Prosiding Seminar Nasional Psikologi Indigenous UMP 2015 ISBN. 978-602-14930-4-5 Purwokerto, 6 Juni 2015 PEMBENTUKAN KARAKTER PADA ANAK USIA DINI BERBASIS KEARIFAN LOKAL Desti Pujiati1, Tatik Ariyati2 Program Studi Pendidikan Guru PAUD Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Purwokerto 1 Email :
[email protected]
1,2
ABSTRAK Artikel ini bertujuan untuk mengupas tentang pembentukan karakter pada anak usia dini. Kupasan dilakukan dengan mengemukakan pentingnya pembentukan karakter yang pelaksanaannya melibatkan lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masrakat masyarakat secara sinergis dengan masing-masing fungsinya. Terdapat dugaan bahwa kerjasama antara keluarga, sekolah dan masyarakat dapat menjadi dasar dalam pembentukan karakter anak usia dini. Kupasan tentang pembentukan karakter anak usia dini ini dilakukan dengan mengemukakan apa itu karakter dari para ahli, pentingnya pembentukan karakter manusia secara umum dan khusus pada anak usia dini. Secara berurutan dikemukakan juga tentang apa saja prinsip-prinsp pendidikan karakter, metode pendidikan karakter, lingkungan sebagai pembentuk karakter, serta pembentukan karakter berbasis kearifan lokal Banyumas. Simpulan dari kupasan ini adalah: (1) pembentukan karakter merupakan hal yang sangat penting bagi anak/peserta didik, sebab anak tidak cukup hanya cerdas nalarnya, tetapi juga harus cerdas moralnya, (2) pembentukan karakter lebih berhasil apabila dilakukan sejak usia dini, (3) pembentukan karakter melibatkan tiga lingkungan yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat, (4) pembentukan karakter anak usia dini di Banyumas dilakukan dengan berbasis kearifan lokal budaya Banyumasan.
Kata Kunci: pembentukan karakter, anak usia dini, kearifan lokal
PENDAHULUAN Anak usia dini adalah individu yang sedang menjalani suatu proses perkembangan dengan pesat dan fundamental bagi kehidupan selanjutnya. Menurut Berk (dalam Sujiono, 2012), pada masa ini proses pertumbuhan dan perkembangan dalam berbagai aspek sedang mengalami masa yang cepat dalam rentang perkembangan hidupnya, termasuk pembentukan karakternya. Pembentukan karakter merupakan hal yang sangat penting bagi anak/peserta didik, sebab anak tidak cukup hanya cerdas nalarnya, tetapi juga harus cerdas moralnya (Syarbini, 2012) mengatakan bahwa mencetak anak yang berprestasi secara nalar memang tidak mudah, tetapi mencetak anak bermoral jauh lebih sulit dilakukan, apalagi dengan perkembangan tehnologi canggih yang semakin cepat dan pesat, yang tentunya akan berdampak terhadap perkembangannya.
34
Prosiding Seminar Nasional Psikologi Indigenous UMP 2015 ISBN. 978-602-14930-4-5 Purwokerto, 6 Juni 2015 Karakter adalah ciri khusus dari struktur dasar kepribadian seseorang Sunarto (dalam Syarbini, 2012), mengandung arti bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak (Tridhonanto, 2014). Lebih lengkap, karakter adalah sifat yang mantap, stabil dan khusus yang melekat dalam pribadi seseorang yang membuatnya bersikap dan bertindak secara spontan, tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan dan tanpa memerlukan pemikiran terlebih dahulu. Dari konsep karakter itu, muncul pemikiran, bagaimanakah pembentukan karakter anak usia dini itu? Dapat diduga bahwa praktek pendidikan dapat digunakan sebagai dasar dalam pembentukan karakter, yang kemudian dikenal dengan pendidikan karakter Syarbini (2012). Praktek pendidikan karakter bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, tetapi lebih menanamkan kebiasaan (habituation) tentang mana yang baik, sehingga mana yang benar dan salah (aspek kognitif), mampu merasakan nilai yang baik (afektif), dan bisa melakukannya (psikomotorik). Dengan kata lain, pendidikan karakter melibatkan bukan saja aspek pengetahuan yang baik (moral knowing), akan tetapi juga merasakan dengan baik (moral feeling), dan perilaku yang baik (moral action). Pendidikan karakter menekankan pada habit atau kebiasaan yang terus menerus dipraktikkan dan dilakukan. Senada dengan itu, Megawangi (2004) mengemukakan, pendidikan karakter adalah sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan konstribusi yang positif kepada lingkungannya. Pendidikan karakter pada anak usia dini merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Pendidikan karakter pada anak usia dini pada dasarnya meliputi seluruh upaya dan tindakan yang dilakukan oleh pendidik dan orang tua dalam proses perawatan, pengasuhan dan pendidikan kepada anak dengan menciptakan aura dan lingkungan. Anak diharapkan dapat mengeksplorasi pengalaman yang memberikan kesempatan kepadanya untuk mengetahui dan memahami pengalaman belajar yang diperolehnya dari lingkungan, melalui cara mengamati, meniru dan bereksperimen yang berlangsung secara berulang-ulang dan melibatkan seluruh potensi dan kecerdasan anak. Oleh karena anak merupakan pribadi yang unik dan melewati berbagai tahap perkembangan kepribadian, maka lingkungan yang diupayakan oleh pendidik dan orang tua yang dapat memberikan kesempatan pada anak untuk mengeksplorasikan berbagai pengalaman dengan berbagai suasana, sebaiknya yang memperhatikan keunikan anak-anak dan disesuaikan dengan tahap perkembangannya. Kemendiknas (Gunawan,2014) merekomendasikan 11 prinsip untuk mewujudkan pendidikan karakter yang efektif, meliputi: (1) mempromosikan nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter, (2) mengidentifikasi karakter secara komprehensif mencakup pemikiran, perasaan, dan perilaku, (3) menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif, dan efektif untuk membangun karakter, (4) menciptakan komunitas yang memiliki kepedulian, (5) memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukan perilaku yang baik, (6) memiliki cakupan terhadap kurikulum yang bermakna dan menantang yang menghargai semua peserta didik/anak, membangun karakter mereka, dan membantu mereka untuk sukses, (7) mengusahakan tumbuhnya motivasi diri pada peserta didik/anak, (8) memfungsikan seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral yang berbagi tanggung jawab untuk pendidikan karakter, (9) adanya pembagian kepemimpinan moral dan dukungan luas dalam membangun inisiatif pendidikan karakter, (10) memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam usaha membangun karakter, (11) mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru-guru karakter, dan manifestasi karakter positif dalam kehidupan peserta didik/anak.
35
Prosiding Seminar Nasional Psikologi Indigenous UMP 2015 ISBN. 978-602-14930-4-5 Purwokerto, 6 Juni 2015 Metode Pendidikan Karakter 1. Metode Hiwar atau percakapan adalah percakapan silih berganti melalui tanya jawab mengenai satu topik, dan dengan sengaja diarahkan kepada satu tujuan yang dikehendaki. 2. Metode Qishah atau cerita, pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah. Kisah sebagai metode pendukung pelaksanaan pendidikan, memiliki peranan yang sangat penting, sebab dalam kisah-kisah terdapat beberapa alasan yang mendukungnya, yaitu: a. Kisah senantiasa memikat sebab mengundang pembaca atau pendengar untuk mengikuti peristiwanya, dan merenungkan maknanya. b. Kisah dapat menyentuh hati manusia, sebab kisah itu menampilkan tokoh dalam konteks yang menyeluruh sehingga pembaca dapat mendengar, menghayati dan merasakan isi kisah tersebut seolah-olah dia sendiri yang menjadi tokohnya. 3. Metode Amtsal atau perumpamaan. Metode ini mempunyai tujuan pedagogis (An-Nahlawi, 1996) meliputi : a. Mendekatkan makna pada pemahaman b. Merangsang kesan dan pesan yang berkaitan dengan makna tersirat dalam perumpamaan menumbuhkan perasaan ketuhanaan c. Mendidik akal supaya logis. 4. Metode uswah atau keteladanaan. Setiap anak mula-mula mengagumi kedua orang tuanya. Semua tingkah laku orang tua ditiru oleh anak-anaknya. Oleh karena itu Guru atau pendidik harus bisa menjadi anutan anak peserta didiknya 5. Metode Pembiasaan Pembiasaan adalah sesuatu yang sengaja dilakukan secara berulang-ulang agar sesuatu itu dapat menjadi kebiasaan. Oleh karenanya, menurut para pakar, metode ini sangat efektif dalam rangka pembinaan karakter dan kepribadian anak. Orangtua membiasakan anak-anaknya untuk bangun pagi, maka bangun pagi itu akan menjadi kebiasaan. Rasulullah mengajarkan para orangtua” pendidik” mengajarkan sholat kepada anak-anak dalam usia tujuh tahun, suruhlah anak-anak kalian melaksanakan sholat dalam usia tujuh tahun, dan pukullah mereka apabila meninggalkannya ketika mereka berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka” (H.R. Abu Dawud). Lingkungan Pembentuk Karakter Anak 1. Lingkungan Keluarga Keluarga merupakan lingkungan yang pertama dan utama bagi setiap anak. Tentunya dalam hal ini orangtua menjadi orang yang paling bertanggungjawab dalam menumbuhkembangkan kecerdasan beragama pada anak. Para orangtua dibebankan tanggungjawab untuk membimbing potensi keagamaan anak sehingga diharapkan akan terbentuk kesadaran agama (religious consciousness) dan pengalaman agama (religious experience) dalam diri anak-anak secara nyata dan benar. Anak-anak diberi bimbingan sehingga mereka tahu kepada siapa mereka harus tunduk dan bagaimana tata cara sebagai bentuk pernyataan dan sikap tunduk tersebut. Kesadaran beragama ini akan menginspirasi anak untuk membentuk karakternya. 2. Lingkungan Sekolah Lingkungan sekolah merupakan lingkungan kedua bagi anak setelah keluarga. Karena hampir setengah hari anak menghabiskan waktunya bersma teman dan gurunya disekolah. Tentunya segala sesuatu yng ada di sekolah akan menjadi model bagi anak untuk ditiru. Seperti yang diungkapkan Hurlock
36
Prosiding Seminar Nasional Psikologi Indigenous UMP 2015 ISBN. 978-602-14930-4-5 Purwokerto, 6 Juni 2015 (1959) bahwa pengaruh sekolah terhadap perkembangan kepribadian anak sangat besar, karena sekolah merupakan subtisusi dari keluarga dan guruguru subtisusi dari orangtua. Hal ini menggambarkan bahwa guru merupakan orangtua kedua bagi anak-anak. Peran guru di sekolah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi seluruh perkembangannya, termasuk pembentukan karakter. 3. Lingkungan Masyarakat Selain faktor keluarga dan sekolah, lingkungan masyarakat juga turut mempengaruhi perkembangan karakter anak. Lingkungan masyarakat yang dimaksud meliputi lingkungan rumah sekitar anak sebagai tempat bermain, televisi, serta media cetak seperti buku cerita ataupun komik yang paling banyak digemari oleh anak-anak usia dini. Menurut Syamsu (2002) lingkungan masyarakat adalah situasi atau kondisi interaksi sosial dan sosiokultural yang secara potensial berpengaruh terhadap perkembangan karakter anak.
Pembentukan Karakter Berbasis Kearifan Lokal di Kabupaten Banyumas Uraian di atas, memberi makna bahwa pembentukan karakter yang dirumuskan para ahli pendidikan relevan dengan kearifan lokal, yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya bangsa kita. Di Kabupaten Banyumas khususnya penginyongan memiliki kekhasan dalam sikap dan perilaku yang menunjukkan ke daerahan. Sopan santun, kerja keras, gotong royong, jujur, dan tidak terpengaruh dengan budaya lain. Setiap daerah memiliki peninggalan atau warisan budaya yang bahkan menjadi ciri khas dari daerah itu. Demikian juga di Banyumas, memiliki banyak peninggalan atau warisan budaya yang menjadi ciri khas dan keunikan orang dan masyarakat Banyumas. Cerita Raden Kamandaka, pantangan Sabtu Pahing, dan mitos Bawor merupakan cerita-cerita yang hanya ada di Banyumas dan tidak akan dijumpai di daerah lain. Oleh karena itu, maka a nilai-nilai yang terkandung di dalamnya pun hanya berlaku bagi orang Banyumas, meski sebenarnya dapat pula menjadi teladan dan berlaku bagi orang atau masyarakat lain di luar Banyumas. Mempelajari budaya Banyumas melalui warisan budayanya, sebenarnya memberi kesempatan untuk mempelajari kearifan lokal (local wisdom) yang ada. Kearifan lokal bukan sekedar mengetahui nilai-nilai dalam kandungan budaya itu, akan tetapi lebih jauh dari itu adalah menggunakannya untuk memecahkan masalah-masalah kehidupan yang ada pada saat ini maupun yang akan datang. Seringkali dalam mempelajari budaya suatu daerah, kearifan lokal ini diabaikan sehingga yang didapat hanyalah kulitnya saja tanpa isi. Kearifan lokal adalah kebijaksanaan atau pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat. The local wisdom is the community’s wisdom or local genius deriving from the lofty value of cultural tradition in order to manage the community’s social order or social life. Kearifan lokal merupakan nilai budaya lokal yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat secara arif atau bijaksana. The local wisdom is the value of local culture having been applied to wisely manage the community’s social order and social life.
37
Prosiding Seminar Nasional Psikologi Indigenous UMP 2015 ISBN. 978-602-14930-4-5 Purwokerto, 6 Juni 2015
Berdasarkan uraian di atas, kearifan lokal adalah pengetahuan asli (indigineous knowledge) atau kecerdasan lokal (local genius) suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat dalam rangka mencapai kemajuan komunitas baik dalam penciptaan kedamaian maupun peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kearifan lokal itu mungkin berupa pengetahuan lokal, keterampilan lokal, kecerdasan lokal, sumber daya lokal, proses sosial lokal, normaetika lokal, dan adat-istiadat lokal. Di sinilah urgensinya kajian tradisi budaya untuk mendapatkan kearifan lokal sebagai warisan leluhur. Dengan kata lain, kita mengharapkan karakter bangsa kita berasal dari kearifan lokal kita sendiri sebagai nilai leluhur bangsa kita. Atas dasar itu, karakter bangsa yang diharapkan adalah karakter yang berbasis kesejahteraan dan kedamaian. Karakter yang cinta kesejahteraan meliputi karakter yang pekerja keras, disiplin, senang belajar, hidup sehat, cinta budaya, gotong royong, tidak bias gender, peduli lingkungan, sedangkan karakter yang cinta kedamaian meliputi sikap yang berkomitmen, berpikir positif, sopan santun, jujur, setiakawan sosial, suka bersyukur, dan hidup rukun. Meskipun para ahli menyebutkan ada beberapa pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, namun perlu digarisbawahi bahwa nilai-nilai luhur itu harus berasal dari nilai-nilai budaya leluhur kita yang menjadi kearifan lokal dalam komunitas kita. Karakter itu boleh saja bertujuan universal, tetapi berasal lokal; atau berdampak global, namun berawal lokal. Siapakah yang akan membangun karakter itu dalam diri sendiri sehingga menjadi orang yang berkarakter arif atau bijaksana? Jawabannya adalah individu sendiri yang berusaha mengetahuinya, menyukainyanya, dan melakukannya dalam kehidupan sehari-hari apapun kegiatan dan pekerjaaannya. Membangun karakter pada diri sendiri berarti memahami nilai dan kearifan serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu sebaiknya, semua cakupan karakter diajarkan dan diterapkan sejak pendidikkan dini terutama pendidikan informal di rumah.
KESIMPULAN 1. Pembentukan karakter merupakan hal yang sangat penting bagi anak/peserta didik, sebab anak tidak cukup hanya cerdas nalarnya, tetapi juga harus cerdas moralnya. 2. Pembentukan karakter lebih berhasil apabila dilakukan sejak usia dini 3. Pembentukan karakter melibatkan tiga lingkungan yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat 4. Pembentukan karakter anak usia dini di Banyumas dilakukan dengan berbasis kearifan local budaya Banyumasan. DAFTAR PUSTAKA Agustian, A.G. (2005). Rahasia sukses membangun kecerdasan emosi dan spritual. Jakarta: Arga Gunawan, H. (2014). Pendidikan karakter konsep dan implementasi. Bandung: Alfabeta
38
Prosiding Seminar Nasional Psikologi Indigenous UMP 2015 ISBN. 978-602-14930-4-5 Purwokerto, 6 Juni 2015 Koentjaraningrat. (1994). Kebudayaan jawa. Jakarta: Balai Pustaka Megawangi, R. ( 2004). Pendidikan karakter; solusi tepat untuk membangun bangsa. Bogor. Indonesia Heritage Foundation. Syarbini, A. (2012). Buku pintar pendidikan karakter. Jakarta: Prima Pustaka Tridhonanto, A.l. (2014). Menjadikan anak berkarakter. Jakarta: Gramedia. Wibowo, A. (2012). Pendidikan karakter usia dini. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
39