AMRIN SARAGIH: PEMBELAJARAN GENRE TULIS ...
PEMBELAJARAN GENRE TULIS PEMBELAJAR SEKOLAH MENENGAH PERTAMA BERDASARKAN KURIKULUM 2013 (JUNIOR HIGH SCHOOL STUDENTS' LEARNING ON WRITTEN GENRE BASED ON CURRICULUM 2013) Amrin Saragih Linguistik Terapan Bahasa Inggris Pascasarjana, Universitas Negeri Medan Jalan Willem Iskandar, Pasar V Medan Estate 20221 Telepon (061) 6613365 Posel:
[email protected]
Tanggal naskah masuk: 22 Agustus 2014 Tanggal revisi terakhir: 3 November 2014
Abstract
THIS writing aims at describing the result of written genre learning by junior high school students in North Sumatera and proposing a learning model in Curriculum 2013 based on the genre. It is a qualitative research using 333 junior high school students and 18 teachers from six junior high schools in North Sumatera Province. The data provide text or genre written by the students, description of genre learning in classroom, and interviews with the teachers. The texts written by the students were analyzed using Systemic Functional Linguistics theory. Data from observations and interviews were analyzed qualitatively. The result shows that the students have been exposed to nine types of genre which is mostly story telling. A number of school social contexts were found obstructing such learning yet the others facilitating it. Based on the obstruction and facilitation factors, a model of genre learning of curriculum 2013 is proposed. It is basically a combination of genre-based learning and scientific approach in Curriculum 2013. Key words: development, genre, written, junior high school students
Abstrak T ULISAN ini merupakan satu bagian dari hasil penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsi genre tulis yang telah diperoleh atau dicapai oleh pembelajar sekolah menengah pertama (SMP) di Sumatra Utara dan mengajukan model pembelajaran sesuai dengan Kurikulum 2013 berdasarkan perolehan genre itu. Desain penelitian adalah deskriptif kualitatif. Sumber data adalah 333 pembelajar SMP dan 18 guru dari enam sekolah yang mewakili SMP yang tersebar di wilayah Provinsi Sumatra Utara. Dari sumber data itu diperoleh data berupa teks atau genre yang ditulis pembelajar SMP, deskripsi pembelajaran genre di kelas, dan transkripsi percakapan dengan guru yang masing-masing diperoleh dengan teknik elisitasi data, observasi pembelajaran menulis genre di kelas, dan wawancara dengan guru. Teks yang ditulis pembelajar dianalisis dengan teori linguistik fungsional sistemik (LFS). Data dari observasi dan wawancara dianalisis dengan teknik analisis data kualitatif. Temuan penelitian menunjukkan bahwa pembelajar SMP telah memperoleh sembilan jenis genre yang 137
Metalingua, Vol. 12 No. 2, Desember 2014:137—151
pada prinsipnya didominasi oleh genre bercerita. Sejumlah unsur konteks sosial persekolahan di satu sisi menghambat dan di sisi lain memfasilitasi pembelajaran genre. Atas dasar unsur yang memfasilitasi dan yang menghambat itu, model pembelajaran genre berdasarkan Kurikulum 2013 diajukan yang pada dasarnya merupakan perpaduan antara genre-based learning dan pendekatan ilmiah (scientific approach) dalam Kurikulum 2013. Kata kunci: pengembangan, genre, tulis, pembelajar SMP
1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Genre adalah proses sosial bertahap dan berorientasi tujuan (Martin dan Rose, 2012:1). Penggunaan bahasa berlangsung dalam teks atau genre dan bukan dalam bentuk kata, frasa, atau kalimat yang terputus-putus (Kress, 1993:36). Ketika pembelajar di beberapa SMP Sumatra Utara ditugasi untuk menulis sesuatu topik dalam bahasa Indonesia, mereka menghadapi kesukaran mengodekan pengalaman mereka dalam genre yang tepat dan berterima. Keterampilan menulis genre dikembangkan secara bersahaja ketika pembelajar memasuki pendidikan formal di sekolah (Hallliday, 2003:250; Martin, 2010:3). Dengan kata lain, keterampilan menulis genre terkait dengan sistem persekolahan. Hal itu berarti bahwa kesulitan yang dihadapi para pembelajar SMP di Sumatra Utara itu diakibatkan oleh pengaruh konteks sosial atau sistem persekolahan. Dengan mempertimbangkan perkembangan dan pengembangan genre pembelajar SMP di Sumatra Utara dan konteks sosial persekolahan, model pembelajaran yang relevan dan yang sesuai dengan Kurikulum 2013 diajukan. 1.2 Masalah Sekaitan dengan latar belakang kajian ini, masalah penelitian dirumuskan sebagai berikut. (1) Genre tulis apakah yang terkembang pada pembelajar SMP di Sumatra Utara? (2) Bagaimanakah pengaruh atau dampak konteks sosial persekolahan dan masyarakat terhadap perkembangan genre tulis pembelajar SMP di Sumatra Utara? 138
(3) Model pembelajaran yang bagaimanakah yang relevan untuk pengembangan genre tulis pembelajar dalam konteks sosial persekolahan di Sumatra Utara? 1.3 Tujuan Sejalan dengan masalah tersebut, tujuan penelitian ini adalah (1) mengidentifikasi atau mendeskripsi jenis genre tulis yang digunakan oleh pembelajar SMP dan perkembangan genre tulis itu dalam konteks sosial sekolah, (2) mendeskirpsikan pengaruh atau dampak konteks sosial persekolahan dan masyarakat terhadap perkembangan genre tulis pembelajar SMP, dan (3) mengembangkan model pembelajaran menulis genre yang efektif untuk pembelajar SMP di Provinsi Sumatra Utara. 1.4 Metode Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif ini digunakan karena desain ini sesuai untuk mengkaji proses, yakni proses perkembangan genre tulis pembelajar dalam interaksinya dengan konteks sosial persekolahan. Data diperoleh dari enam lokasi yang tersebar di Sumatra Utara, yakni SMP Medan (kota madya), Stabat (kabupaten), Kabanjahe (kabupaten), Pematangsiantar (kota madya), Rantauprapat (kabupaten), dan Limapuluh (kabupaten). Sekolah yang dipilih adalah sekolah yang (dianggap) terbaik di 6 kota itu. Pemilihan sekolah terbaik dilakukan dengan asumsi bahwa sekolah itu telah melakukan sistem persekolahan atau pendidikan yang terbaik yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia.
AMRIN SARAGIH: PEMBELAJARAN GENRE TULIS ...
Subjek penelitian adalah 333 pembelajar SMP kelas VII, VIII dan IX dan 18 guru di keenam sekolah itu. Untuk mendapatkan data, yakni genre tulis oleh pembelajar, teknik elisitasi yang digunakan adalah meminta guru agar pembelajar diberi tugas menulis sesuatu topik yang mereka inginkan. Data juga diperoleh dengan observasi terhadap pembelajaran menulis di kelas dan dengan wawancara terhadap guru. Dengan teknik itu data yang diperolah adalah teks yang ditulis oleh pembelajar SMP, hasil observasi yang menggunakan daftar cek, dan transkrip wawancara dengan guru. Teks atau genre yang ditulis pembelajar dianalisis dengan teknik analisis teks berdasarkan LFS. Data yang diperoleh dari observasi dan wawancara dianalisis dengan teknik analisis yang lazim digunakan dalam penelitian kualitatif.
2. Kerangka Teori Kajian ini didasarkan pada teori linguistik fungsional sistemik (LFS) dan teori genre seperti yang dikemukakan oleh Halliday (2002, 2003, 2004, 2005), Eggins (2004), Halliday dan Mathiessen (2001), Martin (1992, 1997, 2010), Christie dan Martin (2007), Martin dan Rose (2008, 2012), Gerot dan Wignell (1994) dan
Iedema (2011). Genre dibatasi sebagai proses atau aktivitas sosial berorientasi tujuan dan bertahap. Perkembangan capaian genre tulis oleh pembelajar ditentukan oleh sistem pembelajaran formal, yang berbeda dengan perolehan bahasa lisan yang walau bagaimana pun akan dicapai oleh seorang anak selagi dia lahir dengan indra atau kondisi fisik normal dan dibesarkan dalam konteks sosial yang lazim. Dengan kata lain, genre akan diperoleh dalam sistem persekolahan, sementara bahasa lisan dicapai dalam konteks sosial alamiah.
3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Genre yang Terkembang A. Jenis Genre Hasil penelitian genre di enam SMP di Sumatra Utara menunjukkan bahwa para pembelajar SMP menghasilkan dua kelompok teks, yakni teks atau genre yang terkait dengan bercerita dan yang tidak bercerita. Dengan merujuk Martin dan Rose (2008:6, 47) penguasaan genre atau kompetensi genre pembelajar SMP di Sumatra Utara ditampilkan dalam jejaring sistem (system network) pada Bagan 3.1 sebagai berikut.
Bagan 3.1 Jejaring Sistem Genre 139
Metalingua, Vol. 12 No. 2, Desember 2014:137—151
Jejaring sistem itu menunjukkan bahwa genre yang terkembang oleh pembelajar SMP terjadi dari dua jenis, yakni genre yang menginformasikan dan yang tidak menginformasikan. Di satu sisi genre yang menginformasikan terjadi dari yang menginformasikan benda dan kejadian. Selanjutnya, genre yang menginformasikan benda terjadi dari yang menginformasikan benda secara spesifik dengan genre deskripsi dan yang menginformasikan benda secara umum dengan genre laporan. Genre menginformasikan kejadian yang pada dasarnya merupakan genre bercerita terjadi dari yang bercerita sesuai dengan harapan dengan genre recount dan yang bercerita tidak sesuai dengan harapan atau kontraharapan. Selanjutnya, genre dengan kontraharapan terjadi dari tiga jenis, yakni genre yang menampilkan kejadian dengan penyelesaian masalah yang dikenal sebagai genre narasi dan yang tidak menampilkan penyelesaian, yaitu mencakupi genre yang meminta reaksi dari khlayak yang dikenal dengan genre anekdot, yang meminta interpretasi dengan genre exemplum dan yang meminta komentar dengan genre observasi. Di sisi lain, genre yang tidak menginformasikan terjadi dari genre yang memerintah dengan genre prosedur dan genre yang memberikan hujah, argumen, pendapat atau alasan terhadap suatu fenomena, yang selanjutnya secara spesifik terdiri atas genre yang menampilkan hujah, argumen, pendapat atau alasan dari satu sisi saja yang dikenal sebagai genre eksposisi dan yang menampilkan dari dua sudut pandang atau lebih yang dikenal dengan genre diskusi. Dengan jejaring sistem pada Bagan 3.1 itu terdapat sepuluh potensi genre, yakni deskripsi, laporan, recount, narasi, anekdot, exemplum, observasi, prosedur, eksposisi, dan diskusi. Dari sepuluh jenis genre itu pembelajar telah mencapai atau memperoleh sembilan genre dan genre laporan tidak muncul. Proporsi penampilan kesembilan jenis genre oleh pembelajar SMP ditampilkan dalam Tabel 3.1 berikut. Tabel itu menunjukkan bahwa pembelajar SMP cenderung menulis dua jenis genre, yakni recount dan deskripsi. Dengan kata lain, dalam pembelajaran menulis kedua genre itulah yang selalu dihasilkan oleh para pembelajar. 140
Tabel 3.1 Urutan Pemunculan Genre No.
Jenis Genre
Frekuensi Pemunculan
Proporsi (%)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Recount Deskripsi Narasi Eksposisi Exemplum Observasi Anekdot Prosedur Diskusi Total
148 134 17 16 8 7 1 1 1 333
44.44 40.24 5.12 4.80 2.40 2.10 0,30 0,30 0,30 100
b.
Deskripsi Genre
Berdasarkan kelengkapan strukturnya, pembelajar SMP menulis dua jenis teks, yakni genre yang sebenarnya dan genre yang belum sempurna. Genre yang sebenarnya adalah teks dengan struktur yang telah lengkap. Kategori ini berjumlah delapan, yakni deskripsi, recount, narasi, anekdot, exemplum, observasi, prosedur, dan diskusi. Genre yang belum sempurna adalah eksposisi. Eksposisi belum sepenuhnya dicapai oleh pembelajar SMP di enam lokasi penelitian ini. Teks yang ‘seperti eksposisi’ ini memenuhi sebagian besar struktur generik atau skematik genre eksposisi. Dengan demikian, genre ini potensial berkembang menjadi sempurna di jenjang pendidikan lebih lanjut, yakni di tingkat SMA. Dari jejaring sistem pada Bagan 3.1 pembelajar potensial menulis sepuluh genre. Akan tetapi, dari sepuluh potensi genre itu hanya sembilan yang terealisasi. Genre laporan tidak ditemukan walaupun genre ini sebenarnya telah dicapai pada jenjang SD (Saragih, 2013). Berikut adalah uraian tentang genre yang terkembang. Karena keterbatasan ruang, tidak semua contoh genre ditampilkan. (1) Recount Recount adalah cerita pengalaman pribadi. Cerita itu merupakan rekaman pengalaman pribadi yang mencakupi sederetan peristiwa. Dalam deretan peristiwa itu (terjadinya) suatu peristiwa terprediksi atau terharapkan (expectant) dari peristiwa sebelumnya. Deretan peristiwa itu bisa disertai gangguan atau
AMRIN SARAGIH: PEMBELAJARAN GENRE TULIS ...
kesenjangan antarperistiwa yang tidak memengaruhi kelangsungan cerita. Lazimnya tidak ada (tahap) evaluasi tertentu terhadap peristiwa yang terjadi, seperti yang terjadi atau terdapat pada narasi. Akan tetapi, peristiwa yang terjadi potensial disertai penghargaan atau penilaian (appraisal) dengan penekanan (prosodically) atau realisasi suatu unsur linguistik tertentu ketika cerita berlangsung. Dengan adanya appraisal, para pembaca atau pendengar recount juga potensial memberi pertimbangan (judgement) terhadap cerita atau peristiwa dalam cerita itu, tetapi pertimbangan itu bersifat implisit saja. Dengan kata lain, tidak ada tampilan pertimbangan secara eksplisit dalam genre recount. Sikap yang terdapat dalam recount juga
bercorak ragam. Fungsi sosial genre ini adalah berbagi atau berkongsi pengalaman dan berbagi sikap dalam konteks sosial yang luas dan bercorak ragam. Struktur genre recount adalah Orientasi E Rekaman Peristiwa E Reorientasi dengan tanda E berarti ‘diikuti oleh’. Perpindahan dari satu tahap recount ke tahap berikutnya ditandai oleh ciri linguistik atau leksikogramar, seperti pengodean dengan tema berpemarkah (marked theme) atau konjungsi lokasi (temporal), seperti kemudian, setelah itu, lalu dan sejenisnya. Berikut ditampilkan teks recount yang ditulis oleh pembelajar SMP mengenai meletusnya Gunung Sinabung di Kabupaten Karo. Untuk tujuan keasliannya, teks yang ditampilkan belum disunting.
(3.1) Gunung Meletus dan di Pengungsian Pada waktu itu Gunung Sinabung setiap menit mengeluarkan asap hitam yang tebal. Pas malam hari Gunung Sinabung mengguncang dan mengeluarkan asap tebal dan hitam. Semua orang ketakutan dan ada yang menangis sambil berdoa. Dan waktu itu seluruh desa dekat gunung semua pergi ke kabanjaje dan di sana kami mengugsi. Di pengungsian 6 bulan kami belum pulang ke desa kami karna Gunung Sinabung masih panas dan mengeluarkan awan panas. Kami tidak akan berputus asa dan kami berdoa kepada Tuhan supaya Gunung Sinabung kembali aman. Di pengungsian banyak juga orang datang menyumbangkan makanan dan bahan bahan dapur seperti beras, cabe, sayur dan lain-lain. Di pengungsian ada juga pekerjaan kami seperti mbayu, nyulam dan membuat manik-manik. Cuma itu kerajinan tangan dari orang tua kami dan pekerjaan untuk menghilangkan teroma. Kami berdoa supaya Tuhan memberi kesehatan dan kekuatan untuk kami (Ade Elsa Gloria Br Ginting Kls VII-1)
(2) Deskripsi Genre deskripsi menguraikan pengamatan penulis terhadap suatu benda atau fenomena sosial yang spesifik. Perbedaan utama antara deskripsi di satu sisi dan genre bercerita (misalnya recount) di sisi lain adalah genre deskripsi menginformasikan atau menampilkan pemerian benda, orang, tempat, atau fenomena sosial, sedangkan genre bercerita menampilkan peristiwa atau kejadian. Dengan kata lain, deskripsi mengenai produk, sedangkan genre
bercerita berkenaan dengan proses atau deretan peristiwa. Genre deskripsi juga potensial diikuti oleh perasaan atau penilaian penulisnya (appraisal) terhadap benda atau objek yang diuraikan. Fungsi sosial genre deskripsi adalah menginformasikan pengamatan penulisnya terhadap orang, benda, dan tempat yang spesifik. Struktur generik deskripsi adalah Identifikasi EÆ Deskripsi. Berikut adalah contoh teks deskripsi yang ditulis oleh pembelajar SMP. Teks deskripsi itu mengenai kucing.
(3.2) Kucingku yang Manis Saya mempunyai seekor binatang peliharaan, yaitu kucing. Kucing itu saya beri nama pussy dan merupakan kucing yang lucu dan manis. Matanya berwarna kuning dan bulunya berwarna putih kecoklat-coklatan. Kucingku senang sekali tidur di atas bantal kesayanganku dan 141
Metalingua, Vol. 12 No. 2, Desember 2014:137—151
kadang-kadang dia tidur di kursi di ruang tamu, dan kadang-kadang juga dia datang dan tidur dipangkuanku saat aku sedang menonton atau sedang duduk sambil mengerjakan PR. Kucingku sangat manis dan bersih karena saya selalu merawat dan membersihkannya. Setiap hari saya selalu memberi dia makan. Pada saat kami sedang makan biasanya dia datang kepada kami seolah-olah mengeong-eong untuk meminta makanan kepada kami. Dia sangat suka memakan lauk-pauk. Setiap saya memberi lauk dia selalu mengeong sambil makan dengan lahap. Saya sangat menyukai kucing saya (Hotma Sari Sinamo SMPN 27 Medan VIII)
(3) Narasi
(4) Eksposisi
Narasi adalah cerita tentang suatu peristiwa yang disertai dengan gangguan atau kesenjangan yang menjadi masalah. Masalah itu wujud sebagai satu tahap yang dikenal sebagai tahap Komplikasi dalam cerita itu. Masalah dalam tahap Komplikasi itu diselesaikan dalam tahap Resolusi. Sebagai genre mengenai cerita, terdapat dua perbedaan utama antara narasi di satu sisi dan empat jenis genre lain tentang cerita (recount, anekdot, exemplum, dan observasi) di sisi lain. Pertama, narasi menampilkan masalah dan direalisasikan dalam satu tahap Komplikasi dan masalah itu selanjutnya diselesaikan, sedangkan gangguan atau kesenjangan dalam keempat jenis cerita yang lain itu mungkin ada dan kalau ada tidak membentuk satu tahap, tidak diselesaikan, atau dievaluasi, tetapi ditampilkan begitu saja. Kedua, narasi memiliki tahap Evaluasi, yakni tahap yang menampilkan sikap afeksi, pertimbangan terhadap orang, apresiasi terhadap suatu hal, dan peristiwa oleh penulis atau penutur narasi itu. Tahap Evaluasi yang (potensial) mengikuti Komplikasi menggantung pemunculan Resolusi dan merupakan tegangan dan penguatan dalam penyelesaian masalah yang kemudian ditampilkan pada tahap Resolusi. Tahap Evaluasi seperti itu tidak ada pada keempat jenis genre yang lain itu. Struktur narasi adalah (Abstrak) E Orientasi E Komplikasi E [(Evaluasi)]n E Resolusi E (Koda) dengan tanda (...) berarti ‘mana suka’ dan [...] berarti ‘dapat atau potensial terjadi lebih dari sekali sebelum atau sesudah sesuatu tahap’ dalam narasi itu. Fungsi sosial narasi adalah menginformasikan satu peristiwa dan pada saat yang sama menghibur atau memberikan pengajaran (moral) kepada pembaca.
Genre eksposisi menampilkan pendapat, teori, pandangan, atau hujah dari satu sisi pandang. Kedua sisi pandang itu adalah protagonis atau antagonis, yakni sisi yang setuju dan sisi yang tidak setuju atau yang menentang satu isu sosial. Teks eksposisi yang diperoleh pembelajar SMP berikut ini adalah teks yang sangat dekat ke eksposisi dan bukan teks ekposisi yang sebenarnya. Teks itu lebih dekat atau lebih mungkin berkembang menjadi genre eksposisi daripada ke jenis teks yang lain. Genre eksposisi umumnya mengodekan hujah atau argumentasi terhadap satu fenomena atau isu sosial dengan struktur generiknya (Abstrak) E Tesis E [Argumen]n E Simpulan. Teks seperti eksposisi ini tidak sepenuhnya menampilkan atau terealisasi dalam struktur generik itu; hanya sebagian. Teks yang ditulis pembelajar SMP memenuhi hanya dua struktur, yakni Tesis dan Argumen dan argumen itu tidak disertai dengan pendukungnya yang lazim pada eksposisi yang sebenarnya, seperti tampilan contoh, ilustrasi, statistik, dan rujukan.
142
(5) Exemplum Exemplum adalah cerita tentang satu insiden atau peristiwa yang meminta interpretasi dan pertimbangan (judgement) dari khalayak (pembaca atau pendengar). Teks exemplum menampilkan gangguan atau kesenjangan peristiwa yang tidak terprediksi atau terharapkan (counterexpectant), bahkan kadang-kadang berlawanan dengan prediksi. Selanjutnya, insiden dalam exemplum dimaksudkan untuk diinterpretasikan. Sikap yang terbentuk adalah pertimbangan terhadap karakter atau tingkah laku orang. Insiden atau peristiwa dalam exemplum dapat terpuji atau tercela sehingga pertimbangan yang timbul dari khalayak dapat mengagumi atau
AMRIN SARAGIH: PEMBELAJARAN GENRE TULIS ...
mengkritik, memuji atau mencela, dan menyenangi atau membenci. Fokus utama dalam exemplum adalah berbagi atau berkongsi pertimbangan moral terhadap satu insiden. Dengan demikian, sikap yang ditimbulkan adalah pertimbangan (judgement) terhadap peristiwa atau kejadian dalam cerita itu. Struktur exemplum adalah Orientasi E Insiden E Interpretasi E (Koda). (6) Observasi Observasi adalah cerita tentang (deskripsi) peristiwa yang disertai dengan komentar pribadi atau apresiasi mengenai (satu aspek) peristiwa itu. Apresiasi yang diberikan terhadap deskripsi peristiwa dapat positif atau negatif. Fokus utama dalam observasi adalah berbagi atau berkongsi tanggapan atau reaksi pribadi terhadap sesuatu hal atau peristiwa. Sikap yang terbentuk adalah apresiasi terhadap peristiwa atau insiden atau orang. Realisasi apresiasi terdapat pada appraisal yang dikodekan dalam teks observasi. Struktur generik teks observasi adalah Orientasi E Peristiwa E Komentar. (7) Anekdot Anekdot merupakan cerita dengan (deretan) peristiwa yang luar biasa atau di luar kelaziman konteks sosial pada saat cerita itu berlangsung dan berakhir. Reaksi emosi pelakunya atau penutur cerita terhadap peristiwa juga di luar kelaziman. Gangguan atau kesenjangan yang luar biasa dalam cerita anekdot itu tidak dimaksudkan untuk diatasi atau diselesaikan (seperti yang terjadi pada narasi), tetapi untuk membangkitkan reaksi (pembaca). Peristiwa yang terjadi bisa tragis atau hayalan, menenangkan atau meresahkan sehingga reaksi yang timbul dari khalayak juga bisa positif atau negatif. Fungsi sosial anekdot adalah berbagi atau berkongsi reaksi emosi. Anekdot dapat merupakan cerita lucu, humor atau gurau yang bertujuan menghibur atau melipur lara. Secara umum sikap yang terdapat atau terbagun dalam anekdot adalah perasaan suka atau tidak suka (affect). Fokus utama dalam anekdot adalah berbagi atau berkongsi reaksi emosi dengan khalayak. Struktur anekdot adalah Orientasi E
Peristiwa Luar biasa E Reaksi E (Koda) dengan tanda (...) menyatakan ‘manasuka’. (8) Prosedur Genre prosedur menunjukkan (sejumlah) tahap atau langkah yang harus dilalui atau dilakukan untuk mencapai suatu tujuan. Genre ini tidak terkait dengan cerita. Fungsi sosial prosedur adalah menginformasikan kepada khalayaknya bagaimana mencapai tujuan atau melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan dengan mengikuti atau melalui sejumlah tahap. Struktur prosedur adalah Gol Ù (Materi/Bahan) Ù [Langkah] n. Gol merupakan tujuan atau hasil akhir yang akan dicapai. Materi/bahan merupakan unsur yang mendukung untuk tercapainya sesuatu tujuan dan bersifat manasuka. Selanjutnya, genre prosedur diakhiri dengan langkah yang dapat terjadi lebih dari satu langkah yang ditandai dengan [...] n. (9) Diskusi Genre diskusi menampilkan pandangan, pendapat, teori, atau hujah lebih dari satu sisi. Berbeda dengan genre eksposisi yang menampilkan hujah dari satu sisi atau sudut pandang, diskusi menampilkan pendapat atau hujah dari dua sudut pandang atau lebih. Genre diskusi potensial terstruktur sebagai (1) Isu Ù [Argumen Setuju]n Ù [Argumen Menentang]n Ù Simpulan atau (2) Isu Ù [Argumen Aneka Pandang]n Ù Simpulan. Unsur kebahasaan atau realisasi linguistik genre yang ditulis pembelajar SMP didasarkan pada aspek leksikogramar, yang secara spesifik mengacu ke unsur ideasional. Unsur ideasional ini mencakupi proses, partisipan, sirkumstan, dan konjungsi. Realisasi linguistik teks yang ditulis oleh pembelajar diuraikan dengan mengelompokkan teks ke dalam dua kategori, yakni kategori teks bercerita dan teks bukan bercerita. Teks bercerita mencakupi recount, narasi, anekdot, exemplum, dan observasi. Teks bukan bercerita mencakupi deskripsi, eksposisi, diskusi, dan prosedur. Unsur leksikogrammar yang menjadi penanda teks diringkas dalam Tabel 3.2 berikut. 143
Metalingua, Vol. 12 No. 2, Desember 2014:137—151
Tabel 3.2 Realisasi Linguistik Leksikogramar Proses
Sirkumstan
Konjungsi
Teks Bukan Bercerita
Teks Bercerita dominan material mengeluarkan, mengguncang, pergi, pulang, datang, menyumbangkan, memberi, mengunjungi, menaiki, sampai, makan, berjalan, menemui, kembali, pulang dominan Lokasi pada suatu hari, ke suatu tempat, di daerah Medan, di kebun binatang, ke rumah Rentang dua jam, lamanya, selama dua tahun dominan konjungsi lokasi kemudian, setelah, sesudah, lalu, sampai. sebelum..
Pembelajar cenderung menggunakan bahasa lisan dalam tulisan mereka. Dengan kata lain, secara substantif pembelajar menggunakan bahasa cakapan dengan medium tulis. Hal itu bermakna bahwa pembelajar sesungguhnya menggunakan leksikogramar atau tata bahasa bahasa lisan dalam genre yang mereka tulis dengan medium huruf. Dengan kata lain, laras bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa lisan dengan medium tulisan. Misalnya, dalam teks ...aku senang sekali ke kebun binatang pas di depan gerbang...kata pas merupakan kosakata cakapan dalam bahasa Indonesia. Seharusnya teks itu ditulis sebagai ...aku senang sekali ke kebun binatang dan tepat di depan gerbang.... Demikian juga dalam teks lalu aku pergi di perjalanan aku melihat seharusnya ditulis sebagai kemudian aku pergi dan di perjalanan aku melihat...karena kata lalu adalah konjungsi
dominan Relasional mempunyai, merupakan, berwarna, adalah ...senang sekali, ...sangat manis dan bersih,
tidak ada Sirkumstan yang dominan
dominan konjungsi sebab akibat: karena, sebab, oleh karena itu, lantaran; dan kesamaan: seperti, sama, berbeda...
dalam cakapan. Dalam karena aku pernah dibilang sama ayah dan ibuku bahwa aku harus menjadi orang yang terdidik... kata dibilang secara substantif adalah bahasa lisan atau cakapan. Teks itu seharusnya ditulis sebagai karena aku pernah diberitahu ayah dan ibuku bahwa aku harus menjadi orang yang terdidik.... Selain penggunaan kosakata lisan, unsur leksikogramar teks lisan juga cenderung mendominasi genre pembelajar SMP, misalnya, grup digunakan secara berulang-ulang, seperti dalam (3.3) adalah penanda teks lisan. Grup konjungsi itu, untuk fokus perhatian, dicetak miring dalam (3.3). Perulangan konjungsi seperti ini merupakan ciri bahasa lisan yang dalam proses penyampaiannya wujud dalam bentuk fragmen atau secara bertahap tidak mungkin semua pesan disampaikan sekaligus kepada mitra bicara.
(3.3) Saya bangun pukul 04.00 pagi. Setelah saya bangun, saya mandi dan gosok gigi. Setelah itu saya makan roti boy. Setelah itu saya menunggu persiapan ayah, ibu dan adik saya yang belum mandi. Setelah itu, kami menunggu kedatangan teman-teman ibu saya. Setelah teman-teman ibu saya datang, kami naik mobil ke Bandara Polonia... setelah itu kami naik pesawat lagi untuk ke Bali. Kami naik pesawat Lion Air. Setelah itu, kami sudah sampai ke Bali... Setelah itu, kami makan malam di pantai kuta pada sore harinya, pemandangan di sana indah sekali. Setelah kami menginap beberapa hari, kami lalu pulang ke medan naik pesawat lagi.
Bahasa tulis memiliki ciri preskriptif. Para pembelajar SMP membuat kesalahan preskriptif yang secara spesifik mencakupi kesalahan ejaan, pilihan kata, dan tata bahasa, misalnya dalam teks Pada hari minggu aku diajak oleh ayah dan 144
ibu bertamasya...seharusnya di tulis Pada hari Minggu aku diajak oleh ayah dan ibu bertamasya...dengan nama hari ditulis dalam huruf kapital. Demikian juga klausa aku melihat atraksi seharusnya ditulis Aku melihat atraksi
AMRIN SARAGIH: PEMBELAJARAN GENRE TULIS ...
dengan huruf kapital di awal kalimat. Dalam teks suatu hari kucing saya mati karena dimakan oleh kucing laki-laki yang bernama cimot terjadi ketidaktepatan pilihan kata laki-laki. Seharusnya teks itu ditulis sebagai pada suatu hari kucing saya mati karena dimakan oleh kucing jantan yang bernama Cimot dengan kata laki-laki diganti dengan jantan dan penggunaan huruf kapital pada nama kucing. 3.2 Konteks Sosial Pembelajaran Genre di SMP Observasi terhadap pembelajaran genre di dalam kelas difokuskan pada 15 titik atau poin pengamatan yang mencakupi (1) pemilihan/penentuan judul/topik yang ditulis, (2) pembicaraan tentang konteks sosial teks yang ditulis, (3) peluang kepada siswa untuk bertanya, (4) bahasan mengenai struktur teks, (5) penulisan teks secara individu dan berkelompok, (6) pembicaraan mengenai realisasi linguistik teks (genre), (7) pembimbingan (scaffolding) pembelajar dalam menulis genre oleh guru, (8) kebebasan atau pembiaran secara sendiri menulis teks secara individu, (9) kesempatan mengomunikasikan teks yang ditulis kepada yang lain, (10) penampilan materi ajar (metode/teknik/ taktik) yang digunakan, (11) media yang digunakan dalam pembelajaran menulis genre, (12) evaluasi capaian pembelajar dalam menulis genre, (13) pemberian umpan balik terhadap tulisan para pembelajar, (14) motivasi bagi pembelajar untuk menulis genre, dan (15) kadar intervensi guru dalam pembelajaran menulis genre mulai dari awal hingga akhir pembelajaran. Observasi dengan 15 titik pengamatan itu menghasilkan data yang mengindikasikan bahwa
8 titik atau poin pengamatan tidak menghambat, mendukung, memfasilitasi, atau memudahkan pembelajaran menulis (genre) secara umum. Unsur yang mendukung itu ditulis dengan cetakan biasa dalam senarai itu dan tidak diuraikan lebih lanjut, kecuali ada kaitannya dengan ancangan model yang akan diusulkan. Sebaliknya, 7 titik atau poin pengamatan (ditulis dengan huruf miring pada tampilan senarai observasi di atas) memberikan data bahwa pembelajaran menulis genre terhambat. Uraian, rincian, dan alasan mengenai terjadinya ketujuh hal yang menghambat pembelajaran menulis genre diperoleh melalui wawancara yang terjadi dari 17 titik atau poin, yakni wawancara tentang (1) pendapat guru tentang urutan keterampilan menulis dan tingkat kesulitan keterampilan menulis, (2) alasan mengapa keterampilan menulis paling sulit bagi pembelajar SD, (3) uraian mengenai pendekatan/metode/teknik yang digunakan guru dalam pembelajaran menulis, (4) dasar atau alasan guru menggunakan pendekatan/metode/teknik/taktik yang digunakan itu, (5) pendapat guru terhadap sikap pembelajaran terhadap pembelajaran yang dilakukan guru, (6) pendapat guru tentang alasan mengapa pembelajar menyukai atau tidak menyukai pembelajaran yang dilakukan guru, (7) upaya guru mengatasi perbedaan minat menulis antarpembelajar, (8) pendapat guru tentang keberhasilan pembelajaran yang dilakukannya, (9) cara pembelajaran menulis genre yang diaplikasikan, (10) upaya guru untuk peningkatan kreasi pembelajar dalam menulis genre, (11) pendapat guru terhadap fasilitas pembelajaan menulis yang digunakan, (12) pendapat pembelajar tentang pembelajaran menulis yang dilakukan guru, (13) pendapat pembelajar apakah penilaian menulis yang dilakukan guru telah tepat, 145
Metalingua, Vol. 12 No. 2, Desember 2014:137—151
(14) pendapat pembelajar terhadap pemenuhan kebutuhannya untuk pembelajaran menulis, (15) pendapat orang tua terhadap pentingnya keterampilan menulis bagi pembelajar, (16) pengetahuan orang tua terhadap kompetensi pembelajar dalam menulis teks (genre), dan (17) pendapat orang tua tentang pemenuhan kebutuhan pembelajar dalam menulis. Faktor yang menghambat pembelajaran menulis genre terjadi pada unsur sistem persekolahan yang pada tahap awal penelitian ini terjadi pada aspek yang terkait dengan guru sebagai motivator dan fasilitator dalam pembelajaran. Aspek yang terkait dengan masyarakat, khususnya tentang peran orang tua, belum menunjukkan data yang berarti. Uraian tentang faktor yang menghambat pembelajaran genre ditampilkan sebagai berikut. (1) Bahasan mengenai struktur teks tidak dibuat karena guru tidak memiliki pengetahuan dan kompetensi tentang struktur generik atau skematik teks. (2) Guru tidak membelajarkan siswa tentang kemampuan menulis genre berdasarkan struktur generik atau skematik teks. Secara spesifik dan terperinci, guru tidak membahas dan menguraikan struktur recount, observasi, narasi, exemplum, observasi, deskripsi, diskusi, prosedur, dan eksposisi. Guru hanya memberikan gambaran yang umum tentang struktur teks, yakni teks terjadi dari unsur pendahuluan, isi, dan penutup. Konsekuensinya adalah pembicaraan mengenai realisasi linguistik teks (genre) tidak dilakukan. Realisasi linguistik mencakupi fitur leksikogramar. Secara terperinci, fitur leksikogramar mencakupi proses, partisipan, sirkumstan, konjungsi, dan unsur tekstual lainnya. Guru hanya mengajarkan mekanisme bahasa, seperti ejaan secara terbatas. Konsekuensi dari kealpaan membicarakan realisasi linguistik ini adalah para pembelajar SMP menulis teks atau genre dengan realisasi bahasa yang tidak akurat atau realisasi linguistik yang tidak lazim. Para guru tidak menampilkan atau mengajarkan realisasi 146
linguistik teks atau genre karena mereka tidak mengetahui deskripsi fungsional fitur leksikogramar itu. (3) Pembimbingan (scaffolding) pembelajar dalam menulis genre oleh guru tidak sistematis. Pembelajar tidak tahu menulis genre dengan tepat. Guru tidak memberikan struktur teks kepada pembelajar karena guru tidak memiliki pengetahuan tentang itu. Dengan kata lain, pengetahuan genre adalah hal yang baru dan guru belum mengetahuinya. Guru tidak mengintervensi para pembelajar dalam menulis genre dengan cara membingkai atau mengarahkan kegiatan mereka ke arah pencapaian tujuan genre melalui penulisan fase dan tahap teks yang ditulis dan realisasi linguistik teks. Ketidakadaan pembingkaian atau pembimbingan kegiatan ini disebabkan anggapan guru bahwa pembelajar harus diberi kebebasan mengekspresikan pengalaman mereka secara bebas agar mampu membuat kreativitas dan inovasi dalam tulisan mereka. Pendapat ini dapat diterima dan berlaku hanya pada tahap tertentu, yakni pada tahap ketika para pembelajar telah mengetahui fungsi sosial genre, struktur genre, dan realisasi linguistiknya. Berbeda dengan keterampilan berbicara yang dapat dicapai secara bebas dan alamiah, keterampilan menulis genre dikembangkan dalam proses pendidikan formal dan dicapai dengan baik melalui pemodelan. Dengan kata lain, dalam bahasa tulis terdapat kaidah baku yang harus dipenuhi dan pelanggaran terhadap kaidah menimbulkan anomali yang bercanggah dengan budaya tulis yang telah melembaga secara sosial. Dengan sifat bahasa tulis yang demikian, pada tahap awal pembelajaran, pembingkaian atau pembimbingan kegiatan berada pada tahap yang besar dan secara bertahap menurun hingga tidak ada sama sekali pada tahap akhir pembelajaran. Konsekuensi dari pembelajaran tanpa pembingkaian atau pembimbingan ini adalah para pembelajar tidak mengetahui tujuan pembelajaran dan meraba-raba tujuan yang akan dicapai. Pembelajaran seperti ini tidak efektif dan efisien kerena memboroskan waktu ketika para pembelajar mencari sendiri tujuan teks yang mereka tulis.
AMRIN SARAGIH: PEMBELAJARAN GENRE TULIS ...
(4) Penampilan materi ajar (metode/teknik/ taktik) yang digunakan tidak berjenjang atau tidak sistematis. Guru tidak menampilkan materi ajar secara sistematis mengikuti alur pengembangan genre, misalnya fungsi sosial, stuktur generik atau skematik, dan realisasi linguistik teks atau genre. Guru hanya memberikan satu topik dan meminta para pembelajar menulis tentang topik itu. Materi apa yang ditampilkan pada tahap awal, tahap berikutnya dan tahap akhir tidak terperinci. Hal ini membuat pembelajar tidak tahu dan kebingungan apa yang diinginkan atau yang mereka minta karena tulisan mengenai satu topik dapat mencakupi belasan genre akademik. Penampilan materi yang tidak sistematis ini disebabkan oleh guru tidak memiliki pengetahuan mengenai genre. (5) Evaluasi capaian pembelajar dalam menulis genre tidak dilakukan berdasarkan kriteria yang jelas. Ketika para pembelajar telah selesai menulis teks atau genre tentang suatu topik secara individu, evaluasi tentang ketepatan atau keterpenuhan kriteria yang diminta tidak dilakukan. Dengan pembelajaran yang berlangsung saat ini di SMP lokasi penelitian, guru hanya mengomentari isi tulisan atau secara tidak terencana memeriksa ejaan dalam tulisan pembelajar itu. Unsur lain di luar pembelajaran genre yang dinilai adalah kerapian atau keterbacaan tulisan. Apakah teks atau genre yang ditulis mencapai sasaran, tidak menjadi cakupan pembelajaran. Dengan kata lain, evaluasi capaian pembelajar dilakukan dengan kriteria yang tidak jelas. (6) Pemberian umpan balik terhadap tulisan para pembelajar tidak tepat. Sebagai akibat dari evaluasi yang tidak jelas kriteria dan tujuannya pada (5) adalah guru tidak mengetahui pembelajar yang kuat atau yang lemah dalam aspek atau unsur apa dari pembelajaran genre itu. Dengan kata lain, guru tidak mengetahui kekuatan atau kelemahan penguasaan pembelajar tentang genre. Konsekuensinya adalah guru tidak dapat memberikan umpan balik yang tepat terhadap pembelajar.
Pemberian umpan balik sangat menentukan dalam pembelajaran karena dengan pemberian umpan balik itu pembelajar dapat memfokuskan perhatian terhadap aspek yang menjadi perhatian khusus atau istimewa dan mengabaikan unsur yang sudah dikuasainya. Di lokasi penelitian guru hanya memberikan umpan balik secara sporadis tentang penulisan kata dan kalimat. (7) Kadar intervensi guru dalam pembelajaran menulis genre mulai dari awal hingga akhir pembelajaran tidak sistematis. Pembelajaran genre yang sistematis adalah pembelajaran dengan intervensi guru dalam pengarahan atau pembingkaian kegiatan yang lebih besar pada tahap awal pembelajaran dan semakin menurun pada tahap berikutnya hingga tidak ada sama sekali atau absen di tahap akhir pembelajaran. Sebaliknya, peran pembelajar kecil pada tahap awal pembelajaran, semakin besar pada tahap berikutnya hingga dominan pada tahap akhir. Pada tahap akhir pembelajaran yang sistematis itu pembelajar bertanggung jawab sepenuhnya atas genre yang ditulisnya dan mampu mengomunikasikannya ke seluruh kelas untuk mendapat tanggapan dari para pembelajar yang lain atau guru. Keadaan pembelajran genre seperti ini tidak ditemukan di SMP tempat penelitian berlangsung. Intervensi dan peran guru dan pembelajar berlangsung tidak sistematis, bahkan di hampir semua SMP yang diteliti peran guru dominan. Dengan kata lain, peran guru masih besar dan pembelajar cenderung bersikap pasif mendengarkan atau menyimak apa yang disampaikan atau diterangkan guru. 3.3 Model Pembelajaran Model pembelajaran yang diajukan adalah model pembelajaran yang melibatkan guru dan pembelajar. Model ini menggabungkan genrebased learning oleh Feez (1998:28) dan pendekatan ilmiah (scientific approach) yang digunakan dalam Kurikulum 2013. Terdapat kesejajaran antara siklus pembelajaran dalam genre-based leaning dan scientific approach yang diringkas dalam Tabel 3. 3 sebagai berikut. 147
Metalingua, Vol. 12 No. 2, Desember 2014:137—151
Tabel 3.3 Kesejajaran Genre-Based Learning dan Scientific Approach Genre-Based Learning (Feez 1998)
No.
Scientific Approach (Kurikulum 2013)
building the context modelling and deconstructing the text joint construction of the text independent construction of the text linking related texts
1. 2. 3. 4. 5.
observing (mengamati) questioning (menanyakan) associating (bernalar) experimenting (mencoba) networking/communicating (mengomunikasikan)
Dengan kesejajaran atau analogi dalam langkah-langkah pembelajaran, model pembelajaran yang dikemukakan ini sesuai dengan konteks sosial Indonesia saat ini yang sedang mengaplikasikan Kurikulum 2013. Model pembelajaran ini dirancang dan merupakan siklus yang terjadi dari lima tahap, seperti diringkas pada Bagan 3.2 berikut.
akhir pembelajaran dengan diskusi kelompok di antara awal dan akhir pembelajaran sebagai momen bagi guru untuk memacu pengembangan keterampilan sosial pembelajar dalam penyelesaian masalah dan peran pembelajar semakin besar hingga dominan pada tahap ahir, seperti diringkas dalam Bagan 3.3 (dengan intervensi atau peran guru ditandai dengan garis terputus-putus dan peran pembelajar dengan garis biasa). Bagan 3.3 menunjukkan proporsi peran atau intervensi guru dan pembelajar berbanding terbalik yang ditandai dengan dua segitiga yang berlawanan atau sungsang. Dengan model pembelajaran itu, para pembelajar diharapkan dapat menulis genre secara tepat dan efektif. Tujuan atau fokus kegiatan pembelajaran pada setiap tahap siklus pembelajaran itu diuraikan dengan merujuk Feez (1998:28--31) dan menyejajarkannya dengan scientific approach dalam Kurikulum 2013 sebagai berikut.
Bagan 3. 2 Model Pembelajaran Genre Tulis yang Sesuai dengan Kurikulum 2013
Model pembelajaran itu terfokus pada pembelajar dengan strategi kesertaan intervensi guru yang besar pada tahap awal pembelajaran, semakin kecil atau menurun pada tahap berikutnya, dan hilang sama sekali pada tahap akhir. Sebaliknya, peran pembelajar kecil atau rendah di awal pembelajaran, lebih besar pada tahap berikutnya, dan maksimal atau dominan pada tahap akhir pembelajaran. Secara operasional indikator keberhasilan model pembelajaran ini adalah peningkatan peran pembelajar dari tahap awal pembelajaran ke tingkat dominan pada akhir pembelajaran dan penurunan intervensi guru sejak awal pembelajaran sampai keabsenan peran guru pada 148
Bagan 3. 3 Peran Guru dan Siswa dalam Tahap Siklus Model Pembelajaran
AMRIN SARAGIH: PEMBELAJARAN GENRE TULIS ...
Pada tahap mengamati/membangun konteks sosial teks (1) pertama sekali konteks sosial teks yang otentik tentang genre yang akan dibelajarkan ditampilkan atau diperkenalkan guru kepada pembelajar, lalu (2) para pembelajar mengamati dan mengekplorasi konteks budaya teks itu dan fungsi sosial teks, dan (3) selanjutnya para pembelajar mengamati atau mengeksplorasi konteks situasi teks yang secara spesifik mengacu ke register teks yang menjadi kebutuhan pembelajar. Unsur register ini, seperti diuraikan dalam teori LFS, mencakupi unsur medan (field), pelibat (tenor), dan sarana (mode). Pada tahap kedua atau tahap menanyakan/ memberikan model dan dekonstruksi teks, para pembelajar dengan penjelasan dari guru pada tahap pertama dan pada tahap penguraian unsur teks, seperti struktur generik dan skematik (1) menanyakan fungsi sosial teks, struktur teks, dan fitur linguistik teks yang merealisasikan jenis teks yang dipelajari dan (2) menanyakan serta membanding-bandingkan model teks yang menjadi fokus kajian dengan teks lain yang sejenis. Pada tahap mengasosiasikan/merencanakan teks bersama, guru dan pembelajar terbabit dalam kegiatan bersama yang secara spesifik (1) para pembelajar dalam kelompok menghubungkan sifat satu teks dengan yang lain atau memberi masukan untuk pembentukan contoh-contoh teks yang dipelajari, kemudian (2) guru secara bertahap mengurangi perannya dalam pembentukan teks ketika para pembelajar semakin menguasai jenis teks yang dipelajari dengan cakupan fungsi sosial, struktur teks, dan realisasi dalam fitur linguistik. Pada tahap mencoba/membuat teks secara mandiri, secara individu pembelajar (1) bekerja sendiri untuk mencoba membuat teks yang akan dipajangkan dan dikomentari oleh grup/kelompok dan pada saat ini
(2) kinerja setiap siswa dalam menulis atau menghasilkan teks digunakan sebagai penilaian. Pada tahap mengomunikasikan/ menautkan teks yang terkait, para pembelajar menampilkan teks yang telah mereka buat di depan kelas secara individu atau kelompok serta seluruh kelas mengkaji dan meneliti bagaimana materi yang telah ditampilkan itu (fungsi sosial, struktur teks, dan fitur linguistik) dapat dihubungkan dengan teks yang lain dengan fokus pada (1) teks lain dengan konteks yang sama atau masih terkait dan (2) tahap-tahap pembelajaran yang telah dilalui atau yang akan dihadapi dalam siklus pembelajaran berikutnya. 3. 4 Pembahasan Temuan kajian ini menunjukkan bahwa pembelajar SMP cenderung menulis teks atau genre bercerita. Temuan ini sejalan dengan pendapat Martin dan Rose (2006:44) dengan beberapa pengecualian, yang menegaskan bahwa anak-anak cenderung menulis genre bercerita. Genre bercerita yang ditulis hanya merekam peristiwa yang dialami secara pribadi dengan reaksi berupa penilaian atau perhargaan (appraisals) secara sporadis sepanjang fase genre bercerita itu. Dengan hambatan dan dukungan konteks sosial persekolahan satu model pembelajaran dikemukakan yang pada prinsipnya menempatkan proporsi intervensi guru dan peran pembelajar secara berlawanan dalam proses pembelajaran, yang sejalan dengan pendapat Doughty (2006:267) dan Feez (1998:28) dengan beberapa pengecualian. Genre bercerita yang ditulis oleh pembelajar SMP di enam lokasi penelitian cenderung ke genre recount, seperti ditampilkan pada Tabel 3.1. Dengan kata lain, jika diminta menulis suatu topik, pembelajar SMP cenderung menulis genre recount. Persepsi yang berkembang di kalangan sekolah mengenai menulis atau mengarang itu ialah mengarang cerita. Genre recount yang ditulis ini umumnya terkait dengan pengalaman pribadi 149
Metalingua, Vol. 12 No. 2, Desember 2014:137—151
pembelajar, yang mengakibatkan recount yang ditulis dikaitkan dengan pengodean pribadi yang terealisasi oleh pronomina pertama saya, aku, atau kami dan benda atau yang terkait dengan pronomina itu, seperti ayahku, ibuku, abangku, nenekku, dan bapak kami. Dengan kata lain, pembelajar SMP di enam lokasi di Sumatra Utara cenderung hanya menulis fenomena alam atau sosial yang terkait dengan dirinya atau pengalaman pribadinya jika diminta menulis tentang suatu topik. Martin dan Rose (2006:44) mengamati bahwa dalam semua budaya genre bercerita menjadi fokus karena cerita terkait dengan kehidupan manusia. Di Australia genre bercerita ini mencakupi recount, anekdot, exemplum, observasi, dan narasi. Pengecualiannya dalam konteks Indonesia, khususnya untuk pembelajar SMP di Sumatra Utara adalah genre bercerita itu cenderung ke recount saja. Sejumlah unsur konteks sosial persekolahan saat ini mendukung pembelajaran genre di enam lokasi penelitian. Akan tetapi, unsur utama, yakni guru menjadi hambatan utama pembelajaran genre. Berdasarkan hambatan dan kemudahan yang dihadapi saat ini, ancangan model pembelajaran genre dikemukakan. Ancangan pembelajaran genre ini pada prinsipnya merupakan gabungan antara genre-based leaning oleh Feez (1998) dan pendekatan ilmiah (scientific approach) dalam Kurikulum 2013.
4. Penutup 4.1 Simpulan Setelah data dianalisis, simpulan dikemukakan sebagai berikut. (1) Pembelajar SMP di Sumatra Utara telah mencapai keterampilan menulis sepuluh genre, yang terbagi ke dalam dua kelompok, yakni genre bercerita dan bukan bercerita.
150
Dari kedua jenis itu pembelajar cenderung menulis genre bercerita, yang mencakupi recount, narasi, anekdot, exemplum, dan observasi. (2) Sebagian unsur konteks sosial persekolahan memotivasi pembelajaran menulis genre. Akan tetapi, sebagian lagi unsur konteks sosial, terutama keterbatasan pengetahuan guru tentang genre dan model pembelajaran berbasis teks telah menjadi penghambat dalam pembelajaran menulis genre. (3) Pembelajaran menulis genre di tingkat SMP saat ini belum efektif dan efisien karena keterbatasan pengetahuan guru tentang genre dan pembelajaran berbasis teks atau berbasis genre. Dengan keadaan itu satu model pembelajaran genre yang beranalogi dengan Kurikulum 2013 telah dikemukakan. 4.2 Saran Sekaitan dengan simpulan itu, saran berikut ini dikemukakan. (1) Kajian lebih lanjut di jenjang persekolahan lebih lanjut perlu dilakukan, terutama di tingkat SMA untuk mengkaji perkembangan kelanjutan potensi teks, seperti genre eksposisi dan eksplanasi yang potensial terkembang di kalangan pembelajar SMA. (2) Kajian lebih lanjut tentang konteks persekolahan dan persepsi masyarakat perlu dilakukan. Kajian itu akan memberikan gambaran terperinci terhadap konteks sosial yang mendukung atau menghambat pembelajaran menulis genre. (3) Model pembelajaran untuk penulisan genre tulis yang dikemukakan di dalam tulisan ini perlu diujicobakan dan dianalisis kekuatan dan kelemahannya. Hal ini sejalan dengan kebutuhan Kurikulum 2013.
AMRIN SARAGIH: PEMBELAJARAN GENRE TULIS ...
Daftar Pustaka Christie, F. dan J. R. Martin 2007. Knowledge Structure: Functional Linguistic and Sociological Perspectives. London: Continuum. Doughty, C. J. 2006. Instructed SLA: “Constraints, Compensation and Enhancement”. Dalam Doughty, C. J and M. H. Long (Ed.) The Handbook of Second Language Acquisition. London: Blackwell pp 256–310. Eggins, S. 2004. An Introduction to Systemic Functional Linguistics. New York: Continuum. Feez, S. 1998. Text-Based Syllabus Design. Sydney: NCELTR Macquarie University. Gerot, L. and P. Wignell. 1994. Making Sense of Functional Grammar. Sydney: Gerd Stabler. Halliday, M. A. K. 2002. “Linguistic Function and Literary Styly: an Inquiry into the Language of William Golding’s The Inheritors”. Dalam Webster, J. J (Ed.) Linguistic Studies of Text and Discourse. London: Continuum. Halliday, M. A. K. 2003. “Towards a Language-Based Theory of Learning”. Dalam Webster, J. J (Ed.) The Language of Early Childhood. London: Continuum, 327–352. Halliday, M. A. K. 2004. An Introduction to Functional Grammar. London: Edward Arnold. Halliday, M. A. K. 2005. “On Grammar and Grammatics”. Dalam Webster, J. J (Ed.) On Grammar. London: Continuum, 384–417. Halliday, M. A. K. dan C. M. I. M. 2001. Construing Experience through Meaning: a Languagebased Approach to Cognition. London: Continuum. Iedema, R. 2011. “The History of the Accident News Story”. Dalam Australian Reviewof Applied Linguuistics 20 (2), 95–115. Kress, G. 1993. “Genre as Social Process”. Dalam Cope, B and M. Kalanzis (Ed.) The Power of Literacy: A Genre Approach to Teaching Writing. London: The Falmer Press. Martin, J. R dan D. Rose 2012. “Genres and Texts: Living in the Real World”. Dalam Indonesian Journal of Systemic Functional Linguistics. I, 1. 1–21. Martin, J. R. 1992. English Text: System and Structure. Amsterdam: John Benjamins. Martin, J. R. 1997. “Analysing Genre: Functional Parameters”. Dalam Christie and J. R Martin (Ed.) Genre and Institutions: Social Processes in the Workplace and School. London: Cassell. Martin, J. R. 2010. “Semantic Variation Modelling System, Text and Affiliation in Social Semiosis”. Dalam Bednaarek, M. dan J. R. Martin (Ed.) New Discourse on Language:Funtional Perspectives on Modality, Identity and Affiliation. London: Continuum, 1–34. Martin, J. R. dan D. Rose. 2006. Working with Discourse: Meaning Beyond the Clause. London: Continuum. Martin, J. R. dan D. Rose. 2012. “Genres and Texts: Living in the Real World”. Dalam Indonesia Journal of Systemic Functional Linguistics. 1 (1), pp 1–21. Saragih, A. 2011. Semiotik Bahasa. Medan: Pascasarjana Unimed Press. Saragih, A. 2013 “Pengembangan Genre Tulis Pembelajar Sekolah Dasar dalam Sistem Persekolahan Indonesia di Sumatra Utara”, Laporan Penelitian Hibah Bersaing, Universitas Negeri Medan.
151
Metalingua, Vol. 12 No. 2, Desember 2014:137—151
152