PEMBERIAN ASI IBU MENYUSUI YANG TIDAK EKSKLUSIF PADA SUKU BALANTAK KABUPATEN BANGGAI SULAWESI TENGAH
THE BREASTFEEDING OF NON-EKSKLUSIVE BREASTFEEDING MOTHER IN BALANTAK TRIBE BANGGAI, CENTRAL SULAWESI
Marselina Sattu,1 Citrakesumasari,2 Saifuddin Sirajuddin,3
1
Bagian Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Tompotika Luwuk, 2 Bagian Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin, Makassar, 3 Bagian Laboratorium Biokimia, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin, Makassar.
Alamat Korespondensi : Marselina Sattu Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Tompotika Luwuk, HP: 085756101054 Email:
[email protected]
ABSTRAK ASI eksklusif secara luas dianggap sebagai suatu intervensi penting yang mengurangi angka kesakitan dan kematian anak, dan tetap menjadi dasar untuk kelangsungan hidup anak . Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep pemberian ASI pada Suku Balantak. Jenis penelitian adalah penelitian Kualitatif dengan pendekatan Fenomenologi. Pengumpulan informasi dilakukan melalui wawancara mendalam dan observasi. Penentuan informan dilakukan dengan metode Snowball Sampling. Informan adalah ibu yang memiliki bayi umur 0-6 bulan dan tidak Asi Ekslusif , informan kunci adalah bidan desa dan toko masyarakat Balantak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsep pemberian ASI adalah sebuah kewajiban bagi seorang ibu. Suku Balantak memandang ASI sebagai cairan, dan berfungsi hanya sebagi minuman oleh karena itu perlu diberi pralaktal berupa madu, pisang emas, pisang raja dan bubur pada bayi serta adanya tradisi Mintelen, dimana pralaktal dipersepsikan sebagai makanan, obat, harapan serta memperkenalkan budaya Balantak pada bayi. Konsep ini tidak terlepas dari pengaruh kebiasaan yang dianut turun-temurun dalam hal perilaku mulai dari kehamilan, persalinan, pengasuhan dan orang di sekitar ibu. Suku Balantak telah memberikan ASI pada bayi, meskipun belum sesuai dengan konsep medis. Kata kunci : Pemberian ASI, Suku Balantak
ABSTRACT Exclusive breastfeeding is widely regarded as an important intervention that reduces morbidity and child mortality, and remains the basis for child survival.. This study aims to determine the concept of breastfeeding in Balantak tribe. This type of research is a qualitative research approach to phenomenology. The collection of information is done through in-depth interviews and observation. Determination of informants conducted by Snowball Sampling methods. Informants were mothers with infants aged 0-6 months,and not ekslusive breastfeeding key informants were midwives and Balantak community leaders. The results showed that the concept of breastfeeding is an obligation for a mother. Balantak tribe looked as fluid milk, and serves only as a beverage therefore need to be pralaktal form of honey, golden bananas, plantains and porridge to infants as well as the tradition of Mintelen, where pralaktal perceived as food, medicine, and introducing cultural expectations Balantak in infants . This concept can not be separated from the influence of habit practiced for generations in terms of behavior ranging from pregnancy, childbirth, parenting and people around the mother. Balantak tribe has provided breast milk to the baby, although not in accordance with the medical concepts. Keywords: Breastfeeding, Balantak Tribe
2
PENDAHULUAN Modal dasar pembentukan manusia berkualitas dimulai sejak bayi dalam kandungan disertai dengan pemberian Air Susu Ibu (ASI) sejak usia dini, terutama pemberian ASI Eksklusif. Konvensi Hak-hak Anak tahun 1990 antara lain menegaskan bahwa tumbuh kembang secara optimal merupakan salah satu hak anak. ASI selain merupakan kebutuhan, juga merupakan hak azasi bayi yang harus dipenuhi oleh orang tuanya. Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah membangun sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas agar dapat melanjutkan perjuangan pembangunan nasional untuk menuju masyarakat sejahtera, adil dan makmur. (Depkes, 2004 b) Banyak penelitian dan survei yang menyatakan manfaat ASI Ekslusif bagi bayi, ibu, dan masyarakat. Namun, cakupan yang diperoleh dari program tersebut belum mencapai target. Di dunia, prevalensi untuk ASI eksklusif di bawah usia 4 bulan masih
sangat rendah di sejumlah negara-negara di wilayah Afrika,
misalnya Republik Afrika Tengah (4% pada tahun 1995), Niger (4% pada tahun 1992), Nigeria (2% pada tahun 1992), dan Senegal (7% pada tahun 1993). Untuk negara-negara di benua Amerika seperti Chile 97% pada tahun 1993, Kolombia 95% pada tahun 1995, dan Ekuador 96% pada tahun 1994. Bolivia, 59% pada tahun 1989 dan 53% pada tahun 1994, Kolombia, 19% pada tahun 1993 dan 16% pada tahun 1995; dan Republik Dominika 14% pada tahun 1986 dan 10% pada tahun 1991.(Unicef, 2006) Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia (SDKI) tahun
1997, cakupan ASI Ekslusif di Indonesia baru mencapai 52% dari yang ditetapkan sebesar 80 % pada tahun 2005( Depkes RI, 2002 dalam Maryunani 2012). Menurut data SDKI tahun 2002-2003, cakupan pemberian ASI Ekslusif pada bayi sampai enam bulan hanya 39 %, dan sepanjang tahun 2004 – 2008, cakupan pemberian ASI Ekslusif meningkat dari 58,9 % menjadi 62, 2 %. Namun setelah itu grafik tidak mengalami peningkatan, bahkan cenderung menurun, ( Kemenkes RI, 2010 dalam Maryunani 2012) dan menurut data Riskesdas 2010, menyusui ekslusif pada kelompok umur 0-5 bulan hanya sebesar 15, 3 %. (Litbangkes, (2010)
3
Suku Balantak merupakan salah satu dari tiga suku asli yang mendiami wilayah Kabupaten Banggai, masyarakat suku Balantak berada dalam wilayah kerja Puskesmas Balantak, dan berdasarkan data dari Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Banggai Tahun 2011, bayi yang diberi ASI Ekslusif di Kabupaten Banggai sebesar 32,2 %.dan untuk Puskesmas Balantak hanya sebesar 29 %, masih jauh dari target pencapaian ASI Ekslusif yaitu 80 %. ( Dinkes Banggai, 2011). Meskipun pemerintah melakukan upaya untuk meningkatakan cakupan pemberian ASI Eksklusif berupa penyampaian informasi kepada semua ibu yang baru melahirkan untuk memberikan ASI Eksklusif termasuk
didalamnya
memberikan informasi tentang Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui berdasarkan KEPMENKES RI No 450/MENKES/SK/IV/2004 tentang pemberian Air Susu Ibu ( ASI) secara ekslusif pada bayi di Indonesia, namun kenyataanya cakupan pemberian ASI ekslusif masih sangat kurang. (Dinkes Banggai, 2010) Dari hasil observasi, pada umumnya ibu bayi suku Balantak dalam pola pemberian ASI, selain memberikan ASI, ibu telah memberikan makanan kepada bayi sebelum bayi tersebut berumur enam bulan. Selain itu suku Balantak masih mempercayai berbagai mitos terkait dengan ibu hamil dan ibu menyusui. ASI eksklusif secara luas dianggap sebagai suatu intervensi penting yang mengurangi angka kesakitan dan kematian anak, dan tetap menjadi dasar untuk kelangsungan hidup anak. Menyusui juga dikaitkan
dengan peningkatan
pemulihan ibu post partum dan mengurangi kejadian
diabetes dan kanker.
Sebanyak 13% dari semua kematian balita dapat dicegah oleh strategi promosi untuk meningkatkan ASI ekslusif (Nishimura, 2009 ; Butha, 2011), namun berdasarkan data Puskesmas Balantak tahun 2012, bahwa sepanjang tahun 2012 terdapat 16 kematian bayi, 11 lahir mati dan 5 meninggal karena infeksi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep pemberian ASI pada ibu menyusui yang tidak eksklusif pada Suku Balantak Kabupaten Banggai. (Puskesmas Balantak, 2012)
4
BAHAN DAN METODE Lokasi dan Rancangan Penelitian Penelitian ini dilakukan pada Suku Balantak Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah. Jenis penelitian yang digunakan adalah Kualitatif dengan pendekatan Fenomenologi Informan Penelitian Informan dalam penelitian ini diambil dengan cara Snow Ball Sampling, yang menjadi informan adalah ibu yang memiliki bayi usia 0-6 bulan dan tidak ASI Ekslusif sedangakan informan kunci adalah Bidan Desan dan Toko Masyarakat Balantak Metode Pegumpulan Data Pengumpulan data primer dalam penelitian ini dilakukan melalui dua cara, yaitu Wawancara Mendalam dengan menggunakan pedoman wawancara yang berisi tentang pertanyaan konsep pemberian ASI pada suku Balantak.
Cara
pengumpulan data lain dilakukan dengan Observasi Partisipasi Pasif (Passive participation) serta pengumpulan data sekunder dengan Telaah Dokumen. Metode Analisis Data Teknik analisis data menurut Milles dan Huberman (1984) dalam Sugiyono (2012) dan teknik ini yang digunakan oleh peneliti, diterapkan melalui tiga alur, yaitu Reduksi data (Data Reduction), Data Display atau penyajian data dan Conclusion Drawing/Verification atau pencarian makna dan kata kunci peristiwa.
HASIL Karakteristik Infoman Informan dalam penelitian ini adalah ibu- ibu Suku Balantak yang memiliki bayi umur 0-6 bulan dan bayinya tidak ASI Ekslusif. Berdasarkan hasil wawancara mendalam dan observasi dengan informan, dapat digambarkan karakteristik informan bahwa dari aspek umur informan, memiliki umur dari 18 38 tahun. Untuk karakteristik pendidikan sebagian besar informan tamat SMA ( 40 %), pekerjaan informan sebagian besar adalah ibu rumah tangga ( 95 %). Untuk karakteristik pendidikan suami informan, sebagian besar adalah tamat SMP
5
(35 %) dan SMA (35 %), karakteristik informan berdasarkan pekerjaan suami yaitu sebagian besar adalah petani, penghasilan keluarga perbulan berkisar antara Rp. 500.000 – Rp. 1.200.000. Untuk karakteristik informan berdasarkan jumlah anak diperoleh informasi bahwa sebagian besar informan baru memiliki satu anak (70 %), seluruh responden melahirkan di rumah ( 100 %) dan sebagian besar ditolong oleh nenek bayi. Konsep Suku Balantak Tentang Pemberian ASI Suku Balantak memandang ibu hamil, ibu bersalin dan bayi sebagai sesuatu yang sensitif dan perlu dijaga khususnya dari gangguan roh halus, seperti terungkap dari hasil wawancara mendalam berikut : “kalo da hamil, nyak bisa mo kemana-mana, torang mo di dusu pongko, tapi ada dia pe penangkal, kalo keluar bawa lemon, kalo tidak bawa bawang, sisir taro di kepala, makhluk halus takot itu, biasa juga ini pongko mo makan ni adek pe dodomi, so itu kalo di tanam mesti dibakar akan daun lemon dengan dikasih menyala api di ats tempat batanam itu dodomi. (Trs, 21 th)
Persiapan ibu Balantak dalam menyambut kehadiran seorang bayi dalam keluarga, dimulai dari kehamilan, ibu Balantak mengenal ramuan yang yang berguna untuk memperlancar persalinan, yakni rebusan daun nangka yang berwarna kuning dan tidak kering.menurut informan hal tersebut dilakukan oleh seluruh angggota keluarga informan seperti terungkap dari hasil wawancara mendalam berikut : “kalo hamil dekat-dekat melahirkan, saya minum itu daun nangkah yang kuning, tapi yang belum kering, di rebus baru di minum de pe air, itu supaya lancar. Saya pe mama dengan torang semua beken bagitu” ( ik, 30 th, as, 28 th)
Selain perilaku, ibu hamil pada Suku Balantak mengenal beberapa pantangan makanan yang harus diikuti untuk kelancaran persalinan dan kesehatan bayinya kelak, seperti terungkap dari hasil wawancara mendalam berikut : Ibu pada suku Balantak tidak melakukan persalinan pada tenaga kesehatan, karena mereka telah mengkonsumsi ramuan daun nangkah, oleh karena itu ibu suku Balantak terbiasa melakukan persalinan sendiri,seperti terungkap dari hasil wawancara berikut : “di Boloak so tek ada ses, itu Poskesdes dulu ada dia pe ses, tapi so pigi, tek ada lampu baru tasandiri dia pe tempat jadi ses-ses takut tinggal di situ,..saya melahirkan sendiri di rumah, saya cuma minum itu daun nangkah yang di rebus,...tek tau jga
6
..Cuma torang pe orang-orang tua bilang begitu, jadi ikut sja. Cuma jangan makan de pe buah, itu mo susah melahirkan, de pe daun saja” (as, 28 th)
Dari hasil wawancara dengan informan lainnya, Suku Balantak, terbiasa melakukan persalinan sendiri di rumah, dan menganggap proses persalinan adalah sesuatu hal yang dapat dilakukan sendiri dan merupakan proses alamiah bagi seorang perempuan, seperti terungkap dari hasil wawancara berikut : “Biasa melahirkan di rumah saja, tek perlu pigi ke rumah sakit.. Saya sendiri sja, saya urus sendiri, habis lahir, saya potong dia pe ari-ari, baru cuci smua, besoknya baru kasih totok, soalnya saya masih beres-beres... adek dikasih madu.”( ykmn, 27 th)
Dalam persalinan suku Balantak, setelah bayi lahir, bayi segera dibersihkan, dibungkus dengan kain, diberi madu. Seperti terungkap dalam wawancara berikut: “Saya melahirkan di rumah, dibantu saya pe suami, ses datang nanti so hari ke3 batimbang adek. Kalo pas yang dia lahir, habis melahirkan itu, dia pe papa so ambil, kasih bersih baru dibungkus dengan kain, kong tidur dengan saya, belum kasih totok, belum ada kuah,nanti besoknya, saya kasih totok so ada, dia pe malam itu kasih akan madu saja “ ( sp, 23 th)
Pengetahuan informan tentang ASI Ekslusif
terungkap dari hasil WM
(wawancara mendalam) yang dilakukan. Berbagai pernyataan informan tentang pengertian ASI Ekslusif . Seperti yang terungkap dari hasil Wawancara mendalam berikut. “ yang bakase kuah totok adek toh? ( ibu memberikan ASI pada bayi) itu kuah totok kan hanya kuah, jadi mana mo cukup, saya pe anak saya bantu dengan bubur pas dia so mo masuk dua bulan” (yun, 23 th)
Pengertian ASI ekslusif hanya sebatas pemberian ASI saja. Konsep ibu Suku Balantak tentang ASI adalah minuman bayi, sehingga perlu diberi pralaktal, berupa bubur, pisang mas dan pisang rasa. Hal ini sejalan dengan pernyataan oleh tokoh masyarakat Balantak, seperti pada pernyataan berikut: “ io, kalo disini masyarakat taunya itu, kuah totok itu ya kuah, air. Nah air kan torang tau sendiri itu sebagai minuman” (Hrsn Mgln, 50 th)
Beberapa faktor budaya yang mempengaruhi
pemberian ASI Ekslusif,
diantaranya adanya kepercayaan bahwa bayi harus diberi madu segera setelah lahir, pemberian pisang mas,
selain itu adanya budaya “mintelen” seperti
terungkap pada hasil wawancara berikut :
7
“ ba mintelen torang, bikin sagu untuk adek , dimakan satu keluarga, Itu onyop dikasih supaya dia tau dia pe nenek moyang pe makanan.itu juga jadi ucapan selamat datang dalam keluarga.” (wwn, 20 th)
Selain pemberian makanan/minuman tersebut, ada kepercayaan suku Balantak untuk tidak membawa bayi keluar rumah karena takut bayinya akan mengalami “bayaon”
yaitu bayi menangis terus karena diganggu roh jahat,
seperti terungkap dari hasil wawancara berikut : “ kalo hamil tidak boleh keluar-keluar rumah, mo dimakan pongko ( setan) saya pe anak, bayi juga jangan dibawa keluar rumah mo “bayaon”. ( yn, 24 th)
Budaya suku Balantak juga memberi pantangan-pantangan pada ibu hamil, seperti ibu hamil tidak diperbolehkan mengkonsumsi makanan yang bergetah, tebu, nangkah dan pepaya. Seperti terungkap dari hasil wawancara berikut : Tidak makan tebu kalo hamil, tidak licin kaluar tu adek (nn, 18 th) “ tek boleh makan sayur pepaya, mo gatal-gatal itu adek, sayur nangka tidak boleh, mo stengah mati melahirkan.( ykmn, 24 th)
Pemberian ASI pada informan tidak terlepas dari peran keluarga . Sebagaimana terungkap pada hasil wawancara berikut : “ lalu saya pe anak dikasih madu, mama bilang itu madu dia pe guna bakasih keluar lendir dari perutnya adek.kalo tidak dikasi begitu, so itu adek kuat sakit perut” (Mrt, 24 th)
Selain peran keluarga, peran dari petugas kesehatan dan teman sebaya informan juga turut mempengaruhi konsep pemberian ASI pada suku Balantak, dimana petugas kesehatan tidak memberi informasi tentang ASI dari konsep medis pada masyarakat, seperti terungkap dari hasil wawancara berikut : “tek pernah, torang tek pernah di datang akan, kalo pigi sama ses, Cuma di kop-kop
bru kasih tambah darah” ( as, 28)
Selain itu, dari hasil wawancara dengan informan lain, terungkap bahwa, pengenalan susu formula salah satunya berasal dari tenaga kesehatan, seperti terungkap dari hasil wawancara berikut : “ waktu saya melahirkan, ses tek datang. Nanti so habis lahir baru ses datang, saya pe kuah totok belum keluar jadi so kasih susu SGM, ses yang suru begitu. Jadi torang pe kira bagus itu. So kasih noh sampe sekarang” ( vv, 18 th)
8
Pemberian susu formula merupakan sesuatu yang baik untuk bayi, dapat meningkatkan berat badan bayi, “ tetangga yang kasi tau, dia pe anak juga dia kasih susu toko, poco-poco dia pe anak. ( vv, 26 th)
PEMBAHASAN Konsep pemberian ASI pada suku Balantak adalah sebuah kewajiban bagi seorang ibu. Suku Balantak memandang ASI sebagai cairan, dan berfungsi hanya sebagi minuman oleh karena itu perlu diberi pralaktal berupa madu, pisang emas, pisang raja dan bubur pada bayi serta adanya tradisi Mintelen, dimana pralaktal dipersepsikan sebagai makanan, obat, harapan serta memperkenalkan budaya Balantak pada bayi. Konsep ini tidak terlepas dari pengaruh kebiasaan yang dianut turun-temurun dalam hal perilaku mulai dari kehamilan, persalinan, pengasuhan dan orang di sekitar ibu. Suku Balantak telah memberikan ASI pada bayi, meskipun belum sesuai dengan konsep medis. Persiapan ibu Balantak dalam menyambut kehadiran seorang bayi dalam keluarga, dimulai dari kehamilan, sehingga mereka sangat menjaga keselamatan ibu dari gangguan “pongko” (roh jahat). Oleh karena itu, dilarang untuk keluar rumah tanpa membawa penangkal terhadap mahkluk tersebut. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ocbian, (2012) pada masyarakat Sorsoguenos, Pilipina, dimana wanita hamil disarankan untuk memakai jimat ketika akan keluar pada malam (Ocbian, 2012) Berdasarkan hasil penelitian pada Suku Balantak, petugas kesehatan belum aktif dalam memberikan informasi tentang ASI Ekslusif. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kamudoni, dkk, ( 2007) bahwa petugas kesehatan berperan dalam pembentukan persepsi ibu tentang pemberian ASI Eklusif harus berlangsung kurang lebih 6 bulan. Pada beberapa masyarakat tradisional di Indonesia kita bisa melihat konsepsi budaya yang terwujud dalam perilaku berkaitan dengan pola pemberian makan pada bayi yang berbeda, dengan konsepsi kesehatan modern. Pada hasil penelitian oleh Reddy (1990) pada suku Sasak di Lombok, ibu yang baru bersalin selain memberikan nasi pakpak (nasi yang telah dikunyah oleh ibunya lebih
9
dahulu) kepada bayinya agar bayinya tumbuh sehat dan kuat. Walaupun pada masyarakat tradisional pemberian ASI bukan merupakan permasalahan yang besar karena pada umumnya ibu memberikan bayinya ASI, namun yang menjadi permasalahan adalah pola pemberian ASI yang tidak sesuai dengan konsep medis sehingga menimbulkan dampak negatif pada kesehatan dan pertumbuhan bayi. Disamping pola pemberian tersebut, kualitas ASI juga kurang. Hal ini disebabkan banyaknya pantangan terhadap makanan yang dikonsumsi si ibu baik pada saat hamil maupun sesudah melahirkan (Reddy, 1990). Pengaruh budaya terhadap perilaku pemberian ASI pada suku Balantak masih sangat kuat, diantaranya adanya kepercayaan bahwa bayi harus diberi madu segera setelah lahir, pemberian pisang mas, selain itu adanya budaya “mintelen” yaitu pemberian makanan yang dibuat dari sagu kepada bayi sebagai ungkapan selamat datang dalam keluarga sang bayi, dan sebagai pengenalan kepada bayi akan makanan leluhur Balantak, kelak ketika dewasa sang bayi akan tetap mengingat bahwa dia adalah seorang Balantak. Pemberian pisang mas dan pisang raja sebagai makanan bayi, mempunyai filosofi tentang harapan orang tua akan kehidupan bayi setelah dewasa kelak akan seperti nama dari pisang emas dan pisang raja. Murni seperti emas dan melimpah seperti raja. Selain itu, rasa dari madu dan pisang mas yang manis juga memiliki makna bahwa Suku Balantak memberikan yang terbaik untuk orang yang mereka kasihi, yang mana dalam kepercayaan
mereka
bahwa
makanan/minuman
yang
manis
adalah
makanan/minuman yang pantas diberikan kepada orang yang dikasihi. Oleh sebab itu masyarakat Suku Balantak masih menjalankan tradisi tersebut. Selain makna filosofi tersebut, madu juga dipercaya oleh suku Balantak untuk membersihkan usus bayi,mengeluarkan lendir dan mencegah bayi mengalami kejang. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Singh, (2010) , namun pada penelitian ini, 38,0% dari ibu-ibu memberikan air segera setelah kelahiran dan dalam waktu satu bulan dari kehidupan mereka. Mereka memberi alasan seperti itu membersihkan usus bayi mereka dan membantu bayi gusi harus dibersihkan dari susu manis payudara.
10
Selain pemberian makanan/minuman tersebut, ada kepercayaan suku Balantak untuk tidak membawa bayi keluar rumah karena takut bayinya akan mengalami “bayaon”
yaitu bayi menangis terus karena diganggu roh jahat.
Sejalan dengan dengan penelitian yang dilakukan oleh Radoff (2013) pada ibuibu di Guatemala dimana konteks sosiokultural melahirkan di Guatemala dijelaskan, termasuk keyakinan umum tentang kehamilan dan persalinan serta arti dan pentingnya memiliki anak. Penelitian yang dilakukan oleh Dumatubun (2002) pada masyarakat Papua,dimana kepercayaan ibu menyusui terhadap hal-hal yang dianggap sebagai pantangan atau larangan saat menyusui juga dipercaya sebagai suatu hal yang harus dilakukan untuk menjaga kesehatan bayi, sebab makanan yang dikonsumsi oleh ibu menyusui akan berdampak pada bayi Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Harnani (2006) pada ibu –ibu di Pekalongan, dimana ibu hamil mempunyai pantangan untuk mengkonsumsi cumi, udang, lele, telur, daging kambing, nanas, durian, jantung, terung dan gula aren dengan alasan bahwa makan-makan tersebut dapat menghambat proses persalinan dan mempengaruhi kondisi bayi kelak. Berdasarkan hasil penelitian Pada ibu etnis Banggai selain memberikan ASI, mereka juga telah memberikan makanan pendamping ( pralaktal ), hal tersebut tidak terlepas dari “Nillobi”yang berarti memperkenalkan makanan pada bayi. Jenis makanan yang diberikan pada umumnya adalah jenis ubi Banggai (baku). Ibu bayi etnis Banggai pada umumnya memaknai bayi menangis berarti lapar, dan pekerjaan sangat mempengaruhi intensitas pemberian ASI( Ramli, 2009 ).
KESIMPULAN DAN SARAN Konsep pemberian ASI pada suku Balantak adalah sebuah kewajiban bagi seorang ibu. Suku Balantak memandang ASI sebagai cairan, dan berfungsi hanya sebagi minuman oleh karena itu perlu diberi pralaktal berupa madu, pisang emas, pisang raja dan bubur pada bayi serta adanya tradisi Mintelen, dimana pralaktal dipersepsikan sebagai makanan, obat,
harapan serta
memperkenalkan budaya Balantak pada bayi. Konsep ini tidak terlepas dari
11
pengaruh kebiasaan yang dianut turun-temurun dalam hal perilaku mulai dari kehamilan, persalinan, pengasuhan dan orang di sekitar ibu. Suku Balantak telah memberikan ASI pada bayi, meskipun belum sesuai dengan konsep medis. Berdasarkan hasil penelitian tentang pemberian ASI pada suku Balatak , maka disarankan ada beberapa hal yang dapat dilakukan yakni perlu diadakan pendekatan budaya di dalam edukasi masyarakat dimana konsep ASI diarahkan pada konsep makanan terbaik dan obat untuk bayi dan ibunya selain konsep yang telah dikenal sebagai minuman. Selain itu perlu diadakan edukasi tentang ASI Eksklusif
pada calon ibu dan keluarga calon ibu sehingga dapat
meningkatkan perilaku pemberian ASI Ekslusif yang sesuai dengan konsep medis.
DAFTAR PUSTAKA Bhutta A Zulfiqar, Labbok Miriam, (2011), Scaling Up Breastfeeding in Developing Countries, The Lancet, Published Online July 2011 Departemen Kesehatan RI, (2004b), Kebijakan Departemen Kesehatan tentang Peningkatan Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Pekerja Wanita, Departemen Kesehatan RI, Jakarta. Dinas Kesehatan Kabupaten Banggai, ( 2010), Profil Kesehatan Kabupaten Banggai Dinas Kesehatan Kabupaten Banggai, ( 2011), Profil Kesehatan Kabupaten Banggai Dumatubun A.E, (2002) Kebudayaan, Kesehatan Orang Papua Dalam Perspektif Antropologi Kesehatan Antropologi Papua (Issn: 1693-2099) Volume 1. No. 1, Agustus 2002 Foster, George M dan Barbara G. Anderson, (1986), Antropologi Kesehatan, diterjemahkan oleh Meutia F. Swasono dan Prijanti Pakan. Jakarta: UI Press Harnany AS, (2006), The Influence Of Food Taboo, Nutrient Sufficiency Level, The Consumtion Of Tea And Iron Tablet To Pregnant Women Hemoglobine In Pekalongan City 2006, Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang Kamudoni, (2007), Infant Feeding Practice In The First Months And Associated Factors In Rural And Semiurban Community In Mangochi District Malawi, Journal of human lactiation, Volume 23 (4): 325-332) Litbangkes, (2010), Riset Kesehatan Dasar, Kemenkes RI Maryunani, Anik, (2012),Inisiasi Menyusui Dini ASI Ekslusif dan Manajemen Laktasi,Trans Info Media, Jakarta
12
Nishimura, (2009), Breastfeeding reduces the severity of respiratory syncytial virus infection among young infants: A multi-center prospective study, Pediatrics International, Volume 51, Issue 6, pages 812–816, December 2009 Ocbian Magdalena, (2012), Culture-Based Beliefs and Practices on Pregnancy and Childbirth among Sorsoguenos, Philippines IAMURE International Journal of Health Education Vol. 1 January 2012 Puskesmas Balantak, (2012), Laporan data Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) Singh. (2010), Knowledge, Attitude and Practice of Breastfeeding: A case study. European Journal of Scientific Research.;40(3):404–422. Radoff, Thompson, Bly KC, Romero Carolina, (2013), Practices Related To Postpartum Uterine Involution In The Western Highlands Of Guatemala, Journal of Midwifery 29 (2013) 225–232 Ramli, (2009), Studi Praktek Sosial Budaya Ibu Bayi Terhadap Pemberian ASI Pada Etnis Banggai Di Kecamatan Liang Kabupaten Banggai Kepulauan. FKM Untika, Luwuk. Reddy, P.H, (1990) , Dietary practices during pregnancy, lactation and infaancy: Implications for Health", Health Transition: The Culture. Social and Behavioral determinants of Health, volume II. Disunting oleh John C. Caldwell, et al., Canberra: Health Transition Centre. Sugiyono , (2012). Memahami Penelitian Kualitatif. Alfabeta. Bandung. UNICEF, (2006), Breastfeeding Counseling: A training course. Participants Manual, WHO-UNICEF, New York,
13