PEMBERANTASAN KEJAHATAN KORUPSI DALAM RANGKA PROSES PENYESUAIAN DENGAN KONVENSI PBB ANTI KORUPSI Aji Sekarmaji' Abslrak United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) made impact to procedural enforcement against corruption in Indonesia. This paper explain about fact happened in practice with law enforcement against corruption where Indonesian Government has been ratified the covention For real, there are found that the article and section in UNCAC have exist at some Indonesian regulation concerning crimes and procedural law. So, sometimes it's look likes useless if comparing to Uniled Kingdom Government action Cause in United Kingdom international convention or treaty is not part of their law. Kata kunci: korupsi, hukul11 pidana, kOl1vensi PBB anti korupsi
1.
Latar Belakang
Pada waktu perundingan-perundingan "Konvensi PBB tentang Anti Korupsi" atau United Nation Convention Against Corruption mulai awal 2002, satu opsi yang dipertimbangkan adalah untuk sarna sekali tidak mendefinisikan arti korupsi, tetapi cukup dengan membuat daftar jenis-jenis atau tindakan-tindakan spesifik yang disebut korupsi. Perlu dieatat bahwa praktek korupsi tidak pernah dilakukan oleh pelaku tunggal, letapi melibatkan sejumlah pejabat pemerintah, baik pejabat pemerintah yang mempunyai peke'jaan, jabalan dan pangkat yang sama maupun berbeda dengan pelaku kejahatan lainnya di dalam pekerjaan 2 mereka. Sejumlah orang menyadari bahwa hanya pejabat pemerinlah yang dapat melakukan korupsi, karena bagi mereka yang bukan pegawai negeri tidak mempunyai akses atas fasilitas-fasilitas yang disediakan oleh institusi-
Penulis adalah
[email protected]. 2 "KPK
Praklisl
Hukum
di
Jak,uta,
alamat
korespondensi:
dan Senator Jakarta Bekerja 5ama", Moja/ah Tempo, Sen in. 02 Mei 2005.
272
Jurnal Hukum dan Pembangul1an Tahun ke-39 No.2 April-Juni 2009
in st itusi pemerintah, yang hamper se muanya fasilita s dal am bentuk uang (dana atau anggaran), 3
11.
Ketentuan Konvensi PBB ten tang Anti Korupsi dan Ketentuan Anti Korul'si di Indonesia
Menurul hukum Indones ia, " penya lahgunaan kebijakan", " penggelapan" , '"memperkaya diri send iri" ) dan l'suap" adala h j enis-jenis tindak pidana yang seca ra yurid is dia nggap sebagai ko rups i apabila d ilakukan oleh pejabat public yang sedang menjalankan tugasnya. Menurut Pasal 15 " Konven s i PBB tentang Anti Korupsi " tindakantindakan di bawah ini dianggap alau dikategorikan sebagai pelanggaran kejahatan, dalam hal ini korupsi apabila dil akukan dengan sengaj a : a) janji, menawarkan atau memberikan kepada pejabat public, langsung atau tidak langsung, suatu manfaat yang lidak pantas uilfuk pejabat tersebut atau untuk orang lain atau badan hukum lain, dengan tujuan agar pejabat public tersebut me lakukan atau me nahan diri untuk tidak melakukan tindakan dalam rangka untuk me laksanakan kewajibannya; b) Permintaan atau penerimaan o leh pejabat publi c, langsun g atau tidak secara langsung, suatu manfaat yang tidak pantas untuk pejabat tersebut atau untuk oaring lain atau badan hukum lain, dengan tujuan agar pejabat public tersebut melakukan atau menahan diri untuk tidak melakukan tindakan dalam rangka untuk melaksanakan kewaj ibannya. Selain dari pad a itu, Pasal 19 " Konvensi PBB tentang Anti Korupsi" menyatakan pula bahwa penyalahgunaan fungsi atau posis i, yakni pe laksanaan atau kegagalan untuk l1lelaksanakan suatu t indakan yang bertentangan dengan hukum oleh pejabat public di dalam l1lenjalankan fungsinya dengan l1laksud untuk mendapatkan manfaat yang tidak pant as untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain atau badan hukul1l la in, ditetapkan at au dianggap sebagai tindak pidana apabila dilakukan dengan sengaja. Menurut Political and Economi c Risk Cons ulting, sebuah lembaga konsuitasi yang berdomisili di Hongkong, pad a tahun 2002 Indonesia adalah N egara paling korup di seluruh dunia. Lagi, pad a tahun yang sama Transparancy Internasional melakukan penelitian di 102 negara dan hasil dari
3 "Zacky Khairul Um am, Negara, Spi rilual itas, dan Visi Politik" . Maja/all Tempo. 05 April 2006.
Pembera ntasan Korupsi Do/am Konvensi PBB Anti Korupsi, Sekarmaji
273
pene litian terse but mengungkapkan bahwa pos isi Indones ia adalah Negara yang berada da lam uru!an keempat dari Negara-negara ya ng korup' Sebenarnya, praktek korups i bukan sesuatu yang baru di Indones ia. Keberadaan hukum materil tentang pemberantasan korups i yang te lah begitu lama, menunjukan bahwa praktek ko rups i di Indones ia te lah ada bertahuntahun yang lalu. Namun demikian, perlu untuk diketahui bahwa sejumlah ketentuan atau aturan tentang tindak pidan a korups i telah ada didalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebelum praktekpraktek korupsi tersebut diundangkan di dalam peraturan perundang-undangn tentang korups i.' Perlu untuk diketa hui bahwa rancangan undang-undang yang baru yan g akan menggantikan undang-undang sebelumnya, akan lebih menyesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang diatur di dal am Konvens i PBB (entang Anti Korupsi. Ketentuan-ketentuan atau aturan-atura n tentang tindak pida na korups i yang disebutkan diatas, dapat dibaca di dala m Pasal 209, 2 10,4 18, 419 da n 420 KUHP. Pasal 103 KUHP menyatakan bah wa Bab I sampai de ngan Bab VlIl K UHP juga berlaku untuk tindak-tindak pidana yang d iatur dan ditentukan di dalam undang-undang tentang tindak-tindak pidana tertelltu. Pada tahun 1971 Pemerintah Indonesia men gesahkan Undang-undang No . 3 Tahun 1971 tentan g Pemberantasan Korups i yang kemudian undangundang ini diubah dengan Undan g-Undang No. 3 1 Tahun 1999 dan diubah lagi dengan Undang-Undang No . 20 tahun 200 I. Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No . 31 Tahun 1999 Pasal 43 ayat ( I), sebuah komi s i yang dinamakan Komisi Pemberantasan Korups i harus dibentu k dan o leh karena itu, pada tanggal 27 Desember 2002 , Presiden mengesahkan UndangUndang No. 30 tahun 2002 tentang Pembentukan Komisi Pemberantasa n Korups i (KPK). Sehubungan dengan pem bentukan KPK terse but diatas, Pasal 36 Konvensi PBB tentang Anti Korups i berbun y i sebagai berikut:
Seliap Negara peserla, sesllai dengan prinsip-prinsip dasar alau asas-asas system hukwl7nya, menjamin keberadaan suaiU badan alau badan -badan atau orang yang khllsus diber i tugas unluk memberantas korupsi melalui penegakan hukul1l. Badan
4 ';/ndonesia 's Judiciary System Rated The Worsl in Asia ", The Jakarta Post, Monday, September 15, 2008.
5 Joel Hell man, Curbing Corruption ill Indoll esia, Published by The Vnited StatesIndonesia Society (USJN DO) and The Cemer for Strategic and International Studies (CS IS). 2006, p. 1.
274
Jurnal Hukwn dan Pembangunan Tah un ke-39 No.2 April-J1mi 2009
atau badan-badan atall orang yang demikian itu harus diberikan independensi menurut prinsip-prinsip dasar system hukwn masing-masing negera peserta, untuk dapat menjalankan jimgsinya secara efektif dengan tanpa adanya pengaruh negative. Orang atau badan yang diberikan tugas un/uk memberantas karl/psi tersebut harus mendapatkan pelalihan dan sumber-sumber daya yang cukup untuk dapat melaksanakan tugasnya. Pasal 53 Undang-Undang No. 30 tahun 2002 menyatakan bahwa pengadilan ya ng memiliki kewenangan lIntuk memeriksa tindak pidana korupsi harlls dibe ntuk. Berdasarkan atas lIndang-undang ini, Pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden No. 59 Tahun 2004 tentang pembentukan pengadilan yang menangani tindak pidana korups i dan pengadilan ini secara administrative berada dibawah Pengadi lan Negeri Jakarta Pusa!. Sehubungan dengan Pasa l 53 di atas, perlu untuk diketahui bahwa meskipun peradilan tindak pidana koru ps i harus dijalan kan oleh pengadilan yang menangani tindak pidana korupsi, sejumlah tindak pidana korupsi masih diperiksa oleh pengadilan negeri. Menurut Pasal II U ndang-Undang No . 30 tahun 2002, Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki kewena ngan untuk berinisiatif me lakukan penyidikan dan membuat dakwaan te rhad ap terdakwa, namun hanya dalam hal-hal berikut ini:
a) Tindak pidananya melibalkan pejabat yang IZIgas dan kewajibannya terkait erat dengan penegakan hukum alau apabila tindak pidannya melibatkan pejabat-pejabat tinggi pemerintah; b) Tindak pidana tersebut menarik perhatian public dan menimbulkan keresahan di dalam masyarakat; c) Tindak pidana tersebul mengakibatkan kerug ian Negara dengan jllmlah minimum Rp.i.OOO.OOO.OOO,- (salll milyar rupiah). Menyadari akan ha l-hal terse but diatas, adalah masuk akal jika sejumlah tindak pidana korupsi dilimpahkan ke Pengadilan Negeri dan bukan ke Pengadi lan Tindak Pi dana Korups i.
Pemberantasan KarZ/psi Dalam Kallvensi PBB Anti KatZ/psi. Sekarmaji
III.
275
Penanganan Perkara Korupsi di Indonesia
Sehubungan dengan penanganan atau pemeriksaan perkara lindak pidana korupsi oleh Pengadilan Negeri, masyarakal kecewa lerhadap prilaku dan integritas sejumlah lertentu dari hakim-hakim Pengadilan Negeri. Adalah sualu yang mengagetkan bahwa pada lahun 2006 Indonesian Corruption Watch (ICW) melaporkan 133 hakim Pengadilan Negeri ke Komisi Yudisial dengan alasan bahwa hakim-hakim tersebut telah menjaluhkan putusan yang membebaskan sejumlah terdakwa 6 Secara umum, hukum yang mengatur mengenai hukum acara pidana adalah Undang-Undang No. 8 tallUn 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Kaligis menyatakan bahwa Pasal 284 ayat (2) dari undang-undang ini merupakan dasar yuridis alas keberadaan sej umlah undang-undang yang mengatur ten tang hukum acara pi dana khusus. Kita dapat melihat bahwa ada beberapa undang-undang yang mengatur tentang dalam tindak pi dana khu sus, antara lain : tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, lindak pidana ekonom i lainnya. Untuk menangani jenis-jenis lindak pidana ini polisi dan jaksa penuntut umum secara yuridis diberikan kewenangan untuk tidak hanya menerapkan Undang-Undang No.8 Tahun 1981, tetapi juga menerapkan Undang-Undang yang secara khusus mengatur tentang acara pidana. Sehubungan dengan hal tersebut diatas, Pasal 39 Undang-Undang No. 30 tahun 2002 menyatakan bahwa kecuali ditentukan seba liknya, untuk mengadakan penyidikan dan membuat dakwaan terhadap terdakwa dalam perkara korupsi, jaksa penuntut umum waj ib lidak hanya menggunakan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tetapi juga Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dan diubah lagi dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2001. Sekali lagi, pasal ini menunjukan bahwa Undang-Undang No.8 TallOn 1981 bukan satu-satunya undang-undang yang digunakan dalam penegakkan hukum tindak pidana korupsi. Menurut hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia, pada dasarnya kewajiban untuk membuktikan bahwa terdakwa adalah bersalah adalah beban dari jaksa penun!ut umum. Untuk membuktikan bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi, jaksa penunlu umum harus memperhatikan kelentuan Pasal 184 aya! (2) Undang-Undang No.8 Tahun 1981 , yang mengalur jenis-jenis ala! bukti sebaga i berikut: 1. 2.
6
Saksi; Ahli;
"lew Laporkan 133 Hak im kc Komisi Yudisiai", Kompas, Sen in, 15 Mei 2006.
276
Jurnal HI/rum dan Pembangunan Ta/lIm ke-39 No.2 April-Juni 2009
3. 4. 5.
Surat; Petunjuk; Keterangan Terdakwa.
Pad a perkembangannya dewasa 1111, j ellls-jenis alat bukti yang digunakan di da lam pemeriksaan tindak pidana korupsi tidak hanya terbalas pada alat-a lat bukti yang ditentukan dalam Pasal 184 ayat (2), tetapi juga alat-alat bukti lainnya yang dapat diterima, antara lain surat elektron ik, te lepon, e-mail dan la in-la in alat bukti yang sejen is. Berdasarkan UndangUndang No.8 Tahun 1981 beban pembuktian (burden proof) berada di jaksa penuntut umum dan oleh karena itu, terdakwa tidak berkewajiban untuk me mbuktikan kesalahannya. Disamping itu, perlu untuk diketahui bahwa berdasarkan system hukum Indonesia dan system hukum di banyak Negara Eropa, hakim waj ib menilai alat bukti, sedangkan di Amer ika dan Negara-negara dengan system hukum anglo saxon, penilaian alat bukti berada di tangan juri. Sehubungan dengan masalah kewenangan jaksa penuntut umum, berikut ini perlu untuk diperhatikan ketentuan dibawah ini: a) Pasal 140 ayat (2.a) Undang-U ndang No.8 Tahun 1981 menyatakan bahwa jaksa penuntut umum mempunyai kewenangan untuk menghentikan proses penuntutan dengan alasan bahwa alat-alat bukti yang tidak mel11enuhi persyaratan minimum atau tindak pidana yang didakwakan bukan merupakan kejahatan; b) Pasal 35 ayat (c) Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 menyatakan bahwa untuk kepentingan umum, 1aksa Agung diberikan kewenangan untuk l11engesampingkan perka ra pidana tertentu. Hak untuk mengesampingkan perkara tindak pidana tertentu yang dilakukan oleh pelaku tertentu yang diberikan kepada jaksa penuntut umum di sebut "Azas Oportunitas". Hak seperti itu merupakan salah satu prinsipprinsip dasar atau asas-asas dari system hukum Indonesia. Sehubungan dengan hal itu, perlu untuk diketahui bahwa baik polisi maupun hakim tidak diberikan kewenangan untuk menggunakan "Azas Oportunitas" tersebut. Setelah perkara pidana dilimpahkan ke pengadilan, jaksa penuntut umum tidak berhak untuk menggunakan haknya untuk menerapkan "Azas Oporlunitas", Karena perkara pidana apap un yang telah dilimpahkan ke pengadilan, tidak dapat ditarik kembali dan haki l11 wajib memeriksa perkaranya. Berkaitan denga n putusan pengadilan, berikut ini adalah uraian atau penjelasan yang perlu untuk diketahui, bahwa sebelum putusan pengadi Ian dijatuhkan, serangkaian agenda atau acara pemeriksaan harus diperhatikan. Dalam sid ing-sidang pemeriksaan perkara pidana,jaksa penuntut umum akan
Pembera11losan KOrllpsi Da/um Konvellsi PBB Anfi Korf{F"; Sci.ormi{ii
),7
mengajukan alat-alat bukti di hadapan majelis hakim. A lat bllkti (ersebut dalam bent uk surat, saksi, ahli dan la innya. Te rd akwa juga diberikan hak untuk memanggi l saks i-saksi yang kesaks iannya diharapkan akan menguntungkan terdakwa (saksi a de charge). Apabi la persidangan pemeriksaan perkara pidana te lah usai, ha kim akan me nj atuh bn putusan pengadi Ian. Berdasarkan Undang-Undang No.8 Tahun 198 1 ada tiga jenis atau m acam putusan pe ngaclilan , ya i! u:
aj Jika jaksa penunl"l umWl1 tidok berhosil membuktikon kesalahan terdakwa l1Ioko lerdakwa horus d ibehoskan (vriijspraak): 7 b) Apabila berdasarkan alaI-alaI bllk!i yang dapa! diterilll(l, kesalahan terdaklva memenllhi IInSure lindak p idana yang dilakukan aleh lerdaklm, lelapi tindak pidana ten'eb"t seem'a Ylir idis tidak dianggap sebagai kejahalan. maka lerdaklva harus dilepaskan dar; IUllIlIlal1 (al151ag van aile rechtS1"erl'olgingj ;' c) Hakim hanya berhak aral( ber11'enong unfuk l11enghllklll77 terdaklva hanya jika lerdakll'o dinyalakan bersalah. ' Selama sidang-s idang pemeri ksaan perka ra pidana. hak im lVajib untuk mematuhi asas atau prin sip dasar dari hukum ya ng dinamakan azas praduga tidak bersalah (presulI1ption of Inn ocence) yang menga ndLing mak na bah",a terdakwa tidak boleh dianggap be rsalah hingga berdasarkan alat-alat bu kti yang da pat diterima, dia dinyatakan bersalah. Mc ng in gat bahwa d i dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi, ja ksa pe nuntu umum ti dak dibenarkan untuk menghentikan penyidika n terhadap te rsangka, prinsip ya ng demikian ini clapat membentuk o rini hakim bahwa te rdak,,"a tidak mempllnyai kesempatan untuk secara yuridis dibebaskan da ri hukuman oleh haki m.
Oewasa ini Pemerintah Ind onesia menyadari ba hwa NegClra ini te lah menderita ke ru g ian yang demikia n besarl\ya ka rena ko ru psi ) ang dilakukan o leh banyak pejabat tinggi pemerintah. Pad a dasarn) a. Illcnjebloskan para terpidana ke penjam buka nlah satll-satull),il (lu"an lItama pemerilltah dalam rangka penegakkan hukllm di selur uh Indonesia. l'saha-lisaha lIntuk mengembalikan hasil korllps i adalah tuj uan lain dari pemerintah. l1leskipun
7 Diatur dalam Pasal 191 Ayal ( 1) L!ldJn~ ·U ndang No. 8 ·JahUI! 19S I.
'Ibid., Q
Pasal 191 Ayar (2).
Jbid .. P
278
Jurna/ Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 No.2 April-Juni 2009
sampai derajat atau tingkat tertentu adalah tidak mudah untuk melacak, membekukan dan mens ita hasil-hasil dari tindak pidana korupsi tersebut, terutama hasil tindak pidana korupsi yang disembunyikan di luar negeri oleh pelaku. Terkait dengan hal tersebut Konvensi PBB Anti Korupsi dalam Pasal 31 mengatur sebagai berikut:
Ayat (1) Setiap Negara peserla wajib, sampai derajat semaksimal mungkin, di dalam ruang lingkup system hukumnya. untuk mengambil tindakan yang perlu yang memungkinkan penyitaan: a).
Hasil kejahatan yang berasal dari tindak pidana yang ditentukan atau ditetapkan menurut Konvensi, atau kekayaan yang nilainya sesuai dengan hasil kejahatan tersebut; b). Kekayaan, peralatan atau dokumen-dokumen yang digunakan atau dipakai dalam kehatan yang ditenrukan atau ditetapkan oleh konvensi ini. Ayat (2) Setiap Negara peserta wajib mengambillindakan-tindakan yang dianggap perlu dalam rangka mengidentifikasi, melacak, membekukan alau menyita barang bukti apa pun sebagaimana dimaksud da/am ayat (1) pasal ini, yang pada akhirnya dimaksudkan untuk tujuan penyitaan. Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Lembaga Pemerintah yang dibentuk semata-mata untuk pemberantasan praktek korupsi) membenarkan atau menjustifikasi bahwa praktek korupsi di Indonesia adalah mengerikan atau menakutkan. 1O Sehubungan dengan keberadaan KPK di dalam system hukum Indonesia menarik untuk disimak bahwa menurut Pasal 40 Un dang-Un dang No. 30 tahun 2002, setelah KPK memulai penyidikan terhadap tersangka, KPK tidak diberikan kewenangan untuk menghentikan penyidikan. Dengan kata lain, semua tersangka yang atas dirinya dilakukan penyidikan oleh KPK, akan dibawa dan disidangkan di
10 Andi Hamzah , "Pemberantasan Korupsi Ditinjau dari Hukum Pidana", (Jakarta: Pusat Studi Hukum Pidana Universitas Trisakti, 2002), hal. 37.
Pemberantasan Korupsi Dalam KOl1vensi PBB Anti Korupsi, Sekarmaji
279
pengadilan, terlepas apakah jaksa penuntut umum mempunyai cukup alat-alat bukti yang dapat diterima atau tidak. Sebagaimana disebutkan diatas, ketentuan yang demikian itu tidak didapatkan di dalam pengatlll'an UndangUndang No.8 tahun 1981. Sebaliknya, Pasal 140 Ayat (2.a) Undang-Undang No.8 tahun 1981 menyatakan bahwa jaksa penuntut urn urn mempunyal hak untuk menghentikan pemeriksaan dengan diikuti oleh penerbitan "Surat Resmi Standar" (Surat Perintah Penghentian Penuntutanl SP-3) yang menyatakan bahwa pemeriksaan terhadap tersangka dihentikan. Berdasarkan atas hal-hal terse but diatas, perbandingan sejumlah ketentuan yang diatur di dalam hukum pidana Inggris dan Konvensi PBB Anti Korupsi dengan ketentuan-ketentuan di dalam hukum pidana internasional diperkenalkan di bawah ini. Pasal 8 ayat (5) Konvensi PBB Anti Korupsi tentang kewajiban pejabat publik untuk membuat penyataaan kepada pihak yang berwenang, mengenai kegiatan-kegiatannya di luar pekerjaannya, investasinya, kekayaan dan pemberian-pemberian yang besar atau manfaat dari pihak yang kemungkinan timbul timbul ada konflik kepentingan sehubungan dengan fungsi mereka sebagai pejabat publ ie. Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia dapat diketemukan di dalam Undang-Undang No. 28 tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN . Se lain itu, ketentuan Pasal 9 Konvensi PBB Anti Korupsi yang mengatur mengenai the public procurement and management of public finance juga . dapat ditemukan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yaitu dalam Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 Tentang Pengadaan barang dan Jasa. Pasal 23 Ko nvensi PBB Anti Korupsi mengatur mengenai "Pencueian uang hasil pidana" dapat ditemukan pengaturannya dalam Undang-Undang no. 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Peneucian Uang. Adapun dalam kaitannya dengan praktek korupsi di Indonesia adalah Pasal 15 Konvensi PBB Anti Ko rupsi yang mengatur mengenai "Penyuapan Pejabat Publik Nasi onal", ketenlUan ini mempunyai arti yang sarna dengan ketentuan pasal 5 Undang-Undang No. 31 Tah un 1999 dan diubah lagi dengan Undang-Undang No . 20 tahun 2001. Pasal 27 Ayat (2) Konvensi PBB Anti Korupsi menyatakan bahwa setiap percobaan untuk melakukan tindak pidana yang ditetapkan atau ditentukan atau sesuai dengan konvensi PBB ini dianggap sebagai tindak pidana. Dan ketentuan ini telah lama ada di dalam hukum pidana Indonesia. Pasal 53 KUHP menyatakan bahwa setiap percobaan untuk melaku kan kejahatan, seeara yuridis dianggap sebagai tindak pidana. Tampaknya Konvensi PBB Anti Korupsi juga melindungi hak-hak dan kepentingan saksi fakta dan saksi ahli. Pasal 32 Konvensi PBB Anti Korupsi menyatakan
280
Jurnal Hukum dan Pembanglll1an Tahun ke-39 No.2 April-JlIni 2009
bahwa setiap Negara peserta harus mengambil tindakan yang patut untuk memberikan perlindungan yang efektif dari pembalasan atall aneaman potensial terhadap saksi fakta dan saksi ahli yang memberikan kesaksiannya tentang tindak pidana-tindak pidana yang ditetapkan oleh Konvensi. Ketentuan yang sama dengan Pasal 32 Konven si PBB Anti Korupsi ini sarna dengan ketentuan c1alam Unclang-unclang No. 13 Tahun 2006 tentang Perl indungan Saks i clan Korban. Sehubungan dengan teknik-teknik penyidikan atau investigasi terhadap seseorang, Pasal 60 Konvensi PBB Anti Korupsi menyatakan bahwa setiap Negara pese rta sampai tingkat atau derajat yang diijinkan o leh asas-asas atau prinsip-prin sip dasar dari system hukum nasionalnya dan sesuai dengan ko ndis i yang ditentukan di dalam hukum nas ionalnya, mengambi l tindakan yang perlu, untuk membolehkan pihak-pihak yang berwenang dan jika dianggap patu!, tekhik-teknik penyid ikan atau investigasi khusus (spesifik), antara lain dengan peralatan elektronik dan sebagainya. Ketenlllan ini pun sarna dengan ketentuan Undang-Undang No. 20 tahun 2001 Pasal26A. Kon vensi PBB Anti Korupsi mengintrodusir badan khusus yang dimaksudkan untuk memberantas korups i melalui penegakkan hukum. Menurut hukum Indones ia, jenis badan khusus ini telah dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 3 1 tahlm 1999 dan Ke putusan Presiden No. 59 tahun 2004. Badan-badan ini adalah pengadilan khusus yang menangani tindak pidana korupsi yang dinamakan Pengadilan Tindak pidana Korupsi dan Komisi Pemberantasan Korupsi, sebuah korups i yang mempunyai untuk memberantas tindak pidana korupsi.
IV.
Kesimpulan
Pada pokoknya apabila kita membaea seeara seksama, ketentuanketentuan yang diatur di dalam Konvensi PBB Anti Korupsi dan ketentuanketentuan yang diatur di dalam hllkum Indonesia, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa sejllmlah ketentuan yang terdapat di dalam Konvensi PBB Anti Korupsi sebe lumnya telah ada di dalam hu ku m pidana Indones ia. Namun demikian, ada beberapa ketentuan yang ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia tentang tindak pidana, dibuat setelah ratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi oleh Pemerintah Indonesia, yang mana ratifikasi tersebut dilakukan pada tahun 2006 melalui UndangUndang No.7 Tahun 2006. Menarik untuk dieatat bahwa praktek ratifikasi oleh Pemerintah Indonesia terhadap konvensi-konvensi mengenai perjanjian-perjanjian internas ional , yang mana hal ini berbeda dengan praktek yang dilakukan o leh
Pemberantasan Korupsi Do/am Konvensi PBB Anti Korl/ps i, Sekarmaji
281
Inggris. Karena berdasarkan UK Review oj Implementation oJthe Convention dan 1977 Recommendation to Organization Jor Economic Cooperation and Development (OECD) , perjanjian-perjanjian internasional tidak menjadi bagian dari hukum inggris dan karenannya perjanjian-perjanjian internasional tersebut hanya dapat diimplementasikan apabi la hukum inggris yang telah ada, menjamin bahwa hukum inggris terse but sesuai dengan ketentuan di dalam perjanjian internasional. Karena alasan inilah, lnggris tidak meratifikasi perjanjian-perjanjian sampai undang-undang yang demikian itu berlaku.