Purseglove, J.W., E.G Brown, C.L. Green dan S.R.J. Robbins. 1981. Spices Vol I. Longman, London. Quast, D.G and R.O.T. Neto. 1976. Moisture Problem Of Foods In Tropical Climates. Food technology 39 : 98-105. Ranggana. 1977. Manual Analysis of Fruits and Vegetables Product. Tata Mc Graw Hill Co., Ltd., New Delhi. Robertson, G.L. 1993. Food Packaging : Principles and Practice. Marcel Dekker Inc., New York. Rokayah, N. 2001. Pengaruh Penambahan Garam, Gula dan Cara Sterilisasi Terhadap Umur Simpan Bumbu Masak Siap Pakai. Skripsi. Teknologi Industri Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Rustama, Sri, Joko dan Ratu. 2005. Uji Aktivitas Antibakteri Dari Ekstrak Air dan Etanol Bawang Putih (Allium sativum L.) Terhadap Bakteri Gram negatif dan Gram Positif. Biotika. Sikorski, Z.E. 2001. Chemical and Functional Properties Of Food Proteins. Technomics Publishing Co., Inc. Lancaster, Basel. Siregar, P.S.B. 1998. Aktivitas Antimikroba Bumbu Segar Masakan Tradisional Indonesia Terhadap Mikroba Patogen dan Perusak Makanan. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Soekarto, S.T. 1985. Penilaian Organoleptik Untuk Industri Pangan. Bharata Karya Aksara, Jakarta. Sudarmadji, S, B. Haryono dan Suhardi. 1984. Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Penerbit Liberty, Jakarta. Supardi, I dan Sukamto. 1999. Mikrobiologi Dalam Pengolahan dan Keamanan Pangan. Alumni, Bandung. Syarief, R. dan A. Irawati. 1988. Pengetahuan Bahan Bagi Untuk Industri Pertanian. Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta. Syarief, R., S. Santawa dan S. Isyara. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Syarief, R. dan Y. Halid. 1993. Teknologi Pengemasan Pangan. Arcan, Bandung. Wibowo, S. 1999. Budidaya Bawang Putih, Merah dan Bombay. Penebar Swadaya, Jakarta. Winarno, F.G., S. Fardiaz dan D. Fardiaz. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. PT. Gramedia Jakarta. Winarno, F.G. dan B.S.L. Jenie. 1983. Kerusakan Bahan Pangan dan Cara Pencegahannya. Ghalia Indonesia, Jakarta.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Prosedur analisa 1.
Pengukuran Total Mikroba (Fardiaz, 1989)
Prinsip Jika sel mikroba yang masih hidup ditumbuhkan pada medium agar, maka sel mikroba tersebut akan berkembang biak dan membentuk koloni yang dapat dihitung langsung dengan mata tanpa menggunakan mikroskop. Total mikroba dapat ditentukan dengan menggunakan “Standard Plate Count” (SPC). Contoh sebanyak 1 g dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi 9 ml larutan pengencer steril (garam fisiologis 0,85%, fosfat buffer, Ringer). Dari campuran itu diperoleh pengenceran 10-1. Campuran dikocok kemudian ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 ml larutan pengencer steril ditambahkan 1 ml larutan dari tabung pertama sehingga diperoleh pengenceran 10-2. Dengan cara yang sama diperoleh pengenceran 10-3, 10-4 dan seterusnya. Selanjutnya, buat tiga tingkat pengenceran (10-3, 10-5, dan 10-7). Dari tingkat pengenceran yang dikehendaki, dilakukan pemupukan. Pada pemupukan dengan metode permukaan, digunakan agar steril Plate Count Agar (PCA). Agar steril Plate Count Agar (PCA) dibuat dengan formula 29,0 g/l aquades. Larutan PCA dipanaskan pada penangas air sampai penampakannya bening, kemudian disterilisasi dalam otoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit. Sebelum digunakan, PCA didinginkan sampai suhu 45oC. PCA terlebih dahulu dituangkan ke dalam cawan petri steril dan dibiarkan membeku. Setelah membeku dengan sempurna, kemudian sebanyak 0,1 ml contoh yang telah diencerkan dipipet pada permukaan agar tersebut. Sebuah batang gelas melengkung (hockey stick) dicelupkan ke dalam alkohol 95 % dan dipijarkan sehingga alkohol habis terbakar. Setelah dingin, batang gelas tersebut digunakan untuk meratakan contoh di atas medium agar dengan cara memutarkan cawan petri di atas meja. Selanjutnya cawan tersebut diinkubasikan dalam inkubator dengan posisi terbalik pada suhu 30-32oC selama 2-3 hari. Setelah akhir masa inkubasi, koloni yang terbentuk dihitung dengan menggunakan “Quebec Colony Counter”. Ketelitian akan lebih tinggi jika dilakukan pemupukan secara duplo,
yaitu menggunakan dua cawan petri untuk setiap pengenceran. Total mikroba dapat dihitung dengan menggunakan rumus : Total mikroba (koloni/g) = A x
0,1 f.p
dimana, A = jumlah koloni pada cawan f.p = faktor pengencer 2.
Kadar Air (AOAC, 1995) Penentuan kadar air dilakukan dengan metode distilasi. Metode ini
digunakan untuk bahan-bahan yang mengandung lemak dan komponen-komponen yang mudah menguap selain air. Prinsip Air dikeluarkan dari sampel dengan cara distilasi azeotropik kontinyu dengan menggunakan pelarut non polar. Air dikumpulkan dalam tabung penerima dan volume air yang terkumpul dapat diketahui. Karena berat jenis pelarut lebih kecil dari berat jenis air, maka air selalu berada di bawah pelarut dan pelarut akan kembali ke labu didih. Botol pyrex Bidwell-Sterling 250 ml disambungkan dengan penerima air ke 500 mm kondenser Liebeg. Penerima berkapasitas 5 ml dikalibrasi dengan mengetahui jumlah air yang masuk kolom dan mengetahui kolom air untuk 0,01 ml. Tabung penerima dan kondensor dibersihkan dengan campuran pembersih asam kromat, dibilas seluruhnya dengan air, kemudian 0,5 N alkohol KOH dan dikeringkan di oven 10 menit untuk mencegah jumlah air yang lewat batas masuk ke permukaan dalam selama penentuan kadar air. Sebelum dikeringkan, sambungan penahan diputus dari kondensor, agar tetap kering. Jika sampel mudah mengembang, abu kering ditambahkan di permukaan bawah labu. Toluene ditambahkan untuk menutupi sampel secara sempurna (75 ml). Sampel ditimbang 40 g dan dicampurkan ke dalam toluene untuk memberikan 2-5 ml air dan peralatan disambungkan. Tabung penerima diisi dengan toluene, dimasukkan dari puncak kondensor. Dididihkan dan disuling perlahan, 2 tetes/detik, sampai semua air melewati; kemudian kecepatan
45
ditingkatkan menjadi 4 tetes/detik. Dilanjutkan sampai 15 menit menunjukkan tidak ada perubahan. Setelah semua air sudah habis, kondensor dicuci dengan menuangkan toluene dari puncak kondensor, dilanjutkan dengan distilasi jangka pendek untuk melihat apakah ada air yang terdistilasi; jika ada, proses pencucian diulangi. Jika ada sisa air di kondensor, dihilangkan dengan menyikat memakai tabung sikat yang diikat ke kawat Cu dan jenuhkan dengan 5 ml toluene. Distilasi dilanjutkan selama 3 sampai 5 menit. Tabung penerima diletakkan pada suhu ruang. Jika ada tetes yang masih menempel pada tabung, dipaksa untuk turun, menggunakan kawat Cu dengan dibungkus dengan tali karet, pelarut dan air. Larutan dan lapisan air seharusnya jernih; jika tidak, dibiarkan sampai kejernihan terjadi. Volume air dibaca diperkirakan mendekati 0,01 mL dan dihitung dengan persentase. Kadar Air (%) = Volume air yang terdistilasi
x 100%
Jumlah sampel yang diambil (g)
3.
Pengukuran Aktivitas Air (Aw) (AOAC, 1995)
Prinsip Pengukuran aktivitas air digunakan untuk mengetahui jenis mikroba apa saja yang tumbuh pada bahan. Alat yang digunakan adalah Aw-meter Shibaura WA-360. Contoh diletakkan di dalam cawan sensor. Hal ini dilakukan secepat mungkin untuk menghindari penyerapan air. Kemudian cawan sensor dimasukkan ke dalam sensor Aw-meter dan tombol start ditekan untuk memulai pengukuran. Sebelum pengukuran sampel dilakukan kalibrasi alat dengan larutan NaCl jenuh.
4.
Pengukuran Total Asam (Ranggana, 1977)
Prinsip Total asam pada buah dan sayuran dapat ditetapkan melalui titrasi asam-alkalimetri, di mana contoh dihancurkan dan disaring untuk mendapatkan filtratnya. Melalui filtrat tersebut total asam pada buah/sayuran dapat diketahui dengan cara dititrasi oleh NaOH.
46
R – COOH + NaOH → R – COONa + H2O Bahan ditimbang sebanyak 10 g kemudian dihaluskan. Setelah itu dimasukkan ke dalam labu ukur 250 ml, kemudian ditepatkan hingga tanda tera dengan menambahkan air suling. Selanjutnya dilakukan penyaringan dengan kapas. Filtrat yang diperoleh sebanyak 25 ml dititrasi dengan larutan NaOH 0,01 N dengan indikator PP sebanyak 3 tetes hingga timbul warna merah muda pada akhir titrasi. Perhitungan total asam tertitrasi dilakukan dengan menggunakan rumus : Total asam = V x N x P x 100 B Dimana, V = volume NaOH 0,01 N yang terpakai (liter) N = normalitas NaOH setelah distandarisasi P = pengenceran B = berat bahan
5.
Pengukuran pH (Apriyantono, et al., 1989)
Prinsip Menurut Banwart (1989), bahan makanan dengan pH yang lebih besar dari 5,3 termasuk dalam golongan makanan berasam rendah. Menurut Fardiaz (1992), bakteri pada umumnya mulai terhambat pertumbuhannya pada pH di bawah 5,0 dan di atas 8,5. Bakteri tidak dapat tumbuh pada pH kurang dari 4,0 (Fardiaz, 1989). Pengukuran
pH
dilakukan
dengan
menggunakan
pH-meter
yang
sebelumnya telah dikalibrasi menggunakan dua buah buffer. Buffer yang digunakan adalah buffer pH 4 dan pH 7. Caranya ialah dengan menimbang 10 gram sampel, lalu ditambahkan 10 ml air. Campuran ini kemudian diaduk sampai rata, lalu batang pengukur pH dicelupkan ke dalam campuran tersebut dan dibaca nilai pH yang terukur.
47
6.
Pengukuran kadar VRS (AOAC, 1995) Sebanyak 1 g contoh dimasukkan ke dalam labu aerasi VRS apparatus dan
ditambahkan 10 ml air destilasi dan 10 ml KMnO4 0,02 N. Alat VRS dipasang selama lebih kurang 40 menit. Kemudian ke dalam tabung aerasi tersebut segera ditambahkan 5 ml H2SO4 6 N dan 3 ml KI 20 %. Isi labu aerasi dituangkan ke dalam erlenmeyer, labu dibilas dengan air destilasi, air bilasan dituangkan juga ke dalam erlenmeyer. Titrasi dilakukan dengan menggunakan larutan natrium tiosulfat 0,02 N dan indikator larutan kanji, yang ditambahkan pada akhir penitaran (setelah larutan menjadi kuning). Titrasi dihentikan apabila warna biru hilang. Lakukan juga terhadap blanko. μ eq./g contoh = (a-b) ml x N Na-tiosulfat x 1000 dimana : a = ml titran yang digunakan untuk menitrasi blanko b = ml titran yang digunakan untuk menitasi contoh N = normalitas Na-tiosulfat
7.
Bilangan Peroksida (AOAC, 1995)
Prinsip Asam lemak tidak jenuh yang mempunyai ikatan rangkap yang terdapat dalam minyak/lemak dapat mengikat oksigen pada ikatan rangkapnya sehingga membentuk peroksida. Jika sejumlah minyak/lemak dilarutkan dalam campuran asam asetat dan kloroform (3:2) yang mengandung KI, maka akan terjadi pelepasan iod yang selanjutnya dititrasi oleh natrium tiosulfat. CH
CH
CH
CH
+ H+
On
+ +
KI
Na2S2O3
CH
CH
O
O
CH
CH
O
O
O
I2
+ O2
I2
+
2 NaI +
+ On
K2O Na2S4O6
48
Sebanyak 5 gram contoh dilarutkan dalam 30 ml larutan campuran asam asetat glasial dan kloroform (3:2). Setelah semua minyak larut, kemudian ditambahkan larutan KI jenuh sebanyak 0,5 ml sambil terus dikocok. Selanjutnya ditambahkan 30 ml air destilata, kemudian dititrasi dengan natrium tiosulfat 0,1N dengan indikator kanji. Blanko dibuat dengan cara yang sama. Bilangan peroksida dapat dihitung dengan menggunakan rumus : Bilangan peroksida (mg O2/100 g contoh) = (S-B) x N x 8 x 100 G S = ml penitar untuk contoh B = ml penitar untuk blanko N = konsentrasi penitar 8
= ½ BM oksigen
G = berat contoh 8.
Analisa Warna (Metode Hunter) Colorimeter ditampilkan dengan ruang iluminasi yang terkendali ketat dan
hanya menampilkan respon spektrum rata-rata dari area sampel. Analisa ini mempergunakan alat bantu penilai warna, Colortec. Pengukuran dilakukan dengan menyebarkan sampel secara merata pada permukaan datar, dimana sebaran sampel rapat dan tidak terdapat celah untuk masuknya cahaya. Alat pembaca Colortec ditempatkan diatas sebaran sampel secara mendatar dan optik harus tertutup sampel secara sempurna. Apabila ada cahaya masuk dari sisi samping optik, maka nilai pembacaan alat menjadi tidak akurat. Dari hasil pengukuran didapat nilai L, a dan b yang tampak pada layar. Nilai L yang tinggi menunjukkan warna semakin cerah. Nilai a positif menunjukkan kecenderungan warna merah dan a negatif menunjukkan kecenderungan warna hijau. Nilai b positif menunjukkan kecenderungan warna biru dan nilai b negatif menunjukkan warna kuning. oH menunjukkan warna sampel. Warna Red purple Red Yellow Red Yellow Yellow green
o
Hue 342º-18º 18º-54º 54º-90º 90º-126º 126º -162º
Warna Green Blue green Blue Blue purple Purple
o
Hue 162º -198º 198º -234º 234º -270º 270º -306º 306º -342º
49
9.
Uji Organoleptik (Soekarto, 1985) Uji organoleptik pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan uji
mutu hedonik. Uji mutu hedonik ini dinyatakan dalam bentuk besaran skalar atau dalam bentuk skala numerik. Besaran skalar digambarkan dalam bentuk garis lurus berarah dengan pembagian skala dengan jarak yang sama. Kisaran nilai dalam uji ini 1-10. Dalam pengujian, panelis diminta menyatakan besaran kesan dengan menempatkannya pada suatu lokasi di garis skalar. Caranya dengan membuat tanda berupa garis vertikal atau tanda X pada titik di garis skalar. Data penilaian uji skalar dapat dinyatakan dengan angka yang kemudian dihitung rataratanya. Faktor yang dinilai dalam uji mutu hedonik bumbu segar, tumis dan kukus adalah warna, aroma/ketengikan dan konsistensi. Form uji organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 3.
50
Lampiran 2. Rekapitulasi data analisa fisik, kimia, mikrobiologi dan organoleptik bumbu dasar merah Y = ax + b Parameter TPC in ln x Kadar air aw Total asam pH Kecerahan (nilai L) Warna (ºHue) Warna Aroma Konsistensi
Perlakuan PP rigid 1 PP rigid 2 PE fleksibel PP rigid 1 PP rigid 2 PE fleksibel PP rigid 1 PP rigid 2 PE fleksibel PP rigid 1 PP rigid 2 PE fleksibel PP rigid 1 PP rigid 2 PE fleksibel PP rigid 1
A 0.270 0.157 0.464 0.873 1.051 0.985 0.016 0.022 0.017 0.627 1.302 0.903 -0.038 -0.014 -0.060 -0.477
Bumbu segar B 3.483 3.375 3.030 72.013 70.517 70.828 0.715 0.674 0.726 35.096 39.274 40.928 5.924 6.007 5.959 42.639
R2 0.95 0.95 0.96 0.87 0.88 0.86 0.90 0.91 0.91 0.90 0.86 0.85 -0.91 -0.93 -0.93 -0.91
PP rigid 2 PE fleksibel PP rigid 1
-0.487 -0.485 -0.846
44.058 44.031 51.451
-0.93 -0.93 -0.84
PP rigid 2 PE fleksibel PP rigid 1 PP rigid 2 PE fleksibel PP rigid 1 PP rigid 2 PE fleksibel PP rigid 1 PP rigid 2 PE fleksibel
-0.931 -0.908 -0.212 -0.328 -0.370 -0.269 -0.272 -0.296 -0.258 -0.223 -0.272
54.481 53.232 7.915 7.726 8.180 7,699 7.593 7.640 8.768 8.525 8.442
-0.84 -0.85 -0.97 -0.98 -0.98 -0.95 -0.97 -0.96 -0.94 -0.92 -0.92
a 0.064 0.173 0.240 0.242 -0.569 -0.420 -0.007 -0.008 -0.007 1.096 1.468 1.078 -0.005 -0.006 -0.005
Bumbu tumis b 1.874 1.800 1.654 65.087 70.976 70.657 0.869 0.884 0.876 39.470 40.313 39.287 5.896 5.897 5.885
R2 0.93 0.93 0.97 0.88 -0.86 -0.85 -0.91 -0.91 -0.91 0.91 0.85 0.86 -0.93 -0.93 -0.93
a 0.334 0.175 0.235 0.225 0.242 0.285 -0.006 -0.007 -0.007 0.960 1.683 1.005 -0.018 -0.008 -0.006
Bumbu kukus B 0.419 0.259 0.340 80.958 79.152 80.247 0.800 0.844 0.864 38.814 38.086 38.957 5.907 5.859 5.854
R2 0.96 0.96 0.93 0.86 0.85 0.88 -0.89 -0.89 -0.88 0.87 0.87 0.88 -0.92 -0.93 -0.92
-0.153 -0.178 -0.192
59.852 60.105 59.584
-0.92 -0.90 -0.92
-0.194 -0.242 -0.229
50.809 50.981 50.881
-0.90 -0.91 -0.91
-0.076 -0.057 -0.037 -0.256 -0.258 -0.349 -0.305 -0.382 -0.389 -0.285 -0.228 -0.324
75.407 75.229 75.004 8.591 8.573 8.962 8.457 8.685 8.720 8.893 8.556 8.081
-0.87 -0.84 -0.84 -0.96 -0.96 -0.97 -0.96 -0.96 -0.96 -0.93 -0.94 -0.93
-0.316 -0.209 -0.078 -0.270 -0.271 -0.371 -0.382 -0.412 -0.313 -0.360 -0.345 -0.408
73.459 73.222 73.203 8.573 8.694 8.981 8.911 9.342 8.555 8.661 8.399 8.323
-0.87 -0.85 -0.85 -0.96 -0.98 -0.97 -0.98 -0.98 -0.97 -0.94 -0.94 -0.94
51
Lampiran 3. Form uji organoleptik Bahan : Bumbu Segar
Tanggal Pengamatan : ......................................
Nama Panelis : ...................................... Petunjuk : Berilah tanda silang (X) pada garis sesuai dengan respon yang ditimbulkan untuk masing – masing parameter dengan keterangan nilai sebagai berikut : 456 Warna
2 : 1 Tidak cerah (coklat) 2 Aroma : 1 Sangat asam 2 Konsistensi : 1 Sangat encer 2 Penerimaan umum : 1 Sangat tidak suka
567 Warna
2 : 1 Tidak cerah (coklat) 2 Aroma : 1 Sangat asam 2 Konsistensi : 1 Sangat encer 2 Penerimaan umum : 1 Sangat tidak suka
321 Warna
2 : 1 Tidak cerah (coklat) 2 Aroma : 1 Sangat asam 2 Konsistensi : 1 Sangat encer 2 Penerimaan umum : 1 Sangat tidak suka
3
4
5
6
7
8
9
3
4
5
6
7
8
3
4
5
6
7
8
9
3
4
5
6
7
8
9
10
merah terang 9
10
khas cabai 10
kental 10
sangat suka 3
4
5
6
7
8
9
3
4
5
6
7
8
3
4
5
6
7
8
9
3
4
5
6
7
8
9
10
merah terang 9
10
khas cabai 10
kental 10
sangat suka 3
4
5
6
7
8
9
3
4
5
6
7
8
3
4
5
6
7
8
9
3
4
5
6
7
8
9
10
merah terang 9
10
khas cabai 10
kental 10
sangat suka
52
Bahan : Bumbu Tumis
Tanggal Pengamatan : ......................................
Nama Panelis : ...................................... Petunjuk : Berilah tanda silang (X) pada garis sesuai dengan respon yang ditimbulkan untuk masing – masing parameter dengan keterangan nilai sebagai berikut : 654 Warna
2 : 1 Kuning pucat 2 Ketengikan : 1 Sangat tengik 2 Konsistensi : 1 Sangat encer 2 Penerimaan umum : 1 Sangat tidak suka
765 Warna
2 : 1 Kuning pucat 2 Ketengikan : 1 Sangat tengik 2 Konsistensi : 1 Sangat encer 2 Penerimaan umum : 1 Sangat tidak suka
123 Warna
2 : 1 Kuning pucat 2 Ketengikan : 1 Sangat tengik 2 Konsistensi : 1 Sangat encer 1 2 Penerimaan umum : Sangat tidak suka
3
4
5
6
7
8
9
3
4
5
6
7
8
3
4
5
6
7
8
9
3
4
5
6
7
8
9
10
kuning terang 9
10
khas cabai 10
kental 10
sangat suka 3
4
5
6
7
8
9
3
4
5
6
7
8
3
4
5
6
7
8
9
3
4
5
6
7
8
9
10
kuning terang 9
10
khas cabai 10
kental 10
sangat suka 3
4
5
6
7
8
9
3
4
5
6
7
8
3
4
5
6
7
8
9
3
4
5
6
7
8
9
10
kuning terang 9
10
khas cabai 10
kental 10
sangat suka
53
Bahan : Bumbu Kukus
Tanggal Pengamatan : ......................................
Nama Panelis : ...................................... Petunjuk : Berilah tanda silang (X) pada garis sesuai dengan respon yang ditimbulkan untuk masing – masing parameter dengan keterangan nilai sebagai berikut : 456 Warna
2 : 1 merah pucat 2 Aroma : 1 Sangat asam 2 Konsistensi : 1 Sangat encer 2 Penerimaan umum : 1 Sangat tidak suka
567 Warna
2 : 1 merah pucat 2 Aroma : 1 Sangat asam 2 Konsistensi : 1 Sangat encer 2 Penerimaan umum : 1 Sangat tidak suka
321 Warna
2 : 1 merah pucat 2 Aroma : 1 Sangat asam 2 Konsistensi : 1 Sangat encer 1 2 Penerimaan umum : Sangat tidak suka
3
4
5
6
7
8
9
3
4
5
6
7
8
3
4
5
6
7
8
9
3
4
5
6
7
8
9
10
merah keoranyean 9
10
khas cabai 10
kental 10
sangat suka 3
4
5
6
7
8
9
3
4
5
6
7
8
3
4
5
6
7
8
9
3
4
5
6
7
8
9
10
merah keoranyean 9
10
khas cabai 10
kental 10
sangat suka 3
4
5
6
7
8
9
3
4
5
6
7
8
3
4
5
6
7
8
9
3
4
5
6
7
8
9
10
merah keoranyean 9
10
khas cabai 10
kental 10
sangat suka
54
Lampiran 4. Perhitungan karakteristik kemasan Tabel 10. Koefisien permeabilitas P (cm3 cm cm-2 s-1 Pa-1) polimer terhadap gas dan air Polimer Polipropilen
Permean
T˚C
P x 10-13
O2 H2O
30 30
1,7 51,0
O2 H2O
30 30
5,18 21
Polietilen (LDPE) Sumber : Piringer dan Baner (2000)
PP rigid 1 1. Oxygen Transmission Rate (O2TR) O2TR (cm3/hari) = Ai x Ji = Ai x Px ΔP d PPP1 = 1,7 x 10-13 cm3 cm cm-2 s-1 Pa-1 x 8,75 x 1013 cm3 cm m-2 hari-1 atm-1 1 cm3 cm cm-2 s-1 Pa-1 = 14,88 cm3 cm m-2 hari-1 atm-1 x m2 10000 cm2 = 1,488 x 10-3 cm3 cm cm-2 hari-1 atm-1 O2TR PP rigid 1 = 2235,6 cm2 x 1,488 x 10-3 cm3 cm cm-2 hari-1 atm-1x 0,21 atm – 0 0,187 cm 3 = 3,726 cm /hari 2. Water Vapor Transmission Rate (WVTR) WVTR (cm3/hari) = Ai x Ji = Ai x Px ΔP d -13 3 -2 -1 -1 PPP = 51 x 10 cm cm cm s Pa x 8,75 x 1013 cm3 cm m-2 hari-1 atm-1 1 cm3 cm cm-2 s-1 Pa-1 3 -2 -1 -1 2 = 446,25 cm cm m hari atm x m 10000 cm2 = 4,4625 x 10-2 cm3 cm cm-2 hari-1 atm-1 WVTR PP rigid 2 = 1550.5 cm2 x 4.4625 x 10-2 cm3 cm cm-2 hari-1 atm-1x 0.21 atm – 0 0.187 cm = 111,787 cm3/hari
55
PP rigid 2 1. Oxygen Transmission Rate (O2TR) O2TR (cm3/hari) = Ai x Ji = Ai x Px ΔP d PPP2 = 1,7 x 10-13 cm3 cm cm-2 s-1 Pa-1 x 8,75 x 1013 cm3 cm m-2 hari-1 atm-1 1 cm3 cm cm-2 s-1 Pa-1 = 14,88 cm3 cm m-2 hari-1 atm-1 x m2 10000 cm2 = 1,488 x 10-3 cm3 cm cm-2 hari-1 atm-1 O2TR plastik PP rigid 2 = 2092,5 cm2 x 1,488 x 10-3 cm3 cm cm-2 hari-1 atm-1x 0,21 atm – 0 0,150 cm 3 = 4,356 cm /hari 2. Water Vapor Transmission Rate (WVTR) WVTR (cm3/hari) = Ai x Ji = Ai x Px ΔP d -13 3 -2 -1 -1 PPP2 = 51 x 10 cm cm cm s Pa x 8,75 x 1013 cm3 cm m-2 hari-1 atm-1 1 cm3 cm cm-2 s-1 Pa-1 3 -2 -1 -1 2 = 446,25 cm cm m hari atm x m 10000 cm2 =4,4625 x 10-2 cm3 cm cm-2 hari-1 atm-1 WVTR PP rigid 2 = 2092,5 cm2 x 4,4625 x 10-2 cm3 cm cm-2 hari-1 atm-1x 0,21 atm – 0 0,150 cm 3 = 130,684 cm /hari
PE fleksibel 1. Oxygen Transmission Rate (O2TR) O2TR (cm3/hari) = Ai x Ji = Ai x Px ΔP d PPE = 5,18 x 10-13 cm3 cm cm-2 s-1 Pa-1 x 8,75 x 1013 cm3 cm m-2 hari-1 atm-1 1 cm3 cm cm-2 s-1 Pa-1 3 -2 -1 -1 2 = 45,33 cm cm m hari atm x m 10000 cm2 = 4,533 x 10-3 cm3 cm cm-2 hari-1 atm-1
56
O2TR plastik PE rigid tidak kedap udara = 1360 cm2 x 4,533 x 10-3 cm3 cm cm-2 hari-1 atm-1x 0,21 atm – 0 0,002 cm 3 = 719,157 cm /hari 2. Water Vapor Transmission Rate (WVTR) WVTR (cm3/hari) = Ai x Ji = Ai x Px ΔP d PPE = 21 x 10-13 cm3 cm cm-2 s-1 Pa-1 x 8,75 x 1013 cm3 cm m-2 hari-1 atm-1 1 cm3 cm cm-2 s-1 Pa-1 = 813,75 cm3 cm m-2 hari-1 atm-1 x m2 10000 cm2 -2 3 -2 -1 =8,1375 x 10 cm cm cm hari atm-1 WVTR plastik polipropilen rigid kedap udara = 1360 cm2 x 8,1375 x 10-2 cm3 cm cm-2 hari-1 atm-1x 0,21 atm – 0 0,002 cm = 12911,500 cm3/hari
57
Lampiran 5. Gambar perubahan penampakan bumbu segar selama penyimpanan
PP rigid 1
H-1
H-7
H-14
PP rigid 2
H-1
H-7
H-14
PE fleksibel
H-1
H-7
H-14
58
Lampiran 6. Gambar perubahan penampakan bumbu tumis selama penyimpanan
PP rigid 1
H-1
H-7
H-14
PP rigid 2
H-1
H-7
H-14
PE fleksibel
H-1
H-7
H-14
59
Lampiran 7. Gambar perubahan penampakan bumbu kukus selama penyimpanan
PP rigid 1
H-1
H-7
H-14
PP rigid 2
H-1
H-7
H-14
PE fleksibel
H-1
H-7
H-14
60