PEMANFAATAN SURIMI IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DALAM PEMBUATAN SOSIS RASA SAPI DENGAN PENAMBAHAN ISOLAT PROTEIN KEDELAI
ISABEL PATRICIA GRANADA
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
RINGKASAN
ISABEL PATRICIA GRANADA. C34070099. Pemanfaatan surimi ikan lele dumbo (Claris gariepinus) dalam pembuatan sosis rasa sapi dengan penambahan isolat protein kedelai. Dibimbing oleh DJOKO POERNOMO dan AGOES M. JACOEB. Ikan sebagai salah satu sumber protein hewani mengandung semua jenis asam amino essensial yang diperlukan oleh tubuh manusia. Berbagai upaya perlu dilakukan untuk meningkatkan konsumsi ikan, salah satunya dengan diversifikasi pengolahan hasil perikanan. Pemanfaatan ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) sebagai bahan pangan sumber protein diharapkan mampu mengubah pola makan masyarakat yang masih rendah terhadap konsumsi ikan. Penambahan isolat protein kedelai yang tepat diharapkan mampu menghasilkan sosis ikan yang dapat diterima oleh masyarakat secara luas. Penelitian dilakukan dalam dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan meliputi tahap pencucian daging lumat, sedangkan pada penelitian utama yaitu penambahan konsentrasi isolat protein kedelai pada sosis ikan. Konsentrasi isolat protein kedelai yang digunakan yaitu 10%; 13%; 16% dan 19% (b/b). Karakteristik sosis ikan yang dievaluasi meliputi analisis fisik, uji sensori, analisis kimia dan mikrobiologi. Hasil penelitian pendahuluan yang terpilih adalah dengan perlakuan pencucian daging lumat sebanyak dua kali pencucian. Hasil uji sensori pada penelitian utama menunjukkan bahwa para panelis lebih menyukai sosis ikan lele dumbo dengan perlakuan penambahan isolat protein kedelai dengan konsentrasi sebesar 10% dan 13%. Formulasi terpilih penelitian utama adalah sosis ikan lele dumbo dengan penambahan isolat protein kedelai sebesar 13%. Uji perbandingan berpasangan menunjukkan uji lipat, aroma, tekstur dan uji gigit sosis ikan lele dumbo formulasi terpilih lebih disukai dibandingkan dengan produk komersial, sedangkan penampakan dan rasa produk komersial lebih disukai dibandingkan sosis ikan lele dumbo. Berdasarkan hasil uji, kekuatan gel, WHC dan stabilitas emulsi yang terpilih pada sosis ikan dengan perlakuan penambahan isolat protein kedelai sebesar 13% dengan nilai berturut-turut sebesar 337,35 (gf), 72,99% dan 67,87%. Hal ini disebabkan adanya isolat protein kedelai yang mampu meningkatkan kekuatan gel, WHC dan stabilitas emulsi produk. Hasil analisis proksimat untuk kadar air sebesar 79%, abu 1,79%, protein 12,60%, lemak 1,80% dan karbohidrat 4,81%. Hasil uji mikrobiologi yang didapat yaitu 2,3 x 102 cfu/gram, nilai tersebut masih di bawah batas untuk pangan yang aman dikonsumsi.
PEMANFAATAN SURIMI IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DALAM PEMBUATAN SOSIS RASA SAPI DENGAN PENAMBAHAN ISOLAT PROTEIN KEDELAI
ISABEL PATRICIA GRANADA C34070099
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul Skripsi
: Pemanfaatan Surimi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) dalam Pembuatan Sosis Rasa Sapi dengan Penambahan Isolat Protein Kedelai.
Nama
: Isabel Patricia Granada
NIM
: C34070099
Program Sarjana : Teknologi Hasil Perairan
Menyetujui : Pembimbing I,
Pembimbing II,
(Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl.-Biol.)
(Ir. Djoko Poernomo,B.Sc) NIP. 19580419 198303 1 001
NIP. 19591127 198601 1 005
Mengetahui : Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan
(Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS.M.Phil.) NIP : 19580511 198503 1 002
Tanggal Lulus : ………………………..
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Pemanfaatan Surimi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) dalam Pembuatan Sosis Rasa Sapi dengan Penambahan Isolat Protein Kedelai adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2011
Isabel P.Granada C34070099
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah SWT karena atas rahmat dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan skripsi “Pemanfaatan Surimi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) dalam Pembuatan Sosis Rasa Sapi dengan Penambahan Isolat Protein Kedelai “ dengan baik. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu , diantaranya adalah : 1) Bapak Ir. Djoko Poernomo, B.Sc selaku dosen pembimbing yang senantiasa memberi arahan serta bimbingan selama penyusunan skripsi ini. 2) Bapak Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb, Dipl.-Biol sebagai dosen pembimbing dan Ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan. 3) Dra. Pipih Suptijah, MBA sebagai dosen pembimbing akademik yang selalu memberikan motivasi kepada penulis selama menempuh kuliah di THP sekaligus sebagai sebagai dosen penguji yang telah banyak memberikan saran dan perbaikan dalam skripsi ini. 4) Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, MPhil, selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 5) Ayah Muhadiono, Ibu Kusrochartini, kakak-kakakku Yoscarini Hermita Milasari dan Aqualina Pradnya Mahardita yang selalu memberikan kasih sayang dan semangat yang luar biasa. 6) Ghazali Ramadhani yang selalu memberikan motivasi dan semangat yang tak kenal lelah. 7) Ibu Emma, Ibu Rubiyah dan Mas Zaky yang telah membantu selama teknis di laboratorium. 8) Partner seperjuanganku : Salman, Idris, Nisa_dede terimakasih atas kebersamaan dan pengalaman berharga selama ini. 9) Mila, Suhana, Dian, Anis, Salman, Adit_Widodo, Nisa_dede, Chendra, Dhea, Linda, Kiki, Bunbil, Adi, Rika, Gian, Tija, Aul, Za, Ka Yayan, Ka Wahyu terimakasih atas persahabatan, motivasi dan bantuannya selama ini.
10) Sahabat dari TPB : Dela, Ratih, Vanty yang selalu memberikan waktunya untuk mendengar keluh kesah dan memberikan semangat baru saat lelah. 11) Keluarga OMI 2011 : Bang Prima, Cha_Jam, Tyas, Ayu, Vini, Wiwid, Ade_Ay, Mano, Resty, Mei, Yu_daL, Fateh, Adit, Irwan, Yudha, Bokep, Pram, Agung, BunCai, Kadek, Nabil yang telah memberikan support dan kenyamanan dalam sebuah persahabatan. 12) Keluarga besar Departemen Teknologi Hasil Perairan, staff dosen dan Tata Usaha (TU), serta teman-teman THP 43, 44, 45 dan 46 yang telah memberikan dorongan dan semangat. 13) Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan nama satu persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih ada kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak demi penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya. Terima kasih.
Bogor, Agustus 2011
Isabel P.Granada C34070099
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor, pada tanggal 2 Juni 1989 dari pasangan Bapak Muhadiono dan Ibu Kusrochartini sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara. Pendidikan formal penulis dimulai di TK Regina Pacis Bogor dan lulus pada tahun 1995. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar pada tahun 2001 di SD Regina Pacis Bogor. Pada tahun 2004, penulis menyelesaikan pendidikan menengah pertama di SMP Regina Pacis Bogor. Pada tahun 2007, penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA Regina Pacis Bogor. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) di Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama studi di SMA, penulis mendapat kesempatan untuk menjadi anggota PURNA PASKIBRAKA INDONESIA (PPI) PROVINSI JAWA BARAT tahun 2005. Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam kepanitiaan kemahasiswaan di Institut Pertanian Bogor dan berbagai kegiatan, antara lain sebagai atlit basket PORIKAN (2009-2011) dan OMI (2010-2011). Selain itu, penulis juga pernah mengikuti pelatihan HACCP pada tahun 2010 yang diadakan di Institut Pertanian Bogor. Penulis pun aktif dalam kejuaraan Pekan Karya tulis Mahasiswa pada tahun 2011. Selama menempuh pendidikan di IPB penulis pernah menjadi Asisten Luar Biasa m.k Teknologi Pengolahan Tradisional Hasil Perairan (2011/2012). Penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, dengan judul “Pemanfaatan Surimi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) dalam Pembuatan Sosis Rasa Sapi dengan Penambahan Isolat Protein Kedelai “. Dibimbing oleh Ir. Djoko Poernomo dan Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl.-Biol.
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ vi DAFTAR TABEL ............................................................................................... vii DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... viii 1 PENDAHULUAN.............................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1 1.2 Tujuan ........................................................................................................... 2 2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 3 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)............... 3 2.2 Komposisi Kimia Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) ........................... 4 2.3 Surimi ........................................................................................................... 4 2.4 Mekanisme Pembentukan Gel ...................................................................... 8 2.5 Sosis.............................................................................................................. 9 2.6 Protein Daging Ikan.................................................................................... 14 2.6.1 Protein sarkoplasma ............................................................................ 14 2.6.2 Protein miofibril ................................................................................. 14 2.6.3 Protein jaringan ikat (stroma) ............................................................. 15 2.7 Emulsi ......................................................................................................... 15 2.8 Bahan Pengikat dan bahan pengisi ............................................................. 17 2.8.1 Tapioka ............................................................................................... 17 2.8.2 Isolat protein kedelai .......................................................................... 18 2.9 Bahan Tambahan ........................................................................................ 21 2.9.1 Garam ................................................................................................. 21 2.9.2 Gula .................................................................................................... 21 2.9.3 Bawang putih (Allium sativum) .......................................................... 22 2.9.4 Bawang merah (Allium ascalonicum)................................................. 22 2.9.5 Lada putih (Piper nigrum L.) .............................................................. 22 2.9.6 Jahe (Zingiber officinale).................................................................... 23 2.9.7 Air es atau es....................................................................................... 23 2.9.8 Perasa sapi .......................................................................................... 24 2.9 Selongsong ................................................................................................. 25 2.10 Lemak ....................................................................................................... 25 3 METODOLOGI ............................................................................................. 27 3.1 Waktu dan Tempat ..................................................................................... 27 3.2 Bahan dan Alat ........................................................................................... 27 iii
3.3 Metode Penelitian ....................................................................................... 27 3.3.1 Penelitian pendahuluan ...................................................................... 27 3.3.2 Penelitian utama ................................................................................. 28 3.4 Prosedur Analisis ....................................................................................... 32 3.4.1 Rendemen daging dan surimi ............................................................. 33 3.4.2 Analisis fisik ....................................................................................... 33 (1) Uji lipat (folding test) ................................................................... 33 (2) Uji gigit (teeth cutting test)........................................................... 33 (3) Pengukuran kekuatan gel .............................................................. 34 (4) Stabilitas emulsi............................................................................ 34 (5) Daya mengikat air (DMA)............................................................ 34 3.4.3 Uji organoleptik .................................................................................. 35 3.4.4 Uji perbandingan pasangan ................................................................ 35 3.4.5 Analisis proksimat .............................................................................. 36 (1) Analisis kadar air .......................................................................... 36 (2) Analisis kadar abu ........................................................................ 36 (3) Analisis kadar protein ................................................................... 36 (4) Analisis kadar lemak .................................................................... 37 (5) Analisis kadar karbohidrat by difference ...................................... 38 3.4.6 Analisis mikrobiologi ......................................................................... 38 3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data ................................................... 39 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 41 4.1 Penelitian pendahuluan............................................................................... 41 4.1.1 Karakteristik fisik ............................................................................... 41 1) Rendemen daging dan surimi ........................................................ 41 2) Uji lipat (folding test) ..................................................................... 41 3) Uji gigit (teeth cutting test) ............................................................ 43 3) Kekuatan gel (gel strength)............................................................ 43 4.1.2 Karakteristik sensori ........................................................................... 44 1) Penampakan ................................................................................... 45 2) Warna ............................................................................................. 46 3) Rasa ................................................................................................ 47 4) Aroma ............................................................................................ 48 5) Tesktur ........................................................................................... 49 4.2 Penelitian Utama ........................................................................................ 50 4.2.1 Karakteristik sensori ........................................................................... 50 1) Penampakan ................................................................................... 50 2) Warna ............................................................................................. 51 3) Rasa ................................................................................................ 52 4) Aroma ............................................................................................ 53 5) Tesktur ........................................................................................... 54 4.2.2 Karakteristik fisika ............................................................................. 55 1) Uji lipat .......................................................................................... 55 2) Uji gigit (cutting test) ..................................................................... 57 3) Kekuatan gel .................................................................................. 58 4) Daya mengikat air (WHC) ............................................................. 59 iv
5) Stabilitas emulsi ............................................................................. 60 4.2.3 Karakteristik kimia ............................................................................. 61 4.2.4 Uji Perbandingan Pasangan ................................................................ 63 4.2.5 Karakteristik mikrobiologi ................................................................. 66 5 KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 67 5.1 Kesimpulan ................................................................................................. 67 5.2 Saran ........................................................................................................... 67 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 68 LAMPIRAN ......................................................................................................... 74
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
1 Morfologi Ikan Lele (Clarias gariepinus) ......................................................... 4 2 Diagram alir proses pengolahan surimi ............................................................. 6 3 Mekanisme pembentukan gel ikan ..................................................................... 9 4 Tipe emulsi minyak dalam air (o/w) dan air dalam minyak (w/o)................... 16 5 Proses pengolahan isolat protein kedelai ......................................................... 20 6 Diagram alir penelitian pendahuluan pembuatan gel ikan ............................... 31 7 Diagram alir penelitian utama pembuatan sosis ikan lele dumbo .................... 32 8 Histogram nilai rata-rata uji lipat gel ikan lele dumbo .................................... 42 9 Histogram nilai rata-rata uji gigit gel ikan lele dumbo .................................... 43 10 Histogram nilai rata-rata kekuatan gel ikan lele dumbo .................................. 44 11 Histogram nilai rata-rata penampakan gel ikan lele dumbo............................. 45 12 Histogram nilai rata-rata warna gel ikan lele dumbo ....................................... 46 13 Histogram nilai rata-rata rasa gel ikan lele dumbo .......................................... 47 14 Histogram nilai rata-rata aroma gel ikan lele dumbo ....................................... 48 15 Histogram nilai rata-rata tekstur gel ikan lele dumbo ...................................... 49 16 Histogram nilai rata-rata penampakan sosis ikan lele dumbo .......................... 51 17 Histogram nilai rata-rata warna sosis ikan lele dumbo .................................... 52 18 Histogram nilai rata-rata rasa sosis ikan lele dumbo ....................................... 53 19 Histogram nilai rata-rata aroma sosis ikan lele dumbo .................................... 54 20 Histogram nilai rata-rata tekstur sosis ikan lele dumbo ................................... 55 21 Histogram nilai rata-rata uji lipat sosis ikan lele dumbo.................................. 56 22 Histogram nilai rata-rata uji gigit sosis ikan lele dumbo ................................. 57 23 Histogram nilai rata-rata kekuatan gel sosis ikan lele dumbo.......................... 58 24 Histogram nilai rata-rata WHC sosis ikan lele dumbo..................................... 59 25 Histogram nilai rata-rata stabilitas emulsi sosis ikan lele dumbo .................... 61 26 Grafik nilai perbandingan pasangan sosis ikan lele dumbo ............................. 64
vi
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
1 Kandungan gizi ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ........................................ 4 2 Standar mutu surimi .............................................................................................. 7 3 Syarat mutu sosis ............................................................................................... 11 4 Komposisi kimia isolat protein kedelai .............................................................. 21 5 Bahan dan bumbu pada penelitian utama........................................................... 29 6 Kandungan gizi sosis ikan lele dumbo terpilih .................................................. 62 7 Hasil perbandingan pasangan kekuatan gel, daya mengikat air dan stabilitas emulsi ................................................................................................................. 65
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran
1 Tabel scoresheet uji lipat ................................................................................ 75 2 Tabel scoresheet uji gigit ................................................................................ 76 3 Tabel scoresheet uji organoleptik ................................................................... 77 4 Tabel scoresheet uji perbandingan pasangan .................................................. 78 5 Contoh perhitungan rendemen ........................................................................ 79 6 Analisis Kruskal Wallis analisis sensori gel ikan lele dumbo ........................ 80 7a Uji lanjut Multiple Comparison parameter uji lipat gel ikan lele dumbo ...... 81 7b Uji lanjut Multiple Comparison parameter warna gel ikan lele dumbo ......... 81 8
Analisis Kruskal Wallis analisis sensori sosis ikan lele dumbo..................... 82
9a Uji lanjut Multiple Comparison parameter rasa sosis ikan lele dumbo ........ 83 9b Uji lanjut Multiple Comparison parameter tekstur sosis ikan lele dumbo ..... 83 9c Uji lanjut Multiple Comparison parameter uji lipat sosis ikan lele dumbo.... 83 10a Uji lanjut Multiple Comparison parameter uji gigit sosis ikan lele dumbo .. 84 10b Analisis Kruskal Wallis kekuatan gel sosis ikan lele dumbo ........................ 84 10c Uji lanjut Multiple Comparison kekuatan gel sosis ikan lele dumbo ........... 84 11a Analisis Kruskal Wallis WHC sosis.............................................................. 85 11b Uji lanjut Multiple Comparison WHC sosis ikan lele dumbo ...................... 85 11c Analisis Kruskal Wallis stabilitas emulsi sosis ............................................. 85 12 Uji lanjut Multiple Comparison parameter stabilitas emulsi sosis................. 86 13 Rekapitulasi uji sensori, uji lipat dan uji gigit gel ikan lele dumbo ............... 87 14 Rekapitulasi uji sensori, uji lipat dan uji gigit sosis ikan lele dumbo ............ 88 15a Hasil uji kenormalan parameter kekuatan gel ................................................ 89 15b Hasil uji kenormalan parameter WHC ........................................................... 89 15c Hasil uji kenormalan parameter stabilitas emulsi........................................... 90 16 Dokumentasi penelitian................................................................................... 91
viii
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Ikan sebagai salah satu sumber protein hewani mengandung semua jenis asam amino esensial yang diperlukan oleh tubuh manusia (Suhartini dan Nur 2005). Berbagai upaya perlu dilakukan untuk meningkatkan konsumsi ikan, salah satunya dengan diversifikasi pengolahan hasil perikanan. Komoditas perikanan yang cukup digemari oleh masyarakat Indonesia adalah ikan lele dumbo karena rasa daging yang khas dan lezat. Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah ikan air tawar yang bernilai ekonomis penting dan sebagai salah satu jenis ikan sudah dikenal masyarakat Indonesia mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan ikan lele lokal, misal pertumbuhannya yang cepat, proporsi daging yang bisa dimakan lebih banyak dan kandungan gizinya tinggi. Ikan lele dumbo hanya memerlukan waktu sekitar tiga bulan untuk mencapai berat 0,2-0,3 kg, sedangkan ikan lele lokal membutuhkan waktu mencapai satu tahun (Najiati 1992 diacu dalam Chamidah 2005). Kebutuhan lele konsumsi dalam negeri terus mengalami peningkatan sejalan dengan semakin populernya lele sebagai hidangan yang sangat lezat. Produksi ikan lele di Indonesia beberapa tahun terakhir ini meningkat cukup signifikan dari sekitar 60.000 ton tahun 2004, menjadi 79.000 ton pada tahun 2005
dan
terus
meningkat
hingga
96.140
ton
pada
tahun
2007
(Nurilmala et al. 2009). Peluang ekspor lele dalam bentuk fillet mulai terbuka untuk pasar Amerika dan Eropa sehingga ikan lele sudah dijadikan salah satu komoditi ekspor (DKP 2006). Pengolahan ikan merupakan salah satu cara untuk menyelamatkan hasil panen yang disertai dengan usaha peningkatan penerimaan konsumen melalui rasa, aroma, penampakan produk. Pengolahan ikan juga bertujuan untuk menghambat kegiatan zat-zat dan mikroorganisme yang dapat menimbulkan kemunduran mutu dan kerusakan (Moeljanto 1982). Salah satu upaya diversifikasi pada olahan ikan lele adalah dengan pembuatan sosis ikan. Komponen penyusun dalam pembuatan sosis antara lain bahan pengikat. Banyak bahan yang dapat
2
digunakan sebagai bahan pengikat, diantaranya isolat protein kedelai yang dibuat untuk dapat mengikat air dan minyak, menstabilkan emulsi dan membantu mempertahankan struktur pada produk olahan daging. Produksi kedelai di Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 1992 yaitu sebanyak 1,87 juta ton. Namun setelah itu, produksi terus mengalami penurunan hingga hanya 603.531 ton pada tahun 2009. Namun, tingkat konsumsi kedelai di Indonesia mencapai 2,2 juta ton per tahun, dari jumlah itu sekitar 1,6 juta ton harus diimpor. Kesadaran konsumen akan pentingnya kesehatan saat ini semakin meningkat (Kwak dan Junes 2001). Konsumen mulai percaya bahwa makanan yang dikonsumsi berkontribusi terhadap kesehatan (Siro et al. 2008). Kandungan protein yang tinggi pada sosis merupakan salah satu alternatif produk pangan yang dapat digunakan sebagai sumber protein yang mudah dikonsumsi (Colmenero et al. 2010) dan berkontribusi terhadap kesehatan. Oleh karena itu, dengan kombinasi white meat (daging ikan) dan isolat protein kedelai diharapkan dapat membantu program pemerintah untuk meningkatkan konsumsi daging ikan dengan memproduksi sosis yang berbahan baku ikan.
1.2 Tujuan Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1) Mengupayakan pengembangan produk perikanan, khususnya ikan lele menjadi produk olahan berupa sosis ikan. 2) Mempelajari proses pembuatan sosis dari ikan lele dumbo. 3) Mengetahui karakteristik fisik sosis ikan lele dumbo. 4) Menemukan konsentrasi bahan pengikat (isolat protein kedelai) yang menghasilkan sosis ikan terbaik (yang paling disukai panelis). 5) Mengetahui nilai gizi yang terkandung dalam sosis ikan lele dumbo terpilih, serta 6) Membandingkan sosis lele dumbo rasa sapi hasil penelitian dengan sosis komersil yang ada di pasaran.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) merupakan salah satu jenis ikan yang dibudidayakan di Indonesia. Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) memiliki kulit tubuh yang licin, berlendir dan tidak bersisik. Jika terkena sinar matahari, warna tubuhnya berubah menjadi pucat dan jika terkejut warna tubuhnya menjadi loreng seperti mozaik hitam putih. Ukuran mulut relatif lebar yaitu ± ¼ dari panjang total tubuhnya. Tanda spesifik lainnya yaitu adanya kumis di sekitar mulut sebanyak delapan buah yang berfungsi sebagai alat peraba saat bergerak atau ketika mencari makan (Riesnawaty 2007). Ikan lele memiliki alat pernapasan tambahan yang terletak di bagian depan rongga insang yang memungkinkan ikan mengambil oksigen dari udara (Suyanto 1999). Oleh karena itu, ikan lele dapat hidup dalam kondisi perairan yang sedikit mengandung kadar oksigen (Prihartono et al .2000). Klasifikasi ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) menurut Saanin (1984), yaitu : Kingdom
: Animalia
Phyllum
: Chordata
Kelas
: Pisces
Ordo
: Ostariophysi
Famili
: Clariidae
Genus
: Clarias
Species
: Clarias gariepinus
Lele dumbo (Clarias gariepinus) memiliki tiga sirip tunggal, yaitu sirip punggung, sirip ekor dan sirip dubur yang digunakan sebagai alat berenang serta sirip berpasangan yaitu sirip dada dan sirip perut. Sirip dada dilengkapi dengan jari-jari sirip yang keras dan runcing yang disebut patil. Patil digunakan sebagai alat bantu gerak dan juga berfungsi sebagai senjata (Prihartono et al.2000). Mahyuddin (2008) menyatakan bahwa ikan lele dumbo merupakan salah satu ikan yang aktif mencari makan di malam hari (nokturnal). Ikan lele dumbo hanya memerlukan waktu sekitar tiga bulan untuk mencapai berat 0,2-0,3 kg, sedangkan ikan lele lokal membutuhkan waktu mencapai satu tahun (Najiati 1992
4
diacu dalam Chamidah 2005). Ikan lele dumbo dapat tumbuh lebih besar, telurnya lebih banyak sehingga dapat menghasilkan benih yang lebih banyak dan dapat diberi berbagai macam jenis pakan, sehingga biaya pemeliharaannya lebih murah (Prihartono et al.2000).
Gambar 1 Morfologi Ikan Lele (Clarias gariepinus) (Sumber : Anonim 2011)
2.2 Komposisi Kimia Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Menurut Suzuki (1981), komposisi kimia daging ikan yaitu kandungan protein sebesar 15-24%, lemak 0,1-22%, karbohidrat 1-3%, air 66-84% dan bahan organik sebesar 0,8-2%. Pada umumnya bagian ikan yang dapat dimakan (edible portion) berkisar antara 45-50% dari berat ikan. Ikan lele memiliki nilai gizi yang tinggi. Kandungan gizi ikan lele dumbo dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Kandungan gizi ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Komposisi Air Protein Lemak Abu
Jumlah (%) 75,68 16,80 5,70 1,00
Sumber : Rosa et al. (2007)
2.3 Surimi Daging lumat ikan atau minced fish yaitu daging ikan yang telah dipisahkan dari tulang, kepala, kulit, jeroan dan dilumatkan. Proses pelumatan daging ikan dapat dilakukan secara manual dan mekanik (FAO 2001). Daging lumat ikan dikelompokkan berdasarkan jenis daging ikan, yaitu berdasarkan warna daging ikan, serta kandungan lemaknya. Secara umum, warna daging lumat digolongkan ke dalam tiga jenis, yaitu daging putih, gelap dan medium. Ikan yang berkadar lemak rendah menghasilkan daging lumat berwarna putih dan memiliki tingkat kekuatan gel yang tinggi. Ikan
5
berkadar lemak tinggi misalnya ikan mackerel dan sardine akan menghasilkan daging berwarna gelap, sedangkan daging lumat berwarna medium dihasilkan dari ikan yang mengandung mioglobin dan haemoglobin yang tinggi, misalnya pada ikan tuna dan catfish (Shevielo 1997 diacu dalam Gashti 2002). Daging lumat ikan dapat dimanfaatkan sebagai bahan surimi, bakso, burger, fish cake (FAO 2011). Surimi adalah protein miofibril yang didapat dengan pemisahan daging dari tulang ikan secara mekanis dan dicuci dengan air dan ditambahkan cryoprotectant (Park dan Lin 2005). Surimi merupakan produk yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai produk. Surimi dibuat dari daging ikan giling yang telah diekstraksi dengan air dan diberi bahan anti denaturan, lalu dibekukan. Ada dua tipe surimi yang biasa diproduksi, yaitu surimi yang dibuat tanpa penambahan garam (mu-en surimi) dan surimi yang dibuat dengan menambahkan garam (ka-en surimi) (Muchtadi 1989). Pada prinsipnya ada empat tahap proses dalam pembuatan surimi, yaitu pencucian daging ikan, penggilingan, pengemasan dan pembekuan. Pencucian daging dilakukan tiga sampai lima kali. Air yang digunakan mempunyai suhu rendah (5-10 °C) atau air es, karena air kran biasa dapat merusak tekstur (akibat denaturasi protein) dan mempercepat degradasi lemak. Banyaknya air yang digunakan dan ulangan pencucian tergantung dari jenis ikan yang diolah, jenis air pencuci dan mutu surimi yang diinginkan. Biasanya air pencuci terakhir mengandung garam (NaCl) sebanyak 0,01-0,3% (Muchtadi 1989). Pencucian dengan air sangat diperlukan dalam pembuatan surimi karena dapat menunjang kemampuan untuk membentuk gel. Selama pencucian, daging ikan dibersihkan dari darah, pigmen, lemak, lendir dan protein larut air, dengan cara ini warna dan bau daging akan menjadi lebih baik, di samping kandungan aktimiosinnya meningkat, sehingga dapat memperbaiki sifat elastisitas produk yang dihasilkan. Semua jenis ikan pada dasarnya dapat diolah menjadi produk surimi. Kualitas surimi yang baik didapatkan dengan menggunakan ikan yang masih segar karena elastisitas yang terbaik hanya didapatkan dari ikan yang segar (Muhibuddin 2010). Menurut Lee (1984) diacu dalam Muhibuddin (2010), faktor penting yang mempengaruhi proses pembentukan surimi berkualitas baik
6
antara lain cara penyiangan, besarnya partikel dari daging lumat, kualitas air, suhu, peralatan yang digunakan dan cara pencucian. Park dan Lin (2005) menyatakan bahwa pencucian merupakan tahapan yang penting khususnya untuk ikan-ikan yang mempunyai kemampuan membentuk gel yang rendah serta berdaging merah. Pengaruh pencucian dalam pembuatan surimi selain berfungsi untuk mendapatkan warna daging yang putih, juga untuk menghilangkan protein sarkoplasma (Suzuki 1981). Proses pembuatan surimi yang umum dilakukan dapat dilihat pada Gambar 2. Ikan segar
Pemisahan tulang dan pelumatan Daging lumat Pencucian Pengurangan air Penambahan cryoprotectant Pengepakan dan pembekuan Surimi beku
Gambar 2 Diagram alir proses pengolahan surimi (Muhibuddin 2010) Surimi dengan mutu yang paling baik adalah surimi dengan derajat putih paling tinggi, paling bersih dan kekuatan gelnya paling tinggi. Kualitas surimi secara garis besar dipengaruhi oleh faktor intrinsik (biologi) dan ekstrinsik (pengolahan). Faktor-faktor intrinsik yang mempengaruhi kualitas surimi yaitu jenis ikan, musim, kematangan gonad dan tingkat kesegaran ikan, sedangkan untuk faktor-faktor ekstrinsik terdiri dari pemanenan, penanganan bahan baku, air dan proses pencucian surimi (Park dan Lin 2005). Menurut Winarno (1997), mutu surimi yang paling baik adalah yang berwarna putih kuat dan dapat membentuk gel.
7
Komponen yang berperan dalam pembentukan gel ini adalah protein miofibril yang dapat diekstrak menggunakan larutan garam netral. Standar mutu surimi menurut Lanier (1992) dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Standar mutu surimi Tingkatan mutu Kadar (Grade) air (%) 1 75±0,5 2 75±0,5 3 75±0,5 4 75±1,0 5 75±1,0 6 76±1,0
Surimi pH >7 7 7 7 7 7
Impurities (Score) 10,0 >9,0 >8,0 >6,0 >5,0 >4,0
Kekuatan gel (g cm) tanpa pati >680 >680 >640 >520 >440 >310
Mutu surimi yang baik ditentukan oleh kemampuannya untuk membentuk gel. Kemampuan membentuk gel ini berpengaruh terhadap elastisitas dari produk lanjutan yang diolah dari surimi tersebut. Pembentukan gel adalah hasil dari ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik dan ikatan kovalen disulfida (Park 2005). Dalam pembentukan gel ikan komponen terpenting adalah fraksi miosin. Kekuatan gel ikan akan meningkat seiring peningkatan miosin pada gel ikan tersebut. Pada daging mentah ikan yang digiling dan ditambahkan garam maka miosin akan larut dalam larutan garam yang membentuk sol yang sangat adhesive. Sol ini akan membentuk gel dengan konstruksi seperti jala bila dipanaskan dan dapat memberikan sifat elastis pada gel daging ikan (Tanikawa 1985). Irianto (1990) menyatakan bahwa surimi memiliki sifat khusus antara lain : 1) Mampu membentuk gel bila dipanaskan setelah dicampur dengan garam. 2) Merupakan produk yang tidak berwarna, tidak berbau dan berasa, sehingga memungkinkan untuk dimodifikasi menjadi produk dengan berbagai sifat rasa, warna dan bau yang dikehendaki. 3) Mempunyai tingkat elastisitas yang dapat dimodifikasi sesuai dengan yang dikehendaki. 4) Mudah dibentuk tanpa alat bantu dan sesuai dengan yang dikehendaki. 5) Mampu mengikat bahan dengan baik sehingga dapat dicampur dengan bahan-bahan lainnya tanpa merubah sifat tekstur.
8
Dalam proses pembuatan surimi sering digunakan bahan-bahan tambahan yang ditambahkan dengan maksud dan tujuan tertentu. Bahan yang ditambahkan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas surimi. Bahan tambahan yang dapat ditambahkan dalam pembuatan surimi antara lain garam dan cryprotectant (Park 2005).
2.4 Mekanisme Pembentukan Gel Gelasi protein daging terjadi dalam dua tahap. Tahap pertama adalah denaturasi protein (tidak menggulungnya rantai protein) dan tahap kedua adalah terjadinya agregasi protein membentuk struktur tiga dimensi (Niwa 1992). Hudson (1992) membagi proses gelasi menjadi tiga bagian yang diawali dengan proses denaturasi protein utuh dari bentuk terlipat menjadi tidak terlipat. Tahap pertama adalah pembentukan turbiditas yang terjadi pada 3-10 menit pemanasan pertama. Pada tahap ini terjadi interaksi hidrofobik. Menurut Niwa (1992), ketika suhu naik, maka ikatan hidrogen menjadi tidak stabil dan interaksi hidrofobik akan berlangsung lebih kuat Tahap kedua adalah oksidasi sulfihidril (Hudson 1992). Pada tahap ini menurut Niwa (1992) pasta surimi akan mengeras, dimana ikatan intermolekul disulfida (SS) terbentuk melalui oksidasi dari dua residu sistein. Ikatan disulfida lebih intensif terjadi pada suhu pemanasan yang lebih tinggi (di atas 80 ºC). Tahap ketiga adalah tahap peningkatan elastisitas gel yang terjadi ketika pendinginan. Peningkatan elastisitas ini terjadi karena pembentukan ikatan hidrogen kembali yang menyebabkan peningkatan terhadap kekerasan gel (Hudson 1992). Pasta surimi yang dibuat dengan mencampurkan daging dengan garam dan dipanaskan, akan menyebabkan pasta daging tersebut berubah menjadi gel swari. Gel swari tidak hanya terbentuk oleh hidrasi molekul protein, tetapi juga oleh pembentukan jaringan oleh ikatan hidrogen pada molekul miofibril. Gel swari terbentuk dengan cara menahan air di dalam ikatan molekul yang terbentuk oleh ikatan hidrofobik dan ikatan hidrogen, Pembentukan gel swari terjadi pada pemanasan dengan suhu 50 ºC (Suzuki 1981). Pemanasan gel bila ditingkatkan hingga di atas suhu 50 ºC, maka struktur gel tersebut akan hancur. Fenomena ini disebut modori. Modori akan terjadi
9
apabila pasta surimi dipanaskan pada suhu 50-60 ºC selama 20 menit, pada rentang suhu tersebut enzim alkali proteinase akan aktif. Enzim tersebut dapat menguraikan kembali struktur jaringan tiga dimensi gel yang telah terbentuk sehingga gel surimi akan menjadi rapuh dan hilang elastisitasnya. Berkaitan dengan fenomena tersebut, maka dibuat sebuat metode untuk membuat gel surimi yang kuat dengan melewatkan secara cepat pasta surimi tersebut pada zona rentang suhu dimana modori dapat terjadi. Gel surimi yang elastis terbentuk ketika pasta daging dipanaskan dengan melewati suhu modori, dengan cara pemanasan ini terbentuk jaringan dengan dimensi lebih besar yang disebut gel ashi (Suzuki 1981). Proses pembentukan gel ikan dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Mekanisme pembentukan gel ikan (Suzuki 1981)
2.5 Sosis Sosis adalah salah satu produk olahan dari bahan hewani. Secara umum sosis diartikan sebagai makanan yang dibuat dari daging yang telah dicincang, dihaluskan dan diberi bumbu-bumbu, dimasukkan dalam pembungkus berbentuk bulat panjang yang berupa usus hewan atau pembungkus buatan, baik dengan atau tanpa dimasak (Suhatini dan Nur 2005). Sosis atau sausage berasal dari bahasa latin salsus yang berarti daging yang digarami atau diawetkan dengan penggaraman. Menurut Buckle et al. (1987), sosis adalah bahan pangan yang berasal dari potongan kecil-kecil daging yang digiling dan diberi bumbu, yang dapat langsung disiapkan dan segera dimasak untuk dimakan. Sosis adalah daging cincang yang diberi perlakuan penambahan
pengawet berupa garam serta bahan lainnya meliputi bumbu-bumbu, bahan pengikat dan air yang kemudian dibentuk menggunakan selongsong yang terbuat dari jaringan ikat usus hewan atau selulosa sehingga membentuk silinder (Kramlich 1971).
10
Soeparno (1994) membagi sosis menjadi beberapa jenis, sosis segar dibuat dari daging segar, tidak dikuring (tidak dilakukan penggaraman), dicacah, dilumatkan atau digiling, diberi garam dan bumbu-bumbu, dimasukkan dan dipadatkan dalam selongsong serta harus dimasak sebelum dimakan. Sosis masak dibuat dari daging segar, bisa dikuring atau tidak, dimasukkan dan dipadatkan dalam selongsong, tidak diasap dan setelah dibuat harus segera dimakan. Sosis spesialis daging masak adalah produk daging khusus yang dikuring atau tidak dikuring, dimasak dan jarang diasap, sering dibuat dalam bentuk batangan atau daging loaf serta biasa dijual dalam bentuk irisan-irisan yang dipak atau dibungkus yang dapat dikonsumsi dalam keadaan dingin. Sosis kering dan agak kering dibuat dari daging yang dikuring dan dikeringkan udara, dapat diasap sebelum pengeringan serta dapat dikonsumsi dalam keadaan dingin atau setelah masak. Sosis dapat dibuat dari berbagai macam daging, antara lain daging sapi, babi, ayam, ikan yang digiling, ditambah lemak, air, dan bumbu sehingga membentuk emulsi sosis. Hampir semua jenis ikan dapat dibuat sosis. Ikan dipilih karena kemampuannya untuk dijadikan sosis dan jumlahnya yang banyak. Daging ikan yang biasa digunakan berbentuk lempengan atau lembaran yang biasa disebut fillet, daging lumat dan surimi (Erdiansyah 2006). Sosis yang telah banyak dikenal biasanya terbuat dari daging sapi, tetapi saat ini mulai dibuat sosis dari daging ikan. Beberapa macam sosis yang dibuat dari daging ikan lumat, pada dasarnya menggunakan resep pembuatan sosis daging dengan cara mengganti komponen daging dengan ikan. Taylor (2002) menyatakan bahwa sosis ikan dibuat menyerupai pembuatan sosis yang terbuat dari daging. Pada dasarnya pencampuran daging ikan yang didapat dari lembaran fillet ikan, ditambahkan bumbu dan bahan-bahan aditif ke dalam casingnya. Adonan sosis merupakan emulsi minyak dalam air. Untuk memperkuat emulsi air dan lemak dapat ditambahkan bahan pengikat, misalnya susu skim atau konsentrat protein kedelai. Penambahan bahan-bahan yang mengandung karbohidrat misalnya tepung tapioka, tepung terigu, tepung sagu atau tepung beras dapat membentuk tekstur sosis yang kompak (padat).
11
Pembungkus sosis (casing) khususnya pada sosis ikan dapat digunakan casing buatan yang terbuat dari selulosa, serat dan kolagen. Sosis merupakan produk yang dihasilkan dari emulsi minyak dalam air (oil in water atau o/w). Struktur dasar emulsi adalah campuran dari bagian-bagian daging halus yang tersebar sebagai emulsi lemak dalam air. Berdasarkan metode pembuatannya, sosis dibagi menjadi enam kelompok yaitu sosis segar, sosis asap tidak dimasak, sosis asap dimasak, sosis masak, sosis fermentasi dan daging giling masak (Cabeza 2009). Emulsi adalah suatu dispersi atau suspensi suatu cairan dalam cairan lain, yang molekul-molekul kedua cairan itu tidak berbaur tetapi saling antagonistik. Pada emulsi terdapat tiga bagian utama yaitu bagian yang terdispersi terdiri dari butir-butir lemak, media pendispersi yang terdiri dari air dan emulsifier yang berfungsi menjaga agar butir minyak tetap tersuspensi di dalam air (Winarno 1997). Persyaratan sosis menurut SNI (1995) dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Syarat mutu sosis daging menurut SNI 01-3820-1995 No Kriteria Uji 1 Keadaan : Bau Rasa Warna Tekstur 2 Air 3 Abu 4 Protein 5 Lemak 6 Karbohidrat
Satuan %b/b %b/b %b/b %b/b %b/b
Persyaratan Normal Normal Normal Bulat panjang Maks 67.0 Maks 3.0 Min 13.0 Maks 25.0 Maks 8
Sumber: SNI 1995
Sosis merupakan produk olahan makanan sebagai usaha diversifikasi yang terbuat dari daging lumat ikan maupun daging yang banyak mengandung air, protein, lemak dan mineral-mineral. Adapun kandungan yang terdapat pada sosis, antara lain : a) Protein Protein merupakan salah satu zat makanan yang penting bagi tubuh, mempunyai fungsi sebagai pertumbuhan sel (Rodwell et al. 2000 diacu dalam Husni et al.2007). Fungsi protein sebagai penyerap lemak dan penstabilitas emulsi
12
yang dapat digunakan pada makanan dan bahan pangan lain (Sathivel et al. 2009). Jumlah dan jenis daging serta jumlah bahan pengikat dapat mempengaruhi kadar protein pada sosis. Protein dalam daging dikelompokkan menjadi tiga kelompok berdasarkan kelarutannya, meliputi protein sarkoplasma yang dapat larut dalam air, protein miofibril dapat larut dalam larutan garam, dan protein stroma yang tidak larut dalam larutan garam. b) Air Kadar air merupakan kandungan air yang terdapat pada suatu bahan pangan. Kadar air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur dan citarasa dan merupakan komponen sangat penting dalam bahan pangan. jumlah pati maupun jumlah es yang ditambahkan pada proses pengolahan dapat mempengaruhi kadar air sosis (Rompis 1998). c) Abu Abu yang terdapat dalam daging umumnya terdiri dari fosfor, kalsium, besi, magnesium, sulfur, sodium dan potassium. Kadar abu pada sosis berasal dari daging, tepung, sodium tripolifosfat maupun garam yang ditambahkan. d) Lemak Kandungan lemak dalam pembuatan sosis merupakan komponen penting. Kadar lemak dapat dipengaruhi oleh penambahan jenis dan jumlah daging serta lemak dalam pembuatan sosis. e) Karbohidrat Kandungan karbohidrat pada sosis dapat berbeda berdasarkan jenis dan jumlah pengisi yang ditambahkan. Kadar karbohidrat daging segar yaitu kurang dari 1 % dari berat daging yang umumnya terdapat dalam bentuk glikogen dan asam laktat. Tahap
pembuatan
sosis
ikan
adalah
sebagai
berikut
(Shierly 2002 diacu dalam Santoso 2007) : 1) Penyiangan dan pencucian Penyiangan merupakan tahap pembuangan bagian yang tidak diperlukan dari ikan (isi perut, sirip ekor dan lain-lain). Penyiangan dan pencucian bertujuan untuk menghilangkan kotoran, darah, lendir, dari ikan yang merupakan sumber bakteri pembusuk maupun bakteri patogen.
13
2) Filleting Filleting merupakan tahap memisahkan daging ikan dari tulang-tulangnya atau dengan kata lain hanya mengambil bagian dagingnya saja atau mengambil bagian yang dapat dimakan, dalam hal ini dilakukan skinless. 3) Penggilingan Penggilingan dilakukan dengan menggunakan grinder yang bertujuan untuk menghaluskan daging sehingga memudahkan untuk pencampuran bahanbahan lain untuk membentuk adonan. Selama penggilingan timbul panas akibat gesekan antara ikan dan alat, sehingga mengakibatkan denaturasi dari aktomiosin, oleh sebab itu perlu adanya penambahan es. 4) Pengadonan Sebelum pengadonan, dilakukan pencucian terlebih dahulu. Pengadonan merupakan proses pencampuran dari berbagai bahan dasar agar semua bahan tercampur merata homogen. Mutu adonan antara lain dipengaruhi oleh jumlah dan lemak yang ditambahkan, lama pengadukan yang baik biasanya antara 15-25 menit. 5) Pengisian dalam selongsong Apabila adonan sudah homogen, kemudian dimasukkan ke dalam selongsong (casing) yang masih dalam bentuk panjang, untuk itu perlu diikat menjadi bentuk yang kecil dan seragam, berukuran kurang lebih 10-15 cm. 6) Perebusan Secara umum, panas berguna untuk menghentikan atau menghambat proses pembusukan oleh bakteri maupun enzim (Moeljanto 1992). Perebusan yang dilakukan terlalu lama dapat menyebabkan zat-zat makanan yang ada dalam produk akan terekstraksi dan akhirnya zat-zat makanan tersebut akan banyak terbuang selama perebusan. Temperatur yang tinggi akan mengeraskan (membuat liat) protein daging, ikan dan telur. Air yang mendidih dengan cepat akan mengurai kehalusan makanan (Widyati 2001 diacu dalam Astuti 2009). Kekuatan gel yang terbentuk setelah pemanasan dipengaruhi oleh suhu dan lama pemanasan (Tanikawa 1985).
14
2.6 Protein Daging Ikan Protein merupakan senyawa kimia utama dan merupakan bagian terbesar dari daging ikan dalam keadaan berat kering selain lemak, air dan beberapa jenis mineral. Daging ikan juga mengandung produk metabolisme dari protein dan lemak, serta beberapa bahan khusus yang berpengaruh terhadap kerja tubuh sehari-hari, seperti fosfatida, sterol, vitamin,enzim, serta berbagai jenis hormon. Protein ikan merupakan komponen terbesar setelah air, komposisi protein daging ikan secara umum berkisar 15-25% (Suzuki 1981). Protein ikan dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu protein sarkoplasma, miofibril dan jaringan ikat (stroma). Komposisi dari masing-masing golongan protein tersebut adalah sarkoplasma
18-35%,
miofibril
65-75%
dan
stroma
3-10%
(Mackie 1992 diacu dalam Lestari 2005). 2.6.1 Protein sarkoplasma Protein sarkoplasma merupakan protein yang larut dalam air, secara normal ditemukan dalam plasma sel dan berperan sebagai enzim yang diperlukan untuk metabolisme anaerob sel otot. Kandungan protein sarkoplasma pada daging ikan bervariasi berdasarkan spesies ikan. Sarkoplasma terdapat dalam jumlah yang besar pada ikan-ikan pelagis misalnya ikan sardine dan mackerel, serta terkandung dalam jumlah yang rendah pada ikan-ikan demersal (Suzuki 1981). Protein sarkoplasma pada ikan jauh lebih stabil dibandingkan protein miofibrilnya. Protein ini tidak berperan dalam pembentukan gel dan kemungkinan akan menghambatnya (Nurfianti 2007). 2.6.2 Protein miofibril Protein miofibril merupakan bagian terbesar dalam jaringan daging ikan, yaitu protein yang larut dalam larutan garam. Protein ini terdiri dari miosin, aktin serta protein regulasi yaitu gabungan dari aktin dan miosin yang terbentuk aktomiosin. Protein miofibril sangat berperan dalam pembentukan gel dan proses koagulasi terutama dari fraksi aktomiosin (Suzuki 1981). Umumnya protein yang larut dalam larutan garam lebih efisien sebagai pengemulsi dibandingkan dengan protein yang larut dalam air (Junianto 2003). Protein miofibril akan mengalami denaturasi dengan kisaran nilai pH kurang dari 6,5 yang berdampak pada kemampuan pembentukan gel.
15
Pembentukan gel oleh protein miofibril pada surimi dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain konsentrasi protein miofibril, jumlah air yang terkandung, tipe ion dan kekuatannya, pH dan interaksi yang terjadi antara miofibril dengan bahan lain yang ditambahkan, misalnya cryoprotectant (Lee 1984 diacu dalam Muhibuddin 2010). 2.6.3 Protein jaringan ikat (stroma) Protein stroma disusun dari kolagen dan elastin. Protein stroma penting dalam proses pangan karena mempunyai beberapa pengaruh merugikan terhadap sifat fungsional daging. Pengaruh perlakuan panas juga perlu diperhatikan, karena kolagen mudah terdenaturasi oleh panas yang akan mempengaruhi sifat fisiknya. Selain itu, stroma memiliki kelarutan yang rendah, mengandung muatan rendah dan proporsi asam-asam amino esensial yang rendah, sehingga dapat menurunkan kapasitas emulsi daging, mengganggu kapasitas daya pengikatan air pada daging dan berpengaruh terhadap nilai nutrisi daging (Nurfianti 2007). 2.7 Emulsi Emulsi merupakan suatu suspensi cairan dalam cairan lain yang molekul-molekul kedua cairan tersebut tidak saling berbaur tetapi saling antagonistik. Cara kerja dari emulsifier yaitu bila butir-butir lemak telah terpisah karena adanya tenaga mekanik (pengocokan), maka butir-butir lemak yang terdispersi tersebut segera terselubungi oleh selaput tipis emulsifier. Bagian molekul emulsifier yang nonpolar larut dalam lapisan luar butir-butir lemak, sedangkan bagian yang polar menghadap kepelarut (air). Pada suatu emulsi, biasanya terdapat tiga bagian utama, yaitu bagian yang terdispersi yang terdiri dari butir-butir lemak, bagian kedua disebut media pendispersi yang dikenal sebagai continous phase, biasanya terdiri dari air, dan bagian ketiga adalah emulsifier yang berfungsi menjaga agar butir minyak tadi tetap tersuspensi di dalam air. Molekul-molekul emulsifier mempunyai afinitas terhadap kedua cairan tersebut. Daya afinitasnya harus parsial dan tidak sama terhadap kedua cairan tersebut (Winarno 1997). Pada emulsi minyak dalam air, air berperan sebagai fase pendispersi dan minyak sebagai fase terdispersi, begitu pun sebaliknya. Tipe
16
emulsi minyak dalam air (o/w) dan air dalam minyak (w/o) dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Tipe emulsi minyak dalam air (o/w) dan air dalam minyak (w/o) Pada sistem emulsi daging ikan, protein yang paling berperan sebagai emulsifier adalah protein larut garam dan protein larut air. Protein yang larut garam pada daging ikan adalah protein miofibril yang terdiri atas protein struktural (aktin, miosin, dan aktomiosin) dan protein regulasi (troponin, tropomiosin dan aktinin). Protein miofibril merupakan bagian terbesar protein ikan yaitu sekitar 66-77 % dari total protein ikan dan bila dibandingkan daging mamalia dan unggas, daging ikan mengandung protein miofibril yang terbanyak. Miofibril ini sangat berperan dalam penggumpalan dan pembentukan gel pada daging ikan (Suzuki 1981). Protein yang larut air adalah sarkoplasma yang mengandung miogen. Kandungan protein sarkoplasma pada ikan tergantung pada jenis ikan dan biasanya terdapat dalam jumlah sekitar 10 % dari total protein ikan. Protein ini harus dihilangkan karena dapat menghambat pembentukan gel. Setiap globula lemak dalam emulsi daging diselimuti protein daging yang terlarut. Protein akan membentuk suatu matriks yang menyelubungi butiran lemak sehingga globula lemak tidak mudah terpisah dari sistem (Suzuki 1981). Protein merupakan senyawa poliionik yang bersifat surface-active yang dapat membantu proses pembentukan dan penstabilan emulsi minyak dan air. Stabilitas emulsi menunjukkan kestabilan suatu bahan (fase pendispersi dan fase terdispersi) dalam kondisi baik. Emulsi yang stabil diperoleh dari adanya komponen ketiga yaitu bahan pengemulsi yang berfungsi untuk mempercepat terjadinya emulsi dan meningkatkan kestabilan emulsi. Struktur molekul pengemulsi mengandung dua
17
bagian, yaitu bagian yang bersifat polar (hidrofil) dan non polar (hidrofob) (Kramlich 1971). Protein jaringan ikat (stroma) dalam pengolahan surimi tidak dihilangkan karena mudah larut dalam panas dan merupakan komponen netral pada produk akhir. Penyusun dari protein jaringan ikan antara lain kolagen dan elastin (Hall dan Ahmad 1992).
2.8 Bahan pengikat dan bahan pengisi Bahan pengikat dan bahan pengisi adalah bahan yang bukan daging, ditambahkan ke dalam adonan sosis untuk meningkatkan kestabilan emulsi, mengurangi
penyusutan
selama
pemasakan,
memperbaiki
sifat
irisan,
memperbaiki cita rasa serta mengurangi biaya produksi (Widodo 2008). Bahan pengikat merupakan bahan bukan daging yang ditambahkan ke dalam
adonan
dan
mempunyai
kemampuan
untuk
mengikat
air
dan
mengemulsikan lemak. Bahan pengikat menurut asalnya dibedakan menjadi bahan pengikat hewani dan bahan pengikat nabati. Bahan pengikat hewani merupakan produk susu yang meliputi susu bubuk tanpa lemak, susu bubuk tanpa lemak rendah kalsium dan sodium kaseinat. Bahan pengikat nabati yang sering digunakan dalam pembuatan sosis adalah produk kedelai (Kramlich 1971). Bahan pengisi yang umum digunakan dalam pembuatan sosis adalah tepung serealia, ekstrak pati dan sebagainya. Kandungan pati dalam bahan tersebut tinggi tetapi kadar proteinnya rendah, sehingga mempunyai kemampuan untuk
mengikat
air,
tetapi
tidak
berperan
dalam
mengemulsi
lemak
(Wilson et al.1981). Bahan pengikat dan bahan pengisi ditambahkan ke dalam formulasi pembuatan sosis dengan tujuan untuk mengurangi harga formulasi, memperbaiki hasil masakan, memperbaiki karakteristik irisan, memperbaiki aroma,
menambah
kandungan
protein,
memperbaiki
stabilitas
emulsi,
memperbaiki proses pengikatan lemak dan meningkatkan pengikatan air. 2.8.1 Tapioka Menurut SNI 01-3451-1994, tapioka adalah pati (amilum) yang diperoleh dari umbi kayu segar (Manihot utilissima) setelah melalui cara pengolahan tertentu, dibersihkan dan dikeringkan. Proses ekstraksi umbi kayu relatif mudah,
18
karena kandungan protein dan lemaknya rendah. Jika proses pembuatannya dilakukan dengan baik, pati yang dihasilkan akan berwarna putih bersih. Tepung tapioka digunakan sebagai bahan tambahan dalam pembuatan sosis, berfungsi sebagai pengikat dan perekat bahan lain. Kualitas tepung yang digunakan sebagai bahan makanan sangat berpengaruh terhadap makanan yang dihasilkan. Tepung yang baik kualitasnya dapat dilihat berdasarkan ciri-ciri yaitu berwarna putih, tidak berbau apek, teksturnya halus (Daniati 2005). Menurut Hermawan (2002) penambahan tepung tapioka sebanyak 5-10% tidak berpengaruh nyata terhadap semua karakteristik penampakan, warna, tekstur, aroma, dan rasa dari produk. Tapioka dapat digunakan di berbagai industri pangan. Industri pangan yang menggunakan tapioka diantaranya adalah : 1) langsung dimakan sebagai makanan, custard dan bentuk makanan lainnya. 2) sebagai pengental misalnya pada soup, makanan bayi, saus dan lain-lain. 3) sebagai bahan pengisi untuk memadatkan kandungan soup, pil tablet, es krim dan lain-lain. 4) sebagai bahan pengikat untuk menggabungkan massa dan mencegahnya dari penguapan selama pemasakan. 2.8.2 Isolat Protein Kedelai Isolat protein kedelai adalah produk dari protein kedelai bebas lemak atau berlemak rendah yang diolah sedemikian rupa sehingga kandungan proteinnya tinggi. Isolat protein kedelai atau isolat soy protein (ISP) bersifat hidrofilik dan dapat menyatu dengan produk olahan daging untuk mengurangi terjadinya cooking loss (Zhang et al. 2010). Menurut definisinya, kandungan protein pada isolat protein kedelai minimum 95%. Isolat protein kedelai sangat dibutuhkan dalam industi pangan, karena banyak sekali digunakan untuk formulasi berbagai jenis makanan. Sifat yang diunggulkan dari isolat protein kedelai adalah sifat fungsional proteinnya. Sifat ini menentukan pemakaian atau fungsi produk tersebut dalam berbagai produk makanan (Koswara 2005). Isolat protein kedelai dapat dibuat dari tepung kedelai bebas lemak maupun biji kedelai utuh. Proses pembuatannya hampir sama, hanya saja cara ekstraksi proteinnya yang berbeda. Jika dibuat dari tepung kedelai, maka mula-mula tepung harus dicampur dengan air (perbandingan tepung : air = 1 : 8),
19
kemudian pH-nya ditingkatkan menjadi 8,5-8,7 dan diaduk pada suhu 50-55 °C selama 30 menit, sehingga proteinnya terekstrak. Ekstraksi dari biji utuh dilakukan dengan perendaman 5-8 jam, diikuti pembuatan bubur kedelai (kedelai kupas kulit dihancurkan seperti pada pembuatan susu kedelai), lalu diencerkan hingga perbandingan kedelai kering : air = 1 : 8, setelah itu dilakukan pengaturan pH hingga 8,5-8,7 dan diaduk 30 menit. Setelah protein terekstrak, maka residu nonprotein harus dipisahkan dengan sentrifugal utuk menentukan kemurnian isolat protein kedelai yang dihasilkan. Filtrat yang diperoleh kemudian diturunkan pH-nya sampai 4,5 sehingga protein akan mengendap. Endapan protein yang diperoleh kemudian dipisahkan dengan sentrifugal lalu dicuci dan dikeringkan dengan pengering beku (freezee dryer) atau pengering semprot (spray dryer). Hasilnya merupakan isolat protein kedelai. Prinsip yang digunakan untuk mengisolasi protein kedelai adalah penendapan seluruh protein pada titik isoelektrik yaitu pH dimana seluruh protein menggumpal. Pemilihan suasana basa berdasarkan kenyataan bahwa sebagian besar asam amino akan bermuatan negatif pada pH di atas isoelektrik, muatan yang sejenis cenderung untuk tolak menolak, hal ini menyebabkan minimumnya interaksi antara residu-residu asam amino (Rusmianto 2007). Isolat protein kedelai merupakan bentuk protein kedelai yang paling murni, karena kadar proteinnya minimum 95 % dalam berat kering. Produk ini hampir bebas dari karbohidrat, serat dan lemak sehingga sifat fungsionalnya jauh lebih baik dibandingkan dengan konsentrat kedelai dan tepung kedelai. ISP biasanya digunakan sebagai bahan campuran dalam makanan olahan daging dan susu dan baik sekali digunakan dalam formulasi berbagai produk makanan, juga sebagai
bahan
pengikat
dan
pengemulsi
dalam produk-produk
daging
(Koswara 2005). Isolat protein ini sudah banyak digunakan dalam industri daging karena kemampuannya dalam mengikat air dan lemak dan kemampuannya membentuk gel selama pemanasan. Diagram alir proses pengolahan isolat protein kedelai dapat dilihat pada Gambar 5.
20 Tepung kedelai
Biji kedelai
Pencampuran tepung : air = 1:8
Perendaman 8-12 jam Pengupasan kulit
Pembuatan bubur / susu kedelai
Ekstraksi dengan encer, pH 8,5-8,7
alkali
Pengadukan, suhu 50-55 °C Sentrifuse
Filtrat
Residu (polisakarida, pigmen, komponen non-protein)
Whey
Endapan protein Pencucian Pengeringan
Isolat protein kedelai
Gambar 5 Proses pengolahan isolat protein kedelai (Koswara 1992) Penambahan isolat protein kedelai dalam jumlah besar dapat menyebabkan warna produk menjadi coklat dan memberikan bau dan cita rasa langu sehingga menurunkan mutu sensori (warna dan rasa) produk akhir (Wulandhari 2007). Produk-produk olahan kedelai tersebut terdapat dalam bentuk tepung kedelai, konsentrat protein, atau protein isolat. Bahan pengikat ini mengandung protein yang tinggi. Jumlah protein yang tinggi ini dapat menstabilkan emulsi sosis yang terbentuk (Soeparno 1994). Komposisi kimia isolat protein kedelai dapat dilihat pada Tabel 4.
21
Tabel 4 Komposisi kimia isolat protein kedelai (% berat kering) Komponen Protein kasar Lemak kasar Abu Karbohidrat
Jumlah (%) 92 0,5 4,5 0,3
Sumber : Ulya (2005)
2.9 Bahan Tambahan Bahan tambahan lain yang digunakan dalam penelitian pembuatan sosis ikan lele dumbo antara lain garam, gula, air, bawang putih, bawang merah, lada putih, jahe air es dan perasa sapi. 2.9.1 Garam Garam berfungsi sebagai pemberi rasa, pelarut protein dan pengawet (Wibowo 1999). Garam dipergunakan manusia sebagai salah satu metode pengawetan pangan yang pertama dan masih dipergunakan secara luas untuk mengawetkan berbagai macam makanan. Garam memberi sejumlah pegaruh bila ditambahkan pada jaringan sebagai penghambat selektif pada mikroorganisme pencemar tertentu. Mikroorganisme proteolitik dan pembentuk spora adalah yang paling mudah terpengaruh walaupun kadar garam yang rendah sekalipun (Buckle et al. 1987). Garam mempunyai istilah kimia natrium klorida (NaCl). Pada umumnya digunakan untuk memantapkan rasa dalam pembuatan makanan termasuk dalam pembuatan sosis. Mencermati bentuk dari garam, ada garam padat berbentuk batang, garam kasar atau garam krosok, dan garam halus yang sering digunakan sebagai garam meja. Fungsi garam adalah memberi rasa memberi rasa gurih pada bahan, garam yang bermutu baik adalah berwarna putih, bersih dari kotoran. Garam yang digunakan sekitar 2,5 % dari berat ikan (Daniati 2005). 2.9.2 Gula Gula adalah istilah umum yang sering diartikan bagi setiap karbohidrat yang digunakan sebagai pemanis, tetapi dalam industri pangan biasanya digunakan untuk menyatakan sukrosa , gula yang diperoleh dari bit atau tebu. Adanya gula, sukrosa, pati dan lain-lain dapat meningkatkan cita rasa pada makanan serta menimbulkan rasa khusus pada makanan (Buckle et al.1987).
22
Selain memberikan rasa manis, gula juga berfungsi sebagai pengawet karena memiliki sifat higroskopis. Kemampuannya menyerap kandungan air dalam bahan pangan ini bisa memperpanjang masa simpan (Saparinto dan Hidayati 2006) Gula jika dipanaskan akan bereaksi dengan asam amino sehingga terbentuk warna coklat yang membuat bahan lebih menarik (Winarno 1997). Gula berfungsi untuk memodifikasi rasa dan menurunkan kadar air yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroorganisme. Konsentrasi gula yang tinggi dalam curing berfungsi sebagai bahan preservatif (Soeparno 1994). 2.9.3 Bawang putih (Allium sativum) Bawang putih (Allium sativum) berasal dari daerah Asia Tengah, bawang putih mempunyai bau yang tajam karena umbinya mengandung sejenis minyak atsiri (methyl allyl disulfida) sehingga akan memberikan aroma yang harum. (Hassan 1980 diacu dalam Daniati 2005). Bawang putih juga mengandung protein, lemak, vitamin B, dan C serta mineral yaitu kalium, fosfat, besi dan belerang (Wibowo 1999). Umbi bawang putih dapat digunakan sebagai campuran bumbu masak serta penyedap berbagai masakan. Bawang putih yang sering digunakan sekitar 1 % dari berat daging ikan (Wibowo 2004 diacu dalam Daniati 2005). 2.9.4 Bawang merah (Allium ascalonicum) Bawang merah umumnya digunakan sebagai bumbu masak. Bawang merah memiliki kandungan kimia sebagian besar terdiri dari air sekitar 80-85 %, protein sebesar 1,5 %, lemak sebesar 0,3 % dan karbohidrat sebesar 9,2 %. Selain itu, pada umbi bawang merah juga terdapat suatu senyawa yang mengandung ikatan asam amino yang tidak berbau, tidak berwarna dan dapat larut dalam air (Wibowo 1999). Bawang merah berperan sebagai antioksidan, berdasarkan penelitian diketahui bahwa ekstrak bawang merah dapat menurunkan bilangan peroksida dan kadar asam lemak bebas sebagai indikasi tingkat kerusakan minyak (Panagan 2010). 2.9.5 Lada putih (Piper nigrum L.) Lada atau merica merupakan rempah-rempah yang sering digunakan dalam pengolahan makanan. Lada sering ditambahkan pada saat memasak ikan atau daging. Lada mempunyai peranan dalam dehidrasi sehingga dapat berfungsi
23
sebagai penghambat pertumbuhan mikroba dalam bahan pangan. Lada sangat digemari karena memiliki dua sifat penting yaitu rasanya yang pedas dan aromanya yang khas. Kedua sifat tersebut disebabkan kandungan bahan-bahan kimia organik yang terdapat pada lada. Rasa pedas lada disebabkan oleh adanya zat piperin dan piperanin serta hapisin (Rismunandar 1993). 2.9.6 Jahe (Zingiber officinale) Jahe merupakan salah satu rempah-rempah penting. Rimpangnya sangat luas dipakai, antara lain sebagai bumbu masak, pemberi aroma dan rasa pada makanan misalnya roti, kue, biskuit, kembang gula dan berbagai minuman. Jahe dapat digunakan sebagai sebagai bumbu masak, pemberi aroma berbagai makanan dan minuman serta bahan obat-obatan tradisional. dan aneka keperluan lainnya. Sifat khas jahe disebabkan oleh adanya kandungan minyak atsiri dan oleoresin jahe. Minyak atsiri menyebabkan aroma harum jahe, sedangkan oleoresin menyebabkan rasa pedas. Kandungan minyak atsiri dalam jahe kering sekitar 1-3 %. Komponen utama minyak atsiri jahe yang menyebabkan bau harum adalah zingiberen dan zingiberol, disamping itu terdapat juga pati, damar, asam-asam organik, misalnya asam malat dan asam oksalat, vitamin A, B dan C serta senyawa flavonoid dan polifenol (Matondang 2008). 2.9.7 Air es Air merupakan salah satu bahan yang umumnya ditambahkan dalam adonan. Penambahan air dalam bentuk es atau air es bertujuan untuk melarutkan garam, memudahkan ekstraksi protein serabut otot, membantu pembentukan emulsi, dan mempertahankan suhu daging agar tetap rendah selama penggilingan dan pembuatan adonan (Kramlich 1971). Adanya air es atau es pada pembuatan produk daging misalnya sosis atau bakso adalah untuk mempertahankan suhu daging agar tetap rendah selama penggilingan daging dan pembuatan adonan. Selain itu, suhu dapat dipertahankan tetap rendah sehingga protein daging tidak terdenaturasi akibat gerakan mesin penggiling dan ekstraksi protein dapat berjalan dengan baik, karena apabila protein terdenaturasi akibat suhu adonan yang terlalu tinggi maka protein tersebut tidak bisa bersifat sebagai pengemulsi. Penambahan es juga meningkatkan
24
rendemennya, untuk itu dapat digunakan es sebanyak 10-15 % dari berat daging, bahkan 30 % dari berat daging (Wibowo 1999). 2.9.8 Perasa sapi Perasa (flavor) yang berasal dari bahan sintetis relatif lebih aman. Namun demikian, kadar dan pemakaiannya perlu dikontrol dengan baik. Hampir semua makanan yang ada dipasaran mengandung bahan perasa buatan. Mulai dari snack anak-anak, permen, kue, sampai minuman ringan, jus buah, dan susu hampir semuanya menggunakan bahan tersebut. Bahan perasa merupakan salah satu dari beberapa bahan tambahan makanan yang berguna untuk memantapkan rasa dan aroma dalam pengolahan makanan. Selain itu juga untuk meminimalkan biaya produksi. Dengan bahan perasa tersebut para produsen dapat menghasilkan berbagai rasa hanya dengan mengubah rasa atau flavor yang digunakan, misalnya saja pada sirup bahan dasarnya adalah air dan gula. Namun dengan ditambahkan flavor dapat dihasilkan berbagai jenis minuman dengan rasa yang berbeda. Bahan perasa sendiri dari segi pembuatannya dibedakan menjadi dua, yaitu flavor natural (alami) yaitu perasa alami diambil dari bahan-bahan alami, misalnya rasa bawang maka diambil dari ekstrak bawang dan rasa ayam diambil dari sari ayam dan flavor sintetis (buatan) yaitu perasa buatan dihasilkan dari bahan-bahan sintetis, misalnya dari sintetis bahan-bahan kimia yang berasal dari turunan minyak bumi. Bahan-bahan tersebut memiliki karakter seperti penyusun rasa tertentu, misalnya butyl butirate yang memiliki rasa mirip pir dan nanas. Atau berbagai asam amino yang melalui suatu reaksi bisa menyerupai rasa daging atau kimia. Hampir setiap makanan dan minuman olahan yang beredar di pasaran tidak terlepas dari bahan perasa buatan. Bahan perasa atau flavor memang sudah menjadi kebutuhan bagi industri pangan dewasa ini. Dengan bahan perasa tersebut produsen bisa menghasilkan berbagai rasa hanya dengan mengubah rasa atau flavor yang digunakan (Irham 2009). Perasa yang ditambahkan pada adonan sosis berbahan baku surimi ikan lele yaitu perasa sapi cair. Perasa ditambahkan pada adonan saat dicampur dengan bahan lain menggunakan food processor. Perasa yang ditambahkan akan membantu menghilangkan bau amis dari bahan baku ikan lele dan memberikan rasa yang jauh lebih enak.
25
2.10 Selongsong (casing) Selongsong atau casing adalah sarung pembungkus yang digunakan untuk membungkus dan membentuk sosis. Selongsong diperlukan sebagai wadah pembentuk sosis dan menentukan bentuk serta ukuran sosis yang dihasilkan. Selongsong alami terutama dari saluran pencernaan ternak misalnya sapi, babi, domba atau kambing. Selongsong alami biasanya terbuat dari usus alami hewan. Selongsong ini mempunyai keuntungan dapat dimakan, bergizi tinggi, dan melekat pada produk. Kerugian penggunaan casing ini adalah produk tidak awet. Casing kolagen biasanya berbahan baku dari kulit hewan besar. Selongsong alami adalah kolagen yang mudah sekali rusak oleh mikroorganisme sehingga setelah dibersihkan perlu dikeringkan atau digarami, dalam keadaan basah mudah ditembus asap atau cairan. Selongsong buatan terdiri dari empat kelompok yaitu selulose, kolagen yang dapat dimasak, kolagen yang tidak dapat dimasak, dan plastik. Selongsong buatan memiliki kekuatan yang lebih besar dibandingkan dengan selongsong alami (Soeparno 1994). Casing selulosa biasanya berbahan baku pulp. Keuntungan casing selulosa adalah dapat dicetak atau diwarnai dan murah. Casing selulosa sangat keras dan dianjurkan untuk tidak dimakan. Saat ini telah dikembangkan poly amid casing, yaitu selongsong yang terbuat dari plastik. Casing jenis ini tidak bisa dimakan, dapat dibuat berpori atau tidak, bentuk dan ukurannya dapat diatur, tahan terhadap panas dan dapat dicetak (Astawan 2008). 2.11 Lemak Sumber lemak dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu berasal dari tumbuh-tumbuhan yang meliputi biji-bijian, misalnya kedelai, biji kapas, kacang tanah, bunga matahari dan sumber yang berasal dari hewan antara lain sapi, domba, ikan sardin, herring dan sebagainya (Buckle et al. 1987). Keuntungan dari lemak nabati yaitu, mengandung kolesterol kandungan linoleat, oleat, dan linolenat yang lebih besar dibandingkan lemak hewani (Dotulong 2009). Penambahan lemak pada proses pembuatan sosis berpengaruh positif terhadap produk yang dihasilkan. Kelembutan dan kekerasan sosis juga dipengaruhi oleh kandungan lemak, sosis masak misalnya frankfurter dan bologna dibatasi kandungan lemaknya oleh pemerintah USA maksimal 30 %.
26
Jumlah lemak yang harus ditambahkan harus seimbang degan jumlah air dan protein. Jumlah penambahan lemak dalam pembuatan sosis dibatasi untuk mempertahankan tekstur selama pengolahan dan penanganannya, lemak yang ditambahkan tidak boleh lebih dari 30 % bobot daging (Erdiansyah 2006). Apabila lemak yang ditambahkan sedikit maka sosis yang dihasilkan akan keras, sebaliknya apabila penambahan lemak terlalu berlebihan maka sosis yang dihasilkan akan keriput dan lunak karena selama pemasakan terjadi cooking loss yang tinggi sehingga sebagian lemak terpisah (Wilson 1981).
27
3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2011 sampai dengan Juni 2011 di Laboratorium PAU (Pusat Antar Universitas) Pangan dan Gizi Fakultas Teknologi Pertanian, Laboratorium Pengolahan Pangan Depertemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Laboratorium Preservasi dan Pengolahan Hasil Perairan, Laboratorium
Mikrobiologi
Hasil
Perairan,
Laboratorium
Organoleptik,
Laboratorium Biokimia Hasil Perairan Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 3.2 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan untuk membuat sosis meliputi ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) yang berasal dari Pasar Ciampea, Bogor Barat, isolat protein kedelai (toko kimia Setia Guna), tepung tapioka, garam, gula, bawang putih, bawang merah, lada putih, jahe, lemak sapi, perasa sapi dan air es. Bahan yang digunakan untuk analisis kimia dan fisik antara lain akuades, HCl 0,1 N, K2SO4, HgO, H2SO4, NaOH 40 %, H3BO3 dan sebagainya. Peralatan yang digunakan dalam pembuatan sosis antara lain pisau, panci, baskom, sendok, kain blacu, benang kasur, selongsong, timbangan digital, grinder, food processor, stuffer. Alat yang digunakan untuk analisis proksimat antara lain cawan, desikator, oven, tanur, erlenmeyer, gelas kimia dan termometer. 3.3 Metode Penelitian Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan bertujuan untuk menentukan perlakuan pencucian daging ikan untuk menentukan kekuatan gel yang terbaik yang akan dianalisis lebih lanjut pada penelitian utama. Penelitian utama dilakukan untuk menganalisis karakteristik sosis dengan perlakuan konsentrasi isolat protein kedelai. 3.3.1
Penelitian pendahuluan Penelitian pendahuluan bertujuan untuk mendapatkan gel yang terbaik
pada daging lumat ikan sebagai bahan baku sosis. Perlakuan pada penelitian
28
pendahuluan adalah frekuensi pencucian daging lumat dengan penambahan garam yang sama pada tiap perlakuan yaitu sebesar 0,3% (b/b). Penelitian pendahuluan dilakukan dengan perlakuan pencucian daging lumat sebanyak : a) 1 kali dengan penambahan garam 0,3% (b/b). b) 2 kali dengan penambahan garam 0,3% (b/b) pada pencucian ke-2. c) 3 kali dengan penambahan garam 0,3% (b/b) pada pencucian ke-3. Perbandingan air es dan daging lumat yang digunakan pada pencucian yaitu sebesar 3:1. Pada pelakuan satu kali pencucian, daging lumat dicuci dengan air es (5-8 °C) dan diaduk selama 10 menit dengan penambahan garam 0,3% (b/b). Setelah itu, daging lumat disaring menggunakan kain blacu dan diperas untuk mengeluarkan airnya, kemudian daging lumat yang sudah menjadi surimi tersebut ditimbang. Pada pencucian dua kali dilakukan pencucian pertama dengan air es dan pencucian kedua dengan air es dan penambahan garam 0,3% (b/b), sedangkan untuk pencucian tiga kali, pencucian pertama dan kedua dilakukan dengan air es sebanyak dua kali dan pencucian ketiga dengan air es dan penambahan garam 0,3% (b/b). Hasil pencucian yang diperoleh kemudian ditimbang dan dilakukan pencampuran dengan garam 2,5% (b/b) menggunakan food processor hingga adonan homogen dan dicetak dengan menggunakan tabung stainless. Hasil pencetakan tersebut kemudian direbus dengan suhu 45-50 °C selama 20 menit dan dilanjutkan dengan suhu 80-90 °C selama 30 menit. Analisis pada gel ikan yang dihasilkan dilakukan untuk menentukan kekuatan gel yang terbentuk pada gel ikan yaitu dengan pengujian sensori, uji pelipatan, uji gigit dan uji kekuatan gel (gel strength). Diagram alir penelitian pendahuluan dapat dilihat pada Gambar 6. 3.3.2 Penelitian utama Sosis ikan dibuat dengan menggunakan surimi terbaik dari penelitian pendahuluan yang ditambahkan perlakuan penambahan isolat protein kedelai dengan konsentrasi yang berbeda. Selain itu, pada pembuatan sosis ikan ditambahkan tepung tapioka sebesar 10% dari bobot daging dan isolat protein kedelai (400 gram) dan diberi bumbu-bumbu yaitu garam, gula halus, bawang putih, bawang merah, lada putih, lemak sapi, perasa sapi, jahe, dan air es dengan konsentrasi yang sama pada tiap perlakuan.
29
Konsentrasi penambahan isolat protein kedelai pada penelitian utama, yaitu : 1) Penambahan isolat protein kedelai 10% sebagai perlakuan 1 2) Penambahan isolat protein kedelai 13% sebagai perlakuan 2 3) Penambahan isolat protein kedelai 16 % sebagai perlakuan 3 4) Penambahan isolat protein kedelai 19 % sebagai perlakuan 4 Konsentrasi bahan dan bumbu yang ditambahkan dalam penelitian utama dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Bahan dan bumbu pada penelitian utama Bahan dan bumbu Garam Gula halus Bawang putih Bawang merah Lada putih Perasa sapi Ekstrak lemak sapi Jahe
% per bobot total 3 1,5 3 4 0,5 1 3 0,25
Sosis yang dihasilkan diuji secara sensori, fisik, kima, mikrobiologi dan perbandingan
berpasangan.
Analisis
fisik
dilakukan
untuk
menentukan
konsentrasi penambahan isolat protein kedelai terbaik dengan pengujian sensori (penampakan, warna, rasa, aroma dan tekstur), uji lipat, kekuatan gel, stabililitas emulsi, daya ikat air dan juga dilakukan analisis kimia yaitu analisis proksimat sosis ikan (kadar air, abu, protein, lemak dan karbohidrat) serta uji perbandingan berpasangan sosis hasil penelitian dengan sosis rasa sapi komersial. Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dibersihkan dari kotoran, kemudian difillet dan diskinless untuk diambil dagingnya saja, setelah itu digiling untuk mendapatkan lumatan daging ikan. Selama penggilingan, daging dijaga kondisinya pada suhu dingin dengan penambahan es. Hal ini dilakukan dengan tujuan mencegah terjadinya denaturasi protein aktomiosin oleh panas yang timbul akibat proses penggilingan. Sebagian daging ikan digunakan untuk analisis proksimat yang meliputi kadar air, abu, protein, lemak dan karbohidrat. Lumatan daging ikan yang telah digiling kemudian dicuci sesuai dengan perlakuan banyak pencucian yang diperoleh dari penelitian pendahuluan dan diperas menggunakan kain blacu.
30
Setelah itu dilakukan pencampuran dengan bumbu-bumbu yaitu tapioka, garam, gula halus, bawang putih, bawang merah, lada putih, lemak sapi, perasa sapi dan isolat protein kedelai hingga homogen menggunakan food processor dengan ditambahkan air es dengan perbandingan 1:1 dari bobot daging. Adonan yang telah homogen kemudian dimasukkan ke dalam selongsong menggunakan stuffer dengan ukuran panjang masing-masing ± 10 cm dan diikat dengan benang kasur. Perebusan pertama dilakukan pada suhu 45-50 °C selama 20 menit dan dilanjutkan dengan suhu 80-90 °C selama 30 menit. Setelah itu sosis diangkat, didinginkan dan dikemas untuk dikonsumsi. Selanjutnya dilakukan analisis fisik untuk menentukan konsentrasi penambahan isolat protein kedelai terbaik yaitu dengan pengujian sensori, uji lipat, kekuatan gel, stabililitas emulsi, daya ikat air dan uji mikrobiologi (uji TPC). Selain itu, dilakukan pula analisis kimia untuk mengetahui proksimat dari sosis ikan yang dihasilkan meliputi kadar air, kadar abu, protein, lemak karbohidrat serta melakukan uji perbandingan berpasangan sosis hasil penelitian dengan sosis komersial. Diagram alir pembuatan sosis ikan lele dumbo pada penelitian utama dapat dilihat pada Gambar 7.
31 Ikan Lele Dumbo
Penyiangan Pemfilletan skinless Penggilingan Pencucian (air es : ikan = 3:1)
(a)
(b)
(c)
1x pencucian
2x pencucian
3x pencucian
+ garam 0,3% (b/b)
+ garam 0,3% (b/b)
+ garam 0,3% (b/b)
10 menit
10 menit
10 menit
Penghilangan air dengan pemerasan Surimi Penimbangan Pencampuran dengan garam 2,5 % (b/b) Pengadonan hingga homogen dan lengket (adhesive) Pencetakan dalam tabung stainless (diameter 3,25 cm; tinggi 3cm) Perebusan 45-50 °C (20 menit) dilanjutkan 80-90 °C (30 menit) Gel Ikan (kamaboko)
Gambar 6 Diagram alir pembuatan gel ikan (kamaboko)
32
Ikan Lele Dumbo Penyiangan Pemfilletan Penghilangan kulit (skinless) Penggilingan Pencucian terpilih Pemerasan Tepung tapioka(10 %), isolat protein kedelai (10 %,13 %,16 %,19 %)
Gula halus, garam, bw. merah, bw. putih, lada putih, lemak, perasa sapi,jahe,air es.
Pencampuran
Pencetakan dalam selongsong Perebusan 40-45 °C (20 menit) dilanjutkan 80-90 °C (30 menit)
Pendinginan
Sosis ikan lele dumbo
Gambar 7 Diagram alir pembuatan sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
3.4 Prosedur Analisis Analisis yang dilakukan meliputi analisis fisika, kimia dan sensori yaitu rendemen, uji lipat, uji gigit, kekuatan gel, stabililitas emulsi, daya ikat air, proksimat (kadar air, abu, protein, lemak organoleptik dan uji perbandingan berpasangan.
karbohidrat by difference), uji
33
3.4.1 Rendemen daging dan surimi Rendemen daging dihitung dengan membandingkan antara berat daging dengan berat ikan utuh. Ikan lele dumbo utuh ditimbang sebagai berat awal (a). Kemudian dilakukan penyiangan dengan membuang kulit, tulang, isi perut dan kepala lalu ditimbang sebagai berat akhir (b). Selanjutnya rendemen daging dihitung dengan persamaan : Rendemen daging = b x 100 % a Rendemen surimi dihitung dengan membandingkan berat surimi dengan berat ikan utuh. Ikan lele dumbo utuh ditimbang sebagai berat awal (a). Kemudian dagingnya dilumatan, dicuci dan diperas lalu ditimbang sebagai berat akhir (c). Selanjutnya rendemen surimi dihitung dengan persamaan : Rendemen surimi = c x 100% a 3.4.2 Analisis fisik Produk sosis ikan berbahan baku ikan lele dumbo yang dihasilkan dianalisis untuk mengetahui karakteristik fisiknya. Analisis fisik yang dilakukan yaitu analisis uji lipat, kekuatan gel, stabililitas emulsi dan daya ikat air. 1) Uji lipat (folding test) (Suzuki 1981) Uji lipat merupakan salah satu pengujian mutu gel yang dilakukan dengan cara memotong sampel dengan ketebalan 3 mm. Potongan sampel tersebut diletakkan di antara ibu jari dan telunjuk, kemudian dilipat untuk diamati ada tidaknya keretakan pada produk. Contoh lembar penilaian uji pelipatan dapat dilihat pada Lampiran 1. 2) Uji gigit (teeth cutting test) (Suzuki 1981)
Uji gigit ini merupakan taksiran secara obyektif dari seorang panelis terhadap produk, panelis yang melakukan pengujian sebanyak 30 orang. Pengujian dilakukan dengan cara menggigit sampel antara gigi seri atas dan bawah. Sampel yang diuji mempunyai ketebalan 5 mm, scoresheet untuk pengujian uji gigit dapat dilihat pada Lampiran 2.
34
3) Pengukuran kekuatan gel (White dan Englar diacu dalam Alpis 2002) Pengukuran kekuatan gel dilakukan secara obyektif dengan menggunakan Texture analyzer (TA-XT21). Tingkat kekerasan sosis ikan dinyatakan dalam gram force tiap cm2(gf/cm2) yang berarti besarnya gaya tekan untuk memecah deformasi produk. Sampel diletakkan di bawah probe berbentuk silinder pada tempat penekanan, dengan sisi lebar ke atas, kemudian dilakukan penekanan terhadap sampel dengan probe silinder tersebut. Kecepatan alat ketika menekan sampel adalah 1 mm/s. Tekanan dilakukan sebanyak satu kali dan hasil pengukuran akan tercetak pada kertas grafik dan dapat dilihat tinggi saat sampel benar-benar pecah. Nilai tertinggi pada grafik menunjukkan nilai kekuatan gel pada suatu bahan. 4) Stabilitas emulsi (Acton dan Saffle 1970 diacu dalam Hambali et al. 2002) Sampel sosis dihancurkan, lalu ditimbang sebanyak 5 gram dan dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 45 °C selama 1 jam, kemudian dimasukkan dalam pendingin dengan suhu dibawah 0 °C selama 1 jam. Sampel dimasukkan lagi ke dalam oven pada suhu 45 °C dan dibiarkan sampai beratnya konstan selama ±1 jam. Pengamatan dilakukan terhadap kemungkinan terjadinya pemisahan air dari emulsi. Bila terjadi pemisahan, emulsi disebut tidak stabil dan tingkat kestabilannya dihitung berdasarkan presentase fase terpisah terhadap emulsi keseluruhan. Stabilitas emulsi (SE) dapat dihitung berdasarkan rumus berikut : SE (%) = Berat fase yang tersisa
x 100 %
Berat total bahan emulsi 5) Daya mengikat air (DMA) (Hamm 1972 diacu dalam Wahyuni 1992) Daya ikat air dapat diukur dengan menggunakan alat carverpress. Sampel sebanyak 0,3 gram diletakkan di kertas saring dan dijepit dengan carverpress, yaitu diantara dua plat jepitan berkekuatan 35 kg/cm2 selama 5 menit. Kertas saring yang digunakan yaitu Whatman 1 no 40. Luas area basah yaitu luas air yang diserap kertas saring akibat penjepitan, dengan kata lain selisih luas antara lingkaran luar dan dalam kertas saring. Bobot air bebas (jumlah air dalam sosis yang terlepas) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
35
Berat air = Luas area basah - 8,0 0,0948 % air bebas = Berat air x 100 % 300 mg WHC = kadar air total daging (%) - kadar air bebas (%) 3.4.3 Uji organoleptik (Rahayu 2001) Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji kesukaan, panelis diminta untuk memberikan tanggapan tentang tingkat kesukaan atau ketidaksukaan. Tingkatan disebut skala hedonik dan dalam analisisnya ditransformasikan menjadi skala numerik dengan angka menaik menurut tingkat kesukaannya. Dalam
penelitian
ini
digunakan
sembilan
skala
hedonik
yang
menunjukkan tingkat kesukaan. Pelaksanaan uji dilakukan dengan cara menyajikan sosis yang telah diberi kode (menggunakan bilangan acak) dan panelis diminta untuk memberikan penilaian pada score sheet yang telah disediakan. Panelis yang dibutuhkan sebanyak 30 panelis semi terlatih. Parameter uji meliputi rasa, warna, aroma, tekstur dan penampakan, termasuk uji lipat. Parameter rasa dinilai pada saat memakan sosis. Parameter warna dan aroma dinilai dengan melihat dan mencium aroma sosis yang disajikan. Parameter tekstur dinilai dengan perabaan oleh lidah pada saat sosis dimakan, dan parameter kekenyalan dinilai berdasarkan kemudahan dalam melipat sosis. Scoresheet untuk pengujian sensori dapat dilihat pada Lampiran 3. 3.4.4 Uji perbandingan pasangan (Rahayu 2001) Kedua formula terbaik selanjutnya diuji dengan uji perbandingan pasangan menggunakan satu produk komersial. Uji perbandingan pasangan, panelis melakukan penilaian berdasarkan formulir isian dengan memberikan skor berdasarkan skala kelebihan, yaitu lebih baik atau lebih buruk. Penilaian uji perbandingan pasangan yaitu berupa angka dengan skala -3 sampai dengan +3, dimana -3 = sangat lebih buruk, -2 = lebih buruk, -1 = agak lebih buruk, 0 = tidak berbeda, +1 = agak lebih baik, +2 = lebih baik, +3 = sangat lebih baik. Scoresheet untuk pengujian perbandingan berpasangan dapat dilihat pada Lampiran 4.
36
3.4.5 Analisis proksimat Analisis proksimat yang dilakukan pada penelitian ini meliputi analisis kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan kadar karbohidrat. 1) Analisis kadar air (AOAC 1995) Penentuan kadar air didasarkan pada perbedaan berat contoh sebelum dan sesudah dikeringkan. Mula-mula cawan kosong dikeringkan dalam oven selama 30 menit dengan suhu 105 °C, lalu didinginkan di dalam desikator selama 15 menit, kemudian ditimbang. Sebanyak 5 gram contoh dimasukkan ke dalam cawan kemudian dikeringkan dalam oven 105 °C selama 6 jam. Cawan didinginkan dalam desikator selama 30 menit, kemudian ditimbang kembali. Kadar air dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Kadar air (%) = B1-B2 x 100 % B Keterangan : B : Berat contoh (gram) B1 : Berat (contoh+cawan) sebelum dikeringkan B2 : Berat (contoh+cawan) setelah dikeringkan 2) Analisis kadar abu (AOAC 1995) Cawan dibersihkan dan dikeringkan dalam oven selama 30 menit pada suhu 105 °C, lalu didinginkan dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang. Sebanyak 5 gram contoh ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam cawan. Sampel dipanaskan di atas kompor listrik hingga uap air hilang. Selanjutnya dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600 °C selama 8 jam. Lalu didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang. Kadar abu ditentukan dengan rumus : Kadar abu (%) = berat abu
x 100 %
berat contoh 3) Analisis kadar protein (AOAC 1995) Analisis kadar protein yaitu dengan mengukur kandungan nitrogen yang ada di dalam bahan makanan menggunakan metode Kjeldahl. Tiga tahapan yang dilakukan meliputi tahap destruksi, destilasi dan titrasi.
37
a) Destruksi Sampel ditimbang seberat 2 gram kemudian dimasukkan ke dalam tabung kjeltec, lalu ditambahkan satu butir kjeltab dan 15 ml H2SO4 pekat ditambahkan secara perlahan ke dalam tabung kemudian dimasukkan ke dalam alat pemanas dengan suhu 410 °C selama kurang lebih 2 jam atau sampai cairan berwarna hijau bening. b) Destilasi Tahap ini dimulai dari memindahkan sampel dari tabung kjeltec ke alat destilasi kemudian mencuci tabung kjeltec dengan akuades lalu air tersebut dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan 10 ml NaOH pekat sampai berwarna coklat kehitaman dan dilakukan destilasi. Hasil destilasi ditampung dalam erlenmeyer 125 ml yang berisi 25 ml asam borat (H3BO3) 4% yang mengandung indikator methyl red 1% dengan perbandingan 2:1. c) Titrasi Hasil destilasi dititrasi dengan Hcl 0,2 N sampai terjadi perubahan warna merah muda yang pertama kalinya. Pembacaan volume titran kemudian dilanjutkan dengan perhitungan kadar protein. Perhitungan kadar protein : Nitrogen (%) = (ml HCl-ml blanko) x N HCl x 14,007 x fp x 100 % mg sampel % kadar protein = % nitrogen x 6,25
4) Analisis kadar lemak (AOAC 1995) Contoh diekstrak dengan pelarut heksana, kemudian pelarut yang digunakan diuapkan sehingga tersisa lemak dari contoh. Lemak tersebut kemudian ditimbang dan dihitung presentasenya. Penentuan kadar lemak dilakukan dengan metode ekstraksi Soxhlet. Sebanyak 5 gram contoh yang telah dihaluskan, dibungkus dengan kertas saring, selanjutnya dimasukkan ke dalam alat ekstraksi Soxhlet, lalu dialiri dengan air pending melalui kondensor. Pelarut heksana dituangkan ke dalam labu lemak secukupnya sesuai dengan ukuran soxhlet yang
38
digunakan dan dilakukan refluks selama minimal 16 jam sampai pelarut turun kembali ke labu lemak. Pelarut di dalam labu lemak didestilasi dan ditampung. Labu lemak berisi lemak hasil ekstraksi kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 105 °C selama 5 jam. Labu lemak kemudian didinginkan dalam desikator selama 20-30 menit dan ditimbang. Berat residu dalam labu lemak dinyatakan sebagai berat lemak. Kadar lemak dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Kadar lemak (%) = Berat lemak (gram)
X
100 %
Berat sampel (gram)
Berat lemak = (berat labu + lemak) – berat labu 5)
Analisis kadar karbohidrat by difference Kadar karbohidrat dihitung dengan menghitung sisa (by diffrerence) yaitu
dengan rumus sebagai berikut : Kadar karbohidrat (%) : 100% - (% air + % abu + % protein + % lemak)
3.4.6 Analisis mikrobiologi Analisis mikrobiologi yang dilakukan adalah dengan penentuan TPC (Total Plate Count) dengan metode agar tuang. Prinsip metode ini adalah bakteri mesofil aerob akan tumbuh dengan baik setelah sampel diinkubasi selama 24-48 jam. Sel bakteri akan tumbuh membentuk koloni yang dapat dilihat secara visual, sehingga dapat langsung dihitung. Mula-mula cawan petri, tabung reaksi dan pipet disterilisasi dalam oven pada suhu 180 °C selama 2 jam. Media Plate Count Agar (PCA) dibuat dengan cara melarutkan 8 g PCA dalam 400 ml akuades. Media tersebut disterilkan dalam autoklaf suhu 121 °C selama 15 menit dengan tekanan 1 atm. Setelah disterlisasi, suhu media dipertahankan 45-55 °C dalam penangas air untuk menjaga agar media tidak membeku. Pembuatan larutan pengencer (garam fisiologis) dengan cara melarutkan 8,5 g NaCl dalam 1 liter akuades yang kemudian disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121 °C selama 15 menit.
39
Sebanyak 10 g sosis dihaluskan lalu dilarutkan dalam 90 ml larutan pengencer steril sehingga didapatkan pengenceran 10-1. Dari larutan tersebut dipipet 1 ml, kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi 9 ml larutan pengencer steril untuk memperoleh pengeceran 10-2, Demikian seterusnya hingga diperoleh penceran 10-5, sesuai dengan pendugaan tingkat kebusukan sosis ikan pada saat pengamatan. Dari tiap pengenceran, dipipet 1 ml dan dimasukkan ke dalam cawan petri steril, setiap pengenceran dilakukan secara duplo. Lalu setiap ke dalam cawan petri tersebut digerakkan di atas meja dengan gerakan melingkar agar media PCA merata. Setelah PCA membeku, cawan petri diinkubasi dengan posisi terbalik dalam inkubator pada suhu 30 °C selama 48 jam. Setelah waktu inkubasi, koloni yang tumbuh pada cawan petri dapat dihitung dengan jumlah koloni yang diterima 30-300 koloni per cawan. Nilai TPC produk sosis ikan dapat dihitung dengan menggunakan rumus : Koloni per cawan = jumlah koloni x cawan
1 faktor pengenceran
3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian pendahuluan adalah nonparametrik (Kruskal Wallis) sedangkan penelitian utama menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu faktor dengan empat taraf. a) Penelitian pendahuluan Faktor yang dikaji dalam penelitian pendahuluan adalah perbedaan pencucian terhadap daging lumat yaitu sebanyak 1, 2, dan 3 kali. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan analisis statistika nonparametrik menggunakan uji Kruskal-Wallis melalui perangkat lunak Statictical Package for Social Science (SPSS) 13.0. Jika hasil analisis berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji lanjut Multiple comparison. b) Penelitian utama Faktor yang dikaji pada penelitian utama yaitu perbedaan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai yaitu 10%, 13%, 16% dan 19% pada pembuatan
40
sosis ikan lele dumbo. Model umum rancangan acak lengkap (RAL) satu faktor dengan empat taraf yang digunakan adalah sebagai berikut : Yij = μ + τi + εij Keterangan : Yij μ τi εij
= Nilai pengamatan pada taraf ke-i dan ulangan ke-j = Rataan umum pengamatan = Pengaruh perlakuan pada taraf ke-i = Galat atau sisa pengamatan taraf ke-i dengan ulangan ke-j Hipotesa terhadap data hasil uji fisik pada berbagai penambahan
konsentrasi isolat protein kedelai adalah sebagai berikut: H0 = Penambahan isolat protein kedelai dengan konsentrasi berbeda tidak memberikan pengaruh terhadap uji fisik sosis ikan lele dumbo. H1 =
Penambahan
isolat
protein
kedelai
dengan
konsentrasi
berbeda
memberikan pengaruh terhadap uji fisik sosis ikan lele dumbo. Jika uji F pada ANOVA memberikan pengaruh yang berbeda terhadap kekuatan gel, WHC, dan stabilitas emulsi sosis ikan lele dumbo maka dilanjutkan dengan menggunakan uji Duncan.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Penelitian pendahuluan Pada penelitian pendahuluan dilakukan penentuan perlakuan pencucian yang tepat dalam menghasilkan surimi ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan karakteristik fisik dan sensori terbaik. 4.1.1 Karakteristik fisik Pada surimi yang dihasilkan dari perlakuan pencucian daging lumat dilakukan analisis fisik yakni analisis rendemen, uji lipat (folding test), uji gigit (teeth cutting test) dan uji kekuatan gel. 1) Rendemen daging dan surimi Perhitungan rendemen diperoleh berdasarkan persentase perbandingan antara berat akhir dengan berat awal bahan baku diperoleh rendemen daging lumat sebesar 30 %, kemudian dilakuan pencucian sebanyak satu kali, dua kali dan tiga kali pencucian yang menghasilkan bobot akhir surimi sebesar 600 gram, 562 gram dan 540 gram dari 1000 gram daging. Ketiga pencucian tersebut menghasilkan rendemen surimi sebesar 20 % untuk perlakuan frekuensi satu kali pencucian, 18,73 % untuk perlakuan frekuensi dua kali pencucian dan untuk frekuensi pencucian tiga kali didapatkan hasil rendemen surimi 18 % (Lampiran 5). Nilai rendemen surimi ikan lele dumbo ini semakin menurun dengan semakin banyaknya pencucian yang dilakukan. Semakin banyak frekuensi pencucian akan menyebabkan semakin banyak komponen yang akan terlarut bersama air antara lain protein sarkoplasma, pigmen, lemak dan darah (Venugopal et. al 1994). Semakin besar rendemennya maka semakin tinggi pula nilai ekonomis bahan tersebut, tetapi semakin kecil nilai rendemen maka semakin rendah nilai ekonomis atau nilai efektivitas suatu bahan tersebut. 2) Uji lipat (folding test) Salah satu pengukuran kualitas gel ikan yang dihasilkan dapat dilakukan dengan uji lipat. Metode uji lipat cocok untuk memisahkan antara gel yang bermutu tinggi dengan yang bermutu rendah, tetapi metode tersebut tidak sensitif untuk membedakan antara gel yang bermutu baik (good) dan bermutu sangat baik
42
(excelent) (Lanier 1992). Nilai rata-rata uji lipat gel ikan lele dumbo dengan perlakuan frekuensi pencucian daging lumat dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8 Histogram nilai uji lipat gel ikan lele dumbo (C. gariepinus) Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscript yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Gel ikan lele dumbo dengan perlakuan frekuensi pencucian 3 memiliki nilai terbesar yaitu 4,80. Berdasarkan hasil uji chi-square dengan menggunakan Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa perlakuan frekuensi pencucian berpengaruh nyata terhadap nilai rata-rata uji lipat yang dihasilkan (Lampiran 6). Hasil uji lanjut multiple comparisons parameter uji lipat gel ikan dapat dilihat pada Lampiran 7a. Frekuensi 3 kali pencucian menunjukkan nilai uji lipat yang cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini diduga karena dengan adanya perlakuan pencucian dapat meningkatkan kekuatan gel dengan semakin protein miofibril. Hasil uji lipat berkaitan langsung dengan tekstur gel terutama kekuatan gel. Park dan Lin (2005) menyatakan bahwa pencucian merupakan tahapan yang penting khususnya untuk ikan-ikan yang mempunyai kemampuan membentuk gel yang rendah. Semakin baik hasil uji lipat (makin sukar retak) tersebut, maka dapat dinyatakan mutu gel ikan yang dihasilkan
juga
semakin
Santoso et al. 1997).
baik
(Shaban
et
al.
1985
diacu
dalam
43
3) Uji gigit (teeth cutting test) Uji gigit (teeth cutting test) merupakan uji untuk menilai kekenyalan (springness) produk. Nilai rata-rata uji gigit dengan perlakuan frekuensi pencucian daging lumat dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9 Histogram nilai uji gigit gel ikan lele dumbo (C. gariepinus)
Gel ikan lele dumbo dengan perlakuan frekuensi pencucian 3 memiliki nilai terbesar yaitu 7,50. Berdasarkan hasil uji chi-square dengan menggunakan Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa perlakuan frekuensi pencucian tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata uji gigit yang dihasilkan (Lampiran 6). Nilai rata-rata uji gigit gel ikan lele dumbo yaitu 7,10-7,50. Artinya gel yang terbentuk termasuk kriteria agak kuat. Pencucian dapat meningkatkan kekuatan gel surimi sehingga diduga juga berpengaruh terhadap nilai uji gigit yang dihasilkan. Surimi yang baik adalah surimi yang memiliki kekuatan gel yang tinggi (Park 2000). Pencucian dapat meningkatkan kekuatan gel sehingga diduga juga berpengaruh terhadap nilai uji gigit yang dihasilkan, akan tetapi panelis tidak menemukan perbedaan yang nyata dari gel ikan yang dihasilkan. 4) Kekuatan gel (gel strength) Kekuatan gel merupakan daya tahan bahan untuk pecah akibat gaya tekan yang diberikan. Nilai rata-rata kekuatan gel ikan lele dumbo dengan perlakuan frekuensi pencucian dapat dilihat pada Gambar 10.
44
Gambar 10 Histogram nilai kekuatan gel ikan lele dumbo (C. gariepinus) Gel ikan lele dumbo dengan perlakuan frekuensi pencucian 1 memiliki nilai terbesar yaitu 683,35 gf. Berdasarkan hasil uji chi-square dengan menggunakan Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa perlakuan frekuensi pencucian tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata kekuatan gel yang dihasilkan (Lampiran 6). Gambar di atas menunjukkan bahwa semakin banyak frekuensi pencucian yang dilakukan maka nilai rata-rata kekuatan gel semakin rendah, hal ini diduga bahwa gel yang terbentuk pada frekuensi pencucian 1 masih sangat kokoh. Tujuan dari pencucian surimi adalah untuk meningkatkan kemampuan pengikat gel dan meningkatkan kualitas warna dan aroma (Muhibuddin 2010), akan tetapi dengan frekuensi pencucian 3 kemampuan mengikat gel akan rendah karena diduga struktur gel yang terbentuk menjadi kurang kuat karena pencucian tanpa penambahan garam sebanyak 2 kali. Hal ini diduga karena menurunnya kekuatan gel akibat konsentrasi protein miofibril yang juga menurun. Semakin banyak frekuensi pencucian maka konsentrasi protein larut garam pun akan menurun, sehingga kemampuan untuk membentuk gel juga akan ikut menurun (Reynolds et al. 2002). 4.1.2 Karakteristik sensori Analisis sensori dalam penelitian ini adalah uji kesukaan (hedonik) yang merupakan salah satu jenis uji penerimaan. Dalam uji ini, panelis diminta untuk mengungkapkan tanggapan pribadinya mengenai kesukaan atau ketidaksukaan, di
45
samping itu, panelis juga mengemukakan tingkat kesukaan atau ketidaksukaan (Rahayu 2001). 1) Penampakan Penampakan produk memegang peranan penting dalam hal penerimaan konsumen, karena penilaian awal dari suatu produk adalah penampakannya sebelum faktor lain dipertimbangkan secara visual. Meskipun penampakan tidak menggunakan tingkat kesukaan konsumen secara mutlak, tetapi penampakan juga mempengaruhi
penerimaan
konsumen
(Soekarto
1985).
Nilai
rata-rata
penampakan gel ikan dengan perlakuan frekuensi pencucian daging lumat dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11 Histogram nilai penampakan gel ikan lele dumbo (C. gariepinus) Penampakan gel ikan lele dumbo dengan perlakuan frekuensi pencucian 3 memiliki nilai terbesar yaitu 7,00. Berdasarkan hasil uji chi-square dengan menggunakan Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa perlakuan frekuensi pencucian tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata penampakan yang dihasilkan (Lampiran 6). Nilai rata-rata penampakan gel ikan lele dumbo yaitu 6,73-7,00. Artinya penilaian panelis terhadap penampakan gel ikan berada pada kriteria agak suka hingga suka. Proses pencucian dalam pembuatan surimi dapat meningkatkan kemampuan daging untuk membentuk gel dengan meningkatkan konsentrasi aktomiosin serta berkurangnya protein sarkoplasma yang menghambat pembentukan gel (Lee 1984 diacu dalam
46
Muhibuddin 2010). Hal ini diduga mempengaruhi nilai rata-rata penampakan gel ikan yang dihasilkan. Penampakan secara keseluruhan, dari ketiga hasil gel ikan dengan perbedaan frekuensi pencucian yang dihasilkan tidak terlalu berbeda, akan tetapi panelis lebih menyukai penampakan yang utuh dan kompak. 2) Warna Warna merupakan salah satu aspek penting bagi makanan, baik makanan yang tidak diproses maupun makanan yang diproses. Warna juga berperan penting dalam penerimaan makanan, bersamaan dengan parameter bau, rasa dan tekstur. Nilai rata-rata warna gel ikan dengan perlakuan frekuensi pencucian dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12 Histogram nilai warna gel ikan lele dumbo (C. gariepinus) Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscript yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Warna gel ikan lele dumbo dengan perlakuan frekuensi pencucian 3 memiliki nilai terbesar yaitu 7,17. Berdasarkan hasil uji chi-square dengan menggunakan Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa perlakuan frekuensi pencucian memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata warna yang dihasilkan (Lampiran 6). Nilai rata-rata warna gel ikan yaitu 6,53-7,17. Artinya penilaian panelis terhadap warna gel ikan berada pada kriteria agak suka hingga suka. Semakin banyaknya jumlah pencucian, terlihat bahwa nilai rata-rata warna gel ikan semakin meningkat, yaitu semakin putih dan bersih.
47
Hasil uji lanjut multiple comparisons parameter organoleptik warna gel ikan dapat dilihat pada Lampiran 7b. Tujuan dari pencucian adalah untuk menghilangkan bahan-bahan larut air, lemak dan darah sehingga memperbaiki warna dan flavor serta meningkatkan kekuatan gel surimi (Toyoda et al. 1992). Hal ini berpengaruh terhadap nilai rata-rata warna gel ikan yang dihasilkan. Semakin banyak frekuensi pencucian yang dilakukan, zat-zat yang terlarut tersebut semakin banyak dan mengakibatkan warna surimi akan semakin bersih dan semakin disukai panelis (Suzuki 1981). 3) Rasa Faktor yang sangat menentukan suatu produk dapat diterima atau tidak oleh konsumen adalah rasa. Walaupun parameter penilaian yang lain baik tetapi jika rasanya tidak disukai, maka produk tersebut akan ditolak. Hasil nilai rata-rata rasa gel ikan dengan perlakuan frekuensi pencucian dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13 Histogram nilai rasa gel ikan lele dumbo (C. gariepinus) Gel ikan lele dumbo dengan perlakuan frekuensi pencucian 1 memiliki nilai terbesar yaitu 6,63. Berdasarkan hasil uji chi-square dengan menggunakan Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa perlakuan frekuensi pencucian tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata rasa yang dihasilkan (Lampiran 6). Nilai rata-rata rasa gel ikan yaitu 6,43-6,63. Artinya penilaian panelis terhadap rasa gel ikan berada pada kriteria agak suka.
48
Nilai rata-rata rasa yang dihasilkan untuk setiap perlakuan relatif sama. Hal ini diduga karena dalam pembuatan gel ikan tidak menggunakan bahan tambahan lain (bumbu) selain garam dengan konsentrasi yang sama yaitu 2,5% (b/b). Fungsi garam yang ditambahkan sewaktu penggilingan bukan sebagai bumbu atau penambah cita rasa, tetapi untuk meningkatkan kekuatan ionik daging dan melarutkan aktomiosin sehingga terbentuk sol (Suzuki 1981). Selain itu, kadar air juga mempengaruhi nilai rata-rata rasa, saat pencucian, ada air yang masuk ke dalam jaringan sehingga terjadi penggelembungan protein miofibril. Hal itu disebabkan pengaruh ion Cl- dari penambahan garam, dimana ion tersebut berikatan dengan pigmen yang bermuatan positif sehingga ruang antar filamen akan menjadi luas sehingga air akan masuk dan terjebak di dalamnya (Koswara 1992). 4) Aroma Aroma makanan dalam banyak hal menentukan enak atau tidak enaknya makanan, bahkan aroma atau bau-bauan lebih kompleks dari pada rasa dan kepekaan indera pembauan biasanya lebih tinggi dari indera pencicipan, bahkan industri pangan menganggap sangat penting terhadap uji bau karena dapat dengan cepat
memberikan
hasil
penilaian
apakah
produk
disukai
atau
tidak
(Soekarto 1985). Nilai rata-rata aroma gel ikan dengan perlakuan frekuensi pencucian daging lumat dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14 Histogram nilai aroma gel ikan lele dumbo (C. gariepinus)
49
Gel ikan lele dumbo dengan perlakuan frekuensi pencucian 1 memiliki nilai terbesar yaitu 6,17. Berdasarkan hasil uji chi-square dengan menggunakan Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa perlakuan frekuensi pencucian tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata aroma yang dihasilkan (Lampiran 6). Nilai rata-rata aroma gel ikan yang dihasilkan yaitu 5,90-6,17. Artinya penilaian panelis terhadap aroma gel ikan berada pada kriteria biasa atau netral hingga agak suka. Hal ini karena pada proses pembuatan gel ikan ini tidak ada penambahan bumbu lain pada adonan kecuali garam. Panelis memiliki tingkat kesukaan yang sama untuk semua aroma gel ikan yang dihasilkan dan memperlihatkan kesukaan yang sama pada semua perlakuan berdasarkan hasil uji sensori yang diperoleh. 5) Tesktur Tekstur adalah penginderaan yang dihubungkan dengan rabaan atau sentuhan. Tekstur merupakan karakteristik yang sangat penting bagi produk gelikan karena sifat elastisitas dan kekenyalannya. Tekstur meliputi keras, halus, kasar, berminyak dan lembab (Soekarto 1985). Nilai rata-rata tekstur gel ikan dengan perlakuan frekuensi pencucian dapat dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15 Histogram nilai tekstur gel ikan lele dumbo (C. gariepinus) Gel ikan lele dumbo dengan perlakuan frekuensi pencucian 3 memiliki nilai terbesar yaitu 6,80. Berdasarkan hasil uji chi-square dengan menggunakan Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa perlakuan frekuensi pencucian tidak
50
memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata tekstur yang dihasilkan (Lampiran 6). Berdasarkan Gambar 15. dapat dilihat bahwa nilai rata-rata tekstur gel ikan yang dihasilkan adalah 6,57-6,80. Artinya penilaian panelis terhadap tekstur gel ikan berada pada kriteria agak suka. Nilai rata-rata tekstur yang cenderung naik diduga karena pada setiap proses pencucian dapat memperbaiki
tekstur
gel
ikan
yang dihasilkan
dengan
menghilangkan
senyawa-senyawa yang menghambat pembentukan gel. Tujuan dari pencucian surimi adalah untuk meningkatkan kemampuan pengikat gel dan meningkatkan kualitas warna dan aroma (Muhibuddin 2010). 4.2 Penelitian Utama Pada penelitian utama ini dilakukan pembuatan sosis ikan lele dumbo dengan menggunakan frekuensi dua kali pencucian hasil penelitian pendahuluan. Dalam pembuatan sosis diberikan perlakuan penambahan isolat protein kedelai dengan konsentrasi yang telah ditentukan, kemudian dilihat karakteristik sensori, karakteristik fisika-kimia dan mikrobiologinya. 4.2.1 Karakteristik sensori Nilai sensori suatu bahan pangan merupakan indikator penting yang dapat menunjukkan tingkat penerimaan konsumen terhadap suatu produk. Mutu sensori pangan adalah sifat produk atau komoditas yang hanya dikenali atau diukur dengan proses penginderaan (Soekarto 1985). Mutu organoleptik mempunyai peranan penting dalam penilaian mutu produk pangan, baik sebagai bahan pangan hasil pertanian, bahan mentah industri maupun produk olahan, terlebih sebagai makanan hidangan. Penilaian mutu dengan uji organoleptik dapat dilakukan dengan cepat dan mudah, tetapi uji ini memiliki kelemahan, yaitu dipengaruhi oleh kondisi fisik, psikologis panelis dan lingkungan. Uji sensori yang dilakukan yaitu uji kesukaan yang meliputi penampakan, warna, rasa, aroma dan tekstur. Uji tersebut dilakukan untuk mengetahui tanggapan panelis terhadap produk yang dihasilkan dan tingkat kesukaannya.
51
1) Penampakan Penampakan merupakan karakteristik utama yang dinilai oleh konsumen dalam mengkonsumsi suatu produk. Bila kesan penampakan baik atau disukai, maka konsumen melihat karakteristik lainnya. Meskipun penampakan tidak menggunakan tingkat kesukaan konsumen secara mutlak, tetapi penampakan juga mempengaruhi penerimaan konsumen (Soekarto 1985). Nilai rata-rata uji sensori pada parameter penampakan dari empat perlakuan konsentrasi isolat protein kedelai yang dihasilkan adalah 6,33-6,73. Artinya penilaian panelis terhadap penampakan sosis ikan berada pada kriteria agak suka. Nilai rata-rata penampakan sosis ikan lele dumbo dengan perlakuan penambahan konsentrasi ISP (isolat soy protein) dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16 Histogram nilai penampakan sosis lele dumbo (C.gariepinus) Berdasarkan hasil uji chi-square dengan menggunakan Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa perlakuan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata penampakan sosis yang dihasilkan (Lampiran 8). Perlakuan penambahan isolat protein kedelai tidak mempengaruhi penilaian kesukaan panelis terhadap penampakan dari sosis, hal ini diduga karena sosis yang dihasilkan memiliki penampakan yang seragam, yaitu sosis yang dihasilkan relatif sama dengan penampakan yang kompak dan lentur sehingga penilaian panelis tidak berbeda. 2) Warna Warna merupakan salah satu aspek penting bagi makanan, baik makanan yang tidak diproses maupun makanan yang diproses. Warna juga berperan penting
52
dalam penerimaan makanan, bersamaan dengan parameter bau, rasa dan tekstur. Menurut Winarno (1997), penentuan mutu bahan makanan pada umumnya sangat bergantung pada beberapa faktor diantaranya cita rasa, warna, tekstur dan nilai gizinya. Suatu bahan yang dinilai bergizi, enak dan teksturnya sangat baik tidak akan dibeli apabila memiliki warna yang tidak sedap dipandang atau memberi kesan telah menyimpang dari warna yang seharusnya. Nilai rata-rata warna sosis ikan dengan perlakuan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai dapat dilihat pada Gambar 17.
Gambar 17 Histogram nilai warna sosis lele dumbo (C. gariepinus) Nilai rata-rata uji sensori pada parameter warna dari empat perlakuan yang dihasilkan adalah 6,17-6,53. Artinya penilaian panelis terhadap penampakan sosis ikan berada pada kriteria agak suka. Berdasarkan hasil uji chi-square dengan menggunakan Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa perlakuan penambahan konsentrasi ISP yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata warna sosis yang dihasilkan (Lampiran 8). Hal ini terjadi karena sosis yang dihasilkan dari penelitian ini bewarna putih kecoklatan karena tidak menggunakan bahan pewarna alami maupun sintetik, akan tetapi menurut Wulandhari (2007) warna sosis dipengaruhi oleh bahan pengisi dan bahan pengikat yang ditambahkan. Penambahan dalam jumlah besar dapat menyebabkan warna produk menjadi kecoklatan sehingga menurunkan mutu sensori yaitu warna dan rasa pada produk akhir.
3) Rasa Faktor-faktor yang menentukan suatu produk diterima atau tidak oleh konsumen adalah dari segi rasa. Rasa memegang peranan penting dari keberadaan
53
suatu produk, hal ini terkait dengan selera konsumen. Menurut Rompis (1998), konsumen bersedia membayar mahal pada makanan enak atau makanan yang mereka sukai, tanpa mempertimbangkan komposisi gizi dan sifat-sifat objektif lainnya. Apabila parameter penilaian yang lain baik, tetapi jika rasanya tidak disukai, maka produk tersebut akan ditolak. Nilai rata-rata rasa sosis ikan dengan perlakuan penambahan konsentrasi ISP dapat dilihat pada Gambar 18.
Gambar 18 Histogram nilai rasa sosis lele dumbo (C. gariepinus) Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscript yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Nilai rata-rata uji sensori pada parameter rasa dari empat perlakuan yang dihasilkan berkisar antara 5,57-6,43. Artinya penilaian panelis terhadap penampakan sosis ikan berada pada kriteria netral hingga agak suka. Berdasarkan hasil uji chi-square dengan menggunakan Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa perlakuan penambahan konsentrasi ISP berpengaruh nyata terhadap nilai rata-rata rasa sosis yang dihasilkan (Lampiran 8). Hasil uji lanjut multiple comparisons parameter organoleptik rasa sosis ikan lele dumbo dapat dilihat pada Lampiran 9a. Rasa sosis dipengaruhi dari beberapa faktor, yaitu jenis bumbu, konsentrasi bumbu, bahan pengisi serta bahan pengikat yang ditambahkan. Penambahan isolat protein
kedelai sebanyak 10% menunjukkan nilai rasa yang cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini diduga karena semakin banyaknya penambahan isolat protein kedelai maka akan menimbulkan rasa pahit yang kurang disukai panelis. 4) Aroma Aroma merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan kualitas bahan makanan. Dalam industri pangan, uji terhadap aroma dianggap penting
54
karena dengan cepat dapat dianggap memberikan penilaian terhadap hasil produknya, apakah produk tersebut disukai atau tidak oleh konsumen (Soekarto 1985). Aroma atau bau dapat dikenali bila berbentuk uap, umumnya bau yang diterima oleh hidung dan otak lebih banyak merupakan berbagai ramuan atau campuran empat bahan utama yaitu harum, asam, tengik, dan hangus (Winarno 1997). Nilai rata-rata aroma sosis ikan dengan perlakuan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai dapat dilihat pada Gambar 19.
Gambar 19 Histogram nilai aroma sosis lele dumbo (C. gariepinus) Nilai rata-rata uji sensori pada parameter aroma dari empat perlakuan yang dihasilkan berkisar antara 5,83-6,37. Artinya penilaian panelis terhadap penampakan sosis ikan berada pada kriteria netral hingga agak suka. Berdasarkan hasil uji chi-square dengan menggunakan Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa perlakuan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata aroma sosis yang dihasilkan (Lampiran 8). Hal ini menunjukkan bahwa panelis memiliki tingkat kesukaan yang sama untuk semua aroma sosis yang dihasilkan dan memperlihatkan bahwa panelis masih menyukainya pada semua perlakuan berdasarkan hasil uji sensori yang diperoleh. Aroma dipengaruhi oleh bumbubumbu yang ditambahkan ke dalam adonan. 5) Tesktur Tekstur adalah halus atau tidaknya suatu irisan pada saat disentuh dengan jari atau indera pengecap oleh panelis. Tekstur makanan dapat dievaluasi dengan uji mekanika atau dengan analisis secara penginderaan menggunakan alat indera manusia sebagai alat analisis. Aspek yang dinilai pada kriteria tekstur adalah kasar
55
serta halusnya dan empuk tidaknya sosis yang dihasilkan. Nilai rata-rata tekstur sosis ikan dengan perlakuan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai dapat dilihat pada Gambar 20.
Gambar 20 Histogram nilai tekstur sosis lele dumbo (C. gariepinus) Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscript yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Nilai rata-rata uji sensori pada parameter tekstur dari empat perlakuan yang dihasilkan berkisar antara 5,73-6,67. Artinya penilaian panelis terhadap tekstur sosis ikan berada pada kriteria netral hingga agak suka. Berdasarkan hasil uji chi-square dengan menggunakan Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa perlakuan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai yang berbeda berpengaruh nyata terhadap nilai rata-rata tekstur yang dihasilkan (Lampiran 8). Hasil uji lanjut multiple comparisons parameter organoleptik tekstur sosis ikan dapat dilihat pada Lampiran 9b. Semakin tinggi konsentrasi isolat protein kedelai yang ditambahkan, nilai rata-rata tekstur sosis cenderung meningkat karena kandungan air pada bahan akan banyak terserap, karena sifatnya yang higroskopis sehingga menyebabkan teksturnya lentur dan kompak (Yulianti 2003). Untuk memperoleh produk sosis yang kompak, tekstur yang empuk juga perlu ditambahkan lemak dengan konsentrasi 5-25% (Datulong 2009).
4.2.2 Karakteristik fisika Analisis fisika-kimia yang dilakukan terhadap produk sosis pada penelitian ini terdiri dari analisis uji lipat (folding test), uji gigit (teeth cutting test), kekuatan gel (gel strength), stabilitas emulsi dan daya mengikat air (WHC).
56
1) Uji lipat Uji lipat bertujuan untuk mengetahui tingkat elastisitas sosis secara subyektif. Uji lipat dilakukan terhadap produk untuk mengetahui kualitas kekuatan gel dan secara luas digunakan oleh industri karena sederhana dan dengan cepat dapat menunjukkan kekuatan gel dari suatu produk. Nilai rata-rata uji sensori pada parameter uji lipat dari empat perlakuan yang dihasilkan berkisar antara 3,70-4,30. Artinya penilaian panelis terhadap uji lipat sosis ikan berada pada kriteria agak kuat (retak berangsur-angsur setelah dilipat menjadi setengah lingkaran) hingga cukup kuat (tidak retak setelah dilipat menjadi setengah lingkaran). Nilai rata-rata uji lipat sosis ikan dengan perlakuan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai dapat dilihat pada Gambar 21.
Gambar 21 Histogram nilai uji lipat sosis lele dumbo (C. gariepinus) Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscript yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Berdasarkan hasil uji chi-square dengan menggunakan Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa perlakuan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai yang berbeda berpengaruh nyata terhadap nilai rata-rata uji lipat yang dihasilkan (Lampiran 8). Hasil uji lanjut multiple comparisons parameter uji lipat sosis dapat dilihat pada Lampiran 9c. Semakin tinggi konsentrasi isolat protein kedelai yang ditambahkan, nilai rata-rata tekstur sosis cenderung meningkat karena kandungan air pada bahan akan banyak yang terserap, karena sifat isolat protein kedelai yang higroskopis (Yulianti 2003). Semakin tinggi kadar isolat protein kedelai yang ditambahkan, maka akan semakin banyak air dalam adonan yang akan terserap.
57
Hal ini yang menyebabkan tekstur sosis menjadi lebih kompak. Penambahan ISP akan meningkatkan jumlah ikatan silang antar protein (Widodo 2008). Semakin kompak tekstur dari sosis maka uji lipat yang dihasilkan pun akan semakin lebih baik. 2) Uji gigit (cutting test) Uji gigit dilakukan untuk memberikan taksiran secara subjektif untuk mengetahui kekuatan gel dan kekenyalan sosis ikan yang dihasilkan. Nilai rata-rata uji gigit sosis ikan dengan perlakuan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai dapat dilihat pada Gambar 22.
Gambar 22 Histogram nilai uji gigit sosis lele dumbo (C. gariepinus) Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscript yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Nilai rata-rata uji sensori pada parameter uji gigit dari empat perlakuan yang dihasilkan berkisar antara 5,07-6,90. Artinya penilaian panelis terhadap uji gigit sosis ikan berada pada kriteria agak diterima, sedikit kuat hingga daya lenting dapat
diterima.
Berdasarkan hasil uji chi-square dengan menggunakan
Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa perlakuan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai yang berbeda berpengaruh nyata terhadap nilai rata-rata uji gigit yang dihasilkan (Lampiran 8). Hasil uji lanjut multiple comparisons parameter uji gigit sosis dapat dilihat pada Lampiran 10a. Semakin tinggi konsentrasi isolat protein kedelai yang ditambahkan, nilai rata-rata uji gigit sosis cenderung meningkat karena kandungan air pada bahan akan banyak yang terserap karena sifat isolat protein kedelai yang
58
higroskopis. Semakin tinggi konsentrasi isolat protein kedelai yang ditambahkan maka akan semakin meningkat kekenyalannya, dan mempengaruhi hasil uji gigit, karena semakin tinggi kandungan protein dari ISP maka akan semakin banyak ikatan silang dan gel yang terbentuk, akibatnya tekstur akan semakin kenyal dan kompak (Yulianti 2003). Selain kandungan air, ada faktor lain yang juga berperan dalam mempengaruhi uji gigit panelis terhadap sosis, diantaranya adalah kandungan lemak yang berasal dari ekstrak lemak sapi yang digunakan dan protein yang berasal dari isolat protein kedelai. 3) Kekuatan gel Kekuatan gel merupakan daya tahan bahan untuk pecah akibat gaya tekan yang diberikan. Nilai kekuatan gel sosis dengan perlakuan penambahan isolat protein kedelai dapat dilihat pada Gambar 23.
Gambar 23 Histogram nilai kekuatan gel sosis lele dumbo (C. gariepinus) Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscript yang berbeda (a,b,c) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Nilai rata-rata uji kekuatan gel ini yaitu 277,6-426,9 gf pada sosis dengan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai sebesar 10%, 13%, 16% dan 19%. Berdasarkan hasil uji chi-square dengan menggunakan Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa perlakuan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai yang berbeda berpengaruh nyata terhadap nilai rata-rata kekuatan gel yang dihasilkan (Lampiran 10b).
59
Hasil uji lanjut multiple comparisons parameter kekuatan gel sosis dapat dilihat pada Lampiran 10c. Semakin tinggi konsentrasi isolat protein kedelai yang ditambahkan maka kekuatan gel yang dihasilkan semakin besar. Kekuatan gel yang dihasilkan diduga karena adanya penambahan isolat protein kedelai sehingga gel yang terbentuk akan kuat. Isolat memiliki kepolaran yang tinggi yang dapat membentuk matriks yang kuat apabila berikatan dengan air. Menurut Yulianti (2003), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi nilai kekuatan gel sehingga nilainya pun berbeda-beda, pembentukan gel atau gelasi dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain konsentrasi, pH, adanya komponen lain, serta perlakuan panas ketika pemasakan. 4) Daya mengikat air (WHC) Daya mengikat air atau WHC adalah kemampuan bahan baku untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan air dari luar, misalnya pemotongan bahan baku, pemanasan, penggilingan dan tekanan (Ariffianto 2010). Nilai WHC dengan perlakuan penambahan isolat protein kedelai dapat dilihat pada Gambar 24.
Gambar 24 Histogram nilai WHC sosis lele dumbo (C. gariepinus) Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscript yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Nilai rata-rata uji WHC ini adalah 77,11-79,97% untuk sosis dengan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai sebesar 10%, 13%, 16% dan 19%. Berdasarkan hasil uji chi-square dengan menggunakan Kruskal-Wallis
60
menunjukkan bahwa perlakuan penambahan konsentrasi ISP yang berbeda memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata WHC yang dihasilkan (Lampiran 11a). Hasil uji lanjut multiple comparisons parameter WHC sosis dapat dilihat pada Lampiran 11b. Semakin tinggi konsentrasi ISP yang ditambahkan maka WHC yang dihasilkan semakin besar. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya ion protein yang berasal dari penambahan ISP yang saling berikatan, sehingga meningkatkan kemampuan mengikat airnya. Isolat protein kedelai bersifat hidrofilik dan dapat menyatu dengan produk olahan daging untuk mengurangi terjadinya cooking loss (Zhang et al.2010). Semakin tinggi kandungan protein maka akan semakin banyak air yang terikat dan mengakibatkan nilai WHC pun akan meningkat. Menurut Kramlich (1971) daya ikat air sangat dipengaruhi oleh kandungan air, protein, dan penggunaan garam. 5) Stabilitas emulsi Stabilitas emulsi menunjukkan kestabilan suatu bahan dalam sistem emulsi. Kestabilan emulsi diukur dengan mengukur daya tahan kestabilannya terhadap perubahan suhu yang ekstrem. Analisis statistik (Lampiran 17) memperlihatkan bahwa perlakuan penambahan isolat protein kedelai memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap stabilitas emulsi sosis yang dihasilkan. Nilai rata-rata uji stabilitas emulsi ini yakni 63,5-80,11% untuk sosis dengan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai sebesar 10%, 13%, 16% dan 19%. Nilai stabilitas emulsi sosis dengan perlakuan penambahan isolat protein kedelai dapat dilihat pada Gambar 25. Berdasarkan hasil uji chi-square dengan menggunakan Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa perlakuan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai yang berbeda memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata stabilitas emulsi yang dihasilkan (Lampiran 11c).
61
Gambar 25 Histogram nilai stabilitas emulsi sosis lele dumbo (C. gariepinus) Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscript yang berbeda (a,b,c,d) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Hasil uji lanjut multiple comparisons parameter stabilitas emulsi sosis dapat dilihat pada Lampiran 12. Stabilitas emulsi yang dihasilkan dari empat perlakuan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai berbeda nyata. Selama pembuatan adonan sosis maupun emulsi, protein mempunyai dua fungsi, yaitu mengikat air dan menyelubungi lemak. Jika tidak terpenuhi, maka sosis yang dihasilkan tidak stabil dan emulsi akan pecah selama pemasakan. Isolat protein kedelai memiliki tingkat kepolaran tinggi (bersifat hidrofil) yang akan menyebabkan fase protein-air membentuk matriks yang lebih kuat, sehingga butiran-butiran lemak yang dapat diselubungi akan semakin banyak, akibatnya emulsi akan lebih stabil (Sathivel et al. 2009). Pembentukan gel protein dapat digunakan untuk peningkatan penyerapan air, pengikatan partikel dan stabilitas emulsi (Yulianti 2003).
4.2.3 Karakteristik kimia Analisis proksimat yang dilakukan pada penelitian ini meliputi analisis kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan kadar karbohidrat. Sosis ikan terpilih yang dihasilkan dari penelitian ini yaitu dengan perlakuan penambahan isolat protein kedelai sebesar 13%, kemudian dianalisis komposisi kimianya.
62
Hasil dari analisis proksimat beserta data pembandingnya dapat dilihat pada Tabel 6 berikut. Tabel 6 Kandungan gizi sosis ikan lele dumbo terpilih Parameter Kadar air Kadar abu Kadar protein Kadar lemak Kadar karbohidrat
Sosis hasil penelitian (%) 79 1,79 12,60 1,80 4,81
Sosis komersial (%) 66,01 2,40 9,07 4,58 17,94
Berdasarkan Tabel 6 di atas dapat dilihat bahwa kandungan gizi sosis ikan lele yang dihasilkan memiliki kadar air sebesar 79% lebih tinggi dibandingkan dengan sosis komersial. Menurut Almatsier (2003), kadar air pada erat kaitannya dengan pengikatan air oleh protein, yaitu
pengikatan air yang tinggi akan
mengurangi pelepasan air selama pemanasan, dengan demikian kadar air sosis akan tinggi, sedangkan kemampuan pengikatan air yang rendah juga akan menyebabkan tingginya tingkat kehilangan air selama pemasakan, sehingga kadar air dari sosis akan menjadi rendah. Perbedaan kadar air juga dapat disebabkan oleh perbedaan bahan baku yang digunakan, yaitu perbedaan kondisi lingkungan hidup dan tingkat kesegaran bahan baku yang digunakan (Zhang et al. 2010). Bahan makanan terdiri dari bahan organik dan air sekitar 95%, sisanya terdiri dari unsur mineral yang dikenal sebagai unsur anorganik (kadar abu). Bahan-bahan organik terbakar saat proses pembakaran, namun zat anorganiknya tidak karena itulah disebut abu (Winarno 2008). Kadar abu merupakan campuran dari komponen anorganik atau mineral yang terdapat dalam suatu bahan pangan. Kadar abu sosis hasil penelitian lebih rendah dibandingkan sosis komersial yaitu sebesar 1,79%. Kadar abu daging berhubungan erat dengan kadar air dan kadar protein pada suatu jaringan bebas lemak. Mineral yang tidak larut berasosiasi dengan protein karena mineral terutama berasosiasi dengan bagian non lemak, daging tak berlemak biasanya memiliki kandungan mineral atau abu yang tinggi. Protein
dapat
memelihara
sel-sel
dan
jaringan
pada
tubuh
(Almatsier 2003). Protein merupakan suatu zat makanan yang penting bagi tubuh, karena berfungsi sebagai zat pembangun (Winarno 2008). Kadar protein yang terkandung pada sosis ikan yang dihasilkan cukup tinggi, yaitu sebesar 12,60%,
63
selama preparasi adonan sosis, protein daging memiliki dua fungsi yaitu melapisi atau mengemulsi lemak dan mengikat air. Jika keduanya tidak terpenuhi, sosis tidak akan stabil dan pecah selama pemasakan (Yulianti 2003). Kadar lemak merupakan komponen yang larut dalam pelarut organik seperti eter dan kloroform tetapi tidak larut dalam air. Kadar lemak sosis ikan lele dumbo sebesar 1,80%. Kandungan lemak yang tidak begitu besar, merupakan salah satu keunggulan yang dimiliki sosis yang dihasilkan. Penambahan lemak berpengaruh terhadap tekstur dan rasa sosis, namun juga dapat menjadi masalah dalam pengolahan, sehingga pada proses pengolahan sosis, lemak harus dijaga agar tidak terjadi pemisahan. Keseimbangan konsentrasi lemak dan air merupakan bahan pembantu untuk memperoleh produk emulsi daging yang baik. Pengujian karbohidrat dilakukan dengan metode by difference, yaitu dengan cara mengurangkan 100% dengan total rata-rata komponen lain (air, abu, protein dan lemak). Karbohidrat selain sebagai sumber kalori utama juga memiliki peranan penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan, misalnya rasa,warna dan tekstur (Winarno 1997). Karhohidrat merupakan bahan yang secara alami memiliki fungsi memberikan tekstur yang baik. Dalam berbagai produk baru, karbohidrat tetap dirancang sebagai komponen yang memperkuat struktur produk pangan (Rompis 1998).
4.2.4 Uji Perbandingan Pasangan Uji perbandingan pasangan dilakukan untuk menilai ada atau tidaknya perbedaan antara dua produk (Setyaningsih et al. 2010). Uji perbandingan pasangan bertujuan untuk membandingkan produk terbaik hasil uji hedonik dengan produk komersial dan digunakan untuk mengetahui kelemahan atau keunggulan dari produk baru dengan produk komersial (Rahayu 2001). Pada uji perbandingan pasangan dilakukan dengan membandingkan produk terpilih yaitu sosis ikan lele dumbo dengan penambahan isolat protein kedelai terpilih dengan sosis komersial yang berasal dari PT. JAPFA dengan merek dagang “SOZZIS”. Uji perbandingan pasangan dilakukan oleh 30 orang panelis dengan parameter yang diujikan adalah uji lipat, aroma, tekstur, penampakan, rasa dan
64
uji gigit. Kekuatan gel, daya mengikat air dan stabilitas emulsi dianalisis di laboratorium untuk menentukan nilai yang dihasilkan. Produk terpilih berdasarkan penilaian dari hasil uji panelis adalah sosis ikan lele dumbo dengan penambahan isolat protein kedelai sebesar 13%. Pemilihan produk terbaik berdasarkan uji-uji yang dilakukan sebelumnya antara lain uji sensori serta analisis proksimat. Grafik hasil perbandingan pasangan dapat dilihat pada Gambar 26.
Gambar 26 Grafik nilai perbandingan pasangan sosis ikan lele dumbo Nilai rata-rata uji perbandingan pasangan sosis ikan lele dumbo dengan penambahan isolat protein kedelai 13 % dengan sosis komersial pada parameter uji lipat, aroma, tekstur dan uji gigit menghasilkan nilai positif. Hal ini menunjukkan mutu produk sosis hasil penelitian yang lebih disukai daripada sosis komersial, sedangkan pada parameter penampakan dan rasa menghasilkan nilai negatif yang menunjukkan bahwa panelis lebih menyukai produk komersial. Produk sosis dengan penambahan isolat protein kedelai memiliki mutu uji lipat, tekstur dan uji gigit produk yang lebih disukai daripada sosis komersial. Hal ini disebabkan penggunaan isolat protein kedelai yang membuat sosis lebih kenyal karena isolat protein kedelai bersifat higroskopis, maka kandungan air pada bahan akan banyak yang terserap (Yulianti 2003). Aroma sosis dengan penambahan isolat protein kedelai lebih disukai karena dalam pembuatannya, adonan sosis tersebut ditambahkan bumbu-bumbu antara lain bawang merah,
65
bawang putih, lada, jahe, ekstrak lemak sapi dan perasa sapi yang akan memberikan aroma yang lebih menarik daripada produk komersial. Berdasarkan hasil pengujian parameter penampakan dan rasa, panelis lebih menyukai sosis komersial daripada sosis dengan penambahan isolat protein kedelai. Hal ini disebabkan oleh perbedaan penampakan sosis secara utuh yang menunjukkan bahwa sosis komersial memiliki penampakan yang lebih menarik dan lebih kompak, sedangkan dari parameter rasa, sosis hasil penelitian tidak terlalu asin karena penambahan konsentrasi garam dan bumbu yang sedikit jika dibandingkan dengan penambahan air yang membuat sosis agak terasa hambar. Perbedaan pada parameter kekuatan gel, daya mengikat air dan stabilitas emulsi dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Hasil perbandingan pasangan kekuatan gel, daya mengikat air dan stabilitas emulsi Parameter Sosis hasil penelitian Sosis komersial Kekuatan gel (gf) 337,35 234,85 Daya mengikat air (%) 72,90 90,73 Stabilitas emulsi (%) 67,87 100 Tabel 7 menunjukkan bahwa sosis hasil penelitian memiliki nilai kekuatan gel yang lebih tinggi daripada sosis komersial yaitu sebesar 337,35 gf. Hal ini diduga karena adanya perlakuan penambahan isolat protein kedelai yang bersifat higroskopis (Yulianti 2003) sehingga kandungan air pada sosis terikat dan terbentuk tekstur yang kompak. Daya mengikat air yang dimiliki sosis hasil penelitian lebih kecil dibandingkan dengan sosis komersial. Hal ini diduga karena tingginya bahan pengisi yang ditambahkan pada sosis komersial. Bahan pengisi berfungsi untuk mengikat air pada produk. Kandungan pati dalam bahan tersebut tinggi tetapi kadar proteinnya rendah, sehingga mempunyai kemampuan untuk mengikat air, tetapi tidak berperan dalam mengemulsi lemak (Wilson et al.1981), begitu pun pada parameter stabilitas emulsi. Nilai stabilitas emulsi sosis komersial lebih tinggi dibandingkan nilai stabilitas emulsi sosis hasil penelitian, hal tersebut diduga karena jumlah kandungan bahan pengisi yang ditambahkan pada sosis komersial lebih banyak daripada bahan pengikatnya. Bahan pengikat merupakan bahan bukan daging yang ditambahkan ke dalam adonan dan mempunyai kemampuan untuk mengikat air dan mengemulsikan lemak. Bahan
66
pengikat menurut asalnya dibedakan menjadi bahan pengikat hewani dan bahan pengikat nabati. Bahan pengikat hewani merupakan produk susu yang meliputi susu bubuk tanpa lemak, susu bubuk tanpa lemak rendah kalsium dan sodium kaseinat. Bahan pengikat nabati yang sering digunakan dalam pembuatan sosis adalah produk kedelai (Kramlich 1971). 4.2.5 Karakteristik mikrobiologi Keberadaan mikroorganisme berperan dalam penentuan mutu bahan pangan. Bahan pangan jarang sekali dijumpai dalam keadaan steril, walaupun ada beberapa bahan pangan yang tidak ditumbuhi oleh mikroorganisme. Mutu mikroba dalam suatu produk makanan ditentukan oleh jumlah dan jenis mikroorganisme yang terdapat dalam bahan pangan. Mutu mikroba ini menentukan ketahanan dari produk tersebut ditinjau dari kerusakannya oleh mikroba dan keamanan pangan dari mikroorganisme ditentukan oleh jumlah spesies patogenik yang terdapat dalam produk tersebut (Buckle et al. 1987). Total mikroba (Total Plate Count atau TPC) sosis ikan yang dihasilkan yaitu sebesar 2,3 x 102 cfu/gram. Hasil tersebut diambil dari sosis terpilih dengan konsentrasi 13%. Jumlah mikroba yang didapatkan diduga berasal dari peralatan yang kurang saniter sehingga dapat mempengaruhi mutu produk. Batas aman dari produk pangan yaitu 5 x 105 cfu/gram. Jumlah total mikroorganisme akan menentukan mutu dari produk pangan, dimana jumlah total mikroorganisme yang lebih rendah dari batas aman menunjukkan bahwa produk yang dihasilkan aman untuk dikonsumsi. Batas maksimum untuk jumlah total mikroorganisme untuk setiap produk pangan berbeda-beda.
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Formula terpilih gel ikan lele dumbo adalah dengan perlakuan dua kali pencucian dengan rendemen yang didapatkan sebesar 18,73%. Isolat protein kedelai yang digunakan dalam pembuatan sosis ikan memiliki kandungan protein yang tinggi yaitu lebih dari 90%. Formula untuk sosis ikan lele dumbo terpilih yaitu dengan penambahan isolat protein kedelai sebesar 13%. Hasil analisis proksimat untuk kadar air sebesar 79%, kadar abu 1,79%, kadar protein 12,60%, kadar lemak 1,80% dan kadar karbohidrat sebesar 4,81%. Nilai kekuatan gel pada sosis dengan konsentrasi isolat protein kedelai 13% sebesar 337,35 gf, WHC sebesar 72,90% dan stabilitas emulsi sebesar 67,87%. Hasil uji mikrobiologi (TPC) yaitu 2,3 x 102 cfu/gram, dimana nilai tersebut masih dibawah batas untuk pangan yang aman dikonsumsi sebesar 5 x 105 cfu/gram. Berdasarkan hasil uji perbandingan pasangan, sosis ikan lele dumbo dengan penambahan isolat protein kedelai sebesar 13% lebih disukai daripada sosis komersial meliputi parameter uji gigit, uji lipat, tekstur dan aroma. 5.2 Saran Penelitian mengenai sosis ikan lele ini merupakan penelitian tahap awal pada produk baru sehingga dibutuhkan beberapa penyempurnaan atau penelitian lanjutan terhadap produk ini yaitu perlu dikurangi persentase air yang ditambahkan pada adonan, perlu dilakukan proses pengolahan lain misalnya pengukusan dan perlu melakukan analisis Aw (water activity) untuk mengetahui aktifitas air pada sosis yang berkaitan dengan daya simpan produk. Selain itu, perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai pembuatan sosis ikan ready to eat dan kemasan yang sesuai dengan produk tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier S. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Alpis. 2002. Mempelajari pembuatan kloro karagenan dari rumput laut jenis Eucheuma cottonii dengan penambahan beberapa konsentrasi KOH dan KCl [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Anonim 2008. Catfish patin dan lele unggulan baru. http://www.dkp.go.id [18 Juni 2011]. Anonim. 2009. Perasa sapi. http://food.detik.com/hati-hati memilih bahan perasa makanan. [2 Februari 2011] Anonim. 2011. Ikan Lele Dumbo.http://www.google.co.id/images/ikanleledumbo. [14 Januari 2011]. [AOAC] Association of Official Analitycal Chemist. 1995. Official Method of Analysis of The Association of Official Analitycal of Chemist. Arlington, Virginia, USA: Published by The Association of Analitycal Chemist, Inc. Ariffianto T. 2010. Karakteristik bakso ikan nila dengan penambahan karaginan semimurni [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Astawan M. 2008. Bahaya laten sepotong sosis. http://www.rumahsehat.com [14 Maret 2011]. Astuti EF. 2009. Pengaruh jenis tepung dan cara pemasakan terhadap mutu bakso dari surimi ikan hasil tangkap sampingan (HTS) [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Atman. 2009. Strategi peningkatan produksi kedelai di Indonesia. Jurnal Ilmiah Tambua. VIII(1):39-45. Buckle KA, Edward RA, Fleet GH, Wooton M. 1987. Food Science. Dalam Purnomo H, Adiono (penerjemah). Ilmu Pangan. Jakarta : Universitas Indonesia Press. Cabeza MC. 2009. Safety and quality of ready-to-eat dry fermented sausages subjected to E-beam radiation. Journal of Meat Science. 83: 320-327. Chamidah A. 2000. Evaluasi karakteristik fisik dan kimia sosis ikan lele dumbo (C.gariepinus) selama penyimpanan 6 hari dengan penambahan dan tanpa penambahan kultur starter Lactobacillus caser. III : 253-260.
69
Colmenero FJ, Muniz FJS, Alonso BO. 2010. Design and development of meatbased functional foods with walnut: Technological, nutritional and health impact. Journal of Food Chemistry. 123(4): 959–967. [DKP]. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2006. Potensi Ekspor Lele Besar. www.dkp.com. [20 Januari 2011]. Daniati. 2005. Pembuatan bakso ikan cucut dengan bahan tambahan jenis tepung yang berbeda [tugas akhir]. Semarang : Fakultas Teknik, Universitas Negeri Semarang.
Dotulong V. 2009. Nilai proksimat sosis ikan ekor kuning (Caesio spp.) berdasarkan jenis casing dan lama penyimpanan. Pacific Journal. 1(4): 506-509. Erdiansyah. 2006. Teknologi penanganan bahan baku terhadap mutu sosis ikan patin (Pangasius pangasius) [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2001. Minced fish, by Keay JN. Ministry Agriculture, Fisheries and Food. Toory Research Station No.79. http://www.fao.org [25 Mei 2011] Gashti GZ. 2002. Estimation of Microbiological and Chemical Variations in Minced Fish Processing of Atlantic Pollock (Pollachius vireos). Iranian Fisheries (Shliat) Research Organizarion and Sturgeon International Reasearch Institute. 1-30. Hall GM, Ahmad NH. 1992. Surimi and fish minced product. Dalam Hall GM (editors). Fish Processing and Technology. New York: Blackie Academic and Professional. Hermawan D. 2002. Pengaruh konsentrasi tepung tapioka dan kalsium karbonat (CaCO3) terhadap mutu kamaboko ikan lele (Clarias gariepinus) [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Hudson BJF. 1992. Biochemistry of Food Proteins. London: Elsevier Applied Sci. Husni E, Samah A, Ariati R. 2007. Analisa Zat Pengawet dan Protein dalam Makanan Siap Saji Sosis. Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi. Vol: 12. No:2.
Irham. 2009. Perasa makanan. http://www.food.detik.com/bahan perasa makanan. [28 Januari 2011]
70
Irianto B. 1990. Teknologi surimi salah satu cara mempelajari nilai tambah ikanikan yang kurang dimanfaatkan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 9(2): 35-39. Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan. Jakarta : Penebar Swadaya. Koswara S. 1992. Teknologi Pengolahan Kedelai Menjadikan Makanan Bermutu. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. _________. 2005. Teknologi Pengolahan Kedelai (teori dan praktek).[ terhubung berkala]. www.ebookpangan.com [28 Januari 2011]. Kramlich WE. 1971. Sausage Product. In :Price J.S and B.S Schweigert (Eds.). 1987. The Science of Meat Product. W. H. Freeman and Co., San Fransisco. Kwak NS, Jukes DJ. 2001. Functional foods. Part 2: the impact on current regulatory terminology. Journal of Food Control. 12(2): 109-117. Lanier TC. 1992. Measurement of surimi composition and functional properties. Dalam: Lanier TC, Lee CM (eds). Surimi Technology. New York: Marcel Dekker Inc. Lestari R. 2005. Analisis sensori sosis ikan kembung (Rastrelliger kanagurta) [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Mahyuddin K. 2008. Panduan Lengkap Agribisnis Lele. Jakarta: Penebar Swadaya. Matondang I. 2008. Zingiber officinale L. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tumbuhan Obat. Jakarta: UNAS Press. Moeljanto. 1982. Penanganan Ikan Segar. Jakarta : Penebar Swadaya. ________. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta : Penebar Swadaya. Muchtadi D. 1989. Protein : Sumber dan Teknologi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Muhibuddin F. 2010. Karakteristik fisika kimia surimi dari daging lumat ikan hasil tangkap sampingan (HTS) pukat udang [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Niwa E. 1992. Chemistry of surimi gelation. Dalam: Lanier TC, Lee CM (eds). Surimi Technology. New York: Marcell Dekker Inc.
71
Nurfianti D. 2007. Penggunaan kitosan sebagai pembentuk gel dan pengawet bakso ikan kurisi (Nemipterus nematophorus) pada penyimpanan suhu chilling [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Nurimala M, Nurjanah, dan Utama RH. 2009. Kemunduran mutu ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) pada penyimpanan suhu chilling dengan perlakuan cara mati. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. Vol: XII. No:1. Panagan AT. Pengaruh penambahan bubuk bawang merah (Allium ascalonicum) terhadap bilangan peroksida dan kadar asam lemak bebas minyak goreng curah. Jurnal Penelitian Sains. 10: 06-05. Park JW. 2000. Manufacturing of surimi from light muscle fish. Dalam Park JW (ed.). Surimi and Surimi Seafood. New York : Marcel Dekker, Inc. Park JW, Lin TMJ. 2005. Surimi : Manufacturing and Evaluation. Dalam Park JW (ed.). Surimi and Surimi Seafood. 2nd edition. New York : CRC Press. 2: 35-98. Rahayu. 2001. Penuntun Praktikum Penilaian Organoleptik. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Reynolds J, Park JW, Choi YJ. 2002. Physicochemical properties of pacific whiting surimi as affected by various freezing and storage conditions. Journal Food Science. 67(6): 2072-2078.
Riesnawaty CJ. 2007. Pemanfaatan surimi lele dumbo (Clarias gariepinus) [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor Rismunandar. 1993. Lada, Budidaya dan Tata Niaganya. Jakarta: Penebar Swadaya. Rompis JEG. 1998. Pengaruh kombinasi bahan pengikat dan bahan pengisi terhadap sifat fisik, kimia serta palatabilitas sosis sapi [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rosa R, Bandara NM, Nunes ML. 2007. Nutritional quality of African catfish Clarias gariepinus (Burchell 1822): a positive criterion for the future development of the European production of Silurodei. International Journal of Food Science and Technology 42:342-351. Rusmianto.2007. Penambahan isolat protein kedelai pada pembuatan dendeng jantung pisang batu (Musa brachycarpa Back) [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
72
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 1995. Syarat Mutu Sosis Daging. SNI 01-3820-1995. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. Saanin H.1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan I, Bandung : Bina Cipta Bandung. Santoso D. 2007. Pemanfaatan karaginan pada pembuatan sosis dari surimi ikan bawal tawar (Colossoma macropomum) [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Saparinto C dan Hidayati D. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Yogyakarta: Kanisius. Sathivel S, Huaixia Y, Peter JB, Joan MK. 2009. Physical and nutritional properties of catfish roe spray dried protein powder and its application in an emulsion system. Journal of Food Engineering 95(1):76–81. Setyaningsih D, Apriyantono A, Sari MP. 2010. Analisis Sensori untuk Industri Pangan dan Agro. Kampus IPB Taman Kencana Bogor: IPB Press. Siro I, Kapolna E, Kapolna B, Ligasi A. 2008. Functional food. Product development, marketing and consumer acceptance - A review. Journal of Appetite. 51(3): 456-467. Soekarto ST. 1985. Penilaian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Jakarta : Bharata Karya Aksara. Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Suyanto R. 1999. Budidaya Ikan Lele. Jakarta: Penebar Swadaya. Suhartini S, Nur Hidayat. Olahan Ikan Segar. Surabaya : Trubus Agrisarana. Suzuki T. 1981. Fish and Krill Protein. London : Processing Technology Applied Science Publishing. Ltd. Tanikawa E. 1985. Marine Product in Japan. Tokyo : Koseisha, Koseiaka Co.,Ltd. Taylor P G. 2002. Fish Sausage. http: //listproc. ucdavis. edu/ archives/ seafood/ log0202/0063. html [25 april 2011]. Toyoda KI, Kimura T, Fuijita SF, Noguchi, Lee CM. 1992. The surimi manufacturing process. Dalam: Lanier TC, Lee CM (eds). Surimi Technology. New York: Marcel Dekker, Inc.
73
Ulya M. 2005. Studi kelayakan pendirian industri isolat protein kedelai [paper teknoekonomi agroindustri]. Bogor : Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Venugopal V, Doke SN, Nair PM. 1994. Gelation of shark myofibrillar protein by weak prganic acids. Food Chemistry. 50(2): 185-190.
Wahyuni M. 1992. Sifat Kimia dan Fungsional Ikan Hiu Lanyam (Chararinus Limbatus) serta Penggunaannya dalam Pembuatan Sosis [tesis]. Bogor. Program Pasca sarjana. Institut Pertanian Bogor. Wibowo S. 1999. Budidaya Bawang. Jakarta : Penebar Swadaya. Widodo SA. 2008. Karakteristik sosis ikan kurisi (Nemipterus nematophorus) dengan penambahan isolat protein kedelai dan karagenan pada penyimpanan suhu chilling dan freezing [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Wilson NP, Dyeet EJ, Hughes RB, Jones CRV. 1981. Meat and Meat Product; Factor affecting quality control. Applied Science Publishers, London and New Jersey. Winarno FG.1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. __________. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Wulandhari NW. 2007. Optimasi formulasi sosis berbahan baku surimi ikan patin (Pangasius pangasius) dengan penambahan karagenan (Eucheuma sp.) dan susu skim untuk meningkatkan mutu sosis [skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Yulianti T. 2003. Mempelajari pengaruh karakteristik isolat soy protein terhadap mutu sosis. [skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Zhang W, Shan X, Himali S, Eun JL, Dong UA. 2010. Improving functional value of meat products. Journal Meat Science 86(1): 15–31
LAMPIRAN
75
Lampiran 1 Tabel scoresheet uji lipat Nama panelis Tanggal pengujian Jenis contoh Instruksi Kode Skor sampel ........ ........ ........
: : : : Nyatakan penilaian anda sesuai dengan kolom berikut Keterangan
5 4 3 2 1
Tidak retak setelah dilipat menjadi seperempat lingkaran. Tidak retak setelah dilipat menjadi setengah lingkaran. Retak berangsur-angsur setelah dilipat menjadi setengah lingkaran. Langsung retak setelah dilipat menjadi setengah lingkaran. Pecah apabila ditekan dengan jari.
76 Lampiran 2 Tabel scoresheet uji gigit Nama panelis Tanggal pengujian Jenis contoh Instruksi
: : : : Nyatakan penilaian anda sesuai dengan kolom berikut
Kode sampel Skor ....... ....... ....... Keterangan : Nilai Sifat kekenyalan (springiness) 10 Daya lenting amat sangat kuat 9 Daya lenting amat kuat 8 Daya lenting kuat 7 Daya lenting agak kuat 6 Daya lenting dapat diterima 5 Daya lenting agak diterima 4 Daya lenting agak lemah 3 Daya lenting lemah 2 Daya lenting amat lemah 1 Tidak ada daya lenting, seperti bubur
77 Lampiran 3 Tabel scoresheet uji organoleptik
Nama panelis Tanggal pengujian Jenis contoh Instruksi
: : : : Nyatakan penilaian Anda sesuai dengan tingkat kesukaan Anda Penampakan Warna Rasa Aroma Tekstur
Kode sampel ...... ...... ......
Keterangan : 9 Amat sangat suka 8 Sangat suka 7 Suka 6 Agak suka 5 Biasa 4 Kurang suka 3 Tidak suka 2 Sangat tidak suka 1 Amat sangat tidak suka
78 Lampiran 4 Tabel scoresheet uji perbandingan pasangan Nama Panelis : .......................................................... Jenis Produk : Sosis ikan dengan penambahan isolat protein kedelai Instruksi : Bandingkan uji lipat, rasa, tekstur, aroma, penampakan, uji gigit yang disajikan terhadap produk pembanding A. Berilah tanda “X” pada pernyataan yang sesuai dengan penilaian saudara.
Kode Pembanding : A
UJI LIPAT
A1
Sangat lebih kuat
AROMA Sangat lebih harum
Lebih kuat
Lebih harum
Agak lebih kuat
Agak lebih harum
Tidak berbeda
Tidak berbeda
Agak kurang kuat
Agak kurang harum
Kurang kuat
Kurang harum
Sangat kurang kuat
Sangat kurang harum
TEKSTUR Sangat lebih kenyal
A1
PENAMPAKAN Sangat lebih kompak
Lebih kenyal
Lebih kompak
Agak lebih kenyal
Agak lebih kompak
Tidak berbeda
Tidak berbeda
Agak kurang kenyal
Agak kurang kompak
Kurang kenyal
Kurang kompak
Sangat kurang kenyal
Sangat kurang kompak
RASA Sangat lebih enak
A1
UJI GIGIT Sangat lebih kenyal
Lebih enak
Lebih kenyal
Agak lebih enak
Agak lebih kenyal
Tidak berbeda
Tidak berbeda
Agak kurang enak
Agak kurang kenyal
Kurang enak
Kurang kenyal
Sangat kurang enak
Sangat kurang kenyal
A1
A1
A1
79 Lampiran 5 Contoh perhitungan rendemen
Pencucian daging lumat dengan frekuensi pencucian 2 kali Ikan lele utuh = 9 kg = 9000 gram Daging lumat = 3000 gram (30 %) Daging lumat untuk tiap perlakuan = 1000 gram o Pencucian pertama Air : daging (3:1) = 1000 gram x 3 = 3000 ml Hasil = 605 gram o Pencucian kedua Air : daging (3:1) = 605 gram x 3 = 1815 ml Garam = 605 gram x 0,3 % = 1,815 gram Hasil = 562 gram Rendemen daging lumat dengan frekuensi pencucian 2 kali = 18,73 %
80 Lampiran 6 Analisis Kruskal Wallis analisis sensori gel ikan lele dumbo Ranks
penampakan
Warna
Rasa
Aroma
Tekstur
Ujilipat
Ujigigit
kode A1I
N 30
Mean Rank 42,95
B2P
30
42,27
C3G
30
51,28
Total
90
A1I
30
36,30
B2P
30
45,83
C3G
30
54,37
Total
90
A1I
30
44,88
B2P
30
45,40
C3G
30
46,22
Total
90
A1I
30
48,95
B2P
30
45,52
C3G
30
42,03
Total
90
A1I
30
44,92
B2P
30
43,33
C3G
30
48,25
Total
90
A1I
30
38,90
B2P
30
41,15
C3G
30
56,45
Total
90
A1I
30
43,10
B2P
30
40,55
C3G
30
52,85
Total
90
Test Statistics(a,b) penampakan Chi-Square
rasa
aroma
tekstur
ujilipat
ujigigit
8,135
,045
1,123
,648
10,556
4,027
2
2
2
2
2
2
2
,278
,017
,978
,570
,723
,005
,134
Df Asymp. Sig. a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: kode
warna
2,561
81 Lampiran 7a Uji lanjut Multiple Comparison parameter uji lipat gel ikan lele dumbo ujilipat Duncan Subset for alpha = .05 kode A1I
N
1
2
30
4,10
B2P
30
4,27
C3G
30
4,80
Sig.
,429
1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000.
Lampiran 7b Uji lanjut Multiple Comparison parameter warna gel ikan lele dumbo warna Duncan Subset for alpha = .05 kode A1I
N
1
2
30
6,53
B2P
30
6,83
C3G
30
Sig.
6,83 7,17
,192
,147
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000.
82 Lampiran 8 Analisis Kruskal Wallis analisis sensori sosis ikan lele dumbo Ranks
Penampakan
Warna
Rasa
Aroma
Tekstur
Ujilipat
Ujigigit
kode GR3
N
Mean Rank 30
52,12
IP5
30
66,12
ST2 SS4 Total
30 30 120
60,75 63,02
GR3
30
68,62
IP5
30
60,10
ST2
30
56,12
SS4
30
57,17
Total
120
GR3
30
72,03
IP5
30
66,30
ST2
30
53,15
SS4
30
50,52
Total
120
GR3
30
63,20
IP5
30
64,13
ST2
30
64,30
SS4
30
50,37
Total
120
GR3
30
46,10
IP5
30
60,05
ST2
30
66,77
SS4
30
69,08
Total
120
GR3
30
46,12
IP5
30
58,83
ST2
30
65,67
SS4
30
71,38
Total
120
GR3
30
40,82
IP5
30
49,47
ST2
30
69,07
SS4
30
82,65
Total
120 Test Statistics(a,b)
penampakan Chi-Square
rasa
aroma
tekstur
ujilipat
ujigigit
2,999
2,655
8,341
3,690
8,636
10,003
3
3
3
3
3
3
3
,392
,448
,039
,297
,035
,019
,000
Df Asymp. Sig. a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: kode
warna
27,707
83 Lampiran 9a Uji lanjut Multiple Comparison parameter rasa sosis ikan lele dumbo rasa Duncan Subset for alpha = .05 kode SS4
N
1
2
30
5,57
ST2
30
5,70
IP5
30
6,20
GR3
30
Sig.
6,20 6,43
,081
,495
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000.
Lampiran 9b Uji lanjut Multiple Comparison parameter tekstur sosis ikan lele dumbo tekstur Duncan Subset for alpha = .05 kode GR3
N
1 30
2 5,73
IP5
30
6,33
ST2
30
6,53
SS4
30
6,67
Sig.
1,000 ,293 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000.
Lampiran 9c Uji lanjut Multiple Comparison parameter uji lipat sosis ikan lele dumbo ujilipat Duncan Subset for alpha = .05 kode GR3
N
1
2
30
3,70
IP5
30
4,00
ST2
30
SS4
30
Sig.
4,00 4,17 4,30
,123
,145
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000.
84 Lampiran 10a Uji lanjut Multiple Comparison parameter uji gigit sosis ikan lele dumbo ujigigit Duncan Subset for alpha = .05 kode GR3
N
1
2
30
5,07
IP5
30
5,47
ST2
30
6,33
SS4
30
6,90
Sig.
,250
,105
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000.
Lampiran 10b Analisis Kruskal wallis kekuatan gel sosis ikan lele dumbo
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: kekuatangel Type III Sum of Squares 23033,710(a)
Source Corrected Model
3
Mean Square 7677,903
F 16,603
Sig. ,010
988980,480
1
988980,480
2138,671
,000
23033,710
3
7677,903
16,603
,010
Error
1849,710
4
462,428
Total
1013863,900
8
24883,420
7
Intercept Perlakuan
Corrected Total
df
a R Squared = ,926 (Adjusted R Squared = ,870)
Lampiran 10c Uji lanjut Multiple Comparison kekuatan gel sosis ikan lele dumbo
kekuatangel Duncan Subset perlakuan 10 %
N
1 2
2
3
277,6000
13 %
2
337,3500
16 %
2
364,5500
19 %
2
Sig.
426,9000 1,000
,275
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 462,428. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000. b Alpha = ,05.
1,000
85
Lampiran 11a Analisis Kruskal-Wallis WHC sosis ikan lele dumbo Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: whc Type III Sum of Squares
Source Corrected Model
df
Mean Square
F
Sig.
340,482(a)
3
113,494
89,298
,000
48442,950
1
48442,950
38115,169
,000
340,482
3
113,494
89,298
,000
Error
5,084
4
1,271
Total
48788,516
8
345,566
7
Intercept Perlakuan
Corrected Total
a R Squared = ,985 (Adjusted R Squared = ,974)
Lampiran 11b Uji lanjut Multiple Comparison WHC sosis ikan lele dumbo whc Duncan Subset perlakuan 10 %
N
1
2
2
72,3100
13 %
2
72,9000
16 %
2
19 %
2
3
77,4850 88,5700
Sig.
,628
1,000
1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1,271. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000. b Alpha = ,05.
Lampiran 11c Analisis Kruskal-Wallis stabilitas emulsi sosis ikan lele dumbo Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: stabilitasemulsi Source Corrected Model
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
304,833(a)
3
101,611
124,766
,000
40420,353
1
40420,353
49631,302
,000
304,833
3
101,611
124,766
,000
Error
3,258
4
,814
Total
40728,444
8
308,091
7
Intercept Perlakuan
Corrected Total
a R Squared = ,989 (Adjusted R Squared = ,981)
86
Lampiran 12 Uji lanjut Multiple Comparison stabilitas emulsi sosis ikan lele dumbo
stabilitasemulsi Duncan Subset perlakuan 16 %
N
1 2
13 %
2
10 %
2
19 %
2
Sig.
2
3
4
63,5000 67,8700 72,8450 80,1100 1,000
1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,814. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000. b Alpha = ,05.
1,000
1,000
87
Lampiran 13 Rekapitulasi uji sensori, uji lipat dan uji gigit gel ikan lele dumbo Parameter Panelis
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1 2 3 4
7 7 7 7
5 8 7 6
7 7 6 6
5 8 7 7
6 8 7 6
7 8 6 6
7 6 7 7
7 7 4 6
7 6 4 7
4 7 7 6
5 8 4 6
6 7 4 6
6 6 7 6
5 7 6 5
7 7 6 7
3 3 5 3
3 3 3 3
5 5 5 5
7 7 8 7
6 8 6 6
8 8 7 8
5
8 6 6 6 6 7
7 7 7 7 6 7
8 7 7 7 5 8
8 6 6 6 7 6
7 7 7 7 7 7
8 7 7 8 5 8
8 7 4 7 7 7
7 6 6 6 6 8
8 7 5 7 7 7
8 6 3 7 6 7
7 5 4 7 6 6
8 6 4 7 6 4
8 7 5 7 7 7
7 7 7 7 6 7
8 7 6 7 6 8
5 5 5 4 4 5
3 5 5 5 5 4
5 4 5 5 5 5
8 9 6 7 8 6
7 9 7 9 6 6
8 8 8 8 8 6
7 8 7 8 5 7
6 8 9 6 4 7
7 8 8 7 6 8
6 7 7 7 5 7
7 8 9 6 4 6
6 8 8 6 7 8
7 7 7 7 5 6
6 7 8 6 6 7
6 7 6 7 5 8
7 6 7 7 5 6
6 6 9 5 5 7
5 6 8 5 5 6
7 7 7 7 7 7
7 7 8 5 5 8
7 7 6 5 5 7
4 5 3 4 5 5
4 5 5 4 3 3
5 5 5 5 5 4
9 8 6 8 7 8
7 8 9 5 7 7
8 8 7 6 9 7
6 7
6 7
7 7
6 7
6 7
7 7
6 6
6 7
6 4
4 6
4 6
4 6
6 7
6 7
6 7
3 5
5 4
5 5
7 7
7 7
8 8
6 7 8 7 6 8
5 7 7 8 6 7
7 8 8 8 6 8
6 7 7 6 7 7
5 8 7 8 6 7
9 8 8 8 6 7
3 7 4 7 6 6
7 7 4 6 7 6
5 8 4 6 6 7
8 8 5 7 6 6
6 8 4 7 7 6
7 8 5 7 7 6
7 7 4 7 6 6
4 9 6 6 6 7
8 9 7 7 6 7
5 2 3 5 4 5
5 5 5 5 4 4
5 5 4 5 4 3
4 7 6 8 7 8
5 9 8 7 7 7
9 8 7 7 8 6
7 7 5 6 6 7
7 7 5 7 7 7 6,73
7 7 5 7 6 7 6,67
6 7 6 6 6 7 7,00
7 7 6 7 8 7 6.53
7 7 6 7 8 7 6,83
5 7 6 7 6 8 7,17
6 7 6 7 7 8 6,33
7 7 6 7 7 9 6,47
5 7 5 6 6 7 6,43
7 6 5 6 7 7 6,17
5 6 5 6 5 7 6,07
6 7 6 8 6 8 5,90
7 7 6 7 7 8 6,63
7 7 6 8 6 7 6,57
5 2 3 5 5 3 6,80
4 4 5 5 5 5 4,10
5 5 5 5 5 5 4,27
7 6 6 8 6 7 4,80
5 7 7 7 6 9 7,10
6 7 7 8 6 8 7,03
6 7 8 9
10 11 12
13 14
15 16 17 18 19
20
21 22 23 24
25 26
27 28 29 30 Rata-rata
Penampakan
6,53
Warna
Rasa
Aroma
Tekstur
Uji lipat
Uji gigit
88 Lampiran 14 Rekapitulasi uji sensori, uji lipat dan uji gigit sosis ikan lele dumbo
Parameter Panelis
Penampakan
Warna
Rasa
Aroma
Tekstur
Uji lipat
Uji lipat 16
19
1 2
7
7
8
7
6
5
6
6
7
5
6
5
8
9
9
7
6
7
8
7
4
3
5
5
6
7
6
8
6
7
7
7
6
7
7
6
6
7
6
7
5
5
6
6
4
6
6
8
3
4
4
4
2
4
6
7
3
4
4
7
7
7
4
6
7
5
7
4
5
6
7
6
7
4
7
6
6
3
5
4
3
4
7
5
7
4
7
7
7
7
7
6
8
7
7
8
7
9
8
7
8
8
7
7
8
7
4
5
4
4
5
7
8
7
5
5
8
6
7
5
6
6
8
6
4
6
7
6
6
8
6
6
7
8
8
3
4
5
5
5
6
9
8
6
7
7
7
8
8
7
6
6
6
7
5
5
7
6
5
5
3
5
4
6
3
5
3
3
4
5
6
5
7
5
6
6
7
5
5
7
7
7
5
5
4
6
6
7
6
7
7
7
7
4
5
4
4
4
4
5
5
8
6
6
7
6
4
6
6
6
4
7
6
2
5
6
7
5
4
4
7
7
3
5
3
4
4
4
7
6
9
5
7
7
7
6
6
5
6
6
6
7
5
7
6
7
4
7
7
7
7
5
4
4
5
4
6
8
7
10
7
7
7
7
6
7
7
7
5
7
5
4
7
6
7
7
4
7
7
5
5
4
5
5
7
6
6
8
11
7
8
8
8
7
8
6
6
8
5
5
7
6
6
5
5
4
5
5
6
4
4
5
5
5
6
5
7
12
7
8
6
6
8
6
7
7
6
5
7
6
6
6
8
6
6
6
6
7
4
3
4
4
6
6
7
6
13
7
7
6
9
7
7
7
6
8
7
5
6
8
7
8
4
8
6
7
7
5
3
5
4
5
7
7
9
14
5
6
6
6
6
4
4
4
7
6
4
4
6
7
7
6
6
5
5
5
3
3
5
4
5
5
6
6
15
7
6
4
6
7
5
5
5
8
7
3
3
7
5
3
6
5
7
5
7
3
3
4
4
5
4
6
7
16
7
8
8
8
7
7
6
7
5
6
6
5
6
6
6
5
7
7
7
8
4
4
4
5
7
8
7
10
17
7
8
6
6
6
6
6
6
8
4
7
5
5
5
6
7
6
8
7
6
3
4
3
5
5
5
6
8
18
6
7
7
6
7
7
7
6
4
8
5
6
6
7
4
5
4
6
5
5
3
5
4
4
2
3
5
4
19
7
6
6
5
7
5
6
6
7
5
6
8
6
5
6
7
6
7
7
6
4
4
5
4
7
6
6
8
20
5
6
4
6
6
7
6
5
7
5
7
6
5
8
7
3
4
4
8
7
4
3
4
5
7
5
8
7
21
7
7
7
7
6
6
5
6
8
7
5
5
7
7
7
5
7
7
7
6
4
5
3
3
4
5
7
6
22
6
7
6
7
7
6
6
5
6
5
5
5
6
7
6
5
7
6
6
6
4
4
3
5
4
4
4
4
23
6
7
8
7
8
8
7
6
8
8
8
8
8
8
8
8
6
8
7
8
3
5
4
5
4
4
7
8
24
9
9
8
7
9
8
6
7
7
7
7
7
6
5
5
6
7
6
7
7
3
5
5
4
6
4
6
6
25
7
7
6
7
7
7
7
7
6
4
8
4
3
5
6
6
6
6
6
7
5
3
4
5
5
6
6
7
26
7
4
6
8
7
5
6
7
6
7
5
5
6
6
4
6
6
5
8
7
3
4
4
5
9
5
6
7
27
8
8
7
6
8
8
5
5
8
7
5
6
7
7
6
6
8
8
8
6
5
3
4
3
6
5
5
7
28
6
5
6
5
6
6
5
6
5
7
6
6
6
6
5
7
6
6
6
7
4
3
4
4
6
6
9
8
29
5
7
7
6
4
6
7
6
4
6
4
5
6
6
5
5
4
5
4
7
3
5
5
4
4
7
4
6
30
5
5
7
6
6
7
7
7
8
7
6
7
7
8
7
6
7
8
7
7
3
3
5
5
5
7
7
8
6,33
6,73
6,60
6,73
6,53
6,27
6,17
6,20
6,43
6,20
5,70
5,57
6,27
6,37
6,30
5,83
5,73
6,33
6,53
6,67
3,70
4,00
4,17
4,30
5,07
5,47
6,33
Rataan
10
13
16
19
10
13
16
19
10
13
16
19
10
13
16
19
10
13
16
19
10
13
16
19
10
13
7,1
89
Lampiran 15a Hasil uji kenormalan parameter kekuatan gel
Probability Plot of kekuatan gel Normal 99
95 90
Mean StDev N KS P-Value
351,6 59,62 8 0,217 >0,150
Mean StDev N KS P-Value
78,70 1,165 8 0,163 >0,150
Percent
80 70 60 50 40 30 20 10 5
1
200
250
300
350 400 kekuatan gel
450
500
Lampiran 15b Hasil uji kenormalan parameter WHC Probability Plot of WHC Normal 99
95 90
Percent
80 70 60 50 40 30 20 10 5
1
76
77
78
79 WHC
80
81
82
90
Lampiran 15c Hasil uji kenormalan parameter stabilitas emulsi
Probability Plot of stabilitas emulsi Normal 99
Mean StDev N KS P-Value
95 90
Percent
80 70 60 50 40 30 20 10 5
1
55
60
65
70 75 stabilitas emulsi
80
85
90
71,08 6,634 8 0,165 >0,150
91
Lampiran 16 Dokumentasi penelitian
Fillet lele dumbo
Kamaboko ikan lele dumbo
Sosis ikan lele dumbo (utuh)
Penimbangan daging fillet
Uji organoleptik
Sosis ikan lele dumbo