PEMBERDAYAAN MANTAN NARAPIDANA MELALUI PROGRAM REHABILITASI SOSIAL PADA BALAI PEMASYARAKATAN KLAS I BANDUNG
M. VIRSYAH JAYADILAGA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
ABSTRACT
M.VIRSYAH JAYADILAGA. The Empowerment of Ex. Inmates Through Social Rehabilitation Program At Bandung Probation Office. Under direction of PUDJI MULJONO, and ADI FAHRUDIN.
Criminality represent one of the main problem faced by Indonesia Government along with its society, this matter caused by globalization and urbanization factor. That factor trigger social difference between coat which tip of criminality action. It Can be told, the problem of politic-economic-social mixed to become one weakening local community to be able to share and stand up parallel with other community. Various ways to lessen Criminality storey due to social rehabilitation have conducted by Indonesia Government, the program is: ‘Program Bina Karya’ to Ex. Inmates that given by On Duty Social ; ‘Program Bimbingan Sosial dan Latihan Keterampilan’ to Ex. Inmates that given by Correctional Hall ; and ‘Program Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM)’ that given by Educational Department cooperating of Local Government. From the background, hence, conducted some research about Social guidance and Practice Skill Program to Ex. Inmates that known as Social Rehabilitation Program performed by Correctional Hall. The Program covers up of skills development as continuation skill-work program which have been passed to Inmates when they experience a period of its crime in Correctional Institution. This Program aims to science stock of former Inmates in order to developing their life and effort toward better. For further action, they also gave some capital in the form of Productive Economics Effort (PEE) according to the skill type which they follow. After following this Social Rehabilitation program, then, will be conducted an evaluation and monitoring of growth of them effort, recognized with furthermore construction. Furthermore construction conducted by two organizer party that is Correctional Hall and Social Office or On Duty Social.
RINGKASAN M.VIRSYAH JAYADILAGA. Pemberdayaan Mantan Narapidana melalui Program Rehabilitasi Sosial Pada Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung (Studi Kasus di Balai Pemasyarakatan Klas I Kota Bandung Provinsi Jawa Barat). Dibimbing oleh PUDJI MULJONO, dan ADI FACHRUDIN.
Kriminalitas merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi oleh Pemerintah Indonesia beserta masyarakatnya, hal ini disebabkan faktor globalisasi dan urbanisasi. Faktor-faktor tersebut memicu kesenjangan sosial antar lapisan yang berujung pada tindakan kriminalitas. Dapat dikatakan, persoalan politik-ekonomi-sosial bercampur menjadi satu yang memperlemah komunitas lokal untuk bisa berperan dan berdiri tegak sejajar dengan komunitas lainnya. Berbagai upaya untuk mengurangi tingkat Kriminalitas melalui rehabilitasi sosial telah banyak dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, program tersebut antara lain : Program Loka Bina Karya (LBK) bagi Eks. Narapidana yang diberikan oleh Dinas Sosial, Program Bimbingan Sosial dan Latihan Keterampilan bagi Purna LAPAS yang diberikan oleh Balai Pemasyarakatan, dan Program Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang diberikan oleh Departemen Pendidikan Nasional yang bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Setempat. Dari latarbelakang tersebut, maka dilakukan suatu penelitian tentang program Bimbingan Sosial dan Latihan Keterampilan bagi Purna LAPAS atau dikenal sebagai program Rehabilitasi Sosial yang diadakan oleh Balai Pemasyarakatan. Program tersebut meliputi pelatihan keterampilan sebagai kelanjutan program keterampilan kerja yang telah diberikan kepada Narapidana ketika mereka menjalani masa pidananya di Lembaga Pemasyarakatan. Program ini bertujuan sebagai bekal ilmu terhadap mantan Narapidana dalam rangka membangun usaha dan kehidupan mereka kearah yang lebih baik. Program-program pembinaan bagi mantan Narapidana di Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung beragam dan bertujuan untuk mempersiapkan Mantan Narapidana agar mandiri dan terampil ketika kembali ke Masyarakat. Di Masyarakat, Mantan Narapidana dianggap sebagai individu yang patut diwaspadai dan dipandang negatif. Sehingga individu tersebut tidak mendapatkan ruang gerak yang cukup luas dalam berbagai bidang dan pelayanan publik, oleh sebab itu Program-program pembinaan bagi Mantan Narapidana di BAPAS dapat diukur efektivitasnya di tengah masyarakat. Untuk selanjutnya, mereka diberikan pula modal dalam bentuk Usaha Ekonomi Produktif (UEP) sesuai dengan jenis keterampilan yang mereka ikuti. Setelah mereka mengikuti program Rehabilitasi Sosial ini, akan dilakukan monitoring dan evaluasi terhadap perkembangan usaha mereka, yang dikenal dengan pembinaan lebih lanjut. Pembinaan lebih lanjut ini dilakukan oleh dua pihak penyelenggara yaitu Balai Pemasyarakatan dan Kantor Sosial atau Dinas Sosial. Beragam definisi pemberdayaan menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu bermasalah dalam hubungan sosial dengan masyarakat dan hukum.
Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu mantan Narapidana yang berdaya, memiliki keterampilan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi maupun sosial seperti memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Pengertian pemberdayaan sebagai tujuan ini seringkali digunakan sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan sebagai sebuah proses. Penanganan masalah kriminalitas di Kota Bandung tentunya tidak hanya sebatas pada penyelesaian secara hukum saja, tetapi lebih luas lagi yaitu bagaimana mempersiapkan para mantan Narapidana agar dapat hidup mandiri dan tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum lagi. Untuk menjawab hal tersebut, tentunya diperlukan adanya kerjasama dari semua pihak dan perhatian yang cukup besar dari Pemerintah Daerah dimana para mantan Narapidana tersebut berada. Penyusunan strategi dan rencana aksi program pengembangan masyarakat dilaksanakan secara partisipatif, dengan menggunakan metode PRA yaitu dengan mengikut sertakan masyarakat secara bersama mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan sampai dengan evaluasi. Dengan demikian maka dalam hal ini masyarakat diposisikan sebagai ; pengupaya, penilai dan merasakan hasil program tersebut. Tahapan-tahapan penyusunan program dengan melakukan Identifikasi partisipan, meliputi : Petugas BAPAS, Pembimbing Kemasyarakatan, para Pimpinan BAPAS sebagai penanggung jawab dan Klien Pemasyarakatan / Mantan Narapidana sebagai warga belajar, Penentuan masalah yang mencakup minat dan motivasi warga belajar, sarana dan prasarana, penyaluran dan mengidentifikasikan kebutuhan. Selain itu penyusunan rencana pemecahan masalah secara partisipatif dengan menyelenggarakan diskusi dengan responden dan informan, Pengembangan program Rehabilitasi Sosial yang diharapkan (Peningkatan layanan pendidikan dan keterampilan yang efektif dan berjalanan optimal, Perluasan jaringan koordinasi dan kerjasama dengan kelembagaan lokal, Peningkatan kualitas pengurus dan pembimbing) dan yang terakhir adalah Monitoring dan Evaluasi yang melibatkan petugas / pengurus, pembimbing dan segenap pimpinan pada Balai Pemasyarakatan untuk melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap kegiatan Rehabilitasi Sosial serta penilaian terhadap pencapaian tujuan-tujuan yang telah dicapai.
PEMBERDAYAAN MANTAN NARAPIDANA MELALUI PROGRAM REHABILITASI SOSIAL PADA BALAI PEMASYARAKATAN KLAS I BANDUNG
M. VIRSYAH JAYADILAGA
Tugas Akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Pengembangan Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008ALUI PROGRAM
REHABILITASI SOSIAL PADA BALAI PEMASYARAKATAN KLAS I BANDUNG Nama
Judul Tesis
: PEMBERDAYAAN
MANTAN
NARAPIDANA
MELALUI PROGRAM REHABILITASI SOSIAL PADA BALAI PEMASYARAKATAN KLAS I BANDUNG Nama
: M. VIRSYAH JAYADILAGA
NRP
: I354060195
Disetujui, Komisi Pembimbing :
Dr. Ir. Pudji Muljono, MSi
Adi Fahrudin, Ph.D
Ketua
Anggota
Diketahui :
Ketua Program Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS
Prof. Dr. Ir. H. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 07 April 2008
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Pemberdayaan Mantan Narapidana melalui Program Rehabilitasi Sosial Pada Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tugas akhir ini.
Bogor, April 2008 M. Virsyah Jayadilaga NIM I354060195
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dilipiih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2007 ini adalah tentang Pemberdayaan dengan berbagai tinjauan teoritis yang berhubungan dengan Pemasyarakatan, Kriminologi, Kemiskinan dan Pemberdayaan. Judul yang penulis ambil dari tema tersebut adalah ”Pemberdayaan Mantan Narapidana melalui Program Rehabilitasi Sosial Pada Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung (Studi Kasus di Balai Pemasyarakatan Klas I Kota Bandung Provinsi Jawa Barat). Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Pudji Muljono, MSi dan Bapak Adi Fachrudin, Ph.D selaku komisi pembimbing. Disamping hal tersebut, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS selaku Ketua Program Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat yang telah memberikan arahan dan informasi kepada penulis. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada Bapak, Ibu serta saudara-saudari penulis, terimakasih atas doa, dukungan dan kasih sayangnya. Semoga Karya Ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, April 2008 M. Virsyah Jayadilaga
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tangerang pada tanggal 29 Agustus 1981 dari ayah Drs. Syaiful Alamsyah Moein, SH dan Ibu Megawati. Penulis merupakan putra terakhir dari empat bersaudara. Tahun 1994 penulis lulus Sekolah Dasar dari SD Negeri 3 Dangin Puri Denpasar – Bali, dan pada tahun yang sama pula penulis melanjutkan ke jenjang Sekolah Menengah Pertama pada SMP Negeri 26 Bandung. Tahun 1996 penulis lulus tingkat menengah pertama dan melanjutkan ke tingkat menengah atas pada SMA Negeri 4 Makassar sampai tahun 1999. Pada tahun 2000 penulis lulus seleksi masuk Universitas Padjadjaran. Penulis memilih Program Studi Ilmu Komputer, Jurusan Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Di akhir tahun 2003 penulis mendaftarkan diri untuk mengikuti seleksi penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kantor Wilayah Jawa Barat, dan penulis lulus tes seleksi. Selanjutnya pada bulan April 2004 penulis mulai bekerja pada kantor tersebut sambil menyelesaikan perkuliahan Strata-1. Selama mengikuti perkuliahan, penulis mendapatkan beasiswa peningkatan prestasi, karena penulis berhasil meningkatkan dan mempertahankan IPK 3,0 selama dua tingkat berturut-turut, sampai akhirnya penulis menyelesaikan studi Strata-1 pada tahun 2005. Selanjutnya, tahun 2006 penulis mendaftarkan diri untuk mengikuti seleksi masuk mahasiswa program Pascasarjana Magister Profesional Pengembangan Masyarakat di IPB.
PENDAHULUAN Latar Belakang Persoalan ketidakberdayaan masyarakat bawah biasanya bertalian erat dengan persoalan kemiskinan, keterbelakangan dan kekurangan kapasitas pendidikan yang berujung pada tindakan kriminalitas. Kemiskinan dipandang sebagai masalah kesejahteraan sosial, khususnya dalam hal keberadaan fakir miskin / keluarga miskin pada suatu masyarakat. Masalah kesejahteraan lain juga banyak terkait dengan kemiskinan seperti keluarga yang kondisi perumahan dan lingkungan tidak layak huni, tuna susila, anak terlantar dan lanjut usia. Hal-hal yang menyebabkan kemiskinan, keterbelakangan dan kekurangan pendidikan berkaitan dengan proses migrasi dan urbanisasi yang mengacu kepada gejala meningkatknya jumlah penduduk perkotaan. Proses urbanisasi sangat terkait mobilitas maupun migrasi penduduk. Ada sedikit perbedaan antara mobilitas dan migrasi penduduk. Mobilitas penduduk didefinisikan sebagai perpindahan penduduk yang melewati batas administratif tingkat II, namun tidak berniat menetap di daerah yang baru. Sedangkan migrasi didefinisikan sebagai perpindahan penduduk yang melewati batas administratif tingkat II dan sekaligus berniat menetap di daerah yang baru tersebut. Di dalam pelaksanaan perhitungannya, data yang ada sampai saat ini baru merupakan data migrasi penduduk dan bukan data mobilitas penduduk. Di samping itu, data migrasi pun baru mencakup batasan daerah tingkat I. Dengan demikian, seseorang dikategorikan sebagai migran seumur hidup jika propinsi tempat tinggal orang tersebut sekarang ini, berbeda dengan propinsi dimana yang bersangkutan dilahirkan. Selain itu seseorang dikategorikan sebagai migran risen jika propinsi tempat tinggal sekarang berbeda dengan propinsi tempat tinggalnya lima tahun yang lalu. Di masa sekarang, para ahli kependudukan memperkirakan bahwa proses urbanisasi di Indonesia akan lebih banyak disebabkan migrasi desa-kota. Perkiraan ini didasarkan pada makin rendahnya pertumbuhan alamiah penduduk di daerah perkotaan, relatif lambannya perubahan status dari daerah pedesaan menjadi daerah perkotaan, serta relatif kuatnya kebijaksanaan ekonomi dan
pembangunan yang "urban bias", sehingga memperbesar daya tarik daerah perkotaan bagi penduduk yang tinggal di daerah pedesaan . Itulah sebabnya di masa kini, isu urbanisasi dan mobilitas atau migrasi penduduk menjadi sulit untuk dipisahkan dan akan
menjadi isu yang penting
dalam kebijaksanaan
kependudukan di Indonesia. Dampak negatif terhadap proses migrasi dan urbanisasi ini adalah masalah pemukiman, slum area (daerah kumuh), kesehatan masyarakat, sanitasi dan pengolahan sampah domestik, masalah pencemaran udara dan kriminalitas. Dalam perkembangan masyarakat, tingkat mobilitas penduduk yang tinggi dan pembangunan dalam berbagai aspek mengakibatkan golongan-golongan masyarakat
tertentu
kemungkinan
mengalami
ketertinggalan
dan
justru
mengalami proses pemiskinan, proses tersebut akan diwariskan secara terus menerus dari generasi ke generasi terhadap keluarga miskin, sehingga menciptakan lingkaran setan kemiskinan. Dengan demikian, kebijakan-kebijakan pembangunan yang diambil perlu dipertimbangkan dengan seksama agar tidak menimbulkan
dampak
terjadinya
proses
pemiskinan
golongan-golongan
masyarakat tertentu dan tidak berakibat meningkatnya kesenjangan antar golongan dalam masyarakat. Beragam lapisan sosial ekonomi dalam suatu wilayah / kota, apalagi Kota Bandung sebagai kota metropolitan, tentunya akan menimbulkan kecemburuan sosial antar warga. Kecemburuan sosial inilah yang mengarahkan pada suatu tindakan kriminalitas, apalagi dengan kurangnya dukungan keamanan yang memadai. Di Kota Bandung, kriminalitas merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi oleh Pemerintah Daerah beserta masyarakatnya. Hal ini disebabkan faktor globalisasi dan urbasnisasi. Faktor-faktor tersebut memicu kesenjangan sosial antar lapisan yang berujung pada tindakan kriminalitas. Selain faktor-faktor tersebut, yang melatarbelakangi tindakan kriminalitas juga beragam seperti keserakahan akan materi yang membawa pada kejahatan korupsi, pergaulan bebas dan prostitusi yang membawa pada kejahatan perkosaan dan lain sebagainya. Pemetaan sosial yang penulis lakukan di Kota Bandung, menunjukkan bahwa masalah kemiskinan sebagian besar merupakan permasalahan yang dapat
membawa pada tindakan kriminalitas. Tingkat kriminalitas di Kota Bandung dapat dilihat dengan semakin besarnya jumlah Tahanan / Narapidana pada LAPAS / RUTAN di Kota Bandung dari tahun ke tahun sedangkan daya tampung / kapasitas yang tersedia tidak memadai sehingga dari tahun ke tahun selalu mengalami kelebihan kapasitas (over capacity), terlihat pada Gambar 1. Gambar 1 Grafik Perbandingan Jumlah Tahanan / Narapidana pada LAPAS / RUTAN Di Kota Bandung Tahun 2005 - 2007 6000 5000 4000
1832
1832
1932
3209
3273
3000 2000
2795
2432
1000 0
2005
2006
2007
TAHUN
2008
Kapasitas Jumlah Penghuni
Sumber : Data Statistik Kanwil Dep. Hukum dan HAM Jawa Barat, 2007 Berbagai upaya untuk mengurangi tingkat kriminalitas melalui rehabilitasi sosial telah banyak dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah maupun instansi pemerintahan wilayah setempat. Program tersebut antara lain : Program Loka Bina Karya (LBK) bagi Eks. Narapidana yang diberikan oleh Dinas Sosial, Program Bimbingan Sosial dan Latihan Keterampilan bagi Purna LAPAS yang diberikan oleh Balai Pemasyarakatan, dan Program Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang diberikan oleh Departemen Pendidikan Nasional yang bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Setempat. Sehubungan dengan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh tentang program Rehabilitasi Sosial bagi mantan Narapidana yang diselenggarakan oleh Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung sebagai upaya mempersiapkan individu yang mandiri dan terampil sebelum kembali ke
Masyarakat. Jenis-jenis kegiatan yang diberikan pada program Rehabilitasi Sosial beragam bentuknya, dan setiap tahun berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan jasa / jenis usaha dimasyarakat. Beberapa kegiatan pada program Rehabilitasi Sosial yang pernah dilaksanakan adalah kegiatan sablon, menjahit, montir mobil / motor dan lain sebagainya, dan dari kegiatan-kegiatan itu akan diberikan bantuan modal usaha dalam bentuk perlengkapan atau peralatan usaha yang sering disebut sebagai perlengkapan Usaha Ekonomi Produktif. Selain kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan pada Program Rehabilitasi Sosial, terdapat pula tugas pokok dan fungsi Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung yang merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis Kanwil Departemen Hukum dan HAM Jawa Barat, yaitu melaksanakan jenis pembinaan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah menjalani ½ dan 2/3 masa pidananya di LAPAS / RUTAN, mengklasifikasikan klien anak dan dewasa dalam berbagai kategori, dan sebagainya. Kajian ini merupakan satu rangkaian yang diawali dari kegiatan Praktek Lapangan Satu (PL-1) / Pemetaan Sosial dan Praktek Lapangan Dua (PL-2) / Evaluasi Program Pengembangan Masyarakat, yang penulis lakukan pada lokasi penelitian yang sama. Oleh sebab itu maka judul kajian ini adalah ; PEMBERDAYAAN
MANTAN
NARAPIDANA
MELALUI
PROGRAM
REHABILITASI SOSIAL PADA BALAI PEMASYARAKATAN KLAS I BANDUNG. Pada Tabel 1 menjelaskan data-data Klien Pemasyarakatan yang dibina di Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung pada bulan Oktober 2007. Data-data tersebut merupakan data yang fluktuatif, artinya setiap bulan jumlah Klien Pemasyarakatan berubah-ubah karena terdapat Klien yang baru masuk maupun yang telah selesai menjalankan masa pembinaan di BAPAS.
Tabel 1 Klien Pemasyarakatan yang Dibina di Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung pada Bulan Oktober Tahun 2007 No.
Kategori
1.
Menurut Status Klien
Jenis Pidana Bersyarat Dewasa Pembebasan Bersyarat Anak Pembebasan Bersyarat Dewasa Cuti Dewasa
Menurut Jenis Kelamin dan Agama Agama
Pendidikan
3.
Menurut Pendidikan dan Pekerjaan Pekerjaan
Jumlah 1 Orang 2 Orang 552 Orang
Pria Anak Pria Dewasa Wanita Anak Wanita Dewasa Islam Protestan Katholik Hindu Budha Lain-lain Buta Huruf SD SMP SMA Akademi Perguruan Tinggi Lain-lain Tuna Karya Buruh Petani / Nelayan Pedagang / Wiraswasta Pegawai Negeri Pegawai Swasta Lain-lain
Jenis Kelamin
2.
Kelompok
24 Orang 2 Orang 551 Orang 6 Orang 547 Orang 20 Orang 6 Orang 2 Orang 4 Orang 183 Orang 121 Orang 210 28 Orang 32 Orang 1 Orang 94 Orang 166 Orang 26 Orang 171 Orang 24 Orang 81 Orang 17 Orang
Perumusan Masalah Program-program
pembinaan
bagi
mantan
narapidana
di
Balai
Pemasyarakatan Klas I Bandung beragam, dan bertujuan untuk mempersiapkan mantan narapidana agar mandiri dan terampil ketika kembali kemasyarakat, namun demikian suatu program tidaklah semulus yang direncanakan, begitupula pada program Rehabilitasi Sosial ini. Oleh karena itu penulis mencoba
menjelaskan tentang pelaksanaan dan keberhasilan program Rehabilitasi serta menarik benang merah terhadap permasalahan yang muncul pada program Rehabilitasi Sosial, selanjutnya mencoba merancang suatu program Rehabilitasi Sosial yang lebih baik. Maka rumusan masalah kajian ini sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pelaksanaan program Rehabilitasi Sosial bagi Mantan Narapidana di Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung ? 2. Sejauh manakah keberhasilan program Rehabilitasi Sosial di Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung terhadap Klien Pemasyarakatan dan penerapannya di masyarakat ? 3. Faktor-faktor apa sajakah yang menjadi hambatan dalam program Rehabilitasi Sosial serta penerapannya di masyarakat ? 4. Bagaimanakah strategi yang dilakukan dalam pengembangan program Rehabilitasi Sosial untuk pemberdayaan mantan narapidana di Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung ? Tujuan Kajian Dimasyarakat, mantan narapidana dianggap sebagai individu yang patut diwaspadai dan dipandang negatif. Sehingga individu tersebut tidak mendapatkan ruang gerak yang cukup luas dalam berbagai bidang dan pelayanan publik, oleh sebab itu Program-program pembinaan bagi Mantan Narapidana di BAPAS dapat diukur efektivitasnya di tengah masyarakat. Sesuai dengan rincian masalah tersebut diatas, fokus dari pemetaan sosial dan evaluasi program pengembangan masyarakat, adalah : 1. Mengkaji program Rehabilitasi Sosial bagi mantan Narapidana, yang diberikan di Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung, 2. Mengetahui keberhasilan program Rehabilitasi Sosial yang didapat oleh Mantan Narapidana di Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung terhadap penerapannya di Masyarakat, 3. Mengetahui berbagai faktor penghambat dan masalah yang terjadi dalam program Rehabilitasi Sosial serta penerapannya di masyarakat. 4. Merancang strategi pemberdayaan dan pengembangan program Rehabilitasi Sosial, agar semakin efektif dan optimal di masa yang akan datang.
Kegunaan Kajian Merupakan sarana untuk mengetahui lebih jauh berbagai persoalan yang terjadi selama program Rehabilitasi Sosial berlangsung di Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung dalam hal kegiatan, monitoring dan evaluasi serta menjelaskan efektifitas program tersebut pada masyarakat ketika mantan Narapidana telah berbaur di masyarakat. Selain itu kajian ini juga berguna sebagai penambah wawasan dan memperkaya pengetahuan tentang teori dan praktek pengembangan masyarakat, serta sebagai model pengembangan komunitas mantan narapidana di daerah lain.
TINJAUAN TEORITIS
Pada bab ini, penulis akan menjelaskan beberapa teori penting yang berkaitan dengan topik yang penulis angkat yaitu pemberdayaan mantan narapidana. Yang mana teori-teori tersebut dapat menunjang inspirasi penulis dalam melakukan suatu kajian dan perancangan program yang telah ada menjadi suatu program yang lebih baik. Teori-teori tersebut adalah teori pemasyarakatan, yaitu menjelaskan suatu sistem kepenjaraan yang berlaku di negara Indonesia, teori kriminologi yang menjelaskan pengertian dan aspek-aspek kriminalitas dan yang terakhir teori pemberdayaan termasuk teori mantan narapidana itu sendiri.
Tinjauan tentang Pemasyarakatan Kegiatan yang menyerupai kegiatan BAPAS sekarang ini telah ada sejak tahun 1927 pada masa penjajahan Belanda, dilaksanakan oleh suatu badan yang disebut ”Reclassering”. Badan ini tidak berdiri sendiri, namun menjadi satu dengan jawatan kepenjaraan yang disebut ”Diesnt voor de Reclassering”, yang mengkoordinir Reclassering di kota-kota besar di Indonesia seperti Surabaya, Jogya, Medan dan Bandung. Usaha pengembangan kegiatan Reclassering yang ada sejak tahun 1927 dengan ordonansi tahun 1926 Stbl. No. 251 pelaksanaannya kurang efektif karena dilaksanakan sambil lalu, sederhana dan hanya ditujukan pada orang-orang Belanda dan peranakan Belanda saja. Hal ini diakibatkan karena sangat sulit mencari tenaga pelaksana, dan mahalnya biaya operasional maka lama kelamaan kegiatan Reclassering ini semakin tersendat-sendat dan akhirnya hilang sama sekali. Pengintegrasian kembali Narapidana ke dalam masyarakat harus dilakukan lewat tahapan self realisation process, yaitu satu proses yang memperhatikan dengan seksama pengalaman, nilai-nilai, pengharapan dan cita-cita narapidana, termasuk di dalamnya latar belakang budayanya, kelembagaannya dan kondisi masyarakat dari mana ia berasal. Proses pengintegrasian ini dilakukan dengan mengkombinasikan program-program pelatihan dan bimbingan keterampilan bagi mantan Narapidana di Balai Pemasyarakatan dengan pemahaman nilai dan norma
dimasyarakat. Setelah pembekalan pelatihan dan keterampilan, maka mental mantan Narapidana akan lebih siap untuk berbaur dimasyarakat tanpa merasa takut akan keterasingan dan ekses negatif dari masyarakat. Dari musyawarah Dinas Kepenjaraan se – Indonesia pada tahun 1964 di Lembang Kabupaten Bandung, sistem kepenjaraan diubah menjadi sistem pemasyarakatan, dan ini merupakan iklim baru tumbuhnya kembali Reclassering sistem pemasyarakatan yang dianut sampai sekarang ini dengan menggunakan metode pendekatan baru yang menempatkan terpidana sebagai manusia yang harus tetap dihargai harkat dan martabatnya sesuai dengan falsafah Pancasila. Perlakuan terhadap narapidana ditujukan untuk melahirkan sikap sadar, insaf dan tertib dalam hidup bermasyarakat. Pembinaan yang dilaksanakan terhadap Narapidana tidak cukup diberikan didalam Lembaga Pemasyarakatan saja, tetapi juga diperlukan pembinaan diluar Lembaga Pemasyarakatan, maka lahirlah Keputusan
Presiden
Kabinet
Ampera
tanggal
3
Nopember
Nomor
75/4/Kep/11/1966 tentang Struktur Organisasi dan Pembagian Tugas Departemen yang didalamnya terdapat Direktorat Balai BISPA (Bimbingan dan Pengentasan Anak) yang berada dibawah Direktorat Tuna Warga yang sekarang berubah menjadi Balai Pemasyarakatan dibawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Dalam pelaksanaannya, sistem Pemasyarakatan memberikan pembinaan terhadap pelanggar hukum, yaitu mereka yang telah mendapat putusan (vonnis) ataupun tindakan (beschikking) hakim dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, termasuk pula para tahanan yang tidak hanya memerlukan perawatan fisik tetapi juga diperlukan suatu penyajian data sosial yang disebut case study untuk kepentingan sidang peradilan maupun rehabilitasi sosial. Case Study ini merupakan suatu metode penelitian yang ‘khusus’ dan penting untuk dilakukan oleh para petugas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, khususnya para pekerja sosial yang disebut dengan istilah Pembimbing Kemasyarakatan. Dengan demikian Pembimbing Kemasyarakatan (Pekerja Sosial) di Balai Pemasyarakatan mempunyai tanggungjawab terhadap dirinya sendiri, klien pemasyarakatan, badan sosial, masyarakat dan profesinya. Dalam usaha mempertanggungjawabkan segala tindakan profesionalnya, pekerja sosial mempunyai tugas mengkomunikasikan antara klien dengan lembaga melalui
pencatatan atau record. Dari pencatatan inilah pekerja sosial menerapkannya pada praktek rehabiliasi sosial, administrasi, supervisi, belajar–mengajar dan penelitian. Tahap atau proses seseorang mulai dari masa penahanan, masa pidana sampai masa pembimbingan telah diatur secara prosedural (lihat Lampiran-1). Seseorang mulai menjalani masa tahanannya ketika digugat di Pengadilan Negeri sampai vonis diputuskan, selanjutnya setelah putusan vonis diterima barulah orang tersebut berstatus sebagai Narapidana. Dalam status Narapidana, seseorang akan diberikan berbagai jenis pembinaan sesuai dengan masa pidana yang telah dijalankan, dan berhak untuk mendapatkan remisi serta proses asimilasi yang akan meringankan masa pidananya tersebut. Tinjauan tentang Kriminologi Kriminologi berasal dari kata crime dan logos. Crime artinya kejahatan, logos artinya ilmu pengetahuan. Kriminologi dapat diartikan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan. Terdapat berbarapa definisi kriminologi menurut beberapa ahli (dalam Mulyadi, 2007), seperti yang dikemukanan oleh WA Bonger yang mendefinisikan bahwa kriminologi merupakan suatu ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk menyelidiki gejala-gejala kejahatan yang seluas-luasnya, sedangkan pendapat dari Thorsten Sellin mendefinisikan bahwa kriminologi merupakan suatu ilmu tentang penjahat dan cara menanggulanginya (treatment). Lain halnya dengan pendapat Sutherland yang menyatakan bahwa kriminologi merupakan keseluruhan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat dalam menanggapi cara atau proses membuat undang-undang, menanggapi pelanggaran terhadap undang-undang, dan reaksi-reaksi terhadap pelanggaran. Selanjutnya J. Constant menyatakan bahwa kriminologi merupakan suatu ilmu pengetahuan yang bertujuan menentukan faktor-faktor yang menjadi sebab musabab terjadinya suatu kejahatan dan penjahat. Sedangkan penologi merupakan bagian dari ilmu pengetahuan kriminologi yang mempelajari dasar-dasar pelaksanaan pemberian hukuman (dengan perkembangan sistem dan tujuannya) dan pengelolaan urusan kepenjaraan
(correctional). Kejahatan atau kriminalitas, dapat ditinjau dalam beberapa aspek yang antara lain : a. Aspek yuridis jika seseorang melanggar peraturan atau undang-undang pidana dan Ia dinyatakan bersalah oleh pengadilan serta dijatuhi hukuman. Dalam hal ini, jika seseorang belum dijatuhi hukuman berarti orang tersebut belum dianggap sebagai penjahat. b. Aspek sosial jika seseorang mengalami kegagalan dalam menyesuaikan diri atau berbuat menyimpang dengan sadar atau tidak sadar dari norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat sehingga perbuatannya tidak dapat dibenarkan oleh masyarakat yang bersangkutan. c. Aspek ekonomi jika seseorang atau lebih dianggap merugikan orang lain dengan
membebankan
kepentingan
ekonominya
kepada
masyarakat
sekelilingnya sehingga ia dianggap sebagai penghambat atas kebahagiaan pihak lain. Faktor-faktor penyebab terjadinya tindak kejahatan menurut beberapa ahli (dalam Mulyadi, 2007) adalah sebagai berikut : Plato
: Kekayaan yang berlimpah dan kemiskinan adalah bahaya untuk moral dan kesusilaan.
Bonger
: Pengaruh dasar sistem kapitalisme sebagai penyebab kejahatan.
Sutherland
: Berakar pada organisasi masyarakat dan adalah suatu ekspresi atau pencerminan organisasi masyarakat itu sendiri.
William Healy : Konflik jiwa sebagai sumber kejahatan. Mashab Perancis : Kejahatan timbul dari faktor kemasyarakatan, iklim dan sosial.
Menurut jenis temperament, pelaku kejahatan dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu : a. Kelompok yang bersifat primary, pada umumnya mereka sangat impulsif, reaksinya cepat dan amat peka terhadap penghinaan-penghinaan. Mereka sering tidak bisa menahan diri terhadap gejolak jiwa dan keinginan-keinginan yang mendadak. Amat sukar menyesuaikan diri dengan pekerjaan yang rutin atau menjemukan, oleh karena itu mereka sering berganti pekerjaan. Mereka selalu merasa kosong hati, lalu cenderung mencari perangsang-perangsang
yang kuat seperti meminum minuman keras, berjudi dan melakukan perbuatan-perbuatan yang banyak mengambil resiko dan berbahaya. b. Kelompok egoistical, mempunyai kecenderungan egoistis yang hebat, mereka merupakan kelompok penjahat yang kejam, kepala dingin dan melakukan kemaksiatan dengan dingin (cold blooded) dengan dipikir dan dirancang terlebih dahulu. c. Kelompok sentimentality, memiliki kecenderungan yang altruistis, kerena perasaan yang meluap-luap dan motif-motif yang emosional mereka melakukan kemaksiatan dan pembunuhan. Misalnya membunuh keluarga, anak dan isterinya sendiri, karena cita-cita hendak membebaskan keluarganya dari kemiskinan atau kehancuran mengancam diri mereka. Emosinya sangat besar hingga sering mereka itu sangat takut pada bayangan-bayangan dan fikirannya sendiri. Oleh aktivitas yang amat sedikit dan perasaannya yang berlebihan hal ini membuat mereka tidak pernah berani mengatasi segala kesukaran dalam hidupnya, dan tidak mampu mencari jalan keluar. Dalam keputusasaan dan kebingungannyalalu mereka melakukan kejahatan. d. Kelompok nervous, mereka sering bertingkah laku histeris, selalu gelisah dan dikejar-kejar oleh macam-macam compulsion (dorongan / paksaan). Dalam kelompok ini, termasuk pembunuh-pembunuh yang tidak mempunyai belas kasihan pada sesama mahluk hidup. Dimensi Teori Kriminologi yang Relevan dalam Perkembangan Masyarakat Istilah kriminologi pertama kali dipergunakan antropologi Prancis Paul Topiward dari kata crimen (kejahatan / penjahat) dan logos (ilmu pengetahuan). Kemudian Edwin H. Sutherland dan Donald R. Cressey menyebutkan kriminologi sebagai ”......the body of knowledge regarding deliquency and crime as social phenomenon. It includes within its scope the process of making law, the breaking of laws, and reacting toward the breaking of laws……” Melalui statement / pernyataan tersebut tersebut maka kriminologi diorientasikan pada :
Pertama, perbuatan hukum yang dapat meliputi telaah konsep kejahatan, siapa pembuat hukum dengan faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pembuatan hukum. Kedua, pelanggaran hukum yang dapat meliputi siapa pelakunya, mengapa sampai
terjadi
pelanggaran
hukum
tersebut
serta
faktor-faktor
yang
mempengaruhinya. Ketiga, reaksi terhadap pelanggaran hukum melalui proses peradilan pidana dan reaksi masyarakat. Kemudian dalam perkembangannya, guna membahas dimensi kejahatan / penjahat, dikenal teori-teori kriminologi. Menurut Williams III dan Marilyn Mc Shane (1988) (dalam Mulyadi, 2007), teori itu diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu : Pertama, golongan teori abstrak atau teori-teori makro (macro theories). Pada asalnya, teori-teori dalam klasifikasi ini mendeskripsikan korelasi antara kejahatan dengan struktur masyarakat. Termasuk ke dalam macrotheories ini adalah teori Anomi dan teori Konflik. Kedua, teori-teori mikro (microtheories) yang bersifat lebih konkret. Teori ini ingin menjawab mengapa seorang / kelompok orang dalam masyarakat melakukan kejahatan atau menjadi kriminal (etiology criminal). Konkretnya, teori-teori ini lebih bertendensi pada pendekatan psikologis atau biologis. Termasuk dalam teori ini adalah Social Control Theory dan Social Learning Theory. Ketiga, Beidging Theories yang tidak termasuk ke dalam kategori teori makro / mikro dan mendeskripsikan tentang struktur sosial dan bagaimana seorang menjadi jahat. Namun
kenyataannya,
klasifikasi
teori-teori
ini
kerap
membahas
epidemiologi yang menjelaskan rates of crime dan etiologi pelaku kejahatan. Termasuk kelompok ini adalah subculture theory dan differentia opportunity theory.
Selain klasifikasi diatas, Frank P. William III dan Marilyn Mc Shane (1988) (dalam Mulyadi, 2007) juga mengklasifikasikan berbagai teori kriminologi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu : 1. Teori Klasik dan Teori Positivis Asasnya teori klasik membahas legal statues, struktur pemerintahan dan Hak Asasi Manusia (HAM). Teori positivis terfokus pada patologi kriminal, penanggulangan dan perbaikan perilaku kriminal individu. 2. Teori Struktural dan Teori Proses Teori struktural terfokus pada cara masyarakat diorganisasikan dan dampak dari tingkah laku. Teori Struktural juga lazim disebut Strain Theories karena, “Their assumption that a disorganized society strain which leads deviant behaviour”. Tegasnya, asumsi dasarnya adalah masyarakat yang menciptakan ketegangan dan dapat mengarah pada tingkah laku menyimpang. Sementara teori proses membahas, menjelaskan dan menganalisis bagaimana orang menjadi penjahat. 3. Teori Konsensus dan Teori Konflik Teori Konsensus menggunakan asumsi dasar bahwa dalam masyarakat terjadi konsensus / persetujuan sehingga terdapat nilai-nilai bersifat umum yang kemudian disepakati secara bersama. Sedangkan teori konflik mempunyai asumsi dasar yang berbeda, yaitu dalam masyarakat hanya terdapat sedikit kesepakatan dan orang-orang berpegang pada nilai pertentangan. Selain itu, sebagai perbandingan maka John Hagan (1987) (dalam Mulyadi, 2007) mengklasifikasikan teori-teori kriminologi menjadi : 1. Teori-teori under control atau teori-teori untuk mengatasi perilaku jahat seperti teori Disorganisasi Sosial, teori Netralisasi dan teori Kontrol Sosial. Pada asasnya, teori-teori ini membahas mengapa ada orang melanggar hukum, sedangkan kebanyakan orang tidak demikian. 2. Teori-teori Culture, Status dan Opportunity seperti teori Status Frustasi, teori Kultur Kelas dan teori Opportunity yang menekankan mengapa adanya sebagian kecil orang menentang aturan yang telah ditetapkan masyarakat dimana mereka tinggal / hidup.
3. Teori Over Control
yang terdiri dari teori Lalebeling, teori Konflik
Kelompok dan teori Marxis. Teori-teori ini lebih menekankan pada masalah mengapa orang bereaksi pada kejahatan. Dari klasifikasi diatas, dapat ditarik konklusi bahwa antara satu klasifikasi dengan klasifikasi yang lain tidaklah identik / sama. Aspek teoritis utama (dramatis personal) yang mencetuskannya. Selain itu, pengklasifikasian teori juga dipengaruhi adanya subyektifitas orang yang melakukan klasifikasi sehingga relatif menimbulkan dikotomi yang bersifat artifisial. Tinjauan tentang Kelompok Rentan dan Mantan Narapidana Pembangunan kesejahteraan sosial dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945, melalui redistribusi hasil-hasil pembangunan yang diwujudkan dalam kegiatan penanganan masalah-masalah sosial terutama bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS). Meskipun telah dicatat banyak keberhasilan, namun beberapa masalah masih harus mendapat perhatian. Kondisi saat ini menunjukkan bahwa ada sebagian warga negara yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasar secara mandiri dan hidup dalam kondisi kemiskinan, akibatnya mereka mengalami kesulitan dan keterbatasan kemampuan dalam mengakses berbagai sumber pelayanan sosial dasar serta tidak dapat menikmati kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dalam hal ini, bagi PMKS persoalan yang mendasar adalah tidak terpenuhinya pelayanan sosial dasar seperti kesehatan, pendidikan, sandang, pangan, papan, dan kebutuhan dasar lainnya. Selain itu, belum ada suatu sistem perlindungan dan jaminan sosial yang terintegrasi untuk melindungi dan memberikan jaminan sosial bagi seluruh penduduk terutama penduduk yang miskin dan rentan. Setiap orang yang termasuk kelompok rentan berhak mendapatkan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM lebih berkenaan dengan kekhususannya dari semua pihak, terutama negara, konkretnya pemerintahan yang menjalankan kekuasaan negara. Adapun instrumen-instrumen yang menjadi rujukan bagi penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM bagi kelompok rentan, antara lain :
a. Undang-undang Dasar 1945, b. Undang-undang Hak Asasi Manusia (UU No. 39 tahun 1999), c. Undang-undang Perlindungan Anak (UU No. 23 tahun 2002), d. Undang-undang Kesejahteraan Lanjut Usia (UU No. 13 tahun 1998), e. Undang-undang Penyandang Cacat (UU No.4 tahun 1977), f. Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU No. 23 tahun 2004), g. Undang-undang Pengadilan Anak (UU No. 3 tahun 1997), h. Undang-undang Pemasyarakatan (UU No. 121 tahun 1995), i. Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (UU No.11 tahun 2005), j. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (UU No. 7 tahun 1984), k. Konvensi Hak Anak (Keppres No. 36 tahun 1990), l. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (UU No. 29 tahun 1999), m. Konvensi ILO No. 182 tentang Larangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak (UU No. 1 tahun 2000), n. Konvensi ILO No. 111 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan (UU No. 21 tahun 1999), o. Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (Keppres No. 87 tahun 2002), p. Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak (Keppres No. 88 tahun 2002), q. Rencana Aksi Nasional HAM 2004-2009 (Keppres No. 40 tahun 2004), r. Deklarasi Universal HAM 1948, s. Deklarasi dan Program Aksi Wina 1993, t. Dan lain-lain. Undang-undang (UU) No. 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan pokok Kesejahteraan Sosial secara umum mengatur ruang lingkup tugas pemerintah dalam melaksanakan pembangunan kesejahteraan sosial dalam menentukan garis kebijakan yang diperlukan untuk memelihara, membimbing dan
meningkatkan usaha kesejahteraan sosial; memupuk, memelihara, membimbing dan meningkatkan kesadaran serta rasa tanggung jawab sosial masyarakat; serta melakukan pengamanan dan pengawasan pelaksanaan usaha-usaha kesejahteraan sosial. Usaha-usaha pemerintah di bidang kesejahteraan sosial meliputi bantuan sosial baik bagi perseorangan maupun kelompok yang mengalami kehilangan peranan sosial atau menjadi korban bencana; memelihara taraf kesejahteraan sosial melalui penyelenggaraan sistem jaminan sosial; melakukan bimbingan, pembinaan, rehabilitasi sosial termasuk penyalurannya ke dalam masyarakat bagi warga negara yang terganggu kemampuannya untuk mempertahankan hidup, terlantar atau tersesat; dan melaksanakan penyuluhan sosial untuk meningkatkan peradaban, perikemanusiaan dan kegotongroyongan. Sesuai dengan Undang-Undang tersebut, maka perlindungan sosial bertujuan
pertama,
melindungi
masyarakat
dari
penindasan,
penghisapan/eksploitasi, kemiskinan dan kehinaan, dan kedua, memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk bebas melakukan aktifitas sosial secara konstruktif, sehingga kesejahteraan individu, keluarga dan masyarakat dapat ditingkatkan. Undang-Undang tersebut juga mengatur bahwa untuk mewujudkan perlindungan sosial, upaya yang dilakukan adalah usaha kesejahteraan sosial secara profesional dengan titik sentral penerapan ilmu pekerjaan sosial (social work). Adapun esensi ilmu pekerjaan sosial adalah pengembangan komunitas (community
development)
dan
pengorganisasian
komunitas
(community
organization). Berbagai jenis kelompok rentan termasuk mantan narapidana di Indonesia, luput dari perhatian masyarakat maupun pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam menanganinya. Narapidana (napi) dan mantan napi, selama ini masih selalu diidentikkan dengan pelanggaran pidana. Kebanyakan orang tidak peduli dengan proses hukum yang sering tidak adil, bahkan tidak peduli pada kondisi di mana seseorang yang tidak bersalah namun digiring menjadi tersangka kemudian dimasukkan ke penjara. Pada bagian lain, napi sebetulnya hanyalah pelaku pelanggaran yang tertangkap (yang kemudian menjadi napi). Sedangkan pelaku pelanggaran yang tidak tertangkap, tidak menjadi napi. Hasil penelitian membuktikan (Psychology in Prisons, 1990), setiap orang pernah melakukan
pelanggaran pidana, namun hanya sebagian kecil yang tertangkap. Maka secara kualitatif, napi (dan eks napi) dengan masyarakat biasa, sebenarnya sama, yaitu pernah melakukan pelanggaran pidana. Sejarah
membuktikan,
kelompok
masyarakat
yang
merasa
perlu
memperjuangkan hak-haknya, lebih baik mendirikan wadah organisasi sendiri, agar perjuangan tetap terarah dalam konteks demokrasi. Dengan kenyataan sebagaimana dijelaskan di atas, para perwakilan napi di LP Klas I Cipinang Jakarta, bersepakat mendirikan wadah Persatuan Napi dan Mantan Napi Seluruh Indonesia (disingkat Napi Indonesia) dengan hak berserikat anggota masyarakat (termasuk napi dan mantan napi) yang dijamin oleh Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945, UU Nomor 3 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), dan UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Sipil dan Hak Politik. Dasar organisasi Napi Indonesia adalah Pancasila, UUD 1945 dan UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Hak Sosial dan Hak Politik. Misi dari pembentukan wadah persatuan napi Indonesia, adalah menggalang solidaritas untuk memperjuangkan hak-hak hukum napi. Sedangkan visinya untuk mewujudkan konsep pemasyarakatan sebagaimana yang dicetuskan Menteri Kehakiman DR. Sahardjo, SH di Blitar pada tanggal 12 Januari 1962, dan sebagaimana yang dibahas dalam Konferensi Dinas Direktorat Pemasyarakatan yang pertama di Lembang, Bandung pada tanggal 27 April 1964, sebagai konsep yang menggantikan “boei” peninggalan kolonial Belanda menjadi konsep dengan sepuluh prinsip pemasyarakatan, sebagai berikut : 1. Pengayoman, dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang baik dan berguna dalam masyarakat. 2. Menjatuhi pidana bukan tindakan balas dendam dari negara. 3. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan. 4. Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk/lebih jahat daripada sebelum ia masuk lembaga. 5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat.
6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu, atau hanya diperuntukkan kepentingan jawatan atau kepentingan Negara sewaktu-waktu saja. 7. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan Pancasila. 8. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia, meskipun ia telah tersesat. 9. Narapidana hanya dijatuhi pidana kehilangan kemerdekaan sebagai satusatunya derita yang dapat dialami. 10. Yang menjadi hambatan untuk melaksanakan Sistem Pemasyarakatan, ialah warisan rumah-rumah penjara yang keadaannya menyedihkan, yang sukar untuk disesuaikan dengan tugas Pemasyarakatan, yang letaknya di tengahtengah kota dengan tembok yang tinggi dan tebal. Dengan semakin banyaknya produk hukum sekitar pemasyarakatan, maka perwakilan napi Klas I Cipinang Jakarta bersepakat untuk menunjuk dan memberi kuasa kepada Prof. Dr. Rahardi Ramelan dan Ir. Sussongko Sahardjo, MSc, MPA, Ph.D untuk mewakili Napi Indonesia dalam berhubungan dengan pihak mana pun, secara lisan maupun secara tertulis dalam rangka memperjuangkan hak-hak napi, Deklarasi ini ditandatangani di LP Klas I Cipinang Jakarta, Minggu 17 September 2006 dengan susunan sebagai berikut : Juru Bicara NAPI
: Prof Dr Rahardi Ramelan
Sekretaris Jenderal
: Ir Sussongko Sahardjo MSc, MPA, PhD
Anggota-anggota
: Eurico Gueteres Adrian H. Waworuntu Aprila Widharta Sihol Manulang
Dari berbagai penelitian ditemukan bahwa tidak ada satu orangpun yang belum pernah melakukan perbuatan dosa dan kesalahan, termasuk pelanggaran hukum pidana. Namun demikian sebagian besar dari warga masyarakat tersebut beruntung karena tindakan kesalahan atau pelanggaran hukumnya tidak pernah diketahui oleh sistem peradilan pidana. Hanya sebagian kecil saja warga masyarakat yang tidak beruntung, yang ketika melakukan pelanggaran hukum
pidana diketahui oleh sistem peradilan pidana dan tidak mampu menghindari hukuman. Mereka ini terpaksa menjalani hukuman dan diberi label narapidana. Penghukuman pidana pada dasarnya adalah suatu bentuk penebusan kesalahan yang pernah dilakukan oleh seseorang. Ia seperti tindakan membayar hutang kepada pemberi hutang. Oleh karena itu ketika seseorang narapidana telah selesai menjalani hukuman, ia harus diperlakukan sebagai orang yang merdeka seperti pembayar hutang yang telah melunasi hutangnya. Apabila mantan napi tidak diperlakukan secara adil sebagai warga masyarakat biasa yang telah menebus kesalahan, maka akibat yang paling buruk adalah mereka akan mengulangi kembali tindakan pelanggaran hukumnya. Pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pelanggar hukum sesungguhnya mempunyai beberapa ciri, bukan ciri tunggal penjahat. Penjahat dalam hal ini bukan kategori hukum, tetapi kategori sosial yaitu orang yang pola tingkah lakunya cenderung melanggar hukum pidana. Pelanggaran hukum pidana telah menjadi pilihan utama dalam bertingkah laku. Dengan dasar pengertian ini tipologi pelanggar hukum meliputi : 1. Pelanggar hukum situasional. 2. Pelanggar hukum yang lalai. 3. Pelanggar hukum yang tidak sengaja melakukan pelanggaran. 4. Pelanggar hukum yang sakit. 5. Pelanggar hukum berulang atau residivis. Tipologi pelanggar hukum tersebut seperti status penyakit yang diderita orang. Ada penyakit yang tidak perlu dirawat karena akan sembuh sendiri. Ada penyakit yang perlu perawatan cukup sekali saja. Ada penyakit yang perlu perawatan jalan. Ada penyakit yang memerlukan perawatan inap. Dan ada penyakit yang tak tersembuhkan. Dengan demikian perlakuan terhadap mantan napi, dengan analogi penyakit tersebut, tidak dapat dilakukan secara bersamaan dalam keadaan apapun. Sebagian besar dari pelaku pelanggaran hukum sesungguhnya hanyalah orang-orang yang secara situasional (dalam keadaan khusus) melakukan pelanggaran hukum, dan kemungkinan pengulangan pelanggarannya kecil.
Demikian juga banyak orang yang melakukan pelanggaran hukum secara tidak sengaja atau karena lalai. Dalam keadaan sakit (jiwa) orang tidak menyadari apa yang dilakukan ketika melakukan tindakan pelanggaran hukum pidana. Orang menjadi pelaku pelanggaran berulang melalui suatu proses yang panjang, termasuk memahirkan tindakan pelanggaran ketika berada di dalam lembaga penghukuman (penjara) dan penolakan masyarakat untuk berintegrasi kembali dengan masyarakat sebagai habitat hidup manusia. Pada tahap tertentu, pelaku pelanggaran ulang mampu menghentikan kecenderungan pelanggarannya. Suatu penelitian melaporkan bahwa pada umumnya orang akan menghentikan kecenderungan melakukan pelanggaran hukum secara berulang ketika mencapai usia lanjut. Kecenderungan
memperlakukan
pelanggar
hukum
secara
represif
mencerminkan bahwa masyarakat yang bersangkutan lebih dekat dengan ciri masyarakat primitif. Masyarakat modern cenderung menerapkan sanksi pidana terhadap pelaku pelanggaran hukum secara restitusif, yaitu memulihkan hubungan. Dalam dalil evolusi penghukuman dirumuskan bahwa semakin dekat tipe masyarakat ke pada masyarakat primitif, dan semakin absolut kekuasaan pusat dilakukan, intensitas hukuman semakin tinggi, perumusan lainnya adalah perampasan kemerdekaan yang lamanya berbeda tergantung dari keseriusan kejahatannya, cenderung menjadi alat pengendalian sosial yang normal. Sehingga dapat dikatakan bahwa perlakuan tidak adil terhadap mantan napi menunjukkan bahwa masyarakat dan kekuasaan pusat (struktur sosial poilitik) yang cenderung absolut merupakan ciri masyarakat primitif. Padahal sesungguhnya ciri umum masyarakat Indonesia yang merupakan bangsa timur, dalam menyikapi pelanggaran hukum pidana cenderung mencari solusi perdamaian atau pemulihan hubungan antara pelaku dengan korban dan masyarakat. Pelanggaran hukum pidana dilihat tidak semata-mata sebagai konflik antar pribadi (micro cosmos), tetapi merupakan keadaan yang dapat mengganggu kestabilan alam semesta (macro cosmos). Oleh sebab itu ketidakseimbangan yang dihasilkan harus disikapi dengan mengembalikan kestabilan hubungan para pihak yang berkonflik. Filosofi penghukuman bangsa-bangsa timur ini telah digali oleh ilmuwan barat John Braithwaite menjadi konsep restorative justice.
Restorative justice adalah cara penyelesaian konflik pidana melalui cara-cara informal yang dilakukan oleh komunitas dengan tujuan memulihkan hubungan antara pelaku dengan korbannya dan yang direstui oleh masyarakat, dengan tetap menyatakan bahwa pelanggaran hukum adalah tindakan yang tidak benar. Melalui mekanisme ini diberikan upacara untuk menyatakan bahwa pelanggaran hukum adalah salah, tetapi melalui proses restorasi, pelanggar hukum diterima kembali menjadi warga masyarakat. Kerangka Pemikiran Narapidana adalah manusia biasa yang kebetulan salah arah dalam perjalanan hidupnya, mereka memiliki Hak Asasi Manusia dan hak-hak mereka dilindungi oleh Hukum. Meskipun mereka telah tersesat, tidak layak ditunjukkan pada narapidana bahwa mereka itu penjahat, sebaliknya, mereka harus selalu merasa bahwa mereka dipandang dan diperlakukan sebagai manusia. Oleh sebab itu upaya pemberdayaan dilakukan untuk memulihkan rasa percaya diri dan keyakinan mereka bahwa mereka dapat berkontribusi dalam lingkungan masyarakatnya. Pemberdayaan dilaksanakan dengan bertolak dari situasi ketidakberdayaan yang dialami oleh klien baik secara perorangan, kelompok maupun komunitas. Ife, (1995), mengemukakan “empowerment aims to increase the power of disadvantage”, yang berarti pemberdayaan itu dilakukan untuk memberikan atau meningkatkan kekuatan / kemampuan kepada masyarakat lemah atau tidak beruntung. Ife selanjutnya membagi kelompok-kelompok yang tidak beruntung kedalam tiga kelompok, sebagai berikut : 1. Kelompok lemah secara struktural (primary structural disadvantage groups), yaitu
mereka
yang
tidak
beruntung
akibat
tekanan-tekanan
ketidakberuntungan struktural terutama terkait dengan kelas, gender dan etnis yang meliputi orang miskin, pengangguran, wanita, masyarakat lokal dan kelompok minoritas, 2. Kelompok lemah khusus (other disadvantage groups), yaitu manula, anak dan remaja, penyandang cacat (fisik, mental), gay, lesbian, suku terasing. Mereka ada bukan akibat dari tekanan ketidakberuntungan struktur, namun perlu dipertimbangkan dalam program pemberdayaan komunitas.
3. Kelompok lemah secara personal (the personally disadvantaged), yaitu kelompok masyarakat yang menjadi tidak beruntung sebagai hasil dari siklus personal yang meliputi mereka yang mengalami masalah pribadi, keluarga dan krisis identitas. Sedangkan menurut Usman (2004), pemberdayaan masyarakat adalah sebuah proses dalam bingkai usaha memperkuat apa yang lazim disebut community self reliance atau kemandirian. Dalam proses ini masyarakat didampingi untuk membuat analisis masalah yang dihadapi, dibantu untuk menemukan alternatif solusi masalah tersebut, serta diperlihatkan strategi memanfaatkan berbagai resources yang dimiliki dan dikuasai. Beragam definisi pemberdayaan tersebut menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu bermasalah dalam hubungan sosial dengan masyarakat dan hukum. Sebagai tujuan, pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu mantan Narapidana yang berdaya, memiliki keterampilan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi maupun sosial seperti memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Pengertian pemberdayaan sebagai tujuan dan proses inilah yang seringkali digunakan sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan, sehingga, pendekatan pemberdayaan masyarakat titik beratnya adalah penekanan pada pentingnya masyarakat lokal yang mandiri sebagai suatu sistem yang mengorganisir diri mereka sendiri. Pendekatan pemberdayaan masyarakat yang demikian diharapkan dapat memberi peranan kepada individu bukan sebagai obyek, tetapi justru sebagai subyek pelaku pembangunan yang ikut menentukan masa depan dan kehidupan masyarakat secara umum (Setiana, 2005). Dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat yang dikemukakan Setiana, 2005 maka penulis melakukan perancangan strategi pemberdayaan yang dituangkan kedalam diagram kerangka pemikiran yang merupakan pengembangan
pemberdayaan masyarakat, khususnya pemberdayaan mantan narapidana yang dibina di Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung (dapat dilihat pada Gambar 2). Gambar 2 Kerangka Pemikiran
Faktor Penghambat: 1. Kurangnya sarana dan prasarana, 2. Keterbatasan Modal, 3. Penerapan manajemen program Rehabilitasi Sosial kurang optimal,
Strategi Pengembangan:
Indikator Keberhasilan:
Jumlah layanan pendidikan dan keterampilan yang berjalan optimal,
Layanan pendidikan dan keterampilan dapat dikembangkan dalam lingkup ekonomi lokal,
Peningkatan sarana dan prasarana, Pembiayaan pemerintah dan peningkatan stakeholder,
Narapidana & Anak Pidana
Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung
Faktor Pendukung : 1. UU/Kepmen Kehakiman/Orta BAPAS, 2. Stakeholders, 3. Modal Sosial, 4. Nilai dan Budaya Lokal, 5. Potensi Lokal
Meningkatkan peranserta aktifkreatif pembimbing kemasyarakatan dan klien pemasyarakatan
Tercukupinya sarana, prasarana dan pembiayaan yang mendukung program Rehabilitasi Sosial di Balai Pemasyarakatan, Terciptanya jaringan informasi dan kemitraan.
Output Keberdayaan : Keberdayaan Mantan Narapidana : 1. Mampu meningkatkan potensi diri, 2. Dapat membentuk karakter / sifat kearah yang lebih baik, 3. Mampu membuka lapangan usaha baru skala kecil dan menengah, 4. Dapat ikut berperan serta dalam pelaksanaan program rehabilitasi sosial.
METODE KAJIAN Pendekatan dan Tipe Kajian Pendekatan dan tipe kajian yang digunakan untuk memperoleh gambaran secara komprehensif berkaitan dengan fenomena-fenomena yang ada dan merupakan studi kasus tentang perilaku warga mantan narapidana serta kegiatan dan keterampilan yang dilakukannya setelah selesai menjalankan masa pidananya, dengan menggunakan : 1. Tipe Kajian terapan deskriptif, yaitu berupa uraian suatu kejadian atau gejala sosial secara lengkap, rinci dan mendalam yang berkaitan dengan masalah yang dipertanyakan dalam kajian, 2. Pendekatan kajian bersifat obyektif-subyektif mikro, yaitu berupaya membahas pola-pola perilaku, tindakan dan interaksi sosial, persepsi dan keyakinan terhadap suatu realitas sosial melalui interaksi langsung antara peneliti dan yang diteliti. Lokasi dan Waktu Praktek Kajian Pengembangan Masyarakat Lokasi praktek lapangan terletak di Balai Pemasyarakatan Klas I Kota Bandung, Propinsi Jawa Barat. Alasan pemilihan komunitas tersebut karena Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung merupakan salah satu Lembaga Pemerintahan yang
menyelenggarakan
program
Rehabilitasi
Sosial
terhadap
mantan
Narapidana, sehingga proses pengumpulan data terfokus pada komunitas Mantan Narapidana yang sedang menjalani program Rehabilitasi Sosial yang berdomisili diberbagai Kelurahan se-Kota Bandung. Praktek Lapangan dilaksanakan selama empat bulan efektif dimulai dari tanggal 8 Agustus 2007. Kegiatan yang dilakukan mulai dari persiapan sampai dengan pembuatan laporan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Jadwal Pelaksanaan Praktek Kajian Pengembangan Masyarakat Kegiatan
Tahun 2007 Agustus September Oktober Nopember Desember 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Kolokium Perbaikan Kolokium Pelaksanaan Lapangan Penulisan Laporan Akhir Ujian Seminar
Pebruari 2008
Metode Pengumpulan Data Dalam mengumpulkan data, metode yang digunakan adalah: 1. Pengamatan berperan serta, dengan tujuan untuk memaknai Program Rehabilitasi Sosial terhadap mantan Narapidana. 2. Wawancara mendalam, dengan tujuan untuk mendalami pandangan pihakpihak yang terkait dengan Program Rehabilitasi Sosial terhadap mantan Narapidana. 3. Wawancara kelompok, merupakan proses komunikasi dua arah antara kelompok (klien pemasyarakatan) dengan fasilitator. Tujuannya untuk memperoleh informasi umum atau mengecek informasi yang telah diperoleh dari pihak lain. 4. Studi arsip/dokumentasi, dengan mempelajari arsip-arsip atau dokumendokumen mengenai Program Rehabilitasi Sosial terhadap mantan Narapidana di Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung. 5. Focus Group Discussion (FGD), yaitu membentuk suatu kelompok diskusi dengan melibatkan seluruh elemen yang diperlukan dalam merumuskan suatu strategi pengembangan program.
Tabel 3 Matriks Pengumpulan Data
No.
Tujuan
Aspek
Indikator
Sumber Data
Teknik
1
2
3
4
5
6
1.
2.
Pedoman peraturan • Buku himpunan Mengetahui program (i) Petunjuk pelaksanaan dan perundangRehabilitasi Sosial peraturan Petunjuk teknis undangan tentang bagi mantan perundangPemasyarakatan. Balai Narapidana, yang undangan tentang Pemasyarakatan. diberikan di Balai Pemasyarakatan. Pemasyarakatan Klas I Balai • Pembimbing (ii) Bidang tugas Profil Bandung Pemasyarakatan Pembimbing Kemasyarakatan, Klas I Bandung Kemasyarakatan Staf dan Pejabat dan Petugas Balai Struktural Balai Pemasyarakatan. Pemasyarakatan Mengetahui keberhasilan program Rehabilitasi Sosial yang didapat oleh Mantan Narapidana di Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung terhadap penerapannya di Masyarakat
(i) Jenis dan jumlah Pendidikan • Klien dan keterampilan yang (education) Pemasyarakatan, Keterampilan (skill) • Pembimbing terlaksana, Kemasyarakatan, dan • Pejabat struktural (ii) Koordinasi dengan Kerjasama antar stakeholder lokal Kemitraan pada Balai instansi & swasta maupun swasta, Pemasyarakatan Klas I Bandung Daya (iii) Kualitas instruktur/ Sumber Manusia (SDM). Pembimbing Kemasyarakatan.
• Observasi, • Wawancara mendalam,
Instrumen 7
Pedoman observasi dan wawancara.
• Studi arsip / dokumentasi
• Wawancara kelompok, • Wawancara mendalam.
•
Pencatatan,
•
Pedoman wawancara.
3.
4.
(i) Motivasi Klien Mengetahui berbagai Pemasyarakatan / faktor hambatan dan mantan masalahan yang terjadi Narapidana, dalam program Rehabilitasi Sosial dan serta penerapannya di (ii) Sarana Prasarana, masyarakat
Mendesain strategi pemberdayaan dan pengembangan program Rehabilitasi Sosial, agar semakin efektif dan optimal di masa yang akan datang
(iii) Kualitas instruktur / Pembimbing Kemasyarakatan, (iv) Koordinasi dengan stakeholder lokal maupun swasta (i) Pendidikan dan Keterampilan yang partisipatif, (ii) Jaringan kemitraan antar instansi dan swasta, (iii) Peningkatan kualitas (Pembimbing Kemasyarakatan), (iv) Partisipasi Klien Pemasyarakatan dan Masyarakat.
Kemampuan, • Klien minat dan usaha Pemasyarakatan / Mantan Material alat Narapidana, dan bahan, serta ruang • Pembimbing keterampilan, Kemasyarakatan, SDM dan • Masyarakat. profesionalitas,
• Wawancara kelompok,
•
Pencatatan,
•
Pedoman wawancara,
•
Kelompok & Fasilitator.
• Observasi,
•
Pedoman Observasi
• Wawancara Kelompok
•
Pencatatan,
•
Kelompok & Fasilitator.
• Wawancara mendalam, • Focus Group Discussion (FGD).
Kerjasama yang bersinergi. • Klien Pemasyarakatan, Kerjasama yang • Kepala Balai sinergis, Pemasyarakatan, • Tokoh masyarakat, SDM, • Pengurus kelembagaan Masukan dari lokal & swasta Klien yang menjadi Pemasyarakatan stakeholder. dan masyarakat. SDM
• Focus Group Discussion (FGD).
Analisis dan Pengolahan Data Analisis dan pengolahan data dilakukan secara terus menerus selama praktek kajian pengembangan masyarakat berlangsung, dengan tahapan : 1. Reduksi data, yaitu melakukan pengkategorian data. Kegiatan dalam reduksi data meliputi pemilihan, pengklasifikasian dan penyederhanaan data. Pemilihan Data Penulis melakukan wawancara terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam program rehabilitasi sosial (petugas BAPAS dan mantan narapidana yang sedang dibina di BAPAS tersebut). Selain itu penulis mengumpulkan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan penyusan Kajian Pengembangan Masyarakat untuk selanjutnya di rangkum menjadi suatu kalimat analisis. Pengklasifikasian Dari hasil pengumpulan dan pemilihan data yang didapat dilapangan, penulis mengklasifikasikannya kedalam beberapa kategori yaitu pemetaan sosial, tinjauan program, analisis situasi dan permasalahan, dan perancangan program pengembangan masyarakat. Penyederhanaan Data yang diklasifikasi, tentunya tidak langsung disalin kedalam kategori tersebut, namun terlebih dahulu dilakukan penyederhaan data yang mudah untuk dibaca dan dimengerti. Sehingga dari hasil penyederhanaan data tersebut dapat ditarik kedalam kesimpulan dan dicari saran / rekomendasi yang tepat terhadap data-data yang telah dikumpulkan. 2. Penyajian data, yaitu mengkonstruksikan data dalam bentuk narasi dan grafik atau bagan, sehingga mempermudah dalam analisa masalah. Data yang telah dikategorikan bersama disajikan dalam bentuk bagan dalam diskusi kelompok. Data yang didapat dilapangan, sebagian besar dalam bentuk narasi. Penulis melakukan pengkategorian yang tepat untuk disajikan dalam kelompok kategori yang ada, sehingga data-data dalam bentuk narasi / numerik penulis sajikan kedalam gambar diagram, grafik maupun tabel. 3. Penarikan kesimpulan, yaitu menghubungkan suatu masalah dengan permasalahan yang lain secara kualitatif melalui diskusi, sehingga ditemukan permasalahan yang sesuai dengan kondisi yang ada.
Alur penarikan kesimpulan dimulai dari analisis permasalahan dalam pelaksanaan program Rehabilitasi Sosial pada Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung, faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan program, serta hambatan yang dihadapi anggota / klien pemasyarakatan dalam mengembangkan usaha ekonomi produktifnya setelah mendapat keterampilan dan pengalaman usaha di Balai Pemasyarakatan. Rancangan Penyusunan Program Penyusunan strategi dan rencana aksi program pengembangan masyarakat dilaksanakan secara partisipatif, dengan menggunakan metode PRA yaitu dengan mengikut sertakan masyarakat secara bersama mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan sampai dengan evaluasi. Dengan demikian maka dalam hal ini masyarakat diposisikan sebagai ; pengupaya, penilai dan merasakan hasil program tersebut. Tahapan-tahapan penyusunan program, sebagai berikut : 1.
Identifikasi
partisipan,
meliputi
:
Petugas
BAPAS,
Pembimbing
Kemasyarakatan, para Pimpinan BAPAS sebagai penanggung jawab dan Klien Pemasyarakatan / Mantan Narapidana sebagai warga belajar, 2.
Penentuan masalah yang mencakup minat dan motivasi warga belajar, sarana dan prasarana, penyaluran dan mengidentifikasikan kebutuhan. Selain itu penyusunan rencana pemecahan masalah secara partisipatif dengan menyelenggarakan diskusi dengan responden dan informan,
3.
Pengembangan program Rehabilitasi Sosial yang diharapkan : ♦ Peningkatan layanan pendidikan dan keterampilan yang efektif dan berjalanan optimal, ♦ Perluasan jaringan koordinasi dan kerjasama dengan kelembagaan lokal, ♦ Peningkatan kualitas pengurus dan pembimbing.
4.
Monitoring dan Evaluasi Monitoring dan evaluasi melibatkan petugas / pengurus, pembimbing dan segenap pimpinan pada Balai Pemasyarakatan untuk melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap kegiatan Rehabilitasi Sosial serta penilaian terhadap pencapaian tujuan-tujuan yang telah dicapai.
PETA SOSIAL KOTA BANDUNG Keadaan Umum Lokasi Kota Bandung terletak di wilayah Jawa Barat dan merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak diantara 1070 361 Bujur Timur dan 60 551 Lintang Selatan. Lokasi Kota Bandung cukup strategis, dilihat dari segi komunikasi dan perekonomian. Hal tersebut karena Kota Bandung terletak pada pertemuan poros jalan, yaitu : a. Barat-Timur yang memudahkan hubungan dengan Ibukota Negara, b. Utara-Selatan yang memudahkan lalu lintas ke daerah perkebunan (Subang dan Pangalengan). Secara topografi Kota Bandung terletak pada ketinggian 791 Meter diatas permukaan laut (dpl), titik tertinggi di daerah Utara dengan ketinggian 1.050 Meter dan terendah di sebelah Selatan 675 Meter diatas permukaan laut. Di Wilayah Kota Bandung bagian selatan sampai lajur lintasan kereta api, permukaan tanah relatif datar sedangkan di wilayah kota bagian Utara berbukit-bukit. Dari wilayah perbukitan Bandung Utara inilah orang dapat menyaksikan bentuk dan panorama keseluruhan Kota Bandung. Keadaan geologis dan tanah yang ada di Kota Bandung dan sekitarnya lapisan alluvial hasil letusan Gunung Tangkuban Perahu. Jenis material dibagian utara umumnya merupakan jenis andosol, dibagian selatan serta dibagian timur terdiri atas sebaran jenis alluvial kelabu dengan bahan endapan liat. Di bagian tengah dan barat tersebar jenis tanah andosol. Iklim asli Kota Bandung dipengaruhi oleh pegunungan di sekitarnya sehingga cuaca yang terbentuk sejuk dan lembab. Namun beberapa waktu belakangan ini temperatur rata-rata Kota Bandung meningkat tajam, hingga pernah mencapai 34,20 C yaitu pada tanggal 26 Nopember 2006. Hal tersebut diduga terutama disebabkan oleh polusi udara akibat kendaraan bermotor. Walaupun demikian curah hujan di Kota Bandung masih cukup tinggi. Sejak dibentuknya Kota Bandung menjadi suatu daerah Otonom
pada
tanggal 1 April 1906, Kota Bandung telah beberapa kali mengalami perluasan permukaan wilayah daerahnya, yaitu sebagai berikut :
1. Tahun 1906 – 1917 Pada hari pembentukan Kota Bandung menjadi daerah otonom tanggal 1 April 1906 mempunyai luas 1.922 Ha. 2. Tahun 1917 – 1942 Sejak tanggal 12 Oktober 1917 daerah Kota Bandung telah diperluas menjadi 2.871 Ha. 3. Jaman Pendudukan Pemerintahan Belanda Rencana Karsten belum seluruhnya dilaksanakan. Pada jaman pendudukan Jepang (1942 – 1945) pernah beberapa kali diadakan perubahan luas daerah berupa pergeseran batas kota dengan cara memasukan desa-desa dari Kabupaten Bandung dimana pada akhir jaman pendudukan Jepang luas daerah Kota Bandung 5.413 Ha. 4. Jaman Negara Pasundan Tahun 1949 secara resmi Kota Bandung mengalami perluasan menjadi 8.098 Ha. 5. Tahun 1987 Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1987 wilayah Administrasi Kota Bandung diperluas menjadi 16.729,65 Ha. Tabel 4 Pembagian Wilayah Administrasi Kota Daerah Tingkat II Bandung No
Wilayah
Jumlah
1
Kecamatan
26
2
Kelurahan / Desa
139
3
Rukun Warga (RW)
1.498
4
Rukun Tetangga (RT)
9.265
Keterangan Masing-masing
dikepalai
oleh
dikepalai
oleh
seorang Camat Masing-masing
seorang Lurah / Kepala Desa Masing-masing
diketuai
oleh
dikepalai
oleh
seorang Ketua RW Masing-masing seorang Ketua RT
Sumber : Bandung dalam Angka, tahun 2006
Berdasarkan penelitian dan penelaahan dari seorang ahli bangunan kota Prof. Ir. Thomas Karsten (1930) (dalam buku Rencana Pemkot Bandung, 2004) telah direncanakan perluasan daerah Kota Bandung dalam jangka waktu 25 tahun berikutnya. Perlunya perluasan tersebut dari 2.871 Ha menjadi 12.758 Ha berdasarkan pertimbangan bahwa penduduk Kota Bandung dengan pertambahan normal pada akhir 1955 diperkirakan akan menjadi 750.000 jiwa, rencana ini dikenal dengan sebutan “Plan Karsten”. Area penggunaan lahan Kota Bandung, paling banyak digunakan sebagai tanah darat atau tanah pemukiman (Perumahan, Sekolah, Industri) dan sisanya digunakan sebagai lahan peternakan, pertanian, pusat bisnis dan lainnya. Lebih lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Penggunaan Lahan di Kota Bandung Tahun 2006 Jenis Penggunaan Type of Use [1] 1
Sawah Wetlands
2
Kebun / Tegalan Garden/Wasteland Ladang / Huma
3 4
Pekarangan + Bangunan (Perumahan, Sekolah, Industri)
5
Perkantoran / Rekreasi Office Complex / Recreation
6
Kolam / Tebat / Empang
7
Sementara tidak diusahakan
8
Lainnya Others Jumlah / Total
Luas ( Ha ) Area [2]
Persentase ( % ) Percentage [3]
1.734
10
761
4,6
-
0
* 7.523
45
-
0
63
0,4
-
0
6.609
40
16.690
100
Keterangan
: * Pekarangan = 1.501 Ha
Sumber
: Dinas Pertanian Kota Bandung
Kependudukan Penduduk Kota Bandung berdasarkan hasil Suseda tahun 2006 adalah 2.296.848 jiwa (penduduk perempuan 1.135.548 jiwa dan penduduk laki-laki 1.160.300 jiwa). Angka tersebut menentukan Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) sebesar 1,13%. Rata-rata kepadatan penduduk Kota Bandung 16.524,09 jiwa/Km2, Kecamatan Bojongloa Kaler merupakan daerah terpadat dengan kepadatan penduduk 38.760,73 jiwa/Km2. Salah satu upaya Pemerintah Kota Bandung untuk mengurangi tingkat kepadatan penduduk adalah dengan Program Transmigrasi ke daerah luar Pulau Jawa, diantaranya ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya. Sumber data kependudukan Kota Bandung diperoleh melalui : 1. Sensus Penduduk Pelaksanaan dilakukan setiap 10 tahun sekali, tahun yang berakhiran nol. 2. Survey Penduduk Antar Sensus Pelaksanaannya dilakukan setiap 5 tahun sekali (diantara 2 sensus penduduk). 3. Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan Survey Sosial Ekonomi Daerah (Suseda) Pelaksanaannya dilakukan pada setiap akhir tahun dengan metode sampel. Mempertimbangkan Kota Bandung sebagai Kota Jasa serta keterbatasan lahan yang ada, dan keterbatasan daya dukung lingkungan, terutama daya dukung lingkungan alami, maka untuk perhitungan Proyeksi Jumlah Penduduk Kota Bandung sampai dengan Tahun 2013, dirancang dengan Laju Pertumbuhan Penduduk rata-rata per tahun sebesar 2,5% (laju pertumbuhan penduduk alami dan migrasi serta komuter) sehingga jumlah penduduk Tahun 2008 diproyeksikan menjadi ± 2,6 juta jiwa dan pada Tahun 2013 menjadi ± 2,95 juta jiwa. Dilihat dari perkembangannya, rata-rata pertumbuhan jumlah penduduk dalam jangka waktu 1980 hingga 2000 diiringi dengan kenaikan kepadatan penduduk, yaitu tahun 1980 adalah 10.808 jiwa/Km2, tahun 1990 adalah 12.802 jiwa/Km2 dan tahun 2000 adalah 16.035 jiwa/Km2. Penduduk Kota Bandung saat ini masih tersebar tidak merata, dimana kecamatan dengan kepadatan terendah adalah Kecamatan Rancasari dengan jumlah 4.671 jiwa/Km2, sedangkan yang terpadat adalah Kecamatan Bojongloa Kaler dengan jumlah 34.346 jiwa/Km2.
Tabel 6 Penduduk Kota Bandung Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2006
No
Kelompok
Jenis Kelamin
Jumlah (Jiwa)
Persentase
Umur
Laki-laki
Perempuan
1
0–4
85.915
82.363
168.278
7,3
2
5–9
102.491
95.279
197.770
8,6
3
10 – 14
106.543
102.728
209.271
9,1
4
15 – 19
111.309
93.873
205.182
8,9
5
20 – 24
113.867
115.197
229.064
10,0
6
25 – 29
111.017
99.088
210.105
9,1
7
30 – 34
87.038
101.687
188.725
8,2
8
35 – 39
96.239
94.887
191.126
8,3
9
40 – 44
83.902
86.452
170.354
7,4
10
45 – 49
73.422
75.894
149.316
6,5
11
50 – 54
66.351
63.660
130.011
5,7
12
55 – 59
38.082
38.535
76.617
3,3
13
60 – 64
34.188
33.506
67.694
3,0
14
65 – 69
22.488
21.599
44.087
2,0
15
70 – 74
12.932
16.747
29.679
1,3
16
75 +
14.516
15.053
29.569
1,3
1.160.300
1.136.548
2.296.848
100
Jumlah
(%)
Sumber : BPS Kota Bandung (Hasil Suseda 2006) Persentase kelompok umur tertinggi berdasarkan Tabel 6 yaitu pada kelompok umur 10 – 14, 20 – 24 dan 25 – 29, kelompok tersebut termasuk dalam kelompok umur produktif. Jadi dapat dikatakan bahwa Kota Bandung merupakan kota yang memiliki penduduk produktif yang tinggi dan dapat dianggap sebagai kota tujuan bagi masyarakat untuk mencari nafkah / pekerjaan untuk menghidupi
keluarga mereka. Tingkat migrasi dan urbanisasi penduduk diindikasikan cukup tinggi, mengingat Kota Bandung memiliki aspek industri yang menjanjikan. Apabila data pada tabel diatas digambarkan dalam bentuk piramida penduduk, maka jumlah penduduk Kota Bandung berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin seperti terlihat pada Gambar 3. Gambar 3 Piramida Penduduk Kota Bandung
75 + 70 – 74 65 – 69 60 – 64 55 – 59 50 – 54 45 – 49 40 – 44 35 – 39 30 – 34 25 – 29 20 – 24 15 – 19 10 – 14 5–9 0–4
10
9 8 7
6 5 4 3
2 1
0
1 2 3 4
5 6 7 8
Keterangan: Laki-laki Perempuan
9
10
Berkaitan dengan perubahan kelahiran dan kematian, perserikatan bangsabangsa mengkategorikan penduduk dalam tipe-tipe berikut: 1. Kelahiran rendah – kematian tinggi 2. Kelahiran tinggi – kematian cukup tinggi / sedang menurun 3. Kelahiran tinggi – kematian rendah 4. Kelahiran sedang menurun – kematian rendah 5. Kelahiran rendah – kematian rendah Apabila tipe-tipe tersebut diterapkan pada komposisi penduduk Kota Bandung maka ini termasuk kedalam tipe “kelahiran rendah – kematian tinggi”, namun hal ini tidak dapat dijadikan acuan yang pasti karena Kota Bandung merupakan salah satu kota metropolitan yang menjadi tujuan urbanisasi. Bentuk piramida yang mengerucut ke atas menunjukkan bahwa penduduk Kota Bandung merupakan mayoritas penduduk produktif, yaitu sebagian besar penduduknya berada pada usia muda dan produktif. Batang piramida yang paling panjang terdapat pada kategori usia 20 – 24 tahun, ini menandakan tingkat urbanisasi pada populasi di Kota Bandung tinggi, sedangkan yang menandakan tingkat kelahiran rendah – kematian tinggi terlihat pada batang piramida dengan kategori umur 0 – 4 tahun. Untuk mengetahui perbandingan banyaknya penduduk laki-laki dan banyaknya penduduk perempuan di Kota Bandung dipergunakan ukuran Rasio Jenis Kelamin (RJK). Rasio jenis kelamin jumlah penduduk Kota Bandung per bulan Desember 2006 adalah :
RJK =
Penduduk _ Laki − laki x100 Penduduk _ Perempuan
RJK =
1160300 x100 = 102 1136548
Berarti dalam setiap 102 penduduk laki-laki terdapat 100 penduduk perempuan. Jumlah usia produktif dipakai batas usia antara 15 - 64 tahun. Berdasarkan
Tabel 6, jumlah penduduk usia produktif di Kota Bandung sebanyak 70,4% atau 1.618.194 jiwa, sedangkan jumlah usia tidak produktif (usia 0-14 dan usia 65+) sebanyak 678.654 jiwa atau 29,6 persen .
Besarnya
Rasio
Beban
Tanggungan
(RBT)
penduduk
merupakan
perbandingan antara banyaknya penduduk yang tidak produktif (usia dibawah 15 tahun dan usia diatas 65 tahun). Dengan banyaknya penduduk usia produktif (usia 15 sampai dengan 65 tahun). Rasio Beban Tanggungan Penduduk Kota Bandung (dalam prosentase) adalah :
RBT =
P0 −14 + P65 + x100 P15 − 64
RBT =
29,6 x100 70,4
RBT = 42,05 Î 42 Berarti setiap 100 orang penduduk produktif menanggung 42 orang penduduk yang tidak produktif. Gambar 4 Diagram Batang Penduduk Kota Bandung Berdasarkan Kelompok Umur
12
Prosentase
10 8 6 4 2
75 +
70 – 7 4
65 – 6 9
60 – 6 4
55 – 5 9
50 – 5 4
45 – 4 9
40 – 44
35 – 39
30 – 34
25 – 29
20 – 2 4
15 – 1 9
10 – 1 4
5–9
0–4
0
Kelompok Umur
Pertumbuhan penduduk merupakan keseimbangan yang dinamis antara kekuatan-kekuatan yang menambah dan kekuatan-kekuatan yang mengurangi jumlah penduduk. Secara terus menerus penduduk akan dipengaruhi oleh jumlah bayi yang lahir (menambah jumlah penduduk), tetapi dalam waktu yang bersamaan pula akan dikurangi oleh jumlah kematian yang terjadi pada semua
golongan umur. Disamping itu, faktor migrasi juga sangat berperan dalam menambah dan mengurangi jumlah penduduk, baik migrasi masuk maupun migrasi keluar. Komposisi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Penduduk Kota Bandung ( ≥10 Tahun ) Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2006
No
Tingkat Pendidikan
Jenis Kelamin Laki-laki
Perempuan
Jumlah (Jiwa)
Persentase (%)
1
Belum Sekolah
7.708
13.827
21.535
1,1
2
Tidak / Belum Tamat SD
83.402
105.889
189.291
10,0
3
SD (Sederajat)
226.702
262.115
488.817
25,3
4
SLTP (Sederajat)
190.124
188.291
378.415
19,6
5
SLTA (Sederajat)
251.490
232.106
483.596
25,0
6
SMK (Sederajat)
80.980
37.090
118.070
6,1
7
Diploma I / II
15.338
14.182
29.520
1,5
8
Diploma III (Sarjana Muda)
32.804
32.944
65.748
3,4
9
Diploma IV / S1
73.561
62.238
135.799
7,0
10
S2 / S3
9.785
10.224
20.009
1,0
971.894
958.906
1.930.800
100
Jumlah
Sumber : BPS Kota Bandung (Hasil Suseda 2006) Berdasarkan data pada Tabel 7, persentase tertinggi menunjuk pada tingkat pendidikan SD (Sederajat) dan SLTA (Sederajat) sedangkan persentase tingkat Diploma IV / S1 dan S2 / S3 masih sangat rendah. Dengan rendahnya tingkat pendidikan
dan tingginya tingkat pengangguran serta terbatasnya lapangan
pekerjaan akan memicu tindakan kriminal pada masyarakat, maka pembinaan dan pemberdayaan masyarakat sangat diperlukan untuk meningkatkan keamanan dan
ketertiban lingkungan. Seiring dengan adanya pemberdayaan mantan narapidana dalam berbagai bidang usaha selama masa pembinaanya maupun setelah bebas, menimbulkan suatu lapangan pekerjaan dan usaha yang baru. Tabel 8 Banyaknya Gangguan Umum Kamtibmas Menurut Jenis Kejadian dan Lokasi Kejadian di Kota Bandung Tahun 2006
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26 27. 28.
Jenis Kejadian Incident Type
Pemukiman
Jalan Umum
Tempat Ramai
[1]
[2]
[3]
[4]
Sekolah/ Kantor/ Kampus [5]
396 37 269 47 119 36 108 310 172 16 28 55 7 19 18 5 54 12 6 7 5 35 1 158
158 29 51 99 25 25 74 70 20 26 25 2 1 2 1 33 2 1 4 52
185 33 74 41 73 38 60 81 21 19 14 5 2 6 1 2 39 2 2 2 14 1 1 81
69 10 57 7 27 10 13 266 192 8 5 13 2 3 1 2 3 28 6 1 4 31 2 34
808 109 451 194 244 109 255 727 405 69 72 75 12 30 20 10 129 0 44 2 13 10 9 84 4 0 1 325
1.920
700
797
794
4.211
Pencurian Kendaraan Roda 2 Pencurian Kendaraan roda 4 Pencurian dengan Pemberatan Pencurian Dengan Kekerasan Pencurian Biasa Penganiayaan Ringan Penganiayan Berat Penipuan Penggelapan Pemerasan / Ancaman Keras Pengrusakan Kebakaran Pembunuhan Pemerkosaan Perzinahan Penculikan Narkotika Pemalsuan Mata Uang Pemalsuan Surat Pemalsuan Merk Sumpah Palsu Perjudian Penghinaan Pencemaran Nama Baik Penadahan Korupsi Senpi, Handak, Sajam Lain-lain Kriminalitas Jumlah / Total
Sumber : Polwiltabes Bandung
Jumlah [6]
Kota Bandung sebagai kota metropolitan memiliki berbagai permasalahanpermasalahan sosial yang kompleks., salah satunya permasalahan gangguan umum terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat. Dari Tabel 8 diatas, dapat dilihat jenis-jenis kejahatan yang terjadi di Kota Bandung, jenis kejahatan terbanyak terdapat pada kategori pencurian kendaraan roda 2 selanjutnya adalah kategori kejahatan penipuan. Sistem Ekonomi Tabel 9 Penduduk Kota Bandung ( ≥10 Tahun ) yang Bekerja Menurut Jenis Kelamin dan Lapangan Usaha Utama di Kota Bandung Tahun 2006
Lapangan Usaha Utama Main Industry
LAKI-LAKI MALE
PEREMPUAN FEMALE
JUMLAH TOTAL
[1]
[2]
[3]
[4]
1. Pertanian 6.123 1.908 Agriculture 2. Pertambangan & Galian Mining and Quarrying 3. Industri Pengolahan 149.785 74.353 Manufacturing Industry 4. Listrik. Gas & Air 11.442 1.827 Electricity. Gas and Water 5. Konstruksi 39.596 4.691 Contructions 6. Perdagangan 188.431 106.687 Trade 7. Transpor dan Komunikasi 40.116 4.889 Transport and Communications 8. Keuangan 28.844 9.528 Finance 9. Jasa 116.322 61.571 Services 10. Lain-lain Others Jumlah 580.659 265.454 Total Sumber : BPS Kota Bandung (Hasil Suseda 2006)
8.031 224.138 13.269 44.287 295.118 45.005 38.372 177.893 846.113
Lapangan usaha penduduk Kota Bandung bersifat heterogen, seperti terlihat pada Tabel 9 diatas, kategori lapangan usaha utama termasuk sebagai lapangan usaha formal dengan kapasitas tenaga kerja 846.113 orang. Jika dibandingkan dengan besarnya jumlah penduduk Kota Bandung yang mencapai 2.296.848 jiwa, maka terdapat 37, 4 % jumlah tenaga kerja informal ataupun pengangguran yang tersebar di Kota Bandung. Pendapatan Asli Daerah 104 % terealisasi dari total target yang ditetapkan yaitu Rp 1.079.903.454,- di tahun 2006. Salah satu komponen PAD yaitu pajak daerah, realisasi tertinggi terdapat pada Pajak Hotel sebesar Rp 1.123.097.156,-. Komponen lain adalah retribusi, dimana nilai tertinggi bersumber pada retribusi pelayanan kesehatan yaitu sebesar Rp 12.646.391.000,-.
Pajak dan retribusi
menempati nilai tertinggi ke-2 dan ke-3 dalam PAD, setelah pos bagi hasil pajak. Dari Bank Indonesia Kantor Cabang Bandung diperoleh data posisi dana simpanan bank, posisi kredit perbankan, posisi kredit usaha kecil dan jumlah aktiva, baik rupiah dan valuta asing dari Bank-bank yang ada di Kota Bandung baik Bank Pemerintah maupun Bank Swasta yang disajikan bulanan. Sedangkan dari Kanwil Departemen Koperasi Propinsi Jawa Barat diperoleh jumlah koperasi yang ada (KUD dan Non KUD) sebanyak 2.212 buah dengan jumlah anggota 533.022 orang dengan jumlah asset Rp 1.948.801.000,-. Produk Domestik Regional Bruto merupakan salah satu indikator perekonomian yang dapat digunakan sebagai bahan penentuan kebijakan pembangunan khususnya dalam bidang perekonomian dan bahan evaluasi pembangunan ekonomi regional. PDRB Kota Bandung didasarkan atas harga berlaku dan harga konstan tahun 2000. PDRB Kota Bandung yang dihitung atas dasar harga berlaku dari tahun 2005 sampai tahun 2006 menunjukan peningkatan yang cukup signifikan. Nilai absolut PDRB Kota Bandung
atas dasar harga
berlaku tahun 2005 sebesar Rp 34.792.184 juta dan tahun 2006 meningkat menjadi Rp 43.491.380 juta. Dengan demikian secara nominal terjadi peningkatan PDRB atas dasar harga berlaku sebesar 25 %. Sedangkan PDRB Kota Bandung tahun 2006 yang dihitung atas dasar harga konstan tahun 2000 mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya, yaitu dari Rp 21.370.696 juta pada tahun 2005 menjadi Rp 23.043.104 juta pada tahun 2006.
Tabel 10 Nilai Produk Domestik Regional Bruto Kota Bandung Atas Dasar Harga Berlaku (Dalam Jutaan Rupiah) LAPANGAN USAHA INDUSTRIAL ORIGIN [1] 1. PERTANIAN, PETERNAKAN, KEHUTANAN & PERIKANAN a. Tanaman Bahan Makanan b. Tanaman Perkebunan c. Peternakan dan Hasil-hasilnya d. Kehutanan e. Perikan an 2. PERTAMBANGAN DAN HASILHASILNYA a. Minyak dan Gas Bumi b. Pertambangan tanpa Migas c. Penggalian 3. INDUSTRI PENGOLAHAN a. Industri Migas 1. Pengilangan Minyak Bumi 2. Gas Alam Cair b. Industri Tanpa Migas 4. LISTRIK, GAS, DAN AIR BERSIH a. Listrik b. Gas Kota c. Air Bersih 5. BANGUNAN / KONSTRUKSI 6. PERDAGANGAN a. Perdagangan Besar dan Eceran b. Hotel c. Restoran 7. PENGANGKUTAN DAN KOMUNIKASI a. Pengakutan 1) Angkutan Rel 2) Angkutan Jalan Raya 3) Angkutan Laut 4) Angkutan Sungai dan Penyebrangan 5) Angkutan Udara 6) Jasa Penunjang Angkutan b. Komunikasi 8. KEUANGAN, PERSEWAAN DAN JASA PERUSAHAAN a. Bank b. Lembaga Keunangan Selain Bank c. Sewa Bangunan d. Jasa Perusahaan 9. JASA – JASA a. Pemerintaan Umum b. Swasta 1) Sosial Kemasyarakatan 2) Hiburan dan Rekreasi 3) Perorangan dan Rumah tangga PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO
Keterangan Sumber
2004
2005 *)
2006 **)
[4]
[5]
89.991
106.081
128.786
39.569 0 40.827 0 9.595
46.585 0 48.199 0 11.297
48.586 0 67.747 0 12.453
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
8.277.165 0 0 0 8.277.165 658.330 580.399 0 77.932 1.315.662 8.944.144 7.973.360 204.669 766.114 3.238.446 1.853.392 114.155 927.679 0 0 689.745 121.813 1.385.054
9.980.371 0 0 0 9.980371 804.789 712.879 0 91.910 1.589.350 11.909.216 10.358.690 353.079 1.197.446 4.309.519 2.519.906 155.830 1.226.435 0 0 983.556 154.086 1.789.613
12.092.654 0 0 0 12.092.654 964.317 858.183 0 106.134 1.922.466 16.468.162 14.606.328 457.655 1.404.179 5.339.307 3.298.575 156.776 1.561.884 0 0 1.381.545 198.370 2.040.732
2.071.644
2.601.334
2.314.903
945.135 290.966 593.777 241.767 2.827.036 1.951.332 875.704 276.054 40.920 558.730
1.259.550 359.392 698.341 284.051 3.491.524 2.476.442 1.015.082 308.494 52.629 653959
769.052 423.597 797.939 324.315 4.260.785 3.102.287 1.158.498 338.107 65.180 755.211
27.422.417
34.792.184
43.491.380
: *) = Angka Perbaikan **) = Angka Sementara : Badan Pusat Statistik Kota Bandung
Kepemimpinan Lokal dan Lembaga Kemasyarakatan
Paradigma
pemerintahan
dan
pembangunan
yang
berkembang
mempengaruhi pula pendekatan, prosedur dan substansi penata ruang kota. Tata kepemerintahan yang baik (good governance) dan pemerintah yang bersih (clean governance) dengan prinsip-prinsipnya yang meliputi antara lain partisipasi. Informasi / transparansi, subsidiaritas, akuntabilitas, keefektifan dan efisiensi, kesetaraan, ketanggapan, kerangka hukum yang adil, berorientasi pada konsensus dan profesionalisme, telah menjadi tuntutan yang tidak dapat ditawar. Perencanaan yang partisipatif juga telah menjadi tuntutan dalam proses penataan ruang. Walaupun Pemerintah Kota Bandung mempunyai kewenangan dan kewajiban dalam penataan dan pembangunan kota, tetapi prosesnya perlu melibatkan berbagai kelompok masyarakat antara lain lembaga non-pemerintah, asosiasi profesi dan usaha, pendidikan tinggi, badan hukum, dunia usaha dan masyarakat lainnya. Paradigma penting yang telah dianut oleh semua negara adalah pembangunan berkelanjutan. Konsep ini bertumpu pada tujuan pembangunan di satu sisi, dan pengendalian atau pembatasan dampak negatif kegiatan manusia terhadap alam disisi lainnya. Pada awalnya, konsep ini berpijak hanya pada kemampuan daya dukung alam pada skala makro, tetapi kemudian berkembang pada keberlanjutan sosial dan ekonomi. Kegiatan pemerintahan yang ada di Kota Bandung terdiri dari kegiatan pemerintahan berskala nasional, regional dan kota : 1. Perkantoran Pemerintah Tingkat Nasional Perkantoran pemerintah pusat berskala nasional yang berada di Kota Bandung seperti PT Dirgantara Indonesia (PT DI), PT Brata, PT Inti, PT LEN, PT POS, PT KA, PT Telkom dan sejumlah Balai Penelitian yang berskala nasional dan internasional seperti LAPAN, BATAN, Puslitbang Jalan, Puslitbang Air, Lembaga Pasteur, Lembaga Metrologi, Geologi, Tata Lingkungan, dan lain sebagainya. Yang sebaiknya tetap dapat dipertahankan di Kota Bandung, agar bisa berafiliasi langsung dengan lembaga-lembaga pendidikan (tinggi) yang ada di Kota Bandung.
2. Pemerintahan Tingkat Propinsi dan Kota Kota Bandung mengemban fungsi sebagai pusat pemerintahan Propinsi Jawa Barat, maka fasilitas pemerintahan di Kota Bandung tidak hanya fasilitas pemerintahan Kota Bandung, tetapi juga fasilitas pemerintahan Propinsi Jawa Barat. 3. Pemerintahan skala lingkungan (lokal) Sarana pemerintahan skala lingkungan (lokal) berupa kantor pemerintahan, kecamatan / kelurahan, LP3M (Lembaga Pemberdayaan Pembangunan Masyarakat), pos pemadam kebakaran dan pos-pos pelayanan umum lainnya. Sarana pemerintahan lingkungan ini harus tersedia di masing-masing wilayah administratif kecamatan / kelurahan. Sumber Daya Lokal
Aspek Fisik Secara geografis jarak yang relatif dekat dengan Jakarta sebagai ibukota negara, menjadikan Kota Bandung mampu berkembang dengan pesat di berbagai bidang kegiatan pembangunan. Selain itu faktor suhu di Kota Bandung yang relatif sejuk merupakan potensi yang dimiliki Kota Bandung. Arah pengembangan kota ke timur (Wilayah Pengembangan Ujung Berung dan Gedebage) masih dimungkinkan karena masih banyak lahan dengan kepadatan rendah. Dari aspek fisik binaan yang cukup dominan adalah tersedianya fasilitas pendidikan tinggi dan menengah baik negeri maupun swasta seperti UPI, ITB, UNPAD, UNPAR, UNISBA, UNINUS, UNPAS, UNBAR, UNLA, STIEB, STIE YPKP, TRIDARMA, MARANATHA, dan lain-lain. Tersedianya Balai Penelitian yang berskala Nasional dan Internasional seperti lembaga Pasteur, Puslitbang jalan, Puslitbang air, dan lain sebagainya ; dan aksebilitasnya yang cukup baik, yaitu adanya terminal-terminal, bandar udara, dry port (terminal peti kemas) di Kota Bandung yang berskala pelayanan lokal, regional dan nasional. Disamping itu di Kota Bandung terdapat pula perusahaan dan industri strategis seperti PT Inti, PT Telkom, PT Dirgantara Indonesia, PT Kereta Api Indonesia, PT Pos Indonesia dan lain-lain.
Potensi lainnya adalah Kota Bandung merupakan salah satu Kota di Indonesia yang memiliki kekayaan akan bangunan-bangunan tua dan bersejarah dengan berbagai ragam arsitekturnya. Sejalan dengan intensifikasi pembangunan fisik, sebagian bangunan-bangunan menceritakan sejarah Kota. Kekayaan dan seni arsitektur tersebut mulai banyak diruntuhkan. Namun demikian, keberadaan bangunan-bangunan tua ini diantaranya masih tetap terjaga dan menjadi identitas Kota Bandung seperti bangunan Gedung Sate, Kampus ITB, Kampus UPI, bangunan-bangunan di jalan braga. Tabel 11 Fasilitas Umum yang Tersedia di Kota Bandung
Jenis Fasilitas TK SD SLTP Pendidikan SLTA Akademik Rumah Sakit Poliklinik Puskemas Kesehatan Posyandu Apotik Mushola Masjid Lingkungan Masjid Raya Peribadatan Gereja Vihara Pura Pusat Perbelanjaan Pasar Perekonomian Toko Bank Gedung Bioskop Taman Rekreasi / Taman / Olahraga Gedung Olahraga Gedung Pertunjukan Terminal Transit Transportasi JUMLAH
Standar Luas (m3) 170 1.100 3.000 3.000 13.000 200 500 200 400 300 1.000 14.000 1.000 1.000 1.000 46.000 10.000 100 3.000 34.500 750 8.000 142.220
Standar Penduduk (Jiwa) 1.000 1.600 4.800 4.800 120.000 760.000 10.000 30.000 2.500 10.000 2.500 30.000 600.000 30.000 30.000 30.000 600.000 120.00 1.000 120.000 120.000 152.750 30.000 30.000 480.000 3.200.950
Sumber : Hasil Analisis Tahun 2003 (Rencana Tata Ruang Kota Bandung 2013) Tabel 11 menjelaskan sarana, prasarana dan fasilitas umum yang tersedia di
Kota Bandung. Tabel tersebut digunakan sebagai bahan perbandingan antara
jumlah ketersediaan sarana dan prasarana umum dengan tingkat kepadatan penduduk di Kota Bandung, seperti halnya pada fasilitas transportasi yang tidak memadai dengan laju pertumbuhan penduduk di Kota Bandung, dengan demikian dapat menimbulkan kepadatan / kemacetan lalulintas. Aspek Ekonomi Tingkat perkembangan ekonomi Kota Bandung cenderung cepat dan fluktuatif. Pada tahun 2001, laju PDRB menurut harga konstan sebesar 7,34 %, meningkat sebesar 1,93 % dari tahun sebelumnya. Sektor yang berkontribusi besar terhadap PDRB Kota Bandung adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 33,65 % dan sektor industri sebesar 31,16 %. Karakteristik ekonomi perkotaan ditandai dengan adanya image Kota Bandung sebagai Kota tujuan wisata belanja dan obyek wisata berskala nasional. Sebagai kota tujuan wisata belanja antara lain berupa factory outlet, pusat perdagangan jeans cihampelas, sepatu cibaduyut, pasar besi ciroyom-jatayu, toko kue dan roti, dan sebagainya. Sedangkan sebagai obyek wisata berskala nasional antara lain museum geologi, pusat perdagangan jeans cihampelas, sepatu cibaduyut, dan lain sebagainya. Aspek Sosial Jumlah penduduk yang besar (2.296.848 jiwa tahun 2006) dengan mayoritas penduduk berusia produktif sebesar 70,4 %, apabila diarahkan merupakan potensi Sumber Daya Manusia karena diharapkan meningkatkan produktifitas Sumber Daya Manusia bagi pembangunan Kota Bandung. Masalah Kesejahteraan Sosial
Sebagai salah satu upaya menuju tercapainya kesejahteraan sosial adalah pemberian kesempatan yang lebih luas dan merata bagi warga masyarakat untuk memajukan tingkat kehidupan mereka. Selain kebutuhan akan sandang dan pangan, kebutuhan akan tempat tinggal (papan) juga merupakan hal pokok yang harus terpenuhi bagi setiap rumah tangga. Oleh karena itu upaya pembangunan perumahan dan pemukiman
dilaksanakan demi terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut, kebijakan pemukiman harus mempunyai acuan untuk meningkatkan mutu lingkungan dengan penyediaan prasarana lingkungan termasuk penanganan limbah, baik diperkotaan maupun dipedesaan. Data kehidupan sosial lainnya adalah mengenai jumlah dan kerugian akibat kebakaran, perkembangan taman kota, organisasi kesenian dan seniman, dan penggunaan tanah. Permasalahan kesejahteraan sosial yang terjadi diantaranya: 1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi terutama dari migrasi (urbanisasi). 2. Penanganan kawasan kumuh (slum) dan lingkunag buruk (bad environment) tidak dibarengi dengan upaya pengendalian migrasi. Berkaitan dengan kawasan kumuh di Kota Bandung terjadi okupansi pemukiman pada daerah kiri-kanan bantaran sungai serta disepanjang jalur rel kereta api. 3. Pasar modern (mall, supermaket, hypermarket, departemen store, dan lainlain) yang dibangun di Kota Bandung hanya menjadi tempat penjualan barang-barang produksi dari luar, sehingga nilai tambahnya bagi Kota Bandung sangat kecil. 4. Struktur industri belum berbasis pada sumber daya lokal sehingga sangat dipengaruhi oleh perubahan eksternal (struktur ekonomi sangat rapuh terhadap pergolakan ekonomi global dan sensitif terhadap nilai tukar). 5. Pemberdayaan UKM dan koperasi sebagai tulang punggung dan katup pengaman perekonomian kota belum dilaksanakan secara optimal, sehingga konstribusinya terhadap perekonomian masih sangat rendah. 6. Maraknya pedagang kaki lima yang umumnya pendatang dan menyebar secara tidak tertib (menempati ruang-ruang publik). Kesadaran masyarakat pada keindahan dan kebersihan kota sangat kurang. 7. Perdagangan informal khususnya pedagang kaki lima, telah lama berkembang dan diakui sebagai pengaman pada masa krisis perekonomian. Meskipun demikian banyak permasalahan yang dihadapi dengan adanya pedagang informal, antara lain Menimbulkan kekumuhan kota, mengubah atau menggangu ruang publik, menimbulkan eksternalitas negatif, beroperasi diluar kerangka hukum, dan lain-lain.
TINJAUAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT Deskripsi Kegiatan Program Bimbingan Klien Pemasyarakatan
Seiring dengan perkembangan zaman serta kebutuhan para warga binaan Lembaga Pemasyarakatan terkait dengan Sistem Pemidanaan maka sejak tahun 1964 terjadi perubahan signifikan terhadap perkembangan psikologis warga binaan, yaitu dari sistem kepenjaraan menjadi sistem Pemasyarakatan, dimana didalamnya lebih bersifat mengayomi serta mempersiapkan mereka menjadi manusia mandiri dan produktif. Bertitik tolak dari perubahan sistem diatas, maka Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung telah mulai menyelenggarakan program pelayanan melalui berbagai kegiatan pelatihan keterampilan dengan tujuan memberikan bekal keterampilan pada klien binaan Balai Pemasyarakatan Bandung untuk dapat dimanfaatkan setelah mereka berada ditengah-tengah masyarakat. Untuk memberikan bimbingan terhadap Klien Pemasyarakatan melalui berbagai kegiatan pelatihan keterampilan, tentunya memerlukan suatu metode pembinaan dari berbagai disiplin ilmu yang disebut sebagai metode pembinaan yang meliputi: social work, psychological approaches, psychiatrie & psychoanalytic approach, moral re-education & religious approaches, medical approach, councelling, etc, semua hal tersebut dapat disebut sebagai treatment approaches in corrections. Tujuan pelaksanaan program bimbingan klien pemasyarakatan yang dikenal dengan program Rehabilitasi Sosial bagi Klien, yaitu : 1. Agar klien dapat mengenal nilai-nilai dan norma-norma sosial yang berlaku dan dapat melaksanakan fungsinya dalam kehidupan dimasyarakat, 2. Untuk menumbuhkan, membangkitkan dan berkemampuan serta memiliki rasa tanggungjawab terhadap dirinya maupun tugas-tugas yang dihadapinya, 3. Agar klien memiliki pengetahuan dan keterampilan sehingga mereka dapat menjadi manusia yang berdaya guna dan berhasil guna.
Pelaksanaan program Rehabilitasi Sosial bagi klien di Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung meliputi pendidikan agama, pendidikan budi pekerti, bimbingan dan penyuluhan perorangan maupun kelompok, pendidikan formal, kepramukaan, pendidikan keterampilan kerja, pendidikan kesejahteraan keluarga, psikoterapi, kepustakaan, psikiatri terapi dan berbagai bentuk usaha penyembuhan klien. Tujuan dari pelaksanaan program tersebut secara umum tidak lain untuk membentuk Klien Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat dan aktif berperan serta dalam pembangunan, dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Pada pelaksanaannya, proses bimbingan klien dilaksanakan melalui tiga tahap berdasarkan kepada kebutuhan dan permasalahan klien. Ketiga tahap tersebut adalah : a. Bimbingan tahap awal, kegiatan-kegiatan yang dilakukan adalah : 1. Penelitian Kemasyarakatan, 2. Menyusun rencana program bimbingan, 3. Pelaksanaan program bimbingan, 4. Penilaian pelaksanaan program tahap awal dan penyusunan rencana bimbingan tahap lanjutan. b. Bimbingan tahap lanjutan, kegiatan-kegiatan yang dilakukan adalah : Pelaksanaan program bimbingan serta penilaian pelaksanaan program tahap lanjutan dan penyusunan rencana bimbingan tahap akhir. c. Bimbingan tahap akhir, kegiatan-kegiatan yang dilakukan adalah : 1. Pelaksanaan program bimbingan, 2. Meneliti dan menilai keseluruhan hasil pelaksanaan program bimbingan, 3. Mempersiapkan klien untuk menghadapi akhir masa bimbingan dan mempertimbangkan akan kemungkinan pelayanan bimbingan tambahan (after care),
4. Mempersiapkan surat keterangan akhir masa bimbingan klien, 5. Mengakhiri masa bimbingan klien dengan diwawancarai oleh Kepala BAPAS. Pelatihan keterampilan kerja terhadap Klien Pemasyarakatan yang diperoleh di Balai Pemasyarakatan melalui program Rehabilitasi Sosial, merupakan pelatihan lanjutan atas pelatihan yang telah didapat oleh Klien Pemasyarakatan / Mantan Narapidana pada saat Mereka menjalankan masa pidananya di Lembaga Pemasyarakatan. Hal ini menunjukkan bahwa potensi SDM mantan Narapidana telah diasah pada saat mereka menjalani masa pidananya, kemudian dipertajam setelah mereka bebas, yaitu melalui program pelatihan dan keterampilan yang diselenggarakan oleh Balai Pemasyarakatan. Dari hasil bimbingan dan keterampilan, mulai dari seseorang menjadi Narapidana sampai bebas, Balai Pemasyarakatan pernah melahirkan beberapa orang mantan Narapidana yang sukses berwirausaha, antara lain : wirausaha dibidang sablon dan dibidang menjahit, para mantan Narapidana yang sukses tersebut menerapkan ilmu-ilmu yang didapat selama masa bimbingan di LAPAS dan BAPAS disamping dari pengalaman-pengalaman mereka sebelum menjadi Narapidana dan kecakapan dalam bidangnya tersebut. Mereka telah menjalan usahanya secara berkelompok dan berjejaring sehingga menghasilkan profit yang besar pula. Penyelenggara dan Sumber Dana
Program ini diselenggarakan oleh Departemen Hukum dan HAM RI melalui masing-masing Kantor Wilayah yang tersebar di setiap propinsi di Indonesia. Di Kota Bandung, program ini dilaksanakan oleh Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Jawa Barat. Dalam tugas pokok dan fungsinya (TUPOKSI), Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung melaksanakan tugas substantif dan administratif. Secara substantif Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung : 1. Melaksanakan tugas kemasyarakatan untuk : a. Membantu tugas Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam perkara Anak Nakal,
b. Menentukan Program Pembinaan Narapidana di LAPAS dan Anak Didik di LAPAS Anak, c. Menentukan perawatan Tahanan di Rumah Tahanan (RUTAN), d. Menentukan program dan atau bimbingan tambahan bagi Klien Pemasyarakatan. 2. Melaksanakan Bimbingan Kemasyarakatan terhadap Klien Pemasyarakatan, 3. Mengikuti sidang Anak Nakal di Pengadilan Negeri dalam wilayah kerja BAPAS, 4. Mengikuti sidang Pengamat Pemasyarakatan (TPP) di LAPAS dan RUTAN dalam wilayah kerja BAPAS, 5. Melakukan administrasi Bimbingan Klien dan sidang pengadilan Anak Nakal. Wilayah kerja BAPAS meliputi 10 (sepuluh) kota/kabupaten. Sedangkan secara administratif Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung melakukan pembinaan personil, pemeliharaan dan pengolahan Invetaris, melakukan laporan berkala sesuai ketentuan yang berlaku dan Tata Usaha yang meliputi kepegawaian, keuangan dan umum, termasuk pula membuat daftar usulan kegiatan program rehabilitasi sosial tahun anggaran berikutnya yang disesuaikan dengan kebutuhan. Seksi yang paling berperan dalam program rehabilitasi sosial adalah seksi bimbingan klien dewasa dan anak, yang didalamnya terbagi pula dalam beberapa sub seksi, yaitu sub seksi Registrasi Klien Dewasa dan anak, Bimbingan Kemasyarakatan Klien Dewasa dan anak serta bimbingan kerja klien dewasa, namun yang bertanggungjawab terhadap kelancaran perjalanan program rehabilitasi sosial berada pada sub seksi bimbingan kerja klien dewasa. Pada hakekatnya, tugas dan fungsi sub seksi bimbingan kerja adalah memberikan bimbingan kerja pada klien yang memerlukan bimbingan lanjut, melalui beberapa tahap sebagai berikut : -
Melakukan pengumpulan dan pengolahan data untuk Klien dan eks. Klien,
-
Memberikan motivasi / pembinaan terhadap klien dan eks. Klien,
-
Memberikan bantuan penyaluran kerja terhadap Klien dan latihan kerja,
-
Mengadakan kerjasama dengan instansi pemerintah terkait, swasta dan perorangan dalam rangka sosialisasi Klien Pemasyarakatan,
-
Melakukan pemantauan / evaluasi terhadap Klien yang telah memperoleh bimbingan,
-
Melaksanakan koordinasi dengan staf untuk kelancaran pelaksanaan tugastugas bimbingan kerja,
-
Meningkatkan pelaksanaan tugas bimbingan kerja agar lebih berkembang,
-
Melakukan penyusunan proposal pemberdayaan klien Balai Pemasyarakatan / program rehabilitasi sosial, yang selanjutnya disetujui oleh Kepala Balai Pemasyarakatan. Selanjutnya, proposal siap untuk diajukan kepada Pemerintah Daerah untuk
bantuan dana operasional dan alat-alat usaha ekonomi produktifnya. Sesuai dengan dasar hukum dan landasan operasional yang ada, maka Pemerintah Kota Bandung
melalui
Dinas
Sosial
Kantor
Sosial
Kota
Bandung
akan
mempertimbangkan proposal tersebut sesuai dengan anggaran yang tersedia dan jumlah anggaran yang diajukan. Pendekatan
Program bimbingan klien pemasyarakatan yang dikenal dengan Rehabilitasi Sosial pada Balai Pemasyarakatan dilaksanakan dengan menggunakan beberapa pendekatan, yaitu: 1. Pendekatan penerapan disiplin ilmu, yaitu kegiatan bimbingan klien dilandasi dengan salah satu atau beberapa disiplin ilmu Pemasyarakatan, Hukum, Pekerjaan Sosial, Pendidikan, Psikologi, Psikiatri, dan disiplin ilmu lain yang sesuai. 2. Pendekatan melalui pemaduan disiplin ilmu, yaitu memadukan disiplin ilmu tersebut diatas dengan displin ilmu yang sesuai dengan tujuan bimbingan. 3. Pendekatan kelembagaan, yaitu kegiatan bimbingn klien pemasyarakatan yang telah dilakukan dapat dipadukan dalam berbagai lembaga yang ada dimasyarakat untuk mengasah dan mempertajam kemampuan individu mantan Narapidana.
Ketiga pendekatan di atas, tidak dapat terlepas dari nilai-nilai yang ada dalam masyarakat antara lain: 1. Agama dan kepercayaan yang dianut. 2. Sosial dan budaya, berupa hubungan sosial, solidaritas sosial (kesetiakawanan sosial), dan keharmonisan untuk mencapai keadaan yang kondusif dalam masyarakat. 3. Politik, berupa azas-azas yang digunakan dalam pengambilan keputusan (demokratis, akuntabel, pertanggungjawaban, dan transparan). 4. Ekonomi, dalam rangka peningkatan pendapatan bagi anggota keluarga.
Pengembangan Ekonomi Lokal
Pengembangan ekonomi lokal (local economic development) merupakan kerjasama seluruh komponen masyarakat di suatu daerah (lokal) untuk mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan (sustainable economic growth) yang akan meningkatkan kesejahteraan ekonomi (economic welfare) dan kualitas hidup (quality of life) seluruh masyarakat di dalam komunitas. (Syaukat, 2006). Pengertian
tersebut
menunjukkan
adanya
tujuan
untuk
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat melalui penciptaan lapangan pekerjaan sebagai upaya pemberdayaan masyarakat. Dalam penyelenggaraan program Rehabilitasi Sosial, telah
dilaksanakan
azas-azas
ekonomi
lokal
karena
program
tersebut
menggunakan pendekatan pemberdayaan dan partisipatif untuk meningkatkan kemampuan sosial dan ekonomi masyarakat secara berkelanjutan agar mereka mampu mandiri di dalam mengelola kehidupannya baik sebagai individu maupun sebagai komunitas sosial. Bantuan modal yang diberikan kepada Klien Pemasyarakatan yang sedang menjalani program Rehabilitasi Sosial, bermacam-macam mulai dari pelatihan keterampilan sampai dengan bantuan modal usaha. Kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Bandung tidak terlalu besar, karena jenis usaha yang dilakoni termasuk dalam Kelompok Usaha Ekonomi Kecil Menengah (KUKM), namun efek yang dirasakan pelaku dalam hal ini mantan Narapidana sangat
menguntungkan dan membantu mereka dalam meningkatkan potensi usaha ekonominya dan secara perlahan pula dapat meningkatkan pendapatan mereka. Kelompok mantan Narapidana merasa terbantu dengan adanya bantuan modal dalam bentuk perlengkapan usaha. Permasalahan pemasaran yang juga terkadang menjadi kendala masih sering terjadi. Namun dengan adanya pemberian bantuan modal setidaknya telah memberikan semangat para mantan Narapidana untuk tetap terus mengolah usaha mereka dalam rangka mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Mereka harus bisa mempertahankan usaha yang mereka bangun dengan bantuan modal seadanya dan persaingan pasar yang ketat dengan pelaku usaha lainnya. Pemanfaatan potensi ekonomi lokal
Program ini dapat dikatakan telah memanfaatkan potensi ekonomi lokal yang ada di Kota Bandung, dimana dengan adanya kebijakan penanggungjawab program kegiatan dari Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung dan bantuan modal berupa peralatan usaha ternyata telah membantu para mantan Narapidana untuk memulai dan meningkatkan usahanya. Namun, berdasarkan pengamatan dilapangan sampai saat ini sebagian dari mereka masih kesulitan dalam pemasaran dan pencarian lokasi strategis dalam penempatan usaha mereka, jenis usaha yang penulis kemukakan adalah usaha percetakan (sablon). Kebanyakan mereka membuka usaha sablon tersebut dirumah masing-masing dengan dibantu tenaga kerja yang berasal dari keluarga atau kerabat dekat mereka, namun demikian ada juga yang berkelompok (sesama mantan Narapidana) menjalankan usaha sablonnya. Hubungan program Rehabilitasi Sosial dengan pasar yang lebih luas
Berdasarkan
pengamatan,
program
Rehabilitasi
Sosial
jika
dilihat
hubungannya dengan pasar yang lebih luas belum terlalu berpengaruh mengingat persaingan pasar di Kota Bandung sangat kompetitif dalam berbagai bidang usaha. Program tersebut selain memberikan bantuan modal hanya memberikan keterampilan dasar bagi mantan Narapidana agar dapat mandiri dalam
menjalankan suatu usaha kecil menengah, tidak sedikit mantan Narapidana yang bekerja sebagai karyawan pada suatu usaha / jasa. Berdasarkan penjelasan dari salah seorang staf Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung, didapat informasi bahwa program Rehabilitasi Sosial yang dilaksanakan hanya memberikan bantuan tenaga pelatih / instruktur dan bantuan modal usaha bekerjasama dengan dinas sosial Kota Bandung, sedangkan untuk tahapan pembinaan lanjutan (BINJUT) menjadi tugas dan wewenang Dinas Sosial Kota Bandung. Hal inilah yang menyebabkan mantan Narapidana cenderung mengembangkan potensi dan pendapatan mereka melalui usaha / jasa komersil yang tersebar di seluruh Kota Bandung. Pengorganisasian Masyarakat
Berdasarkan pengamatan dilapangan bahwa program Rehabilitasi Sosial yang didalamnya terdapat Pembimbing Kemasyarakatan memiliki tugas dan kewajiban dalam : •
Menentukan program bimbingan dan atau bimbingan tambahan bagi klien pemasyarakatan,
•
Melaksanakan bimbingan kemasyarakatan dan bimbingan kerja bagi klien pemasyarakatan sesuai dengan program yang telah disusun,
•
Memberikan pelayanan terhadap instansi lain dan masyarakat yang meminta data atau hasil penelitian kemasyarakatan klien tertentu,
•
Mengkoordinasikan pekerja sosial dan pekerja sosial sukarela yang melaksanakan tugas pembimbingan,
•
Menjelaskan terhadap klien tentang arti, masa percobaan yang dijalani, tujuan bimbingan, dan hal-hal yang harus dan tidak boleh dilakukan selama masa percobaan / masa bimbingan,
•
Melakukan asesmen (menggali masalah) yang dituangkan dalam Penelitian Kemasyarakatan untuk bimbingan,
•
Menyusun program bimbingan tahap awal, tahap lanjutan dan tahap akhir,
•
Pencatatan (recording) tentang perkembangan klien,
•
Membuat laporan perkembangan klien,
•
Menyusun data (file) klien,
•
Melakukan pengakhiran bimbingan (terminasi). Dari penjabaran tugas dan kewajiban pembimbing kemasyarakatan pada
program tersebut dapat diketahui bahwa pengorganisasian masyarakat dalam hal ini mantan Narapidana (klien pemasyarakatan) sepenuhnya diserahkan oleh instansi terkait dalam hal ini Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung. Pengorganisasian masyarakat dalam bentuk rehabilitasi sosial klien pemasyarakatan ini telah memanfaatkan modal sosial yang ada dalam wadah BAPAS, seperti hubungan kekerabatan dan rasa saling percaya antara sesama klien pemasyarakatan maupun petugas Balai Pemasyarakatan. Norma dan nilai yang menentukan interaksi antara warga dibentuk oleh aturan dan ketetapan Balai Pemasyarakatan dengan didukung oleh suasana kebersamaan dan kerjasama yang diciptakan antar sesama klien pemasyarakatan maupun dengan petugas Balai Pemasyarakatan. Mereka senantiasa mengadakan tukar-pikir jika dalam pelaksanaan program menghadapi kendala atau ketidakpahaman dalam menjalani program tersebut. Kebijakan yang ada dalam kelompok adalah berkaitan dengan pembagian bantuan modal, dimana untuk setiap program kegiatan dalam satu tahun anggaran, seluruh anggota menerima bantuan berupa perlengkapan usaha yang sesuai dengan program yang telah dijalankan di BAPAS. Berdasarkan data yang didapat dari Kantor Sosial Kota Bandung, jumlah purnalapas (mantan Narapidana) pada Tahun 2006 sebanyak ± 213 orang, dan kegiatan yang dilaksanakan berupa Bimbingan Sosial dan Latihan Keterampilan diluar panti bagi Purnalapas berupa keterampilan menyablon. Jumlah yang ditangani sebanyak 20 Purnalapas, dilaksanakan selama 6 (enam) hari dari tanggal 21 sampai dengan 29 Desember 2006. Kegiatan tersebut dilakukan di Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung. Setelah selesai pelatihan, peserta mendapatkan bantuan stimulan berupa alat-alat sablon, dengan terbinanya Purnalapas mereka memiliki kemampuan, berkepribadian, tumbuh dan berkembang secara wajar sehingga dapat berfungsi sosial di masyarakat.
Perencanaan Sosial
Informasi yang penulis dapat dari Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung, berkaitan dengan proses perencanaan dalam program ini merupakan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M.02-PR.07.03 Tahun 1987 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Bimbingan Kemasyaraatan dan Pengentasan Anak yang selanjutnya disebut sebagai Balai Pemasyarakatan. Dalam keputusan tersebut menetapkan kedudukan, tugas, susunan organisasi, fungsi dan klasifikasi Balai Pemasyarakatan. Sedangkan program bimbingan bagi klien pemasyarakatan atau rehabilitasi sosial memiliki berbagai jenis bidang keterampilan, yang pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Program tersebut direncanakan oleh Pembimbing Kemasyarakatan yang selanjutnya diusulkan bekerjasama dengan Kantor Sosial Kota Bandung dan pelaksanaannya didukung dengan APBN per tahun anggaran. Proses ini secara konseptual maupun pelaksanaannya berjalan dengan baik, yaitu adanya aspirasi dari mantan Narapidana untuk bekerja mandiri di masyarakat, dan bantuan modal yang diterima dapat dimanfaatkan sebagai pendukung pengembangan usaha bagi Mantan Narapidana. Evaluasi Umum
Melihat program Rehabilitasi Sosial dari aspek pengembangan ekonomi lokal, pengorganisasian masyarakat dan perencanaan sosial, maka secara umum program Rehabilitasi Sosial dapat dievaluasi yang ditinjau dari sisi proses, hasil dan masalah, yaitu sebagai berikut : a. Dari sisi proses, program ini lebih bersifat top down, karena secara teknis berasal dari Pemerintah Pusat. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa program ini berdasarkan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya adalah untuk pengembangan mantan Narapidana, yang pada saat mengikuti program disebut sebagai klien pemasyarakatan. Pada saat kembali ke masyarakat, mantan Narapidana menyesuaikan kondisi lingkungan setempat di tempat tinggal mereka dengan menyesuaikan kebutuhan usaha ekonomi dan jasa.
Kondisi ini memberikan pilihan kepada mereka, apakah modal yang mereka dapat bisa diterapkan dilingkungan tempat tinggal mereka ataukah bekerjasama dengan sesama mantan Narapidana dalam membangun suatu usaha ekonomi kecil menengah. b. Ditinjau dari hasil, program ini belum mencapai tujuan yang diharapkan secara maksimal, karena para mantan Narapidana memiliki kapasitas pengembangan diri masing-masing dalam arti ada yang telah berhasil memanfaatkan modal secara optimal dan adapula yang harus dibimbing lebih lanjut dalam pengarahan modal tersebut. c. Masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan program ini, dilihat dari sisi mantan Narapidana adalah bahwa mereka belum memiliki kemampuan yang cukup untuk mengelola bantuan modal, sedangkan dari sisi pemerintah hambatan yang dihadapi adalah kurangnya personil petugas bimbingan lanjutan, sehingga proses monitoring dan evaluasi tidak terlaksana dengan baik.
ANALISIS SITUASI DAN PERMASALAHAN MANTAN NARAPIDANA Karakteristik Klien Pemasyarakatan
Berdasarkan informasi yang diperoleh, kepribadian Klien Pemasyarakatan sangat bervariatif. Secara umum, menjelang kebebasannya perilaku mantan Narapidana menunjukkan sikap yang baik, sopan, komunikatif, taat pada peraturan yang berlaku serta dapat mengikuti program pembinaan yang diberikan dengan baik dan sungguh-sungguh. Seperti halnya manusia biasa, Klien Pemasyarakatan memiliki kegemaran, cita-cita atau harapan, pendidikan dan keterampilan baik yang telah didapat sebelum menjalani masa pidana di Lembaga Pemasyarakatan maupun pendidikan dan keterampilan yang baru didapatnya pada saat
menjadi
Warga
Binaan
Pemasyarakatan
(Narapidana
dan
Klien
Pemasyarakatan). Kategori Klien Pemasyarakatan yang dibina di Balai Pemasyarakatan terbagi atas dua, yaitu Klien Anak dengan usia 18 tahun kebawah dan Klien Dewasa dengan usia 18 tahun keatas. Tingkat pendidikan Klien Pemasyarakatan bervariatif, umunya bertingkat pendidikan rendah karena rata-rata mereka berasal dari strata / lapisan sosial bawah dan menengah bawah. Data yang penulis dapatkan di lapangan menerangkan bahwa Klien Pemasyarakatan yang dibina di Balai Pemasyarakatan terbagi atas empat jenis, yaitu : •
Pembebasan Bersyarat (PB) Yaitu proses pembinaan Narapidana diluar Lembaga Pemasyarakatan yang dilaksanakan berdasarkan Pasal 15 dan Pasal 16 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Pasal 14, 22 dan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
•
Cuti Menjelang Bebas (CMB) adalah proses pembinaan diluar Lembaga Pemasyarakatan bagi Narapidana yang menjalani masa pidana atau sisa masa pidana yang pendek. Pembinaan Narapidana
(melalui
CMB)
yang
dilaksanakan
berdasarkan
sistem
pemasyarakatan bertujuan untuk mempersiapkan narapidana agar dapat
berintegrasi secara sehat dengan masyarakat sehingga berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. •
PiB (Pidana Bersyarat) Yaitu Narapidana yang dijatuhkan hukuman Pidana Bersyarat oleh pihak Kejaksaan dan menjalankan masa pidananya diluar Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan Negara.
•
Cuti Bersyarat (CB) Adalah cuti yang diberikan kepada Narapidana yang telah menjalani masa pidana 2/3 dengan masa pidana samadengan atau dibawah satu tahun. Kebijakan
ini
merupakan
kebijakan
baru
yang
digunakan
untuk
menanggulangi over kapasitas di LAPAS / RUTAN. Untuk dapat dilayani atas Pembebasan Bersyarat (PB) dan Cuti Menjelang Bebas (CMB), seorang Narapidana atau Anak Didik Pemasyarakatan harus memenuhi syarat-syarat substantif, yaitu : 1. Telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana, 2. Telah menunjukkan perkembangan budi pekerti dan moral yang positif, 3. Berhasil mengikuti program kegiatan pembinaan dengan tekun dan bersemangat, 4. Masyarakat telah dapat menerima program kegiatan pembinaan Narapidana yang bersangkutan, 5. Selama menjalankan pidana, Narapidana atau Anak Pidana tidak pernah mendapat hukuman disiplin sekurang-kurangnya dalam waktu 9 (sembilan) bulan terakhir, 6. Masa pidana yang telah dijalani a. Untuk Pembebasan Bersyarat, Narapidana telah menjalani 2/3 (dua pertiga) dari masa pidananya, setelah dikurangi masa tahanan dan remisi dihitung sejak tanggal putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap dengan ketentuan 2/3 (dua pertiga) tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan. b. Untuk Cuti Menjelang Bebas, Narapidana telah menjalani 2/3 (dua pertiga) dari masa pidananya, setelah dikurangi masa tahanan dan remisi,
dihitung sejak putusan pengadilan memperoleh kekuasaan hukum tetap dan jangka waktu cuti sama dengan remisi terakhir, paling lama 6 (enam) bulan. 7. Bagi Narapidana atau Anak Pidana Warga Negara Asing diperlukan syarat tambahan : a. Surat keterangan sanggup menjamin kedutaan besar / konsulat negara orang asing yang bersangkutan, b. Surat rekomendasi dari Kepala Kantor Imigrasi setempat. Penghitungan
atau
rekapitulasi
Klien
Pemasyarakatan
di
Balai
Pemasyarakatan dilakukan sebulan sekali, yaitu awal bulan dan akhir bulan. Hal ini dikarenakan adanya jadwal pembimbingan Klien, sehingga penerimaan dan penutupan bimbingan Klien dilakukan sebulan sekali untuk memfokuskan kegiatan dan perkembangan Klien Pemasyarakatan, sedangkan kategori menurut jenis
pelatihan
tergantung
pada
pengusulan
pelatihan
sebelum
tahun
bersangkutan, pada tahun 2007 pengusulan pelatihan telah dilakukan tetapi berhubung tidak ada dana yang cair dari Departemen Sosial RI, maka untuk tahun tersebut tidak dilakukan aktifitas pelatihan bagi Klien Pemasyarakatan. Pada kategori jenis latihan, sifatnya fleksibel yaitu kegiatan yang akan diadakan sesuai dengan Sumber Daya Manusia Klien Pemasyarakatan dan kebutuhan pasar. Berikut adalah tabel kegiatan Klien Pemasyarakatan. Tabel 12 Kegiatan Keterampilan Kerja dalam Berbagai Kategori pada Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung Tahun 2007 Kategori
Menurut Jenis Latihan
Jenis Las Listrik / Karbit Montir Mobil Montir Elektronik Mengemudi Mobil Menjahit Potong Rambut Peternakan Sablon Lain-lain
Kelompok
Jumlah
Tidak ada kegiatan yang berjalan pada Tahun 2007, karena anggaran operasional Program Rehabilitasi Sosial belum diterima
Sumber : Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung, 2007
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Klien Pemasyarakatan adalah Narapidana yang telah menjalani 2/3 masa pidana, untuk selanjutnya dapat pula disebut sebagai mantan Narapidana. Untuk mendapatkan pembinaan di Balai Pemasyarakatan, sebelumnya Narapidana yang bersangkutan telah melalui LITMAS
(Penelitian
Kemasyarakatan),
yaitu
proses
pengumpulan
data
Narapidana mulai dari biodata sampai dengan historikal keluarga dan pribadi yang bersangkutan. Sehingga dari LITMAS tersebut, dapat diketahui latar belakang Narapidana yang bersangkutan berikut tingkat pendidikan dan skill yang dimilikinya. Gambar 5 Grafik Pemberian Jenis Pembinaan bagi Klien Pemasyarakatan pada Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung
340
350 300
243
250 200 150 100
32
50
1
0 PB
CMB
PiB
LITMAS
Tahun 2006 Sumber : Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung, 2007 Keterangan : PB
= Pembebasan Bersyarat
CMB
= Cuti Menjelang Bebas
PiB
= Pidana Bersyarat
LITMAS = Penelitian Kemasyarakatan Tampak pada grafik, pemberian pembinaan Pembebasan Bersyarat (PB) adalah yang paling banyak diusulkan, hal tersebut membantu dalam proses penyingkatan
masa pidana sekaligus mengurangi kelebihan kapasitas pada LAPAS / RUTAN yang selama ini terjadi. Dalam rangka meningkatkan efektifitas pemberian pembinaan bagi Narapidana, pada bulan Oktober 2007 Direktur Jenderal Pemasyarakatan menambah kebijakan baru, yaitu pembinaan Cuti Bersyarat (CB) bagi terpidana yang divonis kurang atau samadengan satu tahun. Efektifitasnya terlihat pada jumlah penghuni LAPAS / RUTAN, yaitu berkurangnya kelebihan kapasitas (over capacity). Penguasaan Keterampilan
Penguasaan keterampilan masing-masing mantan Narapidana tentunya berbeda dan tergantung dari latar belakang pendidikan maupun pengalamannya. Berdasarkan hasil pemantauan dilapangan terhadap mantan Narapidana, penulis mengemukakan bahwa terkadang jenis pelatihan / keterampilan yang diberikan dengan bantuan modal / peralatan yang didapat tidak sesuai dengan penguasaan keterampilan maupun pelatihan yang telah diikuti itu sendiri, hal ini sesuai dengan pernyataan Ibu AI (47 tahun) berikut : “Ketika saya mengikuti program bimbingan kerja di BAPAS Bandung, keterampilan yang saya ikuti adalah menjahit, disana kira-kira 1 minggu saya diberikan teknik-teknik dasar menjahit, yah walaupun sebelumnya saya sudah bisa menjahit tapi lumayan lah untuk menambah-nambah pengetahuan sedikit sambil bertanya hal-hal seputar menjahit yang belum saya ketahui. Memang sih pada waktu itu saya berharap setelah ikut program bimbingan kerja saya mendapatkan bantuan peralatan menjahit dari Dinas Sosial, tapi saya tidak mau terlalu berharap yang penting program ini berguna buat saya untuk menambah pengetahuan. Setelah selesai mengikuti program tersebut, beberapa bulan kemudian pihak dari Dinas Sosial datang kerumah saya dan menawarkan bantuan modal berupa peralatan usaha, pada waktu itu saya disuruh memilih antara peralatan perbengkelan dengan peralatan pencucian motor, yang saya pilih peralatan cuci motor karena saya pikir ini akan mudah untuk dijalani disamping banyak orang yang butuh jasa ini.”
Dari potongan pernyataan tersebut, dapat penulis jelaskan bahwa bantuan berupa peralatan usaha yang diberikan Dinas Sosial adalah sesuai dengan pengajuan dana per tahun anggaran. Pada saat diadakan program bimbingan kerja menjahit, hanya merupakan program pelatihan pengembangan skill tanpa didukung bantuan peralatan usaha yang sesuai dengan pelatihan / bimbingan kerja
yang diikuti. Sebelumnya juga telah diadakan program bimbingan kerja perbengkelan dan pencucian motor, pada saat pemberian bantuan peralatan usaha pihak terkait kesulitan dalam pemanggilan mantan Narapidana karena yang bersangkutan sudah tidak tinggal pada alamatnya. Oleh karena bantuan peralatan usaha harus tetap disalurkan, maka pihak terkait memberikannya pada mantan Narapidana lain yang telah mengikuti program bimbingan kerja di Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung. Pemberian bantuan modal usaha dapat pula menjadikan ‘tambang emas’ baru bagi penerima (mantan Narapidana) karena dengan bantuan tersebut bisa menjadikan sumber mata pencaharian baru. Seperti yang dinyatakan oleh Bapak HUR (36 Tahun) berikut : “Memang dari awal saya sudah menguasai teknik pencetakan dan menyablon, karena sebelum saya masuk LAPAS dulunya saya memang bekerja sebagai karyawan percetakan. Setelah menjalani 2/3 masa pidana, lalu saya mengajukan Cuti Menjelang Bebas (CMB) saat itu diwajibkan melapor ke BAPAS sampai masa pidana saya habis. Kebetulan di BAPAS diadakan program bimbingan kerja bagi Purna LAPAS dalam hal menyablon, pada saat itu saya didaftarkan untuk mengikuti program tersebut sampai selesai. Setelah beberapa bulan saya dipanggil oleh pihak terkait untuk menerima bantuan modal berupa bantuan stimulant Usaha Ekonomi Produktif (UEP) Alat dan Bahan Sablon, Alhamdulillah bantuan yang saya terima berguna sekali untuk memulai usaha sesudah keluar dari LAPAS. Sampai saat ini usaha yang telah saya jalani mulai menunjukkan hasil yang baik, dan saya telah memiliki tiga orang karyawan yang membantu saya dalam usaha ini.”
Penguasaan Modal
Berdasarkan pengamatan dan hasil wawancara dengan para mantan Narapidana yang pernah mendapatkan bantuan stimulant Usaha Ekonomi Produktif dari Dinas Sosial bekerjasama dengan BAPAS Bandung, diperoleh keterangan bahwa mereka memang dapat menjalankan usahanya, namun untuk permulaan diperlukan perjuangan yang besar akibat penguasaan modal yang minim dan kondisi geografis yang kurang memadai. Seperti yang penulis ketahui dari Ibu AI yang mendapatkan bantuan peralatan usaha pencucian motor, mengalami kesulitan dalam hal pasokan air. Ditempatnya pasokan air sangat kurang, karena belum tersedia instalasi air bersih dari PDAM, ibu AI mengandalkan pasokan air dari air tanah yang kualitasnya kurang baik dan sedikit
berwarna. Hal ini beresiko terhadap kualitas cucian dan kepercayaan konsumen pengguna jasa tersebut. Ibu AI mengandalkan jasa suaminya yang dibantu dengan seorang karyawan untuk melakukan pencucian motor yang tentunya hasil dari jasa pencucian tersebut harus dibagi secara cermat antara pembayaran karyawan dengan beban listrik untuk menjalankan usahanya. Sedangkan menurut penuturan Bapak HUR penguasaan modal yang dimiliki pada saat itu juga minim, Bapak HUR benar-benar mengandalkan modal usahanya dari bantuan stimulant UEP yang ia dapat dan terkadang mencari tambahan modal dari kerabat / keluarganya, berikut pernyataannya : “Saya memulai usaha sablon ini benar-benar dari nol. Bagaimana tidak pak, sisa tabungan saya hanya cukup untuk menghidupi keluarga saya selepas saya bebas. Bantuan yang saya dapatkan awalnya mau saya jual saking kurangnya modal dan himpitan kebutuhan rumah tangga. Akhirnya saya ditawari teman saya untuk bekerjasama dalam memulai usaha sablon, bantuan modal diberikan oleh teman saya berikut tempat usaha, jadi saya yang mengerjakan dan mencari pelanggan dalam usaha ini.”
Kondisi Ekonomi Keluarga
Kondisi ekonomi ini berkaitan dengan pendapatan yang diperoleh oleh rumah tangga mantan Narapidana. Pendapatan para purna lapas tersebut berkisar antara Rp 700.000,00 s/d Rp 1.000.000,00 per bulan. Pendapatan ini bersifat fluktuatif tergantung dari besarnya omzet usaha mereka. Sebagian dari mereka telah menerapkan pola nafkah ganda, yaitu dengan usaha ekonomi informal. Pendapatan dan jenis usaha yang dilakoni mantan Narapidana tersebut tergolong pra sejahtera, karena hanya jenis usaha itulah yang cocok untuk dijalankan di Kota Besar, yaitu Kota Bandung. Berkaitan dengan pola makan, walaupun keadaan ekonomi mereka masih tergolong miskin, mereka sehari-hari masih dapat makan nasi dengan lauk seadanya (tahu, tempe atau ikan) 2 kali sehari (siang dan malam). “Yang penting didapur itu harus ada nasi, garam sama sayur. Jadi kadangkadang bila kami sedang dimasa sulit, saya masak saja bubur sayur pake kuah yang banyak terus ditambah garam, jadi kami masih bisa mengisi perut kami.”, kata Ibu AI.
Adapun mengenai kondisi perumahan mereka umumnya mengontrak, karena rumah mereka berada di Kampung halamannya, sementara mereka mencari nafkah di Kota Bandung. Ukuran rumah yang mereka miliki bervariasi mulai dari ukuran 8 x 9 m2 hingga 10 x 18 m2. Namun 60% dari mereka memiliki rumah dengan ukuran 8 x 9 m2 dengan jumlah kamar 2 buah. Berdasarkan hasil pengamatan, walaupun kondisi ekonomi keluarga mantan Narapidana yang dapat dikatakan pas-pasan, mereka ternyata tidak mengabaikan pendidikan bagi anak-anak mereka. Hal ini dibuktikan oleh para mantan Narapidana yang tetap berupaya maksimal untuk menyekolahkan anak-anak mereka dan senantiasa berupaya untuk mendapatkan beasiswa dari pihak ketiga untuk anak-anaknya. Permasalahan yang Dihadapi Mantan Narapidana dan Faktor Penyebabnya
Permasalah yang dihadapi oleh Mantan Narapidana bervariatif, mengingat masyarakat bisa atau tidak bisa menerima keberadaan mereka ditengah-tengah lingkungan mereka akibat stigma negatif masyarakat berkaitan dengan status mereka sebagai mantan Narapidana. Salah satu upaya untuk merumuskan suatu program pemberdayaan ataupun pengembangan masyarakat adalah menggali dan menelaah suatu kegiatan positif secara bersama-sama dengan komunitas mantan Narapidana sehingga dapat diketahui permasalahan yang sedang dihadapi dan faktor-faktor penyebabnya, dengan demikian dapat disusun suatu pemecahan atau jalan keluar dari permasalahan-permasalahan tersebut. Upaya ini perlu dilakukan agar mantan Narapidana memiliki kesadaran untuk berpartisipasi dalam merumuskan dan melaksanakan program pemberdayaan sesuai dengan kebutuhan mereka. Berdasarkan hasil diskusi bersama dengan para mantan Narapidana tersebut, maka diperoleh beberapa permasalahan yang dihadapi mantan Narapidana saat ini sebagaimana tertera pada Tabel 13.
Tabel 13 Masalah yang Dihadapi dalam Pemberdayaan Mantan Narapidana di Kota Bandung No.
Masalah
Penyebab Pengetahuan, Keterampilan Hasil Kurang 1. dan wawasan (sdm) masih Optimal rendah Kerjasama Kemampuan manajerial 2. Kelompok Lemah yang rendah Kurangnya informasi dan Jaringan Pemasaran 3. dukungan stakeholders belum ada (swasta) Pemberian modal tidak cukup dan kurang lengkap dalam membangun usaha baru 4. Kekurangan Modal Pemberian modal usaha hanya diberikan 1 kali pada akhir program Sumber : Hasil Olah Data FGD, 2007
Akibat Aplikasi usaha produktif kurang optimal dan masih perlu dibantu pihak lain Anggota dominan bekerja masing-masing
Pendapatan rendah Aplikasi usaha ekonomi produktif kurang optimal Usaha yang dijalankan terhenti / macet, karena masih mengandalkan tambahan modal
Melihat beberapa faktor penyebab permasalahan yang dihadapi saat ini oleh mantan Narapidana, dapat diketahui bahwa masalah pokok yang dihadapi mantan Narapidana adalah ketidakberdayaan mantan Narapidana. Sehingga penjabaran dari faktor penyebab permasalahan pada Tabel 13, sebagai berikut. Pertama, rendahnya sumber daya mantan Narapidana. Berdasarkan hasil wawancara, umumnya komunitas mantan Narapidana mengakui bahwa mereka kesulitan mengaplikasikan keterampilan yang baru mereka dapat di Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung terhadap jenis usaha yang baru mereka bangun, meskipun ada pula yang telah berpengalaman dalam suatu bidang usahanya. Hal ini menunjukkan akan pentingnya suatu keterampilan lanjutan bagi para mantan Narapidana. Kedua, lemahnya kerjasama dan koordinasi antar sesama mantan Narapidana. Kondisi ini terjadi karena letak tempat tinggal mereka yang berjauhan dan belum memiliki visi yang jelas akan suatu usaha yang akan mereka rintis
bersama-sama. Bahkan sebagian dari mereka berfikiran untuk menjual perlengkapan modal usaha yang mereka terima dari Kantor Sosial Kota Bandung. Ketiga, belum adanya jaringan pemasaran bagi hasil produksi mereka, dan pelanggan terhadap jasa yang mereka berikan. Hal ini diawali dengan faktor pertama dan selanjutnya diatas, dimana komunitas mantan Narapidana semestinya memiliki wadah ataupun kewenangan khusus dalam hal pemasaran yang seharusnya dapat mereka bentuk sendiri dimulai dari membentuk suatu kelompok / paguyuban (perkumpulan) mantan Narapidana di Kota Bandung. Keempat, masalah modal usaha ekonomi produktif yang kurang lengkap. Mereka selalu merasa kurang dalam penerimaan modal atau bantuan, sehingga aplikasi usaha ekonomi produktif kurang optimal. Selain itu, kebijakan pemerintah yang masih belum berpihak kepada para mantan Narapidana setelah mereka bebas dan berbaur dimasyarakat. Mereka masih mengharapkan adanya tambahan bantuan modal usaha dari pemerintah dalam memperkuat usaha mereka dan mereka selalu merasa sebagai rakyat kecil tak berdaya yang mengandalkan kehidupannya kepada pemerintah.
PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT Identifikasi Potensi
Memperhatikan kondisi mantan Narapidana di beberapa tempat di Kota Bandung, dirasa perlu untuk merencanakan suatu program pengembangan masyarakat yang dapat meningkatkan kondisi mereka menjadi lebih baik dalam hal ekonomi maupun kehidupan sosial mereka. Kegiatan perancangan program pengembangan masyarakat dilakukan secara partisipatif bersama-sama dengan komunitas mantan Narapidana dan stakeholder yang potensial dengan harapan agar apa yang direncanakan dapat terlaksana, didukung dan berkelanjutan. Keikutsertaan pihak terkait baik dari instansi pemerintahan maupun swasta dalam perencanaan ini akan meningkatkan pandangan mereka terhadap komunitas termarginal yaitu mantan Narapidana dalam hal peningkatan taraf hidup mereka, disamping itu keberdayaan mantan Narapidana dapat melahirkan suatu bentuk usaha produktif atau nilai sosial yang dapat menghasilkan profit pula. Proses identifikasi potensi ditujukan kepada seluruh stakeholder yang ada berkaitan dengan upaya pemberdayaan mantan Narapidana. Stakeholder yang dimaksud adalah Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung, Kantor Sosial Kota Bandung, LSM, Masyarakat, dan pihak swasta. Keberhasilan perencanaan hingga pelaksanaan program ini tidak terlepas dari peran dan dukungan stakeholders agar hasil program menjadi lebih optimal dan sesuai harapan semua pihak, khususnya guna meningkatkan kesejahteraan komunitas mantan Narapidana sebagai subyek sekaligus obyek dari program tersebut. Berkaitan dengan peran serta dukungan dari stakeholders, penulis telah melakukan wawancara dengan stakeholders yang ada. Berdasarkan hasil wawancara, pada prinsipnya mereka mendukung upaya pemberdayaan mantan Narapidana, dengan harapan bahwa upaya ini bisa diterapkan di Kota / wilayah lain. Secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14 Analisis Stakeholders di Kota Bandung No.
Stakeholders Mendukung Balai Pemasyarakatan 1. √ Klas I Bandung Kantor Sosial Kota 2. √ Bandung 3. Masyarakat 4. LSM √ 5. Swasta Sumber : Hasil Wawancara dan Observasi, 2007
Netral
Menentang
-
-
-
-
√ √
-
Berdasarkan Tabel 14 terlihat bahwa sebagian besar stakeholders yang terkait langsung dengan pemberdayaan mantan Narapidana sangat mendukung, dan terdapat pula beberapa stakeholders yang berposisi netral terhadap upaya pemberdayaan. Hal tersebut karena yang bersangkutan belum terkait langsung dengan kegiatan ini, namun sepanjang untuk kemajuan masyarakat dan perkembangan SDM, pada prinsipnya mereka tetap akan mendukung. Identifikasi permasalahan yang telah dilakukan melalui FGD sebelumnya dilanjutkan dengan melakukan identifikasi potensi yang juga dilakukan bersamasama dengan komunitas mantan Narapidana. Identifikasi ini dilakukan secara partisipatif dengan menggali segala kemungkinan potensi yang ada sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman mereka selama ini. Proses FGD ini dilakukan pada bulan September 2007 di Aula Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung, dihadiri oleh para stakeholders dan beberapa perwakilannya. Berdasarkan masukan para mantan Narapidana, stakeholders maupun pihak dari Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung dalam FGD yang dilakukan, maka dapat digunakan suatu analisis situasi dengan menggunakan model analisa SWOT. Analisa SWOT merupakan sebuah bentuk analisa situasi dan kondisi yang bersifat deskriptif (memberi gambaran). Analisa ini menempatkan situasi dan kondisi sebagai sebagai faktor masukan, yang kemudian dikelompokkan menurut kontribusinya masing-masing. Analisa ini terbagi atas empat komponen dasar yaitu :
1. S = Strength, adalah situasi atau kondisi yang merupakan kekuatan dari organisasi atau program pada saat ini. 2. W = Weakness, adalah situasi atau kondisi yang merupakan kelemahan dari organisasi atau program pada saat ini. 3. O = Opportunity, adalah situasi atau kondisi yang merupakan peluang di luar organisasi dan memberikan peluang berkembang bagi
organisasi di
masa depan. 4. T = Threat, adalah situasi yang merupakan ancaman bagi organisasi yang datang dari luar organisasi dan dapat mengancam eksistensi organisasi di masa depan. Sehingga, dapat dihimpun 2 (dua) faktor yang berkaitan dengan potensi sekaligus dengan permasalahan yang dihadapi, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal berupa kekuatan (strengths) dan kelemahan (weakness), serta faktor eksternal berupa peluang (opportunity) dan ancaman (threats). Faktor internal yang ada, yaitu : 1. Kekuatan (strengths), yaitu : a. Adanya keinginan untuk meningkatkan potensi diri (skill) pada setiap mantan Narapidana melalui pendirian usaha ekonomi produktif di wilayah sekitar pemukiman mereka. b. Bekal pengetahuan dan wawasan baik yang diperoleh melalui pengalaman maupun pada Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung. c. Waktu kerja yang fleksibel, karen usaha yang mereka jalankan termasuk usaha ekonomi skala kecil menengah. 2. Kelemahan (weakness), yaitu : a. Terbatasnya modal dan perlengkapan usaha. b. Terbatasnya keterampilan dan manajemen usaha ekonomi produktif karena pengetahuan serta pengalaman yang minim. c. Kurangnya kerjasama antar sesama mantan Narapidana maupun sesama pelaku usaha ekonomi produktif. d. Terlalu mengharapkan dan mengandalkan bantuan modal dari pemerintah maupun stakeholder yang telah membantunya.
Faktor eksternal yang ada, yaitu : 1. Peluang (opportunities), yaitu : a. Adanya dukungan dari masyarakat dan pemerintah selaku stakeholders terhadap upaya pemberdayaan mantan Narapidana, b. Keberlanjutan program pemerintah yang pernah ada dan kesediaan dari pemerintah untuk memperbaiki sesuai dengan kebutuhan mantan Narapidana. 2. Ancaman (threats), yaitu : a. Meningkatnya kebutuhan dasar usaha ekonomi produktif. b. Terbatasnya informasi dan jaringan, baik tentang kegiatan usaha ekonomi produktif maupun tentang perkembangannya. c. Persaingan dalam pemasaran hasil usaha maupun jasa yang terkadang terjadi dan tidak dapat dihadapai / dicari jalan keluarnya oleh para mantan Narapidana sebagai pelaku usaha ekonomi produktif. Berdasarkan beberapa faktor diatas dan sesuai hasil diskusi bersama dengan para mantan Narapidana dan stakeholders yang ada, telah dapat diidentifikasikan skala prioritas terhadap beberapa permasalahan yang dihadapi. Permasalahan yang menjadi prioritas untuk diatasi tersebut adalah sebagai berikut : 1. Kualitas sumber daya mantan Narapidana yang masih rendah Berdasarkan hasil wawancara sebagaimana tampak pada bagian analisis permasalahan bahwa tingkat pendidikan Klien Pemasyarakatan bervariatif, namun tingkat pendidikan tidak menjamin kualitas SDM suatu individu. Seperti halnya ibu AI, ia telah menyelesaikan jenjang pendidikannya sampai tingkat Diploma III, tetapi belum memiliki keterampilan apapun dalam bidang wirausaha. Ibu AI baru dapat menjahit dengan lebih mahir setelah selesai mengikuti pendidikan keterampilan menjahit di Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung, sebagai mana dituturkan sebagai berikut. “Saya sudah menyelesaikan kuliah saya di Akademi Sekretaris dan Manajemen Indonesia (ASMI) pada tahun 1983, selain itu saya juga pernah mengenyam pendidikan stewardess di Cambridge tahun 1985 dengan sponsor PT Garuda Indonesia tempat saya bekerja waktu dulu. Tapi setelah saya keluar dari Lembaga Pemasyarakatan saya tidak punya bekal keterampilan apa-apa, hidup dan karir saya kembali nol lagi sampai akhirnya saya mengikuti program pendidikan pelatihan dan keterampilan menjahit waktu itu di BAPAS.”
Dari kutipan pembicaraan diatas, dapat dijelaskan bahwa mantan Narapidana bukan berarti manusia bodoh yang tidak berguna, mereka hanya khilaf dalam perjalanan hidupnya sehingga ketika bebas membutuhkan arahan agar kembali kepada jalan yang lurus. Berbeda pula halnya dengan penuturan bapak RIS (29 tahun) yang merupakan suami ketiga ibu AI, sebagai berikut. “Saya pak Cuma tamatan SD, sedangkan jumlah kepala yang harus saya tanggung banyak. Dirumah saya bisa dibilang sebagai tulang punggung keluarga, karena adik-adik saya masih kecil dan perlu dibiayai, bapak saya tidak bekerja dan ibu jadi buruh cucian dari rumah kerumah maka dari itu saya terpaksa jadi kurir narkoba buat nambah-nambah biaya keluarga, lumayan hasilnya gede’ sampe akhirnya saya ketangkep dan masuk penjara. Di LAPAS itulah saya ketemu isteri saya yang sekarang, berhubung waktu itu saya ditugasi jadi ‘corve’ (Narapidana Asimilasi menjelang bebas) jadi saya sering bersih-bersih deket blok wanita tempat isteri saya tinggal. Saya ngga punya keterampilan sama sekali sampai akhirnya saya ikut program rehabilitasi sosial yang diselenggarakan BAPAS.”
2. Belum adanya kerjasama kelompok Upaya pemerintah dalam memberikan bantuan berupa perlengkapan usaha ekonomi produktif apabila dikelola dengan baik akan dapat meningkatkan pendapatan para mantan Narapidana. Kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa kemampuan mengelola bantuan tersebut oleh para mantan Narapidana masih rendah. Para penerima bantuan (mantan Narapidana) cenderung menggunakan bantuan tersebut tanpa visi yang jelas, sehingga penggunaannya tidak optimal dan bahkan ada yang menjual bantuan tersebut kepada pihak lain. Memperhatikan kondisi ini, diperlukan suatu program yang dapat meningkatkan kesadaran para mantan Narapidana akan pentingnya suatu kerjasama, sehingga segala permasalahan dapat diatasi bersama-sama. 3. Pemasaran dan promosi Kegiatan pemasaran dan promosi juga merupakan proses yang menentukan peningkatan pendapatan para mantan Narapidana. Proses pemasaran dan promosi bisa menjadi kendala utama bagi mantan Narapidana yang baru memulai usahanya dengan mengandalkan bantuan dari pemerintah, karena suatu bidang usaha tidak cukup jika mengandalkan proses produksi, tetapi harus dipikirkan proses distribusi dan manajemen keuangannya agar aliran dana dapat terus bergulir secara seimbang.
Tabel 15 Analisis Masalah, Potensi dan Alternatif Pemecahan Masalah Mantan Narapidana No.
Masalah
Penyebab
Dampak
1.
Kualitas sumber Pendidikan yang rendah, ♦ Sulit menyerap • daya mantan Pendalaman materi program pengetahuan dan Narapidana tidak berkelanjutan (hanya keterampilan, yang masih bersifat pengenalan saja). ♦ Sulit untuk menghadapi rendah persaingan usaha. •
2.
Belum adanya kerjasama kelompok
3.
Pemasaran dan promosi
Antar sesama purna lapas kurang berkoordinasi ketika sedang mengikuti pelatihan, Jarak tempat tinggal antar mantan Narapidana yang berjauhan. Jaringan pemasaran belum ada, Persaingan usaha yang ketat di Kota Bandung sebagai kota metropolitan.
Sumber : Hasil Olah Data FGD, 2007
♦ Kesulitan dalam memulai / merintis usaha, ♦ Kesulitan dalam pemasaran barang / jasa. ♦ Kalah dalam persaingan usaha, ♦ Aliran modal lambat dan terhambat yang akhirnya berpengaruh pada profit.
• • •
•
Potensi
Kebutuhan
Memiliki pengetahuan walaupun terbatas, Motivasi untuk berusaha tinggi.
o Perlu pengetahuan dan keterampilan yang berkelanjutan, o Adanya jaringan kerja dengan pelaku usaha yang berpengalaman.
Adanya keinginan untuk bekerjasama, Adanya keinginan untuk maju. Adanya keinginan untuk membentuk jaringan, Adanya dukungan dari stakeholders.
o Kemampuan manajerial kelompok, o Penetapan seorang ketua kelompok. o Aplikasi dari potensi yang ada, o Pendampingan dan pengarahan oleh pihak yang berkompeten dan berpengalaman.
Pemecahan Masalah
Perencanaan pendalaman materi program yang berkelanjutan dengan menghubungi stakeholders yang ada. Pendampingan dan pengarahan dalam pembentukkan kelompok. Pendampingan, pengarahan dan aplikasi dari kebutuhan yang diperlukan.
Program Pemberdayaan Mantan Narapidana
Strategi pemberdayaan mantan Narapidana saat ini sangat diperlukan dan telah dilaksanakan agar segala permasalahan yang dihadapi saat ini dapat diatasi dengan baik sehingga tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan mantan Narapidana dapat terwujud. Hasil dari FGD yang dilakukan telah menentukan prioritas permasalahan dan kebutuhan dengan melihat efisiensi dan efektivitas pelaksanaan program. Melihat kenyataan dilapangan bahwa masih banyak mantan Narapidana yang tidak memiliki kemampuan, khususnya permodalan untuk mengembangkan usaha ekonomi produktif sesuai dengan bakat, minat dan keterampilannya, maka diharapkan dengan kemampuan dibidang permodalan, mantan Narapidana dapat merintis usaha ekonomi produktif, mengingat Kota Bandung sebagai salah satu pusat perdagangan, pariwisata dan jasa. Dari data terakhir bulan Desember 2007 pada Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung, diketahui terdapat 146 orang Klien Pemasyarakatan yang berada di Kota Bandung. Mayoritas diantara mereka belum memiliki keahlian / keterampilan yang dapat menunjang mereka untuk dapat mengembangkan diri dan dapat hidup mandiri, yang pada akhirnya akan dapat memberikan kontribusinya terhadap penurunan pengangguran dan kemiskinan serta tidak melakukan pelanggaran hukum lagi. Pengembangan Kewirausahaan bertujuan untuk mendukung aksi-aksi bersama dan pemberdayaan komunitas mantan Narapidana ditingkat masyarakat. Dalam perancangan program pengembangan kewirausahaan terdapat beberapa prinsip yang diterapkan, antara lain : ¾ Melibatkan semua pelaku pembangunan ditingkat komunitas, yaitu : -
Unsur Public Sector Î dalam hal ini Instansi terkait yaitu Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan sebagai pelaksana programnya adalah Balai Pemasyarakatan, sebagai kelanjutan pembinaan bagi mantan Narapidana setelah mendapatkan bimbingan pelatihan dan keterampilan kewirausahaan di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS).
Selain program pembimbingan dan pelatihan mantan Narapidana di Balai Pemasyarakatan, dikenal dengan sebutan ”Bimbingan Sosial dan Latihan Keterampilan bagi Purna Lapas pada Kegiatan Rehabilitasi Sosial”, stakeholder yang juga memberikan program pelatihan terhadap mantan Narapidana adalah Departemen Sosial, dan sebagai pelaksana programnya adalah Dinas Sosial melalui Kantor Sosial, dikenal dengan ”Program Pelayanan Rehabilitasi dan Partisipasi Sosial” yang disusun pada bagian Kegiatan Rehabilitasi Sosial. -
Unsur Private Sector Î yaitu kerjasama antara pihak swasta dengan instansi, seperti dalam bidang percetakan / sablon, toko-toko cinderamata dan lainnya yang dianggap perlu dan menunjang kelanjutan program rehabilitasi sosial bagi mantan Narapidana.
-
Unsur Collective action / participatory sector Î berasal dari civil society yang turut mendukung program pemberdayaan mantan Narapidana, yaitu sebagai pangsa pasar dari hasil produksi mantan Narapidana baik berupa barang ataupun jasa.
Pada prinsip ini, pengembangan kewirausahaan menggunakan konsep Governance System Based Institutional Development sebagai alat bantu analisisnya, dengan skematik yang digambarkan pada Gambar berikut :
Gambar 6 Konsep Tatakelola Pemberdayaan berbasis Institutional Development
Civil Society (Participatory Sector)
State or Government (Public Sector)
Private Sector
¾ Memberdayakan komunitas mantan Narapidana melalui pelembangaan
perencanaan partisipatif, yang memfasilitasi proses penjaringan kebutuhan dari bawah (bottom-up) dan memadukannya dengan proses perencanaan yang bersifat ”regional wide”. Maksud hal tersebut diatas, walaupun pada proses pelaksanaannya di Balai Pemasyarakatan bersifat top-down, namun diharapkan mantan Narapidana setelah berbaur kembali di masyarakat, dapat memfasilitasi proses penjaringan kebutuhan dari bawah, melalui penciptaan inovas-inovasi sebagai hasil pengembangan dari pelatihan dan bimbingan yang telah didapatkan sebelumnya.
Gambar 7 Relasi Komunitas mantan Narapidana dan Negara (Pemerintah)
Top-down
Negara (Pemerintah) Aras Makro (Macro Level) Kebijakan Institutional Incentives
Pengembangan Kelembagaan
Aras Mikro (Micro Level) Pemberdayaan & Partisipasi Institutional Capacity
Komunitas mantan Narapidana
Bottom-up
¾ Menempatkan pemerintah lokal (kabupaten / kota) sebagai regulator dan
fasilitator terhadap peran serta warga komunitas mantan Narapidana, sehingga komunitas Narapidana senantiasa berperan aktif dalam pengembangan kewirausahaan.
Program Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) Mantan Narapidana dan Komunitas / Kelompok Mantan Narapidana di Kota Bandung Latar Belakang
Kota Bandung merupakan salah satu kota besar di Indonesia yang tentunya menghadapi berbagai permasalahan yang cukup kompleks. Salah satu permasalahan tersebut berkaitan dengan tingginya angka kriminalitas. Penanganan masalah kriminalitas di Kota Bandung tidak hanya sebatas pada penyelesaian secara hukum saja, tetapi lebih luas lagi yaitu bagaimana mempersiapkan para mantan Narapidana agar dapat hidup mandiri dan tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum lagi. Untuk menjawab hal tersebut, tentunya diperlukan adanya kerjasama dari semua pihak dan perhatian yang cukup besar dari Pemerintah Daerah dimana para mantan Narapidana tersebut berada. Kota Bandung sebagai salah satu kota besar, mengalami laju pertumbuhan tenaga kerja yang tidak seimbang dengan pertumbuhan lapangan kerja, sehingga hanya tenaga kerja yang terampil yang dapat diserap oleh lapangan kerja. Tenaga kerja yang tidak dapat diserap oleh lapangan kerja menjadi salah satu penyebab timbulnya berbagai permasalahan sosial di masyarakat. Permasalahannya yaitu apabila para pelaku kejahatan tersebut tidak dientaskan, maka selamanya mereka akan menjadi salah satu penyebab munculnya permasalahan sosial. Salah satu bentuk program pengentasan bagi para mantan Narapidana yaitu melalui kegiatankegiatan
pelatihan
keterampilan,
dengan
harapan
setelah
memperoleh
keterampilan mereka memiliki akses yang lebih besar untuk diserap oleh pasar kerja. Sejalan dengan Visi Kota Bandung, yaitu Kota Bandung sebagai Kota Jasa yang BERMARTABAT (Bersih, Makmur, Taat dan Bersahabat) serta salah satu Misi Kota Bandung, yaitu Mengembangkan Sumber Daya Manusia yang Handal dan Religius, maka sehubungan dengan hal tersebut bimbingan terhadap para mantan Narapidana perlu mendapat perhatian yang serius karena akan menunjang pada keberhasilan pencapaian Visi dan Misi tersebut.
Masalah
Masalah inti yang mendasari pelaksanaan program adalah rendahnya pendapatan mantan Narapidana yang disebabkan oleh kualitas SDM yang terbatas,
selain
itu
pelaksaan
program
ini
juga
berguna
untuk
menumbuhkembangkan semangat, nilai religi dan bakat / minat dari pribadi masing-masing. Dari permasalahan tersebut, maksud dari program ini adalah untuk meningkatkan kemampuan Klien Pemasyarakatan / mantan Narapidana dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya, sehingga mereka dapat hidup mandiri.
Tujuan
a. Tujuan Umum : Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan Klien Pemasyarakatan / mantan Narapidana sebagai bekal agar dapat bekerja, berusaha mandiri dalam rangka mengurangi pengangguran dan pengentasan kemiskinan. b. Tujuan Khusus : 1. Meningkatkan keterampilan kerja Klien Pemasyarakatan / mantan Narapidana, sehingga dapat diserap oleh lapangan pekerjaan atau menciptakan lapangan pekerjaan baru (wirausaha), 2. Memberikan kesempatan kepada Klien Pemasyarakatan / mantan Narapidana untuk menggali potensi dan mengembangkan bakat yang dimilikinya. 3. Agar Klien memiliki kemampuan dan tanggungjawab untuk melaksanakan fungsi sosialnya baik di keluarga maupun di masyarakat.
Penanggungjawab Program
Penanggungjawab program ini adalah Kepala Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung, selaku pejabat tertinggi di Kantor BAPAS Bandung dan telah memiliki stakeholders tetap dari tahun ke tahun, sehingga akses dalam pencairan APBN dapat direncanakan dan dilaksanakan sesuai dengan prosedur / aturan yang berlaku.
Sasaran Program
Sasaran program adalah para Klien Pemasyarakatan / mantan Narapidana yang telah mengikuti program Rehabilitasi Sosial maupun mantan Narapidana yang mau berpartisipasi dalam program ini, sesuai dengan sasaran kegiatan dan kriteria peserta program (akan dijelaskan selanjutnya pada sub bab ‘peserta’).
Indikator Hasil
a. Kecakapan Hidup 1. Kecakapan personal : Motivasi dan rasa percaya diri Klien Pemasyarakatan / mantan Narapidana meningkat. 2. Kecakapan sosial : Klien Pemasyarakatan / mantan Narapidana dapat lebih berperan aktif dalam
kegiatan-kegiatan
kemasyarakatan,
lebih
bertanggungjawab
terhadap keluarga. 3. Kecakapan akademik : Klien Pemasyarakatan / mantan Narapidana dapat mengoperasikan alatalat pertukangan dan menjiwai kesenian. b. Kewirausahaan 1. Potensi Peluang Usaha Mengingat Kota Bandung dikenal sebagai kota Wisata yang ditandai oleh banyaknya toko-toko souvenir, maka peluang usaha dibidang kaligrafi dan Handicraft cukup terbuka lebar. 2. Rencana dan Pengembangan Usaha Apabila Klien Pemasyarakatan / mantan Narapidana telah diberikan pelatihan, diharapkan mereka memiliki motivasi untuk bekerja di sektor yang berkaitan dengan keahlian / keterampilan yang didapat atau membuka usaha sendiri (menjadi seniman / membuka toko souvenir di tempat-tempat wisata di Kota Bandung). 3. Kemandirian dan Kerjasama Usaha Apabila Klien Pemasyarakatan / mantan Narapidana telah diberikan pelatihan diharapkan Klien Pemasyarakatan / mantan Narapidana memiliki
kemampuan untuk membangun usaha sendiri atau berkelompok antar sesama
mantan
Narapidana
maupun
dengan
orang
lain
yang
berpengalaman dibidangnya, sehingga usaha yang mulai dirintis memiliki visi dan misi yang jelas agar tetap berdiri kuat.
Waktu Pelaksanaan
Program ini akan dimulai pada bulan April 2008 dan direncanakan berakhir sampai dengan bulan Juli 2008.
Tempat Pelaksanaan
Kegiatan dalam program ini sepenuhnya akan dilaksanakan di Aula Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung, Jl. Ibrahim Adjie No. 431 Bandung.
Pelaksana Kegiatan
Pelaksana kegiatan adalah para pejabat serta staf yang berwenang di Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung, pejabat dan staf dari Kantor Sosial Kota Bandung, pihak swasta / masyarakat yang berpengalaman dibidang seni kaligrafi dan keterampilan handicraft akan bertindak sebagai pengajar / instruktur dalam pelatihan. Sedangkan sebagai narasumber, pembuka acara / penceramah dalam program kegiatan ini, akan diisi oleh berbagai elemen penting untuk pencerahan, yaitu : 1. Dinas Sosial Propinsi Jawa Barat, 2. Departemen Agama, 3. Polwiltabes Satuan BIMAS 4. PEMDA Kota Bandung, 5. Departemen Tenaga Kerja, 6. Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial.
Peserta
1. Sasaran Kegiatan untuk peserta : a. mantan Narapidana / Purna LAPAS penyandang masalah kesejahteraan sosial,
b. Klien Pemasyarakatan lepas bersyarat / cuti menjelang bebas / cuti bersyarat di Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung. 2. Kriteria Peserta : a. Laki-laki dan perempuan mantan Narapidana / Purna LAPAS penyandang masalah kesejahteraan sosial dengan batas usia 18 tahun s/d 60 tahun, b. Tidak mempunyai mata pencaharian tetap, c. Sehat jasmani dan rohani dan tidak mengidap penyakit menular / kronis, d. Tidak sedang berurusan dengan penegak hukum, e. Mempunyai surat tanda bebas / surat cuti bagi yang berstatus Narapidana 3 (tiga) bulan menjelang bebas dari Lembaga Pemasyarakatan.
Sumber Biaya
Program ini akan menggunakan biaya dari Pemerintah (APBN tahun terkait). Sesuai dengan landasan hukum dan operasionalnya, yaitu : 1. Pancasila, 2. UUD 1945 dan Perubahannya, 3. UU No. 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan – ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, 4. Keputusan Bersama Menteri Kehakiman, Naker Mensos RI No. 01-PK 0301/198 Kep. 354/MEN/84 tentang Purna LAPAS, 5. UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, 6. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Berkaitan dengan landasan hukum dan operasional diatas, maka skema Landasan Hukum TUPOKSI Rehabilitasi Sosial Berkaitan dengan Garapan Purna LAPAS dapat digambarkan pada gambar berikut.
Gambar 8 Skema Arah Landasan Hukum TUPOKSI Rehabilitasi Sosial Berkaitan dengan Garapan Purna LAPAS
UUD 1945 Pasal 27 Ayat (2) dan Pasal 34
UU No. 6 Tahun 1974 Ketentuan – ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial
Keputusan Bersama Menteri Kehakiman, Rencana Kerja Menteri Sosial RI No. 01-PK 0301/198 Kep. 354/MEN/84 tentang Purna LAPAS
Garapan Purna LAPAS
PERDA No. 29 Tahun 2002
Seksi Rehabilitasi Sosial
Sumber : Kantor Sosial Kota Bandung, 2007
Kegiatan yang akan dilaksanakan
Pelaksanaan
program
melalui
beberapa
kegiatan
dalam
rangka
pemberdayaan mantan Narapidana ini merupakan suatu upaya peningkatan kapasitas komunitas mantan Narapidana, dimana pelaksanaannya dilakukan secara terpadu. Berdasarkan hal tersebut, maka program ini diawali dengan kegiatan pendampingan teknis yang diselingi dengan penggugahan kesadaran akan pentingnya pembentukkan suatu kelompok. Metode dan teknik yang digunakan dalam program kegiatan ini terdiri atas tiga bagian, yaitu : 1. Ceramah, dimaksudkan agar para peserta memahami pengetahuan tentang teknik dasar pembuatan handicraft dan seni kaligrafi, 2. Tanya jawab dan curah pendapat, agar peserta dapat lebih memahami materi yang telah disampaikan oleh pengajar serta dapat mengembangkan pengetahuannya, selain itu pada sesi ini peserta bebas mengungkapkan pendapat berdasarkan dari pengalaman masing-masing maupun dari ketidakpahaman akan penyampaian program kegiatan, 3. Penyampaian Teori dan Praktek Keterampilan, agar peserta dapat menyerap teori-teori dasar keterampilan handicraft dan seni kaligrafi sekaligus langsung mempraktikkan ditempat keterampilan tersebut. Hal ini sangat penting mengingat output dari pelatihan ini yaitu agar peserta memiliki kemampuan untuk berproduksi. Dari hasil Forum Group Discussion (FGD), program ini akan terbagi dalam 2 (dua) sub program, yang masing-masing terbagi dalam beberapa kegiatan. A. Sub Program Peningkatan Kapasitas SDM Mantan Narapidana
1. Pemberian pengetahuan dasar tentang ilmu-ilmu sosial, hukum, ekonomi dan agama Pengetahuan ini secara umum dimaksudkan agar peserta dapat memahami arti kehidupan pribadi maupun sosialnya sekaligus sebagai pencerah dan penggugah kesadaran agar mantan Narapidana tidak melakukan tindakan kriminalitas apapun yang akan menghantarkan kembali kedalam hotel Prodeo (LAPAS / RUTAN). Sedangkan tujuan pemberian pengetahuan ini
untuk memulihkan harga diri, percaya diri, kecintaan kerja serta tanggungjawab terhadap masa depan diri, keluarga maupun masyarakat atau lingkungan sosialnya sehingga memungkinkan pelaksanaan fungsi sosialnya masing-masing secara wajar di masyarakat. Sedangkan ilmu ekonomi diberikan dengan tujuan untuk mengarahkan peserta (mantan Narapidana) dalam persiapan usaha / manajemen usaha. 2. Pemberian teori-teori yang berkaitan dengan keterampilan pembuatan handicraft dan seni kaligrafi Agar pelaksanaan program dapat mencapai hasil yang optimal, teori-teori keterampilan handicraft dan seni kaligrafi diberikan terlebih dahulu, dimana dalam teori ini juga dijelaskan tentang tata cara penggunaan alat dan bahan-bahan yang menunjang pembuatan keterampilan dan seni tersebut, kemudian diikuti dengan prakteknya. 3. Pelatihan langsung dan pendampingan / monitoring terhadap keterampilan pembuatan handicraft dan seni kaligrafi Pada prakteknya, keterampilan handicraft dan seni kaligrafi dimonitoring dan diarahkan oleh pelatih. 4. Pengadaan bantuan stimulan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) bagi peserta program Bantuan stimulan berupa alat dan perlengkapan usaha akan diberikan oleh penyelenggara bagi peserta dalam rangka pengaplikasian keterampilan dan seni di tengah masyarakat. Diharapkan setelah mengikuti kegiatan pelatihan keterampilan ini seluruh peserta memiliki keahlian pembuatan handicraft dan seni kaligrafi, sehingga dapat diserap oleh pasar kerja yang ada baik dalam bentuk usaha sendiri maupun bekerja disektor yang berhubungan dengan keahliannya. B. Sub Progam Peningkatan Kapasitas Komunitas / Kelompok Mantan Narapidana
1. Dinamika kelompok sederhana Tujuan dilaksanakan kegiatan dinamika kelompok ini adalah sebagai langkah awal dalam mengenalkan pentingnya kerjasama dan eksistensi
berkelompok. Mantan Narapidana yang telah memiliki bekal dari kegiatan peningkatan kapasitas SDM diharapkan juga dapat memadukannya dengan pelaku usaha lainnya dalam sebuah kelompok usaha. Kegiatan yang dilakukan berupa tanyajawab / diskusi serta simulasi perencanaan dan pemasaran hasil usaha. 2. Pelatihan manajemen sederhana (termasuk masalah teknik pemasaran) Kegiatan ini merupakan lanjutan dari kegiatan sebelumnya. Adanya kegiatan ini diharapkan para mantan Narapidana dapat memahami tentang kegiatan dalam sebuah organisasi, dalam hal ini adalah kelompok / komunitas mantan Narapidana. Mantan Narapidana diberikan penyuluhan tentang administrasi sederhana dan melakukan penyadaran tentang pentingnya bermusyawarah dalam mencari solusi terhadap sebuah masalah. 3. Sosialisasi dengan Pihak Ketiga Kegiatan sosialisasi ini merupakan bagian akhir dari kegiatan Peningkatan Kapasitas Komunitas / Kelompok Mantan Narapidana. Dalam kegiatan ini, para mantan Narapidana mulai dikenalkan dengan pihak-pihak ketiga yang ada di luar wilayahnya dengan harapan dapat mengembangkan jejaring dan
bahkan
dapat
mengembangkan
kerjasama
dalam
rangka
pengembangan usaha ekonomi produktif. Pelaksanaan kegiatan selanjutnya dari program ini adalah kegiatan monitoring dan evaluasi terhadap hasil dari pelaksanaan program. Kegiatan monitoring dan evaluasi ini dilakukan oleh mantan Narapidana itu sendiri, petugas pendamping dari BAPAS dan dari Kantor Sosial Kota Bandung. Adanya kegiatan ini diharapkan dapat lebih memacu semangat para mantan Narapidana dalam membangun
dan
memajukan
usaha
ekonomi
produktifnya
serta
dapat
meminimalisir segala permasalahan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan program.
Gambar 9 Model Pengembangan Program Rehabilitasi Sosial pada Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung
Kelembagaan Lokal (LPM, LSM, KBU/PKBM, dan sebagainya
Eks. Klien Pemasyaraktan / Mantan Narapidana
Swasta (Kursus-kursus LPK, LPT dan sebagainya)
Narapidana & Anak Pidana
Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung
Pemberian Bantuan Modal Usaha (UEP)
Program Rehabilitasi Sosial : Pencerahan mental dan Spiritual Teori dan Praktik Pendidikan Keterampilan
Akses modal dari DEPSOS melalui Kantor Sosial Kota Bandung Ket : Model Pengembangan Program Pemberdayaan
♦ Dinamika Kelompok ♦ Pelatihan manajemen sederhana (termasuk masalah teknik pemasaran)
Sosialisasi Pihak Ketiga (Kelembagaan Lokal & Swasta sebagai sponsor)
♦ Monitoring dan Evaluasi hasil program Rehabilitasi Sosial ♦ Tanya Jawab (sharing) seputar pengalaman berusaha di lapangan (masyarakat)
Pembentukan jaringan usaha melalui penyaluran tenaga kerja sesuai dengan kualifikasi SDM yang tersedia
Output Keberdayaan : Keberdayaan Mantan Narapidana : 1. Mampu meningkatkan potensi diri, 2. Dapat membentuk karakter / sifat kearah yang lebih baik, 3. Mampu membuka lapangan usaha baru skala kecil dan menengah, 4. Dapat ikut berperan serta dalam pelaksanaan program rehabilitasi sosial, 5. Dapat memperluas jaringan usaha produksi maupun pemasaran.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan
Sesuai dengan rincian perumusan masalah dan tujuan kajian, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Program Rehabilitasi Sosial bagi mantan Narapidana diberikan di Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung sebagai tindak lanjut dari program pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan. Jenis-jenis pembinaan di Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung meliputi pendidikan, pelatihan dan keterampilan usaha skala kecil menengah yang diharapkan dapat menjadi bekal bagi para mantan Narapidana untuk meningkatkan taraf hidup dan ekonomi keluarga mantan Narapidana serta mandiri dalam memajukan perekonomian mereka. Program ini diberikan kepada dua klien yang berbeda, yaitu Klien Anak (< 18 tahun) dan Klien Dewasa (≥ 18 tahun). Program ini diadakan sesuai dengan salah satu tugas pokok dan fungsi Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung serta kerjasama dengan Instansi Pemerintah Kota setempat. Setelah program rehabilitasi sosial dilaksanakan, selanjutnya peserta didik (Klien Pemasyarakatan) mendapatkan bantuan modal usaha yang dikenal dengan UEP (Usaha Ekonomi Produktif) yang disalurkan melalui Kantor Sosial Kota Bandung. 2. Keberhasilan program Rehabilitasi Sosial yang didapat oleh Mantan Narapidana di Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung terhadap penerapannya di masyarakat bervariasi, seperti yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, beberapa
mantan Narapidana
mampu
membangun
dan
memajukan usaha mereka dibidang percetakan dan sablon dengan omzet yang cukup tinggi. Mereka berhasil memanfaatkan bantuan modal usaha yang mereka dapatkan setelah menyelesaikan pendidikan dan pelatihan pada program Rehabilitasi Sosial di Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung. 3. Faktor-faktor penghambat dan masalah yang terjadi dalam program Rehabilitasi Sosial, antara lain :
♦ Kualitas SDM Klien Pemasyarakatan yang kurang memadai, menjadikan penyaluran pendidikan, latihan dan keterampilan sulit untuk diserap, melihat
kenyataan
bahwa
sebagian
besar
Klien
Pemasyarakatan
berlatarbelakang pendidikan rendah, sehingga perlu diadakan program yang berkelanjutan untuk mengoptimalkan program rehabilitasi sosial, ♦ Rentang waktu yang sikat dalam penyaluran pendidikan, latihan dan keterampilan pada program rehabilitasi sosial menjadikan output dari program tersebut kurang efektif dan optimal, ♦ Sulitnya anggaran yang turun dari Pemerintah Daerah melalui Kantor Sosial kota Bandung untuk mengadakan program Rehabilitasi Sosial. Sedangkan faktor penghambat dan masalah yang terjadi dalam penerapannya dimasyarakat, adalah : ♦ Keterbatasan modal yang dimiliki oleh mantan Narapidana untuk melanjutkan usaha yang baru dirintis dari bantuan modal usaha yang telah didapat setelah mengikuti program Rehabilitasi Sosial, ♦ Kesulitan dalam hal pemasaran barang / jasa hasil karya mantan Narapidana, mengingat belum adanya jaringan pemasaran dan kelompok usaha bersama yang belum dibentuk. Selain itu bekal pengetahuan manajemen pemasaran masih minim bahkan belum ada. 4. Strategi pemberdayaan dan pengembangan program Rehabilatasi Sosial yang didesain berdasarkan kerangka pikir dimulai dari perancangan pendidikan, pelatihan dan keterampilan yang menarik, bermanfaat dan laku dipasaran sampai pembentukkan jaringan usaha dan kelompok usaha bersama yang melibatkan kelembagaan lokal dan swasta yang berperan sebagai sponsor, diharapkan dapat menguntungkan kedua belah pihak (mantan narapidana dan sponsor / stakeholders).
Rekomendasi
Program yang telah berhasil dirumuskan dan akan dilaksanakan tetap akan mengupayakan partisipasi dan kemandirian bagi mantan Narapidana. Adanya kemandirian ini, nantinya akan mengurangi secara perlahan ketergantungan para mantan Narapidana terhadap pemerintah. Berkaitan hal tersebut, terdapat beberapa upaya yang perlu menjadi perhatian bagi pihak terkait, agar program ini benar-benar dapat berjalan sesuai dengan harapan bersama, yaitu sebagai berikut : 1. Dalam pelaksanaannya, lebih dititikberatkan pada praktik-praktik yang continue sehingga mantan Narapidana mendapatkan ilmu dan wawasan keterampilan yang seluas-luasnya dari lembaga penyelenggara pelatihan keterampilan, 2. Hendaknya terhadap mantan Narapidana yang memiliki potensi lebih dan kreatif dalam suatu bidang usaha, disaring sampai mencapai kuota tertentu agar dapat diberdayakan dalam suatu proyek pemerintahan dan disalurkan untuk bekerja pada perusahaan swasta yang menjadi stakeholders instansi pemerintahan terkait, 3. Pembinaan tahap lanjut (BINJUT) yang dilakukan oleh pihak Pemerintah, dalam hal ini Dinas Sosial melalui Kantor Sosial dan Balai Pemasyakaratan memberikan perhatian yang cermat dan serius akan perkembangan usaha dan situasional mantan Narapidana agar dapat lebih berkembang dan mandiri akan usaha yang dijalankannya, 4. Menyediakan wadah komunikasi antar komunitas mantan Narapidana dengan pihak Pemerintah, sehingga aspirasi para mantan Narapidana dapat diketahui, didengar dan ditanggapi oleh pihak-pihak yang berperan atas usaha rehabilitasi sosial ini.
DAFTAR PUSTAKA
Bidang Rehabilitasi Sosial. LAPORAN PELAKSANAAN Program Pelayanan Rehabilitasi dan Partisipasi Sosial DASK Anggaran Belanja Pembangunan Kota Bandung Tahun 2006. Pemerintah Kota Bandung, 2006 Chapman, Ronald. Pengusaha Kecil dan Menengah di Asia. LP3ES. Jakarta, 1991 H. Hadari Nawawi-H.Muni Martani. Manusia berkualitas. Gajah Mada University Press. Yogyakarta, 1994 Hoesin, Iskandar. Perlindungan Terhadap Kelompok Rentan dalam Perspektif Hak Asasi Manusia. Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Departemen Kehakiman dan HAM. Jakarta, 2003 Ife, K. Community Development; Creating Community Alternatives-Vision, Analisys And Practice. Longman. Melbourne, 1995 J. Schwartz, David. The Magic of Thinking Big. Prentice-Hall inc, 1996 Muladi. HAK ASASI MANUSIA, Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat. Refika Aditama. Bandung, 2007 Mulyadi, Lilik. Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi & Viktimologi. PT Djambatan. Jakarta, 2007 Mustofa, Muhammad. Pemulihan Hak-hak Sipil Mantan Narapidana. Guru Besar Jurusan Kriminologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Jakarta, 2008 Pemerintah Kota Bandung. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung 2004 2013. Buku Rencana. Bandung, 2004 Pemerintah Kota Bandung. Bandung dalam Angka Tahun 2006. Bandung, 2006 Purnama, Lingga CM. Strategic Marketing Plan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, 2001 Setiana, Lucie. Teknik Penyuluhan dan Pemberdayaan Masyarakat. Ghalia Indonesia. Bogor, 2005 Suwarno, Juni. Pemberdayaan Rakyat, Melalui Pengembangan Ekonomi. Bergetar. Solo, 1996
Syaukat, Yusman dan Sutara Hendrakusumaatmadja. Pengembangan Ekonomi Lokal. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi dan Politik. Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB dan Program Pascasarjana IPB, 2006 Tim Peneliti. Buku VII : Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan bidang tugas Pembinaan. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. Jakarta, 2003 Tim Peneliti. Instrumen HAM untuk Kelompok Rentan. Badan Penelitian dan Pengembangan HAM Departemen Hukum dan HAM. Jakarta, 2007 Tjiptoherijanto, Prijono. Urbanisasi dan Perkembangan Perkotaan di Indonesia. Guru Besar Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Jakarta, 2000 Usman, Sunyoto. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Pustaka Pelajar,Cetakan III. Yogyakarta, Maret 2004
Lampiran 1 LANDASAN HUKUM :
PROSES
PEMASYARAKATAN 1. Pancasila 2. UUD 1945 3. KUHP
4. KUHAP 5. UU No. 12 Tahun 1995 6. UU No. 3 Tahun 1997
TAHAP AWAL (± 1/3 Masa Pidana)
7. Peraturan Pemerintah 8. Keputusan Presiden 9. Keputusan Menteri
TAHAP LANJUTAN (±1/3 - 1/2 Masa Pidana)
A. Admisi dan Orientasi Masa pengamatan, pengenalan dan penelitian lingkungan paling lama 1 (satu) bulan B. Pembinaan Kepribadian 1. Pembinaan kesadaran beragama, 2. Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara, 3. Pembinaan kemampuan intelektual (kecerdasan) 4. Pembinaan kesadaran hukum
T P P
A.Pembinaan Kepribadian Lanjutan
Asimilasi
Program lanjutan ini merupakan lanjutan pembinaan kepribadian pada tahap awal
Dalam LAPAS Terbuka (Open Camp)
1. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri, 2. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha industri kecil, 3. Keterampilan yang dikembangkan sesuai dengan kesepakatan masing-masing, 4. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha industri/pertanian/perkebunan/perkebunan dengan teknologi madya/tinggi.
Maximum
1. 2. 3.
POLRI KEJAKSAAN NEGERI PENGADILAN NEGERI
T P P
Instansi Lainnya 1. DEPKES 2. DEPNAKER 3. DEPERINDAG
Integrasi -
PB CMB
Dalam LAPAS (Half Way House / Work) -
Melanjutkan Sekolah Kerja Mandiri Kerja pada Pihak Luar Menjalankan Ibadah Bhakti Sosial Olah Raga Cuti Mengunjungi Keluarga Dan Lain-lain
Medium
Instansi Penegak Hukum
TAHAP AKHIR (± 2/3 Masa Pidana–Bebas)
(±1/2 – 2/3 Masa Pidana)
B. Pembinaan Kemandirian
*
10. Peraturan Menteri 11. Keputusan DIRJEN PAS
4. DEPAG 7. DEPTRANS & PPH 5. DEPDIKNAS 8. DLL 6. PEMDA
T P P
BAPAS
B E B A S S E S U N G G U H N Y A
Minimum Security
Pihak Swasta 1. PERORANGAN 2. KELOMPOK 3. LSM & PERUSAHAAN3.
* Tujuan 1. Tidak melanggar hukum lagi 2. Dpt. berpartisipasi aktif & pasif dlm. pembangunan 3. Hidup berbahagia dunia dan akhirat
DEPARTEMEN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI KANTOR WILAYAH JAWA BARAT
BALAI PEMASYARAKATAN KLAS.I BANDUNG Jl. Ibrahim Adjie No. 431 Tlp. 022 – 7312495 Bandung 40284
STRUKTUR KANTOR BALAI PEMASYARAKATAN KLAS.I BANDUNG
KEPALA SUB. BAGIAN TATA USAHA OOM SUMIATI, SH NIP. 040048452
KEPALA BAPAS KLS. I BANDUNG AGUS WIRYAWAN, Bc.IP,SH,MH NIP. 040033596
KEPALA SEKSI KLIEN DEWASA DRA. SRI WINDA NIP. 040034682
KEPALA URUSAN KEPEGAWAIAN
AEP KASMAN, AKS
NIP. 170018456
KEPALA URUSAN UMUM DRS. ADRIAN NIP. 170023746
KEPALA URUSAN KEUANGAN JACKSON SIMAMORA,SH,M.Si NIP. 040070744
KEPALA SEKSI KLIEN ANAK DRA. SRI SAKBANINGTYAS NIP. 040054777
KEPALA SUBSI. REGISTRASI HELNA DANILA NIP. 040030503
KEPALA SUBSI. REGISTRASI ANDI CAWANG.H NIP. 040020192
KEPALA SUBSI. BIMKEM KODIRUN NIP. 040020826
KEPALA SUBSI. BIMKEM NANANG. S, SH NIP. 040046919
KEPALA SUBSI. BIMKER NELVIANTI, SH NIP. 040056541
KEPALA SUBSI. BIMKER DRA. HERMIEN WULYANA NIP. 040053790
96
INSTRUMEN PENELITIAN
1. PEDOMAN STUDI DOKUMENTASI A. Dokumen Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung 1. Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor : M.01.PR.07.03 Tahun 1997 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Bimbingan Pemasyarakatan dan Pengentasan Anak, 2. Keputusan Menteri Kehakiman RI tanggal 2 Februari 1998 Nomor : M.01.PK.04.10 tahun 1998 tentang Tugas Kewajiban dan syarat-syarat Gaji Pembimbing Kemasyarakatan, 3. Surat Keputusan Menteri Kumdang RI No.M.12-PR.07.10.Th 1999 tentang Struktur Organisasi BAPAS Klas I Bandung, 4. Buku I : Undang-undang dan Keputusan Presiden yang berkaitan dengan Pemasyarakatan, 5. Buku VII : Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan bidang tugas Pembinaan,
B. Dokumen Kepustakaan 1. Buku Materi Kuliah Akademi Ilmu Pemasyarakatan : Bimbingan dan Penyuluhan Klien, 2. Buku Metode-metode Partisipatif dalam Pengembangan Masyarakat, 3. Buku-buku yang Berkaitan dengan Teori Pemberdayaan.
2. PEDOMAN OBSERVASI PARTISIPAN A. Pelaksanaan Program Rehabilitasi Sosial di Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung 1. Kegiatan pendidikan dan keterampilan yang diberikan pada Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung, 2. Partisipasi aktif Klien Pemasyarakatan dalam mengikuti program Rehabilitasi Sosial, 3. Metode yang digunakan pada proses pembelajaran di Balai Pemasyarakatan terhadap Klien Pemasyarakatan,
97 4. Kondisi sarana dan prasarana yang mendukung program Rehabilitasi Sosial, 5. Penyaluran Klien Pemasyarakatan pada berbagai jenis usaha di Masyarakat.
B. Kemitraan dalam Program Rehabilitasi Sosial Departemen lain dan pihak swasta yang telah bekerjasama dengan Departemen Hukum dan HAM RI dalam usaha mendukung kegiatan / program Rehabilitasi Sosial.
C. Kegiatan Usaha Ekonomi Produktif eks Klien Pemasyarakatan 1. Kegiatan / jenis usaha ekonomi produktif yang dikembangkan, 2. Motivasi dan kesungguhan dalam mengembangkan usaha ekonomi produktif dengan didukung stakeholder terkait, 3. Kondisi sarana dan prasarana yang digunakan.
3. PEDOMAN WAWANCARA A. Wawancara dengan Klien Pemasyarakatan 1. Karakteristik Responden : a. Nama
:
.................................................................
b. Umur
:
.................................................................
c. Jenis Kelamin
:
Pria / Wanita
d. Lama Pidana
:
.................................................................
e. Perkara
:
.................................................................
f. Pendidikan
:
.................................................................
g. Pekerjaan
:
.................................................................
:
.................................................................
:
.................................................................
h. Jenis Pendidikan / Keterampilan di BAPAS i. Alamat
98 2. Sudah berapa banyak jenis kegiatan yang telah Anda ikuti pada Program Rehabilitasi Sosial yang diselenggarakan oleh Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung ? Coba sebutkan. 3. Apakah keterampilan yang didapat pada program Rehabilitasi Sosial di Balai Pemasyarakatan pernah Anda dapatkan sebelumnya ketika sedang menjalani masa pidana di Lembaga Pemasyarakatan ? 4. Keterampilan apa yang sudah Anda miliki / kuasai sebelum menjadi Klien Pemasyarakatan di Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung ? 5. Jika belum memiliki keterampilan sebelumnya, apakah keterampilan yang telah didapat pada program Rehabilitasi Sosial dapat Anda ikuti secara optimal dan sesuai dengan minat Anda ? 6. Menurut Anda, faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kesuksesan program Rehabilitasi Sosial ? 7. Bagaimana menurut Anda terhadap pembimbing kemasyarakatan yang memberikan materi keterampilan pada Program Rehabilitasi Sosial, apakah dapat diserap dengan mudah atau tidak ? Jelaskan alasan Anda. 8. Bagaimana sarana dan prasarana yang disediakan selama mengikuti program Rehabilitasi Sosial, apakah memadai atau tidak ? 9. Kendala / Permasalahan apa saja yang Anda rasakan selama mengikuti Program Rehabilitasi Sosial ? 10. Apa yang menjadi harapan Anda setelah mengikuti program Rehabilitasi Sosial di Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung ? 11. Apakah Anda mendapatkan bekal dalam bentuk materi atau fasilitas usaha setelah mengikuti program Rehabilitasi Sosial ? 12. Jika tidak, apakah Anda mengharapkan bekal tersebut ?
B. Wawancara dengan Pembimbing Kemasyarakatan 1. Menurut Bapak bagaimana karakter dan minat Klien Pemasyarakatan selama mengikuti program Rehabilitasi Sosial ? 2. Berapakah jumlah Klien Pemasyarakatan pada setiap program Rehabilitasi Sosial ? 3. Apakah ada batas minimal ataupun maksimalnya ?
99 4. Menurut Bapak apakah program Rehabilitasi Sosial yang diberikan sesuai dengan keinginan Klien Pemasyarakatan ? 5. Menurut pengamatan Bapak apakah Klien Pemasyarakatan yang mengikuti program Rehabilitasi Sosial terlihat penuh semangat / antusias ? 6. Apa harapan Bapak terhadap Klien Pemasyarakatan selama mengiktu program Rehabilitasi Sosial tersebut ? 7. Selain
pendidikan dan pelatihan keterampilan,
apakah Klien
Pemasyarakatan juga diberikan pengetahuan tentang entrepreneurship (kewirausahaan) ? 8. Kesulitan apa yang paling sering dihadapi oleh Klien Pemasyarakatan selama mengikuti program Rehabilitasi Sosial ? 9. Langkah-langkah apa yang ditempuh dalam mengatasi kesulitan yang dihadapi oleh Klien Pemasyarakatan ? 10. Jika
pada
akhir
program,
ternyata
masih
terdapat
Klien
Pemasyarakatan yang belum menguasai keterampilan melalui program Rehabilitasi Sosial, tindakan apa yang ditempuh Bapak sebagai seorang Pembimbing Kemasyarakatan ? 11. Menurut Bapak apakah pengetahuan keterampilan instruktur perlu ditingkatkan ? 12. Jika ya, pengetahuan apa yang Bapak harapkan ? 13. Menurut Bapak, apakah fasilitas / sarana dan prasarana yang disediakan memadai dan menunjang kelancaran program ? 14. Fasilitas / sarana dan prasarana apa yang diharapkan tersedia ?
C. Wawancara dengan Pegawai Balai Pemasyarakatan 1. Dalam setahun, berapa kali program Rehabilitasi Sosial di adakan ? 2. Bagaimana sistem penyaluran Klien Pemasyarakatan pada jenis / bidang usaha di Masyarakat ? 3. Menurut Bapak / Ibu, bagaimana perhatian masyarakat terhadap program Rehabilitasi Sosial ?
100 4. Kegiatan keterampilan apa saja yang telah dikembangkan pada program Rehabilitasi Sosial ? 5. Apakah semua kegiatan pada program Rehabilitasi Sosial telah berjalan sampai sekarang ? 6. Jika tidak, kegiatan-kegiatan apa saja yang tidak berjalan pada program tersebut ? 7. Apa yang menjadi penyebab kemacetan dalam pelaksanaan bebarapa kegiatan pada program Rehabilitasi Sosial ? (jika ada). 8. Apa harapan Bapak / Ibu terhadap Klien Pemasyarakatan dalam mengikuti program Rehabilitasi Sosial ? 9. Untuk perekrutan Pembimbing Kemasyarakatan, apakah direkrut dari pegawai Balai Pemasyarakatan atau tenaga teknis dari luar ? 10. Jika ada perekrutan Pembimbing Kemasyarakatan dari tenaga teknis di luar, bagaimana cara perekrutannya ? 11. Bagaimana cara-cara dalam menentukan jenis keterampilan pada program Rehabilitasi Sosial di Balai Pemasyarakatan ? 12. Dengan pihak mana saja kerjasama yang telah dijalin oleh Balai Pemasyarakatan
guna
kelangsungan
kegiatan
pada
program
Rehabilitasi Sosial di Balai Pemasyarakatan ? 13. Apakah ada kendala dalam hubungan kerjasama dengan pihak-pihak yang selama ini telah bekerjasama ? 14. Apa yang menjadi harapan dalam hubungan kerjasama untuk mengoptimalkan kegiatan pendidikan dan keterampilan pada program Rehabilitasi Sosial di Balai Pemasyarakatan ?
D. Wawancara dengan Eks Klien Pemasyarakatan 1. Karakteristik Responden : a. Nama
:
.................................................................
b. Umur
:
.................................................................
c. Jenis Kelamin
:
Pria / Wanita
d. Pendidikan
:
.................................................................
e. Pekerjaan
:
.................................................................
101 f. Alamat
:
.................................................................
2. Kapan Saudara terakhir kali mengikuti program Rehabilitasi Sosial di Balai Pemasyarakatan ? 3. Apakah keterampilan yang Saudara peroleh di Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung sesuai dengan harapan dan keinginan Saudara ? 4. Jika tidak, pendidikan dan keterampilan apa yang Saudara inginkan ? 5. Manfaat apa yang Saudara peroleh setelah mengikuti program Rehabilitasi Sosial ? 6. Saat ini, adakah jenis usaha yang sedang Saudara jalankan ? 7. Jika ada, jenis usaha apakah yang Saudara jalankan ? 8. Apakah jenis usaha yang Saudara jalankan saat ini merupakan implementasi dari hasil program Rehabilitasi Sosial yang pernah Saudara ikuti ? 9. Siapa yang mendorong Saudara untuk melakukan usaha ekonomi ? 10. Adakah permasalahan yang Saudara hadapai dalam menjalankan dan mengembangkan usaha ekonomi produktif ? 11. Jika ada, apa saja permasalahan tersebut dan faktor-faktor apa yang membuat permasalahan itu terjadi ? 12. Apakah Saudara mendapat bantuan / modal usaha dari Pemerintah ataupun stakeholder Balai Pemasyarakatan ? 13. Apakah Saudara termasuk dalam eks Klien Pemasyarakatan yang disalurkan bekerja ?
4. PEDOMAN DISKUSI KELOMPOK A. Diskusi Kelompok I (pra penyusunan program) 1. Topik diskusi : Evaluasi program Rehabilitasi Sosial yang telah dilaksanakan. 2. Tujuan : Mengindentifikasi berbagai permasalahan dan kebutuhan yang dirasakan untuk pengembangan Rehabilitasi Sosial dimasa yang akan datang.
102 3. Peserta : a. Kepala Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung, b. Para pejabat struktural dibawah Ka. BAPAS, c. Staf / pegawai Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung, d. Pembimbing Kemasyarakatan, e. Perwakilan Klien Pemasyarakatan, f. Penulis (fasilitator). 4. Tempat : AULA Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung. 5. Alokasi waktu : 3 – 4 Jam. 6. Langkah-langkah pelaksanaan diskusi : a. Pengantar oleh Kepala Balai Pemasyarakatan, b. Fasilitator menjelaskan tujuan diskusi, sekaligus presentasi tentang permasalahan program Rehabilitasi Sosial di Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung, c. Dimulai dengan review pelaksanaan program Rehabilitasi Sosial, peserta diajak untuk mengidentifikasi permasalahan dan kebutuhan yang
dirasakan
sebagai
bahan
untuk
menyusun
model
pengembangan program Rehabilitasi Sosial yang efektif dan optimal di masa yang akan datang, d. Seluruh peserta diberi kesempatan untuk mengemukakan gagasan dan pendapat, e. Setelah teridentifikasi permasalahan dan kebutuhan yang dirasakan untuk pengembangan program Rehabilitasi Sosial di masa yang akan datang, selanjutnya peserta diajak untuk merencanakan pertemuan
Penyusunan
Model
Pengembangan
Rehabilitasi Sosial yang melibatkan stakeholder.
program
103 B. Diskusi Kelompok II (Penyusunan Program) 1. Topik : Penyusunan
pengembangan
program
Rehabilitasi
Sosial
yang
berkelanjutan di Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung. 2. Tujuan : Untuk menghasilkan suatu bentuk atau model pengembangan program Rehabilitasi Sosial yang berkembang, berkelanjutan dan optimal dalam rangka pemberdayaan masyarakat. 3. Peserta : a. Kepala Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung, b. Para pejabat struktural dibawah Ka. BAPAS, c. Staf / pegawai Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung, d. Pembimbing Kemasyarakatan, e. Perwakilan Klien Pemasyarakatan, f. Penulis (fasilitator). 4. Tempat : AULA Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung. 5. Alokasi Waktu : 3 – 4 Jam. 6. Langkah-langkah : a. Pengantar oleh Kepala Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung beserta para Pejabat Struktural dibawahnya, b. Moderator menjelaskan tujuan diskusi, c. Diskusi diawali dengan presentasi (oleh penulis sebagai fasilitator) tentang permasalahan program Rehabilitasi Sosial di Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung dan pentingnya dibuat model yang
tepat
untuk
pengembangan
program
tersebut
yang
berkembang dan berkelanjutan dimasa yang akan datang dalam rangka pemberdayaan masyarakat. Permasalahan yang akan dibahas dalam diskusi, meliputi : •
Masalah
penentuan
jenis
keterampilan
dikembangkan pada program Rehabilitasi Sosial,
yang
akan
104 •
Materi dan metode pembelajaran,
•
Tenaga instruktur / Pembimbing Kemasyarakatan,
•
Masalah distribusi,
•
Masalah bantuan dan dukungan bagi Klien Pemasyarakatan yang ingin membuka usaha mandiri, baik perorangan maupun kelompok.
d. Setelah presentasi, peserta diskusi diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat dan gagasannya masing-masing hingga diperoleh kesepakatan dan kesamaan persepsi tentang program Rehabilitasi yang optimal dan berkelanjutan, e. Hasil kegiatan diskusi direkam dalam catatan lengkap oleh seorang notulen yang telah ditunjuk serta didokumentasikan.
106 Lampiran 4 Dokumentasi Kegiatan Rehabilitasi Sosial pada Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung
107
Wawancara dengan Mantan Narapidana (eks. Klien Pemasyarakatan)
108
Suasana FGD di Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung
109
110 Lampiran 5
PETA WILAYAH K O T A
B A N D U N G