TESIS
PEMBERIAN ASI DAN LINGKUNGAN FISIK RUMAH SEBAGAI FAKTOR RISIKO PNEUMONIA PADA BALITA DI PUSKESMAS II DENPASAR SELATAN
NI KADEK ETHI YUDIASTUTI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
TESIS
PEMBERIAN ASI DAN LINGKUNGAN FISIK RUMAH SEBAGAI FAKTOR RISIKO PNEUMONIA PADA BALITA DI PUSKESMAS II DENPASAR SELATAN
NI KADEK ETHI YUDIASTUTI NIM 1392161005
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
i
PEMBERIAN ASI DAN LINGKUNGAN FISIK RUMAH SEBAGAI FAKTOR RISIKO PNEUMONIA PADA BALITA DI PUSKESMAS II DENPASAR SELATAN
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Program Pascasarjana Universitas Udayana
NI KADEK ETHI YUDIASTUTI NIM 1392161005
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
ii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 22 JULI 2015
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof. dr.Dewa Nyoman Wirawan, MPH NIP. 194810101977021001
dr. Anak Agung Sagung Sawitri, MPH NIP. 196809141999032001
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Prof. dr.Dewa Nyoman Wirawan, MPH NIP. 194810101977021001
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Prof. Dr.dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) NIP. 195902151985102001
iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS
Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 22 Juli 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No. : 2106/UN14.4/HK/2015, Tanggal 13 Juli 2015
Ketua : Prof. dr. Dewa Nyoman Wirawan, MPH Anggota : 1. dr. Anak Agung Sagung Sawitri, MPH 2. Dr. dr. Gusti Ayu Trisna Windiani, SpA (K) 3. dr. Pande Putu Januraga, M.Kes, DrPH 4. dr. I Made Ady Wirawan, MPH, PhD
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Nama
:
Ni Kadek Ethi Yudiastuti
NIM
:
1392161005
Program Studi
:
Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat
Judul Tesis
:
Pemberian ASI dan Lingkungan Fisik Rumah sebagai Faktor Risiko Pneumonia pada Balita di Puskesmas II Denpasar Selatan
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan Mendiknas RI Nomor 17, tahun 2010 dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.
Denpasar, 22 Juli 2015
Ni Kadek Ethi Yudiastuti
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur dipanjatkan kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa karena berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyeselesaikan hasil penelitian yang berjudul “Pemberian ASI dan Lingkungan Fisik Rumah sebagai Faktor Risiko Pneumonia pada Balita di Puskesmas II Denpasar Selatan” ini tepat pada waktunya. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof.dr.Dewa Nyoman Wirawan, MPH selaku pembimbing I yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, bimbingan, dan saran selama penulis mengikuti program magister dan khususnya dalam penyelesaian tesis ini.Terima kasih sebesarbesarnya pula penulis sampaikan kepada Ibu dr.Anak Agung Sagung Sawitri, MPH selaku pembimbing II yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan, semangat, dan saran kepada penulis. Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana Bapak Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, Sp.PD(KEMD) atas kesempatan dan fasilitasyang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih ini juga ditujukan kepada Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Ibu Prof.Dr.dr. A.A.Raka Sudewi, Sp.S (K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa program magister pada Program Pasca Sarjana Universitas Udayana. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak Prof.dr. Dewa Nyoman Wirawan, MPH selaku ketua PS MIKM UNUD. Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan terima kasih kepada sekretariat PS MIKM UNUD, Koordinator Peminatan Epidemiologi Lapangan PS MIKM UNUD, dan semua para dosen dan staf PS MIKM UNUD. Ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada para penguji tesis ini, yaitu Ibu Dr. dr. Gusti Ayu Trisna Windiani, SpA (K), Bapak dr. Pande Putu Januraga, M.Kes, DrPH, dan Bapak dr. I Made Ady Wirawan, MPH,PhD yang telah memberikan masukan dan koreksi.
vi
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu dr. Luh Putu Sri Armini, M.Kes selaku Kepala Dinas Kesehatan Kota Denpasar, Ibu dr. A.A.A.A Candrawati selaku Kepala Puskesmas II Denpasar Selatan yang telah memberikan ijin penelitian, Ibu Ayu Nilawati selaku pemegang Program P2 ISPA dan seluruh staf Puskesmas II Denpasar Selatan yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu yang memberikan informasi dan bantuan dalam pengumpulan data. Tidak lupa penulis mengucapkan terima
kasih kepada
surveyor dalam membantu
pengambilan data dan semua responden yang telah memberikan ijin mengambil data sehingga penelitian ini dapat selesai. Terima kasih penulis ucapkan kepada civitas akademika Akademi Kebidanan Kartini Bali atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan serta dukungan moral dan material. Akhirnya penulis ucapkan terima kasih sebesar-besarnya untuk suami, anak, orang tua, mertua, keluarga, para sahabat serta teman-teman seperjuangan MIKM angkatan Vuntuk dukungannya.
Denpasar, 22 Juli 2015
Ni Kadek Ethi Yudiastuti
vii
ABSTRAK PEMBERIAN ASI DAN LINGKUNGAN FISIK RUMAH SEBAGAI FAKTOR RISIKO PNEUMONIA PADA BALITA DI PUSKESMAS II DENPASAR SELATAN Kematian balita akibat pneumonia masih tinggi karena faktor risikonya masih ada dan belum teratasi dengan baik.Puskesmas II Denpasar Selatan memiliki cakupan pneumonia sebesar 15,93% termasuk cakupan tertinggi nomor dua pada tahun 2012. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan risiko faktor riwayat pemberian ASI dan lingkungan fisik rumah terhadap kejadian pneumonia pada balita. Desain penelitian kasus kontrol dengan 60 kasus dan 60 kontrol. Kasus adalah balita yang terdiagnosis pneumonia oleh dokter puskesmas, berumur 0-59 bulan dan tercatat di register balita sakit pada 01 Januari 2014 sampai 31 Maret 2015 sedangkan kontrol adalah balita sehat yang diajak ke puskesmas saat penelitiaan. Data dikumpulkan dengan wawancara, observasidan pengukuran dengan menggunakan kuisioner, hygrometer, luxmeter dan rollmeter.Analisis univariat, bivariat, multivariat dengan Stata SE 12.1. Analisis bivariat menunjukkan frekuensi ISPA berulang, pemberian ASI (ASI eksklusif, durasi ASI, inisiasi menyusu dini) dan lingkungan fisik rumah (ventilasi, kelembaban, pencahayaan, kepadatan hunian) sebagai faktor risiko kejadian pneumonia pada balita. Analisis multivariat didapatkan faktor risiko yang terbukti signifikan dan meningkatkan kejadian pneumonia pada balita adalah durasi pemberian ASI kurang dari dua bulan OR=5,24 (95% CI: 1,96–14,01), pencahayaan alami OR=2,72 (95% CI: 1,05–7,00), tingkat kepadatan hunian OR=3,11 (95% CI: 1,18 – 8,19), tidak mendapatkan imunisasi Hib dan pneumokokus sesuai anjuran IDAI OR=3,68 (95% CI: 1,11-12,17), frekuensi ISPA >1 kali OR=10,14 (95% CI: 3,6 – 28,02). Variabel durasi ASI, pencahayaan alami dan kepadatan hunian rumah yang tidak memenuhi syarat,tidak mendapatkan imunisasi Hib dan pneumokokus sesuai anjuran IDAI, serta mengalami ISPA >1 kali sebagai faktor risiko pneumonia balita. Kata kunci :
Pneumonia, Balita, Pemberian ASI, Lingkungan Fisik Rumah, Denpasar
viii
ABSTRACT BREASTFEEDING AND HOUSE PHYSICAL ENVIRONMENT AS RISK FACTORS OF PNEUMONIA AMONG UNDER – FIVE CHILDREN AT PUBLIC HEALTH CENTER II OF SOUTH DENPASAR
Under-five mortality due to pneumonia remains high because the presence of risk factors has not been controlled properly. PHC II of South Denpasar had pneumonia coverage of 15.93% which was the second highest coverage in 2012. This study aims to determine the role of breast-feeding history and house physical environment risk factors for pneumonia in under-five children. A case-control study was conducted involving 60 cases and 60 controls. Cases were under-five children who were diagnosed with pneumonia by PHC doctors, aged between 0-59 months and recorded in the register between1 January, 2014 and31 March 31 2015, while controls were a healthy children aged under 5 years old who visited the PHC during the study. Data were collected through interviews, observation and measurement using questionnaires, hygrometer, luxmeter and rollmeter. Univariate, bivariate, and multivariate analyses were performed by Stata SE 12.1. Bivariate analysis showed that the frequency of recurrent respiratory infection, breastfeeding (exclusive breastfeeding, duration of breastfeeding, early initiation of breastfeeding) and physical environment of the house (ventilation, humidity, lighting, crowding in houses) significantly associated with the incidence of pneumonia in under-five children. Futhermore, multivariate analysis found that statistically significant risk factors for pneumonia in under-five children are the duration of breastfeeding less than two months OR = 5.24 (95% CI: 1.96 - 14.01), natural lighting OR = 2.72 (95 % CI: 1.05 - 7.00), crowded housing OR = 3.11 (95% CI: 1.18 - 8.19), no Hib and pneumococcal immunizations as recommended by IDAI OR = 3.68 (95 % CI: 1.11 - 12.17), frequency of ARI>1 times OR = 10.14 (95% CI: 3.6 - 28.02). Duration of breastfeeding, natural lighting and overcrowded housing, not Hib and pneumococcal immunizations, as well as experiencing ARI> 1 times are risk factors for pneumonia among under-five children. Keywords :
Pneumonia, Under-Five Children, Breastfeeding, House Physical Environment, Denpasar
ix
DAFTAR ISI
Halaman SAMPUL DALAM……………………………………………………….. LEMBAR PERSYARATAN GELAR……………………………………. LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………….. LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI………………………….. SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT……………………………. UCAPAN TERIMA KASIH……………………………………………… ABSTRAK……………………………………………………………........ ABSTRACT………………………………………………………………. DAFTAR ISI…………………………………………………………........ DAFTAR TABEL……………………………………………………........ DAFTAR SINGKATAN…………………………………………………. DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………........
i ii iii iv v vi viii ix x xii xiii xv
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………........ 1.1 Latar Belakang…………………………………………………. 1.2 Rumusan Masalah…………………………………………........ 1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………. 1.3.1 Tujuan Umum………………………………………….. 1.3.2 Tujuan Khusus…………………………………………. 1.4 Manfaat Penelitian……………………………………………...
1 1 5 6 6 6 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………….. 2.1 Faktor Risiko Kejadian Pneumonia pada Balita.......................... 2.1.1 Faktor Sosial Ekonomi dan Demografi ........................... 2.1.2 Riwayat Penyakit.... …………………………………… 2.1.3 Pemberian ASI yang Kurang Memadai……………....... 2.1.4 Defisiensi Vitamin A....................................................... 2.1.5 Pemberian Imunisasi yang Tidak Lengkap…………….. 2.1.6 Paparan Asap Rokok…………………………............... 2.1.7 Lingkungan Fisik Rumah…………………………........
8 8 8 11 12 17 18 19 21
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN……………………………………………………………... 3.1 Kerangka Berpikir…………………………………………........ 3.2 Konsep Penelitian ……………………………………………... 3.3 Hipotesis………………………………………………………...
30 30 33 34
BAB IV METODE PENELITIAN………………………………………... 4.1 Rancangan Penelitian…………………………………………...
35 35
x
Definisi Kasus dan Kontrol…………………………………….. 4.2.1 Subyek Kasus………………………………................... 4.2.2 Subyek Kontrol………………………………................ Sumber Kasus dan Kontrol……………………………………. 4.3.1 Populasi Kasus……………………………………......... 4.3.2 Populasi Kontrol………………………………………... Besar Sampel Kasus dan Kontrol………………………………. 4.4.1 Jumlah dan Besar Sampel…………………………........ 4.4.2 Teknik Pemilihan Sampel dan Matching......................... Metode dan Instrumen untuk Mengukur Variabel Independent…………………………………………………….. 4.5.1 Metode Pengumpulan Data…………………………….. 4.5.2 Instrumen Penelitian……………………………………. Lokasi dan Waktu Penelitian………………………………… Identifikasi Variabel Penelitian……………………………........ 4.7.1 Variabel Dependent…………………………………...... 4.7.2 Variabel Independent....................................................... 4.7.3 Definisi Operasional…………………………………… Prosedur dan Etika Penelitian………………………………….. Pengolahan dan Analisis Data……………………………. 4.9.1 Pengolahan Data……………………………………….. 4.9.2 Analisis Data………………………………………........
36 36 36 37 37 37 37 37 39
BAB V HASIL PENELITIAN…………………………………………….
55
5.1
Gambaran Umum Lokasi Penelitian……………………………
55
5.2
Karakteristik Sampel……………………………………………
56
5.3
Analisis Bivariat Faktor Risiko dengan Pneumonia pada Balita.
57
5.4
Analisis Multivariat Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Pneumonia pada Balita………………………………
65
BAB VI PEMBAHASAN…………………………………………………
68
4.2
4.3
4.4
4.5
4.6 4.7
4.8 4.9
6.1 6.2
Faktor Risiko Pneumonia pada Balita di Wilayah Puskesmas II Denpasar Selatan………………………………… Keterbatasan Penelitian ………………………………………...
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN……………………………………
39 39 40 40 40 40 40 42 48 49 49 54
68 74 75
7.1
Simpulan ……………………………………………………….
75
7.2
Saran ……………………………………………………………
75
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………... LAMPIRAN-LAMPIRAN …………….………………………………….
76 82
xi
DAFTAR TABEL Halaman
4.1
Perhitungan Jumlah Sampel Penelitian…………………………...
37
4.2
Definisi Operasional……………………………………………....
41
5.1
Komparabilitas Karakteristik Ibu dan Balita di Wilayah
56
Puskesmas II Denpasar Selatan Tahun 2015…………….............. 5.4
Crude OR Pemberian ASI pada Kasus dan Kontrol ……………
57
5.5
CrudeOR Lingkungan Fisik Rumah dengan pada Kasus dan
59
Kontrol……………………………………………….................... 5.4
Crude OR Riwayat ISPA, Riwayat BBLR, Status Gizi, Paparan
61
Asap Rokok, Status Imunisasi dan Vitamin A pada Kasus dan Kontrol…………………………………………………………… 5.5
Kelengkapan Imunisasi berdasarkan Umur pada Kasus dan
63
Kontrol……………........................................................................ 5.6
Adjusted OR Faktor Risiko Pneumonia pada Kasus dan Kontrol……………………………………………………………
xii
65
DAFTAR SINGKATAN
APHA
: American Public Health Association
ASI
: Air Susu Ibu
Balita
: Bawah lima tahun
BB/U
: Berat badan / Umur
BBLR
: Berat badan lahir rendah
CI
: Confidence Interval
CO2
: Karbondioksida
Depkes
: Departemen Kesehatan
Ditjen PP & PL
: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
DPT
: Dipterri, Pertussis, dan Tetanus
GATS
: Global Adult Tobacco Survey
Hib
: Haemophilus influenza type b
IgA
: Imunoglobulin A
IMCI
: Integrated Management of Childhood Illness
IMD
: Inisiasi Menyusu Dini
ISPA
: Infeksi Saluran Pernafasan Akut
IPD
: Invasive Pneumococcal Disease
Kemenkes
: Kementerian Kesehatan
KIA-KB
: Kesehatan ibu dan anak
MDG’s
: Millennium Development Goals
O2
:
Oksigen xiii
OR
: Odds ratio
P2
: Pemegang program
PCV
: Pneumococcal Conjugate Vaccine
Puskesmas
: Pusat Kesehatan Masyarakat
RI
: Republik Indonesia
Riskesdas
: Riset Kesehatan Dasar
RS
: Rumah Sakit
SDKI
: Survei Dasar Kesehatan Indonesia
TBC
: Tuberkulosis
UNICEF
: United Nations International Children’s Emergency Fund
WHO
: World Health Organization
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
1
Pedoman Wawancara dan Observasi
2
Hasil Analisis Bivariat dan Multivariat dengan STATA
3
Surat Ijin Penelitian
xv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyebab kematian utama pada balita di dunia termasuk Indonesia.United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF) menyatakan bahwa pada tahun 2011 terjadi 1,3 juta kematian dimana 14% dari keseluruhan kematian anak bawah lima tahun (Balita) disebabkan oleh pneumonia (Subanada, 2014). Prediksi kasus baru dan insiden pneumonia balita paling tinggi terjadi pada 15 negara, mencakup 115,3 juta (74%) dari 156 juta kasus di seluruh dunia. Lebih dari setengahnya terkonsentrasi di enam negara, mencakup 44% populasi balita di dunia. Keenam negara tersebut adalah India 43 juta, China 21 juta, Pakistan 10 juta, Bangladesh, Indonesia dan Nigeria masing-masing enam juta kasus per tahun (Rudan dkk, 2008). Strategi untuk penatalaksanaan kasus (case-management) dalam rangka menurunkan kematian yang disebabkan oleh penyakit yang berhubungan dengan pneumonia telah dilakukan oleh WHO sejak 1980-an. Pedoman kemudian dikembangkan dan diintegrasikan ke program Integrasi Tatalaksana Balita Sakit (Integrated Management of Childhood Illness/IMCI), yang juga memasukkan pedoman untuk pelayanan kesehatan primer dan tatalaksana kasus di rumah sakit. Program ini telah terlaksana lebih dari 25 tahun tetapi angka kematian anak karena pneumonia masih tinggi. Hal ini merupakan tantangan untuk semua pihak,terutama dalam usaha mencapai tujuan Millennium Development Goals
1
2
(MDG’s) nomor empat, yaitu menurunkan kematian anak (balita) sebesar dua pertiga diantara tahun 1990 dan 2015 (Kemenkes, 2010). Riset kesehatan dasar (Riskesdas) menyatakan pada tahun 2007 sebesar 15,5% penderita pneumonia meninggal dunia atau 83 balita meninggal setiap hari dan menjadi penyebab nomor dua dari keseluruhan kematian balita di Indonesia. Survei Dasar Kesehatan Indonesia (SDKI) menyatakan terjadi peningkatan kejadian pneumonia balita dari tahun 2002 – 2007 yaitu 7,6% menjadi 11,2% (Kemenkes RI, 2010). Bali merupakan propinsi nomor dua dengan kejadian pneumonia tertinggi di Indonesia pada tahun 2007 sebesar 11,1% (Kemenkes RI, 2010). Denpasar merupakan kabupaten/kota dengan cakupan pneumonia tertinggi nomor empat di Bali sebesar 18,73%, sedangkan Puskesmas II Denpasar Selatan merupakan puskesmas nomor dua dengan cakupan pneumonia tertinggi sebesar 15,93% pada tahun 2012 (Dinkes Kota Denpasar, 2013). Tingginya pneumonia pada balita oleh karena faktor risikonya masih ada. Departemen Republik Indonesia (Depkes RI) dan beberapa penelitian tentang pneumonia menyatakan faktor risiko pneumonia pada balita antara lain: umur, jenis kelamin, pendidikan ibu, tingkat sosial ekonomi rendah, status gizi, berat badan lahir rendah (BBLR), pemberian air susu ibu (ASI) yang kurang memadai, status imunisasi, defisiensi vitamin A, faktor lingkungan fisik rumah (lantai, dinding, ventilasi, kelembaban, suhu, pencahayaan), kepadatan hunian kamar tidur, polusi udara (Depkes RI, 2004).
3
Beberapa penelitian berkaitan dengan riwayat pemberian ASI sebagai faktor risiko pneumonia pada balita. Pemberian ASI yang memadai dapat mengurangi morbiditas serta mortalitas akibat pneumonia karena dapat mengurangi kejadian infeksi terhadap saluran pernapasan serta menurunkan tingkat keparahan infeksi selama masa bayi dan balita, pemberian ASI yang tidak memadai sebagai salah satu faktor risiko pneumonia pada balita (Lamberti, dkk., 2013; Victora, dkk, 1994; Fonseca, dkk., 1996; Sugihartono dan Nurjazuli, 2012; Mokoginta, dkk., 2013; Naim, 2000; Pradhana, 2010; Regina, dkk., 2013; Annah, dkk., 2012;Kramer, 1988; Ogundele, 1999; Arifeen, dkk., 2001; Franks, dkk., 1982; WHO, 2014; Horta, dkk., 2007). Studi kasus kontrol pada bayi dan balita tentang ASI eksklusif dengan pneumonia dinyatakan tidak ada hubungan yang bermakna (Farmani, 2011; Sulistyowati, 2010; Yushananta, 2008). Banyak penelitian tentang pemberian ASI dikaitkan dengan pneumonia pada balita yang telah dilakukan di Indonesia, namun belum ada yang secara mendalam menggali pemberian ASI sebagai faktor risiko pneumonia. Penelitian di Puskesmas II Denpasar Selatan, pada instrumen bagian pertanyaan ASI hanya ada di karakteristik untuk menanyakan apakah ASI eksklusif atau tidak (Farmani, 2011).Pemberian ASI eksklusif tidak hanya ditanyakan apakah memberikan ASI saja selama enam bulan atau tidak, tetapi ada beberapa hal yang perlu ditanyakan terkait pola pemberiannya.Hal tersebut seperti pelaksanaan inisiasi menyusu dini (IMD) pada saat lahir, pemberian kolostrum, kebijakan/peraturan tentang pemberian ASI eksklusif. Sejalan dengan hal ini, maka sudah ada beberapa program atau kebijakan yang telah diambil/ditetapkan
4
oleh
pemerintah
untuk
mencapai
keberhasilan
cakupan
ASI
eksklusif
ini.Kenyataannya tetap saja dari tahun ke tahun cakupan ASI eksklusif di Indonesia masih di bawah target. Balita yang tinggal dalam rumah yang padat penghuninya (Victora dkk., 1994;Yuwono,2008; Pramudiyani dan
Prameswari, 2011; Farmani, 2011;
Pamungkas, 2012) tidak ada jendela serta tidak membuka jendela kamar dan ventilasi kamar (Anwar dan Dharmayanti, 2014;Yuwono, 2008; Pramudiyani dan Prameswari, 2011), jenis lantai yang membuat lembab (Yuwono, 2008; Sugihartono dan Nurjazuli, 2012), kondisi dinding dan rumah yang lembab (Yuwono, 2008), dan kurangnya pencahayaan alami ke dalam ruang tidur (Farmani, 2011) sebagai faktor risiko pneumonia pada balita. Peran faktor lingkungan sebagai faktor risiko juga disampaikan oleh petugas surveilans dan pemegang program P2 ISPA di Puskesmas II Denpasar Selatan yang mengatakan bahwa wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Selatan merupakan daerah yang cukup padat baik dari segi bangunan maupun penduduk. Penderita pneumonia sebagian besar adalah penduduk pendatang dimana mereka tinggal di kos-kosan yang huniannya padat dan sempit (Footnotes, 2014).Faktor yang berkaitan dengan lingkungan fisik rumah ini masih ada yang inkonsisten.Luas ventilasi (Farmani, 2011; Sunyataningkamto,dkk., 2004), kelembaban rumah (Farmani, 2011; Sinaga, 2008) jenis lantai yang tidak memenuhi syarat (Farmani, 2011), tingkat kepadatan penghuni di dalam rumah (Zuraidah, 2002) tidak memiliki hubungan bermakna dengan kejadian pneumonia pada bayi dan anak balita.
5
Faktor lain sebagai faktor risiko pneumonia pada balita adalah status imunisasi, status gizi, defisiensi vitamin A, riwayat BBLR, dimana Kota Denpasar faktor-faktor tersebut relatif cukup baik. Data dari Profil Dinas Kesehatan Kota Denpasar cakupan imunisasi di Kota Denpasar untuk tahun 2012 dan 2013 semua telah melebihi target yang ditentukan, cakupan status gizi balita berdasarkan berat badan/umur (BB/U) masih terdapat dua balita (0,15%) gizi buruk, sedangkan sebesar 3,43% mengalami gizi kurang walaupun tidak melebihi target Kota Denpasar yaitu 15%. Cakupan pemberian vitamin A di Kota Denpasar tahun 2013 yaitu 100% yang berarti sudah memenuhi target. Berdasarkan data dari pemegang program Kesehatan Ibu dan Anak – Keluarga Berencana (KIA-KB) Dinas Kesehatan Kota Denpasar jumlah kasus BBLR yang terjadi pada tahun 2013 sebanyak 181 kasus. Berdasarkan data dari pemegang program Penanggulangan Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Atas (P2 ISPA) Dinas Kesehatan Kota Denpasar bahwa orang tua perokok merupakan faktor risiko utama terjadinya pneumonia di Kota Denpasar pada tahun 2011 dan 352 orang yang telah dilakukan care seeking. Data yang didapat ini hanya berdasarkan pertanyaan yang diberikan kepada orang tua yang anaknya menderita pneumonia saja. 1.2 Rumusan Masalah Kejadian pneumonia masih tinggi begitu juga kematiannya. Penelitian tentang hubungan ASI, lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko pneumonia pada balita telah banyak dilakukan, namun ada beberapa hal yang masih tidak konsisten. Berdasarkan latar belakang yang telah disusun maka rumusan
6
masalahnya adalah apakah pemberian ASI dan lingkungan fisik rumah meningkatkan risiko kejadian pneumonia pada balita? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1
Umum Mengetahui pemberian ASI dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor
risiko kejadian pneumonia pada balita di Puskesmas II Denpasar Selatan. 1.3.2
Khusus
1.
Mengidentifikasi pemberian ASI (status ASIeksklusif, durasi pemberian ASI, pemberian ASI dua tahun, status inisiasi menyusu dini, pemberian kolostrum), dan lingkungan fisik rumah (jenis lantai, keadaan dinding, luas ventilasi, kelembaban, pencahayaan alamidan dan kepadatan hunian).
2.
Mengetahui pemberian ASI dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko kejadian pneumonia pada balita.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1
Manfaat bagi pemegang kebijakan Hasil studi ini diharapkan mampu memberikan masukan dalam menyusun
tata laksana pencegahan dan penanggulangan pneumonia pada balitadi wilayah Puskesmas II Denpasar Selatan. 1.4.2
Manfaat bagi masyarakat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang faktor risiko pneumonia sehingga kejadian pneumonia pada balita bisa dicegah dan ditanggulangi.
7
1.4.3
Manfaat akademik
1.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang faktor riwayat pemberian ASI dan lingkungan fisik rumah dengan kejadian pneumonia pada balita
2.
Dapat menjadi acuan dan data dasar bagi penelitian berikutnya, terutama yang berkaitan dengan pneumonia pada balita.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli) pada anak seringkali bersamaan dengan terjadinya proses infeksi akut pada bronkus yang disebut bronkopneumonia (Depkes RI, 2002). Faktor risiko sangat besar pengaruhnya terhadap morbiditas maupun mortalitas pneumonia pada balita. 2.1
Faktor Risiko Kejadian Pneumonia pada Balita Faktor risiko adalah beberapa faktor yang berkontribusi terhadap
munculnya kondisi sehat atau sakit (Stanhope dan Lancester, 2002).Faktor risiko pneumonia sudah diketahui, namun untuk menekan kematian oleh karena pneumonia masih belum bisa dilaksanakan secara maksimal untuk memberantas faktor risiko tersebut. 2.1.1
Faktor sosial ekonomi dan demografi Faktor sosial ekonomi merupakan salah satu yang yang berkontribusi
utama dalam penyakit pernapasan.Hubungan korelasi negatif antara status sosial ekonomi dengan morbiditas saluran pernapasan.Status ekonomi secara umum yang berhubungan dengan insiden pneumonia diukur dari besarnya rumah tangga, banyaknya kamar, dan banyaknya orang yang menghuni tiap kamar (Machmud, 2006).Masyarakat miskin juga identik dengan ketidakmampuannya dalam pemenuhan kebutuhan dasar.Balita yang hidup dalam keluarga dengan sosial ekonomi rendah cenderung kurang mendapat asupan makanan yang cukup
8
9
sehingga lebih rentan terkena penyakit. Sosial ekonomi yang rendah dapat memengaruhi upaya pencarian pengobatan. Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) untuk Kota Denpasar tahun 2014 adalah Rp 1.656.900,- (Depnaker, 2013). Kejadian pneumonia 1,81 kali lebih tinggi pada daerah kabupaten/kota yang penduduknya miskin (Trihono dan Gitawati, 2009). Status ekonomi berhubungan dengan pneumonia balita dimana anak yang berasal dari status sosial ekonomi rendah mempunyai risiko terkena pneumonia sebesar 2,39 kali (95% CI : 1,39 – 4,09) dibandingkan anak yang berasal dari status sosial ekonomi tinggi. Anak dari status sosial ekonomi sedang mempunyai risiko terkena pneumonia 2,15 kali (95% CI : 1,25 – 3,70) dibandingkan dari anak dari status sosial ekonomi tinggi (Hananto, 2004). Negara-negara berkembang memiliki gambaran tentang adanya perbedaan tingkat kelangsungan hidup anak yang berkaitan dengan pendidikan ibu (Machmud, 2006). Pengetahuan seseorang terhadap suatu hal dapat diperoleh melalui jenjang pendidikan. Peran seorang ibu penting dalam pemeliharaan kesehatan balita selalu berusaha agar anaknya tetap sehat. Ibu yang berpendidikan baik akan mempunyai wawasan yang cukup dalam pemeliharaan balita (Depkes RI, 2003). Pendidikan ibu berhubungan bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita (OR : 5,31; 95% CI : 2,18 – 12,98) ini berarti balita yang ibunya memiliki pendidikan rendah mempunyai risiko 5,31 kali untuk terkena pneumonia dibandingkan balita yang ibunya memiliki pendidikan tinggi (Fanada, dkk., 2012). Faktor umur ikut berperan dalam penyakit yang diderita oleh anak.Risiko untuk terkena pneumonia lebih besar pada anak umur di bawah dua tahun.Anak
10
umur di bawah dua tahun lebih besar risikonya terkena pneumonia dibandingkan yang lebih tua karena status imun/kekebalan anak di bawah dua tahun belum sempurna dan lumen saluran napas yang masih sempit (Depkes RI dalam Tantry, 2008). Menurut Depkes risiko untuk terkena pneumonia adalah umur kurang dari dua tahun. Data Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP&PL) dan Profil Kesehatan Indonesia proporsi kasus pneumonia pada kelompok umur kurang dari satu tahun dari tahun 2007 sampai 2009 sekitar 35% dari semua kasus pneumonia pada balita (Kemenkes RI, 2010). Hasil penelitian yang ada di Indonesia menunjukkan bahwa kasus pneumonia lebih dominan pada anak kurang dari satu tahun. Umur memiliki hubungan dengan kejadian pneumonia pada balita (Regina dkk., 2013). Umur balita ≤ 12 bulan berpeluang 4,18 kali terkena pneumonia dibandingkan balita umur > 12 bulan sampai dengan < 60 bulan (Hartati (2011), begitu juga dinyatakan anak ≤12 bulan mempunyai risiko untuk terjadi pneumonia 2,27 kali lebih besar dibandingkan dengan anak usia >12 bulan (Hananto (2004). Pedoman P2 ISPA menyebutkan jenis kelamin laki-laki adalah faktor risiko yang memengaruhi kejadian pneumonia (Depkes RI, 2004). Hal ini disebabkan diameter saluran pernapasan anak laki-laki lebih kecil dibandingkan dengan anak perempuan atau adanya perbedaan dalam daya tahan tubuh antara anak laki-laki dan perempuan (Sunyataningkamto, 2004). Secara umum hampir semua penelitian menyatakan secara konsisten bahwa jenis kelamin laki-laki lebih berisiko terkena pneumonia, walaupun ada beberapa yang dinyatakan tidak ada hubungan yang bermakna.
11
Jenis kelamin laki-laki lebih besar risiko untuk terkena pneumonia daripada perempuan (Anwar & Dharmayanti, 2014; Sugihartono & Nurjazuli, 2012; Annah, dkk., 2012). Sebesar 56% penderita pneumonia yang dirawat di RS adalah laki-laki berdasarkan penelitian di Uruguay tahun 1997-1998 (Machmud, 2006). Jenis kelamin tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita dimana laki-laki memiliki peluang 1,24 kali lebih besar terkena pneumonia daripada balita perempuan (Hartati, 2011). Hasil yang sama juga terdapat pada penelitian yang lain bahwa balita laki-laki mempunyai risiko 1,11 kali dibandingkan perempuan untuk terkena pneumonia namun secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna (Herman 2002). 2.1.2
Riwayat penyakit (ISPA) Infeksi saluran pernapasan atas akut biasa disebut ISPA ringan atau bukan
pneumonia. Infeksi saluran pernapasan atas akut (ISPA) lebih banyak menyerang anak karena mekanisme pertahanan tubuhnya masih sangat lemah. Seorang balita rata-rata mengalami batuk pilek tiga sampai enam kali dalam setahun (Depkes RI, 2002). Penelitian di Puskesmas Sidorejo Kota Pagar Alam Semarang, mendapatkan hubungan yang tidak signifikan antara infeksi saluran pernapasan dengan kejadian pneumonia (OR : 2,13; 95% CI : 0,78-5,64) (Sugihartono dan Nurjazuli, 2012). Keadaan anak saat lahir ikut berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak selanjutnya selain riwayat ISPA yang berulang, salah satunya adalah BBLR. Berat badan lahir rendah ialah keadaan dimana bayi berat badan kurang dari 2.500 gram (sampai dengan 2.499 gram). Bayi dan balita dengan
12
BBLR lebih berisiko terhadap kematian bahkan sejak masa awal kehidupannya. Hal ini disebabkan zat anti kekebalan di dalam tubuhnya belum sempurna (Molyneux dalam Tantry, 2008). Sebuah penelitian menyebutkan bahwa bayi 0-4 bulan dengan riwayat BBLR memiliki risiko yang lebih besar untuk menderita pneumonia (Abdullah dalam Tantry, 2008). Penelitian di Sumatera Selatan mendapatkan hasil bahwa balita yang memiliki riwayat BBLR memiliki risiko 1,90 kali untuk terkena pneumonia dibandingkan dengan riwayat balita yang lahir dengan berat badan normal namun secara statistik tidak bermakna (OR : 1,90 ; 95% CI :0,72-4,90) (Herman, 2002). 2.1.3
Pemberian ASI yang kurang memadai Efektivitas ASI dalam mengendalikan infeksi dapat dibuktikan dengan
berkurangnya kejadian beberapa penyakit spesifik pada bayi yang mendapat ASI dibanding bayi yang mendapat susu formula. Penelitian oleh WHO membuktikan bahwa pemberian ASI sampai usia dua tahun dapat menurunkan angka kematian anak akibat penyakit diare dan infeksi saluran napas akut (Tumbelaka dan Karyanti, 2008). Air susu ibu sangat besar peranannya dalam pembentukan daya tahan tubuh bayi dan sebagai imunisasi aktif. Air susu ibu dapat memberi perlindungan kepada tubuh bayi melalui berbagai zat kekebalan yang ada di dalamnya serta asupan nutrisi untuk beraktivitas (Roesli, 2005). Air susu ibu terbukti sebagai minuman sekaligus makanan yang luar biasa manfaatnya karena seorang ibu yang dalam keadaan kekurangan gizi, maka ASI tetap mengandung nutrisi esensial yang cukup untuk bayi dan mampu mengatasi infeksi melalui komponen sel fagosit dan immunoglobulin (Munasir dan Kurniati,
13
2008). Imunoglobulin ASI tidak diabsorpsi bayi tetapi berperan memperkuat sistem imun lokal usus. Air susu ibu juga meningkatkan immunoglobulin A (sIgA) pada mukosa traktus respiratorius dan kelenjar saliva bayi. Ini disebabkan faktor pertumbuhan dan hormon sehingga dapat merangsang perkembangan sistem imun lokal bayi. Hal ini terlihat dari lebih rendahnya penyakit otitis media, pneumonia, bakteriemia, meningitis dan infeksi traktus urinarius pada bayi yang mendapat ASI dibanding bayi yang mendapat susu formula (Matondang, dkk,. 2008). Pemberian ASI yang dianjurkan adalah bayi diberikan ASI saja tanpa makanan atau minuman tambahan termasuk air putih selama enam bulan, ini disebut dengan pemberian ASI eksklusif (Matondang, dkk., 2008). Hal ini disebabkan kandungan dalam ASI yang sudah sebagian besar terdiri dari air (87,5%) dan walaupun berada di tempat yang mempunyai suhu udara panas bayi tidak akan dehidrasi karena sudah minum ASI (Hendarto dan Pringgadini, 2008). Satu bulan pertama ASI mencukupi seluruh kebutuhan nutrisi dan energi bayi, setelah enam bulan memberikan separuh atau lebih, dan selama tahun kedua mencukupi 1/3 atau lebih kebutuhan nutrisi bayi (Proverawati dan Rahmawati, 2010). Kolostrum adalah cairan susu kental yang berwarna kekuning-kuningan yang dihasilkan oleh sel alveoli payudara ibu dengan jumlah yang tidak terlalu banyak tetapi kaya zat gizi (Proverawati dan Rahmawati, 2010). Kolostrum merupakan ASI yang keluar pada saat kelahiran sampai hari ke-4 atau ke-7 (Roesli, 2005). Kolostrum kaya akan zat antibodi terutama sIgA. Kolostrum
14
memiliki lebih dari 50 proses pendukung perkembangan imunitas termasuk faktor pertumbuhan dan perbaikan jaringan (Munasir dan Kurniati, 2008). Kolostrum dapat membunuh kuman dalam jumlah besar karena mengandung sel darah putih dan protein imunoglobulin.Kolostrum dihasilkan pada saat sistem pertahanan tubuh bayi paling rendah sehingga dapat dikatakan bayi menerima imunisasi yang pertama dalam kehidupannya (Roesli, 2005).Banyak zat antibodi dan faktor imunosupresif terkandung dalam kolostrum yang mencegah terjadinya stimulasi berlebih akibat masuknya antigen dalam jumlah yang besar (Sumadiono, 2008).Beberapa daerah di Indonesia sengaja membuang kolostrum karena dianggap dapat berpengaruh tidak baik terhadap kesehatan anak. Inisiasi menyusu dini adalah bayi mulai menyusu sendiri segera setelah lahir dengan membiarkan kontak kulit bayi ke kulit ibunya, paling tidak selama satu jam segera setelah lahir (Roesli, 2008). Manfaat IMD bagi bayi adalah mengkoordinasikan reflek hisap, telan dan napas bayi; meningkatkan kecerdasan; memenuhi kebutuhan nutrisi bayi karena ASI merupakan makanan dengan kualitas dan kuantitas yang optimal; memberi kekebalan pasif kepada bayi melalui kolostrum; meningkatkan bounding attachment antara ibu dan bayi; merangsang kolostrum segera keluar serta mencegah hipotermi. Manfaat bagi ibu adalah meningkatkan keberhasilan produksi ASI; merangsang produksi oksitosin dan prolaktin; dan meningkatkan ikatan batin ibu dan bayi (Sidi, dkk., 2004). Pemberian ASI saja selama enam bulan tanpa diselingi makanan atau cairan apapun, misal pisang, bubur susu, biskuit, susu formula (Wiji 2013). Laporan Expert Consultation on the Optimal Duration of Exclusive Breast
15
Feeding dalam (Wiji 2013) menyatakan bahwa bayi yang diberikan ASI eksklusif selama enam bulan memiliki daya perlindungan yang lebih tinggi terhadap penyakit infeksi dibandingkan bayi yang diberikan ASI eksklusif hanya empat bulan. World Health Organization (WHO) dan UNICEF merekomendasikan menyusui setiap kali bayi mau, ASI secara eksklusif selama enam bulan dan apabila ASI diperah jangan memberikan dengan botol atau dot, menyusui dalam satu jam pertama setelah bayi dilahirkan(Proverawati dan Rahmawati, 2010). Hasil penelitian mendapatkan hubungan yang signifikan antara riwayat pemberian ASI dengan kejadian pneumonia (OR : 8,96; 95% CI: 2,84 – 23,23). Balita berisiko 8,96 kali lebih besar terkena pneumonia bila mengkonsumsi ASI tidak
eksklusif
dibanding
dengan
balita
yang
mengkonsumsi
ASI
eksklusif(Sugihartono dan Nurjazuli, 2012). Bayi di bawah enam bulan yang tidak diberi ASI eksklusif berisiko lima kali untuk mengalami kematian akibat pneumonia dibandingkan bayi yang mendapatkan ASI eksklusif (UNICEF-WHO, 2006). Bayi yang diberi ASI tidak eksklusif mempunyai risiko terjadinya pneumonia pada umur 4-24 bulan sebesar 4,89 kali (95% CI : 2,86 - 8,36) dibandingkan dengan bayi yang mendapatkan ASI eksklusif (Naim, 2000). Sebaliknya penelitiandi Puskesmas II Denpasar Selatan menunjukkan hasil tidak terdapat hubungan yang bermakna antara ASI eksklusif dengan kejadian pneumonia pada bayi dan anak balita, tidak memberikan ASI eksklusif bukan merupakan faktor risiko kejadian pneumonia (OR : 3,51; 95% CI : 0,73 – 16,79) (Farmani, 2011).
16
Setelah bayi berumur enam bulan diberikan makanan tambahan dan ASI diteruskan pemberiannya sampai usia anak dua tahun atau lebih(Wiji 2013). Menurut penelitian (Heriyana, dkk, 2005) lamanya pemberian ASI berhubungan dengan kejadian pneumonia (OR : 7,95; 95% CI : 1,78 - 35,48). Frekuensi menyusui yang semakin sering dapat meningkatkan produksi ASI, mencegah payudara nyeri serta sakit karena penumpukan dan penggumpalan ASI, dan meminimalkan kemungkinan bayi menjadi kuning karena proses pembentukan hati yang belum matur. Bayi yang baru lahir disusui sampai merasa puas atau bila diperhitungkan dengan waktu sebaiknya setiap dua sampai tiga jam sekali. Menyusui minimal lima menit pada masing-masing payudara pada hari pertama setelah melahirkan dan frekuensinya semakin ditingkatkan setiap hari sehingga dapat meningkatkan produksi ASI yang berkualitas. Frekuensi menyusui bayi tidak perlu dibatasi dan durasi menyusui kurang lebih 20 menit untuk masing-masing
payudara
mencukupi
untuk
memenuhi
kebutuhan
bayi
(Proverawati dan Rahmawati, 2010). Bayi pada bulan-bulan pertama kehidupan belum mampu menerima makanan karena saluran pencernaan yang belum sempurna dan kekebalan tubuh pada bayi juga belum sepenuhnya terbentuk. Pemberian makanan tambahan diberikan ketika bayi sudah mencapai usia enam bulan. Makanan sangat rentan tercemar kuman, pemberian makanan yang terlalu dini kepada bayi akan berpotensi menimbulkan infeksi karena bayi belum mampu mencernanya dengan baik sehingga jika ada kuman yang masuk melalui makanan bayi akan mudah terinfeksi penyakit (Depkes RI, 2004).
17
Volume ASI setelah minggu-minggu pertama kurang lebih 450-650 ml, berkurang sedikit dari sejak minggu pertama kelahiran bayi. Setiap hari sebanyak 600 ml susu diperlukan untuk memenuhi kebutuhan bayi. Jumlah tersebut dapat dicapai dengan menyusui bayi selama empat sampai enam bulan pertama, oleh karena itu selama kurun waktu tersebut ASI mampu memenuhi kebutuhan gizinya. Setelah berumur enam bulan bayi perlu mendapatkan makanan tambahan karena volume pengeluaran ASI mulai menurun dan sejak saat itu kebutuhan gizi tidak lagi dapat dipenuhi oleh ASI (Proverawati dan Rahmawati, 2010). 2.1.4
Defisiensi vitamin A Vitamin A bermanfaat untuk meningkatkan imunitas dan melindungi
saluran pernapasan dari infeksi kuman.Vitamin A dapat melindungi tubuh dari infeksi organisme asing, seperti bakteri patogen. Mekanisme pertahanan ini termasuk ke dalam sistem imun eksternal, karena sistem imun ini berasal dari luar tubuh. Vitamin ini akan meningkatkan aktivitas kerja dari sel darah putih dan antibodi di dalam tubuh sehingga tubuh menjadi lebih resisten terhadap senyawa toksin maupun terhadap serangan mikroorganisme parasit, seperti bakteri patogen dan virus (Umardani dalam Setiarsih, 2014). Program pemberian vitamin A setiap enam bulan untuk balita telah dilaksanakan di Indonesia. Hasil penelitian di Indramayu menunjukkan peningkatan risiko kematian pneumonia pada anak yang tidak mendapatkan vitamin A(Sutrisna B.,1993). Tidak ada perbedaan bermakna insiden dan beratnya pneumonia antara balita yang mendapatkan vitamin A dengan yang tidak, hanya
18
waktu untuk sakit lebih lama pada yang tidak mendapatkan vitamin A (Kartasasmita, 1993). 2.1.5
Pemberian imunisasi yang tidak lengkap Cara untuk menumbuhkan kekebalan terhadap berbagai macam penyakit
adalah melalui pemberian imunisasi.Pemberian imunisasi dapat menurunkan risiko untuk terkena pneumonia.Anak yang belum pernah mendapatkan imunisasi campak mempunyai risiko yang lebih tinggi mengalami kematian akibat pneumonia, terutama pada anak yang sedang menderita pneumonia.Cara pertama vaksinasi membantu mencegah anak-anak dari infeksi yang berkembang langsung yang menyebabkan pneumonia, misalnya Haemophilus influenzae type b (Hib) dan cara kedua imunisasi dapat mencegah infeksi yang dapat menyebabkan pneumonia sebagai komplikasi dari penyakit (misalnya campak dan pertussis). Pemberian imunisasi diupayakan lengkap untuk menghindari faktor yang dapat meningkatkan mortalitas akibat pneumonia (Djaya, 1999). Vaksinasi yang tersedia untuk mencegah secara langsung pneumonia adalah vaksin pertussis (ada dalam DPT), campak, Hib (Haemophilus influenzae type b) dan Pneumococcus (PCV).Pertussis dan campak telah masuk ke dalam program vaksinasi nasional di berbagai negara, termasuk Indonesia.Haemophilus influenzae type b(Hib) dan pneumokokus sudah dianjurkan oleh WHO namun belum semua negara memasukkannya ke dalam program nasional karena harganya yang mahal.Vaksin Hib dan pneumokokus dapat mencegah kematian 1.075.000 anak setahun(Kemenkes RI, 2010).
19
Menteri kesehatan Republik Indonesia menyatakan telah memasukkan vaksin Hib ke dalam program imunisasi dasar yaitu pentavalen mulai tahun 2014, namun untuk wilayah Bali mulai tahun 2013.Vaksin pentavalen kedudukannya menggantikan vaksin kombo yang sekarang tidak ada lagi. Pemberian vaksin pentavalen sama dengan vaksin kombo yaitu pada umur bayi dua bulan, tiga bulan, empat bulan untuk imunisasi dasar. Untuk imunisasi lanjutan vaksin pentavalen diberikan pada umur anak paling cepat 18 bulan sampai tiga tahun. Hasil penelitian mendapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara anak yang status imunisasi DPT dan campak tidak lengkap dengan yang status DPT dan campak lengkap. Balita yang status campak dan DPT tidak lengkap berpeluang sebesar 1,16 kali untuk terkena pneumonia dibandingkan dengan yang statusnya lengkap (95% CI: 0,73 – 1,84) (Hananto, 2004). 2.1.6
Paparan asap rokok Prevalensi masyarakat dengan kelompok umur ≥ 15 tahun yang sudah
melakukan aktivitas merokok setiap hari di Indonesia adalah 28,2%, dimana 1,7% kelompok umur 5 – 9 tahun sudah pernah merasakan merokok untuk pertama kali (Riskesdas, 2010). Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2011 juga menyatakan bahwa jumlah orang dewasa yang terpapar asap rokok di dalam rumah sebesar 78,4%, hal ini sangat berdampak pada anak-anak yang tinggal satu rumah dengan perokok karena anak menjadi perokok pasif sehingga mengalami peningkatan risiko terkena radang saluran pernapasan, pneumonia, infeksi telinga tengah, asma serta kelambatan pertumbuhan paru-paru.
20
Sumber pencemaran udara dapat dikategorikan menjadi alamiah dan kegiatan
manusia
(antropogenic).Sumber
antropogenic
utamanya
adalah
kendaraan bermotor, rumah tangga, serta kegiatan lainnya seperti merokok (Achmadi, 2011). Adanya anggota keluarga yang merokok di dalam ruangan dan di dekat balita tidak baik untuk kesehatan terutama kesehatan saluran pernapasan. Merokok pasif yang didapat balita dari kebiasaan orang tuanya dapat mengganggu pernapasan anak. Variabel merokok sebagai variabel independent dalam suatu penelitian mempunyai variasi yang cukup luas dalam kaitannya dengan dampak merokok. Paparan rokok perlu diidentifikasi selengkapnya dari berbagai segi, antara lain dari jenis perokok (perokok aktif atau perokok pasif), jumlah rokok yang dihisap (dalam satu batang, bungkus, atau pak perhari), jenis rokok yang dihisap (keretek, cerutu atau rokok putih, pakai filter atau tidak), cara menghisap rokok (menghisap dangkal, di mulut saja atau isap dalam), alasan mulai merokok (sekedar ingin hebat, ikut-ikutan, kesepian, pelarian, sebagai gaya, meniru orang tua), umur mulai merokok (sejak umur 10 tahun atau lebih). Berdasarkan hal tersebut jenis perokok juga dapat dibagi atas perokok ringan jika merokok kurang dari 10 batang per hari, perokok sedang jika menghisap rokok antara 10-20 batang per hari, perokok berat jika merokok lebih dari 20 batang per hari (Buston, 2007). Terdapat hubungan antara anggota keluarga yang mempunyai kebiasaan merokok dengan pneumonia pada balita dengan OR sebesar 2,70 (Yuwono, 2008), begitu juga penelitian oleh Sugihartono dan Nurjazuli (2012) dengan OR sebesar 5,74 (95% CI : 1,78 – 18,49).
21
2.1.7
Faktor lingkungan fisik rumah Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau
hunian dan sarana pembinaan keluarga. Kontruksi rumah dan lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan merupakan faktor risiko sumber penularan berbagai jenis penyakit khususnya penyakit yang berbasis lingkungan. Kondisi fisik rumah sangat memengaruhi terhadap kejadian pneumonia. Kelembaban kandungan uap air dipengaruhi oleh sirkulasi udara dan pencahayaan yang masuk dalam rumah. Kelembaban udara dalam rumah yang meningkat berpotensi sebagai tempat hidup bakteri-bakteri penyebab penyakit. Keterkaitan antara kelembaban dan penyakit pneumonia saling berpengaruh terhadap kejadian pneumonia. Kelembaban sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan etiologi pneumonia berupa virus, bakteri dan jamur. Faktor etiologi tersebut dapat tumbuh dengan baik jika kondisi optimal. Penghuni ruangan biasanya akan mudah menderita sakit infeksi saluran napas karena situasi tersebut (Notoatmodjo, 2007). Faktor-faktor kelembaban udara meliputi keadaan bangunan yaitu dinding, iklim dan cuaca.
Air hujan masuk dan meresap melalui pori-pori dinding
sehingga akan mengakibatkan kelembaban udara dalam ruangan. Kelembaban udara secara menyeluruh dipengaruhi oleh iklim dan cuaca. Kelembaban di dalam rumah menurut Departemen Pekerjaan Umum dapat disebabkan oleh tiga faktor yaitu kelembaban yang naik dari tanah (rising damp), merembes melalui dinding (percolating damp) dan bocor melalui atap (roof leaks) (Dinas Pekerjaan Umum, 2006).
22
Keputusan Menteri Kesehatan No.829 Tahun 1999 menyatakan syaratsyarat kelembaban yang memenuhi standar kesehatan adalah tingkat kelembaban udara dalam rumah yang dianggap baik adalah sebesar 40-70% serta lantai dan dinding harus kering. Alat yang digunakan untuk mengukur kelembaban adalah higrometer, digantung pada papan yang terbuat dari kayu kemudian dapat dilihat berapa angka kelembaban yang tertera pada alat tersebut kemudian melakukan pencataan hasil. Higrometer adalah perangkat untuk menentukan kelembaban atmosfer yang dapat menunjukkan kelembaban relatif (persentase kelembaban di udara), kelembaban mutlak (jumlah kelembaban) atau keduanya. Beberapa higrometer standar hanya mampu menginformasikan dua keadaan seperti pada kondisi udara kering atau basah. Jenis higrometer lainnya merupakan bagian dari perangkat yang disebut humidistats, yang digunakan untuk mengontrol pelembab udara atau pengering untuk mengatur kelembaban udara (Keman, 2005). Tingkat kelembaban berhubungan dengan kejadian pneumonia pada balita dengan OR sebesar 2,90 dimana balita yang menempati rumah dengan kelembaban tinggi berisiko 2,90 kali terkena pneumonia dibandingkan balita yang menempati kondisi rumah dengan kelembaban normal (Yulianti,dkk., 2002). Tingkat kelembaban berhubungan bermakna dengan kejadian pneumonia.Balita memiliki risiko terkena pneumonia sebesar 2,80 kali lebih besar apabila tinggal pada rumah yang kelembabannya kurang atau lebih dari syarat yang ditetapkan dibandingkan yang tinggal di rumah dengan tingkat kelembaban memenuhi syarat (Yuwono, 2008). Sebaliknya dinyatakan tidak ada hubungan yang bermakna
23
antara kelembaban rumah dengan kejadian pneumonia pada balita (Pramudiyani dan Prameswari, 2011). Kurangnya ventilasi berpengaruh terhadap peningkatan kelembaban dalam ruangan yang merupakan media yang baik untuk tempat hidup bakteri dan patogen. Fungsi lain ventilasi adalah untuk menjaga ruangan dalam kelembaban optimum dan membuat ruangan di dalam rumah terhindar dari kontaminasi bakteri yang dapat membahayakan (Notoatmodjo, 2007). Ventilasi memiliki fungsi yang penting terutama untuk mengatur O2 yang masuk ke ruangan sehingga aliran udara dalam rumah tetap segar dan terjaga dengan baik yang dibutuhkan oleh penghuni. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan meningkatnya kadar CO2 dan menipisnya kadar O2 yang berarti bahwa kadar racun yang dibawa oleh O2 meningkat dan berbahaya bagi para penghuninya (Notoatmodjo, 2007). Ventilasi dapat dibagi menjadi dua, yakni ventilasi alamiah dan ventilasi buatan.Prinsip kerja ventilasi alamiah adalah terjadinya pertukaran udara secara alamiah melalui pintu, jendela, lubang angin, maupun lubang-lubang pada dinding ruangan rumah. Ventilasi buatan berupa pertukaran udara dengan bantuan alat elektronik seperti kipas angin atau mesin penghisap udara. Kelemahan ventilasi alamiah yaitu peluang masuknya vektor seperti lalat, nyamuk, dan lainnya lebih tinggi dibandingkan ventilasi buatan. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No.829 Tahun 1999, luas lubang ventilasi alamiah yang permanen adalah minimal 10% luas lantai (Keman, 2005). Ventilasi diukur dengan menggunakan rollmeter, dengan kategori dikatakan tidak memenuhi standar yaitu ukuran ventilasi tidak
24
sesuai dengan standar bangunan nasional, dikatakan standar bila ukuran ventilasi sesuai dengan dua atau lebih standar bangunan nasional. Hasil penelitian yang dilakukan di Cilacap menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara ventilasi rumah dengan kejadian pneumonia pada anak balita (OR : 6,30). Anak balita dengan kondisi ventilasi yang tidak memenuhi syarat memiliki risiko 6,30 kali terkena pneumonia dibandingkan anak balita dengan ventilasi yang memenuhi syarat (Yuwono, 2008). Hasil penelitian yang sama juga didapatkan adanya hubungan bermakna antara ventilasi dengan kejadian pneumonia pada balita (OR : 2,91). Hal ini menunjukkan kondisi rumah balita yang memiliki ventilasi tidak memenuhi syarat memiliki risiko 2,91 kali terkena pneumonia dibandingkan balita dengan ventilasi rumah yang memenuhi syarat (Sinaga, dkk., 2008).
Penelitian yang dilakukan di Kota Salatiga
mendapatkan kondisi ventilasi yang buruk memiliki hubungan yang signifikan terhadap kejadian pneumonia pada balita dengan OR sebesar 21,21 (Siti Zuraidah, 2002) dan penelitian lain juga didapatkan hal yang sama dengan OR sebesar 33,00 (Nurjazali dan Retno Widyaningtyas, 2006). Kondisi lantai yang lembab menyebabkan pertumbuhan yang cepat dari bakteri patogen, virus maupun jamur sehingga dapat menimbulkan penyakit pada penghuninya.
Jenis
lantai
yang
baik
menurut
Kepmenkes
Nomor
829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan adalah yang kedap air dan mudah dibersihkan. Lantai dari bahan tanah pada saat musim hujan akan menjadi lembab oleh karena itu sebaiknya tidak digunakan lagi. Penyebab pneumonia pada balita sangat bervariasi, mulai dari bakteri Streptococcus
25
pneumoniae dan Haemophyilus influenza, virus maupun fungi (jamur) (Depkes RI, 2000). Lantai perlu dilapisi dengan lapisan yang kedap air seperti disemen, dipasang tegel, keramik, teraso dan lain-lain. Lantai sebaiknya dinaikkan kira-kira 20 cm dari permukaan tanah untuk mencegah air masuk ke dalam rumah. Beberapa penelitian yang terkait dengan jenis lantai dengan kejadian pneumonia pada balita. Jenis lantai berhubungan dengan kejadian pneumonia (Pramudiyani dan Prameswari, 2011). Jenis lantai mempunyai asosiasi yang signifikan dengan kejadian pneumonia pada balita (Nurjazuli dan Widyaningtyas, 2006). Balita mempunyai risiko menderita pneumonia sebesar 3,90 kali lebih besar saat tinggal di rumah dengan jenis lantai tidak memenuhi syarat dibandingkan dengan yang tinggal di rumah dengan jenis lantai memenuhi syarat (Yuwono, 2008). Begitu juga penelitian lain dengan OR sebesar 10,53 dan 95% CI : 2,61– 42,44 (Sugihartono dan Nurjazuli, 2012). Faktor kelembaban rumah juga dipengaruhi oleh dinding rumah.Fungsi dari dinding selain sebagai pendukung atau penyangga atap juga untuk melindungi rumah dari gangguan panas, hujan dan angin dari luar dan juga sebagai pembatas antara dalam dan luar rumah. Dinding berguna untuk mempertahankan suhu dalam ruangan, merupakan media bagi proses rising damp (kelembaban yang naik dari tanah) yang merupakan salah satu faktor penyebab kelembaban dalam rumah. Bahan dinding yang baik adalah dinding yang terbuat dari bahan yang tahan api seperti batu bata atau yang sering disebut tembok. Dinding dari tembok akan dapat mencegah naiknya kelembaban dari tanah (rising damp) (Depkes RI, 1994). Dinding dari anyaman bambu yang tahan terhadap
26
segala cuaca sebenarnya cocok untuk daerah pedesaan, tetapi mudah terbakar dan tidak dapat menahan lembab, sehingga kelembabannya tinggi. Salah satu hasil penelitian menyatakan kondisi dinding rumah mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian pneumonia. Besarnya risiko menderita pneumonia dapat dilihat dari nilai OR sebesar 2,90 artinya anak balita yang tinggal di rumah dengan kondisi dinding rumah tidak memenuhi syarat memiliki risiko terkena pneumonia sebesar 2,90 kali lebih besar dibandingkan anak balita yang tinggal di rumah dengan kondisi dinding rumah memenuhi syarat (Yuwono, 2008). Rumah yang sehat adalah rumah dengan pencahayaan yang cukup. Pencahayaan yang kurang terutama dari sinar matahari dapat menimbulkan ketidaknyamanan serta merupakan media yang baik untuk bibit penyakit berkembang biak. Sebaliknya pencahayaan alami yang berlebihan dapat menyilaukan mata.Sebagian energi pancaran sinar matahari terdiri atas cahaya ultraviolet yang pendek tersaring di atmosfer bumi (lapisan ozon) dan polutan atmosfer, dengan demikian radiasi ultraviolet menjadi terbatas kisarannya yaitu 280-390 nm. Sinar matahari pada keadaan tertentu memiliki kapasitas membunuh bakteri (Radji, M, 2010). Cahaya alami diperoleh dengan masuknya sinar matahari ke dalam ruangan melalui jendela, celah-celah dan bagian-bagian bangunan yang terbuka.Cahaya matahari berguna selain untuk penerangan dapat juga untuk mengurangi kelembaban ruangan, mengusir nyamuk dan membunuh kuman penyebab penyakit.Pencahayaan alami sangat penting untuk membunuh bakteri-
27
bakteri patogen yang hidup dalam rumah seperti bakteri TBC. Bakteri streptococcus pneumoniae memiliki sifat mampu bertahan selama beberapa hari dalam pembenihan biasa dan mati oleh sinar matahari langsung (Radji, M, 2010). Keputusan Menteri Republik Indonesia No.829/Menkes/SK/VII/ 1999 menyatakan pencahayaan alami dan atau buatan langsung maupun tidak langsung menerangi seluruh ruangan dengan intensitas cahaya minimal 60 lux serta tidak menyilaukan mata (Keman, 2005). Pencahayaan alami yang memenuhi syarat yaitu bila cahaya matahari dapat memasuki ruangan sedangkan yang tidak memenuhi syarat jika matahari tidak mampu memasuki ruangan. Jendela kamar tidur sebaiknya menghadap ke timur sehingga mendapatkan cahaya matahari yang optimal ketika pagi hari. Idealnya proporsi jalan masuknya cahaya alami ke dalam rumah adalah 15-20% dari luas lantai yang terdapat di dalam ruangan (Notoatmodjo,2007). Sebaiknya memakai genteng kaca agar dapat mengatur jarak masuknya cahaya. Alat yang dipakai untuk mengukur pencahayaan adalah luxmeter. Cara penggunaannya adalah alat langsung diletakkan pada ruangan yang akan diperiksa, lihat dan dicatat hasilnya. Sehubungan dengan hal tersebut pemerintah Indonesia melalui Dinas Pekerjaan Umum (DPU) telah menetapkan bahwa untuk kesehatan ruangan, sinar matahari pagi harus masuk ke dalam ruangan minimal satu jam sehari atau bila penerangan matahari tidak langsung minimal delapan jam. Hasil penelitian yang dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Sentosa Baru Kota Medan menunjukkan adanya hubungan antara pencahayaan alami dengan
28
kejadian pneumonia pada balita (OR : 2,90) dimana balita dengan tingkat pencahayaan alami yang tidak memenuhi syarat memiliki risiko 2,90 kali terkena pneumonia dibandingkan balita dengan tingkat pencahayaan alami yang memenuhi syarat (Sinaga, dkk., 2008). Hasil yang sama juga ditunjukkan pada penelitian lain dengan nilai OR sebesar 22,00 (Wijo Basuki, 2004). Selain keadaan rumah yang tidak lembab, proporsi antara luas bangunan dan jumlah penghuni merupakan salah satu syarat rumah sehat. Jumlah penghuni yang terlalu banyak dalam rumah tentu membuat tidak nyaman yaitu menimbulkan rasa sesak. Kondisi tersebut dapat mengganggu kesehatan sebagai akibat kurangnya konsumsi O2 dalam ruangan dan meningkatkan risiko penularan penyakit bila ada salah satu penghuni yang menderita penyakit infeksi. Syarat bangunan yang nyaman dan tidak membuat sesak kalau memenuhi luas 2,5-3 m2/orang (Notoatmodjo, 2007). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.829 Tahun 1999 tentang kriteria rumah sehat bahwa kepadatan hunian yang dianggap baik yaitu luas tempat tidur minimal 8 m 2 untuk dua orang (Keman, 2005). Winslow dan American Public Health Association (APHA) menyatakan aturan untuk kamar tidur dari segi jumlah yang akan dibangun dan pengaturan di dalamnya disesuaikan dengan umur dan jenis kelamin anak. Ukuran tempat tidur anak usia kurang dari lima tahun minimal 4,5 m 2 dan 9 m2 untuk anak yang berumur lebih dari lima tahun. Sleeping density dapat dipakai untuk menentukan kepadatan hunian, yang dihitung berdasarkan jumlah kamar tidur yang ada dibagi dengan jumlah penghuni dalam rumah. Hasil yang didapat dari perhitungan tersebut dikategorikan menjadi tiga, yaitu kategori baik apabila
29
hasilnya ≥ 0,7, kategori cukup bila kepadatan 0,5 – 0,7, dan kurang apabila kepadatan < 0,5 (Dinas Pekerjaan Umum, 2006). Penelitian yang dilakukan di Kota Banjarmasin menunjukkan adanya hubungan antara tingkat kepadatan hunian dengan kejadian pneumonia pada balita (OR : 3,06) dimana anak balita dengan tingkat kepadatan tinggi berisiko 3,06 kali terkena pneumonia dibandingkan dengan anak balita dengan tingkat kepadatan yang ideal (Yulianti,dkk., 2002). Hasil yang sama mengenai hubungan antara tingkat kepadatan hunian dengan kejadian pneumonia pada balita dengan OR : 6,90 dan OR : 2,70 (Sinaga, dkk., 2008; Yuwono, 2008). Sebaliknya penelitian yang lain didapatkan hasil tidak ada hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian dengan kejadian pneumonia pada balita (OR : 0,92) yang berarti balita yang tinggal dalam rumah dengan kondisi tidak padat penghuni mempunyai efek perlindungan sebesar 0,92 kali terhadap pneumonia (Sudirman, 2003).
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir Berdasarkan tinjauan pustaka ada beberapa faktor yang berhubungan dengan kejadian pneumonia pada balita. Pneumonia sangat berbahaya karena merupakan salah satu penyebab kematian utama pada balita. Pneumonia pada balita perlu mendapatkan perhatian dan penanganan khusus yaitu dengan pengobatan dan pencegahan pneumonia. Hal yang dapat dilakukan untuk mencegah timbulnya pneumonia balita adalah dengan memperkecil faktor risiko pneumonia pada balita. Penyebab utama pneumonia pada balita yaitu infeksi oleh mikroorganisme seperti virus dan bakteri serta dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor tersebut secara umum dapat dikelompokkan menjadi faktor anak, faktor ibu, faktor lingkungan dan faktor sosial ekonomi.Berdasarkan tinjauan pustaka yang ada, faktor-faktor penyebab pneumonia pada balita sebagai berikut. Daya tahan tubuh yang rendah dapat menyebabkan seorang balita terkena pneumonia, dimana daya tahan tubuh dipengaruhi oleh faktor umur, jenis kelamin, pemberian ASI, status imunisasi, status gizi, riwayat penyakit sebelumnya dan adanya paparan dengan asap rokok. Anak dengan umur di bawah dua tahun lebih besar risiko terkena pneumonia karena status kerentanan anak di bawah dua tahun belum sempurna dan lumen saluran napas yang masih sempit (Depkes RI dalam Tantry, 2008). Jenis kelamin laki-laki lebih rentan terkena pneumonia karena
30
31
diameter saluran pernapasan anak laki-laki lebih kecil dibandingkan dengan anak perempuan atau adanya perbedaan daya tahan tubuh antara anak laki-laki dan perempuan (Sunyataningkamto, dkk., 2004). Air susu ibu mengandung nutrisi esensial yang cukup untuk bayi dan mampu mengatasi infeksi melalui komponen sel fagosit dan imunoglobulin (Munasir dan Kurniati, 2008). Kekurangan gizi akan menurunkan kapasitas kekebalan untuk merespon infeksi pneumonia termasuk gangguan fungsi granulosit, penurunan fungsi komplemen dan menyebabkan kekurangan mikronutrien (Sunyataningkamto, dkk., 2004). Vitamin A bermanfaat untuk meningkatkan imunitas dan melindungi saluran pernapasan dari infeksi kuman.Pemberian imunisasi pneumokokus, Hib, DPT dan campak dapat menurunkan risiko untuk terkena pneumonia. Kelembaban udara dalam rumah yang meningkat berpotensi sebagai tempat hidup bakteri-bakteri penyebab penyakit (Notoatmodjo, 2007).Tingkat kelembaban rumah berpengaruh terhadap kejadian pneumonia karena dapat meningkatkan
mikroorganisme
(Streptococcuspnemoniae
&
Hemophylusinfluenzae) di lingkungan rumah. Tingkat kelembaban ini dipengaruhi oleh luas ventilasi rumah, jenis lantai rumah, kondisi dinding rumah, suhu, tingkat kepadatan hunian, dan kondisi pencahayaan di dalam rumah. Luas lubang ventilasi alamiah yang permanen adalah minimal 10% luas lantai (Keman, 2005). Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan perumahan menyatakan lantai yang baik adalah kedap air dan mudah dibersihkan, lantai dari tanah lebih baik tidak digunakan lagi karena
32
saat musim hujan akan lembab. Luas bangunan yang tidak sebanding dengan jumlah penghuni akan menimbulkan rasa sesak karena kurangnya konsumsi O 2 dalam ruangan dan meningkatkan risiko penularan penyakit bila ada salah satu penghuni yang menderita penyakit infeksi. Pencahayaan alami sangat penting untuk membunuh bakteri-bakteri patogen dalam rumah, selain itu bakteri streptococcus pneumoniae memiliki sifat mampu bertahan selama beberapa hari dalam pembenihan biasa dan mati oleh sinar matahari langsung (Radji, M, 2010). Tingkat sosial ekonomi turut serta memengaruhi pencahayaan di dalam rumah. Mikroorganisme tersebut ada pada lingkungan rumah yang tingkat kelembabannya tidak memenuhi syarat maka terjadi infeksi (mikroorganisme ini masuk ke dalam tubuh manusia) dan menyebabkan
kejadian
pneumonia.
Namun
tidak
semua
pasti
akan
terjadipneumonia tetapi juga dipengaruhi oleh kuman penyebab (keadaan keganasan dan jumlah kuman) dan juga oleh daya tahan tubuh seperti yang dijelaskan di atas.
33
3.2 Konsep Penelitian Berdasarkan kerangka berpikir di atas maka konsep penelitian ini sebagai berikut. 1. Faktor Anak : - Jenis kelamin - Umur - Riwayat BBLR - Riwayat sakit ISPA - Status gizi - Status imunisasi - Status vitamin A 2. Faktor Perilaku : - Pemberian ASI (Status pemberian kolostrum, Status ASI eksklusif, Durasi ASI, Pemberian ASI dua tahun, Inisiasi menyusu dini) 3. Faktor Lingkungan - Lingkungan fisik rumah (Lantai, Dinding, Luas ventilasi, Pencahayaan alami, Kelembaban, Kepadatan hunian) - Paparan asap rokok di dalam rumah
Pneumonia pada balita
4. Faktor sosio-ekonomi - Pendidikan ibu - Penghasilan keluarga
Gambar 3.1 Konsep Penelitian Pada penelitian ini yang diteliti sebagai variabel independent adalah pemberian ASI dan lingkungan fisik rumah. Variabel lain tetap diambil datanya namun tidak dimasukkan ke dalam hipotesis dan tidak menutup kemungkinan variabel tersebut bisa menjadi signifikan karena ikut dianalisis.
34
3.3 Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian yang dibuat berdasarkan konsep penelitian di atas sebagai berikut. 3.3.1
Pemberian ASI meningkatkan risiko kejadian pneumonia pada balita.
3.3.2
Lingkungan fisik rumah meningkatkan risiko kejadian pneumonia pada balita.
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian observasional analitik dengan pendekatan case control, untuk mempelajari faktor pemberian ASI dan lingkungan fisik rumah terhadap kejadian pneumonia pada balita di puskesmas II Denpasar Selatan. Skema penelitian yang dilakukan sebagai berikut.
Terpapar faktor risiko Penderita pneumonia
Tidak terpapar faktor risiko
Terpapar faktor risiko Bukan penderita pneumonia Tidak terpapar faktor risiko
Gambar 4.1 Rancangan Penelitian Case Control Gambar 4.1 menunjukkan bahwa penelitian ini meneliti dan melihat hubungan faktor risiko dan penyakit pneumonia pada balita dengan cara membandingkan kelompok kasus balita yang menderita pneumonia dengan kelompok kontrol balita yang tidak pneumonia di masa lalu dan saat penelitian.
35
36
4.2
Definisi Kasus dan Kontrol
4.2.1 Subyek kasus Subyek kasus yang digunakan dalam penelitian ini adalah balita yang terdiagnosis pneumonia oleh dokter puskesmas, berumur 0 - 59 bulan dan tercatat di register balita sakit pada 01 Januari 2014 sampai 31 Maret 2015 di wilayah kerja puskesmas II Denpasar Selatan. 1.
Kriteria inklusi
:
Balita (0 – 59 bulan) yang mengalami pneumonia pada 01 Januari 2014
a.
sampai 31 Maret 2015 di wilayah kerja puskesmas II Denpasar Selatan b. 2.
Bersedia menjadi responden
Kriteria eksklusi a. Pernah memperbaiki rumah (mengecat tembok, mengganti lantai, menambahkan ventilasi dll) dari sebelum anak terkena pneumonia sampai saat penelitian b. Balita yang sakit berat/kronis atau mengalami kelainan kongenital mayor c. Data tidak lengkap
4.2.2 Subyek kontrol Subyek kontrol yang dipakai dalam penelitian ini adalah balita sehat yang diajak ke puskesmas saat penelitiaan baik untuk imunisasi atau diajak oleh orang tua tetapi tidak terkena pneumonia di wilayah kerja puskesmas II Denpasar Selatan.
37
4.3 Sumber Kasus dan Kontrol 4.3.1 Populasi kasus Populasi target untuk kasus dalam penelitian ini adalah semua penderita pneumonia pada balita yang berada di Kota Denpasar.Populasi terjangkaunya adalah balita yang menderita pneumonia di wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Selatan pada tanggal 01 Januari 2014 sampai 31 Maret 2015. 4.3.2 Populasi kontrol Populasi target untuk kontrol dalam penelitian ini adalah semua balita yang tidak menderita pneumonia di Kota Denpasar.Populasi terjangkaunya adalah balita yang tidak menderita pneumonia serta berdomisili di wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Selatan pada saat penelitian. 4.4 Besar Sampel Kasus dan Kontrol 1.6.1 Jumlah dan besar sampel Sampel dalam penelitian ini adalah balita yang mengalami pneumonia pada 01 Januari 2014 sampai 31 Maret 2015 di wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Selatandengan jumlah yang dipakai dihitung berdasarkan rumus pada buku Sudigdo (2011) sebagai berikut.
Keterangan : n = ukuran masing-masing sampel dari kedua kelompok sampel P1 = perkiraan proporsi efek pada kelompok kasus P2 = perkiraan proporsi efek pada kontrol (dari pustaka)
38
P2 yang dipergunakan didapatkan dari Riskesdas (2010), dimana untuk proporsi ibu yang memberikan ASI eksklusif adalah 15,3% dan proporsi penduduk Indonesia yang memiliki rumah sehat hanya 24,9%. P = ½ (P1+P2) Zα = tingkat kemaknaan (1,96 ; dengan menggunakan α = 0,05) Zβ = power (0,84 ; dengan menggunakan β = 0,20) Berdasarkan rumus dan data yang telah ditentukan di atas maka sampel yang diperoleh berdasarkan OR penelitian terdahulu. Tabel 4.1 Perhitungan Jumlah Sampel Penelitian Nama peneliti dan variabel Naim, 2000 Pemberian ASI tidak eksklusif Mokoginta dkk.,2013 Pemberian ASI tidak eksklusif Yuwono, 2008 Kepadatan hunian Yuwono, 2008 Jenis lantai Sinaga, dkk., 2008 Ventilasi Sinaga, dkk., 2008 Pencahayaan alami rumah Yulianti, dkk., 2002 Kelembaban rumah
Outcome
OR
P2
P1
n1=n2
2n
Kejadian pneumonia pada balita Kejadian pneumonia pada balita Kejadian pneumonia pada balita Kejadian pneumonia pada balita Kejadian pneumonia pada balita Kejadian pneumonia pada balita Kejadian pneumonia pada balita
4,89
0,15
0,47
23
46
4,47
0,15
0,44
27
54
2,7
0,25
0,48
60
120
3,9
0,25
0,57
30
60
2,9
0,25
0,50
50
100
2,9
0,25
0,50
50
100
2,9
0,25
0,50
50
100
Berdasarkan perhitungan di atas jumlah sampel terbesar yang didapatkan adalah 120 yang terdiri dari 60 kasus dan 60 kontrol.
39
4.4.1 Teknik pemilihan sampel dan prosesmatching 1.
Pemilihan sampel kasus dan kontrol Peneliti merekap data kasus pneumonia balita di Puskesmas II Denpasar
Selatan pada periode 01 Januari 2014 sampai 31 Maret 2015 serta melakukan pengelompokkan berdasarkan umur dan jenis kelamin. Pemilihan kasus dilakukan secara total sampling, dengan pertimbangan untuk menghindari kehilangan sampel karena ada yang pindah atau tidak ditemukannya kasus. Pemilihan kontrol memakai puskesmas based. Cara memilih kelompok kontrol adalah balita sehat yang diajak ke puskesmas saat penelitiaan baik untuk imunisasi atau diajak oleh orang tua tetapi tidak terkena pneumonia di wilayah kerja puskesmas II Denpasar Selatan. 2.
Memiripkan kasus dan kontrol (matching) Matching yang digunakan adalah jenis frequency matching, dimana hanya
memiripkan dengan variabel umur dan jenis kelamin antara kasus dengan kontrol. 4.5 Metode dan Instrumen untuk Mengukur Variabel Independent (faktor risiko) 4.5.1 Metode pengumpulan data Jenis data dalam penelitian ini adalah data primer tentang faktor risiko yang diperoleh dengan wawancara kepada ibu balita dan observasi serta pengukuran untuk data lingkungan fisik rumah dimana pengukuran menggunakan digital thermo-hygrometer, rollmeter/meteran digital, luxmeter, alat hitung, dan alat tulis. Data sekunder yang dipergunakan adalah register balita sakit di wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Selatan periode 01 Januari 2014 sampai 31 Maret 2015.
40
4.5.2 Instrumen penelitian Peneliti mempergunakan kuesioner terstruktur untuk mendapatkan data pola pemberian ASI dan memakai lembar observasi untuk mendapatkan data tentang lingkungan fisik rumah. Sebelum kuesioner dipakai untuk penelitian telah dilakukan uji coba terlebih dahulu kepada sebanyak sepuluh ibu balita dengan tujuan kuesioner yang dipakai dapat dipahami setiap item pertanyaannya. Pertanyaan yang tidak dimengerti oleh responden saat uji coba dan perlu ditambahkan sudah dilakukan perbaikan, sehingga kuisioner dikatakan sudah dapat meminimalkan kesalahan dalam pengumpulan data. Selain itu dengan uji coba yang dilakukan diharapkan persepsi antara peneliti dengan responden sama sehingga didapatkan data yang valid. 4.6 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Selatan, pada bulan Maret sampai Mei 2015. Puskesmas II Denpasar Selatan dipilih menjadi tempat penelitian karena cakupan pneumonia di puskesmas ini paling tinggi nomor dua untuk Denpasar pada tahun 2013 dan melanjutkan penelitian yang pernah ada sebelumnya tentang pneumonia pada balita. 4.7 Identifikasi Variabel Penelitian 4.7.1 Variabel dependent Variabel dependent pada penelitian ini adalah pneumonia pada balita. 4.7.2 Variabel independent Variabel independent pada penelitian ini adalah pemberian ASI (pemberian kolostrum, status ASI eksklusif, durasi pemberian ASI, pemberian
41
ASI dua tahun, dan status IMD), lingkungan fisik rumah (lantai rumah, dinding, luas ventilasi, kelembaban, pencahayaan alamidan kepadatan hunian).
42
4.7.3
Definisi Operasional Tabel 4.2 Definisi Operasional Penelitian
No
1
Variabel
Definisi Operasional
Alat Ukur
Cara Pengumpulan Data 5 Wawancara
Skala
6 Interval
1
2 Umur balita
3 Umur balita yang ditanyakan kepada ibu melalui wawancara berdasarkan tanggal lahir
4 Pedoman wawancara
2
Jenis kelamin
Jenis kelamin yang dilihat pada sampel saat penelitian
Pedoman wawancara
Observasi
Nominal
3
Pendidikan ibu
Pendidikan formal terakhir yang pernah diikuti oleh ibu balita yang ditanyakan melalui wawancara
Pedoman wawancara
Wawancara
Ordinal
4
Penghasilan keluarga
Penghasilan kotor rata-rata dalam satu bulan dari orang tua yang ditanyakan melalui wawancara, berdasarkan UMR Kota Denpasar tahun 2014.
Pedoman wawancara
Wawancara
Numerik (dalam rupiah)
Skala Analisis
7 Interval (bulan): 4= 0 – 11 3= 12 – 23 2= 24 – 35 1= 36 – 47 0= 48 – 59 Kategori 0= Perempuan 1= Laki-laki Kategori : 2= Rendah (≤SD) 1= Menengah (SMP,SMA) 0= Tinggi (Diploma/ Sarjana) Kategori : 0= Tinggi (≥Rp 1.656.900) 1= Rendah (
43
1
2 Berat Badan Lahir
3 Berat badan anak waktu lahir yang ditanyakan melalui wawancara.
4 Pedoman wawancara
5 Wawancara
6 Numerik
6
Riwayat sakit ISPA berulang
Riwayat panas, batuk, pilek dalam enam bulan terakhir yang dialami oleh balita, berapa kali terkena dan kapan terakhir kali terkenayang ditanyakan melalui wawancara. Balita yang tidak terkena ISPA dalam enam bulan terakhir, pada sub variabel baru frekuensi ISPA berulang dengan 120 sampel masuk ke dalam kategori 0-1 kali.
Pedoman wawancara
Wawancara
Nominal dan numerik
7
Status gizi
Pedoman wawancara/ KMS
Wawancara
Numerik
8
Status imunisasi
Berat badan balita sebelum terkena pneumonia yang dilihat pada KMS atau berat badan balita terakhir yang ditanyakan melalui wawancara bagi yang tidak punya KMS. Status gizi berdasarkan BB/U dan pengelompokkan sesuai WHO-2005. Kelengkapan imunisasi DPT Hb combo/pentavalen, campak, Hib, pneumokokus yang didapat balita berdasarkan rekomendasi Kemenkes/IDAI yang dilihat pada KMS atau ditanyakan kepada ibu melalui wawancara.
Pedoman wawancara/ KMS
Wawancara
Nominal
5
7 Kategori : 0= Normal (≥2500) 1= BBLR (<2500) Kategori : ISPA berulang 0= Tidak 1= Ya Frekuensi ISPA (n=108) 0= 1x 1= >1x Frekuensi ISPA berulang (n=120) 0= 0-1x 1= >1x Kategori : 0= Gizi baik (-2SD s/d 2 SD) dan gizi lebih (>2SD) 1= Gizi kurang (< -2SD) dan gizi buruk (< -3SD) Kategori : Status imunisasi dasar (Kemenkes) 0= Lengkap sesuai umur 1= Tidak lengkap Status imunisasi Hib dan Pneumokokus (IDAI) 0= Ya 1= Tidak
44
1
2
9
Status pemberian vitamin A
10
Paparan asap rokok di dalam rumah
11
Pemberian ASI
3 Vitamin A yang didapatkan balita setiap bulan Februari dan Agustus berdasarkan KMS atau ditanyakan kepada ibu melalui wawancara. Paparan asap rokok terhadap balita di dalam rumah yang ditanyakan kepada ibu melalui wawancara meliputi adanya anggota keluarga yang merokok dan dilakukan saat mengajak atau berdekatan dengan anak, berapa batang merokok saat mengajak anak, tempat merokok, berapa batang merokok setiap hari. Kategori “tidak” pada ada anggota keluarga yang merokok di rumah masuk ke dalam kategori “ya” pada sub variabel baru “tidak terpapar asap rokok”.
4 Pedoman wawancara/ KMS
5 Wawancara
6 Nominal
Pedoman wawancara
Wawancara
Nominal dan interval
Pemberian ASI yang dilakukan oleh ibu kepada balitanya melalui wawancara yang meliputi a) berapa lama memberikan ASI saja, ASI + susu formula, atau susu formula saja, b) apakah saat balita lahir dilakukan inisiasi menyusu dini, c) apakah memberikan kolostrum, d) apakah memberikan ASI sampai umur balita dua
Pedoman wawancara
Wawancara
Interval dan nominal
7 Kategori : 0= Dapat 1= Tidakdapat Kategori : Ada yang merokok di rumah 0= Tidak 1= Ada Tempat merokok 0= Luar rumah 1= Dalam rumah Merokok dekat anak 0= Tidak 1= Ya Lama merokok (bulan) 0= ≤ 6 1= > 6 Tidak terpapar asap rokok 0= Ya 1= Tidak Interval : Rata-rata merokok sehari dan saat mengajak anak Kategori : Kolostrum 0= Ya 1= Tidak Pemberian ASI dua tahun 0= Ya, 1= Tidak Durasi pemberian ASI enam bulan pertama 0= ≥2 bulan
45
1
12
13
2
Lantai
Dinding
3 tahun, e) durasi pemberian ASI enam bulan pertama
4
5
6
Keadaan lantai rumah berdasarkan hasil observasi serta wawancara tentang kebersihan lantai, dengan asumsi lantai rumah tetap seperti awal sebelum terkena pneumonia.
Lembar Observasi
Observasi, pengukuran dan wawancara
Interval dan Nominal
Keadaan dinding rumah berdasarkan hasil observasi, dengan asumsi dinding rumah tidak pernah diperbaiki (jenis dindingnya tetap, tidak pernah dicat atau dibersihkan) tetap seperti awal sebelum terkena pneumonia.
Lembar observasi
Observasi
Nominal
7 1= < 2 bulan Jenis pemberian 0= ASI 1= ASI + susu formula 2= Formula saja Status ASI eksklusif 0= Ya 1= Tidak IMD 0= Ya 1= Tidak Kategori : Jenis lantai 0= Bukan tanah 1= Tanah Ketinggian lantai (cm) 0= ≥20 1= <20 Menyapu dalam sehari (kali) 0= ≥3 1= <3 Mengepel dalam seminggu (kali) 0= ≥4 1= <4 Kategori : Jenis dinding 0= Memenuhi syarat (tidak mudah terbakar 1= Tidak memenuhi syarat
46
1
2
14
Ventilasi
15
Kelembaban
3
4
5
6
Lubang keluar masuknya udara baik yang bersifat tetap maupun sementara (lubang udara kecuali pintu) dengan membandingkan luas bidang ventilasi dan luas lantai, menurutKeputusan Menkes RI No829/Menkes/SK/VII/1999, yaitu ≥ 10 % dari luas lantai. Dengan asumsi keadaan ventilasi sebelum terkena pneumonia dengan sekarang sama (tidak pernah diperbaiki, yang semula tidak ada sekarang ada, dll) Pengukuran menggunakan alat hygrometer terhadapbanyaknya uap air yangterkandung dalamrumah pada tempat di mana penghunimenghabiskan sebagian waktunya pada sianghari (Notoadmojo, 2007). Dengan asumsi kelembaban rumah sama dengan dulu sebelum terkena pneumonia. Menanyakan kepada ibu dimana anak biasanya beraktivitas pada siang hari, lalu melakukan pengukuran di ruangan tersebut dengan mengukur di lima titik yaitu di setiap sudut ruangan dan di bagian tengah, lalu hasil masing-masing titik dijumlahkan dan dibagi lima. Hasil rata-rata lima titik tersebut yang menjadi hasil akhir kelembaban.
Rollmeter/ digital meteran
Observasi dan pengukuran
Rasio (dalam %)
mini digital thermohygrometer
Pengukuran
Rasio (dalam %)
7 (mudah terbakar) Keadaan dinding 0= Bersih 1= Berjamur Kategori : 0= Memenuhi syarat (≥10% luas lantai) 1= Tidak memenuhi syarat (<10% luas lantai)
Kategori : 0= Memenuhi syarat(40% 70%) 1= Tidak memenuhi syarat (<40% atau > 70%)
47
1 16
2 Pencahayaan alami
17
Kepadatan hunian
18
Kejadian pneumonia
3
4
5 Pengukuran
6 Rasio (dalam lux)
7 Kategori : 0= Memenuhi syarat (60 – 120 lux) 1= Tidak memenuhi syarat (<60 atau >120 lux)
Lembar observasi, rollmeter/ digital 8eteran
Observasi, wawancara dan pengukuran
Ordinal
Kategori : 0= Memenuhi syarat (≥ 9 m2 /orang dari luas rumah) 1= Tidak memenuhi syarat (< 9 m2/orang dari luas rumah)
Register Puskesmas II Denpasar Selatan
Dokumentasi
Nominal
Kategori : 0= Kontrol 1= Kasus
Luxmeter Pengukuran pencahayaan pada ruangan yang sebagian besar aktivitas balita dilakukan disana pukul 09.00- 12.00 wita. Pengukuran dilakukan di lima titik yaitu setiap sudut ruangan dan bagian tengah lalu hasil tiap titik dijumlahkan dan dibagi lima. Hasil rata-rata dari lima titik adalah hasil akhir dari pencahayaan. Menurut Keputusan Menteri Republik Indonesia No.829/Menkes/SK/VII/ 1999 pencahayaan alami dan atau buatan langsung maupun tidak langsung menerangi seluruh ruangan dengan intensitas cahaya minimal 60 lux serta tidak menyilaukan mata (Keman, 2005). Membandingkan antara jumlah penghuni dengan luas bangunan. Menurut Kepmenkes RI No: 829/Menkes/VII/1999 bahwa rumah sehat apabila setiap orang menempati 9 m2 luas rumah, diukur berdasarkan jumlah orang per luas rumah. Dengan asumsi jumlah penghuni masih sama dengan dulu dan rumah tidak ada diperluas bangunannya. Balita yang terdiagnosis pneumonia oleh dokter puskesmas pada periode 01 Januari 2014 sampai 31 Maret 2015
48
4.8
Prosedur dan Etika Penelitian Sebelum pelaksanaan penelitian dilakukan, peneliti telah mengajukan
permohonan surat ijin penelitian dari Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat. Pertama kali surat tersebut dibawa ke Dinas Perijinan Propinsi Bali, ditunggu sampai ada surat balasan. Surat balasan dari Dinas Perijinan lalu dibawa ke badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpolinmas) Kota Denpasar. Mendapat balasan dari Kesbangpolinmas Kota Denpasar lalu ke Dinas Kesehatan Kota Denpasar. Dinas Kesehatan Kota Denpasar melakukan disposisi ke Puskesmas II Denpasar Selatan sebagai tempat penelitian. Peneliti mengurus ethical clearance dari Komisi Etik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana karena penelitian ini melibatkan masyarakat sebagai partisipan. Langkah-langkah yang peneliti lakukan dalam pengumpulan data sebagai berikut. 1.
Peneliti memastikan alamat rumah sampel kasus di lapangan berdasarkan data yang telah diberikan oleh pemegang program P2 ISPA Puskesmas II Denpasar Selatan.
2.
Setelah memastikan beberapa alamat sampel kasus, peneliti memulai pengambilan data dengan kunjungan rumah untuk melakukan wawancara dan observasi lapangan.
3.
Sampel kontrol didapatkan langsung di Puskesmas, dimana kebetulan pada saat penelitian ada balita sehat yang datang ke Puskesmas. Ibu balita
49
ditanyakan oleh pewawancara apakah bersedia untuk dijadikan responden dalam penelitian ini. Apabila setuju baru dilanjutkan ke langkah selanjutnya. 4.
Peneliti menjelaskan atau memberikan partisipan untuk membaca lembar informasi yang mencantumkan tujuan dan cara pengambilan data yang dilaksanakan.
5.
Partisipan yang sudah memahami tentang penjelasan yang diberikan maka diminta untuk membaca atau dijelaskan tentang isi dari inform consent.
6.
Responden yang bersedia untuk berpastisipasi dalam penelitian ini, dimohon untuk menandatangani inform consent sebagai bukti bahwa telah menyetujui untuk dijadikan partisipan dalam penelitian ini.
7.
Peneliti memulai bertanya dan melakukan observasi saat partisipan telah siap diwawancara.
8.
Saat
pelaksanaan
wawancara
dan
observasi
rumah
dilakukan
pendokumentasian. 9.
Bagi responden yang rumahnya belum dilakukan observasi dan pengukuran, dilakukan perjanjian bahwa akan ada yang melakukan kunjungan rumah untuk melakukan observasi dan pengukuran lingkungan fisik rumah.
4.9
Pengolahan dan Analisis Data
4.9.1 Pengolahan data Setelah pengumpulan data selesai, pengolahan data dilakukan dalam beberapa tahap yaitu meliputi editing, coding, entry, dan tabulating data.
50
1.
Editing Editing dilakukan untuk melihat kelengkapan, kejelasan, kesalahan, dan
konsistensi data identitas responden dan lingkungan fisik rumah. Mendatangi kembali rumah responden kalau ada data yang kurang. Kelompok kasus dan kontrol yang belum dilakukan observasi dan pengukuran terhadap lingkungan fisik rumah pewawancara melakukan perjanjian untuk melakukan kunjungan rumah. Hal ini dilakukan karena alat hygrometer dan luxmeter yang dipakai peneliti hanya ada satu. 2.
Coding Memberikan kode pada masing-masing data untuk memudahkan proses
pengolahan selanjutnya. Semua kode untuk setiap kategori variabel sudah ada pada skala analisis definisi operasional. Umur balita 0 – 59 bulan dibuat dalam skala numerik dengan rentang 12 bulan masing-masing kelompok umur. Pendidikan ibu dibuat tiga kategori yaitu rendah (≤SD), menengah (SMP, SMA), dan tinggi (diploma/sarjana). Riwayat sakit ISPA berulang menjadi dua yaitu ISPA berulang (tidak/ya) dan dari jawaban ya pada riwayat ISPA ada sub variabel frekuensi ISPA dalam enam bulan terakhir dengan 108 sampel.Frekuensi ISPA dalam enam bulan terakhir memakai median karena data tidak berdistribusi normal (dengan dua kategori 1 kali dan >1 kali). Setelah dilakukan analisis bivariat ternyata frekuensi ISPA lebih sensitif bila dipakai untuk mengukur riwayat ISPA sehingga dibuatkan sub variabel baru untuk dimasukkan kedalam model, yaitu frekuensi ISPA berulang dimana yang tidak mengalami ISPA berulang dimasukkan dalam kategori frekuensi 0-1 kali sehingga sampel yang
51
dianalisis tetap 120. Status imunisasi dibuat berdasarkan rekomendasi Kemenkes dan IDAI.Berdasarkan Kemenkes dibuat kategori status imunisasi lengkap/tidak lengkap sesuai umur, sedangkan status imunisasi Hib dan Pneumokokus berdasarkan IDAI kategori ya/tidak. Balita yang belum mendapatkan imunisasi karena umurnya belum memenuhi syarat dimasukkan kedalam status imunisasi lengkap sesuai umur. Status gizi balita menurut BB/U sesuai kriteria WHO-Anthro 2005 adalah sebagai berikut. Status gizi baik= -2SD s/d 2 SD, gizi lebih = >2SD, gizi kurang = < -2SD, dan gizi buruk = < -3SD, namun untuk kebutuhan analisis dibuat dalam dua kategori yaitu gizi baik dan lebih serta gizi kurang dan buruk. Berdasarkan beberapa penelitian bahwa balita yang pneumonia lebih besar peluangnya memiliki faktor risiko status gizi kurang dan buruk, oleh karena itu status gizi lebih digabungkan ke status gizi baik bukan ke malnutrisi.Sebelumnya telah dicoba memakai tiga kategori yaitu gizi baik dan lebih menjadi satu kategori kemudian gizi kurang dipisahkan dengan gizi buruk. Namun dengan tiga kategori ini ada kolom yang kosong yaitu pada kasus tidak ada yang gizi buruk sehingga tidak memungkinkan untuk dipakai. Paparan asap rokok yaitu a) ada yang merokok di rumah (tidak/ada), b) tempat merokok (luar/dalam rumah), c) merokok dekat anak (tidak/ya), d) lamanya merokok (≤6/>6 bulan). Setelah dilakukan analisis bivariat ternyata merokok dekat anak lebih sensitif bila dipakai untuk mengukur paparan asap rokok terhadap pneumonia sehingga dibuatkan sub variabel baru untuk dimasukkan ke dalam model, yaitu tidak terpapar asap rokok dengan kategori ya/tidak. Kategori tidak pada sub variabel ada yang merokok di
52
rumah dimasukkan dalam kategori ya pada sub variabel tidak terpapar asap rokok sehingga sampel yang dianalisis tetap 120. Pemberian ASI menjadi enam sub variabel yaitu a) memberikan kolostrum (ya/tidak), b) jenis pemberian (ASI saja, ASI + susu formula, formula saja), c) status ASI eksklusif (ya/tidak), d) durasi ASI enam bulan pertama (≥2/<2 bulan), e) pemberian ASI dua tahun ((≥2/<2 tahun), f) inisiasi menyusu dini (ya/tidak). Status ASI eksklusif saat analisis bivariat didapatkan hasil yang signifikan tetapi saat dimasukkan ke dalam model menjadi tidak signifikan, kemudian dicoba mencari cut off point dari variabel pemberian ASI yang lain yaitu durasi ASI dicari rata-rata pemberian ASI enam bulan pertama, dan didapatkan rata-rata pemberian sebanyak dua bulan. Sub variabel durasi akhirnya dibuatkan kategori pemberian ≥2 /< 2 bulan dan saat dianalisis bivariat dan multivariat didapatkan hasil signifikan. Awalnya durasi dicoba dengan memakai numerik tetapi tidak signifikan. Balita yang berumur di bawah enam bulan dan saat penelitian masih diberikan ASI saja termasuk kedalam status ASI eksklusif, tetapi umur di bawah enam bulan dan sudah diberikan susu formula atau makanan pendamping lainnya dikategorikan tidak ASI eksklusif. Sub variabel jenis pemberian ASI untuk kategori pemberian ASI saja, bisa menjadi status tidak ASI eksklusif karena ada ibu yang memberikan ASI saja tetapi tidak sampai umur balita enam bulan. Variabel lantai menjadi empat sub variabel yaitu a) jenis lantai (bukan tanah/tanah), b) ketinggian lantai (≥20/< 20 cm) pengkategorian berdasarkan syarat ketinggian minimal lantai dari halaman rumah oleh Dinas Pekerjaan Umum, c) menyapu dalam sehari (≥3/< 3 kali), d) mengepel dalam seminggu (≥4 /
53
<4 kali). Sub variabel menyapu dan mengepel dibuat berdasarkan median karena data tidak berdistribusi normal. Sub variabel ketinggian lantai, menyapu dan mengepel muncul karena untuk sub variabel jenis lantai tidak memenuhi syarat untuk dimasukkan dalam model, namun ketinggian lantai, menyapu, dan mengepel juga tidak signifikan saat analisis bivariat. Dinding rumah dibuat menjadi dua sub variabel yaitu jenis dinding (tidak mudah terbakar/mudah terbakar) dan kondisi dinding (bersih/berjamur). Variabel kelembaban dan pencahayaan alami memakai lima titik saat pengukuran yang bertujuan untuk mengukur setiap sudut rumah. Lima titik yang dimaksud adalah kedua sudut/bagian pojok rumah bagian kanan dan kiri serta bagian tengah diukur, kemudian dicatat hasil dari masing-masing titik pengukuran. Hasil dari masingmasing titik pengukuran dijumlahkan lalu dibagi lima. Hasil rata-rata tersebutlah yang menjadi hasil akhir dari pengukuran yang dilakukan. 3.
Entry Seluruh data yang telah diberikan kode kemudian dilanjutkan dengan
memasukkan data-data ke komputer. Peneliti memasukan semua data yang didapat ke program Microsoft Excel terlebih dahulu sebelum menganalisis data ke STATA. 4.
Tabulating Proses tabulasi dilakukan dengan mengelompokkan data hasil penelitian
yang serupa dan menjumlahkannya dengan cara teliti dan teratur ke dalam tabel yang telah disediakan.
54
4.9.2 Analisis data Analisis data dilakukan dengan program STATA, meliputi analisis univariat, bivariat, dan multivariat. 1.
Analisis univariat Analisis univariat ini bertujuan untuk mengetahui distribusi frekuensi dan
proporsi dari berbagai variabel bebas maupun variabel terikat. 2.
Analisis bivariat Analisis bivariat dilakukan dengan regresi logistik untuk menghitung nilai
crude Odds Ratio (OR) dan nilai confidence interval (CI). Hipotesis statistik yang digunakan yaitu : a.
Ho
: OR = 1, jika variabel independent bukan merupakan faktor risiko.
b.
Ha
: OR > 1, jika variabel independent merupakan faktor risiko dan
OR < 1 sebagai faktor protektif. Uji statistik yang digunakan adalah uji chi-square dengan menggunakan power sebesar 80%, dan tingkat kemaknaan (α = 0,05). 3.
Analisis multivariat Analisis
multivariat
dilakukan
untuk mengetahui
peran
variabel
pengganggu terhadap hubungan variabel bebas dan variabel terikat dengan menggunakan uji regresi logistik, dengan melihat hasil analisis bivariat yang mempunyai kemaknaan statistik (P < 0,25). Untuk uji kemaknaan kaitan antara variabel yang diteliti terhadap variabel terpengaruh dilihat dari p–value< 0,05. Selanjutnya untuk memperkirakan besarnya risiko variabel bebas terhadap variabel
terikat
dilaksanakan penghitungan
adjusted
odds
ratio
(OR).
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Puskesmas II Denpasar Selatan merupakan salah satu dari 11 puskesmas di Kota Denpasar yang terletak di Jalan Danau Buyan III Kelurahan Sanur.Wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Selatan terdiri dari dua kelurahan dan dua desa yaitu Kelurahan Sanur, Kelurahan Renon, Desa Sanur Kauh, dan Desa Sanur Kaja yang terdiri dari 34 banjar. Kondisi wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Selatan secara umum merupakan pemukiman penduduk yang cukup padat serta banyak terdapat tempat-tempat umum yang dipergunakan untuk sekolah, sarana kesehatan, pertokoan/perdagangan, tempat industri, dan lainnya. Mobilitas penduduk di wilayah Puskesmas II Denpasar Selatan cukup tinggi. Banyak penduduk pendatang yang tinggal di rumah kos dan saat suami/keluarga sudah selesai bekerja atau harus pindah lagi ke tempat lain maka penduduk tersebut tidak berdomisili lagi di wilayah Puskesmas II Denpasar Selatan. Hal ini menyulitkan juga bagi petugas puskesmas apabila ada penyakit yang perlu dilakukan kunjungan rumah. Wilayah yang mempunyai tingkat kepadatan cukup tinggi ini mempunyai jumlah penduduk 53.699 jiwa pada tahun 2014. Jumlah balita di wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Selatan pada tahun 2014 adalah 5.370 orang. Target penderita pneumonia balita yang dipakai oleh pemegang program adalah 10% dari populasi balita, sehingga target penderita pneumonia balita di wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Selatan tahun 2014 adalah 537 orang. Jumlah balita di 55
56
Kelurahan Sanur 1.678 orang, Desa Sanur Kaja 927 orang, Desa Sanur Kauh 1.465 orang dan Kelurahan Renon 1.300 orang. Pemegang program P2 ISPA melakukan kunjungan rumah penderita pneumonia balita dalam rangka care seeking program P2 ISPA apabila ada balita yang mengalami pneumonia. Balita yang mengalami pneumonia tidak semua melakukan pengobatan ke puskesmas karena masih ada beberapa fasilitas kesehatan yang ada di Kota Denpasar baik yang berada di wilayah Puskesmas II Denpasar atau di luar wilayah sehingga cakupan pneumonia balita tidak 100%. 5.2
Karakteristik Sampel Sampel dalam penelitian ini adalah 60 balita yang mengalami pneumonia
pada 01 Januari 2014 sampai 31 Maret 2015 dan 60 balita sehat yang saat penelitian datang ke Puskesmas II Denpasar Selatan. Sampel kasus didapatkan dari 100 total balita yang mengalami pneumonia, sedangkan sampel kontrol dari balita yang datang ke puskesmas saat penelitian. Rata-rata umur balita adalah 28 bulan dengan standar deviasi (SD) =13,29, rentang 2 – 59 bulan. Median umur balita 26 bulan dengan Interval Quartil Range (IQR) = 17,5 – 38. Kelompok umur balita paling banyak pada kelompok kasus yaitu 12 – 23 bulan sebesar 36,7% sedangkan kelompok kontrol umur 24 – 35 bulan sebesar 31,7%. Berdasarkan Tabel 5.1 karakteristik ibu dan balita semua sudah komparabel (p>0,05).
57
Tabel 5.1 Komparabilitas Karakteristik Ibu dan Balita pada Kasus dan Kontrol Variabel Umur ibu (tahun) <20 20 – 24 25 – 29 30 – 34 35 – 39 ≥40 Pendidikan ibu Tinggi (Diploma/sarjana) Menengah (SMP/SMA) Rendah (≤SD) Penghasilan (Rupiah) ≥ 1.656.900 <1.656.900 Umur balita (bulan) 0 – 11 12 – 23 24 – 35 36 – 47 48 – 59 Jenis kelamin balita Laki-laki Perempuan
5.3
Kasus (N=60) n (%)
Kontrol (N=60) n (%)
Nilai p
1 (1,7) 7 (11,7) 17 (28,3) 21 (35) 12 (20) 2(3,3)
1(1,7) 7(11,7) 18 (30) 18 (30) 10 (16,7) 6 (10)
0,785
13 (21,7) 41 (68,3) 6 (10)
11 (18,3) 44 (73,3) 5 (8,3)
0,834
50 (83,3) 10 (16,7)
51 (85) 9 (15)
0,803
4 (6,7) 22 (36,7) 21 (35) 9 (15) 4 (6,7)
7 (11,7) 14 (23,3) 19 (31,7) 14 (23,3) 6 (10)
0,382
32 (53,3) 28 (46,7)
30 (50) 30 (50)
0,715
Analisis Bivariat Faktor Risiko dengan Pneumonia pada Balita Faktor risiko ditentukan berdasarkan nilai p, nilai OR, dan 95% CI dengan
menggunakan analisis regresi logistik.Karakteristik sosio demografi karena semua sudah komparabel maka tidak dilakukan analisis bivariat. Crude OR pemberian ASI diperlihatkan pada Tabel 5.2dimana dapat diinformasikan bahwa variabel status ASI eksklusif, durasi pemberian ASI, dan IMD secara statistik memiliki hubungan signifikan dengan batas bawah 95% CI >1. Variabel yang dimasukkan ke dalam model tidak hanya yang signifikan tetapi juga yang nilai p<0,25. Semua variabel pemberian ASI masuk ke model kecuali jenis pemberian karena kalau dikelompokkan kembali menjadi dua kategori akan menjadi status ASI eksklusif.
58
Tabel 5.2Crude OR Pemberian ASI pada Kasus dan Kontrol Variabel
Kolostrum Ya Tidak Jenis pemberian ASI ASI + Susu formula Formula saja
Status ASI Eksklusif Ya Tidak Durasi ASI (bulan) ≥2 <2 Pemberian ASI 2 tahun (tahun) ≥2 <2 IMD Ya Tidak
Kasus (n=60) n (%)
Kontrol (n=60) n(%)
Crude OR
95% CI
Nilai p
36 (60) 24 (40)
44 (73,3) 16 (26,7)
1,83
0,85 – 3,96
0,123
18 (30) 33 (55) 9 (15)
32 (53,3) 23 (38,3) 5 (8,3)
2,55 3,20
1,16 – 5,59 0,93 – 11,02
0,019 0,065 p group 0,035
12 (20) 48 (80)
23 (38,3) 37 (61,7)
2,49
1,10 – 5,64
0,029
17 (28,3) 43 (71,7)
33 (55) 27 (45)
3,09
1,45 – 6,59
0,004
11 (18,3) 49 (81,7)
17 (28,3) 43 (71,7)
1,76
0,74 – 4,17
0,198
17 (28,3) 43 (71,7)
32 (53,3) 28 (46,7)
2,89
1,36 – 6,16
0,006
Informasi yang didapatkan juga dari Tabel 5.2 bahwa sebesar 40% kelompok kasus dan 26,7% kelompok kontrol tidak memberikan kolostrum pada balita. Balita yang diberikan susu formula saja semenjak kelahirannya sampai saat pengumpulan data dilakukan pada kelompok kasus sebesar 15% sedangkan pada kelompok kontrol 8,3%. Alasan yang dikemukakan oleh ibu kenapa memberikan susu formula semenjak kelahiran balita adalah semuanya (100%) ibu menjawab air susu tidak mau keluar. Masih banyak ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif kepada balita yaitu sebesar 80% pada kelompok kasus dan 61,7% kelompok kontrol. Risiko terjadinya pneumonia lebih tinggi pada balita yang tidak diberikan ASI eksklusif dibandingkan balita yang diberikan ASI eksklusif dengan OR sebesar 2,49 (95% CI : 1,10 – 5,64) Ibu yang memberikan ASI
59
eksklusif kurang dari dua bulan pada kelompok kasus adalah 71,7% sedangkan kelompok kontrol 45%. Risiko terjadinya pneumonia lebih tinggi pada balita yang diberikan ASI saja kurang atau sama dengan dua bulan dibandingkan balita yang diberikan ASI lebih dari dua bulan dengan OR sebesar 3,09 (95% CI : 1,45 – 6,59). Pada kelompok kasus 71,7% ibu tidak melakukan IMD pada balitanya saat lahir, sedangkan pada kelompok kontrol 46,7%. Risiko terjadinya pneumonia lebih tinggi pada balita yang tidak dilakukan IMD dibandingkan balita yang dilakukan IMD dengan OR sebesar 2,89 (95% CI : 1,36 – 6,16). Data yang didapatkan pada kelompok kasus sebesar 83,3% dan kelompok kontrol 76,7% tidak memberikan ASI sampai umur anak dua tahun. Secara statistik pemberian ASI sampai umur dua tahun tidak didapatkan hasil signifikan. Crude OR lingkungan fisik rumah diperlihatkan pada Tabel 5.3.Informasi yang dapat disampaikan dari Tabel 5.3 bahwa jenis lantai dan dinding di wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Selatan 100% sudah memenuhi syarat. Untuk ketinggian lantai yang seharusnya ≥20 cm dari halaman rumah menurut Dinas Pekerjaan Umum, masih ada 3,3% pada kelompok kasus dan 1,7% pada kontrol memiliki ketinggian lantai <20 cm dari halaman rumah (seluruhnya yang memiliki ketinggian <20 cm ini adalah yang tinggal di rumah kos). Pada penelitian didapatkan 26,7% kelompok kasus dan 20% kelompok kontrol memiliki dinding dalam kondisi berjamur dan tidak ada yang berlumut. Pada penelitian juga didapatkan hasil median menyapu tiga kali dalam sehari (IQR : 2 – 3) interval 1 – 14 kali, sedangkan median mengepel empat kali dalam seminggu (IQR : 3 – 7) interval 1 – 14 kali. Pada kelompok kasus sebesar 43,3% menyapu
60
<3 kali sehari sedangkan pada kelompok kontrol 41,7%. Untuk frekuensi mengepel <4 kali dalam seminggu pada kelompok kasus sebesar 46,7%, sedangkan kelompok kontrol 48,3%. Tabel 5.3Crude OR Lingkungan Fisik Rumah pada Kasus dan Kontrol Variabel
Jenis lantai Bukan tanah Ketinggian lantai ≥ 20 cm < 20 cm Menyapu lantai dalam sehari (kali) ≥3 <3 Mengepel lantai dalam seminggu (kali) ≥4 <4 Jenis dinding Memenuhi syarat (tidak mudah terbakar) Kondisi dinding Bersih Berjamur Luas ventilasi rumah Memenuhi syarat (≥ 10% dari luas lantai) Tidak memenuhi syarat Kelembaban Memenuhi syarat (40 – 70%) Tidak memenuhi syarat Pencahayaan alami Memenuhi syarat (60 – 120 lux) Tidak memenuhi syarat Kepadatan hunian Memenuhi syarat (≥9 m2/orang) Tidak memenuhi syarat
Kasus (n=60) n(%)
Kontrol (n=60) n(%)
Crude OR
95% CI
Nilai p
60 (100)
60 (100)
58 (96,7) 2 (3,3)
59 (98,3) 1 (1,7)
2,03
0,18 – 23,06
0,556
34 (56,7) 26 (43,3)
35 (58,3) 25 (41,7)
1,07
0,52 – 2,21
0,854
32 (53,3) 28 (46,7)
31 (51,7) 29 (48,3)
0,94
0,46 – 1,92
0,855
60 (100)
60 (100)
44 (73,3) 16 (26,7)
48 (80) 12(20)
1,45
0,62 – 3,41
0,389
16 (26,7)
28 (46,7)
44 (73,3)
32 (53,3)
2,41
1,12 – 5,17
0,024
33 (55) 27(45)
48 (80) 12 (20)
3,27
1,45 – 7,37
0,004
33 (55) 27(45)
44 (73,3) 16 (26,7)
2,25
1,05 – 4,84
0,038
14 (23,3)
28 (46,7)
46 (76,7)
32 (53,3)
2,88
1,31 – 6,30
0,008
Variabel luas ventilasi, kelembaban rumah, pencahayaan alami dan kepadatan hunian memiliki hubungan yang signifikan dengan batas bawah 95% CI >1. Variabel lingkungan fisik rumah yang dimasukkan ke dalam model hanya
61
empat variabel yang signifikan tersebut, karena variabel yang lain tidak ada memenuhi syarat untuk p<0,25. Hasil penelitian didapatkan pada kelompok kasus sebesar 73,3% luas ventilasi tidak memenuhi syarat sedangkan pada kelompok kontrol 53,3%. Risiko terjadinya pneumonia lebih tinggi pada balita yang tinggal di rumah dengan luas ventilasi tidak memenuhi syarat dengan OR sebesar 2,41 (95% CI : 1,12 – 5,17). Kelembaban rumah yang tidak memenuhi syarat pada kelompok kasus ditemukan 45% sedangkan kelompok kontrol 20%. Risiko terjadinya pneumonia lebih tinggi pada balita yang tinggal di rumah dengan kelembaban tidak memenuhi syarat dengan OR sebesar 3,27 (95% CI : 1,45 – 7,37). Pencahayaan alami yang tidak memenuhi syarat pada kelompok kasus sebesar 45%, sedangkan kelompok kontrol 26,7%. Risiko terjadinya pneumonia lebih tinggi pada balita yang tinggal di rumah dengan pencahayaan alami tidak memenuhi syarat dengan OR sebesar 2,25 (95% CI : 1,05-4,84). Kepadatan hunian rumah yang tidak memenuhi syarat pada kelompok kasus sebesar 76,7%, sedangkan kelompok kontrol 53,3%. Risiko terjadinya pneumonia lebih tinggi pada balita yang tinggal di rumah dengan kepadatan hunian tidak memenuhi syarat dengan OR sebesar 2,88 (95% CI : 1,31 – 6,30). Crude OR riwayat ISPA, riwayat BBLR, status gizi, paparan asap rokok, status imunisasi dan vitamin A diperlihatkan pada Tabel 5.4.
62
Tabel 5.4Crude OR Riwayat ISPA, Riwayat BBLR, Status Gizi, Paparan Asap Rokok, Status Imunisasi dan Vitamin A pada Kasus dan Kontrol Variabel ISPA berulang Riwayat ISPA (n=120) Tidak Ya Frekuensi (n=108) 1x >1x Frekuensi ISPA berulang (n=120) 0 - 1x >1x Riwayat BBLR (n=120) Normal (≥ 2500 gram) BBLR Status Gizi (n=120) Baik & lebih Kurang& buruk Paparan asap rokok Ada yang merokok (n=120) Tidak Ada Tempat (n=68) Luar rumah Dalam rumah Dekat anak (n=68) Tidak Ya Lamanya (bulan) (n=68) ≤6 >6 Tidak terpapar asap rokok (n=120) Ya Tidak Status imunisasi (Kemenkes) (n=120) Lengkap Tidak lengkap Status imunisasi pneumokokus dan Hib(IDAI) (n=120) Ya Tidak Status Vitamin A (n=120) Dapat Tidak dapat
Kasus n (%)
Kontrol n(%)
Crude OR
95% CI
Nilai p
4 (6,7) 56 (93,3)
8 (13,3) 52 (86,7)
2,15
0,61 – 7,58
0,232
8 (14,3) 48 (85,7)
30 (57,7) 22 (42,3)
8,18
3,23 – 20,71
0,001
12 (20) 48 (80)
38 (63,3) 22 (36,7)
6,91
3,04 – 15,72
0,001
58 (96,7) 2 (3,3)
57 (95) 3 (5)
0,66
0,11 – 4,07
0,650
57 (95) 3 (5)
52 (86,7) 8(13,3)
0,34
0,09 – 1,36
0,127
26 (43,3) 34 (56,7)
26 (43,3) 34 (56,7)
1,00
0,49 – 2,06
1,000
27 (79,4) 7 (20,6)
31 (91,2) 3 (8,8)
2,68
0,63 – 11,39
0,182
29 (85,3) 5 (14,7)
24 (70,6) 10 (29,4)
0,41
0,12 – 1,38
0,150
1 (2,9) 33 (97,1)
0 (0) 34 (100)
55 (91,7) 5 (8,3)
50 (83,3) 10 (16,7)
0,45
0,15 – 1,42
0,175
58 (96,7) 2 (3,3)
60 (100) 0 (0)
empty
8 (13,3) 52 (86,7)
15 (25) 45 (75)
2,17
0,84 – 5,58
0,109
56 (93,3) 4 (6,7)
54 (90) 6 (10)
0,64
0,17 – 2,40
0,512
omitted
0,154
63
Kelompok kasus yang pernah mengalami ISPA dalam enam bulan terakhir sebesar 93,3% dan kelompok kontrol 86,7%. Frekuensi ISPA >1 kali pada jumlah sampel 108 di kelompok kasus sebesar 85,7% dan 42,3% pada kelompok kontrol. Frekuensi ISPA berulang >1 kali pada jumlah sampel 120 di kelompok kasus sebesar 20% dan kontrol 63,3%. Risiko terjadinya pneumonia lebih tinggi pada balita yang mengalami ISPA berulang >1 kali dalam enam bulan dengan OR sebesar 6,91 (95% CI : 3,04 – 15,72). Riwayat BBLR 3,3% pada kelompok kasus dan 5% pada kelompok kontrol. Status gizi kelompok kasus masih terdapat 5% balita yang mengalami gizi kurang dan buruk, sedangkan kelompok kontrol 13,3%. Kelompok kasus yang tidak mendapatkan vitamin A sebesar 6,7% dan kelompok kontrol 10%. Kelompok kasus maupun kontrol masing-masing sebesar 56,7% memiliki anggota keluarga yang merokok. Dari 68 balita yang terpapar asap rokok di rumah, sebesar 20,6% pada kelompok kasus dan 8,8% kelompok kontrol anggota keluarga merokok di dalam rumah. Riwayat merokok saat mengajak anak pada kelompok kasus 14,7% dan kelompok kontrol 29,4%. Anggota keluarga yang memulai merokok > 6 bulan yang lalu pada kelompok kasus sebesar 97,1% dan 100% pada kontrol. Bapak dari balita adalah anggota keluarga yang paling banyak merokok pada kedua kelompok, dimana pada kelompok kasus sebesar 46,7% dan kontrol 53,3%. Rata-rata rokok yang dihisap dua batang per hari pada saat merokok dekat anak.Rata-rata jumlah rokok yang dihisap oleh anggota keluarga yang merokok adalah 10 batang per hari.
64
Status imunisasi balita berdasarkan Kemenkes didapatkan status imunisasi yang tidak lengkap sesuai umur pada kelompok kasus 3,3% sedangkan pada kelompok kontrol semuanya lengkap. Imunisasi yang tidak lengkap pada kelompok kasus ini karena balita yang umur dua bulan sedang sakit sehingga belum diberikan imunisasi DPT combo/pentabio I oleh pihak puskesmas.Satu balita umur 11 bulan tidak mendapatkan imunisasi campak karena pada saat umur sembilan bulan sakit dan sampai saat pengambilan data balita tidak dicarikan imunisasi karena takut anaknya sakit lagi setelah diimunisasi. Balita yang tidak mendapatkan imunisasi pneumokokus dan Hib sesuai anjuran Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) sebesar 86,7% pada kelompok kasus dan 75% kelompok kontrol. Untuk data kelengkapan imunisasi balita ditampilkan pada Tabel 5.5 di bawah. Tabel 5.5Kelengkapan Imunisasi berdasarkan Umur pada Kasus dan Kontrol Vaksin DPT combo Hib Pneumokokus Campak
Umur (tahun) ≤1 >1 ≤1 >1 ≤1 >1 ≤1 >1
Kasus n(%) 3 (75) 56 (100) 2 (50) 50 (89,3) 0 (0) 8 (13,3) 1 (25) 55 (98,2)
Kontroln(%) 9 (100) 51 (100) 8 (88,9) 36 (70,6) 2 (22,2) 13 (25,5) 5 (55,6) 51 (100)
Berdasarkan Tabel 5.5 di atas dapat diinformasikan bahwa satu orang (25%)
balita
umur ≤1
tahunyang tidak mendapatkan imunisasi
DPT
Combo/pentabio karena sedang sakit. Dari 24 balita yang tidak mendapatkan imunisasi Hib 4,2% tidak mendapatkan karena sakit dan sisanya 95,8% karena memang tidak dicarikan pada program pentabio yang ada dan tidak tahu ada
65
imunisasi pentabio lanjutan. Dari 97 balita yang tidak mendapatkan imunisasi Pneumokokus.semuanya (100%) mengatakan bahwa tidak tahu tentang imunisasi tersebut dan tidak mencarikan karena biayanya yang mahal (belum termasuk ke dalam imunisasi dasar). Dari tujuh balita yang tidak mendapatkan imunisasi Campak bahwa satu balita (14,3%) umur ≥1 tahun pada kasus yang tidak dapat imunisasi campak karena waktu umur sembilan bulan sakit dan tidak dicarikan sampai sekarang, sisanya 85,7% karena belum umur. 5.4
Analisis Multivariat Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Pneumonia pada Balita Analisis multivariat dilakukan secara bersama-sama pada variabel dengan
nilai p < 0,25 pada analisis bivariat yang bertujuan untuk mengetahui variabel yang paling berpengaruh terhadapkejadian pneumonia pada balita. Variabel yang dilakukan analisis multivariat tidak hanya variabel independent saja tetapi juga faktor risiko lain yang dapat meningkatkan kejadian pneumonia pada balita seperti kerangka berpikir yang telah dibuat. Variabel yang dilakukan analisis multivariat yaitu pemberian ASI (kolostrum, status ASI eksklusif, durasi ASI, pemberian ASI dua tahun, IMD), lingkungan fisik rumah (luas ventilasi, pencahayaan alami, kelembaban, dan kepadatan hunian dalam rumah), frekuensi ISPA berulang, status gizi, tidak terpapar asap rokok dan status imunisasi pneumokokus dan Hib (IDAI). Analisis multivariat dapat dilihat pada Tabel 5.6 berikut.
66
Tabel 5.6Adjusted ORFaktor Risiko Pneumonia Variabel Durasi ASI < 2 bulan Pencahayaan alami tidak memenuhi syarat (<60atau >120 lux) Kepadatan hunian tidak memenuhi syarat (< 9 m2/orang) Status imunisasi pneumokokus dan Hib (IDAI) Frekuensi ISPA berulang >1 kali
Adjusted OR 5,24 2,72
95% CI
Nilai p
1,96 – 14,01 1,05 – 7,00
0,001 0,038
3,11
1,18 – 8,19
0,022
3,68 10,14
1,11 – 12,17 3,67 – 28,02
0,033 0,0001
Analisis multivariat dilakukan dengan metode backward dengan cara mengeluarkan variabel secara bertahap yaitu langkah 1; ASI eksklusif, langkah 2; pemberian ASI dua tahun, langkah 3; kolostrum, langkah 4; tidak terpapar asap rokok, langkah 5; kelembaban, langkah 6; luas ventilasi rumahdan langkah 7;status gizi, langkah 8; IMD. Berdasarkan analisis multivariat yang telah dilakukan faktor risiko luas ventilasi dan kelembaban rumah terbukti signifikan pada analisis bivariat, tetapi setelah dimasukkan ke dalam model tidak signifikan lagi. Faktor risiko yang terbukti signifikan serta meningkatkan kejadian pneumonia pada balita yaitu durasi ASI kurang dari dua bulan, pencahayaan alami, kepadatan hunian, status imunisasi Hib dan pneumokokus sesuai anjuran IDAI serta frekuensi total ISPA berulang. Risiko terjadinya pneumonia lebih tinggi pada balita yang diberikan ASI kurang dari dua bulan dengan OR sebesar 5,24 (95% CI : 1,96 – 14,01). Risiko terjadinya pneumonia
lebih tinggi pada balita yang tinggal di rumah
dengan pencahayaan alami tidak memenuhi syarat dengan OR sebesar 2,72 (95% CI : 1,05 – 7,00). Risiko terjadinya pneumonia lebih tinggi pada balita yang tinggal di rumah dengan tingkat hunian tidak memenuhi syarat dengan OR sebesar 3,11 (95% CI : 1,18 – 8,19). Risiko terjadinya pneumonia lebih tinggi pada balita
67
yang tidak mendapatkan imunisasi pneumokokus dan Hib sesuai anjuran IDAI dengan OR sebesar 3,68 (95% CI : 1,11-12,17). Risiko terjadinya pneumonia lebih tinggi pada balita yang mengalami ISPA >1 kali dalam enam bulan dengan OR sebesar 10,14 (95% CI : 3,67-28,02).
BAB VI PEMBAHASAN
6.1
Faktor Risiko Kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas II Denpasar Selatan Tahun 2015 Variabel independent yang terbukti signifikan dan meningkatkan kejadian
pneumonia pada balita di Puskesmas II Denpasar Selatan yaitu durasi pemberian ASI kurang dari dua bulan, lingkungan fisik rumah (pencahayaan alami dan kepadatan hunian). Faktor risiko lainnya yang juga terbukti signifikan dan meningkatkan kejadian pneumonia adalah status imunisasi Hib dan pneumokokus sesuai anjuran IDAI serta frekuensi ISPA berulang. Variabel pemberian ASI yang didapatkan hasil signifikan serta meningkatkan risiko kejadian pneumonia balita pada analisis multivariat hanya durasi pemberian ASI kurang dari dua bulan. Tidak memberikan ASI eksklusif pada penelitian ini tidak sebagai faktor risiko pneumonia balita. Hasil penelitian terkait durasi ASI yaitu yang dilakukan di Brazil dimana mendapatkan pemberian ASI tanpa susu formula dapat memberikan proteksi pada balita, khususnya pada bulan pertama kehidupan (Cesar, dkk.,1999). Demikian juga systematic review yang dilakukan di USA dinyatakan bahwa balita yang pneumonia lebih besar peluangnya memiliki faktor risiko pemberian ASI eksklusif kurang dari lima bulan pertama dibandingkan balita yang tidak pneumonia (Lamberti, dkk., 2013). Hal ini juga sejalan dengan cakupan pemberian ASI berdasarkan umur, semakin bertambah umur bayi cakupan pemberian ASI semakin rendah. Umur nol bulan cakupan pemberian ASI 39,8%, umur satu bulan 32,5%, umur dua bulan 30,7%,
68
69
umur tiga bulan 25,2%, umur empat bulan 26,3% dan umur lima bulan 15,3% (Riskesdas, 2010). Hal ini menunjukkan ASI eksklusif enam bulan masih sangat sulit dijalankan oleh ibu-ibu yang memiliki bayi. Dalam kaitannya dengan pneumonia, studi ini mendapatkan pentingnya pemberian ASI setidaknya dalam dua bulan pertama kehidupan tetapi sangat penting untuk memberikan ASI penuh dalam enam bulan pertama sesuai dengan kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah terkait hasil penelitian-penelitian sebelumnya. Hasil penelitian ini juga sejalan bila dilihat dari cakupan ASI eksklusif. Cakupan ASI eksklusif di Bali tahun 2013 adalah 69,3% lebih tinggi dari cakupan nasional (54,3%), Kota Denpasar cakupannya tahun 2012 adalah 68,6% dan Puskesmas II Denpasar Selatan tahun 2013 sebesar 73,6% dimana sama-sama belum mencapai target yang ditentukan sebesar 75%. Hal ini juga didukung dari hasil penelitian yang dilakukan didapatkan sebagian besar responden yaitu 62,5%, tidak memberikan ASI eksklusif pada balita. Pencahayaan alami pada penelitian ini secara statistik terbukti signifikan serta meningkatkan risiko kejadian pneumonia pada balita. Penelitian ini sependapat dengan penelitian yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Sentosa Baru Kota Medan dan wilayah kerja Puskesmas I Banjarnegara dimana balita dengan kondisi pencahayaan alami yang tidak baik berpeluang menderita pneumonia dibandingkan balita dengan kondisi pencahayan yang baik (Sinaga, dkk.,2008;Wijo Basuki, 2004). Pencahayaan alami selain dipengaruhi oleh tata letak rumah juga dipengaruhi oleh kebiasaan penghuni rumah untuk membuka jalan masuknya cahaya. Padatnya bangunan dalam suatu lahan juga dapat
70
mempengaruhi intensitas pencahayaan matahari yang masuk ke dalam ruangan. Kondisi inilah yang sebagian besar dimiliki oleh sampel sehingga saat peneliti melakukan observasi dan pengukuran dalam ruangan pencahayaan alami yang diperoleh kurang atau minim. Cahaya matahari selain untuk penerangan dapat juga untukmembunuh bakteri-bakteri patogen yang hidup dalam rumah, seperti bakteri streptococcus pneumoniae dimanamemiliki sifat mampu bertahan selama beberapa hari dalam pembenihan biasa dan mati oleh sinar matahari langsung (Radji, M, 2010). Sehubungan dengan hal tersebut pemerintah Indonesia melalui dinas pekerjaan umum telah menetapkan bahwa untuk kesehatan ruangan, sinar matahari pagi harus masuk ke dalam ruangan minimal satu jam sehari atau bila penerangan matahari tidak langsung minimal delapan jam (Dinas Pekerjaan Umum, 2006). Variabel lingkungan fisik rumah yang didapatkan hasil signifikan dan meningkatkan risiko kejadian pneumonia balita pada penelitian ini selain pencahayaan alami adalah kepadatan hunian rumah. Penelitian ini sependapat dengan penelitian yang dilakukan oleh (Yulianti, dkk.,2000; Yuwono, 2008; Sinaga, dkk., 2008) dinyatakan balita yang berada dalam tingkat kepadatan hunian yang tidak memenuhi syaratberisiko lebih tinggi menderita pneumonia dibandingkan dengan balita yang tinggal pada kepadatan hunian yang memenuhi syarat. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Depkes RI bahwa semakin banyak penghuni dalam ruangan maka risiko untuk terjadinya penularan penyakit akan lebih cepat (Depkes RI, 2000). Saat penelitian ditemukan sebagian besar dalam satu kamar tidur ditempati oleh tiga sampai empat orang yaitu oleh kedua orang
71
tua dengan satu dan atau dua anaknya tetapi dalam kamar tersebut ditambahkan satu tempat tidur lagi. Hal ini bertentangan dengan Kepmenkes RI nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 bahwa satu kamar tidur sebaiknya tidak lebih dari dua orang kecuali anak dibawah lima tahun. Kepadatan hunian dalam rumah yang tinggi dapat meningkatkan paparan dan risiko penularan antar anggota keluarga terutama penyakit dengan media penularan udara. Perbandingan antara jumlah penghuni dengan luas lantai yang tidak ideal terutama pada tempat tinggal kontrakan atau kos yang pada umumnya kurang memiliki halaman akan memperpanjang paparan balita dengan kondisi fisik maupun daya tahan tubuh yang tidak baik. Imunisasi yang dapat mencegah untuk terjadinya pneumonia adalah Pertussis yang terdapat dalam imunisasi DPT Combo 1-3 (sekarang telah diganti menjadi Pentabio 1-3), Hib (sekarang sudah termasuk ke dalam imunisasi dasar yaitu di Pentabio), campak, dan pneumokokus.Status imunisasi yang dipakai dalam penelitian ini selain imunisasi dasar (DPT dan campak) adalah pemberian imunisasi Hib dan pneumokokus sesuai anjuran IDAI.Berdasarkan hasil analisis multivariat didapatkan imunisasi Hib dan pneumokokus sesuai anjuran IDAI terbukti signifikan serta meningkatkan risiko kejadian pneumonia pada balita.Penelitian ini sesuai dengan yang dilakukan oleh Annah, dkk. (2012) di RSUD Salewangan, Maros, Makassar, Yafanita (2012) di RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan Fanada (2012) di Puskesmas Kenten Palembang yang menyatakan anak dengan status imunisasi tidak lengkap berpeluang menderita pneumonia lebih besar daripada anak dengan status imunisasi lengkap. Namun penelitian lain
72
menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan antara anak yang status imunisasi DPT dan campak tidak lengkap dengan yang status imunisasinya lengkap (Hananto, 2004),.Namun penelitian-penelitian tersebutbelum memakai pemberian imunisasi Hib dan Pneumokokus,yang dipakai adalah kelengkapan imunisasi DPT dan campak atau imunisasi dasar. Hal ini dikarenakan untuk kedua vaksin tersebut belum masuk ke program imunisasi dasar di Indonesia, tetapi untuk imunisasi Hib semenjak tahun 2013 mulai dimasukkan kedalam imunisasi dasar pada Pentabio (gabungan antara DPT-Hb dan Hib) untuk empat daerah di Indonesia yaitu Jawa Barat, Yogyakarta, Bali dan Nusa Tenggara Barat. Untuk seluruh wilayah Indonesia baru diberlakukan mulai tahun 2014.Hasil penelitian di Gambia (Afrika), dengan pemberian imunisasi pneumokokus terjadi penurunan kasus pneumonia sebesar 37%, pengurangan penderita yang harus dirawat di rumah sakit sebesar 15%, dan pengurangan kematian pada anak sebesar 16%. Hal ini membuktikan bahwa vaksin tersebut sangat efektif untuk menurunkan kematian pada anak karena pneumonia (Kemenkes, 2010). Faktor risiko frekuensi ISPA >1 kali dalam enam bulan dalam penelitian ini terbukti signifikan dan meningkatkan kejadian pneumonia pada balita. Hal ini sesuai dengan pernyataan Depkes RI bahwa seorang balita rata-rata mengalami batuk pilek tiga sampai enam kali dalam setahun (Depkes RI, 2002). Hal ini juga didukung dari cakupan penderita ISPA pada balita di kota Denpasar pada tahun 2013 adalah 26,8%, dan sebesar 7,05% yang pneumonia. Proporsi balita yang mengalami ISPA di wilayah Puskesmas II Denpasar Selatan tahun 2013 sebesar 63,7% dan 13,54% yang pneumonia (Dinkes Kota Denpasar, 2013). Pada
73
penelitian ini ditemukan 58,3% balita mengalami ISPA >1 kali dalam enam bulan, hampir mirip dengan penelitian di Jawa Tengah yang menemukan 42,8% mengalami satu kali ISPA dalam tiga bulan (Ellyana dan Candra, 2009). Kejadian ISPA berulang masih tinggi, mengakibatkan sebagian besar menjadi pneumonia apabila tidak ditanggulangi dengan cepat. Faktor risiko yang tidak memiliki hubungan signifikan pada penelitian yaitu riwayat BBLR, status gizi, status vitamin A, paparan asap rokok, pemberian ASI (kolostrum, status ASI eksklusif, pemberian ASI dua tahun dan
IMD),
lingkungan fisik rumah (jenis lantai, kondisi dinding, luas ventilasi dan kelembaban). Penelitian ini sejalan dengan beberapa penelitian antara lain di RSUD Salewangan Maros Makassar menyatakan bahwa suplemen vitamin A tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan pneumonia pada balita (Annah, dkk., 2012). Penelitian di Denpasar menyatakan tidak ada hubungan yang bermakna antara status gizi dengan pneumonia pada balita (Farmani, 2013).Penelitian di Sumatera Selatan menyatakan riwayat BBLR secara statistik tidak signifikan dengan kejadian pneumonia pada balita (Herman, 2002). Penelitian di Denpasar, Trenggalek, dan Lampung menyatakan tidak ada hubungan yang bermakna antara pemberian ASI eksklusif dengan pneumonia pada balita(Farmani, 2011; Sulistyowati, 2010; Yushananta, 2008). Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian (Yuwono, 2008; Sugihartono dan Nurjazuli, 2012) yang menyatakan ada hubungan bermakna antara paparan asap rokok dengan kejadian pneumonia pada balita. Penelitian (Mokoginta, dkk., 2013; Naim, 2000; Pradhana, 2010; Regina, dkk., 2013; Annah, dkk., 2012) yang
74
menyatakan balita yang tidak diberikan ASI eksklusif dapat meningkatkan risiko kejadian pneumonia pada balita. Jenis lantai (Nurjazali dan Retno Widyaningtyas, 2006; Sugihartono dan Nurjazali, 2012), jenis dinding (Yuwono, 2008), ventilasi (Yuwono, 2008; Sinaga,dkk, 2008), kelembaban (Yuwono, 2008; Yulianti, dkk, 2002; Siti Zuraidah, 2002) mendapatkan hubungan yang bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita. 6.2 Keterbatasan Penelitian Keterbatasan yang dapat dikemukakan oleh peneliti dalam penelitian ini sebagai berikut.Secara umum adanya recall bias data karena mengandalkan ingatan, tetapi hal ini berusaha diminimalkan dengan melihat data di KMS dan mengulang kembali pertanyaan yang susah diingat responden dan sebisa mungkin memberi contoh atau penjelasan yang bisa dimengerti. Kemungkinan adanya measurement error tetapi hal ini sudah berusaha diminimalkan dengan melakukan uji coba kuesioner sebelum dipakai untuk sampel penelitian dan memberikan persamaan persepsi/menjelaskan tentang kuesioner yang dipakai kepada surveyor serta sudah dilakukan kalibrasi terhadap alat-alat yang dipakai pengukuran lingkungan fisik rumah. Jumlah sampel yang dipakai masih sedikit dan penelitian ini hanya dilakukan di satu puskesmas sehingga hasil penelitian belum bisa digeneralisasi ke populasi yang lebih luas terutama untuk penderita pneumonia balita di rumah sakit yang memiliki karakteristik atau kondisi program yang berbeda, tetapi sudah bisa menggambarkan seluruh balita yang ada di wilayah Puskesmas II Denpasar Selatan.
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan Dalam penelitian ini variabel yang terbukti sebagai faktor risiko pneumonia pada balita yaitu balita yang telah diberikan ASI kurang dari dua bulan, yang telah tinggal di rumah dengan pencahayaan alami dan kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat, tidak mendapatkan imunisasi Hib serta pneumokokus sesuai anjuran IDAI dan telah mengalami ISPA lebih atau sama dengan satu kali dalam enam bulan. Variabel pemberian ASI (kolostrum, status ASI eksklusif, pemberian ASI dua tahun, IMD), lingkungan fisik rumah (jenis lantai, dinding, luas ventilasi dan kelembaban), status BBLR, status gizi, status vitamin A, dan paparan asap rokok tidak terbukti sebagai faktor risiko pneumonia pada balita di Puskesmas II Denpasar Selatan. 7.2 Saran Untuk pemegang kebijakan maupun petugas kesehatan di Puskesmas II Denpasar Selatan agar memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk meningkatkan pemberian ASI eksklusif, meningkatkan sanitasi lingkungan, menjaga daya tahan tubuh balita agar tidak mudah terserang ISPA dan meningkatkan cakupan imunisasi.
75
76
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, U. F. 2011. Dasar-dasar Penyakit Berbasis Lingkungan.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Annah, I., Nawi, N. & Ansar, J., 2012. Faktor Risiko Kejadian Pneumonia Anak Umur 6-59 Bulan di RSUD Salewangan Maros Tahun 2012, hal.1-14. Anwar, A. & Dharmayanti, I., 2014. Pneumonia pada Anak Balita di Indonesia. Kesehatan Masyarakat Nasional, 8. Arifeen, Black & Antelman, 2001. Exclusive Breastfeeding Reduce Acute Respiratory Infection and Diarrhea Death Among Infants in Dhaka Slums. Pediatrics. Basuki, W. 2004. Faktor Ekstrinsik Lingkungan Rumah yang Berhubungan dengan Kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Puskesmas I Banjarnegara Tahun 2004. Diunduh: http://eprints.undip.ac.id/20832/1/2150.pdf(Accessed: 2014, Desember 15) Buston, 2007. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular, Jakarta: PT. Rineka Cipta. Cesar, J.A.,dkk,. 1999. Impact Of Breast Feeding On Admission For Pneumonia During Postneonatal Period in Brazil: Nested Case-ControlStudy. Papers. BMJ : Volume 318. Brazil : Departamento Materno Infantil, Fundaça.o Universidade do Rio Grande, RioGrande do Sol Depkes RI. 1994. Bina Lingkungan Sehat. Jakarta : Kecakapan Khusus Saka Bhakti Husada. Depkes RI. 2002. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1537.A/Menkes/SK/XII/2002 TentangPedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut untuk Penanggulangan Pneumonia pada Balita. Jakarta: Departemen Kesehatan RI . Depkes RI. 2003. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1479/MENKES/SK/X/2003 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular. Jakarta : Departemen Kesehatan RI. Dinas Pekerjaan Umum. 2006. Pedoman Umum Rumah Sederhana Sehat. Jakarta : Departemen Pekerjaan Umum RI.
77
Dinkes. 2013. Profil Kesehatan Kota Denpasar Tahun 2012. Denpasar : Dinas Kesehatan Kota Denpasar. Djaja, S. 1999. Prevalensi Pneumonia dan Demam pada Bayi dan Anak Balita. Buletin Penelitian Kesehatan. Vol.26, No.4 Direktorat Jenderal PP dan PL, Departemen Kesehatan RI. 2004. Pedoman Pemberantasan Penyakit ISPA Untuk Penanggulangan Pneumonia. Jakarta : Depkes RI. Ellyana dan Candra. 2013. Hubungan Frekuensi ISPA dengan Status Gizi Balita. Journal of Nutritional and Health. Vol.1, No.1 Fanada, M., Muda, W. & Selatan, B.D.P.S., 2012. Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kenten Palembang Tahun 2012. Farmani, P.I., 2011. Hubungan Pencahayaan Alami terhadap Kejadian Pneumonia pada Bayi dan Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas II Denpasar Selatan Tahun 2011. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana Fonseca, W. et al., 1996. Risk factors for childhood pneumonia among the urban poor in Fortaleza , Brazil : a case-control study. , 74(2), hal.199–208. Franks, Taber & Glezen, 1982. Breastfeeding and Respiratory Virus Infection. Pediatrics. Hananto M, 2004. "Analisis Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Pneumonia pada Balita di 4 Propinsi di Indonesia" (tesis). Jakarta : Universitas Indonesia. Hartati, S., 2011. "Analisis Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Pneumonia pada Anak Balita di RSUD Pasar Rebo Jakarta". (tesis). Jakarta : Universitas Indonesia. Heriyana, Amiruddin, R. & Ansar, J., 2005. Analisis Faktor Risiko Kejadian Pneumonia Pada Anak Kurang Dari 1 Tahun di RSD Labuang Baji Kota Makasar 2005. J Med Nus, 26, hal.149–155. Herman, 2002. "Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Pneumonia pada Anak Balita di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan". Jakarta : Universitas Indonesia. IDAI, 2011. Pedoman Imunisasi di Indonesia. edisi ke-4. Satgas Imunisasi IDAI Indah, E. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Aditya Bakti. Bandung. 1991
78
Indrawani, Y.M. 2008. Penyakit Kurang Gizi. In: Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat FKM UI. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Kartasasmita, C., 1993. "Morbidity and risk factors for acute respiratory infections (ARI) in Underfive children, in Cikutra, an urban area in the municipality of Bandung, Indonesia" (dissertation). PhD disertation Catholic University of Leuven, Faculty of Medicine. Keman, S. 2005. Kesehatan Perumahan dan Lingkungan Pemukiman. Jurnal Kesehatan Kesling, 2 (1): 29-42, Diunduh dari: http://journal.unair.ac.id/filerPDF/KESLING-2-1-04.pdf (Accessed: 2014, Desember 15) Kemenkes RI, 2010. Buletin Jendela Epidemiologi Pneumonia Balita. Buletin Jendela Epidemiologi, Vol. 3.Jakarta : Kemenkes RI Kementerian Kesehatan RI. 2010. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI Kramer, 1988. Infant Feeding Infection and Public Health. Pediatrics. Kristina, R.H, 2000. Analisis Faktor Risiko Terjadinya Pneumonia pada Anak Balita di Kabupaten Dati II Boyolali. Tesis. Yogyakarta : UGM.
Kusharisupeni, 2008. Gizi Dalam Daur Kehidupan (Prinsip-prinsip Dasar). In: Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat FKM UI. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta :RajaGrafindo Persada.
Lamberti, L.M. dkk., 2013. Breastfeeding for reducing the risk of pneumonia morbidity and mortality in children under two: a systematic literature review and meta-analysis. BMC public health, 13 Suppl 3(Suppl 3), p.S18. Diunduh dari: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3847465&tool =pmcentrez&rendertype=abstract [Accessed December 12, 2014]. Machmud, R. 2006. Pneumonia Balita di Indonesia dan Peranan Kabupaten dalam Menanggulanginya. Jakarta : Andalas University Press. Matondang C.S., Munatsir Z., Sumadiono. 2008. Aspek Imunologi Air Susu Ibu. In : Akib A.A.P., Munasir Z., Kurniati N (eds). Buku Ajar AlergiImunologi Anak, Edisi II. Jakarta : Badan Penerbit IDAI, hal.189-202.
79
Mokoginta, D., Arsin, A. & Sidik, D., 2013. Faktor Risiko Kejadian Pnemonia Pada Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sudiang Kota Makassar. Munasir Z. dan Kurniati N. 2008. Air Susu Ibu dan Kekebalan Tubuh. In : IDAI. Bedah ASI : Kajian dari Berbagai Sudut Pandang Ilmiah. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, hal.69-79. Naim, K., 2000. Hubungan Pemberian ASI Ekslusif terhadap Kejadian pneumonia pada anak umur 4-24 bulan di Kabupaten Indramayu. Jakarta : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Notoatmodjo, S. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka Cipta Nurjazuli & Widyaningtyas, R., 2006. Faktor Risiko Dominan Kejadian Pneumonia Balita. (Online). http://eprints.undip. ac.id/16162/1/1290.pdf. Ogundele, 1999. Complement-Mediated Bactericidal activity of Human Milk to a Serum-Susceptible Strain of E.Coli 0111. J of App Microb. Pamungkas, D.R., 2012. Analisis Faktor Risiko Pneumonia pada Balita di 4 Propinsi di Wilayah Indonesia Timur (Analisis Data Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007). Jakarta : Universitas Indonesia. Pradhana, A., 2010. Hubungan antara Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian Pneumonia pada Anak Usia 6 Bulan - 5 Tahundi RSUD DR. Muwardi Surakarta. Pramudiyani, N.A. & Prameswari, G.N., 2011. Hubungan Antara Sanitasi Rumah dan Perilaku dengan Kejadian Pneumonia Balita. Kesehatan Masyarakat, 6(2), hal.1–78. Proverawati, A. & Rahmawati, E., 2010. Kapita Selekta ASI & Menyusui. Yogyakarta : Nuha Medika Radji, M. 2010. Buku Ajar Mikrobiologi Panduan Mahasiswa Farmasi dan Kedokteran. Jakarta : EGC Regina, R., Kun S, K. & Suharyo, 2013. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Miroto Semarang Tahun 2013. Roesli, Utami. (2005). Mengenal ASI Eksklusif. Jakarta : Trubus Agriwidya Rudan I, Boschi-Pinto C, Biloglav Z, Mulholland K, C.H., 2008. Epidemiology and Etiology of Childhood Pneumonia. Bull World Health Organ, hal.408–416.
80
Sastroasmoro, S. dan Ismael, S. 2011. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi Ke-4. Jakarta: CV. Sagung Seto. hal.146. Setiarsih, D., 2014. Paper Penyakit Infeksi dan Nutrisi. Sinaga, L. A., Suhartono., & Yusniar, H. D. (2009). Analisis Kondisi Rumah Sebagai Faktor Risiko Kejadian Pneumonia Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sentosa Baru Kota Medan Tahun 2008. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, 8 (1): 26-34. Diunduh dari : http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/81092634.pdf Stanhope, M. dan Lancaster, J. 2002. Community & Public Health Nursing. Philadelpia : Mosby Subanada, I.B. 2014. Pneumonia : Dari Pendekatan MTBS hingga Diagnosis Klinis. Denpasar : Su-Bagian Respirologi , Bagian /SMF Ilmu Kesehatan Anak, FK Unud /RSUP Sanglah, UKK Respirologi IDAI. Bahan symposium yang diadakan Dinkes Propinsi Bali (Sabtu, 8 Nopember 2014). Sudirman, M. 2003. Hubungan Faktor Lingkungan Fisik Rumah dan Faktor Risiko Lainnya dengan Kejadian Pneumonia pada Balita di Kota Bekasi. Jakarta : Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Sugihartono & Nurjazuli, 2012. Analisis Faktor Risiko Kejadian Pneumonia Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Sidorejo Kota Pagar Alam. Kesehatan Lingkungan Indonesia, 11(1), hal.82–86. Sulistyowati, R. (2010). Hubungan Antara Rumah Tangga Sehat Dengan Kejadian Pneumonia Pada Balita Di Kabupaten Trenggalek. Diunduh dari : http://digilib.uns.ac.id/pengguna.php?mn=detail&d_id=17189 Sumadiono. 2008. Imunologi Mukosa. In : Akib A.A.P., Munasir Z., Kurniati N. (eds). Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak, Edisi II. Jakarta : Badan Penerbit IDAI, hal.94-102. Sunyataningkamto, 2004. The Role of Indoor Air Pollution and Other Factors in the Incidence of Pneumonia in Under Five Children. Paediatrica Indonesiana, 44, hal.1–2. Sutrisna B., 1993. Risk factors for Pneumonia in children under 5-years of age and a model for its control. Summary of dissertation University of Indonesia. Syam, T.F. 2008. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kesakitan Pneumonia pada Balita Usia 0-59 Bulan di Propinsi NTB (Analisis Data Sekunder
81
Survei Data Dasar HSS GTZ 2007). (skripsi). Depok : Program Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Trihono & Gitawati, R., 2009. Hubungan antara Penyakit Menular dengan Kemiskinan di Indonesia. Penyakit Menular Indonesia, 1.1, hal.38–42. Tumbelaka A.R. dan Karyanti M.R. 2008. Air Susu Ibu dan Pengendalian Infeksi. In : IDAI. Bedah ASI : Kajian dari Berbagai Sudut Pandang Ilmiah. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, hal.83-97. UNICEF. 2006. Pneumonia The Forgotten Killer of Children. New York : WHO Victora, C.G. et al., 1994. Risk Factors for Pneumonia Among Children in a Brazilian Metropolitan Area. Pediatrics, 93, hal.977–985. WHO, 2014. Short-term effects of breastfeeding : a systematic review on the benefits of breastfeeding on diarrhoea and pneumonia mortality. Wiji, R.N., 2013. ASI dan Panduan Ibu Menyusui. Yogyakarta : Nuha Medika Yafanita, I.N. 2012. Faktor Risiko Status Gizi dan Status Imunisasi terhadap Kejadian Pneumonia pada Balita di RSUD DR. Soetomo Surabaya.http://alumni.unair.ac.id/detail.php?id=44657&faktas=Kedokter an. Diakses tanggal 5 Maret 2015 Yulianti, I., Djauhar, I. & Suharyanto, S., 2002. Faktor Risiko Kejadian Pneumonia pada Anak Balita di Kota Banjarmasin. Berita Kedokteran Masyarakat, XVIII, hal.99–104. Yushananta, P. (2008).Analisis Pneumonia pada Balita Di Kota Bandar Lampung Tahun 2007. Diunduh dari:http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/22084856.pdf Yuwono, T.A., 2008. Faktor-faktor Lingkungan Fisik Rumah yang Berhubungan dengan Kejadian Pneumonia pada Anak Balita di wilayah Kerja Puskesmas Kawungan Kabupaten Cilacap. Zuraidah, S. 2002. Risiko Kejadian Pneumonia Pada Balita Kaitannya Dengan Tipe Rumah di Wilayah Kerja Puskesmas Sidorejo Lord dan Cebongan Kota Salatiga. Diunduh dari : http://eprints.undip.ac.id/14108/1/2002MIKM1404.pdf
82
Lampiran 1 PEDOMAN WAWANCARA DAN OBSERVASI PEMBERIAN ASI DAN LINGKUNGAN FISIK RUMAH SEBAGAI FAKTOR RISIKO PNEUMONIA PADA BALITA DI PUSKESMAS II DENPASAR SELATAN
A.
IDENTIFIKASI RESPONDEN
1. 2. 3. 4. 5. B. 6. 7.
Nomor urut responden Nama responden No Hp Nama suami/KK Alamat KETERANGAN PEWAWANCARA Nama pewawancara Tgl/bln/thn wawancara
8.
Hasil kunjungan
9. Lama wawancara 10. Tanda tangan pewawancara C. 11. 12. 13.
a. b. c. d. e. f. g.
Wawancara selesai Nama responden tidak dikenal Tempat tinggal kosong Wawancara ditolak Responden tidak ada di rumah Nama KK tidak dikenal LAINNYA, Jelaskan__________________
Jam ____ s/d Jam_____ (___menit)
PEMERIKSA Nama pemeriksa Tgl/bln/thn diperiksa Tanda tangan pemeriksa
CATATAN :
PASTIKAN TIDAK ADA ORANG LAIN YANG MENDENGARKAN PERCAKAPAN SELAMA PROSES WAWANCARA BERLANGSUNG LEMBAR PENJELASAN
83
LEMBAR PENJELASAN Selamat pagi/siang/malam, kami adalah tim peneliti terkait pneumonia pada balita mahasiswa S2 IKM Universitas Udayana. Kami bermaksud untuk melaksanakan kegiatan terkait pemberian ASI dan lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko pneumonia pada balita. Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengidentifikasi status pemberian ASI dan lingkungan fisik rumah, mengetahui hubungan pemberian ASI dengan kejadian pneumonia pada balita dan mengetahui hubungan riwayat lingkungan fisik rumah dengan kejadian pneumonia pada balita. Saudara terpilih sebagai orang yang akan diwawancarai dalam kegiatan ini. Oleh karena itu, kami mohon keikutsertaan Saudara dalam kegiatan ini. Keikutsertaan dalam kegiatan ini bersifat sukarela, dijamin kerahasiaannya dan Saudara berhak untuk keluar atau mundur kapan pun bila menginginkannya. Kami akan menghormati keputusan tersebut.Jika Saudara bersedia untuk ikutserta dalam kegiatan ini, maka kami akan melakukan wawancara singkat dengan menggunakan kuesioner tentang pola pemberian ASI kepada anak. Wawancara kurang-lebih 15-20 menit. Saudara berhak untuk tidak menjawab pada pertanyaan manapun.Observasi dan pengukuran dengan lembar observasi, alat hygrometer, luxmeter dan meteran tentang lingkungan fisik rumah. Observasi kurang-lebih 10 menit. Saudara berhak untuk menolak bila tidak ingin dilakukan observasi terhadap lingkungan rumah Saudara. Jika Saudara bersedia, maka Saudara/pewawancara akan menandatangani formulir persetujuan yang telah disiapkan. Jika ada masalah, baik terkait ketidaknyamanan selama proses pelaksanaan kegiatan dalam penelitian ini, Saudara dapat menghubungi kami yaitu Ni Kadek Ethi Yudiastuti di No HP 085737368914, Komisi Etik (0361) 244534.Apakah Saudara bersedia untuk ikut serta sebagai responden dalam kegiatan ini? 1.
Ya Minta responden untuk membaca pernyataan ikut serta dalam kegiatan dan pewawancara menandatangai formulir tersebut
2.
Tidak Catat pada formulir harian dan lanjut ke responden berikutnya Alasan: ___________________________________________________
84
LEMBAR/FORMULIR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN Kode Responden:_________ Nama Petugas Lapangan: __________________ Persetujuan untuk berpartisipasi pada penelitian mengenai faktor risiko pneumonia pada balita. Bahwa saya telah membaca lembaran informasi yang diberikan kepada saya (atau telah dibacakan untuk saya), dan saya telah memahami tujuan penelitian ini dan sifat pertanyaan-pertanyaan yang akan ditanyakan pada saya. Saya menyadari bahwa: 1. Saya akan berpartisipasi dalam studi faktor risiko pneumonia pada balita 2. Saya akan diwawancarai oleh petugas lapangan selama 15-20 menit dan dilakukan observasi dan pengukuran pada rumah kurang lebih 10 menit 3. Identitas saya akan dilindungi dengan cara menggunakan kode. Kode ini akan muncul pada kuesioner yang menyimpan semua informasi yang saya berikan, tetapi nama saya tidak akan disebutkan di sana. 4. Jawaban-jawaban saya akan dijaga kerahasiaannya dengan upaya maksimal sepanjang waktu. 5. Keikutsertaan dalam studi ini bersifat sukarela dan saya bisa mengundurkan diri kapanpun saya mau. 6. Saya boleh tidak menjawab suatu pertanyaan, oleh karena alasan apapun. 7. Saya memahami para peneliti adalah orang yang berpengalaman dalam bidang ini, dan akan melakukan setiap langkah yang bisa dilakukan untuk melindungi kerahasiaan saya. Nama [kode]: ____________________________________________ Tanda tangan[kode]:_______________________Tanggal:______/______/______ Pernyataan oleh Petugas Lapangan Saya________________________________
menyatakan
bahwa,
sepanjang
pengetahuan saya, responden sepenuhnya mengerti tujuan dan sifat dari keterlibatan mereka dalam penelitian ini dan secara sukarela menyetujui untuk berpartisipasi untuk diwawancarai dan dilakukan observasi pada rumahnya. Tanda tangan: ______________ Tanggal: _____/_______/_______
85
I.
KARAKTERISTIK IBU DAN BALITA
1.
Berapa umur Ibu?
2.
Apa pendidikan terakhir yang pernah ibu tempuh?
3.
Siapa nama anak terakhirIbu? (cek dengan nama yang dipegang yang telah diambil dari register)
4.
Tanggal/bulan/tahun berapa anak Ibu lahir?
5.
Dimana tempat ibu melahirkan?
6.
Jenis kelaminanak
7.
Berapa penghasilan secara rata-rata Ibu dan Bapak dalam satu bulan?
8.
Riwayat sakit ISPA : a. Apa anak Ibu pernah menderita sakit panas, batuk, dan pilek dalam 6 bulan terakhir?
____________ tahun 1. Tidak sekolah 2. Tamat SD/sederajat 3. Tamat SMP/sederajat 4. Tamat SMA/SMK/sederajat 5. Tamat Diploma/Sarjana
________/________/________ 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Di RS pemerintah Di RS swasta Di klinik bersalin Di Bidan Di rumah Lainnya (sebutkan) __________
1. Laki-laki 2. Perempuan Rp_________________
1. Pernah, terakhir kali saat usia_____ 2. Tidak 3. Tidak tahu/lupa
b. Berapa kali semenjak 6 bulan yang lalu sampai saat ini anak Ibu pernah terserang panas, batuk dan pilek?
________kali
9.
Berapa berat badan anak Ibu sewaktu lahir?
________gram
10.
Berapa berat badan anak pada waktu timbang terakhir?(cross check dengan KMS) Apakah anak Ibu pernah mendapatkan imunisasi? (cross check dengan KMS) a. DPT Combo (kandungannya DPT dan Hb)
_________kg
11.
kena
1. Ya (DPT combo 1, 2, 3) usia _______ 2. Tidak 3. Lupa
86
4. Lainnya, jelaskan_________ b. Pentabio (kandungannya DPT, Hb, dan Hib)
1. Ya (1,2,3, lanjutan) usia____ 2. Tidak 3. Lupa 4. Lainnya,jelaskan_________
c. Hib
1. Ya, usia ____ 2. Tidak 3. Lupa 4. Lainnya,jelaskan_________
d. Campak
1. Ya, usia ____ 2. Tidak 3. Lupa 4. Lainnya,jelaskan_________
e. Pneumococcus
12.
1. Ya, usia ____ 2. Tidak 3. Lupa 4. Lainnya,jelaskan_________ _ Apakah anak Ibu sudah mendapatkan vitamin 1. Sudah (lanjut ke pertanyaan A dalam satu tahun terakhir?(cross check 12 a) 2. Tidak dengan KMS) 3. Lupa a. Apakah anak Ibu sudah mendapatkan 1. Sudah vitamin A untuk bulan Februari? 2. Tidak 3. Lupa 4. Lainnya, Jelaskan_______________ b. Apakah anak Ibu sudah mendapatkan vitamin A untuk bulan Agustus?
13.
Riwayat paparan asap rokok: a. Apakah ada yang merokok di rumah ini Bu?
b. Sejak kapan ayah/ibu/kakak/paman/dll merokok?
1. 2. 3. 4.
Sudah Tidak Lupa Lainnya, jelaskan________________
1. Ada, sebutkan siapa:_________ 2. Tidak (lanjutkan ke pertanyaan14) 1. <6 bulan yang lalu 2. ±6 bulan yang lalu
87
c. Kalau ada yang merokok, dimana biasanya merokok?
d. Apakah saat merokok di dekat anak?
e. Berapa batang merokok saat mengajak anak?
II. 14.
15.
3. 4. 1. 2. 3.
>6 bulan Lupa Dalam rumah/ruangan Luar rumah/ruangan Lainnya,Jelaskan________ ___ 1. Ya 2. Tidak 3. Kadang –kadang ______ batang
PEMBERIAN ASI Apakah saat melahirkan anak ibu dilakukan 1. Ya (lanjut ke pertanyaan 17 inisiasi menyusu dini atau anak langsung a) diberikan menetek pada ibu semasih ibu dalam 2. Tidak(lanjut ke pertanyaan proses persalinan atau dalam periode 1 jam 15) setelah melahirkan? 3. Lupa/tidak tahu(lanjut ke pertanyaan 15) Kapan ibu meneteki pertama kali anaknya setelah melahirkan? ________jam setelah persalinan
16.
Apakah Ibu memberikan susu formula sebelum memberikan ASI pertama kali kepada anak saat itu?
17.
Status pemberian ASI : a. Apakah Ibu memberikan ASI saja semenjak anak lahir sampai bulan-bulan pertama kelahirannya? b. Berapa lama Ibu memberikan ASI saja kepada anak?
c. Apakah Ibu memberikan susu formula saja semenjakanak lahir?
1. Ya (lanjut ke pertanyaan 17 c) 2. Tidak (lanjut ke pertanyaan 17 a) 3. Lupa/tidak tahu (lanjut ke pertanyaan 17 e)
1. Ya (lanjut ke pertanyaan 17 b) 2. Tidak (lanjut ke pertanyaan 17 c) _____bulan (lanjut ke pertanyaan 18) 1. Ya (lanjut ke pertanyaan 17 d) 2. Tidak (lanjut ke pertanyaan 17 e)
88
d. Sampai saat ini apakah masih memberikan susu formula? (lanjut ke pertanyaan 18)
1. Masih 2. Tidak
e. Apakah Ibu memberikan ASI plus susu formula semenjak anak lahir?
1. Ya (lanjut ke pertanyaan 17 f) 2. Tidak (lanjut ke pertanyaan 17 g)
f. Dari kapan memberikan ASI plus susu formula pada anak? g. Kalau begitu apa yang Ibu berikan pada anak dari semenjak kelahirannya?
_______jam/hari/bulan* (coret yang tidak dipakai) 1. Air putih 2. Air tajin (air rendaman beras) 3. Bubur 4. Pisang 5. Lainnya, Jelaskan_______________ ___ 1. Ya 2. Tidak 3. Lupa 4. Lainnya, jelaskan_______________
18.
Apakah ibu memberikan ASI yang pertama kali keluar yang masih berwarna kuning (dalam waktu 3 hari pertama melahirkan?)
19.
Apakah saat ini Ibu masih memberikan ASI pada anak? (pertanyaan untuk ibu yang memiliki balita umur kurang dari 2 tahun)
1. 2.
20.
Sampai umur berapa anak diberikan ASI? (pertanyaan untuk semua responden)
____________hari/bulan/tahun * (coret yang tidak dipakai)
Ya Tidak (lanjut ke pertanyaan 20)
III. LINGKUNGAN FISIK RUMAH 1.
Keadaan Lantai a. Bahan lantai rumah
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Tanah Bata merah Semen Tegel PC Tegel teraso/keramik Lainnya, JELASKAN ______________________
89
b. Ketinggian lantai dari halaman
_________cm
c. Luas lantai kamar tidur
___________ m2
d. Luas lantai ruang keluarga
___________ m2
e. Berapa kali mengepel lantai dalam satu minggu?
___________kali
f. Berapa kali menyapu lantai dalam sehari? ____________kali 2.
Keadaan dinding a. Bahan dinding rumah
b. Kondisi dinding
3.
Ventilasi a. Terdapat ventilasi yang terbuka
b. Tempat ventilasi ada yang saling berhadapan/kedua ventilasi arahnya 1800
1. 2. 3. 4.
Bambu (gedeg) Tembok tanah Papan / triplek Tembok bata merah/batako tanpa plester 5. Tembok plester 6. Semi permanen 7. Bahan lainnya, JELASKAN _______________________ 1. 2. 3. 4.
Lumutan Berjamur Bersih Lainnya (JELASKAN) ______________________
1. 2.
Ada Tidak
1. 2.
Ada Tidak
c. Luas ventilasi di kamar tidur ___________ m2 d. Luas ventilasi di ruang keluarga ___________ m2
90
4.
5.
Kelembaban a. Kamar Tidur
Titik 1, hasilnya ______% Titik 2, hasilnya ______% Titik 3, hasilnya ______% Titik 4, hasilnya ______% Titik 5, hasilnya ______%
b. Ruang Keluarga
Titik 1, hasilnya ______% Titik 2, hasilnya ______% Titik 3, hasilnya ______% Titik 4, hasilnya ______% Titik 5, hasilnya ______%
Pencahayaan Alami a. Kamar Tidur
Titik 1, hasilnya _____lux Titik 2, hasilnya _____lux Titik 3, hasilnya _____lux Titik 4, hasilnya _____lux Titik 5, hasilnya _____lux Titik 1, hasilnya _____lux Titik 2, hasilnya _____lux Titik 3, hasilnya _____lux Titik 4, hasilnya _____lux Titik 5, hasilnya _____lux
b. Ruang Keluarga
6.
Tingkat Kepadatan Hunian a. Luas bangunan
___________ m2
b. Jumlah penghuni ____________orang c. Jumlah kamar tidur ____________kamar
TERIMA KASIH ATAS PARTISIPASI IBU SEMUA INFORMASI DIPASTIKAN KERAHASIAANNYA DAN HANYA DIGUNAKAN UNTUK PENINGKATAN KESEHATAN PADA BALITA TERUTAMA DALAM PENCEGAHAN PENYAKIT PNEUMONIA
92
Lampiran 2 1.
Analisis Bivariat
a. logistic cc i.kel_riwayat_ispa Logistic regression Number of obs = 120 LR chi2(1) = 1.51 Prob > chi2 = 0.2195 Log likelihood = -82.423975 Pseudo R2 = 0.0091 ---------------------------------------------------------------------------------cc | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -----------------+---------------------------------------------------------------2.kel_riwayat_~a | 2.153846 1.382642 1.20 0.232 .6120596 7.579414 _cons | .5 .3061862 -1.13 0.258 .1505628 1.660437 ---------------------------------------------------------------------------------b. logistic cc i.riwayat_bblr Logistic regression Number of obs = 120 LR chi2(1) = 0.21 Prob > chi2 = 0.6467 Log likelihood = -83.072636 Pseudo R2 = 0.0013 -----------------------------------------------------------------------------cc | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------1.riwayat_~r | .6551724 .610443 -0.45 0.650 .1055034 4.068596 _cons | 1.017544 .1897801 0.09 0.926 .7059879 1.466591 -----------------------------------------------------------------------------c. logistic cc i.gizi_new Logistic regression
Number of obs = 120 LR chi2(1) = 2.59 Prob > chi2 = 0.1077 Log likelihood = -81.883802 Pseudo R2 = 0.0156 -----------------------------------------------------------------------------cc | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------1.gizi_new | .3421053 .2407186 -1.52 0.127 .0861432 1.358621 _cons | 1.096154 .2102063 0.48 0.632 .7527297 1.596261 -----------------------------------------------------------------------------d. logistic cc i.kel_status_imunisasi Logistic regression Log likelihood = -81.842561
Number of obs LR chi2(1) Prob > chi2 Pseudo R2
= = = =
120 2.67 0.1022 0.0161
-------------------------------------------------------------------------------------cc | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] ---------------------+---------------------------------------------------------------1.kel_status_imuni~i | 2.166667 1.04612 1.60 0.109 .8410291 5.581786 _cons | .5333333 .233492 -1.44 0.151 .226123 1.257919 --------------------------------------------------------------------------------------
e. logistic cc i.vit_a_2klp Logistic regression
Number of obs = 120 LR chi2(1) = 0.21 Prob > chi2 = 0.6479 Log likelihood = -83.073397 Pseudo R2 = 0.0013 -----------------------------------------------------------------------------cc | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------1.vit_a_2klp | 1.232108 .5639732 0.46 0.648 .5023753 3.021827 _cons | .9591837 .1958351 -0.20 0.838 .6428554 1.431167
93
f. logistic cc i.kel_rokok Logistic regression
Number of obs = 120 LR chi2(1) = -0.00 Prob > chi2 = 1.0000 Log likelihood = -83.177662 Pseudo R2 = -0.0000 -----------------------------------------------------------------------------cc | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------1.kel_rokok | 1 .3684381 0.00 1.000 .4857188 2.058804 _cons | 1 .2773501 0.00 1.000 .5806563 1.722189 -----------------------------------------------------------------------------g. logistic cc i.asi_eks Logistic regression
Number of obs = 120 LR chi2(1) = 6.01 Prob > chi2 = 0.0142 Log likelihood = -80.173753 Pseudo R2 = 0.0361 -----------------------------------------------------------------------------cc | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------1.asi_eks | 2.769042 1.180738 2.39 0.017 1.200526 6.38686 _cons | .4782609 .1753251 -2.01 0.044 .2331438 .9810831 -----------------------------------------------------------------------------h. logistic cc i.kel_asi_2bln Logistic regression
Number of obs = 120 LR chi2(1) = 8.90 Prob > chi2 = 0.0029 Log likelihood = -78.72724 Pseudo R2 = 0.0535 -----------------------------------------------------------------------------cc | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------1.kel_asi_~n | 3.091503 1.195015 2.92 0.004 1.449237 6.594776 _cons | .5151515 .1537937 -2.22 0.026 .2869569 .9248117 -----------------------------------------------------------------------------i. logistic cc i.kel_asi_2bln Logistic regression Number of obs = 120 LR chi2(1) = 8.90 Prob > chi2 = 0.0029 Log likelihood = -78.72724 Pseudo R2 = 0.0535 -----------------------------------------------------------------------------cc | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------1.kel_asi_~n | 3.091503 1.195015 2.92 0.004 1.449237 6.594776 _cons | .5151515 .1537937 -2.22 0.026 .2869569 .9248117 -----------------------------------------------------------------------------j. logistic cc i. kategori_ASI_2th Logistic regression Number of obs = 120 LR chi2(1) = 1.69 Prob > chi2 = 0.1940 Log likelihood = -82.334001 Pseudo R2 = 0.0101 ---------------------------------------------------------------------------------cc | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -----------------+---------------------------------------------------------------1.kategori_ASI~h | 1.761099 .7744766 1.29 0.198 .7437928 4.169805 _cons | .6470588 .2503813 -1.12 0.261 .303088 1.381398 ----------------------------------------------------------------------------------
94
k. logistic cc i.asi_14 (IMD) Logistic regression
Number of obs = 120 LR chi2(1) = 7.86 Prob > chi2 = 0.0051 Log likelihood = -79.247959 Pseudo R2 = 0.0472 -----------------------------------------------------------------------------cc | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------2.asi_14 | 2.890756 1.11601 2.75 0.006 1.356423 6.160668 _cons | .53125 .1594401 -2.11 0.035 .2950083 .9566734 -----------------------------------------------------------------------------l. logistic cc i.vent_pake Logistic regression
Number of obs = 120 LR chi2(1) = 5.22 Prob > chi2 = 0.0224 Log likelihood = -80.569039 Pseudo R2 = 0.0314 -----------------------------------------------------------------------------cc | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------1.vent_pake | 2.40625 .9387199 2.25 0.024 1.12014 5.169032 _cons | .5714286 .1790809 -1.79 0.074 .3091737 1.05614 -----------------------------------------------------------------------------m. logistic cc i.lembab_pake Logistic regression
Number of obs = 120 LR chi2(1) = 8.71 Prob > chi2 = 0.0032 Log likelihood = -78.820412 Pseudo R2 = 0.0524 -----------------------------------------------------------------------------cc | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------1.lembab_p~e | 3.272727 1.355347 2.86 0.004 1.453445 7.369212 _cons | .6875 .1554668 -1.66 0.098 .4413545 1.070922 -----------------------------------------------------------------------------n. logistic cc i.pencahayaanKT Logistic regression
Number of obs = 120 LR chi2(1) = 4.42 Prob > chi2 = 0.0355 Log likelihood = -80.966514 Pseudo R2 = 0.0266 ------------------------------------------------------------------------------cc | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] --------------+---------------------------------------------------------------1.pencahaya~T | 2.25 .8788471 2.08 0.038 1.046416 4.837943 _cons | .75 .1727123 -1.25 0.212 .4775776 1.177819 ------------------------------------------------------------------------------o. logistic cc i.padat_pake Logistic regression
Number of obs = 120 LR chi2(1) = 7.28 Prob > chi2 = 0.0070 Log likelihood = -79.53583 Pseudo R2 = 0.0438 -----------------------------------------------------------------------------cc | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------1.padat_pake | 2.875 1.150474 2.64 0.008 1.312251 6.298815 _cons | .5 .1636634 -2.12 0.034 .2632382 .9497102 ------------------------------------------------------------------------------
95
2. Analisis Multivariat Logistic cc i.analisis_ispa i.pencahayaanKT i.padat_pake Logistic regression Prob > chi2 = 0.0000 Log likelihood = -58.448095
i.kel_status_imunisasi
i.
kel_asi_2bln
Number of obs LR chi2(5)
= =
120 49.46
Pseudo R2
=
0.2973
-------------------------------------------------------------------------------------cc | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] ---------------------+---------------------------------------------------------------1.analisis_ispa | 10.1441 5.258404 4.47 0.000 3.672617 28.01892 1.kel_status_imuni | 3.678891 2.245697 2.13 0.033 1.112039 12.17066 1.kel_asi_2bln | 5.236493 2.628366 3.30 0.001 1.957919 14.0051 1.pencahayaanKT | 2.718137 1.312729 2.07 0.038 1.054829 7.004232 1.padat_pake | 3.109179 1.535941 2.30 0.022 1.180729 8.187305 _cons | .0106984 .0104818 -4.63 0.000 .001568 .0729936 --------------------------------------------------------------------------------------
96
Lampiran 3
SURAT IJIN PENELITIAN