PEMBAHASAN Panen dan produksi merupakan hasil dari aktivitas kerja di bidang pemeliharaan tanaman kelapa sawit. Tujuan utamanya untuk menghasilkan produksi yang optimal. Produk yang dihasilkan berupa TBS yang diharapkan dapat mencapai tingkat produktivitas yang tinggi dengan kandungan rendemen minyak yang tinggi pula. Kaitannya terhadap pencapaian produksi TBS yang diharapkan, terdapat komponen-komponen produksi (faktor pengali produksi) dan faktor penentu produksi yang harus diperhatikan. Komponen Produksi (Faktor Pengali Produksi) Produksi TBS tidak terlepas dari komponen-komponen produksi yang mempengaruhinya. Ada empat komponen produksi tanaman kelapa sawit yang dikenal juga dengan istilah faktor pengali produksi, meliputi: jumlah bunga betina per pohon, jumlah TBS per pohon, Berat Janjang Rata-Rata (BJR), dan jumlah pohon produktif. Berikut data komponen-komponen produksi tanaman kelapa sawit di SBHE pada Tabel 14. Tabel 14. Komponen Produksi SBHE pada Beberapa Tahun Tanam Kelapa Sawit Tahun Pohon Bunga Jumlah (X1) (X2) Tanam Sampel Betina janjang 1998 97 2 0.2 436 4 2002 116 24 0.2 580 5 2003 192 35 0.2 746 4 2005 125 42 0.3 943 8 2007 130 31 0.2 624 5 2008 194 51 0.3 1192 6 Keterangan : X1 = Jumlah bunga betina/pohon X2 = Jumlah janjang/pohon X3 = BJR (Berat Janjang Rata-Rata) X4 = Jumlah pokok produktif/ha
(X3)
(X4)
114 109 93 128 122 111
18.0 13.5 13.5 10.2 7.6 7.5
Hasil korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara komponen jumlah bunga betina per pohon dengan jumlah janjang per pohon yang dilihat dari nilai signifikan sebesar 0.023 (Tabel 15), sedangkan untuk
62 perbandingan
komponen
produksi
dengan
komponen
produksi
lainnya
menunjukkan hasil yang tidak berpengaruh nyata. Hubungan keeratan antar variabel yang menunjukkan hubungan yang sangat erat yaitu antara komponen jumlah bunga betina per pohon dengan jumlah janjang per pohon sebesar 87.3 %. Hubungan terlemah terdapat antara komponen BJR dengan pohon produktif yaitu sebesar 35.8 %. Hubungan korelasi yang erat memperlihatkan semakin berpengaruhnya komponen produksi yang diamati terhadap pencapaian produksi TBS yang diharapkan. Uji korelasi juga memperhatikan arah korelasi yang searah atau berlawanan arah yang dilihat dari nilai koefisien yang diperoleh bernilai positif atau negatif. Hasil korelasi menunjukkan hubungan tidak searah yaitu antara komponen jumlah bunga betina dengan BJR, antara jumlah janjang dengan BJR, dan antara komponen BJR dengan pohon produktif. Hubungan yang searah ditunjukkan antara komponen bunga betina per pohon dengan komponen jumlah janjang per pohon, antara bunga betina per pohon dengan pohon produktif dan antara jumlah janjang per pohon dengan pohon produktif. Hubungan yang searah memperlihatkan semakin besar jumlah komponen produksi yang bernilai positif tersebut akan berpengaruh kepada semakin besar pula produksi TBS yang akan diperoleh. Hasil korelasi pada empat komponen produksi yang diamati yang memiliki hubungan nyata, searah dan sangat erat adalah antara komponen jumlah bunga betina per pohon dengan jumlah janjang per pohon. Hasil korelasi ini dapat diartikan bahwa semakin banyak jumlah bunga betina per pohon maka semakin banyak pula jumlah janjang yang akan terbentuk sehingga berpengaruh kepada semakin besar pula pencapaian produksi TBS yang akan dihasilkan. Hal ini disebabkan oleh potensi buah pada tanaman kelapa sawit pada blok yang diamati cukup tinggi. Banyaknya janjang kelapa sawit yang dihasilkan dipengaruhi oleh umur tanaman dan faktor-faktor lain yang mempengaruhinya. Semakin tua komposisi umur tanaman maka semakin sedikit pula jumlah janjang yang dihasilkan, tetapi BJR yang dihasilkan semakin besar dan begitu pula sebaliknya. Komponen Berat Janjang Rata-Rata (BJR) dan komponen pohon produktif memiliki pengaruh yang tidak nyata. Jika dilihat dari produksi TBS terhadap BJR
63 yang diperoleh, produksi yang diperoleh terus meningkat sedangkan BJR yang diperoleh menurun. Hal ini disebabkan oleh kondisi kebun yang memiliki tingkat heterogenitas umur tanaman yang tinggi yang berpengaruh kepada pencapaian BJR kebun beragam. Tabel 14 juga menunjukkan bahwa nilai BJR yang diperoleh dari data produksi kebun untuk tahun tanam 1998 adalah 18.50 kg sedangkan menurut Standar Marihat dengan kesesuaian lahan S3, pohon dengan umur 13 tahun dapat menghasilkan BJR sebesar 19.5 kg. Perbedaan nilai BJR untuk umur tanam yang sama sangat berpengaruh terhadap besarnya tonase produksi TBS yang akan dihasilkan. Pohon produktif merupakan pohon yang memiliki potensi untuk menghasilkan buah. Pohon produktif tidak memiliki pengaruh nyata yang disebabkan oleh rendahnya jumlah pohon produktif pada setiap blok dalam satu hektarnya. Data populasi tanaman per hektar terkait dengan komponen jumlah pokok produktif pada Blok B4, B5, D1, B6, D2, dan D3 secara berturut-turut adalah 136, 119, 138, 143, 141, dan 140. Jumlah pohon produktif yang rendah dapat disebabkan oleh adanya pohon yang terserang HPT, pohon mandul, terdapat areal rendahan, dan adanya pohon sisipan yang menyebabkan rendahnya jumlah tandan yang akan dihasilkan sehingga berpengaruh terhadap pencapaian produksi TBS per hektarnya yang rendah pula. Hasil uji korelasi pada komponen-komponen produksi TBS di SBHE pada Tabel 15. Tabel 15. Uji Korelasi pada Komponen-Komponen Produksi TBS Variabel X2 X3 X4 Keterangan
:* tn
Statistik Uji
Variabel X2
X1 r (koefisien) 0.873* P-value 0.023 r (koefisien) -0.548 tn -0.550 tn P-value 0.260 0.258 r (koefisien) 0.524 tn 0.687 tn P-value 0.286 0.132 = berbeda nyata pada taraf uji 5 % = tidak berbeda nyata
X3
-0.358 tn 0.487
64 Jumlah bunga betina dan jumlah janjang digunakan untuk menduga produksi semesteran yang dikenal dengan istilah ramalan produksi atau sensus produksi. Ramalan produksi dapat menduga produksi untuk satu tahun yang didistribusikan setiap bulannya (Januari-Desember) yang dikelompokkan menjadi semester I (kondisi lowcrop) dan semester II (kondisi peakcrop). Ramalan produksi dapat juga digunakan untuk menduga produksi satu bulan maupun ramalan untuk seminggu. Jumlah janjang siap panen yang diamati digunakan untuk menduga produksi TBS esok hari atau yang dikenal dengan istilah taksasi produksi harian. Menurut Lubis (1992) untuk mengetahui ramalan tahunan maka data-data yang diperlukan adalah: 1. data produksi 5 tahun terakhir, 2. umur atau komposisi umur tanam, 3. iklim 2 tahun terakhir dan tahun mendatang (ramalan), 4. potensi bahan tanam, 5. pelaksanaan pemupukan, 6. serangan hama dan penyakit, 7. pemeliharaan tanaman, 8. topografi areal. Menurut Sunarko (2007) penyebaran produksi setiap bulan dalam setahun sangat dipengaruhi oleh curah hujan pada tahun-tahun sebelumnya. Faktor iklim yang mempengaruhi fluktuasi produksi adalah sebagai berikut: 1
Dua puluh empat bulan setelah kemarau panjang (bulan kering) bunga jantan lebih banyak daripada bunga betina
2
Sebelas bulan setelah bulan kering, bunga-bunga berguguran atau abortus
3
Enam bulan setelah bulan kering, buah abortus. Sebagai contoh pengamatan untuk mengetahui produksi TBS 6 bulan yang
akan datang dilakukan pada Blok B5 dengan tahun tanam 2002 seluas 26.6 ha. Pohon yang dijadikan sampel sebanyak 116 pohon dan diperoleh data bahwa jumlah bunga betina yang diamati sebanyak 24 tandan dan janjang yang diamati sebanyak 580 janjang. BJR pada blok tersebut sebesar 14 kg dan jumlah pohon
65 produktif pada Blok B5 sebanyak 2 984 pohon (Tabel 14). Ramalan produksi TBS pada blok tersebut adalah sebagai berikut: P=
kg 580 janjang x 14 janjang x 116pohon/ha 2984 pohon = 315.7 kg/ha
Ramalan produksi untuk 6 bulan yang akan datang berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan memperlihatkan pada Blok B5 berpotensi untuk menghasilkan 8 396.5 kg TBS atau setara dengan 8.39 ton TBS. Produktivitas Blok B5 jika disesuaikan dengan potensi Standar Marihat untuk 6 bulan mendatang berpotensi menghasilkan 12.5 ton/ha TBS. Perbedaaan potensi produksi ini disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhinya, seperti banyak tanaman kelapa sawit yang mandul (dalam satu pohon hanya memiliki bunga jantan saja), terdapat areal rendahan/lowland, kondisi gulma yang telah mencapai diatas ambang ekonomi, terdapatnya pohon yang terserang hama dan penyakit dan defisiensi hara, terdapat pohon yang belum menghasilkan dan faktor-faktor lain yang mempengaruhinya. Melihat kondisi di lapang bahwa dalam pencapaian produksi yang optimal dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya faktor lingkungan, genetis, maupun faktor teknis budidaya sehingga perlu dilakukannya suatu analisis faktor-faktor penentu produksi yang paling berpengaruh terhadap pencapaian produksi TBS tanaman kelapa sawit khususnya di SBHE. Analisis Faktor - Faktor Penentu Produksi TBS Peningkatan hasil produksi TBS tidak terlepas dari pengaruh faktor-faktor penentu produksi. Faktor tersebut saling terkait dan saling mempengaruhi satu sama lain. Kurangnya satu faktor produksi atau lebih akan berdampak pada pencapaian produksi TBS yang diharapkan. Faktor-faktor produksi yang diduga berpengaruh terhadap pencapaian produksi TBS khususnya di SBHE adalah faktor jumlah pupuk, curah hujan, tenaga kerja, umur tanaman, SPH, dan kondisi lahan. Pemilihan faktor-faktor yang dianalisa didasarkan pada asumsi dan kelengkapan data yang tersedia di kebun.
66 Fungsi produksi menyatakan hubungan input-output dan menggambarkan tingkat sumberdaya tertentu yang digunakan untuk menghasilkan produk. Penentuan fungsi produksi yang digunakan adalah untuk melihat pengaruh faktor produksi terhadap produksi TBS dengan menggunakan analisis yang berbeda. 1. Pengujian Fungsi Produksi Cobb-Douglas Analisis dilakukan terhadap 3 variabel faktor penentu produksi, yakni curah hujan, pupuk dan tenaga kerja. Persamaan regresi yang dihasilkan adalah sebagai berikut: Ln Y = 12.1 - 0.00187 X1 + 0.00407 X2 + 0.59400 X3 Persamaan diatas menunjukkan pada saat semua variabel atau peubah bebas (X) yang digunakan diasumsikan bernilai 0 maka nilai Y (peubah tak bebas) yang dihasilkan adalah 12.1 satuan. Hasil signifikan dari ketiga variabel X yang memiliki pengaruh secara signifikan terhadap produksi TBS (Y) pada taraf uji 5% adalah faktor tenaga kerja yang terlihat dari nilai signifikan yang dihasilkan adalah 0.000 (Tabel 16). Berdasarkan model persamaan regresi diatas, jika terjadi peningkatan jumlah tenaga kerja sebesar satu satuan maka produksi TBS yang dicapai akan meningkat sebesar 0.999 X satuan. Tabel 16. Pendugaan Faktor Penentu Produksi terhadap Produksi TBS
Keterangan
No. Variabel t-hitung Peluang 1 Pupuk -1.390 tn 0.174 2 Curah Hujan 0.580 tn 0.566 3 Tenaga Kerja 35.950** 0.000 : ** = berpengaruh nyata pada taraf uji 1 % tn = tidak berpengaruh nyata
Nilai koefisien determinasi atau R2 yang dihasilkan dalam analisis adalah sebesar 98.2 %. Ini dapat diartikan bahwa 98.2 % variasi variabel Y (produksi TBS) di SBHE dapat diterangkan oleh variabel X (faktor penentu produksi berupa faktor pupuk, curah hujan dan tenaga kerja) yang dijelaskan dalam model dan kecil sekali (hanya 1.8 %) pengaruh faktor lain diluar model. Hasil uji analisis ini membuktikan bahwa faktor-faktor penentu produksi yang digunakan untuk
67 analisis telah cukup kuat mewakili dalam memperkirakan atau menduga pengaruh faktor-faktor penentu produksi terhadap produksi TBS kelapa sawit di SBHE. Pengaruh faktor penentu produksi terhadap produksi TBS berdasarkan model fungsi produksi Cobb-Douglas akan dijelaskan pada masing-masing faktor penentu produksi yang digunakan dalam analisis ini. Jumlah Pupuk Faktor penentu produksi pada variabel jumlah pupuk yang digunakan untuk keperluan analisis lebih menitik beratkan kepada pencapaian realisasi pemupukan terhadap rekomendasi yang telah di tetapkan perusahaan, mengingat bahwa jumlah pupuk yang diaplikasikan ke lapang harus tepat dan sesuai rekomendasi. Nilai koefisien regresi untuk faktor jumlah pupuk adalah -0.00187. Nilai signifikan yang diperoleh untuk faktor jumlah pupuk adalah 0.174 yang berarti bahwa penggunaan pupuk dengan jumlah tertentu tidak berpengaruh nyata terhadap produksi TBS. Nilai koefisien regresi
yang bernilai negatif
memperlihatkan peningkatan jumlah pupuk sebesar satu satuan menyebabkan produksi akan menurun sebesar 0.00187 X satuan. Pengaruh jumlah pupuk terhadap pencapaian produksi TBS dari hasil analisis sebesar 16.2 %. Ini membuktikan bahwa pengaruh jumlah pupuk masih tergolong kecil dan jauh dari besarnya persentase yang diharapkan oleh sebuah kebun untuk mencapai produksi TBS yang optimum. Pengaplikasian pupuk di lapang sering terkendala pada selisih antara rencana pemupukan berdasarkan rekomendasikan dengan realisasi pemupukan (Tabel 17). Menurut PPKS (2006) realisai pemupukan di kebun umumnya belum memenuhi dosis yang direkomendasikan. Hal ini terutama terkait dengan ketersediaan pupuk di kebun, waktu aplikasi pupuk yang tidak sesuai dengan waktu yang telah disarankan oleh petugas rekomendasi sehingga sering terjadi kemunduran aplikasi pupuk dari jadwal yang telah ditentukan sebelumnya. Penetapan waktu aplikasi didasarkan pada pola curah hujan di daerah tersebut. Menurut Pahan (2008) seorang rekomendator dalam menentukan jenis, dosis, frekuensi, cara aplikasi, serta kebutuhan pupuk dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya mengacu pada analisis daun dan tanah, potensi pertumbuhan
68 dan produksi, pelaksanaan pemupukan dan perawatan tanaman sebelumnya, hasil percobaan pemupukan, dan penilaian lingkungan tumbuh seperti iklim, hama, penyakit, kondisi lahan, dan sebagainya. Faktor jumlah pupuk tidak berpengaruh nyata terhadap produksi TBS berdasarkan pada analisis yang telah dilakukan. Penyebab tidak nyatanya pengaruh faktor jumlah pupuk terhadap produksi dapat disebabkan oleh penggunaan pupuk pada dua tahun sebelumnya yang kurang sesuai dengan rekomendasi yang telah ditentukan oleh perusahaan, baik yang disebabkan oleh faktor eksternal maupun faktor internal. Hal ini dapat dilihat dari persentase realisasi pemupukan di SBHE tahun 2007-2008 (Tabel 17). Persentase realisasi pemupukan di SBHE berdasarkan data pemupukan dua tahun sebelumnya mengalami fluktuasi dari tahun 2007 hingga 2008. Realisasi pemupukan dikategorikan baik apabila realisasi mencapai 100 %, jika kurang atau melebihi dari 100 % dikatakan kurang baik yang berpengaruh kepada produksi TBS yang ingin dicapai. Rata-rata pencapaian realisasi pemupukan tertinggi tahun 2007 sebesar 94.41 % dan terendah tahun 2008 yaitu 40.12 %. Rendahnya realisasi pemupukan pada tahun 2008 dapat disebabkan oleh ketersediaan pupuk yang langka sehingga kegiatan pemupukan pada tahun tersebut terganggu. Data historis pemupukan tahun 2007 memperlihatkan pencapaian realisasi pemupukan lebih dari 100 % (Tabel 17). Pencapaian ini dikategorikan kurang baik. Menurut Lubis (1992) pemberian pupuk yang berlebih akan menekan dan menghambat pertumbuhan tanaman dan berakibat kematian pada tanaman kelapa sawit yang sedang dibudidayakan. Realisasai aplikasi pemupukan berlebih terdapat pada pupuk makro, yaitu Urea sebesar 101.94 %, RP sebesar 104.46 % dan Kieserite sebesar 101.54%. Pencapaian realisasi melebihi dari 100 % dipengaruhi oleh: 1) kurang telitinya mandor pupuk dalam menghitung kebutuhan pupuk terhadap rekomendasi, 2) akibat adanya heterogenitas tahun tanaman setiap bloknya yang tinggi sedangkan perhitungan kebutuhan dosis pupuk yang dilakukan adalah berdasarkan tahun tanam blok yang menyebabkan adanya selisih perhitungan antara rekomendasi dengan realisasi, 3) terdapatnya figur-figur pohon
69 kerdil sehingga membutuhkan pemupukan ekstra karena pohon tersebut berada di areal marjinal. Data historis pemupukan tahun 2008 memperlihatkan terdapat realisasi pemupukan pada pupuk makro maupun mikro yang rendah. Realisasi aplikasi pupuk makro yang telah digunakan di SBHE adalah Urea sebesar 30.53 %, RP sebesar 42.30 % dan kieserite sebesar 2.91 %. Pupuk makro dibutuhkan oleh tanaman dalam jumlah yang besar sehingga rendahnya realisasi ini sangat berpengaruh kepada pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Realisasi pupuk mikro yang digunakan adalah HGF Borate sebesar 68.74 dan CuSO4 sebesar 1.11 %. Pupuk mikro dibutuhkan dalam jumlah relatif kecil, namun kekurangan akan unsur mikro tersebut berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman menjadi terganggu. Tabel 17. Persentase Realisasi Pemupukan (2007-2008) di SBHE Realisasi Pemupukan (%) 2007 2008 Urea 101.94 30.53 Rock Phospat 104.46 42.30 MOP 93.63 95.11 Kiesrite 101.54 2.91 HGF Borate 82.36 68.74 CuSO4 82.51 1.11 NPK 15 NPK 12 Guano Dolomit ZinCopper Rata-Rata 94.41 40.12 Sumber: Lembaga Research BGA Plantations (2010) Jenis Pupuk
Aplikasi pupuk dua tahun sebelumnya akan terlihat produksi TBS yang dihasilkan pada dua tahun kemudian. Hal ini disebabkan tanaman kelapa sawit membutuhkan waktu untuk proses pertumbuhan dan perkembangan vegetatif maupun generatifnya. Khusus untuk pertumbuhan generatif, tanaman kelapa sawit membutuhkan waktu untuk mencapai tingkat kematangan tanaman sehingga tanaman kelapa sawit tersebut sudah mulai dapat memproduksi buah hingga buah tersebut termasuk kedalam kriteria buah layak untuk dipanen. Pengaplikasian
70 pupuk pada dua tahun sebelumnya akan berpengaruh kepada banyaknya janjang yang akan dihasilkan oleh pohon, sedangkan pengaplikasian pupuk 6 bulan setelah aplikasi akan berpengaruh kepada pertumbuhan vegetatif dan berat janjang TBS tersebut. Penggunaan pupuk yang tidak sesuai dengan rekomendasi dapat berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman kelapa sawit, seperti terjadinya defisiensi hara. Kekurangan atau defisiensi unsur hara tanaman dapat diketahui dari gejala-gejala penampakan fisik tanaman. Defisiensi unsur hara yang tinggi dapat menurunkan produktivitas tanaman bahkan dapat menyebabkan kematian pada tanaman kelapa sawit. Pemberian pupuk pada tanaman harus memperhatikan beberapa hal yang menjadi kunci keefektifan pemberian pupuk, diantaranya daya serap akar tanaman, cara pemberian dan penempatan pupuk, waktu pemberian, serta jenis dan dosis pupuk. Keadaan di lapang memperlihatkan terdapat beberapa blok yang mengalami defisiensi unsur hara. Kondisi pertanaman kelapa sawit di SBHE secara umum tergolong kepada kebun yang memiliki tingkat permasalahan defisiensi hara yang tinggi (Tabel 18). Total keseluruhan luasan areal SBHE menunjukkan terdapat tiga jenis unsur hara yang dikategorikan mengalami defisiensi hara, yaitu unsur Nitrogen (N), Kalium (K) dan Tembaga (Cu). Tabel 18. Persentase Defisiensi Unsur Hara di SBHE (2010) Status Hara Daun Luas (ha) % Defisiensi N 312.1 8 K2O 734.3 20 Cu 499.2 13 Sumber: Lembaga Research BGA Plantations (2010) Jenis Hara
Unsur Kalium menempati proporsi defisiensi yang terbesar dibandingkan dengan unsur lain. Kebijakan yang diambil oleh pihak kebun dengan melihat defisiensi unsur hara yang terjadi yaitu melakukan pengajuan rekomendasi pemupukan susulan kepada Departemen Riset perusahaan untuk mendapatkan rekomendasi yang sesuai terhadap permasalahan yang terjadi. Unsur Kalium
71 menempati defisiensi hara dengan tingkat proporsi terbesar dibandingkan dengan unsur lainnya. Unsur Kalium merupakan unsur utama dalam proses pembentukan buah sehingga Departemen Riset merekomendasikan untuk mempercepat aplikasi MOP pada awal tahun dari program pemupukan sebelumnya agar potensi buah pada periode berikutnya tetap optimal. Hasil analisis yang menunjukkan bahwa pemupukan di SBHE pada dua tahun sebelumnya yang tidak berpengaruh nyata terhadap produksi TBS dapat diantisipasi dan di cari jalan keluarnya dengan tetap melakukan pemupukan sesuai dengan rekomendasi yang telah ditetapkan. Pemupukan yang dilandaskan pada rekomendasi akan menghasilkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang optimal karena unsur hara yang dibutuhkan tanaman akan tersedia dalam jumlah yang cukup yang berpengaruh kepada pencapaian produksi TBS yang tinggi. Curah Hujan Ketersediaan air merupakan faktor utama yang membatasi tingkat produksi tanaman. Pengembangan perkebunan kelapa sawit sering kali berhadapan dengan lahan yang memiliki keterbatasan pada agroklimat khususnya ketersediaan air. Curah hujan yang rendah dan tidak merata sering menyebabkan terjadinya kondisi defisit air yang berdampak negatif terhadap tanaman. Menurut Pangaribuan (2001) suplai air yang kurang dalam jangka waktu lama, secara morfologi menyebabkan meningkatnya kerusakan vegetatif tanaman, yaitu terhambatnya daun-daun membuka, terjadinya pengeringan daun muda, rusaknya hijau daun, dan juga dapat berakibat seluruh kanopi mengalami kerusakan bahkan bila kondisi sangat ekstrim dapat menyebabkan kematian. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan generatif tanaman kelapa sawit khususnya dalam menghasilkan TBS. Pengaruh curah hujan terhadap pencapaian produksi TBS berdasarkan hasil analisis adalah sebesar 12.3 %. Besarnya persentase yang dihasilkan ini masih tergolong kecil jika dikaitkan dengan produksi TBS yang diharapkan. Nilai signifikan yang diperoleh untuk faktor curah hujan adalah 0.566. Nilai ini menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan antara produksi TBS
72 terhadap curah hujan yang terlihat dari nilai signifikan yang diperoleh lebih besar dari taraf uji 0.05 (α = 5%). Hasil analisis yang memperlihatkan tidak berpengaruhnya curah hujan terhadap produksi TBS dapat disebabkan oleh adanya keragaman populasi yang tinggi akibat adanya heterogenitas tahun tanam yang tinggi untuk setiap bloknya. Heterogenitas tahun tanam yang tinggi pada setiap bloknya berdampak pada pengaruh pengukuran curah hujan yang dibutuhkan tanaman menjadi bias. Pengaruh curah hujan dapat terukur dengan akurat apabila populasi yang digunakan relatif seragam. Hal ini disebabkan pada jumlah curah hujan tertentu, jika terdapat populasi yang beragam, maka respon tanaman terhadap curah hujan tersebut akan beragam pula. Kondisi tersebut yang menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman menjadi beragam dan berdampak pada produksi TBS yang akan dicapai beragam pula. Faktor curah hujan terhadap produksi TBS berpengaruh dalam hal penyerapan unsur hara oleh akar, membantu perkembangan bunga betina, membantu kemasakan buah menjadi lebih sempurna dan berpengaruh terhadap berat janjang. Curah hujan yang cocok untuk kegiatan pemupukan adalah 60-300 mm. Curah hujan dalam jumlah ini memberikan kondisi tanah yang cukup basah dan tidak jenuh (kapasitas lapang) sehingga memudahkan perakaran dalam menyerap unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman. Pengaruh curah hujan terhadap produksi TBS akan terlihat pada 6 bulan berikutnya, yaitu pengaruh curah hujan pada semester I akan terlihat pada semester II terkait waktu yang dibutuhkan untuk perkembangan bunga betina menjadi buah serta berpengaruh kepada berat janjang. Rata-rata jumlah curah hujan tertinggi terdapat pada semester II yaitu saat kondisi buah mengalami peakcrop (kondisi buah melimpah). Menurut Anonim (2010), kekurangan air akan berpengaruh negatif terhadap produksi TBS sampai dengan dua tahun ke depan. Penurunan produksi tahun pertama berkisar antara 6-10 % dari produksi normal per 100 mm defisit air dan tahun kedua berkisar antara 2-5 % dari produksi normal per 100 mm defisit air. Besarnya pengaruh defisit air terhadap produksi dipengaruhi banyak faktor, diantaranya umur tanaman, tingkat produksi saat terjadi kekeringan, fisiologis
73 tanaman dan sebagainya. Pengaruh negatif umumnya dimulai 6 bulan setelah terjadi defisit air, misalnya aborsi janjang. Akibat adanya defisit air yang besar, ada kemungkinan akan terjadinya perubahan pola produksi. Sunarko (2007) menambahkan bahwa kemarau panjang bisa menyebabkan gagalnya pembentukan bakal bunga pada 19-21 bulan berikutnya (abortus bunga) dan keguguran buah pada 5 – 6 bulan berikutnya. Curah hujan yang terlalu tinggi terkadang menjadi masalah, baik dari segi kondisi pertanaman kelapa sawit maupun kondisi kebun terutama akses jalan. Pengaruh curah hujan yang terlalu tinggi pada tanaman kelapa sawit berpengaruh terhadap pembentukan dan perkembangan bunga betina menjadi buah yang gagal terbentuk karena bunga betina menjadi gugur (abortus) dan tanaman kelapa sawit lebih rentan terhadap hama penyakit sehingga poduksi TBS dapat menurun. Kondisi tanaman pada areal rendahan/lowland dengan curah hujan yang terlalu tinggi berdampak pada tanaman menjadi tergenang sehingga perakarannya menjadi anaerob. Curah hujan yang terlalu tinggi dan terus menerus juga dapat menyebabkan kondisi jalan menjadi becek, tergenang air dan rusak. Hal ini sangat berpengaruh kepada angkutan unit buah yang tidak dapat menembus akses jalan sehingga dapat menyebabkan buah restan dan berpengaruh kepada pencapaian produksi TBS yang diharapkan menurun. Tenaga Kerja Kelancaran kegiatan pemanenan tidak terlepas dari faktor tenaga kerja yaitu tenaga pemanen. Kualitas dan kuantitas TBS yang dipanen dipengaruhi oleh pemanen. Banyaknya tenaga pemanen yang diperlukan pada perkebunan kelapa sawit berbeda-beda antara satu kebun dengan kebun yang lain. Hal ini tergantung pada luasan hancak (kappel) yang akan dipanen, kerapatan panen, BJR buah, populasi tanaman/ha, kapasitas panen/HK, jumlah hari kerja, dan lain-lain. Nilai signifikan untuk faktor tenaga kerja adalah 0.000. Nilai signifikan ini membuktikan faktor tenaga kerja mempunyai pengaruh yang sangat nyata terhadap produksi TBS yang terlihat dari nilai signifikan yang diperoleh lebih kecil dari taraf uji 0.01 (α = 1%).
74 Pengaruh faktor tenaga kerja adalah sebesar 98 %. Besarnya persentase yang dihasilkan membuktikan pengaruh faktor tenaga kerja terkait produksi TBS yang dicapai sangat besar. Ini menunjukkan apabila perusahaan ingin memaksimalkan pencapaian produksi TBS, maka perusahaan tersebut harus lebih memperhatikan faktor tenaga kerja khususnya tenaga pemanen. Hal ini sesuai dengan hasil analisis yang diperoleh bahwa tenaga kerja berpengaruh sangat nyata terhadap pencapaian produksi TBS dan persentase yang dihasilkan tergolong sangat tinggi. Kebutuhan tenaga kerja pada semester I lebih sedikit daripada semester II. Hal ini disebabkan kerapatan buah pada semester I lebih rendah dibandingkan pada semester II. Jumlah tenaga pemanen yang tersedia pada musim peakcrop biasanya kurang. Kekurangan tenaga pemanen berdampak terhadap banyaknya buah yang tidak dipanen. Kekurangan tenaga pemanen dapat diantisipasi oleh pihak kebun dengan melakukan suatu kebijakan yaitu mengalokasikan karyawan laki-laki dari kemandoran lain, seperti dari kemandoran pemupukan dan kemandoran perawatan untuk membantu kegiatan panen. Harapannya adalah pelaksanaan panen tidak terganggu dengan pusingan panen tetap terjaga dan buah yang dipanen dari segi kualitas maupun kuantitasnya dapat maksimal. Jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan dapat dilihat dari ITK kebun. ITK merupakan kebutuhan tenaga kerja per satuan luas (ha). ITK yang digunakan di SBHE adalah 0.06 yang berarti bahwa dalam 1 ha luas areal panen membutuhkan tenaga pemanen sebanyak 6 orang untuk setiap hari kerja dengan rotasi 6/7. Seorang pemanen dalam kondisi buah normal dapat memanen dengan luasan 3-4 ha/HK. Luasan ini merupakan luasan standar yang digunakan di SBHE untuk sekali panen dalam satu seksi. Seorang pemanen pada Divisi I dan II dapat memanen sebanyak empat blok dalam sehari, sedangkan pada Divisi III, IV dan V seorang pemanen dapat memanen 5-6 blok. Perbedaan luasan areal panen ini disebabkan oleh luasan kebun pada setiap divisi yang berbeda-beda. Cara yang ditempuh oleh pihak kebun dalam menjaga agar keseluruhan blok dapat dipanen dalam rotasi 6 hari adalah membagi setiap harinya kedalam beberapa blok panen, sehingga pusingan panen dapat terjaga dan buah yang dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan.
75 Realisasi pemanenan di SBHE berdasarkan luasan hasil/HK (basis hancak) diperoleh dari banyaknya tenaga kerja pemanen yang bekerja pada setiap kemandoran di lima divisi dengan menjumlahkan tenaga kerja pada setiap divisi kemudian menganalisis luasan lahan yang dipanen telah memenuhi standar atau belum. Data yang digunakan adalah data rata-rata pemanen memanen pada luasan tertentu selama 6 hari (satu rotasi panen) pada bulan April. Hasil yang diperoleh umumnya tenaga kerja pemanen pada setiap divisi telah memenuhi standar luasan panen yang telah ditetapkan, namun Divisi I rata-rata pemanen tidak mampu untuk menyelesaikan hancaknya (Tabel 19). Hancak yang tidak selesai dipengaruhi oleh kondisi areal yang masih terkendala dalam hal pasar pikul yang sulit diakses oleh pemanen, kondisi piringan yang masih banyak gulma sehingga menghambat pemanen dalam memotong buah dan mengutip brondolan, areal yang berawa, titi panen yang belum ada, peralatan panen yang belum lengkap, dan lain-lain. Keterampilan dan kecepatan pemanen dalam memotong buah, mengutip brondolan dan mengangkut buah ke TPH juga sangat mempengaruhi hancak dapat diselesaikan atau tidak. Keterampilan dan kecepatan seorang pemanen ini dipengaruhi oleh lamanya pengalaman memanen yang dimiliki oleh seorang tenaga pemanen. Tabel 19. Realisasi Pemanenan di SBHE Berdasarkan Luasan Hasil/HK Jumlah Standar Realisasi Realisasi Divisi Blok HK (ha/HK) (ha) (ha/HK) 1 8 29 3 81.80 2.85 2 9 33 3 104.39 3.17 3 9 29 3 97.15 3.46 4 13 37 3 115.00 3.12 5 12 38 3 138.69 3.72 Basis yang harus dipenuhi oleh seorang pemanen selain basis hancak dan waktu adalah basis tugas. Basis tugas atau yang dikenal dengan istilah basis borong harus dipenuhi oleh seorang pemanen dalam satu hari kerja sebagai kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang pemanen dan sebagai dasar penentuan untuk mendapatkan premi panen. Rata-rata pemanen setiap divisi di SBHE telah memenuhi basis tugas. Divisi II rata-rata pemanen tidak mampu memenuhi basis tugasnya yang terlihat dari basis tugas pada blok tersebut adalah
76 120 janjang tetapi realisasinya hanya mencapai 85 janjang/HK (Tabel 20). Tidak terpenuhinya basis tugas yang telah ditetapkan dapat disebabkan oleh AKP pada blok tersebut yang rendah. AKP yang rendah mengharuskan pemanen untuk memanen lebih dari standar luasan yang telah ditetapkan agar terpenuhinya basis borong. AKP yang rendah mendorong pemanen untuk cenderung memanen buah mentah (under ripe). Pencegahan pemanen dalam memanen buah mentah dapat diantisipasi dengan melakukan pengawasan secara rutin oleh Mandor Panen maupun dari tim supervisi. Pemberlakukan sistem denda dan sangsi kepada pemanen yang melanggar ketentuan harus lebih tegas dan benar-benar diterapkan demi menjaga kondisi buah masak (ripe) yang diharapkan tetap tinggi. Tabel 20. Realisasi Pemanenan di Kebun SBHE Berdasarkan Janjang Panen/HK Divisi
Blok
1 2 3 4 5
8 9 9 13 12
Jumlah Jumlah HK Janjang 3 931 29 2 746 32 3 832 29 4 573 37 4 468 38
Basis Borong 99 120 105 118 96
Realisasi JJG/HK 137 85 135 136 122
Seorang pemanen cenderung berusaha agar mencapai basis borong atau basis tugas yang telah ditetapkan. Hal ini terkait dengan diberlakukannya sistem premi yang diberikan oleh kebun kepada pemanen yang telah melebihi basis. Sistem premi ini berkorelasi positif terhadap output pemanen dalam satu hari kerja dan berpengaruh kepada banyaknya produksi TBS yang dihasilkan pada kebun tersebut. Keuntungan dari adanya sistem premi ini selain dari output yang dihasilkan tinggi adalah dapat meningkatkan pendapatan pemanen sehingga kesejahteraan pemanen dapat tercapai. 2. Pengujian Secara Parsial atau Individu (Uji-t) Kegiatan magang ini dilakukan dengan memperhatikan nilai t hitung untuk mengetahui signifikan variabel X berupa faktor penentu produksi secara terpisah atau parsial terhadap variabel Y yaitu produksi TBS pada tingkat alfa 5%. Berikut akan dijelaskan pengaruh faktor penentu produksi terhadap produksi TBS kelapa sawit berdasarkan masing-masing variabel yang digunakan dalam analisis.
77 Umur Tanaman Umur tanaman berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Semakin luas komposisi umur tanaman menunjukkan tingkat kedewasaan dan kematangan tanaman semakin tinggi pula. Hal ini juga berlaku untuk tanaman kelapa sawit. Umur tanaman berpengaruh pada pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman kelapa sawit. Peran umur tanaman jika ditinjau dari pertumbuhan vegetatif tanaman kelapa sawit yaitu berpengaruh dalam pembentukan pelepah yakni jumlah pelepah, panjang pelepah, dan jumlah anak daun. Tanaman yang berumur tua jumlah pelepah dan anak daun yang dihasilkan lebih banyak. Pelepah yang terbentuk juga lebih panjang dibandingkan dengan tanaman yang masih muda. Ini berkolerasi positif terhadap ketersediaan makanan bagi tanaman karena pelepah berfungsi sebagai tempat berlangsungnya proses fotosintesis. Peran umur tanaman jika ditinjau dari pertumbuhan generatif yakni berpengaruh terhadap organ reproduksi tanaman yaitu dalam proses pembentukan dan perkembangan buah. Kelapa sawit yang memiliki komposisi umur tanam muda akan memiliki jumlah janjang yang lebih banyak tetapi berat janjang yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan dengan tanaman yang memiliki komposisi umur tanaman yang lebih tua. Kondisi ini berpengaruh pada BJR kebun yang berpengaruh terhadap pencapaian produksi TBS yang diharapkan. Faktor produksi untuk peubah umur tanaman kelapa sawit dikelompokkan berdasarkan umur produktifnya. Analisis dengan menggunakan Uji-t yang dilakukan berdasarkan kelompok umur tanam menunjukkan kelompok umur tanaman yang memberikan pengaruh terbaik terhadap produksi TBS terdapat pada peubah kelompok umur tanaman 7-11 tahun dibandingkan dengan kelompok umur tanaman yang lain (Tabel 21). Hasil ini terlihat dari kelompok umur tanaman 7-11 tahun memiliki pengaruh yang signifikan terhadap hasil. Nilai tengah yang diperoleh dari hasil analisis untuk umur tanaman 7-11 tahun memiliki produksi yang maksimum dibandingkan dengan variabel kelompok umur tanaman lainnya. Nilai tengah untuk peubah kelompok umur tanam < 7 tahun, umur tanam 7-11 tahun dan umur tanam > 11 tahun secara berturut-turut adalah 1.39 juta ton TBS, 1.88 juta ton TBS dan 1.38 juta ton TBS. Hal tersebut sesuai dengan
78 pendapat Lubis (1992) yang mengemukakan bahwa produksi tertinggi tanaman kelapa sawit dicapai pada saat tanaman berumur 7-11 tahun. Tabel 21. Pengaruh Umur Tanaman terhadap Produksi TBS di SBHE Nilai Tengah (juta ton) <7 7_11 >11 t-hitung Pr > |t| umur < 7 tahun dengan umur 7-11 tahun 1.39 1.88 2.52* 0.015 umur < 7 tahun dengan umur > 11 tahun 1.39 1.38 0.02tn 0.989 umur 7-11 tahun dengan umur > 11 tahun 1.88 1.38 2.94** 0.005 Keterangan : tn = tidak berbeda nyata * = berbeda nyata pada taraf uji 5 % ** = berbeda nyata pada taraf uji 1 % Perbandingan Umur Tanaman
SBHE memiliki komposisi umur tanam tertua yaitu tahun tanam 1998 dan termuda dengan tahun tanam 2008. Hingga tahun 2010 tanaman kelapa sawit di SBHE telah berumur 12 tahun sehingga SBHE tergolong kebun produktif karena pohon-pohon yang ditanam termasuk kedalam umur ekonomis yaitu dibawah umur 25 tahun. Tanaman kelapa sawit dengan umur produktif mencapai produksi optimum dengan jumlah TBS yang dihasikan banyak dan berat janjang yang dihasilkan juga cukup tinggi sehingga berpengaruh kepada pencapaian produksi TBS per hektarnya yang tinggi pula. Tanaman yang melebihi dari umur ekonomisnya mengharuskan untuk segera dilakukan peremajaan, yaitu dengan mengganti tanaman kelapa sawit yang sudah tua dengan tanaman yang baru agar kestabilan produksi TBS suatu kebun tetap terjaga. Pengaruh tahun tanam terhadap produksi TBS di SBHE dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22. Pengaruh Umur Tanaman terhadap Produktivitas TBS Kelapa Sawit di SBHE (2008-2010) Luasan Produktivitas TBS (ton/Ha) Tahun Tanam (Ha) 2008 2009 2010 1998 27 14.0 17.4 17.5 2000 31 10.7 13.9 15.3 2002 29 9.2 12.3 12.5 2003 58 8.4 12.6 25.9 2005 30 5.9 9.6 12.0 2006 36 3.5 6.0 17.8 2007 28 4.4 6.5 6.3 2008 26 2.3 4.2 5.2 Sumber: Data Produksi Kebun SBHE (2010)
79 Populasi Tanaman per Hektar (SPH) Kerapatan tanaman mempunyai hubungan erat dan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat produksi tanaman kelapa sawit. Kerapatan tanam terkait dengan keefisienan dalam hal pemanfaatan cahaya untuk proses fotosintesis dan persaingan antar tanaman dalam penggunaan air dan unsur hara. Produksi tiap satuan luas yang tinggi tercapai dengan populasi tinggi karena tercapainya penggunaan sinar matahari, air dan unsur hara secara maksimum di awal pertumbuhan. Penampilan masing-masing tanaman secara individu menurun karena persaingan untuk mendapatkan sinar matahari, air dan unsur hara. Kerapatan tanaman yang optimum hanya dapat ditentukan dengan mengetahui potensi produksi pada beberapa tingkat kerapatan tanaman. Adanya peningkatan kerapatan tanaman ternyata menyebabkan tanaman lebih cepat meninggi, daun lebih panjang dan diameter batang lebih kecil serta berakibat pada produksi TBS yang semakin menurun. Menurut Fauzi et al. (2008) populasi tanaman kelapa sawit 143 pohon/ha merupakan populasi yang paling ekonomis karena tanaman cukup kondusif untuk mendapatkan sinar matahari, kelembaban tanaman terjaga dan pelepah antar pohon tidak saling berimpitan sehingga produksi TBS per hektarnya akan mencapai optimum. Hal inilah yang menjadi dasar pengklasifikasian kelompok SPH dalam analisis ini. Hasil analisis pada kelompok SPH yang memberikan pengaruh yang nyata terhadap produksi TBS pada kelompok SPH < 135 dan SPH 135-143 (Tabel 23). Namun dari dua kelompok SPH tersebut yang memberikan pengaruh terbaik adalah kelompok SPH <135 yang dilihat dari nilai tengah yang diperoleh. Kelompok SPH < 135 memberikan nilai tengah yang lebih tinggi sebesar 1.39 juta ton dibandingkan dengan kelompok SPH lainnya. Tabel 23. Pengaruh Faktor SPH terhadap Produksi TBS di SBHE Perbandingan Populasi per Hektar (SPH) SPH < 135 dengan SPH 135-143 SPH < 135 dengan SPH > 143 SPH 135-143 dengan SPH > 143
<135 1.39 1.39 -
Nilai Tengah (juta ton) 135-143 >143 t-hitung 1.26 -0.52tn 0.06 7.69** 1.26 0.06 7.41**
Pr > |t| 0.60 0.00 0.00
80 Keterangan : tn **
= berbeda tidak nyata = berbeda nyata pada taraf uji 1 %
Kenyataannya di lapang bahwa penerapan populasi tanaman kelapa sawit 143 pohon/ha kurang sesuai diterapkan di SBHE. Hal ini terkait dengan SBHE merupakan kebun take over. Kebun ini sebelumnya memiliki SPH yang beragam pada setiap hektarnya. Keragaman ini disebabkan ketika SBHE belum di take over jarak tanam yang digunakan tinggi dan beragam sehingga kerapatan yang dihasilkan rendah dan beragam. SBHE melakukan rehabilitasi dengan cara melakukan konsolidasi tanaman (tanam sisip) untuk lahan yang masih belum ditanami pada areal rendahan dengan menggunakan standar kerapatan tanaman 136 pohon/ha. Pengelompokan yang dilakukan terhadap SPH yang memberikan hasil terbaik adalah kelompok SPH < 135. Hasil analisis ini telah cukup membuktikan dengan penerapan kelompok SPH ini telah memberikan pengaruh yang terbaik untuk produksi TBS dengan syarat pemeliharaan tanaman dilakukan secara teratur dan kontinyu seperti pada pemeliharaan sebelumnya. Keuntungan yang diperoleh jika dilihat dari segi ekonomisnya terkait dengan kelompok SPH <135 dan kelompok SPH 135-143 memberikan pengaruh yang sama terhadap produksi TBS, maka perusahaan dapat menerapkan sistem penanaman kelapa sawit menggunakan SPH <135. Hal ini berhubungan dengan efisiensi biaya yang akan dikeluarkan pada SPH <135 yang lebih rendah dibandingkan dengan SPH 135-143. Kondisi lahan Kondisi lahan dapat dijadikan sebagai faktor pembatas apabila dalam penggunaan untuk pertanaman menjadi salah satu kendala untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang sedang dibudidayakan. Pencapaian produktivitas yang tinggi dapat tercapai apabila disertai dengan penerapan kultur teknis sesuai dengan kaedah yang telah ditentukan. SBHE terdiri atas daratan dengan kemiringan 0-8o dan rendahan berupa areal berawa. Produktivitas TBS di SBHE sangat dipengaruhi oleh kedua tipe kondisi lahan ini.
81 Hasil analisis pada faktor kondisi lahan yang memberikan pengaruh terbaik terhadap produksi TBS kelapa sawit adalah kelompok daratan dibandingkan kelompok rendahan. Hal ini terlihat dari nilai signifikan dan nilai tengah yang dihasilkan. Kelompok daratan memiliki nilai tengah yang lebih besar dibandingkan kelompok rendahan yaitu sebesar 3.03 juta ton, sedangkan nilai tengah untuk kelompok rendahan sebesar 0.68 juta ton (Tabel 24). Nilai signifikan yang diperoleh sebesar 0.00 membuktikan bahwa produksi TBS sangat dipengaruhi oleh kondisi lahan. Tabel 24. Pengaruh Faktor Kondisi Lahan terhadap Produksi TBS di SBHE Nilai Tengah (juta ton) Daratan rendahan t-hitung Pr > |t| daratan dengan rendahan 3.03 0.68 14.91** 0.00 Keterangan : ** = berbeda nyata pada taraf uji 1 % Variabel Perbandingan Kondisi lahan
SBHE memiliki luasan daratan sebesar 78.85% dan luasan rendahan mencapai 21.15%. Data yang diperoleh memperlihatkan akibat dari kondisi lahan berupa areal rendahan, rata-rata persentase kehilangan hasil di SBHE adalah mencapai 17.95% dari total produksi TBS yang diperoleh. Angka kehilangan hasil dapat disebabkan kondisi tanaman kelapa sawit tergenang oleh air sehingga menyebabkan kondisi perakaran menjadi anaerob. Kondisi ini sangat menghambat akar tanaman dalam menyerap oksigen dan unsur hara di dalam tanah. Hasil analisis pada faktor kondisi lahan menunjukkan jika kebun ingin meningkatkan produksi TBS, sebaiknya faktor kondisi lahan lebih diperhatikan terkait dengan angka kehilangan hasil yang diperoleh sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan produksi TBS. Kondisi tanah di daerah rendahan pada umunya bersifat asam. Menurut Yulianti (2007) keasaman tanah ditentukan oleh kadar atau kepekatan ion hidrogen di dalam tanah tersebut. Kepekatan ion hidrogen di dalam tanah yang terlalu tinggi menyebabkan tanah akan bereaksi asam dan begitu pula sebaliknya. Kepekatan ion hidrogen terlalu rendah menyebabkan tanah akan bereaksi basa. Tanah yang terlalu asam menyebabkan akar tanaman sulit dalam menyerap unsur hara tertentu dan dapat berakibat pada unsur hara yang dibutuhkan tanaman akan tersedia sebagai unsur yang toksik.
82 Pengamatan terhadap kondisi tanaman kelapa sawit pada daerah rendahan memperlihatkan penampakan fisik tanaman umumnya kerdil bahkan mati serta buah yang dihasilkan umumnya berlumut dan busuk. Akibat dari adanya areal rendahan dapat menghambat pemanen yakni terkait dengan kondisi areal yang berawa, akses pasar pikul yang susah ditembus dan titi panen yang belum tersedia. Kondisi ini ditambah dengan SBHE yang dikelilingi oleh sungai-sungai sehingga rentan akan terjadinya banjir saat musim hujan. Hal ini sangat berpengaruh terhadap kehilangan produksi TBS di SBHE. Pengaruh faktor kondisi lahan terhadap produktivitas TBS di SBHE dari
Ton/ha
tahun 2008 hingga tahun 2010 terus mengalami peningkatan (Gambar 7). 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00
Lowland Dataran 2008
2009
2010
Tahun
Gambar 7. Pengaruh Kondisi Lahan terhadap Produktivitas TBS di SBHE 2008-2010 Peningkatan produksi TBS ini tercapai akibat telah dilakukannya upayaupaya perbaikan kondisi areal rendahan oleh pihak kebun. Pada dasarnya di daerah rendahan ini memiliki potensi untuk dapat menghasilkan TBS yang lebih tinggi dibandingkan areal daratan. Hal ini disebabkan areal rendahan tersebut berperan sebagai tempat penampungan sisa-sisa pupuk akibat proses pencucian yang terbawa oleh air hujan yang berasal dari areal pertanaman dengan kondisi lahan yang lebih tinggi. Tanaman kelapa sawit pada areal rendahan ini akan selalu tersedia oleh unsur hara dan air. Pengelolaan areal rendahan dengan membuat saluran drainase dengan baik dapat mencegah tanaman tergenang air yang berpengaruh kepada produkstivitas yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan areal daratan. Pemanfaatan
pengelolaan
daerah
rendahan
mencakup
pekerjaan
pembuatan sistem tata saluran untuk menurunkan muka air di lahan (water
83 management). Water management merupakan konsep pengelolaan air dengan cara mengeluarkan kelebihan air dan menahan air untuk pertumbuhan tanaman budidaya dengan cara:
1) membuat parit-parit, baik dipinggir blok maupun
didalam blok dengan ukuran parit yang berbeda-beda, 2) pembuatan tapak timbun, 3) pemberian air irigasi, 4) reklamasi atau perbaikan kualitas tanah, dan 5) pengendalian banjir.