Pemberdayaan Pasar Tradisional Bantul Yogyakarta
Disusun Oleh : Nama : Alfian Ndaru P NIM : 11.11.5082
Untuk Memenuhi Persyaratan Mata Pendidikan Pancasila STIMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2011 1
Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi posisi pasar tradisional dan modern pasar dari aspek kelembagaan dan peraturan yang ada, untuk mengetahui dampak keberadaan pasar
pasar
dan
modern
usaha
untuk
kecil
bisnis
dan
ritel
menengah
dikelola dan
oleh
koperasi,
menyusun
tradisional
konsep
pada
pemberdayaan usaha ritel yang diterapkan oleh koperasi, pasar tradisional dan kecil dan perusahaan menengah. Masalah utama dari penelitian ini adalah posisi pasar tradisional dan modern pasar
dilihat
dari
aspek
institusional
dan
peraturan
yang
ada,
dampak
keberadaan pasar modern untuk bisnis ritail yang dikelola oleh koperasi, tradisional pasar dan usaha kecil dan menengah dilihat dalam aspek volume usaha dan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen dalam menentukan untuk kebutuhan belanja dan konsep untuk memberdayakan bisnis ritel yang diterapkan oleh koperasi, pasar tradisional, kecil dan menengah
serta
dampak
perusahaan
pasar
modern
terhadap
volume
bisnis
pasar tradisional. Antara sebelum volume
pasar
dan setelah
tradisional
lebih
adanya tinggi
modern sangat sebelum
adanya
berbeda, pasar
di
mana
modern,
bisnis
sementara
variabel harga jual dan jumlah pekerja hanya sedikit perbedaan. Tidak ada perbedaan signifikan dalam jumlah pekerja dan harga jual komoditas, keputusan untuk berbelanja di pasar modern sangat dipengaruhi oleh faktor : kenyamanan, sanitasi, ketersediaan fasilitas lainnya, dan keputusan konsumen untuk berbelanja di pasar tradisional sangat dipengaruhi oleh jarak dan kebiasaan berbelanja.
2
BAB I A. Latar Belakang Masalah Keberadaan pasar tradisional dalam beberapa tahun terakhir mulai menghadapi ancaman bahkan dikhawatirkan akan semakin banyak yang “gulung tikar” dalam waktu tidak lama lagi karena tidak mampu bersaing menghadapi semakin banyaknya pusat perbelanjaan atau pasar modern yang merambah hingga ke pelosok permukiman penduduk. Masyarakat pun tampaknya lebih memilih berbelanja di pasar-pasar modern dengan berbagai pertimbangan, seperti kenyamanan, kebersihan, kualitas barang, sampai alasan demi gengsi. Akan tetapi, keberadaan pasar tradisional tidak mungkin ditiadakan karena sebagian besar masyarakat masih berada dalam kondisi ekonomi menengah ke bawah, sehingga tidak memiliki daya beli yang cukup besar untuk terus-menerus berbelanja di pasar-pasar modern. Hilangnya pasar-pasar tradisional akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi suatu daerah, seperti bertambahnya pengangguran, menurunnya daya beli akibat tingkat pendapatan per kapita yang semakin kecil, melemahnya sektor-sektor perdagangan informal, terhambatnya arus ditribusi kebutuhan pokok, dll yang pada akhirnya bermuara pada marginalisasi ekonomi pasar tradisional. Menghadapi kondisi persaingan yang tidak seimbang antara pasar tradisional dan pasar modern, Pemerintah Daerah sebenarnya telah berupaya memperbaiki penampilan pasar tradisional yang selama ini dicitrakan becek, kumuh, semrawut, dan tidak ada kepastian harga. Upaya renovasi pasar tradisional pun menjadi salah satu program Pemerintah Kota Bantul untuk merevitalisasi pasar-pasar tradisional yang hampir kehilangan pembeli. Dengan menjalin kerjasama bersama investor, Pemerintah Kota Bantul telah melakukan revitalisasi terhadap sejumlah pasar tradisional, disetiap kecamatan yang berada di Bantul. Namun, upaya ini ternyata berujung pada permasalahan baru karena banyak pedagang lama yang tersingkir akibat tidak mampu membeli kios baru. Ada pula pedagang yang memilih berjualan di luar kompleks pasar karena di dalam tidak laku, terutama di pasar yang bangunannya lebih dari satu lantai. Ketidakpuasan juga muncul dari Koperasi Pasar yang merasa “tersingkirkan” karena tidak pernah dilibatkan lagi dalam pengelolaan pasar oleh pengelola pasar yang baru. Pengelola baru dinilai lebih berorientasi pada peningkatan laba, sehingga merugikan Koprasi pasar karena sumber-sumber pendapatan yang biasanya diperoleh melalui jasa kebersihan, pemeliharaan WC, dan listrik sekarang diambil alih oleh pengelola baru. 3
Berbagai permasalahan tersebut menempatkannya dalam posisi tidak berdaya untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, apalagi untuk memperjuangkan kepentingan para pedagang tradisional yang menjadi anggotanya. Alih-alih meningkatkan daya saing para pedagang tradisional, kenyataannya program renovasi pasar tradisional justru menyebabkan para pedagang tradisional menjadi semakin termarginalkan di tengah derasnya arus kapitalisme. Kondisi inilah yang melatarbelakangi perlunya pengkajian mengenai kebijakan pengelolaan pasar yang dilakukan Pemerintah Kota Bantul. Pengelolaan pasar memerlukan desain perlu dilakukan pengkajian dengan menggunakan metode analisis kebijakan sehingga hasil studi dapat menjadi pertimbangan utama bagi perumus kebijakan dalam formulasi kebijakan. Fokus analisis adalah kebijakan apa yang perlu diambil atau dilakukan oleh pemerintah Kota Bantul agar revitalisasi pasar tradisional tidak semakin memarginalkan para pedagang tradisional, tetapi justru meningkatkan daya saing mereka.
4
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latarbelakang yang diuraikan di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini berfokus pada evaluasi pelaksanaan kebijakan pengelolaan pasar di Kota Bantul. Secara rinci, fokus masalah tersebut dirumuskan dalam sejumlah pertanyaan kajian sebagai berikut:
1. Bagaimana evaluasi terhadap kebijakan pengelolaan pasar di Kota Bantul ? 2. Bagaimana model revitalisasi pengelolaan pasar tradisional yang dapat meningkatkan daya saing dengan pasar modern?
5
BAB II A. Pendekatan 1. Historis Pasar Bantul terletak dijantung ibukota Kota Bantul. Letaknya tepat berada disebelah barat jalur strategis jalan Jendral Sudirman Bantul, yang berhubungan langsung dengan akses jalur ke Kota Yogyakarta. Basar Bantul adalah salah satu pasar tradisional yang sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda. Dalam perjalanan sejarahnya telah mengalami berbagai perubahan dan perkembangan, sejalan dengan kondisi dan situasi pada masanya. Pasar Bantul telah mengalami beberapa kali perluasan dan rehabilitasi. Hingga saat ini kondisi Pasar Bantul sudah cukup baik dan tertata.
2. Sosiologis Secara fisik kondisi Pasar Bantul dengan dukungan bangunan yang sudah komplit seperti diatas, maka Pasar Bantul merupakan saru-satunya pasar tradisional yang terbesar di Wilayah Kabupaten Bantul. Sehingga pasaran (hari-hari yang paling banyak dikunjungi konsumen) di Pasar Bantul adalah merupakan pasar harian, namun pasaran yang paling ramai tetap pada pasaran Kliwon. Mereka berjualan menempati semua kios, bango, los, dan sebagian lagi di lokasi untuk pedagang plataran/ arahan.
3. Yuridis
Dalam masalah kali ini pertumbuhan pasar modern terlalu menanjak pesat hingga mencapai pelosok desa. Hal ini lah yang menjadi bahan pembicaraan akhir-akhir ini. Pemerintahpun mau tak mau harus ikut bergerak. Karena semakin pesatnya pasar modern berkembang maka pasar tradisional dapat tersingkir karena tidak dapat mengimbangi persaingan. Dengan berbagai alasan para konsumen mulai beralih ke pasar modern di banding berbelanja di pasar tradisional. Alasannya bermacam-macam, dari gengsi hingga fasilitas yang 6
di tawarkan. Dalam mensikap hal ini Pemerintah Bantul mengeluarkan Peraturan Bupati Bantul Nomor 34 Tahun 2010 tentang penataan toko modern di Bantul. Dalam peraturan tersebut telah di atur sedemikian rupa dan telah di batasi keberadaan/ jumlah toko modern di setiap Kecamatan di Bantul.”(KR 28 September 2010)
7
B. Pembahasan Makalah ini membahas tentang Partisipasi masyarakat dan Permusyawaratan/ musyawarah dimana berkaitan dengan sila ke lima keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia Visi Kota Bantul adalah “BANTUL PROJOTAMANSARI SEJAHTERA, DEMOKRATIS, DAN AGAMIS”. Arti Projotamansari : Produktif , Profesional , Ijo Royo-Royo, Tertib, Aman, Sehat, Asri. Selanjutnya, visi ini dijabarkan lebih lanjut dalam sejumlah misi, yang terkait dengan pengelolaan sektor perdagangan khususnya pasar tradisional dan modern adalah mengembangkan perekonomian yang adil. Dalam konsepsi ini, Kota Bantul akan dikembangkan sebagai pusat kegiatan jasa dan perdagangan dengan menekankan pada pengembangan infrastruktur, sarana, dan prasarana yang mendukung kemudahan dalam kegiatan jasa dan perdagangan. Dalam visi ini terkandung kepentingan untuk membentuk citra Kota Bantul sebagai kota jasa yang modern, sehingga perlu ada simbol-simbol modernisasi. Citra modern menjadi bagian proses pembangunan ekonomi yang dianggap dapat memacu kapasitas ekonomi daerah. Pabrik-pabrik atau perusahaan, pertokoan berkapasitas besar seperti mall (super dan hipermarket), pengembangan kawasan wisata, termasuk pengadaan perumahan elit (real estate) dan perkantoran menjadi pilihan Pemerintah Kota untuk menjadi mesin ekonomi. Pilihan terhadap sektor perdagangan dan jasa berkapital besar ini diharapkan dapat memberikan efek domino untuk merangsang tumbuhnya sektor ekonomi riil lainnya, seperti menyerap tenaga kerja, mendorong investasi, meningkatkan pendapatan per kapita, dll. Realisasi visi dan misi ini belum optimal mencapai hasil yang dikehendaki, khususnya bila dikaitkan dengan penataan wilayah Kota Bantul yang ingin mendorong perkembangan sektor perekonomian. Faktor pendukungnya, penduduk wilayah Bantul berkembang pesat, dengan tumbuhnya pembangunan pemukiman, telah terjadi pemekaran kecamatan dan kelurahan, namun hal ini tidak ditunjang dengan pertumbuhan investasi karena investor masih belum mau menanamkan modalnya di wilayah Bantul. Sebagai salahsatu ciri sarana perekonomian perkotaan, keberadaan pasar menjadi salahsatu sumber Pendapatan Asli Daerah yang cukup potensial, dengan maksud untuk mengelola perkembangan pasar agar dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan sekaligus peningkatan perekonomian masyarakat. Namun, maksud ini belum sepenuhnya tercakup dalam materi muatan perda karena hanya mengatur
pengklasifikasian
pasar
menurut
golongan
dan
jenis;
ketentuan
mengenai
pendirian/pembangunan pasar dan penghapusan pasar; penunjukan dan pemakaian tempat berjualan; penyelenggaraan reklame, parkir, dan kebersihan di areal pasar; retribusi; kewajiban dan larangan; sanksi; dan ketentuan penyidikan. Sekalipun penamaan perda ini adalah pengelolaan pasar, pada kenyataannya tidak tercantum konsep pengelolaan pasar yang diterapkan di Kota Bantul. Pengklasifikasian pasar tidak
8
disertai dengan mekanisme pengelolaan bagi setiap golongan dan jenis pasar, padahal pengelolaan pasar induk tentu akan berbeda dengan pasar eceran. Pendefinisian pasar yang digunakan dalam perda ini sangat limitatif, hanya bersumber dari perspektif ekonomi dan cenderung bersifat normatif. “Pasar adalah tempat yang disediakan dan/atau ditetapkan oleh Walikota sebagai tempat berjualan umum atau sebagai tempat memperdagangkan barang dan atau jasa yang berdiri di lahan milik/dikuasai Pemerintah Daerah”. Selanjutnya ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan pasar tradisional adalah “pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah, Swasta, Koperasi atau Swadaya Masyarakat dengan tempat usaha berupa toko, kios dan meja yang dimiliki/dikelola oleh pedagang dengan usaha skala kecil dan modal kecil dan dengan proses jual beli melalui tawar menawar”. Kedua definisi di atas tidak menempatkan pasar dalam konsepsi dan pemaknaan yang sesungguhnya, sebagai tempat berlangsungnya interaksi lintas strata sosial dalam suatu masyarakat, tapi sebatas tempat berjualan umum. Bahkan pendefinisian pasar tradisional semakin tereduksi dengan kriteria serba “marginal”, seperti tempat usaha berskala kecil, modal kecil, dan proses transaksinya melalui tawarmenawar. Dalam kasus Kota Bantul, Pemerintah Kota berada dalam posisi yang dilematis. Di satu sisi, Pemerintah Kota ingin merevitalisasi pasar-pasar tradisional yang ada karena merupakan sumber PAD yang sangat potensial. Namun, disisi lain, Pemerintah Kota tidak mempunyai dana untuk merevitalisasi pasar. Anggaran yang disediakan pemerintah hanya biaya-biaya rehabilitasi ringan, penyediaan lahan, fasilitas umum dan sosial, seperti sarana jalan. Kondisi keuangan ini menjadi pendorong sehingga Pemerintah Kota tampaknya lebih mempertimbangkan kepentingan investor atau para pengusaha yang menanamkan modal dibanding mempertimbangkan nilai etis pembangunan yakni mendasarkan nilai kemanusiaan dan pembebasan dari belenggu kemiskinan. Maraknya pembangunan pasar-pasar modern justru dipertanyakan kemanfaatan secara meluas, karena melahirkan ketimpangan. Mal menyedot keuntungan pedagang kecil, dan mengalir ke supermarket-supermarket itu. Dengan demikian pasar tradisional juga kian tersingkirkan. Tidak heran jika muncul sengketa dan resistensi para pedagang tradisional yang telah lama menghuni pasar-pasar desa atau perkampungan. Bahkan model restrukturisasi pasar tradisional yang dibangun “atas nama kelayakan” juga melahirkan persoalan baru, karena makin mahalnya pengelolaan pasar bergaya modern itu dan akibatnya harga sewa tidak terjangkau oleh pedagang.
Mudrajad Kuncara, mengungkapakan “pasar tradisional sangatla penting bagi penerus kebudayaan bangsa untuk melestarikan kebudayaan Indonesia” Mei 2008 (hal 49)
9
Bab III Kesimpulan dan Saran Dengan demikian secara teoritis dapat ditarik kesimpulan bahwa partisipasi masyarakat melalui berbagai tahapan pembangunan (perencanaan, pelaksanaan dan pemanfaatan) akan berpengaruh terhadap keberhasilan program. Artinya, semakin tinggi dan semakin proporsional (lengkapnya proses atau tahap yang dilalui) partisipasi masyarakat pada program yang akan dilaksanakan akan semakin tinggi penilaian masyarakat tentang keberhasilan program tersebut. Oleh karena partisipasi yang tinggi akan memunculkan tanggung jawab yang tinggi pula dan semakin tinggi tanggung jawab serta peran dari masyarakat dan pihak pendukung
pada
gilirannya akan menentukan keberhasilan program tersebut. Partisipasi masyarakat diwujudkan dalam perencanaan misalnya dalam merencanakan konsep pembangunan pasar tradisional itu sendiri dan sarana prasarana pendukungnya. Pelaksanaan juga penting, masyarakat sebaiknya menjaga dan melakukan pemeliharaan baik dari kebersihan, kerapian, dan ketertiban di pasar tradisional. Dengan demikian, selain bisa meningkatkan mutu dan kualitas pasar tradisional itu sendiri, masyarakat yang dulunya enggan untuk pergi ke pasar tradisional akan berminat untuk berbelanja di pasar tradisional dibandingkan dengan di supermarket atau mall, sekaligus juga bisa menjadi sarana untuk pengembangan dan wisata budaya dari masyarakat Bantul itu sendiri serta dapat menarik minat para wisatawan.
10
Referensi a) Surat kabar Kedaulatan Rakyat (28 September 2010 ) b) www.google.com c) Mudradjad Kuncoro, Strategi Pengembangan Pasar Tradisional, KADIN, Mei 2008. (hal 49)
11
Nama : Alfian Ndaru Primantoro Kelas
: TI 07
NIM
: 11.11.5082
Kelompok : “D”
12