Pemasangan Tag Satelit pada Manta di Nusa Penida (Manta Tagging) PENDAHULUAN Pada bulan Februari 2014, KEPMEN-‐KP No. 4/2014 tentang penetapan status perlindungan ikan pari manta ditandatangai oleh Menteri, dan sekarang dengan telah diloloskannya peraturan baru ini, sangat penting bagi KKJI (Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan) untuk memfokuskan usaha yang signifikan dalam mengelola pari manta (Gambar 1,2) di Indonesia dan secara cepat mengurangi tindakan-‐tindakan eksploitasi yang tidak berkelanjutan terhadap pari manta. Untuk mencapai ini, langkah pertama yang penting adalah untuk mengetahui lebih dalam populasi manta di Indonesia serta pergerakannya. Monitoring pergerakan dan migrasi manta menjadi penting untuk diketahui apabila manta yang berada di wilayah pariwisata utama seringkali bermigrasi melalui wilayah-‐wilayah penangkapan yang telah diketahui (Gambar 3), dimana hal ini nyatanya menempatkan aset pariwisata ini dalam ancaman.
Gambar 1. Pari manta oseanik (Manta birostris) dapat memiliki lebar dari ujung sayap ke sayap mencapai 7 m dan sanggup melakukan migrasi jarak jauh hingga ribuan kilometer. Di Indonesia, manta
oseanik secara utama dijumpai di Raja Ampat (oleh wisatawan selam) dan di Lesser Sunda, di wilayah Lombok dan Sumbawa di bagian timur Lembata. Di wilayah-‐wilayah yang disebutkan belakangan inilah manta oseanik diburu untuk pelat insangnya.
Data-‐data semacam itu akan sangat mungkin didapat dengan menggunakan teknologi tagging satelit. Dalam beberapa bulan terakhir, Wildlife Computers dari Washington, AS telah mengembangkan sebuah towed tag (SPLASH10-‐F-‐301A) yang menggunakan teknologi GPS “Fast-‐Loc” untuk mendapatkan posisi GPS yang akurat dalam waktu singkat setiap kali hewan yang telah di tag sebelumnya berenang dekat permukaan. Teknologi baru ini akan memberikan keunggulan yang sangat signifikan dibandingkan dengan “Pop-‐up Archival Tags” (PAT Tags) yang lebih tradisional, dimana sangat bergantung kepada algoritma yang rumit untuk memperkirakan lokasi berdasarkan intensitas cahaya bawah laut yang direkam pada tag tersebut, juga waktu matahari terbit dan tenggelam. Lebih penting lagi, towed tags akan dapat melaporkan informasi lokasi secara langsung kepada sistem satelit ARGOS setiap kali manta yang telah di tag berenang dekat permukaan (Gambar 3).
Gambar 2. Pari manta karang (Manta alfredi) memiliki ukuran yang lebih kecil (lebar sayap ke sayap maksimum mencapai 5 m) dan lebih sering dijumpai oleh penyelam, karena spesies mantaini menghabiskan banyak waktunya untuk makan di wilayah terumbu karang. Telah terdapat 4 wilayah dengan wisata manta yang telah berjalan di Indonesia, termasuk Raja Ampat, Komodo, Berai (Kalimantan Timur), dan Nusa Penida (Bali).
Tag-‐tag ini dapat digunakan pada setiap lokasi oleh tim kolaboratif yang terdiri dari perwakilan dari KKJI, CI Indonesia, dan pemangku kepentingan lainnya, termasuk LIPI. Kami memperkirakan dibutuhkannya 3-‐4 hari pada masing-‐masing lokasi untuk menjamin keberhasilan pemasangan 5 tag pada masing-‐masing lokasi. Setiap tag akan terpasang pada periode minimal 6 bulan, namun kami juga memperkirakan bahwa edisi terbaru dari tag SPLASH10 yang dikembangkan oleh Wildlife Computer dapat bertahan hingga 1 tahun.
Data yang didapat akan dapat menyediakan gambaran umum dengan resolusi tinggi dari pola migrasi dari keenam populasi yang diketahui di Indonesia. Data komprehensif seperti ini sampai saat ini hanya tersedia pada beberapa area kunci di dunia (contohnya di Australia dan Kepulauan Maladewa), dan akan sangat berharga bagi KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) dalam usahanya mengelola kedua spesies manta di Indonesia. Kami merasa, bahwa data ini akan memberikan bukti yang tidak dapat disangkal dari pergerakan skala besar dari pari manta di perairan Indonesia. Data pergerakan spasial dalam resolusi tinggi ini juga akan sangat berguna dalam pengembangan protokol-‐protokol strategis dalam penegakkan peraturan perlindungan nasional manta, dan juga untuk mendukung pemerintah Indonesia untuk memenuhi kewajiban dari CITES dan juga untuk mengembangkan peraturan yang lebih informative tentang pariwisata manta. Data ini juga akan sangat berguna untuk menarik perhatian publik terhadap pari manta di Indonesia, dan CI Indonesia siap untuk bekerjasama dengan KKP, LIPI, Manta Trust, dan pemangku kepentingan lainnya untuk menjamin bahwa informasi pentingnya pari manta secara ekonomis akan disosialisasikan secara luas di seluruh Indonesia dan lainnya. Terutama di daerah-‐daerah yang banyak dijumpai kasus penangkapan pari manta, sehingga peran pemerintah daerah dan pihak terkait perlu dilakukan untuk memastikan ketersediaan alternatif ekonomi untuk nelayan-‐nelayan penangkap pari manta.
Gambar 3. Peta menunjukkan lokasi dari 6 populasi utama pari manta yang diusulkan untuk program tagging satelit ini. Kotak berwarna biru menunjukkan populasi manta karang (Manta alfredi), dan kotak berwarna merah menunjukkan populasi manta oseanik (Manta birostris).
Satu hal yang penting adalah, donor utama dari program tagging ini adalah dana konservasi margasatwa lautan dari Akuarium SEA, Singapura. Akuarium ini, menampilkan sejumlah pari manta yang didapatkan dari Indonesia di tanki utamanya, sangat antusias untuk berkontribusi kepada konservasi dan peningkatan kesadaran terhadap pari manta Indonesia, dan telah mengindikasikan komitmen untuk mempersiapkan sebuah tampilan public yang positif di Akuarium SEA, Pulau Sentosa, yang menggambarkan usaha dari KKP untuk mengelola populasi pari manta Indonesia secara berkelanjutan dan melakukan program konservasi terhadap aset ini. CI Indonesia sangat senang untuk berkoordinasi dengan KKJI untuk menjamin bahwa tampilan yang diusulkan ini mengandung seluruh pesan-‐pesan konservasi penting yang dibutuhkan oleh KKP.
PEMASANGAN TAG SATELIT Pada bulan Juli dan September 2014, tim yang terdiri dari CI Indonesia, KKJI, Balitbang-‐KP, BPSPL (Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut) Denpasar dan Manta Trust (membantu dalam pengambilan photo ID), 7 buah tag satelit SPLASH10-‐F pada dua lokasi agregasi manta yang telah banyak diketahui para penyelam yang sering menghabiskan waktunya di Nusa Penida, yaitu Manta Bay, dan Manta Point. Dari 7 buah tag satelit ini, 2 buah dipasangkan pada bulan Juli sebagai percobaan untuk mempelajari karakteristik, dan teknis pengaturan pemasangan dari tag jenis SPLASH10-‐F ini, dan 5 lagi dipasangkan pada bulan September 2014.
HASIL AWAL DAN PERMASALAHAN YANG DIJUMPAI Pada penyelaman terakhir di lokasi Manta Point pada sekitar jam 3 sore, diamati terjadinya manta mating train (kereta perkawinan manta), dimana seekor manta betina berada di bagian paling depan, diikuti oleh beberapa ekor manta jantan yang tertarik terhadap betina tersebut. Pada manta, apabila sudah memasuki musim kawin, seekor betina biasanya berenang di sekitar cleaning station yang disukai, dan disana telah menunggu beberapa ekor jantan yang mengikuti betina tersebut dari belakang, berlomba-‐lomba untuk mendapatkan tempat paling dekat dengan betina dan mencari peluang untuk kawin, dan inilah yang oleh para pengamat manta disebut sebagai manta mating train, karena manta-‐manta ini terlihat berenang dengan berbaris seperti kereta. Menurut informasi, hal ini beberapa kali teramati di lokasi ini, khususnya pada bulan September dan Oktober. Permasalahan yang dijumpai setelah pemasangan tagging yang paling utama adalah mudahnya tag tersebut untuk terlepas, salah satunya hanya terpasang selam 9 hari. Hal ini secara alami sangat masuk akal untuk terjadi, karena kedua tag ini terpasang dengan tali sepanjang 50-‐70 cm dari manta yang dipasangkan, karena kedua jenis tag ini harus mencapai permukaan untuk
merekam data lokasi, dan kemudian juga untuk mengirimkan data-‐data yang tersimpan menggunakan transmisi satelit. Hal ini menyebabkan kedua jenis tag satelit ini sangat rentan untuk terlepas, baik itu tersangkut pada sampah-‐sampah, jaring nelayan, tali pancing nelayan, dan juga dilepaskan secara langsung oleh manta itu sendiri. Pemasangan tag awal ini juga dilakukan dengan panjang tali yang beragam, mulai dari 40, 50, dan 70 cm untuk melihat kira-‐ kira panjang tali mana yang paling sesuai untuk tag ini. Dari ini, didapat bahwa panjang tali yang paling optimum adalah 50 cm, dimana panjang tali ini memberikan akses yang cukup baik bagi tag ini ke permukaan laut, dan juga tidak terlalu panjang sehingga tag ini mudah tersangkut dan lepas dari tubuh manta.
HASIL PEMASANGAN TAGGING Dari total 7 ekor manta yang dipasangi tag satelit, 3 ekor darinya merupakan betina yang hamil, 3 ekor merupakan jantan dewasa, dan 1 merupakan jantan muda/remaja. Dari penyebaran pemasangan tag yang cukup beragam ini, diharapkan bahwa hasil yang didapatkan dapat menggambarkan populasi manta di Nusa Penida secara keseluruhan.
Data Lokasi Dari ketujuh ekor manta yang dipasangi tag satelit, 5 buah tag setelah sempat memberikan transmisi data pada 2 minggu awal pemasangan, nampaknya tidak memberikan informasi lebih lanjut. Hal ini bisa disebabkan beberapa hal, yang salah satunya yang paling memungkinkan adalah bahwa kelima tag tersebut mengalami kerusakan pada saat terpasang pada tubuh manta. Dari kelima tag ini, 4 (140894, 140895,140897, dan 140898) darinya memang sempat memberikan transmisi data yang menunjukkan bahwa keempat manta tersebut menghabiskan waktu di sepanjang pesisir selatan Nusa Penida, 1 (140893) darinya tidak memberikan data apapun. Selain dari 5 tag tersebut, 1 buah tag (140892) sempat terpasang selama 9 hari dan kemudian terlepas, dan 1 buah tag (140900) bertahan sampai terlepas sesuai jadwal dan memberikan data yang cukup baik. Berikut merupakan data-‐data lokasi dari keenam tag yang memberikan data:
1. 140893
Setelah 9 hari terekam bahwa manta ini bergerak di seputaran pesisir selatan Nusa Penida, tag ini terlepas dan telah mengapung hingga Samudra Hindia di Barat Daya dari Pulau Sumatera.
2. 140894
Tag ini dipasangkan pada tanggal 16 September 2014, dan data terakhir yang diberikan adalah pada tanggal 18 Oktober 2014, setelah itu tidak ada informasi lagi dari tag ini. 3. 140895
Tag ini dipasangkan pada tanggal 16 September 2014, dan data terakhir yang diberikan adalah pada tanggal 25 Oktober 2014, setelah itu tidak ada informasi lagi dari tag ini.
4. 140897
Tag ini dipasangkan pada tanggal 17 September 2014, dan data terakhir yang diberikan adalah pada tanggal 11 Oktober 2014, setelah itu tidak ada informasi lagi dari tag ini. 5. 140898
Tag ini dipasangkan pada tanggal 16 September 2014, dan data terakhir yang diberikan adalah pada tanggal 21 September 2014, setelah itu tidak ada informasi lagi dari tag ini.
6. 140900
Tag ini dipasangkan pada tanggal 16 September 2014, dan tag ini terpasang sesuai dengan jadwal, yaitu selama 2 bulan penuh. Dalam 2 bulan tersebut, manta ini pertama kali memberikan data lokasi di pesisir Selatan Nusa Penida, lalu manta ini melakukan perjalanan ke pesisir Selatan dan Tenggara Lombok, kembali ke Pesisir Selatan Nusa Penida, lalu ke bagian Timur Nusa Dua, lalu ke daerah Selat Badung, kembali ke Pesisir Selatan Nusa Penida, lalu ke Pesisir Selatan dan Tenggara Lombok, kemudian saat terlepas lokasi terakhir dari tag ini adalah di Sumbawa.
Presentase Kedalaman Total Data presentase kedalaman yang dari ketujuh tag atau time at depth (Gambar 4), menunjukkan bahwa ketujuh manta tersebut paling banyak menghabiskan waktu di kedalaman 10-‐25 meter dan 1-‐5 meter, yang berturut-‐turut presentasenya adalah 18,5 dan 18,3%. Namun apabila kita melihat lebih detil, maka presentase yang paling tinggi sebenarnya adalah presentase pada saat manta tersebut menghabiskan waktu di permukaan, yang merupakan jumlah dari bin 0 dan 0-‐1 meter, yaitu 28%. Selain itu, diamati juga, walaupun dalam presentase yang cukup kecil, namun ketujuh manta tersebut juga menghabiskan waktu di kedalaman yang cukup dalam, yaitu pada kedalaman 100-‐150, 150-‐200, 200-‐250, 250-‐300, 300-‐350, dan >350 meter. Dari data ini, dapat diambil kesimpulan bahwa ketujuh mant tersebut paling banyak menghabiskan waktu di kedalaman 10-‐25 meter (18,5%), namun apabila kedalaman 0 dan 0-‐1 dianggap menjadi satu bin yang mendefinisikan kedalaman saat manta berada di permukaan, maka manta memang
paling banyak menghabiskan waktunya di permukaan (28%). Dan menurut data ini manta memang lebih banyak menghabiskan waktunya di kedalaman dangkal (0-‐25 meter) yang juga merupakan kedalaman untuk penyelaman aman (80,5%) apabila dibandingkan dengan kedalaman dalam (25-‐>350 meter – 19,5%).
20
Total Time at Depth
18
Presentase (%)
16 14 12 10 8 6 4 2 0
Bin Kedalaman (meter)
Gambar 4. Grafik presentase kedalaman, menunjukkan presentase banyaknya waktu yang dihabiskan pada bin-‐bin kedalaman yang telah ditentukan sebelumnya.
Presentase Temperatur Total Dari akumulasi data temperatur dari ketujuh manta yang dipasangi tag satelit ini (Gambar 5), didapat bahwa ketujuh manta tersebut paling banyak menghabiskan waktu pada suhu 21-‐24 °C, dengan presentase sebesar 47,2% dan juga pada suhu 24-‐27 °C, dengan presentase sebesar 38,9%. Hal yang menarik yang dapat diamati juga dari data ini adalah, walaupun dalam presentase yang cukup kecil, ketujuh manta tersebut juga diamati menghabiskan waktunya di yang paling dingin hingga 6-‐9 °C (0,006 %), juga di suhu yang paling tinggi hingga >33 °C (0,001%).
Total Time at Temperature
50 45
Presentase (%)
40 35 30 25 20 15 10 5 0 6-‐9
9-‐12
12-‐15 15-‐18 18-‐21 21-‐24 24-‐27 27-‐30 30-‐33 Temperatur (°C)
>33
Gambar 5. Grafik presentase temperatur, menunjukkan presentase banyaknya waktu yang dihabiskan pada bin-‐bin suhu yang telah ditentukan sebelumnya.
DISKUSI Dari keseluruhan data yang dihasilkan oleh tag satelit yang dipasangkan pada ketujuh manta di Nusa Penida, hampir semuanya (140893, 140894, 140895, 140897, dan 140898) menunjukkan bahwa manta di Nusa Penida banyak menghabiskan waktu di seluruh pesisir selatan Pulau Nusa Penida. Namun satu ekor manta terekam melakukan perjalanan dari Nusa Penida ke Lombok, ke bagian Timur Nusa Dua, kembali ke Nusa Penida, ke Lombok, dan akhirnya terlepas di Sumbawa. Hal ini tentunya merupakan informasi yang sangat penting, melihat bahwa hewan ini merupakan hewan yang dapat mendatangkan pemasukkan yang signifikan bagi masyarakat lokal. Di Nusa Penida, yang terbilang memiliki pariwisata bahari yang cukup berkembang, manta merupakan salah satu daya tarik wisatawan mancanegara maupun lokal untuk menyelam disana, namun di lain pihak, nelayan-‐nelayan di Tanjung Luar (Lombok Timur), merupakan nelayan yang mendapatkan penghidupannya dari menangkap hewan ini. Tentunya aktivitas nelayan di Tanjung Luar ini dapat mengancam salah satu aset paling penting dari pariwisata selam, bukan hanya Nusa Penida, tapi juga Bali secara umum. Manta merupakan hewan yang memiliki tingkat fekunditas yang rendah, dimana hewan ini hanya dapat melahirkan satu anakan pada kondisi umum pada setiap dua atau tiga tahun, dengan periode kehamilan selama 10-‐14 bulan dan mencapai kedewasaan pada umur 10 tahun. Pendewasaan yang lambat (15 tahun atau lebih) dan laju reproduksi yang rendah (satu anakan dalam 5 tahun) dijumpai pada
M. alfredi betina pada suatu subpopulasi di Kepulauan Maladewa. Maka dari itu subpopulasi-‐ subpopulasi Manta amat sangat rentan terhadap kepunahan, sangat sulit untuk pulih apabila mengalami penipisan dari segala bentuk perikanan. Dari data lokasi ini juga dijumpai bahwa manta secara ekstensif menggunakan seluruh bagian pesisir selatan dari Pulau Nusa Penida. Dengan teknologi baru fastloc GPS yang dimiliki tag yang digunakan dalam kegiatan ini, data lokasi yang dihasilkan walaupun sangat akurat (data lokasi GPS), namun memang hanya akan terekam apabila tag ini memiliki akses ke permukaan laut, yang mana memungkinkan apabila manta yang dipasangi tag ini berenang cukup dekat ke permukaan laut, yang seringkali dilakukan saat manta ini makan di permukaan. Dari informasi yang didapatkan dari tag-‐tag satelit yang digunakan, yang menunjukkan bahwa manta-‐manta yang dipasangi tag ini sering muncul e permukaan, hal ini juga dapat menjadi indikasi bahwa manta tersebut menggunakan seluruh pesisir selatan Nusa Penida khususnya untuk makan. Pada penyelaman di lokasi “Manta Point”, teramati terjadinya manta mating train (kereta perkawinan manta), dimana seekor manta betina berada di bagian paling depan, diikuti oleh beberapa ekor manta jantan yang tertarik terhadap betina tersebut. Pada manta, apabila sudah memasuki musim kawin, seekor betina biasanya berenang di sekitar cleaning station yang disukai, dan disana telah menunggu beberapa ekor jantan yang mengikuti betina tersebut dari belakang, berlomba-‐lomba untuk mendapatkan tempat paling dekat dengan betina dan mencari peluang untuk kawin, dan inilah yang oleh para pengamat manta disebut sebagai manta mating train, karena manta-‐manta ini terlihat berenang dengan berbaris seperti kereta. Menurut informasi, hal ini beberapa kali teramati di lokasi ini, khususnya pada bulan September dan Oktober. Informasi dari berbagai sumber ini, penting untuk digunakan sebagai masukan dalam pengelolaan KKP Nusa Penida terutama dalam menjaga salah satu ikonnya yaitu pari manta sehingga mampu memberikan manfaat dalam kegiatan kepariwisataan, dengan meminimalkan dampak-‐dampak buruk yang mungkin terjadi bila tidak dilakukan upaya pengelolaan dan pengaturan aktivitas pariwisata bahari tersebut. Disusun oleh: Abraham Sianipar dan Iwan Dewantama (CI Indonesia)