Seminar Nasional Hasil Penerapan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat III 2016 P-ISSN: 2356-3176 E-ISSN: 2527-5658
Pembuatan Dan Pengujian Unjuk Kerja Ruang Pengasapan (Smooking Kiln) Ikan Lele Syamsul Bahri Widodo 1, T. Azuar Rizal2, Hamdani3, dan Razali Thaib4
ABSTRACT: Smoking the fish, to date, has never received serious attention from the local community that is engaged in the processing of fishery products, whereas the growth of the market for smoked fish products have relatively good prospects in the future. Therefore, the efforts to provide smoked fish is highly worth doing. It is also strongly supported by the availability of raw cultured fish by fishing groups in Kuala Langsa. In this activity, it has been created a fish smoking equipment with a capacity of 100 kg, with a size of 2m x 2m x 1.8m. Performance test of the smoking kiln is carried out using a sample of 50 kg catfish, smoked by biomass fuels namely, coconut shell (CSBF) and husk wood (HWBF). Variables measured in this test include temperature, change in weight of the fish, and change in weight of the fuel. The Test has shown that the room temperature reached 65-70oC after 1 hour of smoking with CSBF and HWBF. While the water content changes after the test has been running for 2 hours. The final water content of each smoked fish products are 47.4% and 37.6% for the use CSBF and HWBF respectively. The research has concluded that use of smoking kiln for given production capacity as well as the design and application in this activity, can be used as a reference in the efforts to increase the income of local community engaged in the field of fish processing. Keywords: Manufacture, performance, smoking kiln, catfish, coconut shell (CSBF), husk wood (HWBF) ABSTRAK: Pengasapan ikan sampai saat ini masih belum mendapatkan perhatian yang serius dari masyarakat lokal yang bergerak dalam bidang pengolahan hasil perikanan, padahal pertumbuhan pasar produk ikan asap mempunyai prospek yang relatif baik di masa mendatang. Oleh karena itu, upaya penyediaan ikan asap sangat layak dilakukan. Hal ini sangat didukung dengan ketersediaan bahan baku ikan hasil budidaya oleh kelompok nelayan Kuala Langsa. Pada kegiatan ini, telah dibuat satu unit alat pengasapan ikan berkapasitas 100 kg, dengan ukuran 2 m x 2 m x 1,8 m. Pengujian unjuk kerja ruang pengasapan dilakukan menggunakan sampel 50 kg ikan lele, yang diasap menggunakan bahan bakar biomassa yakni, tempurung kelapa (BBTK) dan sekam kayu (BBSK). Variabel yang diukur meliputi temperatur, perubahan berat ikan, dan perubahan berat bahan bakar. Pengujian telah memperlihatkan temperatur ruangan mencapai 65-70oC setelah 1 jam pengasapan dengan BBTK dan BBSK. Perubahan kandungan air terbesar terjadi setelah pengujian telah berjalan selama 2 jam. Kandungan air akhir pada ikan masing-masing adalah 47,4% menggunakan BBTK dan 37,6% menggunakan BBSK. Dari hasil penelitian telah dapat disimpulkan bahwa penggunaan ruang pengasapan pada kapasitas produksi sebagaimana hasil rancangan dan aplikasinya dalam kegiatan ini, dapat dijadikan sebagai rujukan dalam usaha peningkatan pendapatan masyarakat yang melakukan usaha dalam bidang pengolahan ikan. Kata Kunci: Pembuatan, unjuk kerja, ruang pengasapan, ikan lele, tempurung kelapa (BBTK), sekam kayu (BBSK)
Pendahuluan Kota Langsa adalah salah satu kota/kabupaten yang baru terbentuk berada dalam wilayah Provinsi Aceh, dengan ibukota Langsa, dengan luas wilayah 262,41 km2, yang terdiri dari 5 kecamatan, 34 Mukim, 66 Desa. Kebijakan Pemerintah Kota Langsa 1
Prodi Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Samudra (
[email protected] ) Prodi Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Samudra (
[email protected]) 3 Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala Banda Aceh (
[email protected]) 4 Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala Banda Aceh (
[email protected]) 2
C-689
Seminar Nasional Hasil Penerapan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat III 2016 P-ISSN: 2356-3176 E-ISSN: 2527-5658
terhadap sektor perikanan adalah mengupayakan peningkatan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan melalui peningkatan industri perikanan tangkap, budidaya, industri pengolahan dan industri kelautan yang bertumpu pada IPTEK dengan memperhatikan kelestariannya sebagai salah satu tulang punggung pembangunan ekonomi Kota Langsa yang berkelanjutan. Upaya-upaya untuk mendorong tumbuhnya sektor perikanan, baik perikanan tangkap maupun budidaya terus digalakkan. Pemerintah sadar, dengan berkembangnya sektor perikanan, akan membawa dampak terusan yang sangat positif terhadap pertumbuhan perekonomian Kota Langsa (Langsa 2007). Pada saat ini secara keseluruhan. produksi perikanan laut terbesar dihasilkan oleh nelayan Kecamatan Langsa Timur dan Kecamatan Langsa Barat, sedangkan produksi perikanan darat terbesar diproduksi dari Kecamatan Timur. Kendala yang dirasakan oleh para kelompok nelayan yang ada di Kota Langsa dalam meningkatkan nilai tambah dari perikanan laut dan darat antara lain: a. Kelompok nelayan Kuala Langsa belum mampu memasarkan produksi ikan laut langsung ke pasar besar karena tidak tersedianya pabrik es. b. Belum mampu meningkatkan nilai tambah dari perikanan laut karena belum adanya teknologi pengolahan ikan pasca panen. c. Jika dilakukan pengembangan unit pengolahan ikan terpadu, akan dihadapkan pada kendala ketersediaan energi listrik. Hal ini sudah sangat lama dirasakan oleh kelompok nelayan. Disisi lain, penyediaan energi listrik dengan jalan menyediakan generator listrik akan mengakibatkan mahalnya biaya produksi. Bertitik tolak dari kendala tersebut, maka pada pelaksanaan kegiatan program program HI-Link Universitas Samudra Tahun 2015, telah dilakukan pembuatan dan pengujian alat pengasapan ikan. Perencanaan, pembuatan dan pengujian ruang pengasapan ikan telah banyak dilakukan dalam usaha meningkatkan nilai tambah produksi ikan (Komolafe et al. 2011)(Oladipo et al. 2016). Adamu, I. G, dkk, telah melakukan desain dan konstruksi ruangan pengsapan ikan dengan tujuan meningkatkan performan ruang pengasapan yang telah ada. Modifikasi dilakukan pada ruang bakar dengan menambah lubang-lubang ventilasi, dan digunakan fan sebagai pemyedia udara dalam ruang bakar. Hasil pengujian diperoleh, kinerja ruang pengasapan yang dirancang dan dibuat mampu menurunkan kadar air ikan mencapai 11,46% dalam rentang waktu rata-rata 5 jam, dan berat akhir rata-rata ikan kering adalah 0,9827 Kg. Ditemukan bahwa ikan dapat disimpan untuk dua bulan sebelum menunjukkan tanda pembusukan.(Adamu, I. G., Kabri, H. U., Hussaini, I. D. And Mada, 2013). Oyerinde melakukan perencanaan dan pembualan ruang pengasapan dengan ukuran 700 × 800 × 1.500 mm terbuat dari stainless steel pada bagian dalam dan rangka baja ringan, bagian luar diisolasi dengan glasswool. Ruang pengasapan dirancang untuk dapat menggunakan bahan bakar biomasa serbuk gergaji dan ampas jagung. Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) digunakan sebagai sampel. Hasil pengujian menggunakan bahan bakar serbuk gergaji diperoleh temperatur ruang pengasapan sekitar 120 °C sampai 160°C, dan menggunakan bahan bakar ampas jagung temperatur ruang pengasapan diperoleh 150°C sampai 200°C. Waktu pengasapan 6-8 jam dan berat awal sampel 16 kg dengan kadar air awal 75%. Diperoleh kadar air akhir ikan sekitar 25% dengan tingkat kelembaban 20%. (Oyerinde and Ogunlowo 2013)
C-690
Seminar Nasional Hasil Penerapan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat III 2016 P-ISSN: 2356-3176 E-ISSN: 2527-5658
I.Magawata dan T. Musa, melakukan kajian karakteristik kualitas ikan hasil pengasapan panas menggunakan ruang pengapan produksi lokal. Variabel pengujian meliputi kehilangan berat dari sampel ikan, suhu, analisis kimia, sifat organoleptik dan lama pengasapan mengunakan bahan bakar arang kayu. Hasil pengujian disimpulkan, ruangan pengasapan yang digunakan memiliki performan lebih baik dibandingkan proses pengsapan tradisional. Persentase kandungan protein ikan hasil pengsapan berkisar pada (54,54 - 58,05), dan ikan hasil pengasapan mampu bertahan disimpan selama 5 minggu tanpa merubah warna dan rasa. (Magawata and Musa 2015) Emmanuel M.A. Melakukan perancangan, pembuatan dan pengujian ruang pengasapan dengan kapasitas pengasapan mencapai 210 kg. Sampel digunakan ikan lele jumbo, bahan bakar yang digunakan kayu. Dari hasil pengujian diperoleh temperatur operasional rata-rata adalah 80oC dan pengurangan kadar air dalam ikan mencapai 60%. (Adigio, Adeyemo, and Awosusi 2015). Pada penelitian ini telah dilakukan pembuatan dan pengujian ruang pengasapan ikan untuk kapasitas produksi 100 kg per batch. Pengujian dilakukan menggunakan sampel ikan lele dengan bahan bakar tempurung kelapa (BBTK) dan bahan bakar sekam kayu (BBSK). Pengujian ini ditujukan untuk mengetahui distribusi temperatur dalam ruang pengasapan, kebutuhan bahan bakar, dan kendungan air ikan akhir yang mampu diperoleh. Metode Penelitian Ruang pengasapan yang dibuat adalah tipe rumah dengan ukuran dengan ukuran panjang 2,4 m x lebar 1,81 m x tinggi 4,05 m. Ikan yang akan diasapkan diletakkan diatas 6 buah rak yang dipasang bertingkat. Masing-masing rak memiliki 1,2 m x 0,8 m x 0,1 m, sebagiaman diperlihatkan dalam Gambar 1. Penelitian dilaksanakan di Kuala Langsa pada bulan Juni 2016.
T4
T2
T1
Gambar 1:
Raung pengasapan ikan lele
Pada penelitian ini digunakan sampel 50 kg ikan lele, dengan bahan bakar bahan bakar tempurung kelapa (BBTK) dan bahan bakar sekam kayu (BBSK). Sebelum melakukan pengujian ikan tersebut dibersihkan sisiknya dan dibuang isi perutnya.
C-691
Seminar Nasional Hasil Penerapan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat III 2016 P-ISSN: 2356-3176 E-ISSN: 2527-5658
Selanjutnya ikan dibelah menjadi 2 sisi, kemudian ikan dibersihkan lagi dicuci agar tidak ada darah dan kotoran pada ikan yang akan diasapkan. Setelah itu ikan ditiriskan selama kira-kira kurang lebih 30 menit, kemudian ikan diletakkan disusun di rak-rak pengasapan. Pengukuran temperatur dilakukan menggunakan termokopel tipe J dan pembacaan dilakukan menggunakan Thempereture recorder Lutron tipe BTM 4208SD. Perubahan temperatur yang ukur meliputi temperatur asap masuk ruang pengasapan (T1), temperatur ikan (T2), temperatur asap dalam ruang pengasapan (T3), temperatur asap keluar (T4), temperatur dinding ruangan pengasapan (T5) dan temperatur udara lingkungan pengujian (T6). Perubahan berat ikan, dan berat bahan bakar yang digunakan diukur menggunakan timbangan pegas. Gambar 2 memperlihatkan ruang pengasapan yang telah dibuat dan pelaksanaan pengujian. Selama pelaksanaan penelitian, perubahan berat ikan dicatat setiap 1 jam, dan pada awal pengujian bahan bakar yang diguanakan masing-masing 2 kg. Bahan bakar akan ditambah pada saat temperatur dalam asap masuk ruang pengasapan telah < 65oC.
.
a). Ruang Pengasapan
b). Ruang bakar
c). Monitoring perubahan berat ikan Gambar 2:
C-692
d). Ikan lele didalam ruang pengasapan
Pelaksanaan pengujian pengasapan ikan lele
Seminar Nasional Hasil Penerapan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat III 2016 P-ISSN: 2356-3176 E-ISSN: 2527-5658
Hasil Dan Pembahasan Gambar 3 memperlihatkan perubahan temperatur asap masuk ruangan pengasapan, temperatur ruang pengasapan, dan temperatur ikan, pada pengujian menggunakan bahan bakar tempurung kelapa (BBTK). Dari grafik terlihat kenaikan temperatur tidak stabil karena ruang bakar yang digunakan belum dilengkapi dengan alat pengatur jumlah udara masuk ruang pembakaran. Peningkatan temperatur berlansung sampai temperatur maksimum tercapai dan kemudian terjadi penurunan yang tidak stabil. Pada pengujian ini pada saat temperatur asap masuk telah < 65oC, Dilakukan penambahan bahan bakar guna mempertahankan temperatur dalam ruang pengaspan berada pada kisaran 60-75oC. Temperatar maksimum asap masuk ruang pengasapan menggunakan bahan bakar tempurung mencapai 184oC, temperatur ruang pengasapan mencapai 93oC, dan temperatur pada bagian permukaan kulit ikan mencapai 64oC. Pengujian pengasapan menggunakan bahan bakar tempurung kelapa (BBTK) dihentikan setelah terlihat tidak adanya perubahan berat sampel ikan, dan diperoleh waktu yang dibutuhkan untuk pengujian selama 5,6 jam.
Gambar 3: Grafik temperatur pengasapan ikan bahan bakar tempurung kelapa (BBTK). . Gambar 4, menunjukkan hasil pengujian mengunakan bahan bakar sekam kayu (BBSK). Dari gambar terlihat kenaikan temperatur asap masuk ruang pengasapan sangat cepat dan sangat tidak stabil. Hal ini disebabkan bahan bakar sekam kayu (BBSK) yang memiliki kandungan unsur mudah terbakar yang tinggi. Temperatar maksimum asap masuk ruang pengasapan menggunakan bahan bakar tempurung mencapai 110oC, temperatur ruang pengasapan berkisar pada (53–65)oC, dan temperatur pada bagian permukaan kulit ikan mencapai (46-50)oC. Dan dari grafik perubahan temperatur juga terlihat kesulitan dalam mempertahankan kondisi temperatur asap masuk ruang pengasapan.
C-693
Seminar Nasional Hasil Penerapan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat III 2016 P-ISSN: 2356-3176 E-ISSN: 2527-5658
Dari hasil pengujian menggunakan BBTK dan BBSK menunjukkan bahwa temperatur ikan tidak setinggi temperatur dalam ruang pengasapan, hal ini menandakan bahwa akan selalu ada cukup energi panas dalam ruang pengasapan untuk pengeringan sampel ikan selama proses pengasapan.
Gambar 4: Grafik temperatur pengasapan ikan bahan bakar sekam kayu (BBSK) Gambar 5 memperlihatkan hasil pengukuran perubahan berat ikan lele selama proses pengasapan. Dari grafik terlihat penurunan berat ikan mengikuti pola yang sama dengan kadar air awal kadar air awal sampel ikan berkisar antara 100 % dan setelah mengalami proses pengasapan 4-6 jam dari merokok, berat ikan mengalami penurunan mencapai (54-60)%.
Gambar 5: Grafik perubahan kandungan air ikan lele Setelah pelaksanaan pengujian, ikan asap dilakukan pengepakan dan dilakukan pengamatan selama 5 hari. Dari hasil pengamatan terlihat tidak ada perubahan terhadap bau dan warna permukaan ikan, dan juga rasa. Dari hasil pengujian ini dapat simpulkan
C-694
Seminar Nasional Hasil Penerapan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat III 2016 P-ISSN: 2356-3176 E-ISSN: 2527-5658
bahwa ruang pengasapan hasil pengujian ini dapat dijadikan sebagai rujukan dalam usaha peningkatan pendapatan masyarakat yang melakukan usaha dalam bidang pengolahan ikan. Simpulan Penelitian ini telah berhasil membuat dan menguji satu unit ruang pengasapan ikan dengan kapasitas produksi 100 kg dengan waktu pengasapan 7 jam. Hasil pengujian menngunakan bahan bakar tempurung kelapa (BBTK) dan bahan bakar sekam kayu (BBSK) mampu menyediakan cukup panas dan asap untuk mengeringkan ikan sampel lele. Kandungan air akhir pada ikan masing-masing adalah 47,4% menggunakan BBTK dan 37,6% menggunakan BBSK. Dari hasil penelitian telah dapat disimpulkan bahwa penggunaan ruang pengasapan pada kapasitas produksi sebagaimana hasil rancangan dan aplikasinya dalam kegiatan ini, dapat dijadikan sebagai rujukan dalam usaha peningkatan pendapatan masyarakat yang melakukan usaha dalam bidang pengolahan ikan. Daftar Pustaka Adamu, I. G, Kabri, H. U, Hussaini, I. D. And Mada. (2013). “Design and Construction of Fish Smoking Kiln.” Journal of Engineering and Technology Research Vol. 5(1)(DOI: 10.5897/JETR-12-042): 15–20. Adigio, Emmanuel Munakurogha, Abiodun Oluseye Adeyemo, and Damilola Awosusi. (2015). “Design , Fabrication and Operation of a Smoking Kiln.” (3): 293–96. Komolafe, C a et al. 2011. “Design and Fabrication of a Convective Fish Dryer .” The Pacific Journal of Science and Technology 12(1): 89–97. Langsa, Pemda Kota. (2007). Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Kota Langsa Tahun 2007-2027. Magawata, I, and T Musa. (2015). “Quality Characteristics of Three Hot-Smoked Fish Species Using Locally Fabricated Smoking Kiln.” 2(5): 88–92. Oladipo, N O et al. (2016). “Development and Evaluation of NCAM Fish Smoking Kiln.” 5(1): 35–38. Oyerinde, Ajiboye Solomon, and Agboola Simeon Ogunlowo. (2013). “Development of a Cross-Flow Fish Smoking Kiln Fired by Biomass Material.” Journal of Agricultural Science and Technology, ISSN 1939-1250 3: 531–41.
C-695