1
Pemberian Ganti Rugi Kepada Korban Kejahatan Harta Benda Oleh Pelaku Menurut KUHAP Oleh: Sherly Tricia Ningsih Romany Sihite Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ABSTRAK Sistem peradilan pidana diharapkan bisa mewujudkan secara seimbang antara hak pelaku dan korban. Penelitian ini membahas mengenai hak korban kejahatan harta benda (pencurian ringan dan pencurian kendaraan bermotor) dalam mendapatkan ganti rugi dari pelaku menurut KUHAP. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori-teori viktimologi dengan mengkaitkan kepada restorative justice sebagai suatu usulan dalam penyelesaian kasus kejahatan harta benda tersebut. Metode penelitian adalah deskriptif kualitatif dan studi kasus dengan melakukan wawancara. Kesimpulan dari penelitian ini bahwa pemberian ganti rugi kepada korban oleh pelaku merupakan hal yang penting meskipun dalam pelaksanaan dilapangan tidak bisa dilaksanakan secara maksimal terutama ketidakjelasan payung hukum yang melandasinya. Kata Kunci : Korban, ganti rugi, kejahatan harta benda, Sistem peradilan pidana, Restorative justice, Viktimologi ABSTRACT Name : Sherly Tricia Ningsih Study Program: Bachelor Degree of Criminology Title : Victimologis Overview Providing Compensation for Victims of Property Crime through Restorative Justice Criminal justice system is expected to uphold the offender’s right and victim right equally. This study discusses about the rights of property crime’s victims (burglary and motor vehicle theft) in getting compensation from the offender. In this study, researchers uses the viewpoint of victimology theories to see the implementation in problem solving through restorative justice settlement out of court and in court. This research is descriptive qualitative study and uses interview methods. The conclusion of this study that the providing compensation to the victims by the offender is really important. However, there still a lot of problems with the implementation due to various constraints of the victims, offender, as well as law enforcement officers themselves. Keywords: Victim, restitution, property crime, criminal justice system, Restorative justice, Victimology
Pendahuluan Korban merupakan pihak yang dirugikan dalam terjadinya tindak kejahatan.Kerugian yang dialami oleh korban bisa berupa kerugian secara fisik, psikis juga materil.Munculnya hukum pada dasarnya adalah dengan tujuan untuk menjamin keamanan, ketertiban dan Universitas Indonesia Pemberian ganti..., Sherly Tricia Ningsih, FISIP UI, 2013.
2
mewujudkan keadilan (Gosita, 1993). Tujuan mewujudkan keadilan dalam hal ini adalah diperhatikannya kepentingan korban dengan dipenuhinya hak-hak korban dan pemberian penghukuman yang tepat untuk pelaku, meskipun pada dasarnya Aristoteles menyatakan bahwa konsep keadilan tersebut tidak ada yang bersifat mutlak (Mansur dan Gultom, 2007). Salah satu hak dari korban adalah mendapatkan ganti rugi khususnya dari pelaku sehingga dapat membantu korban untuk mengurangi deritanya (Resna, 2011). Melihat kepada statistik kasus kejahatan yang terjadi di Indonesia, khusus di Jakarta saja, berdasarkan statistik kejahatan yang dicatat oleh Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Jakarta, kasus kejahatan yang kerugian korban bersifat materil seperti pencurian biasa, pencurian kendaraan bermotor, mencapai 39,43% tahun 2007 dan 38,67% dari keseluruhan kejahatan yang terjadi pada tahun 2008. Hal ini menunjukan bahwasanya perlu perhatian khusus kepada kasus kejahatan ini, karena semakin tinggi kuantitas kejahatan, akan semakin tinggi juga jumlah korban. Berkaitan dengan kasus kejahatan yang sifatnya materil ini, bisa dikelompokkan kedalam tipologi property crime berdasarkan pengelompokan oleh FBI (Federal Bureau of Investigation) yang kemudian dalam hal ini dibatasi untuk kejahatan pencurian dan pencurian kendaraan bermotor (Reid, 1985). Ketika kejahatan yang menimpa korban adalah kejahatan harta benda dengan kerugian bersifat materil, maka ganti rugi yang dimaksud adalah pengembalian barang-barang milik korban atau pelaku mengganti sejumlah kerugian korban. Sehingga dalam kasus kejahatan yang kerugian korban dalam wujud harta benda ini, yang diharapkan oleh korban pada dasarnya adalah harta bendanya kembali, bukan masalah pemidanaannya (Zulfa, 2009). Namun, apabila sistem peradilan pidana hanya mementingkan aspek pemberian hukuman kepada pelaku dan tidak memperhatikan korban, maka hubungan yang terjadi adalah antara negara dengan pelaku (Darmono, 2011). Korban akan tetap menjadi korban ketika pelaku atas kesalahannya kemudian dipenjarakan, dan permasalahan dianggap telah selesai tanpa adanya perhatian kepada korban melalui tanggung jawab dari pelaku. Pemberian ganti rugi kepada korban merupakan salah satu wujud perhatian kepada hak-hak korban.Meskipun pada dasarnya penerapan pemberian ganti rugi dari pelaku kepada korban dan atau keluarga korban tidak bisa dengan mudah diterapkan kepada semua kejahatan (Shopia, 2011). Melihat kepada hal tersebut, maka dalam hal ini permasalahan yang diangkat adalah mengenai Bagaimanakah penerapan pemberian ganti rugi kepada korban kejahatan harta
Universitas Indonesia Pemberian ganti..., Sherly Tricia Ningsih, FISIP UI, 2013.
3
benda (pencurian dan pencurian kendaraan bermotor) oleh pelaku menurut KUHAP, dan Bagaimanakah pendapat dan pengalaman polisi dan hakim mengenai pelaksanaan restorative justice dalam hubungannya dengan ganti rugi pada kasus-kasus kejahatan harta benda.
Tinjauan Teoritis a. Restorative Justice System Berbicara mengenai restorative justice tidak terlepas dari perkembangan paradigma penghukuman. Hal ini karena sebelum mencapai pemikiran mengenai penyelesaian masalah dengan menggunakan restorative, terdapat genealogi upaya penyelesaian masalah termasuk upaya memperhatikan korban (Sunaryo. 2009). Perkembangan paradigma ini salah satunya didasarkan kepada tujuan dari adanya hukum yaitu mewujudkan keadilan kepada pihak yang bermasalah yaitunya pelaku dan korban. Selain itu, tujuan dari adanya hukum adalah untuk mengontrol tingkah laku individu, menghukum pelaku dan melindungi masyarakat (Reid, 1985). Terdapat perkembangan paradigma hukum hingga menuju restorasi atau yang lebih dikenal
dengan
restorative justice, yaitu
Retribution, Incapacitation, Detterence,
Rehabilitation,dan Restoration (Miethe dan Lu, 2005). Pada mashab Retribution ini, penghukuman yang berlaku pada masyarakat ditujukan untuk melakukan pembalasan kepada pelaku, sehingga kemudian dikenal an eye for an eye. (Carlet, 2006). Incapacitation seperti halnya retribusi, maka tujuan penghukuman bukanlah untuk memberikan efek jera kepada pelakunya. Namun, incapasitation merupakan filosofis penghukuman yang dirancang untuk mengurangi kapasitas fisik seseorang melakukan tindakan kejahatan dan penyimpangan, biasanya dilakukan dengan hukuman kurungan. Kemudian, Deterrence adalah mashab penetapan penghukuman yang lebih bertujuan untuk pencegahan. Jack Gibbs menjelaskan bahwa secara teoritis, dikatakan bahwa ketika suatu bentuk hukuman diterapkan kepada seorang pelaku, maka orang lain yang mengetahui hukuman tersebut tidak akan melakukan kejahatan yang sama karena kemungkinannya akan mendapatkan hukuman yang sama dengan pelaku sebelumnya (Miethe dan Lu, 2005). Greg Newbold dan Chris W.Eskridge menjelaskan bahwa dalam mashab Rehabilitation lebih menekankan kepada adanya upaya untuk membuat pelaku agar bisa bergabung lagi dengan masyarakatnya setelah sebelumnya telah menjadi bagian dari masyarakat penjara atau narapidana (Miethe dan Lu, 2005). Selanjutnya Restoration yang merupakan Filosofi penghukuman menurut John Braithwaite yang lebih menekankan bahwa pelanggar hukum harus bekerja untuk Universitas Indonesia Pemberian ganti..., Sherly Tricia Ningsih, FISIP UI, 2013.
4
memulihkan kembali, membayar kembali, dan membangun kembali komunitasnya dan individu yang dirugikan. Dalam melaksanakan sistem ini, maka penekanannya untuk kepuasan kepada pelaku dan terutama korban yang dirugikan. Penyelesaian perkara pidana dalam hal ini tidak menekankan kepada pembalasan dendam kepada pelaku namun lebih untuk membangun hubungan baik antara pelaku dengan korban (Terance Miethe dan Hong Lu, 2005). Istilah restorative justice pertama kalian digunakan oleh Albert Englash (1977) dalam artikelnya
yang berjudul “Van Ness and Heetderks Strong”. Meskipun belum
menjelaskan keterkaitan antara restorative justice dengan kondisi masyarakat pada saat itu, namun konsep ini berkaitan dengan teori-teori seperti peradilan informal, perhatian kepada korban, restitusi, rekonsiliasi dan sosial justice. Namun, konsep dari restorative justice sendiri oleh Braithwaite telah ada sejak sebelumnya dan bisa dilihat pada kebudayaan bangsa Arab, Yunani, Roma dan orang-orang Budha, hindu dan Kristen (Kurki, 2000). Intinya bahwa konsep restorative justice ini adalah respon yang dominan dilakukan sebelum adanya kekuasaan terpusat yang ada di pemerintah yaitu dengan mempertemukan antara pelaku dengan korban sehingga pelaku bisa bertanggung jawab misalnya dengan kesepakatan restitusi. Konsep restorative justice menurut Braithwaite dalam penelitiannya menjelaskan bahwa restorative justice ini tidak hanya memperhatikan aspek korban, keluarga korban namun juga pelaku, dan termasuk masyarakat yang berada disekitar pelaku dan korban tersebut. Restorative justice dalam hal ini dikaitkan dengan pemikiran Kriminologis dalam memandang penghukuman dan sistem peradilan pidana itu sendiri. Pemikiran mengenai restorative justice dalam hal ini tidak hanya bertujuan untuk adanya
deterrence,
rehabilitation, incapacitation dan pencegahan kejahatan, namun secara tidak lansung akan memberikan pengaruh kepada sistem peradilan pidana yang berlaku dalam suatu Negara, termasuk dalam menjalankan prinsip demokrasi. Kemunculan restorative justice oleh Zehr dijelaskan sebagai salah satu alternatif menangangi permasalahan kenakalan. Namun, dalam perkembangannya tidak dapat dipungkiri berkaitan dengan pemikiran akan penderitaan dan kerugian yang dialami oleh korban (Braithwaite, 1999). Berhubungan dengan pengembangannya tersebut, dalam deklarasi Vienna (kongres PBB ke 10 tahun 2000) salah satunya memuat usulan untuk perlindungan kepada korban kejahatan dengan mediasi dan keadilan restoratif. Hal yang sama seperti disampaikan oleh John Dussich dalam makalahnya berjudul Concepts and Forms of Victim Service juga Universitas Indonesia Pemberian ganti..., Sherly Tricia Ningsih, FISIP UI, 2013.
5
dibahas dalam The EU Council Framework Decision yang diadakan pada Maret 2001 tentang kedudukan korban dalam sistem pidana dan tanggal 24 Juli 2002 oleh Badan ECOSOC (Economic and Social Council) PBB mengenai Basic Principles of the Use of Restorative Justice Programme in Criminal Matters juga mengenai korban dan mediasi dalam upaya memenuhi dan mengurangi kerugian yang dialami oleh korban akibat kejahatan yang dilakukan pelaku (Susetyo, 2011). Consedine menjelaskan bahwasanya Restorative justice berupaya untuk mewujudkan keadilan yang menjadi landasan dari berlakunya hukum dalam suatu Negara. Lebih lanjut, Sihite (2011), menjelaskan bahwa keadilan yang dimaksud adalah kepentingan korban diperhatikan, juga pelaku, sehingga tercipta keseimbangan hak korban dengan pelaku (Sihite, 2011). Dalam konsep ini, merupakan suatu hal yang penting bahwasanya hubungan antara pelaku dan korban diperbaiki kembali (Kurki, 2000). Ketika paradigma penghukuman sebelumnya lebih menekankan kepada menangkap, memproses hingga kemudian pelaku dihukum dengan penjara, dengan restorative justice memikirkan cara agar dapat mengurangi dan mencegah terjadinya kejahatan. Di Indonesia konsep restorative justice belum menjadi popular dikalangan polri hal ini ditunjukan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh departemen Kriminologi FISIP UI dengan komisi kepolisian nasional tahun 2011, bahwa sebagian besar personel polri tidak mengenal restorative justice tersebut. Namun, bukan berarti tidak ada kasus yang diselesaikan dengan jalan mendamaikan pelaku dan korban atau penyelesaian kasus diluar pengadilan. Landasan dalam melaksanakan restorative justice bisa dilihat pada ketentuan berikut: 1. Surat Telegram Kabareskrim Polri No: ST/110/V/2011 tanggal 18 Mei 2011 tentang alternatif penyelesaian di luar pengadilan 2. Surat SDE OPS Kapolri No.Pol. B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang penanganan kasus melalui ADR (Alternative Dispute Resolution) 3. Perkap No.7 tahun 2008 tentang pedoman dasar strategi dan implementasi pemolisian masyarakat dalam penyelenggaraan tugas polri 4. Perkap 433 tahun 2007 tentang kebijakan dan strategi model berpolmasan dalam menyelenggarakan tugas polri 5. Skep kapolri nomor 737 tanggal 13 Oktober 2005 tentang polmas
Universitas Indonesia Pemberian ganti..., Sherly Tricia Ningsih, FISIP UI, 2013.
6
6. Perkap No.Pol.B/3048/X/2002 tentang pelayanan terpadu korban kekerasan teradap perempuan dan anak (Departemen Kriminologi FISIP UI dan Komisi Kepolisian Nasional, 2011). 7. Undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang kepolisian untuk kebijakan diskresi b. Viktimologi dan Pemberian Ganti Rugi Kepada Korban Pemberian ganti rugi dalam Undang-Undang mengenai perlindungan saksi dan korban pasal 13 tahun 2006 berhubungan dengan pemberian kompensasi dan restitusi. Kompensasi merupakan ganti rugi yang diberikan oleh Negara kepada korban kejahatan yang dilakukan ketika pelaku kejahatan tidak bisa memberikan ganti rugi kepada korban. Kompensasi pada dasarnya dijelaskan dengan menggunakan pendekatan kesejahteraan sosial yaitunya sebagai responsibility dan rasa kemanusiaan oleh Negara kepada korban. Dalam Undang-undang yang berlaku di Indonesia, salah satunya dalam UU nomor 26 tahun 2000 dijelaskan bahwasanya pemberian kompensasi ditujukan kepada korban dari pelanggaran HAM berat. Mengutip dari peraturan pemerintah nomor 44 tahun 2008 Bab I, Restitusi merupakan bentuk ganti rugi yang diberikan oleh pelaku kepada korban atau keluarga korban atau pihak ketiga akibat kejahatannya dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan dan penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu. Restitusi menurut Albert Eglash adalah komitmen efektif bentuk tanggung jawab pelaku kepada korban secara pidana maupun sosial. Dalam hal ini pelaku diharapkan bisa memahami situasi yang dialami oleh korban dan merasa empati (Drapkin dan Viano, 1975). Dalam pemikiran Kriminologi kontemporer, pemberian restitusi dari pelaku kepada korban dinyatakan bisa mengurangi kegelisahan dan rasa bersalah bagi pelaku sehingga bisa menjadi penjeraan untuk tidak mengulangi perbuatannya kembali. Selain itu, dengan harapan telah menjalin hubungan baik dengan korban, pelaku dapat merasa percaya diri untuk kembali berinteraksi kedalam masyarakatnya. Perhatian kepada korban dan perlindungan akan hak-hak korban menjadi kajian dari viktimologi. Pelaksanaan restitusi menjadi salah satu pemikiran dari viktimologi yang dalam pelaksanaannya memberikan beberapa pemanfaatan (Karmen, 2001) sebagai berikut: 1. Restitution as a Means of Repaying Victims Restitusi ditujukan agar korban mendapatkan ganti rugi atas kerugian yang dialami, baik kerugian biaya dalam proses menjadi korban juga akan kerugian waktu yang dialami. Universitas Indonesia Pemberian ganti..., Sherly Tricia Ningsih, FISIP UI, 2013.
7
Pelaku kejahatan harus mengembalikan atau mengganti kerugian korban dalam bentuk materil untuk kejahatan properti dan juga membantu meringankan kerugian korban dalam bentuk penderitaan psikis dan fisik dengan pengobatan medis dan terapi psikologis. Hal ini dijelaskan oleh Barnett (1977) dan McDonald (1978) sesuai dengan landasan munculnya pemikiran restitusi yaitu untuk membantu korban, kemudian dengan adanya sistem peradilan pidana yang memperkecil peran keterlibatan korban, sehingga korban yang mau bekerja sama dengan pihak penegak hukum harus diupayakan mendapatkan ganti rugi dari pelaku (Karmen, 2001). Pemberian ganti rugi kepada korban harus diberikan secepat mungkin, karena semakin lama, akan semakin banyak biaya yang dikeluarkan korban. 2. Restitution as a Means of Rehabilitating Offenders Menurut Keve (1978), Pelaku dengan memberikan ganti rugi kepada korban diharapkan menyadari dan mengakui bahwa tindakan kejahatan yang dilakukannya merupakan hal yang salah dan memberikan dampak yang merugikan dan tidak menyenangkan kepada korban (Karmen, 2001). Selain itu, pelaku bisa dibantu untuk dibersihkan dari perasaan bersalah
berkelanjutan
sehingga
bisa
diterima
kembali
kedalam
lingkungan
masyarakatnya. Dengan adanya restitusi dalam bentuk kerja sosial, maka dalam hal ini pelaku belajar untuk bersosialisasi dengan masyarakat, juga melatih untuk bisa berkelakuan baik, dan memiliki disiplin yang baik untuk bisa mematuhi norma dan aturan, termasuk norma hukum. Kecenderungan pelaku untuk merendahkan bahkan tidak peduli dengan derita korban, melalui restitusi diharapkan pelaku merasakan derita korban. Sehingga menurut McKnight (1981) kepekaan pelaku akan derita yang dialami korban dalam hal ini bisa diwujudkan dengan penerapan restitusi (Karmen, 2001). 3. Restitution as a Means of Reconciling Offenders and Their Victims Restitusi dalam hal ini menjadi salah satu media untuk memperbaiki hubungan antara pelaku dengan korban. Pemikiran ini dikarenakan ketika pelaku memberikan ganti rugi kepada korban, maka akan memberikan kesempatan kepada pelaku untuk mengurangi rasa bersalah dan keadaan penuh tekanan juga kesempatan agar pelaku dan korban bisa bertemu lansung. Pertemuan secara lansung dan juga adanya musyawarah antara kedua pihak akan mendorong munculnya perdamaian diantara keduanya (Karmen, 2001). 4. Restitution as a Means of Punishing Offenders
Universitas Indonesia Pemberian ganti..., Sherly Tricia Ningsih, FISIP UI, 2013.
8
Selain restitusi menjadi media untuk rekonsiliasi antara pelaku dengan korban, maka restitusi menurut Schafer (1977) dan Title (1978) bisa menjadi salah satu bentuk pidana alternatif kepada pelaku dan bisa memberikan penjeraan kepada pelaku (Karmen, 2001). Ketika hukuman pidana penjara mengambil alih akan pemberian ganti rugi kepada korban, rehabilitasi kepada pelaku dan keharmonisan kepada masyarakat, maka dengan adanya restitusi sebagai pidana alternatif dapat kembali mewujudkan hak dan kepentingan korban, pelaku dan masyarakat tersebut. Hal serupa juga diungkapkan oleh Stephen Schafer dan Albert Eglash bahwasanya selain restitusi merupakan bentuk pemenuhan hak korban dengan membayar ganti rugi, maka juga memberikan kebermanfaatan kepada pelaku. Artinya menjadi suatu bentuk rehabilitasi bagi pelaku dan mengurangi rasa bersalah pelaku yang bisa membawa dampak kepada labeling kepada diri sendiri dan melakukan kejahatan lainnya (Drapkin dan Viano, 1975).
Metode Penelitian Penelitian mengenai pemberian ganti rugi kepada korban kejahatan harta benda ini dilakukan dengan mengutamakan pendekatan kualitatif yang memiliki prosedur yang lebih beragam dibandingkan dengan penelitian dengan metode kuantitif. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan wawancara mendalam dan studi pustakadengan meggunakan informasi-informasi dari literatur yang relevan seperti buku-buku, jurnal, media massa, catatan kuliah, dan situs internet yang memuat data yang sesuai dengan permasalahan penelitian ini, dengan pertimbangan bahwa penelitian ini bersifat deskriptif (Creswell, 2010). Wawancara dalam metode penelitian kualitatif ini ditujukan untuk mendapatkan informasi secara mendalam dari informan, sehingga bisa memberikan informasi sesuai dengan tema penelitian yang dilakukan oleh peneliti (Barbout dan Schodtak, 2005). Kaufman (1986) menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan wawancara mendalam ini, maka hubungan yang tercipta bukan antara peneliti dengan subjek penelitian, namun berbentuk diskusi sehingga informan banyak memberikan penjelasan (Bachman dan Schutt, 2003). Informan dalam metode wawancara mendalam ini disampaikan Kvale (1996), Rubin dan Rubin (1995), Walcott (1995) diharapkan mampu lebih aktif dan banyak berbicara sedangkan peneliti harus mampu menyimak dan memberikan tanggapan atas pernyataan informan tersebut sehingga informasi yang didapatkan lebih mendalam (Bachman dan Schutt, 2003). Selain itu, dengan
Universitas Indonesia Pemberian ganti..., Sherly Tricia Ningsih, FISIP UI, 2013.
9
menggunakan pendekatan kualitatif ini, maka penelitian juga akan dilakukan dengan tipe penelitian analitik, artinya tipe penelitian yang membuat setiap peneliti untuk dapat beragumen dengan bebas dan terbuka selama sesuai dengan kaidah analitik yang digunakan dan fokus kepada permasalahan sebagai alat ukur dan batasannya (Neuman, 2003). Selain itu, penelitian ini bersifat unobstrusive yaitu historical comparative research, dengan melihat dari pendekatan sejarah dalam penjabarannya untuk mengkaji peristiwa berdasarkan kesinambungan waktu dari masa lalu hingga masa sekarang.
Peneliti melakukan wawancara dengan petugas kepolisian terkait dengan pelaksanaan restorative justice khususnya pada kasus kejahatan properti yaitunya kasus pencurian dan pencurian kendaraan bermotor. Selain itu, peneliti juga melakukan wawancara dengan tiga hakim yang mengerti mengenai permasalahan ini dan berpengalaman dalam menyelesaikan kasus seperti yang diangkat dalam penelitian ini. Wawancara yang dilakukan adalah wawancara tidak terstruktur dengan beberapa pertanyaan yang menjadi instrumen penelitian.
Analisis 1. Ganti Rugi Oleh Pelaku Kepada Korban Kejahatan Harta Benda (Pencurian dan Pencurian Kendaraan Bermotor) menurut KUHAP Perkembangan paradigma mengenai posisi korban dalam terjadinya kejahatan sebagai pihak yang dirugikan telah diakui oleh ilmuan, terlebih yang memahami viktimologi. Indonesia melalui lembaga hukumnya termasuk kedalam salah satu Negara yang memberikan perhatian kepada korban melalui perundang-undangan yang berlaku. Mengacu kepada hal ini, maka ketika muncul pertanyaan kepada penegak hukum, pentingkah ada perhatian untuk korban kejahatan, maka jawabannya adalah penting. Namun yang menjadi permasalahan adalah praktiknya dalam sistem hukum yang berlaku. Kajian viktimologi memberikan pandangan yang lebih luas mengenai kedudukan korban dalam terjadinya kejahatan termasuk kepada hak-hak yang dimiliki oleh korban. Hal ini kemudian dijelaskan Sihite (2011) bahwa keseimbangan antara hak korban dan pelaku dalam sistem peradilan pidana adalah hal yang penting untuk diupayakan, terutama oleh penegak hukum (Sihite, 2011). Termasuk dalam pengertian keadilan kepada korban ini salah satunya adalah hak untuk mendapatkan ganti rugi. Namun, dalam fakta yang terjadi dilapangan bahwa korban tidak jarang menanggung sendiri kerugian yang dialaminya. Bahkan pemberian ganti rugi kepada korban dalam kasus property crime dengan kerugian materil yaitunya pencurian dan pencurian kendaraan bermotor ini merupakan hal yang jarang terjadi. Universitas Indonesia Pemberian ganti..., Sherly Tricia Ningsih, FISIP UI, 2013.
10
Meskipun pada dasarnya pemberian ganti rugi kepada korban kejahatan harta benda ini bisa dilakukan dan terdapat undang-undang yang melandasinya, yaitu penggabungan perkara pasal 98 KUHAP. Didalam pasal ini disebutkan bahwasanya ketika dalam suatu kejahatan menimbulkan kerugian lain, maka tuntutan atas kerugian bisa digabungkan dengan tuntutan atas kejahatan tersebut. Memang dalam pasal 98 KUHAP ini sendiri tidak ada penjelasan mengenai prosedur pelaksanaan ganti rugi oleh korban ini. Oleh karenanya, dalam pelaksanaannya akan menuntut adanya sensitivitas dari aparat penegak hukum terutama dalam hal ini adalah hakim di pengadilan sebagai pelaksana dari undang-undang ini. Sensitivitas ini dapat dibangun dengan adanya kesadaran tentang urgensi pemberian ganti rugi kepada korban atas kerugian yang dialami oleh korban yang dalam hal ini dicoba dijelaskan oleh Gosita (1993) dalam pemahaman viktimologi. Dalam faktanya dilapangan, wujud sensitivitas terhadap korban property crime ini tidak banyak yang bisa dilakukan oleh pihak penegak hukum. Lain halnya dengan aparat kepolisian yang memang tidak memiliki kewenangan untuk memberikan jaminan kepada korban untuk mendapatkan ganti kerugian, maka jaminan yang bisa diberikan adalah pengupayaan korban mendapatkan keadilan. Berdasarkan hasil wawancara, maka menurut pemahaman dari polisi, bahwa wujud sensitivitas yang bisa ditunjukan kepada korban dengan kerugian materil ini adalah kasus yang menimpa korban tersebut dilanjutkan ke tingkat pengadilan, bukan ganti rugi. Meskipun dalam prakteknya ada penegak hukum yang jarang atau bahkan tidak pernah menemui pemberian ganti rugi kepada korban, namun perhatian kepada hak-hak korban ini mulai disadari oleh beberapa aparat penegak hukum. Dijelaskan oleh informan yaitunya polisi bahwa perlu memberikan perhatian kepada hak korban, sehingga tercipta keseimbangan antara hak korban dan hak tersangka. Harapannya adalah adanya undangundang atau peraturan yang memberikan naungan hukum yang jelas mengenai prosedur memperhatikan hak-hak korban termasuk mendapatkan ganti rugi ini. Kesadaran akan pentingnya pemberian ganti rugi kepada korban ini telah dicantumkan dalam RUU KUHAP tahun 2008, hanya saja belum ada tindak lanjut dan pengesahan hingga sekarang. Adanya kesadaran akan pentingnya kedudukan korban dalam sistem peradilan ini merupakan hal yang sangat penting. Sehingga wacana dibuatnya Undang-undang yang memberikan peraturan yang jelas mengenai perlindungan kepada hak korban ini merupakan suatu hal yang perlu diwujudkan.
Universitas Indonesia Pemberian ganti..., Sherly Tricia Ningsih, FISIP UI, 2013.
11
Lebih lanjut, studi viktimologi mengenai pemberian ganti rugi kepada korban ini juga terkait dengan keinginan korban untuk memberikan laporannya kepada aparat penegak hukum. Ketika kecenderungan yang terjadi bahwa korban dari property crime yang dalam hal ini adalah pencurian ringan dan pencurian kendaraan bermotor tidak mendapatkan ganti rugi meskipun telah melalui sistem peradilan pidana yang berujung hanya kepada penghukuman pelaku, maka kedepannya korban lainnya akan berfikir panjang untuk melaporkan kepada aparat penegak hukum. Pandangan seperti ini kemudian dijelaskan melalui beberapa penelitian seperti yang dilakukan oleh Greenberg dan Beach (2004) yang menunjukan keengganan masyarakat untuk melaporkan kepada polisi karena pada akhirnya juga tidak mendapatkan harta bendanya kembali atau ganti rugi. Walaupun pada dasarnya perlu pemahaman bahwa viktimisasi memberikan akibat yang beruntun dan memberikan akibat negatif kepada korban sehingga kepentingan korban perlu diperhatikan (Gosita, 1993). Namun ketika korban diabaikan dan property crime ini dikecilkan, maka akan muncul pembiaran kepada pelaku. Korban merasa keberatan untuk melaporkan kepada aparat penegak hukum dikarenakan tidak ada kegunaan dan manfaat yang diterima korban, bahkan bisa mengalami kerugian yang lebih besar dibandingkan dengan nilai kerugian yang dialaminya akibat dari kejahatan yang dideritanya (Boven, 2000). Sehingga, bagi pelaku sendiri tidak menutup kemungkinan untuk melakukan kejahatannya kembali karena tidak ada penjeraan yang diterimanya terutama apabila tidak ada laporan dari korban. Semakin lama hal ini dibiarkan, maka dengan sendirinya upaya penegakan hukum oleh Negara bisa semakin melemah dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan aparat hukum akan semakin berkurang. G.P. Hoefnagels menyatakan bahwasanya sistem peradilan pidana yang tidak memenuhi kebutuhan korban serta proses peradilan pidana yang kemudian menghabiskan biaya yang tidak sedikit serta waktu yang lama akan menimbulkan kekecewaan pada korban (Kaligis, 2012). Sehingga Braithwaite menjelaskan bahwa korban perlu diperhatikan terutama kerugian yang dideritanya. Restorative justice dilakukan untuk mewujudkan terpenuhinya hak korban yang salah satunya adalah kesepakatan untuk memberikan restitusi atau ganti kerugian kepada korban (Braithwaite, 1999). Dalam pemikiran restorative justice, maka terdapat beberapa hal pokok yang harus diperhatikan yaitu pertemuan, mediasi, perdamaian, pertanggungjawaban, ganti rugi dan pemulihan. Proses pemberian ganti rugi kepada korban apabila menggunakan prinsip Universitas Indonesia Pemberian ganti..., Sherly Tricia Ningsih, FISIP UI, 2013.
12
restorative justice sebaiknya dilakukan ketika kasus kejahatan masih dalam tahap penyidikan di kepolisian. Karena dalam hal penghentian penyidikan, maka kepolisian dengan kewenangan diskresinyalah yang bisa melakukannya. Namun, berdasarkan hasil penelitian di lapangan dijelaskan bahwasanya polisi berada diluar dari proses perdamaian tersebut. Hal ini disampaikan oleh informan “WM” bahwasanya tugas polisi bukanlah untuk mendamaikan antara pelaku dengan korban, namun adalah membuat terang suatu permasalahan pidana dan mengumpulkan bukti-bukti untuk menindaklanjuti permasalahan tersebut. Sehingga proses mediasi yang terdapat dalam restorative justice tidak dilakukan lansung oleh polisi, sehingga perannya berada dari luar proses tersebut. Polisi bertugas menjalankan kewajibannya sesuai dengan undang-undang dan kode etik yang mengaturnya, sehingga menurut penjelasan dari informan tersebut, ketika polisi berperan sebagai mediator, maka ini bisa menyalahi kewenangan yang dimiliki oleh polisi. Polisi dalam hal ini karena telah menerima laporan kasus sehingga dengan demikian telah ada kaitannya dengan polisi. Mediator yang disarankan yaitu tokoh masyarakat, ketua RT, RW, pemuka agama dan lainnya. Hal ini sesuai dengan keterlibatan unsur masyarakat yang dinilai penting didalam proses restorative justice yang didalamnya terdapat perundingan atau mediasi ini (Zulfa, 2011). Melalui upaya penyelesaian dengan restorative justice diluar pengadilan ini, harapannya dapat membantu pelaku untuk memberikan ganti rugi secara lansung kepada korban. Meskipun mengacu kepada prinsip restorative justice hal yang paling utama adalah pemulihan dan perbaikan hubungan pelaku dengan korban, namun dalam prosesnya tidak menutup kemungkinan tuntutan korban mengenai ganti rugi dapat dibayarkan oleh pelaku. Hal ini bisa dilakukan dengan pertemuan antara pihak korban dengan pelaku hingga kemudian dilakukannya mediasi hingga perdamaian dengan kesepakatan pelaku memberikan ganti rugi kepada korban (Wenzel, et al. 2008). Namun, terdapat dilematis kepada aparat penegak hukum, terutama mengenai manfaat penyelesaian kasus dengan restorative justice yang memuat adanya mediasi dan perkara diselesaikan dengan hukum adat. Sehingga, dalam penelitian yang dilakukan diketahui bahwa tidak semua aparat penegak hukum yang dalam hal ini adalah polisi khususnya penyidik yang berpendapat bahwa kasus kejahatan pencurian dan pencurian kendaraan bermotor ini dapat dihentikan begitu saja. Hakim dalam memberikan putusan dipengadilan tergantung kepada sejumlah tuntutan dan fakta-fakta yang dihadirkan dipersidangan. Ketika dalam persidangan diketahui Universitas Indonesia Pemberian ganti..., Sherly Tricia Ningsih, FISIP UI, 2013.
13
bahwa harta benda milik korban masih ada pada pelaku, maka hakim memberikan putusan bahwa harta benda tersebut dikembalikan kepada korban lansung oleh pelaku. Ketika harta benda tersebut tidak ada lagi pada pelaku seperti telah dijual, dan ada tuntutan dari korban untuk mendapatkan ganti rugi, hakim akan mempertimbangkan dikabulkannya tuntutan korban. Berlandaskan kepada undang-undang yang berlaku di Indonesia saat ini, seperti yang telah disinggung sebelumnya pemberian ganti rugi dipengadilan dilaksanakan dengan penggabungan perkara. Penggabungan perkara ini maksudnya adalah tuntutan akan tindakan pidana yang dilakukan oleh pelaku disertai dengan tuntutan untuk membayarkan ganti rugi kepada korban akibat tindakan pidana pelaku seperti yang terdapat dalam pasal 98 KUHAP. 6.1 Mekanisme Penggabungan Perkara Kasus Pencurian dan Pencurian Kendaraan Bermotor untuk Mendapatkan Ganti Rugi
Kepolisian
:
penerimaan
laporan
(penyelidikan
dan
Pengajuan
penyidikan)
tuntutan
ganti
Kejaksaan : Pemeriksaan berkas hasil penyelidikan dan
rugi
oleh korban
penyidikan kemudian mengajukan tuntutan
Pengadilan : Hakim melakukan pemeriksaan berdasarkan berkas
dari
jaksa,
pemeriksaan
dipengadilan
dan
memberikan putusan sesuai dengan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) dan fakta di persidangan
Lembaga Permasyarakatan
(Diolah dari hasil wawancara dengan wawancara dengan “AI”, hakim, 27 November 2012) 2. Kendala Pelaksanaan Pemberian Ganti Rugi Oleh Pelaku Kepada Korban Kasus Kejahatan Harta Benda (Pencurian dan Pencurian Kendaraan Bermotor) dalam Praktik di Indonesia Universitas Indonesia Pemberian ganti..., Sherly Tricia Ningsih, FISIP UI, 2013.
14
Kendala pertama bahwa tidak semua pelaku memiliki inisiatif untuk meminta adanya perundingan, dan tidak semua korban juga yang menyetujui untuk penyelesaian kasus dengan adanya perundingan tersebut. Ketika korban tidak menyetujui adanya perundingan dan mediasi serta lebih memilih untuk mendapatkan ganti kerugian di pengadilan, maka restorative justice tidak bisa dilaksanakan. Polisi tidak bisa memaksakan kepada para pihak baik korban atau pelaku untuk melakukan perdamaian agar kasus dihentikan, karena tugas dari polisi adalah mewujudkan keadilan dengan memproses kasus sesuai dengan aturan. Ketika yang adil menurut korban, kasus dilanjutkan ke pengadilan dan mendapatkan ganti rugi melalui proses peradilan pidana, maka polisi harus melayani korban sesuai dengan tuntutannya. Kendalanya lainnya bahwa di Indonesia belum ada undang-undang yang secara jelas dan tegas mengatur mengenai pelaksanaan restorative justice ini. Untuk kasus pencurian kendaraan bermotor, polisi memiliki tantangan tersendiri dibandingkan dengan kasus pencurian ringan. Hal ini dikarenakan nilai kerugian dari kejahatan pencurian kendaraan bermotor yang tinggi sehingga kejahatan ini tidak termasuk dalam kategori tindak pidana ringan. Ketika polisi dan penyidik menerapkan restorative justice, dikhawatirkan terdapat pelanggaran terhadap kode etik profesi. Meskipun hal tersebut kembali kepada alasan penyidik untuk melakukan restorative justice tersebut dinilai tepat atau tidak, atau demi kepentingan umum yang lebih besar. Sehingga bisa dikatakan ketidakjelasan undang-undang ini memberikan dampak kepada polisi dan penyidik untuk menerapkan restorative justice dalam penyelesaian kasus termasuk dalam kasus pencurian dan pencurian kendaraan bermotor. Adapun beberapa dampaknya adalah sebagai berikut: 1. Kegamangan penyidik untuk menerapkan restorative justice dan memberikan putusan penghentian penyidikan 2. Pemahaman yang tidak sama mengenai restorative justice 3. Ketidakjelasan prosedur yang memungkinkan terjadinya penyimpangan sehingga bisa mengarah kepada pelanggaran kode etik profesi Begitu juga dalam kasus pencurian ringan ataupun pencurian kendaraan bermotor bahwa tidak adanya tuntutan ganti rugi yang diajukan oleh korban menjadi kendala bagi hakim untuk memberikan putusan ganti rugi. Hal ini karena hakim tidak bisa memberikan putusan untuk pelaku memberikan ganti rugi kepada korban. Hakim tidak memiliki
Universitas Indonesia Pemberian ganti..., Sherly Tricia Ningsih, FISIP UI, 2013.
15
kewenangan untuk memberikan kewajiban kepada pelaku untuk menyerahkan ganti kerugian kepada korban, melebihi apa yang dituntutkan oleh korban dalam berkas yang sampai di tingkat pengadilan. Kecuali dalam hal ini bahwa harta benda milik korban masih ada pada pelaku, maka hal ini tidak menjadi permasalahan karena hakim dengan undang-undang memiliki kewenangan untuk meminta pelaku mengembalikan kepada korban. Tuntutan dari korban untuk mendapatkan ganti rugi dari pelaku merupakan hak korban yang boleh digunakan atau tidak digunakan oleh korban tersebut. Kendala berikutnya adalah ketika korban mengajukan tuntutan untuk mendapatkan ganti rugi, namun tidak bisa memberikan bukti yang jelas mengenai jumlah kerugian yang nyata diderita korban. Ketika hakim menyadari bahwa korban mengalami kerugian atas kejahatan pencurian dan pencurian yang dideritanya, namun disatu sisi pasal 98 KUHAP menyatakan dengan jelas bahwa kerugian yang bisa diganti adalah kerugian nyata yang bisa dibuktikan.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dibahas dalam bab sebelumnya mengenai pemberian ganti rugi oleh pelaku kepada korban kejahatan harta benda (pencurian dan pencurian kendaraan bermotor) maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Pada prakteknya pelaksanaan pemberian ganti rugi kepada korban kejahatan harta
benda berdasarkan ketentuan dalam pasal 98 KUHAP belum banyak yang dilaksanakan oleh hakim karena pertimbangan-pertimbangan tertentu seperti kondisi ekonomi pelaku, prosedur tuntutan ganti rugi dan terutama karena tidak adanya undang-undang yang menjelaskan prosedur ganti rugi kepada korban secara jelas. Namun demikian dalam prakteknya, untuk pengembalian barang bukti kejahatan kepada korban bisa dilaksanakan tanpa korban harus mengajukan tuntutan pengembalian harta bendanya.
2. Dalam pendapat dan pengalaman polisi dan hakim pelaksanaan pemberian ganti rugi kepada korban kejahatan harta benda khususnya pencurian dan pencurian kendaraan bermotor bisa dilakukan melalui restorative justice diluar pengadilan dan melalui keputusan hakim dipengadilan. Namun, hal ini perlu diluruskan karena prinsip restorative justice diselesaikan dengan hukum adat dimasyarakat, tidak melibatkan sistem peradilan pidana. Sehingga, mengacu kepada peraturan perundang-undangan Universitas Indonesia Pemberian ganti..., Sherly Tricia Ningsih, FISIP UI, 2013.
16
yang berlaku di Indonesia, belum bisa dihubungkan antara ganti rugi dengan prinsip restorative justice. Hal ini bisa dijelaskan dengan melihat peran polisi dalam restorative justice adalah menyarankan dilakukan perdamaian, tapi tidak bisa memaksakan adanya ganti rugi kepada korban. Saran Melihat kepada permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan pemberian ganti rugi oleh pelaku kepada korban property crime (pencurian dan pencurian kendaraan bermotor) tersebut, maka berikut adalah rekomendasi masukan yang sekiranya bias diterapkan: 1. Sensitivitas kepada korban harus dimiliki terutama aparat penegak hukum yang dalam hal ini adalah polisi sebagai garda terdepan dalam penegakan hukum hingga kasus sampai ke hakim di pengadilan. Perlunya perubahan paradigma hukum untuk lebih memperhatikan hak-hak yang dimiliki oleh korban, sehingga tidak hanya offender center namun juga victim center. Sehinggga pemahaman viktimologi mutlak perlu untuk penegak hukum terutama mengenai hak-hak yang dimiliki oleh korban dalam sistem peradilan pidana. 2. Diperlukan Undang-undang sebagai payung hukum yang jelas dalam penerapan pemberian ganti rugi kepada korban kejahatan harta benda ini termasuk pertimbangan pelaksanaan dengan upaya restorative justice. Begitu juga dengan pemberian ganti rugi dengan menggabungkan perkara, maka pasal 98 KUHAP harus lebih diperjelas, sehingga memiliki ketetapan hukum yang jelas dan keseragaman pemahaman hakim. Dalam pembahasannya juga perlu dipertimbangkan hingga menanggapi permasalahan bahwasanya kemungkinan pelaku tidak sanggup memberikan pembayaran ganti rugi, maka harus ada kebijakan dari Negara menanggapi kerugian korban tersebut, misalnya dalam bentuk kompensasi atau dalam bentuk kebijakan yang diatur dalam RUU KUHAP tahun 2008 yang hingga kini masih belum disahkan. Termasuk dalam hal ini diperlukannya kerja sama pihak terkait untuk mendukung terlaksananya pemberian ganti rugi oleh pelaku kepada korban kejahatan harta benda (pencurian dan pencurian kendaraan bermotor), yaitu pelaku, korban, masyarakat dan aparat hukum.
Kepustakaan 1. Buku A.Adjis, Chairil & Dudi Akasyah. Tinjauan Kriminologi Dari Sudut Pandang Syariah. Jakarta: ICRI (Indonesian Crime Research Institute), 2004.
Universitas Indonesia Pemberian ganti..., Sherly Tricia Ningsih, FISIP UI, 2013.
17
Anwar, Yesmil dan Adang. Sistem Peradilan Pidana; Konsep, Komponen, dan Penegakan Hukum di Indonesia. Bandung: Widya Padjajaran, 2009. Asmawi, M.Hanafi. Ganti rugi dan rehabilitasi. Jakarta: PT.Pradnya Paramita, 1985. Atmasasmita, Ramli. Teori dan Kapita Selekta Kriminologi. Bandung: Refika Aditama, 2005. Bachman, Ronet dan Russell K.Schutt. The Practice of Research in Criminology and Criminal Justice (2th ed). California: Pine Forge Press, 2003. Barbour, Rosaline S dan John Schostak. Interviewing and Focus Group dalam Somekh, Bridget dan Cathy Lewin (ed) Research Methods in the Social Sciences. London : Sage Publications, 2005). Barda Nawawi, Arief. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998. Boven, Theo Van. Mereka yang menjadi korban: hak korban untuk restitusi, kompensasi, dan rehabilitasi. Jakarta : Elsam, 2000. Creswell, John W. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitif, dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Departemen Kriminologi FISIP UI dengan Komisi Kepolisian Nasional. Upaya POLRI Untuk Mengurangi Volume Penumpukan Perkara di Pengadilan Melalui Restorative Justice. Jakarta, 2011 Drapkin, Israel dan Emilio Viano. Victimology. London : Lexington Books, 1975. Europan Forum for victim services. Statement of victims’ rights to standards of service. London: United Kingdom, 1998. Gosita, Arif. Masalah Korban Kejahatan. Jakarta: Akademik Pressindo, 1993. __________. Viktimologi dan KUHAP: yang mengatur ganti kerugian pihak korban. Jakarta: Akademika persindo, 1987. Hamzah, Adi. KUHP & KUHAP edisi Revisi 2008. Jakarta: Rineka Cipta, 2007. Karmen, Andrew. Crime Victims an Introduction to Viktimology (4th ed). United States of America : Wadswordth, 2001. Lanier, Mark M dan Henry, Stuart. Essential Criminology (2th ed). Colorado: Westvie, 2004. Marpaung, Leden. Proses Ganti Kerugian dan Rehabilitasi Dalam Hukum Pidana. Jakarta : PT. Raja Grafindo Prasada, 1997. Marsh, Ian, et.,al. Theories of Crime. London and New york : Routledge Taylor &Francis Group, 2006.
Universitas Indonesia Pemberian ganti..., Sherly Tricia Ningsih, FISIP UI, 2013.
18
M.Arif Manshur, Didik dan Elisatris Gultom. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006. Miller, J.Mitchell. 21st Century criminology: A Reference Handbook. Los Angeles: A Sage Reference Publication, 2009. Moeljatno. Azas-Azas Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara, 1987. Mustofa, Muhammad. Kriminologi: Kajian Sosiologi Terhadap Kriminalitas, Perilaku Menyimpang dan Pelanggaran Hukum. Bekasi: Sari Ilmu Pratama, 2010. Neuman, W.Lawrence. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches Relevance of Social Research. Boston: Allyn and Bacon, 2003. Newburn, Tim. Criminology. London: Willan Publishing. 2007. Nitibaskara, Ronny. Catatan Kriminalitas. Jakarta: Jayabaya University Press, 1999. O’Brieb,Martin dan Majir Yar. Criminology; The Key Concepts. London and Newyork: Routledge Taylor &Francis Group, 2008. Paul, Rock. On Becoming A Victim; New Visions of Crime Victims. United Kingdon: University of Oxford,Centre for Criminological Research, 2002. Prakoso, Djoko. Masalah Ganti Rugi Dalam KUHAP. Jakarta: Bina Aksara, 1998. Reid, Sue Titus. Crime and Criminology. New York.CBS College Publishing, 1985. Sahetapy, J.E. Pisau Analisa Kriminologi. Surabaya: Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 1983. Sholehuddin. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Trouble Track System & Implementasinya. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2003. Shopia, Maharani Siti. Perlindungan Korban Kejahatan Dalam Perspektif Keadilan Restoratif dalam Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Perlindungan. Jurnal Saksi dan Korban Urgensi Peningkatan Peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Jakarta: Humas, Diseminasi dan Hukum, 2011. Sibarani, et.,al. Antara Kekuasaan dan Profesionalisme; Menuju Kemandirian Polri. Jakarta: Dharmapena Multimedia, 2001. Sihite, Romany. Kedudukan dan Hak-Hak Korban Dalam Tata Peradilan Pidana Dalam Adrianus Meliala (Ed). Reparasi dan Kompensasi Korban Dalam Restorative Justice System. Jakarta : Departemen Krimonologi FISIP UI dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, 2011. Soeparman, Parman. Kepentingan Korban Tindak Pidana Dilihat Dari Sudut Viktimologi, Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun XXII No. 260. Juli, 2007, (www.edu-‐ doc.com/ebook/soeparman.html)
Sudarto. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Penerbit Alumni, 1983.
Universitas Indonesia Pemberian ganti..., Sherly Tricia Ningsih, FISIP UI, 2013.
19
Sunaryo, Thomas. Buku Modul Mata Kuliah Akademi Ilmu Permasyarakatan: Penologi. Jakarta : Departemen Hukum dan HAM RI Badan Pengambangan Sumber Daya Manusia Hukum dan HAM, Akademi Ilmu Pemasyarakatan, 2009. Susetyo, Heru. Peningkatan Peran Negara dalam Perlindungan Korban dalam Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Perlindungan. Jurnal Saksi dan Korban Urgensi Peningkatan Peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Jakarta: Humas, Diseminasi dan Hukum, 2011. Topo, Santoso dan Eva Achjani Zulfa. Kriminologi. Jakarta: Rajawali Pers, 2001. Walklate, Sandra. Criminology: the basics. London and Newyork: Routledge Taylor &Francis Group, 2005. _______________Understanding criminology: current theoretical debates. Buckingham: Open University Press, 2003. Wemmers, Jo-Anne.M. Victim in the Criminal Justice system. Newyork: Kugler Publications, 1996 Wolhuter, Lorraine., Neil Olley, dan David Denham. Victimology: Victimisation and Victim’s Right. London: Roudledge. Yulia, Resna. Pemulihan Kerugian Korban Tindak Pidana; Kajian penerapan Restitusi dalam Sistem Peradilan Pidana. Alfi Rahmadi (Editor). Urgensi Perlindungan Korban. Jakarta: Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. 2011. Zulfa, Eva Achjni. Keadilan Restorative di Indonesia. Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2009.
2. Jurnal Internasional Doak, Jonathan. “Victims' Rights in Criminal Trials: Prospects for Participation”. Journal of Law and Society 32:2 (2005): 294-316. Fletcher, George P. “The Place of Victims in the Theory of Retribution”. Buffalo Criminal Law Review 3:1 (1999): 51-63. Greenberg, Martin S. and Scott R. Beach. “Property Crime Victims' Decision to Notify the Police: Social, Cognitive, and Affective Determinants”. Law and Human Behavior 28:2 (2004): 177-186. Klimchuk, Dennis. “Retribution, Restitution and Revenge”. Law and Philosophy 20:1 (2001): 81-101 Kull, Andrew. “Rationalizing Restitution”. California Law Review 83:5 (1995): 11911242. Moore, Michael. “Victims and Retribution: A Reply to Professor Fletcher”. Criminal Law Review 3:1 (1999): 65-89.
Buffalo
Universitas Indonesia Pemberian ganti..., Sherly Tricia Ningsih, FISIP UI, 2013.
20
Orth, Uli. “Punishment Goals of Crime Victims.” Law and Human Behavior 27: 2 (2003): 173-186. Ruback, Barry and Jennifer N. Shaffer. “The Role of Victim-Related Factors in Victim Restitution: A Multi-Method Analysis of Restitution in Pennsylvania.” Law and Human Behavior 29:6 (2005): 657-681. Walther, Susanne. “Victims' Rights in the German Court System.” Federal Sentencing Reporter, 19: 2 (2008): 113-118. Wenzel, Michael, et al., ed.. “Restributive and Restorative Justice”. Law and Human Behavior 32: 5 (2008): 375-389.
3. Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) 2008 Undang-Undang nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004 Peraturan pemerintah nomor 2 tahun 2002 tentang kepolisian untuk kebijakan diskresi
4. Internet Chazizah Gusnita. (2012, Februari). Detiknews. Ini Dia Lapas Overcapacity di Indonesia. (26 Februari 2012) http://news.detik.com/read/2012/02/22/174252/1849331/10/inidia-lapas-overcapacity-di-indonesia?nd992203605 E Mei Amelia R. (2012, Desember). Detiknews. 2013 Polres Tanggerang Tingkatkan Keamanan di Lokasi Rawan Kejahatan (30 Desember 2012) http://news.detik.com/read/2012/12/30/095258/2129681/10/2013-polres-tangerangtingkatkan-keamanan-di-lokasi-rawan-kejahatan?nd771104bcj Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Daftar Putusan Pidana. http://pn jakartapusat.go.id/ Akses tanggal 10 Oktober 2012.
5. Bacaan Lainnya Skripsi: Muhammad Faiq. Kajian Terhadap Peran Korban (Victim) Dalam Tindak Pidana Pencurian Ditinjau Dari Viktimologi (Studi Di Pengadilan Negeri Surakarta). 2010. Skripsi: Early Innova. Masalah Pencurian di Pasar Swalayan di Jakarta: Studi Kasus Pada Gelael Pasar Tradisional. Jakarta. Kriminologi FISIP UI. 1994. Skripsi: Roberto Hasiholan Simanjuntak. Penerapan Pidana Bersyarat menurut Sistem Pemidanaan Indonesia. Fakultas Hukum UI. 2010.
Universitas Indonesia Pemberian ganti..., Sherly Tricia Ningsih, FISIP UI, 2013.