PERLINDUNGAN HUKUM KORBAN KEJAHATAN
( SUATUTELAAH DESKRIPTIF) Oleh : Winarno Budyatmojo I.
Pendahuluan
Suatu kenyataan bahwa tidak ada satu masyarakatpun di muka bumi ini yang terbebas dari masa-
Iah kejahatan. Meskipun masyarakat tidak menghendaki munculnya kejahatan akan tetapi kejahatan akan selalu muncul di tengah-tengah masyarakat, baikdilakukan oleh anggota masyarakat setempat mau pun oleh orang lain di luar anggota masyarakat. Kondisi semacam initelah digambarkan oleh Barnes
H.E dan Teeters N.K dalam karyanya yang berjudul New Horison in Criminology dengan menyitir kalimat Frank Tennenbaum sebagai berikut: Bahwa Ke jahatan adalah persoalan lokal dan melekat dimana masyarakat itu ada. Manusia sepanjang kita ketahui
lahir dan hidup dalam kelompok-kelompok, tipe dan corak organisasi kemanusiaan. Dan di dalam organisasi kemanusiaan ini sifat-sifat manusia tidak selalu
sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh masyara kat, termasuk dalam hal ini adalah perbuatan manu
sia yang dinamakan kejahatan (sebagai sesuatu yang
tidak dikehendaki oleh masyarakat). Namun demiki-
an kejahatan tersebut kita anggap saja tidak akan da-
pat dihapuskan sama sekali, kecuali dalam pikiran utopis yang sebenarnya tidak akan ada (Soedjono
derita oleh korban dapat berupa cedera fisik, yang dapat diklasifikasikan sebagai luka ringan, luka berat atau bahkan kematian.
n. Perkembangan Viktimologi Perhatian terhadap korban kejahatan telah mu-
lai berkembang semenjak tahun 1937 ketika Benyamin Mendelson memberikan perhatian tentang kepribadian korban. Semenjak itu viktimologi sebagai allied science bagi hukum pidana dan kriminologi terus berkembang. (Muladi, 1988 : 1). Padahakekat-
nya studi tentang perlindungan terhadap korban ke jahatan (Viktimologi) telah mendapat perhatian se menjak berabad-abad lamanya, dan hampir tidak ada satupun dari para penulis klasik di bidang kriminolo
gi seperti Lombroso, Gorofolo, Ferri, Tarde, Von Liszt dan banyak lagi yang mengesampingkan untuk menyebut pentingnya hubungan korban dengan pelaku kejahatan yang menjadi penyebab korban menderita (Soedjono Dirdjosisworo, 1988 :27). Menurut Bambang Purnomo, pada tahun em-
pat puluhan permasalahan viktimologi hanya dilihat
dalam kaitannya interaksi antara pelaku kejahatan
Dirjosisworo, 1983 : 1).
dengan korbannya, sejauh mana korban turut mem-
Persoalan yang berkaitan dengan penanggulangan kejahatan memang telah dipikirkan oleh para ahli tetapi upaya penanggulangan itu sebagian besar menitikberatkan pada usaha-usaha mencegah timbulnya kejahatan, baik yang bersifat preventif maupun represif. Mengingat upaya tersebut tidak juga dapat meniadakan munculnya bentuk-bentuk kejahatan maka kini para ahli di bidang hukum pidana, krimi
pada korban. Dalam simposium internasional yang
nologi maupun viktimologi memikirkan usaha me-
lindungi korban kejahatan, dengan tidak meninggalkan usaha-usaha mencegah timbulnya kejahatan. ApabhV ditelaah lebih jauh, yang dirasakn
oleh korban kejahatan tidak saja kerugian-kerugian yang bersifat fmansial saja tetapi juga berupa gon-
cangan-goncangan psikologis sebagai akibat musi-
bah yang menimpa dirinya seperti depresi, trauma, dan lain sebagainya. Akibat lebih jauh lagi yang di-
pengaruhi timbulnya akibat kejahatan yang terjadi
pertama tentang viktimologi tahun 1973, pembica-
raan masalah viktimologi sudah lain dan meningkat
obyeknya dari masa yang lalu, karena pengertian korban sudah lebih luas dari pada korban delik biasa.
Selanjutnya pada tahun 1974 muncul pandangan baru yang menolak viktimologi sebagai pengetahuan yang hanya mengumpulkan keterangan masa lah korban yang sempit victim centerd, tetapi me ningkat ke permasalahan yang membicarakan ten
tang viktimisasi struktural {structural vicmitazation) yaitu suatu korban yang membawa derita yang diaki-
batkan oleh adanya atau tidak adanya unsur-unsur struktur sosial tertentu serta pelaksanaannya (Bam
bang Purnomo, 1989:2-3). Secara internasional perlindungan korban ke jahatan telah diatur oleh PBB yaitu dalam The Uni-
ISSN :0852-0941 Nomor 51 Tahun XIII Maret 2000 - Mei 2000
37