223
PEMBELAJARAN TAHFIDZUL QUR’AN PONDOK PESANTREN ULUMUL QUR’AN KALIBEBER WONOSOBO Nasokah, Alh & Ahmad Khoiri Penulis adalah Dosen FITK UNSIQ, Pengasuh Pondok Pesantren Ulumul Qur’an Kalibeber. Wonosobo Abstraksi Fakta yang ditemukan dalam Pembelajaran Tahfidzul Qur’an di Pondok Pesantren Ulumul Qur’an menggunakan metode (thariqah) menghafal Beberapa Ayat atau Satu Ayat; Membagi Satu Halaman, Menghafal Per Halaman; Menghafal Ayat-ayat Panjang; Mengulang (Takrir); Menyetorkan Hafalan kepada Kyai; Membuat Klasifikasi Target Hafalan; cara semaan dengan Sesama, Memperbanyak Membaca Al-Qur’an; dan Teknik Mendengarkan Sebelum Menghafal. Metode ini sebagai karakteristik Pondok Pesantren dalam mengimplementasikan pembelajaran Tahfidzul Qur’an yang dianggap strategis. Serangkaian kegiatan dalam proses pembelajaran Tahfidzul Qur’an menempuh jalan yang panjang dan penuh kesabaran bagi penghafal, sehingga dalam memulai menghafalkannya terdapat syarat tertentu yang harus dilakukannya yaitu: Mengikhlaskan Niat karena Allah swt; Izin orang tua, Suami atau Walinya; Mempunyai tekat yang besar dan kuat; Menjauhkan diri dari maksiat (sifat-sifat Tercela); Istiqamah; Harus berguru pada yang ahli; Mempunyai ahlak terpuji; Memaksimalkan usia; Menggunakan satu mushaf; Mampu membaca dengan baik, serta Memilih waktu dan tempat yang tenang. Hasil temuan ini memberikan kontribusi besar kepada penghafal Al-Qur’an umumnya, supaya dalam proses menghafalkannya lebih sabar, tabah dan menjaga hafalan sampai ahir hayat dengan sebaik-baiknya. Strategi menghafal yang dianggap paling efektif dan sering dilakukan yaitu menghafal dan menyetorkan secara langsung kepada guru atau kyai yang telah hafidz Al-Qur’an. Menjaga orisinalitas Al-Qur’an, selain dilakukan dengan cara membaca dan memahaminya, juga harus berusaha dengan jalan menghafalkannya, karena keistimewaan yang Allah Swt berikan kepada para penghafal Al-Qur’an baik di dunia maupun di akhirat dengan jaminan surga. Kata kunci : Pembelajaran, Tahfidzul Al-Qur’an, Pondok Pesantren
A. Pendahuluan Al-Qur’an menurut bahasa adalah bacaan atau yang dibaca. Al-Qur’an adalah masdar yang diartikan dengan arti isim maf’ul makru sama dengan yang dibaca. Menurut istilah ahli agama (urf syara’) ialah nama dari kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., yang ditulis dalam mushaf. Para ahli fiqh menetapkan bahwa nama dari Al-Qur’an adalah nama bagi keseluruhan Al-Qur’an dan nama untuk bagian-bagiannya.1 Al-Qur’an ialah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, tertulis dalam mushaf, dipindahkan secara teratur menurut riwayat, serta bacaannya termasuk ibadah menjadi petunjuk dalam hidup manusia. 2 Al-Qur’an adalah kitab agung dan suci yang
Teungku Muhammad Habsi As-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, (Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2009), hal. 1. 1
2
H. M. Shalahuddin Hamid, MA, Studi Ulumul Qur’an, (Jakarta: Inti Media Cipta Nusantara, 2002), hal.
17. Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 223
Nasokah & Ahmad Khori, Pembelajaran Tahfidzul Qur’an
224
dikirimkan Allah kepada kita untuk memenuhi segala kebutuhan kita, baik fisik maupun rohani.3 Al-Qur’an, kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., dengan perantara Malaikat Jibril dimulai dengan Surat Al Fatihah dan diakhiri dengan Surat AnNaas dan ditulis dalam mushaf-mushaf yang disampaikan kepada kita secara muttawatir agar dijadikan undang-undang bagi umat manusia.4 Al-Qur’anul Karim berisi serangkaian ajaran yang diturunkan dari sumber keagungan dan maqam kebesaran kepada Rasulullah Saw., untuk menunjukkan kepada manusia jalan kebahagiaan. Kitab suci ini terdiri dari serangkaian topic teoritis dan praktis untuk umat manusia. Dan jika ajaran tersebut dilaksanakan niscaya akan menjadikan kebahagiaan. 5 Rasulullah Saw., tidak menerima risalah ini turun sekaligus tetapi secara berangsurangsur dan turun tanpa paksaan sehingga ummatnya dapat memperbaiki sikap dan perilaku mereka yang tidak benar, akan tetapi timbul dari rasa kesadaran hati nuraninya. Maka Al-Qur’an berfungsi sebagai penetapan dalam hati Nabi, sebagai hiburan baginya melalui peristiwa dan kejadian-kejadian hingga sempurna risalah islam, dan sempurna nikmat yang diberikan Allah kepada ummat Nabi Muhammad.6 Dengan penurunan secara bertahap ini, menjadikan Al-Qur’an hingga sekarang bahkan sampai yaumul qiyamah. Bertahap-tahapnya Al-Qur’an mengandung hikmah, antara lain : a. Untuk meneguhkan dan menguatkan hati dan jiwa Rasulullah. b. Untuk membimbing dan membina umat Islam dalam menjalankan syariat islam. c. Untuk memberi jawaban dan respon atas berbagai permasalahan yang terjadi waktu itu. Dengan cara penurunan seperti ini memudahkan para sahabat dalam menghafalkan ayat-ayat yang diwahyukan Allah kepada Rasulullah Saw. Selain itu juga memberi kesempatan bagi mereka dalam mempelajari dan mengamalkan hukum-hukum yang terdapat di dalamnya.7 Setiap Nabi Saw., menerima wahyu selalu dihafalkan, kemudian ia sampaikan kepada sahabatnya dan diperintahkan untuk menghafalkan dan menuliskannya di batubatu, pelapah kurma, kulit-kulit binatang, dan apa saja yang bisa dipakai untuk menulisnya.8 Setelah Rasullah Saw. Wafat, para sahabat ahlul Qur’an meneruskan jejak beliau untuk menyampaikan dan mengajarkan Al-Qur’an kepada para sahabat dan tabi’in yang lain. Dan berkat mereka pula, Al-Qur’an nantinya bisa dikumpulkan dan disalin dalam satu mushaf yang selanjutnya bisa dimodifikasikan dalam standar Mushaf Usmani. Disinilah akhirnya muncul sistem (metode) pembelajaran menghafal Al-Qur’an dengan suasana belajar mengajar yang mengembangkan potensi dan memiliki kekuatan 3
Zubeyr Tekin, Kemuliaan Kitab Suci Al-Qur’an, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2007), hal. 1.
4
Ali Ash-Shabuny, Studi Ilmu Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal. 49.
5
Yunus Hanis Syam, Mukjizat Membaca Al-Qur’an, (Yogyakarta: Mutiara Media, 2009), hal. 9-10.
6
Shalahuddin Hamid, Studi Ulumul Qur’an,, hal. 53-54.
Zaki Zamani, Muhammad Syukron, Menghafal Al-Qur’an Itu Gampang, (Yogyakarta: Mutiara Media, 2009), hal. 15-16. 7
8
Muhaimin Zein, Problematika Menghafalkan Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1985), hal. 6
224 | ISSN: 2356-2447-XIII
Nasokah & Ahmad Khori, Pembelajaran Tahfidzul Qur’an 225
sepiritual dan keagamaan yang kuat. Menurut Imam Nawawi hukum menghafal AlQur’an adalah fardu kifayah. Yang dimaksud dengan fardu kifayah yaitu kewajiban yang ditujukan kepada semua mukallaf atau sebahagian dari mereka yang apabila diantara mereka (cukup sebagiannya saja) melaksanakannya maka akan menggugurkan dosa yang lainnya (yang tidak melaksanakan) dan apabila tidak ada seorangpun yang melaksanakan kewajiban tersebut maka dosanya ditanggung bersama. Imam Haramain dalam kitab AlGiyaai mengungkapakan bahwa fardu kifayah lebih utama dari pada fardu ‘ain dilihat dari bahwa pelakunya itu menutupi dan menggugurkan dosa umat islam yang lainnya sedangkan fardu ain hanya untuk dirinya sendiri. Akan tetapi di Era sekarang ini sudah tidak banyak orang yang mau belajar menghafalkan Al-Qur’an, karena gemerlapnya panggung hiburan, playstation, diskotik yang menutup, melupakan, melalaikan mereka untuk menuntut ilmu dalam belajar menghafal Al-Qur’an. Atas dasar inilah, Pondok Pesantren Ulumul Qur’an hadir sebagai satu diantara sekian pondok pesantren di Kalibeber Wonosobo yang mengkhususkan pada pembelajaran tahfidzul Qur’an. B. Kajian Teori Metode Tahfidzul Qur’an Dalam menghafalkan Al-Qur`an sebanyak 30 juz bukan merupakan suatu pekerja’an yang mudah. Semua pekerja’an atau program akan berjalan lancar dan berhasil dalam mencapai target yang telah ditetapkan, jika menggunakan suatu cara atau metode yang tepat. Keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan juga tergantung kepada pemilihan dan penerapan suatu metode, sistem atau cara yang tepat. Dan semua akan berjalan secara efektif dan efisien. H. A.Muhaimin Zen membagi metode menghafal Al-Quran menjadi dua macam, dengan pernyata’annya: “Adapun metode menghafal Al-Qur`an ada dua macam yang satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan, yaitu metode tahfidz dan takrir. Tahfidz: yaitu menghafal materi baru yang belum pernah dihafal. Takrir: Yaitu mengulang hafalan yang sudah diperdengarkan kepada 9
instruktur.”
Sedangkan menurut Abdul-Rabb Nawabuddin dalam kitabnya yang berjudul Kayfa Tuhfadzul Quran al-Karim, yang sudah diterjemahkan oleh H. Ahmad E. Koswara dengan judul Metode Efektif Menghafa1 a1-Qur’an, beliau membagi metode menghafal Al-Qur`an menjadi dua bentuk, yaitu metode global dan rinci. Sementara, menurut Ahsin W. al-Hafidz metode menghafalkan Al-Qur`an terbagi menjadi lima 5 metode yaitu: Metode wandah; Metode kitabah; Metode sim’ai; Metode Gabungan; Metode Jama. 10 1.
Metode Tahfidz.
Metode tahfidz adalah cara menghafal materi baru yang belum pernah dihafal, metode tahfidz ini dapat dijelaskan secara mendetail, sebagaimana langkah-langkah sebagai berikut:
9
Muhaimin Zein, Problematika, hal. 248
10
Abdul-Rabb Nanwabuddin, Op.cit.,h. 36 Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 225
Nasokah & Ahmad Khori, Pembelajaran Tahfidzul Qur’an
226
1) Pertama kali terlebih dahulu calon penghafal membaca bin nadzar (dengan melihat mushaf) materi-materi yang akan diperdengarkan ke hadapan kyai/instruktur minimal 3(tiga) kali. 2) Setelah dibaca binnadzar (dengan melihat mushaf) dan terasa ada bayangan, lalu dibaca dengan hafalan (tanpa melihat mushaf) minimal 3 (tiga) kali dalam satu kalimat dan maksimalnya tidak terbatas. Apabila sudah dibaca dan dihafal 3 (tiga) kali masih belum ada bayangan atau masih belum hafal, maka perlu ditingkatkan sampai menjadi hafal betul dan tidak boleh materi baru. 3) Setelah satu kalimat tersebut ada dampaknya dan menjadi hafal dan lancar, lalu ditambah dengan merangkaikan kalimat berikutnya sehingga sempurna menjadi satu ayat. Materi-materi baru ini selalu dihafal sebagaimana halnya menghafal pada materi pertama. Kemudian dirangkaikan dengan mengulang-ulang materi atau kalimat yang telah lewat, minimal 3 (tiga) kali dalam satu ayat ini dan maksimal tidak terbatas sampai betul-betul hafal. Tetapi apabila materi hafalan satu ayat ini belum lancar betul, tidak bolehkan dipindah ke materi berikutnya. 4) Setelah materi satu ayat ini dikuasai hafalannya dengan hafalan yang betul-betul lancar, maka diteruskan dengan menambah materi ayat baru dengan membaca binnadzar terlebih dahulu dan mengulang-ulang seperti pada materi pertama. Setelah ada bayangan lalu dilanjutkan dengan membaca tanpa melihat sampai hafal betul sehagaimana halnya menghafal ayat pertama. 5) Setelah mendapat hafalan dua ayat dengan baik dan lancar tidak terdapat kesalahan lagi, maka hafalan tersebut diulang-ulang mulai dari ayat pertama dirangkaikan dengan ayat kedua minimal 3 (tiga) kali dan maksimal tidak terbatas. Begitu pula menginjak ayat-ayat berikutnya sampai kebatas waktu yang disediakan habis dan pada materi yang telah ditargetkan. 6) Setelah materi yang ditentukan menjadi hafal dengan baik dan lancar, lalu hafalan ini diperdengarkan kehadapan instruktur untuk ditashih hafalannya serta mendapatkan petunjuk-petunjuk dan bimbingan seperlunya. 7) Waktu menghadap instruktur pada hari kedua, penghafal memperdengarkan materi baru yang sudah ditentukan dan mengulang materi hari pertama. Begitu pula pada hari ketiga. Materi hari pertama, hari kedua dan hari ketiga harus selalu diperdengarkan untuk lebih memantapkan hafalannya. Lebih banyak mengulang-ulang materi hari pertama dan kedua akan lebih menjadi baik dan mantap hafalannya.11 2.
Metode Takrir
Metode ini merupakan suatu metode untuk mengulang-ulang hafalan yang sudah diperdengarkan kepada instruktur. Metode takrir ini sangat penting diterapkan, karena menjaga hafalan merupakan suatu kegiatan yang sulit dan kadangkala terjadi kebosanan. Sangat dimungkinkan sekali suatu hafalan yang sudah baik dan lancar menjadi tidak lancar atau bahkan menjadi hilang sama sekali. Sewaktu takrir, materi yang 11
Muhaimin Zein, Problematika, hal. 249-250
226 | ISSN: 2356-2447-XIII
Nasokah & Ahmad Khori, Pembelajaran Tahfidzul Qur’an 227
diperdengarkan kehadapan instruktur harus selalu seimbang dengan tahfidz yang sudah dikuasainya. Jadi tidak boleh terjadi bahwa takrir jauh ketinggalan dari tahfidznya. Dalam hal ini perimbangan antara tahfidz dan takrir adalah satu banding sepuluh. Artinya apabila penghafal mempunyai kesanggupan hafalan baru atau tahfidz dalam satu hari dua halaman, maka harus diimbangi dengan takrir dua puluh halaman (satu juz). Tepatnya materi tahfidz satu juz yang terdiri dari dua puluh halaman, harus mendapat imbangan takrir sepuluh kali, demikian seterusnya. Dan apabila materi satu juz itu belum mendapat imbangan, umpama tahfidznya sudah mendapat dua puluh halaman (satu juz) sedangkan takrirnya baru enam atau tujuh kali, maka kesempatan untuk tahfidz perlu dihentikan dan kesempatan selanjutnya disediakan untuk mengejar takrirnya sampai mencukupi jumlah perimbangan yaitu sepuluh kali. 12 Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa harus adanya keseimbangan antara takrir (mengulang hafalan) dengan tahfidz (menghafal materi baru) dari ayat-ayat AlQur`an. Takrir sebagian dari proses menghafalkan Al-Qur`an yang juga sebagai kunci keberhasilan dari semua yang diusahakan dalam menghafalkan dan menjaga hafalan AlQur`an pada diri seseorang. Usaha pengulangan ini harus diadakan secara ketat, karena kalau hafalan yang sudah ada tidak akan bertahan lama dan akan sia-sia jikalau pemelihara’an tidak dilaksanakan. Sedangkan kunci keberhasilan menghafal Al-Qur`an adalah mengulang-ulang hafalan yang telah dihafalnya yang disebut “takrir”. 13 3.
Metode Global (sas)
Metode Global yaitu santri/murid mengulang-ulang pelajaran atau surat yang panjang sekaligus tanpa diperinci, misalnya dalam menghafal surat an-Nur yang isinya tiga hizb, sebanyak delapan lembar dibaca sekaligus sambil diulang-ulang. Jadi metode global atau sas ini merupakan metode yang sangat sulit untuk menghafal. Karena seseorang harus menghafal satu kesatuan yang banyak sekaligus, tidak sedikit demi sedikit. Seseorang kalau mampu menghafal dengan kemampuan yang tinggi maka dia akan cepat menyelesaikan hafalannya. Akan tetapi metode ini juga banyak efek negatifnya yaitu dengan kebosanan atau meletihkan otak, karena harus menghafal dalam lingkup yang banyak dan waktu yang tidak dibatasi, mengakibatkan cepat lupa, sulit diterapkan di sekolah umum atau sesuai dengan materi yang harus dicerna dalam waktu yang sudah ditentukan, sulit diterapkan pada surat-surat yang panjang. Abdul Rabb Nawabuddin menjelaskan dampak negatif dari metode global (kulli, sas) dalam bukunya, yaitu: 1) Akan cepat lupa secara beruntun setelah menghafal, kecuali jika murid sering mengulang-ulang dan tidak berhenti. 2) Meletihkan otak yang ditumbuhkan hafalan yang masuk dalam waktu singkat. 3) Metode ini tidak cocok bagi siswa pada umumnya: seperti anak kecil, orang tua dan siswa-siswa sekolah umum yang tidak terikat dengan pelajaran lain yang harus dicerna pada waktunya.
12 13
Muhaimin Zein, Problematika, hal.250 – 251. Muhaimin Zein, Problematika, hal..246 Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 227
Nasokah & Ahmad Khori, Pembelajaran Tahfidzul Qur’an
228
4) Metode ini tidak tepat pada surat-surat panjang (tujuh surat panjang) karena surat ini memerlukan rincian. Ada surat yang sulit untuk dihafal tanpa direnung dan lapang dada, seperti surat al-A’raf terutama dua pertiga yang pertama banyak perasaannya dan saling memasuki dalam susunan ayatnya, terutama dalam kisah-kisah Adam, Nuh, Hud, Shaleh, Syuaib, Luth dan Musa. Banyak kisah para nabi dalam berbagai surat dengan lafadz-lafadz yang bermacam-macam serta susunan kata yang banyak. 14
4.
Metode Terperinci atau Metode Juz’i
Metode ini merupakan suatu metode yang digunakan dalam menghafal Al-Qur`an secara terperinci atau mendetail. Setiap bagian-bagian dihafal dan jika sudah hafal benar maka penghafal baru pindah pada bagian yang lain dengan merangkai materi yang lalu dengan materi yang akan dihafal. Metode ini sebenarnya sudah mendekati pada penggabungan metode metode tahfidz dan metode takrir. Karena sudah mengandung sedikit dari maksud metode tahfidz dan takrir. Sebagaimana pendapat Abdul Rabb Nawabuddin dengan pernyata’annya dalam bukunya, Kayfa Tuhfadzul Quranul Karim. Metode terperinci ialah membagi ayat-ayat yang akan dihafal, misalnya tujuh baris, sepuluh, satu halaman atau satu hizb. Jika telah betul-betul hafal, pindah lagi kepada pelajaran lain. Kemudian merangkaikan dengan materi yang lalu dalam satu rangkaian pada satu surat. Misalnya seorang murid menghafal surat al-Hujurat dalam dua atau tiga periode. Surat al-Kahfi empat atau lima periode.15 Metode terperinci (juz’i) ini banyak hal-hal yang melatarbelakangi dengan beberapa alasan sebagai belikut: 1) Hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan Ibnu Asakir dariAbu Nadrah, yang artinya: Adalah Abu Sa’id Al-Khuzriy, mengajarkan kepada kami akan AlQur’an, lima ayat dipagi hari dan lima ayat disore hari dan jibril pernah menghabarkan bahwa Al-Qur’an diturunkan lima ayat-lima ayat. 2) Begitu Pula cara mengajarkan qira’at kepada para sahabat dan para sahabat mengajarkan kepada generasi selanjutnya. 3) Metode ini sangat diutamakan pada anak kecil, orang yang kurang pengalaman serta untuk kebanyakan murid. 4) Metode ini sangat tepat dalam menghafal ayat-ayat mutasyabihat, serupa dalam susunan dan kata, serta terulang-ulang. Seperti dalam surat ar-Rahman, alWaqiah, al-Jin, al-Mursalat dan sebagainya. Sebagaimana telah kami sebutkan dalam kelemahan keempat metode umum. Perlu sekali membuat jadwal waktu sebagai pegangan murid yang ingin sukses dalam program yang penuh berkah ini program yang penuh berkah ini untuk dipergunakan menurut waktu, situasi dan kemampuannya.16
14
Abdul Rabb Nawabuddin, Metode Efektif Menghafal Al-Qur’an, (Jakarta: Tri Daya Inti), hal. 38
15
Abdul Rabb Nawabuddin, Metode Efektif,
16
hal. 38 Abdul Rabb Nawabuddin, Metode Efektif, hal. 39
228 | ISSN: 2356-2447-XIII
Nasokah & Ahmad Khori, Pembelajaran Tahfidzul Qur’an 229
5.
Metode Wandah
Metode yang menghafal satu persatu terhadap ayat-ayat yang hendak dihafal. Untuk mencapai hafalan awal, setiap ayat bisa dibaca sebanyak sepuluh kali, atau dua puluh kali, atau lebih sehingga proses ini mampu membentuk pola dalam bayangan, akan tetapi hingga benar-benar membentuk gerak refleks pada lisannya. Setelah benar-benar hafal barulah dilanjutkan pada ayat-ayat berikutnya dengan cara yang sama. Demikian seterusnya hingga mencapai satu muka. Setelah ayat-ayat dalam satu muka telah dihafalnya, maka gilirannya menghafal urut-urutan ayat dalam satu muka. Untuk menghafal yang demikian maka langkah selanjutnya ialah membaca dan mengulang-ulang lembar tersebut hingga benar-benar lisan mampu mereproduksi ayat-ayat dalam satu muka tersebut secara alami atau refleksi. Demikian selanjutnya, sehingga semakin banyak diulang maka kualitas hafalan akan semakin representatif.17
6. Metode Kitabah Kitabah artinya menulis. Metode ini memberikan alternatif lain daripada metode yang pertama. Pada metode ini penulis terlebih dahulu menulis ayat-ayat yang akan dihafalnya pada secarik kertas yang telah disediakan untuknya. Kemudian ayat-ayat tersebut dibacanya sehingga lancar dan benar baca’annya, lalu dihafalkannya. Menghafalnya bisa dengan metode wandah atau dengan berkali-kali menuliskannya sehingga dengan berkali-kali menuliskannya ia dapat sambil memperhatikan dan sambil menghafalnya dalam hati. Berapa banyak ayat tersebut ditulis tergantung kemampuan penghafal.18 Metode kitabah ini sebenarnya prosesnya hampir sama dengan metode wandah. Persama’annya yaitu kemampuan menghafal sama-sama menentukan cepat lambatnya dan banyaknya ayat yang dihafal. Dan bisa juga sebagai alternative tambahan untuk Pengulangan (takrir) dalam proses menghafal juga sama-sama diterapkan. Faktor jenis ayat juga mempengaruhi banyak atau tidak yang dihafal. Contohnya dalam surat as-Sabut thiwal (7surah yang panjang) maka ayat yang dihafal pun akan relatif sedikit jumlahnya. Semua itu tergantung kepada penghafal dan alokasi waktu yang disediakannya. Metode kitabah juga banyak keuntungannya, sebagaimana dikemukakan Ahsin W. al-Hafidz : Metode ini cukup praktis dan baik, karena di samping membaca dengan lisan, aspek visual menulis juga akan sangat membantu dalam mempercepat terbentuknya pola hafalan dalam bayangan ingatannya.19
7.
Metode Sima’i.
Sima’i artinya mendengar. Yang dimaksud dengan metode ini ialah mendengarkan suatu baca’an untuk dihafalkannya. Metode ini akan sangat efektif bagi penghafal yang mempunyai daya ingat ekstra, terutama bagi penghafal tunanetra atau anak yang masih di bawah umur yang belum mengenal baca tulis Al-Qur`an. Metode ini dapat dilakukan dengan dua alternatif:
17
Ahsin W.Al-Hafidz, Bimbingan Praktis Menghafal Al-Qur’an, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hal. 6
18
Ahsin W.Al-Hafidz, Bimbingan Praktis, hal. 64.
19
Ahsin W.Al-Hafidz, Bimbingan Praktis, hal.64 Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 229
Nasokah & Ahmad Khori, Pembelajaran Tahfidzul Qur’an
230
a. Mendengar dari guru yang membimbingnya, terutama bagi penghafal tunanetra atau anak-anak. Dalam hal ini, instruktur dituntut untuk lebih berperan aktif, sabar dan teliti dalam membacakan dan membimbingnya, karena ia harus membacakan satu persatu ayat untuk dihafal, sehingga penghafal mampu menghafal secara sempurna. Baru kemudian dilanjutkan dengan ayat berikutnya. b. Merekam lebih dahulu ayat-ayat yang akan dihafalkannya ke dalam pita kaset sesuai dengan kebutuhan dalam kemampuannya. Kemudian kaset diputar dan didengar dengan seksama sambil mengikuti secara perlahan-lahan. Kemudian diulang lagi dan diulang lagi, dan seterusnya menurut kebutuhan sehingga ayatayat tersebut benar-benar hafal di luar kepala. Setelah hafalan dianggap cukup mapan barulah berpindah kepada ayat-ayat berikutnya dengan cara yang sama, dan demikian seterusnya. Metode ini akan sangat efektif untuk penghafal tuna netra, anak-anak, atau penghafal mandiri atau untuk takrir (mengulang kembali) ayat-ayat yang sudah dihafalnya. Tentunya penghafal yang menggunakan metode ini, harus menyediakan alat-alat bantu secukupnya, seperti tape recorder, pita kaset dan lain-1ain.20 8.
Metode Gabungan
Metode ini merupakan gabungan antara metode pertama dan metode kedua, yakni metode wandah dan metode kitabah. Hanya saja kitabah (menulis) di sini lebih memiliki fungsional sebagai uji coba terhadap ayat-ayat yang telah dihafalnya, kemudian ia mencoba menuliskannya di atas kertas yang telah disediakan untuknya dengan hafalan pula. Jika ia telah mampu mereproduksi kembali ayat-ayat yang dihafalnya dalam bentuk tulisan, maka ia bisa melanjutkan kembali untuk menghafal ayat-ayat berikutnya. Tetapi jika penghafal belum mampu mereproduksi hafalannya kembali dalam tulisan secara baik, maka ia kembali menghafalkannya sehingga ia benar-benar mencapai nilai hafalan yang solid, demikian seterusnya. Kelebihan metode ini adalah adanya fungsi ganda, yakni berfungsi untuk menghafal, sekaligus berfungsi untuk pemantapan hafalan. Pemantapan hafalan dengan cara ini pun akan baik sekali, karena dengan menulis akan memberikan kesan visual yang mantap.21 9.
Metode Jama
Yang dimaksud dengan metode ini ialah cara menghafal yang dilakukan secara kolektif. Yakni ayat-ayat yang dihafal dibaca secara kolektif, atau bersama-sama, dipimpin oleh seorang instruktur. Pertama, instruktur membacakan satu ayat atau beberapa ayat dan siswa menirukan secara bersama-sama. Kemudian instruktur membimbingnya dengan mengulang kembali ayat-ayat tersebut dan siswa mengikutinya. Setelah ayat-ayat itu dapat mereka baca dengan baik dan benar, selanjutnya mereka mengikuti baca’an instruktur dengan sedikit demi sedikit mencoba melepaskan mushaf (tanpa melihat mushaf) dan demikian seterusnya sehingga ayat-ayat yang sedang dihafalnya itu benar-benar sepenuhnya masuk dalam bayangannya. Setelah siswa benarbenar hafal, barulah kemudian diteruskan pada ayat-ayat berikutnya dengan cara yang 20
Ahsin W.Al-Hafidz, Bimbingan Praktis, hal. 65
21
Ahsin W.Al-Hafidz, Bimbingan Praktis, hal.66
230 | ISSN: 2356-2447-XIII
Nasokah & Ahmad Khori, Pembelajaran Tahfidzul Qur’an 231
sama. Cara ini termasuk metode yang baik untuk dikembangkan, karena akan dapat menghilangkan kejenuhan disamping akan dapat membantu menghidupkan daya ingat terhadap ayat-ayat yang dihafalkannya.22 Jadi pada dasarnya semua metode yang dikemukakan Ahsin W. al-Hafidz di atas dapat diterapkan untuk menjalani proses menghafalkan Al-Qur`an atau sebagai pedoman dalam menghafalkannya. Para penghafal Al-Qur`an dapat menggunakan salah satu di antara metode-metode di atas atau menggunakan sebagian, bahkan juga bisa menggunakan semua metode. Karena dengan menggunakan beberapa metode yang ada akan dapat menghafalkan Al-Qur`an secara variatif atau secara selingan dan berkesan tidak monoton. Sehingga dengan demikian akan menghilangkan kejenuhan dalam proses menghafalkan Al-Qur`an. Berdasarkan beberapa metode yang dikemukakan oleh Abdul Rabb Nawabuddin, H. A. Muhaimin Zen atau Ahsin W. al-Hafidz, itu semua dapat dijadikan sarana atau metode dalam menghafalkan Al-Qur`an. Adapun metode yang bagaimana yang paling baik sebagai pedoman bagi seseorang itu masih tergantung pada potensi individu penghafal, sistem yang ada pada lembaga tersebut atau lingkungan sekitar individu tersebut. Sedangkan makna atau jenis serta pembagian dan penama’an memang berbeda. Akan tetapi jika ditarik kesimpulan metode yang bagaimana yang biasanya diterapkan pada pondok pesantren atau lembaga pendidikan yang lain, yaitu metode tahfidzh dan metode takrir atau proses menghafal dan proses pemelihara’an dengan mengulang-ulang. Jadi kedua metode tersebut dapat dikembangkan secara luas lagi, sebagaimana yang dikemukakan Ahsin W. Al-Hafidz. Jadi metode bagi penulis dalam menghafalkan AlQuran adalah semua yang telah dikemukakan ketiga tokoh di atas. Dan penulis akan meneliti langsung praktek metode yang mana diterapkan pada pondok pesantren Darul Ilmi Banjarbaru dalam menghafalkan Al-Qur`an.
C. Metode Penelitian Pendekatan penelitian kualitatif dengan metode filed research dalam rangka mengkaji metode pembelajaran Tahfidzul Qur’an di Pondok Pesantren Ulumul Qur’an (PPUQ), untuk mengidentifikasi sistem pembelajaran Tahfidzul Qur’an. Metode atau teknik pengumpulan data antara lain; Observasi partisipatif dengan melakukan pengamatan secara langsung dimana peneliti berpartisipatif dalam kegiatan pembelajaran Tahfidzul Qur’an. Wawancara dengan tanya jawab kepada kyai dan santri, dan dokumentasi sebagai aktifitas mengkaji dokuemen pendukung kegiatan pembelajaran Tahfidzul Qur’an. Teknik analisis data menggunakan analisis deskriptif berpola deduktif induktif.
D. Pembahasan 1. Profil Pondok Pesantren PPUQ berdiri pada tanggal 10 Januari 2008, atas usulan dari KH. Nur Chamid, Alh beliau adalah Kyai Ustadz Nasokah, Alh., ketika menimba ilmu dari Pondok Pesantren Serang. Beliau mengusulkan Ustadz Nasokah, Alh., mendirikan Pondok Pesantren dengan 22
Ahsin W.Al-Hafidz, Bimbingan Praktis, hal.66 Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 231
Nasokah & Ahmad Khori, Pembelajaran Tahfidzul Qur’an
232
nama Ulumul Qur’an dengan harapan disiplin ilmu dalam Al-Qur’an dapat dipelajari, dikembangkan, dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dari bekal pengalamanya mengelola pondok pesantren Al-Asy’ariyah dan SMP Takhasus Al-Qur’an filial yang bertempat dikomplek makam KH. Asy’ariyah dan KH. Muntaha, Alh pada periode 2003-2005 di Desa Dero Dhuwur, Ustadz Nasokah menyetujui usulan tersebut. Maka denga dukungan dan dorongan dari kerabat-kerabat terdekat, secara resmi Ustadz Nasokah memutuskan untuk menggunakan kediamanya yang bertempat dibelakang MTSN Kalibeber sebagai tempat pembelajaran agama Islam yang di awali dengan kedatangan seorang santri untuk belajar agama kepada beliau. Pondok Pesantren Ulumul Qur’an memiliki visi, “Memadukan tradisi salafi dan sholafi dalam upaya membentuk insan modern berakhlak Qur’ani”. Adapun Misinya adalah: (1) memfasilitasi santri dalam mengembangkan bakat dan minat yang dimiliki melalui program pendidikan berbasis musyawarah; (2) Menanamkan nilai kebersamaan dan kekeluargaan dengan konsep “Al Ma’hadi Janati”; (3) Menanamkan sifat-sifat kepemimpinan dalam diri santri dengan pelatihan kepemmimpinan secara bergilir; (4) Memberikan pemahaman tentang kebebasan berfikir secara kholafi meninggalkan nilainilai salafi sebagai jiwa kepesantrenan. Penyelenggaraan pendidikan Pondok Pesantren Ulumul Qur’an terdiri dari sistem madrasah (sekolah formal) dan sekolah non madrasah (non formal). Sistem formal diikuti karena seluruh santri yang berdomisili adalah pelajar dan mahasiswa. Kegiatan wajib terdiri dari pengajian ke-Al-Qur’an-an dan Kitab Kuning, sedangkan kegiatan ekstrakulikuler santri terdiri dari shalawat, pidato, lughoh, qoriah, dan pengembangan ilmu Al-Qur’an. Pengkajian Al-Qur’an dilaksanakan secara langsung dari Kyai kepada santri, sedangkan pengkajian kitab dilaksanakan dengan dua sistem, yaitu sistem sorogan dan bandongan. Adapun kitab-kitab yang dikaji dalam bidang fiqih yaitu: Fiqih Wadhi, Safinatunaja, Sulamunaja, Risalah Al Mahid, Fatchul Wahab, Fatchul Qarib, Bishuri, dan Mahali. Dalam bidang ilmu tauhid yaitu: Jawahirul, Kalamiah, Fachtul Majid, Aqidatul’awam. Dalam bidang akhlak: Akhlak Albanin, Sulam Ataufiq, Ihya, ‘ulumudin dan Al Hikmah. Dalam bidang nahwu yaitu: Jurumiah, Mu’tamimah, Imrithi, Alviah Ibnu Malik (Ibnu Aqil), Dahian dan Hudhori (Syariah Ibnu Aqil), MUgni Labib. Dalam bidang ilmu sorof yaitu: Qowa’idul I’lal, Amstilatutasrif. Dalam bidang Ilmu balaghoh yaitu: Jwahirul Maknun. Dalam bidang tafsir yaitu: Tafsir Jalalain, Tafsir Munir, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Maraghy, dan Tafsir Jami’ul bayan. Dalam bidang tajwid yaitu: Sifaul Jinan, Thofatul Adfal, Al Jazariyah, Mustolachuttajwid, dan Qiro’an. Dalam bidang Uumul Quran yaitu: Attibian fi’ulumul Qur’an dan attibian fi’adabil Qur’an. Dalam bidang hadis yaitu: Arba’I Nawawi, Riyadhussholihin, Bulughul Marom, Shohih Muslim dan Shohih Bukhari. 2.
Syarat Tahfidz Al-Qur’an
Setiap santri Pondok Pesantren Ulumul Qur’an yang ingin menghafal Al-Qur’an harus mempunyai persiapan yang matang agar proses hafalan dapat berjalan dengan baik dan benar. Selain itu, persiapan merupakan syarat yang harus dipenuhi supaya hafalan yang dilakukan bisa memperoleh hasil yang maksimal dan memuaskan. Persiapan 232 | ISSN: 2356-2447-XIII
Nasokah & Ahmad Khori, Pembelajaran Tahfidzul Qur’an 233
menghafal Al-Qur’an merupakan modal yang paling utama untuk menumbuhkan semangat menghafal Al-Qur’an.. Ada beberapa persiapan atau syarat umum yang harus dimiliki seorang santri Pondok Pesantren Ulumul Qur’an dalam menghafal Al-Qur’an, diantaranya: a.
Mengikhlaskan Niat karena Allah swt Hal yang pertama sebelum memulai menghafal Al-Qur’an seorang santri harus mengikhlaskan niat. Diriwayatkan dalam Ash-Shahih bahwasanya Rasulullah Saw., pernah bersabda: Pada hari kiamat nanti seorang ahli Al-Qur’an yang bersikap riya’ dibawa di hadapan Allah. Kemudian Allah bertanya kepadanya,”apa yang telah engkau lakukan ketika di dunia?” Ia menjawab,”Aku belajar dan mengajarkan Al-Qur’an untuk mendapatkan keridhaan-Mu.” Allah berfirman. Engkau dusta. Sesungguhnya tujuan engkau belajar adalah engkau dikatakan sebagai orang alim (berilmu). Dan sesungguhnya engkau membacanya agar engkau dikatakan sebagai qari’, dan sebutan itu telah engkau dapatkan. Kemudian Allah memerintahkan kepada malaikat agar menyeret orang itu pada wajahnya, lalu dilemparkan ke dalam neraka.”
Jika tanpa di dasari niat yang ikhlas maka menghafalkan Al-Qur’an akan menjadi sia-sia belaka. Kesalahan dalam pijakan pertama ini akan membawa konsekuensikonsekuensi tersendiri. Sesungguhnya, niat yang ikhlas ialah untuk mencari Ridha Allah Swt, hal ini yang ditekankan betul-betul dalam segala perilaku ketika menghafal AlQur’an di Pondok Pesantren Ulumul Qur’an (PPUQ). Seorang penghafal Al-Qur’an apabila sudah mempunyai niat yang ikhlas, berarti ia sudah ada hasrat dan kemauan yang telah tertanam dalam hatinya, sehingga jika ada kesulitan ketika menghafalkan ayat-ayat Allah, maka ia akan menghadapinya dengan pantang menyerah sekaligus menjalaninya dengan rasa sabar dan tawakal. Karena itu ikhlas merupakan salah satu kunci kesuksesan menjadi penghafal Al-Quran yang sempurna. b.
Izin Orang Tua, Suami atau Walinya Pondok Pesantren Ulumul Qur’an mensyaratkan izin kepada orang tua, suami atau wali, hal ini dimaksudkan agar tercipta saling pengertian antara kedua belah pihak, yakni antara orang tua dengan santri yang hendak menghafal Al-Qur’an, sehingga orang tua/wali dapat memberikan dorongan dan motivasi bagi anak-anaknya yang sedang dalam proses menghafal Al-Qur’an. c.
Mempunyai Tekat yang Besar dan Kuat Seorang yang hendak menghafalkan Al-Qur’an wajib mempunyai tekad atau kemauan yang besar dan kuat. Hal ini akan sangat membantu kesukesan dalam menghafalkan Al-Qur’an. Sebab, saat proses menghafalkan Al-Qur’an, seseorang tidak akan terlepas dari berbagai masalah dan akan diuji kesabarannya oleh Allah, seperti kesulitan dalam menghafal ayat-ayat, mempunyai masalah dengan teman atau pengurus asrama atau pondok, masalah keuangan, susah melawan rasa malas, dan masalah cinta, atau bahkan masalah keluarga yang terbawa hingga ke pondok. Sehingga proses penghafalan menjadi terganggu. Dengan adanya tekad yang besar, kuat, dan terus berusaha untuk menghafalkan Al-Qur’an, maka semua ujian-ujian tersebut insya Allah akan bisa di lalui dan dihadapi dengan penuh rasa sabar. Menghafal Al-Qur’an merupakan Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 233
Nasokah & Ahmad Khori, Pembelajaran Tahfidzul Qur’an
234
tugas yang mulia dan besar. Tidak akan ada orang yang sanggup melakukannya, selain ‘ulul azmi, yaitu orang-orang yang bertekad kuat dan berkeinginan membaja. d.
Menjauhkan Diri dari Maksiat (Sifat-sifat Tercela) Perbuatan maksiat dan perbuatan-perbuatan tercela merupakan dua yang harus dijauhi oleh setiap muslim pada umumnya dan seorang yang menghafal Al-Qur’an pada khususnya, karena keduanya mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam mengusik ketenangan jiwa orang yang dalam proses menghafal Al-Qur’an. Diantara sifat-sifat yang tercela itu ialah ujub, ria, dan hasud, dan lain sebagainya. Ujub yaitu sifat ingin dikagumi oleh orang lain. Sedang ria, yaitu melakukan suatu amal yang baik semata-mata hanya agar diketahui oleh orang lain, dan hasud yaitu tidak senang (lantaran iri hati) apabila orang lain mendapat kenikmatan. e.
Istiqamah Sikap disiplin atau istiqamah merupakan sikap yang harus dimiliki oleh setiap penghafal Al-Qur’an, baik mengenai waktu menghafal, tempat yang biasa digunakan buat menghafal Al-Qur’an, maupun terhadap materi-materi yang dihafal. Dengan mengistiqamahkan waktu, santri yang menghafal dituntut untuk selalu jujur terhadap waktu, konsekuen, dan bertanggung jawab. Sangat dianjurkan untuk tidak berhenti menghafalkan Al-Qur’an sebelum berhasil hafal seluruh isi Al-Qur’an. Dalam proses menghafal Al-Qur’an, istiqamah sangat penting sekali. Walupun ia memiliki kecerdasan tinggi, namun kalau tidak istiqamah akan kalah dengan orang yang kecerdasannya biasabiasa saja, tetapi istiqamah. Sebab, pada dasarnya kecerdasan bukanlah penentu keberhasilan dalam menghafal Al-Qur’an, namun keistiqamahan yang kuat dan ketekunan sang penghafal itu sendiri. f.
Harus Berguru pada yang Ahli Seorang yang menghafal Al-Qur’an harus berguru kepada ahlinya, yaitu guru tersebut harus seorang yang hafal Al-Qur’an, serta orang yang sudah mantap dalam segi agama dan pengetahuannya tentang Al-Qur’an, seperti ulumul Qur’an, ashab an-nuzulnya, tafsir, ilmu tajwid, dan lain-lain. Selain itu guru tersebut juga mesti terkenal oleh masyarakat bahwa ia mampu menjaga diri, keluarga, dan santrinya. Dalam menghafal AlQur’an, peran kyai/guru yang ahli dalam bidang hifdhul Qur’an adalah urgen. Perannya adalah untuk memberi contoh bacaan yang benar, bacaan yang harus diikuti oleh santri, dan membenarkan bacaan santri jika terdapat kesalahan. Dalam belajar Al-Qur’an tidak bisa serta-merta dengan otodidak, walaupun dengan tingkat kecerdasan yang tinggi, karena dalam membaca Al-Qur’an menuntut adanya praktik langsung di hadapan kyai/guru sehingga sang kyai/guru dapat menuntun santri/murid kepada bacaan yang fashih dan shahih (benar). Kyai/guru yang lebih diutamakan adalah yang telah memperoleh sanad. Dengan alasan, pertama, sanad adalah bukti bahwa bacaan yang dibaca oleh sang guru adalah bacaan yang mutawatir dan muttashil hingga ke Baginda Nabi Muhammad Saw, yang telah diakui ulama. Kedua, kyai/guru yang telah memiliki sanad lebih bisa diakui keahliannya dalam dunia belajar dan menghafal Al-Qur’an maupun dalam pengamalan. Selain itu, kyai/guru bisa menjadi figure bagi santri/muridnya. Sehingga santri/murid akan berusaha meniru (meneladani) akhlakul karimah sang kyai/guru. Keberadaan kyai/guru 234 | ISSN: 2356-2447-XIII
Nasokah & Ahmad Khori, Pembelajaran Tahfidzul Qur’an 235
tersebut akan memotivasi si santri/murid, dengan berusaha sekuat tenaga, untuk bisa meraih keberhasilan seperti yang diraih oleh gurunya. Terakhir, barakah guru sangat diidam-idamkan oleh seorang murid. g.
Mempunyai Ahlak Terpuji Sangat penting sekali meneladani akhlak Rasulullah Saw terutama bagi orang yang menghafalkan Al-Qur’an. Orang yang menghfalkan Al-Qur’an bukan hanya bagus bacaan dan hafalannya, melainkan juga harus terpuji akhlaknya karena ia adalah calon hamilul Qur’an. Jadi sifat dan perilakunya juga mesti sesuai dengan semua yang diajarkan dalam Al-Qur’an. Sesungguhnya, bisa menghafalkan Al-Qur’an merupakan sebuah rahmat dan hidayah dari Allah Swt dan hal tersebut hanya bisa didapat oleh orang-orang yang mempunyai hati yang bersih. Oleh karena itu, orang yang akan menghafal Al-Qur’an tidak akan bertahan lama dihati orang-orang yang sering atau sibuk melakukan maksiat. Hal ini menyebabkan lupa hafalannya, dalam artian tidak pernah menjaganya, karena sibuk dengan urusan duniawi. Oleh karena itu, seorang penghafal Al-Qur’an, haruslah menjaga hati dan panca inderanya dari hal-hal yang dilarang oleh Allah Swt. Hal ini dinyatakan dalam Al-Qur’an, sebagaimana firman-Nya sebagai berikut: “Sebenarnya, Al Quran itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat kami kecuali orang-orang yang zalim.” (QS. Al Ankabut (29):49).
h.
Memaksimalkan Usia Pada dasarnya, tidak ada batasan mengenai usia bagi seseorang yang hendak menghafalkan Al-Qur’an. Sebab, pada waktu Al-Qur’an diturunkan pertama kali, banyak di antara para sahabat yang baru memulai menghafalkan Al-Qur’an setelah usia mereka dewasa, bahkan ada yang lebih dari 40 tahun. Meskipun demikian, sebaiknya kita menghafalkan Al-Qur’an dalam usia “emas”, yaitu terhitung dari usia 5-23 tahun. Sebab, pada usia tersebut, kekuatan hafalan manusia masih sangat bagus, namun dalam kasus di Pondok Pesantren Ulumul Qur’an (PPUQ) usia penghafal Al-Qur’an mulai 10-27 tahun. Pada usia muda, otak manusia masih sangat segar dan jernih, sehingga hati lebih fokus, tidak terlalu banyak kesibukan, serta masih belum memiliki banyak problem hidup. Selain itu, di usia muda juga sangat baik untuk menyimpan data, serta informasi yang tidak terbatas. Dalam kondisi tersebut, suatu materi atau daya yang telah masuk dalam memori otak seserorang akan terus bisa ingat sampai ia dewasa. Tentunya, hal ini berbeda jika ia menghafalkannya setelah dewasa. Oleh karena itu, bagi siapa pun yang ingin menghafal Al-Qur’an, sebaiknya memanfaatkan dan tidak menyia-nyiakan masa mudanya. Jika waktu yang potensial itu tidak dikonsentrasikan dari kesibukan selain menghafal, niscaya ia tidak akan mendapatkan kemudahan dalam menghafal Al-Qur’an. Terkait hal ini Allah Swt. berfirman: “Dan Sesungguhnya Telah kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, Maka Adakah orang yang mengambil pelajaran?”(QS. Al Qamar (54): 17)
Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 235
Nasokah & Ahmad Khori, Pembelajaran Tahfidzul Qur’an
236
i.
Menggunakan Satu Mushaf Maksud dari menggunakan satu macam mushaf adalah tidak berganti-ganti model mushaf. Ada dua syarat di dalamnya. Pertama, memakai Al-Qur’an yang sering disebut dengan “Al-Qur’an pojok”. Al-Qur’an pojok adalah Al-Qur’an yang setiap pergantian halamannya selalu tepat pada akhir ayat. Untuk memilih Al-Qur’an pojok, anda harus selektif, karena tidak semua Al-Qur’an yang secara tata letak adalah Al-Qur’an pojok tetapi bukan Al-Qur’an standar untuk menghafal. Maksud Al-Qur’an pojok disini adalah mushaf yang tata letaknya sama dengan Mushaf utsmani, yang biasa digunakan untuk menghafal. Kedua, memakai Al-Qur’an dengan satu penerbit. Karena mushaf yang ada, walaupun sama dengan mushaf utsmani (awal dan akhir halaman) tetapi setiap penerbit mempunyai perbedaan-perbedaan, baik dalam khot maupun dalam bagian-bagian tertentu (selain awal dan akhir halaman). Hal ini dimaksudkan agar tidak membingungkan penghafal dalam me-muraja’ah hafalannya. Karena dengan berganti-ganti mushaf, penghafal akan merasa bingung dengan perbedaan-perbedaan tiap model mushaf. j.
Mampu Membaca dengan Baik Sebelum melangkah pada periode menghafal, seorang calon penghafal terlebih dahulu berupaya meluruskan bacaanya dengan bin nadzor. Terdapat dua hal penting sebelum memasuki periode menghafal yang diinternalisasikan di Pondok Pesantren Ulumul Qur’an (PPUQ), yaitu: 1) Melancarkan bacaannya. 2) Meluruskan atau membenarkan bacaannya. Dua hal ini mempunyai fungsional penting dalam menghafal Al-Qur’an. Tradisi yang berlaku di dalam masyarakat kita, untuk mencapai tujuan ini ialah mengaji di hadapan seorang guru sehingga benar-benar lancar dan bagus bacaannya, bahkan tuan gurunya biasa menasihatkan agar tidak mulai menghafal sebelum khatam membaca bin nadzor beberapa kali khataman. Attensi seperti ini memang dirasa perlu agar dalam menghafalnya nanti tidak terlalu banyak kesulitan lantaran belum bisa membacanya dengan baik dan lancar. k.
Memilih Waktu dan Tempat yang Tenang Pilihlah waktu dan tempat yang sesuai dengan keinginan, yang membuat pikiran tenang dan konsentrasi dalam menghafal. Hindari tempat yang panas, tempat yang banyak orang, dan tempat yang membuat pikiran kita cepat jenuh. Pilihlah tempat yang sejuk, indah, dan nyaman. Diantara waktu-waktu yang baik untuk menghafal adalah pada sepertiga malam terkhir setelah melaksanakan shalat tahajud. Pada saat itu suasana tenang, sehingga hafalan cepat masuk. Begitu pula waktu setelah shalat shubuh merupakan waktu yang baik untuk menghafal. Waktu yang paling baik untuk menghafal tentunya berbeda-beda bagi tiap orang. Karena itu yang lebih tahu waktu menghafal yang baik adalah orangorang yang akan menghafal itu sendiri. Maka, sebelum menghafal cobalah pilih terlebih dahulu waktu yang tepat untuk menghafal. Rekomendasi bagi seorang pendidik yang ingin menanamkan rasa cinta kepada AlQur’an di hati anak didiknya, haruslah memilih waktu yang tepat untuk menghafal dan
236 | ISSN: 2356-2447-XIII
Nasokah & Ahmad Khori, Pembelajaran Tahfidzul Qur’an 237
berinteraksi dengan Al-Qur’an. Adapun waktu yang dimaksud bukan saat seperti ini: setelah lama begadang dan mencicipi tidur hanya sebentar, setelah makan dan kenyang, setelah waktu belajar yang padat, ketika anak dalam kondisi psikologi yang kurang baik, ketika terjadi hubungan tidak harmonis antara orang tua dan anak supaya anak tidak membenci Al-Qur’an disebabkan perselisihan dengan orang tuanya. 3.
Metode Thafidzul Qur’an di Pondok Pesantren Ulumul Qur’an
Setiap penghafal Al-Qur’an, tentunya menginginkan waktu yang cepat dan singkat, serta hafalannya menancap kuat di memori, hal tersebut dapat terlaksana apabila penghafal menggunakan metode yang tepat, rajin, dan istiqamah dalam menjalani prosesnya, walaupun cepatnya menghafal seseorang tidak terlepas dari otak atau IQ yang dimiliki. Metode yang digunakan para penghafal Al-Qur’an berbeda-beda sesuai kesanggupannya. Menghafal Al-Qur’an yang ideal adalah membaca ayat-ayat itu dengan tajwid yang benar, memahami makna kata demi kata, lalu berusaha menyimpannya di dada. Menghafal Al-Qur’an adalah menyimpan kata demi kata dari “surat cinta” sang kekasih di benak dan hati kita. Dalam pembelajaran menghafal Al-Qur’an Pondok Pesantren Ulumul Qur’an (PPUQ) secara umum menerapkan beberapa metode, diantaranyai: a.
Metode Menghafal Beberapa Ayat atau Satu Ayat Yaitu menghafal satu ayat dengan bacaan yang benar sebanyak dua atau tiga kali, lalu memperdengarkan (tasmi’) ayat ini kepada orang lain. Selanjutnya menghafal ayat kedua dan melakukan hal yang sama pada ayat pertama. Namun, sesudah itu memperdengarkan ayat pertama dan ayat kedua sekaligus. Kemudian menghafal ayat ketiga dengan menggunakan metode yang sama, dan dilanjutkan ayat ke empat, hingga sampai akhir halaman. Sesudah itu, memperdengarkan hafalan satu halaman tadi dengan mengulangnya sebanyak tiga kali. Sebagai catatan dalam menjalankan metode ini janganlah beranggapan bahwa ayat pertama telah sering dihafal sehingga tidak perlu diulang-ulang. Sebab, sebagian dari mereka apabila telah menghafal setengah halaman, ia mengatakan, “setengah halaman pertama sudah terhafalkan secara kuat maka jika menghafalkan setengah halaman kedua tidak perlu lagi mengulang setengah halaman pertama hingga akhir.” Namun, setiap ayat pada halaman yang sudah dihafal tersebut terulang dari pertama hingga sampai dimana ia telah hafal, hingga genap satu halaman. Sesudah itu memperdengarkan hafalan satu halaman tersebut sebanyak tiga kali. Secara umum, metode ini termasuk metode yang paling lambat. Dan biasanya ia membutuhkan waktu sekitar lima belas menit, karena penghafal akan melakukan pengulangan. Selain itu, metode ini juga lemah karena seorang penghafal jika tidak menyambungkan satu dengan ayat berikutnya, maka akan terjadi penghentian pada sebagian ayat. b.
Metode Membagi Satu Halaman Menjadi Tiga Bagian Dengan metode membagi satu halaman menjadi tiga bagian dan kita anggap setiap bagiannya sebagai satu ayat, serta mengulang-ulangnya hingga beberapa kali sampai hafal. Kemudian menyambungkan antara ketiga bagian itu.Dengan metode seperti ini, menjadi sempurnalah penghubungan sebagian ayat dengan sebagian lainnya dengan cara
Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 237
Nasokah & Ahmad Khori, Pembelajaran Tahfidzul Qur’an
238
yang lebih baik. Sebagaimana metode ini juga dapat mempersingkat waktu yang biasa dihabiskan untuk mengulang ayat demi ayat. c.
Menghafal Per Halaman Metode ini mirip dengan metode sebelumnya, hanya saja dalam metode ini langsung menghafal satu halaman penuh. Lebih jelasnya, orang yang ingin menghafal hendaknya membaca satu halaman penuh dari awal sampai akhir dengan bacaan yang pelan dan benar, sebanyak tiga atau lima kali, sesuai daya tangkap dan kemampuan menghafalnya. Bila telah membacanya sebanyak tiga hingga lima kali ini, dengan bacaan yang di iringi dengan kehadiran hati konsentrasi pikiran serta akal, dan bukan sekedar bacaan di lidah saja. Tapi ia memfokuskan hati serta pikirannya karena ingin menghafal dari bacaan ini. Apabila ia sudah membaca sebanyak tiga atau lima kali ini ia menutup mushafnya dan mulai membaca halaman tadi tanpa melihat ke mushaf. Selagi belum selesai atau tidak dapat di hafal dengan hanya membaca tiga atau lima kali. Namun, ia telah menghafal bagian awalnya dan terus membaca, lalu ia terhenti (lantaran lupa). Maka ia membuka mushafnya, melihat dimana ia berhenti dan memperhatikan kelanjutannya. Kemudian meneruskan membaca dengan mushaf tertutup. Lantas terhenti lagi, baik kedua kalinya atau ketiga kalinya. (setelah selasai satu halaman penuh) kemudian ia mengulangi membaca halaman ini tanpa melihat ke mushaf. Terjadi di bacaan kedua, ia tak lagi berhenti di tempat ia berhenti di bacaan pertama. Sebab, kata atau kalimat ditempat tersebut telah terukir di ingatannya dan tertanam dalam akalnya. Sehingga tempat-tempat berhenti pun semakin berkurang. Biasanya menurut pengalaman, ia akan membaca yang pertama dilanjutkan yang kedua (dengan beberapa kali berhenti karena lupa). Tapi, umumnya dengan bacaan ketiga kalinya ia mampu melafalkan satu halaman penuh dengan hafalan yang baik secara keseluruhan ia sudah melewati delapan kali bacaan. Yakni tiga atau lima kali berupa bacaan awal yang terfokus (dengan melihat ke mushaf). Dilanjutkan langkah kedua dengan membaca halaman ini tanpa melihat mushaf, dan ia akan berhenti di bagian pertama dan kedua. Lalu biasanya, pada bacaan ketiga tidak lagi berhenti-henti. Pada langkah ketiga, Ia mengulangi bacaan yang benar itu, yang ia lakukan di kali terakhir, sebanyak kurang lebih tiga kali. Dengan begitu total bacaannya pada halaman ini berjumlah sembilan atau sebelas kali.Jadi, satu halaman dibaca dengan bacaan yang fokus dan tepat sebanyak tiga atau lima kali. Di lanjutkan membacanya tanpa melihat ke mushaf sebanyak tiga kali percobaan atau tiga kali usaha. Kemudian mengoreksinya dengan tiga kali bacaan tanpa melihat mushaf. Insya Allah dengan demikian bacaan tersebut telah hafal dengan baik dan kuat. d.
Metode Menghafal Ayat-ayat Panjang Di dalam Al-Qur’an akan banyak dijumpai ayat yang panjang-panjang, hingga membuat kesusahan dalam menghafalnya. Namun, terdapat solusi yang baik, yaitu menghafalnya dengan cara memotong ayat menjadi beberapa bagian. Lalu setiap bagian dihafalkan dan diteruskan dengan bagian lainnya.
e.
Metode Menambah Hafalan Baru
Apabila santri (penghafal) menambah hafalan baru, selalu memperhatikan hafalan yang lama, dan membatasi penambahan hafalan baru. Dalam setiap hari harus 238 | ISSN: 2356-2447-XIII
Nasokah & Ahmad Khori, Pembelajaran Tahfidzul Qur’an 239
menargetkan hafalan baru sesuai dengan kemampuan. Jangan sampai terfokus menambah hafalan baru, namun hafalan yang lama dilupakan. Sebelum menambah hafalan baru, harus mengulang (nderes) hafalan lama dari ayat pertama hingga terkhir sebanyak 20 kali. Hal ini dilakukan supaya hafalan santri kuat dan tidak mudah lupa, serta selalu melekat dalam ingatan atau otaknya. Setelah itu, penghafal diperbolehkan menambah hafalan baru dengan metode yang sama seperti ketika menghafal ayat-ayat sebelumnya. f.
Metode Mengulang (Takrir) Dalam proses menghafal Al-Qur’an, keinginan cepat khatam 30 jus memang sangatlah wajar. Namun, jangan sampai keinginan tersebut membuat santri terburu-buru dalam menghafalkan Al-Qur’an dan pindah ke halaman baru. Sebab, bila penghafal berfikir demikian, dikhawatirkan akan melalaikan hafalan yang sudah pernah dihafal tidak pernah diulang kembali karena santri lebih fokus pada halaman baru dan tidak men-takrir hafalan yang lama. Dengan kata lain santri penghafal tidak diperbolehkan berpindah ke hafalan berikutnya sebelum ayat yang sedang dihafalkan benar-benar sempurna. Hal seperti ini sering terjadi di kalangan penghafal Al-Qur’an, sehingga surat atau jus-jus yang berada di depan halaman beberapa waktu kemudian banyak yang hilang atau lupa. Menjaga kualitas hafalan yang baik dan kuat, santri tidak terburu-buru ketika menghafalkan. Dalam menghafalkan yang baik, santri mengulang yang sudah pernah dihafalkan atau sudah disetorkan kepada guru atau kyai secara terus menerus dan istiqamah. Tujuan dari takrir atau mengulang ialah supaya hafalan yang sudah dihafalkan tetap terjaga dengan baik, kuat dan lancar. Mengulang hafalan bisa dilakukan dengan sendiri atau didengarkan oleh guru atau teman santri. Pada umumnya, seorang guru membagi waktu kegiatan menyetor hafalan Al-Qur’an. Waktu pagi biasanya untuk menyetor hafalan baru, dan waktu sore setelah Ashar atau setelah Maghrib menyetor hafalan mengulang. g.
Menyetorkan Hafalan kepada Kyai Setiap santri yang menghafalkan Al-Qur’an wajib menyetorkan hafalannya kepada kyai, ini bertujuan agar bisa diketahui letak kesalahan ayat-ayat yang dihafalkan. Apabila santri menghafalkannya sendiri, dan terjadi kesalahan-kesalahan dalam bacaan, maka kesalahan dalam ayat yang dihafalkan akan terus terbawa dalam hafalannya. Kesalahan dalam hafalan, misalnya salah dalam pembacaan makhfijul huruf, mad (panjang), qashar (pendek) bacaan, letak waqaf dalam ayat-ayat yang panjang, dan lain sebagainya. Untuk itu, seorang murid janganlah sembarangan dalam memilih kyai yang akan dijadikan untuk menyetorkan hafalannya. Hendaknya, ia seorang yang hafidz atau hafidzah Al-Qur’an, terkenal agamanya, bagus dan alim, serta pandai menjaga dari perbuatan buruk dan perbuatan yang berbau maksiat. Selain itu, lebih dianjurkan guru tersebut mempunyai silsilah atau nasab yang sampai pada Rasulullah Saw, bukan sembarang guru.
h. Membuat Klasifikasi Target Hafalan Bagi para calon penghafal Al-Qur’an, hendaknya membuat target hafalan dalam setiap harinya, selain itu juga membuat target waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan hafalan sebanyak 30 juz. Menentukan target hafalan adalah sebuah program yang positif. Sebab, ini akan terus membangkitkan semangat menghafal. Selain itu, apabila hafalan terjadwal atau terprogram, tidak ada waktu yang terbuang sia-sia. Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 239
Nasokah & Ahmad Khori, Pembelajaran Tahfidzul Qur’an
240
Pada dasarnya membuat target hafalan tergantung pada kemampuan masing-masing santri. Ada yang mampu mencapai target hafalan dalam sehari sebanyak 1 halaman. Namun, ada pula yang kurang dari 1 halaman, atau bahkan lebih dari itu, yaitu mencapai 2 atau 3 halaman. Menentukan target dalam proses menghafal Al-Qur’an sangat diperlukan supaya mampu memicu semangat dalam menghafal Al-Qur’an, serta agar dapat menyelesaikan hafalan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Seorang tahfidz Al-Qur’an tidak hanya menghafal Al-Qur’an, tetapi juga harus menekuni ilmu-ilmu lain, seperti ilmu tafsir dan hadits, ulumul Qur’an, tajwid, dan lain sebagainya. Namun, apabila tidak membuat program menargetkan hafalan akan selalu terbebani oleh hafalan yang masih belum terselesaikan. Setidaknya, program menentukan target akan sangat membantu santri menjalani proses menghafal Al-Qur’an. i.
Metode Semaan dengan Sesama Semaan Al-Qur’an atau Tasmi’ (memperdengarkan hafalan kepada orang lain), misalnya kepada sesama teman tahfidz atau kepada senior yang lebih lancar merupakan hal yang sangat positif. Sebab, kegiatan tersebut merupakan salah satu metode untuk tetap memelihara hafalan supaya tetap terjaga, serta agar bertambah lancar sekaligus untuk mengetahui letak ayat-ayat yang keliru ketika baca. Dengan cara ini teman santri akan membenarkannya jika terjadi kekeliruan dalam bacaannya. Melakukan semaan Al-Qur’an bersama teman-teman di pondok pesantren dalam jadwal kegiatan rutin pondok pesantren. Misalnya, satu minggu sekali dalam forum yang resmi, atau di undang oleh masyarakat karena adanya sebuah acara. Semaan Al-Qur’an dapat dilakukan kapan saja. Santri mencari teman semaan yang bisa diajak secara bergantian. Semaan dapat dilakukan sebelum menyetorkan hafalan kepada seorang guru atau sesudah menyetorkannya. Mempunyai pasangan sangatlah penting dan sangat membantu santri dalam proses untuk memperlancar dan penguatan hafalan. Hal ini dilakukan sebagai proses saling mengoreksi satu sama lain agar letak kesalahan yang terjadi bisa terdeteksi. j.
Memperbanyak Membaca Al-Qur’an Salah satu metode untuk mempercepat menghafal Al-Qur’an ialah memperbanyak membaca Al-Qur’an sesering mungkin sebelum santri menghafalkannya. Sebagaiman yang telah dijelaskan sebelumnya. Tujuannya, santri akan mengenal terlebih dahulu ayatayat yang akan dihafalkan dan tidak asing lagi dengan ayat-ayat tersebut, sehingga lebih mudah menghafalkannya. Semakin sering menghafal Al-Qur’an (bin nadzri), maka akan semakin mudah menghafalkannya. k.
Teknik Mendengarkan Sebelum Menghafal Sebagian penghafal ada yang cocok dengan cara ini, karena tidak memerlukan pencurahan pemikiran yang serius sehingga membuat pikiran cepat tegang. Penghafal hanya memerlukan keseriusan mendengar ayat-ayat yang akan dihafal. Ayat-ayat yang akan dihafalkan dapat didengarkan melalui kaset-kaset tilawah Al-Qur’an yang sudah diakui keabsahannya, mendengarkan harus dilakukan berulang-ulang. Setelah banyak mendengarkan santri dapat memulai menghafal ayat-ayat tersebut, akan mendapatkan kemudahan sendiri ketika menghafalnya. Menghidupkan Al-Qur’an lewat shalat jama’ah, baik wajib atau sunnah, dapat memudahkan mu’min yang cinta berjama’ah untuk 240 | ISSN: 2356-2447-XIII
Nasokah & Ahmad Khori, Pembelajaran Tahfidzul Qur’an 241
menghafal Al-Qur’an. Rasulullah Saw dalam shalat selalu memperdengarkan ayat-ayat yang panjang dan tidak terbatas pada surat-surat yang pendek.
E. Kesimpulan Pembelajaran Tahfidzul Quran di Pondok Pesantren Ulumul Quran menggunakan metode (thariqah) menghafal Beberapa Ayat atau Satu Ayat; Metode Membagi Satu Halaman Menjadi Tiga Bagian; Menghafal Per Halaman; Metode Menghafal Ayat-ayat Panjang; Metode Menambah Hafalan Baru; Metode Mengulang (Takrir); Menyetorkan Hafalan kepada Kyai; Membuat Klasifikasi Target Hafalan; Metode Semaan dengan Sesama; Memperbanyak Membaca Al-Qur’an; dan Teknik Mendengarkan Sebelum Menghafal. Metode ini menjadikan karakteristik PPUQ dalam mengimplementasikan pembelajaran Tahfidzul Qur’an yang dianggap strategis. Serangkaian kegiatan dalam proses pembelajaran Tahfidzul Qur’an menempuh jalan yang panjang dan penuh kesabaran bagi penghafal, sehingga dalam memulai menghafalkannya terdapat syarat tertentu yang harus dilakukannya yaitu: Mengikhlaskan Niat karena Allah swt; Izin Orang Tua, Suami atau Walinya; Mempunyai Tekat yang Besar dan Kuat; Menjauhkan Diri dari Maksiat (Sifat-sifat Tercela); Istiqamah; Harus Berguru pada yang Ahli; Mempunyai Ahlak Terpuji; Memaksimalkan Usia; Menggunakan Satu Mushaf; , mampu membaca dengan baik, serta memilih waktu dan tempat yang tenang. Hasil temuan ini memberikan kontribusi besar kepada penghafal, supaya dalam proses menghafalkannya efektif.
Daftar Pustaka Al-Ghazali, Abu Hamid Muihmad Ibnu Muhammad., Ihya ‘Ulumuddin, Beirut: Dar al-Fikr, t.t Al-Kandahlawi, Maulana Muhammad Zakariya, Himpunan Fadhilah Amal, Yogyakarta: Ash-Shaff, 2006 Ash Shabuny, Muhammad Aly, Pengantar Study al-Qur’an (At-ibyan), Bandung: PT.Al-Ma’arif, 1984 Ash-Shabuny, Ali., Studi Ilmu Al-Qur’an, Pustaka Setia, Bandung, 1999 Ash-Shiddieqy, M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir/A1-Qurban, cet. XV, Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1994 As-Shiddieqy, Teungku Muhammad Habsi., Sejarah dan Pengantar Ilmu AlQur’an dan Tafsir, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2009 As-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman, Al-Itqan Fi Ulumil Qur`an, Beirut: Dar AlFikr, 1979 Az-Zarnuji, Pedoman Belajar Pelajar dan Santri,Surabaya: Al-Hidayah,t.t Bukhari, Imam Abi Abdullah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn Mughirah, As-Shahih Bukhari, Indonesia: Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, 1981 Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: al-Alwah, t.t. Departemen Agama RI., Pola Pengembangan Pondok Pesantren, 2000 Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, cet. III, Jakarta : LP3ES, 1984 Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 241
Nasokah & Ahmad Khori, Pembelajaran Tahfidzul Qur’an
242
Hadi, Sutrisno, Metodologi Research I, Yogyakarta, Fak: Psikologi UGM, 1983 Hamid, H. M. Shalahuddin, Studi Ulumul Qur’an, Inti Media Cipta Nusantara, Jakarta Timur, 2002 Kusnan, M. Rosyid, Mengenal Kitab Suci, Macanan Baru : Cempaka Putih, 2008 Muhaimin Zein , Problematika Menghafalkan Al-Qur’an Pustaka Al-Husna, Jakarta, Cetakan 2, 1985 Muslim bin Hujjaj, Abu Husin., Shahih muslim, cet.8, 1967 Nawabuddin, Abul Rabbi, Metode Efektif Menghafal Al-Qur’an, Jakarta: CV. Tri Daya Inti Qattan, Manna al- Khalil, Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an, Beirut: asy-Syirkah al Mutahadil lil Tauzi, t.t. Qattan, Manna al- Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Al-qur’an, Jakarta : PT. Pustaka Litera Antar Nusa, 1994 R.H.A. Soenarjo, S.H., dkk., Al-Qur’an dan Terjemahanya , Proyek pengadaan Kitab Suci Al-Quran Depag RI, pelita 1V/Tahun 1/1984-1985 Sodiqin, Ali. Antropologi Al-Qur’an, Ar-ruz Media, Yogyakarta, 2008 Sujanto, Agus. Psikologi Perkembangan , Jakarta: Aksara Baru, 1988 Surahmat, Winarno. Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung : Tarsito, 1990 Syam, Yunus Hanis. Mukjizat Membaca Al-Qur’an, Mutiara Media,Yogyakarta, 2009, hal. 9. Tekin, Zubeyr. Kemuliaan Kitab Suci Al-Qur’an, PT Gramedia Pustaka Umum, Jakarta, 2007 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia No. 20, Sistem Pendidikan Nasional dan Penjelasannya, Bandung: Citra Umbara, 2003 Yunus, Mahmud, Pokok-Pokok Pendidikan dan Pengajaran, Jakarta : PT. Hidaya Karya Agung, 1983 Zaki Zamani, Muhammad Syukron, Menghafal Al-Qur’an Itu Gampang, Mutiara Media, Yogyakarta, 2009. Zarqani, Muhammad al-Adhim Aziz, Manahil al-‘Irfan Fil’Ulum Al-Qur’an, Mesir: ttp., t.t., Zen, Muhaimin, Tata Cara/Problematika Menghafal al-Qur’an dan Petunjukpetunjuknya, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1985 Zuhdi, Masjfuk, Pengantar Ulumul Qur’an, Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1993
242 | ISSN: 2356-2447-XIII
243
PROFIL PUSAT STUDI KEPENDIDIKAN (PSKp) FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS SAINS AL-QUR’AN JAWA TENGAH DI WONOSOBO Pusat Studi Kependidikan (PSKp) FITK UNSIQ Jawa Tengah adalah lembaga Studi yang bergerak dalam bidang penelitian, pengkajian, pelatihan, dan pendampingan pendidikan yang dinafasi oleh nilai-nilai dasar ajaran Islam. Pusat studi ini didirikan sebagai bukti kepedulian FITK UNSIQ Jawa Tengah di Wonosobo dalam merespon berbagai perkembangan pendidikan di berbagai lembaga pendidikan. Pusat Studi Kependidikan (PSKp) FITK UNSIQ memiliki kewenangan otonom pada penetapan area, pelaksanaan serta cakupan lingkup kerjasama penelitian dan pengembangan dengan berpedoman pada Tri Dharma Perguruan Tinggi, yang mengarah pada azas kemanfaatan bagi masyarakat, pendidik dan lembaga pendidikan di bidang penelitian, pendampingan dan pengembangan kependidikan. A.
VISI Menjadikan Pusat Studi Kependidikan (PSKp) FITK UNSIQ Jawa Tengah sebagai lembaga unggulan dan rujukan dalam penelitian, pengembangan, dan informasi ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, terutama dalam bidang kependidikan.
B. M I S I 1. Menyelenggarakan penelitian yang mendasarkan diri pada penggalian dan pemecahan berbagai persoalan pendidikan yang muncul di tengah-tengah masyarakat. 2. Melakukan pengkajian terhadap berbagai persoalan pendidikan yang sedang dan akan berlangsung guna menemukan solusi pengembangannya di masa depan. 3. Menyelenggarakan pelatihan pendidik dan tenaga kependidikan sehingga memiliki kecakapan managerial, administratif dan edukatif yang lebih profesional 4. Melakukan pendampingan terhadap pendidik dan tenaga kependidikan dalam melaksanakan tugas-tugas kependidikan. 5. Melakukan pembinaan terhadap lembaga pendidikan dalam pengelolaan dan pengembangan lembaga. Pusat Studi Kependidikan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Sains Al Qur’an Jawa Tengah di Wonosobo Jl. Raya Kalibeber Km. 03 Wonosobo, Kode 56351, Tlp. (0286) 3326054-321873, Fax. (0286) 324160, HP. 085292143211, Email:
[email protected]
Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 243