PEMBAHASAN Bioaktivitas Senyawa Ekstrak Kasar Spons dan Pengaruh Lingkungan Hasil pengujian bioaktivitas antibakteri dan toksisitas senyawa ekstrak kasar spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. terhadap bakteri target dan Artemia salina
menunjukkan hasil yang bervariasi pada sampel dari alam dan hasil
transplantasi.
Secara
keseluruhan,
spons
Aaptos
aaptos
menunjukkan
bioaktivitas yang lebih tinggi terhadap organisme target (bakteri dan A. salina) daripada spons Petrosia sp., untuk sampel yang berasal dari alam maupun sampel yang merupakan hasil transplantasi. Hal ini disebabkan oleh senyawa bioaktif yang dikandung oleh kedua spons merupakan senyawa dengan struktur dan jenis yang berbeda. Penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya terhadap kandungan senyawa bioaktif spons Aaptos aaptos menunjukkan senyawa tersebut antara lain adalah homarine dan piridiniumbetain B (Granato et al. 2000). Menurut Bergquist dan Hartman (1969), ordo Hadromerida (termasuk di dalamnya genus Aaptos) mengandung senyawa aktif ninhidrin. Bergquist (1991, diacu dalam Miller et al. 1998) dan Pelletier et al. (1987) mengemukakan lebih lanjut bahwa Aaptos mengandung senyawa aaptamine dan senyawa demethyloxyaaptamine yang termasuk dalam golongan alkaloid. Selain itu, penelitian lain menyatakan bahwa genus ini memiliki kandungan senyawa aktif lektin, seperti pada Aaptos papillata (Bretting et al. 1976). Sementara itu, spons Petrosia sp. diketahui mengandung senyawa yang termasuk dalam kelompok poliasetilen. Senyawa ini diketahui memiliki potensi sebagai antimikroba, antifungi, antifouling, H+, inhibitor K+-ATPase, inhibitor HIV, dan aktivitas antitumor serta immunosuppresive (Young et al. 1999; Kim et al. 2002; www.cas.muohio.edu). Sarma et al. (2005) juga mengemukakan bahwa senyawa weinbergsterol dan ikatan sterol orthoester yang memiliki rantai samping 16 β-OH (dan 20-OH serta 22-O-butyrat) berhasil diisolasi dari Petrosia weibergii. Selain itu, senyawa lembehsterol A dan B serta 6-O-sulfat ester berhasil diisolasi dari P. strongylata yang berasal dari Indonesia. Perbedaan bioaktivitas spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. juga dapat disebabkan oleh adanya perbedaan struktur morfologinya. Morfologi spons Petrosia sp. yang keras dengan komposisi spikula yang padat memungkinkan mekanisme pertahanan diri secara fisik menjadi lebih dominan daripada mekanisme secara kimiawi. Menurut Hill dan Hill (2002), spikula skeleton dapat
berperan dalam mekanisme pertahanan terhadap predasi spons. Hasil preparat histologi spons Petrosia sp., menunjukkan struktur organisasi selnya lebih didominasi oleh materi mineral, ini memungkinkan spons dapat mereduksi produksi metabolit sekundernya. Penelitian Hill dan Hill (2002) mengenai plastisitas morfologi spons Anthosigmella varians juga menunjukkan bahwa pada saat tingkat predasi tinggi, spons akan memproduksi spikula dalam jumlah yang lebih besar. Hal ini secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap produksi senyawa bioaktif spons, karena produksi spikula merupakan proses yang membutuhkan energi tinggi. Selain itu, tidak semua predator spons dapat dihalau dengan mekanisme pertahanan secara kimiawi, seperti ikan Chaetodon melannotus (Allino et al. 1992, diacu dalam Hill & Hill 2002). Sehingga, kemungkinan spons akan mengurangi produksi senyawa kimiawi untuk efisiensi energi. Senyawa ekstrak kasar spons Aaptos aaptos dan
Petrosia sp. yang
berasal dari alam memiliki tingkat bioaktivitas yang bervariasi pada habitat dan lokasi yang berbeda. Sementara sampel yang berasal dari hasil transplantasi cenderung menunjukkan hasil yang lebih seragam, kecuali untuk spons Petrosia sp. Kurangnya jumlah sampel menyebabkan analisa secara statistik tidak dapat dilakukan untuk menentukan faktor lingkungan yang berperan terhadap aktivitas senyawa bioaktif. Secara keseluruhan, sampel spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. dari bagian Selatan P. Pari memiliki tingkat toksisitas ekstrak kasar yang lebih tinggi terhadap Artemia salina daripada sampel (alam dan hasil transplantasi) yang berasal dari bagian Barat P. Pari. Keragaman tingkat bioaktivitas senyawa ekstrak kasar spons dapat disebabkan oleh perbedaan faktor lingkungan mikro pada habitat (lokal) dan lokasi yang berbeda. Lokasi pengambilan sampel di bagian Barat P. Pari memiliki lingkungan perairan dengan substrat pasir yang agak berlumpur dengan kekeruhan yang lebih tinggi, sementara bagian Selatan memiliki substrat karang dengan arus yang lebih kencang. Hal ini sangat berpengaruh terhadap metabolisme spons, karena mekanisme filter feeder yang dilakukan spons untuk mendapatkan nutrisinya. Menurut Bell dan Barnes (2003), morfologi dan fisiologi spons dipengaruhi oleh faktor lingkungan mikro tempat hidupnya. Pertumbuhan dan metabolisme serta simbion yang berasosiasi dengan spons akan dipengaruhi juga oleh faktor-faktor tersebut. Bell dan Barnes (2003) juga
menyatakan bahwa substrat tumbuh spons dapat berpengaruh
terhadap morfologi spons, yang dengan demikian, juga akan mempengaruhi bioaktivitasnya. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi adaptasi morfologi spons antara lain adalah aliran air, sedimentasi dan tipe substrat (Bell & Barnes 2000, diacu dalam Bell & Barnes 2003). Penelitian mereka juga menunjukkan bahwa faktor-faktor tersebut dapat menyebabkan perbedaan morfologi dan bioaktivitas secara signifikan di dalam satu habitat. Lingkungan perairan yang cenderung subur (terkontaminasi limbah organik) juga sangat berpengaruh besar terhadap produksi senyawa bioaktif spons. Hal ini disebabkan lingkungan yang subur dapat menyebabkan spons dapat mengurangi jumlah jenis dan kelimpahan simbion yang berasosiasi dengan spons tersebut (Wilkinson 1987, diacu dalam Steindler 2002). Sementara terdapat kemungkinan bahwa organisme simbion tersebut memiliki peran penting dalam produksi senyawa bioaktif. Penelitian lain juga memaparkan bahwa suhu berpengaruh besar terhadap respirasi dan metabolisme primer, serta metabolisme sekunder spons. Zocchi et al. ( 2001, 2002) berhasil membuktikan bahwa kenaikan suhu dapat mengaktivasi
pembentukan
ADP-ribosa
cylase.
ADP-ribose
cylase
ini
berperanan dalam sekresi insulin dan proliferase sel. Penelitian yang dilakukan Zocchi et al. (2002) terhadap Axinella polypoides menunjukkan bahwa stimulasi suhu pada jangka pendek dapat menyebabkan penurunan (depresi) asam amino yang berkepanjangan, dan meningkatkan laju respirasi spons. Hal ini secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap produksi metabolit sekunder (senyawa bioaktif), karena beberapa senyawa metabolit sekunder merupakan hasil samping dari metabolisme primer (antara lain asam amino). Selain itu, bioaktivitas yang berbeda juga dapat ditemukan pada bagian tubuh yang berbeda dari satu organisme, seperti bagian basal (dasar) yang melekat pada substrat akan memiliki bioaktivitas dan struktur sel yang berbeda dengan bagian atas yang jauh dari substrat. Proksch et al. (2003), menyatakan bahwa distribusi senyawa alkaloid dari spons Oceanapia sp. mengikuti model yang sama dengan produksi senyawa metabolit sekunder pada tanaman. Ini ditunjukkan dengan distribusi alkaloid yang berbeda antara bagian tubuh spons yang terpapar dan yang tidak terpapar. Konsentrasi alkaloid yang tinggi pada spons tersebut ditemukan pada bagian fistullae dan cabang aseksualnya. Sementara konsentrasi terendah (hanya sekitar 0,8% berat kering) ditemukan pada bagian dasar tubuh (basal) yang terkubur pasir, dan seringkali luput dari
predator. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui bagian tubuh serta habitat spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. yang memproduksi senyawa bioaktif secara optimal. Spons Aaptos aaptos yang merupakan hasil transplantasi menunjukkan tingkat aktivitas antibakteri dan toksisitas yang tidak jauh berbeda. Ini dapat disebabkan faktor habitat yang cenderung sama, antara lain substrat dan aliran air yang sama, serta tingkat sedimentasi yang tidak berbeda antara sampel yang dianalisa. Hal yang berlawanan terjadi pada spons Petrosia sp. yang berasal dari hasil transplantasi. Tingkat bioaktivitas yang ditunjukkan pada sampel-sampel yang dianalisa cenderung sangat beragam, terutama aktivitas terhadap bakteri target S. aureus dan toksisitas terhadap Artemia salina. Keragaman tingkat bioaktivitas tersebut dapat disebabkan oleh struktur morfologi Petrosia sp. yang lebih padat akan komponen mineral penyusun skeleton. Nichols dan Werheide (2005), menyatakan bahwa dalam usahanya mempertahankan diri, spons yang mengalami kerusakan jaringan akan lebih cepat pulih jika tidak memiliki pertahanan secara kimiawi. Sipkema et al. (2005) juga menyatakan bahwa sintesis metabolit sekunder sangat dipengaruhi oleh kondisi spons tersebut. Sebagai contohnya, spesimen Crambe crambe yang mendapatkan cahaya cukup akan memiliki pertumbuhan yang lebih baik dan lebih cepat daripada spesimen yang terlindung dari cahaya. Namun, spesimen yang terlindung dari cahaya akan memiliki pertahanan kimiawi yang lebih baik, karena adanya akumulasi senyawa bioaktif (Turon et al. 1998, diacu dalam Sipkema et al. 2005). Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ditemukan adanya hubungan (korelasi) antara tingkat bioaktivitas antibakteri dengan toksisitas terhadap Artemia salina pada senyawa ekstrak kasar dengan konsentrasi yang sama. Hal ini disebabkan mekanisme inhibisi terhadap bakteri target tidak sama dengan toksisitas terhadap organisme multiseluler. Aktivitas antibakteri dapat bersifat menghambat
pertumbuhan
bakteri
(bakteriostatik)
atau
membunuhnya
(bakterisidal). Kelly et al. (2003) membuktikan bahwa senyawa antibakteri dari spons dapat saja menghambat pertumbuhan bakteri, sehingga berfungsi sebagai antifouling terhadap pembentukan biofilm. Namun, senyawa yang sama belum tentu bersifat toksik, atau sebaliknya.
Kandungan dan Aktivitas Antimikrob Fraksi Senyawa Ekstrak Kasar Spons Hasil kromatografi lapis tipis (TLC) fraksi organik senyawa ekstrak kasar spons Aaptos aaptos menunjukkan 6 kandungan senyawa organik yang terpisah. Sementara spons Petrosia sp. memiliki 3 kandungan senyawa yang terpisah untuk fraksi organiknya, dan 4 kandungan senyawa fraksi semi organik. Kandungan senyawa tersebut direfleksikan oleh spot-spot yang terpisah dengan nilai Rf (faktor retardasi) yang berbeda. Beberapa penelitian mengenai spons Aaptos aaptos menunjukkan bahwa terdapat 4 senyawa aktif berbeda yang telah berhasil diisolasi dari spons tersebut,
yaitu
homarine,
piridiniumbetain
B,
aaptamine
dan
demethyloxyaaptamine. Sementara penelitian-penelitian yang pernah dilakukan terhadap spons Petrosia sp. berhasil mengisolasi lima senyawa berbeda, yaitu weinbergsterol, sterol orthoester dengan rantai samping 16 β-OH (dan 20-OH serta 22-O-butyrat), lembehsterol A dan B serta 6-O-sulfat ester. Hasil analisis kandungan senyawa aktif Aaptos aaptos dan Petrosia sp. yang dilakukan pada penelitian ini menunjukkan 6 kandungan senyawa aktif yang terpisah dari spons Aaptos aaptos dan 7 kandungan senyawa terpisah dari spons Petrosia sp. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kemungkinan ditemukannya 2 senyawa baru dari spons Aaptos aaptos dan 2 senyawa dari spons Petrosia sp. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengidentifikasi senyawa-senyawa tersebut. Nilai Rf (faktor retardasi) TLC belum dapat dijadikan sebagai identifikasi komponen senyawa, tetapi hanya dapat untuk melihat jumlah komponen yang terkandung dalam ekstrak kasar spons dan sebagai dasar purifikasi pada kromatografi kolom atau kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC). Hal ini disebabkan nilai Rf tergantung pada beberapa hal, yaitu sistem pelarut, jenis adsorbent (plat TLC) yang digunakan, jumlah senyawa organik yang dianalisa, dan
temperatur
dalam
http://chem.chem.rochester.edu).
sistem
(Furniss
et
al.
1978;
Walau demikian, salah satu kandungan
senyawa organik yang berasal dari spons Aaptos aaptos dengan nilai Rf 0,42 diperkirakan adalah senyawa yang menyerupai senyawa norharman (βcarboline, 9H-Pyrido [3,4-b] indole), yang ditemukan oleh Zheng et al. (2005) dari bakteri yang berasosiasi dengan spons Hymeniacidon perleve.
Senyawa
tersebut dapat diperkirakan sama dengan senyawa yang ditemukan Zheng et al. karena jenis adsorbent (plat TLC), sistem pelarut dan temperatur sistem yang
digunakan pada penelitian ini sama dengan jenis adsorbent, sistem pelarut dan temperatur yang digunakan pada penelitian Zheng et al. (2005). Aktivitas antimikrob kandungan senyawa ekstrak kasar (bioautografi) juga dilakukan pada masing-masing plat hasil TLC, dengan menggunakan bakteri target A. hydrophylla. Hasil bioautografi menunjukkan aktivitas antimikrob yang rendah, karena zona bening yang dihasilkan tampak tidak jelas. Ini dapat disebabkan oleh kurang sensitifnya bakteri target terhadap kandungan senyawa bioaktif, atau bioaktivitas kandungan senyawa lebih rendah daripada ekstrak kasarnya. Senyawa murni dapat kehilangan bioaktivitasnya karena beberapa hal, antara lain senyawa-senyawa yang bersifat sinergisme dalam mekanisme bioaktivitas kehilangan kemampuannya karena adanya pemisahan komponen. Alasan lainnya adalah metabolit tersebut teroksidasi atau rusak selama proses fraksinasi, sehingga kehilangan bioaktivitasnya (Sjögren 2006). Facchini (2001, diacu dalam Sjögren 2006) juga menyatakan bahwa beberapa jalur enzimatik yang berperan dalam produksi metabolit sekunder, terbukti sangat mudah terinduksi, terutama produksi metabolit yang berupa senyawa alkaloid. Penentuan identifikasi kandungan senyawa fraksi kedua spons dalam penelitian ini perlu dilakukan lebih lanjut dengan melakukan purifikasi senyawa menggunakan kromatografi kolom atau HPLC, kemudian penentuan struktur spektroskopi massa. Senyawa yang telah murni, kemudian dapat dikembangkan lebih lanjut secara komersial, setelah proses paten dan lisensi produk. Gambar 17 menunjukkan skema alur penelitian dan pengembangan produk senyawa bioaktif dari spons. Penelitian-penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya terhadap Aaptos aaptos menunjukkan bahwa spons ini memiliki senyawa bioaktif berupa senyawa homarine dan pridiniumbetain (Granato et al. 2000). Selain itu, Pelletier dan Cava (1987)
menemukan
senyawa
aaptamine,
demethyloxyaaptamine pada spons Aaptos aaptos
demethylaaptamine
dan
yang berasal dari Laut
Okinawa. Senyawa-senyawa tersebut memiliki kemampuan sebagai antitumor, antimikroba dan kemampuan menghalangi (blocking) aktivitas α-adrenoceptor. Kemampuan menghalangi aktivitas α-adrenoceptor diperkirakan berperan dalam pertahanan spons Aaptos terhadap predator (Bergquist 1991, diacu dalam Miller et al. 1995). Penelitian mengenai senyawa bioaktif yang dikandung spons Petrosia sp. juga telah banyak dilakukan sebelumnya. Gung (2001) menyatakan bahwa spons
tersebut mengandung senyawa yang termasuk dalam kelompok polyacetilene. Kelompok senyawa ini memiliki aktivitas biologi yang beragam, antara lain sebagai antimikroba, antifungi, antifouling, inhibitor H+ dan K+- ATPase, inhibitor HIV, dan aktivitas immunosupressive serta antitumor.
Baru- baru ini telah
ditemukan juga senyawa polyacetylenetriol, pada spons Petrosia sp. dari laut Mediterania, yang memiliki kemampuan sebagai inhibitor DNA polimerase (Loya et al. 2002, diacu dalam Chelossi 2004). Kandungan senyawa bioaktif spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. juga telah dikemukakan pada bagian awal pembahasan.
SUBJEK PENELITIAN Pengambilan sampel spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. dari alam dan hasil transplantasi
Ekstraksi spons dengan MeOH
Isolasi bakteri simbion dan observasi biomassa sel spons
Senyawa ekstrak kasar
Uji aktivitas antibakteri dan toksisitas senyawa
Fraksinasi senyawa bioaktif (EtOAc + air)
Analisa kandungan senyawa bioaktif (TLC)
Analisa bioautografi kandungan senyawa bioaktif (hasil TLC)
PENELITIAN LANJUTAN
Molekul/ senyawa baru
Hemisintesa analog senyawa secara kimia
Purifikasi kandungan senyawa aktif
Analisa struktur molekul senyawa
LISENSI DAN PATEN PRODUK
Pengembangan
Gambar 18 Alur penelitian dan pengembangan produk senyawa bioaktif dari spons (diadaptasi dari Penasse 1989).
Bakteri Simbion dan Biomassa Sel Spons Isolasi bakteri simbion spons dilakukan pada sampel segar spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. yang berasal dari alam. Setelah masa inkubasi selama 10 hari, 8 bakteri simbion yang berbeda secara fenotipik berhasil diisolasi dari spons Aaptos aaptos (Lampiran 2). Hasil pengamatan pewarnaan Gram terhadap ke-8 bakteri simbion tersebut menunjukkan bahwa terdapat empat bakteri Gram (+), yaitu A1, A2, A3 dan A8, serta empat bakteri Gram (-), yaitu A4, A5, A6 dan A7. Uji fisiologi yang dilakukan terhadap ke-4 bakteri Gram (+), A1, A2, A3 dan A8, menunjukkan bahwa isolat A1, A3 dan A8 memiliki ciri-ciri yang sama dengan bakteri dari genus Bacillus. Sementara isolat A2 memiliki ciri-ciri genus Staphylococcus. Bakteri dari genus Bacillus merupakan bakteri berbentuk batang dengan ukuran 0,5 – 2,5 x 1,2 – 10 μm, yang tersusun secara berpasangan atau membentuk rantai, dengan ujung yang agak bulat atau kotak. Bakteri Gram (+) memiliki flagella, sehingga bersifat motil. Bakteri ini juga memiliki endospora yang resisten
terhadap
tekanan
kondisi
lingkungan
yang
beragam.
Bakteri
kemoautotrof ini memiliki metabolisme fermentatif atau respiratif, dan memiliki kisaran habitat yang sangat luas (Holt et al. 1994). Bacillus dapat ditemukan pada lingkungan perairan laut karena tingkat toleransinya terhadap salinitas cukup besar (Holt et al. 1994). Biasanya bakteri banyak ditemukan pada lumpur dan sedimen di perairan laut. Namun, bakteri ini juga diketahui dapat berasosiasi dengan benthos laut (Hentschel et al. 2001, diacu dalam Chelossi et al. 2004). Kebanyakan spesies dari genus ini, diketahui dapat memproduksi senyawa peptida dengan aktivitas antimikroba (Chelossi et al. 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Chelossi
et al. (2004) berhasil
menemukan bakteri Bacillus yang berasosiasi dengan spons Petrosia ficiformis dari laut Ligurian, sebagai bakteri epibion spons. Thakur dan Mϋller (2004) juga mengemukakan bukti bahwa bakteri Bacillus pumilus, yang berasosiasi dengan spons laut, menghasilkan senyawa surfaktin - menyerupai depsipeptida, yang merupakan senyawa bioaktif spons. Penelitian lain yang dilakukan oleh Yan et al. (2002) membuktikan bahwa bakteri laut dari genus Bacillus, merupakan bakteri epibiotik yang membentuk biofilm, menghasilkan senyawa antimikroba. Isolat A2 memiliki morfologi sel yang bulat (kokus) dengan pewarnaan Gram (+). Hasil pengujian fisiologi menunjukkan bakteri ini memiliki sifat
mereduksi nitrat dan urease positif. Bakteri ini juga dapat menggunakan glukosa,laktosa dan arabinosa sebagai sumber karbonnya. Ciri-ciri tersebut merupakan sifat bakteri dari genus Staphylococcus. Holt et al. (1994) mengemukakan bahwa bakteri Staphylococcus bersifat anaerob fakultatif, dengan metabolisme fermentatif dan respiratif. Bakteri ini dapat tumbuh pada habitat dengan kadar NaCl sebesar 10%. Pada umumnya bakteri dari genus ini berasosiasi pada kulit dan membran mukus vertebrata, namun juga dapat ditemui pada debu dan air. Beberapa spesies bakteri ini diketahui dapat memproduksi toksin ekstraseluler. Penelitian yang pernah dilakukan pada perairan P. Pramuka, Kep. Seribu, DKI Jakarta, membuktikan bahwa bakteri Staphylococcus, Acinetobacter haemolyticus, dan Vibrio spp. dapat ditemukan sebagai bakteri pelagis di laut (Ismet 2004). Hal ini juga dikemukakan oleh Austin (1988), bahwa beberapa bakteri
seperti Serratia spp., Acinetobacter, Moraxella, Marinococcus dan
Staphylococcus cenderung memiliki kelimpahan yang tinggi pada lingkungan perairan laut. Santavy (1995) dan Rohwer et al. (2001) menemukan bahwa beberapa bakteri dapat berasosiasi pada hewan metazoa. Penelitian yang dilakukan
oleh
Rohwer
et
al.
(2001)
mengungkapkan
sp.,
Bacillus
Staphylococcus sp., Acinetobacter sp. dan Moraxella spp. berasosiasi pada hewan karang dan memiliki kelimpahan yang tinggi pada daerah terumbu. Bakteri Gram (-) yang berhasil diisolasi dari spons Aaptos aaptos adalah isolat A4, A5, A6 dan A7. Pengamatan morfologi dan fisiologi terhadap isolat A4 dan A6 menunjukkan bahwa isolat-isolat tersebut memiliki ciri yang sama dengan Acinetobacter haemolyticus, dengan kesamaan ciri mendekati 90% (Microgen ID versi 1.08.11). Isolat A5 memiliki ciri morfologi sel dan fisiologi yang menyerupai Xenorhabdus nematophilus, dengan kesamaan ciri sebesar 80%. Sementara isolat A7 merupakan bakteri Vibrio alginolyticus, dengan kesamaan ciri sebesar 99.84%. Holt et al. (1994) menulis bahwa Acinetobacter haemolyticus adalah bakteri Gram (-) dengan ciri-ciri berbentuk batang, yang biasanya tersusun secara berpasangan atau rantai. Bakteri ini bersifat aerobik dengan metabolisme respiratif, dapat menggunakan ammonium atau garam nitrat sebagai sumber nitrogennya. Bakteri Acinetobacter haemolyticus dapat ditemukan pada tanah, air dan limbah.
Seperti yang telah diungkapkan diatas, bakteri dari genus
Acinetobacter
dapat
ditemukan
berlimpah
pada
perairan
laut,
maupun
berasosiasi dengan hewan metazoa (Austin 1988; Santavy 1995; Rohwer et al. 2001). Rohwer et al. (2001) menemukan bakteri A. jhonsonii dan Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri yang berasosiasi dengan karang Montastrea franksii,
Diploria strigosa dan Porites astroiedes yang berasal dari perairan
Panama dan Bermuda. Penelitian lain yang dilakukan oleh Razak et al. (2004) juga berhasil mengisolasi bakteri laut Acinetobacter sp. 11, yang dapat mendegradasi limbah minyak. Isolat A5 kemungkinan besar adalah bakteri Xenorhabdus nematophilus. Menurut Holt et al. (1994), bakteri ini memiliki bentuk batang dengan pewarnaan Gram (-). Bakteri yang memiliki flagella ini bersifat motil, dan anaerob fakultatif, dengan metabolisme respiratif dan fermentatif. Biasanya bakteri ini tidak dapat mereduksi nitrat, dan fermentasi karbohidratnya hanya menggunakan Dmannosa. Bradstreet (2004) menyatakan bahwa X. nematophilus merupakan bakteri terestrial yang bersimbiosis pada saluran cerna (intestinum) nematoda. Bakteri ini menghasilkan endo dan ekso-toksin yang dapat membunuh serangga, sehingga memiliki potensi sebagai insektisida. Penelitian yang dilakukan oleh Thaler et al. (1998) menemukan bahwa X. nematophilus dapat memproduksi enzim lipase spesifik yang bekerja pada lipid non-polar, dan enzim lecithinase yang aktif terhadap lipid yang bersifat polar. Secara taksonomi, X. nematophilus termasuk ke dalam kelompok bakteri Enterobacteriaceae. Chelossi et al. (2004) menyatakan di dalam publikasi penelitiannya, bahwa bakteri yang termasuk dalam kelompok ini memiliki rentang habitat yang luas. Bakteri kelompok Enterobacteriaceae dipertimbangkan sebagai indikator adanya kontaminasi faecal pada perairan (Baudisova et al.1997, diacu dalam Chelossi et al.2004). Keberadaan X. nematophilus pada spons Aaptos aaptos merupakan hal yang belum banyak diketahui. Kemungkinan bakteri ini masuk ke dalam tubuh spons melalui mekanisme filter feeder dari perairan yang mengalami kontaminasi faecal. Mekanisme simbiosis antara spons dan bakteri ini masih perlu diteliti lebih lanjut. Proksch et al. ( 2003) menyatakan dalam publikasinya, bahwa banyak mikroba terestrial dapat ditemukan berasosiasi dengan hewan laut (misalnya spons), namun belum dapat dipastikan keberadaannya pada habitat tersebut merupakan kebetulan atau tidak. Namun mikroba-mikroba tersebut diketahui dapat menghasilkan senyawa baru yang berbeda dengan senyawa metabolit sekunder mikroba yang sama dari habitat terestrial. Sebagai contoh adalah fungi
Xanthomonas exigua yang berasal dari habitat terestrial, dapat menghasilkan metabolit baru hitherto jika diisolasi sebagai simbion spons. Kedua bakteri yang dikemukakan diatas masih harus diteliti secara mendalam, antara lain identifikasi secara molekuler dan peranan serta mekanisme simbiosis yang dibentuk dengan spons Aaptos aaptos. Isolat bakteri terakhir, yaitu isolat A7, teridentifikasi sebagai Vibrio alginolyticus. Bakteri ini sering ditemukan pada perairan laut, baik sebagai bakteri asosiatif maupun pelagis. Bakteri ini memiliki bentuk batang lurus atau lengkung, dengan pewarnaan Gram (-). Bakteri yang bersifat anaerob fakultatif ini memiliki flagella sebagai alat geraknya. Tipe metabolisme bakteri ini adalah respiratif dan fermentatif, dengan sifat kemoorganotrof. Katabolisme karbohidrat menghasilkan asam tanpa memproduksi gas. Holt et al. (1994) menyatakan bahwa bakteri ini umum ditemukan pada lingkungan akuatik dan pada permukaan serta di dalam saluran intestinal hewan laut. Penelitian-penelitian yang pernah dilakukan terhadap V. alginolyticus menemukan bahwa bakteri ini dapat bersifat patogen pada beberapa hewan laut, seperti Sepia sp., lumba-lumba, dan beberapa ikan serta udang (Molitoris et al. 1985; Schroeder et al. 1985; Thaler et al. 1998; Sangster & Smolowitz 2003). Menurut Ogunseitan et al. (1999), bakteri ini membentuk biofilm pada ekosistem laut, dan menghasilkan senyawa yang resisten terhadap timah (Pb) serta dapat mereduksi logam (copper). Penelitian yang dilakukan oleh Chelossi et al. (2004) telah berhasil mengidentifikasi beberapa bakteri simbion spons Petrosia ficiformis merupakan bakteri dari genus Vibrio. Lebih lanjut dikatakan bahwa beberapa galur bakteri genus ini, yang ditemukan berasosiasi dengan spons Hyatella sp., memproduksi antibiotik yang termasuk ke dalam kelompok peptida (Oclarit et al. 1994, diacu dalam Chelossi et al. 2004). Sementara itu, pada sampel segar spons Petrosia sp. tidak berhasil ditemukan bakteri simbion, tetapi dua koloni fungi yang berbeda diisolasi setelah masa inkubasi selama 10 hari. Penelitian yang dilakukan oleh Chelossi et al. (2004) menunjukkan bahwa spons Petrosia ficiformis memiliki sekitar 57 bakteri heterotrof yang bersifat epibiotik pada permukaan spons, antara lain Vibrio sp., Pseudoalteromonas, Bacillus sp., Aeromaonas sp. dan bakteri dari kelompok Enterobacteriaceae. Penelitian lain yang dilakukan oleh Steindler et al. (2002, 2005) menunjukkan bahwa spons Petrosia sp. juga berasosiasi dengan bakteri
fotosimbion, seperti cyanobacteria, dan bakteri heterotrof lainnya pada bagian mesohylnya. Steindler et al. (2002) juga menambahkan bahwa komposisi bakteri fotosimbion mempengaruhi aktivitas fotosintesis spons Petrosia sp. Kedalaman habitat spons berpengaruh pada komposisi komunitas bakteri fotosimbion. Spons yang berada pada daerah intertidal akan memiliki fotosimbion yang lebih berlimpah daripada spons dari daerah subtidal. Dengan demikian spons yang berada di intertidal lebih aktif melakukan fotosintesis daripada yang berada di daerah subtidal. Hasil penelitian-penelitian yang dikemukakan di atas memiliki perbedaan yang signifikan dengan penelitian ini, karena tidak adanya bakteri simbion yang berhasil diisolasi. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: 1. Spons Petrosia sp. berasal dari daerah subtidal (kedalaman 7 m) sehingga simbion bakteri, terutama bakteri fotosimbion, hanya terdapat dalam jumlah yang sangat kecil. Hal ini bisa terjadi karena sedikitnya sinar matahari yang mencapai spons, dan aktivitas fotosintesis menjadi tidak optimal. Thacker (2005) menyatakan bahwa pada kondisi terlindung dari sinar matahari, bakteri fotosimbion seringkali tidak ditemukan karena kurangnya cahaya matahari. 2. Menurut Wilkinson (1987, diacu dalam Steindler 2002), pada lingkungan oligotrofik, spons akan memiliki bakteri simbion fotosintesis dan heterotrof dalam jumlah yang banyak, sebagai alternatif sumber energinya. Sementara itu, hasil pengukuran parameter lingkungan pada lokasi pengambilan sampel spons menunjukkan bahwa perairan tersebut memiliki konsentrasi bahan organik yang tinggi (terkontaminasi limbah organik). Hal ini dapat menyebabkan spons kemungkinan tidak memerlukan bakteri simbion dalam jumlah besar, karena aktivitas filter feeder dapat berlangsung secara optimal. 3. Bakteri simbion spons merupakan bakteri yang sulit untuk dikultur. Walaupun biasanya sekitar 40% biomassa spons terdiri dari bakteri simbion, kemungkinan untuk mengisolasi dan kulturisasi bakteri simbion sangatlah rendah (sekitar 1% dari total populasi mikroba) (Sennet et al. 2002). Terbatasnya fasilitas untuk mengidentifikasi bakteri simbion pada penelitian ini, menyebabkan informasi mengenai bakteri simbion tidak didapat secara optimal. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian
identifikasi secara molekuler terhadap bakteri simbion, baik yang terkultur maupun yang tidak dapat dikultur. Aspek terakhir yang dilakukan pada penelitian ini adalah pengamatan biomassa sel spons. Hasil yang didapatkan dari pengamatan histologi kedua jenis spons, dengan menggunakan mikroskop fase kontras, menunjukkan bahwa komponen struktur yang dapat diidentifikasi adalah komponen penyusun skeleton (spikula dan jaringan spongin), serta sel yang berukuran besar yang diperkirakan sebagai archaeocyt. Selain pengamatan preparat histologis, penghitungan jenis sel spons juga dilakukan dengan mengukur persentase fraksi sel. Spons Aaptos aaptos menunjukkan persentase komponen penyusun skeleton (spikula dan sel debris) mencapai 55,9 %, sementara sel spons (choanosome) dan pellet bakteri simbion masing-masing mencapai 14,2 % dan 29,9%. Komposisi fraksi sel ini lebih dipengaruhi oleh morfologi spons. Aaptos aaptos memiliki morfologi yang tidak keras, dengan susunan spikula oxea, yang tidak terlalu padat, tersebar pada bagian ekstosom. Selain itu ditemukan juga spikula style dan strongyle pada bagian ektosom dan endosom. Hasil pengamatan secara histologi menunjukkan bahwa sel archaeocyte ditemukan pada lapisan mesohyl, dalam jumlah yang cukup banyak. Berbeda dengan spons Aaptos aaptos, spons Petrosia sp. memiliki fraksi komponen skeleton (spikula dan sel debris) yang lebih besar, yaitu mencapai 68,6%. Fraksi sel lainnya hanya mencapai 19,7% (sel spons/ choanosome) dan 11,7 % (pellet bakteri simbion). Hal ini sesuai dengan morfologi spons yang lebih kaku dan mengandung spikula yang tersebar secara padat. Susunan spikula tersebut terdiri dari spikula oxea, style dan strongyle. Spikula ini terutama ditemukan tersebar pada lapisan ektosom. Sementara itu, sel archaeocyte pada lapisan mesohyl tidak terlihat dengan jelas, dan hanya dalam jumlah yang tidak terlalu banyak. Persentase fraksi pellet bakteri simbion yang rendah dapat mendukung teori bahwa spons ini hanya mengandung bakteri simbion dalam jumlah kecil. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa biomassa spons Petrosia sp. lebih dipengaruhi oleh sel-sel spons dan komponen penyusun skeleton. Menurut Wilkinson (1987, diacu dalam Steindler 2002), spons yang hidup pada daerah yang subur atau kaya bahan organik, akan memiliki biomassa sel yang tinggi, namun hanya mengandung sedikit sekali bakteri simbion.
Secara umum, bakteri simbion dapat ditemukan di dalam sel-sel amoebocyte (archaeocyte) dan pada lapisan mesohyl secara ekstraseluler, atau tidak berada di dalam sel spons. Selain itu, bakteri simbion juga dapat ditemukan pada bagian permukaan luar tubuh spons, atau biasa dikenal dengan sebutan bakteri epibiotik/epibion (Gomez 2001; Wilkinson 1978; Faulkner et al. 1994; Guyot 2000; Carpenter 2002; Steindler 2002, 2005; Chelossi et al. 2004; Oren et al. 2005; Thacker 2005). Mikroba simbion (bakteri dan fungi) dapat berada di dalam tubuh spons karena aktivitas penyaringan makanan (filter feeder) dari lingkungan perairan, kemudian mengalami adaptasi dan mekanisme simbiosis dengan spons inang. Bakteri-bakteri kemungkinan bukan merupakan bakteri yang bersimbiosis secara obligat (host-spesificity), melainkan bersifat komensal atau mutualisme. Namun demikian, mekanisme simbiosis simbion dan spons belum banyak diketahui dan masih harus diteliti lebih lanjut. Beberapa penelitian berhasil membuktikan bahwa komposisi bakteri simbion dan kelimpahannya sangat dipengaruhi oleh perubahan suhu, iklim, dan tingkat fotosintesis spons (cahaya matahari) (Steindler et al. 2002; Zocchi et al. 2002; Thakur & Mϋller 2004). Mikroba simbion spons (bakteri dan fungi) juga dapat berada di dalam tubuh spons karena adanya transmisi vertikal, atau secara genetis, dari induk ke larva spons. Simbion yang diturunkan secara vertikal, biasanya memiliki sifat simbiosis yang cenderung obligat, dan keberadaannya tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Hal ini berhasil dibuktikan oleh beberapa penelitian yang menyimpulkan bahwa simbion tersebut memiliki sifat host-spesificity pada spons inang, dan ditemukan pada semua spesies spons inang yang berasal dari lokasi yang letaknya sangat berjauhan (Maldonado et al. 2005; Oren 2005; Steindler et al. 2005).