PEMBELAJARAN KELAS RANGKAP (MULTIGRADE TEACHING) DENGAN MEMANFAATKAN MEDIA AUDIO DI SEKOLAH DASAR Sujono Surokarijo Abstrak, Penyelenggaraan layanan pendidikan wajib dilakukan kepada semua Warga Negara Indonesia, terutama untuk pendikan dasar yaitu di Sekolah Dasar (SD). Hal ini sesuai dengan UUD ’45, bahwa negara wajib “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Kenyataan demografi di negara Republik Indonesia tidak merata, ada daerah yang berpenduduk padat dan ada daerah yang berpenduduk jarang. Di daerah yang berpenduduk jarang dan letaknya terpencil, ataupun juga pada daerah yang terkena bencana alam, penyelenggaraan layanan pendidikan menemui beberapa kendala, antara lain kekurangan peserta didik, kekurangan guru, kekurangan buku-buku sumber bahan ajar; bahkan juga gedung ataupun perlengkapan sekolah yang tidak memadai. Tulisan ini membahas penerapan pembelajaran kelas rangkap (multigrade teaching) dengan memanfaatkan media audio di Sekolah Dasar, guna penyelenggaraan pemerataan layanan pendidikan diseluruh wlayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kata kunci : Pembelajaran kelas rangkap, media audio.
PENDAHULUAN Kata media berasal dari bahasa latin dan merupakan bentuk jamak dari kata medium yang berarti perantara/pengantar. Media pendidikan yang dirancang dengan baik dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemauan peserta didik, sehingga terjadi proses belajar pada peserta didik. Setiap satuan pendidikan formal ataupun non formal menyediakan sarana dan prasarana guna memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan fisik, perkembangan intelektual, emosional dan kejiwaan lain peserta didik, (UU RI no. 20 th 2003, pasal 45 BAB XII sarana dan prasarana). Saat sekarang sistem pendidikan kita dihadapkan berbagai masalah. Salah satu masalah tersebut, khususnya di sekolah dasar, adalah kurangnya tenaga guru baik secara kwalitas maupun kwantitas. Di samping itu, adanya penyebaran guru yang tidak merata. Di perkotaan umumnya jumlah guru cukup bahkan ada sekolah yang kelebihan guru. Sementara di daerah pedalaman ataupun daerah terpencil, tenaga guru kurang. Tidak sedikit sekolah yang hanya memiliki satu atau dua guru dan merangkap sebagai kepala sekolah. Akibatnya guru harus mengajar lebih dari satu kelas. Berdasarkan data Balitbang Depdikbud (IGK Wardhani, 1998) terdapat
Jurnal PGSD FIP UNJ Vol II No.1 Januari 2010
sekitar 12.000 Sekolah Dasar (SD) yang guru harus mengajar lebih dari satu kelas. Pembelajaran seperti ini sering disisebut Pembelajaran Kelas Rangkap (multigrade teaching). Pembelajaran Kelas Rangkap (PKR) diberlakukan tidak hanya karena faktor kekurangan guru, PKR sering diterapkan karena alasan letak geografis yang sulit dijangkau, ruangan kelas terbatas, kekurangan tenaga guru, jumlah siswa relatif sedikit, atau mungkin faktor keamanan seperti di daerah pengungsi. Pembelajaran kelas rangkap juga dilakukan di negara-negara lain. Di Republik Rakyat China ada sekita 420.000 SD yang menggunakan PKR. Di Meksiko, 22 persen sedang di Columbia 18 persen SD menerapkan model PKR. Di negara maju juga dikenal model Pembelajaran Kelas Rangkap. Di Northern of Australia ada sekitar 40 persen sekolah dasar menerapkan model ini. Di Belanda sekitar 29 persen sekolah dasar melaksanakan PKR. Bahkan di Amerika Serikat dijumpai sekitar 1.000 sekolah dasar yang hanya satu ruang kelas (Aria Jalil, 1998). Hasil kajian UNESCO di beberapa negara menunjukkan PKR dilakukan sebagai kebijakan pemerintah dalam mensukseskan pendidikan untuk semua (Ian Birch dan Mike Lally, 1995). Ini berarti penerapan PKR bukanlah sesuatu yang ketinggalan.
103
PKR diterapkan atas dasar pertimbangan sebagai model pembelajaran alternatif. PKR diterapkan bila salah seorang guru mengajar dalam satu ruangan atau lebih menghadapi murid dari dua kelas atau lebih pada tingkat kelas yang berbeda. Menurut para pakar pendidikan., pembelajaran kelas rangkap bisa dapat lebih efektif bila menggunakan strategi yang tepat dan memanfaatkan berbagai media pembelajaran yang tepat pula. Oleh karenanya, perlu diupayakan strategi dan media pembelajaran yang tepat dalam membantu siswa dan guru melaksanakan model pembelajaran ini. Tulisan ini akan mencoba menganalisis model PKR dengan memanfaatkan kaset audio sebagai salah satu sumber belajar. Analisis pembahasan didasarkan pada kajian teori dan temuan lapangan selama uji coba dilakukan. Uji coba dilakukan di SD Meranti Pandak, Kecamatan Rumbai, Kota Pakanbaru. Propinsi Riau. Analisis ini diharapkan dapat menggambarkan bagaimana model pembelajaran kelas rangkap dengan memanfaatkan media audio. Dalam pembahasan selanjutnya model PKR dengan memanfaatkan media audio di sekolah dasar disebut Model PKR Berbantuan Media Audio di Sekolah Dasar. KAJIAN KEPUSTAKAAN 1. Konsepsi Pembelajaran Kelas Rangkap Setiap guru yang mengajar di dua kelas atau lebih, tidak berarti guru tersebut dikatakan melakukan PKR. Misalnya, Bu Ari mengajar di kelas III dan kelas IV. Pertama tama Bu Ari masuk kelas III, setelah menjelaskan bahan pelajaran, Bu Ari memberikan latihan untuk dikerjakan siswa. Selanjutnya Bu Ari masuk ke kelas IV lalu memberikan pelajaran. Disini Bu Ari tidak bisa dikatakan melakukan PKR, tetapi ia dikatakan mengajar secara bergiliran. PKR adalah suatu bentuk pembelajaran yang mensyaratkan seorang guru mengajar dalam satu ruangan kelas atau lebih, dalam saat yang sama, dan menghadapi dua atau lebih tingkat kelas yang berbeda (IGAK Wardhani, 1998). Misalnya, Bu Ita, mengajar kelasd IV dan V. Kelas IV dan V menempati kelas yang berbeda dan terpisah. Kedua ruangan ini
104
dihubungkan oleh pintu. Pada kegiatan pendahuluan sekitar 10 menit, Bu Ita berdiri di pintu penghubung menghadapi dua kelas yang berbeda. Kemudian ia memberi pengantar dan pengarahan umum tentang materi yang akan dipelajari. Seterusnya, pada kegiatan inti (sekitar 60 menit) siswa dibimbing di kelasnya masing – masing dengan menggunakan metode sesuai bahan ajar pada masing-masing kelas. Kepindahan tiap ruangan diatur secara seimbang. Disini siswa diajar dengan metode yang bervarisasi, ada kalanya menyimak penjelasan guru, membaca buku, diskusi kelompok atau tanya jawab dengan guru. Bu Ita tidak memberi kesempatan pada siswa baik kelas IV maupun kelas V untuk tidak ada kegiatan belajar atau ribut. Pada tahap akhir (kegiatan penutup), Bu Ita kembali berdiri di pintu penghubung kelas menghadapi dua kelas. Ia mengadakan review umum mengenai materi pelajaran yang telah dilakukan masing masing kelas. Dengan demikian dalam PKR guru berusaha menciptakan siswa aktif belajar dan tidak memberi kesempatan pada siswa untuk “nganggur” atau ribut. Setiap tingkatan kelas dikondisikan untuk belajar secara aktif, baik secara individu, kelompok atau klasikal. Ciri utama PKR adalah guru menghadapi dua tingkatan kelas atau lebih dalam waktu yang bersamaan. Ruang kelas disesuaikan dengan kondisi yang ada. Hal ini berarti akan ditemukan berbagai kemungkinan pola pembelajaran. Setiap pola pembelajaran disesuaikan dengan kondisi sekolah terutama ketersediaan ruangan, jumlah guru, jumlah siswa. Berikut ini beberapa alternatif pola pembelajaran kelas rangkap yang bisa dilakukan guru, antara lain: (1). Pola pertama, seorang guru menghadapi dua ruangan ntuk dua tingkatan kelas yang berbeda, misalnya kelas IV dan V. Masingmasing ruangan ditempati oleh satu tingkatan kelas. Biasanya antar kelas dihunbungkan oleh pintu penghubung . Pintu penghubung ini bisa digunakan guru untuk memberi penjelasan kepada seluruh siswa di semua tingkatan yang berbeda tersebut. (Lihat Gambar 1).
Jurnal PGSD FIP UNJ Vol. II No. 1 Januari 2010
Guru
Pintu penghubung
Ruang Kelas IV
Ruang Kelas V
Gambar 1: Seorang Guru Menghahadapi Dua Ruangan Untuk Dua Tingkatan Kelas Yang Berbeda (2). Pola kedua, Seorang Guru menghadapi siswa dalam tiga tingkatan kelas yang
berbeda . Masing-masing ruangan ditempati oleh kelas III, IV dan V. (lihat Gambar 2).
Guru
Pintu penghubung Ruang Kelas III
Ruang Kelas IV
Ruang Kelas VI
Gambar 2: Seorang Guru Menghadapi Siswa Dalam Tiga Tingkatan Kelas Berbeda. (3). Pola ketiga, seorang guru menghadapi dua tingkatan kelas yang berbeda, misalnya kelas VI dan V pada satu ruangan.
Pemisahan kelas biasanya dibatasi oleh skat, dinding kain, lemari atau hanya dikelompokkan berdasarkan tempat duduk, (Gamb r3)
Kelas IV
Kelas V
Guru Gambar 3: Seorang Guru Menghadapi Dua Tingkatan Kelas Yang Berbeda.
Jurnal PGSD FIP UNJ Vol II No.1 Januari 2010
105
(4). Pola empat, seorang guru menghadapi tiga tingkatan kelas yang berbeda pada dua ruangan kelas; misal kelas IV dan V di satu ruangan, sedang kelas VI di ruang lain. Atau
mungkin kelas V dan VI di satu ruangan, sedang kelas IV di ruang lain, disesuaikan dengan kondisi sekolah dan jumlah siswa.. (Gambar 4).
Guru
Kelas IV
Kelas V
Kelas VI
Gambar 4: Seorang guru Menghadapi Tiga Tingkatan Kelas Yang Berbeda Pada Dua Ruangan Kelas. (5). Pola lima, seorang guru menghadapi tiga tingkatan kelas yang berbeda dalam satu ruangan . Disini biasanya diupayakan agar
antara kelompok yang satu dengan kelompok siswa lainnya ada penghalang/ batas. (Gambar 5).
Kelas IV
Kelas VI
Guru
Kelas V
Gambar 5: Seorang Guuru Menghadapi Tiga Tingkatan Kelas Yang Berbeda Dalam Satu Ruangan. Pengembangan pola pembelajaran tidak hanya terbatas pada lima contoh di atas, tetapi banyak pula yang bisa dikembangkan. Bisa saja guru mengajar di lebih dari tiga kelas dalam ruangan terpisah atau mungkin saja dalam satu ruangan. Pola
106
yang dikembangkan ini disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan sekolah.
2. Media Audio Untuk Pembelajaran. Media (medium) diartikan sebagai perantara atau pengantar. Sedang media
Jurnal PGSD FIP UNJ Vol. II No. 1 Januari 2010
pembelajaran berarti wahana penyalur pesan atau informasi belajar dari komunikator (guru) kepada komunikan (siswa). Rudy Bretz (Yusufhadi Miarso, 1984), mengklafikasi ciri utama media pembelajaran menjadi tiga unsur pokok, yaitu suara (audio), visual dan gerak. Media audio bersifat auditif (suara). Unsur suara ini memiliki komponen bahasa, musik dan sound effect yang dapat dikombinasikan untuk menguatkan isi pesan. Jenis media yang dapat dikelompokkan dalam media audio, yaitu radio, kaset audio (pita magnetik dan piringan hitam), dan laboratorium bahasa. Penemuan teknologi audio sekitar pertengahan abad 20, media audio digunakan untuk keperluan pembelajaran. Menurut Ronald H Anderson (1994), media audio merupakan bahan ajar yang ekonomis, menyenangkan dan mudah disiapkan untuk digunakan siswa. Kelemahan media ini adalah, cenderung menurun kualitas suara dengan pemakaian yang berulang-ulang, perlu ruang kedap suara dan peralatan editing untuk mempersiapkannya, dan jalannya program tidak dapat dikontrol pemakai. (Raharjo, 1984). Kelebihan dan kelemahan ini perlu diketahui guru dalam menggunakan media secara optimal. Dalam proses pembelajaran, media audio dapat dimanfaatkan dengan berbagai cara, yaitu digunakan tunggal (audio saja), dengan bahan cetak, dengan film bingkai atau gambar diam lainnya, (Ronald H Anderson,1994). Masing-masing kegunaan dirancang sejak tahap perencanaan media. Gene L Wilkesen (1980) menyatakan bahwa media audio dapat digunakan untuk keperluan pembelajaran. Pembelajaran bahasa pengucapan dan intonasi hasilnya lebih baik dibandingkan dengan yang tidak menggunakan media ini. Media ini tidak cocok untuk aspek kognitif, tetapi cocok untuk aspek afektif dan psikomotor. Temuan Pustekom Depdiknas dalam mengembangkan media audio untuk sekolah dasar menunjukkan bahwa media ini dapat membentu guru dalam proses pembelajaran serta dapat meningkatkan motivasi dan minat belajar siswa (Depdiknas, 1998). Dengan demikian media audio mempunyai sumbangan positip bagi guru dan siswa dalam proses pembelajaran juga pada sekolah-sekolah yang kekurangan guru.
Jurnal PGSD FIP UNJ Vol II No.1 Januari 2010
3. Pelatihan Pemanfaatan/Pengembangan Media Pembelajaran di Riau. Hasil temuan Pustekom Depdiknas, bahwa media audio memberi sumbangan positip pada proses pembelajaran. Balai Teknologi Pendidikan Propinsi Riau bekerja sama dengan Pustekom Depdiknas mengadakan Pelatihan Pemanfaatan/Pengembangan Media Pembelajaran, pada guru SD/SLTP/SMU/SMK tingkat Kabupaten/Kota Madya se Propinsi Riau. Pelatihan dilakukan dalam tiga gelombang di Hotel Bumi Asih Pekanbaru. Gelombang I dilakukan tanggal 12 – 16 September 2005, gelombang II dilakukan tanggal 19 – 23 September 2005, dan gelombang III dilakukan tanggal 26 - 29 September 2005, Pada pelatihan ini para peserta diharapkan dapat membuat media pembelajaran, mempunyai strategi pendaya gunaan media yang dibuatnya serta pengenalan media komputer untuk proses pembelajaran. PENUTUP Pembalajaran Kelas Rangkap (PKR), adalah suatu bentuk model pembelajaran yang mensyaratkan seorang guru mengajar dalam satu ruangan kelas atau lebih dalam waktu yang sama dan menghadapi dua atau lebih tingkat kelas yang berbeda. Siswa dibimbing di kelas masing-masing dengan menggunakan media dan metode sesuai dengan kelasnya. PKR selain diterapkan di negara-negara berkembang juga diterapkan di negara – negara maju, seperti Australia, Belanda bahkan Amerika Serikat. Media Pembelajaran adalah wahana penyalur pesan bahan ajar dari guru kepada siswa. Klasifikasi ciri media pembelajaran ada tiga unsur pokok yaitu suara (audio), visual, dan gerak. Temuan Pustekom Depdiknas bahwa media audio memberi sumbangan positip dalam proses pembelajaran pada aspek afektif dan psikomotor untuk mata pelajaran bahasa. Kesimpulan bahwa media audio dapat dipergunakan dalam model Pembelajaran Kelas Rangkap, dan akan efisien bagi guru serta memberi sumbangan positip terhadap keberhasilan belajar siswa pada aspek afektif dan psikomotor.
107
DAFTAR PUSTAKA
[email protected], materi dan media pembelajaran di UNJ. (Januari 2006, online). M Anwas Oos, Pegembangan Model Pembelajaran Kelas Rangkap Berbantuan Media Audio di Sekolah Dasar, www. DEPDIKNAS.GO.ID, (22 Januari 2006, online). Sri Ambar Arum, Wahyu., Pendaya Gunaan Sarana Pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP), 2005. Undang-Undang SISDIKNAS 2003, (UU RI no. 20 TH 2003). Jakarta: Sinar Grafika. www.edukasi.net, pelatihan pemanfaatan/pengembangan media pembelajaran di riau, (22 Januari 2006, online).
108
Jurnal PGSD FIP UNJ Vol. II No. 1 Januari 2010