TESIS
PEMBERIAN L – ARGININ DAN TESTOSTERON UNDEKANOAT ORAL MENINGKATKAN NITRIC OXIDE PADA TIKUS (Rattus norvegicus) WISTAR JANTAN ORCHIDECTOMY
IVONNE KURNIAWAN
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016 1
2
TESIS
PEMBERIAN L – ARGININ DAN TESTOSTERON UNDEKANOAT ORAL MENINGKATKAN NITRIC OXIDE PADA TIKUS (Rattus norvegicus) WISTAR JANTAN ORCHIDECTOMY
IVONNE KURNIAWAN 1490761019
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016
3
PEMBERIAN L – ARGININ DAN TESTOSTERON UNDEKANOAT ORAL MENINGKATKAN NITRIC OXIDE PADA TIKUS (Rattus norvegicus) WISTAR JANTAN ORCHIDECTOMY
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana
IVONNE KURNIAWAN 1490761019
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016
4
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL : 31 Mei 2016
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. DR. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And. FAACS NIP. 194612131971071001
Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK NIP. 194606191976021001
Mengetahui
Ketua Program Magister Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana
DR. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, MSc., Sp. GK NIP. 1958052119850310
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof.DR.dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) NIP. 195902151985102001
5
Tesis Ini Telah Diuji dan Dinilai Oleh Panitia Penguji Program Pascasarjana Universitas Udayana Pada Tanggal : 31 Mei 2016
Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana No
:
/UN.14.4/HK/2016
Tanggal
: 31 Mei 2016
Panitia Penguji Tesis adalah: Ketua
: Prof. Dr. dr.Wimpie Pangkahila, Sp.And., FAACS
Sekretaris
: Prof.dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK
Anggota
:
1.Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc., Sp. And 2. Prof. Dr. dr. A. A. Gede Budhiarta, Sp. PD – KEMD 3. Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, Msc., Sp. GK
6
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Nama
: dr. Ivonne Kurniawan
NIM
: 1490761019
Program Studi
: Magister Ilmu Biomedik (Anti Aging Medicine)
Judul
: Pemberian L – Arginin dan Testosteron Undekanoat Oral Meningkatkan Nitric Oxide Pada Tikus (Rattus Norvegicus) Wistar Jantan Orchidectomy
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat. Apabila kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini , maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun 2010 dan Peraturan Perundang – undang yang berlaku.
Denpasar,
31
Mei
Yang
membuat
2016
pernyataan,
(dr. Kurniawan)
Ivonne
7
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yesus dan Bunda Maria atas segala berkat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian untuk penyusunan tesis yang berjudul Pemberian L – Arginin dan Testosteron Undekanoat Oral Meningkatkan Nitric Oxide Pada Tikus (Rattus Norvegicus) Wistar Jantan Orchidectomy. Tesis ini disusun untuk memenuhi persyaratan tugas akhir studi yang telah dijalankan oleh penulis untuk memperoleh gelar Magister pada program Magister Studi Ilmu Kedokteran Program Studi Ilmu Kedokteran Biomedik, Kekhususan Anti Aging Medicine, Program Pascasarjana Universitas Udayana. Terima kasih kepada Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) sebagai Direktur Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A sebagai Asdir I dan Prof. Dr. Ir. Ketut Budi Susrusa, MS sebagai Asdir II yang telah
memberikan
kesempatan
kepada
penulis
untuk
mengikuti
dan
menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana di Universitas Udayana. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat, penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And, FAAC sebagai pembimbing I dan Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK sebagai pembimbing II, yang telah meluangkan waktu untuk memberikan ilmu selama penulis mengikuti pendidikan serta bimbingan, saran dan motivasi yang sangat besar manfaatnya dalam penelitian selama penyusunan tesis ini.
8
Ucapan terima kasih secara tulus juga penulis sampaikan kepada : 1. Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc., Sp. And, sebagai dosen dan penguji tesis, dengan sabar memberikan dorongan, semangat dan masukan kepada penulis selama penyusunan tesis ini. 2. Prof. Dr. dr. A. A. Gede Budhiarta, Sp. PD – KEMD, sebagai dosen dan penguji tesis yang membimbing dan memberi masukan yang kritis serta pengajaran yang sangat dirasakan manfaatnya oleh penulis selama penyusunan tesis ini. 3. Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc,Sp.GK, sebagai Ketua Program Studi dan penguji tesis yang membimbing dan memberi saran ilmiah serta koreksi kepada penulis selama penyusunan tesis ini. 4. Prof. Dr. Ir. Ida Bagus Putra Manuaba, M. Phil sebagai Kepala UPT Laboratorium Analitik Universitas Udayana, yang telah membantu penulis untuk analisis laboratorium selama penelitian. 5. Ferbian, S.KH yang telah membantu selama penulis melakukan penelitian di Rumah Sakit Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana serta memberikan bantuan terutama dalam statistik yang sangat berguna bagi penulis dalam menyusun tesis ini. 6. Seluruh dosen program Magister Studi Ilmu Kedokteran Program Studi Ilmu Kedokteran Biomedik, Kekhususan Anti Aging Medicine, Program Pascasarjana
9
Universitas Udayana yang telah meluangkan waktu untuk memberikan ilmu kepada penulis selama mengikuti pendidikan. 7. Seluruh staff program Magister Studi Ilmu Kedokteran Program Studi Ilmu Kedokteran Biomedik, Kekhususan Anti Aging Medicine, Program Pascasarjana Universitas Udayana untuk bantuan yang diberikan kepada penulis selama mengikuti pendidikan dan menyelesaikan tesis. 8. Teman – teman angkatan IX program Magister Studi Ilmu Kedokteran Program Studi Ilmu Kedokteran Biomedik, Kekhususan Anti Aging Medicine, Program Pascasarjana
Universitas
Udayana
atas
doa,
semangat,
dukungan
dan
persahabatan yang diberikan kepada penulis baik selama pendidikan maupun dalam penyusunan tesis. 9. Keluarga tercinta, orang tua (Henry Kurniawan dan Steffi Kurniawan), adik (dr. Anthony Kurniawan, MPH), calon suami (Herry Santosa, BSc) atas doa, cinta, dukungan, dan perhatian yang luar biasa selama penulis menjalani pendidikan dan menyelesaikan tesis. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk masyarakat pada umumnya dan perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang Anti Aging Medicine pada khususnya. Dan semoga Tuhan senantiasa melimpahkan berkat dan rahmatNya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini. Damai dan kasih Tuhan beserta kita semua. Denpasar, Mei 2016 Penulis
10
ABSTRAK PEMBERIAN L – ARGININ DAN TESTOSTERON UNDEKANOAT ORAL MENINGKATKAN NITRIC OXIDE PADA TIKUS (Rattus norvegicus) WISTAR JANTAN ORCHIDECTOMY Dalam proses penuaan terjadi penurunan level hormon, salah satunya yaitu hormon testosteron yang berperan penting dalam fungsi reproduksi dan seksual. Hormon testosteron dapat bekerja pada organ sasaran melalui Androgen Receptor (AR) dan efektor intrasel. AR merupakan salah satu protein yang berikatan dengan DNA dengan mengatur transkripsi gen. Testosteron yang berikatan dengan AR mempengaruhi fungsi endotel melalui neuron Non Adrenergic Non Cholinergic yang melepaskan NO, kemudian meningkatkan kadar cyclic Guanosine Mono Phosphate yang menyebabkan relaksasi otot polos arteri kavernosa serta meningkatkan aliran darah penis. Pada pembuluh darah, dalam keadaan normal NO dihasilkan oleh Nitric Oxide Synthase (NOS). L – Arginin merupakan prekursor dalam sintesis NO yang dilakukan oleh NOS. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pemberian L – Arginin dan testosteron undekanoat oral terhadap peningkatan kadar NO pada tikus wistar jantan orchidectomy. Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan menggunakan completely randomized post test only control group design yang menggunakan 28 ekor tikus wistar jantan berumur 5 – 6 bulan yang di orchidectomy, selama 14 hari, terbagi menjadi 4 kelompok masing – masing berjumlah 7 ekor, kelompok kontrol (P0) diberikan plasebo, kelompok perlakuan 1 (P1) diberikan L – Arginin, kelompok perlakuan 2 (P2) diberikan testosteron undekanoat oral selama dan kelompok perlakuan 3 (P3) diberikan L – Arginin dan testosteron undekanoat oral. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata kadar NO kelompok P0 adalah 417,29±63,823 μM, kelompok P1 adalah 684,71±79,747μM, kelompok P2 adalah 754,54±64,296μM dan kelompok P3 adalah 1156,95±167,904μM. Analisis kemaknaan dengan One Way Anova menunjukkan bahwa nilai p = 0,000. Hal ini menunjukkan bahwa 4 kelompok setelah diberikan perlakuan selama 14 hari memiliki rerata kadar NO yang signifikan (p<0,01). Uji lanjutan untuk mengetahui perbedaan individual antar kelompok dengan menggunakan Least Significance Difference test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara kelompok P0 dengan P1, P2 dan P3 (p<0,01), tidak terdapat perbedaan signifikan antara kelompok P1 dengan P2 (p>0,05) dan terdapat perbedaan signifikan antara kelompok P0, P1 dan P2 dengan P3 (p<0,01). Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa kelompok yang diberikan gabungan L – Arginin dan testoteron undekanoat oral memiliki peningkatan kadar NO yang signifikan dibandingkan kelompok yang diberikan L – Arginin saja dan kelompok yang diberikan testoteron undekanoat oral saja (p<0,05). Kata kunci: Tikus wistar jantan orchidectomy, Nitric Oxide, Testosteron undekanoat oral, L – Arginin
11
ABSTRACT ORAL ADMINISTRATION OF L – ARGININE AND TESTOSTERONE UNDECANOATE INCREASED NITRIC OXIDE LEVEL IN ORCHIDECTOMY MALE WISTAR RATS (Rattus norvegicus) Aging process decreased hormone levels such as a decreased of testosterone levels that is important in reproductive and sexual function. Testosterone worked on the target organs were the existence and proper functioning of the Androgen Receptor (AR) and intrasel effectors. AR is one of the proteins that will bind to DNA which regulated the transcription of gens work. Testosterone that bind with AR affected endothelial function through neuron Non Adrenergic Non Cholinergic which released NO then increased the levels of cyclic Guanosine Mono Phosphate that caused smooth muscle relaxation of the arterial cavernous penile blood flow. On blood vessels, under normal circumstances NO was produced by Nitric Oxide Synthase (NOS). While L – Arginine is the precursor for the synthesis of Nitric Oxide that is made by Nitric Oxide Synthase. The purpose of this research was to determine L – Arginine and testosterone undecanoate increased Nitric Oxide level in orchidectomy male wistar rats. The study was an experimental study using completely randomized post test only control group design that used 28 male wistar rats (post orchidectomy for 5 – 6 months) for 14 days which were divided into 4 groups, each with 7 rats, first group as the control group (P0) was given placebo, second group as first treatment group (P1) was given L – Arginine, third group as second treatment group (P2) was given testosterone undecanoate and fourth group as third treatment group (P3) was given L – Arginine and testosterone undecanoate. The results showed that the mean Nitric Oxide level of P0 group was 417,29±63,823 μM, P1 group was 684,71±79,747μM, P2 group was 754,54±64,296μM and P3 group was 1156,95±167,904μM. Comparability test with One Way Anova showed that the value of p = 0.000. It showed that 4 groups after L – Arginine and testosterone undecanoate administration for 14 days have the mean of Nitric Oxide level was significantly different (p<0,01). The advanced test to find out individual differences between groups using Least Significance Difference test shows that there are significant differences between P0 group and P1, P2, P3 groups (p<0,01), no significant differences between P1 group and P2 group (p>0,05), and significant differences between P0, P1, P2 groups and P3 group (p<0,01). Based on the above research result, it can be concluded that oral combined administration of L – Arginine and testosteron undecanoate have a significant differences of Nitric Oxide level, compared to single administration of L – Arginine and testosteron undecanoate (p<0,05). Keywords: Orchidectomy male wistar rats, Nitric Oxide, Orally testosterone undecanoate, L – Arginine.
12
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL .....................................................................................................
i
PRASYARAT GELAR...................................................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................................
iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI.................................................................................
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT .....................................................................
v
UCAPAN TERIMA KASIH ...........................................................................................
vi
ABSTRAK
...................................................................................................... ix
ABSTRACT
...................................................................................................... x
DAFTAR ISI
......................................................................................................
xi
DAFTAR TABEL ...................................................................................................... xv DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................
xvi
DAFTAR SINGKATAN ...............................................................................................
xviii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................................
xx
BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................................
1
1.1 Latar Belakang .............................................................................................
1
13
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................
4
1.3 Tujuan Penelitian.........................................................................................
5
1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................................
5
BAB II KAJIAN PUSTAKA ...........................................................................................
6
2.1 Penuaan (Aging) ..........................................................................................
6
2.1.1 Definisi Penuaan ................................................................................
6
2.1.2 Tanda – tanda Penuaan .....................................................................
8
2.1.3 Mekanisme Pada Penuaan ................................................................
10
2.2 Nitric Oxide (NO) .........................................................................................
13
2.2.1 Definisi NO .........................................................................................
13
2.2.2 Sintesis NO .........................................................................................
13
2.2.3 Pengukuran NO..................................................................................
14
2.2.4 Pengaruh NO Pada Korpus Kavernosum ...........................................
18
2.3 Hormon Testosteron ..................................................................................
21
2.3.1 Deskripsi Testosteron ........................................................................
21
2.3.2 Testosteron Pada Sirkulasi .................................................................
22
2.3.3 Sekresi Testosteron ...........................................................................
24
2.3.4 Sintesis Testosteron ...........................................................................
25
14
2.3.5 Kontrol Fungsi Testosteron................................................................
26
2.3.6 Pengukuran Hormon Steroid pada Laki – laki ...................................
27
2.3.7 Efek dan Fungsi Testosteron..............................................................
28
2.3.8 Hubungan Testosteron dan NO Pada Disfungsi Ereksi ......................
32
2.4 Terapi Sulih Testosteron (Testosterone Replacement Therapy) ................
33
2.4.1 Definisi Terapi Sulih Testosteron .......................................................
33
2.4.2 Testosteron Undekanoat ...................................................................
35
2.5 L – Arginin....................................................................................................
38
2.5.1 Deskripsi L – Arginin...........................................................................
38
2.5.2 Metabolisme L – Arginin ....................................................................
39
2.6 Hubungan Testosteron dan L – Arginin dengan NO....................................
41
2.7 Orchidectomy ..............................................................................................
45
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS...............................................
47
3.1 Kerangka Berpikir ........................................................................................
47
3.2 Konsep Penelitian........................................................................................
48
3.3 Hipotesis Penelitian.....................................................................................
49
BAB IV METODE PENELITIAN ...................................................................................
50
4.1 Rancangan Penelitian ..................................................................................
50
15
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian.....................................................................
51
4.2.1. Tempat penelitian.............................................................................
51
4.2.2. Waktu penelitian ..............................................................................
52
4.3 Penentuan Sumber Data .............................................................................
52
4.3.1 Populasi Penelitian ............................................................................
52
4.3.2 Kriteria Subjek....................................................................................
52
4.3.3 Penentuan Jumlah Sampel ................................................................
53
4.3.4 Teknik Penentuan Sampel .................................................................
54
4.4. Variabel Penelitian ....................................................................................
55
4.4.2 Klasifikasi Variabel .............................................................................
55
4.4.3 Definisi Operasional Variabel ............................................................
55
4.4.4 Hubungan Antar Variabel ..................................................................
57
4.5 Bahan dan Alat Penelitian ..........................................................................
57
4.6 Prosedur Penelitian .....................................................................................
59
4.6.1 Sebelum perlakuan ............................................................................
59
4.6.3 Prosedur Pengambilan Darah Tikus ...................................................
61
4.6.4 Cara Pelaksanaan Orchidectomy .......................................................
62
4.7 Alur Penelitian .............................................................................................
63
4.4
4.6
16
4.8 Analisis Data ................................................................................................
64
BAB V HASIL PENELITIAN ............................................................................................
65
5.1 Analisis Deskriptif ........................................................................................
65
5.2 Uji Normalitas..............................................................................................
66
5.3 Uji Homogenitas ..........................................................................................
67
5.4 Analisis Komparabilitas ...............................................................................
68
BAB VI
PEMBAHASAN .............................................................................................
73
6.1 Subjek Penelitian .........................................................................................
73
6.2 Pengaruh Pemberian L – Arginin ................................................................
73
6.3 Pengaruh Pemberian Testosteron Undekanoat Oral ..................................
74
6.4 Pengaruh Pemberian L – Arginin dan Testosteron Undekanoat Oral ......... 75 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ..................................................................................
77
7.1 Simpulan ......................................................................................................
77
7.2 Saran ...........................................................................................................
77
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................
78
DAFTAR TABEL
17
Tabel 2.1 Waktu Paruh NO dan Produknya .............................................................
15
Tabel 2.2 Kadar Hormon Normal pada Laki – laki Dewasa ......................................
28
Tabel 5.1 Hasil Analisis Deskriptif Data Kadar NO ...................................................
66
Tabel 5.2 Hasil Uji Normalitas Data Kadar NO Antar Kelompok..............................
67
Tabel 5.3 Hasil Uji Homogenitas Data Kadar NO Antar Kelompok ..........................
67
Tabel 5.4 Perbandingan Rerata Kadar NO Antar Kelompok Setelah Perlakuan ...... 68 Tabel 5.5 Analisis LSD Perbandingan Rerata Kadar NO Antar Kelompok ................
69
18
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Molekul NO ..........................................................................................
13
Gambar 2.2 Skema Proses Sintesis NO ....................................................................
14
Gambar 2.3 Pembentukan NO Dalam Darah dan Jaringan .....................................
16
Gambar 2.4 Mekanisme Ereksi ................................................................................
20
Gambar 2.5 Struktur Testosteron ............................................................................
22
Gambar 2.6 Skematik Testosteron Total .................................................................
23
Gambar 2.7 Jalur Biosintesis Testosteron ...............................................................
26
Gambar 2.8 Mekanisme Testosteron pada Ereksi Penis .........................................
33
Gambar 2.9 Rumus Bangun Testosteron Undekanoat ............................................
35
Gambar 2.10 Struktur Kimia L – Arginin .................................................................
39
Gambar 2.11 Metabolisme L – Arginin ...................................................................
39
Gambar 2.12 Hubungan Testosteron dan L – Arginin dengan NO ..........................
44
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian ................................................................
48
Gambar 4.1 Skema Rancangan Penelitian ...............................................................
50
Gambar 4.2 Hubungan Antara Variabel Bebas, Tergantung dan Kendali................
57
19
Gambar 4.3 Alur Penelitian......................................................................................
63
Gambar 5.1 Grafik Perbedaan Rerata Kadar NO antar Kelompok P0 dengan P1, P2 dan P3 ..............................................................................................
70
Gambar 5.2 Grafik Perbedaan Rerata Kadar NO antar Kelompok P1 dengan P2 ................................................................................................................
71
Gambar 5.3 Grafik Perbedaan Rerata Kadar NO antar Kelompok P3 dengan P0, P1 dan P2 ..............................................................................................
72
20
DAFTAR SINGKATAN
AAM
: Anti Aging Medicine
AAAM
: American Academy of Anti Aging Medicine
ADMA
: Asymmetric Di Methyl Arginine
ANH
: Atrial Natriuretic Hormone
AR
: Androgen Receptor
BH4 cAMP
: Tetrahydrobiopterin : cyclic Adenosin Mono Phosphate
21
cGMP
: cyclic Guanosine Mono Phosphate
DBD
: DNA Binding Domain
DHEA
: Dehydroepiandrosterone
DHEAS
: Dehydroepiandrosteronesulphate
DNA
: Deoxyribo Nucleic Acid
EDRF
: Endothelium Derived Relaxing Factor
eNOS
: endothelial Nitric Oxide Synthase
ER
: Estrogen Receptor
H2O2
: Hydrogen Peroxide
iNOS
: inducible Nitric Oxide Synthase
LBD LNMA LSD
: Ligand Binding Domain : L – Mono Methyl Arginine : Least Significance Difference
NADPH
: Nicotinamide Adenin Dinucleotide Phosphat Hydrogen
NANC
: Non Adrenergic Non Cholinergic
NO
: Nitric Oxide
NOS
: Nitric Oxide Synthase
22
nNOS
: neuronal Nitric Oxide Synthase
NR
: Nuclear Receptor
NTD
: N-Terminal Domain
OH
ONOO
: Ovario Hysterectomy -
: Peroxynitrite
O2
: Superoxide
PDE5
: Phospho Di Esterase – 5
PKG1
: Protein Kinase G – 1
PTH
: Para Thyroid Hormone
SHBG
: Sex Hormon Binding Globulin
SR
: Steroid Receptor
StAR
: Steroidogenesis Acute Regulatory
T3
: Triiodothyronine
TCA
: Tri Carboxylic Acid
23
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Ethical Clearance ..................................................................................
83
Lampiran 2 Surat Keterangan Fakultas Kedokteran Hewan Udayana .....................
84
Lampiran 3 Tabel Nilai Konversi Usia Tikus Terhadap Manusia .............................
85
Lampiran 4 Tabel Nilai Konversi Dosis Hewan dan Manusia ..................................
85
Lampiran 5 Hasil Laboratorium Analisis L – Arginin ...............................................
86
Lampiran 6 Sediaan L – Arginin ..............................................................................
87
Lampiran 7 Sediaan Testosteron Undekanoat Oral ................................................
87
Lampiran 8 Hasil Laboratorium Kadar Nitric Oxide ................................................
88
Lampiran 9 Analisis Deskriptif .................................................................................
90
Lampiran 10 Uji Normalitas .....................................................................................
90
Lampiran 11 Uji Homogenitas .................................................................................
90
Lampiran 12 Analisis Komparabilitas .......................................................................
91
24
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap makhluk hidup memiliki kesempatan yang sama untuk menjalani siklus kehidupan. Lingkaran kehidupan dimulai dari pembuahan, perkembangan janin, kelahiran, tumbuh kembang, pubertas, dewasa hingga mengalami penuaan dan berakhir dengan kematian. Penuaan merupakan proses fisiologis
yang
dialami dan tidak dapat dihindari oleh seluruh mahluk hidup serta identik dengan gangguan kesehatan, penyakit degeneratif dan menurunnya kualitas hidup. Upaya menghambat penuaan harus dilakukan secara dini sebelum munculnya gejala dan keluhan. Cukup besar angka kegagalan pengobatan dan perawatan untuk penuaan yang dialami terutama akibat adanya kerusakan organ sebelumnya sehingga berbagai penatalaksanaan medis menjadi tidak maksimal dan organ tidak
dapat kembali optimal bahkan tidak berfungsi sama sekali.
Sebagian besar ahli awalnya berpendapat bahwa tanda dan keluhan penuaan muncul setelah memasuki umur 40 tahun. Namun tanda – tanda penuaan sudah terlihat pada akhir umur 30 tahun dan bahkan pada usia yang lebih muda. (Muchtadi, 2009). Pada proses penuaan terjadi penurunan fungsi dari berbagai sel atau organ tubuh sehingga secara alamiah seluruh komponen tubuh tidak dapat berkembang lagi. Terdapat dua faktor yang menyebabkan proses penuaan yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Beberapa faktor internal antara lain adalah radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan
25
tubuh yang menurun dan gen, sementara faktor eksternal meliputi gaya hidup yang tidak sehat, kebiasaan yang salah, polusi lingkungan, stres dan kemiskinan (Pangkahila, 2011). Anti Aging Medicine (AAM) yang diperkenalkan pertama kali oleh American Academy of Anti Aging Medicine (AAAM) tahun 1993 adalah bagian dari ilmu kedokteran yang didasarkan pada penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran terkini untuk melakukan deteksi dini, pencegahan, pengobatan dan perbaikan kembali pada keadaan semula dari berbagai disfungsi, kelainan
dan
penyakit
yang
berkaitan
dengan
penuaan
untuk
tujuan
memperpanjang masa hidup agar selalu dalam keadaan sehat (Pangkahila, 2007). Seiring dengan perkembangan ilmu kedokteran yang semakin modern, khususnya di bidang ilmu kedokteran Anti Aging Medicine (AAM) membawa paradigma baru yang terdiri dari tiga konsep yaitu pertama, konsep ini menganggap bahwa penuaan dianggap suatu penyakit yang dapat dicegah, dihindari dan diobati sehingga dapat berfungsi kembali seperti keadaan semula dengan demikian manusia tidak lagi membiarkan begitu saja proses penuaan dengan segala macam keluhannya dan bila perlu mendapatkan pengobatan atau perawatan.
Kedua,
manusia
bukanlah
semacam
orang
hukuman
yang
terperangkap dalam takdir genetiknya. Ketiga, manusia mengalami keluhan atau gejala penuaan karena kadar hormonnya menurun, bukan karena sebaliknya (Pangkahila, 2011). Hormon memiliki peranan yang sangat penting bahkan mutlak pada kehidupan manusia, bahkan sejak awal kehidupannya hormon sudah sangat
26
diperlukan dalam kehidupan. Hormon berasal dari bahasa Yunani “hormao” yang berarti bergairah atau bangkit. Hormon memberikan pengaruh melalui struktur kimianya yang unik yang dikenali oleh reseptor spesifik pada sel targetnya. Peran hormon yang sangat penting sehingga setiap terjadi gangguan hormon menyebabkan terjadinya berbagai keluhan baik bersifat fisik maupun psikis (Pangkahila, 2011). Perubahan kadar hormon yang terjadi dengan bertambahnya usia seringkali tidak diperhatikan, bukan hanya oleh yang bersangkutan tetapi juga oleh dokter sehingga seringkali penanganannya hanya secara simptomatik dan menganggap
keluhannya
sebagai
keluhan
yang
biasa
terjadi
sehingga
penanganannya tidak kausatif, terutama terjadi karena dokter masih berpegang pada paradigma konvensional (Pangkahila, 2011). Banyak ditemukan pria berusia tua yang mengeluhkan gangguan pada fungsi reproduksi dan seksual. Penuaan pada organ reproduksi tidak terlepas dari efek penurunan kadar hormon, diantaranya penurunan kadar hormon testosteron. Terjadinya kemunduran kesehatan pria yang disebabkan oleh karena penurunan kadar testosteron di dalam peredaran darah yang disebut juga dengan Andropause (Pangkahila, 2007). Testosteron mempengaruhi fungsi endotel dengan adanya reseptor androgen dan enzim – enzim metabolisme testosteron pada sel endotel, antara lain 5 alfa – reduktase yang mengkatalisis perubahan testosteron menjadi dihidrotestosteron dan aromatase yang mengkatalisis perubahan testosteron menjadi estradiol. Estradiol akan berikatan dengan Estrogen Receptor (ER) pada
27
sel endotel. Neuron Non Adrenergic Non Cholinergic (NANC) dan sel endotel melepaskan NO yang meningkatkan kadar cyclic Guanosine Mono Phosphate (cGMP) (Sakka dan Yassin, 2010). L – Arginin merupakan prekursor dalam sintesis NO yang dilakukan oleh Nitric Oxide Synthase (NOS). Mekanisme fisiologis ereksi pada penis diawali dengan adanya stimulasi seksual yang akan melibatkan pelepasan suatu senyawa NO, dari bagian penis yang disebut korpus kavernosum. NO akan mengaktifkan enzim guanylyl cyclase yang menyebabkan peningkatan senyawa cGMP, selanjutnya
menyebabkan
pelebaran
pembuluh
darah
disekitar
korpus
kavernosum, sehingga darah mengalir ke penis dan menyebabkan pembesaran penis (ereksi). Senyawa cGMP diuraikan atau didegradasi oleh enzim yang bernama Phospho Di Esterase – 5 (PDE5) yang menyebabkan penis kembali pada ukuran semula (relaksasi penis) (Susanto, 2011).
1.2 Rumusan Masalah -
Apakah pemberian L – Arginin meningkatkan kadar Nitric Oxide tikus (Rattus norvegicus ) wistar jantan orchidectomy ?
-
Apakah pemberian testosteron undekanoat oral meningkatkan kadar Nitric Oxide tikus (Rattus norvegicus ) wistar jantan orchidectomy ?
-
Apakah pemberian L – Arginin dan testosteron undekanoat oral meningkatkan kadar Nitric Oxide tikus (Rattus norvegicus ) wistar jantan orchidectomy ?
28
1.3 Tujuan Penelitian -
Untuk membuktikan pemberian L – Arginin meningkatkan kadar Nitric Oxide tikus (Rattus norvegicus ) wistar jantan orchidectomy.
-
Untuk membuktikan pemberian testosteron undekanoat oral meningkatkan kadar Nitric Oxide tikus (Rattus norvegicus ) wistar jantan orchidectomy.
-
Untuk membuktikan pemberian L – Arginin dan testosteron undekanoat oral meningkatkan kadar Nitric Oxide tikus (Rattus norvegicus ) wistar jantan orchidectomy.
1.4 Manfaat Penelitian 1. Manfaat Ilmiah
-
Dari hasil penelitian diharapkan akan diperoleh informasi ilmiah mengenai efektivitas L – Arginin dan testosteron undekanoat oral terhadap peningkatan kadar Nitric Oxide tikus wistar jantan orchidectomy.
2. Manfaat Praktis
-
Upaya penggalian dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran, serta memberikan informasi bahwa L – Arginin dan testosteron undekanoat oral dapat digunakan untuk menghambat penuaan pada testis dengan meningkatkan kadar Nitric Oxide.
29
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penuaan (Aging) 2.1.1 Definisi Penuaan Perkembangan ilmu kedokteran, dalam hal ini Anti Aging Medicine (AAM) telah membawa konsep baru dalam dunia kedokteran. Penuaan diperlakukan sebagai penyakit sehingga dapat dan harus dicegah atau diobati bahkan dikembalikan ke keadaan semula sehingga usia harapan hidup dapat menjadi lebih panjang dengan kualitas hidup yang baik (Goldman dan Klatz, 2007; Pangkahila, 2007). Dengan mencegah proses penuaan, fungsi berbagai organ tubuh dapat dipertahankan agar tetap optimal. Hasilnya organ tubuh dapat berfungsi seperti pada usia yang lebih muda, padahal usia sebenarnya bertambah. Dengan demikian penampilan dan kualitas hidupnya lebih muda dibandingkan dengan usia sebenarnya (Pangkahila, 2007). Konsep dan definisi ilmu AAM pada awalnya diperkenalkan oleh American Academy of Anti Aging Medicine (AAAM) pada tahun 1993, definisinya adalah bagian ilmu kedokteran yang didasarkan pada penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran terkini untuk melakukan deteksi dini, pencegahan, pengobatan, dan perbaikan ke keadaan semula berbagai disfungsi, kelainan dan penyakit yang berkaitan dengan penuaan, yang bertujuan untuk memperpanjang hidup dalam keadaan sehat”. Berbagai upaya dilakukan untuk kaitannya dengan anti aging, diantaranya terapi sulih hormon, olah raga, nutrisi
30
dan estetika, bahkan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan kedokteran yang baru, dikembangkan pula cell therapy dan stem cell therapy untuk upaya anti aging (Pangkahila, 2007). Penuaan berkaitan dengan ketidakmampuan akibat penurunan kapasitas baik fisik maupun mental. Penurunan tersebut mengenai berbagai sistem dalam tubuh seperti penurunan daya ingat, kelemahan otot, pendengaran, penglihatan, perasaan dan tampilan fisik yang berubah serta berbagai disfungsi biologis lainnya. Seiring dengan penuaan maka muncul pula berbagai penyakit seperti penyakit jantung koroner, hipertensi, diabetes melitus, kanker, osteoarthritis dan demensia. Penyakit ini sering kali merupakan penyebab kematian utama di berbagai negara hingga merupakan fokus perhatian yang sangat tinggi di bidang kedokteran terutama cara pencegahan dan penanganannya (Goldsmith, 2008). Usia harapan hidup manusia semakin meningkat berkat kemajuan yang pesat di bidang kesehatan. Peningkatan usia kronologis (pertambahan umur berdasarkan tahun kelahiran) tersebut tidak selalu diikuti oleh usia biologis, sehingga masalah – masalah kesehatan yang berkaitan dengan penuaan juga cenderung meningkat. Usia biologis yang mencerminkan perfoma fisiologis inilah yang menjadi pusat perhatian pada Anti Aging Medicine. Bidang ini memiliki konsep bahwa penuaan dianggap sebagai suatu penyakit, yang artinya dapat dicegah, diobati bahkan dikembalikan lagi seperti semula. Konsep ini mencerminkan adanya suatu paradigma baru yang sangat berkebalikan dengan pandangan umum yang telah ada sebelumnya, yaitu menjadi tua adalah takdir
31
manusia yang sudah digariskan dan karenanya tidak dapat ditolak (Goldman dan Klatz, 2007; Pangkahila, 2007). 2.1.2 Tanda – tanda Penuaan Proses penuaan dimulai dengan menurunnya bahkan terhentinya fungsi berbagai organ tubuh. Akibat penurunan fungsi itu, muncul berbagai tanda dan gejala proses penuaan, yang pada dasarnya dibagi dua bagian, yaitu (Pangkahila, 2007) : 1) Tanda fisik, antara lain massa otot berkurang, lemak meningkat, kulit berkerut, daya ingat berkurang, fungsi seksual terganggu, kemampuan kerja menurun dan sakit tulang. 2) Tanda psikis, antara lain menurunnya gairah hidup, sulit tidur, mudah cemas, mudah tersinggung dan merasa tidak berarti lagi. Akan tetapi proses penuaan tidak terjadi begitu saja dengan langsung terlihat pada perubahan fisik dan psikis seperti di atas, melainkan terjadi secara perlahan – lahan dan dapat dibagi menjadi beberapa tahapan, antara lain (Pangkahila, 2011): 1) Tahap Subklinik (Usia 25 – 35 tahun) Pada tahap ini, sebagian besar hormon di dalam tubuh mulai menurun, yaitu hormon testosteron, GH dan estrogen. Pembentukan radikal bebas yang dapat merusak sel dan DNA mulai mempengaruhi tubuh. Kerusakan ini biasanya tidak tampak dari luar. Karena itu, pada tahap ini orang merasa dan tampak normal, tidak mengalami gejala dan tanda penuaan. Pada umumnya, rentang usia
32
ini dianggap usia muda dan normal, padahal sebenarnya sudah mulai terjadi proses penuaan. 2) Tahap Transisi (Usia 35 – 45 tahun) Selama tahap ini level hormon menurun sampai 25%. Massa otot berkurang sebanyak 1kg setiap beberapa tahun. Akibatnya, tenaga dan kekuatan terasa hilang, sedang komposisi lemak tubuh bertambah. Keadaan ini menyebabkan resistensi insulin, meningkatnya resiko penyakit jantung pembuluh darah dan obesitas. Pada tahap ini gejala mulai muncul, yaitu penglihatan dan pendengaran menurun, rambut putih mulai tumbuh, elastisitas dan pigmentasi kulit menurun, dorongan seksual dan bangkitan seksual menurun. Pada tahap ini orang mulai merasa tidak muda lagi dan tampak lebih tua. Kerusakan oleh radikal bebas mulai merusak ekspresi genetik yang dapat mengakibatkan penyakit, seperti kanker, radang sendi, berkurangnya memori, penyakit jantung koroner dan diabetes. 3) Tahap Klinik (Usia 45 tahun ke atas) Pada tahap ini penurunan level hormon terus berlanjut, yang meliputi DHEA, melatonin, GH, testosteron, estrogen dan hormon tiroid. Terjadi juga penurunan, bahkan hilangnya kemampuan penyerapan bahan makanan, vitamin dan mineral. Densitas tulang menurun, massa otot berkurang sekitar 1kg setiap 3 tahun, yang mengakibatkan ketidakmampuan membakar kalori, meningkatnya lemak tubuh dan berat badan. Penyakit kronis menjadi lebih nyata, sistem organ tubuh mulai mengalami kegagalan. Ketidakmampuan menjadi faktor utama
33
sehingga mengganggu aktivitas sehari – hari. Disfungsi seksual merupakan keluhan yang penting dan mengganggu keharmonisan banyak pasangan. Dengan melihat ketiga tahap ini, ternyata proses penuaan tidak selalu harus dinyatakan dengan gejala atau keluhan. Ini menunjukkan bahwa orang yang tidak mengalami gejala atau keluhan, bukan berarti tidak mengalami proses penuaan. Lebih jauh, ini dapat menjadi pegangan bahwa untuk mengatasi proses penuaan jangan menunggu sampai muncul gejala atau keluhan yang nyata (Pangkahila, 2011). 2.1.3 Mekanisme Penuaan Proses yang melatarbelakangi terjadinya penuaan sampai saat ini masih menjadi topik perdebatan, merupakan proses fisiologis atau patologis, proses terprogram atau peristiwa acak yang dipengaruhi lingkungan eksternal, kegagalan biologis semata atau kontribusi akumulasi kimiawi patologis. Oleh karena itu banyak teori mengenai penuaan bermunculan (Goldman dan Klatz, 2007). Ada 4 teori pokok dari aging, yaitu: 1) Teori “wear and tear” Tubuh dan selnya mengalami kerusakan karena sering digunakan dan disalahgunakan (overuse and abuse). Organ tubuh seperti hati, lambung, ginjal, kulit dan yang lainnya, menurun karena toksin di dalam makanan dan lingkungan, konsumsi berlebihan lemak, gula, kafein, alkohol dan nikotin, karena sinar ultraviolet dan stress fisik dan emosional. Tetapi kerusakan ini tidak terbatas pada organ melainkan juga terjadi di tingkat sel (Goldman dan Klatz, 2007).
34
2) Teori neuroendokrin Teori ini menunjukkan keterlibatan hormon dan sistem saraf dalam proses penuaan. Hormon berfungsi untuk mengatur fungsi – fungsi organ tubuh. Satu hormon dapat berpengaruh terhadap lebih dari satu fungsi dan satu fungsi dapat dikontrol oleh lebih dari satu hormon. Produksi hormon diatur oleh hipotalamus yang membentuk poros dengan hipofise dan organ tertentu yang kemudian mengeluarkan hormonnya. (Djuanda, 2005). Pada usia muda kadar hormon berada dalam kondisi optimal sehingga tercapai performa biologis yang prima dan berbagai organ tubuh dapat bekerja dengan baik. Secara umum dirasakan kemampuan kognitif, motorik, sensorik, mental dan seksual berada dalam keadaaan puncak sehingga dirasakan adanya kualitas hidup yang tinggi (Pangkahila, 2011). Produksi hormon mengalami perubahan ketika penuaan terjadi. Hormon tertentu mengalami penurunan seperti GH, Triiodothyronine (T3), testosteron, estrogen, renin, aldosteron, Dehydroepiandrosterone (DHEA) dan Dehydroepiandrosteronesulphate (DHEAS). Peningkatan kadar hormon juga terjadi pada penuaan seperti FSH, LH, vasopressin, insulin, Para Thyroid Hormone (PTH), Atrial Natriuretic Hormone (ANH) dan leptin. Ketidakseimbangan produksi hormon tersebut berpengaruh terhadap regulasi fungsi – fungsi tubuh dalam rangka pertumbuhan, pemeliharaan dan perbaikan. Sehingga timbul berbagai keluhan yang dianggap sebagai gejala penuaan. Hubungan antara penuaan dan perubahan hormon terjadi timbal balik, yaitu proses penuaan mempengaruhi produksi hormon begitu
35
pula sebaliknya penurunan hormon yang menyebabkan timbulnya keluhan – keluhan penuaan (Djuanda, 2005; Pangkahila, 2007) 3) Teori Kontrol Genetik Teori ini fokus pada genetik memprogram sandi sepanjang Deoxyribo Nucleic Acid (DNA), dimana kita dilahirkan dengan kode genetik yang unik, yang memungkinkan fungsi fisik dan mental tertentu. Dan penurunan genetik tersebut menentukan seberapa cepat kita menjadi tua dan berapa lama kita hidup (Goldman dan Klatz, 2007). 4) Teori Radikal Bebas Teori lain yang mempercayai bahwa penuaan terjadi karena pengaruh eksternal dan bukan terprogram adalah teori radikal bebas. Penganut teori ini percaya bahwa penuaan berhubungan dengan akumulasi radikal bebas yang
meningkat seiring dengan penuaan. Peningkatan radikal bebas
menimbulkan kerusakan terhadap molekul – molekul organik seperti protein, DNA dan lemak. Kerusakan molekul tubuh lama – kelamaan akan bermanifestasi pada penyakit – penyakit berkaitan dengan usia tua seperti Alzheimer, aterosklerosis, kanker, Parkinson dan penurunan fungsi imun (Pangkahila, 2007).
36
2.2 Nitric Oxide (NO) 2.2.1 Definisi NO NO adalah merupakan mediator penting pada proses fisiologis dan patologi tubuh. NO merupakan Endothelium Derived Relaxing Factor (EDRF), untuk relaksasi otot polos pembuluh darah, mengakibatkan vasodilatasi dan meningkatkan aliran darah (Cerielo, 2008).
Gambar 2.1 Molekul NO (Hala et al., 2011) 2.2.2 Sintesis NO NO disintesis oleh Nitric Oxide Synthase (NOS) yang mengubah L – Arginine menjadi L – Citruline dan NO. Reaksi pembentukan NO adalah sebagai berikut : L – Arginine + 3/2 NADH + H+ + 2 O2 L – Citruline + NO + / NADP+. Tiga isoform mayor NOS yaitu (Hala et al., 2001; Zhang et al., 2011) : 1. neuronal NOS (nNOS) 2. endothelial NOS (eNOS) 3. inducible NOS (iNOS) eNOS dan nNOS berperan penting pada kondisi normal. eNOS berperan pada relaksasi otot polos pembuluh darah dan nNOS mempunyai fungsi pada neurotrasmiter. Kedua isoform ini terdapat di dalam sel dan secara cepat diaktivasi oleh Ca2+ dan calmodulin intrasel dan menghasilkan NO dalam jumlah yang kecil. iNOS tidak diekspresikan pada kondisi normal tetapi diinduksi oleh
37
sitokin dan atau endotoksin selama proses inflamasi dan menghasilkan jumlah NO yang berlebihan dalam jangka waktu yang lama (Hala et al., 2001; Zhang et al., 2011).
Gambar 2.2 Skema Proses Sintesis NO (Hala et al., 2001; Zhang et al., 2011)
Di dalam jaringan, NO dibentuk L – Arginine oleh eNOS dengan kofaktor NADPH, oksigen (O2) dan Tetrahydrobiopterin (BH4) menghasilkan L – Citrulline serta nitrat dan nitrit sebagai metabolit antara NO yang tidak digunakan akan dioksidasi menjadi nitrit. Apabila NO diperlukan kembali, nitrit dalam jaringan akan direduksi menjadi NO dikatalisis oleh enzim Xanthine Oxidase (XO) (Lundberg dan Weitzberg, 2005). 2.2.3 Pengukuran NO Dalam serum, waktu paruh NO sangat singkat karena cepat dipakai oleh sel endotel pembuluh darah sebagai vasodilator. Waktu paruh nitrit lebih pendek daripada nitrat karena nitrat dapat direduksi menjadi nitrit kemudian cepat direduksi menjadi NO pada keadaan hipoksia. Kadar nitrat, nitrit dan NO dalam serum berbanding lurus dengan waktu paruhnya. NO yang disekresi oleh sel endotel dengan cepat dioksidasi membentuk nitrit, kemudian berikatan dengan
38
hemoglobin membentuk nitrat. Kadar nitrat dan nitrit relatif stabil di dalam darah, sehingga total kadar nitrit dan nitrat serum (NOx) dipakai sebagai indikator sintesis NO tubuh (Lundberg dan Weitzberg, 2005). Tabel 2.1 Waktu Paruh NO dan Produknya (Lundberg dan Weitzberg, 2005) NO dan Produknya
Kadar Serum (nmol/L)
Waktu Paruh (T1/2)
Nitrat
20.000-50.000
5-8 Jam
Nitrit
100-500
1-5 Menit
NO
<1
1-2 Milidetik
HbNO
<1-200
15 Menit
Pemeriksaan kadar NO secara langsung sangat sulit dilakukan karena senyawa NO berupa gas, bersifat polar dan memiliki waktu paruh yang sangat singkat. Senyawa nitrat dan nitrit merupakan metabolit antara NO yang memiliki waktu paruh yang lebih lama sehingga relatif stabil. Beberapa metoda pemeriksaan kadar NO yang sering dilakukan antara lain metoda oksidasi hemoglobin, chemiluminescent, reaksi Griess dan konversi Arginin Citrulin. Metoda pemeriksaan tersebut hanya menggambarkan bioavailabilitas NO tubuh, sedangkan bioaktivitas NO dapat diketahui dari perubahan ekspresi gen enzim eNOS yang mengkatalisis arginine menjadi NO (Tarpey dan Fridovich, 2001).
39
Gambar 2.3 Pembentukan NO Dalam Darah dan Jaringan (Lundberg dan Weitzberg, 2005)
Pada pembuluh darah, dalam keadaan normal NO dihasilkan oleh endothelial Nitric Oxide Synthase (eNOS), tetapi jika terjadi peradangan NOS juga terdapat pada makrofag dan sel otot polos yang kemudian menghasilkan NO. -
Sedangkan O2 dan H2O2 dapat dihasilkan oleh semua sel pembuluh darah (Droge, 2002). Apabila bioaktivitas NO dalam sel endotel pembuluh darah menurun akibat rendahnya bioavailabilitas NO, menimbulkan gangguan endothelium dependent vasorelaxation sebagai disfungsi endotel. Rendahnya bioavailabilitas NO disebabkan berkurangnya pembentukan enzim eNOS dan oksigen serta rendahnya asupan nitrat anorganik. Walaupun sintesis NO normal, namun bioaktivitasnya dapat berkurang akibat tingginya oksidasi NO oleh radikal
40
superoksida yang berakibat menurunnya efek vasodilator endogen (Deanfield et al., 2007). Peningkatan jumlah radikal bebas dan penurunan bioavailabilitas NO memperberat disfungsi endotel. Selain itu, menurunnya pembentukan NO tubuh berhubungan dengan rendahnya asupan bahan makanan sumber NO. Bahan makanan sumber NO mengandung antioksidan yang dapat meredam efek radikal bebas, sehingga bioavailabilitas NO dapat dipertahankan (Deanfield et al., 2007). Perubahan ekspresi eNOS dapat mengakibatkan gangguan sintesis NO. Aktivitas eNOS tergantung dari protein kinase Akt pada residu serin 1177 dan defosforilasi treonin 495. Beberapa inhibitor eNOS endogen, seperti Asymmetric Di Methyl Arginine (ADMA), L – Mono Methyl Arginine (LNMA) dan Tetrahydrobiopterin (BH4) dapat mengubah aktivitas eNOS. Apabila tidak tersedia arginin atau BH4, eNOS dapat menjadi uncoupled dan menghasilkan radikal superoksida dan radikal hidrogen peroksida. Radikal superoksida bereaksi dengan NO membentuk peroksinitrit yang dapat mengoksidasi BH4 sehingga BH4 menurun. Dalam keadaan defisiensi BH4, eNOS dapat meningkatkan stres oksidatif dan disfungsi endotel (Endemann, 2004). Stres oksidatif merupakan pemicu aktivasi disfungsi endotel, yang ditandai dengan penurunan kadar NO. Endotel mempunyai banyak fungsi penting antara lain mengatur tekanan darah melalui pelepasan bahan vasokonstriktor dan vasodilator,
mengatur
(Endemann, 2004).
fungsi
antikoagulan,
antiplatelet
dan
fibrinolisis
41
2.2.4 Pengaruh NO Pada Korpus Kavernosum Ereksi penis adalah manifestasi bangkitan seksual yang terjadi bila pria normal menerima rangsangan seksual yang cukup. Proses ereksi juga tergantung pada keseimbangan antara aliran darah yang masuk dan keluar dari korpus kavernosum. Bila terjadi keseimbangan antara aliran darah masuk dan keluar, maka penis menjadi flaccid (lemas). Bila aliran masuk ke arteri korpus kavernosum meningkat, sedangkan aliran keluar vena terhambat, maka penis mengalami tumescence (membesar dan memanjang) (Pangkahila, 2005). Penis memiliki dua korpus kavernosum yang memiliki banyak sinus yang saling berhubungan yang terisi darah untuk menghasilkan ereksi. Penis juga memiliki satu korpus spongiosum yang mengelilingi uretra dan yang membentuk glans penis. Asetilkolin bekerja dengan neurotransmiter lain cyclic Guanylate Mono Phosphate (cGMP), cyclic Adenosin Mono Phosphate (cAMP) dan polipeptida intestinal vasoaktif untuk menghasilkan vasodilatasi arteri penis yang dapat menyebabkan terjadinya ereksi (Susanto, 2011). Mekanisme fisiologis ereksi pada penis diawali dengan adanya stimulasi seksual yang akan melibatkan pelepasan suatu senyawa NO, dari bagian penis yang disebut korpus kavernosum. NO akan mengaktifkan enzim guanylyl cyclase yang menyebabkan peningkatan senyawa cGMP, selanjutnya menyebabkan pelebaran pembuluh darah disekitar korpus kavernosum, sehingga darah mengalir ke penis dan menyebabkan pembesaran penis (ereksi). Senyawa cGMP diuraikan atau didegradasi oleh enzim yang bernama Phospho Di Esterase – 5 (PDE5) yang
42
menyebabkan penis kembali pada ukuran semula (relaksasi penis) (Susanto, 2011). Saat ereksi terjadi, aliran darah arteri dan vena yang awalnya berjalan seimbang dari corpus, kemudian aliran arteri meningkat akibat adanya asetilkolin sebagai mediator vasodilatasi dan mengisi sinusoid dalam korpus yang menyebabkan penis mengalami pembengkakan dan pemanjangan. Pada umumnya asetilkolin bekerja dengan dua jalur yang berbeda untuk menimbulkan ereksi. 1) Dengan adanya rangsangan seksual dari jaringan genital, asetilkolin melalui jalur utama meningkatkan produksi NO oleh sel endotel dan neuron Non Adrenergic Non Cholinergic (NANC). NO meningkatkan aktivitas guanylyl cyclase, yang meningkatkan senyawa cGMP. Senyawa cGMP menurunkan konsentrasi kalsium intraseluler dalam sel otot halus arteri penis dan sinus kavernosum. Akibatnya terjadi relaksasi otot halus yang meningkatkan aliran darah arteri korpus. 2) Sedangkan pada jalur alternatif, asetilkolin menstimulasi otot halus pada reseptor membran sel untuk meningkatkan aktivitas adenylyl cyclase. Adenylyl cyclase menyebabkan peningkatan senyawa senyawa cAMP. Seperti halnya cGMP, cAMP menurunkan konsentrasi kalsium intraselular untuk menghasilkan relaksasi otot halus dalam sel pembuluh darah dan sinus karvernosum. (Dipiro et al, 2005). Faktor saraf yang mempengaruhi mekanisme ereksi adalah stimulasi saraf parasimpatetik S2 – S4 yang menimbulkan dilatasi arteriol dan relaksasi otot polos trabekula penis. Di pihak lain, stimulasi saraf simpatetik Th12 – L2
43
mengakibatkan konstriksi arteriol dan otot polos korpus kavernosum yang menimbulkan detumesensi dan fleksid penis. Ketika mengalami rangsangan seksual, impuls saraf menyebabkan pelepasan NO dari neuron NANC dan sel endotel korpus kavernosum. NO merupakan mediator kimia yang terpenting untuk menimbulkan relaksasi otot polos korpus kavernosum (Susanto, 2011).
Gambar 2.4 Mekanisme Ereksi (Burnett, 2002) Disfungsi Ereksi (DE) didefinisikan sebagai ketidakmampuan yang menetap dan atau rekuren (setidaknya tiga bulan) untuk mencapai dan mempertahankan ereksi yang cukup untuk memungkinkan terjadinya hubungan seksual yang memuaskan. Tingkat keparahan dan prevalensi disfungsi ereksi meningkat seiring dengn peningkatan usia. Kejadian disfungsi ereksi lebih rendah pada pria dengan usia < 40 tahun, tetapi meningkat dengan bertambahnya usia. Hasil studi Health Professional Follow Up terbaru, pada lebih dari 31.000 pria
44
sehat profesional berusia 53 – 90 tahun, prevalensi terjadinya disfungsi ereksi sebesar 33% (Dipiro et al., 2005).
2.3 Hormon Testosteron 2.3.1 Deskripsi Testosteron Hormon-hormon steroid seks yang terpenting dalam reproduksi pada lakilaki adalah : testosteron, dihidrotestosteron (DHT) dan estradiol. Hormon seks pada laki-laki adalah androgen. Hormon testosteron merupakan hormon androgen utama. Testosteron merupakan sebuah hormon steroid dari kelompok androgen yang dapat ditemukan pada mamalia, reptil, burung dan vertebrata yang lain (Braunstein, 2011). Istilah
androgen
berarti
hormon steroid
yang mempunyai
efek
maskulinisasi, terdiri atas testosteron, dihidrotestosteron dan androstenedion. Testosteron merupakan hormon utama dan terpenting diantara ketiganya, sedangkan dihidrotestosteron dan androstenedion adalah bentuk androgen yang lemah. Semua androgen merupakan senyawa steroid. Baik dalam testis maupun dalam adrenal, androgen dapat dibentuk dari kolesterol atau langsung dari asetil koenzim A (Guyton dan Hall, 2002). Seperti hormon steroid lain, testosteron juga berasal dari derivat kolesterol mempunyai sifat khusus dengan struktur steroid empat cincin dengan nama sistematik (memakai sistem IUPAC) : (8R,9S,10R,13S,14S,17S) –17 – hydroxy – 10,13 – dimethyl – 1, 2, 6, 7, 8, 9, 11, 12, 14, 15, 16, 17 dodecahydrocyclopenta [a]phenanthren – 3 – one (Sherwood, 2007).
45
Gambar 2.5 Struktur testosteron (Sherwood, 2007) 2.3.2 Testosteron Pada Sirkulasi Terdapat tiga fraksi testosteron pada serum, yaitu 98% berikatan dengan protein plasma yaitu Sex Hormon Binding Globulin (SHBG) (50%) dan albumin (48%). 2 % sisanya tidak berikatan dalam plasma dan bebas untuk masuk dalam sel dan mempunyai efek metabolik (testosteron bebas atau free testosterone). SHBG disintesis di dalam hepar. Kadarnya dapat meningkat oleh pengaruh estrogen, tamoxifen, fenitoin, hormon tiroid, keadaan hipertiroidism ndan sirosis, sedangkan kadarnya menurun apabila terdapat pengaruh androgen eksogen, glukokortikoid, Growth Hormone (GH), keadaan hipotiroidism, akromegali, obesitas dan hiperinsulinemia (Braunstein, 2011; Pangkahila, 2011). Testosteron bebas mempunyai half life yang pendek, kira – kira 10 menit, dimetabolisme
dengan
cepat
oleh
hepar
menjadi
androsteron
dan
dehidroepiandrosteron dan secara serempak dikonjugasikan sebagai glukoronida dan sulfat, lalu diekskresikan baik ke usus dalam empedu atau ke dalam urine melalui ginjal (Jones, 2008). Testosteron bebas dan testosteron yang berikatan dengan albumin disebut bioavailable testosterone. Bioavailable testosterone diyakini akan lebih mudah masuk ke dalam sel – sel yang membutuhkan testosteron untuk melaksanakan
46
fungsi fisiologis karena ukuran dan afinitas spesifik bioavailable testosterone terhadap sel targetnya (Giton, 2006).
Gambar 2.6 Skematik Testosteron Total (Giton, 2006) Testis hanya mengsekresikan 25% estradiol. Estradiol terutama dihasilkan dari konversi perifer dari testosteron dan androstenedione. Dihidrotestosteron dan estradiol bukan hanya dihasilkan dari testis, tetapi juga dapat dihasilkan dari konversi di jaringan perifer dari androgen dan prekursor estrogen yang disekresi baik oleh testis maupun adrenal. Estrogen membantu mengatur sekresi Gonadotropin-Releasing Hormone (GnRH) dan LH. Konversi perifer dari testosteron oleh 5-alfa-reduktase menghasilkan DHT, suatu hormon androgen yang juga poten, bekerja pada jaringan spesifik. Kebanyakan testosteron yang tidak terikat pada jaringan, akan diubah terutama oleh hepar menjadi bermacammacam metabolit, seperti androsteron dan etiocholanolon, yang setelah berkonjungasi dengan glukoronid dan sulfat dikeluarkan melalui urin dalam bentuk 17-ketosteroid. Namun, hanya 20-30% dari 17-ketosteroid urin berasal dari metabolisme testosteron, sisanya berasal dari metabolisme steroid adrenal, sehingga hal ini tidak dapat dipakai untuk mengukur sekresi steroid dari testis (McCance dan Huether, 2006; Braunstein, 2011; Pangkahila, 2011).
47
Pada sel target androgen, testosteron secara enzimatik dikonversi menjadi DHT oleh isoenzim mikrosomal 5α-reduktase-2 pada pH ± 5,5, sedangkan isoenzim lain 5α-reduktase-1 bekerja pada kulit dengan sekitar pH 8,0, tetapi tidak aktif pada traktus urogenital. Setelah itu, DHT dan testosteron akan berikatan dengan reseptor protein spesifik di intraseluler. Gen yang mengkode protein ini berada pada kromosom X. Ketika testosteron atau DHT berikatan dengan reseptor, terjadi perubahan sehingga dapat terjadi translokasi ke dalam nukleus berikatan dengan importins (Rn). Di dalam nukleus, kompleks reseptor androgen berikatan dengan elemen respon androgen di DNA sehingga mengaktivasi proses transkripsi. Hasil ini kemudian disintesis oleh messenger RNA (mRNA), kemudian di transport ke sitoplasma, dimana terjadi sintesis protein baru dan terjadi respon androgen (Braunstein, 2011). 2.3.3 Sekresi Testosteron Hormon testosteron 95% dihasilkan oleh sel Leydig dalam testis dan 5% dihasilkan oleh zona retikularis kortex adrenal pada laki-laki. Testis juga mengsekresi sebagian kecil dari DHT yang merupakan androgen poten dan dehidroepiandrosteron (DHEA) yang merupakan androgen lemah. Kemudian secara serempak dikonfigurasikan sebagai glukoromida dan sulfat kemudian diekskresikan ke usus melalui empedu ataupun ke dalam urin melalui ginjal (Guyton dan Hall, 2005). Selain itu, sel Leydig juga mengsekresi sebagian kecil dari estradiol, estrone, pregnenolon, progesteron, 17α-hidroksipregnenolon, dan 17α-hidroksiprogesteron (Braunstein, 2011).
48
Pelepasan testosteron mempunyai ritme sirkadian dengan levelnya pada sirkulasi mencapai puncaknya dalam darah pada pagi hari (08.00 – 10.00) dan terendah pada malam hari (18.00 – 20.00) (Kapoor et al., 2005). Testosteron terutama disekresikan oleh testis. Kecepatan sekresi testosteron 4 – 9 mg/hari (13,9 – 31,2 nmol/hari) dengan kadar testosteron serum berkisar antara 300 – 1000 ng/dL (rata – rata 611±186 ng/dL), testosteron bebas 50-210 pg/ml (1,7 – 7,28 pmol/L) (Guyton dan Hall, 2005). 2.3.4 Sintesis Testosteron LH merangsang sel Leydig melalui peningkatan pembentukan cyclic Adenosin Mono Phosphat (cAMP). cAMP meningkatkan pembentukan kolesterol dan ester – ester kolestrol. Sintesis ini dimulai dengan pengangkutan kolesterol ke membran interna mitokondria oleh protein pengangkut
Steroidogenic Acute
Regulatory Protein (StAR). Setelah berada pada posisi yang tepat, kolesterol akan bereaksi dengan enzim pemutus rantai samping P450scc
dan menjadi
pregnenolon. Konversi pregnenolon menjadi testosteron dapat terjadi dalam 2 lintasan, yaitu (Sherwood, 2007): -
lintasan progesteron atau lintasan ∆4 (jalur ini dapat dilihat pada sisi kanan gambar 2.2).
-
lintasan dehidroepiandosteron atau lintasan ∆5 (dapat diliat pada sisi sebelah kiri gambar 2.2).
49
Gambar 2.7 Jalur Biosintesis Testosteron (Brinkman, 2009) 2.3.5 Kontrol Fungsi Testosteron Regulasi dari produksi androgen dan spermatogenesis diatur oleh sistem kompleks mekanisme umpan balik, dimana terlibat sistem saraf pusat ekstrahipothalamus, hipothalamus, hipofise anterior, testis, dan androgensenstive ends organs. Terlibatnya sistem saraf pusat ekstrahipothalamus dapat berupa stres fisiologik dan psikologis. Dalam hipothalamus, neurotransmiter akan meregulasi sintesis dan pelepasan pulsasi GnRH, yang dilakukan setiap 3 jam masuk dalam vena portal hipofise. Setelah mencapai hipofise anterior, maka GnRH akan merangsang sekresi LH dan FSH. LH mempengaruhi sel Leydig yang berikatan dengan reseptor spesifik membran dan menyebabkan sekresi testosteron. Sebagai inhibisi, peningkatan kadar androgen akan menghambat sekresi LH dari hipofise anterior melalui efek langsung pada hipofise dan hipothalamus. Hipothalamus dan hipofise mempunyai reseptor androgen dan estrogen. Efek inhibisi terutama yang diperantarai oleh estradiol yang dihasilkan dari aromatisasi testosteron. FSH
50
berikatan dengan reseptor spesifik pada sel-sel Sertoli di tubulus seminiferus dan merangsang pembentukan Androgen Binding Protein (ABP). FSH mempengaruhi tubulus seminiferus sel Sertoli untuk merangsang terjadinya spermatogenesis. Sekresi FSH dihambat oleh inhibin yang dihasilkan oleh sel Sertoli. Begitu juga yang terjadi pada LH, sekresi LH akan dihambat oleh inhibin yang dihasilkan oleh sel Leydig (McCance dan Huether, 2006; Pangkahila, 2011). Fungsi testis dikontrol oleh 2 hormon gonadotropik yang disekresikan oleh hipofisis anterior yaitu: LH dan FSH. Kedua hormon ini bekerja pada bagian testis yang berbeda. LH bekerja pada sel Leydig (intersisial) untuk mensekresi testosteron sedangkan FSH bekerja pada tubulus seminiferus sel Sertoli yang berpengaruh terhadap spermatogenesis (Sherwood, 2011). 2.3.6 Pengukuran Hormon Steroid pada Laki-laki Semua pengukuran steroid gonadal harus dilakukan dengan pemeriksaan khusus. Pada individu normal, terjadi peningkatan serum testosteron pada pagi hari, karena itu sebaiknya pengambilan sampel darah sebaiknya dilakukan tiga kali dengan interval 20 – 40 menit pada pagi hari. Pada laki-laki, produksi hormon seks tergantung dari variasi diurnal (Hess et al., 2003; Braunstein, 2011; Pangkahila, 2011; Sherwood, 2013). Kadar testosteron puncak terlihat pada pagi hari, sekitar 20-30% lebih tinggi kadarnya dari pada malam hari (Kumar, 2013). Pengukuran immunoassays testosteron dan estrogen mengukur konsentrasi kadar total serum. Metode yang dipercaya adalah dengan immunoassays spesifik diikuti ekstraksi dari serum atau
51
gas chromatography (GC) atau dengan liquid chromatography (LC) digabung dengan spektroskopi (Braunstein, 2011). Tabel 2.2 Kadar Hormon Normal pada Laki-laki Dewasa (Braunstein, 2011) Hormon Testosteron, total Testosteron, free Dihidrostenedione Androstenedione Estradiol Estrone
Batas Normal 260 – 1000 ng/dL 50 – 210 pg/mL 27 – 75 ng/dL 50 – 250 ng/dL 10 – 50 pg/mL 15 – 65 pg/mL
Nilai normal kadar hormon tetosteron total pada laki-laki berviariasi antara 241 – 827 ng/dl, yang diukur pada pagi hari. Apabila terjadi penurunan dibawah 500 ng/dl sudah menimbulkan gejala defisiensi. Pada anak-anak, baik anak lakilaki maupun anak permpuan kadar testosteron berkisar antara 5 ng/dl, yang akan meningkat sesuai dengan umurnya. Anak perempuan bila mencapai usia 10 – 15, kadar testosteronya dapat mencapai kira-kira 15 – 35 ng/dl. Pada saat anak perempuan berusia mencapai 17 tahun meningkat sedikit menjadi 20 – 38 ng/dl, dan pada awal usia 20 tahun normal kadar testosteron total terendah antara 6 – 24 ng/dl dan batas tertinggi 47 – 86 ng/dl (Braunstein, 2011). 2.3.7 Efek dan Fungsi Testosteron Hormon testosteron merupakan hormon androgen utama di dalam sirkulasi darah. Testosteron penting dalam kehidupan seksual dan reproduksi serta pertumbuhan dan perkembangan normal organ kelamin dan reproduksi baik pria maupun wanita, selain fungsinya yang berpengaruh besar terhadap kehidupan seksual juga memiliki efek biologik yang penting diantaranya pada metabolisme,
52
integritas tulang, otot, sistem kardiovaskular dan otak. Pada keadaan berkurangnya hormon testosteron berpengaruh terhadap berkurangnya sensitivitas insulin, kelemahan otot, gangguan metabolisme karbohidrat, gangguan fungsi kognitif, berkurangnya dorongan motivasi, lelah dan letargi, peningkatan lemak tubuh serta penurunan dorongan dan kemampuan seksual (Pangkahila, 2011). Fungsi fisiologis testosteron di dalam tubuh dipengaruhi oleh beberapa hal (Morgentaler, 2009) : 1) Sekresi primer dari testis. 2) Peningkatan SHBG seperti keadaan patologis : sirosis hepatis, tirotoksikosis, pemberian preparat estrogen dan anti konvulsan. 3) Aktivitas enzim aromatase yang akan mengubah testosteron menjadi estradiol. 4) Jumlah reseptor CAG repeats yang berfungsi normal. Secara sistematis fungsi testosteron diantaranya adalah : 1) Efek pada sistem reproduksi pada saat sebelum lahir. -
Sebelum lahir, sekresi testosteron pada janin akan mengakibatkan penurunan testis ke dalam skrotum, maskulinisasi sistem reproduksi, dan genitalia eksternal.
-
Pada saat janin, testosteron yang berasal dari plasenta menginisiasi pembentukan duktus Wolffian dan membentuk organ genitalia interna pria (epididimis, vas deferens dan vesikula seminalis).
-
Testosteron diubah menjadi dehidrotestosteron sehingga menstimulasi pembentukan genitalia eksterna seperti skrotum dan penis. Selain itu
53
pembentukan kelenjar prostat juga dipengaruhi oleh hormon testosteron (Gilbert, 2000; Guyton dan Hall, 2010). 2) Efek pada jaringan seks spesifik setelah lahir. -
Masa pubertas adalah masa dimana terjadi maturasi dari sistem reproduktif yang sebelumnya non fungsional untuk mencapai puncaknya dan mempunyai kemampuan untuk bereproduksi.
-
Biasanya dimulai pada usia 10 – 14 tahun. Pada masa puber, terjadi peningkatan sekresi GnRH oleh hipotalamus. Dengan ini terjadi peningkatan sekresi FSH dan LH oleh hipofisis. Testis membesar dan LH menstimulasi sel Leydig memproduksi testosteron dan sel Sertoli dalam menjaga spermatogenesis (Solfikitis et al., 2008).
-
Testosteron inilah yang bertanggung jawab untuk pertumbuhan dan perkembangan seluruh sistem reproduksi pria. Di bawah pengaruh sekresi testosteron, terjadi pembesaran testis dan dimulailah produksi sperma untuk pertama kalinya, terjadi pembesaran glandula seksual aksesoris dan pembesaran penis serta skrotum.
-
Setelah masa pubertas, sekresi testosteron dan spermatogenesis terjadi secara terus – menerus seumur hidup seorang pria, meskipun produksinya akan berkurang secara bertahap. Penurunan sekresi testosteron pada pria dewasa dimulai sejak memasuki usia 40 tahun yang sebelumnya telah mengalami perkembangan normal. Perubahan aktivitas dari poros hipotalamus hipofisis gonadal pada pria terjadi lebih lambat.
54
-
Seiring dengan penuaan, kadar serum total dan free testosterone tampak menurun. Kadar free testosterone juga menurun sehubungan dengan peningkatan SHBG. Sehingga untuk mengatasi hal ini dikembangkanlah terapi sulih testosteron. Hipogonadisme mempengaruhi sekitar 40% dari pria berusia 45 tahun atau lebih tua, meskipun kurang dari 5% dari orang – orang yang benar – benar didiagnosis dan diobati untuk kondisi tersebut. Meskipun terdapat beberapa kontroversi, terapi sulih testosteron telah ditetapkan sebagai pengobatan utama yang aman dan efektif untuk hipogonadisme (Bebb, 2011).
3) Efek yang berkaitan dengan reproduksi -
Testosteron mengatur perkembangan libido dan mempertahankan libido pada seorang pria dewasa.Tetapi pada manusia libido juga dipengaruhi oleh interaksi sosial dan faktor emosional.
-
Testosteron juga berfungsi sebagai umpan balik negatif untuk mengontrol produksi hormon gonadotropin dari hipofisis anterior.
4) Efek pada perkembangan seksual sekunder Perkembangan dan pemeliharaan seksual sekunder pria bergantung pada testosteron, hal ini termasuk pada: -
pertumbuhan rambut (contoh: janggut, rambut dada).
-
suara yang lebih rendah akibat dari pembesaran laring dan penebalan pita suara, kulit yang lebih tebal.
-
konfigurasi tubuh pria, contohnya: bahu yang lebar, tangan yang besar, dan kaki yang lebih berotot sebagai akibat dari penyimpanan protein.
55
5) Efek non reproduksi Testosteron juga mempunyai efek anabolik protein dan pertumbuhan tulang yang akan mengarah pada pembentukan fisik pria yang lebih berotot dan pertumbuhan yang cepat selama masa puber. Testosteron juga menstimulasi sekresi pada kelenjar minyak. Pada hewan testosteron akan mengakibatkan terjadinya perilaku agresif. 2.3.8 Hubungan Testosteron dan NO Pada Disfungsi Ereksi Mekanisme kerja dari testosteron terhadap fungsi ereksi pada studi yang dilakukan pada tikus adalah melalui stimulasi sintesis NO dan sebagai vasodilator pada penis (Isidori, 2014). Relaksasi dari jaringan erektil pada korpus kavernosum memerlukan NO dari neuron Non Adrenergic Non Cholinergic (NANC) dan sel endotel. Testosteron mempengaruhi fungsi endotel dengan adanya reseptor androgen dan enzim – enzim metabolisme testosteron pada sel endotel, antara lain 5alfa – reduktase yang mengkatalisis perubahan testosteron menjadi dihidrotestosteron dan aromatase yang mengkatalisis perubahan testosteron menjadi estradiol. Estradiol akan berikatan dengan Estrogen Receptor (ER) pada sel endotel. Neuron NANC dan sel endotel melepaskan NO, yang pada gilirannya meningkatkan kadar cyclic Guanosine Mono Phosphate (cGMP). Kadar cGMP yang berlimpah menyebabkan relaksasi otot polos arteri dan kavernosa, serta meningkatkan aliran darah penis. Ketika tekanan intrakavernosa meningkat, venula subtunika penis terkompresi, sehingga membatasi aliran balik vena dari penis. Kombinasi peningkatan aliran arteri dan penurunan aliran balik vena mengakibatkan ereksi.
56
Proses ini dibalikkan oleh aktivitas type 5 Phosphodiesterase (PDE5), yang memecah cGMP, menyebabkan penghentian ereksi (Sakka dan Yassin, 2010).
Gambar 2.8 Mekanisme Testosteron pada Ereksi Penis (Isidori, 2014)
2.4 Terapi Sulih Testosteron (Testosterone Replacement Therapy) 2.4.1 Definisi Terapi Sulih Testosteron Indikasi terapi sulih testosteron pada pria adalah keadaan hipogonadisme yang menunjukkan sindrom klinis yang kompleks yaitu adanya gejala – gejala hipogonadisme dan level testosteron yang rendah. Beberapa pilihan baru dalam terapi sulih testosteron telah tersedia sejak pertengahan tahun 1990. Ambang batas level testosteron yang menimbulkan gejala – gejala hipogonad bervariasi tergantung jenis gejala dan individu (Arver dan Mueller, 2008). Formulasi optimal dari testosteron adalah formula yang mampu menormalisasi level testosteron yang beredar dan juga menimbulkan level yang fisiologis dari metabolit aktifnya yaitu: estradiol dan DHT. Jenis – jenis ester yang
57
telah digunakan adalah propionat, fenilpropionat isokaproat, enanthat, dekanoat, undekanoat (Arver dan Mueller, 2008). Pengobatan terapi sulih untuk hipogonadisme dapat diberikan melalui beberapa sediaan preparat, antara lain : injeksi testosteron ester, testosteron transdermal (gel atau patch), atau testosteron oral dalam bentuk testosteron undekanoat. Semua sediaan preparat tersebut diberikan dalam dosis yang tepat sehingga memungkinkan pasien memperoleh manfaat dan memiliki berbagai pilihan untuk dipergunakan (Bebb, 2011). Beberapa
jenis
sediaan
preparat
pemberian
testosteron
yang
direkomendasikan untuk terapi penggantian / sulih testosteron adalah sebagai berikut : 1. Gel
: 5 sampai 10 gram gel testosteron diterapkan setiap hari.
2. Tablet : 40 mg testosteron undekanoat diminum dua kali sehari dengan makanan (Bebb, 2011). 3. Injeksi 1000 mg testosteron undekanoat intramuskular yang diberikan pada minggu ke 0 , 6 , 18 , 30 dan 42 dapat meningkatkan komponen kesehatan mental dan kualitas hidup pada pria hipogonad, khususnya vitalitas (mencerminkan tingkat energi ), fungsi sosial dan peran fungsi fisik. Meskipun skor komposit kesehatan fisik tidak menunjukkan peningkatan signifikan secara statistik, akan tetapi ada kecenderungan peningkatan yang ditunjukkan pada minggu ke 30, hingga minggu ke 48 menunjukkan peningkatan yang berkelanjutan dalam kekuatan fisik (Tong et al.,2012).
58
2.4.2
Testosteron Undekanoat
Gambar 2.9 Rumus Bangun Testosteron Undekanoat (Ilyas, 2008) Rumus molekul
: C30H48O3
Bobot molekul
: 456,70
Testosteron undekanoat (TU) dengan nama kimia 17 hydroxyl 4 androsten 3 one 17 undekanoat adalah suatu hormon yang bersifat hidrofobik karena mempunyai nilai log (P) sebesar 7,24. TU merupakan suatu bentuk ester dari testosteron alami. Bentuk aktif testosteron dihasilkan dari hidrolisis esternya. Efek utama dari testosteron hasil hidrolisis TU tersebut terjadi setelah adanya ikatan testosteron terhadap reseptor spesifiknya yang membentuk kompleks homon – reseptor. Komplek hormon reseptor tersebut masuk ke dalam inti sel dimana ia akan memodulasi transkripsi gen – gen tertentu setelah terikat dengan DNA. Formulasi untuk TU saat ini berupa larutan dalam minyak castor. Sediaan dengan pembawa minyak mempunyai kelemahan yaitu mudah tengik, viskositas sediaannya menjadi tinggi (Ilyas, 2008). Testosteron undekanoat (TU) yang dikembangkan untuk kontrasepsi pria digunakan dalam bentuk liquid (injeksi) dan bentuk bubuk yang dibungkus
59
dengan kapsul. Tujuan utama dari pemberian TU adalah mempertahankan tingginya tingkat serum testosteron jangka panjang pada pria yang ikut dalam kontrasepsi pria. Hal ini bertujuan untuk menekan spermatogenesis sehingga terjadi azoospermia atau oligozoospermia berat yang berlangsung lebih lama namun bersifat aman, efektif, reversibel, dan aseptibel. Konsentrasi testosteron serum stabil dalam rentang fisiologi minggu pertama setelah pemberian pertama kali. Kandungan testosteron melebihi rentang fisiologis dari testosteron enantat dan sipionat. Pola metabolisme TU mengikuti pola testosteron yang menghasilkan dihidrotestosteron (DHT) dan estradiol. Pemberian TU dapat meningkatkan konsentrasi testosteron plasma dan menurunkan konsentrasi gonadotropin (Ilyas, 2008). Testosteron undekanoat (TU) merupakan suatu alifatik, ester asam lemak testosteron yang sebagian diabsorpsi lewat usus dan melalui sistem limfatikus setelah pemberian secara oral (Ilyas, 2008). TU juga memiliki efek samping yaitu efek ringan pada penggunaan oral, seperti adakalanya mual, tetapi juga dapat menimbulkan efek serius di antaranya (Tjay , 2002) : 1) Efek virilisasi pada wanita, dengan gejala seperti acne, tumbuhnya rambut di muka, suara menjadi rendah dan gangguan haid. 2) Menekan spermatogenesis dan degenerasi tubulus seminiferus. Bila digunakan dalam waktu lama akan menyebabkan azoospermia. 3) Efek feminisasi (gynecomastia) terutama pada anak – anak. 4) Edema dan naiknya berat badan akibat retensi garam dan air, khususnya pada dosis tinggi.
60
5) Hiperplasia prostat. -
Pada pria usia lanjut, testosteron dapat merangsang pembesaran prostat karena hiperplasia, hal ini menyebabkan obstruksi.
6) Gangguan pertumbuhan. -
Hati – hati memberikan testosteron pada anak prapubertas, sebab dapat terjadi pubertas prekoks. Testosteron mempercepat pernutupan epifisis sehingga mungkin anak tidak akan mencapai tinggi badan yang seharusnya.
7) Hiperkalsemia. -
Hiperkalsemia dapat muncul pada wanita penderita karsinoma payudara yang diobati dengan testosteron. TU berinteraksi obat antara lain :
1) Insulin 2) Propranolol 3) Kortikosteroid: Pemakaian bersamaan testosteron dengan ACTH atau kortikosteroid dapat meningkatkan pembentukan edema, sehingga obat ini harus diberikan dengan hati – hati terutama pada pasien dengan penyakit jantung, ginjal atau hati. 4) Antikoagulan: Dosis dari antikoagulan mungkin memerlukan pengurangan untuk mempertahankan terapi yang memuaskan hypoprothrombinemia. 5) Siklosporin:
Terapi
penggantian
testosteron
dapat
siklosporin dan meningkatkan risiko nefrotoksisitas.
mempotensiasi
61
2.5 L – Arginin 2.5.1 Deskripsi L – Arginin Asam amino merupakan unit monomer untuk membangun rantai polipeptida protein. Sebagian besar protein mengandung asam amino L – α yang sama dalam proporsi yang bervariasi. Asam amino L – α merupakan asam amino dengan konfigurasi absolut L – gliseraldehid, dimana gugus amino dan karbohidrat melekat pada atom karbon yang sama dan mempunyai aktivitas optis (kesanggupan memutar bidang cahaya yang terpolarisasi) ke kiri / levorotaric (Srivastava et al., 2006). Dalam bentuk protein, asam amino akan mendasari berbagai fungsi antara lain, struktural, hormonal dan katalitik yang esensial bagi kehidupan. Asam amino dan derivatnya turut serta dalam berbagai macam fungsi intraseluler seperti transmisi syaraf (neurotransmitter), pengaturan pertumbuhan sel dan biosintesis porfirin, purin, pirimidin serta ureum. Dalam peptida yang berbobot molekul rendah juga berfungsi sebagai prekursor hormon (Srivastava et al., 2006). Berdasarkan kepentingan nutrisi, asam amino dapat dibedakan menjadi asam amino esensial dan non esensial. Asam amino esensial adalah asam amino yang tidak dapat disintesis tubuh oleh karena itu harus dipenuhi dari diet. Sedangkan asam amino non esensial dibedakan menjadi dua berdasarkan sintesisnya dalam tubuh, yaitu (Srivastava et al., 2006) : 1) Asam amino yang disintesis dari pemindahan nitrogen ke kerangka karbon yang berasal dari siklus TCA (Tri Carboxylic Acid) atau dari glikolisis glukosa.
62
2) Asam amino yang disintesis dari asam amino yang lain. Kelompok ini sangat tergantung pada ketersediaan asam amino spesifik. Dengan demikian sangat mungkin menjadi esensial jika diet sebagai sumber asam amino berkurang atau terbatas, misalnya dalam keadaan infeksi, trauma, luka bakar atau dalam keadaan katabolik lainnya. Arginin termasuk asam amino non esensial yang kelompok kedua atau kadang disebut asam amino semi esensial dengan rumus kimia C6H1402N4 .
Gambar 2.10 Struktur Kimia L – Arginin (Srivastava et al., 2006) Arginin merupakan asam amino semi esensial yang artinya tubuh dapat memproduksi asam amino ini dalam jumlah kecil, sehingga asupan dari luar masih diperlukan. L – Arginin (2-amino-5-guanidinovaleric acid) merupakan asam amino dasar yang terdapat dalam cairan fisiologis tubuh. L – Arginin banyak terdapat dalam seafood, semangka, kacang – kacangan, daging, konsentrat proteinasi dan isolasi protein kedelai, namun rendah dalam susu mamalia (Wu et al., 2009). 2.5.2 Metabolisme L – Arginin
Gambar 2.11 Metabolisme L – Arginin (Maurice, 2015)
63
Tahap akhir hidrolisis protein menjadi dipeptida dan asam amino serta absorbsinya berlangsung di jejunum dan ileum. Selanjutnya dipeptida dan tripeptida akan ditranspor ke dalam sel dengan proses transport aktif seperti transpor glukosa. Di dalam tubuh, arginin memiliki peranan penting dalam metabolisme nitrogen sebagai perantara dalam siklus urea dan diperlukan dalam detoksifikasi amonia. Di dalam sitoplasma, arginin dihidrolisis oleh arginase menjadi urea dan ornitin. Ornitin ditranspor ke dalam mitokondria oleh ornitin carbamoyltransferase dan bersama karbomil fosfat (amonia) akan membentuk sitrulin. Kemudian sitrulin disintesis oleh arginosuccinate synthase menjadi arginosuccinate. Dan oleh arginosuccinate lysase diubah kembali menjadi arginin (Maurice, 2015). Disamping berfungsi dalam sintesis protein dan perantara siklus urea, arginine merupakan substrat pembentukan NO dan sintesis fosfokreatin, juga sebagai prekursor glutamat, prolin dan putresin melalui pembentukan ornitin. Ornitin digunakan dalam pembentukan poliamin yang diperlukan dalam proliferasi sel. Arginin dapat pula bertindak sebagai produk perantara berbagai proses metabolik (Maurice, 2015). L – Arginin merupakan salah satu substansi yang meregulasi sintesis NO, produksi antibodi dan perkembangan sel B, ekspresi reseptor sel T yang menyebabkan L – Arginin penting dalam sistem kekebalan bawaan (innate immune system) dan sistem kekebalan dapatan (adaptive immune system). L – Arginin merupakan prekursor dalam sintesis NO yang dilakukan oleh Nitric Oxide Synthase (NOS). NO merupakan molekul pengirim sinyal terhadap setiap jenis sel
64
yang meregulasi jalur metabolisme, sehingga perlu dilakukan penelitian terhadap nutrisi arginine. Kekurangan L – Arginin dalam diet akan menyebabkan gangguan sistesis NO (Wu et al., 2009). Dalam keadaan katabolik, kebutuhan arginin menjadi esensial. Hal ini dapat terjadi pada kondisi dimana laju degradasi arginin meningkat, intake yang kurang, gangguan absorbsi di usus serta sintesis sitrulin di usus yang menurun. Dalam kondisi normal, kebutuhan arginin pada orang dewasa dapat dipenuhi secara endogen tetapi dalam keadaan stress dan sakit khususnya penyakit – penyakit kritis dan sepsis maka kebutuhan arginin harus dipenuhi dari luar (Maurice, 2015).
2.6 Hubungan Testosteron dan L – Arginin dengan NO Syarat terjadinya efek dari hormon testosteron pada organ sasaran adalah keberadaan serta berfungsinya Androgen Receptor (AR) serta efektor intrasel. Gen AR sendiri merupakan gen yang berperan penting dalam proses pembentukan dan perkembangan fenotip pria melalui kerjanya dalam memperantarai efek biologis dari hormon androgen. Hormon androgen sendiri merupakan suatu hormon yang amat terlibat dalam proses normal perkembangan genital eksternal maupun internal pria selama periode embriogenesis melalui kerja hormon testosteron dan 5α – dihidrotestosteron (DHT) (Leung et al., 2007). Secara sitogenetika gen AR terletak pada kromosom Xq11-12. Gen AR memiliki 8 buah ekson dengan 2757 pasangan basa open reading frame, dimana
65
jumlah pasangan basa ini bervariasi, tergantung pada jumlah CAG repeat yang terletak pada ekson pertama (Rajender et al., 2007). Protein yang dihasilkan oleh gen AR termasuk kedalam keluarga Steroid Receptor (SR), yang mana merupakan bagian dari kelompok Nuclear Receptor (NR) superfamily. Kelompok NR superfamily sendiri termasuk merupakan salah satu kelompok gen pengatur transkripsi (transcriptional regulator) terbesar yang nantinya akan menghasilkan protein yang berfungsi sebagai faktor transkripsi yang dipercayai berperan penting dalam banyak proses seperti homeostasis, reproduksi, perkembangan dan metabolisme. Protein – protein semacam ini nantinya akan berikatan dengan DNA dan kemudian mengatur transkripsi gen. Adapun AR merupakan salah satu protein yang berkerja sebagai faktor transkripsi (Heinlen et al., 2002). Ada beberapa karakteristik yang membuat gen AR unik, diantaranya adalah terdapatnya 2 regio polimorfisme yang sama-sama terletak pada ekson pertama. Dua regio polimorfisme ini pun sama-sama merupakan polimorfisme trinucleotide repeat, yaitu CAG repeat yang mengkode pembentukan asam amino poliglutamin dan GGN repeat yang mengkode pembentukan poliglisin. Kedua area ini terletak cukup berdekatan, dimana hanya dipisahkan oleh 248 asam amino dari suatu urutan yang tidak polimorfik (Rajender et al., 2007). Seperti gen – gen lainnnya yang termasuk kedalam kelompol NR superfamily, secara struktural gen AR terbagi menjadi empat regio seperti yang tergambar pada gambar 3, yaitu N-Terminal Domain (NTD), DNA Binding Domain (DBD), regio Hinge dan Ligand Binding Domain (LBD). Dari keempat
66
regio tersebut NTD merupakan regio yang paling banyak berperan dalam aktivitas transkripsi dan merupakan regio terbesar dari protein AR yang terbentang dari pb 1-537. NTD atau yang juga biasa disebut sebagai transactivating domain adalah suatu regio yang berperan dalam perekrutan protein-protein lain yang dapat mempengaruhi aktivitas transkripsi dari protein AR (Nenonnen, 2011). Seperti pada protein kecil kemungkinan terjadinya kerusakan di DNA menjadi suatu reaksi berantai, biasanya kerusakan terjadi bila ada lesi pada susunan molekul, apabila tidak dapat diatasi, dan terjadi sebelum replikasi maka akan terjadi mutasi. Radikal oksigen dapat menyerang DNA jika terbentuk disekitar DNA seperti pada radiasi biologis. Radikal bebas dapat menimbulkan berbagai perubahan pada DNA yang antara lain berupa : hidroksilasi basa timin dan sitosin, pembukaan inti purin dan pirimidin serta terputusnya rantai fosfodiester DNA. Bila kerusakan tak terlalu parah, maka masih bisa diperbaiki oleh sistem perbaikan DNA (DNA repair system ). Namun apabila kerusakan terlalu parah, misalnya rantai DNA terputus – putus di berbagai tempat, maka kerusakan tersebut tak dapat diperbaiki dan replikasi sel akan terganggu. Susahnya, perbaikan DNA ini sering justru menimbulkan mutasi, karena dalam memperbaiki DNA tersebut sistem perbaikan DNA cenderung membuat kesalahan (error prone) dan apabila mutasi ini mengenai gen – gen tertentu yang disebut onkogen, maka mutasi tersebut dapat menimbulkan kanker (Rajender et al., 2007). Pada pembuluh darah, dalam keadaan normal NO dihasilkan oleh endothelial Nitric Oxide Synthase (eNOS), tetapi jika terjadi peradangan NOS
67
juga terdapat pada makrofag dan sel otot polos yang kemudian menghasilkan NO. -
Sedangkan O2 dan H2O2 dapat dihasilkan oleh semua sel pembuluh darah (Droge, 2002). L – Arginin merupakan prekursor dalam sintesis NO yang dilakukan oleh Nitric Oxide Synthase (NOS). Mekanisme fisiologis ereksi pada penis diawali dengan adanya stimulasi seksual yang akan melibatkan pelepasan suatu senyawa NO, dari bagian penis yang disebut korpus kavernosum. NO akan mengaktifkan enzim guanylyl cyclase yang menyebabkan peningkatan senyawa cGMP, selanjutnya
menyebabkan
pelebaran
pembuluh
darah
disekitar
korpus
kavernosum, sehingga darah mengalir ke penis dan menyebabkan pembesaran penis (ereksi). Senyawa cGMP diuraikan atau didegradasi oleh enzim yang bernama Phospho Di Esterase – 5 (PDE5) yang menyebabkan penis kembali pada ukuran semula (relaksasi penis) (Susanto, 2011).
Gambar 2.12 Hubungan Testosteron dan L – Arginin dengan NO (Srivastava et al., 2006)
68
2.7 Orchidectomy Sterilisasi merupakan tindakan pembedahan untuk mengangkat atau menghilangkan testis (jantan) atau ovarium (betina). Pada hewan jantan dinamakan kastrasi / orchidectomy, sedangkan pada hewan betina dinamakan Ovario Hysterectomy (OH). Sterilisasi pada hewan jantan ataupun betina berguna untuk mengendalikan (mengontrol) populasi hewan dengan mencegah kesuburan (Isidori et al., 2014). Keuntungan orchidectomy adalah menyebabkan penurunan kadar hormon testosteron pada hewan jantan sangat bermanfaat untuk (Isidori et al., 2014) : -
Menghilangkan libido. Hewan menjadi lebih tenang (tidak gelisah) sehingga tidak terjadi perkelahian selama musim kawin.
-
Mengurangi resiko penyakit yang berhubungan dengan hormon androgen seperti gangguan prostate, tumor serta perianal hernia.
-
Menghindari sifat abnormal yang diturunkan dari induk ke anak.
-
Menghindari gangguan testis, epididimis, tumor scrotum, trauma dan abses.
-
Dapat mengurangi gangguan endokrin.
Metode orchidectomy dibagi menjadi dua macam yaitu : 1. Metode terbuka -
Sayatan dilakukan sampai tunika vaginalis communis, sehingga testis dan epididimis tidak lagi terbungkus.
69
2. Metode tertutup -
Sayatan hanya sampai pada tunika dartos, sehingga testis masih terbungkus oleh tunika vaginalis communis. Peningkatan dan penyayatan pada funiculus spermaticus. Hewan yang akan dikebiri harus dalam keadaan sehat. Dengan hilangnya testis akibat dari orchidectomy maka sel Leydig tidak
dapat memproduksi hormon testosteron secara optimal. Berkurangnya kadar testosteron menyebabkan neuron NANC dan sel endotel pun tidak dapat memproduksi NO. Defisiensi testosteron mempengaruhi fungsi endotel dengan Androgen Receptor (AR) diantaranya enzim metabolisme testosteron pada sel endotel, antara lain 5alfa – reduktase tidak dapat mengkatalisis testosteron menjadi dihidrotestosteron dan aromatase tidak dapat mengkatalisis testosteron menjadi estradiol. Sehingga estradiol tidak akan berikatan dengan Estrogen Receptor (ER) pada sel endotel. Serta neuron NANC dan sel endotel tidak dapat melepaskan NO yang akan meningkatkan kadar cyclic Guanosine Mono Phosphate (cGMP) dan tidak menyebabkan relaksasi otot polos arteri dan kavernosa, serta tidak meningkatkan aliran darah penis. Dengan demikian menjadi tidak berfungsinya NO sebagai vasodilator melalui efek langsung terhadap otot polos korpus kavernosum. Hal ini menyebabkan keadaan disfungsi ereksi (Isidori et al., 2014).
70
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir Banyak ditemukan pria dewasa yang mengeluhkan gangguan pada fungsi reproduksi dan seksual. Penuaan pada organ reproduksi tidak terlepas dari efek penurunan kadar hormon, diantaranya penurunan kadar hormon testosteron. Mekanisme kerja dari testosteron terhadap fungsi ereksi adalah melalui stimulasi sintesis NO dan sebagai vasodilator pada penis. Relaksasi dari jaringan erektil pada korpus kavernosum memerlukan NO dari neuron NANC dan sel endotel. Testosteron mempengaruhi fungsi endotel dengan adanya AR dan enzim metabolisme testosteron pada sel endotel, antara lain 5 alfa – reduktase yang mengkatalisis perubahan testosteron menjadi dihidrotestosteron dan aromatase yang mengkatalisis perubahan testosteron menjadi estradiol. Estradiol akan berikatan dengan ER pada sel endotel. Neuron NANC dan sel endotel melepaskan NO, yang pada gilirannya meningkatkan kadar cGMP. Kadar cGMP yang berlimpah menyebabkan relaksasi otot polos arteri dan kavernosa, serta meningkatkan aliran darah penis. Ketika tekanan intrakavernosa meningkat, venula subtunika penis terkompresi, sehingga membatasi aliran balik vena dari penis. Kombinasi peningkatan aliran arteri dan penurunan aliran balik vena mengakibatkan ereksi. Proses ini dibalikkan oleh aktivitas PDE5, yang memecah cGMP, menyebabkan penghentian ereksi.
71
Pemberian L – Arginin yang merupakan prekursor dalam sintesis NO yang dilakukan oleh NOS dapat mencegah penuaan pada organ reproduksi. NO akan mengaktifkan enzim guanylyl cyclase yang menyebabkan peningkatan senyawa cGMP, selanjutnya menyebabkan pelebaran pembuluh darah di sekitar korpus kavernosum, sehingga darah mengalir ke penis dan menyebabkan ereksi penis. 3.2 Konsep Penelitian Berdasarkan landasan teori yang telah diuraikan, maka dapat disusun konsep penelitian dan kerangka sebagai berikut : L – Arginin dan Testosteron Undekanoat Oral FAKTOR INTERNAL -
FAKTOR EKSTERNAL
Genetik Hormon Usia
Tikus Wistar Jantan orchidectomy -
Kadar Nitric Oxide
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian Keterangan : diteliti : tidak diteliti
Radikal bebas Nutrisi Olah raga
72
3.3 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kajian pustaka, kerangka berpikir dan konsep penelitian yang telah diuraikan di atas ditetapkan hipotesis penelitian sebagai berikut: -
Pemberian L – Arginin meningkatkan kadar Nitric Oxide tikus wistar jantan orchidectomy.
-
Pemberian testosteron undekanoat oral meningkatkan
kadar Nitric
Oxide tikus wistar jantan orchidectomy -
Pemberian L – Arginin dan testosteron undekanoat oral meningkatkan kadar
Nitric
Oxide
tikus
wistar
jantan
orchidectomy.
67
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1
Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah eksperimen dengan Post Test
Only Control Group Design (Federer, 2008) P0
O1
P1 O2
P
S
R P2 O3
P3 O4
Gambar 4.1. Skema Rancangan Penelitian
68
Keterangan : P
= Populasi penelitian.
S
= Sampel penelitian.
R
= Randomisasi sampel.
P0
= Perlakuan kelompok kontrol dengan pemberian plasebo.
P1
= Perlakuan kelompok perlakuan dengan pemberian L – Arginin.
P2
=
Perlakuan
kelompok
perlakuan
dengan
pemberian
testosteron
undekanoat oral. P3
= Perlakuan kelompok perlakuan dengan pemberian L – Arginin dan
testosteron undekanoat oral. O1
= Observasi kadar Nitric Oxide kelompok kontrol post test.
O2
= Observasi kadar Nitric Oxide kelompok perlakuan 1 post test.
O3
= Observasi kadar Nitric Oxide kelompok perlakuan 2 post test.
O4
= Observasi kadar Nitric Oxide kelompok perlakuan 3 post test.
4.2
Tempat dan Waktu Penelitian
4.2.1
Tempat Penelitian Penelitian, pemberian perlakuan dan pengambilan darah dilakukan di Rumah Sakit Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Denpasar. Selanjutnya pemeriksaan kadar Nitric Oxide dilakukan di UPT Laboratorium Analitik, Universitas Udayana, Kampus Bukit Jimbaran.
69
4.2.2
Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan selama 5 minggu dengan perincian sebagai berikut: Minggu 1
= adaptasi tikus, persiapan.
Minggu 2
= pelaksanaan orchidectomy.
Minggu 3 – 4 = pemberian perlakuan pada tikus selama 14 hari. Minggu 5
= pengambilan darah post test dan pembacaan hasil.
4.3
Penentuan Sumber Data
4.3.1
Populasi Penelitian Populasi pada penelitian ini adalah tikus wistar jantan berumur 5 – 6 bulan (setara dengan usia manusia 18 tahun (Andreollo et al., 2012 ) dengan berat badan antara 200 – 240 gram.
4.3.2
Kriteria Subjek
1. Kriteria Inklusi : a. Tikus (Rattus norvegicus) galur wistar jantan orchidectomy. b. Umur 5 – 6 bulan. c. Berat badan antara 200 – 240 gram. 2. Kriteria Drop Out : a. Tikus yang sakit dan mati selama penelitian.
70
4.3.3
Penentuan Jumlah Sampel Pada penelitian ini perhitungan jumlah sampel dihitung dengan menggunakan rumus Federer (2008) Keterangan (n –: 1) x (t – 1) ≥15 n
= jumlah sampel
t
= jumlah perlakuan
Perhitungan : (n – 1) x (4 – 1)
≥15
(n – 1) x 3
≥15
3n – 3
≥15
3n
≥18
n
≥6
Untuk mengantisipasi adanya sampel yang drop out maka ditambah 10%, sehingga jumlah cadangan tikus = 10% x 6 = 0,6 ≈ 1 ekor. Jadi sampel yang diperlukan adalah 7 ekor per kelompok, sehingga jumlah sampel yang diperlukan untuk 4 kelompok perlakuan adalah 28 ekor. Volume cairan maksimal yang dapat diberikan secara per oral pada tikus adalah 5ml per ekor tikus yang beratnya ± 200 gr (Ngatidjan, 2006). Takaran konversi dosis untuk manusia dengan berat badan (BB) 70 kg pada tikus dengan BB 200gr menurut tabel konversi Kusumawati, 2004 adalah 0,018, sehingga perhitungan dosis sebagai berikut :
71
1) Dosis L – Arginin -
Untuk perhitungan dosis digunakan tabel konversi dari manusia dengan berat badan 70 kg ke tikus dengan berat badan 200 gram adalah 0,018.
-
Dosis L – Arginin pada manusia adalah 2 x 250 mg.
-
Maka dosis untuk tikus 220 gram, yaitu: 220/200 x 0,018 x 250 mg = 4,95 mg ≈ 5 mg, diberikan 2 x 1 hari.
2) Dosis testosteron undekanoat oral -
Untuk perhitungan dosis digunakan tabel konversi dari manusia dengan berat badan 70 kg ke tikus dengan berat badan 200 gram adalah 0,018.
-
Dosis testosteron undekanoat oral pada manusia adalah 2 x 40 mg.
-
Maka dosis untuk tikus 220 gram, yaitu: 220/200 x 0,018 x 40 mg = 0,792 mg ≈ 1 mg, diberikan 2 x 1 hari.
4.3.4
Teknik Penentuan Sampel Semua sampel yang memenuhi syarat sebagai sampel penelitian
berdasarkan kriteria inklusi diambil secara acak sederhana sebanyak 28 ekor tikus. Sampel kemudian dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu 1. kelompok kontrol sebanyak 7 ekor tikus 2. kelompok perlakuan dengan L – Arginin sebanyak 7 ekor tikus 3. kelompok perlakuan dengan testosteron undekanoat oral sebanyak 7 ekor tikus 4. kelompok perlakuan dengan L – Arginin dan testosteron undekanoat oral sebanyak 7 ekor tikus.
72
4.4 Variabel Penelitian 4.4.1
Identifikasi Variabel Variabel yang diukur adalah kadar Nitric Oxide (NO) setelah perlakuan
selama 14 hari.
4.4.2
Klasifikasi Variabel
1. Variabel Bebas
: L – Arginin, testosteron undekanoat oral.
2. Variabel Tergantung : kadar Nitric oxide. 3. Variabel Kendali
4.4.3
: strain tikus, jenis kelamin, umur, berat badan.
Definisi Operasional Variabel
1. Tikus. Yang digunakan adalah tikus (Rattus norvegicus) galur wistar dengan jenis kelamin jantan, usia 5 – 6 bulan, berat badan antara 200 – 240 gram, sehat. 2. L – Arginin. L – Arginin adalah asam amino yang merupakan prekursor dalam sintesis NO yang dilakukan oleh NOS. Sediaan L – Arginin yang dipakai untuk penelitian diambil dari kapsul dengan nama dagang L – Arginine 500, nama generik L – Arginine, kemasan 90 x 500 oral capsules, diproduksi oleh GNC, diberikan 2x sehari dengan menggunakan sonde sebanyak 2 cc yang setara dengan dosis 5 mg kepada tikus selama 14 hari.
73
3. Testosteron undekanoat oral. Testosteron merupakan hormon yang bertindak sebagai faktor regulator utama untuk mempertahankan fungsi testis. Sediaan testosteron yang dipakai dalam penelitian adalah testosteron undekanoat yang diambil dari kapsul dengan nama dagang Andriol Testocaps, nama generik Testosterone undecanoate, kemasan 30 x 40 mg oral capsules, diproduksi oleh Schering Plough,
diberikan 2x sehari
dengan menggunakan sonde sebanyak 2 cc yang setara dengan dosis 1 mg kepada tikus selama 14 hari. 4. Plasebo. Plasebo adalah substansi yang bukan merupakan zat aktif dan digunakan sebagai kontrol dalam suatu penelitian berupa cairan aquades yang diberikan 2x sehari dengan menggunakan sonde sebanyak 2cc pada tikus. 5. Nitric Oxide. NO merupakan total kadar nitrat dan nitrit plasma yang diukur dengan menggunakan kit pemeriksaan metode Colorimetric Griess merk Assays design dan pembacaan hasilnya menggunakan Elisa reader. Dan satuan kadar NO dinyatakan dalam μmol/L (Sutadarma, 2009). 6. Orchidectomy. Orchidectomy adalah salah satu sterilisasi yang merupakan tindakan pembedahan untuk mengangkat atau menghilangkan testis. Sterilisasi pada hewan berguna untuk mengendalikan (mengontrol) populasi hewan dengan
mencegah
kesuburan.
Keuntungan
orchidectomy
adalah
74
menyebabkan penurunan kadar hormon testosteron pada hewan jantan yang sangat bermanfaat untuk menghilangkan libido, mengurangi resiko penyakit yang berhubungan dengan hormon androgen.
4.4.4
Hubungan Antar Variabel Variabel Bebas -
L – Arginin
-
Testosteron
Variabel Tergantung -
Kadar Nitric Oxide
undekanoat oral
Variabel Kendali -
Strain tikus
-
Jenis kelamin
-
Umur
-
Berat badan
Gambar 4.2 Hubungan Antara Variabel Bebas, Variabel Tergantung dan Variabel Kendali.
4.5 Bahan dan Alat Penelitian 1. Bahan a. L – Arginin. b. Testosteron undekanoat oral. c. Makanan ternak berupa pellet dan minum ternak. d. Plasebo berupa aquades.
75
e. Ketamin 10%. f. Zylazine 2%. g. Alkohol 70%. 2. Alat a. Kandang tikus. b. Set peralatan orchidectomy. c. Spuit injeksi 3 cc. d. Tabung eppendorf. e. Sonde lambung. f. Alat fiksasi tikus. g. Alat timbangan. h. Buku dan alat pencatat data. i. Sarung tangan dan masker. j. Dysposible syringe needle 5ml. k. Vacutainer. l. Torniquet. m. Kapas alkohol. n. Sentrifugator. o. Mikropipet 10-200μl. p. Elisa reader. q. Reagen kit pemeriksaan Colorimetric Griess merk Assays design untuk pemeriksaan NO.
76
4.6 Prosedur Penelitian 4.6.1
Sebelum Perlakuan
1. Dari populasi tikus Wistar jantan, dipilih 28 ekor tikus yang sesuai dengan kriteria inklusi untuk dijadikan sampel. 2. Tikus sampel ini diadaptasikan terlebih dahulu selama 7 hari. 3. Kandang yang digunakan untuk memelihara tikus percobaan berupa bak plastik berukuran 50x40x20 cm dan pada bagian atas diberi penutup kawat, di dalam kandang terdapat tempat makanan dan botol minuman, serta pada dasar bak diberikan sekam padi untuk menyerap kotoran tikus. Setiap kandang berisi dua ekor tikus. 4. Semua tikus percobaan dipelihara di Rumah Sakit Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana. Tikus dikandangkan dan diberikan makanan secara ad libitum sehari dua kali selama 7 hari dan diberi minum secara ad libitum juga. 5. Suhu kandang dijaga pada kisaran suhu 25°C dan kelembaban 70%, kebersihan dan kenyamanan kandang harus selalu dijaga. 4.6.2
Pelaksanaan Perlakuan
1. Tikus di orchidectomy. 2. Post orchidectomy, secara random semua tikus dibagi : a. Kelompok 1 sebagai kelompok kontrol (P0) b. Kelompok 2 sebagai kelompok perlakuan (P1) c. Kelompok 3 sebagai kelompok perlakuan (P2) d. Kelompok 4 sebagai kelompok perlakuan (P3)
77
3. Semua kelompok tikus diberi perlakuan menurut kelompoknya, yaitu:
Hari ke 15 sejak penelitian dimulai,
a. Kelompok 1, diberikan aquades sebagai plasebo sebanyak 2cc secara sonde 2x sehari. b. Kelompok 2, diberikan L – Arginin dengan dosis 5 mg sebanyak 2cc secara sonde 2x sehari. c. Kelompok 3, diberikan testosteron undekanoat dengan dosis 1 mg sebanyak 2cc secara sonde 2x sehari. d. Kelompok 4, diberikan L – Arginin dengan dosis 5 mg sebanyak 1cc dan testosteron undekanoat dengan dosis 1 mg sebanyak 1cc secara sonde 2x sehari.
Hari ke 29 sejak penelitian dimulai (14 hari pelakuan) semua tikus pada kelompok diambil serum darahnya untuk diperiksa kadar Nitric Oxide.
Selama periode perlakuan (14 hari) tikus diberi makanan standar secara ad libitum.
4. Semua tikus diambil darahnya sebanyak 1 ml melalui medial canthus sinus orbitalis, dengan sebelumnya dilakukan anestesi dengan ketamin 10% dosis 50mg/kgBB dan zylazine 2% dosis 20mg/kgBB, disuntikkan intramuskular pada bagian paha tikus, darah yang diambil untuk diperiksa kadar Nitric Oxide. 5. Dilakukan analisis data untuk membandingkan hasil dari keempat kelompok tikus tersebut.
78
6. Setelah semua tikus selesai diberi perlakuan selama 14 hari, tikus dibiarkan tetap hidup dan diperlakukan dengan selayaknya sesuai dengan tehnik pemeliharaan di Rumah Sakit Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana.
4.6.3
Prosedur Pengambilan dan Pemeriksaan Darah Tikus
1. Dilakukan anestesi pada tikus wistar jantan dengan menggunakan ketamin 10% dosis 50mg/kgBB dan zylazine 2% dosis 20mg/kgBB, disuntikkan secara intramuskular pada bagian paha tikus. Kemudian darah vena diambil melalui medial canthus sinus orbitalis sekitar 1 ml dengan menggunakan tabung mikro kapiler. 2. Kemudian sampel serum darah dikirim ke UPT Laboratorium Analitik, Universitas Udayana untuk diperiksa kadar Nitric Oxide. 3. Darah diperiksa dengan menggunakan metode indirect Elisa, dimana darah yang diambil ditampung pada eppendorf, kemudian diletakkan miring 45 dan dibiarkan mengendap pada suhu kamar. 4. Selanjutnya darah ditampung dalam vacutainer, disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit, dan didapatkan sebanyak 1 mL plasma selanjutnya dimasukkan dalam tabung untuk segera diperiksa. Prosedur pemeriksaan laboratorium menggunakan kit pemeriksaan Colorimetric Griess. Reaksi Griess yang melibatkan interaksi dari ion nitrit dengan 2 molekul organik dan melibatkan reaksi oksidasi dan nukleopilik. Buffer atau komponen sampel yang bereaksi dengan reaksi
79
oksidasi dan nukleopilik menjadi bereaksi dengan pembentukan warna. Perubahan nitrat menjadi nitrit melibatkan enzym Nitrate Reductase. Total Nitric Oxide Assay Kit untuk mengukur kadar NO manusia secara kuantitatif di dalam serum dan pembacaan absorbance 520 – 560 nm dengan menggunakan Elisa reader (Tarpey dan Fridovich, 2001).
4.6.4 -
Cara Pelaksanaan Orchidectomy pada Tikus Pemberian anestesi dengan menggunakan ketamin (dosis 30mg / 200 gram berat badan tikus).
-
Tikus di orchidectomy dengan membuat sayatan pada kulit sekitar scrotum.
-
Dibuat 2 ligasi pada pembuluh darah bagian atas lalu potong diantara 2 ligasi tersebut.
-
Buah zakar dikeluarkan kemudian bekas sayatan ditutup. (Moreau et al., 2001)
80
4.7 Alur Penelitian Tikus wistar jantan sehat 28 ekor, 5 – 6 bulan (sebelum di orchidectomy), 200 – 240 gram gram Adaptasi 7 hari
Orchidectomy
Dibagi menjadi 4 kelompok
Kelompok Kontrol 7 tikus
Kelompok Perlakuan 1 7 tikus
Kelompok Perlakuan 2 7 tikus
Kelompok Perlakuan 3 7 tikus
Pemberian aquadest 2cc sebagai plasebo 2x sehari selama 14hari
Pemberian L – Arginin 5 mg sebanyak 2 cc, 2 x 1 hari, selama 14 hari
Pemberian testosteron undekanoat 1 mg sebanyak 2 cc, 2 x 1 hari, selama 14 hari
Pemberian L – Arginin 5 mg sebanyak 1 cc dan testosteron undekanoat 1mg sebanyak 1 cc, 2 x 1 hari, selama 14 hari
Kelompok Kontrol Post Test Pemeriksaan NO Hari ke 29
Kelompok Perlakuan 1 Post Test Pemeriksaan NO Hari ke 29
Kelompok Perlakuan 2 Post Test Pemeriksaan NO Hari ke 29
Kelompok Perlakuan 3 Post Test Pemeriksaan NO Hari ke 29
Analisis Data Gambar 4.3 Bagan Alur Penelitian
81
4.8 Analisis Data Data yang diperoleh dari penelitian dianalisis dan diolah dengan langkah – langkah sebagai berikut : 1. Analisis deskriptif Data rerata NO dianalisis secara deskriptif. Analisis deskriptif dilakukan sebagai dasar untuk statistik analitik ( uji hipotesis ) untuk mengetahui karakteristik data. 2. Uji normalitas Uji normalitas dengan menggunakan Shaphiro – Wilk karena sampel yang digunakan kurang dari 30 sampel. Data berdistribusi normal dengan nilai p>0,05. 3. Uji homogenitas Uji homogenitas dilakukan dengan homogenity of variance test dengan Lavene’s test dan bersifat homogen dengan nilai p>0,05. 4. Uji komparabilitas Uji komparabilitas dilakukan untuk mengetahui perbedaan rerata kadar Nitric Oxide (NO) antar kelompok sesudah perlakuan karena data berdistribusi normal dan homogen (p>0,05) maka dilakukan uji One Way Anova dilanjutkan dengan LSD.
82
BAB V HASIL PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan menggunakan completely randomized post test only control group design yang menggunakan 28 ekor tikus (Rattus norvegicus) wistar jantan, berumur 5 – 6 bulan yang di orchidectomy, yang terbagi menjadi 4 (empat) kelompok masing-masing berjumlah 7 ekor tikus, satu kelompok sebagai kelompok kontrol yang diberikan plasebo selama 14 hari (P0), satu kelompok sebagai kelompok perlakuan 1 yang diberikan L – Arginin selama 14 hari (P1), satu kelompok sebagai kelompok perlakuan 2 yang diberikan testosteron undekanoat selama 14 hari (P2) dan kelompok lainnya sebagai kelompok perlakuan 3 yang diberikan L – Arginin dan testosteron undekanoat selama 14 hari (P3). Hasil penelitian ini kemudian dianalisis dan disajikan menggunakan analisis deskriptif, analisis normalitas, uji homogenitas, uji komparabilitas dan uji efek perlakuan.
5.1 Analisis Deskriptif Kadar Nitric Oxide diperiksa setelah perlakuan selama 14 hari. Hasil analisis deskriptif kadar Nitric Oxide post test pada masing – masing kelompok disajikan pada Tabel 5.1.
83
Tabel 5.1 Hasil Analisis Deskriptif Data Kadar Nitric Oxide Kelompok Subyek
Rerata Kadar Nitric Oxide (µM)
SB
Median
Minimum Maksimum
Kelompok P0
417,29
63,823
440,48
317,94
487,61
Kelompok P1
684,71
79,747
688,21
543,98
804,27
Kelompok P2
754,54
64,296
766,75
680,07
843,57
Kelompok P3
1156,95
167,904
1138,31
939,77
1363,20
Keterangan P0
: kelompok kontrol dengan plasebo
P1
: kelompok perlakuan dengan L – Arginin
P2
: kelompok perlakuan dengan testosteron undekanoat oral
P3
: kelompok perlakuan dengan L – Arginin dan testosteron undekanoat oral
5.2 Uji Normalitas Kadar Nitric Oxide pada masing – masing kelompok diuji normalitasnya dengan menggunakan uji Shapiro – Wilk. Hasilnya menunjukkan bahwa data berdistribusi normal (p>0,05), yang disajikan pada Tabel 5.2.
84
Tabel 5.2 Hasil Uji Normalitas Data Kadar Nitric Oxide Antar Kelompok
Kelompok Subyek
N
p
Keterangan
Kelompok P0
7
0,538
Normal
Kelompok P1
7
0,807
Normal
Kelompok P2
7
0,397
Normal
Kelompok P3
7
0,455
Normal
Keterangan P0
: kelompok kontrol dengan plasebo
P1
: kelompok perlakuan dengan L – Arginin
P2
: kelompok perlakuan dengan testosteron undekanoat oral
P3
: kelompok perlakuan dengan L – Arginin dan testosteron undekanoat oral
n
: jumlah sampel
5.3 Uji Homogenitas Kadar Nitric Oxide pada masing – masing kelompok diuji homogenitasnya dengan menggunakan uji Levene’s test. Hasilnya menunjukkan bahwa varian data homogen (p>0,05), yang disajikan pada Tabel 5.3. Tabel 5.3 Hasil Uji Homogenitas Data Kadar Nitric Oxide Antar Kelompok Kelompok Subjek Kadar Nitric Oxide n = jumlah sampel
n
p
Keterangan
24
0,287
Homogen
85
5.4 Analisis Komparabilitas Analisis komparabilitas bertujuan untuk membandingkan rerata kadar Nitric Oxide antar kelompok setelah diberikan perlakuan. Hasil analisis kemaknaan diuji dengan uji One Way Anova disajikan pada Tabel 5.4. Tabel 5.4 Perbandingan Rerata Kadar Nitric Oxide Antar Kelompok Setelah Perlakuan
Kelompok Subyek
Rerata Kadar Nitric Oxide ± SB (µM)
Kelompok P0
417,29±63,823a
Kelompok P1
684,71±79,747b
Kelompok P2
754,54±64,296b
Kelompok P3
1156,95±167,904c
F
p
61,236
0,000
*Notasi (a,b,c) yang sama menunjukkan tidak berbeda bermakna (p>0,05), notasi yang berbeda menunjukkan berbeda bermakna. Data diuji dengan Least Significance Difference (LSD) test
Keterangan P0
: kelompok kontrol dengan plasebo
P1
: kelompok perlakuan dengan L – Arginin
P2
: kelompok perlakuan dengan testosteron undekanoat oral
P3
: kelompok perlakuan dengan L – Arginin dan testosteron undekanoat oral Tabel 5.4 menunjukkan rerata kadar Nitric Oxide pada kelompok P0
adalah 417,29±63,823 µM, pada kelompok P1 adalah 684,71±79,747 µM, pada kelompok
P2
adalah
754,54±64,296 µM,
dan
kelompok
P3
adalah
1156,95±167,904 µM. Analisis kemaknaan dengan One Way Anova menunjukkan bahwa nilai F= 61,236 dan nilai p= 0,000. Hal ini menunjukkan bahwa empat
86
kelompok setelah diberikan perlakuan selama 14 hari memiliki rerata kadar Nitric Oxide yang signifikan (p<0,01).
Uji lanjutan untuk mengetahui perbedaan
individual antar kelompok dengan menggunakan Least Significance Difference (LSD) test. Tabel 5.5 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara kelompok P0 dengan kelompok lainnya (p<0,01), tidak terdapat perbedaan signifikan antara kelompok P1 dengan P2 (p>0,05), dan terdapat perbedaan signifikan antara kelompok P1 dan P2 dengan kelompok P3 (p<0,01).
Tabel 5.5 Analisis LSD Perbandingan Rerata Kadar Nitric Oxide Antar Kelompok Kelompok I
Kelompok II
P0
P1
-267.41429
0,000
P2
-337.24000
0,000
P3
-739.65571
0,000
P0
267.41429
0,000
P2
-69.82571
0,219
P3
-472.24143
0,000
P0
337.24000
0,000
P1
69.82571
0,219
P3
-402.41571
0,000
P0
739.65571
0,000
P1
472.24143
0,000
P2
402.41571
0,000
P1
P2
P3
Rerata Perbedaan
p
87
Gambar 5.1 Grafik Perbedaan Rerata Kadar Nitric Oxide Antar Kelompok P0 dengan P1, P2 dan P3.
Keterangan P0
: kelompok kontrol dengan plasebo
P1
: kelompok perlakuan dengan L – Arginin
P2
: kelompok perlakuan dengan testosteron undekanoat oral
P3
: kelompok perlakuan dengan L – Arginin dan testosteron undekanoat oral
88
Gambar 5.2 Grafik Perbedaan Rerata Kadar Nitric Oxide Antar Kelompok P1 dengan P2.
Keterangan P0
: kelompok kontrol dengan plasebo
P1
: kelompok perlakuan dengan L – Arginin
P2
: kelompok perlakuan dengan testosteron undekanoat oral
P3
: kelompok perlakuan dengan L – Arginin dan testosteron undekanoat oral
89
Gambar 5.3 Grafik Perbedaan Rerata Kadar Nitric Oxide Antar Kelompok P3 dengan P0, P1 dan P2.
Keterangan P0
: kelompok kontrol dengan plasebo
P1
: kelompok perlakuan dengan L – Arginin
P2
: kelompok perlakuan dengan testosteron undekanoat oral
P3
: kelompok perlakuan dengan L – Arginin dan testosteron undekanoat oral BAB VI PEMBAHASAN
70
6.1. Subjek Penelitian Subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus (Rattus norvegicus) wistar jantan, berumur 5 – 6 bulan yang di orchidectomy. Penggunaan tikus jantan sebagai subjek disebabkan karena sifatnya lebih stabil, tidak dipengaruhi oleh siklus menstruasi dan kehamilan seperti pada tikus betina. Jumlah sampel yang digunakan adalah 28 ekor tikus, yang dibagi menjadi 4 kelompok masing – masing berjumlah 7 ekor tikus, satu kelompok sebagai kelompok kontrol yang diberikan plasebo selama 14 hari (P0), satu kelompok sebagai kelompok perlakuan 1 yang diberikan L – Arginin selama 14 hari (P1), satu kelompok sebagai kelompok perlakuan 2 yang diberikan testosteron undekanoat oral selama 14 hari (P2) dan kelompok lainnya sebagai kelompok perlakuan 3 yang diberikan L – Arginin dan testosteron undekanoat selama 14 hari (P3).
6.2. Pengaruh Pemberian L – Arginin Pada kelompok perlakuan 1 setelah diberikan L – Arginin selama 14 hari (P1) menunjukkan rerata kadar Nitric Oxide sebesar 684,71±79,747 µM. Sedangkan pada kelompok kontrol yang diberikan plasebo (P0) menunjukkan rerata kadar Nitric Oxide 417,29±63,823 µM. Analisis komparasi lanjut menggunakan Least Significance Difference (LSD) menunjukkan terdapat perbedaan signifikan (p<0,01), yang artinya pemberian L – Arginin meningkatkan kadar Nitric Oxide.
70
L – Arginin merupakan salah satu substansi yang meregulasi sintesis Nitric Oxide (NO). L – Arginin merupakan prekursor dalam sintesis NO yang dilakukan oleh Nitric Oxide Synthase (NOS). NO merupakan molekul pengirim sinyal terhadap setiap jenis sel yang meregulasi jalur metabolisme. NO disintesis oleh NOS yang merubah L – Arginin menjadi L – Citrulin dan NO (Lewis and Langkamp-Henken, 2000; Wu et al., 2009). Di dalam jaringan, NO dibentuk oleh L – Arginin oleh enzim endothelial Nitric Oxide Synthase (eNOS) dengan kofaktor Nicotinamide Adenin Dinucleotide Phosphat Hydrogen (NADPH), oksigen (O2), dan Tetrahydrobiopterin (BH4) menghasilkan L – Citrulin serta nitrat dan nitrit sebagai metabolit (Lundberg dan Weitzberg, 2005). Kekurangan L – Arginin dalam diet akan menyebabkan gangguan sistesis NO pada mamalia (Lewis dan Langkamp-Henken, 2000; Wu et al., 2009).
6.3. Pengaruh Pemberian Testosteron Undekanoat Oral Pada kelompok perlakuan 2 setelah diberikan testosteron undekanoat oral selama 14 hari (P2) menunjukkan rerata kadar Nitric Oxide sebesar 754,54±64,296 µM. Sedangkan pada kelompok kontrol yang diberikan plasebo (P0) menunjukkan rerata kadar Nitric Oxide 417,29±63,823 µM. Analisis komparasi
lanjut
menggunakan
Least
Significance
Difference
(LSD)
menunjukkan terdapat perbedaan signifikan (p<0,01), yang artinya pemberian testosteron undekanoat oral meningkatkan kadar Nitric Oxide. Testosteron merupakan hormon yang bertindak sebagai faktor regulator sistemik dan lokal. Testosteron banyak dikenal sebagai molekul regulator utama
70
untuk mempertahankan fungsi testis. Hingga saat ini belum ada referensi yang menunjukkan manfaat pemberian testosterone terhadap kadar NO sistemik. Namun penelitian menunjukkan dengan hasil analisis menggunakan real time PCR dan Western blot bahwa terjadi peningkatan ekspresi inducible Nitric Oxide Synthase (iNOS) yang diikuti oleh peningkatan sekresi NO dari sel Leydig ex vivo setelah pemberian terus menerus dengan testosteron selama 2 minggu secara in vivo (Silvana et al., 2010). Kelompok fosfodiesterase cGMP spesifik seperti PDE5, PDE6, dan PDE9 meningkat signifikan, sedangkan Protein Kinase G – 1 (PKG1) menurun setelah pengobatan testosteron selama dua minggu. Induksi iNOS dan PDE5 dalam sel Leydig terbukti diblokir dengan pemberian antagonis reseptor
androgen.
Pada
percobaan
hipogonadisme
hipogonadotropik
eksperimental, ekspresi iNOS berkurang secara signifikan, dan pengobatan dengan testosteron meningkatkan ekspresi iNOS. Pada pengobatan in vitro, dengan pemberian testosteron menyebabkan peningkatan secara bertahap ekspresi gen iNOS diikuti oleh peningkatan sekresi NO dan produksi cGMP oleh sel Leydig (Juliet et al., 2004; Silvana et al., 2010).
6.4. Pengaruh Pemberian L – Arginin dan Testosteron Undekanoat Oral Pada kelompok perlakuan 3 setelah diberikan L – Arginin dan testosteron undekanoat oral selama 14 hari (P3) menunjukkan rerata kadar Nitric Oxide sebesar 1156,95±167,904 µM. Sedangkan pada kelompok kontrol yang diberikan plasebo (P0) menunjukkan rerata kadar Nitric Oxide 417,29±63,823 µM. Analisis komparasi
lanjut
menggunakan
Least
Significance
Difference
(LSD)
70
menunjukkan terdapat perbedaan signifikan (p<0,01), yang artinya pemberian L – Arginin dan testosteron undekanoat oral meningkatkan kadar Nitric Oxide. Selain itu analisis komparasi lanjut menggunakan Least Significance Difference (LSD) menunjukkan kelompok P3 dibandingkan dengan kelompok yang diberikan L – Arginin saja dan testosteron undekanoat oral saja, terdapat perbedaan signifikan (p<0,01). Hal ini menunjukkan pemberian gabungan L – Arginin dan testosteron undekanoat oral adalah sangat efektif jika dibandingkan pemberian L – Arginin saja dan testosteron undekanoat oral saja. Telah dibuktikan pada kelompok sebelumnya bahwa pemberian L – Arginin dan testosteron undekanoat oral dapat meningkatkan kadar Nitric Oxide. Dimana L – Arginin merupakan prekursor dalam sintesis NO dan testosteron berperan dalam induksi produksi iNOS (Lewis dan Langkamp-Henken, 2000; Juliet et al., 2004; Wu et al., 2009; Silvana et al., 2010). Pemberian L – Arginin dan testosteron undekanoat oral secara bersamaan dapat meningkatkan kadar Nitric Oxide secara optimum karena kedua senyawa tersebut saling bekerja sama dalam produksi Nitric Oxide. Pemberian L – Arginin saja dapat meningkatkan produksi NO namun terbatas pada jumlah tertentu karena keterbatasan iNOS yang diregulasi oleh testosteron. Begitu pula sebaliknya, pemberian testosteron saja dapat meningkatkan produksi NO namun terbatas pada jumlah tertentu karena keterbatasan prekursor yaitu L – Arginin.
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
70
7.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan hasil sebagai berikut. 1. Pemberian L – Arginin meningkatkan kadar Nitric Oxide tikus (Rattus norvegicus ) wistar jantan orchidectomy. 2. Pemberian testosteron undekanoat oral meningkatkan kadar Nitric Oxide tikus (Rattus norvegicus ) wistar jantan orchidectomy. 3. Pemberian gabungan L – Arginin dan testosteron undekanoat oral memiliki peningkatan kadar Nitric Oxide yang signifikan dibandingkan kelompok yang diberikan L – Arginin saja dan kelompok yang diberikan testosteron undekanoat oral saja (p<0,05).
7.2 Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui mengenai pemberian gabungan L – Arginin dan testosteron undekanoat oral dapat meningkatkan kadar Nitric Oxide pada manusia sebagai terapi hipogonadism atau penyakit tertentu yang memerlukan orchidectomy.
70
DAFTAR PUSTAKA Andreollo, N., Santoso E., Araujo, M., Lopes, L. 2012. Rat’s Age Versus Human’s Age: What Is The Relationship?. Arquivos Brasileiros de Cirurgia Digestiva. 25(1):49-51. Arver, S., Mueller, E. 2008. Testosterone Replacement Therapy In Males With Hypogonadism. Value in Health; 15(7):71-77. Bebb, R., Morales, A., Manjoo, P. 2011. Diagnosis and Management Of Testosterone Deficiency Syndrome In Men : Clinical Practice Guideline. Canadian Medical Association Journal; 187(13):1369-1377. Bhasin, S., Spitzer, M., Huang, G., Basaria, S., Travison, T. 2013. Risk And Benefits Of Testosterone Therapy In Older Men. National Review Endocrinology; 9(7):414-424. Braunstein, G.D. 2011. Testes. In: Gardner, D.G., and Shoback, D., editors. Greenspan’s: Basic & Clinical Endocrinology. Edisi 9. McGraw-Hill. 395-401. Brinkman, A. 2009. Androgen Physiology: Receptor and Metabolic Disorders. Available at: http://www.endotext.org/male/male3index.html. [Acessed 1 November 2010]. Burnett, A. 2002. Nitric Oxide Regulation of Penile Erection: Biology and Therapeutic Implications. Journal of Andrology. 23: 36 – 45. Cerielo, A. 2008. Possible Role of Oxidative Stressin The Pathogenesis of Hypertension. Diabetes Care. 31(2):181-184. Deanfield, J., Halcox, J., Rabelink, T. 2007. Endothelial Fuction and Dysfunction : Testing and Clinical Relevance. Contemporary Reviews in Cardiovascular Medicine. 115: 1285-1295. Dipiro, J., Talbert, R., Yee, G., Matzke, G., Wells, B., Posey, L. 2005. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach. Sixth Edition; 17411752, 1769-1781, 1785-1791. Djuanda, E. 2005. Anti Aging : Rahasia Awet Muda. Cetakan ke-2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 1-8, 15-17, 24-26. Droge, W. 2002. Free radicals in the physiological control of cell function. Physiology Review; 82:47-95. Endemann, D. 2004. Endothelial Dysfunction. Journal American Society of Nephrology; 15:1983- 1992.
70
Federer, W. 2008. Statistic and Society: Data Collection and Interpretation. Edisi ke-2. New York: Marcel Dekker. Gilbert, S. 2000. The Developmental Biology, 6th Ed. Sunderland (MA): Sinauer Associates. 56-61. Giton, F. 2006. Serum Bioavailable Testosteron : Assayed or Calculated ?. Clinical Chemistry, 52 (3) : 474-481. Goldman, R., Klatz, R. 2007. The New Anti Aging Revolution. Malaysia : Percetakan Sendirian Berhad. 19-25. Goldsmith, T. 2008. Aging Theories and Their Implication for Medicine. [cited: 2010 Jul 22]. Available from : http://www.azinet.com/aging/. Guyton, A., Hall, J. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Text Book of Medical Physiology). In : Irawati; Editor. Edisi 9. Jakarta: EGC. Guyton, A., Hall, J. 2005. Reproductive and Hormonal Functions of The Male. Textbook of Medical Physiology.W.B. Saunders, Philadelphia. Guyton, A., Hall, J. 2010. Textbook of Medical Physiology. 12th edition. WB Saunders Company. 1283-1302. Hala, O., Kareem, A., Ingy, M.. 2011. Role of Oxidative Stress, Inflamation and Endothelial Disfunction in the Pathogenesis of Diabetic Retinopathy. The Institute of Integrative Omics and Applied Biotechnology Journal. 2:9197. Heinlen C, Chang C. 2002. Androgen Receptor (AR) Coregulators. Endocrine Review; 23(2):175-200. Hees, R.A. and Carnes, K. 2004. The Role of Estrogen in Testis and the Male Reproductive Tract: a review and species comparison. Anim. Reprod. Vol: 1.p 5 – 30. Isidori, A., Buvat, J., Corona, G., Goldstein, I., Jannini, E., Lenzi, A., Parst, H., Salonia, A., Traish, A., Maggi, M. 2014. A Critical Analysis of the Role of Testosterone in Erectile Function : From Pathology to Treatment – A Systematic Review. European Association of Urology. 65(1):99-112. Ilyas, S. 2008. Efektivitas Kontrasepsi Hormonal Pria Yang Menggunakan Kombinasi Testosteron Undekanoat dan Noretisteron Enantat. Jurnal Biologi Sumatera. 3(1):23-28. Jones, T. 2008. Testosteron Deficiency : An Overview. In Jones,T; Editor. Testosteron Deficiency In Men. 1st edition. United States : Oxford University Press. 1-8.
70
Juliet, P., Hayashi, T., Daigo, S., Matsui, H., Miyazaki, A., Fukatsu, A., Funami, J., Iguchi, A., Ignarro, L. 2004. Combined Effect of Testosterone and Apocynin on Nitric Oxide and Superoxide Production in PMADifferentiated THP-1 Cells. Biochimica et Biophysica Acta. 1693(3):18591. Kapoor D., Malkin C., Channer K., Jones T. 2005. Androgens, Insulin Resistance and Vaskular Disease in Men. Available from : URL : http://www.medscape.com/. Kumar, R. 2013. Testis. In: Tunru, I.S.A., editor. Dasar-dasar Patofisiologi Penyakit. Tangerang: Binarupa Aksara Publisher. 462-468. Kusumawati, D. 2004. Bersahabat dengan Hewan Coba. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 42-43. Leung, A., Robson, W. 2007. Hypospadias. Asian Journal of Andrology; 9:16-22. Lewis, B., Langkamp-Henken, B. 2000. Arginine enhances In vivo immune responses in young, adult and aged mice. Journal of Nutritiology; 130(7):1827-30. Lundberg, J. O; Weitzberg, E. 2005. NO Generation From Nitrite and Its Role in Vascular Control. Arteriosclerosis, Thrombosis, and Vascular Biology; 25:915-22. Maurice, E. 2015. Modern Nutrition in Health and Disease. Catharine Ross; Editor. Edition 11. Baltimore: Lippincott Williams and Wilkins. McCance, K.L.; Huether, S.E. 2006. Pathophysiology. The Biologic Basis for Disease in Adults and Children. Edisi 5. Elsevier. 755-59. Moreau, M., Libouban, H., Legrand, E., Basle, M., Audran, M., Chappard, D. 2001. Lean, Fat and Bone Masses are Influenced by Orchidectomy in the Rat. A Densitometric X-Ray Absorptiometric Study. Journal of Musculoskeletal Neuron Interaction. 1(3):209-213. Morgentaler, A. 2009.Testosterone For Life : Recharge Your Vitality, Sex Drive, Muscle Mass, and Overall Health. Edisi 9. New York : McGraw Hill. 6668, 176. Muchtadi, D. 2009. Gizi Anti Penuaan Dini. Bandung: Penerbit Alfabeta. 71-90. Nenonnen, H. 2011. Functional characterisation of the CAG polymorphism in the androgen receptor – in vitro and in vivo. Faculty of Medicine Doctoral Dissertation. 27:1-112.
70
Ngatidjan, 2006. Petunjuk Laboratorium, Metode Laboratorium dalam Toksikologi, Universitas Bioteknologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 86-135. Pangkahila, W. 2005. Disfungsi Seksual Pria. Jakarta: Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia. Pangkahila, W. 2007. Anti Aging Medicine: Memperlambat Penuaan, Meningkatkan Kualitas Hidup. Edisi I. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 1-33, 35-60, 86-93, 214-219. Pangkahila, W. 2011. Anti Aging Tetap Muda dan Sehat. Jakarta:PT. Kompas Media Nusantara:13:20-21, 33-34, 27-29, 54-55, 77-78, 58, 63-64, 74-75. Rajender, S., Singh, L., Thangaraj, K. 2007. Phenotypic Heterogeneity of Mutations in Androgen Receptor Gene. Asian Journal of Andrology; 9(2):147-179. Sakka, A., Yassin, A. 2010. Amelioration of Penile Fibrosis: Myth or Reality. Journal of Andrology; 31:324-334. Sherwood, L. 2007. Fungsi Testosteron. Fisiologi Kedokteran, edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Sherwood, L. 2013. The Reproductive System. Intoduction to Human Physiology. 8thed. Nelson Education, Ltd. Canada. 781-789. Silvana, A., Marija, M., Natasa, J., Tatjana, S. 2010. Testosterone Induced Modulation of Nitric Oxide-cGMP Signaling Pathway and Androgenesis in the Rat Leydig Cells. Biology of Reproduction Journal. 83(3): 434442. Solfikitis, N. 2008. Hormonal Regulation of Spermatogenesis and Spermiogenesis. Journal Steroid Biochemical and Molecular Biology. 109(3-5):323-330. Srivastava, S., Desai, P., Coutinno, E., Govil, G. 2006. Mechanism of Action of L–Arginine on The Vitality of Spermatozoa is Primarily Through Increase Biosynthesis of Nitric Oxide. Biology of Reproduction Journal. 74(5):954-958.. Susanto, L. 2011. Sildenafil Dalam Penatalaksanaan Disfungsi Ereksi. Bagian Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti. Jakarta. 116-122. Sutadarma. 2009. Pengaruh Jus Bayam Terhadap Kadar NO Serum dan Tekanan Darah pada Laki-laki Muda Dewasa. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Program Pascasarjana Studi Ilmu Gizi. 1-73.
70
Tarpey, M., Fridovich, I. 2001. Method of Detection of Vascular Reactive Species : Nitric Oxide, Superoxide, Hydrogen Peroxide an Peroxynitrite. Circulation Research American Heart Association Journal. 89:224-36. Tjay, T., Rahardja, K. 2002. Obat – obat Penting : Khasiat, Penggunaan dan Efek Samping. Edisi VI. Jakarta: Penerbit PT. Elex Media Komputindo. 540541. Tong, S., Ng, C., Lee, B., Khoo, F., Tan, Hui, M. 2012. Effect of Long Acting Testosterone Undecanoate Treatment on Quality of Life in Men with Testosterone Deficiency Syndrome : A Double Blind Randomized Controlled Trial. Asian Journal of Andrology. 14:604-611. Wu, G., Bazer, F., Davis, T. 2009 Arginine Metabolism and Nutrition in Growth, Health and Disease. Amino Acids. 37(1):153-168. Zhang, Y., Janssens, S. P., Wingler, K., Schmidt, H., Moems, A. 2011. Modulating Endothelial Nitric Oxide Synthase : A New Cardiovascular Therapeutic Strategy. American Journal of Physiology – Heart and Circulatory Physiology. 301:634-646.
70
70
Lampiran 2. Surat Keterangan Fakultas Kedokteran Hewan Udayana
70
Lampiran 3. Tabel Nilai Konversi Usia Tikus Terhadap Manusia (Andreollo et al., 2012)
Lampiran 4. Tabel Nilai Konversi Dosis untuk Beberapa Jenis Hewan dan Manusia (Kusumawati, 2004)
Mencit 20 g Tikus 200 g Marmot 400 g Kelinci 1,2 kg Kucing 2 kg Kera 4 kg Anjing 12 kg Manusia 70 kg
Mencit 20 g
Tikus 200 g
Marmot 400 g
Kelinci 1,5 kg
Kucing 2 kg
Kera 4 kg
Anjing 12 kg
Manusia 70 kg
1,0
7,0
12,25
27,8
29,7
64,1
124,2
387,9
0,14
1,0
1,74
3,9
4,2
9,2
17,8
56,0
0,08
0,57
1,0
2,25
2,4
5,2
10,2
31,5
0,04
0,25
0,44
1,0
1,08
2,4
5,2
10,2
0,03
0,23
0,41
0,92
1,0
2,2
4,1
13,2
0,016
0,11
0,19
0,42
0,45
1,0
1,9
6,1
0,08
0,06
0,10
0,22
0,24
0,52
1,0
3,1
0,0026
0,018
0,031
0,07
0,076
0,16
0,32
1,0
70
Lampiran 5. Hasil Laboratorium Analisis L – Arginin Kapsul Merk GNC
70
Lampiran 6. Sediaan L – Arginin. Merk L – Arginine 500. Produksi GNC.
Lampiran 7. Sediaan Testosteron Undekanoat Oral. Merk Andriol Testocaps. Produksi Schering Plough.
70
Lampiran 8. Hasil Laboratorium Kadar Nitric Oxide
70
70
Lampiran 9. Analisis Deskriptif
Lampiran 10. Uji Normalitas
Lampiran 11. Uji Homogenitas
70
Lampiran 12. Analisis Komparabilitas ANOVA
Analisis lanjutan dengan menggunakan Least Significant Difference (LSD)