ELABORASI NILAI KEARIFAN LOKALDALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA ANAK USIA DINI
Yulis Jamiah FKIP Universitas Tanjungpura E-mail:
[email protected] ABSTRAK: Hakikatnya, proses pembelajaran yang sesuai dan menarik bagi peserta didik/siswa akan mendorong siswa untuk mengoptimalisasi potensi yang dimilikinya. Namun sebaliknya, jika pendidik/guru yang melaksanakan proses kegiatan pembelajaran bersikap kurang kreatif dan kurang inovatif bisa dibayangkan apa yang terjadi? Para siswa berinteriaksi dalam proses pembelajaran bukan diibaratkan seperti botol kosong, melainkan mereka sudah membawa nilai-nilai budaya yang dibawa dari lingkungan keluarga dan masyarakatnya. Pendidik/guru yang bijaksana harus dapat mengatualisasikan nilai-nilai kearifan lokal mereka dalam proses pembelajaran. Mengelaborasi nilai-nilai kearifan lokal dalam pembelajaran matematika dapat digunakan sebagai media untuk melestarikan potensi daerah. Potensi daerah merupakan potensi sumber daya spesifik yang dimiliki suatu daerah tertentu. Memahami nilai-nilai kearifan lokal dapat dieksplor dari potensi daerah, misalnya melalui hasil karya para lelulur daerah tersebut. Nilai kearifan lokal yang diberdayakan dan dikembangkan sebagai media/bahan pembelajaran matematika dapat menjadi inspirasi dan motivasi bagi belajar siswa. Kata Kunci: Nilai Kearifan Lokal, dan Pembelajaran Matematika
Anak usia dini merupakan sumber daya manusia (selanjutnya disingkat SDM) yang dipersiapkan sebagai penerus masa yang akan datang. SDM ini harus ditopang dengan kepribadian yang baik atau mempunyai jati diri sebagai penerus yang berharkat dan bermartabat. Untuk mewujudkannya diperlukan upaya strategis dan wajib dilakukan melalui pendidikan yang berkenaan dengan pembinaan dan penanaman mengenai ”wawasan budaya” yang bernilai luhur secara ajek, bertahap, dan berkesinambungan (Nursid S. 2005:39). Anak usia dini merupakan SDM yang potensial bagi pembangunan nasional untuk meneruskan cita-cita perjuangan bangsa. Tersedianya SDM seperti itu, yang mampu menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, memerlukan pembinaan secara berke- lanjutan. Pembinaan terhadap mereka tidak saja
secara fisik, tetapi juga mental dan spiritual, serta perlindungan dari segala kemung kinan yang akan membahayakan anak/ generasi muda dan bangsa di masa mendatang. Tahun-tahun awal kehidupan anak merupakan tahap perkembangan berfikir yang optimal bagi anak. Dalam masa tersebut banyak perkembangan matema tika penting yang terjadi pada anak. Anak membangun kepercayaan tentang apa yang dimaksud dengan matematika, apa kegunaan mengetahui matematika, dan mengapa harus belajar matematika. Pandangan ini berpengaruh terhadap pemikiran anak, penampilan, sikap, dan pertimbangan tentang mem- pelajari matematika di tahun-tahun mendatang (Kamii, 2000). Perkembangan kemampuan berpi kir pada anak usia dini dapat menjadi optimal jika difasilitasi dengan suatu
548
549, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
program berkualitas tinggi bagi anak-anak, yang di antaranya berupa sajian matematika yang bermakna, yang memperhatikan aspek sifat alami anak dan karakteristik mate matika. Program ini perlu dibangun berdasarkan pengetahuan matematika anak secara informal dan intuitif. Program dimaksud perlu dida- sarkan pada pengetahuan perkembangan anak dan lingkungan yang mendorong siswa untuk belajar aktif dan menerima tantangan baru. Sejumlah aktivitas pemecahan masalah dapat dilakukan anak dan dapat dikembangkan; tidak hanya kemampuan hitung dan men- jumlah, tetapi juga kemampuan bernalar seperti mengklasifikasi dan urutan (Clements, 1984). Pentingnya memperhatikan perkembangan kemampuan berpikir anak karena sampai pada usia 4 tahun tingkat kapabilitas kecerdasan otak anak dapat mencapai 50%, pada usia 8 tahun mencapai 80%, dan pada saat berusia 8 tahun ke atas mencapai 100%. Hal ini berarti apabila pendidikan baru dilakukan pada usia 7 tahun atau ketika siswa berada di Sekolah Dasar, stimulasi lingkungan terhadap fungsi otak terlambat pengem- bangannya. Otak yang kurang difung- sikan tidak hanya membuat anak menjadi kurang cerdas, tetapi juga dapat mengurangi optimalisasi potensi otak yang seharusnya dimiliki oleh anak (Fidesrinur, 2008:5). Anak usia dini yang mempunyai karakteristik suka bergerak (tidak suka diam), biasanya/pada umumnya mempunyai rasa ingin tahu (curiosity) yang tinggi, senang bereksperimen dan menguji, mampu mengekspresikan diri secara kreatif, mempunyai imajinasi, dan senang berbicara (Sulaiman, 2008). Karakter anak seperti ini perlu disadari oleh orang tua ataupun pendidik agar orang tua atau pendidiknya dapat mengoptimalisasi kemampuan anak tersebut. Untuk
mengoptimalkan kemam- puan anak agar mempunyai kemampuan berpikir kritis, dan kreatif, serta kesadaran sosial perlu adanya tindakan terarah dan terencana dari orang tua ataupun pendidik dengan memper hatikan perkembangan anak sehingga terbentuk anak berkarakter dan anak mempunyai kepribadian yang baik. Usia dini merupakan masa bagi seorang anak untuk belajar berkomu- nikasi dengan orang lain serta memahaminya. Dalam masa itu, seorang anak perlu dibimbing agar mampu memahami berbagai hal tentang kehidupan dunia dan segala isinya. Lembaga pendidikan seperti TK (PAUD formal) bertujuan membantu anak didik mengembangkan berbagai potensi, baik psikis dan fisik, yang meliputi moral dan nilai-nilai agama, sosial emosional, kognitif, bahasa, fisik/motorik, keman- dirian dan seni agar anak siap memasuki pendidikan dasar. Untuk keperluan tersebut, kurikulum PAUD formal (TK/RA) meliputi aspek-aspek perkembangan: 1) moral dan nilai-nilai agama; 2) sosial, emosional dan kemandirian; 3) kemampuan berbahasa; 4) kognitif; 5) fisik/motorik; 6) seni. Mealaui fungsi, tujuan, dan ruang lingkup aspek tersebut, maka penanaman nilai moral pada anak usia dini dapat dilaksanakan (Depdiknas, 2003) Model pembelajaran matematika harus memperhatikan sasarannya, yakni mengembangkan kemampuan anak untuk berpikir secara matematis. Berpikir matematis merupakan dasar mempelajari matematika. Guru selaku pengembang program matematika, harus mampu mengintegrasikan secara harmonis antara aspek kemampuan anak dengan aspek matematika. Seorang anak dapat dikatakan pemikir dan sekaligus pemecah matematika yang baik, jika anak tersebut mempunyai keterampilan khusus seperti penentuan strategi, dan penentuan kapan dan
Jamiah, Elaborasi Nilai Kearifan Lokal, 550
bagaimana penerapannya. Penilaian kete rampilan dalam pemecahan masalah matematika, memberikan kesempatan bagi anak untuk menyelesaikan dan mengembangkan masalah tersebut dengan cara-cara kreatif dan tepat (Bambang H., 2007:51). Selanjutnya, apa yang dapat diperbuat oleh para pendidik (guru/dosen) untuk turut menyiapkan generasi penerus bangsa ini? Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah merancang proses pembelajaran dengan mengelaborasi nilai-nilai kearifan lokal. Cara ini dipandang relevan karena guru/dosen merupakan ujung tombak untuk mengaktualisasikan kemampuaannya, dan merealisasikan dalam pelaksanaan pendi dikan. Melalui proses tersebut, dengan harapan siswa yang pandai untuk menghargai dan mencintai produks budaya daerahnya. Berdasarkan uraian di atas, tertuanglah pertanyaan yang akan dibahas dalam tulisan ini, yaitu:”Seperti apakah mengelaborasi nilai kearifan lokal dalam pembelajaran matematika bagi anak usia dini?” Dengan harapan anak (peserta didik), para pendidik yang mempunyai kepribadian baik; dan para pendidik lebih leluasa untuk mengim-profisasikan dan mengaktualisasikan kemampuannya dalam melaksanakan proses pembelajar- an, khususnya pembelajaran matematika. HASIL DAN PEMBAHASAN Pembentukan karakter siawa di satuan pendidikan merupakan suatu peker jaan yang amat perlu mendapatkan perhatian, karena siswa merupakan generasi penerus yang dipersiapkan sebagai penerus masa depan. Upaya pembentukkan generasi penerus seutuhnya yang mencakup seluruh aspek kehidupan termasuk moral, estetika, dan nilai-nilai, memerlukan
beberapa langkah seperti hasil penelaahan pendidikan karakter dalam empat pilar pendidikan UNESCO, sepertit: 1) learning to know, yaitu mendidik/membina siswa/ mahasiswa agar mempunyai kemampuan berpikir kritis dan sistematis guna memahami diri, sesama, dan dunia; 2) learning to do, yaitu mendidik siswa/ mahasiswa agar mampu menerap- kan apa yang diketahui dan dipahami ke dalam praksis mengatasi persoalan- persoalan yang dihadapi; 3) learning to be, yaitu mendidik siswa/mahasiswa agar menjadi dirinya sendiri yang autentik dan mandiri, mempunyai sikap konsistensi, berpegang pada prinsip sehingga tak tergoyahkan oleh berbagai kepentingan pribadi dan desakan lingkungan; dan 4) learning live together, yaitu mendidik siswa/mahasiswa agar mempunyai sikap tenggang rasa, mema hami adanya perbedaan dan keunikan di antara mereka, mampu berkerja sama sehingga muncul persaudaraan di antara mereka (Sugiarto, 2008:344; Elmubarok, 2007:41). Untuk disadari bahwa siswa sesuai kodratnya mempunyai dimensi individual dan dimensi sosial. Dimensi individual harus dikembangkan agar siswa dapat menjadi manusia mampu mandiri, berpikir sendiri, mempunyai jiwa kompetitif dan kreatif, pada akhirnya siswa mampu mencapai pemenuhan diri yang optimal. Dimensi sosial perlu dibentuk dan dikembangkan melalui proses pembe lajaran, karena dimensi sosial dapat membantu menumbuhkan kesadaran siswa untuk menyadari bahwa mereka dapat tumbuh dan berkembang dalam konteks kebersamaan dengan sesama yang lain dalam satu komunitas. Melalui proses pembelajaran matematika dengan mengin ternalisasikan nilai-nilai kearifan lokal maupun nilai-nilai karakter, potensi siswa baik secara individual maupun sosial dapat terfasilitasi untuk dikembangkan.
551, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
1. Dimensi Belajar Anak Usia Dini Bahwa usia dini sebagai masa emas dalam perkembangan dan pertumbuhan bukan hal baru. Pada usia dini, anak mempunyai potensi yang luar biasa atau memiliki kemampuan intelegensi yang sangat tinggi. Meskipun demikian, terkadang sebagian besar orang tua dan guru tidak memahami akan potensi yang dimiliki anak. Keterbatasan pengetahuan dan informasi yang dimiliki orang dewasa menyebabkan berbagai potensi anak tidak berkembang. Untuk menghindari berbagai kemungkinan yang merugikan anak, dan untuk memfasilitasi perkembangan dan pertumbuhan anak secara optimal, perlu dikaji dari berbagai dimensi seperti yang diungkap Diane (2009:xiv), Teaching Strategies (2006) dalam bentuk diagram 1 sebagai berikut.
Diagram 1. Dimensi anak usia dini
Diagram 1 memperlihatkan bahwa perkembangan dan pertumbuhan anak perlu dilihat dari berbagai teori dan penelitian, seperti teori Vygotsky. Teori ini, mengungkapkan bahwa pertumbuhan kognitif anak tidak hanya berdasarkan aktivitas, tetapi juga interaksi dengan sejawat dan orang dewasa. Selanjutnya, beberapa pertimbangan perlu dilakukan, seperti (1) bagaimana anak berkembang dan belajar, yang mencakup apa yang disukai anak, perbedaan individu, dan perkembangan secara kontinum anak; (2) lingkungan belajar, yang mencakup seting kelas, aktivitas harian, dan menciptakan
komunitas kelas; (3) apa yang harus anak pelajari, mencakup kajian-kajian seperti matematika, IPA, soscial dan keterampilan proses; (4) peran guru, yang mencakup observasi siswa, bimbingan anak, dan menilai hasil belajar anak; dan (5) peran keluarga, yang mencakup pengetahuan keluarga, membuat keluarga harmonis, komunikasi dengan keluarga, belajar bersama anggota keluarga, dan merespon situasi yang menantang dalam lingkungan keluarga. 2. Pembelajaran Matematika bagi Anak Usia Dini Keberhasilan proses pembelajaran matematika tergantung pada berbagai aspek, salah satunya adalah sikap pendidik pada saat melakukan kegiatan pembelajaran. Proses kegiatan pembelajaran matematika yang sesuai dan menarik bagi anak akan mendorong mereka untuk mengoptimalisasi potensi yang dimilikinya dalam mempelajari materi ajar yang disajikan. Namun sebaliknya, jika pendidik yang melaksanakan proses kegiatan pembelajaran bersikap tidak baik/bersikap negatif bisa dibayangkan apa yang terjadi? Ditambah dengan fakta bahwa materi matematika umumnya kurang diminati oleh sebagian besar siswa. Mereka menyatakan bahwa mata pelajaran tersebut ”sulit”. Fenomena ini boleh jadi disebabkan oleh pendidik (guru/dosen) yang kurang bisa mengkomunikasikan makna nilai-nilai matematika (Yulis, 2011). Oleh karena itu, pendidik (guru/dosen) harus menguasai dengan baik tentang nilai-nilai yang tersirat maupun tersurat dalam matematika. Kegiatan pembelajaran pada anak usia dini pada hakikatnya merupakan pengembangan kurikulum secara konkret berupa seperangkat rencana yang berisi sejumlah pengalaman belajar melalui bermain yang diberikan pada anak usia dini berdasarkan potensi atau tugas perkem bangan yang harus dikuasainya dalam
Jamiah, Elaborasi Nilai Kearifan Lokal, 552
rangka pencapaian kompetensi yang harus dimiliki oleh anak (Sujiono, 2009:138). Untuk mencapai kompetensi anak, seorang pengembang program pembelajaran pada anak usia dini harus memiliki pemahaman tentang perkembangan dan karakteristik anak. Teori yang dominan dan mendasari hal tersebut adalah teori belajar Piaget dan teori belajar Vygotsky. Piaget menya- takan bahwa anak membangun sendiri penge tahuannya dari pengalamannya sendiri dengan lingkungan. Perkem- bangan kognitif anak sebagian besar bergantung kepada seberapa jauh anak aktif memanupilasi dan aktif berinteraksi dengan lingkungannya. Vygotsky menya- takan bahwa perkembangan kognitif anak sangat memerlukan bantuan orang lain atau sifatnya adanya ketergantungan dari orang lain. Untuk perkembangan anak usia dini sangat perlu untuk mendapatkan keter paduan dari teori tersebut. Karena anak pada usia tersebut masih sangat tergantung pada orang lain. Bennett et.al. (Sujiono, 2009:138) menjelaskan bahwa pada hakikatnya pengembangan program pembelajaran bagi pendidikan anak usia dini adalah pengem bangan sejumlah pengalaman belajar melalui kegiatan bermain, yang dapat memperkaya pengalaman anak tentang berbagai hal, seperti cara berpikir tentang diri sendiri, dan tanggap pada pertanyaan. Selain itu, program pembe- lajaran ini dapat membantu anak-anak dalam mengem bangkan kebiasaan dari setiap karakter yang dapat dihargai oleh masyarakat serta mempersiapkan mereka untuk memasuki dunia orang dewasa yang penuh tanggung jawab. Tujuan pembelajaran bukanlah penguasaan materi semata, namun lebih jauh proses penguasaan materi dapat membentuk pola prilaku siswa itu sendiri. Pembelajaran merupakan perubahan yang bertahan lama dalam prilaku, atau dalam
kapasitas berprilaku dengan cara tertentu, yang dihasilkan dari praktik atau bentuk -bentuk pengalaman lainnya. Kriteriakriteria pembelajaran, meliputi: 1) pem belajaran melibatkan perubahan; 2) pem belajaran bertahan lama seiring dengan waktu; dan 3) pembelajaran terjadi melalui pengalaman. Aktivitas belajar itu melibat kan penguasaan dan pegubahan penge tahuan, ketrampilan, strategi, keyakinan, sikap, dan prilaku ( Dale H. Schunk, 2012). Proses pembelajaran untuk mem bentuk prilaku siswa yang baik sangat dipengaruhi oleh kondisi kewibawaan dan kewiyataan yang ada pada diri pendidik (guru/dosen). Karena kondisi kewibawaan dan kewiyataan merupakan pilar pembelajaran. Kewibawaan dapat tercipta, jika pendidik mampu membangun sentuhan yang tinggi terhadap siswa/mahasiswa sehingga terciptanya rasa aman dan nyaman bersama pendidiknya. Untuk mengkondisikan rasa aman dan nyaman dalam belajar ini, sangat perlu memperhatikan unsur-unsur kewibawaan, yaitu: 1) pengakuan dan penerimaan; 2) kasih sayang dan kelembutan; 3) penguatan; 4) tindakan tegas yang mendidik; dan 5) pengarahan dan keteladanan. Sementara unsur-unsur yang ada pada kewiyataan, yaitu: 1) penguasaan materi pembe- lajaran; 2) penerapan metode pembe- lajaran; 3) penggunaan alat bantu pembelajaran; 4) pengembangan ling- kungan pembelajaran; dan 5) penye- lenggaraan penilaian pembelajaran (Phil Y.K., 2012: 110). Pendidik (guru/dosen) yang mencintai profesinya demi kemajuan siswa tidak akan merobohkan pilar pembelajaran. Selain itu, guru/dosen yang profesional tentu selalu mencer- minkan prilaku yang dapat di tauladani oleh siswa, seperti berbahasa dengan bijak, dengan baik dan benar, dengan bahasa yang indah-indah, serta dengan sopan santun akan menumbuhkan
553, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
pikiran dan sikap positif, menumbuhkan keakraban dan mempererat persaudaraan, menumbuhkan simpati dan empati, menjauhkan lawan bicara dari rasa tertekan atau terintimidasi (Chairil, 2012: 9). Prilaku-prilaku para pendidik tersebut dapat mempengaruhi prilaku dan kemampuan belajar siswanya. Pembelajaran matematika dapat diartikan sebagai suatu upaya penataan lingkungan yang memberi nuansa agar program belajar matematika tumbuh dan berkembang secara optimal. Pengertian pembelajaran matematika secara sempit, yaitu proses pembelajaran dalam lingkup persekolahan/ perkuliahan, sehingga terjadi proses sosialisasi individu siswa dengan lingkungannya, seperti guru/ dosen, sumber atau fasilitas, dan teman sesama siswa/mahasiswa. Pembelajaran mate matika mempunyai tujuan, yakni membentuk kemampuan bernalar pada diri siswa yang tercermin melalui kemampuan berpikir kritis, logis, sistimatis dan memiliki sifat obyektif, jujur, disiplin dalam memecahkan suatu permasalahan baik dalam bidang matematika, bidang lain, maupun dalam kehidupan sehari-hari. Reys, et al (Rachmawati, 2008:2) mengemukakan beberapa prinsip Pembelajaran matematika secara spesifik, di antaranya: a) melibatkan keaktifan peserta didik; b) dise suaikan dengan karakteristik perkem bangan peserta didik; c) merupakan kegiatan yang berkesinam- bungan; d) mam pu mengembangkan kemampuan berbahasa yang bersifat integral; e) pendidik harus mampu menyajikan pertanyaan-pertanyaan yang baik yang dapat memfasilitasi kegiatan belajar dan mampu menstimulasi proses berpikir peserta didik; f) peserta didik diberikan kesempatan memanipulasi alat peraga; g) pendidik merupakan model dalam proses pembelajaran matematika sehingga seluruh perilaku yang ditampilkan pendidik dapat mempengaruhi
kemampuan belajar peserta didik; h) matematika yang diajarkan tanpa melalui tahapan pembelajaran matematika yang tepat akan menimbulkan kecemasan terhadap matematika itu sendiri; i) adanya keseimbangan perlakuan peserta didik laki-laki dan perempuan dalam proses pembelajaran matematika; dan j) kegiatan pembelajaran matematika harus mampu meningkatkan keterampilan dalam mengingat. Dalam mengajarkan konsep matematika bukan hanya prinsip pembelajarannya saja yang diperhatikan, namun mengajarkan keterkaitan antara konsep-konsep matematika perlu dipertimbangkan. Soedjadi (2004); Bambang (2007), menyatakan bahwa beberapa karakteristik pembelajaran matematika yang perlu dipertimbangkan, yaitu: (1) Pembelajaran matematika berjenjang (bertahap): Materi pembelajaran diajarkan secara berjenjang atau bertahap, yaitu dari hal konkrit ke abstrak, hal yang sederhana ke kompleks, atau dari konsep mudah ke konsep yang lebih sukar; (2) Pembelajaran matematika mengikuti metoda spiral: Setiap mempelajari konsep baru perlu memperhatikan konsep atau bahan yang telah dipelajari sebelumnya. Bahan yang baru selalu dikaitkan dengan bahan yang telah dipelajari. Pengulangan konsep dalam bahan ajar dengan cara memperluas dan memperdalam adalah perlu dalam pembelajaran matematika (spiral melebar dan menaik); (3) Pembelajaran matematika menekankan pola pikir deduktif: Matematik adalah deduktif, matematika tersusun secara deduktif aksiomatik. Namun demikian, harus dapat dipilihkan pendekatan yang cocok dengan kondisi peserta didik; dan (4) Pembelajaran matematika menganut kebenaran konsistensi: Kebenaran-
Jamiah, Elaborasi Nilai Kearifan Lokal, 554
kebenaran dalam matematika pada dasarnya merupakan kebenaran konsis tensi, tidak bertentangan antara kebenaran suatu konsep dengan yang lainnya. Suatu pernyataan dianggap benar bila didasarkan atas pernyataan-pernyataan yang terdahulu yang telah diterima kebenarannya. Selain tujuan, prinsip, maupun karakteristik pembelajaran matematika yang harus dipahami oleh guru/dosen, tentu ada yang lebih penting, yaitu sasaran pembelajaran matematika. Sasaran utama pembelajaran matematika adalah mengem bangkan kemampuan standar matematika siswa dalam berpikir secara matematis. Berpikir sebagai proses kontinyu dan merupakan komponen dasar dalam
mempelajari matematika, mem- berikan konsekuensi tertentu, di antaranya pada proses pengajaran dan penilaian keberhasilannya. Suatu bentuk penilaian yang komprehensif tentunya tidak cukup hanya memuat komponen isi atau materi saja, tetapi memuat seluruh dimensi matematika. NAEP (2003:11) menyatakan bahwa untuk kebutuhan penilaian, perlu memperhatikan tiga dimensi matematika, yaitu komponen isi (content strands), daya matematik (mathematical power), dan kemampuan matematik (mathematical ability), yang ketiganya membentuk kesatuan yang diperlihatkan pada diagram 2 berikut.
Diagram 2. Kerangka Dimensi Matematika
Komponen isi – berperan sebagai media untuk pengembangan kemampuan siswa/mahasiswa dalam berpikir secara matematika. Selain itu, komponen isi juga dapat digunakan guru/dosen untuk mengarahkan matematika seperti apa yang harus diajarkan, diketahui, dan dapat dilakukan oleh siswa/mahasiswa. Dalam kurikulum berbasis kompetensi, ada lima komponen isi, begitu juga dalam principles and standards for school matematics, yaitu: bilangan dan operasi-operasinya; aljabar; geometri; pengukuran; dan analisis data dan
probabilitas (Depdiknas, 2000:120; NCTM, 2000:30). Daya matematik – merupakan salah satu penekanan keberhasilan siswa/mahasiswa yang harus dinilai sebagai akibat pembelajaran matematika yang berupa proses (Bambang, 2007:53). Selanjutnya, dalam principles and standards for school mathematics, mengungkap bahwa terdapat lima komponen proses yang hendaknya dikembangkan melalui pem- belajaran matematika, yaitu pemecahan masalah, penalaran dan pembuktian, komunikasi,
555, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
koneksi, dan representasi (NCTM, 2000:30). Namun, mengingat peran pemecahan masalah, selain sebagai komponen proses juga menekankan pada suatu situasi yang mengakomodasi keempat komponen proses lainnya dan sekaligus mengungkap berbagai dimensi matematika yang berorientasikan pada solusi tugas dalam bentuk pemecahan masalah, maka dalam kerangka dimensi matematika dimasukkan sebagai kemam-puan matematik. Kemampuan Matematik berkaitan dengan kecakapan matematika yang lebih menekankan pada aspek kognitif. Tiga komponen utama kemampuan matematika, seperti yang diungkap dalam Mathematics Framework for the 1996 and 2000 (NAEP, 2002), meliputi pemahaman konseptual, pengetahuan prosedural, dan pemecahan masalah. Kilpatrick, Swafford, & Findell (2001:16) juga mengungkap adanya tiga komponen utama yang berkaitan dengan kecakapan matematika, yaitu: pemaham- an konseptual; kelancaran prosedural yang berkaitan dengan keterampilan meng gunakan prosedur; dan kompetensi strategis yang berkaitan pemecahan masalahmasalah matematika. Dari diagram 2 di atas terlihat bahwa dalam suatu pembelajaran, materi yang dipelajari harus memuat tiga dimensi (content strands; mathematical ability; dan mathematical power). Pada setiap materi (content strands) yang diajarkan, termuat dimensi kemampuan matematik (mathe matical ability) yang meliputi: pemahaman konseptual, penge- tahuan prosedural, dan pemecahan masalah; dan juga daya matematik (mathematical power) sebagai komponen proses yang mencakup: penalaran, kemampuan komunikasi, koneksi, dan representasi. Untuk mengoperasionalkan kerangka tersebut, maka dalam peren- canaan penilaian perlu disusun suatu kisi-kisi yang dapat
mencakup ketiga komponen tersebut, sehingga dapat digunakan sebagai acuan dasar kemam- puan minimal yang harus dikuasai siswa/mahasiswa dan dapat dikembangkan oleh guru/dosen berdasarkan kondisi lokal. Nilai Kearifan Lokal dalam Pembelajaran Matematika Kearifan Lokal dilihat dari kamus Inggris Indonesia, terdiri dari 2 kata yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Lokal berarti setempat dan kearifan sama dengan kebijaksanaan. Dengan kata lain maka local wisdom dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai kebijaksanaan atau nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kekayaan-kekayaan budaya lokal berupa tradisi, petatah- petitih dan semboyan hidup (Pikiran Rakyat, 4 Oktober 2004). Kearifan lokal merupakan pengetahuan yang dikem- bangkan oleh para leluhur dalam mensiasati lingkungan hidup sekitar mereka, menjadikan pengetahuan itu sebagai bagian dari budaya dan memperkenalkan serta meneruskan itu dari generasi ke generasi. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal (Sartini, 2004). Mengapa perlu mengelaborasi nilai-nilai kearifan lokal dalam pembelajaran matematika? Salah satu alasannya, karena kearifan lokal di daerah pada gilirannya akan mampu mengantarkan siswa untuk mencintai produks budaya daerahnya. Kecintaan siswa pada
Jamiah, Elaborasi Nilai Kearifan Lokal, 556
daerahnya akan mewujudkan ketahanan daerah. Ketahanan daerah adalah kemampuan suatu daerah yang ditunjukkan oleh kemampuan warganya untuk menata diri sesuai dengan konsep yang diyakini kebenarannya dengan jiwa yang tangguh, semangat yang tinggi, serta dengan cara memanfaatkan alam secara bijaksana. Pembelajaran matematika dengan mengelaborasi nilai-nilai kearifan lokal dapat digunakan sebagai sarana untuk melestarikan potensi daerah. Mengeksplorasi nilai kearifan dari potensi daerah, misalnya melalui hasil karya para lelulurnya. Potensi daerah merupakan potensi sumber daya spesifik yang dimiliki
No
1
2
Produks Budaya Lokal Perisai atau Talawang
Corak Batik Flora & Fauna
suatu daerah tertentu. Para siswa berinteriaksi dalam proses pembelajaran bukannya diibaratkan seperti botol kosong, melainkan mereka sudah membawa nilai-nilai budaya yang dibawa dari lingkungan keluarga dan masyarakatnya. Pendidik (guru/dosen) yang bijaksana harus dapat meng- atualisasikan nilai-nilai kearifan lokal mereka dalam proses pembelajaran. Suatu contoh proses pembelajaran matematika dengan mengelaborasi nilai keraifan lokal melalui produks budaya lokal, seperti: mencintai/menghargai produks budaya lokal diperlihatkan pada tabel berikut ini.
Nilai Kearifan local
Konsep Matematika yang Terungkap
Bentuk Perisai melambangkan kekuatan dan keteguhan dimana seluruh komponen masyarakat siap menghadapi berbagai bentuk rintangan dan teguh dalam memperjuangkan kejayaan dan kemakmuran Burung ruai melambangkan kegagahan suku Dayak Burung Enggang melambangkan kemakmuran dan kedinamisan
Pemahaman konsep segitiga, segiempat, lingkaran, segi enam, dan semetris Pemahaman konsep Bilangan: dua, empat dst
(Pontianak Post, Kamis, 19April 2012) Implementasi pengelaborasian nilai kearifan lokal dalam pembelajaran matematika bagi anak usia dini, misalnya penyajian materi geometri, kompentensinya memahami jenis-jenis pada bagun datar. Mengelaborasi nilai kearifan lokal dalam proses pembelajaran ini: pertama merancang rencana pembelajaran (RPP) dengan memperhatikan sasaran kemam puan standard matematika, dan karak teristik pembelajaran matematika dengan menyesuaikan perkembangan anak usia dini; kedua pelaksanaannya, yaitu menerapkan apa yang sudah direncanakan dengan memperhatikan sejumlah penga laman belajar melalui kegiatan bermain. Kegiatannya yang dapat memperkaya
pengalaman anak tentang berbagai hal, seperti cara berpikir, dan tanggap pada pertanyaan. Media yang digunakan untuk mengelaborasi nilai kearifan lokal adalah perisai/talawang (perisai ini produks budaya lokal khas Kalimantan Barat). Makna bentuk perisai melambangkan kekuatan dan keteguhan dimana seluruh komponen masyarakat siap menghadapi berbagai bentuk rintangan dan teguh dalam memperjuangkan kejayaan dan kemakmuran. Penggunaan perisai sebagai media dalam proses pembelajaran matematika, karena lukisan pada permu kaan bidang perisai dapat mengungkapkan konsep-konsep pada bagun datar, seperti: konsep segitiga, konsep segiempat, konsep
557, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
lingkaran, konsep segi enam, dan konsep semetris. PENUTUPAN Kesimpulan Matematika sendiri sebenarnya sudah sarat dengan nilai-nilai, oleh karena itu, kreativitas guru/dosen sangat dituntut guna mengaktualisasikan nilai tersebut dalam proses pembelajaran matematika. Pendidik (guru/dosen) yang komitmen dengan keprofesionalannya, tentu tidak henti-hentinya untuk mengembangkan kemampuan sesuai dengan keahliannya. Mengembangkan kemampuannya harus mampu mengintegrasikan aspek anak usia dini dengan aspek matematika secara harmonis, seperti mengeksplorasi dan mengelaborasi nilai-nilai kearifan lokal yang dapat berupa produks hasil karya lelulur, salah satu produksnya berupa perisai. Anak usia dini untuk memahami
konsep matematika yang abstrak masih membutuhkan bantuan benda konkrit. Untuk itu, perisai/telawang ini berfungsi sebagai sarana/fasilitas/media untuk menjelas-kan konsep-konsep matematika. Sikap ketauladan, pembiasaan dan koreksi/kontrol diperlukan untuk menegakkan pilar pembelajaran matematika, karena sikap tersebut akan muncul dan memancarkan nilai edukatif. Nilai tersebut selalu terpancar, jika pendidik tidak hanya bertindak sebagai pentransfer ilmu pengetahuan intelektual subjek didiknya saja, melainkan pendidik yang dapat memberdayakan dan mengem- bangkan pengetahuan subjek didiknya secara utuh/komprehensip. Nilai kearifan lokal yang diberdayakan dan dikem- bangkan sebagai media/bahan pembela- jaran matematika dapat menjadi inspirasi dan motivasi bagi belajar siswa.
DAFTAR PUSTAKA Dale H. Schunk. (2012). Learning Theories An Educational Per- spective (Teori-teori Pembelajaran Pers pektif Pendidikan), Edisi ke-6, Penerbit: Pustaka Pelajar. Bambang, H. (2007). Representasi dalam Pembelajaran Matematika. Pontianak: STAIN Pontianak Press. Chairif E. (2012) Peranan Bahasa Melayu dalam Membangun Karakter Bangsa, Bahan Seminar Nasional di Hotel Aston Pontianak Tgl 5-6 Juni 2012 Clement. (1984). Training effects on the development and generalization of piagetian logical operations and knowledge of number. Journal of Educational Psychology 76, no. 5 (1984): 766–76.
Depdiknas. (2003). Kurikulum 2004, Kerangka Dasar. Jakarta: Pusat Kurikulum _________ . (2000). Kurikulum berbasis kompetensi: Kurikulum & hasil belajar (Kompetensi dasar mata pelajaran matematika sekolah menengah pertama dan madrasyah tsanawiyah). Jakarta: Puskur, Balitbang Depdiknas. Diane T. D., Laura J. C., Cate H. (2009). The Creative Curriculum for Preschool. Inc, Washington DC. Fourth Edition Elmubarok, Z. (2008). Membumikan Pendidikan Nilai. Mengumpulkan yang Terserak, Menyambung yang Terputus, dan Menyatukan yang Terputus, Bandung, Alfabeta.
Jamiah, Elaborasi Nilai Kearifan Lokal, 558
Fidesrinur, (2008). Pemerataan dan Perluasan Akses Layanan PAUP, Suatu Alternatif Solusi Kompre henshif terhadap Pelayanan PAUD di Indonesia. http://www.puslitjaknov.depdiknas.g o.id [On Line, Diunduh 11 November 2008] Kamii, C. (2000).Young Children Reinvent Arithmetic. 2nd ed. New York: Teachers College Press. Kilpatrick, J., Swafford, J., & Findell, B. (2001). Adding it up : Helping children learn mathematics. Washington, DC. : National Acade my Press. Mulyana, R. (2004). Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, Bandung, Alfabeta National Council of Teachers of Mathematics. (2000). Principles and standards for school mathematics. Reston, VA: NCTM. National Assessment of Educational Progress. (2003). Mathematics framework for the 2000 and 2004. Washington: NAEP. Nursid S., (2005). Manusia Dalam Konteks Sosial, Budaya Dan Lingkungan Hidup. CV Alfabeta Bandung. Phil Yanuar Kiram. (2012). Profesi Pendidik Seutuhnya dalam Perseptif Penyiapan Manusia Indonesia Generasi 2045. Materi Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (KONASPI) VII 2012 di
Yogyakarta Tgl 31 Oktober – 3 November 2012. Penerbit: UNY Press. Rahmawati, Y. (2008). Pengembangan Matematika untuk Anak Usia Dini, Hasil Diklat Kerjasama antara Direktorat PTK PNF Ditjen PMPTK Dediknas dengan UPI Bandung Sartini. (2004). Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati, Jurnal Filsafat, UGM, Edisi Bulan Agustus 2004, Jilid 37, Nomor 2 Soedjadi, R. (2004). Designing Instruction of Values in School Mathematics, Surabaya: FPMIPA UNESA Sugiarto, B. (2008). Humanisme Humaniora: relevansinya Bagi Pendidikan. Yogyakata & Bandung: Jalasutra. Sujiono, Y. N. (2009). Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta. PT Indeks Sulaiman M.I. (1985). Suatu Upaya Pendekatan Fenomenologis terhadap Sistem Kebudayaan dan Pendidikan dalam Kelaurga dan Sekolah, Desertasi, PPs-IKIP Bandung. Teaching Strategies. (2006). Teaching strategies and the creative curriculum. [on-line]. Available:http://www.teachingstrat egies.com/content/pageDocs/CC4_ Ch1_exrpt. pdf