Pemberontakan Sporadis Muslim Rohingya Pascakemerdekaan Burma 1948 – 1988
Azizah
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Depok
2006
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Pemberontakan Sporadis Muslim Rohingya Pascakemerdekaan Burma 1948 – 1988
Skripsi Diajukan untuk melengkapi persyaratan mencapai gelar Sarjana Humaniora
Oleh
Azizah 0702070083 Program Studi Arab
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Depok
2006
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Skripsi ini telah diujikan pada hari Rabu tanggal 19 Juli 2006.
PANITIA UJIAN Ketua
Pembimbing I
Maman Lesmana, M. Hum.
Apipudin, M.Hum.
Panitera
Pembimbing II
Letmiros, M. Hum.
Abdurakhman, M. Hum.
Pembaca
Suranta, M. Hum.
Disahkan pada hari Senin, tanggal 7 Agustus 2006 oleh:
Koordinator Program Studi
Dekan
Maman Lesmana, M. Hum.
Prof. Dr. Ida Sundari Husen
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Seluruh skripsi ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
Depok, 19 Juli 2006 Penulis
Azizah NPM. 0702070083
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Kupersembahkan untuk Aba dan Umi tercinta Serta kedua adik Hani dan Ja’far
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada kehadirat Allah SWT yang telah memberikan taufik, rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam saya haturkan kepada Baginda Rasulullah SAW dan kepada para keluarganya, para sahabatnya dan para pengikutnya. Skripsi ini dimaksudkan untuk melengkapi persyaratan mencapai gelar Sarjana Humaniora di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Pada kesempatan ini pertama-tama saya mengucapkan rasa terima kasih saya yang tak terhingga untuk kedua orang tua, Aba dan Umi, yang telah mencurahkan seluruh doa, cinta dan kasih sayangnya yang tidak akan pernah bisa terbalas. Juga kepada Hani dan Ja’far, kedua adik yang telah direpotkan dengan dimonopolinya komputer di kamar. Untuk kakek, Enjid Salim bin Ahmad Al Haddad atas doanya yang selalu diberikan walaupun dalam keadaan sakit. Terima kasih banyak kepada Bapak Apipudin dan Bapak Abdurakhman yang telah membimbing saya dalam mengerjakan skripsi ini dari awal sampai selesai, terima kasih atas segala tenaga dan waktunya dalam membimbing skripsi saya. Terima kasih juga kepada Bapak Maman Lesmana, Koordinator Program Studi Arab yang banyak membantu skripsi saya. Kepada Bapak Suranta yang telah bersedia menjadi pembaca skripsi ini dan kepada seluruh dosen pengajar program studi Arab yang dengan sabar telah memberikan ilmunya.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Selanjutnya saya mengucapkan terima kasih kepada PT Gudang Garam dan Yayasan Tifico yang telah memberikan beasiswanya sehingga dapat meringankan finansial saya dalam menyelesaikan studi di Fakultas Ilmu pengetahuan Budaya. Tidak lupa saya mengucapkan terima kasih kepada seluruh pegawai perpustakaan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya yang telah membantu dalam pengumpulan data skripsi ini dan telah memberikan kenyamanan sehingga perpustakaan FIB menjadi rumah kedua bagi saya selama pembuatan skripsi. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Om Hamdan Basyar yang telah meminjamkan buku LIPI yang sangat bermanfaat bagi penulisan skripsi ini, juga kepada istri, Tante Rahmah atas dukungannya. Serta kepada pegawai perpustakaan Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah (PDII LIPI) yang telah membantu saya mencari data sumber. Terima kasih kepada seluruh teman-teman Arab 2002 yang telah menjadi bagian dalam hidup saya selama masa kuliah. Wira, terima kasih sudah menjadi sahabat yang baik, maaf gak bisa banyak bantu kalo lagi ada masalah. Arie, yang di akhir kuliah sering pergi bersama ke perpus-perpus untuk mencari bahan. Kepada teman-teman 2002 yang sering ngumpul di perpus dan menjadi teman bersama selama di akhir-akhir masa kuliah. Siti Chodijah, teman shopping, makasih jeung udah nemenin Ik belanja-belanja. Nur Laily Nusroh, terima kasih telah mengajak saya ke Ras FM saya jadi makin suka sama Al Jazirah. Dayat, sahabat yang selalu berkorban, terima kasih sudah menjadi teman yang baik selama di kampus. Dedi,
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
sang sufi, terima kasih sudah menjadi tempat untuk bertanya dan tempat curhat masalah agama jika saya sedang bingung. Mira, teman gila di segala tempat. Hanifah, ukhti yang sangat sabar, tetaplah berjuang, jangan pernah lelah dan menyerah. Musa Shahab, tetap semangat ye wan ngerjain skripsinye. Emad, terima kasih atas foto-fotonya. Anggra, Baiq, Syukron, Alia, Sitta, Zaeni, Rosi, Beni, Andini, Romlah, Een, Mahmud, terima kasih telah menjadi bagian dari Keluarga Arab 2002. Terima kasih banyak saya sampaikan kepada BPH Senat Mahasiswa FIB UI 2005, Ai, Yudi, Manda, Rian, Ani, Marni, Haura, Mas Ivan, Iqbal, Zaenal, Jerry, dan Mey-Mey. Dan seluruh keluarga Senat Mahasiswa 2005 yang banyak mendukung saya. Serta kepada Gita dan Iwid, kedua sahabat yang sudah meluangkan waktu dan tenaga untuk mengedit skripsi ini serta atas doa dan dukungannya. Terima kasih kepada Diani (Inggris ’02) yang telah membantu saya menerjemahkan beberapa data. Juga kepada Kurniawan Lutfi (Manajemen ’00) yang sangat membantu saya menerjemahkan beberapa buku sumber sehingga sangat membantu saya dalam pembuatan skripsi ini. Kepada teman-teman Arab ’03 terutama teman-teman ’04 (Kiki, Intan, Anggi dan kawan-kawan) dan teman-teman ’05 atas doa dan dukungannya. Saya sadar bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan saran agar skripsi ini bisa lebih baik. Semoga skripsi ini dengan segala kekurangannya dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................................i DAFTAR SINGKATAN ............................................................................................vii DAFTAR LAMPIRAN................................................................................................ix BAB 1 PENDAHULUAN .......................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ........................................................................................................ 1 1.2 Alasan Memilih Judul ........................................................................................... 10 1.3 Ruang Lingkup Penulisan ..................................................................................... 10 1.4 Perumusan Masalah ............................................................................................. 11 1.5 Tujuan Penulisan................................................................................................... 12 1.6 Kerangka Teori ..................................................................................................... 12 1.7 Metode Penulisan .................................................................................................. 17 1.8 Sumber penulisan .................................................................................................. 17 1.9 Sistematika penulisan............................................................................................ 18 BAB 2 BURMA DAN MASYARAKATNYA ......................................................... 20 2.1 Burma.................................................................................................................... 20 2.2 Pemerintahan di Arakan........................................................................................ 24 2.2.1 Masa Kerajaan Arakan....................................................................................... 24 2.2.2 Masa Pemerintahan Burma ................................................................................ 28 2.2.3 Masa Kolonisasi Inggris dan Jepang.................................................................. 29
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
2.2.4 Arakan Setelah Kemerdekaan Burma ................................................................ 35 2.2.5 Arakan di bawah Pemerintahan Militer ............................................................. 37 2.3 Kehidupan Beragama di Burma ............................................................................ 45 2.3.1 Muslim di Burma ............................................................................................... 46 BAB 3 MUSLIM ROHINGYA ................................................................................ 51 3.1 Sejarah Muslim Rohingya..................................................................................... 51 3.2 Kedatangan Orang-Orang Arab dan Islam di Arakan........................................... 52 3.3 Perkembangan Muslim Rohingya ......................................................................... 53 3.3.1 Penduduk............................................................................................................ 53 3.3.2 Agama dan Budaya Muslim Rohingya .............................................................. 54 3.3.3 Pendidikan Muslim Rohingya............................................................................ 55 3.3.4 Status Politik Muslim Rohingya ........................................................................ 55 3.4 Perlakuan Terhadap Muslim Rohingya................................................................. 56 3.4.1 Muslim Rohingya dan Masalah Sosial Budaya ................................................. 57 3.4.2 Muslim Rohingya dan Masalah Ekonomi.......................................................... 59 BAB 4 PEMBERONTAKAN SPORADIS MUSLIM ROHINGYA .................... 62 4.1 Latar Belakang Pemberontakan ............................................................................ 62 4.2 Pemberontakan Muslim Rohingya di Masa Pemerintahan U Nu ......................... 65 4.3 Gerakan Muslim Rohingya Masa Pemerintahan Ne Win ..................................... 78 4.3.1 Rohingya Independence Force (RIF) dan perkembangannya ........................... 80 4.4 Operasi Naga Min ................................................................................................. 83
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
4.5 Undang-Undang Kewarganegaraan 1982 ............................................................. 84 BAB 5 KESIMPULAN ............................................................................................. 86 BIBLIOGRAFI ........................................................................................................... 92 LAMPIRAN ...............................................................................................................94 RIWAYAT HIDUP .................................................................................................108
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
DAFTAR SINGKATAN
AFPFL
:
Anti-Fascist People’s Freedom League
AHRO
:
Arakan Human Rights Organization
ANUO
:
Arakan National Union Organization
ANLP
:
Arakan National Liberation Party
ARIF
:
Arakan Rohingya Islamic Front
ARNO
:
Arakan Rohingya National Organization
BIA
:
Burma Independence Army
BRAJ
:
Burmese Rohingya Association in Japan
BRCA
:
Burmese Rohingya Community in Australia
BSPP
:
Burma Socialist Programme Party
CPA
:
Communist Party of Arakan
CPB
:
Communist Party of Burma
ENC
:
Ethnic Nationalities Council
GCBMA
:
General Council of Burma Moslem Associations
IMA
:
Ittihadul Mozahidin of Arakan
MPU
:
Members of the Parliament Union
NCGUB
:
National Coalition Government of the Union of Burma
NCUB
:
National Council of the Union of Burma
NDF
:
National Democratic Front
NDPH
:
National Democratic Party for Human Rights
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
NLD
:
National League Democracy
RIF
:
Rohingya Independence Force
RLO
:
Rohingya Liberation Organization
RNA
:
Rohingya National Alliance
RPF
:
Rohingya Patriotic Front
RSO
:
Rohingya Solidarity Organization
RYDF
:
Rohingya Youth Development Forum
SLMD
:
Students and Youth League for Mayu Development
SPDC
:
State Peace and Development Council
UNLD
:
United Nationalities League for Democracy
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
:
Peta Burma ..............................................................................94
Lampiran 2
:
Peta Arakan .............................................................................95
Lampiran 3
:
Peta State dan Division Burma................................................96
Lampiran 4
:
Peta negara-negara tetangga Burma........................................97
Lampiran 5
:
Deklarasi Konvensi Bangsa Rohingya....................................98
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
IKHTISAR
AZIZAH. Pemberontakan Sporadis Muslim Rohingya Pascakemerdekaan Burma 1948 – 1988. (Di bawah bimbingan Apipudin dan Abdurakhman). Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2006. Penulisan mengenai pemberontakan muslim Rohingya yang dilakukan secara sporadis akibat tekanan yang berkepanjangan oleh masyarakat mayoritas Budha dan pemerintah junta militer Burma. Pengumpulan sumber didapatkan melalui perpustakaan-perpustakaan dan beberapa media online. Metode penulisannya menggunakan empat tahap metode sejarah. Pertama, Heuristik yaitu proses mencari dan menemukan sumber. Kedua, proses kritik, yaitu memilah-milah sumber berdasarkan wilayah, periode dan etnis. Ketiga, proses interpretasi yaitu menganalisis masalah dengan mengaplikasikan berbagai teori, dalam penulisan ini digunakan teori sosial dan teori militer. Keempat, historiografi, yaitu proses penulisan sejarah. Hasil analisa adalah pemberontakan muslim Rohingya diakibatkan oleh tindakan represif yang dilakukan secara terus menerus oleh masyarakat mayoritas Budha dan pemerintah junta militer Ne Win serta kekecewaan muslim Rohingya terhadap pemerintah Burma yang tidak memenuhi tuntutan mereka untuk menjadikan daerah Arakan Utara sebagai wilayah otonomi Islam.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Pemberontakan yang berlangsung selama dua periode pemerintahan Burma, masa U Nu (1948 – 1962) dan masa Ne Win (1962 – 1988) mengalami perbedaan motif penyebab terjadinya penindasan oleh kedua pemerintah tersebut. Pada masa pemerintahan U Nu muslim Rohingya ditindas oleh mayoritas Budha karena muslim Rohingya menganut agama Islam, agama yang dianggap bukan agama asli Burma. Sedangkan pada masa pemerintahan junta militer, muslim Rohingya ditindas karena sistem pemerintahan junta militer yang mengeluarkan berbagai kebijakannya yang sangat merugikan muslim Rohingya. Dalam gerakan ini muslim Rohingya tidak mendapatkan bantuan dari negara luar, hanya sedikit campur tangan dari negara tetangga, Bangladesh, yang banyak menerima pengungsi asal Arakan ini. Namun, dikarenakan ketertutupan negara Burma terhadap dunia internasional, tidak banyak yang bisa dilakukan negara-negara luar untuk membantu masalah ini. Muslim Rohingya harus berjuang sendiri tanpa bantuan dari luar negeri. Badan internasional pun tidak banyak membawa perubahan. Walaupun organisasi PBB dan negara-negara lain telah meminta pihak pemerintah Burma untuk merubah sikap mereka terhadap warganya, mereka tidak pernah merubah sikapnya yang diktator.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masyarakat yang beragama Islam di Burma (pada Juni 1989 berganti nama menjadi Myanmar 1 ) merupakan kelompok minoritas, hanya 4% dari penduduk Burma yang berjumlah 42 juta jiwa lebih. 2 Walaupun pemeluk agama Islam minoritas, tetapi mereka mempunyai pengaruh di berbagai bidang. Hal ini terbukti dengan banyaknya jabatan penting di pemerintahan yang diduduki oleh orang Islam. Mereka juga banyak menguasai bidang perdagangan, diplomatik, administrasi, politik, bahasa, dan budaya. 3 Masyarakat Burma dibagi berdasarkan faktor etnis, seperti Burma, Shan, Karen, Rakhine, Kayah, Cina, India, dan Mon. 4 Pembagian tersebut berlaku juga dalam masyarakat muslim, ada muslim Burma atau Zerbadee, muslim keturunan India, muslim Hui Hui atau Panthay, dan muslim Rohingya. 5 Namun, pada umumnya masyarakat muslim di Burma terbagi dalam tiga komunitas yang berbeda, yaitu:
1
Tempo, 1 Juli, 1989, hlm. 25. The World Fact Book, “Burma” (7 Maret 2006, 13.14), terdapat di situs http://www.cia.gov/cia/publications/factbook/geos/bm.html 3 Saiful Muzani, Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta, 1993), hlm. 28. 4 The World Fact Book, Loc. Cit. 5 Taufik Abdullah, “Islam Kontemporer di Myanmar,” Ensiklopedi Tematis Dinamika Masa Kini (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), hlm. 312 – 313. 2
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
1. Muslim Burma atau Zerbadee. 2. Muslim India, imigran keturunan India. 3. Muslim Rohingya. Masing-masing komunitas muslim mempunyai hubungan yang berbeda-beda dengan mayoritas masyarakat Budha dan pemerintah. 6 Komunitas pertama, muslim Burma, merupakan komunitas yang terbentuk paling awal. Mereka berasal dari wilayah Swebo di dataran tengah dekat ibu kota prakolonial kerajaan Burma. Komunitas ini dapat dirunut asal usulnya hingga abad ke-13 dan ke-14, ketika nenek moyang mereka datang ke negara itu sebagai pembantu istana, tentara sewaan, dan pedagang dari Barat. 7 Pada 1930-an, muslim Burma yang berasimilasi dengan baik ini jumlahnya dilaporkan kurang dari sepertiga komunitas muslim. Komunitas kedua, muslim India, merupakan komunitas muslim yang terbentuk seiring kolonisasi Burma oleh Inggris pada abad ke-19. Pada 1886 sampai 1937, Burma dijadikan sebagai bagian dari Provinsi India oleh Inggris. Oleh karena itu, banyak imigran dari India ke Burma. Pemerintah Inggris sangat berperan atas datangnya muslim-muslim India ini. Mereka berdomisili di provinsi Arakan dan Tenasserim. Kedatangan arus imigran yang besar ke Burma ini menyebabkan munculnya masalah sosial, politik dan ekonomi. 8
6
John L. Esposito, “Myanmar,” Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 139 - 140. 7 Ibid. 8 Riza Sihbudi, dkk., Problematika Minoritas Muslim di Asia Tenggara: kasus Moro, Pattani, dan Rohingya. (Jakarta: PPW-LIPI, 2000), hlm.143.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Penyebab muslim India banyak berdatangan ke Burma karena kebutuhan pemerintah Burma terhadap sumber daya manusia dan penilaian subyektif Inggris tentang imigran India yang dinilai lebih adaptif dan mandiri. Di Burma, muslim India ini mempertahankan hubungan erat dengan praktek-praktek religius dan kultural dari tanah asal mereka. Hal ini sering membuat mereka berselisih dengan mayoritas Budha mengenai masalah-masalah perkawinan dan hukum kepemilikan serta peran Islam dalam kehidupan politik Burma. 9 Komunitas muslim ketiga di Burma adalah komunitas muslim Rohingya yang bermukim di negara bagian Arakan atau Rakhine, yang berbatasan dengan Bangladesh. Sebelum 1784, walaupun penguasanya menggunakan perlambangan Islam, Arakan adalah sebuah kerajaan Budha merdeka. Akan tetapi, kerajaan Budha tersebut dihancurkan oleh tentara Burma pada 1784. Kedudukannya melemah diakibatkan oleh bangkitnya kekuatan Burma di bagian Timur. Arakan kemudian dimasukkan menjadi bagian dalam Burma oleh Inggris. Sejak saat itu, Arakan didatangi sejumlah besar imigran dari Chittagong (Bengal). Proporsi terbesar kaum muslim di Burma adalah keturunan Bengal dan sebagian besar mereka tinggal di Negara Bagian Arakan. 10 Arakan sendiri merupakan wilayah yang didiami oleh dua komunitas etnis, Budha Arakan atau Rakhaing dan muslim Rohingya. 11 Rakhaing
9
Ibid. Esposito, Loc. Cit. 11 Mohammed Ashraf Alam, “A Short Historical Background”, (7 Maret 2006 12.57), terdapat di situs http://www.rohingyatimes.i-p.com/history/history_maa.html 10
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
menempati wilayah Arakan Selatan sedangkan muslim Rohingya tinggal di Arakan Utara, terutama di daerah Buthidaung dan Maungdaw. Setelah Burma merdeka pada 1948, ketiga komunitas muslim di atas memiliki peran yang berbeda. Muslim Burma mendapat tempat dalam pemerintahan Perdana Menteri U Nu. Setelah Perdana Menteri U Nu dikudeta pada 1962 oleh pemerintah militer dan sosialis Jenderal Ne Win, muslim Burma masih banyak yang tetap bertugas pada pemerintahan. Sebaliknya, kaum muslim India, yang lebih berpandangan ke luar dan berorientasi pada perdagangan, mengalami masa hidup yang lebih sulit setelah kemerdekaan. 12 Menjelang bulan September 1964, sekitar 100.000 orang India terpaksa harus meninggalkan Burma akibat kebijakan nasionalisasi dan birokratisasi yang dijalankan Ne Win. 13 Akan tetapi, dibandingkan dengan Muslim Zerbadee dan muslim India, kedudukan muslim Rohingya yang paling sulit. Mereka merupakan komunitas yang paling miskin yang ada di Burma. Mereka selalu ditolak status kewarganegaraannya, juga berbagai akses sekolah, dan rumah sakit. 14 Selain itu, mereka juga disulitkan oleh peperangan, dislokasi, dan perselisihan. 15 Bersamaan dengan kemerdekaan Burma, banyak terjadi pemberontakanpemberontakan, seperti Komunis Bendera Merah (Red Flag Communist), Komunis
12
Esposito, Loc. Cit. Alfian, Militer Dan Politik Pengalaman Beberapa Negara. (Djakarta, 1970), hlm. 8. 14 Andrew Selth, Burma’s Muslims: Terrorists or Terrorised ? (Canberra, 2003 ), hlm. 12. 15 Esposito, Loc. Cit. 13
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Bendera Putih (White Flag Communist), dan White Comrade. 16 Mereka menentang pemerintah karena merasa tidak puas dengan kebijakan yang ada. Mereka tidak bisa menentukan daerahnya sendiri, seperti yang terjadi di beberapa ras lain, misalnya Shan, Kachin, dan Karen. Melihat keadaan ini, muslim Rohingya ikut memanfaatkan kesempatan dari pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh gerakan komunis tersebut. Mereka menuntut berdirinya daerah otonom. Namun, pemerintah menolak kedua tuntutan pemberontak tersebut. Akibatnya, Rakhaing mencabut dukungan mereka untuk AFPFL (Anti-Facist People’s Freedom League) dan memilih ANUO (Arakan National Union Organization) dalam pemilihan. Sementara itu, muslim Rohingya membentuk organisasi tentara “Mujahid”. Organisasi yang dibentuk di bawah deklarasi Dobboro Chaung pada 20 Agustus 1947, dipimpin oleh Jafar Hussain yang lebih dikenal dengan nama Jafar Kawal. 17 Organisasi ini bertujuan membentuk daerah otonomi Islam. Mereka menuntut agar bagian utara Arakan yaitu Buthidaung dan Maungdaw dimasukkan ke dalam bagian Pakistan. Gerakan Mujahid itu lebih dikenal dengan perjuangan bersenjata menuntut otonomi di wilayah utara. Walaupun perjuangan mereka mengalami kemunduran sejak tahun 1961, semangat untuk memperjuangkan tuntutan otonomi masih tetap populer di muslim Rohingya. Perlawanan bersenjata, meski dilakukan secara sporadis, sebenarnya tidak menguntungkan orang-orang Islam dalam situasi pemerintahan militer yang berkuasa sejak 1962 ini. Kondisi sosial dan ekonomi yang 16
Kyaw Zan Tha, “Background of Rohingya Problem”, 22 Februari 2006 pukul 19.35, terdapat di situs http://rakhapura.com/read.asp?id=4&a=scholarscolumn 17 Ibid.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
buruk serta wilayah Arakan yang terpencil, telah mengakibatkan timbulnya banyak masalah. Sumber ekonomi dan lahan pertanian yang terbatas menimbulkan perselisihan antara muslim Rohingya dan mayoritas Budha. Iklim sosial politik dan ekonomi yang berkembang di Burma tidak memberi banyak pilihan kepada muslim Rohingya. Muslim Rohingya memanfaatkan kesempatan yang ada dengan memilih jalan mereka sendiri untuk menghadapi pemerintah pusat, tetapi tindakan ini tidak membawa pengaruh besar. 18 Pada tahun 1962, terjadi kudeta terhadap kekuasaan pemerintahan U Nu oleh Jenderal Ne Win. Akibat kudeta ini, pemerintahan Burma mengalami proses transformasi, dari pemerintah sipil menjadi pemerintah junta militer. Hal ini sangat berdampak pada gerakan pemberontakan muslim Rohingya, yaitu pembubaran gerakan Mujahid. Pembubaran gerakan Mujahid tersebut tidak mengurangi semangat muslim Rohingya lainnya. Mereka justru memperkuat barisan tentara mereka dengan membentuk organisasi Rohingya Independence Force (RIF) pada 26 Maret 1963 di Maungdaw. 19 Selain itu, ada organisasi-organisasi muslim Rohingya lainnya, seperti Rohingya Independence Army, Rohingya Patriotic Front (RPF), dan Rohingya National Alliance (RNA). Semua organisasi ini memiliki tujuan yang sama, yaitu
18 19
Abdullah, Loc. Cit. Martin Smith, BURMA: Insurgency and The Politics of Ethnicity (NewYork, 1991), hlm. 30.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
menuntut pembentukan daerah otonom bagi muslim Rohingya di wilayah pemerintahan Burma. 20 Salah satu dampak dari pemberontakan-pemberontakan di Arakan adalah semakin bangkitnya kesadaran untuk memperjuangkan Arakan sebagai wilayah otonom bagi muslim Rohingya. 21 Meskipun pemberontakan tidak memberikan hasil optimal, tetapi tetap memberikan efek politis di lingkungan muslim Burma, yaitu berupa kesadaran tentang otonomi Arakan. Pemerintah Burma melarang seseorang untuk memasuki Burma lewat jalur darat. Semua orang asing hanya diperbolehkan masuk Burma lewat jalur udara, tetapi banyak sekali kawasan yang tertutup bagi orang asing. Akibatnya, muslim Rohingya sulit berkomunikasi dengan dunia luar untuk memberitahu apa yang terjadi pada diri mereka. Berdasarkan laporan PBB, kira-kira 20.000 umat Islam Arakan telah dibunuh oleh rezim militer antara tahun 1962 hingga tahun 1984. Ratusan wanita diperkosa dan semua harta benda milik umat Islam dirampas. Media komunikasi dalam negeri digunakan untuk menyebarkan kebohongan dan fitnah terhadap Islam. 22 Konvensi Bangsa Rohingya, yang terbentuk pada tanggal 14 – 16 Mei 2004 lalu, membuka mata dunia terhadap masalah Rohingya. Konvensi yang diikuti oleh
20
Ibid. Riza Sihbudi, dkk., Op. Cit. hlm. 155. 22 Zaman kegelapan Islam dan Ketibaan Era Kebangkitan Islam, “Burma Penduduk Yang Berhadapan Dengan Kezaliman Penganut Budha”, (22 Februari 2006 pukul 19.30), diambil dari situs http://www.harunyahya.com/malaysian/buku/kebangkitanislam/kebangkitanislam19.php 21
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
organisasi-organisasi Rohingya yang ada di beberapa negara di belahan dunia itu sedikit melegakan nasib Rohingya yang tertindas selama puluhan tahun. Negara Burma merupakan negara yang tertutup bagi negara-negara asing terutama untuk para wartawan. Oleh karena itu, bahan kepustakaan mengenai Burma atau mengenai masalah yang terjadi pada minoritas muslim Rohingya sangat sulit ditemukan. Hal itu juga ditambah dengan keadaan geografi Arakan yang terisolir dari kota-kota di sekitarnya. Artikel atau buku yang ada, yang membahas masalah Rohingya, hanya sedikit pembahasannya. Hal itu disebabkan minimnya masyarakat umum yang mengetahui tentang masalah muslim Rohingya. Namun, bukan berarti tidak ada sama sekali data-data yang membahas tentang Rohingya, sampai saat ini penulis telah mendapatkan beberapa buku dan artikel dari Newsletter yang dikeluarkan oleh Arakan Rohingya National Organization (ARNO). Salah satu buku yang penulis dapatkan adalah buku hasil laporan penelitian yang dilakukan oleh Puslitbang Politik dan Kewilayahan Lembaga Ilmu Pegetahuan Indonesia (PPW-LIPI). Penelitian tersebut berjudul Problematika Minoritas Muslim di Asia Tenggara: Kasus Moro, Pattani, dan Rohingya, penelitian itu membahas problematika ketiga muslim minoritas dilihat dari perspektif masalah diskriminasi sosial-budaya, masalah represi di bidang ekonomi, represi politik, serta membahas tentang gerakan resistensi ketiga minoritas muslim tersebut dengan dimensi internasional, dalam hal ini adalah peranan negara-negara OKI dalam menyikapi masalah muslim Rohingya.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Dinamika kelompok minoritas muslim Rohingya masih menghadapi persoalan-persoalan kemasyarakatan dan negara yang sangat kompleks. Fenomena dinamika keminoritasan masyarakat yang beragama Islam di negara Burma, secara umum diwarnai dengan represi, diskriminasi, dan eksploitasi dari kelompok mayoritas, dan penguasa di negara itu. Hal itu menyebabkan persoalan-persoalan sosial, politik dan ekonomi yang berlangsung, secara kumulatif menjadi gerakangerakan yang mengarah pada separatis. Buku tulisan Martin Smith yang berjudul Burma: Insurgency and the Politics of Ethnicity merupakan buku yang menerangkan secara lengkap tentang Burma secara umum. Di dalam buku tersebut diceritakan tentang konflik-konflik yang terjadi dan tentang pemberontakan di Burma, termasuk pemberontakan Mujahid. Buku lain yang membahas persoalan muslim Rohingya di Arakan adalah buku yang ditulis oleh Clive J. Christie dengan judul A Modern History of Southeast Asia: Decolonization, Nationalism, and Separatism. Salah satu bahasannya yang berjudul “At the Frontier of the Islamic World: the Arakenese Muslim” membahas perselisihan dan pemberontakan di dunia Islam, dalam hal ini adalah muslim Arakan yang menjadi masyarakat minoritas yang terlupakan di negaranya sendiri. Diceritakan pula keadaan di Arakan selama dan setelah perang dunia kedua, serta berbagai pemberontakan-pemberontakan yang dilancarkan oleh gerakan Mujahidin. Sementara itu, Newsletter yang dikeluarkan setiap bulan oleh ARNO (Arakan Rohingya National Organzation) berisi berita-berita mengenai situasi dan kondisi
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
terkini di Arakan, dan di dalamnya terdapat artikel dan opini tentang Rohingya ataupun tentang Burma.
1.2 Alasan Memilih Judul Pada saat ini, perhatian dunia terfokus pada tragedi kemanusiaan di Palestina, Irak, dan Iran, ataupun di penjuru dunia lain. Sedikit sekali masyarakat Internasional yang mengangkat isu penderitaan muslim Rohingya di Burma yang mengalami penindasan oleh penguasa junta militer. Kurangnya perhatian masyarakat dunia terhadap masalah muslim Rohingya serta ketertutupan pemerintah Burma terhadap dunia luar menyebabkan terbatasnya buku-buku atau artikel yang membahas secara rinci tentang muslim Rohingya, khususnya tentang gerakan-gerakan pemberontakan Rohingya. Hal itu menyebabkan minimnya masyarakat luas yang mengetahui dengan pasti apa yang telah terjadi dengan muslim Rohingya (dari kalangan akademisi maupun kalangan awam). Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengangkat dan memaparkan masalah muslim Rohingya dalam skripsi ini.
1.3 Ruang Lingkup Penulisan Agar pembahasan skripsi ini terfokus, maka penulis membatasi penulisan skripsi ini dengan membahas peristiwa pemberontakan dari tahun 1948 – 1988. Pada
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
tahun tersebut ada dua masa pemerintahan. Dua masa itu adalah tahun 1948, yang merupakan tahun kemerdekaan negara Burma di bawah kepimpinan U Nu. Tahun ini juga merupakan awal pemberontakan muslim Rohingya yang dipelopori oleh gerakan Mujahid dan diteruskan oleh gerakan-gerakan yang lainnya. Masa pertama ini berakhir saat pemerintahan U Nu dikudeta oleh Jenderal Ne Win pada tahun 1962. Masa kedua adalah masa Ne Win. Pada saat itu Burma mengalami proses transformasi bentuk pemerintahan, dari sipil menjadi junta militer. Hal itu berdampak besar pada gerakan pemberontakan muslim Rohingya hingga kekuasaan Ne Win berakhir pada tahun 1988.
1.4 Perumusan Masalah Penindasan
terhadap
muslim
Rohingya
dilakukan
pada
dua
masa
pemerintahan Burma, yaitu masa pemerintahan U Nu (1948 – 1962) dan masa pemerintahan junta militer Ne Win (1962 – 1988). Penindasan ini mengakibatkan penderitaan terhadap muslim Rohingya selama puluhan tahun. Dari masalah tersebut, penulis mengajukan beberapa pertanyaan untuk mengungkapkan permasalahan, yaitu sebagai berikut. 1. Kenapa muslim Rohingya menjadi sasaran dari berbagai aksi kekerasan di Burma? 2. Apa motif penindasan dari dua masa pemerintahan Burma?
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
3. Siapa tokoh-tokoh di balik tindak kekerasan yang dilakukan terhadap muslim Rohingya? 4. Apa yang melatarbelakangi terjadinya pemberontakan di Arakan? 5. Bagaimana muslim Rohingya melakukan perlawanan terhadap penindasan yang menimpa mereka?
1.5 Tujuan Penulisan Tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut. 1. Mendeskripsikan dan mengungkapkan masalah yang terjadi pada muslim Rohingya. 2. Memberikan informasi-informasi yang jelas kepada khalayak umum mengenai masalah muslim Rohingya yang selama ini kurang diperhatikan.
1.6 Kerangka Teori Dalam ilmu sosial terdapat istilah yang dikenal dengan interaksi sosial. Bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerja sama, persaingan, dan bahkan pertentangan atau konflik. Menurut Gillin dan Gillin yang dikutip oleh Soerjono Soekanto, ada dua macam proses sosial yang timbul sebagai akibat adanya interaksi sosial. Pertama, proses sosial yang asosiatif. Proses ini dibagi dalam tiga bentuk khusus, yaitu: akomodasi, asimilasi dan akulturasi. Kedua, proses sosial yang
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
disosiatif. Proses ini mencakup persaingan yang meliputi kontravensi dan konflik. 23 Sesuai dengan masalah yang diangkat dalam tulisan ini maka penulis menggunakan proses disosiatif dalam bentuk konflik untuk menganalisis permasalahan antara muslim Rohingya dan pemerintah Burma yang merupakan bentuk persaingan antara penguasa dan kelompok minoritas. Konflik adalah proses sosial suatu individu atau sekelompok orang yang berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan kekerasan. Pertentangan atau konflik merupakan akibat dari tajamnya perbedaan-perbedaan, seperti perbedaan kebudayaan, perbedaan kepentingan, baik itu kepentingan ekonomi maupun kepentingan politik, dan akibat perubahan sosial. 24 Konflik mempunyai beberapa bentuk khusus, diantaranya konflik pribadi, konflik rasial, konflik antar kelas sosial, konflik politik, dan konflik internasional. Dalam penulisan ini akan digunakan konflik rasial dan konflik politik. Konflik rasial tidak hanya terletak pada perbedaan fisik, tetapi juga terletak pada perbedaan kepentingan dan kebudayaan. Konflik akan semakin berkembang jika ditambah dengan kenyataan bahwa salah satu etnis adalah kelompok mayoritas. 25 Menurut Ted Robert Gurr, yang dikutip oleh Riza Sihbudi, ada tiga penyebab terjadinya pemberontakan. Pertama, psikologis masyarakat akibat tekanan yang terus
23
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 77 78 24 Ibid. hlm. 107 – 108. 25 Ibid. hlm. 111 – 112.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
dilakukan sehingga menimbulkan pemberontakan. Pemberontakan tersebut akan semakin cepat berkembang jika ada tokoh dari masyarakat yang tertindas turut mendukung bahkan menjadi pemimpin perlawanan tersebut. Kedua, perbedaan kelas antar masyarakat yang tajam, sehingga menimbulkan kecemburuan sosial atau bahkan ketegangan sosial. Ketiga, rasa curiga akibat faktor suku atau agama dari pihak minoritas terhadap kaum mayoritas yang mendominasi. 26 Selain itu, Ted Robert Gurr menyebutkan, pemberontakan terjadi karena adanya respon dari kekecewaan yang tidak dapat dihindari lagi. Kekecewaan tersebut tidak perlu menimbulkan pemberontakan, namun kemarahan yang disebabkan oleh kekecewaan merupakan kekuatan yang mendorong manusia untuk melakukan pemberontakan. Apabila kekecewaan atau tekanan yang dialami cukup lama atau terasa sangat menyakitkan, maka pemberontakan akan sangat mungkin terjadi. Orang-orang yang tertekan memiliki watak untuk melakukan pemberontakan yang sebanding dengan intensitas rasa tertekan tersebut. 27 Sedangkan menurut Eric A. Nordlinger, salah satu penyebab terjadinya konflik antar kelompok suku adalah masalah agama. Konflik ini dapat menimbulkan perpecahan. Kelompok tersebut cenderung memperlihatkan pertentangan emosional antar satu sama lain. Dalam hal ini perbedaan agama di Arakan yang menyebabkan konflik antar muslim Rohingya dan Budha Arakan. 28
26
Riza Sihbudi, dkk., Op. Cit. hlm. 192. Thomas santoso, Teori-Teori Kekerasan (Jakarta, 2002), hlm. 73. 28 Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik, Kudeta Dan Pemerintahan, terj. Drs. Sahat Simamora (Jakarta, 1990), hlm. 213 – 214. 27
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Untuk melengkapi penulisan skripsi ini, penulis menggunakan teori kekuasaan. Teori kekuasaan dijalankan melalui saluran-saluran tertentu, yaitu saluran politik, saluran militer, saluran ekonomi, saluran tradisional, dan saluran ideologi. Dalam penulisan ini penulis lebih menekankan pada saluran politik dan saluran militer. Dalam saluran politik penguasa dan pemerintah berusaha untuk membuat peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh masyarakat dengan cara antara lain, meyakinkan atau memaksa masyarakat untuk mentaati peraturan-peraturan yang telah dibuat oleh badan-badan yang berwenang dan sah. Sedangkan saluran militer merupakan saluran yang digunakan para penguasa dengan memakai cara paksaan serta kekuatan militer. Untuk keperluan tersebut, seringkali dibentuk organisasiorganisasi atau pasukan khusus yang bertindak sebagai dinas rahasia. Hal ini banyak dijumpai pada negara totaliter. 29 Persis seperti apa yang terjadi pada muslim Rohingya mereka dipaksa untuk melakukan berbagai tindakan paksaan dari pemerintah, misalnya membangun pagoda di atas tanah bekas masjid milik mereka yang dihancurkan oleh pemerintah atau dikirimkannya Burma Territorial Force (BTF) yang dipimpin oleh Mayor Tha Kyaw untuk menyerang gerakan Mujahid yang menyebabkan gerakan ini tidak berjalan selama beberapa tahun hingga akhirnya dibubarkan. Pemerintah Militer yang berkuasa tidak mampu untuk mengatasi konflik yang semakin parah, menurut Eric A. Nordlinger, militer telah membuat konflik menjadi lebih parah. Beberapa juta orang semakin menderita sewaktu junta militer 29
Soerjono Soekanto, Op. Cit. hlm. 301 – 302.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
menjalankan pemerintahannya. Tindakan mereka telah menimbulkan perang saudara, pemberontakan, pertumpahan darah dan pembunuhan. 30 Pemerintah militer menganggap kompromi, tawar menawar, dan penyesuaian dalam bentuk kelompok yang bertentangan adalah cara yang negatif. Langkah perdamaian yang demikian dianggap kurang penting, tidak objektif dan berbahaya. Cara-cara tersebut tidak disenangi oleh para elit militer. Tindakan ke arah perdamaian tidak dihargai dan merupakan tanda kelemahan, niat yang tidak kuat, dan semangat yang lemah. Mereka lebih bersedia menghadapi kekerasan daripada berdiskusi, melakukan penindasan daripada kompromi. Tawar menawar dan kompromi bukan merupakan cara yang umum dilaksanakan oleh pemerintah militer. 31 Dengan demikian, militer tidak melaksanakan tugas yang rumit guna mencari penyelesaian politik yang dapat diterima oleh kelompok suku yang bertentangan. Mereka juga tidak bersedia untuk memberi konsesi kepada kelompok suku yang bertentangan dengan sasaran dan kebijakan militer sendiri. Mereka lebih cenderung mengeluarkan keputusan yang disepakati oleh satu pihak saja. Memaksakan kehendak mereka sendiri, atau menindas satu kelompok dengan kekerasan, daripada pandangan yang penting di antara kelompok itu atau dengan kelompok yang lain. 32
30
Eric A. Nordlinger, Op. Cit. hlm. 212. Ibid. hlm. 218 – 219. 32 Ibid. 31
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
1.7 Metode Penulisan Penulisan ini menggunakan proses metode sejarah. Dalam metode ini dikenal empat tahap. Tahap pertama adalah Heuristik. Heuristik adalah proses mencari dan menemukan sumber. Dalam metode ini penulis telah mendapatkan data primer dan sekunder yang didapatkan dari beberapa perpustakaan dan situs media online yang terkait dengan penulisan ini. Tahap kedua adalah kritik, yaitu proses memilah-milah sumber. Sumbersumber buku yang telah penulis dapatkan merupakan buku Burma secara umum, maka penulis memilah sumber tersebut sesuai dengan tema penulisan ini, yaitu berdasarkan wilayah, etnis, dan periode. Tahap ketiga adalah interpretasi, yaitu aplikasi berbagai teori untuk menganalisis masalah. Dalam skripsi ini penulis akan menggunakan teori sosial dan beberapa teori militer. Tahap terakhir adalah historiografi, yaitu penulisan sejarah. Dalam tahap ini penulis akan memaparkan peristiwa tematis pemberontakan muslim Rohingya.
1.8 Sumber penulisan Dalam skripsi ini penulis tidak hanya menggunakan sumber buku, tetapi juga mendapatkan sumber dari media online, surat kabar harian Suara Pembaruan yang terbit pada tahun 1990 dan surat kabar harian Tempo tahun 1989. Sumber buku penulis dapatkan dari Central for Strategic and International Study (CSIS), Lembaga
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Perpustakaan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB UI), dan Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia. Sedangkan sumber surat kabar penulis dapatkan di Perpustakaan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB UI) dan CSIS. Sementara itu, untuk media online penulis mendapatkan sumber dari situs-situs antara lain, http://www.rohingya.com, http://www.rakhapura.com, http://www.burmaissues.org, http://web.amnesty.org, http://www.eramuslim.com, dan http://www.harunyahya.com.
1.9 Sistematika penulisan Skripsi ini terdiri dari lima bab. Bab Pertama adalah bab pendahuluan. Bab ini berisi latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penulisan, alasan memilih judul, ruang lingkup penulisan, kerangka teori, metode penulisan, sumber penulisan dan sistematika penulisan. Bab kedua menjelaskan tentang Burma secara umum, gambaran kehidupan etnis, masa pemerintahan di Arakan, kehidupan beragama, dan kehidupan muslim di Burma. Bab ketiga membahas muslim Rohingya dan perkembangannya serta perlakuan mayoritas Budha dan pemerintah Burma terhadap muslim Rohingya. Bab keempat berisi tentang latar belakang terjadinya gerakan pemberontakan, pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh gerakan-gerakan sporadis pada masa pemerintahan U Nu dan masa pemerintahan junta militer Jenderal Ne Win,
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
tentang operasi Naga Min dan undang-undang kewarganegaraan 1982 serta tinjauan analisis dengan berbagai penggunaan teori sebagai bentuk analisis masalah. Bab kelima adalah kesimpulan dari skripsi ini dan sebagai pelengkap disertakan juga daftar pustaka, dan lampiran-lampiran.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
BAB 2 BURMA DAN MASYARAKATNYA
2.1 Burma Burma merupakan negara yang komunitasnya dibagi menjadi tujuh division, yaitu Ayeyarwady, Bago, Magway, Mandalay, Sagaing, Tanintharyi, dan Rangoon. Burma juga dibagi menjadi tujuh state, yaitu Chin, Kachin, Kayin, Kayah, Mon, Rakhine, dan Shan. 33 Di dalam undang-undang reformasi peta modern Burma, tahun 1974, 34 disebutkan bahwa ada tujuh division, populasi terbesar di Burma. Disebutkan pula ada tujuh etnik minoritas, yaitu Chin, Kachin, Karen, Kayah, Mon, Rakhine (Arakan), dan Shan. Prosentase terakhir populasi etnis di Burma adalah etnis Burma 68%, Shan 9%, Rakhine 4%, Chinese 3%, India 2%, Mon 2%, dan etnis minoritas lainnya 5%. Hal itu menunjukkan adanya percampuran etnis yang sangat kompleks. Akibatnya, lebih dari 100 bahasa ditemukan di Burma. 35
33
The World Fact Book, “Burma” (7 Maret 2006, 13.14), terdapat di situs http://www.cia.gov/cia/publications/factbook/geos/bm.html 34 Martin Smith, BURMA: Insurgency and The Politics of Ethnicity (NewYork, 1991), hlm. 30. 35 Ibid.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Pada masa lalu, Burma dikenal sebagai sebuah tempat yang menarik perhatian bagi para antropolog. Hal itu karena Burma memiliki begitu banyak etnis yang berbeda satu sama lain. Secara umum para antropolog sepakat bahwa penduduk modern Burma dikenal dengan nama Mons yang terletak di Asia Selatan. Mereka adalah keturunan Austro Asiatic atau Mon Khmer yang kebanyakan berasal dari Asia Tenggara. Mereka juga disebut suku Palaung atau Ta-ang dan Wa pada saat pemerintahan Shan. Suku yang pertama kali menetap adalah Karen dan Chin. Kemudian, mereka pindah ke bagian tengah. Hal itu terjadi sebelum adanya migrasi suku-suku Burma ke bagian utara Burma pada abad ke-9 dan ke-10. Pada saat yang sama, suku Shan pindah melalui sungai-sungai di kaki gunung, timur laut. Mereka melewati mayoritas etnik lain menuju ke Asia Tenggara. Gambaran etnik-etnik pada saat itu terlihat jelas karena adanya migrasi bermacam-macam suku. Suku terbesar adalah Tibeto-Burmese yang pindah ke daerah pegunungan ke arah tenggara. Perpindahan tersebut menjadi beberapa macam subkomunitas Kachin. Perpindahan itu terus berlanjut hingga Thailand, mulai dari bermacam-macam suku di daerah perbukitan, seperti Lisu dan Akha. 36 Para sejarahwan melihat adanya suku-suku kecil seperti Mon, Burma, Arakan, dan Shan di daerah perbukitan. Kerajaan-kerajaan itu menjadi basis sebuah pemerintahan kota kecil yang di dalamnya sudah mulai dibangun struktur-struktur politik. Kekuasaan pemerintahan sudah mulai muncul pada kerajaan-kerajaan tersebut dengan frekuensi yang sangat besar. Umumnya, pemerintahan itu seperti sistem 36
Ibid. hlm. 32.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
monarki, misalnya yang digunakan suku Anawrahta, yang memiliki Undang-Undang Pagan di Burma, abad 11. Undang-undang tersebut menciptakan kestabilan sistem pemerintahan. Pada abad ke-14 dan ke-15 disebut sebagai abad kejayaan Shan. Pada awal abad ke-16, suku Mon di Burma mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Mon Pegu. Ada sebuah anggapan bahwa pada abad 18 adalah masa kejayaan Karen. Di Burma, ada tiga dinasti yang cukup besar, yaitu Anawrahta (abad ke-11), Bayinaung (abad ke-16) dan Alaungphaya (abad ke-18). Tiga kerajaan tersebut membentuk sebuah kerajaan yang terpusat dan akhirnya merekam sebuah sejarah. 37 Secara umum, konflik etnik yang terjadi di Burma semenjak kemerdekaan telah menimbulkan banyak interpretasi karena banyak perbedaan sudut pandang. Jika dikaitkan dengan kondisi politik kontemporer, perbedaan sudut pandang itu terjadi karena sistem akademik yang ada menyebabkan para pemimpin politik sulit untuk memimpin serta membangun identitas sejarah yang tepat untuk Burma. 38 Pada masa pemerintahan Inggris, perbedaan sudut pandang itu dianggap sebagai masalah yang lebih membingungkan sejarah Burma tentang hubungan etnik. Pada zaman tersebut, banyak informasi tertulis yang akhirnya menjadi sebuah persepsi dasar secara umum. Pada saat itu juga para kolonialis dan misionaris masuk ke Burma untuk menjelajah dan menjalankan misinya. 39
37
Ibid. Ibid. hlm. 33. 39 Ibid. 38
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Pada saat itu, ada kebijakan untuk menyatukan suku-suku minoritas dan menghilangkan etnis atau Burmanisasi minoritas-minoritas yang ada. Namun, para politikus tidak setuju dengan penyatuan perbedaan-perbedaan itu. Menurut salah seorang politikus, Aung San, politik etnik tersebut adalah garda-garda terdepan dalam politik persatuan nasional. Para sejarahwan sepakat dengan hal itu. Menurut mereka, permasalahan persukuan di Burma sangat kompleks. Banyak kajian yang menyatakan dengan jelas, bahwa dalam sejarah Burma, tidak ada masyarakat yang hanya satu suku. Sebagai contoh, tidak hanya kerajaan Burma yang memiliki peraturan pemerintahan dalam kerajaannya. Namun, juga Arakan, Shan dan Mon. Selain itu, ada juga beberapa pemerintahan kecil yang mencerminkan masyarakat multietnik. 40 Thakin Mya, seorang anggota dewan majelis, pada 1947, mengklaim bahwa sangat sulit untuk menghomogenkan rakyat Burma dalam satu negara. Menurutnya, secara ekonomi dan geografi, negara Burma adalah negara persatuan yang tidak dapat dibagi-bagi. 41 Tahun 1982, Burma memiliki hukum kependudukan yang ekstrem di dunia internasional. Secara teoretis, kependudukan secara penuh hanya diberikan kepada penduduk asli di Burma (sebelum adanya penyatuan dengan Inggris pada 1824). Hal itu menyebabkan orang-orang non-Budha sangat dicurigai dan banyak yang ditawan. Pada 1978, para tawanan non-Budha tersebut dieksodus dalam jumlah besar. Lebih dari 200.000 muslim Arakan pergi ke Bangladesh setelah terkena operasi sensus
40 41
Ibid. hlm. 34. Ibid. hlm. 35.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Naga Min. Operasi itu dilakukan pemerintah dengan cara memeriksa kartu identitas mereka secara kejam. 42 Angka kelahiran suku-suku minoritas semakin besar. Sejak Inggris dan India pergi dari Burma, populasi di Burma semakin bertambah walaupun perlahan. Akibatnya, ada marginalisasi integritas. Hal itu terbukti dengan berlanjutnya perang saudara dan ketegangan-ketegangan politik sampai sekarang. Selain itu, bahasabahasa etnis minoritas jarang diajarkan di sekolah. Bahkan hanya sedikit pengembangan ekonomi yang dialokasikan untuk para etnis minoritas. Hal tersebut membuat etnis minoritas sangat dirugikan. 43
2.2 Pemerintahan di Arakan Secara garis besar sejarah Arakan dibagi menjadi enam periode, yaitu: Pertama, Kerajaan Independen 2666 SM – 1784 M, kedua, masa Pemerintahan Burma 1784 – 1826, ketiga, masa Pemerintahan Inggris 1826 – 1942, keempat, masa Pemerintahan Jepang 1942 – 1945, kelima, masa Pemerintahan Inggris 1945 – 1948, dan keenam, masa Pemerintahan Burma 1948 – sekarang. 44
42
Ibid. hlm. 37. Ibid. hlm. 38. 44 Abdul Mabud Khan, “The Liberation Struggle in Arakan,” (7 Maret 2006, 13.10), terdapat dalam situs http://www.rakhapura.com/read.asp?id=15&a=scholarscolumn 43
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
2.2.1 Masa Kerajaan Arakan Di bawah periode sejarah yang berbeda, Arakan telah menjadi sebuah kerajaan yang dipimpin oleh kaum Hindu, Budha, dan Islam. Menurut A. P Phayre dan G.E. Harvey, yang dikutip oleh Mohammed Ashraf Alam, 45 Arakan didirikan secara bergantian pada delapan kota. Mereka adalah Dhannyawadi (146 – 746) 25 raja, Vaisali (788 – 994) 12 raja, Pyin Tsa pertama/Sanbawut (1018 – 1103) 15 raja, Pa-rein (1103 – 1167) 8 raja, Kharit (1167 – 1180) 4 raja, Pyin Tsa kedua (1180 – 1237) 16 raja, Launggrat (1237 – 1430) 17 raja, dan Mrauk-U (1430 – 1784) 48 raja. 46 Marayu, raja pertama Arakan mendirikan kota Dhannyawadi, kemudian keturunannya memimpin Arakan selama 1800 tahun. Dia adalah anak dari pangeran Kapilavastu yang diusir dari tempat kelahirannya oleh lawan politiknya. Ketika Marayu mulai dewasa, ia memimpin seluruh suku dari ibunya bersama pengikutpengikut ayahnya dari India. Setelah itu, dia mendirikan sebuah dinasti di Arakan pada tempat yang disebut Dhannyawadi, dari sinilah dinasti itu disebut dinasti Dhannyawadi. 47 Setelah jatuhnya dinasti Dhannyawadi pertama, muncullah Dhannyawadi kedua yang didirikan oleh Kanrazagri. Keturunan Kanrazagri memimpin Arakan selama lebih dari 800 tahun. Dinasti yang didirikan oleh Kanrazagri ditaklukan oleh
45
Alam, Loc. Cit. Ibid. 47 Khan, Loc. Cit. 46
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
raja Surya, ia mendirikan kota Dhannyawadi yang ketiga. 48 Menurut Morris Collis, yang dikutip oleh Mohammed Ashraf Alam, 49 Hindu memerintah Arakan dari abad pertama hingga abad ke-10. Pada waktu itu, Arakan merupakan jembatan bagi orang Hindu India untuk melakukan hubungan dengan negara-negara di timur. Akan tetapi, riwayat Rakhine Arakan mengklaim bahwa kerajaan Dhannyawadi ditemukan pada tahun 2666 SM dan terdapat nama raja yang dimulai sejak masa itu. 50 Pada masa Raja Sandhaturiya (146 – 198) terdapat patung Mahamuni yang merupakan patung dewa Budha terkenal sebagai tanda penghormatan kepada dewa Budha. Pada awal abad permulaan, patung tersebut biasanya ditempatkan di daerah suci di bukit Shiri Gupta di Dhannyawadi, sebuah kota tua yang terletak 25 mil ke utara dari Mrauk-U. 51 Patung itu dibawa ke Amarapura ketika Arakan ditaklukkan oleh Burma pada 1784. Di Arakan, raja Budha juga dikenal sebagai Mahamuni. 52 Pada akhir abad ke-8, sejarah menyebutkan adanya dinasti Chandra. Ibu kotanya disebut Vaisali (bahasa India). Selama 230 tahun, 13 raja dari dinasti itu berkuasa. Kota Vaisali didirikan pada tahun 788 oleh raja Mahataing Sandya. Reruntuhan kota tersebut masih tampak pada tepi anak sungai sepanjang 44 mil pada teluk Bengal dari kota Akyab. Kota ini menjadi pelabuhan perdagangan yang penting yang disinggahi oleh ribuan kapal secara terus menerus. Raja-raja dinasti Chandra meluaskan kekuasaan mereka ke sebelah utara, yaitu Chittagong. Vaisali runtuh 48
Ibid. Alam, Loc. Cit. 50 Khan, Loc. Cit. 51 Alam, Loc. Cit. 52 Khan, Loc. Cit. 49
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
karena invasi oleh Shan pada 957. Meskipun dalam keadaan tidak stabil, ia tetap menjadi ibu kota hingga 1018. Sebelum kedatangan Islam di Arakan, orang-orang Vaisali merupakan penganut Hindu dan Budha. Kemudian, mereka meninggalkan Hindu dan memeluk agama Budha dan Islam. 53 Pada tahun 1430, di Arakan berdiri dinasti Mrauk-U. Dinasti Mrauk-U adalah sebuah kerajaan Islam dengan Sultan Sulaiman Shah sebagai pendirinya. Sultan Sulaiman Shah dibantu oleh orang-orang dari Bengal. Ketika itu, setiap orang yang akan diangkat menjadi raja harus dipilih secara konstitusional dengan syarat harus mengerti ilmu pengetahuan tentang agama Islam. 54 Selama masa dinasti Mrauk-U, sastra dan budaya di Arakan berkembang dalam setiap segi kehidupan. Masa itu disebut “Masa keemasan dalam sejarah Arakan”. Arakan memasuki masa paling jaya dalam sejarahnya dengan naiknya Raja Mong Ben (1531 – 1553). Raja-raja Arakan mendirikan kekuasaan mereka di daerah Chittagong selama abad 16. Selama kekuasaan Raja Razagri (1593 – 1612), dalam waktu yang singkat, jajahan Arakan meluas dari Sunderban sampai ke Monlmein. Pada masa pertengahan, beberapa raja Arakan menggunakan gelar muslim dan menggunakan tulisan Arab di mata uang mereka, meniru raja-raja Bengal. 55 Kerajaan Arakan jatuh ke tangan orang-orang Burma pada 1784. Thamada, raja terakhir Arakan menjadi sandera. Ia dideportasi ke Pegu bersama keluarga dan pengikutnya, juga bersama patung Mahamuni. Arakan, untuk pertama kalinya 53
Alam, Loc. Cit. Riza Sihbudi, dkk., Op. Cit. hlm. 51. 55 Khan, Loc. Cit. 54
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
kehilangan kemerdekaannya dan menjadi jajahan kekuasaaan asing. Arakan kemudian menjadi bagian dari wilayah Burma. 56
2.2.2 Masa Pemerintahan Burma Pada tahun 1784, Raja Burma Boddawphaya mengirimkan 30.000 tentara untuk menaklukkan Arakan atas permintaan bangsawan Nagasandi. Tentara tersebut kembali pada Februari 1785 dengan keluarga kerajaan dan 20.000 tahanan. Pada penaklukkan itu ribuan muslim dan Budha Arakan terbunuh. Tentara-tentara Burma menghancurkan masjid, kuil, tempat-tempat suci, sekolah, dan perpustakaan kerajaan Mrauk U. Mereka juga membawa Patung Mahamuni, milik Budha Arakan, ke Burma. Jatuhnya kerajaan Mrauk U merupakan pukulan keras bagi umat muslim, saat itu semua benda dan budaya Islam dihancurkan.57 Selama masa pemerintahan Burma (1784 – 1824), sekitar 200.000 penduduk (Rohingya dan Rakhaing) mengungsi ke berbagai daerah. Kemudian, pemerintah Inggris di daerah India Timur menerima pengungsi tersebut di wilayah selatan Chittagong. Setelah Burma berkuasa selama 40 tahun, Inggris berhasil menguasai Burma pada 1824. 58
56
Ibid. Alam, Loc. Cit. 58 Ibid. 57
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
2.2.3 Masa Kolonisasi Inggris dan Jepang Inggris melengkapi jajahannya ke seluruh bagian Burma tahun 1826 dan menjadikan Burma sebagai bagian dari India tahun 1886. Dengan demikian, jumlah penduduk Arakan berkurang. Beberapa bulan setelah perjanjian di Yandabo, Mr. Paton, pengawas urusan sipil di Arakan, mengajukan sebuah data rinci ke Inggris tentang batas wilayah, sejarah, populasi, angka produksi, kebiasaan, dan adat-istiadat penduduk Arakan. Ia menyebutkan bahwa populasi Arakan adalah 100.000. Jumlah itu terdiri atas Maghs 60.000, Muslim 30.000, dan Burma 10.000. Pada saat itu, muslim Arakan yang telah ditaklukkan oleh Inggris adalah 30.000 orang. Jumlah tersebut merupakan 30% dari total populasi di Arakan. Ketika situasi Arakan damai, muslim Arakan yang berasal dari Chittagong mulai membangun kembali rumah nenek moyang mereka di Arakan. Sebenarnya, orang-orang tersebut tidak takut datang ke Arakan karena mereka tahu Arakan merupakan “Mugher Mulluk”, yaitu negara yang tidak berhukum. 59 Selama abad ke-15 sampai abad ke-16 terjadi perubahan besar. Islam lebih berpengaruh daripada Budha. Pengaruh Islam itu ditunjukkan dengan kedatangan Raja Moghul India, Shah Suja, ke Arakan. Populasi muslim Rohingya pun semakin lama semakin bertambah. 60 Selama perang dunia kedua, diperkirakan 500.000 orang imigran, orang India dan orang muslim, meninggalkan Burma. Sebagian tunduk pada pemerintah Inggris.
59 60
Ibid. Ibid.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Sebagian lagi dikejar secara kejam oleh nasionalis Burma Independent Army (BIA). Pada saat itu, ribuan orang dilaporkan mati karena kelaparan, terserang penyakit, atau karena serangan sporadis. Namun, kejadian itu hanya sedikit yang diceritakan dalam sejarah modern Burma. 61 Pada saat itu, di Arakan, banyak muslim dan Budha lokal yang mengatakan tidak ada masalah serius antara kedua komunitas agama tersebut. Masalah itu dikobarkan ketika unit BIA pertama memasuki daerah Arakan bersama Japanese Imperial Army. BIA secara langsung memberikan peringatan tentang terjadinya pengusiran orang-orang India. Mereka juga mengatakan ada yang menjadi pendukung Inggris di Burma Pusat. Selain itu, mereka menanyakan kenapa nasionalis Rakhaing tidak melakukan hal yang sama. Oleh karena itu, terjadilah pemberontakan pertama, yaitu tahun 1942. 62 Penyebab utama konflik yang terjadi di Arakan pada 1942 adalah akibat invasi Jepang terhadap Burma. Konflik tersebut terus berlangsung hingga Inggris berhasil mengusir Jepang keluar dari Arakan, tahun 1945. Selama tiga tahun invasi Jepang tersebut (1942 – 1945), Arakan, termasuk Inggris, berada dalam posisi terjepit. Saat itu, keadaan Arakan sangat kacau. Tidak ada hukum yang mengatur dan keadaan administrasi pemerintahan yang cukup berantakan. Pembangunan Arakan pun tereksploitasi oleh Jepang dan Inggris karena kedua negara tersebut punya kepentingan masing-masing di Arakan, baik kepentingan militer maupun keinginan
61 62
Ibid. Ibid.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
untuk menghancurkan rakyat Arakan secara mental. Puncak dari perang tersebut adalah usaha mengasingkan Arakan dan Burma dari dunia internasional. Hal itu mengakibatkan dampak yang sangat besar bagi Arakan. 63 Salah satu dampak besar yang dirasakan oleh Arakan akibat perang tersebut adalah hubungan yang baik antara muslim Arakan dan Inggris. Sementara itu, hubungan dengan Jepang telah memicu konflik internal atau perang saudara antara Budha dan komunitas muslim. Selama kekuasaan Jepang, Budha menjadi mayoritas di wilayah itu. Mereka mengusir muslim Arakan dan menyebabkan muslim Arakan melarikan diri ke wilayah utara. Di wilayah utara, tempat daerah-daerah kekuasaan Inggris, tidak ada diskriminasi terhadap muslim Rohingya, terutama di daerah Maungdaw. 64 Pada bulan Desember 1942 hingga April 1943, Jepang berusaha melakukan penyerangan terhadap Inggris. Saat itu, Inggris kalah dan akhirnya daerah kekuasaan Inggris, yang merupakan daerah muslim Rohingya, berhasil direbut oleh Jepang. Akibatnya Inggris harus menyerahkan populasi muslim tersebut. Pemerintah Jepang kembali melakukan tindakan diskriminasi terhadap muslim Rohingya. 65 Pada bulan April 1942, Inggris melakukan serangan dengan menggunakan gerilya yang disebut dengan V Force. Serangan tersebut dilakukan oleh pasukan garis depan Inggris. Muslim Arakan juga dikerahkan untuk menjadi tentara oleh Inggris
63
Clive J. Christie, A Modern of History Southeast Asia: decolonization, nationalism and separatism (London, 1996), hlm. 165. 64 Ibid. 65 Ibid.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
pada September 1942. Pada 1943, setelah masa pelatihan selesai, para tentara muslim Arakan yang tergabung dalam V Force ini mulai memainkan peranan penting dalam merebut kota Arakan. Muslim Arakan beroperasi di daerah-daerah yang memang tidak ada pemiliknya dan di belakang garis perbatasan musuh dengan tujuan untuk mendapatkan informasi. Mereka juga mengerahkan pasukan, menyelamatkan para pilot yang tertembak pesawatnya, dan menghukum para mata-mata dan pengkhianat yang tertangkap basah telah bekerja untuk Jepang. 66 Pada akhir tahun 1943 sampai awal tahun 1944, militer Inggris melakukan sebuah serangan baru di Arakan, untuk mengambil alih Arakan Utara dan kemudian beralih ke arah selatan, menuju Akyab. Pada Januari 1944, Inggris mengambil alih Maungdaw dengan kekuatan V Force, yang berperan penting dalam serangan ini. Namun, rencana Inggris tersebut gagal karena adanya serangan dari Jepang di daerah Buthidaung. Jepang memukul mundur Inggris hingga kembali ke wilayah Bengal. 67 Setelah pertempuran yang cukup lama membuat Inggris putus asa, serangan udara pun akhirnya digencarkan. Inggris terus mengontrol jalur darat di sekitar pegunungan yang menghubungkan Maungdaw dengan Buthidaung. Sebelum Desember 1944, Inggris berhasil mendapatkan Buthidaung. Awal Januari 1945, Inggris mengalahkan Jepang dan hampir seluruh wilayah Arakan berada di bawah kekuasaan Inggris. 68
66
Ibid. hlm. 166. Ibid. 68 Ibid. 67
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Setelah perang, para muslim Rohingya secara tidak resmi telah mengusahakan banyak hal yang berhubungan dengan status mereka. Inggris telah berjanji untuk memberikan mereka sebuah wilayah nasional Islam di Maungdaw atas balasan bantuan yang mereka berikan saat perang. Para tentara muslim Arakan yang tergabung dalam V Force, para pemimpin Islam, seperti juga Anthony Irwin, merasa sangat khawatir Inggris akan mengingkari janji tersebut. Menurut Anthony Irwin, mereka pantas diberikan imbalan atas bantuan militer yang telah mereka berikan untuk Inggris. Irwin mengatakan: “Sebenarnya kaum-kaum minoritaslah yang paling banyak membantu Inggris selama tiga tahun ini untuk menyerang Jepang, mereka berperang dan menjadi tentara pendukung Inggris. Namun, sepertinya kaum-kaum minoritas inilah yang dilupakan oleh pemerintah Inggris. Seharusnya tidak! Inggris harus melihat siapa yang membantu mereka berperang dan kewajiban Inggrislah untuk memberikan penghargaan terhadap apa yang telah mereka lakukan.” 69 Dalam waktu yang cukup lama, akhirnya muslim Arakan mendapatkan wilayah mereka di Arakan Utara. Inggris memberikan otonomi pemerintahan lokal kepada mereka. Untuk mengamankan pemerintahannya, orang-orang Budha yang dulu bekerja untuk Jepang tidak diberikan jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan Inggris. Para tahanan muslim Arakan yang dulu melarikan diri ke Bengal Selatan selama perang berlangsung, akhirnya kembali ke desa mereka masing-masing. Ada juga para imigran yang berasal dari Chittagong, yang memanfaatkan situasi ini dengan pindah ke Arakan Utara. 70
69 70
Ibid. Ibid.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Selama Inggris berada di Burma (1945), isu yang diangkat oleh Inggris adalah menstabilkan pemerintahan setelah peperangan. Muslim Arakan yang tinggal di Arakan Utara juga melihat adanya para imigran dan para tahanan yang masuk ke Arakan Utara. Hal itu dapat memicu isu rasis dan memperburuk ketegangan antaragama. 71 Di Arakan, terjadi demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan oleh para orangorang nasionalis yang tidak menginginkan adanya pemerintahan Inggris. Pada 1946, keadaan semakin anarkis. Hal tersebut terjadi karena adanya pengaruh komunis. Sayangnya, Aung San sebagai pemimpin AFPFL (Anti-Facist People’s Freedom League) tidak dapat menyelamatkan situasi di Arakan, terutama kondisi politiknya. Hal itu memperlihatkan pemerintah yang kurang bertanggung jawab. 72 Setelah Perang Dunia II, di Arakan Utara ada dua masalah besar. Masalah pertama, yang merupakan masalah lokal, adalah perang saudara antara Islam dan Budha. Perang saudara tersebut sudah terjadi sejak tahun 1942 dan terus berlangsung sampai setelah Perang Dunia II. Masalah kedua, yang merupakan masalah nasional, yaitu kekhawatiran para pemimpin muslim jika Inggris ditarik keluar dari Burma, yang akhirnya menggantikan posisi mereka di pemerintahan oleh mayoritas Budha. Dua masalah tersebut akan berdampak besar bagi muslim Arakan. 73
71
Ibid. hlm. 167. Ibid. 73 Ibid. 72
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
2.2.4 Arakan Setelah Kemerdekaan Burma Setelah 40 tahun di bawah peraturan tirani Raja Boddawphaya di Burma, kolonialis Inggris merebut Arakan dan memasukkannya ke India. Pada 1937, Inggris memisahkan Burma dari India dan memasukkan Arakan menjadi bagian dari kolonialis Inggris. Hal itu menunjukkan peraturan Home Rule (yang merupakan peraturan administratif internal) dilakukan oleh Inggris dengan seenaknya. Tahun 1948, daerah Arakan hanya merupakan daerah kecil yang pemerintahan pusatnya dipegang oleh Burma. Sebelum Burma merdeka, Arakan berada di bawah perencanaan para pemimpin dan orang-orang yang berkepentingan di Burma. Arakan tetap berada di bawah peraturan kolonial. Pemerintahan Arakan dipegang oleh orang Burma, lalu oleh Inggris. Setelah itu, Arakan diperintah kembali oleh orang Burma. 74 Pada tanggal 7 Oktober 1947, diadakan Konferensi London untuk membicarakan masalah kemerdekaan Burma. Berdasarkan konferensi tersebut, akhirnya, kekuasaan Inggris diserahkan kepada pemerintah Burma pada 4 Januari 1948. Tanggal tersebut dijadikan sebagai hari kemerdekaan Burma. Namun, usaha meraih kemerdekaan harus ditebus dengan nyawa Aung San. Pemimpin AFPFL itu dan juga sembilan calon anggota kabinet ditembak mati oleh lawan politiknya. Saat itu, mereka sedang mengadakan pertemuan untuk menentukan masa depan negerinya, Juli 1947. Akhirnya, wakil presiden AFPFL, U Nu, terpilih menjadi perdana menteri Burma. 75
74 75
Alam, Loc. Cit. Priyambudi, “Burma Yang Penuh Pergolakan,” Suara pembaruan, 29 Mei, 1990.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Seperti halnya di wilayah lain Burma, di Arakan, kekerasan politik juga terjadi saat perjuangan kemerdekaan. Kepentingan politik, baik dari komunitas muslim maupun Budha, sangat diatur oleh pemerintah pusat Burma di Rangoon dan Arakan. Namun, status mereka sebagai warga negara bagian tidak pernah dijamin. Padahal, umat Islam secara jelas telah mendapatkan empat kursi dalam parlemen. Hal itu merupakan bukti nyata bahwa status negara bagian mereka harus diakui.76 Pada awal kemerdekaan, perdana menteri U Nu telah mengecewakan muslim Rohingya. Karena didalam draft konstitusi Burma kaum muslim tidak dimasukkan dalam kategori kelompok minoritas. Padahal pada saat itu, jumlah umat muslim di Burma merupakan minoritas terbesar setelah Suku Karen. Akibatnya, umat muslim tidak memiliki hak keminoritasan, seperti kuota dalam legislatif dan jaminan khusus dalam soal intervensi status hukum individu kaum minoritas. Teorinya, posisi umat muslim diangkat tinggi-tinggi, AFPFL menyatakan bahwa semua muslim Burma, baik yang pribumi maupun yang hasil kawin campur, diperlakukan sama dengan etnis Burma lainnya, termasuk kesempatan menjadi presiden atau anggota parlemen. Namun dalam kenyataannya kebijakan tersebut tidak memberikan jaminan bagi umat muslim, karena umat muslim tidak memiliki kesempatan untuk diangkat sebagai legislator. 77 Pada saat para komunis dan nasionalis Rakhaing yang telah dipersenjatai merebut kekuasaan di kota-kota Arakan, ratusan muslim Rohingya yang juga dipersenjatai bersatu. Mereka bergabung dengan gerakan Mujahid yang dipimpin
76 77
Alam, Loc. Cit. Riza Sihbudi, dkk., Op. Cit. hlm. 184
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
oleh Jafar Kawal. Muslim Rohingya melakukan pergerakan perlawanan dan mendapatkan kemenangan pada 1950-an melawan tirani rezim Burma. Pemerintahan Burma akhirnya memenuhi tuntutan mereka dengan memberikan beberapa posisi pemerintahan serta daerah distrik khusus yang meliputi daerah Maungdaw, Buthidaung, dan Rathedaung. Distrik khusus tersebut dikenal dengan daerah “Mayu Frontier District” pada tanggal 1 Mei 1961. 78
2.2.5 Arakan di bawah Pemerintahan Militer Pada tahun 1958, terjadi kudeta militer pertama dibawah pimpinan Ne Win. Salah satu sebab utama dilakukannya kudeta ini adalah kriris politik yang semakin meningkat pada masa pemerintahan U Nu sebagai akibat langsung dari perpecahan yang terjadi di dalam partainya, AFPFL (Anti-Fascist People’s Freedom League). Pada tahun 1960 Jenderal Ne Win mengembalikan pemerintahan sipil dan menegakkan demokrasi dengan cara melaksanakan pemilihan umum. 79 Penarikan diri pemerintah militer yang berkuasa selama dua tahun ini bukan karena tanpa alasan. Menjelang tahun 1960, kalangan militer meragukan bahwa negara yang terpecah belah itu tidak dapat bersatu di bawah pemerintahan militer. Dengan adanya unjuk rasa oleh masyarakat terhadap pemerintah, mereka menyadari
78 79
Ibid. Alfian, Militer Dan Politik Pengalaman Beberapa Negara. (Djakarta, 1970), hlm. 5
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
akan manfaat kehadiran pemerintah sipil untuk meredakan aksi-aksi unjuk rasa tersebut. 80 Sesuai dengan pandangan Eric A. Nordlinger, 81 bahwa salah satu faktor jatuhnya kekuasaan militer akibat ketidakstabilan rezim militer adalah penarikan diri secara sukarela dari pemerintahan mungkin dilakukan karena mendapat tekanan yang kuat dari pihak sipil dan pihak militer sendiri merasa kedudukan mereka tidak dapat dipertahankan sedangkan keadaan negara tidak dapat dikendalikan. Hal ini digambarkan oleh Lucian W. Pye yang dikutip oleh Eric A. Nordlinger:82 “Pada tahun 1958, tentara Burma percaya bahwa masalah-masalah negara bisa diatasi seandainya pemerintah menunjukkan semangat dan keinginan untuk melakukan pengorbanan. Mereka melihat semangat dan kepercayaan ahli-ahli politik tidak lebih sebagai keinginan melakukan penyelewangan. Sebagai militer, mereka percaya bahwa semua masalah dapat diatasi melalui pengaruh yang bersih dari tindakan dan kehormatan. Dalam waktu enam bulan, para perwira militer mulai menyadari bahwa urusan pemerintahan sangat rumit dan sulit diawasi. Penyelesaiannya tidak semudah apa yang mereka duga. Setelah setahun berkuasa, para perwira militer mulai menyadari bahwa mereka terpaksa melanggar nilai-nilai awal mereka. Mereka sadar kalau mereka kehilangan status sebagai militer dan mengambil beberapa aspek yang terdapat pada para politisi yang selalu mereka pandang dengan perasaan benci” Padahal pemerintah seharusnya menyadari bahwa perpecahan antar suku, yang didasarkan pada kesetiaan kuat terhadap kelompok kecil serta faktor-faktor seperti ekonomi, sosial, dan kebudayaan merupakan masalah yang tidak dapat mungkin diatasi dalam waktu singkat. Begitu pula dengan konflik etnis yang selalu
80
Eric A. Nordlinger, Op. Cit. hlm. 208 Ibid. hlm. 202. 82 Ibid. hlm. 206. 81
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
melibatkan isu-isu terpendam yang didorong oleh emosi dan tidak dapat diatasi dalam jangka waktu yang pendek. Hakikat politik menentukan bahwa pemerintahan akan menerima keberadaan konflik kesukuan yang berkesinambungan, dengan disertai pergolakan politik dan kekerasan. Oleh karena itu, untuk mengurangi tingkat perpecahan nasional bukanlah pekerjaan yang mudah. 83 Pemilihan umum yang dilaksanakan untuk yang ketiga kalinya (setelah tahun 1947 dan 1952) dalam sejarah Burma dimenangkan oleh partai baru yang dipimpin U Nu, Pyidaungsu (Partai Persatuan) dengan perolehan angka yang tinggi, sekitar 80 persen dari 250 suara anggota. Dengan kemenangan ini, U Nu terpilih kembali menjadi perdana menteri Burma. Namun keadaan ini tidak bertahan lama, dua tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 2 Maret 1962, Jenderal Ne Win kembali melakukan kudeta kekuasaan terhadap pemerintahan Burma. 84 U Nu dan seluruh kabinetnya serta sebagian pemimpin kelompok minoritas dipenjarakan tanpa tuduhan resmi dan tanpa diadili. Kudeta ini diikuti dengan pembentukan Dewan Revolusioner yang diketuai sendiri oleh Ne Win dan kawan-kawan dekatnya. Sejak saat itu, Ne Win mengumumkan garis besar politik dengan sebutan Burma Socialist Programme Party (BSPP). 85 Kudeta kali ini disebabkan oleh tiga hal. Pertama, karena ketidakmampuan pemerintah sipil untuk menciptakan suatu susunan politik yang sehat dan stabil. Kompetisi dan kecurigaan diantara mereka sangat besar sehingga waktu mereka habis 83
Ibid. hlm. 215—216 Alfian, Op. Cit., hlm. 6. 85 Priyambudi, Loc. Cit. 84
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
terbuang untuk saling mengkritik dan hal-hal lain yang memiliki pengaruh buruk terhadap sistem pemerintahan demokrasi. Bahkan perebutan kekuasaan antar anggota partai sendiri sudah menjadi kehidupan nyata dari politik Burma pada waktu itu. 86 Kedua, masalah keamanan yang sering melanda Burma. U Nu sebagai pemimpin Burma pada saat itu kurang berhasil dalam menghadapi masalah ini. Pemberontakan-pemberontakan bersenjata yang dilakukan oleh orang-orang komunis dan kelompok etnis minoritas menjadi sesuatu hal yang mengancam negara. Sedangkan ratusan sisa-sisa tentara yang pernah terlibat dalam perang dunia kedua turut bergabung dengan pemberontakan tersebut. Ketiga, disebabkan oleh faktor diri pribadi dari U Nu sendiri sebagai pemimpin dan politisi. U Nu sebagai seorang pemimpin yang terlihat cukup memiliki karisma kurang tegas dan lamban dalam mengambil keputusan, kebijakan, atau tindakan. Hal ini berpengaruh pada perkembangan hubungan diantara politisi-politisi sipil yang semakin memburuk hingga menyebabkan perpecahan. Ketidaktegasan U Nu juga menyebabkan kegagalan Burma dalam mengatasi berbagai macam pemberontakan. 87 Selain ketiga penyebab di atas, ada beberapa hal lain yang menyebabkan terjadinya kudeta kekuasaan seperti masalah keinginan untuk menjadikan agama Budha sebagai agama negara Burma yang menimbulkan berbagai macam tanggapan dalam masyarakat yang akan menambah kekacauan suasana politik. Sebab-sebab inilah yang dijadikan alasan oleh Ne Win untuk melakukan kudeta kekuasaan
86 87
Alfian, Op. Cit. Ibid. hlm. 7
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
terhadap pemerintahan U Nu, bahwa kudeta tersebut terpaksa dilakukan karena keadaan yang semakin buruk yang akan membahayakan kelanjutan kehidupan bernegara. 88 Penyebab-penyebab tersebut sesuai dengan pandangan Eric A. Nordlinger, militer seringkali menuduh pemerintah sipil telah gagal menjalankan tugas pemerintahan. Tindakan yang tidak sah dan di luar kelembagaan, merosotnya pertumbuhan
ekonomi
dan
ketidakmampuan
pemerintah
dalam
mengatasi
pertentangan politik tanpa kekerasan. Hal tersebut merupakan alasan yang sering digunakan untuk menghalalkan tindakan mereka dalam mengambil alih kekuasaan pemerintah. 89 Pada tanggal 30 April 1962, Dewan Revolusioner mengeluarkan pernyataan politik terpenting yaitu The Burmese Way to Socialism ‘Jalan Rakyat Burma menuju Sosialis’. Dalam pernyataan ini dikemukakan alasan mengenai penghapusan sistem demokrasi, sistem tersebut dianggap telah gagal dijalankan akibat kekurangan dan kelemahan yang menyebabkan perpecahan dan pertentangan politik semakin berkembang. Selain itu, pernyataan tersebut dikemukakan pula tentang rumusan rencana pembangunan ekonomi yang sesuai dengan sosialisme Burma. 90 Akibat pernyataan politiknya, Dewan Revolusioner menghapus undangundang dan membubarkan parlemen Burma. Semua kekuasaan negara, baik itu legislatif, yudikatif maupun eksekutif dihapuskan. Pada Februari 1963, Dewan 88
Ibid. Nordlinger, Op. Cit. hlm. 124. 90 Ibid. 89
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Revolusioner menasionalisasi semua bank dan perusahaan bisnis di semua kota. Padahal, di Arakan hampir semua pendirian bisnis utama dipegang oleh orang-orang muslim. Oleh karena itu, nasionalisasi perusahaan tersebut merupakan pukulan berat bagi mereka. Dewan Revolusioner menghapus semua partai politik dan hanya mengakui satu partai, yaitu Burma Socialist Programme Party (BSPP) dengan Ne Win sebagai ketuanya. 91 Dewan Revolusioner melarang adanya gerakan muslim Rohingya. Semua kesejahteraan dan sosial budaya muslim Rohingya dihapuskan. Rezim militer mencabut program bahasa Rohingya yang disiarkan di Burma Broadcasting Service (BBS) di Rangoon pada Oktober 1965. 92 Sedangkan pada bulan Desember 1965, Dewan Revolusioner melarang penerbitan semua koran-koran swasta yang mengakibatkan matinya kebebasan pers. 93 Dalam bidang politik, Jenderal Ne Win menerapkan kebijakan politik sistem partai tunggal. Menurut Eric A. Nordlinger, ketika militer telah mendapatkan kekuasaannya, maka salah satu langkah mereka untuk mempertahankan kekuasaan tersebut ialah menghalangi pemimpin-pemimpin oposisi untuk menggunakan kekuasaan pemerintahan, mereka takut akan kemungkinan terjadinya aksi balas dendam untuk merebut kembali kekuasaan pemerintahan. Pemerintah menutup
91
Alam, Loc. Cit. Ibid. 93 Alfian, Op. Cit., hlm. 8. 92
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
peluang-peluang keterlibatan massa, persaingan politik, dan tidak ada hak berpendapat, mereka merebut hak dan kebebasan politik masyarakat. 94 Ne Win juga memanfaatkan dukungan militer untuk memperkuat posisinya. Dalam kultur masyarakat Burma, rasa hormat terhadap nilai-nilai senioritas sangat dijunjung tinggi. Kesetiaan militer tersebut dipakai oleh Ne Win untuk menghancurkan lawan-lawan politiknya. Penggunaan cara-cara kekerasan, teror, dan propaganda adalah cara berpolitik Ne Win ketika berkuasa. Selama lebih dari dua dekade, Ne Win menghabiskan anggaran pemerintahnya untuk berperang melawan kelompok-kelompok etnis minoritas di sepanjang perbatasan. 95 Dalam bidang politik luar negeri, Ne Win menerapkan kebijakan menutup diri dari dunia internasional. Bantuan-bantuan dari luar negeri selalu dicurigai sehingga bantuan tersebut sering ditolak. Ford Foundation dan Asia Foundation dipulangkan, rencana bantuan Amerika Serikat untuk pembuatan jalan raya sebesar US$ 84 juta ditolak begitu saja. Syarat-syarat untuk pengiriman sarjana dan mahasiswa ke luar negeri terutama ke negara-negara Barat dipersulit. 96 Wartawan-wartawan asing diusir dari Rangoon. Orang asing hanya diperbolehkan membawa visa yang berlaku selama satu minggu dan itu pun hanya untuk mengunjungi daerah-daerah tertentu saja. Semua jalan yang menuju ke sana ditutup. Penduduk lokal dikenai larangan bepergian secara bebas ke luar negeri. Jaringan komunikasi internasional diawasi
94
Nordlinger, Op. Cit. hlm. 116. Priyambudi, Loc. Cit. 96 Alfian, Op. Cit. 95
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
secara ketat oleh negara. Singkatnya, rakyat Burma diasingkan dari dunia internasional. 97 Sementara itu, dalam bidang ekonomi, Ne Win melakukan nasionalisasi besar-besaran. Mekanisme pasar ditentukan oleh semacam dewan perekonomian yang dikontrol secara ketat oleh negara. Pabrik-pabrik, bank-bank, dan sektor-sektor perekonomian yang penting dikuasai sepenuhnya oleh negara. Pada awalnya, usaha ini cukup berhasil membawa Burma menjadi produsen beras nomor satu di dunia. Namun, prestasi ini tidak berlangsung lama. Oleh karena adanya birokratisasi yang dijalankan di semua sektor perekonomian, membuat hal itu menghambat pengambilan keputusan dan efisiensi yang diperlukan dalam bidang perekonomian. Akibat kebijakan ekonomi tersebut, barang-barang konsumsi dan barang-barang kebutuhan dasar sangat sulit didapatkan. 98 Terjadi krisis persediaan beras dan makanan, pada tahun 1965 – 1966 produksi padi turun sebesar 5,3% dari tahun sebelumnya, tahun 1966 – 1967 turun lagi sebesar 17,7% dari tahun 1965 – 1966. Burma yang dikenal sebagai pengekspor beras nomor satu di dunia harus jatuh ke nomor tiga setelah Muangthai dan Amerika Serikat. 99 Harga barang melambung tinggi, sementara nilai mata uang merosot drastis. 100 Apa yang terjadi pada Burma setelah Ne Win berkuasa adalah suatu usaha untuk mengasingkan Burma dari segala pengaruh dunia luar. Politik isolasi seperti ini 97
Priyambudi, Loc. Cit. Priyambudi, Loc. Cit. 99 Alfian, Op. Cit., hlm. 9. 100 Aye Saung, Catatan-Catatan Dari Bawah Tanah: Otobiografi Pemberontakan Burma, terj. Nurul Agustina (Jakarta: LP3ES, 1991). 98
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
disebut sebagai politik Nasionalisme Tertutup, inward-looking nationalism. Negaranegara yang menjalankan politik ini biasanya dipimpin oleh orang-orang yang sangat takut akan kritik dari luar negeri terhadap kepemimpinan mereka atas rakyatnya, sehingga pemerintah menutup rakyatnya rapat-rapat terasing dari orang lain. Akibatnya, negara tersebut terjerumus ke dalam suatu sistem pemerintahan yang rakyatnya hanya sedikit sekali memiliki hak suara. 101
2.3 Kehidupan Beragama di Burma Menurut perhitungan yang dibuat oleh pemerintah Burma, hampir 90 persen dari penduduk Burma memeluk agama Budha Theravada. Akan tetapi, karena alasan politis tertentu jumlah ini masih diragukan kebenarannya oleh banyak pihak. Walaupun sekitar 89 persen penduduk Burma memang beragama Budha. Sekitar empat persen dari penduduk memeluk Islam, empat persen lainnya memeluk agama Kristen dan sisanya memeluk agama lain, seperti Hindu dan Yahudi. 102 Menurut Departemen Dalam Negeri Amerika, ada keterkaitan antara suku bangsa yang ada di Burma dengan agama yang mereka anut. Etnis Burma yang meliputi 68 persen dari populasi, hampir seluruhnya memeluk agama Budha Theravada. Hal itu sama dengan yang dianut oleh suku Shan (yang meliputi 9 persen dari populasi) dan suku Mon (2 persen). Agama kristen adalah agama yang dominan dianut oleh suku Kayah dan Karen (yang meliputi 7 persen dari populasi). Agama 101 102
Alfian, Op. Cit., hlm. 8. Andrew Selth, Burma’s Muslims: Terrorists or Terrorised ? (Canberra, 2003), hlm. 3.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Hindu dianut oleh etnis India. Sementara itu Islam merupakan agama yang dianut oleh mayoritas suku Rohingya yang bermukim di bagian Arakan. 103 Undang-Undang Burma, yang diadopsi pada tahun 1948 ketika baru merdeka dari Inggris, mengakui bahwa Budha merupakan agama mayoritas di negara tersebut. Akan tetapi, negara juga memberikan kebebasan menjalankan kehidupan beragama kepada semua orang. Sejalan dengan hal itu, pemerintah militer di Rangoon selalu memberitahukan kepada dunia luar bahwa Burma adalah “negara yang bangga akan dirinya karena semua agama yang ada di dunia berdampingan satu sama lain dalam damai dan harmoni”. Akan tetapi, pernyataan tersebut tidak pernah terbukti semenjak Ne Win meraih kekuasaan pada tahun 1962, dan hingga saat ini situasinya tidak berubah. 104
2.3.1 Muslim di Burma Keberadaan
kelompok
muslim
Burma
paling
awal
dapat
dilacak
keberadaannya pada abad ke-13 M dan ke-14 M. Saat itu, nenek moyang mereka datang sebagai pedagang dan sebagai tentara bayaran. Kebanyakan mereka berasal dari etnis Arab, Persia, dan India. Para pendatang ini kemudian menikah dengan penduduk lokal yang beragama Budha, kemudian menetap di Burma. Mereka yang meninggalkan Burma tidak membawa keluarga mereka.
103 104
Ibid. Ibid. hlm. 4.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Di satu sisi, sebagai balasan dari pengabdian yang diberikan kepada pihak kerajaan, kelompok muslim yang lain mendapatkan lahan di daerah, seperti Sagaing, Yamethin, dan Kyauke. Sejumlah lainnya bekerja di pengadilan Burma, sebagai administrator dan penerjemah. Kelompok muslim ini (termasuk anak cucunya) berbicara dengan bahasa Burma, memakai pakaian Burma, dan menganggap diri mereka sebagai orang Burma, tetapi tetap memeluk agama Islam. Di bawah kekuasaan raja Burma, mereka dikenal dengan nama Pathi atau Kala. Saat ini, mereka dikenal dengan nama Zerbadee, sebutan untuk seseorang dengan ayah beragama Islam dan ibu beragama Budha. Akan tetapi, sebutan itu tidak disukai oleh muslim Burma modern. Sebutan tersebut membawa implikasi yang disebabkan oleh agama mereka. Mereka dianggap bukan orang Burma asli. Mereka lebih suka disebut dengan sebutan Muslim Burma, sebuah istilah yang secara resmi diterima oleh pemerintah kolonial Inggris pada tahun 1941. 105 Arus imigrasi orang-orang India paling besar terjadi setelah Inggris menguasai Burma pada masa tiga perang, antara tahun 1824 – 1886. Dengan menjadikan Burma bagian dari British India, pemerintahan baru mendatangkan imigran dalam jumlah besar sebagai buruh, pelayan, dan pedagang dari Asia Tengah. Kebanyakan dari mereka mendirikan rumah dan usaha di ibu kota kolonial. Sebelum terjadinya eksodus ke India, ketika pecahnya perang dunia kedua, terdapat lebih dari satu juta imigran India di Burma, dari total populasi 16 juta. Lebih dari setengahnya, tinggal di Rangoon (ibu kota Burma). Mereka berbicara bahasa Urdu dan Tamil dan memiliki 105
Ibid. hlm. 6.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
hubungan yang kuat dengan agama dan praktek budaya di tanah kelahiran mereka. Perbedaan agama telah menyebabkan konflik masalah ekonomi dan ketegangan ras. Hal itu juga menyebabkan kerusuhan antara mayoritas Budha dan muslim Burma melawan komunitas India di Rangoon pada tahun 1931 sampai 1938. Beberapa orang India kembali ke Burma pada masa pemerintah kolonial 1945, tetapi jumlah mereka tidak pernah mencapai jumlah yang sama seperti jumlah sebelum perang. Ketika pemerintah militer Ne Win menguasai ekonomi Burma pada 1963 dan menjalankan hukum kewarganegaraan baru, ratusan ribu warga Asia Selatan termasuk warga muslimnya, diusir ke India dan Pakistan. 106 Terdapat juga sejumlah kecil komunitas muslim Cina di timur laut Burma, yang dikenal dengan Panthay. Pengikutnya adalah sisa-sisa bekas kesultanan Islam yang berdiri di Yunan pada pertengahan abad ke-19. Banyaknya kehadiran muslim di barat daya Cina berawal dari penempatan tentara muslim dalam jumlah besar, yang dikirim oleh kaisar untuk meredam pemberontakan di Tibet pada tahun 801 SM. Kemudian, muslim Turki datang ke wilayah tersebut bersama dengan Kubilai Khan. 107 Kunci penting yang membedakan antara muslim Burma dengan muslim yang ada di negara lain adalah Islam di Burma tidak dipengaruhi oleh kekuatan eksternal. Selain dari konflik periodik dengan negara tetangganya, Burma tidak pernah menjadi target dari kekuatan besar negara Islam untuk menyebarkan Islam di sana. Muslim
106 107
Ibid. hlm. 7. Ibid. hlm. 6.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Bengal memang pernah menorehkan pengaruhnya di Arakan, akan tetapi Islam gagal meraih jantung di negeri ini. Kolonial Inggris, yang kemudian menguasai negeri ini, menyebarkan agama Kristen. Tidak ada aktivitas dakwah Islam yang bertujuan untuk menyebarkan Islam, seperti yang terjadi di Semenanjung Malaya. Hal itu membuat muslim Burma yang berkembang melalui imigrasi dan eksogami, mempunyai karakter yang unik. Menurut Moshe Yegar, yang dikutip oleh Andrew Selth, 108 hal itu disebabkan oleh keadaan geografis Burma yang menantang. Burma tidak menarik untuk dikuasai, baik secara militer maupun komersial, sebagaimana negeri lainnya yang lebih ke timur. Yang lebih penting lagi, di Burma telah hadir agama Budha Theravada yang cukup kuat sejak abad ke 12. Pernyataan ini diperkuat oleh Hugh Tinker yang dikutip oleh Riza Sihbudi, 109 bahwa penyebab agama Islam tidak berkembang dengan baik di Burma adalah geografi Burma yang sangat sulit dikuasai. Penaklukkan yang pernah dilakukan oleh kaum Mongol, Manchu dan orang-orang Asia Tengah yang mengarah ke Asia Tenggara umumnya berhenti ketika mencapai Burma. Hal tersebut disebabkan kondisi geografi Burma yang dikelilingi hutan lebat, jurang, dan perbukitan tinggi. Sedangkan sejarahwan lain mengemukakan bahwa negara Burma tidak memiliki daya tarik bagi pedagang Malaysia dan Indonesia untuk datang ke Burma. Padahal para pedagang-pedagang tersebut biasanya turut melakukan misi menyebarkan agama Islam. Di Indonesia dan Malaysia, ketika pedagang Islam datang untuk menyebarkan 108
Ibid. hlm. 8. Riza Sihbudi, dkk., Problematika Minoritas Muslim di Asia Tenggara: kasus Moro, Pattani, dan Rohingya (Jakarta: PPW-LIPI, 2000), hlm. 175.
109
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
agama Islam, sudah ada suasana religious yang memudahkan Islam beradaptasi dengan agama yang sudah ada. Pada waktu itu, agama Hindu dan Budha di Indonesia dan Malaysia sedang dalam posisi yang tidak begitu kental, baru pada tataran agama hukum yang melingkar di lingkungan kaum elit tanpa mampu menetrasi massa secara kuat. Keadaan tersebut dapat di manfaatkan dengan baik oleh para pedagang Islam. Hal ini sangat berbeda dengan kondisi Burma, Budha telah menjadi agama yang kuat dan mengakar dalam masyarakat Burma. Pada tahun 1936, muslim Burma membentuk sebuah aliansi bernama General Council of Burma Moslem Associations (GCBMA). Aliansi ini bertujuan untuk menjamin kepentingan masyarakat muslim di masa kemerdekaan Burma, terutama jaminan khusus status keanggotannya di parlemen. Selain itu organisasi ini juga menjaga agama, budaya, dan status hukum komunitas muslim, baik yang pribumi, imigran, maupun muslim hasil kawin campur. Organisasi ini diutamakan dipimpin oleh muslim yang memiliki latar belakang minimal punya satu orang tua asli Burma. Namun, upaya GCBMA ini tidak mendapat respon positif dari kolonialis Inggris, demikian juga dengan masyarakat nasionalis Budha Burma, mereka tidak memberikan jaminan tersebut pada kaum muslim. 110
110
Ibid. hlm. 177.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
BAB 3 MUSLIM ROHINGYA
3.1 Sejarah Muslim Rohingya Rohang, adalah sebutan kata Arakan sebelumnya. Arakan merupakan tempat yang cukup terkenal bagi para pelaut Arab sebelum adanya Islam. Saat itu, banyak orang-orang, seperti Arab, Moor, Turki, Moghuls, Asia Tengah, dan Bengal yang datang sebagai pedagang, prajurit, dan ulama. Mereka datang melalui jalur darat dan laut. 111 Pendatang tersebut banyak yang tinggal di Arakan dan bercampur dengan penduduk setempat. Percampuran suku tersebut membentuk suku baru, yaitu suku Rohingya. Oleh karena itu, muslim Rohingya yang menetap di Arakan sudah ada sejak abad ke-7 dan mereka tidak terbentuk dari satu suku saja. Mereka terbentuk dari percampuran berbagai suku yang berbeda. 112 Suku Rohingya sebenarnya adalah orang-orang Islam dengan budaya mereka yang jelas terlihat di daerah Arakan. Hal itu karena mereka menurunkan agama mereka pada seluruh keturunan mereka dari bangsa Arab, Moor, Pathan, Moghul, Asia Tengah, Bengal dan beberapa bangsa Indo-Mongol. Percampuran dari berbagai
111
Mohammed Ashraf Alam, “A Short Historical Background”, (7 Maret 2006 12.57), terdapat di situs http://www.rohingyatimes.i-p.com/history/history_maa.html 112 Ibid.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
suku, membuat penampakan fisik unik mereka seperti tulang pipi yang tidak begitu keras, mata mereka tidak begitu sipit (seperti orang Rakhine Magh dan orang Burma), hidung mereka tidak begitu pesek. Mereka lebih tinggi dari orang Rakhine Magh tetapi kulit mereka lebih gelap, beberapa dari mereka kulitnya kemerahan, tetapi tidak terlalu kekuningan. 113
3.2 Kedatangan Orang-Orang Arab dan Islam di Arakan Muslim Arab datang pertama kali melewati daratan India dan Asia Tenggara melalui jalur perdagangan pada abad ke-7. Pada waktu itu, rempah-rempah, katun, batu mulia, barang tambang, dan komoditas lainnya yang datang dari selatan dan Asia Tenggara merupakan barang-barang yang sangat dibutuhkan di daerah Timur Tengah dan Eropa. Orang-orang Arab datang sebagai nelayan dan hampir menguasai perdagangan tersebut. Mereka melahirkan pedagang-pedagang yang menyebarkan Islam dan menjadi pelaut-pelaut hebat. Pengetahuan mereka tentang navigasi, ilmu garis lintang dan garis bujur, fenomena astronomi, dan geografi negara-negara telah membuat mereka tak tertandingi dalam hal berdagang di Samudra Hindia selama beberapa abad. Orang-orang Arab tersebut menulis tentang tempat-tempat yang mereka datangi untuk membuktikan kedatangan mereka di dunia Timur dan Barat. 114 Agama Islam pertama kali masuk ke Arakan dibawa oleh orang-orang Arab yang dipimpin Muhammad bin Hanafiya pada tahun 680 M. Pada waktu itu, Arakan 113 114
Ibid. Ibid.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
dikuasai oleh sebuah kelompok kanibal yang dipimpin oleh Ratu Kaiyapuri. Ketika Muhammad bin Hanafiya datang ke Burma dan menyebarkan agama Islam Ratu Kaiyapuri ikut memeluk agama Islam. Lalu, Hanafiya menikahi Ratu Kaiyapuri. Pengikut Ratu Kaiyapuri pun ikut memeluk agama Islam. Setelah itu, dakwah Islam pun tersebar di Arakan oleh para pelaut dan pedagang yang berasal dari Timur Tengah. 115 Arakan, yang pada asal mulanya dinamakan Rohang, merupakan sebuah bangsa yang berdiri sendiri sejak awal mula sejarah bangsa itu dikenal. Oleh karena itulah, mereka dinamakan orang Rohangya, yang kini lebih dikenal dengan sebutan Rohingya. Arakan itu sendiri merupakan kata jamak dari rukn, berasal dari kata bahasa Arab yang artinya ‘tiang-tiang’. Kata tersebut mencirikan keislaman dari etnis Rohingya. 116
3.3 Perkembangan Muslim Rohingya 3.3.1 Penduduk Penduduk Rohingya hidup dengan bercocok tanam. Hasil produksi pertanian utama di Arakan berasal dari Rohingya. Sebagian penduduk yang lain, bekerja sebagai nelayan, pedagang, pengrajin tangan, dan tukang kayu. Oleh karena diskriminasi yang menimpa mereka, penduduk Rohingya mulai kehilangan tanah dan menjadi tuna wisma. Lahan perkebunan mereka diambil oleh masyarakat Budha yang 115 116
Ibid. Riza Sihbudi, dkk., Op. Cit., hlm. 51.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
datang dari dalam dan dari luar Arakan pada tahun 1942. Selain itu, pajak tinggi terhadap hasil pertanian dan pengambilalihan tanah membuat mereka hidup di bawah garis kemiskinan dan mengalami kelaparan. Jumlah pengusaha semakin menurun, mereka tidak diizinkan melakukan kegiatan bisnis secara bebas. Rezim militer telah melarang mereka mendapatkan hak kebebasan di kotanya. Hal itu berdampak pada kehidupan sosial budaya, ekonomi, pendidikan, dan kehidupan sehari-hari muslim Rohingya. 117
3.3.2 Agama dan Budaya Muslim Rohingya Masyarakat Rohingya adalah penganut agama Islam yang taat. Sebagian besar dari muslim Rohingya, para laki-lakinya menumbuhkan janggut dan para wanita memakai jilbab. Rumah-rumah mereka dikelilingi oleh dinding–dinding bambu yang tinggi. Di Arakan, di setiap desa terdapat masjid dan madrasah (sekolah untuk penganut agama Islam). Laki-laki Rohingya salat secara berjamaah sedangkan para wanita salat di rumah. Semua kegiatan sosial seperti menolong orang miskin, janda dan anak yatim, serta acara pernikahan dan kematian dilakukan oleh suatu lembaga sosial yang ada di setiap desa. Lembaga tersebut disebut Samaj. Ulama dalam lingkungan muslim
117
Nurul Islam, “Facts About The Rohingya Muslims Of Arakan”, (22 Februari 2006, 20.02), terdapat di situs http://www.rohingya.com/rohi/summary.htm
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Rohingya memiliki peranan yang sangat penting, khususnya dalam masalah hukum, seperti masalah keluarga muslim Rohingya. 118
3.3.3 Pendidikan Muslim Rohingya Sebelum junta militer berkuasa tahun 1962, muslim Rohingya memiliki posisi yang sama dengan masyarakat mayoritas Budha. Akibat kemiskinan, diskriminasi sosial dan serangan yang terus melanda mereka, jumlah pelajar-pelajar muslim Rohingya menurun drastis. Pendidikan tingkat dasar, apalagi tingkat tinggi, tidak bisa dengan mudah mereka dapatkan. Terdapat sejumlah sukarelawan di sekolah-sekolah agama untuk memberikan pendidikan pada pelajar-pelajar muslim Rohingya. Namun, dengan adanya berbagai larangan, minimnya dana dan fasilitas membuat mereka tidak mampu memberikan pendidikan yang layak. Hal inilah yang menyebabkan mereka tidak bisa menciptakan pemuda-pemuda yang berpendidikan untuk membantu menyelesaikan masalah masyarakat Rohingya. 119
3.3.4 Status Politik Muslim Rohingya Sebelum 1962, muslim Rohingya dikenal sebagai etnis bangsa pribumi Burma. Mereka memiliki perwakilan di parlemen Burma, beberapa dari mereka diangkat menjadi menteri, sekretaris parlemen, dan di beberapa posisi pemerintahan
118 119
Ibid. Ibid.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
lainnya. Setelah rezim militer berkuasa, secara sistematis hak politik mereka dicabut, pegawai-pegawai pemerintahan yang sebelumnya diduduki oleh muslim Rohingya diganti oleh orang-orang Budha Arakan. Pada awal kemerdekaan, Budha Arakan yang fundamentalis sering menuduh nasionalisme muslim Rohingya sebagai pro Pakistan. Berdasarkan pada tuduhan tersebut muslim Rohingya sulit menjadi tentara, pejabat sipil, polisi, dan kepala desa di wilayah mereka sendiri. Keadaan tersebut semakin parah setelah dikeluarkannya Undang-Undang Kewarganegaraan 1982 yang menyatakan bahwa mereka bukan penduduk asli Burma. Pemerintah tidak lagi mengizinkan mereka untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik pemerintahan Burma. 120
3.4 Perlakuan Terhadap Muslim Rohingya Di bawah pemerintahan kolonial, masyarakat muslim menduduki posisi senior di bidang pelayanan umum dan masyarakat sipil. Selama tahun 1920-an dan 1930-an, kelompok nasionalis muslim muda berada di garis depan menuntut kemerdekaan dari Inggris. Setelah pembentukan Union of Burma tahun 1948, sejumlah muslim menempati posisi yang tinggi di pemerintahan, di bawah pimpinan Perdana Menteri U Nu yang beragama Budha. Setelah kudeta militer tahun 1962, sejumlah kecil muslim terus mengabdi di bawah pemerintahan Jendral Ne Win. 121
120 121
Ibid. Selth, Op. Cit., hlm. 8.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Terhadap kelompok minoritas ini, pemerintah yang berkuasa memberlakukan larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu. Pemerintah melarang pembentukan perserikatan dan melarang munculnya gerakan yang mempertanyakan tentang hakhak buruh. Tidak jarang, mereka memperoleh perlakuan kasar, dan tidak berperikemanusiaan. Hal itu menyebabkan sakit dan kematian merupakan hal yang lekat dengan keseharian mereka. 122 Diperkirakan, pemerintahan Burma telah melakukan paling tidak 13 operasi bersenjata melawan Rohingya semenjak tahun 1948. Mereka melucuti senjata, menutup sekolah agama, dan membakar masjid-masjid. Pada 1975, sekitar 15.000 penduduk muslim Rohingya mengungsi ke negara tetangga, Bangladesh, untuk melarikan diri dari penganiayaan. Pada 1978, operasi militer masif, yang dikenal dengan nama Operasi Naga Min, memaksa sekitar 200.000 Rohingya untuk keluar dari Burma. Operasi tersebut meliputi relokasi paksa muslim disertai pemerkosaan, pemaksaan, dan penggusuran masjid. Rezim yang berkuasa menyalahkan kelompok pengacau Bengal atas kejadian itu.
3.4.1 Muslim Rohingya dan Masalah Sosial Budaya Muslim Rohingya selalu mengalami pengalaman pahit atas ketidakadilan sosial budaya yang mereka terima selama bertahun-tahun. Ketidakadilan tersebut meliputi perlakuan atas agama, suku, dan posisi mereka sebagai kelompok minoritas.
122
Riza Sihbudi, dkk., Op. Cit., hlm. 61.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Pemerintah Burma yang diktator memberlakukan pembatasan-pembatasan pada kelompok agama tertentu, bahkan melakukan pengawasan yang ketat untuk aktivitas gerakan kelompok itu. Perlakuan yang tidak setara terhadap kelompok minoritas merupakan perlakuan yang biasa diterima. Menurut pendapat Yegar, yang dikutip oleh Riza Sihbudi, 123 munculnya pertentangan antara pemerintah dan masyarakat Burma dengan kelompok muslim minoritas pada intinya adalah sebagai akibat dari perbedaan karakteristik yang tidak bisa disatukan antara adat kebiasaan orang Burma dengan budaya Islam. Secara umum, pemerintah sebenarnya mencanangkan kebijakan untuk memberi kebebasan kepada penduduk dalam menjalankan agama mereka masingmasing. Pada kenyataannya, pemerintah menerapkan banyak larangan, khususnya terhadap kelompok minoritas. Kitab suci Alquran yang diterjemahkan ke dalam bahasa lokal, tidak dapat diimpor secara legal. Izin untuk mendirikan masjid sangat sulit didapatkan. 124 Dalam hal bepergian ke luar negeri seperti menjalankan ibadah haji atau menghadiri pertemuan keagamaan dengan luar negeri sebenarnya diperbolehkan. Namun, pembatasan dan pengawasan yang ketat serta kesulitan lain menghadang kelompok minoritas muslim ini. Seperti, pembatasan masa berlakunya visa, sulitnya pengurusan paspor, dan kecurigaan atas segala kegiatan yang dilakukan oleh kelompok minoritas muslim di dalam dan di luar negeri. Contoh perlakuan yang
123 124
Ibid. hlm. 60. Ibid. hlm. 62.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
dilakukan pemerintah Burma pada tahun 1962, tentang aturan pembatasan haji. Pada tahun tersebut, jamaah haji Burma berkisar sampai 500 orang. Namun dengan adanya kebijakan uang ketat di era pemerintahan militer, jumlah tersebut turun drastis menjadi rata-rata hanya 16 orang. Itu pun hanya diberikan kepada orang-orang tua yang belum pernah pergi haji. 125 Dalam pengaturan soal organisasi keagamaan, pemerintah menerapkan suatu mekanisme yang mewajibkan setiap organisasi keagamaan kelompok harus mendaftarkan diri pada Menteri Dalam negeri dengan tembusan ke Menteri Agama. Namun, persoalan yang bertentangan timbul ketika salah satu di antara organisasi tersebut yang memperoleh kesempatan untuk membuka rekening bank. Organisasi tersebut diharuskan membuat tembusan ke Dewan Gereja Burma bukan ke Menteri Agama. 126
3.4.2 Muslim Rohingya dan Masalah Ekonomi Di wilayah Arakan Utara yang mayoritas penduduknya adalah muslim, pemerintah pusat menekankan suatu aturan baru yang menyebabkan kerugian besar bagi muslim Rohingya. Aturan baru itu menyebutkan, bahwa petani, buruh pemotong kayu dan bambu, serta pekerja agrobisnis, harus menjual produk mereka kepada agen yang telah ditunjuk oleh pemerintah dalam harga yang sudah ditentukan. Mereka
125 126
Ibid. Ibid. hlm. 63.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
dilarang menjual produknya kepada orang lain. Untuk memperoleh fasilitas tersebut, para agen telah memberikan uang yang banyak kepada pemerintah. 127 Pada tahun 1989, pemerintah militer Burma mengeluarkan kartu identitas baru untuk penduduk. Kartu identitas tersebut tidak hanya memuat foto, nama orang tua, dan alamat, tetapi juga memuat asal suku bangsa dan agama. Kartu identitas baru itu harus selalu dibawa ke manapun mereka pergi. Kartu itu juga dibuat sebagai persyaratan jika ingin membeli tiket untuk bepergian, mendaftarkan anak di sekolah, melamar pekerjaan, termasuk semua kedudukan sebagai pegawai negeri, menjual atau membeli tanah, dan kegiatan sehari-hari lainnya.128 Muslim Rohingya tidak diperbolehkan memiliki kartu identitas tersebut. Hal itu
membuat
mereka
mengalami
kesulitan
bila
akan
bepergian.
Mereka
diperkenankan bepergian, setelah memperoleh izin dari pihak yang berwenang. Dalam banyak kasus, izin perjalanan hanya diberikan untuk 12 jam saja dan hanya pada kasus tertentu seorang muslim diberikan izin perjalanan sampai bisa menginap. Untuk perjalanan yang jauh, seperti ke Maungdaw, Buthidaung, atau ke ibu kota propinsi Akyab, mereka sulit mendapatkan izin. Kesulitan memperoleh izin perjalanan itu menyebabkan masyarakat Rohingya sulit memperoleh pekerjaan, terutama pada musim panas, ketika pekerjaan pertanian menurun. Muslim Rohingya hidup dalam kamp konsentrasi dengan tidak mempunyai akses untuk bekerja, tidak ada peluang untuk berdagang dan bisnis, serta tidak ada kesempatan untuk
127 128
Ibid. hlm. 88. Ibid. hlm. 90.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
melanjutkan pendidikan. Bahkan, hak menikah pun dilarang. Muslim yang berjanggut tidak boleh menggunakan transportasi umum atau memasuki kantor-kantor pemerintah. Sementara muslim yang bukan penduduk Akyab (ibukota Arakan) dilarang memasuki kota itu dan kota Rangoon. 129 Kondisi di atas diperparah lagi dengan kewajiban untuk membayar berbagai macam pajak. Bila musim panen, para petani diharuskan menjual kepada pemerintah dengan harga yang sudah ditetapkan. Di samping itu, pajak padi dihitung dari prosentase luas tanah yang dimiliki oleh petani, bukan dari hasil panen. Perhitungan ini merugikan petani Rohingya yang sebagian besar dari mereka mempunyai tanah tidak subur. Dengan kondisi tanah seperti itu dan pemerintah yang tetap memberlakukan pajak padi berdasarkan luas tanah, membuat banyak petani Rohingya yang tidak mampu membayar pajak. 130 Dengan berbagai tekanan dan paksaan, baik dari pihak mayoritas Budha maupun pihak pemerintah, muslim Rohingya selalu mengalami perlakuan yang semena-mena. Muslim Rohingya seakan tidak lagi memiliki hak asasi untuk menentukan kehidupan mereka sendiri.
129 130
Ibid. Ibid. hlm. 91.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
BAB 4 PEMBERONTAKAN SPORADIS MUSLIM ROHINGYA
4.1 Latar Belakang Pemberontakan Di masa pendudukan Jepang tahun 1942, sebagian besar masyarakat muslim di Arakan tetap proinggris. Untuk mempertahankan loyalitas dan dukungan ini, pemerintah Inggris menjanjikan pada kaum muslim, menjadikan wilayah Arakan Utara sebagai wilayah muslim secara nasional. Ketika Jepang kalah dalam Perang Dunia II, dan Inggris kembali menduduki Burma, tokoh-tokoh dari masyarakat muslim Rohingya yang berkolaborasi dengan Inggris ditunjuk untuk menduduki jabatan-jabatan penting dalam birokrasi dan administrasi lokal di Arakan. Di masa itu Inggris juga banyak mendatangkan imigran muslim yang berasal dari Chittagong, Pakistan Timur. Inggris juga mengundang ratusan ribu pengungsi muslim di Arakan Selatan yang menyeberang ke India di tahun 1942 untuk kembali ke Arakan Utara. 131 Berdasarkan afiliasi keagamaan dari mayoritas penghuninya, Arakan terbagi ke dalam dua distrik; di bagian utara merupakan distrik muslim, dan di bagian selatan merupakan distrik kaum Budha. 132 Sejak pemerintahan kolonial Inggris, kelompok Budha dan muslim Arakan sudah saling bermusuhan satu sama lain. Mereka saling bersaing untuk memperebutkan sumber-sumber daya ekonomi. Di bagian selatan 131 132
Ibid. hlm. 150. Ibid.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Arakan orang-orang yang beragama Budha merupakan kelompok mayoritas sedangkan Islam tergolong minoritas. Sebaliknya, di Arakan Utara kaum muslim merupakan mayoritas sedangkan Budha adalah minoritas. Di Arakan Selatan, mayoritas Budha sering menyerang minoritas muslim. Hal itu mengakibatkan terjadinya gelombang pengungsian kaum muslim ke Arakan Utara. Terdapat pula sekitar 22.000 orang muslim Arakan yang menyeberang ke daerah perbatasan Bangladesh. Cerita yang dibawa oleh para pengungsi muslim yang mencapai daerah Maungdaw di Arakan Utara tentang perlakuan kaum Budha membangkitkan kemarahan penduduk asli muslim di sana. Sebagai pelampiasan dendam, penduduk muslim di Arakan Utara itu menyiksa kaum minoritas Budha. Pada akhirnya, penyerangan ini mengakibatkan kelompok Budha di Arakan Utara menyeberang ke selatan tempat mayoritas kaum Budha. 133 Setelah kemerdekaan Burma, posisi para pejabat dan pegawai muslim di Arakan Utara banyak yang diganti oleh pemerintah Burma dengan kaum Budha Arakan. Pemerintah Burma yang baru juga berupaya memulihkan kembali desa-desa Budha yang ditinggalkan oleh para penghuninya selama terjadi kerusuhan. Kaum muslim yang menduduki tanah-tanah kaum Budha diusir begitu saja, tanpa menyediakan lahan baru sebagai penggantinya. Perlakuan semena-mena dari pemerintah Burma ini diperburuk lagi dengan kegagalan pemerintah Burma untuk memenuhi janji Inggris; menjadikan Arakan Utara sebagai wilayah administratif muslim yang tersendiri. Hal itu berakibat terjadinya berbagai sabotase dan sikap non133
Ibid.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
kooperatif dari kaum muslim di Arakan Utara kepada pemerintah Burma dan masyarakat Budha setempat. Mereka mengadakan boikot ekonomi, sosial maupun politik. Kaum muslim menyabotase pengiriman bahan-bahan makanan dan fasilitas air bersih di perkampungan-perkampungan kaum Budha di Arakan Utara. Hal tersebut merupakan upaya kaum muslim untuk mengusir kaum Budha kembali ke Arakan Selatan. 134 Menurut Ted Robert Gurr, yang dikutip oleh Riza Sihbudi, 135 ada tiga penyebab terjadinya pemberontakan. Pertama, karena secara psikologis masyarakat tertentu mengalami tekanan. Pada saat tekanan tersebut mencapai tingkat yang tak dapat ditahan lagi, maka akan timbul perlawanan atau pemberontakan. Peristiwa tesebut akan cepat berkembang jika ada tokoh dari masyarakat yang tertindas turut mendukung bahkan menjadi pemimpin perlawanan tersebut. Kedua, karena perbedaan kelas yang tajam, sehingga menimbulkan kecemburuan sosial atau bahkan frustasi sosial di kalangan yang menderita yang jika tak terbendung lagi maka akan menimbulkan pemberontakan. Ketiga, karena rasa curiga akibat faktor suku atau agama dari pihak minoritas terhadap kaum mayoritas yang mendominasi. Sedangkan menurut Eric A. Nordlinger, 136 salah satu penyebab terjadinya konflik antar kelompok suku adalah masalah agama. Konflik ini dapat menimbulkan perpecahan. Kelompok tersebut cenderung memperlihatkan pertentangan emosional antar satu sama lain. Dalam hal ini perbedaan agama di Arakan yang menyebabkan 134
Ibid. hlm. 151. Ibid. hlm. 192. 136 Eric A. Nordlinger, Op. Cit. hlm. 213-214. 135
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
konflik antar muslim Rohingya dan Budha Arakan. Konflik ini semakin parah setelah Ne Win berkuasa di Burma dengan sistem junta militernya. Dengan berbagai kebijakan yang merugikan rakyat terutama muslim Rohingya semakin gencar dilakukan. Seperti Operasi Naga Min (Operasi Raja Naga) pada tahun 1978 yang telah mengusir 200.000 muslim Rohingya dari Arakan dan Undang-Undang Kewarganegaraan tahun 1982 yang menyatakan bahwa muslim Rohingya bukan bagian dari warga negara Burma. Dengan berbagai tindakannya tersebut muslim Rohingya semakin mengalami penderitaan yang seakan tak pernah ada habisnya.
4.2 Pemberontakan Muslim Rohingya di Masa Pemerintahan U Nu Pada bulan Agustus 1948, delapan bulan setelah kemerdekaan, terjadi kekacauan yang luar biasa. Banyak terjadi pemberontakan-pemberontakan, seperti Komunis Bendera Merah (Red Flag Communist), Komunis Bendera Putih (White Flag Communist), dan White Comrade. Mereka merasa tidak puas dengan kebijakan pemerintah karena tidak bisa menentukan daerahnya sendiri, seperti yang diharapkan di beberapa ras lain, yaitu Shan, Kachin, dan Karen. 137 Muslim Rohingya pun dirugikan, dengan status mereka dalam pemerintahan nonmuslim, ketika pejabat-pejabat Islam digantikan oleh orang-orang Budha. Pengungsi-pengungsi Budha yang berada di bagian Arakan Selatan diperbolehkan untuk kembali ke rumah dan desa, dari tempat mereka dipindahkan beberapa tahun 137
Kyaw Zan Tha, Loc. Cit.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
sebelumnya. 138 Melihat keadaan ini, muslim Rohingya memanfaatkan kesempatan dari aksi gerakan yang dilakukan oleh gerakan-gerakan komunis. Mereka menuntut berdirinya negara otonom. Namun, pemerintah menolak kedua tuntutan tersebut. Akibatnya, gerakan komunis mencabut dukungan mereka untuk AFPFL (Anti-Fascist People’s Freedom League) dan memilih Arakan National Union Organization (ANUO) dalam pemilihan. Sementara itu, muslim Rohingya memulai pemberontakan di bawah gerakan Mujahid. Gerakan tersebut dibentuk pada deklarasi Dobboro Chaung, Agustus 1947, dipimpin oleh Jafar Hussain atau lebih dikenal dengan nama Jafar Kawal 139 (pada Oktober 1950 Jafar Kawal dibunuh. Kepemimpinan Mujahid digantikan oleh penerusnya, Cassim). 140 Pemimpin muslim mulai menyerukan jihad melawan pendudukan Arakan, dan target utama dari penyerangan ini adalah penduduk lokal beragama Budha, bukan perwakilan pemerintah pusat. 141 Oleh karena lemahnya pemerintah pusat pada waktu itu, ditambah dengan kekacauan yang terjadi di Burma, gerakan yang dilakukan oleh Mujahid berkembang semakin cepat. 142 Dalam setahun pemberontakan Mujahid menguasai sebagian besar wilayah Arakan Utara serta menarik perhatian warga Rangoon pada waktu itu. Peristiwa itu terjadi bersamaan dengan kejatuhan Burma dalam ketidakstabilan politik. Pemerintah juga tidak memulai tindakan pencegahan hingga 1951. 143
138
Christie, Op. Cit., hlm. 168. Tha, Loc. Cit. 140 Smith, Op. Cit., hlm. 129. 141 Selth, Op. Cit., hlm. 14. 142 Ibid. 143 Christie, Op. Cit. 139
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Pada awal timbulnya pemberontakan, banyak pemimpin-pemimpin Islam yang berkhutbah tentang pembelaan terhadap Islam atau melakukan jihad ketika ada yang menyerang hak serta wilayah umat Islam. Dengan istilah yang lebih spesifik, pemberontak dan warga muslim Arakan yang tidak secara langsung mendukung pemberontakan inginkan adalah pemberian daerah khusus bagi umat Islam, sebuah “negara bagian perbatasan”. Seperti halnya yang disebut oleh pertemuan muslim di Maungdaw pada April 1947, daerah yang bukan pemisahan dari Burma, tetapi dari dominasi umat Budha di Arakan. 144 Keadaan di Arakan saat itu sangatlah rumit, dengan banyaknya kekerasan yang terjadi di seluruh Arakan, tidak hanya di daerah utara yang didominasi oleh muslim. Akibat perang yang berkepanjangan, Arakan terisolasi dari wilayah Burma yang lain. Hal itu juga disebabkan semakin parahnya gerakan separatis setelah perang. Infrastruktur yang terdapat di Arakan tidaklah mencukupi dan telah dihancurkan semasa perang. Banyak masyarakat Arakan menganggap bahwa para politikus Burma kurang memperhatikan perbaikan ekonomi wilayah tersebut. Hal tersebut menyebabkan stimulasi sentimen separatis dan permintaan untuk pembentukan negara bagian bagi orang-orang Arakan sebagai “unit otonomi yang terpisah” dalam kesatuan Burma, dari orang-orang yang beragama Budha. 145 Dalam keadaan yang penuh kekerasan, Arakan sangat terpengaruh oleh pemimpin pergerakan setempat yang merupakan pemimpin Mujahid. Sejak adanya
144 145
Ibid. Ibid. hlm. 169.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
saling ketergantungan antarpara pemberontak, tanpa bisa dihindari, ada kolusi antarmereka, dalam hal persenjataan dan penyelundupan beras. Hal itu juga terjadi antara Mujahid dan grup pemberontak lain di Arakan. Akan tetapi, secara keseluruhan antara muslim Arakan yang memberontak dan pihak separatis selalu diliputi rasa curiga, bahkan terjadi konflik terbuka. Hal itu membuat pemberontakan Mujahid dianggap sebagai gejala konflik internal Arakan, yang juga merupakan tantangan bagi pemerintah pusat. Hal terakhir yang diinginkan oleh penduduk muslim Rohingya adalah pembentukan negara bagian Arakan yang semiotonom. Jika terwujud, hal itu merupakan bentuk kebaikan yang diberikan oleh pemerintah yang didominasi oleh Budha Arakan yang berpusat di Akyab (ibu kota Arakan). 146 Keadaan hubungan yang kompleks antara penduduk muslim Arakan, Budha, dan pemerintah pusat memberikan peluang kepada Rangoon untuk mengeksploitasi pertentangan regional dan komunitas tersebut. Pada saat yang sama, hal tersebut mempersulit terbentuknya keputusan politik yang dapat memuaskan semua pihak. Jika kesepakatan dibuat bersama salah satu kelompok pemberontak, maka akan ditentang oleh kelompok yang lain. Arakan merupakan contoh yang sempurna bagi “ekuilibrium ketidakstabilan” yang melanda daerah-daerah di Burma dalam beberapa dekade sejak kemerdekaan. 147 Antara tahun 1951 – 1954, tentara Burma lebih memfokuskan perhatiannya terhadap Arakan. Serangkaian aksi diadakan untuk meredam tindakan gerakan
146 147
Ibid. Ibid.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Mujahid. Di antaranya menangkap dan mengasingkan pemimpin Mujahid, Cassim, ke Pakistan pada bulan Juni 1954. Aksi tersebut berpuncak pada November 1954 dengan nama ‘Operation Mansoon’. Tujuan utama operasi tersebut adalah untuk memecah persatuan pemberontak muslim langsung di daerah mereka. Akibatnya, kegiatan Mujahid berfokus pada penyelundupan beras dan imigran gelap ke Pakistan untuk mendapatkan senjata. Pemberontakan melemah dan menjadi semikejahatan yang menjadikan masyarakat sipil menjadi korban. 148 Mei 1946, beberapa kaum muslim Rohingya mencoba membuat maklumat untuk bekerja sama dengan M. Ali Jinnah, seorang tokoh Pakistan, untuk menggabungkan wilayah Arakan Utara sebagai bagian dari Pakistan. Dua bulan setelah maklumat ini diumumkan, Liga Muslim Arakan Utara (North Arakan Muslim League) didirikan. Anggota-anggotanya, khususnya yang ingin bergabung dengan Pakistan, adalah imigran muslim yang berasal dari Chittagong sedangkan muslim Rohingya yang lain menolak penggabungan ini. M. Ali Jinnah berusaha meyakinkan Jenderal Aung San, pemimpin Burma waktu itu, yang tidak mendukung penggabungan tersebut. Setelah Pakistan mencapai kemerdekaannya, dan Ali Jinnah menjadi pemimpin di tahun 1947, sama sekali tidak terjadi pergolakan di Arakan. Namun, setahun kemudian, tepatnya di bulan April 1948, pecah lagi kerusuhan di Arakan.
Hal
ini
disebabkan
pemerintah
Burma
melancarkan
program
pengambilalihan tanah-tanah muslim untuk kaum Budha. Pemerintah Burma berkeyakinan tanah-tanah yang dimiliki kaum muslim dulunya merupakan tanah148
Ibid. hlm. 170.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
tanah Budha Burma yang ditinggalkan untuk menghindari diri dari kerusuhan antarkelompok keagamaan. 149 Tindakan pemerintah Burma sangat meresahkan kaum Mullah Arakan, di dalam setiap khutbah mereka senantiasa melancarkan jihad melawan Budha Burma yang mereka sebut sebagai bentuk untuk melawan kekafiran. Khutbah-khutbah ini menyalakan semangat antipati yang luar biasa di kalangan muslim terhadap pemerintah Burma, yang dianggapnya hanya memenuhi kepentingan Budha Arakan saja. Penduduk akhirnya melancarkan aksi protes di Maung Bazar terhadap pemerintah yang menyita tanah-tanah mereka. Petugas keamanan yang didatangkan oleh pemerintah Rangoon untuk menertibkan suasana justru menjadi sasaran amuk massa. Peristiwa di Maung Bazar menjadi titik awal dari pemberontakan muslim Rohingya di Arakan Utara terhadap pemerintah Rangoon. 150 Muslim di bagian Burma lainnya tidak mendukung pemberontakan muslim Rohingya yang dipelopori oleh kaum Mullah. Muslim yang berhaluan moderat bahkan berusaha mempengaruhi para pemberontak untuk menghentikan aktivitasnya. Mereka meyakinkan pemerintah Rangoon bahwa pemberontakan tersebut merupakan hasil provokasi dan digerakkan oleh sebagian kecil pemimpin muslim Arakan. Pemerintah Burma berusaha melakukan negosiasi dengan para pemberontak dengan mengirimkan komisi khusus di bulan Juli 1948 yang mencoba menyelidiki sebab-
149 150
Riza Sihbudi, dkk., Op. Cit. hlm. 151. Ibid. hlm. 152.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
sebab pemberontakan dengan mendengarkan segala keluhan-keluhan mereka. 151 Dalam dengar pendapat di antara kedua belah pihak, kaum pemberontak muslim Rohingya mengutarakan pada komisi pemerintah, bahwa Rohingya tidaklah seperti imigran muslim yang berasal dari Chittagong, meskipun keduanya menganut agama yang sama, serta memiliki atribut-atribut kultural maupun etnik yang relatif sama. Muslim Rohingya sudah berabad-abad dan secara turun-temurun tinggal di Arakan, mereka mengklaim dirinya sebagai penduduk asli Arakan. Kuburan nenek-moyang dan masjid yang dibangun berabad-abad yang silam adalah simbol-simbol keaslian. Mereka adalah “the native Arakan”. Sementara itu, muslim Chittagong, menurut Rohingya, adalah imigran yang didatangkan oleh pemerintah kolonial Inggris untuk membantu pembangunan infrastruktur dan prasarana lainnya di Burma. Meskipun sudah demikian jelas perbedaannya, tetap saja masyarakat Budha Arakan menganggap Rohingya tidak bedanya dengan imigran Chittagong. Masyarakat Budha Arakan bahkan melancarkan propaganda bahwa muslim Rohingya adalah bagian dari muslim Pakistan sehingga hak-hak hidupnya atas tanah Arakan harus diabaikan. 152 Hampir semua sektor kehidupan di Arakan dikuasai oleh Budha Arakan. Mulai dari birokrasi pemerintahan sipil, militer, perdagangan, dan jasa. Muslim Rohingya sangat dimarginalkan, kesempatan mereka untuk menjadi polisi, kepala desa, pegawai pemerintah sangatlah kecil dibanding Budha. Polisi dan kepala desa di
151 152
Ibid. Ibid. hlm. 153.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
daerah-daerah muslim banyak digantikan oleh orang-orang Budha. Muslim di Arakan juga diperlakukan tidak adil. Mereka dijarah, diperas, dan dipenjarakan tanpa proses pengadilan. 153 Akibat ancaman dan penggusuran oleh kaum Budha, muslim Rohingya yang diusir di tahun 1942 tidak bisa kembali ke desanya lagi. Akibatnya, ribuan pengungsi Rohingya hidup di tempat-tempat pengungsian di India dan Pakistan. Sementara itu, tanah-tanah dan harta-benda mereka di Arakan dirampas. Para mujahid Rohingya mengangkat senjata karena segala protes dan tuntutan mereka tak didengar oleh pemerintah
Rangoon.
Pemerintah
Rangoon
malah
mendukung
terjadinya
pembasmian etnis dan menghilangkan identitas etnis Rohingya dengan mengambil kembali tanah-tanah Rohingya untuk Budha. Pemerintah justru mengadakan operasi militer besar-besaran untuk membantai dan mengusir Rohingya dari tanah kelahirannya. Rohingya menghendaki keadilan. Mereka berharap dapat menjadi warga negara Burma di bawah aturan hukum, bukan di bawah dominasi tirani. 154 Sayangnya, tidak tercapai kesepakatan antara komisi yang mewakili pemerintah dan pihak pemberontak. Pemerintah tetap menempuh kekerasan militer untuk melumpuhkan pemberontakan. Para pemberontak bertempur sengit melawan polisi dan angkatan bersenjata Burma yang ditempatkan di Arakan untuk mengepung wilayah ini dalam waktu yang relatif panjang. Di tahun 1949, militer Burma berhasil menguasai pelabuhan Akyab sedangkan para pemberontak menguasai seluruh
153 154
Ibid. Ibid. hlm. 154.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
wilayah Arakan Utara. 155 Gerakan-gerakan pemberontakan muslim juga terjadi di bagian lain propinsi Arakan. Pada tahun 1954, Cassim, pemimpin muda militan dan berpendidikan, menjadi pemimpin dari setiap gerakan yang dilakukan oleh muslim Rohingya. Dalam waktu yang singkat, ia berhasil memperoleh dukungan dalam jumlah besar. Namun, pada 13 September 1966 Cassim dibunuh oleh orang tak dikenal di daerah Cox’s Bazar. Kematiannya menyebabkan gerakan muslim Rohingya mengalami kemunduran. 156 Dari tahun 1951 sampai 1954, militer Burma mengadakan serangan besarbesaran terhadap gerilyawan Rohingya. Hal itu membuat gerilyawan Rohingya terpaksa mundur dari wilayah yang didudukinya. Operasi militer pemerintah pada bulan November 1954, pada akhirnya menghancurkan basis pertahanan terakhir dari para mujahid Rohingya. Beberapa pemimpin utama pemberontakan terbunuh dalam pertempuran ini. Keberhasilan operasi militer ini membuat perlawanan Rohingya menurun. Kekuatan Rohingya semakin memudar dan terpecah-pecah ke dalam kelompok-kelompok kecil. Pada akhirnya, gerakan Mujahid tidak lagi menjadi ancaman bagi pemerintah Burma. 157 Setelah berakhirnya operasi militer yang terorganisir dari para mujahid, pemerintah Burma masih melancarkan tuduhan bahwa para mujahid mendorong masuknya ribuan imigran gelap dari Chittagong, yang sangat padat penduduknya, ke Arakan. Para imigran ini, karena faktor kesamaan agama sangat mudah membaur 155
Ibid. Khan, Loc. Cit. 157 Riza Sihbudi, dkk., Op. Cit., hlm. 154. 156
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
dengan muslim Rohingya di Arakan Utara. 158 Mereka, seperti halnya Rohingya, hidup dari pertanian subsistem dengan menggarap lahan-lahan kosong di Arakan. Pemimpin-pemimpin Rohingya menolak tuduhan tersebut. Mereka mengatakan pemerintah Rangoon tidak hanya melancarkan tuduhan yang tidak benar, tetapi juga melakukan propaganda untuk mencegah para pengungsi Rohingya, yang dulunya melarikan diri ke Pakistan, untuk kembali ke tanah air dengan menuduh mereka berasal dari Chittagong yang menyusup ke Burma secara ilegal. 159 Salah satu dampak dari pemberontakan di Arakan adalah makin bangkitnya kesadaran untuk memperjuangkan Arakan sebagai wilayah otonom bagi muslim Rohingya. Mereka yang berhaluan moderat juga menuntut Arakan menjadi negara bagian tersendiri (State of Arakan) di bawah persatuan Burma yang memiliki hak-hak dan kesempatan yang sejajar dengan daerah bagian lainnya. Sebagian besar dari Rohingya, khususnya yang tinggal di daerah Buthidaung dan Maungdaw, lebih menekankan tuntutan pembentukan Arakan sebagai wilayah otonom yang bertanggung jawab langsung pada pemerintah pusat di Rangoon, dengan menyingkirkan semua pejabat pemerintahan Arakan yang beragama Budha. 160 Antara 1960 sampai 1962, masyarakat Rohingya berjuang untuk memperbaiki status Arakan. Pada waktu pemilihan umum April 1960, U Nu berjanji jika partainya memenangkan pemilu, dia akan menjadikan Arakan sebagai wilayah negara bagian yang otonom dan sejajar dengan negara-negara bagian lainnya dibawah persatuan 158
Ibid. Ibid. hlm. 155. 160 Ibid. 159
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Burma. Setelah mencapai kemenangan, U Nu membentuk komisi yang bertugas mengumpulkan segala permasalahan dan aspirasi muslim Arakan. 161 Pada tahun selanjutnya, U Nu memenuhi janjinya setelah regional autonomy commission tahun 1948, mengumumkan pembentukan negara Mon dan Arakan, yang akan diselesaikan pada tahun 1962. Akan tetapi, kelompok Mujahid yang tidak puas meneruskan pemberontakan untuk memaksa dan meminta hak beragama Islam dan pemisahan yang legal dari daerah terdepan Mayu dari Burma. Walaupun pemerintah merasa mendapatkan dukungan selama tahun 1961 dengan menyerahnya 500 tentara gerilya Mujahid bersenjata berat yang dipimpin oleh Rauschid Bullah dan Mustafiz, yang aktif di perbatasan Pakistan semenjak merdeka, banyak penduduk lokal Budha dan Islam yang berkata bahwa terdapat potensi konflik yang tidak terlihat oleh pemerintah Burma. Rohingya Jamieatul Ulama merupakan salah satu organisasi yang menyerahkan memorandum yang mencatat semua aspirasi dan pandangan muslim Rohingya. Memorandum tersebut di antaranya menyebutkan bahwa muslim Rohingya menghendaki wilayah otonom yang langsung berada di bawah pengawasan pemerintah pusat Rangoon. Pemenuhan tuntutan tersebut merupakan persyaratan untuk menghentikan kasus-kasus penyelundupan dan datangnya imigran gelap sehingga perdamaian dan ketertiban dapat terpelihara di Arakan. 162
161 162
Ibid. Ibid.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Sebuah pemerintahan lokal yang terpisah dari yang lainnya perlu didirikan di Arakan untuk membantu meningkatkan standar hidup masyarakat muslim Rohingya yang selama ini sangat bergantung pada pertanian subsistem. Melalui birokrasi lokal yang otonom, muslim Arakan mengharap segala pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh Budha Arakan terhadap kaum muslim bisa ditindak langsung. 163 Muslim Rohingya tidak keberatan dengan dibentuknya negara bagian Arakan asal disertai persyaratan bahwa Arakan juga harus memiliki Dewan Regional yang memiliki otonomi penuh untuk menanggulangi masalah-masalah lokal. Eksekutif di tingkat pusat harus mempertimbangkan saran Dewan Regional dalam menunjuk dan menempatkan orang-orang yang menduduki jabatan penting dalam pemerintahan negara bagian Arakan. Begitu pula dalam hal mencari penyelesaian masalah regional Arakan, pejabat pusat harus mendengar pula nasihat dan bahan-bahan pertimbangan yang diajukan Dewan Regional. Pemerintah regional Arakan sudah semestinya mendapatkan pelimpahan wewenang, tugas, dan tanggung jawab langsung dari pemerintah pusat di Rangoon guna mengatasi masalah ekonomi, politik, budaya, pendidikan, dan agama. Wakil-wakil dari wilayah Maungdaw dan Buthidaung, meskipun pada dasarnya menyetujui pembentukan negara bagian Arakan, mereka menolak wilayah mereka (Maungdaw, Buthidaung, dan sebagian dari Rathedaung) menjadi bagian dari the state of Arakan. Muslim di ketiga wilayah ini menempati posisi mayoritas. Oleh karenanya, menurut anggapan mereka, menyatukan Islam
163
Ibid. hlm. 156.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
dengan Budha Arakan ke dalam satu negara bagian, sama artinya dengan mengundang pertumpahan darah baru. 164 Pandangan muslim di Akyab dan di wilayah Arakan lainnya, tempat muslim menjadi minoritas, tentang rencana pembentukan negara bagian Arakan, lebih kompleks lagi. Mereka tidak keberatan dengan ide pembentukan negara bagian Arakan sepanjang ada jaminan hak-hak muslim di dalam konstitusi maupun praktiknya sehari-hari. Mereka juga menuntut persamaan hak, baik Budha maupun muslim Arakan secara bergiliran menduduki posisi sebagai kepala negara bagian Arakan. Bila kepemimpinan dipegang oleh umat Islam, maka wakilnya Budha. Demikian pula dengan posisi Dewan Negara bagian, bila ketuanya Budha, maka wakilnya dari umat Islam. Begitu seterusnya, setiap mendudukkan personel dalam jabatan-jabatan penting di pemerintahan, diatur secara bergantian antara umat Islam dan Budha. 165 Mereka juga mengusulkan pada pemerintah Rangoon agar sepertiga dari jabatan kementerian dipegang muslim. Begitu pula halnya dalam menempatkan figurfigur yang menjalankan pemerintahan negara bagian, suara delegasi muslim harus didengar terlebih dulu. Jumlah kaum muslim yang menduduki posisi penting di pemerintahan, kementerian, parlemen harus proporsional sesuai dengan prosentase jumlah muslim secara keseluruhan.166
164
Ibid. Ibid. hlm. 157. 166 Ibid. 165
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Pada 1 Mei 1961, pemerintah Rangoon membentuk daerah perbatasan Mayu (Mayu Frontier) yang meliputi Maungdaw, Buthidaung, dan bagian barat Rathedaung. Daerah tersebut merupakan wilayah administratif militer, bukan merupakan suatu pemerintahan otonom. Namun, karena pembentukan zona militer ini tidak menjadikan Arakan sebagai subordinat dari pemerintah Rangoon, pemimpinpemimpin Rohingya dapat menyetujuinya. Persetujuan ini tampak, khususnya setelah pemerintahan administratif militer yang baru berhasil menekan pemberontakanpemberontakan lokal dan memulihkan keamanan dan perdamaian di wilayah Mayu. 167
4.3 Gerakan Muslim Rohingya Masa Pemerintahan Ne Win Pemerintah AFPFL (Anti-Fascist People’s Freedom League) mengirimkan Burma Territorial Force (BTF) yang dipimpin oleh Mayor Tha Kyaw untuk menghentikan gerakan Mujahid. Akhirnya, Mujahid termasuk pemimpinnya, Cassim, melarikan diri ke Pakistan Timur dan pada tahun 1959 gerakan Mujahid tidak berjalan. 168 Awal 1962, pemerintah mengajukan draft pembentukan negara bagian Arakan tanpa memasukkan wilayah Mayu ke dalamnya. Namun, sesudah terjadi kudeta di bawah pimpinan Ne Win pada Maret 1962, rezim baru Burma tersebut membatalkan rencana pembentukan negara bagian Arakan dan membubarkan gerakan Mujahid. 167 168
Ibid. Tha, Loc. Cit.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Hingga kini, cita-cita untuk membentuk wilayah Arakan yang otonom masih terkatung-katung. Arakan tetap berada di bawah kontrol represif dari pemerintahan militer Burma. 169 Partai militer Burmese Socialist Programme Party (BSPP) telah mengekang kebebasan seluruh rakyat Burma, membatasi gerak politik dan melarang publikasi apapun yang bernada antipemerintah. Penduduk dihalang-halangi untuk bepergian ke daerah-daerah tertentu, dan jarang sekali diberi paspor untuk ke luar negeri. Semua industri dan bank-bank dinasionalisasikan dan dilakukan pengawasan yang sangat ketat terhadap perdagangan oleh pemerintah. Semua hal tersebut dilakukan dengan alasan akan membawa Burma ke dalam sosialisme. Jenderal Ne Win membuat sebuah perencanaan yang bertujuan mengusir setiap orang yang beragama Islam keluar dari Burma. Umat Islam yang masih tersisa diintegrasikan ke dalam masyarakat Budha. Partainya mengadakan suatu propaganda besar-besaran yang bertujuan menuduh orang-orang Islam sebagai unsur-unsur yang antipemerintah. Mereka mengatakan bahwa umat Islam merupakan orang asing di negara itu meskipun pada kenyataannya mereka telah bergenerasi-generasi tinggal di sana. Pihak militer dan alat-alat kekuasaan negara lainnya diperintahkan untuk menghancurkan segala yang berbau Islam dalam masyarakat, dengan melakukan segala bentuk penindasan di bidang sosial, politik, ekonomi, dan pendidikan.
169
Riza Sihbudi, dkk., Op. Cit., hlm. 158.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
4.3.1 Rohingya Independence Force (RIF) dan Perkembangannya Umat Islam di Arakan terperangkap di antara situasi yang tidak pasti. Banyak warga
muslim
yang
mengalami
kesulitan
untuk
membuktikan
status
kewarganegaraan mereka dan takut akan hak mereka untuk menetap di dalam negeri. Seorang mantan mahasiswa dari Universitas Rangoon, Muhammad Jafar Habib, mereformasi gerakan Mujahid dengan nama baru, Rohingya Independece Force pada 26 maret 1963 di Maungdaw, Arakan Utara. 170 Mengikuti jejak pendahulunya, Mujahid, RIF merupakan gerakan sebagai bentuk protes terhadap kudeta militer Ne Win dan pelarangan organisasi muslim seperti Rohingya Students Union dan Rohingya Youth League. Sedikit sekali yang diketahui mengenai RIF, akan tetapi laporan mengenai kontak senjata dengan pihak pemerintah kadang kala muncul ke media. 171 Tahun 1969, RIF berubah nama menjadi Rohingya Independence Army (AIR) dipimpin oleh Jafar Habib. 172 Pada tanggal 12 September 1973 berdiri Rohingya Patriotic Front (RPF) dengan pemimpinnya Jafar Habib di Sack Dala. Organisasi ini merupakan perubahan dari Rohingya Independence Army (AIR). Setelah kemerdekaan Bangladesh, banyak terjadi perubahan di RPF dan akhirnya, pada Juni 1974, RPF direkonstruksi, dipimpin oleh Jafar Habib, Presiden Nurul Islam, Wakil
170
Presiden, dan Sekretaris Umum
Smith, Op. Cit., hlm. 219. Selth, Op. Cit., hlm. 15. 172 Rohingya politics, (22 Februari 2006, 20.00), terdapat di situs http://www.rohingya.com/rohi/index.htm 171
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Shabbir Hussain. Tujuan organisasi ini sama dengan organisasi sebelumnya, yaitu membentuk negara otonomi Islam. 173 Gerakan yang terinspirasi oleh munculnya semangat pan-islamisme di dunia ini, mengkampanyekan ketidakadilan yang dirasakan oleh muslim di Arakan. Namun, gerakan ini hanya mendapat sambutan yang kecil dan akhirnya terpecah ke dalam beberapa faksi. 174 Pakta dengan Rohingya Patriotic Front disetujui pada 1973. Walaupun kelompok mujahid dapat mempersenjatai beberapa ratus penduduk muslim dengan bantuan Bangladesh sepanjang sungai Naaf, secara militer perjanjian ini tidak terlalu signifikan. 175 Sementara itu, Zafar Sani mereorganisasi unit gerilya diantara komunitas muslim di wilayah agak ke utara sepanjang sungai Naaf. Pada awalnya, kelompok muslim National Liberation Party yang dipimpin oleh Sani bekerja di antara aliansi dengan Rakhine ‘Nationalist’ Front, Communist Party of Arakan (CPA), dan Arakan National Liberation Party (ANLP). Melimpahnya supply senjata selama perang kemerdekaan Bangladesh, membuat kelompok muslim National Liberation Party menjelma menjadi kelompok pengacau nomor dua di negara tersebut setelah Communist Party of Burma (CPB), tahun 1970. 176
173
Ibid. Selth, Op. Cit. 175 Smith, Op. Cit., hlm. 241. 176 Ibid. hlm. 219. 174
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Pada 1982, salah satu faksinya membentuk Rohingya Solidarity Organisation (RSO), dan kemudian sempalannya membentuk Arakan Rohingya Islamic Front (ARIF) pada 1986. Keduanya berkedudukan di selatan Bangladesh. 177 Organisasi-organisasi ini merupakan organisasi yang didirikan sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah yang tak henti-hentinya melakukan penindasan. Salah satu dampak dari pemberontakan di Arakan adalah semakin bangkitnya kesadaran untuk memperjuangkan Arakan sebagai wilayah otonom bagi muslim Rohingya.
Kendati
perlawanan
kekerasan
tak
memberikan
hasil
optimal,
pemberontakan itu tetap memberikan efek politik di lingkungan muslim Burma, yaitu kesadaran tentang otonomi Arakan. 178 Menanggapi perlawanan di wilayah Arakan, di samping melakukan penyerangan militer, pemerintah juga sempat beberapa kali bernegoisasi. Pemerintah tidak mampu menumpas habis gerakan ini, terutama karena kendala geografi. Sebaliknya, pemberontakan muslim Rohingya tidak kunjung menjadi besar. Hal itu karena di antara mereka sendiri cenderung terpecah ke dalam kelompok-kelompok kecil.
177 178
Selth, Op. Cit., hlm. 15. Riza Sihbudi, dkk., Op. Cit., hlm. 155.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
4.4 Operasi Naga Min Pada tahun 1978, pemerintah Burma melancarkan operasi militer untuk mengusir muslim Rohingya dari Arakan. Mereka dianggap sebagai komunitas ilegal di tanah kelahiran mereka sendiri. Operasi yang disebut dengan nama Operasi Naga Min (Dragon King Operation/Operasi Raja Naga) ini telah memaksa 200.000 muslim Rohingya
mengungsi
ke
negara
Bangladesh
untuk
melarikan
diri
dari
penganiayaan. 179 Padahal, saat itu jumlah penduduk yang bermukim di Bangladesh sudah mencapai 156.630 orang. 180 Operasi tersebut meliputi relokasi paksa muslim disertai pemerkosaan, pembunuhan, dan penggusuran masjid. 181 Setelah melalui perundingan dan bantuan Komisi Tinggi PBB untuk pengungsi, Burma menerima kembali 186.965 muslim Rohingya untuk menetap di Arakan, di bawah perjanjian Decca pada tahun 1979. 182 Akan tetapi, rezim yang berkuasa saat itu menyalahkan semua kekacauan kepada orang-orang Bengal. Menurut mereka, yang menyebabkan kekacauan dan yang menyerang desa Budha di Arakan dilakukan oleh “kelompok bersenjata Bengal”, “kelompok perampok Bengal”, dan, “ekstremis Islam”. Sejak saat itu, ribuan orang Islam Burma terus mengungsi ke berbagai negara, seperti Pakistan, Mesir, dan negara-negara Arab lainnya. Mereka dianggap sebagai “Palestina Baru” di Asia.183
179
Selth, Op. Cit., hlm. 12. Tha, Loc. Cit. 181 Selth, Op. Cit. 182 Tha, Loc. Cit. 183 Smith, Op. Cit., hlm. 241. 180
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
4.5 Undang-Undang Kewarganegaraan 1982 Tidak lama setelah operasi Naga Min berlangsung, pada tahun 1982, penguasa militer
Burma
mengeluarkan
sebuah
dekrit
tentang
Undang-Undang
Kewarganegaraan Burma. 184 Di dalam undang-undang tersebut, muslim Rohingya dicoret hak kewarganegaraannya dan mereka menjadi tidak mempunyai negara (stateless). 185 Ne Win memaklumatkan bahwa muslim Rohingya adalah rakyat tanpa negara (people without state). 186 Padahal, status warga negara sangat penting bagi penduduk muslim Rohingya. Dengan memperoleh status warga negara, mereka bisa memperoleh kemudahan sosial, pendidikan, dan kesehatan. Kebijakan itu telah menyebabkan kaum muslim Rohingya semakin mengalami penindasan, penyiksaan, tekanan, dan kematian di tangan penguasa tirani militer Burma. Pembunuhan yang tidak terhitung jumlahnya, pelecehan terhadap wanita Islam, tindakan penangkapan yang sewenang-wenang, pengurungan dalam penjara, serta perlakuan dengan cambuk, sampai hukuman mati yang semena-mena. 187 Selain itu, pemerintah juga menghilangkan segala ciri yang berbau keislaman. Sehingga, muslim Rohingya dilarang untuk memelihara janggut, memakai kopiah dan penutup kepala yang lain, serta memakai jilbab (tutup kepala
184
Riza Sihbudi, dkk., Op. Cit. hlm. 52. Ibid. hlm. 89. 186 “Apa Salah Kami Sebagai Muslim?” (7 Maret 2006, 13.07), terdapat di situs http://www.eramuslim.com/br/dn/34/6244,1,v.html 187 Riza Sihbudi, dkk., Op. Cit. hlm. 89. 185
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
bagi wanita). Akibatnya, sekitar 20.000 muslim Rohingya dibunuh oleh rezim militer di antara tahun 1962 sampai tahun 1984. 188
188
Zaman kegelapan Islam dan Ketibaan Era Kebangkitan Islam, “Burma Penduduk Yang Berhadapan Dengan Kezaliman Penganut Budha”, (22 Februari 2006, 19.30), Diambil dari situs http://www.harunyahya.com/malaysian/buku/kebangkitanislam/kebangkitanislam19.php
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
BAB 5 KESIMPULAN
Muslim Rohingya merupakan muslim minoritas yang tertindas sejak tahun 1942 oleh masyarakat mayoritas Budha dan pemerintah. Kelompok muslim yang tinggal
di
Arakan
ini
memulai
pemberontakannya
akibat
tekanan
yang
berkepanjangan setelah Burma meraih kemerdekaannya tahun 1948. Muslim Rohingya sebagai muslim minoritas hampir tidak pernah merasakan kehidupan yang layak. Penindasan-penindasan seakan sudah akrab dalam kehidupan mereka. Sejak Burma merdeka sampai pemerintahan junta militer, muslim Rohingya selalu diperlakukan tidak adil oleh mayoritas Burma. Agama Islam dianggap bukan agama asli Burma. Sedangkan penganutnya, muslim Rohingya, dianggap sebagai imigran ilegal yang datang dari Chittagong (Pakistan Timur). Berbagai hak individu muslim Rohingya dirampas oleh orang-orang Budha Arakan dan pemerintah. Dengan berbagai tekanan, muslim Rohingya pun melakukan perlawanan atas kekerasan yang mereka terima. Mereka menuntut kepada pemerintah untuk menjadikan Arakan Utara (Buthidaung, Maungdaw, dan sebagian Rathedaung) sebagai wilayah otonomi bagi muslim Rohingya di bawah pemerintahan Burma terlepas dari dominasi mayoritas umat Budha. Namun, tuntutan ini tidak dipenuhi oleh pemerintah Burma. Akibat kekecewaan dan tekanan yang dialami muslim Rohingya, mendorong mereka untuk melakukan pemberontakan. Pemberontakan pun
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
semakin berkembang ketika banyak tokoh-tokoh Rohingya, seperti Jafar Kawal dan Cassim turut mengobarkan semangat untuk menuntut keadilan bagi muslim Rohingya. Pemberontakan muslim Rohingya selama dua periode pemerintahan Burma, masa U Nu (1948 – 1962) dan masa Ne Win (1962 – 1988) mengalami perbedaan motif penyebab terjadinya penindasan oleh kedua pemerintah tersebut. Pada masa pemerintahan U Nu muslim Rohingya ditindas oleh mayoritas Budha karena muslim Rohingya menganut agama Islam, agama yang dianggap bukan agama asli Burma. Sedangkan pada masa pemerintahan junta militer, muslim Rohingya ditindas karena sistem pemerintahan junta militer yang mengeluarkan berbagai kebijakannya yang sangat merugikan muslim Rohingya. Pada masa pemerintahan U Nu pihak yang bertikai adalah muslim Rohingya sebagai muslim minoritas yang tertindas dan mayoritas Budha sebagai pihak yang mendominasi. Konflik antar kedua kelompok ini dikarenakan kedudukan muslim Rohingya yang diambil alih oleh mayoritas Budha setelah Burma merdeka, muslim Rohingya dianggap sebagai masyarakat asing penganut agama Islam yang datang ke Arakan sebagai imigran ilegal dari Chittagong (Pakistan Timur). Atas alasan tersebut mayoritas Budha merampas hak-hak muslim Rohingya dan melakukan tindakan represif terhadap muslim Rohingya. Sedangkan pada masa pemerintahan Ne Win, pihak yang bertikai adalah muslim Rohingya dengan gerakan Mujahid, Rohingya Independence Front, dan gerakan-gerakan yang lainnya yang dipimpin oleh Jafar Kawwal, Cassim, Jafar
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Habib, Zafar Sani, dan pemerintah junta militer Burma yang dipimpin oleh Jenderal Ne Win. Pemerintah yang menganut sistem militer merupakan pemerintah yang berkuasa dengan cara paksaan dan tekanan dengan kekuatan militer dan kebijakankebijakan sepihak. Dengan alasan ingin memperbaiki pemerintahan U Nu yang dianggap telah gagal menjalankan pemerintahan karena pada saat itu Burma mengalami kekacauan politik akibat merebaknya aksi-aksi pemberontakan oleh gerakan separatis yang banyak dilancarkan oleh kelompok komunis dan kelompok minoritas, Ne Win mengambil alih kekuasaan pemerintah. Namun, ketika pemerintahan dikuasai Ne Win, Burma semakin mengalami kekacauan. Tekanantekanan yang dilakukan pemerintah militer dengan tujuan untuk menjadikan Burma sebagai negara sosialis malah membuat rakyat Burma semakin menderita, terutama muslim Rohingya. Gerakan Mujahid setelah Ne Win berkuasa dibubarkan. Muslim Rohingya yang lain semakin mengalami penderitaan akibat penindasan yang tidak berperikemanusiaan. Setelah pembubaran gerakan Mujahid, berdirilah gerakangerakan lain sebagai wadah aspirasi muslim Rohingya yang memiliki tujuan yang sama dengan Mujahid, menuntut wilayah otonomi Islam untuk daerah Arakan Utara. Pertentangan atau konflik merupakan akibat dari tajamnya perbedaanperbedaan misalnya menyangkut perbedaan ras atau etnis. Akibat dari pertentangan diantaranya adalah tambahnya solidaritas in-group. Apabila suatu kelompok bertentangan dengan kelompok lain, maka solidaritas antar warga kelompok biasanya akan bertambah erat. Mereka bahkan bersedia berkorban demi keutuhan kelompoknya. Hal ini terbukti pada muslim Rohingya yang saling bekerja sama
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
membentuk suatu gerakan untuk mempertahankan komunitas mereka yang berdampak semakin eratnya hubungan antara muslim Rohingya untuk mencapai tujuannya. Muslim Rohingya merupakan komunitas yang terasing, baik karena kondisi geografi Arakan yang terisolir maupun kebijakan pemerintah pusat yang sengaja mengasingkan diri dari dunia internasional. Dalam ilmu sosiologi keterasingan dapat disebabkan karena pengaruh perbedaan ras atau kebudayaan yang kemudian menimbulkan prasangka-prasangka. Muslim Rohingya merupakan muslim keturunan Bengal yang penerus-penerusnya menetap dan menjadi bagian dari warga Arakan. Namun, walaupun mereka telah bergenerasi-generasi tinggal di Arakan, muslim Rohingya tetap dianggap sebagai masyarakat asing yang datang dari negara Pakistan sebagai imigran ilegal sehingga mereka mengalami ketidakadilan atas agama, suku dan posisi mereka sebagai kelompok minoritas. Keterasingan ini mengakibatkan putusnya komunikasi dengan dunia luar serta sulitnya mengadakan suatu interaksi sosial. Begitu pula yang terjadi dengan muslim
Rohingya,
selama
puluhan
tahun
tertindas
mereka
tak
dapat
mengkomunikasikan apa yang mereka alami kepada masyarakat luas sehingga kejadian yang tak berperikemanusiaan itu pada umumnya tidak mendapat perhatian dari dunia luar. Tahun 1995 dua organisasi Rohingya, Arakan Islamic Front (ARIF) dan Rohingya Solidarity Organization (RSO) bersatu dalam satu aliansi, yaitu Rohingya National Alliance (RNA). Organisasi ini bekerja sama dalam semua bidang, politik,
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
militer, sosial budaya, dan pendidikan. Selain organisasi-organisasi tersebut terdapat organisasi lain, seperti Rohingya Liberation Organization (RLO) dan Ittihadul Mozahidin of Arakan (IMA). Pada tahun 1999, kembali dibentuk Arakan Rohingya National Organisation (ARNO), sebuah wadah organisasi bagi aspirasi muslim Rohingya. Dalam gerakan ini muslim Rohingya tidak mendapatkan bantuan dari negara luar, hanya sedikit campur tangan dari negara tetangga, Bangladesh, yang banyak menerima pengungsi asal Arakan ini. Namun, dikarenakan ketertutupan negara Burma terhadap dunia internasional, tidak banyak yang bisa dilakukan negara-negara luar untuk membantu masalah ini. Muslim Rohingya harus berjuang sendiri tanpa bantuan dari luar negeri. Badan internasional pun tidak banyak membawa perubahan. Walaupun organisasi PBB dan negara-negara lain telah meminta pihak pemerintah Burma untuk merubah sikap mereka terhadap warganya, mereka tidak pernah merubah sikapnya yang diktator. Sejak Burma merdeka sampai Ne Win tidak lagi menjadi pemimpin Burma, tuntutan muslim Rohingya hanya tinggal tuntutan, sekedar keinginan yang tidak pernah terpenuhi. Hal itu terlihat pada konvensi bangsa Rohingya yang terbentuk pada tanggal 14 – 16 Mei 2004. Diantara isi deklarasi tersebut adalah menyatakan bahwa Rohingya merupakan salah satu etnis kebangsaan Burma, dan mereka memiliki hak-hak tersendiri serta mengecam pemerintah Burma karena telah membatasi gerakan kebebasan sosial, ekonomi, kebudayaan dan aktivitas keagamaan Rohingya. Namun, deklarasi ini tidak membawa pengaruh banyak terhadap nasib
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
muslim Rohingya, mereka tetap ditindas oleh junta militer yang masih terus berkuasa di Burma. Hal tersebut terbukti pada 26 April 2006 ditemukan sebuah kapal yang mengangkut 77 warga muslim Rohingya terdampar di Pulau Rondo, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Mereka terpaksa meninggalkan negaranya untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, karena selama ini di Myanmar mereka sangat sulit memperoleh pekerjaan. Kelompok yang semula ingin menuju ke Malaysia ini mengaku tidak ingin kembali ke negara asal mereka. Namun, setidaknya dampak dari konvensi bangsa Rohingya tersebut, dunia telah mengetahui apa yang telah terjadi selama ini terhadap muslim Rohingya. Muslim Rohingya sendiri bisa memberikan banyak informasi tentang keadaan mereka melalui organisasi Arakan Rohingya National Rohingya (ARNO), organisasi muslim Rohingya yang terus berjuang sampai sekarang. Sampai saat ini perjuangan muslim Rohingya untuk memenuhi tuntutannya tidak pernah berhasil, tuntutan mereka tidak pernah mencapai titik hasil yang signifikan.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
BIBLIOGRAFI
Buku Abdullah, Taufik. “Islam Kontemporer di Myanmar,” Ensiklopedi Tematis Dinamika Masa Kini (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm. 312 - 313. Alfian. Militer Dan Politik Pengalaman Beberapa Negara. Djakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 1970. Esposito, John L. “Myanmar,” Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 139 - 140. Christie, Clive J. A Modern of History Southeast Asia: decolonization, nationalism and separatism. London: Tauris Academic Studies an imprint of I.B. Tauris Publisher, 1996. Henderson, John W. dkk. Area Hand Book for Burma. Amerika: Foreign Area Studies The American University, 1971. Muzani, Saiful. Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara. Jakarta: Pustaka LP3ES, 1993. Nordlinger, Eric A. Militer Dalam Kekuasaan Kudeta Dan Pemerintahan, terj. Drs. Sahat Simamora, Jakarta: Rineka Cipta, 1990. Salim, Peter Drs., dan Yenny Salim. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta: Modern English Press, 1991. Santoso, Thomas. Teori-Teori Kekerasan. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002. Saung, Aye. Catatan-Catatan Dari Bawah Tanah: Otobiografi Pemberontakan Burma. Terj. Nurul Agustina, Jakarta: LP3ES, 1991. Selth, Andrew. Burma’s Muslims: Terrorists or Terrorised ?. Canberra: Strategic and Defence Studies Centre The Australian National University, 2003.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Sihbudi, Riza. Dkk. Problematika Minoritas Muslim di Asia Tenggara: kasus Moro, Pattani, dan Rohingya. Jakarta: PPW-LIPI, 2000. Smith, Martin. BURMA: Insurgency and The Politics of Ethnicity. NewYork: St. Martin’s Press, 1991. Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998. Tinker, Hugh. The Union of Burma. London: Oxford University Press, 1967.
Artikel Harian Priyambudi. “Myanmar Yang penuh Pergolakan,” Suara Pembaruan, 29 Mei, 1990. Tempo, 1 Juli, 1989.
Media Online “The World Fact Book, Burma,” (7 Maret 2006, 13.14), terdapat di situs http://www.cia.gov/cia/publications/factbook/geos/bm.html Mohammed Ashraf Alam, “A Short Historical Background,” (7 Maret 2006, 12.57), terdapat di situs http://www.rohingyatimes.i-p.com/history/history_maa.html Kyaw Zan Tha, “Background of Rohingya Problem,” (22 Februari 2006, pukul 19.35), terdapat di situs http://rakhapura.com/read.asp?id=4&a=scholarscolumn “Rohingya politics,” (22 Februari 2006, 20.00), terdapat di situs http://www.rohingya.com/rohi/index.htm Abdul Mabud Khan, “The Liberation Struggle in Arakan,” (7 Maret 2006, 13.10) terdapat di situs http://www.rakhapura.com/read.asp?id=15&a=scholarscolumn
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Lampiran 1 Peta Burma
Sumber: Facts About Burma, 1983.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Lampiran 2 Peta Arakan
Sumber: Facts About Burma, 1983.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Lampiran 3 Peta State dan Division Burma
Sumber: Facts About Burma, 1983.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Lampiran 4 Peta Negara-Negara Tetangga Burma
Sumber: Facts About Burma, 1983.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
Lampiran 5 Deklarasi Konvensi Bangsa Rohingya
Press Release: THE ROHINGYA NATIONAL CONVENTION
The Rohingya National Convention was held on 14-16 May 2004. It was participated by Arakan Rohingya National Organisation (ARNO), Burmese Rohingya Association in Japan (BRAJ), Burmese Rohingya Community in Australia (BRCA), exiled leaders of the National Democratic Party for Human Rights (NDPH), Students and Youth League for Mayu Development (SLMD), National League for Democracy (NLD) in Arakan, and other organizations and leaders from inside and outside Arakan – including Rohingya Youth Development Forum (RYDF), Arakan Human Rights Organization (AHRO), Ex.MPs, Rohingya elites from Bangladesh, academics and professionals, religious and community leaders, youth and student leaders, refugee leaders and social welfare activists. The Convention has formed a “Working Committee” with the participants for building consensus and drafting Arakan State constitution, in a manner consistent to democracy and federalism. It has expressed total support and solidarity with the Arakan Rohingya National Organisation (ARNO) entrusting all matters of national interest to it. Following is the Declaration of the Convention in abridged form: The Rohingya are an indigenous people in Arakan and, therefore, are one of the many ethnic nationalities of the Union of Burma entitled to the “right of selfdetermination”.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
The Convention has called for unity and combined efforts of all peoples of the country for establishing a genuine Democratic Federal Union of Burma that will ensure political self-determination, self-identification, democracy, equality, justice and human rights to all, including the ethnic Rohingya. Meanwhile, the Convention has deplored the policy of ‘exclusiveness’ practiced by some Rakhaing political party leaders and individuals to keep the Rohingya politically marginalized and has urged upon them to work together to find the best solution for our future generation. The Convention has expressed its deep concern over the SPDC sponsored sham National Convention of 17 May 2004.The only real route to national reconciliation and political reform in Burma is a “tripartite dialogue” with the junta, the democratic oppositions and ethnic nationalities as called for annually by the United Nations since 1994. The Convention has expressed its support to the decisions of the NLD and United Nationalities League for Democracy (UNLD) with Shan Nationalities League for Democracy (SNLD) not to participate in the SPDC’s National Convention. The Convention has expressed its support to the NDPH and Kaman National league for Democracy (KNLD) and all other election winning parties in Arakan, and urges upon them to work together on the basis of mutual respect and benefit. The Convention has urged upon the international community and host countries, including Bangladesh, to help the refugees from Burma continue their peaceful living in their present places of refuge on humanitarian ground. The Convention has also urged upon Bangladesh to play a ‘Key role’ for a permanent solution of the Rohingya problem. The Convention has welcomed the continued sanction of the US and EU against the SPDC and has urged upon them to take tougher political and economic sanctions unless it initiates meaningful progress toward democracy. The Convention has also urged the neighboring China, India, Bangladesh and ASEAN countries to mount
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
effective pressure against the SPDC for the restoration of democracy and human rights in Burma, in the interest of peace and stability in the region. The Convention has strongly condemned the continuing human rights violations on the Burmese people and democracy activists, particularly in areas of ethnic nationalities and Arakan; and it has called upon the junta to stop treating the Rohingya as animals and ensure their rights and freedom. The Convention has strongly condemned the SPDC’s state terrorism upon Daw Aung San Suu Kyi and her supporters at Depayin on 30 May 2003 and has demanded for an impartial investigation into the massacre, take action against perpetrators, and immediately release Daw Aung San Suu Kyi and all political prisoners, including the student leader Min Ko Naing now in Akyab jail. The Convention has stressed that people of Arakan with the indigenous Rohingya have complete right and ownership of the resources, gas and petroleum in their backyard or under their feet and it has condemned the SPDC for selling the gas to serve its own purposes, without informed consent of the people, which does not benefit the people. Abul Faiz (a) AFK Jilani Chairman Rohingya National Convention Arakan, Burma.
Dated: 18 May 2004
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
DECLARATION OF THE ROHINGYA NATIONAL CONVENTION
Arakan, also known as Rohang, had been a sovereign independent kingdom for many centuries. Burman invaded and occupied it 1784. Then the British imperialist colonized our homeland in 1824. They transferred the “sovereignty’ over Arakan to Burma at the time of Burmese independence in January 1948. Arakan is a land with a population of diverse, ethnic, linguistic, cultural and religious identities. Rakhaing and Rohingya are the two major indigenous peoples of Arakan. There are other ethnic races distributed among Chin, Kaman, Thet, Dinnet, Mramagri, Mro and Khami etc. Throughout the Burmese rule, the Rohingya are under endless tyranny. Campaigns of terror, genocide, ethnic cleansing, extermination and other grave human rights violations have been perpetrated against them in a systematic and planned way. The Rohingya tried to redress their grievances by peaceful means. But their nonviolence resistance was met with premeditated and planned government and state sponsored terrorism directed towards annihilating the Rohingya population. So, the Rohingya first embarked on freedom movement for their “right of selfdetermination” soon after the Burmese independence in 1948. The current movement is but the continuation of the Rohingya people’s long and heroic struggle. The Rohingya National Convention was held on 14-16 May 2004 in a place on the border area. It was a long felt national conference of the Rohingya people, participated by Arakan Rohingya National Organisation (ARNO), Burmese Rohingya Association in Japan (BRAJ), Burmese Rohingya Community in Australia (BRCA), exiled leaders of the National Democratic Party for Human Rights (NDPH), Students and Youth League for Mayu Development (SLMD) and National League for Democracy (NLD) in Arakan, and other organizations and leaders from inside and
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
outside Arakan -- including Rohingya Youth Development Forum (RYDF), Arakan Human Rights Organization (AHRO), Ex. Members of the Parliament (MPs), Rohingya elites from Bangladesh, academics and professionals, religious and community leaders, youth and student leaders, refugees leaders and social welfare activists. A number of Rohingya groups and individuals from home and abroad, particularly from USA, Canada, France, Netherlands, KSA, UAE, Pakistan, Thailand and Malaysia sent their messages expressing their solidarity with the Convention. The delegates and participants discussed on the current political developments and process and other important issues and problems relating to Arakan and its peoples, particularly matters of Rohingya’s concern. The Convention expressed its total support and solidarity with Arakan Rohingya National Organisation (ARNO) entrusting all matters of national interest to it. The Convention formed a “Working Committee” with the participants for building consensus and drafting Arakan State Constitution, in a manner consistent to democracy and federalism. The Convention unanimously issued a Declaration as follows: (1) The Rohingya are an indigenous people in Arakan and, therefore, are one of the many ethnic nationalities of the Union of Burma. The Rohingya -- having a supporting history, separate culture, civilization, language and literature, historically settled territory and reasonable size of population and area -- consider themselves distinct from other sectors of the society and are determined to preserve, develop and transmit to future generations their ancestral history, and their ethnic identity, as the basis of their continued existence as people, in accordance with their own cultural pattern, social institution and legal system.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
(2) The Rohingya have the right to ‘self-determination’ by virtue of which they have the right of whatever degree of autonomy they choose. The concept of the Rohingy’s ‘self-determination’ is to charter the future of the Rohingya and that of their generation to come under genuine federalism of the Union of Burma. (3) The Convention stresses the need for unity among all the peoples of Arakan and Burma, irrespective of language, culture, religion and ethnic background, for establishing a genuine Democratic Federal Union of Burma that will ensure political self-determination, self-identification, democracy, equality, justice and human rights to all. (4) The Convention deplores the policy of ‘exclusiveness’ being practiced by some Rakhaing political party leaders and individuals to keep the Rohingya politically marginalized and urges upon them to shun from inflammatory writings, speeches and activities against the Rohingya, in the interest of the all people of Arakan. Such practice that leads to confrontation rather than co-existence cannot be done without doing injustice to the composite nature of the Arakan society. Let’s come forward with a commitment for both unity and diversity, a respect for difference, willingness to share power. Replace hatred with love and affection, because the third party preaches the hatred. Let’s replace the policy of confrontation and destruction with cooperation, peace and development and let’s work together to find the best solution for our future generation. (5) The Convention expresses its solidarity with all Burmese oppositions, democratic forces and ethnic nationalities and aspires to work together with Members of the Parliament Union (MPU), United Nationalities League for Democracy (UNLD) Ethnic Nationalities Council (ENC), National Democratic Front (NDF), National Council of the Union of Burma (NCUB), and National Coalition Government of the Union of Burma (NCGUB).
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
(6) The Convention expresses its support to the 1990 General Elections results and National League for Democracy (NLD) whose parliamentarians won an overwhelming victory and its leader Daw Aung San Suu Kyi and other political and ethnic parties, including the National Democratic Party for Human Rights (NDPH) and Kaman National League for Democracy (KNLD). (7) The Convention expresses its concern over the SPDC sponsored sham National Convention to be held, on 17 May 2004, only with its handpicked persons, without regards to democratic norms. This unauthentic convention is liable to be condemned nationally and internationally. There would be no genuine indication of democratic changes and national reconciliation in Burma while the military regime continues to keep political prisoners and suppress basic freedom. The SPDC Roadmap has yet to be manifested by real and tangible changes on the ground towards a genuinely free, transparent, and an inclusive process involving all political parties, ethnic nationalities, including Rohingya, and elements of civil society. The only real route to political reform in Burma is a ‘tripartite dialogue’ with the junta, the democratic oppositions and ethnic nationalities as called for annually by the United Nations since 1994. Without ‘tripartite dialogue’ there is little hope for national reconciliation and, there will be no peaceful resolution of crisis in the Union. The Convention supports the decisions and actions of the NLD and UNLD, including Shan National League for Democracy (SNLD), not to participate in the sham convention. (8) The Convention strongly condemns the SPDC’s state terrorism upon Daw Aung San Suu Kyi and her supporters at Depayin on 30 May 2003, in which hundreds of people were reportedly killed and injured. In contradiction to its slogan about national harmony and unity, the SPDC is practicing violence and terrorism to oppress and subjugate the country’s democracy activists and ethnic nationalities. The Convention
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
demands for an immediate and impartial investigation into the massacre and take action against perpetrators. It also calls upon the SPDC to immediately release Daw Aung San Suu Kyi and all political prisoners across the country, including the ailing student leader Min Ko Naing now in Akyab jail. (9) The Convention welcomes and thanks the United States and European Union for their renewal and continued sanction against the SPDC. In view of the absence of tangible and substantial efforts and measurable progress toward transition to democracy, the Convention urges upon the international community to take tougher political and economic sanctions against SPDC. In this connection, the US and EU may formally place the issue on the agenda of the U.N. Security Council, and work urgently toward a resolution threatening credible sanctions against the Burmese regime unless it initiates meaningful progress toward democracy. (10) The Convention notes that there are huge number of refugees from Burma sheltering in all neighboring countries and urges upon the international community, UN with UNHCR, and the host countries to help them continue their peaceful living on humanitarian ground. Since 1948 about 1.5 million Rohingyas have been expelled or have fled the country for their lives. Many of these uprooted people are taking shelter in Bangladesh, Pakistan, Saudi Arabia, UAE, other Middle-East countries, Thailand and Malaysia. They are still waiting to return to their ancestral homeland of Arakan with dignity and honor. (11) The Convention expresses its serious concern over the continuing human rights violations on the Burmese people and democracy activists, particularly on the Rohingya and in areas of ethnic nationalities. Crimes like extra judicial killings, summery executions, arbitrary arrests and torture, humiliating restriction on the movement, forced labor, forced relocation, confiscation of properties, destruction of
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
settlements and places of worship, mosques and religious schools are being perpetrated. Rapes and molestation of womenfolk have become the unwritten but institutionalized code of punishment by the military junta. The Convention calls upon the SPDC to stop forthwith all its heinous actions against the people. (12) The Convention strongly condemns the SPDC for its continued humiliating restrictions on the freedom movement and other socio-economic, cultural and religious activities of the Rohingya. The movement restriction imposed on the Rohingya is not acceptable to any living creatures on earth. The Convention calls upon the junta to stop treating the Rohingya as animals and ensure their human rights and freedom. (13) The Convention proclaims that the people of Arakan with the indigenous Rohingya have the right to own, develop and control their land and territories, air, water, coastal sea, flora and fauna and other resources, they have traditionally occupied or otherwise used. They have complete right and ownership of the gas and petroleum in their homeland. The Convention expresses its serious concern that the SPDC is now selling the gas to serve its own purposes and the people of Arakan are not benefiting from the huge gas reserve in their backyard. The Convention urges upon all those interested in Arakan gas to comply with all civilized norms and practices in order to serve the local people of the area, help restore democracy with legitimate responsible government and thereafter enter into gas deals and other projects with the informed consent of the people. (14) The Convention expresses its gratitude to neighboring Bangladesh for providing food and shelter to our people. Being a neighboring Muslim country affected by the Rohingya problem with a huge number of refugees taking refuge on her soil over the decades, the Convention urges upon democratic Bangladesh to review its policy
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
toward military ruled Burma and to play a ‘key role’ for a permanent solution of the Rohingya problem. (15) The Conventions appeals to all neighboring countries, particularly Bangladesh, India, China and Thailand to help restore democracy and human rights in Burma. (16) The Convention appeals to UN and its member states, including OIC and ASEAN to mount effective pressure against the SPDC for the restoration of democracy and human rights in Burma, in the interest of peace and stability in the region. Chairman Rohingya National Convention Arakan, Burma. Dated: 16 May 2004
Sumber : http://rnc.bravehost.com/press%20release.html
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006
RIWAYAT HIDUP
AZIZAH, lahir di Depok, 25 April 1985, adalah anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Abdul Kadir Al Haddad dan Siti Haroh. Ia memperoleh pendidikan dasar dan menengah di Jakarta dan mendapat ijazah Sekolah Menengah Umum Negeri 97 pada tahun 2002. Ia melanjutkan studi di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Program Studi Arab, pada tahun 2002 dan memperoleh gelar Sarjana Humaniora tahun 2006. Semasa kuliah penulis aktif sebagai anggota IKABA (Ikatan Keluarga Asia Barat) departemen Seni dan Olahraga tahun 2002 – 2003, pengurus BEM UI (Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia) Bidang Pengmas (Pengembangan Masyarakat) tahun 2003 – 2004, Ketua Advokasi IKABA tahun 2004, dan Kepala Departemen Kesma (Kesejahteraan Mahasiswa) SM FIB UI (Senat Mahasiswa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia) tahun 2005.
Pemberontakan sporadis..., Azizah, FIB UI, 2006