PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KAUM MUSTAD’AFIN oleh: Jasmadi
Abstraks Failure of a development model in the past, makes us aware of the need for reorientation in new construction, ie development approach that pay attention to environmental and humanis development. That approach puts a human as a key factor that plays an important role in every aspect. The development process should be as a populist process, the concentration is more on populist economic development, with emphasis on the facilities to the common people or the du'afa. Economic development of the people in order to empower the people, should be balanced with transformation in economic, social, cultural and political. Empowerment includes encouraging, and developing the skills for, self-sufficiency, with a focus on eliminating the future demand for charity or welfare in the individuals of the group. This process can be difficult to start and to implement effectively. With the empowerment, community development can run, and they were given the right to manage the available resources. The du'afa are given the opportunity to plan and implement development programmes which they specify. The success or failure of the empowerment of du'afa is determined by the seriousness of the implements in carrying designed concept of social change in the community.. Kata Kunci: Pemberdayaan, Masyarakat, dan Mustad’afin. A. Pendahuluan Idea tentang Pemberdayaan Masyarakat muncul setelah gagalnya teori pembangunan (developmentalisme) dimana proses pembangunan dimulai dari penguatan kaum kapitalistik (pemilik
Dosen Fakultas Dakwah IAIN Raden Intan Lampung
2
Ijtimaiyya, Vol. 6, No. 1, Pebruari 2013
modal) untuk berperan dalam proses pembangunan melalui industrialisasi dalam berbagai bidang. Munculnya konglomerasi pada masa Orde Baru yang mendapat dukungan politis dari pemerintah, pada satu sisi telah berupaya untuk mengatasi tingkat pengangguran dalam berbagai sektor, melalui penyerapan tenaga kerja pada sektor industri. Pada sisi lain telah memunculkan kesenjangan ekonomi dalam masyarakat dimana para pemilik modal telah mampu mengembangkan usahanya menciptakan produk sejak dari hulu, industri bahan baku sampai produk industri bahan jadi yang dikuasai oleh sekelompok orang tertentu. Pembangunan dengan penguatan industrialisasi diharapkan akan dapat mengangkat kesejahteraan masyarakat yang ikut dalam proses industrialisasi, sebagai bagian dari pengembangan ekonomi masyarakat, pada kenyataannya kesenjangan antara para pekerja (buruh) dengan pemilik usaha sangat tidak seimbang, sehingga para buruh hanya menjadi bagian ekploitasi proses konglomerasi. Kebijakan pemerintah dalam bidang pembangunan yang bersifat sentralistik menjadikan pembangunan lebih cenderung dan mengutamakan wilayah perkotaan yang lebih dekat dengan pusatpusat pemerintahan ketimbang wilayah perdesaan yang sulit terjangkau pembangunan. Pembangunan yang menganut pola tricle down effect, pembangunan yang mengutamakan poros elite yang diharapkan akan menetes kebawah, ternyata tidak membuahkan hasil, bahkan kesenjangan ekonomi antara masyarakat dan pengelola industri semakin jauh, kemiskinan di Indonesia semakin meningkat dan pada akhirnya terjadi kebangkrutan ekonomi disebabkan adanya krisis keuangan global dan adanya penggunaan modal asing sebagai penopang pembangunan utamanya sektor industri. Badai krisis ekonomi pada tahun 1998 yang berekses pada tumbangnya rezim Orde Baru memacu para pemikir ekonomi dan penggagas perubahan sosial masyarakat mencoba mengevaluasi terhadap pola pembangunan yang berjalan selama ini. Pola pembangunan yang berbasis pengembangan masyarakat (community development) sebenarnya telah muncul atau memiliki sejarah yang panjang. Menurut Brokensha dan Hodge yang dikutip oleh Isbandi Rukminto Adi, bahwa pengembangan masyarakat lahir dari tradisi ilmu pendidikan (education) dan bidang pekerjaan sosial ( social work Jurnal Pengembangan Masyarakat
Pemberdayaan Masyarakat....(Jasmadi)
3
), mereka meyakini bahwa pengalaman bangsa inggris, pengembangan masyarakat merupakan pengembangan dari mass education, pendidikan massa atau community education, pendidikan masyarakat. 1 Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat “people-centered, participatory, empowering, and sustainable” Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safetynet), yang pemikirannya belakangan ini banyak dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap konsep-konsep pertumbuhan dimasa yang lalu. Konsep ini berkembang dari upaya banyak ahli dan praktisi untuk mencari apa yang antara lain oleh Friedmann (1992) disebut alternative development, yang menghendaki “inclusive democracy, appropriate economic growth, gender equality and intergenerational equity”. 2 Alur pikir di atas sejalan dengan terminologi pemberdayaan itu sendiri atau yang dikenal dengan istilah empowerment yang berawal dari kata daya (power). Daya dalam arti kekuatan yang berasal dari dalam tetapi dapat diperkuat dengan unsur–unsur penguatan yang diserap dari luar. Ia merupakan sebuah konsep untuk memotong lingkaran setan yang menghubungkan power dengan pembagian kesejahteraan. Keterbelakangan dan kemiskinan yang muncul dalam proses pembangunan disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam pemilikan atau akses pada sumber– sumber power. Proses historis yang panjang menyebabkan terjadinya power dis powerment, yakni peniadaan power pada sebagian besar masyarakat, akibatnya masyarakat tidak memiliki akses yang memadai terhadap akses produktif yang umumnya dikuasai oleh mereka yang memiliki power. Pada gilirannya keterbelakangan secara ekonomi menyebabkan mereka makin jauh dari kekuasaan.
Rukminto Adi, Pemberdayaan, pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas (Pengantar Pemikiran dan Pendekatan Praktis), (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 2001), h. 135 2Ginanjar Kartasasmita,Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, (Jakarta :CIDES, 1996), h. 149. 1Isbandi
Program Pascasarjana IAIN Raden Intan
4
Ijtimaiyya, Vol. 6, No. 1, Pebruari 2013
Begitulah lingkaran setan itu berputar terus. Oleh karena itu, pemberdayaan bertujuan dua arah. Pertama, melepaskan belenggu kemiskinan, dan keterbelakangan. Kedua, memperkuat posisi lapisan masyrakat dalam struktur ekonomi dan kekuasaan. Secara konseptual, pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keter-belakangan. Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Dalam pendahuluan ini penulis mencoba mendiskusikan salah satu perspektif pengembangan masyarakat Islam ( Islamic Community Development) sebagai salah satu bagian dari pengembangan masyarakat muslim yang mengacu teks ayat-ayat Al Qur’an yang secara normatif memberikan motivasi dan landasan untuk memperbaiki komunitas muslim yang tertinggal secara ekonomi yang dikenal dengan istilah kaum dhu’afa (fakir-miskin). B. Pembahasan 1. Terminologi Al Qur’an Tentang Kaum Dhu’afa dan Miskin Perkataan dhu’afa dalam kosa kata Al Qur’an merupakan bentuk jamak dari perkataan dho’if. Kata ini berasal dari kata dha’afa atau , yadh’ufu, dhu’fan atau dhu’fan yang secara umum mengandung dua penertian yaitu lemah dan berlipat ganda. Dalam pembahasan ini dimaksudkan sebagai orang-orang yang lemah. Menurut al Isfahani perkataan dhu’fu merupakan lawan dari quwwah ( kuat), istilah dhu’fu biasanya dimaksudkan untuk menunjukkan lemah fisik, sedangkan dha’fu biasanya digunakan untuk menunjukkan lemah akal atau pendapat (al- ra’yu) 3. Sejalan dengan penjelasan tersebut Al- Isfahani menjelaskan makna dan maksud kalimat dhi’af pada surah an-Nisa’/4: 9
3Al Isfahani, Al-Mufradat fi Gharib Al Qur’an, (Bairut: Dar Al Ma’rifah, tt), h. 295.
Jurnal Pengembangan Masyarakat
Pemberdayaan Masyarakat....(Jasmadi)
5
Artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” Pertama, dha’if fi al jism yakni lemah secara fisik, maksudnya bahwa orang-orang yang beriman tidak boleh membiarkan anakanak mereka memiliki fisik, tubuh atau badan yang lemah4. Orang tua mereka harus memperhatikan aspek kesehatan anak dan memberikan makanan yang bergizi dan memperhatikan syarat halalan Thoyyiban, yakni halal secara fiqh dan berkualitas bagi kesehatan tubuh. Al Qur’an juga menegaskan untuk mengembangkan generasi yang sehat seorang ibu harus memperhatikan anak-anak dengan menyusuinya secara sempurna selama 2 tahun. Air Susu Ibu (ASI) merupakan karunia Allah yang sangat berharga. Para ahli gizi belum menemukan nutrisi pengganti ASI atau yang menyamai kualitas ASI. Al Qur’an memberikan pesan: “ Dan Kami berpesan kepada manusia agar berbuat baik kepada ibu bapak mereka. Ibunya mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah, mengandungnya hingga menyapihnya selama tiga puluh bulan”(Q.S. Al Ahqaf/46:15) Ayat ini menegaskan bahwa setiap orang tanpa kecuali harus menghormati kedua orang tuanya, kita harus mengingat bahwa pengorbanan dan perjuangan seorang ibu saat hamil, melahirkan dan menyusui yang secara keseluruhan membutuhkan waktu tiga puluh bulan. Sembilan bulan mengandung dan dua puluh satu bulan menyusui, pelaksanaan menyusui dua puluh satu bulan merupakan waktu minimal menyusui. Sedang waktu menyusui yang sempurna adalah dua 4Al Raghib Al-Isfahani, Al Mufradat Alfaadh Al Qur’an, (Bairut: Dar Al Fikr, tth), h. 304.
Program Pascasarjana IAIN Raden Intan
6
Ijtimaiyya, Vol. 6, No. 1, Pebruari 2013
puluh empat bulan. Sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah: “Para ibu hendaklah menyusui anak-anak mereka selama dua tahun penuh, yakni bagi mereka yang hendak menyempunakan masa penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak diberikan beban kecuali menurut kadar kesanggupannya...(Qs. Al Baqarah/2:233) Ibu semestinya memberikan ASI kepada balita selama dua tahun, sedang suami sebagai kepala rumah tangga wajib memberi makan kepada istrinya dengan makanan yang sehat, berkuslitas, bergizi dan seimbang sesuai dengan kadar kesanggupannya. Sebab bagaimana mungkin ibu dapat memberikan ASI yang sempurna, jika para ibu tidak mendapat gizi yang sehat dan seimbang, maka para ibu memerlukan makanan yang bergizi dan sehat serta halal. Dengan demikian akan tumbuh generasi yang sehat dan tidak lemah secara fisik. Kdua, dha’if fi al aqli yakni lemah secara intelektual.sebenarnya setiap anak memiliki potensi kecerdasan yang hampi sama. Kelemahan intelek tual kadan disebabkan oleh lingkungan sekitar yang kondisinya tidak memberikan dorongan pada potensi kecerdasan anak. Orang tua, ibu, bapak, kakek, nenek paman dan orang-orang dewasa disekitarnya terkadang tidak dorongan pada potensi kecerdasan, anak dikerdilkan oleh sikap, perilaku dan pernyataan orang disekitarnya. Potensi anak yang sangat besar sering tidak berkembang karena terkekang oleh komunitas lingkungan sekitar yang tidak mendidik, lingkungan sekitar yang membelenggu pemikiran dan potensi anak, sehingga kecerdasan anak menjadi tidak berkembang. potensi kecerdasan anak yang besar tersebut, tidak berbeda dengan kekuatan tenaga gajah yang sangat besar, dapat dikerdilkan oleh seorang pawang dengan cara mengikat kaki gajah dengan rantai yang besar diikatkan pada batang kayu yang besar. Setiap kali gajah berontak ingin melepaskan diri selalu roboh, dan gagal, lalu gajah itu menyerah kepada keadaan. Setelah sekian lama rantai itu dilepas, kemudian diganti dengan tambang kecil jang dihubungkan dengan patok bambu, gajah itu tidak lagi berontak, ia menjadi jinak. Padahal tenaganya cukup kuat untuk melepaskan diri dari ikatan tambang kecil tersebut. Mengapa? Karena potensinya sudah dikerdilkan oleh pawang sehingga ia tetap merasa dibelenggu oleh Jurnal Pengembangan Masyarakat
Pemberdayaan Masyarakat....(Jasmadi)
7
rantai besi yang kuat, padahal kenyataannya hanya tali tambang yang kecil. Potensi kecerdasan anak menjadi tidak berkembang karena orang dewasa disekitarnya senantiasa melihat anak tidak mampu meraih prestasi seperti anak orang kaya di kota. Kita orang miskin, lemah dan tidak berdaya menghadapi kenyataan hidup yang pahit. Akibatnya harapan mereka untuk maju terbelenggu oleh rantai gajah orang-orang dewasa disekitarnya. Semua pintu untuk maju menjadi tertutup, semua peluang selalu kandas. Keadaan ini dibiarkan secara terus menerus membelenggu anak-anak kita. Sehingga keturunan atau generasi penerus menjadi lemah dan tidak berdaya. Karena itu rantai gajah itu harus didobrak, rantai itu kongkritnya masih berwujud pada sistem nilai dan budaya yang statis, jumud dan fatalis yakni menyerah pada keadaan. Maka untuk memutus rantai tersebut pemberdayaan lembaga keagamaan seperti majlis Ta’lim, masjid dan mushalla sebagai social institution yang mengakar dan dekat pada umat serta mendapat pengakuan dari masyarakat dapat dikembangkan kapasitasnya (capacity building) melalui pendalaman Al Qur’an, aksi sosial yang terencana untuk mencerdaskan anak. Ketiga, dhaif fi al-hâli yakni lemah karena keadaan sosialekonomi. Anak yatim, fakir miskin, anak terlantar dan anak jalanan, kemungkinan mereka memiliki akal yang cerdas tetapi secara sosial terhambat oleh keadaan karena tidak memiliki pendamping yang menopang sosial dan ekonominya. Mereka termasuk bagian dari penyandang sosial. Al qur’an mengajak kaum muslimin memperhatikan kaum dhu’afa : “Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang-orang yang menghardik anak-anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang-orang miskin. Maka kcelakaan bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari sholatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan menolong dengan barang-barang yang berguna” (QS.al-Ma’un/107:1-7) surat al Ma’un menyadarkan orsng yang beriman yang taat beragama, orang yang tekun shalat, rajin dzikir, rajin membaca al Qur’an, serta berulangulang menunaikan haji dan umrah akan tetap dikelompokkan sebagai pendusta agama, jika ketaatan beribadahnya tidak melahirkan kepedulian sosial terhadap nasib kaum dhu’fa.
Program Pascasarjana IAIN Raden Intan
8
Ijtimaiyya, Vol. 6, No. 1, Pebruari 2013
Pengertian dhu’afa dalam al Qur’an dengan segala perubahannya menurut al Isfahani mengandung beberapa pengertian yaitu: lemah fisik, lemah kedudukan, lemeh ekonomi, lemah akal/ilmu, lemah iman dan jiwa. 5 Adapun Miskin diartikan sebagai tidak berharta benda, serba kekurangan atau berpenghasilan rendah, sedangkan fakir diartikan sebagai orang yang sangat kekurangan, terlalu miskin 6. Dari bahasa aslinya (Arab) kata ‘miskin” terambil dari kata sakana yang berarti diam/ tenang. Sedang kata faqir berasal dari kata faqr yang pada mulanya berarti tulang punggung. Istilah fakir adalah orang yang patah tulang punggungnya, dalam arti bahwa beban yang dipikulnya sedemikian berat sehingga “mematahkan “ tulang punggungnya. Dalam Istilah Fiqh fakir adalah orang yang berpenghasilan kurang dari setengah kebutuhan pokoknya, sedangkan miskin adalah orang yang berpenghasilan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok kesehariannya. Memperhatikan akar kata miskin tersebut yang berarti diam/ atau tidak bergerak diperoleh kesan bahwa faktor penyebab terjadinya kemiskinan adalah karena sikap berdiam diri, enggan atau tidak mau bergerak atau berusaha. Keengganan berusaha menyebabkan tidak memperoleh penghasilan dan merupakan penganiayaan terhadap diri, sedangkan ketidak mampuan antara lain bisa disebabkan karena penganiayaan orang lain eksploitasi, perbudakan dan lainlain. Keengganan berusaha ini yang menjadi faktor terjadinya kemiskinan. Karena sikap mereka yang diam, statis, jumud dan tidak mau mengembangkan skill, ketrampilan dan malas untuk bekerja, akibatnya tidak memiliki suatu apapun untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Adapun istilah fakir , kata ini dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapn dari bahasa Arab, fakir dalam bentu tunggal dan fuqara dalam bentuk jamak, yang secara kebahasaan menurut Al Raghib Al Isfahani memiliki empat pengertian: Pertama, perkataan fakir berarti orang yang membutuhkan Allah, kebutuhan ini bersifat esensial karena manusia bersifat lemah, setiap manusia 5Ibid,
423
h. 296 Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 2000), h.
6Miskin,
Jurnal Pengembangan Masyarakat
Pemberdayaan Masyarakat....(Jasmadi)
9
secara universal membutuhkan Allah, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an:Wahai seluruh manusia kalian adalah fuqara’ yakni membutuhkan Allah, sedangkan Allah adalah Maha Kaya lagi Maha Terpuji (QS.Fathir:15). Kedua; kata fakir berarti membutuhkan, yaitu bahwa manusia membutuhkan makanan, miniman serta kebutuhan fisik dan biologis lainnya demi menjaga kelangsungan hidup manusia. Ketiga; kata fakir berarti tidak memiliki, tidak mendapatkan sembilan bahan pokok makanan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dalam kondisi ini sehingga ia membutuhkan bantuan orang lain yang memiliki kemampuan. Keempat; kata fakir berarti fakr al-nafs yakni tidak memiliki etos kerja dan tidak memiliki rohaniyah yang kuat, lemah iman, karena tidak pernah mendapatkan siraman rohani untuk pengayaan batin 7. Para ulama fiqh seperti Imam Hanafi berpendapat bahwa fakir adalah orang yang tidak memiliki penghasilan tetap dan tidak ada yang memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Sementara Imam Syafi’i berpendapat bahwa fakir adalah orang yang tidak dapat mencukupi kebutuhan dasar 8 Ali Yafie menjelaskan bahwa orang miskin adalah orang yang meiliki harta dan pekerjaan, tetapi harta dan penghasilannya hanya mencukupi seperdua dari kebutuhan pokoknya. Sedang orang fakir adalah oarang yang tidak memiliki harta benda dan penghasilan tetap dan hasil pekerjaannya hanya mencukupi kurang dari seperdua kebutuhan pokoknya. 9 Kemiskinan menurut sosiolog Soerjono Soekanto,adalah suatu keadaan ketika seseorang tidak sanggup untuk memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompoknya dan tidak mampu memanfaatkan tenaga, mental maupun fisik dalam kelompok tersebut 10. Seorang antropolog Supardi Suparlan, menjelaskan bahwa masyarakat miskin atau masyarakat kecil itu adalah sekelompok manusia yang kehidupan serta kehidupan 7Al-Raghib Al Isfahani, Mujam Mufradat alfadh Al Qur’an, (Bairut, Dar al-Fikr, tt.), h. 306 8Hasan Sadili, (ed) Ensiklopdi Indonesia Edisi Khusus, jilid 7, (Jakarta, Ichtiar Baru van Hoeve, 2001), h. 3977. 9Ali Yafie, KH. Islam dan Problematika Kemiskinan, (Jakarta, P3M, 1996), h. 6 10Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta, Rajawali Press, 1997), h. 349.
Program Pascasarjana IAIN Raden Intan
10
Ijtimaiyya, Vol. 6, No. 1, Pebruari 2013
sehari-harinya tidak dapat memenuhi kebutuhan yang paling pokok sehingga kehidupan mereka serba kekurangan. 11 Dengan demikian kemiskinan merupakan satu masalah sosial yang sangat kompleks dan memiliki multi dimensi, serta sangat potensial melahirkan ketimpangan, pengangguran dan berbagai tindak kejahatan dan kriminalitas. Faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan adalah karena mentalitas, dan karena sifat yang melekat kepada mereka antara lain. Pertama; karena keadaan seseorang diliputi kelemahan, lemah semangat, lemah akaldan ilmu, lemah fisik dan lemah ketrampilan. Kedua; al Khawf, tidak punya keberanian, tidak ada keberanian untuk berusaha, mencoba bekerja, berdagang atau menjadi tukang, karena tidak mau mengambil resiko gagalatau rugi dan lain-lain. Ketiga; Al Kaslan, keadaan jiwa yang diliputi oleh kemalasan, sehingga kehilangan waktu, kesempatan dan peluang untuk mengembangkan potensi dirinya dengan optimal. Karena kemalasannya kemudian seseorang menjadi fakir dan miskin. Keempat; al-bakhil. Karena keadaan seseorang yang diliputi rasa kikir.Berbagai faktor penyebab kemiskinan yang kompleks ini, untuk mengatasinya menjadi suatu yang sangat berat dan membutuhkan kerjasama dari berbagai pihak. 2. Upaya Pemberdayaan Kaum Miskin (Dhu’afa ) Islam memberikan anjuran untuk peduli terhadap masalah kemiskinan, mengabaikan orang miskin sebagaimana tersurat dalam surat Al-Ma’un, sama artinya dengan mendustakan agama. Apabila kita tidak mau dikatakan sebagai pendusta agama, maka kita harus peduli terhadap masalah kemiskinan. Lebih dari itu upaya kongkrit dan komitmen terhadap upaya pengentasan kemiskinan. Pengentasan kemiskinan membutuhkan kerjasama dari berbagai pihak dengan dukungan menejemen dan sumber daya manusia yang unggul dan sebuah perencanaan yang matang. Al Qur’an menganalogikan bahwa pngentasan kemiskinan sebagai sebuah perjuangan yang berat, sebagaimana menempuh jalan yang mendaki. Al Qur’an Surat Al Balad ayat 12-16:” Dan 11Parsudi Suparlan, Kemiskinan di Perkotaan, Cet. Ke2, (Jakarta; Yayasan Obor Indonesia, 1995), h. 76
Jurnal Pengembangan Masyarakat
Pemberdayaan Masyarakat....(Jasmadi)
11
tahukah kamu apa jalan yang mendaki dan sukar itu? (yaitu) melepaskan perbudakan atau memberi makan pada hari terjadinya kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat fakir” Al Qurthubi menjelaskan bahwa istilah”dzamatrabah” itu berkalang tanah. Yaitu orang miskin yang tidak memiliki suatu apapun, untuk melindungi dirinya kecuali menempel pada tanah” 12 atau seorang yang tidak sanggup melindungi tubuhnya dari sehelai pakaian pun. Penggambaran tentang beratnya hidup yang harus dijalani seorang fakir dan miskin, sebagai sebuah masalah sosial yang harus dipecahkan. Ketidakberdayaan seseorang dalam mengembangkan sumberdaya baik potensi diri maupun potensi sumberdaya alam, menjadi faktor penyebab utama terjadinya kemiskinan, disamping kemungkinan faktor eksternal karena ketidak berdayaan disebabkan oleh adanya sistem yang tidak memihak terhadap kaum lemah. Untuk keperluan hidup manusia Allah telah memberikan bekal sumber daya alam dan segenap potensi yang terdapat pada diri manusia jika seseorang ada kemauan untuk mengembangkannya, bahkan Allah telah memberikan jaminan rizki kepada makhluk di muka bumi sebagaina disebut dalam surah Hud/ :6 Artinya: “Dan tidak ada suatu binatang melata[709] pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya[710]. semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).”
12 Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshariyyi al-Qurthuby, Al- Jami’ li Ahkhkam Al-Qur’an, Jilid X, (Bairut; Dar Al-Fikr, 1999), h. 48.
Program Pascasarjana IAIN Raden Intan
12
Ijtimaiyya, Vol. 6, No. 1, Pebruari 2013
Kata Dhabah terambil dari kata dabba yang berarti bergerak dengan lincah di atas tanah yang diterjemahkan menjadi ‘melata’kususnya hewan dan serangga, tetapi kemudian biasa digunakan untuk semua makhluk hidup yang ada di atas bumi termasuk burung yang terbang di atas bumi. Kata dabba tersebut juga dipakai sebagai nama kendaraan perang yang terbuat dari besi ( Ad-Dababah) pada masa nabi sebagai perlindungan dari anak panah dan senjata pelontar, yang gerakannya dapat menggetarkan bumi 13. Karena itu Allah menjamin rizki kepada makhluk hidup di atas bumi yang mampu bergerak secara dinamis dengan kekuatan yang dimilikinya sesuai dengan qodratnya. Dipastikan bahwa seseorang yang mampu mengembangkan dan menggunakan daya yang terdapat dalam diri manusia akan memeroleh rizki yang telah Allah sediakan di atas bumi untuk manusia.sebagaimana disebut dalam Al qur’an surah al-Baqorah/2:29: “Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu semua”. Segala potensi yang telah Allah anugerahkan kepada manusia agar manusia mampu mengolah alam sebagai “khalifatullah fil Ard”, bertugas untuk memakmurkan dan mensejahterakan kehidupan umat manusia. Untuk itu pengelolaan alam dan segala isinya menjadi tanggung jawab manusia untuk dimanfaatkan bagi kepentingandan kesejahteraan umat. Untuk membangkitkan semangat agar manusia ada kemauan dan mampu melaksanakan pengembangan diri, jalan yang harus ditempu adalah membangun sumber daya manusia sebagai sasaran pengembangan masyarakat. Pengembangan SDM merupakan salah cara untuk meningkatkan kemampuan yang terkait dengan pemahaman dan keterampilan. Tingkat kemajuan masyarakat atau keberhasilan pembangunan bukan ditandai dengan kemajuan sarana dan prasarana fisik dan pemanfaatan sumber daya alam akan tetapi akan sangat ditentukan oleh tingkat kemajuannya dalam bidang pengembangan sumber daya manusia sebagai pelaku dan sekaligus sasaran pembangunan. Pendekatan yang perlu dilakukan dalam pengembangan dan pembedayaan masyarakat terutama untuk mengatasi masalah 13 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Lentera Abadi, jilid IV, 2010), h. 385.
Jurnal Pengembangan Masyarakat
Pemberdayaan Masyarakat....(Jasmadi)
13
kemiskinan adalah pengambilan kebijakan dalam pemberdayaan masyarakat. Kebijakan yang dilakukan harus bebar-benar berpihak pada pengembangan masyarakat kaum dhu’afa, atau masyarakat miskin. Untuk itu hal-hal yang perlu dilakukan adalah : Pertama; pemetaan wilayah untuk mengetahui tentang kapabilitas sumber daya lahan atau alam, mengetahui lokasi geografis dan sarana transportasi yang akan berkaitan langsung dengan pengembangan sumberdaya alam, biasanya lokasi desa miskin pada umumnya jauh dengan pusat-pusat pelayanan, sarana dan prasarana yang sangat terbatas sehingga akses ekonomi sulit masuk di wilayah tersebut. Kedua; Letak geografis, wilayah yang kondisi geografisnya didominasi oleh lahan kering, minimnya sistem pengairan, maka akan berpengaruh terhadap pola mata pencaharian dan pola tanam dalam pengembangan produksi petanian. Kurangnya air akan menyebabkan kurangnya unsur hara pada tanah, sehingga berpengaruh bagi kesuburan tanah. Kondisi geografis memiliki pengaruh dalam menentukan kebijakan pengembangan masyarakat. Ketiga: Demografi dan kependudukan, terutama tingkat pendidikan masyarakat penduduk desa menjadi faktor penentu dalam pengembangan masyarakat, hal ini akan terkait dengan tingkat partisipasi dan komunikasi dalam proses pengmbilan kebijakan. Menyarakat yang berpendidikan rendah cenderung memiliki sikap “manut’ atau nurut apa kata orang-orang yang berpengaruh, tingkat inisiasi dan krestifitasnya rendah dan cenderung stagnan, tidak dinamis dalam mensikapi perubahan. Keempat: Kelembagaan penunjang, kelembagaan yang terdapat dalam manyarakat akan membantu dalam proses pemberdayaan masyarakat, kelembagaan agama seperti masjid dan majlis ta’lim, remaja masjid, lembaga adat, PKK dan kelompok-kelompok sosial lainya dapat dijadikan sebagai wahana sosialisasi dan komunikasi dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat, melalui institusi seperti ini programprogram pemberdayaan dapat diaplikasikan. Kelima; Tradisidan sosial budaya masyarakat; gambaran tentang tradisidan sosial budaya biasanya sangat berkaitan dengan kelompok suku yang berdomisili dalam suatu wilayah/desa. Masing-masing suku memiliki kebiasaan lokal dan tradisi yang melekat pada masyarakat yang melahirkan pola budaya dan prilaku dalam kehidupannya. Masyarakat jawa dengan pola budaya gotong royong, sambatan, Program Pascasarjana IAIN Raden Intan
14
Ijtimaiyya, Vol. 6, No. 1, Pebruari 2013
siskamling dalam menjaga keamanan lingkungan, pola budaya seperti ini telah mulai luntur dan dapat dihidupkan dengan mengangkat nilai-nilai positifnya. Pengambilan kebijakkan yang diterapkan hendaknya memperhatikan kultur masyarakat dan penerapannya bisa saja dibedakan antara wilayah satu dengan yang lainnya berdasarkan kajian terhadap pola budaya melekat masyarakat. Pemberdayaan masyarakat di beberbagai wilayah/provinsi yang memiliki perbedaan suku dan budaya akan melahirkan kebijakan yang berbeda ( locality Development ). 14 Keenam; Penguasaan modal dan teknologi; dalam pengembangan masyarakat sektor keuangan juga menjadi salah satu penentu bagi kebijakan dan kelancaran pembangunan, pemberdayaan ekonomi sangat ditunjang oleh ketersediaan modal yang dimiliki oleh masyarakat. Penguasaan modal dan teknologi akan berkaitan dengan pengembangan usaha dan ketenaga kerjaan yang tersedia di masyarakat. Modal usaha dan skill menjadi aset bagi dibukanya usaha baru dan lapangan pekerjaan. Karena itu ketersediaan modal usaha atau lembaga keuangan pendamping dalam menopang pemberdayaan masyarakat sangat dibutuhkan. Hal ini sebenarnya sudah tersedia saat ini melalui modal Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) yang digulirkan di tengah masyarakat. Ketujuh: pendekatan sistem dalam pendekatan ini yang perlu diperhatikan unsur-unsur yang terdapat dalam masyarakat misalnya unsur pamong desa, tokoh agama, tokoh masyarakat dan warga masyarakat. Dalam pendekatan sistem semua unsur diorganisasikan dan dikembangkan secara bersama-sama dalam sebuah kesatuan yang utuh serta menejemen yang terpadu. Dalam pendekatan ini semua unsur masyarakat dilibatkan dan difungsikan perannya. 3. Strategi Pemberdayaan Pemberdayaan kaum dhu’afa utamanya menjadi tanggung jawab bagi kaum muslimin, khususnya mereka yang telah diberikan karunia kecukupan harta (kelompok aghniya), mereka berkewajiban untuk mengeluarkan sebagian hartanya baik melalui 14 Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, (Bandung, Refika Aditama, 2005), h. 38.
Jurnal Pengembangan Masyarakat
Pemberdayaan Masyarakat....(Jasmadi)
15
jalur infaq, maupun zakat. Persoalannya adalah bagaimana membangkitkan kesadaran masyarakat orang-orang yang mampu untuk melaksanakan kepeduliannya dalam pengentasan kemiskinan. Orang-orang yang memiliki kelebihan harta tetapi tidak melaksanakan kewajibannya melaksanakan zakat, tidak peduli terkadap kaum fakir-miskin mendapat ancaman akan dimasukkan kedalam neraka Saqar, (QS, Al Mudatsir:44), karena tidak paduli terhadap fakir miskin, sebab dalam harta mereka terdapat hak bagi orang-orang miskin ( QS.Al Ma’arij: 24), maka demi untuk menyelamatkan dirinya dari azab api neraka dan tidak lalai dari kewajibannya perlu dilakukan dakwah yang secara inten menyerukan baik melalui pengajian, media tulisan dan media elektronik serta melembagakan melalui organisasi profesi sesuai dengan bidang yang digelutinya, seperti himpunan pengusaha muslim, dan lainnya. Untuk menyelamatkan para “aghniya” dari ancaman api neraka perlu diintensifkan lembaga-lembaga amil Zakat yang bergerak menghimpun dana zakat dari para muzaki untuk disalurkan kepada mereka yang berhak menerimanya. Kewajiban amil adalah mengambil harta zakat sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an surat At Taubah ayat 103: ”Ambilah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdo’alah untuk mereka”, Pengambilan zakat dari orang-orang yang diberi kelapangan harta menjadi tanggung jawab Badan Amil Zakat. Pendayagunaan harta zakat bila dapat dikumpulkan dan dikelola dengan menejemen yang baik dapat dijadikan sebagai sarana pengentasan kemiskinan. Dukungan dari pihak pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan zakat atau dana-dana hibah yang tidak mengikat untuk program-program yang berorientasi pada kepedulian terhadap kaum fakir miskin. Regulasi yang dilakukan pemerintah dan bekerjasama dengan lembagalembaga sosial lain dapat disinergikan dalam program bersama, hal ini dilakukan sebagai upaya adanya partisipasi masyarakat sebagai penguatan lembaga-lembaga yang sudah ada. 4. Tahap-Tahap Pemberdayaan
Program Pascasarjana IAIN Raden Intan
16
Ijtimaiyya, Vol. 6, No. 1, Pebruari 2013
Pemberdayaan masyarakat akan berlangsung secara bertahap. Tahap – tahap yang harus dilalui tersebut adalah sebagai berikut: a. Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli sehingga merasa membutuh-kan peningkatan kesadaran tinggi. b. Tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan, kecakapan-ketrampilan agar terbuka wawasan dan memberikan ketrampilan dasar sehingga dapat mengambil peran didalam pembangunan. c. Tahap peningkatan kemampuan intelektual, kecakapanketrampilan sehingga terbentuklah inisiatif dan kemampuan inlovatif untuk mengantarkan kemandirian. Tahap pertama merupakan tahap persiapan dalam proses pemberdayaan masyarakat. Pada tahap ini pihak pemberdaya berusaha menciptakan prakondisi, supaya dapat memfasilitasi berlangsungnya proses pemberdayaan yang efektif. Dengan demikian akan tumbuh kesadaran akan kondisinya saat itu, dan dengan demikian akan dapat merangsang kesadaran mereka tentang perlunya memperbaiki kondisi untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Pada tahap kedua masyarakat akan menjalani proses belajar tentang pengetahuan dan kecakapan-ketrampilan yang memiliki relevansi dengan apa yang menjadi tuntutan kebutuhan tersebut. Sehingga akan bertambah wawasan dan kecakapan-ketrampilan dasar yang mereka butuhkan. Tahap ketiga adalah tahap pengayaan atau peningkatan intelektualitas dan kecakapan ketrampilan yang diperlukan, agar mereka dapat membentuk kemampuan kemandirian. Apabila masyarakat telah mencapai tahap ketiga ini maka masyarakat dapat secara mandiri malakukan pembangunan. Tujuan pemberdayaan adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi lebih mandiri. Dimana kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak, dan mengendalikan apa yang mereka lakukan tersebut. Kemandirian masyarakat adalah suatu kondisi yang dialami masyarakat yang ditandai oleh kemampuan untuk memikirkan, memutuskan serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai Jurnal Pengembangan Masyarakat
Pemberdayaan Masyarakat....(Jasmadi)
17
pemecahan masalah-masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya kemampuan yang terdiri kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik, afektif, dengan pengerahan sumber daya yang dimiliki oleh lingkungan internal masyarakat tersebut. Pada akhirnya, berhasil atau tidaknya pemberdayaan kaum du’afa sangat ditentukan oleh kesungguhan para pelaksana dalam menjalankan konsep-konsep yang telah dirancang sebagai bahan acuan untuk melakukan sebuah perubahan sosial (social change) dalam masyarakat.
Daftar Pustaka Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshariyyi al-Qurthuby, Al-Jami’ li Ahkhkam Al-Qur’an, Jilid X, Bairut; Dar Al-Fikr, 1999. Ali Yafie, KH. Islam dan Problematika Kemiskinan, Jakarta, P3M, 1996, Al-Raghib Al Isfahani, Mujam Mufradat alfadh Al Qur’an, Bairut, Dar al-Fikr, tt. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta: Lentera Abadi, jilid IV, 2010 Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat,Bandung, Refika Aditama, 2005 Ginanjar Kartasasmita, Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, Jakarta: CIDES, 1996 Hasan Sadili, (ed) Ensiklopdi Indonesia Edisi Khusus, jilid 7, Jakarta, Ichtiar Baru van Hoeve, 2001 Isbandi Rukminto Adi, Pemberdayaan, pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas ( Pengantar Pemikiran dan Pendekatan Praktis) Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 2001 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:Balai Pustaka, 2000 Parsudi Suparlan, Kemiskinan di Perkotaan, Cet. Ke2, Jakarta; Yayasan Obor Indonesia, 1995 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, Rajawali Press, 1997. Program Pascasarjana IAIN Raden Intan
18
Ijtimaiyya, Vol. 6, No. 1, Pebruari 2013
Jurnal Pengembangan Masyarakat