PEMBELAJARAN HOLISTIK BERBASIS KEARIFAN LOKAL PADA ANAK USIA DINI Devi Nawangsasi
Abstrak
Hampir keseluruhan waktu belajar anak dilakukan melalui “kegiatan akademik”. Guru mengajar dengan menjelaskan, anak belajar melalui mendengarkan dan mengerjakan tugas yang didominasi lembar atau buku kerja anak. Anak menulis angka dan huruf/kata, tanpa membangun konteks belajar terlebih dahulu, sehingga dalam situasi ini, aspek kognitif dan intelektual memperoleh stimulasi terbesar, sedang aspek lainnya seperti emosi, sosial dan seni hampir diabaikan. Secara psikhologis seorang anak berkembang secara holistik atau menyeluruh, artinya terdapat kaitan antara aspek perkembangan satu dengan aspek perkembangan yang lain, aspek perkembangan yang satu mempengaruhi dan dipengaruhi oleh aspek perkembangan lainnya. Setiap aspek perkembangan saling tergantung dan tidak dapat berdiri sendiri. Oleh sebab itu karakteristik perkembangan tersebut berdampak pada pola pembinaan terhadap anak. Pendidik harus mampu mengorganisasikan kurikulum maupun kegiatan pembelajaran secara tepat melalui model pembelajaran holistik berbasis kearifan lokal sehingga hasil yang diharapkan dapat tercapai secara optimal. Kata kunci: Pembelajaran holistik, kearifan lokal
A. PENDAHULUAN Anak usia dini berada dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan baik fisik maupun mental yang paling pesat. Pertumbuhan dan perkembangan telah dimulai sejak prenatal, yaitu sejak dalam kandungan. Pembentukan sel syaraf otak, sebagai modal pembentukan kecerdasan, terjadi saat anak dalam kandungan. Setelah lahir tidak terjadi lagi pembentukan sel syaraf otak, tetapi hubungan antar sel syaraf otak (sinap) terus berkembang. Begitu pentingnya usia dini, Clark dalam Sujiono (2010:49) mengemukakan bahwa ketika dilahirkan, otak seorang anak manusia telah membawa potensi yang terdapat di dalam 100-200 milyar sel neuron yang tersimpan di otaknya. Setiap sel neuron tersebut siap ditumbuhkembangkan untuk memproses beberapa trilyun informasi. Selama masa perkembangannya otak terus mengalami perubahanperubahan sesuai dengan stimulasi yang diterima melalui seluruh panca indera yang akan mempengaruhi tingkat kecerdasan, kepribadian dan kualitas hidup seorang anak. Selanjutnya 1
Adree dalam Jalal (2005:34) mengemukakan bahwa pada hakekatnya otaklah yang menentukan perilaku, otaklah yang menentukan dan otak yang menyimpan ingatan. Oleh sebab itu begitu pentingnya usia dini bagi perkembangan anak karena pada masa inilah merupakan masa keemasan (golden age) yang sangat menentukan bagi perkembangan selanjutnya, mengingat pengalaman anak diwaktu kecil berpengaruh sangat besar dan berdampak bagi perkembangan anak kedepan. Atas dasar hal tersebut maka perlu adanya dukungan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan potensi yang dimiliki anak untuk berkembang. Namun demikian, Yus (2010: i) mengemukakan bahwa persepsi tentang pentingnya masa keemasan (golden age), yaitu 80% kapasitas perkembangan dicapai pada usia dini (lahir sampai delapan tahun) dan selebihnya 20% diperoleh setelah usia delapan tahun belum tepat dan benar. Akibatnya banyak orang tua dan guru berlomba untuk memberikan pengalaman belajar melalui “kegiatan atau pembelajaran akademik”. Hampir keseluruhan waktu belajar anak dilakukan melalui “kegiatan akademik”. Guru mengajar dengan menjelaskan, anak belajar melalui mendengarkan dan mengerjakan tugas yang didominasi lembar atau buku kerja anak. Anak menulis angka dan huruf/kata, tanpa membangun konteks belajar terlebih dahulu, sehingga dalam situasi ini, aspek kognitif dan intelektual memperoleh stimulasi terbesar, sedang aspek lainnya seperti emosi, sosial dan seni hampir diabaikan. Anak “dipaksa” belajar yang tidak sesuai dengan karakteristik anak yang berkembang secara holistik atau menyeluruh sehingga anak akan menghayati pengalaman belajarnya sebagai satu kesatuan yang utuh. Aisyah (2008: 2.1) mengemukakan bahwa secara psikhologis seorang anak berkembang secara holistik atau menyeluruh, artinya terdapat kaitan antara aspek perkembangan satu dengan aspek perkembangan yang lain, aspek perkembangan yang satu mempengaruhi dan dipengaruhi oleh aspek perkembangan lainnya. Setiap aspek perkembangan saling tergantung dan tidak dapat berdiri sendiri. Oleh sebab itu karakteristik perkembangan tersebut
berdampak
pada
pola
pembinaan
terhadap
anak.
Pendidik
harus
mampu
mengorganisasikan kurikulum maupun kegiatan pembelajaran secara tepat melalui model pembelajaran holistik sehingga hasil yang diharapkan dapat tercapai secara optimal.
2
Pembelajaran yang ada masih terkotak-kotak, lebih bersifat akademik, dimana anak-anak lebih banyak duduk diam memperhatikan guru. Anak-anak jarang diberi kesempatan untuk bereksplorasi dan melakukan sendiri apa yang mereka minati. Peran guru cenderung sebagai pengajar. Guru lebih banyak melakukan aktivitas dan menjelaskan pembelajaran, sedangkan anak-anak lebih banyak melihat dan mendengar (secara mental mereka pasif). Akibatnya, proses pendidikan bersifat tidak terstruktur terhadap perbedaan individual anak dengan hanya menekankan kepada kemampuan akademik semata seperti membaca, menulis, dan berhitung yang dilakukan tanpa melalui aktivitas bermain. Kegiatan pembelajaran yang diberikan hanya mengacu pada buku-buku bacaan yang tersedia tanpa mengkaitkan dengan lingkungan sekitar anak, apalagi budaya lokal yang ada belum terakomodasi sepenuhnya dalam pembelajaran, sehingga anak-anak lebih mengenal nyanyian atau hal-hal lain yang berasal dari budaya luar, akibatnya budaya lokal itu sendiri yang memiliki nilai kearifan lokal kedaerahan semakin terpinggirkan. B. Pendidikan Holistik Pendidikan merupakan proses sistematis untuk meningkatkan martabat manusia secara holistik, yang memungkinkan ketiga dimensi kemanusiaan paling elementer di atas dapat berkembang secara optimal. Dengan demikian, pendidikan seyogyanya menjadi wahana strategis bagi upaya mengembangkan segenap potensi individu, sehingga cita-cita membangun manusia Indonesia seutuhnya dapat tercapai (Depdiknas, 2005). Jeremy Henzell-Thomas diacu dalam Latifah pendidikan holistik merupakan suatu upaya membangun secara utuh dan seimbang pada setiap murid dalam seluruh aspek pembelajaran, yang mencakup spiritual, moral, imajinatif, intelektual, budaya, estetika, emosi dan fisik yang mengarahkan seluruh aspek-aspek tersebut ke arah pencapaian sebuah kesadaran tentang hubungannya dengan Tuhan yang merupakan tujuan akhir dari semua kehidupan di dunia (Latifah, 2008: 78). Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata holistik mengandung makna berhubungan dengan sistem keseluruhan dengan suatu kesatuan lebih daripadasekedar kumpulan bagian (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005: 406). Artinya, setiap anak sebenarnya memiliki sesuatu 3
yang lebih daripada yang di ketahuinya. Setiap kecerdasan dan kemampuan seorang anak jauh lebih kompleks daripada nilai hasil tesnya. Pendidikan holistik adalah pendidikan yang bertujuan memberi kebebasan anak didik untuk mengembangkan diri tidak saja secara intelektual, tapi juga memfasilitasi perkembangan jiwa dan raga secara keseluruhan sehingga tercipta manusia Indonesia yang berkarakter kuat yang mampu mengangkat harkat bangsa (Akhmad Sudrajat, 2008, Pendidikan Holistik , http//www.Let’s Talk Education/26/01/08/htm). Pendidikan holistik merupakan suatu filsafat pendidikan yang berangkat dari pemikiran bahwa pada dasarnya seorang individu dapat menemukan identitas, makna dan tujuan hidup melalui hubungannya dengan masyarakat, lingkungan alam, dan nilai-nilai spiritual. Tujuan pendidikan holistik adalah membantu mengembangkan potensi individu dalam suasana pembelajaran yang lebih menyenangkan dan menggairahkan, demokratis dan humanis melalui pengalaman dalam berinteraksi dengan lingkungannya (Akhmad Sudrajat, Pendidikan Holistik , http//www.Let’s Talk Education/26/01/08/htm). Pendidikan holistik memperhatikan kebutuhan dan potensi yang dimiliki peserta didik, baik dalam aspek intelektual, emosional, emosional, fisik, artistik, kreatif, dan spritual. Proses pembelajaran menjadi tanggung jawab personal sekaligus juga menjadi tanggung jawab kolektif, oleh karena itu strategi pembelajaran lebih diarahkan pada standar proses (Sucahyo, 2004: 38). Sekolah hendaknya menjadi tempat peserta didik dan guru bekerja guna mencapai tujuan yang saling menguntungkan. Komunikasi yang terbuka dan jujur sangat penting, perbedaan individu dihargai dan kerjasama lebih utama dari pada kompetisi (Sucahyo, 2004: 39). Pendidikan yang mampu mendukung pembangunan di masa mendatang adalah pendidikan yang mampu mengembangkan potensi peserta didik, sehingga yang bersangkutan mampu menghadapi dan memecahkan problema kehidupan yang dihadapinya. Pendidikan harus menyentuh potensi nurani maupun potensi kompetensi peserta didik. Konsep pendidikan tersebut terasa semakin penting ketika seseorang harus memasuki kehidupan di masyarakat dan dunia kerja, karena yang bersangkutan harus mampu menerapkan apa yang dipelajari di sekolah untuk
4
menghadapi problema yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari saat ini maupun yang akan dating (Santrock, 2007: 46). Pendidikan holistik merupakan suatu respon yang bijaksana atas ekologi, budaya, dan tantangan moral pada abad ini, yang bertujuan untuk mendorong anak usia dini sebagai generasi penerus untuk dapat hidup dengan bijaksana dan bertanggung jawab dalam suatu masyarakat yang saling pengertian dan secara berkelanjutan serta ikut berperan dalam pembangunan masyarakat (Megawangi, 2005: 30). Untuk mencapai tujuan pendidikan holistik, maka kurikulum yang dirancang juga harus diarahkan untuk mencapai tujuan pembentukan manusia holistik. Termasuk di dalamnya membentuk anak menjadi pembelajar sejati, yang senantiasa berpikir holistik, bahwa segala sesuatu adalah saling terkait atau berhubungan. Beberapa pendekatan pembelajaran yang dianggap efektif untuk menjadikan manusia pembelajar sejati diantaranya adalah pendekatan siswa belajar aktif, pendekatan yang merangsang daya minat anak atau rasa keingintahuan anak, pendekatan belajar bersama dalam kelompok, kurikulum terintegrasi, dan lain-lain (Megawangi, 2005:36). Tujuan pendidikan holistik adalah membantu mengembangkan potensi individu dalam suasana pembelajaran yang lebih menyenangkan dan menggairahkan, demokratis dan humanis melalui pengalaman dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Melalui pendidikan holistik, peserta didik diharapkan dapat menjadi dirinya sendiri (learning to be). Dalam arti dapat memperoleh kebebasan psikologis, mengambil keputusan yang baik, belajar melalui cara yang sesuai dengan dirinya, memperoleh kecakapan sosial, serta dapat mengembangkan karakter dan emosionalnya. Pendidikan holistik memperhatikan kebutuhan dan potensi yang dimiliki peserta didik, baik dalam aspek intelektual, emosional, emosional, fisik, artistik, kreatif, dan spiritual (http://www.ratna megawangi. pendidikan holistik berbasis karakter/pdf). Jika merujuk pada pemikiran Abraham Maslow dalam Goble (Goble, 2006: 47), maka pendidikan harus dapat mengantarkan peserta didik untuk memperoleh aktualisasi diri (selfactualization) yang ditandai dengan adanya: (1) kesadaran; (2) kejujuran; (3) kebebasan atau kemandirian; dan (4) kepercayaan.
5
Winkel (2004: 28) mengutarakan bahwa Pendidikan konvensional selain berfokus pada guru, dapat pula dilihat dari sikap orangtua yang lebih mementingkan perkembangan kognitif atau dapat dikatakan score oriented. Bentuk yang paling nyata dan dapat kita lihat adalah dengan adanya konsep ranking di sekolah. Orangtua akan lebih menghargai dan menyanjung anak jika sang anak mendapatkan ranking 10 teratas. Jika sang anak tidak termasuk dalam ranking tersebut sering kali anak mendapatkan label sebagai anak bodoh dan lebih parah lagi membandingkan anak dengan teman yang mendapatkan ranking favorit. Orangtua sering kali tidak sadar bahwa dengan sikap seperti itu secara tidak langsung karakter
anak
akan
terkikis
secara
perlahan-lahan
bahkan
mengalami
kehancuran.
Membandingkan dengan anak lain akan berakibat sikap minder bahkan merasa dirinya tidak berguna. Sistem ranking yang sampai sekarang masih diterapkan secara tidak langsung akan memebuat anak hanya berfokus mendapatkan nilai terbaik atau rangking tertinggi meskipun itu menghalalkan berbagai cara (mencontek dan sebagainya). Padahal dalam perjalanan hidup masih banyak hal yang dapat dikembangkan misalnya sikap jujur, bertanggung jawab atau memiliki etos kerja yang tinggi (Wirawan, 2004: 42). Sejarah bangsa sampai sekarang ini masih mencacat sering kali perlakuan pendidikan pada anak menggunakan pendidikan yang semacam ini. Sehingga yang dihasilkan adalah sumber daya manusia yang tidak memiliki sikap jujur, bertanggung jawab, dapat bekerja sama dalam tim, dan semangat kerja keras yang tinggi. Sumber daya seperti inilah yang membuat bangsa Indonesia yang tidak dapat malakukan persaiangan di era globalisasi (Borba, 2008: 34). Salah satu sebagai solusi adalah perlu adanya perubahan pendidikan konvensional menjadi pendidikan bersifat holistik. Nuraini (2005: 32) mengatakan pendidikan holistik adalah pembelajaran yang menggunakan konsep fokus tidak berada pada guru tetapi guru hanya sebagai pendamping belajar. Pendidikan holistik juga tidak berpusat bahwa yang perlu dikembangkan bukan hanya kognitif tetapi perkembangan harus secara menyeluruh baik secara kognitif, sosial, emosi, dan spiritual.
6
Dalam pendidikan holistik, peran dan otoritas guru untuk memimpin dan mengontrol kegiatan pembelajaran hanya sedikit dan guru lebih banyak berperan sebagai sahabat, mentor, dan fasilitator (Latifah, 2008: 33). Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan holistik berbasis kearifan lokal adalah pendidikan yang mengupayakan membangun secara utuh dan seimbang pada setiap murid dalam seluruh aspek pembelajaran, yang mencakup spiritual, moral, imajinatif, intelektual, budaya, estetika, emosi dan fisik yang mengarahkan seluruh aspek-aspek tersebut ke arah pencapaian sebuah kesadaran tentang hubungannya dengan Tuhan yang merupakan tujuan akhir dari semua kehidupan didunia. C. Kearifan Lokal Pengertian Kearifan Lokal dilihat dari kamus Inggris Indonesia, terdiri dari 2 kata yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Local berarti setempat dan wisdom sama dengan kebijaksanaan. Dengan kata lain maka local wisdom dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai pandangan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Dalam disiplin antropologi dikenal istilah local genius. Local genius ini merupakan istilah yang mula pertama dikenalkan oleh Quaritch Wales. Para antropolog membahas secara panjang lebar pengertian local genius ini (Ayatrohaedi, 1986). Antara lain Haryati Soebadio mengatakan bahwa local genius adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986: 18-19). Sementara Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986: 40-41) mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Secara filosofis, kearifan lokal dapat diartikan sebagai sistem pengetahuan masyarakat lokal/pribumi (indigenous knowledge systems) yang bersifat empirik dan pragmatis. Bersifat empirik karena hasil olahan masyarakat secara lokal berangkat dari fakta-fakta yang terjadi di sekeliling kehidupan mereka. Bertujuan pragmatis karena seluruh konsep yang terbangun
7
sebagai hasil olah pikir dalam sistem pengetahuan itu bertujuan untuk pemecahan masalah sehari-hari (daily problem solving). Kearifan lokal merupakan sesuatu yang berkaitan secara spesifik dengan budaya tertentu (budaya lokal) dan mencerminkan cara hidup suatu masyarakat tertentu (masyarakat lokal). Dengan kata lain, kearifan lokal bersemayam pada budaya lokal (local culture) (Ayatrohaedi, 1986: 23). Dari definisi-definisi itu, kita dapat memahami bahwa kearifan lokal adalah pengetahuan yang dikembangkan oleh para leluhur dalam mensiasati lingkungan hidup sekitar mereka, menjadikan pengetahuan itu sebagai bagian dari budaya dan memperkenalkan serta meneruskan itu dari generasi ke generasi. Beberapa bentuk pengetahuan tradisional itu muncul lewat ceritacerita, legenda-legenda, nyanyian-nyanyian, ritual-ritual, dan juga aturan atau hukum setempat. Jenis-jenis kearifan lokal, antara lain; (1) Tata kelola, berkaitan dengan kemasyarakatan yang mengatur kelompok sosial (kades), (2) Nilai-nilai adat, tata nilai yang dikembangkan masyarakat tradisional yang mengatur etika, (3) Tata cara dan prosedur, bercocok tanam sesuai dengan waktunya untuk melestarikan alam, (4) Pemilihan tempat dan ruang (Ayatrohaedi, 1986: 29).
Fungsi kearifan lokal, yaitu; (1) Pelestarian alam, seperti bercocok tanam, (2)
Pengembangan pengetahuan, (3) Mengembangkan SDM. D. Pendekatan Pembelajaran Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu. Dilihat dari pendekatannya, pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan, yaitu: (1) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach) dan (2) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered approach) (Syamsudin, 2003: 5). Dari pendekatan pembelajaran yang telah ditetapkan selanjutnya diturunkan ke dalam strategi pembelajaran. Newman dan Logan mengemukakan empat unsur strategi dari setiap usaha, yaitu: (1) Mengidentifikasi dan menetapkan spesifikasi dan kualifikasi hasil (out put) dan sasaran (target) yang harus dicapai, dengan mempertimbangkan aspirasi dan selera masyarakat yang 8
memerlukannya. (2) Mempertimbangkan dan memilih jalan pendekatan utama (basic way) yang paling efektif untuk mencapai sasaran. (3) Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah (steps) yang akan dtempuh sejak titik awal sampai dengan sasaran. (4) Mempertimbangkan dan menetapkan tolok ukur (criteria) dan patokan ukuran (standard) untuk mengukur dan menilai taraf keberhasilan (achievement) usaha. Jika kita terapkan dalam konteks pembelajaran, keempat unsur tersebut adalah: (1) Menetapkan spesifikasi dan kualifikasi tujuan pembelajaran yakni perubahan profil perilaku dan pribadi peserta didik. (2) Mempertimbangkan dan memilih sistem pendekatan pembelajaran yang dipandang paling efektif. (3) Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah atau prosedur, metode dan teknik pembelajaran. (4) Menetapkan norma-norma dan batas minimum ukuran keberhasilan atau kriteria dan ukuran baku keberhasilan (Sabri, 2007: 2-3). Richard Anderson menjelaskan dua jenis pendekatan pembelajaran, yaitu: (1) Pendekatan yang berorientasi kepada guru atau disebut teacher centered. Pendekatan ini disebut tipe otokratis. (2) Pendekatan yang berorientasi kepada siswa atau student centered. Pendekatan ini disebut tipe demokratis (Sabri, 2007: 8). Sedangkan Bruced Joyce mengemukakan pendekatan pembelajaran yaitu: (1) pendekatan model informasi atau ekspositeri. Pendekatan ini bertolak dari pandangan, bahwa tingkah laku kelas dan penyebaran pengetahuan dikontrol dan ditentukan oleh guru/pengajar. Hakikat mengajar menurut oandangan ini adalah menyampaikan ilmu pengetahuan kepada siswa. (2) Pendekatan Inquiry / Discovery. Pendekatan ini menganggap bahwa siswa sebagai subjek dan objek dalam belajar, mempunyai kemampuan-kemampuan dasar untuk berkembang secara optimal sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Proses belajar dipandang sebagai stimulus yang dapat menantang siswa untuk melakukan kegiatan belajar. (3) Pendekatan Interaksi sosial. Pendekatan ini menekankan terbentuknya hubungan antara individu/siswa yang satu dengan yang lainnya sehingga dalam konteks yang lebih luas terjadi hubungan sosial individu dengan masyarakat. (4) Pendekatan Tingkah laku. Pendekatan ini menekankan pada teori tingkah laku individi pada dasarnya dikontrol oleh stimulus dan respon yang diberikan individu (Sabri, 2007: 10-14). Berdasarkan pendapat ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendekatan adalah suatu sudut pandang terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, 9
dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoritis tertentu. Tinggi rendahnya kadar kegiatan belajar banyak dipengaruhi oleh pendekatan mengajar yang digunakan oleh guru. E. Pembelajaran Terpadu Pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang
bersifat sistematis, artinya bahwa
pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang terdiri dari berbagai komponen seperti: tujuan pembelajaran, isi dan materi pembelajaran, pengalaman pembelajaran yang mencakup metode pembelajaran, media, alokasi waktu dan tempat pembelajaran, serta evaluasi hasil pembelajaran, perlu dirancang secara sistematis dan sistemik, agar segala usaha pembelajaran dapat dilakukan secara efektif dan efisien (Aisyah, 2008: 25). Pembelajaran terpadu merupakan salah satu pendekatan yang digunakan di dalam pembelajaran yang menekankan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran secara holistik, berdasarkan desain kurikulum terpadu yang direncanakan. Oleh sebab itu, pembelajaran terpadu tidak dapat melepaskan diri dari kegiatan pembelajaran yang sistematik. F. Kesimpulan Implementasi model pembelajaran holistik berbasis kearifan lokal, akan membantu mengembangkan semua potensi dalam diri anak sejak dini, bukan saja secara akademik tetapi juga memiliki sikap dan perilaku yang selaras dengan nilai-nilai atau aturan yang berlaku di daerahnya, dapat memahami kearifan lokal dan keunggulan daerah Lampung sehingga anak dapat menjaga kelestarian potensi daerahnya dan dapat memanfaatkan potensi daerahnya sendiri seoptimal mungkin sehingga dapat bermanfaat bagi dirinya, keluarga serta masyarakat Lampung, dalam rangka menunjang pembangunan nasional. Melalui model pembelajaran holistik berbasis kearifan lokal diharapkan dapat diintegrasikan dengan sistem sosial yang ada di masyarakat dengan menyertakan segenap komponen masyarakat sesuai tanggung jawab dan kewenangannya, sehingga terjadi sinergi yang positif antara pendidikan yang dilakukan di berbagai unit pendidikan yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat.
10
DAFTAR PUSTAKA Aisyah, Siti, 2008, Pembelajaran Terpadu, Jakarta, Universitas Terbuka Borba, Michele. 2008. Membangun Kecerdasan Moral. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Depdiknas. 2005. Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005 – 2009. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional. Fogarty, Robin. 1991. How To Integrate The Curricula, New York: MacMillan Publisher Co, Inc Hastuti, Dwi. 2005. Pendidikan Holistik Berbasis Karakter di Kelompok Prasekolah Semai Benih Bangsa dan Pengaruhnya pada Pembentukan Anak Sehat, cerdas, dan Berkarakter, Disertasi Doktor, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor Jalal, Fasli, 2005, Peranan Gizi, Kesehatan dan Pendidikan dalam Melejitkan Potensi Kecerdasan Anak, Jakarta, Direkorat PAUD, Dirjen PLS, Depdiknas. Jamaris, Martini. 2004. Perkembangan dan Pengembangan Anak Usia Taman Kanak-kanak, Jakarta, PPs UNJ, Latifah, M. 2008. Pendidikan Holistik: Bahan Kuliah, Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen. Institut Pertanian Bogor Megawangi, R., Melly L., Wahyu F.D. 2005. Pendidikan Holistik. Cimanggis: Indonesia Heritage Foundation Nurani, Yuliani. 2005. Menu Pembelajaran Anak Usia Dini, Jakarta, Yayasan Citra Pendidikan Indonesia Santrock, John W. 2007. Psikologi Pendidikan Edisi Kedua, Jakarta, Kencana Sujiono, Yuliani Nuraini dan Sujiono, Bambang (2010), Bermain Kreatif Berbasis Kecerdasan Jamak, Jakarta, PT. Indek Winkel, W.S. 2004. Psikologi Pengajaran, Yogyakarta, Media Abadi Wirawan, Sarlito. 2002. Psikologi Sosial Individu dan Teori-teori Psikologi Sosial, Jakarta, Balai Pustaka Yus, Anita, 2011, Model Pendidikan Anak Usia Dini, Jakarta, Kencana
11