PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI, EKSISTENSI HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DALAM PERSEFEKTIF HUKUM SIBER (CYBER LAW) Oleh: Taufik Baidawi ABSTRAK Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sudah sedemikian cepat sehingga mempengaruhi setiap aspek kehidupan manusia. Tanpa disadari produk teknologi sudah menjadi kebutuhan sehari-hari, selain itu teknologi informasi dan komunikasi menjadi ujung tombak era globalisasi yang kini melanda hampir diseantero dunia. Kondisi ini menjadikan lahirnya suatu dunia baru yang sering disebut dengan dusun global (global village), yang di dalamnya dihuni oleh warga negara yang disebut warga jaringan (netizent). Perkembangan teknologi informasi ini disatu sisi akan mempermudah manusia dalam menjalankan aktivitasnya, pada sisi lain dapat menimbulkan berbagai masalah yang memerlukan penanganan yang serius, seperti munculnya berbagai bentuk kejahatan baru yang dikenal dengan cybercrime. Selanjutnya, teknologi dan komunikasi telah mengubah perilaku masyarakat dan peradaban manusia global. Di samping itu, perkembangan teknologi informasi telah menyebabkan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial yang secara signifikan berlangsung demikian cepat. Pada saat ini boleh dikatakan Teknologi informasi ibarat pedang bermata dua, karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum. Salah satu implikasi yang saat ini menjadi perhatian adalah pengaruhnya terhadap eksistensi Hak Kekayaan Inteketual (HAKI), disamping terhadap bidang-bidang lain seperti transaksi bisnis, kegiatan e-goverment dan lain-lain. Persoalan perlindungan Hak Atas Kekayaan Inteletual (HAKI) seringkali mendapat perhatian yang utama apabila sedang membicarakan tentang pemanfaatan teknologi informasi. Hal ini tidak terlepas dari karakteristik teknologi informasi itu sendiri yang sangat cepat dan mudah melahirkan inovasi-inovasi baru serta sama sekali berbeda dengan produk yang sifatnya konvensional. Pentingnya undang-undang mengenai teknologi informasi (cyber law), yang diharapkan dapat mengatur pemanfaatan teknologi informasi secara komprehensif perlu segera dilakukan, kenyataan ini mengingat ketiadaan undang-undang berakibat pada munculnya berbagai bentuk kekhawatiran dalam menjalankan aktifitas secara virtual, seperti kerahasiaan, kepastian, keamanan, dan lain-lain. I. PENDAHULUAN Pada saat kita memasuki era globalisasi, maka berbagai macam corak perubahan ditawarkan atau dijual oleh pasar dunia dan bangsa manapun, sehingga masyarakat yang berada di perbedaan belahan bumi tetap menuai dampak sesuai dengan informasi dan perubahan yang dipenetrasikan. Salah satu dampak yang menyeruak di selasela perubahan global adalah tampilnya kejahatan siber (cyber crime). Kejahatan siber tersebut dapat disebut sebagai harga (cost) mahal dari
suatu perubahan masyarakat global yang tingkat perkembangannya melebihi eksistensi hukum. Kejahatan siber, yang lebih populer disebut juga kejahatan cyber space merupakan cermin dari suatu kondisi masyarakat yang selalu berkejaran antara keinginan dengan tarikan pengaruh global yang tidak sedikit memproduk dan menawarkan perubahan yang merugikan. Bentuk kejahatan ini telah menunjukkan bentuk riilnya dalam jagad produk teknologi canggih seperti internet atau komputer.
Kenyataan ini menunjukkan kepada kita bahwa dengan adanya globalisasi, selain memberikan keuntungan atau nilai-nilai positif, juga mengandung muatan yang membahayakan bagi kehidupan masyarakat, fenomena seperti inilah yang harus kita sadari dan waspadai dengan melihat segala bentuk perubahan-perubahan global ini dengan kecerdasan moral, selain itu untuk mengantisipasi dan menjawab berbagai bentuk permasalahan dari era globalisasi teknologi informasi dan komunikasi, seperti adanya kejahatan siber (cyber crime), maka idealismenya, hukum dan aparat penegak hukum harus diposisikan sebagai alternatifnya. Dengan identitas sebagai “rechtstaat”, maka eksistensi norma hukum yang sedang berlaku menjadi prioritas, baik untuk diorientasikan ke tahapan reformasi (jika secara yuridisnormatif belum memadai) maupun digiatkan gerakan-gerakan yang mengarah atau mendukung pada peningkatan semangat untuk melawan segala bentuk kejahatan, teristimewa kejahatan siber (cyber crime). II. PEMBAHASAN Dalam tulisan ini penulis mencoba untuk memberikan gambaran atau mengungkap tentang tindak kejahatan yang terjadi dunia maya (Cyber crime) sebagai bagian dari dampak teknologi, menjelaskan tentang fenomena baru kejahatan siber sebagai bentuk kejahatan baru beserta pengklasifikasian dan karakteristiknya, permasalahan hukum yang ada dalam pemanfaatan teknologi, eksistensi hak kekayaan intelektual sebagai bagian dari pilar hukum siber, dan bagaimana Kejahatan Siber di tinjau dari Persfektif Penegakan Hukum A. Kejahatan Era Globalisasi Sebagai Bagian Dari Dampak Teknologi. Menurut Wahid dan Labib [2005, Hal. 3], apa yang disebut “globalisasi” pada
dasarnya bermula dari awal abad ke 20, yakni pada saat revolusi transportasi dan elektronika mulai memperluas dan mempercepat perdagangan antar bangsa. Disamping pertambahan dan kecepatan lalu lintas barang dan jasa, berkembang pula secara cepat globalisasi gagasan modern seperti negara, konstitusi, nasionalisme, kapitalisme, demokrasi, sekularisme, juga industri dan perusahaan media massa. Pada Undang-undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 dijelaskan bahwa “Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, menganalisa, dan menyebarkan informasi”. Dalam konteks perkembangan globalisasi ini maka teknologi informasi menjadi sangat penting, apalagi jika melihatnya dari sudut pandang proses sosial, sejarah, atau alamiah sehingga semua bangsa di dunia makin terikat satu sama lain, dan lebih jauh lagi perkembangan ini akan menciptakan suatu tatanan kehidupan baru atau kesatuan koeksistensi yang dapat menghilangkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat. Pemanfaatan teknologi informasi termasuk pengelolaan sistem informasi dan komunikasi yang semakin luas dalam berbagai aktivitas kehidupan manusia, bukan saja pada negara-negara maju saja, tapi juga di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Fenomena ini pada gilirannya telah menempatkan pemanfaatan teknologi sebagai produk yang sangat penting, hanya saja kondisi seperti ini pada satu pihak membawa manfaat bagi masyarakat, karena memberikan kemudahan-kemudahan dalam melakukan berbagai aktivitas terutama yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi. Akan tetapi, pada sisi lain, fenomena ini dapat memicu lahirnya berbagai bentuk konflik dan
kejahatan di masyarakat sebagai akibat dari penggunaan teknologi informasi yang tidak bertanggung jawab. B. Cyber crime Sebagai Bentuk Kejahatan Baru. Sejalan dengan kemajuan teknologi informasi, telah muncul beberapa bentuk kejahatan yang mempunyai karakteristik yang sama sekali baru. Penggunaan istilah kejahatan siber (cyber crime) merujuk pada suatu tindakan yang berkaitan dengan dunia maya (cyber space) dan segala bentuk kejahatan dengan menggunakan perangkat komputer. Sementara ini pengunaan istilah kejahatan siber (cyber crime) identik dengan tindakan kejahatan komputer, tapi ada juga yang mendefinisikan berbeda. Dalam beberapa literature, cyber crime sering diidentikkan dengan computer crime, meskipun belum ada kesepakatan mengenai definisi kejahatan teknologi informasi, namun ada kesamaan pengertian universal mengenai kejahatan komputer tersebut. Kesamaan tersebut menurut Wahid dan Labib [2005, Hal. 67] dapat kita lihat dari pengklasifikasian kejahatan komputer seperti berikut: 1. Kejahatan-kejahatan yang menyangkut data atau informasi komputer. 2. Kejahatan-kejahatan yang menyangkut program atau software komputer. 3. Pemakaian fasilitas-fasilitas komputer tanpa wewenang untuk kepentingan-kepentingan yang tidak sesuai dengan tujuan pengelolaan atau operasinya. 4. Tindakan-tindakan mengganggu operasi komputer.Tindakan merusak peralatan komputer atau peralatan yang berhubungan dengan komputer atau sarana penunjangnya. Lebih lanjut mengenai kejahatan komputer ini, menurut Mansur dan Gultom [2005,
Hal. 9], menyatakan bahwa secara umum yang dimaksud kejahatan komputer atau kejahatan di dunia cyber adalah “Upaya memasuki dan atau menggunakan fasilitas komputer atau jaringan komputer tanpa ijin dan dengan melawan hukum dengan atau tanpa menyebabkan perubahan dan atau kerusakan pada fasilitas komputer yang dimasuki atau digunakan tersebut”. Jadi menurut definisi ini, dapat diartikan bahwa bila seseorang menggunakan komputer atau bagian dari jaringan komputer tapi tanpa seijin yang berhak, maka tindakan tersebut sudah termasuk kedalam bentuk kejahatan komputer. Selanjutnya Wahyono [2006, Hal. 231], menyatakan bahwa tindak kejahatan cyber (cyber crime) merupakan bentukbentuk kejahatan yang ditimbulkan karena pemanfaatan teknologi internet. Dari pengertian ini tampak bahwa cyber crime mencakup semua jenis kejahatan beserta modus operandinya yang dilakukan sebagai dampak negatif aplikasi internet. Dalam definisi ini tidak menyebutkan secara spesifik dari karakteristik cyber crime. Definisi ini mencakup segala kejahatan yang dalam modus operandinya menggunakan fasilitas internet. Sementara pengertian lainnya dikemukakan oleh Wahid dan Labib [2005, Hal. 40], kejahatan dunia maya adalah jenis kejahatan yang berkaitan dengan pemanfaatan sebuah teknologi informasi tanpa batas serta memiliki karakteristik yang kuat dengan sebuah rekayasa teknologi yang mengandalkan kepada tingkat keamanan yang tinggi dan kredebilitas dari sebuah informasi yang disampaikan dan diakses oleh pelanggan internet. Dilihat dari beberapa definisi diatas, tampak bahwa cyber crime merupakan segala bentuk kejahatan yang
berhubungan dengan penggunaan teknologi informasi yang berbasis utama komputer dan jaringan telekomunikasi, jadi sesungguhnya memang ada upaya untuk memperluas pengertian komputer agar dapat melingkupi segala kejahatan di internet dengan peralatan apapun, sehingga dapat disederhanakan peristilahan antara cyber crime dan computer crime dengan memberikan definisi yang berarti segala bentuk kejahatan yang berhubungan dengan teknologi, komputer dan internet. Selama ini dalam kejahatan konvensional, kita menggenal adanya dua kejahatan sebagai berikut : 1. Kejahatan Kerah Biru. Kejahatan jenis ini merupakan jenis kejahatan atau tindak kriminal yang dilakukan secara konvensional seperti pencurian, perampokan, pembunuhan, dan lain-lain. 2. Kejahatan Kerah Putih. Kejahatan jenis ini terbagi dalam empat kelompok kejahatan, yaitu kejahatan korporasi, kejahatan birokrat, malpraktek, dan kejahatan individu. Umumnya pelaku memilki penghasilan yang relatif tinggi, berpendidikan, memegang jabatan terhormat di masyarakat. Tetapi, cyber crime sendiri sebagai bentuk kejahatan yang muncul sebagai dampak adanya komunitas dunia maya di internet, memiliki karaktersitik tersendiri yang berbeda dengan kedua model kejahatan di atas. Menurut Wahyono [2006, Hal 234], karakteristik unik dari kejahatan di dunia maya tersebut antara lain menyangkut lima hal sebagai berikut: 1. Ruang lingkup kejahatan. Sesuai dengan sifat internet yang global, maka ruang lingkup kejahatan ini juga bersifat global. Cyber crime seringkali dilakukan secara transnasional, melintas batas antarnegara sehingga sulit dipastikan yuridiksi hukum negara mana yang berlaku terhadapnya. Karakteristik
internet di mana orang dapat berlalu-lalang tanpa identitas (anonymous) sangat memungkinkan terjadinya berbagai aktivitas jahat yang tidak tersentuh hukum. 2. Sifat kejahatan. Sifat kejahatan di duia maya yang non-violence, atau tidak menimbulkan kekacauan yang mudah terlihat. Jika kejahatan konvensional seringkali menimbulkan kekacauan maka kejahatan di internet bersifat sebaliknya. Oleh karena itu, katakutan atas kejahatan (fear of crime) tersebut tidak mudah timbul meskipun bisa saja kerusakan yang diakibatkan oleh kejahatan cyber dapat lebih dashyat dari pada kejahatan-kejahatan lain. 3. Pelaku kejahatan. Jika kejahatan konvensional mudah diidentifikasi dan memiliki tipe tertentu maka pelaku cyber crime bersifat lebih universal meski memiliki ciri khusus yaitu kejahatan dilakukan oleh orang-orang yang menguasai penggunaan internet beserta aplikasinya. Pelaku kejahatan tersebut tidak terbatas pada usia dan stereotif tertentu, mereka yang sempat tertangkap kebanyakan remaja, bahkan beberapa diantaranya masih anak-anak. Mereka jarang terlibat kenakalan remaja, dari keluarga baik-baik, dan rata-rata cerdas. Mereka tentu saja belum menduduki jabatan-jabatan penting di masyarakat sebagaimana para white collar, namun juga jauh dari profil anak jalanan. Dengan demikian, jelas bahwa menangani anak-anak semacam ini memerlukan pendekatan tersendiri. 4. Modus kejahatan. Dalam hal ini, keunikan kejahatan ini adalah penggunaan teknologi informasi dalam modus operandi. Itulah sebabnya mengapa modus operandi dalam dunia siber (cyber space) tersebut sulit dimengerti oleh
orang-orang yang tidak menguasai pengetahuan tentang ilmu komputer, teknik pemrogrammannya dan seluk beluk dunia cyber. Sifat inilah yang membuat kejahatan siber (cyber crime) berbeda dengan tindaktindak pidana lainnya. 5. Jenis kegiatan yang ditimbulkan. Karakteristik yang terakhir adalah bahwa kerugian yang ditimbulkan dari kejahatan ini pun dapat bersifat material maupun non-material seperti waktu, nilai, jasa, barang, harga diri, martabat dan bahkan sampai pada kerahasiaan informasi. Cyber crime berpotensi menimbulkan kerugian pada banyak bidang seperti politik, ekonomi, sosial budaya yang lebih besar dampaknya dibandingkan dengan kejahatan berintensitas tinggi lainnya. C. Permasalahan Hukum Dalam Pemanfaatan Teknologi Informasi Sebelumnya telah dikemukakan bahwa pemanfaatan teknologi informasi ibarat pedang bermata dua, disamping menghasilkan banyak manfaat bagi kehidupan manusia, pada sisi lain sekaligus juga berdampak pada munculnya berbagai permasalahan yang memerlukan penanganan yang serius, seperti masalah sosial, ekonomi, keamanan, hukum dan lain-lain. Menurut Mansur dan Gultom [2005, Hal. 132], ada beberapa permasalahan hukum yang diperkirakan memiliki kaitan erat dengan pemanfaatan teknologi informasi antara lain: 1. Hak Atas Kekayaan Inteletual (HAKI) Jika kita membahas mengenai pemanfaatan teknologi informasi, maka yang menjadi perhatian utama adalah permasalahan hukum yang berkaitan dengan persoalan perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), termasuk didalamnya seperti Hak Cipta yang meliputi masalah Hak Eksklusif (dari pemilik merek), Subyek dari Hak
Cipta, Sumber-sumber resiko, Situs Jaringan, E-mail, Pemuatan tulisan, penyewaan perangkat lunak (software rental), dan lain-lain. 2. Perlindungan Konsumen. Permasalahan hukum yang sering terjadi sehubungan dengan perlindungan konsumen adalah dengan masuknya media internet dalam dunia perdagangan atau bisnis, dimana kedekatan para pihak dalam melakukan transaksi menjadi renggang, praktis antara satu dan yang lain tidak saling mengenal (interaksi hanya terjadi melalui media komputer), selain itu terjadi ketidakjelasan mengenai barang yang ditawakan, lebih-lebih jika barang yang ditawarkan tersebut perlu pengenalan secara fisik, kemudian mengenai kepastian apakah barang yang dikirim telah sesuai dengan pesanan, dan lainlain. Kondisi seperti inilah yang sering terjadi jika melakukan transaksi melalui internet, sebaliknya undangundang perlindungan konsumen yang telah ada sekarang masih mengacu pada sesuatu yang bersifat fisik belum kepada virtual atau maya. 3. Perbankan. Transaksi perbankan melalui media internet (internet banking) sangat erat kaitannya dengan masalah promosi, karena dengan promosi inilah nasabah mengetahui hal-hal apa yang ditawarkan, selain itu melalui promosi, bank dapat menampilkan keberadaanya secara jelas kepada nasabah atau konsumen. Di balik segala kemudahan itu, seringkali nasabah dipersoalkan dengan munculnya ”pembobolan” terhadap rekening miliknya sendiri, melalui peralihan transfer, penyalahgunaan kartu kredit atau cara-cara lainnya. Contoh kasus seperti kasus klik.bca.com dapat dijadikan salah satu contoh bagaimana
kecanggihan teknologi informasi masih dapat dirusak atau dimasuki secara ilegal, sehingga akibat perbuatan seorang hacker 130 user ID dan PIN milik nasabah Bank Central Asia dapat diketahui. 4. Privacy. Di Indonesia masalah privacy belum menjadi masalah besar, terbukti dalam kehidupan sehari-hari ketika identitas seseorang dipergunakan pihak lain tanpa seijin dari pemiliknya untuk kepentingan komersial maka orang tersebut tidak melakukan penuntutan apa-apa, kondisi ini berbeda dengan di luar negeri, dimana identitas pribadi seseorang merupakan informasi yang harus dilindungi dengan baik. Contoh kasus penyalahgunaan identitas (privacy) yang sering terjadi seperti penjualan database nama-nama siswa sekolah menengah umum yang baru lulus untuk kepentingan promosi perguruan tinggi swasta. Keadaan ini hampir tiap tahun terjadi tanpa ada yang mampu menghentikannya, karena memang belum ada undangundang yang mengaturnya. Permasalahan lainnya sepeerti pencemaran nama baik (defarmation) yang dapat merusak reputasi atau privasi seseorang, perusahan atau lembaga yang sudah barang tentu sangat merugikan. 5. Electronic Commerce. Transaksi perdagangan melalui internet, seperti pembelian barang, maka para pihak sudah dihadapkan pada berbagai masalah hukum misalnya keabsahan dokumen yang dibuat, tandatangan digital untuk kesepakatan transaski, kekuatan yang mengikat dari kontrak tersebut, pembayaran transaski, dan lain-lain. Kegiatan e-commerce ini dapat berbentuk Business to Business (B to B) atau Business to Consummers (B to C). Satu hal yang penting dalam e-
commerce adalah menyangkut keamanan dalam mekanisme pembayaran (payment mechanism) dan jaminan keamanan dalam bertransaksi (security risk), seperti informasi mengenai transfer data kartu kredit dan identitas konsumen. Dalam hal ini ada dua permasalahan utama, pertama, mengenai identification integrity yang menyangkut identitas pengirim yang dikuatkan lewat digital signature. Kedua, message integrity yang menyangkut apakah pesan yang dikirimkan oleh si pengirim benarbenar telah diterima oleh si penerima yang dikehendaki (intended recipient). Dalam pelaksanaannya, permasalahan e-commerce yang sering terjadi berhubungan dengan kontrak, perlindungan konsumen, pajak, yuridiksi dan digital signature. D. Eksistensi Hak Kekayaan Intelektual Sebagai Salah Satu Pilar Hukum Siber. Dampak dari pemanfaatan teknologi yang kini menjadi perhatian utama adalah pengaruhnya terhadap eksistensi Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), disamping terhadap bidang-bidang yang lain. Kasus yang marak terjadi pada saat ini adalah kasus yang terkait dengan pelanggaran Hak Cipta dan merek melalui internet dan media komunikasi lainnya. Kenyataan ini tentu saja menjadi permasalahan yang seringkali sulit untuk dipecahkan, karena perbuatan ini dilakukan oleh subjek dengan memanfaatkan sarana teknologi canggih dan juga sulit untuk dilacak keberadaannya, perbuatan melawan hukum di dunia siber (cyber space) ini tentu saja tidak mudah untuk diatasi dengan mengandalkan hukum yang bersifat konvensional. Sehubungan dengan hal tersebut, Ramli [2004, Hal. 5] menjelaskan bahwa sebagai cabang ilmu hukum, Hukum Siber termasuk sangat baru. Hukum Siber bertumpu pada disiplin-disiplin ilmu
hukum yang telah lebih dahulu ada. Beberapa cabang ilmu hukum yang menjadi pilar hukum siber adalah Hak Atas Kekayaan Intelektual, Hukum Perdata Internasional, Hukum Perdata, Hukum Internasional, Hukum Acara dan Pembuktian, Hukum Pidana Internasional, Hukum Telekomunikasi, dan lain-lain. Dalam kerangka hukum siber, Hak Kekayaan Intelektual memiliki kedudukan yang sangat khusus mengingat kegiatan siber sangat lekat dengan pemanfaatan teknologi informasi yang berbasis pada perlindungan rezim hukum Hak Cipta, Paten, merek, Rahasia Dagang, Desain Industri, dan lain-lain. Dapat dikatakan bahwa disamping memberikan manfaat, tingginya penggunaan teknologi informasi justru dapat menjadi suatu ancaman serius terhadap eksistensi karya cipta dan invensi yang telah ditemukan oleh para penemu Hak Kekayaan Inteletual. Karyakarya intelektual berupa program komputer dan objek-objek hak cipta yang ada di media internet dengan sangat mudah dilanggar dan digandakan. Selain itu objek HKI lainnya, seperti merek juga bisa menjadi objek pelanggaran di internet, kegiatan ini seringkali berkembang menjadi perbuatan persaingan tidak sehat, pemboncengan ketenaran (passing off) dan penyesatan informasi. Tersedianya Teknologi informasi tentunya ada pihak yang menyediakan jasa internet yang kita kenal ISP (internet Service Provider) termasuk di dalamnya penyedia jaringan akses, penyediaan content dan penyedia search engine (portal) serta pihak lain yang kita sebut sebagai pemilik informasi. Selanjutnya jika sudah sampai pada aspek pencegahan dan perlindungan terhadap pemilik informasi dari kejahatan siber ini, maka upaya ini telah mewujudkan apresiasi terhadap kreasi-kreasi intelektual. Selama ini Indonesia belum terlalu serius untuk menangani masalah kejahatan siber, maka ini bisa saja
menjadi indikasi bahwa masalah perlindungan hak ini belum sebaik perlindungan di bidang lainnya. Kemudian jika kita sepakat mengakui esensi hak, tentu kita dapat merefleksi makna hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka (1) Undangundang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Undang-undang Hak Asasi Manusia (UU HAM) diatas bisa saja kita jadikan rujukan umum agar kita mau menghormati eksistensi hak asasi manusia, diantaranya hak-hak di bidang intelektual atau lebih dikenal pelanggaran Hak Atas Kekayaan Inteletual seperti penggandaan dan penjiplakan hasil karya seseorang, serta kejahatan dan pelanggaran lainnya. Beberapa jenis perbuatan ini bisa memenuhi unsur cyber crime. E.
Kejahatan Siber Dalam Persfektif Penegakan Hukum. Pada saat ini kejahatan siber (cyber crime) telah menjadi bahaya nyata yang merugikan msyarakat dan negara, kemudian pada saat pengguna komputer (user) memasuki dunia maya melalui media internet, maka itu berarti dia telah memposisikan dirinya dalam kerawanan, hal ini memungkinkan dirinya untuk menjadi korban berbagai bentuk informasi global yang bersifat menjerat, menyesatkan, menipu dan mengorbankannya, realitas ini secara langsung ataupun tidak langsung atau sedang menggugat kondisi sosial masyarakat, bahwa dalam kehidupan masyarakat ada celah kerawanan yang potensial untuk menciptakan
pelanggaran hukum bagi pemenuhan kepentingan seseorang atau sekelompok orang. Dilihat dari persfektif penegakan hukum, Wahid dan Labib [2005, Hal. 136] menyebutkan 5 (lima) unsur penegakan hukum (low enforcement). Artinya untuk mengimlementasikan penegakan hukum di Indonesia ini sangatlah dipengaruhi oleh lima faktor, 1) Undang-undang, 2) Mentalitas aparat penegak hukum, 3) Perilaku masayarakat, 4) Sarana, dan 5) Kultur. Kelima faktor tersebut terjadi saling mempengaruhi di antara faktor yang satu dengan faktor yang lainnya. Eksistensi norma hukum yang terumus di dalam undang-undang misalnya sebagai law in books sangatlah ditentukan prospeknya di tengah masyarakat dalam asfek law in actionnya atau hukum dalam bangunan realitasnya oleh mentalitas aparat penegak hukum. Kinerja aparat penegak hukum akan menjadi penentu prospek penegakan norma-norma hukum. Kaitannya dengan penerapan norma-norma hukum tersebut, maka negara harus menentukan alat-alat perlengkapannya yang dapat bertindak menurut aturan-aturan yang telah ditetapkan. Seperti yang telah kita sama-sama ketahui bahwa penyalahgunaan teknologi informasi sudah menjadi salah satu agenda dari kejahatan di tingkat global. Hal ini harus menjadi prioritas bagi semua elemen negara untuk memeranginya. Alat yang digunakan untuk memerangi kejahatan siber ini adalah Hukum (Law). Alat hukum ini seyogyanya difungsikan sebagai alternatif untuk mencegah terjadinya dan menyebarnya cyber crime, sekaligus menindak jika cyber crime tersebut terbukti menyerang atau merugikan masyarakat dan negara. Menurut Wahid dan Labib [2005, Hal.145-151], ada beberapa produk hukum yang dapat dijadikan rujukan
untuk menjaring cyber crime diantaranya sebagai berikut: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP masih dijadikan dasar hukum untuk menjaring cyber crime, khususnya jenis-jenis cyber crime yang memenuhi unsur-unsur dalam pasalpasal KUHP. Beberapa dasar hukum dalam KUHP yang dapat digunakan aparat hukum seperti Pasal 167, Pasal 406 ayat (1) yang berkaitan dengan tindakan perusakan, pasal 282 tentang penggunaan internet secara melawan hukum dan pornografi di internet sebagaimana diatur pada butir 1, 2, dan 3, kemudian pada pasal 378 tentang pencurian identitas dan penyalahgunaan identitas orang lain untuk memenuhi kepentingan sendiri atau digunakan maksud jahat, kemudian Pasal 112 tentang ”membocorkan rahasia”, Pasal 362 tentang ”Pencurian Data”, dan Pasal 372 tentang ”penggelapan data”. 2. Undang-Undang Hak Cipta (UUHC). Undang-undang di bidang Hak Cipta yang sudah ada dan mengalami beberapa kali perubahan memang dinilai belum memadai untuk menjaring cyber crime, tetapi produk ini dapat ikut diperankan untuk mengisi atau setidaknya mendukung gerakan pemberantasan cyber crime, apalagi salah satu unsur dalam kasus cyber crime terkait dengan masalah pelanggaran hak intelektual dan informasi seseorang atau korporasi. UUHC ini sebagai bagian dari dasar hukum dapat digunakan untuk mendukung pemberantasan cyber crime. UUHC No. 12 Tahun 1997 yang selanjutnya diperbaharui dengan UUHC No. 19 Tahun 2002 cukup refresentatif untuk menjaring berbagai bentuk pelanggaran terhadap hak kekayaan intelektual atau kreasi-kreasi intelektual, seperti kreasi berbasiskan produk teknologi canggih. Ketentuan pidana yang digunakan untuk
menjaring cyber crime diantaranya terumus di dalam Pasal 72 dan Pasal 73 UUHC No.12 Tahun 2002, dalam ketentuannya, penegak hukum menggunakannya sebagai dasar hukum untuk menjerat pelaku yang diduga melakukan cyber crime. Harus diakui, tidak semua kasus cyber crime bisa dijerat dengan ketentuan hukum UUHC, tapi paling tidak dapat dijadikan pijakan untuk mengatasi (mengurangi) problema hukum jika suatu saat terjadi kasus cyber crime. III. PENUTUP Era kemajuan teknologi ditandai dengan meningkatnya penggunaan media internet dalam setiap segi kehidupan masyarakat. Meningkatnya penggunaan internet disatu sisi memberikan banyak kemudahan bagi manusia untuk menjalankan aktivitasnya, pada sisi lain juga membuka peluang bagi pihak-pihak tertentu untuk melakukan berbagai bentuk tindak kejahatan. Cybe rcrime merupakan kejahatan yang lahir dari dampak negatif perkembangan aplikasi internet, di samping itu kejahatan ini timbul dikarenakan ketidakmampuan hukum dalam menjangkaunya. Dalam persfektif kriminologi, kejahatan ini merupakan fenomena baru dalam dunia kejahatan karena karakteristiknya yang berbeda dengan jenis-jenis kejahatan yang bersifat konvensional. Pentingnya undang-undang mengenai teknologi informasi, yang diharapkan dapat mengatur pemanfaatan teknologi Wahid, Abdul dan Mohammad Labib. 2005. Kejahatan Mayantara (Cyber Crime). Reflika Aditama. Bandung. Wahyono, Teguh. 2006. Etika Komputer dan Tanggung Jawab Profesional di Bidang Teknologi Informasi. Penerbit Andi. Yogyakarta. Peraturan Perundang-undangan.
informasi secara komprehensif perlu segera dilakukan, kenyataan ini mengingat ketiadaan undang-undang berakibat pada munculnya berbagai bentuk kekhawatiran dalam menjalankan aktifitas secara virtual, seperti kerahasiaan, kepastian, keamanan, dan lain-lain. Oleh karena itu, sudah saatnya dilakukan upaya untuk mencegah dan menanggulangi semakin meningkatnya kejahatan siber ini, dalam hal ini membuat regulasi yang berkaitan dengan cyber law umumnya dan cyber crime khususnya, peningkatan kuantitas dan kualitas aparat penegak hukum yang menguasai teknologi informasi, meningkatkan sarana dan prasarana pendukung bagi penyelidikan dan penyidikan kejahatan siber. Melalui upaya-upaya tersebut kemajuan teknologi informasi yang sekarang sedang terjadi dapat lebih banyak memberikan manfaat daripada mudharat. DAFTAR PUSTAKA M. Arief Mansur, Dikdik dan Gultom, Elisatris. 2005. Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi. Reflika Aditama. Bandung. M. Ramli, Ahmad. 2004. Cyber Law Dan HAKI Dalam Sistem Hukum Indonesia. Reflika Aditama. Bandung. Muhammad, Abdulkadir. 2001. Etika Profesi Hukum. Citra Aditya Bakti. Bandung. Rancangan Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Kementerian Komunikasi dan informasi RI, versi tanggal 20 Agustus 2004. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.