PERAN BALAI PEMASYARAKATAN DALAM MENGEMBALIKAN FUNGSI SOSIAL TERHADAP KLIEN ANAK SEBAGAI WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN (NARAPIDANA) (Jurnal)
Oleh: MOHAMMAD FIKRI HAIQAL
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2016
PERAN BALAI PEMASYARAKATAN DALAM MENGEMBALIKAN FUNGSI SOSIAL TERHADAP KLIEN ANAK SEBAGAI WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN (NARAPIDANA) Mohammad Fikri Haiqal; Tri Andrisman; Deni Achmad e-mail : (
[email protected]) Abstrak Anak yang telah melakukan tindak pidana akan di tempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), untuk mendapatkan pembinaan dan pembimbingan. Anak yang statusnya sebagai warga binaan pemasyarakatan kemudian didaftarkan menjadi klien pemasyarakatan ini menjadi tanggung jawab kepada Balai Pemasyarakatan (Bapas) untuk melakukan pembimbingan. Permasalahan yang diajukan di skripsi ini adalah: 1.Bagaimanakah peran Balai Pemasyarakatan (Bapas) Klas II Bandar Lampung, dalam mengembalikan fungsi sosial terhadap klien anak sebagai warga binaan pemasyarakatan (narapidana), dan 2.Apakah yang menjadi faktor pendukung dan penghambat Balai Pemasyarakatan (Bapas) Klas II Bandar lampung untuk mengembalikan fungsi sosial terhadap klien anak sebagai warga binaan pemasyaraktan (narapidana). Penelitian yang dilakukan menggunakan pendekatan masalah berupa pendekatan yuridis normatif dan yuiridis empiris. Data yang digunakan berupa data sekunder yang berasal dari penelitian kepustakaan dan data primer yang didapat dari penelitian lapangan. Berdasarkan hasil penelitan dan pembahasan : 1. Peran Bapas untuk mengembalikan fungsi sosial dalam hal melakukan pembimbingan terhadap klien anak di LPKA berupa : A. Bimbingan Perorangan : a)Dilakasanakan dengan cara apel ke Bapas (sosial case work) b) Pembimbing Kemasyarakatan mengunjungi klien (home visit). B. Bimbingan Kelompok (Group Work): a) pelatihan usaha (kegiatan pengembangan potensi diri) b) olahraga (kegiatan meningkatkan aspek jasmani). 2. Faktor pendukung dan penghambat dari kinerja Bapas antara lain : A. Faktor pendukung: a) pegawai Bapas mempunyai etos kerja yang baik; b) dari pihak keluarga klien anak mempunyai itikad baik; c) mempunyai mitra kerja dengan Lembaga Kesejahteraan Sosial; d) Klien Anak wajib lapor ke Bapas. B. Faktor penghambat terhadap kinerja Bapas: a) regulasi dari balai pemasyarakatan; b) personil dari balai pemasyarakatan; c) sarana dan pra-sarana; d) personal dari klien anak permasyarakatan maupun pihak keluarga; e) biaya atau keuangan. Berdasarkan kesimpulan di atas maka saran sebagai berikut: perlu adanya sinergi saling terkait satu dengan yang lain baik secara formal maupun informal antar instansi penegak hukum, perlu adanya sosialisasi oleh Bapas mengenai peran dan fungsinya kepada masyarakat luas, dan sarana dan pra-sarana untuk membimbingan klien anak ditingkatkan. Kata kunci:
Peran, Balai Pemasyarakatan, Fungsi Sosial, Klien Anak.
EFFORTS TO PROTECT WOMEN AND CHILD UNIT POLRESTA BANDAR LAMPUNG IN FIGHTING CRIME AGAINST CHILDREN VIOLENCE Rizky Ediansyah, Nikmah Rosidah, Eko Raharjo Email: (
[email protected]) Abstract Kids are the future generation and successor development. Children in Indonesia and in other countries also often experience violent actions of law enforcement officers demanded to prevent and combat crimes of violence against children in order to reduce crimes of violence against children. Problems in this thesis first attempts How Women and Children Protection Unit Police Bandar Lampung in the prevention of crimes of violence against children? Is the limiting factor Women and Children Protection Unit Police Bandar Lampung in the prevention of crimes of violence against children? The method used in this research is normative juridical approach and empirical jurisdiction. Sources of data used are primary and secondary virgin. Based on the results of efforts to control the persistence of criminal acts against children by the Women and Children Protection Unit Police Bandar Lampung as follows: Preventive efforts: Conducting education on violence against children and in cooperation with relevant institutions with the goal of counseling is all elements of society. factors inhibiting the Women and Children Protection Unit Polrestas Bandar Lampung in the prevention of crimes of violence against children include: lack of awareness of the victims of violence themselves or reluctant to report the violence. Abuse of the times / technology and lack of parental supervision and a community of children. Shifting cultural norms and values in society. Advice can be given is a need for the implementing regulations of Law No. 35 of 2014 so that the substance and legal instruments at issue in its application to immediately clarified to avoid any misinterpretation in the application of law enforcement officers who deal with criminal offenses related to. Police officers should djahatan against women and children. Equipped with facilities and infrastructure, especially in the consultative and investigation. Keywords: Unit PPA ; countermeasures; child
1. Pendahuluan Pada dasarnya suatu kejahatan atau tindak pidana itu dapat terjadi pada siapapun dan dapat dilakukan oleh siapa saja baik pria, wanita, ataupun anak-anak. Anak adalah generasi penerus bangsa dan penerus pembangunan, yaitu generasi yang dipersiapkan sebagai subjek pelaksana pembangunan yang berkelanjutan dan pemegang kendali masa depan suatu negara, tidak terkecuali Indonesia. Perlindungan anak Indonesia berarti melindungi potensi sumber daya insani dan membangun manusia Indonesia seutuhnya, menuju masyarakat yang adil dan makmur, materiil spiritual berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945. Terjadinya kekerasan terhadap anak tidak hanya terjadi pada masyarakat umumnya (masyarakat kebanyakan) namun banyak pula kasus kekerasan terhadap anak yang menimpa kalangan berpendidikan bahkan di lingkungan keluarga pejabat, termasuk di kalangan keluarga aparat penegak hukum sendiri. Hal ini pertanda bahwa kekerasan terhadap anak merupakan kejahatan yang bisa terjadi pada siapa saja tanpa memandang latar belakang keluarga. Perkembangan tindak kekerasan terhadap anak menunjukan bahwa anak kerap dijadikan objek kekerasan karena secara fisik dan mental belum matang. Tindak pidana kekerasan terhadap anak menyebabkan anak mengalamai trauma berkepanjangan dan tidak jarang membuat korban bungkam, karena itu anak korban kekerasan baik secara fisik, psikis, seksual dan pelantaran anak harus mendapat perhatian khusus. Masalah korban
kejahatan ini sebetulnya bukanlah masalah baru, hanya karena hal-hal tersebut kurang diperhatikan, bahkan diabaikan1. Menurut Arif Gosita2 tentang masalah korban kejahatan (victim rights), yang dimaksud dengan korban, adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan. orang lain, yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain, yang bertentang dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita. Anak harus mendapatkan perlindungan dari pihak-pihak yang berwenang. Perlindungan ini diwujudkan tidak hanya oleh pemerintah saja, tetapi juga harus diwujudkan oleh aparat penegak hukum khususnya kepolisian. Sebagaimana yang tertera pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 20023, bahwa yang dimaksud dengan perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Meningkatnya kasus-kasus kekerasan terhadap anak terlihat dari jumlah tindak pidana kekerasan terhadap anak pada Tahun 2013 tercatat terdapat 31 kasus tindak pidana 1
Siswano Sunarso, Viktimologi dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hlm. 63. 2 Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan Kumpulan Karangan, Jakarta: Akademika Pressindo, 1993, hlm. 63. 3 Menurut Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
kekerasan terhadap anak, sedangkan pada Tahun 2012 kasus kekerasan terhadap anak tercatat 26 kasus4, ini mengindikasikan bahwa masih lemahnya upaya aparat yang berwajib dalam menangani atau menanggulangi permasalahan kekerasan terhadap anak tersebut dan tidak jarang para korban kekerasan anak tersebut tidak melaporkan akan adanya kekerasan terhadap anak yang menimpanya, sehingga hal tersebut dapat menjadi penghambat aparat yang berwajib dalam upaya penanggulangan tindak kekerasan terhadap anak itu sendiri. Dan hal ini mengakibatkan tindak kekerasan terhadap anak semakin meningkat. Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA) merupakan salah satu institusi yang bertanggung jawab atas tegaknya hukum tentunya dituntut peran sertanya dalam mendukung terwujudnya perlindungan serta penanggulangan tindak pidana kekerasan terhadap anak. Untuk mendukung tugas Unit Perlindungan Perempuan dan Anak dalam mengurangi tindak kekerasan terhadap anak, maka pemerintahtelah mengesahkan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sehingga Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polresta Bandar Lampung dituntut mampu membantu proses penyelesaian dan penanggulangan terhadap tindak pidana kekerasan terhadap anak. 4
http://lampost.co/berita/bandar-lampung31-anak-jadi-korban-kekerasan, di akses pada 12 oktober 2015
Permasalahan dalam skripsi ini yang pertama bagaimana upaya unit perlindungan perempuan dan anak polresta Bandar Lampung dalam penanggulangan tindak pidana kekerasaan terhadap anak dan yang kedua apa sajakah faktor penghambat unit perlindungan perempuan dan anak polresta Bandar Lampung dalam penanggulangan tindak pidana kekerasaan terhadap anak. Metode penilitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data yang digunakan yaitu dara primer dan sekunder. Metode pengambilan sempel yang digunakan adalah anggota Unit PPA Polresta Bandar Lampung dan dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Upaya Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polresta Bandar Lampung Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasaan Terhadap Anak Upaya penanggulangan adalah usaha, ikhtiar guna mencapai suatu maksud dengan suatu proses untuk menanggulangi suatu kejahatan. Upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan cara: a. Penerapan tanpa pidana (prevention without punishment). b. Penerapan hukum pidana (criminal law application).
c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa (influencing views of society on crime and 5 punishment). Upaya penanggulangan kejahatan yang dikemukakan oleh Arif Barda Nawawi di atas memperlihatkan bahwa dalam rangka penanggulangan tindak pidana atau kejahatan maka lebih menitikberatkan pada 2 (dua) sifat upaya yaitu penanggulangan sebelum terjadinya kejahatan (preventif) dan upaya penanggulangan setelah terjadinya kejahatan (represif). Atas dasar kedua sifat penanggulangan di atas, maka dapat dijabarkan hasil penelitian terkait tentang penanggulangan tindak pidana kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Kepolisian Resor Bandar Lampung sebagai berikut: 1. Upaya Preventif Berdasarkan hasil wawancara dengan Welly6 bahwa upaya penanggulangan tindak pidana kekerasan terhadap anak dalam bentuk preventif yang telah diimplementasikan oleh Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polresta Bandar Lampung antara lain: a. Mengadakan penyuluhan tentang kekerasan terhadap anak dan bekerjasama dengan lembagalembaga terkait dengan sasaran 5
Arif Barda Nawawi. Loc Cit. Hal. 48. Hasil wawancara narasumber di Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung pada tanggal 6 April 2016 pukul 11:10 Wib 6
penyuluhan semua elemen dalam masyarakat. b. Melakukan patroli di tempattempat yang dikira dapat terjadi tindak pidana kekerasan terhadap anak. c. Memasang banner-banner dan spanduk-spanduk tentang pencegahan kekerasan terhadap anak. d. Melakukan sosialisasi di sekolah tentang pemahaman dan ajaran terhadap batasan-batasan kepada orang asing dan anak agar mau menceritakan jika terjadi sesuatu pada dirinya Upaya preventif yang dilaksanakan oleh Unit PPA melalui kegiatan: a. Mendirikan Ruang dan Pelayanan Khusus (RPK), sebagai tempat penanganan kasus kejahatan terhadap perempuan dan anak. b. Membentuk unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) dari tingkat Mabes hingga Polres, sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2007. c. Untuk meningkatkan kemampuan personil RPK dalam penyidikan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dilakukan melalui pendidikan, sehingga akan menambah pengetahuan personil RPK tentang penyidikan secara umum. Salah satu bentuk pendidikan adalah dengan pendidikan kejuruan Reserse kriminal yang dilakukan di Mega Mendung Bogor yang dikhususkan pada kejuruan tentang Pelayanan Ruang Pelayanan Khusus yang
telah dilakukan Polri bekerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Menurut Erna Dewi7 bahwa upaya penanggulangan tindak pidana kekerasan terhadap anak dalam bentuk preventif yang telah diimplementasikan oleh Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polresta Bandar Lampung antara lain dengan cara pemberdayaan masyarakat agar sadar hukum dan taat hukum serta berpartisipasi dalam perpolisian melalui kegiatan perpolisian masyarakat/Polmas. Kegiatan perpolisian masyarakat (Polmas) dilaksanakan dengan melakukan hubungan-hubungan secara sosial dan pribadi dengan warga komuniti setempat, terutama dengan tokoh-tokoh masyarakat. Kebijakan preventif dalam penanggulangan tindak pidana kekerasan terhadap anak mempunyai kedudukan yang strategis karena lebih bersifat tindakan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Oleh karena itu, sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan yang berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh suburkan kejahatan.
kejahatan. Upaya pemidanaan diharapkan dapat memberikan efek jera terhadap pelaku agar tidak mengulangi lagi perbuatannya, selain itu untuk menimbulkan efek rasa takut bagi masyarakat untuk tidak berbuat kejahatan karena harus dipidana/penjara apabila tertangkap aparat penegak hukum. Menurut Welly8 bahwa upaya yang dilakukan oleh Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polresta Bandar Lampung untuk penanggulangan tindak pidana kekerasan terhadap anak melalui pendekatan represif didasarkan pada ketentuan Pasal 5 KUHAP yaitu menerima laporan/pengaduan, meneliti laporan/pengaduan, meneliti tindak pidana yang dipersangkakan penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan, pemeriksaan dan penyitaan surat, mengambil sidik jari dan memotret seorang, serta membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.
Upaya represif merupakan upaya penanggulangan kejahatan yang lebih menitikberatkan pada sifat penindasan, pemberantasan, atau penumpasan setelah terjadinya
Perlindungan sementara sebagaimana disebutkan di atas wajib segera diberikan oleh kepolisian kepada korban dalam waktu 1 x 24 jam, terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan terjadinya kekerasan yang diberikan kepada korban paling lama tujuh hari sejak korban diterima atau ditangani. Agar perlindungan sementara ini dapat segera dinaikkan “statusnya” menjadi perlindungan, maka dalam waktu 1 x 24 jam terhitung sejak pemberian perlindungan sementara, kepolisian wajib meminta surat
7
8
2. Upaya Represif
Hasil wawancara narasumber di Fakultas Hukum Universitas Lampung pada tanggal 8 April 2016 pukul 10:02 Wib
Hasil wawancara narasumber di Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung pada tanggal 6 April 2016 pukul 11:10 Wib
penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Berkaitan dengan upaya penindakan tindak pidana kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polresta Bandar Lampung, maka tindakan represif adalah segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum dan pihak yang terkait dengan kejahatan yang dilakukan sesudah terjadi kejahatan. Tindakan represif antara lain mencakup tindakan penyelidikan dan penyidikan dengan berpedoman pada Hukum Acara Pidana (KUHAP), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, serta peraturan perundangundangan lainnya. B. Faktor Penghambat Unit PPA Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasaan Terhadap Anak 1. Faktor Penegak Hukum Komponen yang bersifat struktural ini menunjukkan adanya kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum. Lembaga-lembaga tersebut memiliki undang-undang tersendiri hukum pidana. Secara singkat dapat dikatakan, bahwa komponen yang bersifat struktural ini memungkinkan kita untuk mengharapkan bagaimana suatu sistem hukum ini harusnya bekerja. Menurut Riki menyatakan bahwa khususnya dilihat dari jumlah atau kuantitas personil Polisi Wanita (Polwan) yang belum memadai,
sehingga perlu peningkatan terhadap jumlah Polwan agar mendekati ratio ideal. Harapannya, Polwan akan menjadi garda terdepan dalam penanganan kasus kejahatan terhadap perempuan dan anak. 2. Faktor Sarana dan Prasarana Fasilitas dapat dirumuskan sebagai sarana yang bersifat fisik, yang berfungsi sebagai faktor pendukung untuk mencapai tujuan. Fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan perangkat keras. Menurut Riki menyatakan bahwa Walaupun Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung sudah mendirikan Ruang dan Pelayanan Khusus (RPK), sebagai tempat penanganan kasus kejahatan terhadap perempuan dan anak, akan tetapi belum memenuhi kriteria khususnya dalam perlindungan terhadap anak yang menjadi pelaku tindak pidana. Kondisi ruangan yang belum dilengkapi dengan keperluan khusus untuk anak memang menjadi pertimbangan dan perlu dilakukan perbaikan di masa mendatang, seperti ruang tidur yang tidak dilengkapi dengan sprai, kamar mandi belum terpisah dengan kamar mandi umum, ruangan yang belum dilengkapi dengan AC maupun kipas angin sehingga terasa panas dan gerah. 3. Faktor Masyarakat Setiap warga masyarakat atau kelompok pasti mempunyai kesadaran hukum, yakni kepatuhan hukum yang tinggi, sedang atau rendah. Sebagaimana diketahui kesadaran hukum merupakan suatu proses yang mencakup pengetahuan hukum, sikap hukum dan perilaku hukum. Dapat dikatakan bahwa derajat kepatuhan masyarakat
terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan. Artinya, jika derajat kepatuhan warga masyarakat terhadap suatu peraturan tinggi, maka peraturan tersebut memang berfungsi. Menurut Riki menyatakan bahwa Kesadaran hukum masyarakat di sini sering dikaitkan dengan berperannya masyarakat sebagai saksi. Tidak dapat dipungkiri, apabila selama ini masyarakat mencoba untuk mengelak dimintai keterangan sebagai saksi walaupun tindak pidana kekerasan terhadap anak terjadi di hadapan masyarakat. Berbagai alasan akan mereka kemukakan untuk menolak menjadi saksi, pada umumnya masyarakat enggan menjadi saksi karena takut adanya intimidasi berupa ancaman fisik maupun psikis terhadap saksi itu sendiri. III. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan penulis dapat ditarik simpulan bahwa: 1. Upaya Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polresta Bandar Lampung dalam penanggulangan tindak pidana kekerasan terhadap anak, yaitu :Upaya preventif yang dilakukan oleh Unit PPA adalah dengan sosialisasi dan penyuluhan, melakukan sosialisasi di sekolah tentang pemahaman dan ajaran agar anak terhindar dari kejahatan, mendirikan Ruang dan Pelayanan Khusus (RPK), dan bekerjasama dengan instansi-instansi terkait denganperlindungan anak.Sedangkan upaya represif yang telah dilakukan oleh Unit PPA adalah dengan memeriksa seseorang yang disangka,
dilaporkan atau diadukan melakukan perbuatan kekerasan terhadap anak, melakukan penyidikan dan penyelidikan, mengumpulkan buktibukti dan menetapkan sebagai tersangka agar selanjutnya dapat dilimpahkan kepengadilan. Rumah Tangga, serta peraturan perundangundangan lainnya. 2. Faktor penghambat Faktor penghambat Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polresta Bandar Lampung dalam penanggulangan tindak pidana kekerasan terhadap anak adalah kurangnya kesadaran masyarakat terhadap masalah kekerasan anak yang terjadi dilingkungannya, pergeseran budaya dan nilai-nilai norma di masyarakat, kurangnya SDM dan fasilitas yang ada untuk menunjang masalah penanggulangan kekerasan terhadap anak, dan kurangnya kesadaran korban untuk melaporkan atau menceritakan tindak kekerasan yang terjadi.
DAFTAR PUSTAKA Buku/Literatur : Siswano Sunarso. 2012. Viktimologi dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Sinar Grafika. Arif Gosita. 1993. Masalah Korban Kejahatan Kumpulan Karangan, Jakarta: Akademika Pressindo. Arif Barda Nawawi. 1996. Kebijakan
Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara. Semarang : Undip.