Korban Semburan Lumpur Panas di Sidoarjo ........ (Sudiyono)
KORBAN SEMBURAN LUMPUR PANAS DI SIDOARJO: KEPADA SIAPA MEREKA MENUNTUT GANTI RUGI Oleh: Sudiyono, SH., M.Hum* Abstrak Tulisan ini merupakan bedah disertasi yang ditulis oleh Abdul Rokhim dengan judul “Tanggung Jawab Negara terhadap Korban Kerusakan Lingkungan Hidup (Kasus Semburan Lumpur Panas di Sekitar Area Eksplorasi PT Lapindo Brantas di Sidoarjo Jawa Timur)”. Abdul Rokhim menemukan adanya pergeseran tanggung jawab dari PT Lapindo Brantas ke negara, yang seharusnya menjadi tanggung jawab PT Lapindo Brantas. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Mari kita baca secara saksama bedah disertasi ini.
1. Disertasi tentang Semburan Lumpur Panas di Sidoarjo Disertasi yang berjudul “Tanggung Jawab Negara terhadap Korban Kerusakan Lingkungan Hidup (Kasus Semburan Lumpur Panas di Sekitar Area Eksplorasi PT Lapindo Brantas di Sidoarjo Jawa Timur)” ditulis oleh Abdul Rokhim, seorang dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang pada tahun 2010. Disertasi tersebut ditulis dalam rangka meraih gelar Doktor Ilmu Hukum dari Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Ide pokok (main idea) disertasi Abdul Rokhim: pertama, tanggung jawab negara terhadap korban kerusakan lingkungan hidup terkait tindakan pemerintah memberikan izin dalam rangka kontrak kerja sama pertambangan minyak dan gas bumi. Kedua, Tanggung jawab PT Lapindo Brantas terhadap korban lumpur Sidoarjo terkait kontrak kerja sama pertambangan minyak dan gas bumi. Ketiga, rekonstruksi tanggung jawab negara yang adil bagi korban kerusakan lingkungan hidup terkait kontrak kerja sama pertambangan. Disertasi Abdul Rokhim mengangkat tiga isu hukum: 1. Apakah dengan adanya izin dalam rangka kontrak kerja sama minyak dan gas bumi dari pemerintah kepada perusahaan pertambangan minyak dan gas bumi (kontraktor) secara yuridis mengalihkan tanggung jawab negara kepada perusahaan dalam hal terjadi kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh kegagalan perusahaan dalam melakukan eksplorasi atau eksploitasi? 2. Bagaimana konstruksi tanggung jawab PT Lapindo Brantas terhadap korban lumpur Sidoarjo dengan kontrak kerja sama pertambangan minyak dan gas bumi? *
Sudiyono, SH., M.Hum, Dosen Tetap dan Lektor pada Fakultas Hukum Universitas Abdurachman Saleh Situbondo
1190
Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1190-1196
3. Bagaimana rekontruksi tanggung jawab negara yang berkeadilan terhadap korban kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh kegiatan usaha di bidang pertambangan? Untuk menganalisis permasalahan pertaman, Abdul Rokhim menggunakan teori tanggung jawab negara dalam pengelolaan lingkungan yang mencakup tanggung jawab pemerintah dan tanggung jawab masyarakat (dalam hal ini tanggung jawab perusahaan). Permasalahan kedua dianalisis dengan menggunakan teori kekuasaan. Mengapa harus dijelaskan dengan menggunakan teori kekuasaan? Karena, meskipun menurut Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, negara memiliki kekuasaan atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia, namun dalam mengelola sumber daya alam, khususnya migas, negara belum mampu sepenuhnya mengelola sendiri. Oleh karena itu, pemberian izin kontrak kerja sama pertambangan dengan pihak swasta harus dibarengi dengan tanggung jawab (hal. 30) Permasalahan kedua juga didekati dengan jaminan perlindungan sebagai pelaksanaan prinsip negara hukum. Dalam konteks hukum lingkungan dikenal dua bentuk perlindungan hukum. Pertama, perlindungan hukum dalam bentuk pencegahan atau (precaution) atau antisipasi supaya tidak terjadi perusakan lingkungan hidup melalui kebijaksanaan pengelolaan lingkungan. Kedua, perlindungan hukum kepada masyarakat atau lingkungan (ekologi) setelah terjadi perusakan lingkungan hidup yang biasanya dilakukan melalui mekanisme penyelesaian sengketa baik melalui jalur pengadilan (litigasi) maupun diluar pengadilan (extra-judicial settlement of disputes). (hal. 31) Untuk menjawab permasalahan ketiga dipergunakan teori keadilan sebagai landasar utamanya yang dikaitkan dengan konsepsi cita negara (rechtsidee) Indonesia yang mendambakan masyarakat adil dan makmur (sejahtera lahir batin) sebagaimana tercantum pada sila keima Pancasila. (hal 35) Tipe penelitian hukum yang memfokuskan kajiannya pada aspek tanggung jawab negara (pemerintah dan tanggung jawab usaha) terhadap korban kerusakan lingkungan hidup (permasalahan pertama) merupakan penelitian hukum normatif. Isu hukum kedua, dilakukan penelitian dalam ruang lingkup dogmatik hukum, yaitu dengan mencari dan mengkaji norma hukum positif dalam bentuk peraturan perundangundangan yang seharusnya digunakan untuk memecahkan isu hukum tersebut. Sedangkan isu hukum ketiga diteliti pada tataran filsafat hukum. Metode pendekatan yang dipergunakan oleh Abdul Rokhim untuk permasalahan pertama adalah pendekatan konseptual. Permasalahan kedua menggunakan pendekatan undang-undang, dan permasalahan ketiga dengan pendekatan filosofis. Berdasarkan analisis terhadap isu-isu hukum di atas, Abdul rokhim berkesimpulan bahwa: pertama, secara konstitusional sumber daya alam (bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya) dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ketika negara tidak mampu mengelola sendiri sumber daya alam itu, pemerintah selaku pemegang Kuasa Pertambangan berwenang memberikan izin (kuasa) kepada kontraktor untuk mengelola sumber daya alam itu disertai tanggung jawab atas terjadinya risiko kerusakan lingkungan akibat kegagalan atau kesalahan dalam melakukan eksplorasi dan eksploitasi. Pelimpahan tanggung jawab negara kepada
1191
Korban Semburan Lumpur Panas di Sidoarjo ........ (Sudiyono)
kontraktor sesuai dengan prinsip konsekuensi hukum (legal consequence), yakni “penguasaan atas sumber daya alam tertentu membawa konsekuensi hukum untuk bertanggung jawab atas apa yang dikuasainya”. Kesimpulan kedua, secara yuridis normatif, risiko terjadinya kerusakan lingkungan akibat eksplorasi atau eksploitasi merupakan tanggung jawab kontraktor yang telah mendapatkan izin berdasarkan kontrak kerja sama pertambangan. Namun dalam kasus semburan lumpur panas di Sidoarjo, Pemerintah tidak membebankan tanggung jawab tersebut kepada PT Lapindo Brantas selaku kontraktor yang melakukan eksplorasi di Sumur Banjarpanji-1. Ketiga, konstruksi tanggung jawab negara terhadap korban lumpur sebagaimana tersebut di atas, di samping tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan di atasnya juga sangat merugikan negara, karena membebani APBN. Itu berarti telah terjadi dekonstruksi tanggung jawab negara terhadap korban kerusakan lingkungan hidup yang diduga terjadi akibat kegagalan kontraktor dalam melakukan eksplorasi atau eksploitasi pertambangan. Berdasarkan kesimpulan di atas, Abdul Rokhim merekomendasikan hal-hal sebagai berikut: pertama, dalam menangani kasus kerusakan lingkungan yang menimbulkan dampak besar (serius) bagi masyarakat dan lingkungan hidup seperti pada kasus semburan lumpur di Sidoarjo, pemerintah dan penegak hukum seyogyanya: a. Menerapkan asas tanggung jawab mutlak (strict liability) kepada kontraktor; b. Membebankan midal dan risiko kepada badan usaha (kontraktor) yang mengalami kegagalan dalam melakukan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan minyak dan gas bumi; c. Mengambil kebijakan dengan mengacu pada prinsip keadilan bagi semua korban kerusakan lingkungan hidup untuk memperoleh ganti rugi (kompensasi), bukan dengan sistem “jual beli” atas tanah dan bangunan milik korban. Kedua, pemerintah harus segera membuat Peraturan Pemerintah mengenai baku kerusakan lingkungan sebagai pedoman bagi penegak hukum untuk mengetahui kadar perubahan langsung dan/atau tidak langdung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup. Ketiga, diperlukan penelitian lanjutan, antara lain mengenai: a. Tanggung jawab pribadi pejabat pemerintah yang diduga melakukan kesalahan dalam memberikan izin pertambangan di lokasi yang menurut RTRW bukan peruntukannya; b. Status hukum tanah seluas kurang lebih 600 hektar milik korban lumpur yang dibeli PT Lapindo Brantas melalui PT Minarak Lapindo Jaya; c. Persoalan ganti rugio atau tukar bangun (ruilslag) terhadap tanah-tanah dan bangunan milik komunal seperti wakaf dan lain-lain, yang musnah atau rusak akibat semburan lumpur di sekitar area eksplorasi PT Lapindo Brantas. 2. Temuan Baru Mencari temuan baru (novelty) dalam disertasi Abdul Rokhim, bukanlah pekerjaan mudah. Kita tidak bisa langsung tunjuk pada sub bab tujuan penelitian, karena pada sub bab tujuan penelitian kita tidak temukan kata “menemukan”. Dalam sub bab tujuan penelitian, kita hanya menemukan kata “menganalisis” pada point 1.3.1.
1192
Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1190-1196
dan 1.3.2., sedangkan pada point 1.3.3. kita menemukan kata “menggali”. Dus, pembaca disuruh menemukan sendiri dimana letak penemuan baru Abdul Rokhim. Ternyata, pembaca disuruh Abdul Rokhim membaca sampai last paragraph, karena di kesimpulanlah kita bisa menemukan temuan baru Abdul Rokhim. Menurut Abdul Rokhim, pemerintah seharusnya membebankan tanggung jawab atas risiko terjadinya semburan lumpur beserta dampaknya terhadap masyarakat dan lingkungan sepenuhnya kepada PT Lapindo Brantas untuk membayar “ganti rugi” (bukan jual beli) dan biaya pemulihan lingkungan. Ganti rugi (kompensasi) dibayarkan kepada masyarakat korban semburan lumur, sedangkan biaya pemulihan dibayarkan kepada negara untuk kepentingan pemulihan lingkungan, termasuk untuk perbaikan dan relokasi infrastruktur yang rusak atau tidak dapat digunakan akibat semburan lumpur. Dalam temuannya, Abdul Rokhim menyatakan pemerintah tidak membebankan tanggung jawab semburan lumpur panas d Sidoarjo kepada PT Lapindo Brantas selaku kontraktor. Konstruksi tanggung jawab negara terhadap korban semburan lumpur di Sidoarjo adalah sebagai berikut: a. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2006, PT Lapindo Brantas bertanggung jawab “sepenuhnya” terhadap biaya-biaya yang diperlukan dalam rangka penanggulangan semburan lumpur Sidoarjo, termasuk dampak sosialnya. Namun, seiring dengan kegagalan PT Lapindo Brantas dalam menangani semburan lumpur beserta dampak sosialnya, akhirnya pemerintah mengambil kebijakan untuk membagi tanggung jawab dengan PT Lapindo Brantas. b. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 juncto Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2008, pemerintah mengambil kebijakan membagi (sharing) tanggung jawab dengan PT Lapindo Brantas dengan cara “memetakan” korban lumpur menjadi dua bagian, yakni korban lumpur di dalam Peta Area Terdampak (PAT) dan korban lumpur lapindo di luar PAT. Korban lumpur di dalam PAT merupakan tanggung jawab P.T Lapindo Brantas, sedangkan korban lumpur di luar PAT merupakan tanggung jawab pemerintah; c. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007, pemerintah dengan menggunakan dana APBN mengambilalih (take over) tanggung jawab P.T. Lapindo Brantas untuk menanggulangi semburan lumpur, termasuk perbaikan dan relokasi infrastruktur yang rusak akibat semburan lumpur. P.T. Lapindo Brantas hanya dibebani tanggung jawab untuk membeli (bukan ganti rugi) tanah dan bangunan milik korban lumpur di dalam PAT; d. Pemerintah mengabaikan penerapan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liablity) dengan membebankan kewajiban kepada P.T. Lapindo Brantas untuk membayar ganti rugi kepada korban lumpur Sidoarjo yang menderita kerugian akibat kerusakan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan Pasal 35 UUPLH; e. Pemerintah tidak konsisten menerapkan ketentuan Pasal 6 ayat (2) huruf c. UU Migas, yang membebankan tanggung jawab atas risiko dan modal kepada badan usaha swasta pertambangan yang mendapatkan izin berdasarkan kontrak kerja sama dengan pemerintah dalam hal terjadi kegagalan atau kesalahan dalam melakukan eksplorasi atau eksploitasi.
1193
Korban Semburan Lumpur Panas di Sidoarjo ........ (Sudiyono)
3. Pembelaan Warga Negara terhadap Negara Disertasi yang ditulis oleh Abdul Rokhim merupakan contoh sebuah disertasi yang membela negara dari sisi hukum dan ekonomi . Abdul Rokhim tidak ingin negaranya (Indonesia) dibebani anggaran yang besar, tetapi bukan karena kesalahan negara. Itulah sebabnya, Abdul Rokhim “mati-matian” meminta agar dalam kasus semburan lumpur panas di Sidoarjo diterapkan asas strict liability, sebuah asas yang menyatakan bilamana terjadi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan, pencemar langsung bertanggung gugat, kecuali dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan bukan karena kesalahannya. Namun disertasi tetaplah disertasi. Disertasi yang ditulis berdasarkan penelitian yang sangat mendalam pada tataran teori hukum dan filsafat hukum, namun seringkali diabaikan oleh pengambil kebijakan, include disertasi yang ditulis Abdul Rokhim. Pada awalnya negara masih berbagi tanggung jawab dengan PT Lapindo Brantas tentang ganti rugi akibat semburan lumpur panas di Sidoarjo akibat kesalahan eksplorasi dan/atau ekploitasi yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas. Abdul Rokhim masih sangat sopan dengan mengatakan “diduga” dilakukan oleh PT Lapindo Brantas. Tetapi bagi saya jelas, semburan lumpur panas di Sidoarjo dilakukan oleh PT Lapindo Brantas. Seharusnya, tanggung jawab sepenuhnya ada pada PT Lapindo Brantas, sepertinya diungkapkan oleh Abdul Rokhim. Kemudian aneh bin ajaib, negara mengambil alih (take over) tanggung jawab PT Lapindo Brantas untuk menanggulangi semburan lumpur, termasuk perbaikan dan relokasi infrastruktur yang rusak. Pengambilalihan tanggung jawab negara ini berakibat membebanani APBN. Alasan inilah yang membuat Abdul Rokhim berang. Persoalannya adalah, mengapa negara mau mengambil alih tanggung jawab PT Lapindo Brantas? Sayangnya pertanyaan ini tidak dijawab secara gamblang oleh Abdul Rokhim. Pembaca dibuat bertanya-tanya dan disuruh menerka sendiri jawabannya. Bagi saya, Abdul Rokhim seharusnya berani memberikan jawaban pertanyaan tersebut. Jangan-jangan Abdul Rokhim tahu jawabannya, tetapi tidak diungkap dalam disertasinya. Saya menduga, ada aspek politis dalam penanganan semburan lumpur panas di Sidoarjo. Bukan rahasia lagi, PT Lapindo Brantas adalah milik Abu Rizal Bakri, ketua umum Partai Golongan Rakyat. Sementara itu, presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berasal dari Partai Demokrat. Dalam tataran praktis, Partai Golongan Karya dan Partai Demokrat membangun koalisi permanen untuk mendukung pemerrintahan SBY. Pernyataan bahwa semburan lumpur panas di Sidoarjo merupakan bencana alam adalah pernyataan politis. Dengan pernyataan itu, negara dapat mengambil alih tanggung jawab dari PT Lapindo Brantas menjadu tanggung jawab negara. Sebagai imbalannya, menurut saya, pemerintahan SBY akan mendapat dukungan dari parlemen yang sebagian besar anggotanya berasal dari Partai Golongan Karya. Apalagi pada saat ramai-ramainya semburan lumpur panas di Sidoarjo merebak kasus Bank Century. Pemerintahan SBY perlu dukungan dari parlemen. Penyelesaian semburan lumpur panas di Sidoarjo tak ubahnya sebagai politik dagang sapi. Partai Golongan karya dapat untung, Partai Demokrat dapat dukungan di parlemen.
1194
Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1190-1196
Saya menyadari Abdul Rokhim tidak membahas dari aspek politis, karena memang disertasi Abdul Rokhim adalah disertasi ilmu hukum. Tampaknya, ada ketakutan dari Abdul Rokhim untuk dinilai tidak fokus. Oleh karena itu, abdul Rokhim bermain save dengan membahas semburan lumpur panas di Sidoarjo dari sisi hukum ansich. Saya berpendapat, Abdul Rokhim seharusnya memiliki keberanian untuk juga membahas dari sisi politis karena level yang disertasi harus melakukan pembahasan secara komprehensif. Tentu Abdul Rokhim harus menambahkan metode pendekatan dengan metode penelitian ilmu politik, dan ini tidak mudah karena Abdul Rokhim seorang akademisi ilmu hukum. Kalau saja Abdul Rokhim berani menambahkan dari sisi politis, tentu akan lebih sempurna pembahasan disertasinya. 4. Kebanyakan Diskursus Teori Disertasi setebal 460 halaman merupakan prestasi Abdul Rokhim yang harus diacungi jempol. Diawali dengan deskripsi kasus semburan lumpur panas di Sidoarjo, Abdul Rokhim ingin mengajak pembaca mengetahui bagaimana kronologi terjadinya kasus semburan lumpur panas di Sidoarjo. Dari deskripsi setebal hampir 75 halaman, Abdul Rokhim ingin menggiring pembaca untuk mengetahui siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas terjadinya kasus semburan lumpur panas di Sidoarjo. Namun kesan yang muncul, justru Abdul Rokhim bertele-tele dalam menguraikan deskripsi kasus semburan lumpur panas di Sidoarjo. Seharusnya ketika berbicara deskripi kasus, Abul Rokhim cukup memaparkan kasus hukumnya dan bukan membahas proses terjadinya semburan lumpur panas berdasarkan periodesasi, tanggal per tanggal. Pada Bab IV dengan judul Tanggung Jawab Negara terhadap Korban Kerusakan Lingkungan Hidup terkait Tindakan Pemerintah Memberikan Izin dalam Rangka Kontrak Kerja Sama Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, Abdul Rokhim pada sub bab Tindakan Hukum Perintahan (hal 202-204) sama sekali tidak membahas semburan lumpur panas di Sidoarjo. Abdul Rokhim cenderung mengutip berbagai pandangan ahli tentang tindakan hukum pemerintah. Menurut saya, seharusnya Abdul Rokhim menjelaskan tindakan hukum pemerintahan yang berhubungan dengan kasus yang sedang dibahas. Baru pada sub bab Macam-Macam Tindakan Hukum Pemerintahan (hal 204-207), Abdul Rokhim menyebutkan tindakan hukum pemerintahan (dalam hal ini Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) membeli tanah warga yang menurut Abdul Rokhim seharusnya tindakan tersebut adalah tindakan privat. Pada sub bab Jenis-Jenis Produk Hukum Tindakan Pemerintah dalam Penanganan Semburan Lumpur di Sidoarjo (hal 208-217), Abdul Rokhim berhasil mengidentifikasi berbagai produk hukum yang ada. Produk hukum yang berhasil diidentifikasi oleh Abdul Rokhim meliputi satu Keputusan Presiden dan tiga Peraturan Presiden: a. Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur Sidoarjo; b. Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo;
1195
Korban Semburan Lumpur Panas di Sidoarjo ........ (Sudiyono)
c. Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo; d. Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo; Bahkan Abdul Rokhim meringkas keempat produk hukum tersebut menjadi satu tabel yang memudahkan pembaca. Di sinilah letak kekuatan disertasi Abdul Rokhim. Pada sub bab Kedudukan Pemerintah dalam Hukum Publik dan Hukum Privat (hal 217-228), Abdul Rokhim cenderung berbicara teori yang sama sekali tidak dihubungkan dengan pokok permasalahan. Tentu saja ini menjenuhkan. Kondisi ini terus berlanjut hingga sub bab Kewenangan Pemerintah di Bidang Perizinan dan Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi. Menurut saya, Abdul Rokhim tidak perlu menguraikan sejarah perkembangan pengelolaan minyak dan gas bumi di Indonesia (hal 237-243). Pembahasan sejarah perkembangan pengelolaan minyak dan gas bumi hanya menambah tebal halaman disertasi. Pada Bab V Tanggung Jawab PT Lapindo Brantas terhadap Korban Lumpur Sidoarjo Terkait Kontrak Kerja Sama Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, Abdul Rokhim menganalisis secara detail bagaimana kontrak karya (sharing contract) antara negara dengan PT Lapindo Brantas. Berbagai pendapat tentang siapa yang harus bertanggung jawab atas semburan lumpur panas di Sidoarjo juga dikemukakan. Berbagai pendapat tersebut mengerucut pada tiga, yang bertanggung jawab adalah PT Lapindo Brantas, pemerintah, PT lapindo Brantas dan Pemerintah (hal 345). Namun di kesimpulan disertasinya, Abdul Rokhim berpendapat bahwa PT Lapindo Brantas yang harus bertanggung jawab karena negara telah memberikan izin eksplorasi dan/atau eksploitasi sehingga risiko juga ikut di dalamnya. 5. Penutup Keberanian Abdul Rokhim menulis disertasi tentang semburan lumpur panas di Sidoarjo patut kita acungi jempol. Posisi Abdul Rokhim jelas, membela negaranya. Padahal kalau Abdul Rokhim mau, ia dapat keuntungan materi yang melimpah bilamana Abdul Rokhim membela PT Lapindo Brantas. Dan itu tdak Abdul Rokhim lakukan. Akhirnya saya berkesimpulan, Abdul Rokhim adalah seorang idealis yang meletakkan kepentingan negara di atas kepentingan lainnya.
1196