UNIVERSITAS INDONESIA
PEMBENTUKAN RUANG KOLEKTIF OLEH MASYARAKAT Studi Kasus: Angkringan Tugu Yogyakarta
SKRIPSI
KLARA PUSPA INDRAWATI 0806332351
FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI ARSITEKTUR DEPOK JULI 2012
Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
PEMBENTUKAN RUANG KOLEKTIF OLEH MASYARAKAT Studi Kasus: Angkringan Tugu Yogyakarta
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Arsitektur
KLARA PUSPA INDRAWATI 0806332351
FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI ARSITEKTUR DEPOK JULI 2012
Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
KATA PENGANTAR
Rasa syukur tertinggi saya persembahkan untuk Sang Hati Kudus dan Bunda Maha Kasih yang dengan kuasa luar biasa telah menjadikan seluruh upaya keras saya menjadi sebuah bentuk utuh skripsi sebagai refleksi terdalam selama menjalani perkuliahan di Arsitektur UI. Penulisan skripsi ini dilakukan sebagai salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Arsitektur pada Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada : (1) Ibu saya tersayang, Ir. Evawani Ellisa M. Eng., Ph.D, yang telah menjadi sosok ibu yang begitu mengerti dengan segala kesulitan saya selama penyusunan skripsi ini dan terus menguatkan saya dengan keyakinannya bahwa saya mampu menuliskan seluruh gagasan saya tentang sebuah fenomena di kota yang baru saja saya datangi dan belum saya kenali. Beliau menjadi motivasi terbesar saya untuk menghasilkan yang terbaik yang mampu saya hasilkan dalam skripsi ini. Semoga beliau bisa berbangga dengan segala upaya dan hasil yang telah saya capai. Mohon maaf apabila banyak hal yang masih mengecewakan. Skripsi ini saya persembahkan untuk beliau. (2) Mbak Rini Suryantini, S. T., M.Sc, selaku koordinator skripsi yang sudah banyak membantu memberikan keringanan bagi saya dalam penyelesaian skripsi ini. Maaf kalau sering merepotkan ya Mbak. Terima kasih banyak atas pengertiannya. (3) Bapak Dr. Ing. Ir. Dalhar Susanto selaku mantan pembimbing akademik selama 3,5 tahun. Terima kasih banyak karena sudah berbagi ilmu tentang struktur dan selalu melayani segala pertanyaan saya di studio, termasuk saat bimbingan awal semester. (4) Bapak Mohammad Nanda Widyarta, B. Arch., M. Arch, yang selama perkuliahan Teori Arsitektur S2 telah memberikan banyak pencerahan dan mendorong saya untuk giat menulis. (5) Prof. Ir. Gunawan Tjahjono M.Arch., Ph.D, terima kasih banyak atas segala pencerahan yang diberikan kepada saya dalam sesi-sesi kuliah untuk merefleksikan kembali permasalahan dunia arsitektur yang sudah saya geluti dalam jangka waktu yang belum lama ini. Karena pencerahan tersebutlah saya terdorong untuk iv
Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
mengutamakan kemanusiaan dan hal yang secara moral benar sebagai seorang perancang. (6) Mbak Paramita Atmodiwirjo S.T., M.Arch., Ph.D, sebagai dosen tekomars yang menyadarkan saya bahwa presentasi arsitektur tidak memiliki batasan dan perlu mengandalkan kreativitas serta kemauan untuk mencari hal-hal baru. Terima kasih atas segala masukan dalam revisi penulisan skripsi ini. Sidang yang dibawakan beliau sangat menentramkan hati. (7) Mas Joko Adianto S.T., M.Ars, sebagai penguji sidang yang mencairkan suasana dan sangat membantu perkembangan dalam pemahaman desain saya pada studio PA2 dan PA5 sebagai fasilitator. (8) Seluruh fasilitator PA1 sampai PA5, Ibu Doty, Kak Ocha, Ibu Yulia, Kak Kris, Pak Tiyu, Pak Azrar, serta Pak Anthony, terima kasih untuk segala ilmu, ketegasan, dan berbagai cara unik yang mereka terapkan dalam studio perancangan. Semoga saya dapat membawa segala pelajaran ini hingga masa depan saya kelak, baik sebagai perancang atau sebagai profesi lainnya. (9) Mama dan Cece, terima kasih atas support terbesar sehingga saya dapat melancarkan segala kenekatan untuk memilih studi kasus di Yogyakarta dan tertatih-tatih menyelesaikan skripsi ini. Semoga kalian berbangga atas apa yang kuhasilkan sampai hari ini. Maaf di akhir 4 tahun ini segalanya tidak selancar yang diharapkan. But, I promise I will not fall for twice! (10) Popo yang selalu datang di saat-saat saya merasa sendirian dan merasa tidak lagi punya cukup kekuatan untuk menyelesaikan semuanya. Terima kasih popo, your smile is my consolation, always. (11) Pak Revianto Budi Santosa, penulis buku “Omah” dan “Kota Gede” yang telah bersedia saya wawancara. Terima kasih karena telah menjelaskan saya berbagai konsep ruang dalam budaya Jawa. (12) Mas-mas Angkringan Pak Seh, Lik No, dan Lik Man Yogyakarta yang selalu menyambut kedatangan saya dengan hangat. Terima kasih untuk segala informasi dan cerita-ceritanya. (13) Sofi dan keluarga yang telah sangat membantu saya untuk melakukan seluruh survey yang menghubungkan Depok-Yogyakarta, selalu hanya dalam waktu 3 hari. Terima kasih banyak atas tumpangan dan segala kebaikan untuk menerima saya di rumah Om dan Tante. Terima kasih untuk sofi yang tidak hanya menjadi sekedar teman, v
Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
tetapi juga guru kehidupan, seseorang yang menyadarkan saya apa arti seorang sahabat. Terima kasih Sof karena sudah mengantarku keliling-keliling kotamu dan memperkenalkan aku dengan segala keajaiban yang ada di Yogyakarta serta menjadi teman diskusi dalam penulisan skripsi ini. Thanks piglet! (14) Sahabat-sahabat yang selalu bikin senyum: Inka, Belo, Aya, dan Endah, kalian semua menjadikan hari-hariku berwarna. Terima kasih karena sudah mau mendengar keluh kesahku di dunia S2 dan menguatkan aku. Doakan supaya aku bertahan setahun ke depan! (15) Tim Ekskursi Trowulan yang menjadikan hari-hari awal di kampus menjadi begitu indah dan seru. Pengalaman bersama kalian tak akan terlupakan! (16) Tim Materi Ekskursi Alor: Sofi, Novia, dan Andi. Terima kasih karena telah mewujudkan mimpi besar tim materi! Kalian pasukan sejatiku!! (17) Teman-teman seperjuangan: Azri, Yola, Popon, kalian menjadikan setiap asistensi semakin seru dan menyegarkan. Keep up the good work guys! (18) Teman-teman di angkatan 2008, terima kasih untuk semua pengalaman asam, manis, pahitnya pertemanan yang mengajarkan saya banyak hal tentang sahabat. Terutama untuk teman-teman yang selalu bertukar ide dan menjadi rekan sayembara dan rekan kerja: Mirzadelya, Aron, Yuni. Untuk Tono yang menjadi tempat curhat tentang keluh kesah S2. (19) Angkatan 2009, Novia, Meidesta, Breki, Andi, Sigit (20) Angkatan 2010, all of you guys! Terima kasih karena sudah membuat hari-hari menekan saya di kemahasiswaan menjadi sebuah anugerah kaena melihat semangat kalian sebagai mahasiswa baru. Selamat berjuang adik-adik! (21) Ikhsan, makasih jalan-jalan bareng yang mencerahkannya! (22) Keluarga asuhku, jauh ataupun dekat: Romie, Nevine, Mona, Tepi, Fritz, Baba. Terimakasih atas segala kebersamaan selama ini. (23) Angkatan 2006, senior-senior yang mengisnpirasi: Kak Tasya, Tepi, Dika, Mala, Rieky, Ardi, Kak Oi, Kak Dio, Luthfi, Mamed, Kak Sekar. Terima kasih atas segala ilmu dan pengalaman yang sudah dibagikan. (24) Coldplay, terima kasih karena menjadi teman di setiap kondisi tidak menyenangkan melalui lirik-lirik luar biasa yang terus memotivasi. (25) Viola, nice to meet you for that three weeks. Thanks for your Coldplay collection. Hope to meet you again. Soon. vi
Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
(26) Mbak Shinta dan Yudha, teman-teman S2 di failed group studio perancangan. Terus semangat teman-teman. Kita pasti punya jalan. Terima kasih untuk segala kebersamaan dan diskusi konyolnya. Semoga bisa bersama kalian sampai lulus S2 nanti! (27) Ramadana Putera, I know we against the world, but I will not afraid because you are the part of my heart, my brain, the part of me. So, I know we can be us and be functioned to others as our dreams. I love us, always. Finally, I made it. We made it
Akhir kata, saya berharap Yang Maha Kasih berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Depok, 6 Juli 2012
Klara Puspa Indrawati
vii
Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
ABSTRAK
Nama
: Klara Puspa Indrawati
Program Studi
: Arsitektur
Judul
: Pembentukan Ruang Kolektif Oleh Masyarakat Studi Kasus: Angkringan Tugu Yogyakarta
Dalam praktek spasial, ruang publik yang tidak berfungsi secara efektif ditransformasikan oleh masyarakat menjadi ruang yang digunakan secara kolektif. Masyarakat mendasarkan proses perancangan ruang kolektif pada budaya setempat agar ruang tersebut dapat berfungsi secara efektif. Selama proses transformasi ini, para penggagas bernegosiasi dengan kepentingan-kepentingan publik yang diinterupsinya. Melalui negosiasi tersebut, diperoleh order kolektif bagi para pelaku ruang. Ruang yang dihasilkan berupa ruang dengan batasan fisik yang cair dan lemah. Relasi sosial antar pelaku di ruang kolektif menghasilkan jarak yang mendefinisikan batasan ruang. Ruang kolektif ini lalu menjadi ruang yang membuka kesempatan seluas-luasnya bagi partisipasi publik dalam operasinya.
Kata kunci: budaya, cair, kolektif, transformasi
ix Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
ABSTRACT
Nama
: Klara Puspa Indrawati
Study Program
: Architecture
Judul
: Public’s Collective Space
In spatial practice, the ineffective public space is transformed by people to be used collectively. People make their own design for this collective space based on local culture. During the transformation, the initiators have had some negotiations with the other actors because of their interruption of public space. Result from those negotiations are several collective orders for the whole collective space’s actors. Characters of the collective space are weak and fluid physical boundary. Social relations between the actors create social distance as the definition of space. This collective space then become an opened space for everyone in the city.
Kata kunci: collective , culture, fluid, transformation
participating on city image making (townscape). Visual Art especially Mural and Graffiti is the main topic in this paper to making townscape beside to accomplish citizen needs. The locations are choosing with concerned on certain factor. The analysis results from theory and case study shows that visual art which appeared on city façade represent different impact on townscape. The character of location is divers from each other. Yogyakarta City becomes the case study in this paper. , Graffiti, Townscape, Façade, Yogyakarta
x Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
DAFTAR ISI
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................... II HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... III KATA PENGANTAR ...........................................................................................IV HALAMAN
PERNYATAAN
PERSETUJUAN
PUBLIKASI
TUGAS
AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS............................................. VIII ABSTRAK.............................................................................................................IX ABSTRACT............................................................................................................. X DAFTAR ISI .........................................................................................................XI DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... XIII DAFTAR TABEL ............................................................................................... XV BAB 1 PENDAHULUAN........................................................................................ 1 1.1
Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2
Permasalahan ................................................................................................ 1
1.3
Tujuan Penulisan ........................................................................................... 2
1.4
Ruang Lingkup .............................................................................................. 3
1.5
Metode Penelitian .......................................................................................... 3
1.6
Sistematika Penulisan .................................................................................... 4
BAB 2 PROSES PERANCANGAN RUANG KOLEKTIF OLEH PUBLIK ...... 5 2.1
Publik yang Merancang ................................................................................. 5 2.1.1 Evolusi Pengertian Desain .................................................................... 7 2.1.2 Pengertian Kegiatan Merancang Menurut Victor Papanek .................... 8
2.2
Krisis Arsitektur di Ruang Publik ................................................................ 10
2.3
Weak Architecture menurut Ignasi de Solà-Morales Rubio .......................... 12
2.4
Privatisasi Ruang Publik untuk Kepentingan Kolektif .................................. 14
2.5
Praktek Spasial Publik Menurut Henry Lefebvre ......................................... 16
2.6
Kesimpulan ................................................................................................. 19
xi Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
BAB
3
BUDAYA
LESEHAN
DAN
JARAK
SOSIAL
SEBAGAI
PEMBENTUK KARAKTER RUANG KOLEKTIF ............................... 20 3.1
Karakter Tempat dalam Pembentukan Ruang kolektif.................................. 20
3.2
Jarak Sosial Manusia dan Budaya Lesehan Masyarakat Yogyakarta ............ 20
3.3
Ruang Publik Jawa Berkarakter Ruang Kolektif .......................................... 28
3.4
Kesimpulan ................................................................................................. 29
BAB 4 ANGKRINGAN TUGU YOGYAKARTA: RUANG KOLEKTIF MALAM BERBUDAYA LESEHAN...................................................... 31 4.1
Asal Mula Kemunculan Angkringan Tugu ................................................... 31
4.2
Transfomasi Trotoar sebagai Kawasan Angkringan Malam Hari.................. 34 4.2.1 Kesepakatan Kolektif antar Para Aktor ............................................. 38 4.2.2 Motivasi Penikmat ........................................................................... 43 4.2.3 Angkringan sebagai Ruang Sosial yang Terjangkau ......................... 45 4.2.4 Ruang Penjual dan Ruang Pembeli: Tenda dan Trotoar .................... 46 4.2.4.1 Angkringan Tipe Pertama ..................................................... 50 4.2.4.2 Angkringan Tipe Kedua........................................................ 51 4.2.4.3 Angkringan Tipe Ketiga ....................................................... 52 4.2.5 Kawasan Angkringan sebagai Hasil Praktik Spasial Publik .............. 53
4.3
Perluasan Ruang Makan Lesehan ................................................................ 55 4.3.1 Awal Mula Penggunaan Tikar .......................................................... 56 4.3.2 Definisi Ruang Lesehan ................................................................... 58 4.3.3 Taktik Pembagian Ruang ................................................................. 60 4.3.4 Kesementaraan Ruang Lesehan ........................................................ 63 4.3.5 Setting dan Jarak dalam Ruang Sosial yang Terbentuk ..................... 64 4.3.6 Ruang Kolektif Malam Angkringan Tugu ........................................ 69
4.4
Kesimpulan Studi Kasus .............................................................................. 71
BAB 5 KESIMPULAN ......................................................................................... 74
DAFTAR REFERENSI ........................................................................................ 79
xii Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1
Proses Memanggang Kue Pai sebagai Proses Desain .............................. 9
Gambar 2.2
Houtan Park, Shanghai ......................................................................... 11
Gambar 2.3
Pasar Lokal Malam Hari di Stasiun Stadion Nasional Bangkok ............ 14
Gambar 3.1
Duduk Lesehan di Rumah Panjang dan Rumah Panjang dengan Lantai yang Sudah Dinaikkan ............................................................... 25
Gambar 3.2
Rumah Tradisional Jawa Tengah .......................................................... 26
Gambar 3.3
Budaya Lesehan di Kota Gede, Yogyakarta .......................................... 27
Gambar 4.1
Agkringan dan Kaki Lima Tempo Dulu................................................ 31
Gambar 4.2
Peta Lokasi Angkringan Tugu .............................................................. 32
Gambar 4.3
Peta Lokasi Okupansi Angkringan Tugu dan Penggagas dari Tahun 1950-2012 ............................................................................................ 32
Gambar 4.4
Peta Peruntukan Jalan Wongsodirjan Sebelum Okupansi Penjual Angkringan .......................................................................................... 34
Gambar 4.5
Panorama Rumah Siang Hari................................................................ 36
Gambar 4.6
Panorama Angkringan Malam Hari ...................................................... 37
Gambar 4.7
Peta Peruntukan Jalan Wongsodirjan Setelah Okupansi Penjual Angkringan .......................................................................................... 39
Gambar 4.8
Peta Lokasi Penyimpanan Perlengkapan Angkringan ........................... 39
Gambar 4.9
Rangka Tenda yang Tersisa di Trotoar ................................................. 40
Gambar 4.10 Pelayan pada Tenda Angkringan .......................................................... 40 Gambar 4.11 Panorama Angkringan Siang Hari ........................................................ 41 Gambar 4.12 Petugas Parkir Informal ........................................................................ 42 Gambar 4.13 Seniman Jalanan Setelah Beraksi.......................................................... 43 Gambar 4.14 Pelayan Sedang Menyajikan Minuman ................................................. 44 Gambar 4.15 Makanan di Pikulan.............................................................................. 44 Gambar 4.16 Para Penikmat Angkringan dalam Tenda .............................................. 46 Gambar 4.17 Skema Area Penjual dan Area Pembeli di Sekitar Pikulan .................... 48 Gambar 4.18 Salah Satu Set Perangkat pada Pikulan ................................................. 49 Gambar 4.19 Angkringan Tipe Pertama..................................................................... 50
xiii Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
Gambar 4.20 Contoh Angkringan Tipe Pertama ........................................................ 50 Gambar 4.21 Angkringan Tipe Kedua ....................................................................... 51 Gambar 4.22 Contoh Angkringan Tipe Kedua ........................................................... 51 Gambar 4.23 Angkringan Tipe Ketiga ....................................................................... 52 Gambar 4.24 Contoh Angkringan Tipe Ketiga ........................................................... 52 Gambar 4.25 Sketsa Potongan Kawasan Angkringan Siang Hari ............................... 54 Gambar 4.26 Suasana Kawasan Angkringan Siang Hari ............................................ 54 Gambar 4.27 Sketsa Potongan Kawasan Angkringan Malam Hari ............................. 54 Gambar 4.28 Peta Lokasi Pondok yang Pernah Dibangun.......................................... 57 Gambar 4.29 Perluasan Ruang Lesehan Pembeli ....................................................... 58 Gambar 4.30 Sketsa Potongan Kawasan Angkringan Malam Hari Setelah Perluasan Ruang Pembeli ..................................................................... 60 Gambar 4.31 Perluasan Ruang Lesehan Hingga Trotoar Jalan Pangeran Mangkubumi ........................................................................................ 61 Gambar 4.32 Diagram Pembagian Area Tikar ........................................................... 62 Gambar 4.33 Trotoar
yang
Basah dan Seorang Pelayan
yang Sedang
Mengeringkan Trotoar.......................................................................... 63 Gambar 4.34 Jarak Sosial antar Kelompok Pembeli ................................................... 66 Gambar 4.35 Suasana Ruang Kolektif Angkringan Tugu ........................................... 70 Gambar 5.1
Diagram Kesimpulan............................................................................ 78
xiv Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
DAFTAR TABEL Tabel 4.1
Pembentukan Ruang Penjual dan Ruang Pembeli di Setiap Angkingan .......................................................................................... 49
Tabel 4.2
Diagram Jarak Sosial Pembeli ............................................................ 67
xv Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Arsitektur, yang selalu terkait dengan proses place making, sudah sejak
lama diperuntukkan untuk menciptakan order, sebuah keteraturan dalam ruang hidup sosial. Arsitektur selalu berusaha untuk menciptakan stabilitas dan durabilitas untuk dapat terus memelihara bentuk kehidupan sosial yang diharapkan berjalan dengan sempurna, meminimalkan munculnya masalah dan ketidaknyamanan hidup, menuju konsep utopia. Salah satu masalah yang menjadi wacana bagi institusi perancangan, termasuk arsitek, adalah tidak berhasilnya ruang publik memfasilitasi kebutuhan publik. Ruang-ruang publik yang telah diupayakan oleh institusi terkait, dirancang menggunakan standar-standar yang masih belum memperhatikan cara hidup dan budaya penggunanya maupun karakter setempat. Arsitek pun belum banyak melibatkan diri dalam perancangan ruang publik dan justru lebih banyak terlibat dalam perancangan bentuk-bentuk ruang publik baru, seperti mal yang semakin marak. Pemerintah kota seringkali memperlakukan ruang publik sebagai ruang sisa sehingga pemeliharaannya masih sangat minim. Kebutuhan terhadap ruang publik yang terjangkau bagi semua kalangan dan dapat menjadi ruang sosialisasi belum menjadi sebuah prioritas. Di balik kondisi ini, masyarakat terus berupaya memanfaatkan ruang-ruang yang dapat mereka gunakan bersama. Ruang-ruang publik yang tidak optimal mulai diambil alih dan ditransformasi untuk kepentingan kolektif. Ruang-ruang ini tampil sebagai kondisi disorder yang terus coba ditertibkan.
1.2
Permasalahan Masyarakat seringkali tidak dilibatkan dalam perancangan ruang publik.
mereka hanya dianggap sebagai pengguna yang siap ditempatkan pada ruang yang sudah ada. Karenanya, order yang berusaha dijaga oleh institusi perancangan sulit untuk dipraktekkan oleh masyarakat dan cenderung dimodifikasi agar dapat digunakan lebih efektif. Budaya dan karakter lingkungan setempat juga belum
1 Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
Universitas Indonesia
2
menjadi perhatian institusi perancangan. Ruang masih dilihat sebagai batas-batas fisik yang mewadahi berbagai program, padahal praktek keruangan selalu melibatkan praktek sosial. Modifikasi masyarakat yang menghasilkan ruang kolektif mencerminkan identitas daerah-daerah tertentu. Cukup baiknya penerimaan masyarakat terhadap keberadaan ruang-ruang ini justru menjadikannya sebagai kawasan wisata, misalnya saja sebuah kawasan kuliner malam di Yogyakarta di sebelah utara Stasiun Tugu, yang lebih dikenal dengan nama Angkringan Tugu. Latar belakang yang mendasari hadirnya ruang kolektif menjadi hal penting untuk diketahui sebelum menyatakan bahwa ruang-ruang kolektif ini telah “menjajah” ruangruang publik yang sudah terencana. Beberapa pertanyaan yang ingin dijawab dalam skripsi ini adalah: 1. Bagaimana proses berlangsungnya transformasi ruang publik menjadi ruang kolektif sesuai budaya dan cara hidup setempat yang dilakukan oleh masyarakat? 2. Bagaimana proses negosiasi yang terjadi antara kepentingan ruang publik yang terencana dan ruang kolektif yang dibentuk secara independen oleh publik? 3. Apa motivasi para pelaku dalam pembentukan ruang kolekif sebagai transformasi dari ruang publik kota? 4. Bagaimana bentuk ruang kolektif yang muncul dari budaya masyarakat setempat?
1.3
Tujuan Penulisan Penulisan skripsi ini bertujuan merefleksikan kembali makna kepublikan
yang selama ini saya pahami selama proses pembelajaran di studio perancangan. Apabila melihat kembali kepada isu krisis yang terjadi di ruang-ruang publik kota, menjadi penting bagi kalangan profesi maupun akademisi arsitektur untuk merenungkan kembali makna ruang publik yang selama ini dipahami dan meruntuhkan kekakuan dalam klasifikasi-klasifikasi yang pernah dibuat untuk mencoba mengembalikan aristektur menjadi milik publik.
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
3
Skripsi ini diharapkan dapat menyuguhkan sebuah wacana baru dalam ranah arsitektur mengenai munculnya ruang-ruang kolektif yang berasal dari inisiatif masyarakat. Sebagai bagian dari proses perancangan ruang publik terkait budaya setempat, masyarakat menghasilkan ruang-ruang sosial yang menjadi milik publik. Pengetahuan ini diharapkan dapat mengetengahkan diskusi baru mengenai pertunjukkan kepublikan yang terus dijalin dari waktu ke waktu, sekaligus sebagai sebuah pernyataan kritik yang menggugat kegagalan ruangruang publik yang terencana.
1.4
Ruang Lingkup Pembahasan dalam skripsi ini terkait permasalahan ruang publik yang
dirancang
secara
institusional
telah
diambil
alih
oleh
publik
untuk
ditransformasikan menjadi ruang kolektif dengan melibatkan budaya dalam pembentukannya. Budaya dilihat sebagai hal penting bagi masyarakat untuk memahami ruang dan menghuninya. Budaya juga menjadi instrumen utama dalam proses transformasi yang dilakukan oleh masyarakat. Untuk menjelaskan fenomena ini secara lebih dekat, saya menyajikan analisis terhadap studi kasus Angkringan Tugu Yogyakarta. Studi kasus menampilkan karakter kuat budaya lesehan dalam pembentukan ruang pembeli di atas trotoar Jalan Wongsodirjan yang digunakan secara kolektif oleh beberapa penjual angkringan pada malam hari. Pembahasan studi kasus terkait pembentukan ruang temporer yang cair dan lemah secara fisik serta berlakunya setting duduk dan jarak sosial dalam mendefinisikan batasan ruang.
1.5
Metode Penelitian Metode dalam pembahasan skripsi ini secara garis besar menggunakan
studi kepustakaan dan studi kasus Angkringan Tugu Yogyakarta. Studi kepustakaan menjadi dasar analisis terhadap studi kasus. Keseluruhan data yang digunakan sebagai bahan analisis didapatkan melalui: 1. Pencarian sumber-sumber acuan tertulis mengenai peran budaya dalam pembentukan ruang kolektif oleh masyarakat sebagai reaksi dari kegagalan ruang publik yang dirancang secara institusional.
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
4
2. Studi lapangan dengan pengamatan langsung di Angkringan Tugu Yogyakarta sebagai studi kasus. Proses studi lapangan dilakukan secara bertahap dengan mendokumentasikan kondisi lapangan melalui sketsa dan foto. 3. Wawancara terhadap pihak-pihak yang dianggap dapat memberikan informasi terkait topik dan studi kasus. 1.6
Sistematika Penulisan Pembahasan skripsi akan disajikan dalam beberapa bab. Bab pertama
menyajikan latar belakang penulisan, urgensi topik yang diangkat, serta kasus yang menjadi studi terhadap topik. Bab kedua akan membahas landasan teori yang mengemukakan wacana mengenai proses perancangan sebagai hal dasar dalam aktivitas manusia, serta teori mengenai proses place making yang terjadi pada transformasi ruang publik menjadi ruang kolektif. Bab Ketiga membahas wacana mengenai peran kebudayaan dalam pembentukan ruang kolektif. Bab keempat berisi analisis mengenai studi kasus Angkringan Tugu sebagai ruang kolektif dengan karakter ruang makan lesehan. Skripsi akan ditutup dengan Bab Kesimpulan dan Saran yang menyajikan sebuah pernyataan terbuka mengenai penelusuran terhadap eksistensi ruang kolektif Angkringan Tugu Yogyakarta.
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
BAB 2 PROSES PERANCANGAN RUANG KOLEKTIF OLEH PUBLIK 2.1
Publik yang Merancang Forty (2000) menjelaskan bahwa desain memiliki keterkaitan dengan order
untuk mencapai keindahan proporsi dan bentuk. Order digunakan untuk menghasilkan keteraturan dan menghindari kekacauan atau disorder. Namun, seringkali disorder bukanlah suatu bentuk kekacauan, melainkan kondisi dengan order yang perlu dilihat lebih jeli. Untuk menghindari konflik, desain dibuat dengan ketentuan yang kaku. Akibatnya desain yang dihasilkan tidak menjadi sebuah penyelesaian. Hal negatif dari keberadaan order ini pada era arsitektur modern memunculkan kesewenang-wenangan arsitek yang menjadikan order sebagai alasan untuk memanipulasi lingkung bangun dan lingkung sosial. Desain berkaitan dengan proses produksi makna dalam kebudayaan masyarakat. Diana Agrest (1974) memunculkan wacana untuk menghilangkan dominasi design dan menyarankan untuk mempertimbangkan non-design yang dianggap lebih kontekstual. Istilah design dan non-design digunakan Agrest untuk menunjukkan gejala kultural sebagai bagian dari permasalahan arsitektur. Agrest berpendapat bahwa arsitektur akan selalu menempati konteks kebudayaan tertentu. Agrest mengungkap masalah mendasar mengenai institusionalitas antara design dan non-design. Design bersifat institusional karena dalam praktek sosial ia mengkonstitusikan serangkaian norma sosial yang mengandung konsekuensi. Makna yang diartikulasikan dalam design adalah tetap, cara memahami produknya juga telah ditentukan. Hal inilah yang tidak ditemukan dalam nondesign. Tidak
ada
hal
normatif
dalam
non-design,
cara
kerja
dalam
perancangannya bersifat bebas dan tak terprediksi. Perancangan yang dilakukan oleh publik menerapkan metode ini. Dalam merancang, publik tidak terikat pada batas-batas dan kekhususan cara tertentu yang dianggap legal. Pertimbangan utamanya adalah apa yang menjadi masalah, kesempatan yang dapat dimanfaatkan tanpa menimbulkan masalah baru, namun efektif dalam keseharian.
5
Universitas Indonesia
Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
6
Dalam merancang, publik menerapkan hal-hal imajinatif dan tak terikat yang justru dihindari dalam proses desain formal. Non-design, yang menjadi karakter perancangan publik, selalu terbuka terhadap berbagai kemungkinan penyelesaian masalah. Dalam konteks publik, arsitektur tidak hanya bergerak pada ranah design, tetapi juga non-design. Arsitektur publik selalu berada dalam tahap transisi sebagai reaksi dari kondisi sosial yang selalu berubah dan dinamis. Terkait peran budaya dalam perancangan, design mencakup pengertian interaksi antara arsitektur dan kebudayaan perancangan yang bersifat eksklusif. Sementara itu, non-design merupakan interaksi antar berbagai kebudayaan yang memberi bentuk dan pola tertentu pada lingkung bangun, terlepas dari peran institusi perancangan. Non-design tidak bersifat normatif dan cenderung disorder. Agrest juga menjelaskan mekanisme dalam proses analisis dan produksi makna yang dapat dilakukan dalam proses non-design, yaitu dengan mempertimbangkan kondisi dan bukan isi dari sebuah lingkung bangun. Hal yang perlu dilakukan bukanlah mengisi penuh seluruh lingkung bangun dengan program yang didesain, melainkan memberi ruang bagi pemakai untuk membentuk kembali lingkung bangun yang dihuninya. Peran publik dalam proses perancangan dapat memberikan gambaran terhadap relevansi perancangan bagi keseharian masyarakat. Masyarakat lebih mengenal lingkungan tempat mereka berkegiatan sehari-hari dibandingkan seorang perancang yang hanya menganalisis suatu tapak dalam waktu singkat sebagai
bahan
analisisnya.
Pemahaman
mendalam
terhadap
karakter
lingkungannya terkadang memunculkan kreatifitas yang sangat khas dari masyarakat pengguna. Kreativitas publik dapat ditemukan dalam berbagai bentuk yang tak terprediksi dan sangat efektif dalam penggunaan sehari-hari. Sulit untuk menemukan secara pasti yang menjadi penggagas dan perancangnya, sebab penggagas dan pengelolanya bersifat kolektif. Karenanya, proses
non-design
dapat menjadi alternatif perancangan yang dipelopori oleh masyarakat.
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
7
2.1.1 Evolusi Pengertian Desain Perancangan merupakan proses dalam menghasilkan karya arsitektur. Dalam Bahasa Inggris, untuk merujuk kata perancangan, digunakan terminologi design. Sementara itu, kata perancang memiliki padanan kata designer dalam Bahasa Inggris. Terminologi design secara khusus dibicarakan oleh John Walker (1989) dengan menjelaskan asal-usul sejarah kata design. Pada jaman Renaissance muncul istilah designo, yang dalam prakteknya diartikan sebagai drawing serta menggambarkan aktivitas kreatif membuat karya seni patung atau lukisan. Istilah ini mengalami perkembangan makna pada masa revolusi industri, design dikaitkan dengan fungsi dan aktivitas yang berkaitan dengan pekerjaan manufaktur. Memasuki era 80an, design kembali mengalami evolusi makna dan lebih diartikan sebagai atribut dibandingkan produk. Pada era ini istilah designer menjadi populer dan bahkan menjadi salah satu strategi marketing yang cukup ampuh untuk menjamin keunikan, keaslian, dan kreativitas sebuah produk. Selanjutnya, design yang diproduksi oleh designer menjadi hal mewah untuk dimiliki. Adrian Forty pernah menguraikan bahwa pada era Renaissance, desain menjadi sebuah representasi visual dari ide atau konsep, yang pada era Modernisme dikenal dengan istilah form dalam Bahasa Inggris. Gunawan Tjahjono (1987) mengkaji pengertian design sebagai kata kerja yang berasal dari kata Perancis desseing, yang berarti tujuan atau rencana. Design dilakukan dengan penuh kesadaran dan bertujuan menyelesaikan masalah serta menghentikan kesimpang-siuran. Sementara itu, design sebagai kata benda adalah produk petunjuk penyelesaian masalah yang menjadi alat untuk mencapai tujuan. Sebuah daftar panjang mengenai arti dari terminologi design diartikan kembali oleh John Chris Jones (1992) sebagai aktivitas menyelesaikan masalah yang memiliki arah tujuan. Desain merupakan lompatan imajinasi dari kenyataan masa kini menuju kemungkinan masa depan, serta sebagai sebuah aktivitas kreatif, yang menghadirkan sesuatu yang baru dan bernilai guna. Pengertianpengertian tadi memberi gambaran bahwa dari sekian banyak pengertian yang coba dijelaskan, design tidak banyak dikaitkan dengan gambar dan karya seni.
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
8
Dengan demikian, muncul keraguan bahwa design merupakan ranah yang melulu menjadi otoritas dari profesi designer, termasuk arsitek.
2.1.2 Pengertian Kegiatan Merancang Menurut Victor Papanek Victor Papanek, salah seorang perancang yang mendedikasikan karyakaryanya bagi masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi dan memiliki kebutuhan khusus, menyatakan bahwa seorang perancang bertanggung jawab kepada publik sebagai pengguna. Papanek memaparkan bahwa munculnya sistem produksi masal telah mengubah peran desain dalam kehidupan manusia (1985). Pada masa tersebut, untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi, segala hal harus direncanakan dan dirancang. Bagi Papanek, peran perancang cukup beresiko, sehingga ia beranggapan bahwa tanggung jawab moral dan sosial wajib dimiliki oleh perancang. Efek dari kegagalan atau keberhasilan sebuah desain bersifat jangka panjang dan harus ditanggung oleh masyarakat penggunanya. Karenanya, Papanek menganggap perancang perlu memiliki pemahaman dasar untuk mengupayakan sebuah proses desain yang melibatkan publik sebagai pengguna. Papanek menyerukan sebuah kritik bagi dunia perancangan yang tidak menyertakan peran publik. Hal ini dibuktikan dengan masih jarangnya teks acuan bagi kalangan profesi maupun akademisi dalam bidang perancangan yang membahas keterlibatan publik dalam sebuah proses desain, bahkan publik tidak dianggap sebagai pembaca. Papanek menyatakan bahwa setiap orang adalah perancang. Hampir seluruh kegiatan manusia merupakan kegiatan merancang, karenanya desain menjadi sebuah hal dasar bagi segala aktivitas manusia. Desain mencakup segala hal yang mengandung tujuan dan prediksi. Papanek memberikan beberapa contoh aktivitas yang mengandung proses desain, misalnya menulis puisi, mengeksekusi mural, melukis, mengkomposisikan musik, membersihkan sesuatu, mengatur tata letak meja gambar, mencabut gigi yang terinfeksi, memanggang pai apel, memetakan posisi pemain baseball, bahkan mendidik anak. Dari pernyataan ini, terlihat Papanek hendak menyatakan bahwa desain seringkali dihubungkan dengan keterampilan seni khusus, namun desain juga
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
9
selalu ada dalam keseharian yang sangat publik. Pada intinya, desain merupakan sebuah upaya sadar untuk mengadakan order yang penuh makna dan tujuan.
Gambar 2.1 Proses Memanggang Kue Pai sebagai Proses Desain (Sumber: femmetales.com)
Acuan-acuan perancang dalam mendesain selama ini justru membatasi wawasan terhadap inovasi yang mungkin muncul dan menjadikan perancang segera menyatakan apa yang seharusnya dan tidak seharusnya muncul sebagai sebuah hasil rancangan. Namun, menurut Papanek sebuah hasil rancangan hanya dapat dinilai sebagai sesuatu yang lebih baik atau lebih buruk. Tidak ada penilaian salah atau benar dalam perancangan, karenanya tidak pernah ada satu jawaban tepat untuk suatu masalah perancangan. Masih menurut Papanek, hal yang terpenting dari kegiatan merancang adalah menghasilkan produk yang dapat memenuhi kebutuhan penggunanya. Nilai estetika merupakan tanggung jawab terkecil bagi seorang perancang. Sebagian besar desain ternyata hanya memuaskan kebutuhan jangka pendek, tetapi kebutuhan dasar justru dilupakan. Kebutuhan-kebutuhan dasar inilah yang sebenarnya sulit untuk dipenuhi apabila perancang hanya terpaku pada ketentuan dan aturan yang berlaku. Proses kreatif dilakukan oleh manusia sepanjang hayatnya. Hasrat untuk menyelesaikan masalah menjadi warisan turun temurun manusia. Karenanya, Papanek menyatakan bahwa merancang merupakan kemampuan mendasar dalam diri manusia. Tidak hanya akademisi dan profesi perancang yang dapat
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
10
menjalankan proses kreatif tadi, masyarakat pemakai pun seharusnya ikut berperan. Terkait karakter non-design serta pengertian proses desain yang telah dijelaskan sebelumnya, karakter
rancangan yang dihasilkan oleh masyarakat
berbeda dengan yang dihasilkan oleh perancang formal. Namun kemampuan dalam proses perancangan yang dimiliki oleh masyarakat itulah yang perlu diperhitungkan oleh perancang untuk dapat menerapkan proses desain kolaboratif.
2.2
Krisis Arsitektur di Ruang Publik Ruang publik diartikan sebagai suatu tempat yang dapat digunakan oleh
siapapun tanpa pembatasan ekonomi atau sosial (Webster’s Online Dictionary, 2012). Ruang publik merupakan ruang yang tidak boleh dikuasai oleh pihak atau kelompok tertentu manapun, karenanya ia memiliki sifat terbuka (Kusumawijaya, 2006). Kritik terhadap krisis arsitektur di ruang publik dengan menyatakan suatu keraguan untuk mempercayakan arsitektur kepada arsitek diungkapkan oleh Giancarlo de Carlo (1969). Menurut de Carlo, salah satu penyebab kegagalan perancangan ruang publik adalah sikap institusi perancangan yang menganggap mereka lebih berwenang dalam melakukan suatu intervensi bagi publik. Proses perancangan ruang publik yang berlangsung selama ini masih bersifat tertutup dari partisipasi publik. Ruang publik akan dipakai dan dikelola oleh masyarakat, karenanya rasa memiliki harus mulai dibangun sejak proses perancangan dilakukan. Begitu pula dengan rancangan yang dihasilkan, menurut de Carlo, perlu memberi kesempatan bagi peran kreatif pemakai dalam keseharian. Victor Papanek (1985) mencoba mengarahkan pandangan para perancang pada kebutuhan yang benar-benar bersifat publik, terutama bagi kelompok marjinal kota yang tidak diperhitungkan. Operasi desain masih memusatkan perhatian pada pemakai dalam kondisi ideal dan bukan dengan kebutuhankebutuhan khusus, misalnya bagi mereka yang cacat fisik, orang lanjut usia, wanita hamil, maupun kelompok masyarakat miskin. Hingga hari ini, sebagian besar ruang publik belum mampu mencapai makna kepublikan yang sesungguhnya.
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
11
Krisis arsitektur di ruang publik yang terjadi di Indonesia dilatarbelakangi oleh minimnya peran arsitek di ruang publik yang sesungguhnya, munculnya bentuk ruang semi publik sebagai ruang publik kota, dan tidak efektifnya ruang kota yang dirancang untuk publik oleh institusi perancangan dan pemerintah kota (Kusumawijaya, 2006). Misalnya saja pembangunan mal yang semakin marak di Jakarta. Pada tahun 2012 jumlah mal di Jakarta setidaknya sudah mencapai 70 buah (Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia, 2012). Ruang yang sematamata didesain untuk kepentingan bisnis tidak dapat sepenuhnya memenuhi kepentingan publik (Orillard, 2005). Salah satu contoh kehadiran ruang publik berupa ruang terbuka hijau, yang tidak diperlakukan sebagai ruang sisa dapat ditemukan di Shanghai, Cina. Houtan Park merupakan sebuah area lahan basah di area Shanghai Expo Park yang pada tahun 2010 dikembangkan sebagai ruang publik. Taman menjadi sebuah sistem hidup dari berbagai macam tanaman yang berfungsi sebagai penahan banjir, penghasil kebutuhan pangan, penjernih air sungai Huangpu yang telah tercemar, serta sebagai area penelitian dan rekreasi. Ruang publik yang terbentuk adalah sebuah taman ekologis yang memperkenalkan cara kerja lingkungan untuk menyokong kehidupan kota. Publik dapat dengan bebas memasuki taman ini.
Gambar 2.2 Houtan Park, Shanghai (Sumber: archdaily.com, 2011)
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
12
Di kota Jakarta, mal telah menjadi bentuk ruang publik baru dengan sifat semi publik. Apabila dibandingkan dengan ruang terbuka kota, mal memang lebih ramai dikunjungi. Menurut Marco Kusumawijaya, mal merupakan tempat yang eksklusif bagi kalangan yang mampu menjadi konsumen terhadap harga barang yang ditawarkan. Pengunjung mal terisolasi dari dunia luar yang padahal mengandung makna publik yang sesungguhnya. Marco Kusumawijaya masih melihat ruang publik seringkali diperlakukan sebagai ruang sisa. Dalam keseharian, kelompok marjinal kota lebih peka pada kesempatan memanfaatkan ruang-ruang publik yang sering diperlakukan sebagai ruang sisa untuk mereka gunakan sebagai ruang tinggal maupun ruang usaha. Dengan demikian, ruang publik belum mampu menjadi ruang yang terbuka bagi setiap kalangan masyarakat kota.
2.3
Weak Architecture Menurut Ignasi de Solà-Morales Rubio Salah satu reaksi terhadap krisis arsitektur di ruang publik diungkapkan
oleh Ignasi de Solà-Morales Rubio (1987) dengan mengajukan konsep weak architecture. Rubio mengetengahkan isu bahwa persepsi terhadap tempat dan waktu dalam arsitektur sudah tidak lagi bersifat stabil dan tahan lama (durable). Arsitektur yang dekat dengan keseharian justru bersifat plural dan muncul dalam berbagai bentuk. Dalam weak architecture, proses perancangan mengambil jalur yang tidak lazim, bukan lagi secara top down, melainkan mempertemukan berbagai arah. Kehidupan kota berlangsung dalam dimensi waktu yang heterogen (heterochronic), karenanya mekanisme arsitektur yang seiring dengan kultur tersebut bersifat weak. Di dalamnya, terjadi sebuah transformasi pengalaman arsitektural yang lekat dengan keindahan menjadi pengalaman yang terbentuk oleh aktivitas yang berlangsung. Arsitektur yang weak hadir secara temporal dan tak terprediksi dalam memanfaatkan kesempatan dari keberadaan ruang-ruang di tempat-tempat yang juga tak terprediksi. Menurut Rubio, dalam kondisi inilah ekspresi publik mencapai kepenuhannya.
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
13
Dalam menjelaskan weak architecture, Rubio menekankan karakter dekoratif dan monumental. Dekorasi dalam keseharian memainkan peran yang tidak esensial, namun melalui kehadirannya, sebuah realita menjadi semakin hidup.
Dekorasi
tidak
menonjolkan
diri
sebagai
pusat,
melainkan
menyempurnakan sebuah totalitas. Dalam arsitektur, dekorasi juga dapat menampilkan fungsi pendukung. Karakter monumental dalam weak architecture tidak menekankan pada konsistensi waktu. Rubio menjelaskan akar kata yang digunakan adalah monitu, yang berarti rekoleksi atau ingatan. Monumen memiliki makna ketertetapan, namun ia dapat hadir dalam kondisi yang terbuka. Dalam hal ini, Rubio menyatakan bahwa representasi yang muncul dari sifat monumental adalah sisa atau bekas. Misalnya saja, ketika sebuah lonceng berdentang, yang kita dengar adalah gema dari bunyi lonceng setelah selesai dibunyikan. Sisa dari bunyi lonceng itulah yang menjadi rekoleksi dalam ingatan kita. Rubio menyimpulkan bahwa weak architecture, dengan sisi monumentalnya, merupakan bentuk arsitektur yang dinamis dan selalu hidup dalam ingatan walaupun secara fisik ia tidak hadir. Salah satu pasar di Bangkok, Thailand yang terletak di bawah jalan layang kereta api menggambarkan karakter weak architecture karena hanya muncul di malam hari. Pasar yang berada di Stasiun Stadion Nasional Bangkok ini merupakan pasar lokal yang menjual berbagai barang dan souvenir dengan harga yang terjangkau. Kehadiran pasar tidak didefinisikan oleh bangunan komersial secara fisik, seluruh dagangan hanya digelar di atas terpal dan penjualnya tidak menetap. Walaupun tidak memiliki wujud fisik yang jelas, pasar ini telah dikenal di kalangan turis. Program utama stasiun adalah sebagai titik simpul transportasi, namun kehadiran pasar telah menciptakan karakter khusus di stasiun tersebut, sebagai dekorasi arsitektur stasiun di malam hari.
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
14
Gambar 2.3 Pasar Lokal Malam Hari di Stasiun Stadion Nasional Bangkok (Sumber: virtualtourist.com, 2011)
2.4
Privatisasi Ruang Publik untuk Kepentingan Kolektif Masyarakat melihat fungsi ruang publik yang belum efektif sebagai suatu
kesempatan untuk mendayagunakan ruang secara lebih baik. Mereka mulai mengambil alih ruang-ruang publik ini dan menggunakannya untuk kepentingan kolektif. Foucault (Foucault, 1967) pernah menyatakan kemunculan ruang – ruang kolektif ini sebagai salah satu fenomena tempat yang lain (other place) atau heterotopia. Ulasan Michiel Dehaene dan Lieven De Cauter (Dehaene, De Cauter, 2008) mengenai konsep heterotopia menyatakan bahwa konsep ini menaruh perhatian pada ruang keseharian yang memiliki makna ganda yang dapat bertentangan satu sama lain. Privatisasi ruang publik menjadi salah satu fenomena keruangan utama yang dibahas dalam konsep ini. Ruang-ruang publik ditransfomasi oleh masyarakat menjadi ruang kolektif melalui sebuah proses perancangan publik. Ruang kolektif diartikan sebagai ruang yang digunakan secara bersama atau gabungan (Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan, 2012). Dehaene dan De Cauter mengistilahkan kemunculan ruang kolektif sebagai pernyataan berakhirnya eksistensi ruang publik (the end of public space). Foucault (Foucault, 1967) menggambarkan ruang kolektif menginterupsi normalitas ruang publik dan membentuk realitanya sendiri dengan menawarkan bentuk pengalaman yang sangat umum di masyarakat setempat. Ruang kolektif telah menjadi bentuk ruang publik baru. Dalam kolektivitasnya, ruang tersebut
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
15
memiliki sistem keterbukaan dan ketertutupan khas tergantung komunitas pengelolanya. Mengenai hal ini, Foucault menyatakan bahwa ruang berkegiatan tidak lagi dipandang sebagai kekosongan (void) yang perlu diisi tetapi lebih sebagai relasi yang terjadi pada tempat – tempat yang tidak dapat disamakan satu sama lain. Ruang kolektif selalu tampil dalam bentuk yang sangat bervariasi dan lokal. Sebagai salah satu bentuk nyata heterotopia, ruang kolektif menampilkan serangkaian tempat (series of place) pada lokasi yang sama. Ruang kolektif juga memiliki karakter terbuka terhadap berbagai dimensi waktu (heterochronism). Ketika mengalami konsep heterotopia dalam ruang kolektif, pengguna akan merasakan keterputusan dengan waktu yang secara umum dijadikan pedoman dalam berkegiatan. Ia dapat hadir secara wajar pada kondisi “bukan pada waktunya”, misalnya ketika secara umum pada malam hari orang akan secara pasif menggunakan ruang untuk istirahat, kehidupan pada ruang – ruang kolektif justru baru saja dimulai. Dehaene dan De Cauter (2008) mendeskripsikan konsep heterotopia sebagai tempat yang hadir dalam segala waktu, namun berada di luar rutinitas umum yang dilakukan dalam waktu yang sudah pasti. Karena dikelola oleh komunitas tertentu, aturan main yang berlaku dalam beroperasinya ruang-ruang kolektif hanya dapat dikenali apabila kita telah terlibat dalam aktivitas di ruang tersebut. Oleh karena itu, ketika pertama kali memasuki ruang kolektif, pengguna akan menampakkan kecanggungan. Tetapi, ketika sudah beberapa kali terlibat dalam aktivitas di ruang kolektif dan mulai belajar bagaimana aturan main yang berlaku, maka pengguna mulai menjadi bagian dari komunitas ruang kolektif tersebut. Ruang kolektif bukanlah ruang yang dianggap legal dalam penataan ruang kota, pemanfaatannya bersifat sementara, tidak terprediksi, dan sangat fleksibel terhadap perubahan. Ruang ini mengkontestasikan fungsi ruang publik yang didudukinya dengan melibatkan negosiasi-negosiasi dan karenanya terdapat strategi yang juga dirancang oleh komunitas yang mengelolanya. Edward Soja (1996) menjelaskan bahwa heterotopia menampilkan aktivitas ekonomi dan politik yang melibatkan kelompok-kelompok minoritas dan marjinal dalam penggunaan ruang.
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
16
Christine Boyer (2008) menyatakan bahwa konsep heterotopia yang diangkat oleh Foucault mencoba mendekatkan pemahaman arsitektur kepada pergulatan spasial yang dialami masyarakat urban. Menurut Boyer terdapat dua karakter yang berlaku dalam heterotopia, pertama sebagai ruang yang menampilkan realitanya sebagai ilusi dan kedua sebagai ruang yang lebih rasional serta tertata dibandingkan ruang terencana. Seperti kemunculan ruang-ruang kolektif yang tidak mengenal aturan dalam institusi perancangan, heterotopia dengan kelugasannya mampu menciptakan tempat yang lebih bermakna. Sementara itu, Foucault (1967) memandang apa yang dilakukan oleh arsitek masih sebatas menjamin orang-orang terdistribusikan ke dalam ruangruang. Selanjutnya, arsitek akan membuat kanal – kanal sirkulasi. Untuk mengatur hubungan orang yang satu dan yang lain, mereka menciptakan berbagai regulasi. Dengan kata lain, selama ini arsitek hanya memusatkan perhatian pada wujud bangunan (form) yang berperan sebagai wadah penampung kegiatan dengan pembagi-pembagi ruangnya. Kehadiran heterotopia selalu mengkontestasikan ruang dengan segala ketentuannya yang sudah ditetapkan dengan memunculkan diskontinuitas, transformasi, dan abnormalitas lokasi. Ia adalah ruang terbuka yang selalu memberi kesempatan bagi berbagai penemuan dari masyarakat. Heterotopia merespon hal-hal yang hilang dari arsitektur, karena arsitektur dianggap menjadi sebuah kekuatan menakutkan yang membagi – bagi area kota untuk menciptakan keindahan dengan segala regulasinya.
2.5
Praktek Spasial Publik Menurut Henry Lefebvre Konsep heterotopia yang disuarakan oleh Foucault pada tahun 1967 dilihat
sebagai sebuah pernyataan ulang dari konsep ruang representasi (representational space) yang lebih dulu dinyatakan oleh Henry Lefebvre di tahun 1974. Dalam teorinya tentang produksi ruang. Lefebvre (1974) menjelaskan tiga konsep utama yang berupa serangkaian proses, yaitu praktek spasial (spatial practice), representasi ruang (representation of space), dan ruang representasi (space of representation). Di dalam tiga serangkai konsep ini juga muncul istilah ruang
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
17
abstrak dengan beberapa karakter yang juga dimiliki oleh konsep weak architecture. Lefebvre mengajukan ruang sosial sebagai agenda utama karena ruang masih dipahami secara geometris, sebagai ruang kosong yang perlu diisi. Sementara itu, sisi sosial dalam penggunaan ruang belum mendapat perhatian cukup. Ruang yang diproduksi secara institusional bersifat mendominasi dan jauh dari praktek keruangan sehari-hari. Di dalam ruang sosial terdapat relasi sosial yang memproduksi makna sepanjang proses produksi dan reproduksi. Praktek spasial (spatial practice) merupakan pendorong terjadinya proses produksi dan reproduksi ruang. Setiap formasi sosial akan menampilkan karakter berbeda dan spesifik. Masyarakat memodifikasi ruang sosial tersebut agar menjadi pantas untuk digunakan. Makna yang ditampilkan oleh suatu ruang sosial tidak hanya dibaca dan dipersepsikan oleh pemakainya, tetapi juga dikonstruksikan kembali. Bentuk yang paling dominan adalah pengambilalihan ruang-ruang publik untuk direproduksi oleh masyarakat. Masyarakat berperan sebagai pemakai, mereka akan melakukan berbagai aksi di dalam ruang untuk dapat memahami ruang tersebut. Wujud sebuah ruang dapat ditentukan oleh praktek spasial publik yang selama ini hanya ditempatkan sebagai pengisi ruang. Relasi-relasi sosial dalam praktek spasial menentukan lahirnya regulasiregulasi dalam penggunaan ruang serta representasi (representation of space) dari ruang itu sendiri. Ruang pertama-tama diproduksi secara institusional dan mendominasi kehidupan masyarakat. Namun, pengguna menghidupi ruang, mereka tidak mengacuhkannya dan tidak pernah salah mengerti, mereka akan segera mengalami ruang. Pemakai mereproduksi ruang dan menghasilkan ruang representasi (representational space). Ruang ini terbentuk dari aktivitas pengguna yang menghasilkan karakter cair dan dinamis. Dalam proses produksi, kemunculan ruang ini terus ditekan. Praktek keseharian pengguna mentransformasikan representasi ruang menjadi ruang representasi. Ruang representasi inilah yang dianggap Lefebvre sebagai ruang yang sesungguhnya, ruang yang sangat aktif, dan hidup oleh kultur setempat.
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
18
Lefebvre menyatakan bahwa ruang sosial adalah produk sosial. Selama ini, ruang dianggap sebagai murni suatu diri dan karenanya keberadaan subjek dalam pembentukan ruang bukanlah hal penting. Hasrat atau pemikiran dari pengguna tidak diperhitungkan. Semua ruang dibentuk oleh relasi-relasi sosial, karenanya ruang bukanlah murni suatu diri melainkan hasil dari relasi-relasi antar berbagai diri (things). Ruang sosial memiliki dua parameter, sebagai tempat yang selalu dipindahkan atau dihancurkan oleh kekuatan dominan, karena dianggap ilegal, serta sebagai ruang-ruang yang dimasuki kekuatan yang lebih lemah. Karakter ini juga dapat ditemukan dalam pembahasan weak architecture pada sub bab sebelumnya. Arsitek menempatkan ruang sebagai properti privatnya untuk dapat dibagi menjadi parsel-parsel. Pada kenyataannya, operasi spasial menyatakan eksistensi dan memproyeksikan diri melalui ruang. Selanjutnya relasi sosial akan mereproduksi ruang dengan makna baru. Ruang sosial selalu terkait aksi sosial yang dijalankan oleh subjeknya, baik secara individual, maupun kolektif yang menjadikan ruang tersebut sebagai ruang vital. Setiap pengguna dalam suatu ruang akan membentuk identitas mereka atau justru kehilangan jati diri. Ruang menjadi hal yang dapat dinikmati dan dimodifikasi. Proses produksi ruang adalah proses produktif, sebab praktek spasial publik selalu menekankan pada pengalaman ruang dengan seluruh organ tubuh. Lefebvre mengkonfrontasikan istilah ruang absolut (absolute space) dan ruang abstrak (abstract space). Ruang absolut digambarkan sebagai ruang dengan wujud pasti, volume terukur, dan berupaya mempertahankan stabilitas. Pengguna dikondisikan untuk menempati ruang dan karenanya pengguna tidak hidup dengan cara yang ditentukan saat ruang diproduksi. Ruang abstrak memiliki bentuk yang beragam dan regulasinya berasal dari relasi sosial. Prinsip perancangan ruang untuk mencapai nilai guna tetinggi justru hadir dalam ruang abstrak. Karena karakter ruang abstrak yang sangat cair ini, saya dapat membandingkannya dengan weak architecture yang telah dibahas sebelumnya.
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
19
2.6
Kesimpulan Ketika ruang publik belum mampu memenuhi kebutuhan publik karena
proses perancangannya masih tertutup dari partisipasi publik serta munculnya bentuk ruang publik baru yang hanya dapat dinikmati oleh kalangan masyarakat tertentu, masyarakat penghuni yang selalu menyesuaikan diri terhadap kondisi ruang mulai menunjukkan reaksi berupa modifikasi terhadap ruang yang telah dirancang secara institusional. Secara aktif mereka mereproduksi ruang dan mentransformasikan representasi awal ruang, bahkan mengkontestasikan fungsi baru ke dalamnya. Ketika mentransformasikan fungsi ruang publik untuk kepentingan kolektif, masyarakat merancang dengan menerapkan proses non-design, yang berupa desain non institusional, tidak normatif, dan partisipatif dengan tujuan menghasilkan ruang yang efektif dalam penggunaannya. Ruang yang dihasilkan tampil sebagai kondisi disorder dan cenderung lemah secara bentukan fisik, seperti karakter weak architecture dan ruang abstrak. Proses perancangan oleh publik tidak menjadikan keindahan sebagai tujuan utama, melainkan pengalaman dari aktivitas dalam ruang. Masyarakat mengelola ruang hasil transformasi ruang publik secara kolektif. Ruang kolektif yang terbentuk tidak didefinisikan oleh batasan fisik yang jelas dan bahkan bersifat temporer. Namun, ruang tersebut menjadi dekorasi dari fungsi utama ruang publik yang dikontestasikan dan tetap diingat sekalipun tidak hadir secara fisik, karenanya ruang kolektif memiliki makna monumental. Ruang ini dapat muncul dengan fungsi ganda dalam berbagai dimensi waktu dan selalu fleksibel terhadap perubahan. Perancangan yang dilakukan oleh publik memiliki ordernya sendiri. Cara yang diterapkan oleh publik dalam merancang dapat menjadi alternatif bagi proses perancangan institusional sebagai sebuah proses partisipatif untuk menghasilkan ruang yang dapat digunakan oleh seluruh kalangan masyarakat.
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
20
BAB 3 BUDAYA LESEHAN DAN JARAK SOSIAL SEBAGAI PEMBENTUK KARAKTER RUANG KOLEKTIF
3.1
Karakter Tempat dalam Pembentukan Ruang Kolektif Dalam praktek spasial sehari-hari, setiap kegiatan selalu terjadi pada
tempat yang khas (Norberg-Schulz, 1988). Pembahasan Christian Norberg-Schulz mengenai fenomenologi tempat menyatakan bahkan kegiatan paling dasar manusia, misalnya tidur dan makan, dapat berlangsung di tempat yang sama sekali berbeda karena sangat bergantung pada budaya dan kondisi lingkungan setempat. Pengaruh dari situasi lokal menjadi salah satu penentu untuk membentuk identitas suatu tempat. Arsitektur dapat memberi makna pada sebuah lingkungan dengan memperhatikan karakter spesifik dari tempat. Karakter diartikan oleh Norberg-Schulz sebagai atmosfer dominan yang dapat dialami di suatu tempat. Ruang menemukan realitanya pada lokasi sebagai pemberi karakter. Konsep karakter dianggap Norberg-Schulz lebih nyata dan dapat dimengerti dibandingkan konsep ruang. Ruang tidak hanya dapat didefinisikan melalui batasan-batasan, melainkan juga karakter yang memberikan makna bagi ruang. Pengalaman dalam ruang hanya dapat terjadi melalui pengalaman terhadap karakter tempat. Karenanya masyarakat menggunakan pemahamannya terhadap karakter konteks tempat sebagai pertimbangan utama dalam perancangan ruang kolektif.
3.2
Jarak Sosial Manusia dan Budaya Lesehan Masyarakat Yogyakarta Ruang-ruang kolektif yang tidak memiliki batasan fisik yang jelas atau
bersifat abstrak sangat bergantung pada kebudayaan setempat dalam menentukan jarak sosial yang berlaku. Edward T. Hall menjelaskan adanya dimensi-dimensi tersembunyi yang mengatur jarak antar manusia dalam relasi sosial (1969). Untuk berinteraksi dengan segala sesuatu di luar dirinya, manusia dilengkapi dengan dua macam sensor, yaitu reseptor jarak dan reseptor langsung. Reseptor jarak berhubungan dengan objek yang berjarak dari tubuh. Mata, telinga, dan hidung merupakan anggota reseptor jarak. Reseptor langsung
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
21
berhubungan dengan dunia luar yang langsung melakukan kontak dengan tubuh, sensasi langsung diterima oleh kulit, membran, serta otot. Informasi yang diterima oleh mata dapat 100 kali lebih efektif dibandingkan oleh telinga. Jarak pendengaran efektif yang dapat dijangkau oleh telinga dinyatakan Hall cukup terbatas. Jarak 20 kaki atau 6 meter merupakan batas maksimal jarak pendengaran paling efisien. Mencapai jarak 100 kaki, atau 30 meter dimungkinkan terjadinya komunikasi vokal satu arah. Sementara itu, mata telanjang masih dapat memintas informasi hingga jarak 100 yard atau sekitar 91, 5 meter dengan cukup baik. Kecepatan data yang disampaikan kepada sistem saraf melalui indera penglihatan jauh lebih tinggi dibandingkan melalui indera peraba dan pendengaran. Dalam menjelaskan persepsi manusia terhadap ruang, Hall menyatakan bahwa bahasa yang berbeda-beda mempengaruhi cara pandang manusia terhadap ruang. Dalam hal ini, pernyataan Hall dapat dihubungkan dengan peran budaya lokal dalam menentukan persepsi pengguna terhadap pembentukan ruang. Ruang yang terbentuk dari relasi sosial memiliki derajat kedekatan berbeda antara manusia satu dan yang lain, tergantung pada setting budaya setempat. Masyarakat Yogyakarta dalam kesehariannya menunjukkan adanya setting duduk yang khas pada rumah tradisional mereka. Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan provinsi yang masih dipimpin oleh Raja Jawa, baik secara administratif maupun sosio kultural. Secara formal, pendirian kota ini dihitung sejak tahun 1757. Wilayah Yogyakarta diyakini didirikan di atas sumbu yang ditarik dari Gunung Merapi di Utara sampai ke Samudera Indonesia di selatan. Pusat kosmik wilayah ini berada di sepanjang Malioboro yang merupakan jalur utama dari kota menuju ke istana (Santosa, 2000). Usia Yogyakarta yang sudah mencapai lebih dari 250 tahun memberikan gambaran bahwa budaya yang terbentuk di tengah masyarakatnya sudah mengakar dengan kuat. Daerah ini telah menjadi tujuan utama wisatawan lokal dan mancanegara. Kota Yogyakarta lebih dikenal sebagai kota seni, budaya, dan pendidikan. Budaya Yogyakarta merupakan spesifikasi dari budaya Jawa. Dalam buku “Omah”, Revianto Budi Santosa memberi contoh penggunaan sebuah ruang yang disebut jogan pada rumah keluarga Mbah Sura, berasal dari
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
22
kata jujugan yang memiliki arti tempat tujuan sesuai posisinya persis sesudah pintu masuk utama. Jogan digunakan oleh kepala keluarga sebagai tempat untuk menerima tamu formalnya. Pada ruangan ini diletakkan meja dan kursi berlengan yang menegaskan kedudukan Mbah Sura sebagai pemilik rumah. Namun, jogan juga digunakan untuk meletakkan ambèn atau tempat tidur dari bambu sebagai tempat informal anggota keluarga berkumpul dan duduk lesehan. Jogan dapat menjadi ruang publik formal yang menegaskan kedudukan ketika kursi digunakan, sedangkan ia juga berperan sebagai ruang keluarga informal dengan cara duduk yang membebaskan. Pada kasus lain yang juga menjadi studi Revianto dalam buku “Omah”, ruang yang digunakan sebagai ruang publik pada rumah keluarga Mbah Amad adalah pendhapa. Bila dibandingkan dengan rumah sebelumnya, rumah ini tergolong lebih kompleks. Pendhapa merupakan massa bangunan paling depan dari rumah Mbah Amad, diikuti oleh massa bangunan omah dan selanjutnya massa bangunan pawon di paling belakang. Pendhapa memiliki denah terbuka dengan dinding gedhèg dan derajat keterlingkupannya rendah. Pendhapa digunakan oleh pemilik rumah, yang merupakan perajin batik, sebagai ruang kerja pekerjanya. Selain itu, pendhapa juga digunakan sebagai tempat berkumpul para pekerja pada waktu istirahat sambil mendengarkan siaran ketoprak di radio. Pekerja laki – laki dan perempuan duduk lesehan di atas tikar memenuhi pendhapa dan Mbah Amad biasa menemani para pekerja hingga larut malam. Dengan demikian, pendhapa berfungsi sebagai ruang kumpul informal untuk para pekerja. Pada bagian tengah ruang, diletakkan sebuah meja besar dan beberapa kursi tinggi yang digunakan untuk kegiatan rapat atau pertemuan yang lebih formal dengan tamu laki-laki rekan Mbah Amad. Dengan demikian, pendhapa berfungsi sebagai ruang publik formal ketika cara duduk lesehan berubah menggunakan kursi. Jogan pada bagian omah digunakan sebagai ruang kumpul keluarga yang paling kasual. Tidak terdapat furnitur tertentu untuk memfasilitasi aktivitas, kecuali tikar yang digelar di seluruh lantai. Seluruh anggota keluarga biasa bekumpul di ruang ini dengan lesehan dan menggunakan dinding sebagai
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
23
sandaran. Tamu yang dianggap bukan tamu formal pun ditemui di jogan dan bukan di pendhapa. Dengan kata lain, penempatan seperangkat meja dan kursi di tengah pendhapa menandai pernyataan status. Karenanya, pendhapa lebih sering digunakan untuk menerima tamu yang formal, kecuali kegiatan para pekerja sehari-hari yang berlangsung informal. Dari kedua contoh ruang publik dan ruang kumpul keluarga yang dijelaskan oleh Revianto, tampak adanya dua cara duduk utama yang terjadi di rumah tradisional Jawa, yaitu duduk lesehan dan duduk di atas kursi. Duduk lesehan kemudian terkait dengan makna informalitas. Ketika hubungan sosial yang terjadi tidak memerlukan pernyataan status, aktivitas menjadi lebih leluasa dan cara duduk yang digunakan menitikberatkan pada segi kenyamanan. Terdapat dua macam setting duduk lesehan, pertama yang membentuk pusat, kedua yang berjajar. Duduk lesehan yang memusat berlangsung pada aktivitas yang dilakukan dalam waktu yang lebih lama, seperti makan atau bertamu. Relasi yang terjadi pada setting ini pun lebih memiliki tujuan yang pasti. Sedangkan, setting berjajar dipraktekkan pada aktivitas yang bersifat spontan dan instan dengan tujuan yang tidak jelas, hanya sekedar mampir. Menurut Hall, setting tempat duduk dalam sebuah ruang juga dapat menggambarkan bagaimana relasi yang terbentuk dalam ruang tersebut. Sementara itu, Revianto menguraikan bahwa duduk merupakan posisi ketika relasi sosial dilakukan. Selain itu, posisi tubuh ini berkaitan dengan perbedaan status dan pernyataan budaya. Ketika lahir, manusia berada pada posisi tidur, begitu pula ketika ia meninggal. Pada kondisi di antara hidup dan mati, duduk menjadi posisi relatif yang sementara di dunia. Hall mengistilahkan dua macam setting duduk dalam relasi sosial manusia, yang senada dengan penjelasan Revianto mengenai dua macam setting lesehan, yaitu sosiopetal dan sosiofugal. Sosiopetal merupakan setting duduk yang mendorong orang untuk dapat saling berinteraksi, sedangkan sosiofugal adalah setting yang sebaliknya. Ruang dengan setting duduk sosiofugal dirancang untuk memisahkan orang yang satu dan yang lain. Namun, sebuah setting yang dianggap sosiopetal pada suatu kultur dapat berlaku secara sosiofugal pada kultur yang lainnya. Dengan demikian, setting
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
24
sosiopetal maupun sosiofugal tidak berlaku secara universal. Menurut Hall, hal yang lebih penting adalah fleksibilitas setting ruang dan kesesuaian antara desain dan fungsi yang bekerja di dalamnya. Sehingga, sangat dimungkinkan suatu ruang memiliki setting yang beragam sesuai dengan kebutuhan pengguna. Begitu pula setting duduk di rumah tradisional Jawa pun sangat fleksibel. Bila cara duduk lesehan yang dipilih, berarti aktivitas tersebut berlangsung dengan lebih cair, di antara orang-orang dengan ikatan lebih dekat dan membutuhkan tingkat kenyamanan cukup tinggi. Sedangkan, kursi bukan menandai kenyamanan duduk, melainkan kuasa. Yang cukup menarik adalah aktivitas yang berlangsung cukup lama dilakukan dengan cara duduk lesehan, sehingga dalam keseharian pada rumah Jawa tradisional frekuensi duduk lesehan menjadi lebih tinggi dibandingkan duduk di atas kursi. Menurut Revianto, masyarakat Jawa belum lama mengenal kursi. Sejak abad ke 19, hanya keraton dan beberapa rumah bangsawan yang mulai menggunakan kursi. Masyarakat secara umum mempraktekkan cara duduk lesehan pada rumah-rumah mereka. Lesehan biasa dilakukan beralaskan tikar maupun di atas ambèn. Lesehan dalam budaya masyarakat Yogyakarta diartikan sebagai cara duduk pada area lantai yang sudah ditinggikan dari level jalur sirkulasi. Duduk di atas ambèn tidak disamakan dengan duduk di atas kursi, melainkan dianggap lesehan. Hal ini sesuai dengan penjabaran Revianto mengenai peran ambèn dalam rumah tradisional Jawa sebagai panggung keseharian. Ambèn menjadi tempat bekerja, beristirahat, berkumpul, bersantap keluarga, juga sebagai tempat menerima tamu infomal. Ia telah menjelma menjadi tempat berlangsungnya berbagai kegiatan, setara dengan lantai yang di atasnya berbagai aktivitas dilakukan. Karenanya, duduk di atas ambèn dianggap lesehan karena identik dengan duduk di lantai, panggung kehidupan. Posisi duduk lesehan pada rumah Jawa di Yogyakarta mengakibatkan ruang dalam rumah menjadi sangat cair dan fleksibel. Tidak ada penempatan khusus secara individual seperti cara duduk dengan kursi. Hal yang mengikat keluarga lalu lebih kepada hidangan atau acara pertemuan keluarga. Walaupun lesehan adalah cara duduk yang digunakan dalam kondisi kasual dan lebih
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
25
membebaskan, tetap ada aturan-aturan sosial yang berlaku. Misalnya pada konteks rumah tinggal, tidak diperbolehkan melintas di depan orang tua yang sedang duduk lesehan tanpa mengucapkan permisi. Cara duduk lesehan tidak hanya terkait dengan makna fungsional mengenai kenyamanan posisi duduk, melainkan juga mengandung makna relasi antara manusia dan bumi dalam pemahaman masyarakat Jawa. Revianto menghubungkan kondisi rumah tradisional Jawa dengan karakter lantai yang memiliki hubungan langsung dengan tapak atau tidak menggunakan sistem panggung, seperti pada sebagian besar rumah tradisional di daerah lainnya. Memang terdapat cara duduk lesehan pada rumah tradisonal yang berasal dari daerah lain di Indonesia, namun makna kedekatan manusia terhadap bumi dipandang secara berbeda. Misalnya saja pada budaya masyarakat Daya di Kalimantan yang tinggal di rumah panjang. Penghuni rumah panjang duduk di atas lantai yang sudah ditinggikan hingga 2 hingga 5 meter. Mereka mengganggap area kosong pada peninggian lantai sebagai dunia bawah yang disimbolkan oleh hewan reptil. Manusia menempati dunia tengah di atas dunia bawah tadi.
Gambar 3.1 Duduk Lesehan di Rumah Panjang dan Rumah Panjang dengan Lantai yang Sudah Dinaikkan (Sumber: info-wisata-indonesia.blogspot.com dan lisantradisi.blogspot.com)
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
26
Gambar 3.2 Rumah Tradisional Jawa Tengah (Sumber: indonetwork.co.id)
Dalam budaya Jawa, kedekatan lantai dengan tanah mengartikulasikan pengukuhan eksistensi manusia di atas bumi, bahwa manusia adalah putra putri bumi, sementara langit dianggap sebagai alam dewa dewi. Karenanya, muncul istilah bumiputra yang berarti anak bumi. Biasanya istilah ini digunakan untuk menyebut penduduk asli atau anak negeri (Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan, 2008). Lantai merupakan salah satu faktor penentu utama pada sebuah tempat. Lantai dianggap sebagai panggung terjadinya drama kehidupan, di sanalah berlangsung berbagai peristiwa yang membentuk sejarah. Dari segi kenyamanan, duduk lesehan dianggap dapat memberi kesempatan terhadap variasi posisi duduk. Ketika belum memiliki kursi, para bangsawan pun duduk secara lesehan. Akibatnya, petunjukan tari yang dipentaskan untuk menghibur ditarikan secara jèngkèng agar dapat dinikmati pada level penonton yang lesehan. Hal ini menunjukkan cara duduk lesehan memberi cukup banyak dampak terhadap cara berbagai aktivitas dilakukan maupun karakter spasial dari elemen-elemen pembentuk ruang.
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
27
Gambar 3.3 Budaya Lesehan di Kota Gede, Yogyakarta (Sumber: Bambang Tri Atmojo, 2007)
Dalam menjelaskan setting ruang, Hall mengkategorikannya menjadi tiga, yaitu fitur permanen (fixed-feature), fitur semi permanen (semifixed-feature), dan ruang informal. Fitur permanen dalam sebuah ruang tidak dapat dipindahkan, setting yang terjadi bersifat tetap dan pengguna harus mengikuti setting yang sudah ada. Sebaliknya, fitur semi permanen memberi kesempatan untuk perubahan setting sesuai keperluan pengguna. Ruang informal terkait dengan pengalaman ruang dan sangat bergantung pada jarak yang ditentukan oleh satu individu terhadap individu lain. Ruang kolektif termasuk dalam kategori ruang informal ini. Peran budaya setempat dapat teramati lebih jelas pada ruang infomal. Ruang ini tidak memiliki bentuk yang pasti dan lebih dikenali dari pola yang muncul dalam relasi sosial. Namun, ruang informal selalu memiliki karakter khusus. Pola yang terbentuk dalam relasi sosial dapat diamati dengan beberapa kategori jarak, yaitu jarak intim, jarak personal, jarak sosial, dan jarak publik. Kebudayaan setempat menjadi hal yang sangat berpengaruh dalam pembentukan ruang sosial karena setiap orang akan berinteraksi dan beraktivitas berdasarkan pemahaman yang diterimanya melalui media budaya. Pengamatan yang dihasilkan Hall menunjukkan seseorang mengambil jarak dengan orang lain di sekitarnya karena intensitas suara, karenanya suara dapat diasosiasikan dengan perubahan jarak. Orang akan berbisik apabila jarak dengan rekan bicara sangat dekat, namun akan berteriak apabila jaraknya jauh.
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
28
Jarak intim, personal, sosial, dan publik berlaku untuk aktivitas dan relasi sosial dengan karakter yang berbeda-beda. Jarak intim merupakan jarak sosial terdekat. Dalam jarak ini terjadi kontak fisik langsung satu sama lain. Batasan terjadinya jarak intim adalah 0 centimeter sampai dengan 15 centimeter dengan jarak terjauh 46 centimeter. Jarak personal digunakan oleh seseorang sebagai gelembung ruang privat terkecil untuk mentoleransi jarak terdekat terhadap sesama. Toleransi maksimal ini digunakan oleh seseorang untuk melindungi diri dari intervensi orang lain dengan radius antara 0,5 meter sampai dengan 1,2 meter. Aktivitas yang dapat tejadi dalam jarak ini adalah berdiskusi dengan rekan yang dikenali. Jarak sosial mendefinisikan batasan dominasi yang dapat dikontrol oleh seseorang terhadap sesama. Aktivitas yang termasuk dalam radius ini kurang bersifat personal dan berlangsung pada jarak 1,2 meter sampai dengan 3,6 meter. Pada jarak ini juga berlangsung aktivitas berkumpul yang nyaman. Jarak publik berkisar antara 3,6 meter sampai dengan 7,6 meter. Dalam radius ini, terjadi berbagai aktivitas yang tidak melibatkan pembicaraan dua arah, misalnya untuk bepidato atau memberi ceramah.
3.3
Ruang Publik Jawa Berkarakter Ruang Kolektif Dalam sistem kebudayaan masyarakat Yogyakarta, Revianto Budi Santosa
(2000) menjelaskan adanya konsep ruang publik Jawa yang tidak pernah benarbenar dikuasai oleh publik. Selalu ada otoritas yang mengontrol penggunaan ruang tersebut, misalnya saja alun-alun dimiliki oleh raja, balai desa seringkali merupakan rumah kepala desa. Bentang alam yang tidak dikuasai seseorang, seperti hutan, sungai, gunung berada di bawah kuasa dunia arwah. Konsep ini juga berlaku pada kasus penjajahan ruang publik untuk kepentingan kolektif yang terjadi di Yogyakarta. Revianto
menjelaskan
bahwa
ruang
yang
menampung
segala
ketidakpastian dalam budaya masyarakat Yogyakarta ditempatkan di luar (wawancara dengan Revianto Budi Santosa, 16 Mei 2012). Misalnya saja alunalun sebagai ruang luar yang diidentikkan dengan ombak yang bergulung dan bagian dalam istana yang diidentikkan dengan makna tentram dan tertata. Ada
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
29
beberapa level ketidakpastian dalam ruang publik Jawa. Kondisi ketidakpastian pada level yang rendah misalnya kunjungan tamu yang tidak terpediksi. Pada level ketidakpastian yang lebih tinggi, dapat terjadi konflik. Seluruh level ketidakpastian itu dapat terjadi di alun-alun yang berupa ruang terbuka. Kemunculan penjual keliling di Yogyakarta dapat dijelaskan dengan konsep ruang luar sebagai tempat terjadinya ketidakpastian. Segala aktivitas temporer dianggap tidak memerlukan bangunan untuk ditempati. Revianto mencontohkan aktivitas pasar di Yogyakarta yang pada awalnya hanya muncul seminggu sekali pada hari yang sama, sehingga tidak perlu mendirikan bangunan. Namun, ketika pasar lalu digelar setiap hari dengan frekuensi yang lebih tetap dari sebelumnya, diperlukan bangunan untuk menampung aktivitas jual beli. Dalam hal ini terlihat adanya pergeseran dari aktivitas temporer di ruang luar menuju aktivitas permanen di ruang dalam.
3.4
Kesimpulan Pembentukan ruang kolektif oleh masyarakat selalu menunjukkan karakter
kuat dari konteks tempat dan budaya keseharian pemakainya. Dalam mendefinisikan relasi sosial di ruang publik pada rumah Jawa tradisional, masyarakat Yogyakarta menerapkan cara duduk lesehan dan dengan kursi. Kedua cara duduk ini terkait pernyataan status, kenyamanan duduk, serta makna informalitas. Dalam keseharian, karena dibutuhkan kenyamanan optimal selama duduk dalam waktu yang cukup lama dan relasi yang terjadi bersifat informal, maka lesehan secara umum dipraktekkan dalam budaya masyarakat Yogyakarta. Definisi ruang kolektif, yang tidak memiliki batasan fisik yang jelas, salah satunya diperoleh dari setting duduk dalam ruang serta jarak sosial antar manusia yang terbentuk. Seperti yang diungkapkan oleh Hall pada penjelasan sebelumnya, bahwa terdapat setting sosiopetal dan sosiofugal sebagai dua macam setting duduk. Pada budaya lesehan, kedua setting itu pun berlaku untuk menentukan karakter relasi sosial yang terjadi Dalam ruang lingkup kota, pembentukan ruang kolektif oleh masyarakat menerapkan praktek spasial dalam budaya yang mereka pahami. Seperti karakter ruang kolektif yang diokupansi untuk kepentingan kolektif, ruang publik Jawa
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
30
pun tidak pernah dimiliki sepenuhnya oleh publik. Karakter ruang di rumah Jawa yang sangat cair dijadikan sebagai pemahaman dalam membentuk ruang kolektif di Yogyakarta. Selain itu, dalam budaya Jawa seluruh ketidakpastian terjadi di ruang luar dan belum memerlukan bangunan. Karenanya, penjaja keliling dan pasar temporer di Yogyakarta masih melakukan aktivitasnya di ruang luar atau hanya menumpang di ruang publik yang sudah ada.
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
BAB 4 ANGKRINGAN TUGU YOGYAKARTA: RUANG KOLEKTIF MALAM BERBUDAYA LESEHAN 4.1
Asal Mula Kemunculan Angkringan Tugu Angkringan merupakan kakilima makanan khas di Yogyakarta. Kata
angkringan berasal dari bahasa pergaulan Jawa, angkring, yang berarti duduk dengan santai dan lebih bebas (wawancara dengan Revianto Budi Santosa, 16 Mei 2012). Para pembeli yang duduk di bangku kayu memanjang di sekitar gerobak angkringan dapat mengangkat atau melipat satu kaki naik ke atas kursi. Angkringan merupakan salah satu bentuk variasi dari kaki lima. Penjual kaki lima yang menggunakan pikulan juga dapat ditemui di daerah-daerah lain. Kaki lima pikulan yang menjual makanan dengan harga murah seperti angkringan dapat pula ditemui di Solo dan Klaten. Masyarakat setempat menyebut kaki lima tersebut dengan nama hik, yang berarti hidangan istimewa kampung. Istilah ini masih digunakan di Solo, tetapi istilah yang populer di Yogyakarta adalah angkringan. Pada awalnya, penjual angkringan tidak menggunakan gerobak dorongan beroda dua, melainkan pikulan yang terbuat dari belahan batang bambu. Di kedua ujungnya digantungkan dua set perangkat, serta dilengkapi sebuah bangku untuk penjual. Satu set angkringan dilengkapi alat dan bahan minuman yang akan diolah, termasuk anglo atau tungku berbahan bakar arang. Sementara, set yang lain memuat bahan makanan siap saji yang hanya perlu dibakar kembali di atas tungku. Perlengkapan kios berjalan ini masih sangat sederhana mengingat frekuensi perpindahannya cukup tinggi.
Gambar 4.1 Agkringan dan Kaki Lima Tempo Dulu (Sumber: kaskus.com, ikiangkringan.blogspot.com, cerita-kota-loenpia.blogspot.com)
31
Universitas Indonesia
Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
32
Gambar 4.2 Peta Lokasi Angkringan Tugu (Sumber: jogjareskrim.wordpress.com telah diolah kembali)
Gambar 4.3 Peta Lokasi Okupansi Angkringan Tugu dan Penggagas dari Tahun 1950-2012 (Sumber: Google Map 2012 telah diolah kembali)
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
33
Cikal bakal penjaja angkringan di Yogyakarta adalah Mbah Pairo dari Klaten yang berdagang sejak 1950. Pada 1969, usaha ini diwariskan kepada anaknya, Lik Man. Lik Man sempat pindah beberapa kali dari Stasiun Tugu ke Jalan Pangeran Mangkubumi pada tahun 1970 dan kemudian pindah lagi ke Jalan Wongsodirjan pada tahun 1975 hingga saat ini. Jumlah penjual angkringan di Jalan Wongsodirjan terus bertambah sejak kedatangan Lik Man. Dengan demikian, para penjual angkringan di area ini memiliki frekuensi perpindahan yang lebih rendah karena secara rutin mereka menggelar dagangan di tempat dan waktu yang sama setiap harinya. Saat diwawancarai, salah satu pengelola Angkringan Lik Man menjelaskan bahwa salah satu alasan kepindahannya dikarenakan pengunjungnya terus bertambah sehingga memerlukan ruang yang lebih besar. Trotoar Jalan Wongsodirjan dipilih menjadi tempat baru untuk berdagang karena potensinya yang berbatasan langsung dengan Jalan Pangeran Mangkubumi, yang menerus hingga Jalan Malioboro. Selain itu, kondisi trotoar yang sepi menjadi sebuah potensi tersendiri bagi penjual angkringan untuk dimaksimalkan sebagai tempat berdagang. Pak Seh dan Lik No yang juga berasal dari Klaten mengikuti jejak Lik Man untuk berjualan di Jalan Wongsodirjan. Dari tahun ke tahun, pengunjung ketiga angkringan ini semakin banyak dan berakibat munculnya penjual-penjual angkringan baru pada area yang sama. Mereka kemudian menjadikan Jalan Wongsodirjan sebagai kawasan angkringan. Karena jam hidup angkringan ratarata dimulai menjelang pukul 18.00 hingga dini hari, kawasan ini lekat dengan tempat bersantap malam sekaligus sebagai tempat berkumpul malam hari. Dari sebelas angkringan yang saat ini dapat ditemui di Jalan Wongsodirjan, sepuluh penjual masih menjajakan makanan menggunakan pikulan, sisanya menggunakan gerobak kaki lima beroda dua. Area trotoar yang digunakan oleh para penjual angkringan saat ini berbatasan dengan dinding pembatas utara Stasiun Tugu. Mereka membentuk ruang untuk penjual dan pembeli dengan menggunakan tenda temporer yang terdiri atas modul-modul yang dapat dibongkar pasang.
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
34
Gambar 4.4 Peta Peruntukan Jalan Wongsodirjan Sebelum Okupansi Penjual Angkringan (Sumber: Google Earth 2012 telah diolah kembali)
Karena berjualan secara kolektif, penjual telah membentuk identitas khas Jalan Wongsodirjan sebagai kawasan kuliner angkringan malam hari. Di Kota Yogyakarta, sebenarnya saya dapat menemukan penjual angkringan di beberapa lokasi lainnya, namun biasanya mereka berdagang secara individu menggunakan gerobak kaki lima beroda dua. Selain itu, karena para penjual angkringan pertama di Yogyakarta memang berlokasi di sebelah utara Stasiun Tugu, karakter pembentukan ruang kolektif di sana terlihat sudah lebih kuat.
4.2
Transfomasi Trotoar sebagai Kawasan Angkringan Malam Hari Trotoar Jalan Wongsodirjan merupakan area yang jarang dilalui. Salah
satu sisi trotoar langsung berbatasan dengan dinding pembatas stasiun setinggi 135 cm. Sementara itu, sisi trotoar lain yang berada di seberang, langsung berbatasan dengan pagar rumah. Dengan batasan dinding putih sepanjang trotoar, muncul perasaan monoton saat saya melaluinya. Sementara itu, ketika melintas pada sisi trotoar lain, saya merasa berada pada perluasan area privat pemilik rumah. Pagar yang berbatasan dengan trotoar tergolong sangat rendah dan beberapa massa rumah bahkan langsung berbatasan dengan jalan tanpa didahului pekarangan. Dari trotoar, saya dapat melihat bagian dalam rumah melalui jendela
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
35
atau pintu yang dibiarkan terbuka. Saya sempat mengamati penjual jamu wanita dan seorang nenek yang berjalan kaki di sekitar pukul 10.00 di jalan ini dan memilih untuk berjalan pada area jalan raya. Setelah melakukan beberapa kali pengamatan pada pagi hingga siang hari, saya dapat menyimpulkan bahwa trotoar tersebut sangat jarang dilalui oleh pejalan kaki. Ketika Lik Man, Lik No, dan Pak Seh berdagang di Jalan Wongsodirjan, ia menyelesaikan masalah kebutuhan ruangnya dengan mengokupansi area trotoar yang berbatasan dengan dinding utara Stasiun Tugu. Mereka melihat potensi trotoar untuk perluasan ruang berdagang karena tidak efektif untuk dilalui oleh pejalan kaki. Kondisi trotoar yang tidak terlalu istimewa ini telah berubah drastis ketika area ini menjadi deretan tenda angkringan. Jelas bahwa para penggagas memang tidak memiliki motivasi langsung untuk mengefektifkan kembali fungsi trotoar sebagai ruang publik. Motivasi utama mereka datang dari kebutuhan ekonomi untuk berdagang. Apa yang dilakukan oleh para penggagas memperlihatkan kepekaan terhadap potensi ruang-ruang publik yang tidak efektif. Bagi mereka, masalah yang lebih mendesak adalah menampung bertambahnya pembeli. Seperti yang menjadi pertimbangan dalam proses non-design yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, para penggagas mencari solusi paling efektif untuk masalah mereka. Penjual angkringan juga terbentur dengan masalah ekonomi dalam melakukan perluasan ruang, sehingga pilihan mereka masih memanfaatkan ruang – ruang publik dengan langkah – langkah negosiasi dengan kepentingan publik. Kasus transfomasi salah satu sisi trotoar di Jalan Wongsodirjan untuk dijadikan
tempat
usaha
penjual
angkringan
menunjukkan
terjadinya
pengambilalihan ruang publik untuk kepentingan kolektif. Mereka menyadari area di Jalan Pangeran Mangkubumi tidak mampu menampung bertambahnya pembeli karena jalan tersebut merupakan akses utama dengan tingkat keramaian yang tinggi.
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
36
Gambar 4.5 Panorama Rumah Siang Hari (Sumber: Dokumentasi pribadi)
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
37
Gambar 4.6 Panorama Angkringan Malam Hari (Sumber: Dokumentasi pribadi)
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
38
Penggagas melihat Jalan Wongsodirjan langsung berbatasan dengan Jalan Pangeran Mangkubumi yang merupakan akses utama para turis sebab jalan ini melintasi Stasiun Tugu dan menerus hingga Jalan Malioboro. Karenanya, ketiga penggagas menempatkan ruang dagangnya tidak jauh dari pertigaan Jalan Pangeran Mangkubumi agar para pengunjung yang melintas di jalan utama tersebut masih dapat menemukan mereka di Jalan Wongsodirjan.
4.2.1 Kesepakatan Kolektif antar Para Aktor Pihak kecamatan dan para penjual membentuk kesepakatan-kesepatan kolektif agar kepadatan angkringan di sepanjang trotoar tidak menimbulkan konflik baru. Setiap penjual harus melaporkan keberadaannya pada pihak kecamatan untuk bisa menempati area trotoar secara gratis. Penjual menggunakan modul tenda berukuran panjang 6 meter dengan lebar 3 meter dengan jarak antar tiang pada sisi panjangnya 6 meter dan antar tiang pada sisi lebarnya 2 meter. Setiap penjual dapat memasang beberapa modul tenda sesuai dengan kemampuan ekonomi masing-masing. Hasil pengamatan lapangan yang saya lakukan menunjukkan terdapat 3 penjual yang menggunakan 3 modul tenda, 5 penjual yang menggunakan 2 modul tenda, dan 3 penjual yang hanya menggunakan 1 modul tenda. Sejak pukul 12.00 siang, tenda-tenda angkringan sudah mulai didirikan. Angkringan beroperasi sejak pukul 13.00 hingga batas akhir pukul 04.00 pagi. Penjual dikenai biaya harian Rp 1.000,00 untuk setiap lampu penerangan yang disalurkan dari sebuah toko lama di pertigaan antara Jalan Wongsodirjan dan Jalan Pangeran Mangkubumi. Para penjual diwajibkan merapikan perlengkapan angkringan mereka, termasuk membongkar tenda, dan membuang sampah. Seluruh sampah dibuang ke tempat sampah bersama di ujung Jalan Wongsodirjan. Agar pada pagi dan siang hari trotoar masih dapat digunakan oleh pejalan kaki, setiap penjual harus membongkar tenda angkringannya dan menyimpan seluruh perlengkapan angkringan di tempat penyimpanan bersama yang terletak di sebelah timur Jalan Pangeran Mangkubumi. Ketika saya melakukan pengamatan di Jalan Wongsodirjan pada pukul 9.00, tidak seluruh modul tenda dan perlengkapan angkringan diletakkan di area penyimpanan yang sudah disediakan,
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
39
melainkan dibiarkan berada di trotoar. Beberapa orang pejalan kaki terlihat memilih untuk menghindari berjalan di trotoar yang dipenuhi perlengkapan berjualan karena alasan kenyamanan.
Gambar 4.7 Peta Peruntukan Jalan Wongsodirjan Setelah Okupansi PenjualAngkringan (Sumber: Google Earth 2012 telah diolah kembali)
Gambar 4.8 Peta Lokasi Penyimpanan Perlengkapan Angkringan (Sumber: Google Earth 2012 telah diolah kembali)
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
40
Gambar 4.9 Rangka Tenda yang Tersisa di Trotoar (Sumber: Dokumentasi pribadi)
Sepanjang jam operasai angkringan, penjual dibantu oleh pelayan. Pelayan di setiap angkringan turut berperan untuk menciptakan keramaian pengunjung di setiap angkringan. Mereka aktif menghampiri para pejalan kaki dan menawarkan angkringan masing-masing. Selain itu, para petugas parkir informal juga ikut bertugas mengundang para pengendara sepeda motor untuk mampir ke angkringan, walaupun tanggung jawab mereka adalah mencarikan tempat parkir yang kosong.
Gambar 4.10 Pelayan pada Tenda Angkringan (Sumber: Dokumentasi pribadi)
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
41
Gambar 4.11 Panorama Angkringan Siang Hari (Sumber: Dokumentasi pribadi)
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
42
Terdapat 3 sampai 4 petugas parkir informal yang dibayar sebesar Rp 1.000,00 untuk setiap motor. Setiap malamnya, dari seluruh motor yang parkir dapat terkumpul sekitar Rp 60.000,00. Pendapatan ini kemudian dibagi antara tiga hingga empat petugas parkir. Dengan demikian, para pedagang tidak perlu mengupah petugas parkir. Hubungan timbal balik yang terjadi antara petugas parkir dan penjual angkringan secara tidak langsung bersifat saling menguntungkan. Pada awalnya, ramainya pengunjung angkringan yang sebagian besar datang dengan sepeda motor, mengundang kehadiran petugas parkir untuk mengatur kendaraan mereka pada ruang di depan tenda secara efektif. Petugas parkir juga berperan menjaga keamanan sepeda motor dan hal ini memberi keuntungan tidak langsung bagi penjual angkringan. Apalagi biaya parkir tergolong sangat murah dibandingkan dengan jam berkunjung yang bisa cukup lama. Pengelolaan parkir yang berlangsung secara independen terhadap penjual angkringan menunjukkan tidak adanya ikatan ekonomi antara keduanya. Kesempatan yang dibuka oleh salah satu pihak bagi pihak lainnya saling mendukung efektifitas ruang kolektif yang tercipta. Walaupun tidak terdapat kesepakatan secara ekonomi antar penjual dan petugas parkir, saya dapat melihat adanya kesadaran kolektif yang terjadi di antara keduanya untuk memanfaatkan kesempatan dalam pembentukan ruang kolektif angkringan.
Gambar 4.12 Petugas Parkir Informal (Sumber: Dokumentasi pribadi)
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
43
Pihak terakhir yang turut mengambil kesempatan ekonomis dengan hadirnya Kawasan Angkringan Tugu adalah para musisi jalanan dan pengemis. Sepanjang jam buka angkringan, pengunjung akan ditemani oleh berbagai aksi yang dilakukan oleh penghibur tak diundang tadi. Para musisi jalanan dan pengemis dapat menangkap keramaian publik yang tercipta di sepanjang Jalan Wongsodirjan pada malam hari, terlebih semenjak kawasan ini menjadi tujuan pariwisata. Kehadiran mereka ikut membentuk karakter jalan yang semakin meriah di malah hari.
Gambar 4.13 Seniman Jalanan Setelah Beraksi (Sumber: Dokumentasi pribadi)
4.2.2 Motivasi Penikmat Ketika diwawancarai, beberapa pelayan dari Angkringan Pak Seh dan Angkringan SJW menyebutkan bahwa pengunjung didominasi oleh para pendatang, misalnya mahasiswa serta para turis lokal maupun asing. Peran media cetak dan elektronik dalam mempopulerkan angkringan di Jalan Wongsodirjan, telah menjadikan kawasan ini sebagai tujuan wisata kuliner malam hari Yogyakarta. Terdapat beberapa motif yang membentuk karakter penikmat angkringan di kawasan ini. Setiap angkringan tenyata memiliki komunitas yang menjadi pelanggannya. Misalnya saja, Angkringan Pak Seh yang secara rutin dikunjungi oleh komunitas Arema (Arèk-arèk mania) yang tinggal di Yogyakarta.
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
44
Angkringan Lik Man biasanya dikunjungi oleh masyarakat tionghoa Yogyakarta serta bapak-bapak yang biasanya berkunjung sepulang kerja. Salah satu alasan pemilihan angkringan sebagai tempat makan malam dan berkumpul adalah harga makanan dan minuman yang disajikan cukup murah dan pengunjung dapat duduk senyaman mungkin. Pengunjung juga dapat menjadikan angkringan sebagai ruang pertemuan sederhana dengan durasi yang tidak terbatas hingga angkringan tutup. Penjual tidak akan meminta pengunjung untuk terus membeli makanan atau minuman. Karenanya, hanya dengan membeli makanan atau minuman sesedikit apapun, pengunjung dapat menggunakan ruangnya selama mungkin.
Gambar 4.14 Pelayan Sedang Menyajikan Minuman (Sumber: Dokumentasi pribadi)
Gambar 4.15 Makanan di Pikulan (Sumber: Dokumentasi pribadi)
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
45
Mengenai hal ini, terlihat bahwa orientasi para penjual angkringan untuk memperluas ruang dagangannya tidak terbatas pada segi ekonomi. Mereka juga melihat adanya kebutuhan para pembeli dengan keterbatasan ekonomi untuk makan, minum, dan berkumpul. Jenis makanan yang disajikan di setiap angkringan seluruhnya sama. Minuman dapat bervariasi di setiap angkringan.
4.2.3 Angkringan sebagai Ruang Sosial yang Terjangkau Merujuk pada penjelasan Revianto Budi Santosa (2000) mengenai makna dari makanan dan minuman, menarik untuk mengamati bahwa angkringan lebih banyak dikelola dan dikunjungi oleh pria. Sejalan dengan budaya Jawa di bidang pertanian, sejak pengolahan sawah hingga panen, terdapat pembagian kerja antara pria dan wanita. Pria bertanggung jawab dalam menyiapkan sawah untuk ditanami dan mengatur pengairan. Perempuan bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang bersentuhan langsung dengan tanaman padi, misalnya menanam dan mengetam padi. Pembagian kerja ini berlanjut hingga proses pengolahan makanan dan minuman. Di keraton, setiap jam 11.00 akan muncul rombongan pelayan perempuan dengan membawa berbagai jenis makanan dan rombongan pelayan pria akan datang dengan membawa bebagai jenis minuman. Wanita memiliki kapasitas sebagai penopang kehidupan, dalam relasinya dengan Dewi Sri, sehingga mereka bertanggung jawab untuk mengolah makanan dalam rumah tangga yang bersifat domestik. Pria diasosiasikan dengan air dan sifat yang cair, mereka mendapat tanggung jawab mengolah minuman yang kemudian berhubungan erat dengan makna relasi sosial. Dari sebelas angkringan di Jalan Wongsodirjan, hanya terdapat dua angkingan yang menggunakan nama wanita, yaitu Angkringan Bu Suprapti dan Angkringan Mbak Ita Joss, sisanya mengunakan nama pria. Sebagian besar pengunjung datang ke angkringan dalam jumlah lebih dari satu orang sebab angkringan juga merupakan tempat untuk makan malam bersama. Sajian yang menemani pengunjung selama berjam-jam adalah aneka minuman. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun hadir sebagai kawasan kuliner malam hari,
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
46
angkringan bukanlah tempat mengenyangkan perut, seperti tempat makan pada umumnya. Angkringan lebih merupakan tempat berlangsungnya interaksi sosial. Ketika pergi ke angkringan, pengunjung tidak perlu memilih jenis makanan yang ingin dimakan, melainkan angkringan mana yang membuatnya lebih betah untuk berkumpul. Seperti yang digambarkan oleh Revianto, bahwa angkringan adalah tempat menjual fast food, dalam artian cepat sekali menyajikan, sekaligus slow food, dalam artian durasi menikmatinya (wawancara dengan Revianto Budi Santosa, 16 Mei 2012).
Gambar 4.16 Para Penikmat Angkringan dalam Tenda (Sumber: Dokumentasi pribadi)
4.2.4 Ruang Penjual dan Ruang Pembeli: Tenda dan Trotoar Di bawah tenda-tenda yang benaungan terpal berwarna biru atau oranye mencolok, tampak penjual sibuk mengolah minuman atau menyajikan makanan dari balik pikulannya. Penjual angkringan biasa duduk menggunakan sebuah bangku kayu setinggi kurang lebih 45 cm. Setiap tenda angkringan, baik yang terdiri dari 1, 2, atau 3 modul selalu memiliki ruang penjual dan ruang pembeli. Seperti praktek spasial publik yang selalu menghasilkan ruang abstrak, praktek
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
47
para penjual angkringan di trotoar menunjukkan adanya keragaman dan kecairan bentuk yang hadir melalui pembentukan ruang pembeli dan ruang penjual. Proses pembentukan tempat yang dilakukan oleh para penjual angkringan tidak berorientasi pada peningkatan kemapanan okupansi spasial. Mereka menyadari keberadaan mereka yang temporer dan selalu siap untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Karakter ruang yang dibentuk oleh penjual menampilkan mekanisme dalam konsep heterotopia, yaitu proses yang berawal dari privatisasi ruang publik untuk kepentingan kolektif yang selanjutnya menghasilkan ruang yang tidak tetap. Para penjual angkringan mengkontestasikan trotoar dengan fungsi yang bertentangan, namun berhasil menciptakan sebuah keramaian publik yang lebih efektif pada malam hari. Karakter spasial pada kawasan angkringan merupakan hasil relasi sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat setempat. Dengan demikian, mekanisme pembentukan ruang melalui pemrograman wadah kosong justru mengalami kontradiksi. Tujuan utama pembentukan kawasan angkringan adalah memfasilitasi berlangsungnya kegiatan makan, minum, dan berkumpul. Karena tujuan utama adalah pengalaman, maka unsur keindahan ruang tidak menjadi perhatian para penjual maupun pengunjung. Ruang-ruang yang terbentuk didefinisikan oleh tenda-tenda yang dipasang berjajar saling bersebelahan di atas peninggian trotoar dan ruang ini tidak memiliki estetika untuk ditonjolkan. Batasan antara satu angkringan dan angkringan yang lain sangat cair dan lemah secara wujud, sama seperti karakter yang ditampilkan oleh weak architecture pada bab sebelumnya. Karena selalu berada dalam kondisi siap berpindah, tidak ada kebutuhan untuk mendirikan bangunan, sekalipun jumlah pengunjung sudah semakin banyak. Ruang luar yang terbuka dan hanya dinaungi tenda sudah dianggap paling sesuai untuk memfasilitasi aktivitas makan, minum, dan berkumpul secara sederhana. Bagi para penjual, kualitas ruang akan terbentuk dengan sendirinya ketika aktivitas berlangsung. Akan sulit menjelaskan bagaimana kualitas ruang di dalam tenda angkringan tanpa melibatkan kualitas relasi sosial yang terjadi. Setiap tenda didirikan di atas trotoar setinggi 25 cm dan di dalamnya area penjual dan pembeli didefinisikan oleh fitur – fitur tidak tetap yang terdiri dari
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
48
perlengkapan penjual, bangku dan meja pembeli, serta tikar. Dari Tabel 4.1 terlihat terdapat 3 tipe utama pembentukan ruang pembeli dan penjual. Tipe pertama terdiri dari ruang penjual, ruang pembeli dengan bangku, dan ruang pembeli dengan tikar. Tipe kedua terdiri dari ruang penjual dan ruang pembeli dengan bangku. Tipe ketiga terdiri dari ruang penjual dan ruang pembeli dengan tikar. Masing – masing tipe dapat menggunakan tata letak yang berbeda. Angkringan yang termasuk dalam tipe pertama adalah Angkringan Pojok. Angkringan yang termasuk tipe kedua adalah Angkringan Pak Seh, Lik No, Lik Man, dan SJW. Angkringan yang termasuk tipe ketiga adalah Angkringan Jadul, Bu Suprapti, Pak No, Mbak Ita Joss, Kopi Joss Suramadu, dan Angkringan “X”. Dengan demikian, tipe yang paling banyak digunakan adalah tipe ketiga. Area penjual biasanya merupakan tempat diletakkannya pikulan atau gerobak serta segala perlengkapan lain yang dibutuhkan. Selain itu, pada area ini penjual biasanya membakar kembali makanan, mengolah minuman, serta mencuci perlengkapan makan yang kotor, sambil melayani pembeli. Area pembeli merupakan tempat pembeli makan, minum, dan berkumpul. Dari penelusuran terhadap tipe ruang pembeli, pembeli dapat duduk menggunakan bangku maupun duduk secara lesehan di atas tikar.
Gambar 4.17 Skema Area Penjual dan Area Pembeli di Sekitar Pikulan (Sumber: Dokumentasi pribadi)
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
49
Gambar 4.18 Salah Satu Set Perangkat pada Pikulan (Sumber: Dokumentasi pribadi)
Tabel 4.1 Pembentukan Ruang Penjual dan Ruang Pembeli di Setiap Tenda Angkingan
Sumber: Dokumentasi pribadi
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
50
4.2.4.1 Angkringan Tipe Pertama Pada tipe pertama, pembeli dapat memilih untuk lesehan di atas tikar atau duduk di atas bangku. Angkringan Pojok, yang menggunakan tipe pertama, memanfaatkan salah satu tendanya sebagai area pembeli lesehan dan tenda yang lain sebagai area pembeli dengan meja dan bangku. Area penjual terletak pada area pembeli dengan meja dan bangku. Apabila memperhatikan posisi duduk penjual di atas bangku dan ketinggian meja pikulan sebagai tempat menyajikan makanan, tampak bahwa pembeli di sekitar pikulan akan menikmati makanan pada level yang sama, yaitu 70 cm. Dengan demikian, dapat disimpulkan pada awalnya pembeli duduk di atas bangku.
Gambar 4.19 Angkringan Tipe Pertama (Sumber: Dokumentasi pribadi)
Gambar 4.20 Contoh Angkringan Tipe Pertama (Sumber: Dokumentasi pribadi)
Tikar yang disediakan Angkringan Pojok merupakan bentuk perluasan ketika pembeli sudah melebihi kapasitas pada area dengan meja dan bangku.
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
51
Dengan tikar, penggunaan ruang menjadi lebih maksimal karena ruang untuk menghadirkan meja dapat dihemat. Tikar lebih fleksibel dalam membentuk jarak satu kelompok pembeli dengan pembeli lainnya, dengan demikian akan semakin banyak pembeli yang dapat ditampung. Dari sisi penjual, dapat dilakukan penghematan biaya karena tidak perlu menyediakan meja dan kursi.
4.2.4.2 Angkringan Tipe Kedua Ketiga angkringan yang lebih dahulu berjualan di Jalan Wongsodirjan menggunakan tipe kedua, yaitu Angkringan Lik Man, Angkringan Pak Seh, dan Angkringan Lik No. Kondisi ini turut menerangkan bahwa ruang pembeli yang pertama-tama dibentuk menggunakan meja dan bangku. Meja yang digunakan biasanya berkapasitas 6 orang, 4 orang, atau 12 orang dengan bangku panjang dari kayu di kedua sisi meja. Karena bangku panjang ini tidak memiliki sandaran, maka pembeli dapat duduk dengan lebih bebas dan mengatur posisi duduk yang paling nyaman.
Gambar 4.21 Angkringan Tipe Kedua (Sumber: Dokumentasi pribadi)
Gambar 4.22 Contoh Angkringan Tipe Kedua (Sumber: Dokumentasi pribadi)
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
52
Penggunaan ruang pembeli dengan bangku lebih memungkinkan untuk kelompok pembeli dalam jumlah kecil, antara 2 sampai 4 orang. Dengan demikian, ketika pembeli yang datang mencapai 6 hingga lebih dari 10 orang, ruang pembeli segera penuh. Karena biasanya pembeli akan menghabiskan waktu yang lama, maka pergantian kelompok pembeli akan lebih lambat. Namun, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, penjual tidak mempermasalahkan soal waktu berkunjung pembeli.
4.2.4.3 Angkringan Tipe Ketiga
Gambar 4.23 Angkringan Tipe Ketiga (Sumber: Dokumentasi pribadi)
Gambar 4.24 Contoh Angkringan Tipe Ketiga (Sumber: Dokumentasi pribadi)
Angkringan-angkringan yang termasuk ke dalam tipe ketiga, pada saatsaat ramai pengunjung akan dipenuhi oleh pembeli yang lesehan melingkar. Penggunaan tikar di seluruh ruang pembeli dikarenakan penghematan biaya dan penghematan ruang, selain itu agar pembeli dapat duduk dengan lebih bebas
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
53
dibandingkan menggunakan bangku. Pembeli yang berada di sekitar pikulan tidak berada pada level yang sama dengan meja saji, sehingga mereka perlu berdiri untuk memilih makanan dan duduk kembali untuk menikmati makanan tersebut. Sementara itu, pembeli yang duduk agak jauh dari pikulan agak sulit untuk memilih makanan. Mereka harus menghampiri pikulan untuk memilih makanan. Tipe ketiga paling banyak digunakan karena penjual mengutamakan efektivitas ruang untuk menampung pembeli yang datang serta penghematan biaya melalui penggunaan tikar.
4.2.5 Kawasan Angkringan sebagai Hasil Praktek Spasial Publik Suasana Jalan Wongsodirjan di malam hari turut menciptakan keutuhan ruang penjual dan ruang pembeli. Kendaraan yang melintas, mulai dari sepeda, mobil, dan sepeda motor menggambarkan sebuah pergerakan tanpa henti sebagai kualitas dari titik perhentian para pembeli di angkringan. Kualitas visual juga dibentuk oleh sinar lampu dari kendaraan yang sedang bergerak. Lampu-lampu kendaraan menambah semaraknya kawasan angkringan di malam hari. Area trotoar yang sepi di siang hari ditransformasikan menjadi sebentuk keramaian di malam hari. Trotoar seakan menjadi sebuah panggung bagi aktivitas penjual dan pembeli, ia merangkum ruang penjual dan ruang pembeli dalam sebuah kesatuan yang kontinu antar pedagang satu dengan yang lain. Deretan angkringan seolah menjadi dekorasi trotoar yang jarang dilalui oleh pejalan kaki. Selanjutnya, trotoar menjadi sebuah latar yang terus diingat keberadaannya oleh para pembeli. Sekalipun tidak terlihat adanya aktivitas angkringan pada pagi dan siang hari, trotoar tetap menjadi tempat yang mengandung makna monumental. Ini adalah salah satu karakter weak arhitecture.
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
54
Gambar 4.25 Sketsa Potongan Kawasan Angkringan Siang Hari (Sumber: Dokumentasi pribadi)
Gambar 4.26 Suasana Kawasan Angkringan Siang Hari (Sumber: Dokumentasi pribadi)
Gambar 4.27 Sketsa Potongan Kawasan Angkringan Malam Hari (Sumber: Dokumentasi pribadi)
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
55
Penjual memodifikasi trotoar menjelang malam hingga dini hari, sebagaimana momen praktek spasial. Penggagas menghidupkan trotoar, walaupun dengan fungsi yang menginterupsi fungsi awal representasinya, yaitu jalur pejalan kaki. Terbentuklah karakter trotoar yang baru, sebagai ruang pejalan kaki pada pagi hingga siang hari dan sebagai kawasan kuliner pada malam hingga dini hari. Trotoar merupakan produk desain institusional yaitu sebagai fasilitas pejalan kaki. Namun, penggunaan ruang oleh para penjual angkringan menunjukkan pemahaman dalam keseharian mengenai tidak berfungsinya trotoar secara optimal untuk kemudian dimanfaatkan sebagai ruang vital bagi kepentingan mereka. Salah satu karakter dari ruang sosial yang telah dijelaskan pada Bab 2 adalah ruang tersebut selalu berusaha ditekan karena dianggap ilegal. Namun berbeda halnya dengan kasus Kawasan Angkringan Tugu. Pihak pemerintah lokal bersedia bernegosiasi dengan para penjual. Upaya yang dilakukan bukan berupa pelarangan berjualan di trotoar, tetapi lebih kepada pengaturan agar trotoar masih tetap bisa berfungsi sebagai area bagi pejalan kaki. Dengan kata lain, sejauh ini upaya pemerintah lebih condong kepada bentuk pengendalian dibanding penghapusan. Hal ini juga dapat terlihat dari kemungkinan bertambahnya pedagang, seperti yang dinyatakan oleh seorang pelayan dari Angkringan Pak Seh. Praktek spasial publik juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan setempat. Angkringan Mbah Pairo yang pertama muncul di Stasiun Tugu dipengaruhi oleh kondisi stasiun yang menjadi simpul keramaian. Perpindahan ke Jalan Pangeran Mangkubumi pada masa Lik Man juga masih dipengaruhi oleh potensi jalan ini sebagai jalan penghubung ke Jalan Malioboro dan masih berada sangat dekat dengan stasiun.
4.3
Perluasan Ruang Makan Lesehan Semenjak media mulai mempopulerkan Angkringan Tugu sebagai salah
satu kawasan kuliner khas Yogyakarta, semakin banyak turis yang mampir ke kawasan ini. Dengan bertambahnya jumlah pengunjung dari tahun ke tahun, para penjual angkring harus menyiasati perluasan ruang pembeli. Ruang pembeli yang
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
56
dibentuk oleh meja dan bangku di dalam tenda tidak lagi mampu menampung seluruh pengunjung yang datang dalam kelompok-kelompok besar. Pada tahun 1990an, para penjual lalu menyelesaikan konflik kebutuhan ruang mereka dengan melihat kesempatan untuk menggunakan area trotoar yang terletak di seberangnya. Pada awalnya penggunaan trotoar pada area tersebut dihindari karena mempertimbangkan rumah-rumah yang berbatasan langsung dengan trotoar. Namun, kondisi yang mendesak membuat penjual memilih area tersebut untuk perluasan ruang pembeli. Dengan demikian, penjual dapat melakukan perluasan dengan tetap mempertahankan ruang penjual yang sudah ada.
4.3.1 Awal Mula Penggunaan Tikar Para penjual masih terbentur dengan konflik penggunaan trotoar di depan rumah warga yang sifat okupansinya harus lebih fleksibel dibandingkan trotoar yang berbatasan dengan dinding pembatas Stasiun Tugu. Hal ini dikarenakan pada pagi hingga siang hari semua perlengkapan ruang pembeli tidak boleh ada yang tersisa. Penjual juga membutuhkan ruang yang cepat dibentuk dan dihilangkan, namun mampu menampung pembeli dalam jumlah besar. Dalam hal ini, pertimbangan ekonomi juga menjadi perhatian utama penjual. Untuk membentuk ruang pembeli, maka digelarlah tikar-tikar di sepanjang trotoar yang berada di depan rumah warga. Penggunaan tikar dilakukan karena melihat cukup banyak pengunjung yang datang dalam kelompok-kelompok besar. Penjual dapat menghemat biaya pembelian meja dan bangku sekaligus menyediakan ruang yang lapang. Pertimbangan lain menyangkut fungsi trotoar sebagai area pejalan kaki yang juga menjadi jalur keluar masuk rumah-rumah warga. Walaupun tikar tetap mengintervensi jalur keluar masuk, namun jam operasi angkringan sepanjang malam hingga dini hari mampu memperkecil konflik karena aktivitas keluar masuk pada malam hari yang teramati di lapangan tidaklah tinggi. Untuk menghormati hak pemilik rumah, peletakan tikar di beberapa titik yang langsung berbatasan dengan pintu pagar tidak diprioritaskan. Seandainya pengunjung sudah sangat ramai, barulah titik-titik tersebut digunakan.
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
57
Dari wawancara dengan salah seorang pelayan pria di Angkringan Lik No, saya mendapat keterangan bahwa pada tahun 2005 pernah dibangun 4 buah pondok pada area trotoar yang berbatasan langsung dengan Jalan Pangeran Mangkubumi, tepatnya pada bagian yang tidak berbatasan dengan rumah warga. Area trotoar ini berbatasan dengan dinding pembatas dari bangunan Wisma Ratih. Pertimbangan untuk menggunakan area trotoar ini didasarkan pada kesempatan yang dilihat oleh para penjual bahwa area tersebut tidak digunakan untuk jalur keluar masuk ke rumah warga. Karakter area trotoar pada titik tersebut sama dengan karakter area trotoar yang berbatasan dengan dinding pembatas stasiun.
Gambar 4.28 Peta Lokasi Pondok yang Pernah Dibangun (Sumber: Google Earth 2012 telah diolah kembali)
Karena bersifat menetap pada area trotoar, pondok berbahan bambu tersebut selalu dapat ditemukan pada siang maupun malam hari. Lantai pondok diangkat dari level trotoar dengan kapasitas setiap pondok 6 orang dan pembeli duduk secara lesehan Namun, pada tahun 2007 pondok ini tidak diijinkan lagi berdiri oleh pemerintah lokal dan harus dibongkar. Semenjak saat itu, Angkringan Lik Man dan Lik No kembali menggunakan tikar untuk perluasan area bisnis mereka.
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
58
Transformasi trotoar setelah transformasi sebelumnya ini menunjukkan pembentukan ruang pembeli sebagai hasil dari relasi-relasi sosial. Ruang bahkan tidak lagi didefinisikan oleh naungan tenda, melainkan oleh bidang alas berupa tikar dan tubuh-tubuh pembeli yang lesehan di trotoar. Penjual angkringan tidak memfasilitasi perluasan ruang pembeli dengan mendirikan tenda karena area tersebut tidak akan dapat digunakan oleh warga yang tinggal di belakangnya. Pada area trotoar yang berbatasan dengan dinding stasiun, penjual lebih leluasa mengokupansi ruang karena merasa kepemilikan privat maupun publik di sana lebih kecil. Sementara itu, area trotoar di seberangnya lebih lekat dengan kepemilikan privat warga yang menghuni rumah di belakangnya. Dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya kedua sisi trotoar di Jalan Wongsodirjan bukan berada di bawah kuasa publik sepenuhnya, walaupun pejalan kaki masih dapat menggunakan dengan bebas area tersebut. Kondisi ini senada dengan penjelasan pada bab sebelumnya tentang karakter ruang publik Jawa yang memang tidak pernah dimiliki sepenuhnya oleh publik, selalu ada pihak yang memprivatisasi penggunaannya.
Gambar 4.29 Perluasan Ruang Lesehan Pembeli (Sumber: Dokumentasi pribadi)
4.3.2 Definisi Ruang Lesehan Tikar yang digelar di sepanjang trotoar segera memberi petunjuk bagi pembeli untuk duduk secara lesehan. Cara duduk ini juga sudah menjadi salah satu karakter kuat Angkringan Tugu. Cara duduk lesehan yang muncul dari
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
59
penggunaan tikar sebenarnya merupakan cara duduk dalam keseharian masyarakat awam di Yogyakarta, seperti yang telah dijelaskan pada Bab 3. Ketika sifat dari relasi sosial yang belangsung lebih akrab dan informal, cara duduk lesehan dipraktekkan. Lesehan menjadi cara duduk yang memberi kenyamanan bagi pembeli, sebab mereka bisa duduk lebih bebas daripada di atas bangku. Namun, apabila penggunaan kursi berlengan pada rumah-rumah Jawa yang dijelaskan pada Bab 3 memiliki kaitan dengan pernyataan status pemilik rumah, hal ini berbeda dengan cara duduk yang berlaku di angkringan. Duduk di atas bangku pada ruang pembeli di dalam tenda maupun lesehan di atas trotoar tidak memiliki kaitan dengan pernyataan status. Kedua cara duduk tadi memiliki makna informalitas yang sama. Penjual dari Angkringan Pak Seh dan Angkringan SJW yang saya wawancarai menyatakan bahwa mereka menyadari bahwa kawasan yang mereka tempati sudah menjadi salah satu tujuan pariwisata, karenanya turis merupakan pengunjung utama yang diharapkan. Para turis tersebut biasanya memilih untuk duduk di perluasan ruang pembeli, yaitu lesehan beralaskan tikar. Walaupun lesehan tergolong lebih baru dibandingkan duduk di atas bangku dan bukan cara duduk pembeli yang digunakan sejak kemunculan angkringan, area lesehan justru yang membuat kawasan ini semakin populer. Penggunaan tikar di seluruh area trotoar yang berbatasan dengan rumah warga menyebabkan perluasan ruang pembeli menjadi sangat cair dan fleksibel. Identitas masing – masing pengunjung melebur dalam kelompok – kelompok sosial yang mereka bentuk dari cara duduk lesehan. Saya dapat dengan mudah merujuk kepada seseorang yang duduk di atas kursi individual pada restoran, namun untuk merujuk pada seseorang yang duduk lesehan di atas tikar adalah hal yang tidak mudah. Hal ini dikarenakan para pembeli yang lesehan biasanya memiliki orientasi duduk yang sangat fleksibel dan dapat berbeda – beda antar kelompok. Bahkan, untuk merujuk kepada seseorang yang duduk di atas bangku pun tetap menjadi hal yang sulit, sebab bangku dan meja dipakai secara bersama.
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
60
Gambar 4.30 Sketsa Potongan Kawasan Angkringan Malam Hari Setelah Perluasan Ruang Pembeli (Sumber: Dokumentasi pribadi)
4.3.3 Taktik Pembagian Ruang Kepemilikan setiap penjual bukan berupa kavling di trotoar, melainkan hanya berupa tenda temporer dan tikar. Masing-masing angkringan sudah memiliki kesepakatan untuk membagi area pembeli mereka. Lokasi perluasan ruang pembeli berada di seberang masing-masing tenda angkringan. Sebenarnya, perluasan ruang pembeli yang terletak di seberang ruang penjual justru mempersulit pelayanan. Akibatnya, diperlukan cukup banyak pelayan untuk melayani pembeli dan bergerak di antara dua area trotoar. Dengan mempraktekkan lesehan, para pembeli akan mengalami sebuah bentuk kedekatan terhadap lantai atau terhadap bumi, yang direpresentasikan oleh trotoar. Semua pembeli yang berkunjung ke angkringan akan berada pada satu kedudukan yang sama. Di malam hari, suasana tenda angkringan maupun area perluasan ruang pembeli dengan tikar tidak terlalu terang. Pakaian yang dikenakan atau wajah antar pembeli akan sulit terlihat jelas. Kondisi malam hari yang hanya diterangi lampu jalan menyebabkan pembeli tidak terlalu memperhatikan sisi kebersihan tempat duduk yang langsung di atas area pejalan kaki.
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
61
Penjual kini memperluas area lesehan hingga ke depan Wisma Ratih di Jalan Pangeran Mangkubumi. Kondisi ini menjadi penyelesaian yang ideal bagi para penjual karena area lesehan tersebut dapat terlihat dari jalan utama, sehingga akan menarik perhatian. Namun, sebenarnya area lesehan yang lebih luas dan nyaman dengan skala jalan yang lebih kecil tersedia di Jalan Wongsodirjan. Alasan mengapa para pembeli ingin duduk di area lesehan didasarkan pada jumlah orang dalam sebuah kelompok pengunjung. Pembeli yang datang berdua atau bertiga akan memilih duduk di dalam tenda yang menggunakan bangku. Namun apabila pembeli datang dalam jumlah 4 orang ke atas, mereka akan memilih tenda dengan cara duduk lesehan atau menempati perluasan ruang lesehan.
Gambar 4.31 Perluasan Ruang Lesehan Hingga Trotoar Jalan Pangeran Mangkubumi (Sumber: Dokumentasi pribadi)
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
62
Gambar 4.32 Diagram Pembagian Area Tikar (Sumber: Dokumentasi pribadi)
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
63
4.3.4 Kesementaraan Ruang Lesehan Kualitas ruang yang terbentuk di dalam tenda lebih terlingkupi oleh naungan dan kendaraan-kendaraan di area parkir. Sementara itu, kualitas ruang di perluasan ruang pembeli seluruhnya terbuka. Keleluasaan ini pula yang sering dipilih oleh pengunjung dalam kelompok besar. Namun, ketika hujan tiba, perluasan ruang pembeli tidak bisa berfungsi sama sekali. Penjual yang tidak memliki ruang untuk menampung pembeli dalam jumlah besar ke dalam tenda akan segera kehilangan pembeli. Pengamatan yang saya lakukan ketika hari hujan menunjukkan kondisi yang kurang menguntungkan bagi penjual. Karena hujan sudah berlangsung sejak jam buka angkringan, penjual tidak menggelar tikar untuk perluasan ruang. Ketika diwawancarai, salah satu pelayan menyatakan bahwa pengunjung menurun drastis karena hujan sudah turun selama tiga hari. Penjual merasa tidak perlu menggelar tikar karena pembeli yang datang akan segera dilayani di tenda. Tetapi apabila hujan tidak berlangsung dalam waktu yang cukup lama dan segera berhenti, penjual akan membersihkan dan menyapu air di trotoar sesaat setelah hujan berhenti untuk selanjutnya menggelar tikar. Pembeli yang sempat duduk bersesakan di dalam tenda segera pindah ke tikar yang baru saja digelar tanpa mempedulikan trotoar tersebut masih menyisakan sedikit air yang meresap. Dengan demikian, sebenarnya hujan yang hanya sesaat tidak akan mempengaruhi keramaian pembeli. Namun, hujan dalam jangka panjang akan membuat para penjual kehilangan pembeli.
Gambar 4.33 Trotoar yang Basah dan Seorang Pelayan yang Sedang Mengeringkan Trotoar (Sumber: Dokumentasi pribadi)
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
64
4.3.5 Setting dan Jarak dalam Ruang Sosial yang Terbentuk Cara duduk lesehan yang dipraktekkan pada perluasan ruang pembeli menunjukkan dua macam setting, yaitu memusat dan berjajar. Mengenai setting ini, pada bab sebelumnya E. T. Hall mengistilahkannya dengan sosiopetal untuk setting memusat dan sosiofugal untuk yang berjajar. Dari pengamatan yang saya lakukan pada suatu malam di Kawasan Angkringan Tugu, saya menemukan 39 kelompok pembeli, 14 kelompok di antaranya menggunakan setting sosiofugal dan 25 sisanya menggunakan setting sosiopetal. Pembahasan Hall bahwa setting sosiopetal mendorong terjadinya interaksi dan sosiofugal mengurangi interaksi ternyata tidak berlaku sepenuhnya di perluasan ruang pembeli Angkringan Tugu. Baik pembeli yang mempraktekkan setting sosiopeal maupun sosiofugal, keduanya melakukan interaksi dengan cukup intens dalam kelompoknya masing-masing. Kedua setting ini dipilih berdasarkan pertimbangan kenyamanan dan suasana yang ingin dibentuk. Setting yang lebih banyak dipilih oleh pembeli yang lesehan adalah yang bersifat sosiopetal. Pembeli yang duduk dalam setting ini merupakan kelompok pembeli dengan jumlah antara 2 hingga 8 orang. mereka biasanya memilih setting untuk dapat membentuk ruang yang lebih tertutup dalam kelompok mereka. Keramaian jalan dan lingkungan sekitar tidak menjadi perhatian, fokus masingmasing kelompok pembeli adalah interaksi dalam kelompok sambil menikmati hidangan yang menjadi pengikat kebersamaan. Dengan ruang yang lebih tertutup ini, individu dalam setiap kelompok tidak terlalu dipengaruhi oleh suara yang ditimbulkan oleh pembicaraan yang dilakukan oleh kelompok pembeli lainnya. Jarak antar kelompok bisa mencapai jarak intim, yaitu mencapai 10 centimeter. Pada jarak ini, suara akan terdengar sangat jelas. Tetapi hal ini tidak menjadi masalah karena setiap individu dalam kelompok tidak terlalu menghiraukan pembicaraan di luar kelompoknya dan lebih fokus pada suara yang didengar dalam lingkaran kelompoknya. Hubungan yang terjadi dalam aktivitas kuliner antara dua sisi trotoar yang berseberangan seakan terputus dalam kelompok yang duduk dengan setting sosiopetal. Pembeli biasanya akan berhubungan langsung dengan para pelayan yang akan berlalu lalang di sekitar area trotoar, bukan dengan penjual di pikulan.
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
65
Rasa terawasi oleh penjual maupun lingkungan juga menjadi sangat lemah. Ketika saya mencoba mempraktekkan setting ini dalam jarak sekitar 30 centimeter dengan kelompok lain di sebelah saya, saya tidak merasa ruang pribadi saya terancam dengan jarak yang cukup dekat itu. Rasa tertekan hilang karena ada perlindungan dari teritori kelompok yang mengamankan eksistensi dalam lingkaran kelompok saya. Walaupun setting sosiofugal lebih sedikit dipilih, ternyata lebih dari 10 kelompok pembeli menggunakan setting ini. Mereka duduk dalam kelompok yang terdiri dari 2 hingga 5 orang, 8 kelompok pembeli di antaranya terdiri dari 2 orang. Kelompok yang terdiri dari 2 orang biasanya adalah pasangan. Mereka memilih lesehan secara sosiofugal karena keduanya bisa duduk lebih nyaman dengan bersandar pada dinding atau pagar batas rumah. Selain itu, mereka juga menjadikan keramaian jalan sebagai sebuah kualitas yang menambah kenyamanan mereka. Namun, komunikasi yang berlangsung antara keduanya masih tetap intens. Setting ini lebih bersifat terbuka terhadap pengaruh yang datang dari lingkungan dan dari kelompok lain di sekitarnya. Walaupun demikian, kelompok pembeli yang duduk secara sosiofugal tidak berupaya mengambil jarak yang cukup jauh terhadap kelompok lain. Hal ini menunjukkan mereka tidak terganggu dengan dekatnya jarak terhadap kelompok lain. Suara dari kelompok pembeli di sebelahnya juga masih dapat terdengar, sebab dari data pada Tabel 4.2 terlihat jarak terdekat yang ditemukan antara sebuah kelompok yang duduk secara sosiofugal dengan kelompok lain mencapai 30 centimeter. Interaksi dalam sebuah kelompok, sekalipun duduk berjajar, tetap menjadi fokus dibandingkan pengaruh di luar kelompok tersebut. Karena orientasi duduk berjajar adalah ke arah tenda-tenda angkringan, pembeli akan merasa lebih terawasi oleh penjual. Pembeli akan lebih mudah berkomunikasi langsung dengan penjual di pikulan untuk memesan sesuatu sebab jarak pandang antara penjual dan pembeli, yang sekitar 8 meter, menurut E. T. Hall masih memungkinkan untuk berlangsungnya interaksi dua arah. Pada beberapa kali pengamatan, dapat terlihat bahwa pembeli yang duduk dalam setting sosiopetal akan menghabiskan waktu lebih lama dibandingkan
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
66
pembeli dalam setting sosiofugal. Dari kenyataan ini, dapat telihat bahwa pengaruh ketertutupan ruang untuk membuat orang menjadi lebih nyaman karena tidak terganggu oleh pengaruh dari lingkungan sekitar memberi pengaruh, namun bukan menjadi faktor penentu utama lamanya pembeli menghabiskan waktu di perluasan ruang pembeli. Dari dokumentasi jarak yang terbentuk antara 39 kelompok pembeli yang lesehan di perluasan ruang pembeli, terlihat bahwa jarak terdekat antar kelompok adalah 10 cm, terjauh 300 cm, dan jarak rata-rata adalah 73 cm. Rentang jarak yang terbentuk ini masih termasuk dalam jarak sosial, yaitu jarak nyaman untuk berkumpul menurut E. T. Hall. Jarak lesehan antar kelompok yang direkam pada waktu yang berbeda tentunya akan menghasilkan data yang berbeda. Hal ini dikarenakan jarak yang terbentuk ini tergantung pada kelompok mana yang lebih dulu menempati area tikar. Selanjutnya, kelompok-kelompok yang berikutnya datang hanya perlu menyesuaikan jarak terhadap kelompok-kelompok yang sudah ada dengan mempertimbangkan seberapa besar ruang yang tersisa untuk seluruh individu dalam kelompok.
Gambar 4.34 Jarak Sosial antar Kelompok Pembeli (Sumber: Dokumentasi pribadi)
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
67
Tabel 4.2 Diagram Jarak Sosial Pembeli
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
68
Sumber: Dokumentasi pribadi
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
69
Apabila ruang yang tersisa bagi suatu kelompok tidak terlalu besar bagi seluruh individu dalam kelompok, mereka akan memperkecil jarak antar individu dalam kelompoknya. Ketika suatu kelompok menentukan ruang yang digunakan beserta jarak terhadap kelompok di kanan kirinya, mereka tidak memperhitungkan ruang untuk kelompok lain yang kelak akan berkunjung. Kelompok-kelompok yang akan berkunjung itulah yang akan menyesuaikan ruang mereka terhadap ruang yang tersedia. Bahkan, pada musim liburan, suatu kelompok tidak hanya berbatasan dengan kelompok lain di kanan kirinya, tetapi juga di depan atau belakangnya.
4.3.6 Ruang Kolektif Malam Angkringan Tugu Budaya lesehan pada perluasan ruang pembeli Angkringan Tugu menjadi sebuah karakter dominan yang menggambarkan operasi kuliner malam ini. Suasana malam hari Yogyakarta dapat dirasakan seutuhnya pada area trotoar yang terbuka tanpa naungan dan pembatas fisik bangunan, kecuali dinding bangunan dan pagar rumah. Lesehan juga menyatakan budaya masyarakat Yogyakarta. Karenanya, Angkringan Tugu menjadi salah satu tujuan utama para turis yang datang ke Yogyakarta. Pembentukan ruang menjadi sangat unik karena unsur-unsur pembentuk ruang dalam operasi angkringan setiap malam memiliki peran masing-masing, yaitu jalan, dinding pembatas dan pagar rumah, dinding pembatas stasiun, tendatenda temporer angkringan, kendaraan yang lewat di Jalan Wongsodirjan, trotoar yang berbatasan dengan dinding stasiun, trotoar yang berbatasan dengan rumah warga, pembeli yang lesehan di Jalan Wongsodirjan, pembeli yang lesehan di Jalan Pangeran Mangkubumi, pembeli yang duduk dalam tenda, dan penjual angkringan. Jalan selebar 6 meter menjadi jeda untuk kedua area trotoar yang diduduki oleh angkringan. Jalan juga menjadi area yang menampung kebutuhan ruang parkir motor pembeli. Orang yang bersirkulasi di jalan akan dihantar untuk menemukan pemandangan bekerjanya ruang kolektif malam hari di sepanjang trotoar. Dinding pembatas dan pagar rumah mendefinisikan keterlingkupan jalan dan memperkuat kehadiran trotoar, ia juga berfungsi sebagai sandaran bagi
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
70
pembeli yang duduk lesehan. Sementara itu, dinding pembatas stasiun membentuk ruang dalam tenda. Tenda menjadi ruang cair yang menjajarkan angkringan-angkringan sebagai sebuah kolase dari kontinuitas. Ia mendefinisikan adanya kegiatan temporer yang dinaungi. Kendaraan yang lewat di sepanjang jalan membentuk kualitas ruang yang memaknai adanya kecepatan dan kontinuitas yang kontras dengan kondisi perhentian para pembeli di angkringan. Lampu-lampu dari kendaraan juga menghasilkan penerangan yang hilang muncul bergantian. Kedua sisi trotoar menjadi sebuah arena pertunjukkan, menjadi panggung aksi yang di atasnya berlangsung berbagai interaksi sosial, ekonomi, dan budaya. Pembeli yang lesehan di Jalan Wongsodirjan membentuk ruang pembeli. Definisi pembentukan ruang akan semakin lemah tanpa kehadiran mereka, sebab ruang dibentuk dari tubuh-tubuh mereka. Pembeli yang lesehan di Jalan Pangeran Mangkubumi, tepatnya di depan Wisma Ratih merupakan faktor penarik bagi orang yang melalui jalan tersebut. Mereka menggambarkan adanya suasana perkumpulan yang kuat. Sementara itu, pembeli yang duduk di dalam tenda menyatakan fungsi tenda sebagai ruang menikmati makanan dan berkumpul. Penjual angkringan menandai hadirnya makanan dan minuman yang dapat disajikan untuk dinikmati pembeli sambil berkumpul.
Gambar 4.35 Suasana Ruang Kolektif Angkringan Tugu (Sumber: Dokumentasi pribadi)
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
71
4.4
Kesimpulan Studi Kasus Transformasi pada kedua sisi trotoar Jalan Wongsodirjan oleh beberapa
penjual angkringan menjadi Kawasan Angkringan Tugu menunjukkan kepekaan terhadap kondisi trotoar yang jarang dilalui pejalan kaki. Kegagalan fungsi trotoar sebagai ruang publik dilihat sebagai sebuah potensi untuk menyelesaikan konflik kebutuhan ruang bisnis oleh penjual yang memiliki keterbatasan ekonomi. Namun, penjual yang menempati ruang publik harus melakukan berbagai negosiasi dengan pihak-pihak lain, yaitu pihak kecamatan, pemilik rumah, maupun sesama penjual angkringan. Hasil dari negosiasi tersebut berlaku sebagai order berupa kesepakatan kolektif yang menjaga kelangsungan hidup kawasan angkringan. Terbentuknya Kawasan Angkringan Tugu tidak hanya mengundang pembeli, tetapi juga petugas parkir infomal serta para seniman jalanan dan pengemis dengan motivasi ekonomi. Para pembeli yang datang ke angkringan dilatarbelakangi oleh murahnya harga makanan yang dijual, suasana informal yang terbentuk pada ruang makan melalui cara duduk yang bebas, waktu menikmati berkunjung yang tidak terbatas, serta tersedianya ruang yang cukup besar di sepanjang area trotoar untuk menampung pembeli dalam jumlah besar. Pada akhirnya, identitas yang terbentuk pada kawasan angkringan bukan lagi ruang makan dan minum, melainkan ruang berlangsungnya interaksi sosial. Kawasan angkringan merupakan pusat makanan siap saji yang dinikmati dalam waktu yang tak terbatas. Pada transformasi pertama, penjual mendirikan tenda pada salah satu sisi trotoar Jalan Wongsodirjan yang menaungi ruang penjual dan ruang pembeli. Setelah terjadi transformasi kedua, penjual menggelar tikar di sepanjang sisi trotoar yang lain pada jalan yang sama sebagai perluasan ruang pembeli. Pembentukan ruang penjual dan ruang pembeli pada transformasi pertama dan kedua didefinisikan bukan oleh batas fisik bangunan. Penjual memanfaatkan elemen-elemen yang sudah ada, seperti trotoar dan dinding stasiun dan kemudian menambahkan tenda yang batasan dan bentuk fisiknya pun sangat lemah. Ruang justru secara fleksibel dibentuk oleh fitur-fitur temporer, misalnya pikulan, meja, bangku, tikar, dan bahkan oleh tubuh-tubuh penjual dan pembeli dengan aktivitas masing-masing.
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
72
Terdapat 3 macam tipe pembentukan ruang penjual dan ruang pembeli yang sangat cair dalam tenda. Tipe pertama terbentuk dari ruang penjual di sekitar pikulan yang menerus ke ruang pembeli dengan bangku dan ruang pembeli dengan tikar. Tipe kedua terbentuk dari ruang penjual di sekitar pikulan yang menerus ke ruang pembeli dengan bangku. Tipe ketiga terbentuk dari ruang penjual di sekitar pikulan yang menerus ke ruang pembeli dengan tikar. Antara tenda yang satu dan yang lain juga terjadi kontinuitas tanpa pemisah fisik. Selain dibentuk oleh cairnya batasan fisik, ruang juga dibentuk oleh praktek spasial pengguna Jalan Wongsodirjan serta para pelaku di angkringan. Aktivitas
yang berlangsung di Jalan Wongsodirjan pada malam hari
merepresentasikan aktivitas sirkulasi di area jalan raya yang disandingkan dengan aktivitas berkumpul di area trotoar. Suasana malam menjadi meriah karena lampu kendaraan yang melintas, lampu-lampu jalan, sinar redup lampu dari dalam tenda, serta kerumunan orang di dalam tenda dan yang berlesehan di sepanjang trotoar. Penggunaan tikar pada transformasi kedua menunjukkan peran budaya lesehan dalam perluasan ruang pembeli. Tikar menjadi sebuah solusi perluasan ruang dengan tingkat biaya pengeluaran rendah dan fleksibilitas tinggi bagi penjual untuk bernegosiasi dengan pemilik rumah yang berbatasan dengan trotoar. Namun, karena tikar sangat lemah dalam mendefinisikan batas fisik, penjual yang satu dan yang lain menerapkan taktik pembagian area tikar yang masih dapat terawasi dari tenda. Akibat dari penggunaan tikar adalah terbentuknya ruang di sepanjang trotoar yang memungkinkan pembeli berkunjung dalam jumlah besar dan dapat duduk dengan lebih bebas, yaitu secara lesehan. Cara duduk ini memperkuat konteks Yogyakarta sebab lesehan merupakan bagian dari keseharian masyarakat setempat. Karenanya, kawasan angkringan telah menjadi sebuah tujuan pariwisata dengan representasi sosial dan kultural masyarakat Yogyakarta. Kelompok-kelompok pembeli
yang
lesehan di sepanjang trotoar
mengutamakan kenyamanan karena mereka akan menghabiskan waktu cukup lama. Pembeli akan memilih setting lesehan memusat (sosiopetal) atau berjajar (sosiofugal). Kedua setting ini memiliki tingkat intensitas interaksi yang sama tinggi. Setting yang dipilih pembeli ditentukan oleh derajat keterbukaan yang
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
73
dinginkan
dalam
membentuk
suasana
pada
suatu
kelompok
serta
mempertimbangkan dinding sandaran yang dapat menambah kenyamanan. Jarak sosial antar kelompok pembeli yang berlaku dalam pembentukan ruang lesehan berada pada batasan jarak intim hingga jarak sosial. Variasi jarak antar kelompok pertama-tama ditentukan oleh kelompok yang lebih dulu menempati area tikar dan selanjutnya kelompok yang berikutnya datang akan menyesuaikan besar ruang yang tersisa dengan jumlah orang dalam kelompok. Jarak antar kelompok hingga 10 cm masih dapat ditoleransi karena fokus interaksi berada dalam satu kelompok, baik pada setting sosiopetal maupun sosiofugal.
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
BAB 5 KESIMPULAN
Pembentukan ruang kolektif Angkringan Tugu menunjukkan bagaimana cara kerja perancangan yang digagas secara independen oleh masyarakat. Institusi perancangan tidak dapat melihat masyarakat sebagai pemakai pasif yang perlu menjaga order dari sebuah ruang. Masyarakat adalah pemakai yang beraktivitas di ruang publik dengan memodifikasi berbagai kondisi agar dapat menghuni ruang tersebut. Karenanya, perancang perlu memberikan kesempatan bagi peran publik dalam perancangan ruang publik. Order yang berlaku dalam masyarakat perlu menjadi bahan pembelajaran perancang sebagai pertimbangan utama dalam proses perancangan. Perancang perlu memperluas wawasan mengenai proses perancangan oleh publik sebab di sanalah terbentuk realita spasial. Karakter tempat serta cara hidup masyarakat tidak dapat dipelajari hanya melalui proses perancangan institusional yang tertutup di lingkungan akademisi maupun praktisi. Dengan demikian, masyarakat dapat menjadi partner perancang untuk menghasikan ruang yang semakin efektif. Sebab, perancangan bukan hal yang menjadi otoritas perancang semata. Arsitektur yang dipahami publik menampilkan hal-hal yang sangat menarik untuk didalami. Karakter batas fisik yang lemah, negosiasi-negosiasi untuk menyelesaikan konflik spasial, kepekaan melihat kesempatan dari ketidakberhasilan
ruang
publik,
serta
pertimbangan
budaya
setempat
direpresentasikan oleh perancangan publik. Masyarakat berupaya mengembalikan efektivitas ruang publik, walaupun untuk kepentingan kolektif. Namun, makna ruang publik yang diperuntukkan bagi semua pihak tanpa batasan itulah yang diterapkan dalam ruang kolektif. Hal ini dapat menjadi kritik bagi perancang untuk mempertimbangkan kembali makna kepublikan pada ruang-ruang publik yang sudah jarang ditemukan. Setelah melakukan analisis terhadap pembentukan ruang kolektif oleh masyarakat pada Kawasan Angkringan Tugu berdasarkan beberapa teori yang
74
Universitas Indonesia
Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
75
sudah dibahas pada bab sebelumnya, beberapa hal yang dapat saya simpulkan adalah sebagai berikut:
1.
Proses transformasi ruang publik trotoar menjadi ruang kolektif Angkringan Tugu dilakukan oleh beberapa penggagas dengan motivasi ekonomi Transformasi trotoar pertama dilakukan oleh tiga orang penggagas, Lik
Man, Lik No, dan Pak Seh untuk dijadikan ruang berjualan. Para penjual angkringan lain lalu mengikuti jejak mereka untuk menempati area trotoar yang berbatasan dengan dinding utara stasiun. Motivasi utama dilakukannya transformasi adalah kebutuhan ruang berjualan dengan biaya yang terjangkau. Para penggagas memilih area trotoar Jalan Wongsodirjan karena trotoar jarang dilalui pejalan kaki serta jalan ini berbatasan langsung dengan akses utama Jalan Pangeran Mangkubumi. Transformasi kedua dilatarbelakangi oleh kebutuhan perluasan ruang pembeli. Trotoar pada sisi lain di Jalan Wongsodirjan dipilih untuk ditransfomasi menjadi ruang lesehan karena area ini pun jarang dilalui pejalan kaki dan masih berdekatan dengan area transformasi pertama. Kedua proses transformasi ini menunjukkan adanya peran aktif penjual dalam melihat kesempatan dari ruang publik terencana yang gagal berfungsi. Mereka menunjukkan proses perancangan non-design dalam menghasilkan ruang vital yang tidak melibatkan peran institusi perancangan. Transformasi ruang publik menjadi ruang kolektif yang terjadi menggambarkan konsep heterotopia.
2.
Penjual melakukan negosiasi dengan pihak kecamatan, pemilik rumah, serta sesama penjual sepanjang proses transformasi Ketika menduduki area trotoar yang berbatasan dengan dinding stasiun,
penggagas angkringan melakukan negosiasi dengan pihak kecamatan untuk mengatur pembentukan ruang berjualan serta operasi angkringan. Negosiasi ini dilakukan untuk memastikan trotoar dapat tetap berfungsi sebagai ruang pejalan kaki. Kesepakatan dengan pihak kecamatan menghasilkan beberapa order, yaitu
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
76
besar tenda yang boleh digunakan, durasi berjualan, tempat penyimpanan perlengkapan berjualan, serta tempat membuang sampah. Penjual menyadari okupansi temporer mereka dan membentuk ruang dari elemen jalan yang sudah ada, yaitu trotoar dan dinding stasiun dengan menambahkan tenda. Batasan yang ditampilkan oleh ruang penjual dan ruang pembeli dalam satu tenda maupun antar tenda bersifat cair dan fleksibel, tanpa pemisah fisik yang jelas. Fitur-fitur temporer, seperti pikulan, meja, bangku, serta tubuh penjual dan pembeli menjadi definisi ruang. Pembentukan ruang pada transformasi pertama menampilkan konsep weak architecture yang kuat. Karena kepemilikan sisi trotoar ini cukup lemah, penjual lebih leluasa menggunakan ruang. Hal ini tampak dari masih tersisanya rangka tenda pada siang hari di area trotoar. Ketika mentransfomasikan sisi trotoar yang lain di Jalan Wongsodirjan untuk perluasan ruang pembeli, penjual harus bernegosiasi dengan pemilik rumah yang berbatasan dengan area trotoar. Trotoar menjadi area keluar masuk pemilik rumah. Penjual menyelesaikan konflik dengan membentuk ruang pembeli hanya dengan tikar yang digelar di sepanjang trotoar agar dapat dengan mudah dipindahkan dan dibereskan. Dengan demikian, mereka tidak perlu mengeluarkan biaya yang besar untuk perluasan ruang pembeli. Untuk menghindari konflik antar penjual, dilakukan pembagian area tikar berdasarkan posisi tenda penjual di seberangnya. Negosiasi yang dilakukan oleh penjual menunjukkan adanya proses menyelesaikan masalah melalui serangkaian strategi. Hal ini membuktikan pernyataan Victor Papanek pada Bab 2 bahwa perancangan merupakan aktivitas dasar manusia dalam menyelesaikan masalah. Kesepakatan yang terbentuk antara penjual angkringan dengan pemerintah, pemilik rumah, serta sesama penjual menunjukkan order yang berlaku, walaupun kondisi yang ditampilkan bersifat disorder.
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
77
3.
Penikmat angkringan lebih didorong oleh pemenuhan kebutuhan berinteraksi sambil bersantap malam Pembeli yang datang ke angkringan tidak hanya melihat angkringan
sebagai tempat makan dan minum, melainkan lebih sebagai ruang interaksi. Sajian utama angkringan sebenarnya adalah minuman, yang dalam budaya Jawa diasosiasikan dengan relasi sosial. Karenanya, pembeli biasanya datang dalam kelompok. Pembeli yang datang dalam jumlah lebih dari empat orang lebih memilih duduk lesehan pada trotoar di seberang tenda. Mereka dapat duduk lebih leluasa pada area yag lebih luas. Makanan dan minuman yang disajikan tergolong murah, sementara itu pembeli dapat berkunjung dalam waktu yang tak terbatas. Para turis yang datang ke kawasan angkringan juga didorong untuk ambil bagian dalam suasana perkumpulan dengan mempraktekkan duduk lesehan yang merupakan budaya sehari-hari masyarakat Yogyakarta.
4.
Hadirnya Kawasan Angkringan Tugu membuka kesempatan usaha bagi petugas parkir informal, seniman jalanan, serta pengemis Kawasan Angkringan Tugu mengundang hadirnya pihak-pihak lain yang
secara tidak langsung memainkan peran dalam pembentukan karakter ruang angkringan. Petugas parkir informal hadir karena banyaknya pembeli yang datang mengendarai motor. Pengaturan area parkir lalu menjadi hal yang penting untuk menjamin setiap pengunjung mendapat tempat parkir yang aman. Pendapatan petugas parkir seluruhnya berasal dari pengunjung. Seniman jalanan dan pengemis melakukan berbagai aksi yang turut menyemarakkan kondisi malam hari. Mereka hadir sebagai penghibur maupun pencari nafkah yang memanfaatkan keramaian publik di angkringan.
5.
Angkringan Tugu di Jalan Wongsodirjan menampilkan budaya masyarakat lokal dalam pembentukan ruang kolektif Sejalan dengan konsep praktek spasial sebagai dasar terbentuknya ruang
sosial yang diungkapkan oleh Lefebvre pada Bab 2, Angkringan Tugu menunjukkan bahwa aktivitas para pelaku merupakan faktor pembentuk ruang kolektif. Ruang bersifat abstrak dan cair serta tidak ditampilkan oleh batasan fisik
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
78
bangunan. Identitas yang muncul justru berasal dari keseharian, seperti cara duduk lesehan yang menjadi pembentuk ruang. Definisi ruang tidak mungkin dilakukan tanpa praktek lesehan di perluasan ruang pembeli, berbeda dengan sisi trotoar yang masih dapat didefinisikan oleh tenda. Dalam praktek spasial tersebut, berlaku jarak-jarak sosial yang mengatur bagaimana interaksi dilakukan. Studi kasus Angkringan Tugu menunjukkan bahwa interaksi dalam satu kelompok lebih kuat dibandingkan pengaruh dari interaksi yang terjadi pada kelompok sekitar. Hal ini dibuktikan dengan adanya toleransi jarak hingga 10 cm antar kelompok pembeli. Setting lesehan memusat (sosiopetal) maupun berjajar (sosiofugal) tidak mempengaruhi intensitas interaksi yang terjadi dalam satu kelompok. Hal yang lebih menentukan setting lesehan adalah kenyamanan dan suasana yang ingin dibentuk.
Gambar 5.1 Diagram Kesimpulan (Sumber: Dokumentasi pribadi)
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
78
bangunan. Identitas yang muncul justru berasal dari keseharian, seperti cara duduk lesehan yang menjadi pembentuk ruang. Definisi ruang tidak mungkin dilakukan tanpa praktek lesehan di perluasan ruang pembeli, berbeda dengan sisi trotoar yang masih dapat didefinisikan oleh tenda. Dalam praktek spasial tersebut, berlaku jarak-jarak sosial yang mengatur bagaimana interaksi dilakukan. Studi kasus Angkringan Tugu menunjukkan bahwa interaksi dalam satu kelompok lebih kuat dibandingkan pengaruh dari interaksi yang terjadi pada kelompok sekitar. Hal ini dibuktikan dengan adanya toleransi jarak hingga 10 cm antar kelompok pembeli. Setting lesehan memusat (sosiopetal) maupun berjajar (sosiofugal) tidak mempengaruhi intensitas interaksi yang terjadi dalam satu kelompok. Hal yang lebih menentukan setting lesehan adalah kenyamanan dan suasana yang ingin dibentuk.
Gambar 5.1 Diagram Kesimpulan (Sumber: Dokumentasi pribadi)
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
79
DAFTAR REFERENSI
Agrest, Diana. (1974). Design versus Non-Design. In Hays, Michael K. (Ed.). Architecture Theory Since 1968 (pp 198-213). Cambridge: MIT Press.
Asosiasi
Pengelola
Pusat
Belanja
Indonesia.
(n.d.).
Juni
16,
2012.
http://www.appbi.or.id/id/index.php
Boyer, Christine. (2008). The Many Mirrors of Foucault and Their Architectural Reflections. In Dehaene, Michiel & De Cauter, Lieven. (Ed.). Heterotopia and The City: Public Space in A Postcivil Society (pp 53-73). New York: Routledge.
de Carlo, Giancarlo. (1970). Architecture’s Public. In Jenks, Charles & Kropf, Karl (Ed.). Theories and Manifestoes of Contemporary Architecture (pp 4748). England: Wiley Academy.
Dehaene, M., & De Cauter, L. (Ed.). (2008). Heterotopia and The City: Public Space in A Postcivil Society. New York: Routledge.
Forty, Adrian. (2000). Words and Buildings: A Vocabulary of Modern Architecture. London: Thames and Hudson.
Foucault, M. (1967). Des espaces autres (Of other spaces). [Lecture to Cercle d’études architecturales]. Paris.
Hall, E. T. (1969). The Hidden Dimension. New York: Anchor Books.
Jones, J. C. (1992). What Is designing. In Clark, Hazel & Brody, David. (Ed.). Design Studies: A Reader (pp 77-80). New York: Berg.
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
80
Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan. (n.d.). April 15, 2012. http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/
Kusumawijaya, Marco. (2006). Kota Rumah Kita. Jakarta: Borneo.
Lefebvre, Henry. (1974). The Production of Space. Oxford: Blackwell.
Norberg-Schulz, Christian. (1988). The Phenomenon of Place. In Nesbitt, Kate. (Ed.). Theorizing A New Agenda for Architecture: An Anthology of Architectural Theory 1965-1995 (pp 414-428). New York: Princeton Architectural Press.
Orrilard, Clément. (2005). Between Shopping Malls and Agoras: A French History of ‘Protected Public Space’. In Dehaene,Michiel & De Cauter, Lieven. (Ed.). Heterotopia and The City: Public Space in A Postcivil Society (pp 117-135). New York: Routledge.
Papanek, Victor. (1985). Design For The Real World: Human Ecology and Social Change. Chicago: Academy Chicago.
Rubio, Ignasi de Solà-Morales. (1987). Weak Architecture. In Hays, Michael K. (Ed.). Architecture Theory Since 1968 (pp 614-623). Cambridge: MIT Press.
Santosa, Revianto Budi. (2000). Omah: Membaca Makna Rumah Jawa. Yogyakarta: Bentang.
Santosa, Revianto Budi. (2007). Kotagede: Life Between Walls. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Santosa, Revianto Budi. (2012, Mei 16). Personal Interview
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012
81
Sejarah Angkringan. (n.d.). Juni 17, 2012. http://ikiangkringanblogspot.com/ 2012/ 04/ sejarah-angkringan.html
Soja, Edward. (1996). Third Space: Journeys to Los Angeles and Other-Real-andImagined Places. Oxford: Blackwell.
Tjahjono, Gunawan. (1987). Desain dan Merancang: Penjelajahan Suatu Gagasan. Architrave Edisi No. 4, 57.
Walker, John. (1989). Defining The Object of Study. In Clark, Hazel & Brody, David. (Ed.). Design Studies: A Reader (pp 42-48). New York: Berg.
Webster’s Online Dictionary. (n.d.). April 20, 2012. http://www.websters-onlinedictionary.org/
Universitas Indonesia Pembentukan ruang..., Klara Puspa Indrawati, FTUI, 2012