PEMBAHASAN UMUM
Penelitian tahap ke-I. Penga ruh konsentras i NaOH dan lama pemeraman terhadap kandunga n gizi serat sawit Usaha peningkatan produk peternakan menuntut adanya pakan yang murah, berkualitas dan tersedia dalam jumlah yang banyak dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. Umumnya kecernaan dari ransum pakan serat sekitar 40-45 %, karena itu sangat diperlukan upaya perbaikan nutrisi untuk meningkatkan kecernaannya. Usaha yang dapat dilakukan antara lain dengan perlakuan secara kimia diantaranya pemeraman dengan fisik, NaOH, (menggiling dan memotong, uap pa nas) dan biologi (menggunakan khamir, kapang atau jamur) untuk memperkaya nilai nutrisi dari sekam dan sekam yang digiling. NaOH adalah alkali yang paling efektif untuk menaikkan kecernaan zat makanan limbah pertanian/industri karena mampu memutuskan ikatan lignosellulosa yang lebih besar sehingga kecernaan lebih tinggi, hal ini sesuai menurut Moss et al. (1990) bahwa perlakuan de ngan NaOH ada lah suatu metode yang efektif untuk meningkatkan kualitas jerami padi yang rendah, walaupun penambahan NaOH membuat defisiensi nitrogen lebih buruk pada jerami padi.
Oleh karena itu
penggunaan NaOH pada SS dimanfaatkan untuk melepas ikatan lignoselulosa yang akan menurunkan kadar lignin dan peningkatan daya cerna secara proporsional dengan turunnya kadar lignin aka n memudahkan untuk difermentasi dengan A. niger sebagai pensintesa kromium organik. Perlakuan NaOH pada serat sawit ternyata dapat meningkatkan bahan kering, bahan organik, abu, energi dan retensi N, namun tidak terjadi peningkatan kecernaan serat kasar (Arysoi 1998), tetapi pada penelitian Ginting (1996) perlakuan NaOH de ngan ko nsentrasi 5 % memberikan koefisien cerna bahan kering in-vitro serat sawit yang terbaik dibanding dengan konsentrasi NaOH 2.5 dan 7.5 %. Metode pencucian pada hasil pemeraman dengan NaOH memberikan hasil yang tidak menguntungkan, karena hilangnya sebagian nutrisi dari SS, hal ini tidak dapat diaplikasikan dalam pengolahan bahan berserat tinggi dengan tujuan sebagai pakan ternak. Metode alternatif yang dapat dilakukan adalah pengolahan fisik setelah itu meningkatkan
120 pertumbuhan kapang. Pertumbuhan kapang dapat dilihat dengan banyaknya pertumbuhan hifa dan miselium dan dapat diukur panjang dan berat miselium. Penentuan mor fologi SS-NaOH ditunjukkan dengan menggunakan teknologi Scanning Electron Microscope (SEM). Pengaruh konsentrasi NaOH dan lama pemeraman terhadap dinding sel serat sawit jelas sekali terlihat dengan menggunakan scanning electron microscopy (SEM).
Serat sawit tanpa
pemeraman dengan NaOH terlihat jaringa n dasar terjalin dengan pita parenkim longitudinal dan dengan parenkim jari- jari, pembuluh tertutup oleh tilosis. Semakin tinggi konsentrasi NaOH dan lama pemeraman maka aktivitas alkali akan lebih kuat dalam melarutkan dinding sel serat sawit berarti terjadi perubahan struktur dinding sel yang berperan untuk memutuskan ikatan lignin dengan selulosa dan hemiselulosa. Percobaan pemeraman serat sawit dengan NaOH memperlihatkan bahwa dengan mengingkatnya konsentrasi NaOH terjadi penurunan bahan kering dan protein kasar serat sawit. Serat sawit setelah diperam dilakukan pencucian seiring dengan berkurangnya bahan kering dan protein kasar karena pencucian dan perlakuan NaOH.
Perlakuan alkali diharapkan berperan dalam memutuskan
ikatan hidrogen pada kristal selulosa dan silika jerami sehingga senyawa ini akan mudah terlarut (Arisoy 1998), pada pemeraman dengan NaOH akan terjadi penurunan ba han kering sesuai dilapo rka n oleh Mos s et al. (1993). Protein juga mengalami hidrolisis pada pH alkalis yang menghasilkan suatu campuran asam amino bebas. Perlakuan NaOH pada serat sawit ternyata dapat menurunkan kandungan protein kasar sesuai menurut penelitian Vadiveloo et al. (2009) dan Arysoi (1998).
Perlakuan SS-NaOH dapat menyebabkan kehilangan bahan
organik dan dapat diasumsikan bahwa tidak merubah bentuk ko mpo nen anti nutrisi fur fural da n phenolik dari degradasi lignin (Vadiveloo 1995; Vadiveloo & Fadel 1992). Hasil penelitian terhadap NDF, ADF, hemiselulosa, selulosa dan lignin berbeda tidak nyata. Selulosa yang dihasilkan terjadi penurunan, semakin tinggi kon sentrasi NaOH maka akt ivitas alkali aka n lebih kuat da lam melarutkan ikatan ligno-selulosa dan ligno hemiselulosa dan makin banyak
lignin, silika dan
hemiselulosa yang larut. Fengel dan Wegener (1995) mengatakan bahwa alkali
121 dapat menyebabkan perubahan struktur dinding sel yang berperan untuk memutuskan ikatan lignin dengan selulosa dan hemiselulosa.
Liu (1998)
mengemukakan bahwa alkali dapat memutuskan ikatan hidrogen inter molekul dan melarutkan sebagian lignin dan silika, tetapi apabila konsentrasi NaOH semakin tinggi maka kandungan ADF bertambah tinggi pula. Hal ini disebabkan adanya sebagian fraksi NDF yang mudah larut, sehingga diduga sebagian NDF berubah be ntuk menjadi ADF. Umikalsom et al
(1998) menyatakan bahwa sodium hidroksida
menurunkan kristalin selulosa dan lignin ke CO2, H2O dan asam karboksil. Perlakuan NaOH diharapka n mampu memutuska n ikatan hidrogen pada kristal selulosa dan sebagian silika menjadi larut, kristal selulosa sebagian kecil dapat larut dalam alkali encer tetapi tidak dapat larut dalam asam encer. Banyaknya selulosa terbebas dari ikatan lignin memerlukan waktu yang lebih lama untuk melarutkannya. Secara rata-rata konsentrasi NaOH 2.5-7.5% cukup efektif untuk menurunkan kandungan lignin. Sedangkan bila dilihat dari lama pemeraman, semakin lama waktunya kandungan lignin semakin turun, hal ini disebabkan NaOH semakin lama bekerja.
NaOH berfungsi untuk mendegradasi dan
melarutkan lignin sehingga mudah dipisahkan dari selulosa dan hemiselulosa (Sihite 2008), selanjutnya menurut penelitian Subkaree et al 2007, bagaimanapun pra perlakuan NaOH dapat mengurangi kandungan lignin pada pra-perlakuan serat sawit. Penelitian tahap ke II. Fermentasi serat sawit-NaOH denga n Aspergillus niger pensintesa kromium orga nik untuk me ningkatkan kualitas pakan Penggunaan Aspergillus niger pensintesa Cr-organik sebagai penghasil enzim selulase, dapat memutus rantai serat, enzim menyerang permuka an serat menghasilkan efek pengelupasan dan dapat memflokulasi serat yang berukuran kurang dari 75 μm serta partikel-partikel kecil serat.
Serat yang kecil akan
dihidrolisa mengakibatkan peningkatan derajat giling dan permukaan serat menjadi bersih dari fibril dan partikel-partikel. Hasil ini terlihat pada percobaan dengan menggunakan SEM, dimana permukaan serat sawit yang mengandung partikel-patikel kecil setelah difermentasi dengan Aspergillus niger pensintesa Cr-organik menjadi bersih.
122 Penelitian tahap kedua ini terjadi peningkatan protein kasar dari 3.93% (serat sawit tanpa
fermentasi)
menjadi 9.21
–
11.45% (serat
sawit
fermentasi=SSF). Peningkatan protein kasar pada serat sawit fermentasi disebabkan oleh adanya pertumbuhan kapang. Jamarun et al. (2001) menjelaskan bahwa kapang yang mempunyai pertumbuhan dan perkembangbiakan yang baik akan meruba h lebih banyak ko mpo nen pe nyus un media menjadi suatu massa sel, sehingga akan terbentuk protein yang berasal dari tubuh kapang itu sendiri dan dapat meningkatkan protein kasar dari bahan. Ini membuktikan bahwa kapang Aspergillus niger
mampu tumbuh pada media serat sawit alkali yang
ditambahkan kromium dan tripthopan.
Perbedaan ini disebabkan laju
pertumbuhan dan perkembang biakan kapang yang bervariasi.
Kadar air,
karakteristik substrat, suplementasi nutrisi, aerasi dan lama fermentasi merupakan variabel yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan pembentukan metabolit dalam fermentasi media padat (Krisna et al. 2005). Hasil penelitian tahap ke-II perlakuan tidak mempengaruhi NDF, ADF, hemiselulosa, dan selulosa. Menurut Parakkasi (1999) ADF erat hubungannya dengan kecernaan, sehingga apabila kecernaannya tinggi maka ADF yang tercerna akan tinggi pula. Kandungan VFA yang dihasilkan dalam penelitian ini berkisar antara 83,51-143,56 mM, berarti masih dalam kisaran normal dimana VFA yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan aktivitas mikroba antara 80-160 mM (Sutardi 1980,
Suryapratama 1999).
VFA total yang dihasilkan berada pada kisaran
kebutuhan untuk pertumbuhan dan aktivitas mikroba rumen yang optimal. Hal ini disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme pada SSF-Cr membantu menguraikan bahan maka n da n menyebabka n SSF-Cr lebih fermentabe l di rumen. Produksi NH3 dalam penelitian ini adalah 4.79 mM, nilai tersebut berada pada kisaran produksi NH3 di dalam rumen yang mendukung pertumbuhan mikroba rumen yaitu pada kisaran 4 – 12 mM (Erwanto et al. 1993) . Hal ini berarti inkorporasi A. niger dengan kromium pada SS
berfluktuasi dalam memproduksi NH3.
Suplementasi kromium pada level 4 mg/kg Cr menghasilkan produksi NH3 lebih tinggi dari perlakuan lainnya, begitu juga dengan 10% inokulum A. niger. Produksi NH3 pada SS adalah 4.55 mM, sedangkan pada penelitian ini rataan produksi NH3 adalah 4.79 mM. Pada penelitian ini terjadi peningkatan produksi
123 NH3 sebanyak 5.27 %, berarti dengan adanya kromium organik terjadi peningkatan NH3 yang sangat dibutuhkan untuk sintesis protein mikroba rumen. Pada penelitian ini terlihat bahwa persentase kecernaan bahan kering berkisar antara 9.63% - 141.47% dan bahan organik antara 4.60% - 197.77%. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh degradasi serat sawit pada penggunaan inokulum 10% A. niger lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan lainnya, sehingga dengan lama fermentasi yang sama, jumlah bahan kering dan bahan organik yang
dirombak
oleh
A. niger menjadi
lebih banyak. Terjadinya
peningkatan persentase peningkatan kecernaan bahan organik dan bahan kering diduga akibat kinerja mikroba rumen yang semakin aktif karena suplai energi yang cukup sebagai akibat dari pengaruh persentase A. niger dan level CrCl3 . Hasil kecernaan bahan kering berkisar antara 9.14% - 22.07% dan bahan organik antara 7.17% - 21.35%. Hal ini disebabkan oleh degradasi serat sawit pada penggunaan inokulum 10% dan kromium 6 mg/kg lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan lainnya, sehingga dengan lama fermentasi yang sama, jumlah bahan kering yang dirombak oleh A. niger menjadi lebih banyak. Kecernaan bahan organik akibat inkorporasi A. niger dengan kromium terjadi peningkatan sesuai dengan meningkatnya persentase inokulum dan level kromium. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh degradasi serat sawit pada penggunaan inokulum 10% dan kromium lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan lainnya, sehingga dengan lama fermentasi yang sama, jumlah bahan organik yang dirombak oleh A. niger menjadi lebih banyak. Penelitian tahap ke-III. Pe manfaatan serat sawit-Cr organik fermentasi sebagai pengga nti rumput lapanga n terhadap performa dan kualitas daging Hasil penelitian tahap III pada domba lokal menunjukkan bahwa domba yang diberikan isonutrien (12.5% protein kasar dan 65% TDN) dengan penembahan Cr 6 mg/kg sangat ditentukan oleh kecukupan makronutrien protein dan energi. Suplementasi Cr anorganik (CrCl3.6H2O) menunjukkan konsumsi dan kecernaan berbeda tidak nyata, sama hal nya dengan yang dilaporkan oleh Agustin et al. (2010) dan DePew et al. (1996). Hal ini disebabkan bertambah banyaknya level serat sawit fermentasi yang diberika n untuk pengganti rumput lapangan menyebabka n palatabilitas ransum menurun. Beberapa pakan tertentu
124 kurang palatabilitasnya dibandingkan pakan lain (Arora 1986) konsumsi pakan akan lebih banyak jika aliran lewatnya
pakan cepat, sedangkan serat sawit
fermentasi de ngan kandungan serat kasar yang tinggi menyebabkan laju makanan da lam sistim pe ncernaan akan lama karena butuh waktu yang cukup guna mencerna. Pada penelitian ini pertambahan bobot badan antara 47.10- 74.98 gram dan secara statistik pengaruh penggantian rumput lapangan dengan serat sawit fermentasi berbeda tidak nyata (P>0.05).
Hal ini menunjukkan kemampuan
ransum A, B, C, dan D sama untuk pertumbuhan dan penggantian rumput lapangan dengan serat sawit fermentasi sampai 45% tidak mempengaruhi pertumbuhan. Tidak terdapatnya perbedaan yang nyata terhadap pertambahan bobot badan disebabkan daya cerna zat- zat makanan yang hampir sama pada semua perlakuan sehingga retensi N juga berbeda tidak nyata sampai perlakuan D (45% SSF-Cr). Ini menggambarkan sebagian besar percobaan penambahan mineral
kromium
organik
yang
dilakukan di daerah subtropis
tidak
memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadap pertambahan bobot badan (EvockClover et al
1993, Lindemann et al
1995), sedangkan pada daerah tropis
pengaruh suplementasi kromium lebih baik, tetapi de ngan penambahan SSF-Cr sampai perlakuan D terjadi penurunan pertambahan bobot badan, hal ini disebabkan rendahnya palatabilitas ransum sehingga jumlah ransum yang dikonsumsi
sedikit,
mengakibatkan
pertambahan
bobot
badan
rendah.
Selanjutnya pe nelitian ini didukung DePew et al. (1996) dan Uyanik (2006) bahwa suplementasi kromium tidak mempengaruhi pertambahan bobot badan , kadar kromium darah LDL, tetapi menurunkan kadar glukosa darah pada domba yang disuplementasi dengan 0.2 dan 0.4 Cr anorganik. William et al. (1994) bahwa supplementasi 0.8 mg Cr pikolinat pada 24 ekor domba pada kondisi cekaman panas (heat stress) dengan bobot badan 29 kg tidak mempengaruhi efisiensi penggunaan ransum, kadar glukosa plasma, keseimbangan nitrogen, dan kemampuan untuk mencerna serat (kandungan Cr ransum basal tidak diketahui). Setelah ternak dipotong akan terjadi perubahan pH, pada penelitian ini level SSF-Cr dalam ransum berpengaruh tidak nyata terhadap pH daging. Nilai pH daging mempunyai pengaruh yang berarti pada kualitas daging, karena nilai
125 pH daging berhubungan dengan warna, DMA, jus daging, keempukan dan susut masak. pH daging ultimat (pH yang tercapai setelah glikogen otot habis atau glikogen tidak lagi sensitif oleh serangan-serangan enzim glikolitik) normalnya adalah 5,4–5,8 (Soeparno 1994). Nilai pH daging ultimat hasil penelitian ini lebih rendah (5.25) dari pH daging ultimat normal. Hal ini kemungkinan karena jumlah cadangan glikogen otot saat pemotongan lebih tinggi sehingga penimbunan asam laktat tidak terjadi karena cadangan glikogen otot masih tersedia sebelum pH daging ultimat normal tercapai.
Terdepresinya glikogen
dapat terjadi karena ternak lelah, lapar atau takut sebelum pemotonga n (Lawrie 2003). Keempukan daging yang diperoleh pada penelitian ini antara 3.83-5.49 kg/cm2, berarti keempukan daging SSF-Cr berada pada kriteria daging empuk memiliki daya putus WB (Warner Bratzler) ya itu 4.15 - < 5.86 kg/cm2 (Suryati dan Arief 2005).
Suplementasi SSF-Cr dalam ransum lebih menguntungkan
karena adanya inkoporasi Cr dan A. niger yang mengakibatkan perubahan struktur miofibrilar akan mempengaruhi keempukan daging. Perbedaan bangsa juga dapat menimbulkan perbedaan keempukan daging, daging dari tipe kecil lebih empuk daripada daging dari tipe besar (Lawrie 2003). Warna daging pada otot longissimus dorsi (LD) diperoleh merah muda sampai merah tua. Hal ini terjadi karena adanya SSF-Cr dalam ransum yang mengakibatkan warna merah pada daging.
SSF-Cr nampaknya dapat
meningkatkan myoglobin sebagai penentu warna daging, karena pada otot LD biasanya daging berwarna pucat disebabkan otot yang kurang banyak digunakan untuk bergerak. Susut masak da n daya ikat air (DMA) pada penelitian ini berbeda tidak nyata. Pada umumnya, susut masak bervariasi dengan kisaran 15 - 40% (Soeparno 1994). Susut masak dan daya ikat air (DMA) yang dididapat pada penelitian ini berkisar pada kisaran yang yang normal. Protein daging terlihat antara 15.74 - 18.77% seiring dengan konsumsi BK dan serat kasar yang juga berbeda tidak nyata. Komposisi kimia daging bervariasi dan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain bangsa, umur pakan, perbedaan pertumbuhan,
termasuk
perbedaan waktu penggemukan (Lawrie 2003).
126 Peningkatan jumlah SSF-Cr dalam ransum terjadi peningkatan protein da ging, hal ini disebabkan supplementasi kromium organik metabolisme protein.
yang dapat
membantu
Di dalam struktur GTF kromium adalah komponen
aktifnya, sehingga tanpa adanya Cr pada pusat atau intinya, GTF tidak dapat bekerja mempengaruhi insulin (Burton 1995). Anderson dan Kozlovsky (1985) menyatakan kerja GTF pada sistem transport glukosa dan asam amino adalah meningkatkan pengikatan insulin dengan reseptor spesifik pada organ target. Saat insulin mengikat reseptor spesifiknya, uptake seluler glukosa dan asam amino dipermudah dalam hal fungsi GTF adalah meningkatkan efektifitas potensi insulin. Pendapat ini sesuai dengan pernyataan Linder (1992) bahwa kerja GTF dalam transfer gula pada sel ragi tidak bergantung pada kehadiran insulin. Hasil- hasil penelitian Cr menunjukkan bahwa selain esensial dalam metabolisme karbohidrat, Cr juga dibutuhkan dalam metabolisme lemak dan protein, dalam hal ini difisiensi Cr dapat menyebabka n hiperkolesterolemia dan arterosklerosis serta rendahnya inkorporasi asam amino pada protein hati. Ditambahkan bahwa asam amino yang dipengaruhi oleh Cr adalah metionin, glisin dan serin (Anderson 1987). Lemak daging cenderung menurun de ngan masuknya SSF-Cr tetapi secara statistik hampir sama, ini disebabkan dengan adanya SSF-Cr merobah komposisi lemak daging akibat pengunaan kromium. Hal ini juga terjadi pada penelitian dari Brazil memperlihatkan bahwa suplementasi kromium ragi 400 ppb pada ayam broiler sangat nyata menurunkan persentase lemak daging bagian dada dan memperbaiki efisiensi penggunaan pakan (Hossain 1995). Pada percobaan ini rataan kandungan lemak SSF-Cr adalah
2.58% hampir sama dengan yang
dikataka n oleh Lawrie (1985) kandungan lemak daging 2.5%.
Suplementasi
kromium lebih baik pada negara- negara sedang berkembang yang mempunyai masalah nutrisi.
Hal ini disebabkan oleh defisiensi kromium dan tingginya
cekaman panas di daerah tersebut. Pada percobaan ini secara umum asam lemak yang didapat terjadi penurunan seiring dengan meningkatnya jumlah SSF-Cr da lam ransum. Pada penelitian ini asam lemak jenuh ( laurat, miristat, palmitat dan stearat), asam lemak tidak jenuh (oleat) yang dipe roleh berbeda tidak nyata sesuai dengan
127 penambahan SSF-Cr dalam ransum. Hal ini menunjukkan efektifitas jumlah SSFCr yang diberikan dalam ransum cukup memberikan pengaruh terhadap penurunan asam lemak jenuh. Menurut French et al. (2000) asam lemak stearat dan palmitat merupakan jenis asam lemak jenuh terbanyak pada daging, sedangkan pada penelitian ini asam lemak jenuh yang terbanyak adalah asam lemak miristat dan palmitat. Selama penelitian ini asam lemak jenuh yang dihasilkan terjadi penurunan, berarti dengan adanya SSF-Cr dalam ransum terjadi penurunan asam lemak jenuh yang dapat menyebabkan penyakit jantung koroner. Dengan adanya penurunan asam lemak jenuh pada daging domba yang mengandung ransum SSF-Cr, daging domba yang dihasilkan lebih baik dan akan menghindari timbulnya penyakit jantung koroner bagi yang mengkonsumsi daging. Kolesterol daging yang didapat dalam percobaan ini terjadi penurunanan sesuai dengan jumlah SSF-Cr yang meningkat, suplementasi kromium organik (SSF-Cr) dalam ransum dapat menurunkan jumlah kolesterol daging domba. Crorganik berperan penting pada metabolisme dan penggunaan karbohidrat, sintesa asam lemak, ko lesterol dan protein. Kromium berfungsi mengatur proses produksi lemak dalam tubuh, sehingga mencegah pembentukan lemak berlebih dan. mampu meningkatkan sensitifitas insulin tubuh sehingga membantu mencerna gula atau karbohidrat dengan lebih baik. Inkorporasi Aspergillus niger dengan Cr menunjukkan bahwa terjadi penurunan lemak, asam lemak jenuh, dan kolesterol daging. Dalam hal ini suplementasi SSF-Cr sebagai ransum komplit perlu diteliti lebih mendalam, tentang manfaat daging yang mengandung SSF-Cr yang dikonsumsi manusia, berhubungan dengan penyakit diabetes mellitus dan jantung koroner. Konversi pakan yang didapat dari penelitian ini berbeda tidak nyata, hal ini dipengaruhi antara lain oleh bahan pakan dan formulasi ransum. Konversi pakan yang dihasilkan dalam penelitian ini sudah baik, konversi pakan domba di daerah tropis berkisar antara 7-15 artinya untuk menghasilkan satu kilogram pertambahan bobot badan dibutuhkan bahan kering pakan sebanyak 7-15 kg. Nilai feed cost per gain dihitung berdasarkan biaya pakan pada saat penelitian berlangsung dan pertambahan bobot badan harian yang dihasilkan.
Subs itusi SSF-Cr yang
128 meningkat dalam ransum menurunkan biaya ransum, dengan memanfaatkan bahan paka n loka l dan hasil samping agroindustri berupa serat sawit untuk substitusi hijauan dapat mengurangi biaya pakan (besarnya biaya pakan berkisar antara 60 – 80% dari total biaya). Nilai FC/G perlakuan A (Rp 15.413) adalah terenda h diba ndingkan de ngan pe rlakuan lainnya, dan perlakuan C (Rp 19.950) adalah tertinggi, hal ini disebabkan oleh pertambahan bobot badan harian A juga lebih baik dari pada perlakuan lainnya sehingga nilai FC/G nya juga berbeda, walaupun harga ransum per kilogram perlakuan A lebih tinggi. Hal ini juga ada kaitannya dengan palatabilitas serat sawit fermentasi lebih rendah dari pada rumput lapang yang diberikan, walaupun konversi pakan dan feed cost per gain SF-Cr yang dipe roleh berbeda tidak nyata, tapi SSF-Cr masih lebih baik kualitasnya daripada rumput lapangan dan dapat digunakan sebagai pakan alternatif.