KARAKTERISTIK SOSIS RASA AYAM DARI SURIMI IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DENGAN PENAMBAHAN ISOLAT PROTEIN KEDELAI
NISA NANTAMI
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
RINGKASAN NISA NANTAMI. C34070093. Karakteristik Sosis Rasa Ayam dari Surimi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) dengan Penambahan Isolat Protein Kedelai. Dibimbing oleh DJOKO POERNOMO dan PIPIH SUPTIJAH Sosis merupakan salah satu produk diversifikasi olahan pangan digemari oleh semua lapisan masyarakat. Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) saat ini cukup potensial untuk dimanfaatkan dan diolah. Sebagian masyarakat tidak menyukai lele dumbo karena bau amis. Oleh karena itu sosis ikan lele dumbo ini dibuat dengan penambahan perasa ayam. Komponen lain yang ditambahkan yaitu isolat protein kedelai (IPK), berfungsi sebagai bahan pengikat dan pengisi untuk menggantikan kandungan protein pada sosis ikan yang dihasilkan. Penelitian ini bertujuan untuk membuat produk diversifikasi olahan dari ikan lele dumbo dalam bentuk sosis, menemukan konsentrasi isolat protein kedelai (IPK) untuk menghasilkan sosis ikan terpilih, menganalisis karakteristik fisik dan nilai gizi yang terkandung dalam sosis ikan lele dumbo dan membandingkan sosis ikan lele dumbo dengan sosis komersial. Metode penelitan dibagi menjadi dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan kekuatan gel terpilih. Perlakuan pada penelitian pendahuluan adalah frekuensi pencucian daging lumat (1 kali, 2 kali, dan 3 kali). Pada penelitian utama, sosis ikan dibuat dengan menggunakan surimi terpilih dari penelitian pendahuluan yang kemudian dilakukan penambahan IPK (Isolat Protein Kedelai) dengan konsentrasi yang berbeda (10%, 13%, 16% dan 19%). Hasil frekuensi pencucian daging lumat yang terpilih yaitu pencucian sebanyak 2 kali, dengan rendemen sebesar 18,72%. Hasil analisis untuk sosis ikan lele dumbo, formula terpilih yang disukai panelis yaitu IPK dengan konsentrasi 13%. Kekuatan gel, WHC, dan stabilitas emulsi yang tertinggi pada konsentrasi IPK 19% dengan nilai berturut-turut 292,45 (gf), 84,79%, dan 61,23%. Hasil analisis proksimat untuk kadar abu sebesar 1,60%, protein sebesar 15,97%, lemak sebesar 0,61%, karbohidrat sebesar 2,22%, kadar air sebesar 79,6% serta hasil TPC sebesar 5 cfu/g. Hasil uji perbandingan berpasangan dilakukan secara subjektif dan objektif. Hasil uji secara objektif pada parameter kekuatan gel, daya ikat air dan stabilitas emulsi menghasilkan nilai lebih rendah dibandingkan sosis komersial yaitu 220,55 gf, 79,36% dan 61,23%. Hasil uji perbandingan secara subjektif diketahui bahwa uji lipat, uji gigit, aroma dan rasa sosis ikan lele dumbo lebih disukai dibandingkan sosis komersial. Kandungan gizi protein dan karbohidrat sosis ikan lele dumbo lebih unggul dibandingkan sosis komersial.
KARAKTERISTIK SOSIS RASA AYAM DARI SURIMI IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DENGAN PENAMBAHAN ISOLAT PROTEIN KEDELAI
NISA NANTAMI
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul
: Karakteristik Sosis Rasa Ayam dari Surimi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) dengan Penambahan Isolat Protein Kedelai
Nama
: Nisa Nantami
NIM
: C34070093
Program Sarjana : Teknologi Hasil Perairan
Menyetujui :
Pembimbing 1
Pembimbing 2
Ir. Djoko Poernomo, B.Sc
Dra. Pipih Suptijah, MBA
NIP : 19580419 198303 1 001
NIP : 19531020 198503 2 001
Mengetahui : Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan
Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS., MPhil. NIP : 19580511 198503 1 002
Tanggal Lulus : ………………………..
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Karakteristik Sosis Rasa Ayam dari Surimi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) dengan Penambahan Isolat Protein Kedelai adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2011
Nisa Nantami C34070093
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas karuniaNya yang berlimpah, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi hasil penelitian yang berjudul “Karakteristik sosis rasa ayam dari surimi ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan penambahan isolat protein kedelai”. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada Departemen Teknologi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan laporan ini, terutama kepada: 1 Bapak Ir. Djoko Poernomo sebagai pembimbing akademik dan dosen pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi hasil penelitian ini. 2 Ibu Dra. Pipih Suptijah, MBA sebagai dosen pembimbing II atas bimbingan dan saran kepada penulis. 3 Bapak Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl-Biol sebagai dosen penguji. 4 Bapak Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS., MPhil. sebagai Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan. 5 Keluarga tercinta terutama Mama, Papa, Aa, Mas dan Bibi yang selalu menyayangi dan menyemangati Penulis setiap waktu. 6 Teman satu bimbingan, Salman, Idris dan terutama partner saya Ibel terimakasih atas kerjasamanya selama penelitian dan penyusunan skripsi ini. 7 Kakak THP 43 atas informasi, nasihat dan bantuannya selama penelitian. 8 Teman-Teman THP 44 atas persahabatan, kebersamaan, bantuan, doa dan canda tawa yang diberikan. 9 Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi hasil penelitian ini. Oleh karena itu, Penulis mengharapkan saran dan kritik yang dapat membangun dalam penyempurnaan penyusunan skripsi hasil penelitian ini. Bogor, Agustus 2011 Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 26 Oktober 1989. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara
pasangan
Dadang
Sunandar,
SH
dan
Dra. Tri Utami, MM. Penulis memulai jenjang pendidikan formal di Taman kanak-kanak Anris, kemudian melanjutkan di SD Negeri 1 Lawanggintung (tahun 1995-2001), selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 7 Bogor (tahun 2001-2004). Pendidikan menengah atas ditempuh penulis di SMA Negeri 4 Bogor (tahun 2004-2007). Pada tahun 2007, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) dan pada tahun 2008 penulis diterima di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama menempuh pendidikan di IPB penulis pernah menjadi
Asisten Luar Biasa matakuliah Ikhtiologi Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan (Tahun 2009/2010), Asisten matakuliah Teknologi Produk Tradisional Hasil Perairan (2010/2011), dan Asisten matakuliah Teknologi Pengolahan Hasil Perairan (2010/2011). Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melakukan penelitian dan penyusunan skripsi dengan judul Karakteristik Sosis Rasa Ayam dari Surimi Ikan Lele
Dumbo (Clarias Gariepinus) dengan Penambahan Isolat Protein Kedelai, dibawah bimbingan Bapak Ir. Djoko Poernomo dan Dra. Pipih Suptijah, MBA.
DAFTAR ISI Hal DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xi DAFTAR TABEL ............................................................................................. xii DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xiii 1 PENDAHULUAN .......................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1 1.2 Tujuan ........................................................................................................ 2 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 3 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)............ 3 2.2 Komposisi Gizi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) ........................... 4 2.3 Sosis........................................................................................................... 4 2.3.1 Pembuatan sosis ................................................................................ 5 2.3.2 Komposisi sosis ................................................................................. 6 2.4 Protein Ikan ............................................................................................... 2.4.1 Protein miofibril ................................................................................ 2.4.2 Protein sarkoplasma .......................................................................... 2.4.3 Protein stroma ...................................................................................
7 8 8 9
2.5 Surimi ....................................................................................................... 9 2.6 Emulsi Ikan............................................................................................. 11 2.7 Bahan Pengikat dan Pengisi ................................................................... 12 2.7.1 Isolat protein kedelai ....................................................................... 12 2.7.2 Tepung tapioka ................................................................................ 15 2.8 Bahan Tambahan ....................................................................................... 2.8.1 Garam ................................................................................................ 2.8.2 Gula ................................................................................................... 2.8.3 Air ..................................................................................................... 2.8.4 Lada putih.......................................................................................... 2.8.5 Bawang putih (Allium sativum) ......................................................... 2.8.7 Bawang merah (Allium ascalonicum) ............................................... 2.8.7 Perasa ayam ....................................................................................... 2.8.8 Jahe (Zingiber officinale) ..................................................................
16 16 17 17 17 18 18 18 19
2.9 Lemak ....................................................................................................... 20 2.10 Selongsong .............................................................................................. 20 3 METODOLOGI ............................................................................................ 22 3.1 Waktu dan Tempat ................................................................................... 22
3.2 Bahan dan Alat ......................................................................................... 22 3.3 Tahapan Penelitian ................................................................................... 22 3.3.1 Penelitian pendahuluan ....................................................................... 22 3.3.2 Penelitian utama.................................................................................. 24 3.4 Prosedur Analisis ...................................................................................... 25 3.4.1 Uji organoleptik (Rahayu 1998) ......................................................... 27 3.4.2 Analisis kimia ..................................................................................... 27 1) Analisis kadar air (AOAC 1995).................................................... 27 2) Analisis kadar abu (AOAC 1995) .................................................. 28 3) Analisis kadar protein (AOAC 1995) ............................................ 28 4) Analisis kadar lemak (AOAC 1995) .............................................. 28 5) Analisis kadar karbohidrat by difference........................................ 29 3.4.3 Analisis fisik ....................................................................................... 29 1) Kekuatan gel ................................................................................. 29 2) Water Holding Capacity (WHC) .................................................... 30 3) Stabilitas emulsi ............................................................................. 30 4) Uji lipat .......................................................................................... 31 5) Uji gigit ........................................................................................... 31 6) Rendemen....................................................................................... 31 3.4.4 Analisis mikrobiologi Total Plate Count (TPC) ................................. 32 3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis data .................................................. 32 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 34 4.1 Penelitian Pendahuluan ............................................................................ 4.1.1 Karakteristik fisik gel ikan................................................................... a) Rendemen....................................................................................... b) Uji lipat .......................................................................................... c) Uji gigit .......................................................................................... d) Kekuatan gel .................................................................................. 4.1.2 Karakteristik sensori gel ikan ............................................................... a) Penampakan ................................................................................... b) Warna ............................................................................................. c) Aroma............................................................................................. d) Rasa ................................................................................................ e) Tekstur ...........................................................................................
34 34 34 35 36 38 39 39 40 41 42 43
4.2 Penelitian Utama ...................................................................................... 4.2.1 Karakteristik fisik sosis ikan ................................................................ a) Uji lipat .......................................................................................... b) Uji gigit .......................................................................................... c) Kekuatan gel .................................................................................. d) Water Holding Capacity (WHC) ................................................... e) Stabilitas emulsi ............................................................................. 4.2.2 Karakteristik sensori sosis ikan ........................................................... a) Penampakan ................................................................................... b) Warna ............................................................................................. c) Aroma.............................................................................................
44 44 44 46 47 48 49 51 51 52 54
d) Rasa ................................................................................................ e) Tekstur ........................................................................................... 4.2.3 Karakteristik kimia dan mikrobiologi sosis ikan ................................. 4.2.3.1 Analisis proksimat ................................................................... a) Kadar air .................................................................................... b) Kadar abu .................................................................................. c) Protein ........................................................................................ d) Lemak ....................................................................................... d) Karbohidrat ................................................................................ 4.2.3.2 Total Plate Count (TPC) .......................................................... 4.2.4 Analisis uji perbandingan berpasangan ...............................................
55 56 58 58 59 60 60 61 61 62 62
5 KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 66 5.1 Kesimpulan ................................................................................................ 66 5.2 Saran .......................................................................................................... 66 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 67 LAMPIRAN ........................................................................................................ 72
DAFTAR GAMBAR No
Hal
1
Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ............................................................. 4
2
Skema emulsi o/w dan w/o ........................................................................... 11
3 Diagram alir proses pengolahan isolat protein kedelai ................................. 15 4
Diagram alir penelitian pendahuluan pembuatan gel ikan ............................ 23
5
Diagram alir penelitian utama pembuatan sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ...................................................................................... 25
6
Histogram rata-rata uji lipat gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ........ 35
7
Histogram rata-rata uji gigit gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)........ 37
8
Histogram kekuatan gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) .................... 38
9
Histogram rata-rata penampakan gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ...................................................................................... 39
10 Histogram rata-rata warna gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) .......... 40 11 Histogram rata-rata aroma gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) .......... 41 12 Histogram rata-rata rasa gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus).............. 42 13 Histogram rata-rata tekstur gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ......... 43 14 Histogram rata-rata uji lipat sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ..... 45 15 Histogram rata-rata uji gigit sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)..... 46 16 Histogram kekuatan gel sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ........... 47 17 Histogram WHC sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ...................... 49 18 Histogram rata-rata stabilitas emulsi sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ...................................................................................... 50 19 Histogram rata-rata penampakan sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ...................................................................................... 52 20 Histogram rata-rata warna sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ....... 53 21 Histogram rata-rata aroma sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ....... 54 22 Histogram rata-rata rasa sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ........... 55 23 Histogram rata-rata tekstur sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ...... 57 24 Histogram uji perbandingan berpasangan ..................................................... 63
DAFTAR TABEL
No
Hal
1
Komposisi kimia proksimat ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ................ 4
2
Syarat mutu sosis daging menurut SNI 01-3820-1995 ................................... 7
3 Standar mutu surimi ...................................................................................... 10 4
Komposisi kimia isolat protein kedelai (bk) ................................................. 13
5
Bahan dan bumbu pada penelitian utama...................................................... 24
6
Hasil analisis proksimat dan TPC sosis ikan lele dumbo.............................. 59
7 Hasil analisis uji perbandingan berpasangan secara subjektif ...................... 64
DAFTAR LAMPIRAN No
Hal
1
Lembar penilaian uji kesukaan (hedonik) kamaboko ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ..................................................................................... 73
2
Lembar penilaian uji lipat gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) .......... 74
3
Lembar penilaian uji gigit gek ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ......... 75
4
Lembar penilaian uji sensori (hedonik) sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan perasa ayam .................................................... 76
5
Lembar penilaian uji lipat sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ....... 77
6
Lembar penilaian uji gigit sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ....... 78
7
Nilai uji sensori, uji lipat dan uji gigit kamaboko ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ..................................................................................... 79
8
Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan frekuensi pencucian terhadap uji lipat gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ............................................ 80
9
Uji lanjut Multiple Comparison pengaruh perbedaan frekuensi pencucian terhadap uji lipat (Clarias gariepinus) ......................................................... 80
10 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan frekuensi pencucian terhadap uji gigit gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ............................................ 81 11 Uji lanjut Multiple Comparison pengaruh perbedaan frekuensi pencucian terhadap uji gigit (Clarias gariepinus)......................................................... 81 12 Grafik uji kenormalan galat kekuatan gel pada gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ..................................................................................... 82 13 Analisis ragam terhadap kekuatan gel pada gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ..................................................................................... 82 14 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan frekuensi pencucian terhadap penampakan gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ............................... 83 15 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan frekuensi pencucian terhadap warna gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus).......................................... 83 16 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan frekuensi pencucian terhadap rasa gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ............................................. 84 17 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan frekuensi pencucian terhadap aroma gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ......................................... 84 18 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan frekuensi pencucian terhadap tekstur gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ........................................ 85 19
Nilai uji sensori, uji lipat dan uji gigit sosis ikan lele dumbo .................... 86
20 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi IPK terhadap uji lipat sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ..................... 87 21 Uji lanjut Multiple Comparison pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi terhadap uji lipat sosis ikan lele dumbo(Clarias gariepinus) ... 87 22 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi IPK terhadap uji gigit sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ..................... 88 23 Uji lanjut Multiple Comparison pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi terhadap uji gigit sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) .. 88 24 Grafik uji kenormalan galat kekuatan gel (Clarias gariepinus) .................. 89 25 Analisis ragam dan uji lanjut Multiple Comparison terhadap kekuatan gel sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ................................................. 89 26 Grafik uji kenormalan galat WHC .............................................................. 90 27 Analisis ragam WHC sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) .............. 90 28 Grafik uji kenormalan galat stabilitas emulsi............................................... 91 29 Analisis ragam stabilitas emulsi sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ..................................................................................... 91 30 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi IPK terhadap penampakan sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ............. 92 31 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi IPK terhadap warna sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ........................ 92 32 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi IPK terhadap aroma sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)........................ 93 33 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi IPK terhadap rasa sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ........................... 93 34 Uji lanjut Multiple Comparison perbedaan penambahan konsentrasi IPK terhadap rasa sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ........................... 94 35 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi IPK terhadap tekstur sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ....................... 94 36 Uji lanjut Multiple Comparison perbedaan penambahan konsentrasi IPK terhadap tekstur sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ....................... 94 37 Contoh perhitungan rendemen daging lumat dan rendemen surimi ............ 95 38 Gambar hasil gel ikan dengan perbedaan frekuensi pencucian ................... 96 39 Dokumentasi diagram alir pembuatan sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ..................................................................................... 97 40 Gambar hasil sosis ikan lele dumbo dengan perbedaan penambahan konsentrasi IPK ............................................................................................ 98
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Ikan merupakan salah satu komoditas perairan yang sangat potensial untuk dimanfaatkan. Kebutuhan pasar akan ikan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan. Selain itu, semakin banyak masyarakat yang beralih ke produk perikanan yang dianggap aman untuk dikonsumsi, bila dibandingkan dengan produk hewan mamalia yang akhir-akhir ini banyak menimbulkan berbagai penyakit ternak misal sapi gila, anthrax, dan sebagainya. Salah satu komoditas perikanan yang saat ini cukup banyak digemari oleh masyarakat adalah ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Kebutuhan lele konsumsi dalam negeri terus mengalami peningkatan sejalan dengan semakin populernya lele sebagai hidangan yang sangat lezat. Data produksi untuk ikan lele dumbo di Indonesia beberapa tahun terakhir ini meningkat cukup signifikan pada tahun 2004 sebesar 60.000 ton, dan meningkat pada tahun 2005 menjadi 79.000 ton dan pada tahun 2007 semakin meningkat menjadi 96.140 ton (Nurimala et al. 2009).
Namun, pemanfaatan ikan lele dumbo hingga saat ini masih terbatas misalnya digoreng, dan masih sedikitnya bentuk olahan ikan lele dumbo menjadi produk perikanan. Upaya untuk meningkatkan konsumsi dan pendayagunaan terhadap hasil perikanan khususnya ikan lele dumbo, adalah diversifikasi olahan. Ikan lele dumbo diolah menjadi produk baru dengan tetap mempertahankan komposisi gizi yang terkandung di dalamnya. Beberapa keuntungan produk ini yaitu, harga relatif murah, enak, dan mudah didapat. Salah satu produk olahan ikan sebagai upaya diversifikasi yaitu sosis ikan. Sosis merupakan salah satu produk diversifikasi olahan pangan yang saat ini digemari oleh semua lapisan masyarakat. Mengingat aktivitas masyarakat yang sangat padat, kecenderungan mencari makanan yang praktis dengan kandungan energi dan gizi yang cukup. Sosis ikan merupakan pilihan yang tepat untuk dikonsumsi, karena merupakan makanan siap saji dan bergizi tinggi. Sebagian masyarakat tidak menyukai lele dumbo karena bau amis yang tidak sedap. Oleh karena itu sosis ikan lele dumbo ini dibuat dengan penambahan
2
perasa ayam untuk menghilangkan bau amis ikan. Bahan perasa sendiri dari segi pembuatannya dibedakan menjadi dua, yaitu flavor natural (alami) dan sintetis (buatan). Perasa alami diambil dari bahan-bahan alami, misalnya rasa bawang maka diambil dari ekstrak bawang dan rasa ayam diambil dari sari ayam (LPPOM 2010). Komponen sosis lainnya yang ditambahkan yaitu Isolat Protein Kedelai (IPK), penambahan IPK ini bertujuan sebagai bahan pengikat dan pengisi yang dapat menggantikan kandungan protein pada sosis ikan yang dihasilkan serta dapat mereduksi pemakaian bahan baku daging ikan pada pembuatan sosis, sehingga dapat menghasilkan sosis dengan kadar protein tinggi walaupun daging yang dipakai dalam jumlah sedikit. Oleh karena itu upaya pengembangan produk olahan ikan lele dumbo sangat perlu dilakukan. Hal ini untuk meningkatkan daya terima masyarakat terhadap ikan lele dumbo dan meningkatkan nilai ekonomis dari ikan tersebut, serta upaya diversifikasi sosis ikan ini diharapkan dapat meningkatkan konsumsi masyarakat terhadap produk olahan ikan.
1.2 Tujuan Tujuan dilakukannya penelitian ini meliputi: 1) Membuat
produk
diversifikasi
olahan
dari
ikan
lele
dumbo
(Clarias gariepinus) dalam bentuk sosis 2) Menemukan
konsentrasi
Isolat
Protein
Kedelai
(IPK)
yang
dapat
menghasilkan sosis ikan terpilih 3) Menganalisis karakteristik fisik dan nilai gizi yang terkandung dalam sosis ikan lele dumbo. 4) Membandingkan sosis ikan lele dumbo terpilih dengan sosis komersial
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) merupakan jenis ikan lele hasil perkawinan antara Clarias mossambicus dari Kenya dan Clarias fuscus dari Taiwan yang dibawa ke Indonesia oleh PT. Cipta Mina Sentosa (Suyanto 1999). Ikan ini dibudidayakan di Indonesia. Bentuk ikan lele dumbo yaitu, tubuh memanjang dan berkulit licin (tidak bersisik), bentuk kepala pipih dengan tulang keras sebagai batok kepala. Terdapat empat pasang sungut di sekitar mulut. Pada sirip dada terdapat patil atau duri keras yang berfungsi sebagai alat untuk mempertahankan diri. Ikan lele dapat hidup dalam kondisi perairan yang sedikit mengandung kadar oksigen, karena ikan lele memiliki alat pernapasan tambahan yang terletak di bagian depan rongga insang yang memungkinkan ikan untuk mengambil oksigen dari udara (Suyanto 1999). Habitat dari ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) yaitu di sungai dengan arus air yang perlahan, telaga, rawa, waduk, dan sawah yang tergenang air. Ikan lele dapat hidup dan tumbuh dengan baik pada 25-35 °C dan dapat tumbuh optimum pada suhu 30 °C. Ikan lele dapat memijah baik secara alami maupun dengan system suntik. Ikan lele bersifat nokturnal, yang berarti aktif mencari makanan di malam hari (Mahyuddin 2008). Klasifikasi ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Pisces
Sub Kelas
: Teleostei
Ordo
: Ostariophysi
Famili
: Clariidae
Genus
: Clarias
Spesies
: Clarias gariepinus
4
Menurut Prihartono et al. (2000), ikan lele dumbo memiliki beberapa keunggulan. Pertama, ikan lele dumbo dapat tumbuh lebih cepat dibandingkan lele lokal. Kedua, lele dumbo dapat tumbuh lebih besar, satu ekor ikan lele mampu mencapai berat 2-3 kg. ketiga, telur ikan lele dumbo lebih banyak sehingga dapat menghasilkan benih lebih banyak. Keempat, biaya pemeliharaan untuk ikan lele dumbo lebih murah, karena dapat diberi berbagai macam pakan diantaranya pellet maupun berbagai jenis bangkai. Gambar ikan lele dumbo dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) (Sumber: Anonim 2011)
2.2 Komposisi Gizi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Kandungan gizi dan kalori yang terdapat pada daging lele dumbo meliputi protein, lemak, karbohidrat, mineral, kalsium, fosfor, besi, vitamin A, vitamin B, air dan energi. Pada umumnya bagian ikan yang dapat dimakan (edible portion) berkisar antara 45-50% dari berat ikan. Analisis proksimat dari komposisi kimia ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Komposisi kimia proksimat ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Komposisi
Mentah
Rebus
Goreng
Panggang
Kadar air (%) Protein (%) Lemak (%) Kadar abu (%)
75,68 16,80 5,70 1,00
71,08 21,14 5,90 1,20
63,32 21,82 9,30 2,30
65,76 24,28 6,88 2,62
Sumber : Rosa et al. (2007)
2.3 Sosis Sosis merupakan salah satu produk diversifikasi pangan yang saat ini digemari oleh semua lapisan masyarakat. Sosis atau sausage berasal dari bahasa latin salsus yang berarti daging yang digarami atau diawetkan dengan
5
penggaraman. Saat ini sosis tidak hanya dibuat menggunakan daging saja, melaikan dari kedelai dan ikan. Pembuatan sosis ikan sekarang ini belum banyak dikenal masyarakat. Padahal jika ditinjau dari kandungan gizinya, ikan memiliki kandungan protein yang tinggi dan merupakan salah satu alternatif produk pangan yang mudah dikonsumsi (Suhartini dan Nur 2005). Sosis ikan merupakan suatu produk berasal dari daging ikan yang dicampurkan dengan bahan tambahan, dicetak dalam selongsong serta mengalami proses pemanasan (Raju et al. 2003). Sosis adalah daging cincang yang diberi perlakuan penambahan pengawet berupa garam serta bahan lainnya meliputi bumbu-bumbu, bahan pengikat dan air yang kemudian dibentuk dengan ukuran yang sama menggunakan selongsong yang terbuat dari jaringan ikat usus hewan atau selulosa sehingga membentuk silinder (Kramlich 1971). Sosis adalah produk yang dihasilkan dari emulsi minyak dalam air (oil in water). Struktur dasar emulsi adalah campuran dari bagian-bagian daging halus yang tersebar sebagai emulsi lemak dalam air. Berdasarkan metode pembuatannya, sosis dibagi menjadi 6 kelompok yaitu: sosis segar, sosis asap tidak dimasak, sosis asap dimasak, sosis masak, sosis fermentasi, dan daging giling masak. Sosis ready to eat merupakan konversi dari sosis fermentasi kering yang dilakukan dengan cara mengiris potongan, kemudian dikemas dengan metode vakum, modifikasi atmosfer yang cukup menjadi permeable atau penghalang aerobik. Penggunaan teknologi tradisional untuk menjaga sanitasi pemotongan dan pengemasan sosis fermentasi ready to eat, tidak mungkin dapat terlaksana (Cabeza et al. 2009). 2.3.1 Pembuatan sosis Prinsip pembuatan sosis ikan meliputi penyiangan, pencucian, filleting, penirisan, penggilingan bersama bahan pengikat dan bumbu-bumbu, pemasukan dalam casing, perebusan dan penggorengan. Menurut Shierly (2002), tahapan pembuatan sosis ikan adalah sebagai berikut: a) Penyiangan dan pencucian Pembuangan bagian yang tidak diperlukan dari tubuh ikan, antara lain isi perut, sirip ekor, serta daging bagian perut. Tujuan dari penyiangan dan pencucian
6
yaitu untuk menghilangkan segala kotoran, darah, dan lendir yang merupakan sumber bakteri pembusuk dan pathogen. b) Filleting Filleting merupakan proses memisahkan antara daging dengan tulangtulangnya serta dilakukan pembuangan kulit. c) Penggilingan Penggilingan bertujuan untuk menghaluskan daging sehingga mudah dicampur dengan bahan-bahan lain untuk membentuk adonan. Penggilingan daging lumat bertujuan pula untuk memperkecil ukuran, memperoleh daging giling yang berukuran seragam, mengesktraksi protein larut dalam air dan larutan garam serta untuk proses emulsifikasi. d) Pengadonan Pengadonan merupakan proses pencampuran dari berbagai bahan dasar agar semua bahan tercampur merata. Suhu sangat berperan dalam menjaga kestabilan adonan. e)
Pengisian dalam selongsong Adonan selanjutnya dimasukkan ke dalam selongsong/casing, kemudian
diikat menggunakan benang dengan ukuran yang seragam yaitu 10-15 cm. f)
Perebusan Pemasakan sosis dilakukan dengan cara perebusan pada suhu 60-70 °C
selama 15 menit. Perebusan yang dilakukan terlalu lama dapat menyebabkan zat makanan akan terkestraksi dan akhirnya terbuang saat perebusan. Setelah perebusan dilakukan pendinginan agar suhu sesuai dengan suhu ruang. 2.3.2 Komposisi sosis Sosis merupakan produk olahan makanan sebagai usaha diversifikasi yang terbuat daging lumat ikan maupun daging yang banyak mengandung air, protein, lemak dan mineral-mineral. a) Protein Jumlah dan jenis daging serta jumlah bahan pengikat dapat mempengaruhi kadar protein pada sosis. Protein dalam daging dikelompokkan menjadi tiga kelompok berdasarkan kelarutannya, meliputi protein sarkoplasma yang dapat
7
larut dalam air, protein miofibril dapat larut dalam larutan garam, dan protein stroma yang tidak larut dalam larutan garam. b) Air Kadar air merupakan komponen sangat penting dalam bahan pangan, karena dapat mempengaruhi penampakan, tekstur dan citarasa. Kadar air pada sosis dapat dipengaruhi berdasarkan jumlah pati maupun jumlah es yang ditambahkan (Rompis 1998). c) Abu Abu yang terdapat dalam daging umumnya terdiri dari fosfor, kalsium, iron, magnesium, sulfur, sodium dan potassium. Kadar abu pada sosis berasal dari daging, tepung, sodium tripolifosfat maupun garam yang ditambahkan. d) Lemak Kandungan lemak dalam pembuatan sosis merupakan komponen penting. Kadar lemak dapat dipengaruhi oleh penambahan jenis dan jumlah daging serta lemak dalam pembuatan sosis. e) Karbohidrat Kadar karbohidrat daging segar yaitu kurang dari 1% dari berat daging dan umumnya dalam bentuk glikogen dan asam laktat. Kandungan karbohidrat pada sosis dapat berbeda berdasarkan jenis dan jumlah pengisi yang ditambahkan. Tabel 2 Syarat mutu sosis daging menurut SNI 01-3820-1995 No 1 1.1 1.2 1.3 1.4 2 3 4 5 6
Kriteria Uji Keadaan : Bau Rasa Warna Tekstur Air Abu Protein Lemak Karbohidrat
Satuan
%b/b %b/b %b/b %b/b %b/b
Persyaratan
Normal Normal Normal Bulat panjang Maks 67.0 Maks 3.0 Min 13.0 Maks 25.0 Maks 8
Sumber: SNI 1995
2.4 Protein Ikan Senyawa kimia yang kandungannya terdapat dalam jumlah terbesar dalam tubuh ikan setelah kadar air yaitu kadar protein. Protein terdapat dalam ikan
8
diperkirakan nilainya mencapai 11-27% (Shahidi dan Botta 1994). Protein ikan dapat dibagi menjadi 3 golongan berdasarkan tingkat kelarutannya, meliputi protein miofibril sebesar 65-75%, protein sarkoplasma sebesar 18-35%, dan jaringan ikat atau stroma (Mackie 1992). 2.4.1 Protein miofibril Protein miofibril merupakan bagian terbesar dalam jaringan tubuh ikan, Protein miofibril berperan dalam penggumpalan dan pembentukan gel pada saat pengolahan. Sifat protein ini yaitu larut garam atau disebut PLG (Protein Larut Garam). Protein miofibril terdiri dari aktin, miosin dan protein regulasi (tropomiosin, troponin, dan aktinin). Aktin dan miosin bergabung membentuk aktomiosin. Miosin merupakan protein esensial untuk peningkatan elastisitas gel protein. Miosin merupakan fraksi miofibril yang paling berlimpah dalam otot ikan dan memiliki kontribusi sekitar 50-60% dari berat total jumlah protein. Aktin merupakan fraksi miofibril terbesar kedua setelah myosin, menyusun sekitar 20% dari kandungan total jumlah protein. Sedangkan tropomiosin dan troponin jumlahnya 10% dari total protein (Shahidi dan Botta 1994). Protein miofibril akan mengalami denaturasi dengan kisaran nilai pH kurang dari 6,5 yang berdampak pada kemampuan pembentukan gel. Pembentukan gel oleh protein miofibril pada surimi dipengaruhi berbagai faktor diantaranya konsentrasi protein miofibril (PLG), jumlah air yang terkandung, tipe ion dan kekuatannya, pH, dan interaksi yang terjadi antara miofibril dengan bahan lain yang ditambahkan (Lee 1984). 2.4.2 Protein sarkoplasma Protein terbesar kedua adalah sarkoplasma. Protein sarkoplasma (albumin, mioalbumin, dan mioprotein) merupakan jenis protein yang larut dalam air, protein ini ditemukan dalam plasma sel. Fraksi protein ini jumlahnya 20-30% dari seluruh protein (Shahidi dan Botta 1994). Karakteristik dari protein ini adalah bobot molekul relatif rendah, pH isoelektrik tinggi dan struktur bulat. Hal ini yang menyebabkan protein sarkoplasma memiliki daya larut yang tinggi dalam air. Protein sarkoplasma diperlukan untuk metabolisme anaerob sel otot dan pembawa oksigen. Protein ini tidak berperan sebagai pembentuk gel. Selama pembentukan matriks gel, protein ini dapat mengganggu cross-linking miosin karena protein ini tidak dapat membentuk gel dan rendahnya kapasitas pengikatan air yang dimiliki.
9
Kandungan protein sarkoplasma pada daging ikan bervariasi berdasarkan spesies ikan. Salah satu jenis protein sarkoplasma yang berkaitan dengan mutu daging adalah mioglobin, yang terdiri dari dua komponen yaitu fraksi protein disebut globin, dan fraksi nonprotein yang disebut heme. Protein tersebut berfungsi dalam memberikan warna merah pada daging segar (Suzuki 1981). 2.4.3 Protein stroma Protein jaringan ikat (stroma) merupakan protein yang jumlahnya paling sedikit. Protein ini tidak larut dalam air, larutan asam HCl ataupun NaOH dan kontribusinya sebesar 10% dari total protein kasar (Shahidi dan Botta 1994). Protein stroma terdapat pada bagian luar sel otot. Penyusun dari stroma yaitu kolagen dan elastin. Jika jaringan penghubung yang mengandung sebagian besar kolagen dipanaskan dalam waktu yang lama, kolagen tersebut akan berubah menjadi gelatin. Ikan yang memiliki daging merah lebih banyak stromanya lebih banyak jika dibandingkan dengan ikan daging putih (Suzuki 1981). Pada saat pengolahan surimi, protein ini tidak dihilangkan karena mudah larut dalam panas dan merupakan komponen netral pada produk akhir (Hall dan Ahmad 1992). 2.5 Surimi Surimi merupakan produk antara yang digunakan dalam berbagai macam produk yang telah dikenal di berbagai negara. Surimi dapat dibuat dengan menggunakan ikan air tawar maupun ikan air laut. Untuk jenis ikan air tawar, sebelum diolah terlebih dahulu dilakukan pemberokan agar bau lumpur pada produk akhir dapat dikurangi. Produk komersial surimi dibuat dengan cara memisahkan daging ikan dari tulang dan kulit yang kemudian diikuti proses pencucian (1-3 kali) menggunakan air atau larutan garam. Selanjutnya dilakukan pemerasan dan pencampuran dengan cryoprotectant untuk mecegah denaturasi protein dan kehilangan fungsinya selama penyimpanan beku. Sebagai sumber protein, surimi dari berbagai spesies ikan dapat digunakan di beberapa negara untuk memproduksi produk berbasis surimi seperti kue ikan, bola-bola ikan, burger ikan, sosis ikan, mie ikan dan stik imitasi (Shaviklo 2006). Jenis ikan yang ideal untuk mendapatkan kualitas surimi yang baik adalah yang mempunyai kemampuan pembentukan gel yang baik, karena dapat
10
mempengaruhi elastisitas tekstur. Sebaiknya menggunakan ikan yang masih segar karena elastisitas yang terbaik hanya didapatkan dari ikan segar (BPPMHP 1987 diacu dalam Muhibuddin 2010). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kualitas surimi yaitu cara penyiangan, besarnya partikel dari daging lumat, kualitas air, peralatan, serta cara pencucian. Selain itu suhu air pencucian dan suhu saat penggilingan pun dapat mempengaruhi kualitas surimi. Jika suhu air lebih tinggi akan lebih banyak melarutkan protein larut garam (Lee 1984). Pencucian merupakan tahapan yang paling penting, khususnya untuk ikanikan yang memiliki kemampuan pembentukan gel yang rendah. Pencucian surimi bertujuan untuk melarutkan lemak, darah, enzim dan protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel, serta menghilangkan komponen yang dapat mengurangi kualitas surimi (Park 2005). Selain itu, pengaruh pencucian adalah untuk mendapatkan warna daging yang putih (Suzuki 1981). Air yang digunakan untuk pencucian adalah air dingin dengan suhu antara 5-10 °C. Pencucian sebanyak dua kali dengan rasio air dan daging 3:1 telah dinilai cukup. Protein dapat hilang pada pencucian kedua dan ketiga berturut-turut sebesar 27% dan 38% pada pengolahan surimi (Benjakul et al. 1996 diacu dalam Muhibuddin 2010). Kadar air pada daging akan meningkat dari 82% menjadi 85% menjadi 90% hingga 92% setelah pencucian berulang kali. Untuk mengurangi kadar air ini dapat dilakukan penambahan cryoprotectant dan proses pembekuan (Park 2005). Kualitas surimi yang baik adalah yang berwarna putih, kuat dan dapat membentuk gel (Winarno 1993). Komponen yang berperan dalam pembentukan gel ini adalah protein miofibril yang dapat diekstrak menggunakan larutan garam. Standar mutu surimi dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Standar mutu surimi Tingkatan mutu (Grade)
Kadar air (%)
pH
1 2 3 4 5 6
75 ± 0,5 75 ± 0,5 75 ± 0,5 75 ± 1,0 75 ± 1,0 75 ± 1,0
>7 7 7 7 7 7
Sumber : Lanier (1992)
Surimi Impurities (Score) 10 >9 >8 >6 >5 >4
Kekuatan gel (g cm) tanpa pati >680 >680 >640 >520 >440 >310
11
2.6 Emulsi Ikan Sosis adalah produk yang dihasilkan dari emulsi minyak dalam air (o/w). Emulsi merupakan dispersi atau suspensi suatu cairan dalam cairan lain, namun molekul dari kedua cairan tersebut tidak berbaur melainkan saling antagonistik. Air dan minyak merupakan cairan yang tidak saling berbaur tetapi saling ingin terpisah karena mempunyai berat jenis yang bebeda. Tiga bagian utama yang umumnya terdapat pada suatu emulsi, diantaranya bagian yang terdispersi yaitu butir-butir lemak (fase diskontinyu), bagian pendispersi (fase kontinyu) yang terdiri dari air, bagian emulsifier yang berfungsi untuk menjaga agar butir minyak tetap tersuspensi di dalam air (Winarno 1997). Pada emulsi minyak dalam air (O/W), air berperan sebagai fase pendispersi dan minyak sebagai fase terdispersi. Sebaliknya pada emulsi air dalam minyak (W/O), minyak sebagai fase pendispersi dan air sebagai fase terdispersi. Berikut ini merupakan skema tipe emulsi yang dapat dilihat pada Gambar 2.
(a)
(b)
Gambar 2 Skema emulsi (a) O/W dan (b) W/O Terdapat tiga tipe protein yang berperan dalam pembentukan emulsi sosis, antara lain 1) protein sarkoplasma yang larut dalam air, namun kurang larut dalam garam, 2) aktin dan miosin yang sangat larut dalam larutan garam, 3) protein lainnya misalnya mioglobin yang larut dalam air dan garam. Untuk mendapatkan hasil emulsi yang baik dapat dilakukan dengan cara memecah atau melumatkan daging prerigor bersama-sama dengan es, garam dan baha curing, kemudian disimpan beberapa jam sehingga proses ekstraksi protein lebih efisien. Protein merupakan senyawa poliionik yang bersifat surface-active. Oleh karena itu, protein dapat membantu proses pembentukan dan penstabilan emulsi minyak-air. Kemampuan protein dalam menstabilkan emulsi didasarkan oleh
12
adanya gugus polar dan non polar dari gugus asam amino. Emulsifier yang utama dalam emulsi sosis yaitu protein larut garam, meliputi aktin dan myosin yang digabung menjadi aktomiosin (Kramlich et al. 1973). Stabilitas emulsi menunjukkan kestabilan suatu bahan dalam system emulsi atau terdapat keseragaman molekul fase pendispersi dan fase terdispersi dalam kondisi baik. Untuk mendapatkan emulsi yang pekat dan stabil dari kedua cairan, maka diperlukan komponen ketiga, yaitu bahan pengemulsi. Fungsi dari komponen ketiga yaitu untuk mempercepat terjadinya emulsi dan memberikan atau meningkatkan kestabilan emulsi, karena struktur molekul pengemulsi mengandung dua bagian, satu bagian memiliki sifat polar atau hidrofil, bagian yang lain yaitu bersifat non polar atau hidrofob. Stabilitas emulsi dipengaruhi oleh temperatur selama proses emulsifikasi, ukuran partikel lemak, pH, viskositas emulsi, jumlah dan tipe protein yang larut (Kramlich 1971). 2.7 Bahan Pengikat dan Pengisi Penambahan bahan pengisi berfungsi untuk memperbesar jumlah produk sosis. Bahan pengisi (filler) yang ditambahkan dalam pembuatan sosis antara lain tepung tapioka yang memiliki kandungan pati yang tinggi namun rendah protein. Bahan pengikat (binder) yang umumnya digunakan dalam pembuatan sosis adalah lemak. Bahan pengikat berfungsi sebagai bahan pengental, memperbaiki stabilitas emulsi, memperbaiki hasil irisan, memperbaiki aroma, memperbaiki rasa, menahan lemak, dan membentuk tekstur yang padat dan menarik air (Wilson 1960). 2.7.1 Isolat protein kedelai Bahan pengikat yang umum digunakan pada pembuatan sosis adalah isolat protein. Isolat soy protein (ISP) dengan nama lain isolat protein kedelai merupakan produk dari protein kedelai yang berlemak rendah, protein ini diolah sedemikian rupa sehingga memiliki kandungan protein yang tinggi. Kandungan protein pada isolat protein kedelai minimum 95 %. Produk ini hampir bebas dari karbohidrat, serat dan lemak sehingga sifat fungsionalnya jauh lebih baik dibandingkan dengan konsentrat kedelai dan tepung kedelai (Koswara 1992). Isolat protein kedelai sangat dibutuhkan dalam industi pangan, karena banyak
13
digunakan untuk formulasi berbagai jenis makanan. Sifat yang diunggulkan dari isolat protein kedelai adalah sifat fungsional proteinnya. Sifat ini menentukan pemakaian atau fungsi produk tersebut dalam berbagai produk makanan (Koswarab 2005). Berbagai macam bentuk isolat protein kedelai dengan sifat fungsional yang berbeda dapat diperoleh secara komersil. Sifat fungsional protein yang utama antara lain emulsifikasi, daya serap lemak dan daya serap air (Ulya 2005). Isolat protein kedelai biasanya digunakan sebagai campuran dalam makanan olahan daging dan susu. Prospeknya sangat luas, bukan hanya sebagai campuran tetapi juga bahan utama dalam industri makanan. Salah satu senyawa yang terdapat pada protein kedelai yaitu lesitin. Lesitin nabati paling baik dari lesitin hewani yang mempunyai sifat superior (dapat berfungsi sebagai peremaja sel tubuh, sehingga vitalitasnya meningkat). Lesitin memiliki sifat emulsif terhadap lemak. Protein kedelai memiliki memiliki dua peran dalam mekanisme emulsifikasi. Pertama, dapat membantu membentuk formasi emulsi O/W (oil in water) dan kedua, dapat menjaga stabilitas emulsi (Wolf 1990). Isolat protein ini sudah banyak digunakan dalam industri daging karena kemampuannya dalam mengikat air dan lemak serta mampu membentuk gel selama pemanasan. Penambahan dalam jumlah besar dapat menyebabkan warna produk menjadi coklat dan memberikan bau dan cita rasa langu sehingga menurunkan mutu sensori (warna dan rasa) produk akhir (Wulandhari 2007). Produk-produk olahan kedelai tersebut terdapat dalam bentuk tepung kedelai, konsentrat protein, atau protein isolat. Bahan pengikat ini mengandung protein yang tinggi. Jumlah protein yang tinggi ini dapat menstabilkan emulsi sosis yang terbentuk (Soeparno 1994). Komposisi kimia isolat protein kedelai (% bk) dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Komposisi kimia isolat protein kedelai (% berat kering) Parameter Jumlah % Protein (N x 6,25) 90-92 Lemak 0,5-1,0 Serat kasar 0,1-0,2 Abu 4,0-5,0 Kadar air 0 Karbohidrat (by difference) 3-4 Sumber: Soy Protein Council (1987) diacu dalam Mervina (2009)
14
Proses pembuatan isolat protein kedelai, pertama biji kedelai kering direndam 5-8 jam, diikuti pembuatan bubur kedelai (kedelai dikupas kulitnya dan dihancurkan seperti pada pembuatan susu kedelai), kemudian diencerkan hingga perbandingan kedelai kering : air = 1:8. Selanjutnya dilakukan pengaturan pH hingga 8,5-8,7 dan diaduk selama 30 menit. Pengaturan pH dilakukan dengan penambahan larutan NaOH 2N dan dipanaskan hingga suhu 50-55 °C untuk meningkatkan efisiensi ekstraksi protein. Setelah protein terekstrak, maka residu non protein harus dipisahkan dengan sentrifugal. Pada tahap ini sangat penting karena dapat menentukan kemurnian isolat protein kedelai yang dihasilkan. Semakin cepat sentrifugal dilakukan, maka semakin murni isolat yang dihasilkan dan kandungan proteinnya pun makin tinggi serta memiliki sifat fungsional yang semakin baik. Filtrat yang diperoleh dari tahap pemisahan (berisi protein yang larut), kemudian diturunkan pH-nya sampai 4,5 sehingga protein akan mengendap. Penurunan pH ini dapat dilakukan dengan larutan HCl 2N atau larutan TCA kemudian dipisahkan dengan sentrifugal. Selanjutnya endapan tersebut dicuci (dicampur air lalu disentrifugal lagi ulangi beberapa kali). Endapan dibuat suspensi kental dengan air (1:2) dan dikeringkan dengan spray dryer. Selanjutnya didapatkan hasil berupa isolat protein kedelai. Jika setelah pencucian dilakukan netralisasi dengan NaOH 2N sampai pH 6-8 lalu dikeringkan, maka menghasilkan produk isolat proteinat kedelai. Produk ini lebih awet dibandingkan dengan isolat protein kedelai (Koswara 1992). Cara diatas sering juga dimodifikasi yakni tanpa mengalami proses netralisasi. Proses ini akan menghasilkan protein kedelai dalam bentuk protein dalam keadaan isoelektriknya. Proses ini merupakan proses yang paling sering digunakan dalam memproduksi isolat protein kedelai secara komersial. Selain cara di atas masih banyak cara lainnya untuk memproduksi isolat protein kedelai, misal pemisahan berdasarkan perbedaan berat molekul, proses membran, ekstraksi dengan air, dan ekstraksi dengan larutan garam (Mervina 2009). Diagram alir proses pengolahan isolat protein kedelai yang dapat dilihat pada Gambar 3.
15 Biji kedelai kering
Tepung kedelai bebas lemak
Perendaman Kulit ari
Pengupasan kulit
Pencampuran
Tepung : air = 1:8
Pembuatan bubur kedelai/ susu kedelai Ekstraksi
NaoH 2N, pH 8,5-8,7
Pengadukan Suhu 50-55◦C Sentrifuse
Filtrat
Residu (polisakarida, pigmen dan komponen nonprotein lain)
Pengendapan pada pH 4,5
Filtrat
Endapan protein
Pencucian
Pengeringan
Isolat Protein Kedelai
Gambar 3 Diagram alir proses pengolahan isolat protein kedelai (Sumber: Ulya 2005)
2.7.2 Tapioka Tepung tapioka merupakan bahan pengisi yang paling umum digunakan dalam pembuatan sosis. Tapioka merupakan pati yang diperoleh dari ubi kayu melalui
proses
pemarutan,
pemerasan,
penyaringan,
pengendapan,
dan
16
pengeringan. Pati merupakan komponen utama tepung tapioka yang tidak memiliki rasa dan bau sehingga dapat dipergunakan untuk modifikasi rasa. Tapioka sering digunakan dalam pembuatan sosis karena selain harganya yang murah juga memberikan citarasa netral serta warna terang pada produk sosis. Keberadaan granula pati yang mengembang selama gelatinisasi pati tidak meningkatkan elestisitas gel. Berdasarkan uji organoleptik yang telah dilakukan pada penelitian sebelumnya, penambahan tepung tapioka sebanyak 5-10 % tidak berpengaruh nyata terhadap semua karakteristik penampakan, warna, tekstur, aroma, dan rasa produk kamaboko ikan lele dumbo (Hermawan 2002). 2.8 Bahan Tambahan Bahan tambahan lain yang digunakan dalam penelitian pembuatan sosis ikan ini antara lain garam, gula, air, lada putih, bawang putih, bawang merah, minyak, lemak, jahe dan perasa ayam (kaldu ayam). 2.8.1 Garam Garam merupakan bumbu yang biasanya ditambahkan pada adonan pembuatan sosis untuk meningkatkan cita rasa dan pembentuk tekstur. Pemakaian garam NaCl biasanya lebih banyak diatur oleh rasa, kebiasaan dan tradisi daripada keperluan. Menurut Winarno (1997), makanan yang mengandung garam kurang dari 0,3% akan terasa hambar sehingga kurang disenangi. Pemakaian garam dengan konsentrasi rendah (1 – 3 %) tidak bersifat membunuh bakteri, melainkan hanya memberikan cita rasa. Garam berfungsi sebagai pengawet karena garam berperan sebagai penghambat mikroorganisme tertentu. Selain itu, pemakaian garam juga dapat mempengaruhi aktivitas air (aw) dari bahan, sehingga dapat mengendalikan pertumbuhan mikroorganisme. Garam dapat mengakibatkan proses osmosis pada sel-sel mikroorganisme sehingga terjadi plasmolisis (kadar air dalam sel bakteri berkurang, sehingga lama kelamaan dapat menyebabkan bakteri mati) (Moeljanto 1992). 2.8.2 Gula Gula merupakan senyawa kimia yang termasuk karbohidrat dengan rasa manis dan sering digunakan sebagai pemanis, tetapi dalam industri pangan biasanya digunakan untuk menyatakan sukrosa yang diperoleh dari bit atau gula
17
tebu. Adanya gula, sukrosa, pati dan lain-lain dapat meningkatkan cita rasa pada makanan serta menimbulkan rasa khusus pada makanan (Buckle et al. 1987). Gula tebu dihasilkan dari tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) dan digunakan sebagai bahan pemanis alami. Rendemen tebu maksimal tercapai pada bulan Agustus, selanjutnya berangsur menurun karena tebu merupakan tanaman semusim. Sampai saat ini gula tebu masih dianggap sebagai pemberi rasa manis yang aman untuk kesehatan. Selain memberikan rasa manis, gula juga berfungsi sebagai pengawet karena memiliki sifat higroskopis. Kemampuannya menyerap kandungan air dalam bahan pangan ini bisa memperpanjang masa simpan (Saparinto dan Hidayati 2006). 2.8.3 Air Air merupakan salah satu komponen penting dalam pembuatan sosis. Kandungan air sekitar 45-55% dari berat total sosis, tergantung dari jumlah cairan yang ditambahkan dan jenis daging (Soeparno 1994). Penambahan air atau es berfungsi menurunkan suhu adonan selama proses cutter, sehingga mencegah denaturasi protein akibat suhu yang meningkat saat cutting, untuk melarutkan garam, dan memudahkan ekstraksi protein serabut otot. Selain itu, air atau es juga berfungsi melarutkan protein miosin yang merupakan pembentuk emulsi sehingga dihasilkan emulsi yang stabil. Protein miosin hanya dapat larut pada suhu 4-5 °C sehingga sangat penting menggunakan air dingin (Kramlich et al. 1973). Air atau es juga berfungsi melarutkan bumbu-bumbu dan garam sehingga dapat tersebar lebih merata. Air akan banyak mempengaruhi tekstur produk, keawetan, dan penampakan. 2.8.4 Lada putih Lada atau merica merupakan rempah-rempah yang sering digunakan dalam pengolahan makanan. Lada sering ditambahkan pada saat memasak ikan atau daging. Lada mempunyai peranan dalam dehidrasi sehingga dapat berfungsi sebagai penghambat pertumbuhan mikroba dalam bahan pangan. Lada sangat digemari karena memiliki dua sifat penting yaitu rasanya yang pedas dan aromanya yang khas. Kedua sifat tersebut disebabkan kandungan bahan-bahan kimia organik yang terdapat pada lada. Rasa pedas lada disebabkan oleh adanya zat piperin dan piperanin serta hapisin (Rismunandar 1993).
18
2.8.5 Bawang putih (Allium sativum) Bawang putih berfungsi sebagai penambah aroma dan untuk meningkatkan citarasa produk yang dihasilkan. Bawang putih mengandung senyawa allisin, yang dapat menentukan bau khas bawang putih. Bawang putih juga mengandung beberapa vitamin diantaranya thiamin, niasin, riboflavin, asam askorbat, vitamin B, vitamin C dan mengandung β-karoten yang merupakan bentuk vitamin A dalam jumlah yang sedikit (Wibowo 1999). Karakteristik bawang putih akan terlihat apabila dilakukan pemotongan atau perusakan jaringan (Palungkun dan Budiarti 1992). 2.8.6 Bawang merah (Allium ascalonicum L.) Bawang merah umumnya digunakan sebagai bumbu masak. Bawang merah memiliki kandungan kimia sebagian besar terdiri dari air sekitar 80-85%, protein sebesar 1,5%, lemak sebesar 0,3% dan karbohidrat sebesar 9,2%. Selain itu, umbi bawang merah juga terdapat suatu senyawa yang mengandung ikatan asam amino yang tidak berbau, tidak berwarna dan dapat larut dalam air. Ikatan asam amino ini disebut dengan allin yang karena sesuatu hal berubah menjadi allicin (Wibowo 1999). Bawang merah berperan sebagai antioksidan, berdasarkan penelitian diketahui bahwa ekstrak bawang merah dapat menurunkan bilangan peroksida dan kadar asam lemak bebas sebagai indikasi tingkat kerusakan minyak (Panagan 2010). 2.8.7 Perasa ayam Pemicu pengunaan bahan perasa karena langkanya bahan baku yang menjadi dasar pembuatan produk itu sendiri. Misalnya saja pada hasil pertanian, biasanya bahan pangan yang dihasilkan mengalami perubahan mutu dan rasa seiring dengan perubahan musim dan iklim. Padahal perbedaan mutu dan rasa tersebut tidak diinginkan oleh konsumen, sehingga dalam produk industri dipakailah bahan perasa untuk mentabilkan mutu dan rasa. Berdasarkan segi pembuatannya, perasa dibedakan menjadi dua, yaitu flavor natural (alami) dan sintetis (buatan). Perasa alami diambil dari bahanbahan alami, misalnya rasa bawang maka diambil dari ekstrak bawang dan rasa ayam diambil dari sari ayam. Sedangkan untuk perasa buatan dihasilkan dari
19
bahan-bahan sintetis, seperti bahan-bahan kimia yang berasal dari turunan minyak bumi (LPPOM 2010). Penggunaan perasa dari bahan sintetis pada bahan pangan perlu diperhatikan kadar pemakaiannya, karena pada perasa sintetis terdapat bahan kimia yang sengaja ditambahkan untuk menghasilkan turunan rasa yang diinginkan. Untuk bahan perasa alami tidak dibatasi dalam pemakaiannya. Pemakaian bahan perasa dapat menguntungkan bagi produsen misal dapat menghasilkan berbagai rasa hanya dengan menambahkan perasa (flavor) serta meminimalkan biaya produksi (Irham 2009). Jenis perasa yang ditambahkan dalam pembuatan sosis yaitu bahan perasa alami. Perasa alami yang ditambahkan yaitu kaldu ayam. Saripati ayam atau dikenal dengan kaldu ayam sejak lama telah diketahui bahwa memiliki manfaat yang besar dalam menjaga stamina tubuh. Cara termudah untuk mendapatkan saripati ayam ialah membuat sendiri kaldu ayam atau membeli suplemen sariparti ayam yang tersedia di pasaran. Pembeda antara keduanya, hanya terletak pada kadar lemak yang sudah dihilangkan pada produk suplemen saripati ayam. Tidak mengherankan, orang China sering membuat sup kaldu ayam untuk mengobati penderita masuk angin. Selain itu, khasiat dari kaldu ayam tidak terbatas pada stamina tapi juga meningkatkan daya ingat seseorang. Selain minyak ikan, saripati ayam juga dapat meningkatkan kinerja otak. Konsumsi saripati ayam sendiri diperuntukkan bagi semua umur. Saripati ayam juga tidak menimbulkan efek ketergantungan atau efek samping
sehingga tidak ada batasan dalam
mengkonsumsi saripati ayam (Kompas 2010). 2.8.8 Jahe (Zingiber officinale) Jahe dapat digunakan sebagai sebagai bumbu masak, pemberi aroma berbagai makanan dan minuman serta bahan obat-obatan tradisional. dan aneka keperluan lainnya. Kegunaan jahe antara lain dapat merangsang kelenjar pencernaan, baik untuk membangkitkan nafsu makan dan pencernaan. Sifat khas jahe disebabkan terdapatnya kandungan minyak atsiri dan oleoresin jahe. Minyak atsiri menyebabkan aroma harum jahe, sedangkan oleoresin menyebabkan rasa pedas. Kandungan minyak atsiri dalam jahe kering sekitar 1 – 3 %. Komponen utama minyak atsiri jahe yang menyebabkan bau harum adalah zingiberen dan
20
zingiberol. Oleoresin jahe banyak mengandung komponen pembentuk rasa pedas yang tidak menguap. Komponen dalam oleoresin jahe terdiri atas gingerol dan zingiberen, shagaol, minyak atsiri dan resin. Pemberi rasa pedas dalam jahe yang utama adalah zingerol (Koswaraa 2005). Bagian tumbuhan jahe yang digunakan adalah rimpang. Kandungan kimia dari rimpang jahe yaitu minyak atsiri yang terdiri dari senyawa-senyawa seskuiterpen, zingiberen, zingeron, oleoresin, kamfena, limonen, borneol, sineol, sitral, dan zingiberal. Disamping itu terdapat juga pati, damar, asam-asam organik seperti asam malat dan asam oksalat, Vitamin A, B, dan C, serta senyawa flavonoid dan polifenol (Matondang 2008). 2.9 Lemak Penambahan lemak dalam pembuatan sosis bertujuan untuk membentuk sosis yang kompak, empuk dan kelezatan sosis, lemak hewani ataupun minyak nabati dapat ditambahkan dalam pembuatan sosis (Erdiansyah 2006). Lemak yang ditambahkan pada sosis dapat berupa lemak nabati maupun lemak hewani, dengan kadar berkisar antara 5-25%. Keuntungan dari lemak nabati yaitu, mengandung kolesterol kandungan linoleat, oleat, dan linolenat yang lebih besar dibandingkan lemak hewani (Dotulong 2009). Sosis yang baik dapat dihasilkan dengan menggunakan penambahan lemak hewani. Dengan lemak hewani, tekstur sosis akan menjadi lebih baik. Sedangkan lemak nabati yang biasanya cair pada suhu kamar akan menghasilkan tekstur yang lebih lunak. Jumlah penambahan lemak dalam pembuatan sosis dibatasi untuk mempertahankan tekstur selama pengolahan dan penanganannya, lemak yang ditambahkan tidak boleh lebih dari 30% bobot daging (Erdiansyah 2006). 2.10 Selongsong Selongsong (casing) merupakan pembungkus yang digunakan untuk membungkus dan membentuk sosis. Terdapat tiga jenis selongsong (casing) yang sering digunakan dalam pembuatan sosis, yaitu alami, kolagen, serta selulosa. Selongsong alami biasanya terbuat dari usus alami hewan. Casing ini mempunyai keuntungan dapat dimakan, bergizi tinggi, dan melekat pada produk. Kerugian penggunaan casing ini adalah produk tidak awet casing kolagen biasanya berbahan baku dari kulit hewan besar. Keuntungan dari penggunaan selongsong ini adalah dapat diwarnai, bisa dimakan, dan melekat pada produk. Casing
21
selulosa biasanya berbahan baku pulp. Keuntungan casing selulosa adalah dapat dicetak atau diwarnai dan murah. Casing selulosa sangat keras dan dianjurkan untuk tidak dimakan. Saat ini telah dikembangkan poly amid casing, yaitu selongsong yang terbuat dari plastik. Casing jenis ini tidak bisa dimakan, dapat dibuat berpori atau tidak, bentuk dan ukurannya dapat diatur, tahan terhadap panas, dan dapat dicetak (Astawan 2008).
3
METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari – Juni 2011. Bertempat di Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan dan Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Laboratorium Organoleptik yang bertempat di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Laboratorium Pengolahan Pangan dan PAU (Pra Antar Universitas) di Depertemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 3.2 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) yang didapat dari Pasar Ciampea, garam, ISP (Isolat Soy Protein) yang didapat dari toko kimia Setia Guna, tepung tapioka, gula, lada putih, air/es, bawang putih, bawang merah, jahe, dan plastik. Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain timbangan digital, baskom, talenan, pisau, kompor, thermometer, panci, grinder, food processor, selongsong, sendok, benang kasur, stuffer, dan kain blacu. Alat yang digunakan untuk analisis produk meliputi timbangan analitik, oven, desikator, alat penjepit, gelas ukur, gelas piala, Texture analyzer, tabung reaksi, cawan petri, dan cawan porselen. 3.3 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan yaitu metode eksperimental. Metode eksperimental adalah salah satu metode yang paling tepat untuk menyelidiki hubungan sebab akibat variable yang digunakan. Penelitian ini dilakukan dalam dua tahapan, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. 3.3.1 Penelitian pendahuluan Penelitian pendahuluan bertujuan untuk mendapatkan kekuatan gel terbaik pada gel ikan. Perlakuan pada penelitian pendahuluan adalah frekuensi pencucian daging lumat (1 kali, 2 kali, dan 3 kali) dengan pencampuran garam yaitu sebesar 0,3% dari berat bahan untuk setiap perlakuan yang ditambahkan pada akhir pencucian setiap perlakuan Analisis yang dilakukan untuk mengetahui hasil
23
terbaik yaitu dengan pengujian sensori, analisis fisik (uji lipat, uji gigit, kekuatan gel dan perhitungan rendemen. Kemudian diolah menggunakan uji nonparametrik (Kruskal Wallis). Diagram alir penelitian pendahuluan dapat dilihat pada Gambar 4. Perlakuan pada penelitian pendahuluan: a) Pencucian daging lumat sebanyak 1 kali dengan konsentrasi garam 0,3% b/b b) Pencucian daging lumat sebanyak 2 kali dengan konsentrasi garam 0,3% b/b yang ditambahkan pada pencucian terakhir c) Pencucian daging lumat sebanyak 3 kali dengan konsentrasi garam 0,3% b/b yang ditambahkan pada pencucian terakhir Ikan Lele dumbo
Penyiangan
Pembuatan fillet + pembuangan kulit
Penggilingan
Daging lumat
Pencucian (air:daging = 3:1) air es+ garam 0,3% (b/b) 10 menit (5-10 °C)
Pencucian (air) 10menit (5-10 °C) Pemerasan
Pencucian (air) 10 menit (5-10 °C) Pemerasan
Pemerasan
Pencucian air + garam 0,3% (b/b) 10 menit (5-10 °C)
Pemerasan
Penimbangan
Pencucian (air) 10 menit (5-10 °C) Pemerasan Pencucian air + garam 0,3% (b/b) 10 menit (5-10 °C) Pemerasan
Pengadonan + garam 2,5% (b/b) Pencetakan dalam tabung stainless diameter 3,25 cm dan tinggi 3 cm Perebusan 45-50 °C (20 menit) dilanjutkan 80-90 °C (30 menit) Gel ikan
Gambar 4 Diagram alir pembuatan gel ikan pada penelitian pendahuluan
24
3.3.2 Penelitian utama Hasil pengujian yang mempunyai nilai terbaik dari penelitian pendahuluan digunakan dalam penelitian utama. Pada penelitian utama, sosis ikan dibuat dengan menggunakan surimi terbaik dari penelitian pendahuluan yang kemudian dilakukan penambahan IPK (Isolat Protein Kedelai) dengan konsentrasi yang berbeda. Selain itu, ditambahkan pula bumbu-bumbu antara lain garam, gula, lada putih, bawang putih, bawang merah, serta tepung tapioka sebesar 10% (dari berat total IPK+daging) dengan jumlah yang sama untuk tiap perlakuan. Konsentrasi bahan dan bumbu yang ditambahkan dalam penelitian utama dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Bahan dan bumbu pada penelitian utama Bahan dan bumbu Garam Gula
% bobot total (IPK + daging) 3% 1,5%
Bawang putih
3%
Bawang merah
4%
Lada putih
0,5%
Jahe
0,25%
Perasa ayam
1%
Ekstrak lemak (ayam)
3%
Tapioka
10%
Air dingin
100%
Perlakuan penambahan Isolat protein kedelai (IPK) pada penelitian utama dengan perhitungan dari berat total 100% (daging + IPK) : a) Penambahan IPK 10% dan daging 90% sebagai perlakuan 1 b) Penambahan IPK 13% dan daging 87% sebagai perlakuan 2 c) Penambahan IPK 16% dan daging 84% sebagai perlakuan 3 d) Penambahan IPK 19% dan daging 81% sebagai perlakuan 4 Selanjutnya dilakukan analisis fisik untuk menentukan konsentrasi penambahan IPK (Isolat Protein Kedelai) terbaik yaitu dengan pengujian sensori (warna, rasa, aroma, tekstur, penampakan), uji lipat, kekuatan gel, stabililitas
25
emulsi dan daya ikat air, serta dilakukan pula analisis kimia untuk mengetahui proksimat dari sosis ikan yang dihasilkan meliputi kadar air, kadar abu, protein, lemak dan karbohidrat. Pembuatan sosis ikan lele dumbo pada penelitian utama adalah sebagai berikut. Ikan lele dumbo disiangi, difillet dan dibuang kulitnya, serta digiling sehingga didapatkan daging lumat. Daging lumat dicuci dan diremas-remas dalam air dingin selama 10 menit sambil diaduk-aduk kemudian disaring dan diperas menggunakan kain blacu, pencucian diulangi sebanyak 2 kali dengan perbandingan antara air/es dengan daging lumat 3:1. Saat pencucian kedua dilakukan penambahan garam sebanyak 0,3 % dari berat daging. Surimi yang didapat selanjutnya diberi IPK dengan konsentrasi berbeda (10%, 13%, 16% dan 19%) pada setiap perlakuan, kemudian ditambahkan bahan pengisi berupa tepung tapioka sebesar 10% (dari berat total antara daging dan IPK). Selanjutnya ditambahkan bumbu-bumbu (dari berat total antara daging dan IPK): garam 3%, gula 1,5%, lada putih 0,5%, bawang merah 4%, bawang putih 3%, lemak 3%, jahe 0,25%, dan perasa ayam 1% dengan jumlah yang sama untuk setiap perlakuan. Pengadonan dilakukan hingga homogen dengan food processor selama ± 10 menit dan ditambahkan air dingin/es dengan perbandingan berat total 1:1. Adonan yang telah homogen kemudian dimasukkan ke dalam selongsong menggunakan stuffer dengan ukuran panjang untuk masing-masing sosis 10 cm dan diikat dengan benang kasur. Perebusan dilakukan sebanyak 2 tahap, perebusan pertama dilakukan pada suhu 45-50 °C selama 20 menit dan dilanjutkan perebusan kedua dengan suhu 80-90 °C selama 30 menit. Sosis ikan dapat diangkat dan didinginkan. Diagram alir pembuatan sosis ikan lele pada penelitian utama dapat dilihat pada Gambar 5. 3.4 Prosedur Analisis Teknik pengujian ada dua cara, yaitu secara subyektif dan secara obyektif. Analisis obyektif yang dilakukan meliputi analisis kimia dan analisis fisik. Analisis kimia dilakukan untuk sosis daging ayam (pembanding) dan sosis ikan lele dumbo yang dihasilkan meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar karbohidrat. Analisis fisik dilakukan pada sosis ikan yang
26
dihasilkan meliputi kekuatan gel, daya ikat air, stabilitas emulsi. Analisis secara subyektif dilakukan dengan cara uji organoleptik. Ikan lele dumbo Penyiangan
Pemfiletan + skinless
Penggilingan
Pencucian
Pemerasan Surimi hasil pencucian
Tepung tapioka, Isolat Protein Kedelai 10,13,16,19% (berat total IPK+ daging)
Pencampuran dan pengadonan ±10 menit
Gula, garam, bawang merah, bawang putih, lada putih, lemak hewani, perasa ayam dan jahe
Pemasukan dalam selongsong (pencetakan)
Pengikatan dengan panjang 10 cm
Perebusan 45-50 °C (20 menit) dilanjutkan 80-90 °C (30 menit)
Pendinginan
Sosis ikan
Gambar 5 Diagram alir pembuatan sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) pada penelitian utama
27
3.4.1 Uji organoleptik (Rahayu 1998) Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji kesukaan (hedonik), panelis diminta
untuk
memberikan
tanggapan
tentang
tingkat
kesukaan
atau
ketidaksukaan. Tingkatannya disebut skala hedonik, kemudian ditransformasikan menjadi skala numerik dengan angka menaik menurut tingkat kesukaannya. Dalam penelitian ini digunakan sembilan skala hedonik yang menunjukkan tingkat kesukaan. Pelaksanaan uji dilakukan dengan cara menyajikan sosis ikan yang dihasilkan dengan pemberian kode (menggunakan bilangan acak) dan panelis diminta untuk memberikan penilaian pada score sheet yang telah disediakan. Panelis yang dibutuhkan sebanyak 30 panelis semi terlatih. Parameter uji meliputi rasa, warna, aroma, tekstur dan penampakan. Parameter rasa dinilai pada saat memakan sosis. Parameter warna dan aroma dinilai dengan melihat dan mencium aroma sosis. Parameter tekstur dinilai dengan perabaan oleh lidah pada saat sosis dimakan. Lembar uji organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 1 untuk gel ikan lele dumbo dan Lampiran 4 untuk sosis ikan lele dumbo. 3.4.2 Analisis kimia Analisis kimia yang dilakukan pada penelitian pembuatan sosis ikan ini meliputi analisis kadar air, kadar abu, kadar lemak, protein dan karbohidrat. 1) Analisis kadar air (AOAC 1995) Penentuan kadar air didasarkan pada perbedaan berat contoh sebelum dan sesudah dikeringkan. Mula-mula cawan kosong dikeringkan dalam oven selama 30 menit dengan suhu 105 °C, lalu didinginkan dengan desikator selama 15 menit, kemudian ditimbang. Sebanyak 5 gram contoh dimasukkan ke dalam cawan kemudian dikeringkan dalam oven 100-102 °C selama 6 jam. Cawan didinginkan dalam desikator selama 30 menit, kemudian ditimbang kembali. Kadar air dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Kadar air (berat basah) : W3 X 100% W1 Keterangan : W1 : Berat contoh W2 : Berat contoh setelah dikeringkan W3 : Kehilangan berat (W1-W2)
28
2) Analisis kadar abu (AOAC 1995) Cawan dibersihkan dan dikeringkan dalam oven selama 30 menit pada suhu 105 °C, lalu didinginkan dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang. Sebanyak 5 gram contoh ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam cawan. Sampel dipanaskan di atas kompor listrik hingga uap air hilang atau sampai beratnya tetap. Selanjutnya dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600 °C selama 8 jam. Lalu didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang. Kadar abu ditentukan dengan rumus: Kadar abu (%) :
Berat abu Berat contoh
X 100%
3) Analisis kadar protein (AOAC 1995) Kadar protein ditetapkan berdasarkan oksidasi bahan-bahan berkarbon dan konversi nitrogen menjadi ammonia. Selanjutnya ammonia bereaksi dengan kelebihan asam membentuk ammonium sulfat. Larutan dibuat menjadi basa dan ammonia diuapkan untuk kemudian diserap dalam larutan asam borat. Nitrogen yang terkandung dalam larutan dapat ditentukan dengan titrasi menggunakan HCl 0,02 N. Penetapan kadar protein menggunakan metode Kjeldahl-mikro. Sebanyak 2 gram contoh dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl, lalu ditambahkan 1 tablet Kjeldahl dan 20 ml H2SO4 pekat. Kemudian didestruksi di ruang asam sampai cairan jernih, kemudian didinginkan. Cairan yang diperoleh selanjutnya ke dalam labu takar 100 ml, dipipet sebanyak 10 ml ke dalam alat destilasi serta ditambahkan 10 ml NaOH pekat. Hasil destilasi ditampung dalam 10 ml asam borat (H3BO3) 4%, lalu dititrasi dengan larutan standar HCl 0,02 N sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu atau biru. Kadar protein dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Nitrogen (%) : (ml HCl-ml blanko) x N HCl x 14,007 x fp mg sampel
X
100%
4) Analisis kadar lemak (AOAC 1995) Contoh diekstrak dengan pelarut heksana. Pelarut yang digunakan diuapkan sehingga tersisa lemak dari contoh. Lemak tersebut kemudian ditimbang
29
dan dihitung presentasenya. Penentuan kadar lemak dilakukan dengan metode ekstraksi Soxhlet. Sebanyak 5 gram contoh yang telah dihaluskan, dibungkus dengan kertas saring, selanjutnya dimasukkan ke dalam alat ekstraksi Soxhlet, lalu dialiri dengan air melalui kondensor. Pelarut heksana dituangkan ke dalam labu lemak secukupnya sesuai dengan ukuran soxhlet yang digunakan dan dilakukan refluks selama minimal 6 jam sampai pelarut turun kembali ke labu lemak. Pelarut di dalam labu lemak didestilasi dan ditampung. Labu lemak berisi lemak hasil ekstraksi kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105 °C selama 5 jam. Labu lemak kemudian didinginkan dalam desikator selama 20-30 menit dan ditimbang. Berat residu dalam labu lemak dinyatakan sebagai berat lemak. Kadar lemak dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Kadar lemak (%) : Berat lemak (gram) Berat sampel (gram)
X
100%
5) Analisis kadar karbohidrat by difference Kadar karbohidrat dihitung dengan menghitung sisa (by diffrerence) yaitu dengan rumus sebagai berikut : Kadar karbohidrat (%) : 100% - (% air + % abu + % protein + % lemak)
3.4.3 Analisis Fisik Analisis fisik yang dilakukan untuk menguji sosis ikan ini antara lain analisis kekuatan gel, daya mengikat air (DMA), stabilitas emulsi, uji gigit dan uji lipat. 1) Kekuatan gel Pengukuran kekuatan gel (kekerasan) sosis dilakukan secara obyektif dengan menggunakan Texture analyzer (TA-XT21). Tingkat kekerasan sosis ikan dinyatakan dalam gram force tiap cm2(gf/cm2) yang berarti besarnya gaya tekan untuk memecah deformasi produk. Sampel diletakkan di bawah probe berbentuk silinder pada tempat penekanan, dengan sisi lebar ke atas, kemudian dilakukan penekanan terhadap sampel dengan probe silinder tersebut. Kecepatan alat ketika menekan sampel adalah 1 mm/s. Tekanan dilakukan sebanyak satu kali. Hasil
30
pengukuran akan tercetak pada kertas grafik dan dapat dilihat tinggi saat sampel benar-benar pecah. Nilai tertinggi pada grafik menunjukkan nilai kekuatan gel pada suatu bahan. 2) Water Holding Capacity (WHC) (Hamm 1972 diacu dalam Wahyuni 1992) Daya ikat air dapat diukur dengan menggunakan alat carverpress. Sampel sebanyak 0,3 gram diletakkan di kertas saring dan dijepit dengan carverpress, yaitu diantara dua plat jepitan berkekuatan 35 kg/cm2 selama 5 menit. Kertas saring yang digunakan yaitu Whatman 1 no 40. Luas area basah yaitu luas air yang diserap kertas saring akibat penjepitan, dengan kata lain selisih luas antara lingkaran luar dan dalam kertas saring. Bobot air bebas (jumlah air dalam sosis yang terlepas) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: Berat air : Luas area basah - 8,0 0,0948 % air bebas : Berat air x 100 % 3000mg WHC = kadar air total daging (%) - kadar air bebas (%) 3) Stabilitas emulsi ( AOAC 1995) Pengukuran kestabilan emulsi dilakukan berdasarkan prinsip yaitu mengukur kestabilan emulsi sosis terhadap perubahan suhu yang ekstrim. Sampel sosis dihancurkan, lalu ditimbang sebanyak 5 gram dan dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 45 °C selama 1 jam. Kemudian dimasukkan ke dalam pendingin bersuhu 0 °C selama 1 jam. Sampel dimasukkan kembali ke dalam oven pada suhu 45 °C selama 1 jam. Pengamatan dilakukan terhadap kemungkinan terjadinya pemisahan air dari emulsi. Jika terjadi pemisahan, maka emulsi dikatakan tidak stabil dan tingkat kestabilananya dihitung berdasarkan persentase fase terpisah terhadap emulsi keseluruhan. Stabilitas emulsi dapat dihitung dengan rumus berikut: SE (%) = Berat fase yang tersisa x 100% Berat total bahan emulsi
31
4) Uji lipat (Nasran dan Tambunan 1974 diacu dalam Purwandari 1999) Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat elastisitas sosis. Uji ini dilakukan dengan cara mengiris produk setebal 4-5 mm, yang hasil irisannya dilipat dengan tangan, diantara ibu jari dan telunjuk, kemudian dilipat untuk diamati kondisinya. Hasil pengamatan pada bagian lipatan dikonversikan dengan score sheet yang telah disediakan yang dapat dilihat pada Lampiran 2 untuk gel ikan lele dumbo dan Lampiran 5 untuk sosis ikan lele dumbo. 5) Uji gigit (Nasran dan Tambunan 1974 diacu dalam Purwandari 1999) Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kekenyalan sosis. Uji ini dilakukan secara subjektif dari 30 panelis. Sampel sosis yang ingin diuji diiris dengan ukuran setebal 5 mm. Pengujian dilakukan dengan cara menggigit sampel antara gigi seri atas dan bawah, kemudian diamati daya lentingnya. Hasil pengamatan pada bagian gigitan dikonversikan dengan score sheet yang telah disediakan yang dapat dilihat pada Lampiran 3 untuk gel ikan lele dumbo dan Lampiran 6 untuk sosis ikan lele dumbo. 6) Rendemen Rendemen daging dihitung dengan membandingkan antara berat daging dengan berat ikan utuh. Ikan lele dumbo utuh ditimbang sebagai berat awal (a). kemudian dilakukan penyiangan dengan membuang kulit, tulang, isi perut dan kepala lalu ditimbang sebagai berat akhir (b). Rendemen daging dihitung dengan persamaan berikut ini. Rendemen daging = b x 100% a Rendemen surimi dihitung dengan membandingkan berat surimi dengan berat ikan utuh. Ikan lele dumbo ditimbang sebagai berat awal (a), kemudian daging lele tersebut dilumatkan, dilakukan pencucian dan pemerasan lalu ditimbang sebagai berat akhir (c). Selanjutnya rendemen surimi dihitung dengan persamaan berikut ini. Rendemen surimi = c x 100% a
32
3.4.4 Analisis mikrobiologi Total Plate Count (TPC) Analisis mikrobiologi dilakukan terhadap Total Plate Count menggunakan media PCA (Potato Count Agar). Sampel sebanyak 25 gram disiapkan dan dicampurkan dengan 225 ml Buffered Peptone Water, lalu dihomogenkan. Selanjutnya dinyatakan pengenceran ke 1 (101). Pipet 1 ml dari pengenceran ke 1, dimasukkan ke dalam 9 ml Buffered Peptone Water, dilakukan sampai ke pengenceran 106 (101 s/d 106). Sebanyak 1 ml dari masing-masing pengencer dipipet dalam cawan petri steril secara single dan duplo. Selanjutnya dituangkan 18-20 ml media PCA yang telah dicairkan yang bersuhu 45 ± 1°C ke dalam setiap cawan petri. Campuran diratakan dengan membuat gerakan angka 8 pada tempat yang datar dan dibiarkan hingga membeku. Selanjutnya semua cawan petri dimasukkan dalam lemari pengeram (incubator) dengan posisi terbalik dan inkubasikan pada suhu 35 ± 1°C selama 24 – 28 jam. Pertumbuhan koloni dicatat pada setiap cawan yang mengandung 25 – 250 koloni setelah 48 jam. Kemudian angka lempeng total dalam cawan tersebut dihitung dengan mengalikan jumlah rata-rata koloni pada cawan dengan faktor pengenceran yang digunakan (sesuai). 3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian pendahuluan adalah nonparametrik (Kruskal Wallis) sedangkan penelitian utama menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu faktor dengan empat taraf. a) Penelitian pendahuluan Faktor yang dikaji dalam penelitian pendahuluan adalah perbedaan pencucian terhadap daging lumat yaitu sebanyak 1, 2, dan 3 kali. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan analisis statistika nonparametrik menggunakan uji Kruskal-Wallis melalui perangkat lunak Statictical Package for Social Science (SPSS) 13.0. Jika hasil analisis berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji lanjut Multiple comparison. b) Penelitian utama Faktor yang dikaji pada penelitian utama yaitu perbedaan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) yaitu 10%, 13%, 16%, dan 19% pada pembuatan sosis ikan. Model umum rancangan acak lengkap (RAL) satu faktor dengan empat taraf yang digunakan adalah sebagai berikut :
33
Yij = μ + τi + εij Keterangan : Yij μ τi εij
= Nilai pengamatan pada taraf ke-i dan ulangan ke-j (j=1,2) = Nilai tengah atau rataan umum pengamatan = Pengaruh metode pengolahan pada taraf ke-i (i=1,2,3) = Galat atau sisa pengamatan taraf ke-i dengan ulangan ke-j Hipotesa terhadap data hasil uji fisik pada berbagai penambahan
konsentrasi isolat protein kedelai adalah sebagai berikut: H0 = Penambahan IPK dengan konsentrasi berbeda tidak memberikan pengaruh terhadap uji fisik sosis ikan lele dumbo H1 = Penambahan IPK dengan konsentrasi berbeda memberikan pengaruh terhadap uji fisik sosis ikan lele dumbo Jika uji F pada ANOVA memberikan pengaruh yang berbeda terhadap kekuatan gel, WHC, dan stabilitas emulsi sosis ikan lele dumbo maka dilanjutkan dengan uji Duncan.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Penelitian Pendahuluan Pada penelitian pendahuluan dilakukan penentuan frekuensi pencucian daging lumat yang tepat (1 kali pencucian, 2 kali pencucian dan 3 kali pencucian) dalam menghasilkan gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Hasil frekuensi pencucian terbaik diketahui dengan cara menguji karakteristik fisik (uji lipat, uji gigit dan kekuatan gel) dan uji sensori (hedonik). Surimi yang dihasilkan pada penelitian pendahuluan dengan sifat fisika-kimia dan sensori terbaik dijadikan bahan dasar dalam pembuatan produk sosis ikan pada penelitian utama. 4.1.1 Karakteristik fisik surimi Surimi yang dihasilkan dari perlakuan frekuensi pencucian daging lumat dilakukan analisis fisik seperti analisis rendemen, uji lipat dan uji gigit. a) Rendemen Rendemen dari suatu ikan merupakan rasio berat antara daging dengan berat ikan utuh. Menurut Hadiwiyoto (1993), perhitungan rendemen digunakan untuk memperkirakan berapa banyaknya bagian dari tubuh ikan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan. Rendemen yang dianalisis meliputi rendemen daging dan rendemen surimi. Hasil analisis rendemen daging dari berat ikan utuh sebesar 10000 gram didapat daging lumat sebesar 3102 gram dan rendemen daging lumat sebesar 31,02%. Frekuensi pencucian 1 kali bobot surimi yang didapat sebesar 630 gram dan rendemen surimi sebesar 18,9%. Frekuensi pencucian 2 kali bobot surimi yang didapat sebesar 624 gram dan rendemen surimi sebesar 18,72%. Frekuensi pencucian 3 kali bobot surimi yang didapat sebesar 619 gram dan rendemen surimi sebesar 17,7%. Rendemen daging ikan lele yang didapatkan sebesar 31,02%, sedangkan rendemen surimi yang dihasilkan yaitu 18,9%, 18,72% dan 17,7%. Rendemen surimi tertinggi yaitu pada perlakuan frekuensi pencucian 1 kali. Nilai rendemen surimi ikan lele dumbo ini semakin menurun dengan semakin banyaknya pencucian. Pada frekuensi pencucian 1 kali menurunkan nilai rendemen daging sebesar 12,12 %, pada pencucian 2 kali menurunkan rendemen daging sebesar
35
12,3% dan pada pencucian 3 kali menurunkan rendemen daging sebesar 13,32%. Rendemen daging yang semakin menurun ini dikarenakan, adanya proses pencucian. Semakin banyak frekuensi pencucian akan menyebabkan semakin banyak komponen yang akan terlarut bersama air antara lain protein sarkoplasma, pigmen, lemak, dan darah (Reynolds et al. 2002). Hasil dari ketiga perlakuan tersebut, dapat dilihat perbedaan rendemen serta diketahui bahwa pencucian 1 kali memberikan rendemen tertinggi. Pencucian ini dilakukan bertujuan untuk menghasilkan mutu gel yang baik dan kuat namun tetap memperoleh rendemen yang tinggi. Oleh karena itu, frekuensi pencucian yang terpilih yaitu sebanyak 2 kali, dengan asumsi memiliki rendemen yang masih tinggi dan dapat menghasilkan gel yang baik. Menurut penelitian sebelumnya, pencucian yang dilakukan terhadap daging lumat yaitu sebanyak 2 kali. Pencucian pertama dengan air untuk menghilangkan protein sarkoplasma, dan pencucian kedua dengan penambahan 0,3% garam untuk melarutkan protein miofibril dan membentuk sol aktomiosin (Astawan et al. 1996). b) Uji lipat
Salah satu cara pengujian kualitas gel surimi yang dihasilkan dapat dilakukan dengan uji lipat. Nilai rata-rata uji lipat gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan perlakuan frekuensi pencucian daging lumat dapat dilihat pada Gambar 6.
Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Kode: B1L : Frekuensi pencucian 1 kali A2Y : Frekuensi pencucian 2 kali T3M : Frekuensi pencucian 3 kali
Gambar 6 Histogram rata-rata uji lipat gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
36
Nilai rata-rata uji lipat pada gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah 3,83-4,70. Penilaian terhadap uji lipat gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan perlakuan perbedaan frekuensi pencucian yaitu tidak retak setelah dilipat menjadi
setengah
lingkaran
dan
seperempat
lingkaran.
Hasil
analisis
Kruskal-Wallis dapat dilihat pada Lampiran 8. Perlakuan frekuensi pencucian daging lumat memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata uji lipat gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Hal ini diduga karena pencucian dapat meningkatkan kekuatan gel dengan semakin pekatnya protein miofibril, sehingga berpengaruh terhadap uji lipat yang dihasilkan. Hasil uji lipat berkaitan langsung dengan tekstur gel terutama kekuatan gel. Semakin baik hasil uji lipat (makin sukar retak), maka mutu gel ikan yang dihasilkan pun semakin baik (Shaban et al. 1985 dalam Santoso et al. 1997). Hasil uji lanjut Multiple comparison disajikan pada Lampiran 9, diperoleh bahwa perlakuan frekuensi pencucian 3 kali menghasilkan nilai rata-rata uji lipat yang berbeda nyata dengan pencucian 1 kali, sedangkan dengan pencucian 2 kali tidak menghasilkan nilai rata-rata uji lipat yang berbeda nyata. Hal ini diduga karena proses pencucian dapat menghilangkan protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel sehingga pada frekuensi pencucian 2 kali menghasilkan nilai rata-rata uji lipat yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan pencucian 1 kali. Nilai rata-rata uji lipat pada pencucian 2 mengalami kenaikan, sedangkan pada pencucian 3 kali mengalami penurunan diduga karena menurunnya kekuatan gel akibat konsentrasi protein miofibril yang juga menurun. Miofibril sangat berperan dalam penggumpalan dan pembentukan gel pada daging ikan yang diolah (Erdiansyah 2006). Kadar air yang tinggi pun diduga dapat menurunkan kekuatan gel pada pencucian ketiga. Pencucian yang berulang pun dapat meningkatkan sifat hidrofilik daging, yang membuat penghilangan air menjadi sulit dan daging mengembang (Kaba 2006). c) Uji gigit Uji gigit digunakan untuk mengukur tingkat elastisitas surimi secara sensori. Nilai rata-rata uji gigit dengan perlakuan frekuensi pencucian daging lumat ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dapat dilihat pada Gambar 7.
37
Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Kode: B1L : Frekuensi pencucian 1 kali A2Y : Frekuensi pencucian 2 kali T3M : Frekuensi pencucian 3 kali
Gambar 7 Histogram rata-rata uji gigit gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Nilai rata-rata uji gigit gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah 6,90-7,63. Penilaian terhadap uji gigit gel ikan lele dumbo dengan perlakuan perbedaan frekuensi pencucian yaitu dapat diterima hingga agak kuat. Hasil analisis Kruskal-Wallis dapat dilihat pada Lampiran 10. Perlakuan frekuensi pencucian daging lumat memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata uji gigit gel ikan lele dumbo. Uji gigit digunakan untuk mengukur tingkat elastisitas surimi secara sensori, keelastisan ini berhubungan dengan kekuatan gel surimi. Pencucian dapat meningkatkan kekuatan gel surimi sehingga diduga juga berpengaruh terhadap nilai uji gigit yang dihasilkan. Surimi yang baik adalah surimi yang memiliki kekuatan gel yang tinggi (Park 2000). Hasil uji lanjut Multiple comparison disajikan pada Lampiran 11, diketahui bahwa perlakuan pencucian 1 kali berbeda nyata terhadap pencucian 3 kali, sedangkan dengan pencucian 2 kali tidak berbeda nyata. Proses pencucian dapat menghilangkan protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel (Riesnawaty 2007). Hal ini diduga meningkatkan nilai rata-rata uji gigit gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) yang dihasilkan pada frekuensi pencucian 2 kali jika dibandingkan pencucian 1 kali. Pada frekuensi pencucian 3 kali pun menghasilkan nilai rata-rata uji gigit yang lebih tinggi dibandingkan frekuensi pencucian 2 kali. Peningkatan frekuensi pencucian secara terus-menerus dapat
38
menghilangkan residu protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel pada daging lumat (Kaba 2006). d) Kekuatan gel Kekuatan gel merupakan salah satu uji fisik yang umumnya dilakukan pada bahan pangan untuk mengetahui tingkat gelasi produk tersebut. Nilai rata-rata kekuatan gel pada gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan perlakuan frekuensi pencucian daging lumat dapat dilihat pada Gambar 8.
Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Kode: B1L : Frekuensi pencucian 1 kali A2Y : Frekuensi pencucian 2 kali T3M : Frekuensi pencucian 3 kali
Gambar 8 Histogram kekuatan gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Nilai kekuatan gel pada gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah 483,25-683,35 gf. Hasil analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 13. Perlakuan perbedaan frekuensi pencucian daging lumat tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai kekuatan gel pada gel ikan lele dumbo. Nilai rata-rata kekuatan gel cenderung menurun dengan bertambahnya frekuensi pencucian. Pencucian daging ikan tidak mempengaruhi kualitas gel yang dihasilkan, manakala NaCl (garam) digunakan (Astawan et al. 1996). Berdasarkan hasil ini, diketahui bahwa perbedaan frekuensi pencucian tidak memenuhi asumsi bahwa dapat memperbaiki kekuatan gel ikan lele dumbo. Kekuatan gel dipengaruhi oleh penggunaan air saat dilakukan pencucian. Pada pencucian sebanyak 2 dan 3 kali nilai kekuatan gel menurun dan diduga dipengaruhi oleh kadar air yang tinggi. Pencucian yang berulang-ulang dapat meningkatkan sifat hidrofilik daging, yang
39
membuat penghilangan air dalam daging menjadi sulit dan daging mengembang (Kaba 2006). 4.1.2 Karakteristik sensori gel ikan Analisis sensori merupakan analisis yang dilakukan menggunakan kepekaan indera manusia (panelis). Analisis sensori yang dilakukan adalah uji kesukaan (hedonik), panelis diminta untuk memberikan tanggapan tentang tingkat kesukaan atau ketidaksukaan. Tingkatan-tingkatannya disebut skala hedonik, dalam analisisnya ditransformasikan menjadi skala numerik dengan angka yang semakin naik menurut tingkat kesukaannya (Rahayu 1998). a) Penampakan Penampakan merupakan salah satu parameter yang menentukan tingkat penerimaan dari panelis yang dinilai dengan penglihatan antara lain bentuk, ukuran, warna dan sifat-sifat permukaan (halus, kasar, suram, mengkilap, homogen, heterogen dan datar bergelombang). Nilai rata-rata penampakan gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dilihat pada Gambar 9.
Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Kode: B1L : Frekuensi pencucian 1 kali A2Y : Frekuensi pencucian 2 kali T3M : Frekuensi pencucian 3 kali
Gambar 9 Histogram rata-rata penampakan gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Nilai rata-rata penampakan gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah 6,53-6,77. Penilaian terhadap penampakan gel ikan lele dumbo dengan perlakuan perbedaan frekuensi pencucian yaitu agak suka. Hasil analisis Kruskal-Wallis
40
dapat dilihat pada Lampiran 14. Perlakuan frekuensi pencucian daging lumat tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap penampakan gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Hal ini menunjukkan bahwa panelis memiliki tingkat kesukaan yang sama untuk semua penampakan gel ikan lele dumbo. Penampakan secara keseluruhan, dari ketiga hasil gel ikan dengan perbedaan frekuensi pencucian yang dihasilkan tidak terlalu berbeda dari bentuk dan tampilan. Semakin banyak frekuensi pencucian menyebabkan penampakan akan semakin baik, karena hilangnya pigmen, lemak, darah, serta protein sarkoplasma yang menyebabkan gel ikan pada pencucian sebanyak 3 kali terlihat lebih rapi, putih dan kompak jika dibandingkan dengan gel ikan lele dumbo pada pencucian 1 kali. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya kemampuan daging untuk membentuk gel dengan meningkatkan konsentrasi aktomiosin serta berkurangnya protein sarkoplasma (Astawan et al. 1996). b) Warna
Warna
memegang
peranan
penting
dalam
penerimaan
makanan
bersama-sama dengan bau, rasa, tekstur dan penampakan. Nilai rata-rata warna gel ikan lele dumbo dengan perlakuan frekuensi pencucian daging lumat dapat dilihat pada Gambar 10.
Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Kode: B1L : Frekuensi pencucian 1 kali A2Y : Frekuensi pencucian 2 kali T3M : Frekuensi pencucian 3 kali
Gambar 10 Histogram rata-rata warna gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
41
Nilai rata-rata warna gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah 6,40-6,90. Penilaian terhadap penampakan gel ikan lele dumbo dengan perlakuan perbedaan frekuensi pencucian yaitu agak suka. Hasil analisis Kruskal-Wallis dapat dilihat pada Lampiran 15. Perbedaan frekuensi pencucian daging lumat tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata warna gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Hal ini menunjukkan bahwa panelis memiliki tingkat kesukaan yang sama untuk semua warna gel ikan lele dumbo yang dihasilkan dan memperlihatkan bahwa panelis masih menyukainya pada semua perlakuan berdasarkan hasil uji sensori. Semakin banyak frekuensi pencucian yang dilakukan, terlihat bahwa nilai rata-rata warna gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) semakin meningkat. Hal ini didukung oleh literatur yang didapat, bahwa tujuan dari pencucian surimi adalah untuk meningkatkan kemampuan pengikat gel dan meningkatkan kualitas warna dan aroma (Muhibuddin 2010). Artinya semakin banyak frekuensi pencucian akan menghasilkan warna yang lebih baik terhadap surimi ikan lele dumbo. c) Aroma
Aroma merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan kualitas bahan makanan. Aroma makanan lebih banyak dipengaruhi oleh panca indera penciuman. Nilai rata-rata aroma gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan perlakuan frekuensi pencucian daging lumat dapat dilihat pada Gambar 11.
Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Kode: B1L : Frekuensi pencucian 1 kali A2Y : Frekuensi pencucian 2 kali T3M : Frekuensi pencucian 3 kali
Gambar 11 Histogram rata-rata aroma gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
42
Nilai rata-rata aroma gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) yang dihasilkan yaitu 6,10-6,13. Penilaian terhadap aroma gel ikan lele dumbo dengan perlakuan perbedaan frekuensi pencucian yaitu agak suka. Hasil analisis Kruskal-Wallis dapat dilihat pada Lampiran 16, menunjukkan bahwa perlakuan frekuensi pencucian daging lumat tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata aroma gel ikan lele dumbo. Artinya panelis memiliki tingkat kesukaan yang sama untuk semua aroma gel ikan lele dumbo. Hal ini disebabkan pada proses pembuatan gel ikan ini tidak ada penambahan bumbu lain kecuali garam ke tiap-tiap perlakuan. Garam yang ditambahkan hampir tidak berbau, sehingga ketika diaplikasikan ke dalam produk tidak menimbulkan aroma yang spesifik. d) Rasa
Rasa merupakan faktor yang sangat menentukan suatu produk dapat diterima atau tidak oleh konsumen. Rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan interaksi dengan komponen rasa lain (Winarno 2008). Hasil nilai rata-rata rasa gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus), dengan perlakuan berbagai frekuensi pencucian dapat dilihat pada Gambar 12.
Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Kode: B1L : Frekuensi pencucian 1 kali A2Y : Frekuensi pencucian 2 kali T3M : Frekuensi pencucian 3 kali
Gambar 12 Histogram rata-rata rasa gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Nilai rata-rata rasa gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah 6,00-6,13. Penilaian terhadap rasa gel ikan lele dumbo dengan perlakuan
43
perbedaan frekuensi pencucian yaitu agak suka. Hasil analisis Kruskal-Wallis dapat dilihat pada Lampiran 17. Perlakuan frekuensi pencucian daging lumat tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata rasa gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Nilai rata-rata rasa gel ikan lele dumbo yang dihasilkan untuk setiap perlakuan relatif sama. Rasa yang dihasilkan dari gel ikan ini diduga lebih dipengaruhi oleh bumbu yang ditambahkan kedalam adonan. Namun karena penggunaan garam dengan konsentrasi yang sama untuk setiap perlakuan, maka panelis cenderung memberikan penilaian yang sama. Garam yang ditambahkan sebesar 2,5% (b/b) pada saat pencampuran berfungsi bukan sebagai bumbu, melainkan untuk meningkatkan kekuatan ionik daging dan mengekstrak aktomiosin sehingga terbentuk sol (Astawan et al. 1996). e) Tekstur Tekstur berhubungan dengan tingkat kekerasan atau keempukan suatu produk. Menurut Rompis (1998), tekstur juga dapat diartikan sebagai halus tidaknya suatu irisan pada saat produk disentuh dengan jari panelis. Penilaian terhadap tekstur berasal dari sentuhan oleh permukaan kulit, biasanya menggunakan ujung jari tangan sehingga dapat dirasakan tekstur suatu bahan. Nilai rata-rata tekstur gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan perlakuan frekuensi pencucian daging lumat dapat dilihat pada Gambar 13.
Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Kode: B1L : Frekuensi pencucian 1 kali A2Y : Frekuensi pencucian 2 kali T3M : Frekuensi pencucian 3 kali
Gambar 13 Histogram rata-rata tekstur gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
44
Nilai rata-rata tekstur gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah 6,23-6,83. Penilaian terhadap tekstur gel ikan lele dumbo dengan perlakuan perbedaan frekuensi pencucian yaitu agak suka. Hasil analisis Kruskal-Wallis dapat dilihat pada Lampiran 18. Perlakuan frekuensi pencucian daging lumat tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata tekstur gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Nilai rata-rata tekstur tertinggi pada frekuensi pencucian 3 kali. Hal ini diduga karena proses pencucian dapat memperbaiki tekstur gel ikan yang dihasilkan menjadi lebih kompak dengan menghilangkan senyawa-senyawa pengotor. Proses pencucian dilakukan untuk menghilangkan bau amis, pigmen, lemak dan terutama untuk menghilangkan protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel (Toyoda et al. 1992).
4.2 Penelitian Utama Penelitian utama dilakukan sebagai lanjutan dari penelitian pendahuluan. Frekuensi pencucian yang terpilih berdasarkan uji sensori, uji fisik dan analisis rendemen yang dilakukan yaitu sebanyak 2 kali. Tujuan dari penelitian ini yaitu agar menghasilkan gel yang kuat namun dengan tekstur yang tidak terlalu keras (elastis) dan tetap mementingkan rendemen yang dihasilkan. Penelitian utama ini dilakukan dengan perlakuan perbedaan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) pada produk sosis ikan lele dumbo. Hasil produk sosis ikan terbaik diketahui dengan cara menguji karakteristik fisik meliputi uji lipat, uji gigit, kekuatan gel, stabilitas emulsi, daya mengikat air (WHC), uji organoleptik (sensori), dan TPC (Total Plate Count). 4.2.1 Karakteristik fisik sosis ikan Sosis ikan yang dihasilkan dengan perlakuan penambahan IPK (Isolat Protein Kedelai) dengan konsentrasi yang berbeda, diuji secara fisik yang meliputi uji lipat, uji gigit, kekuatan gel, stabilitas emulsi, dan Water Holding Capacity. a) Uji lipat Uji lipat ini dilakukan untuk mengetahui tingkat elastisitas sosis yang dihasilkan (Purwandari 1999). Uji lipat ini dilakukan untuk mengetahui tingkat elastisitas sosis yang dihasilkan. Nilai rata-rata uji lipat sosis ikan lele dumbo
45
(Clarias gariepinus) dengan perlakuan perbedaan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) dapat dilihat pada Gambar 14.
Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Kode: SA3 : Penambahan IPK konsentrasi 10% VB5 : Penambahan IPK konsentrasi 13% XC3 : Penambahan IPK konsentrasi 16% FD4 : Penambahan IPK konsentrasi 19%
Gambar 14 Histogram rata-rata uji lipat sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Nilai rata-rata uji lipat pada sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah 4,00-4,57. Penilaian terhadap uji lipat sosis ikan lele dumbo yaitu sosis tidak retak setelah dilipat menjadi setengah lingkaran. Hasil analisis Kruskal-Wallis dapat dilihat pada Lampiran 20. Perlakuan perbedaan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata uji lipat sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Isolat protein kedelai memiliki sifat higroskopis. Semakin tinggi kadar IPK yang ditambahkan, maka akan semakin banyak air dalam adonan yang akan terserap. Hal ini yang menyebabkan tekstur sosis menjadi lebih kompak (Widodo 2008). Hasil uji lanjut Multiple comparison disajikan pada Lampiran 21. Perlakuan IPK konsentrasi 10% menghasilkan nilai rata-rata uji lipat yang berbeda nyata dengan perlakuan IPK konsentrasi 16% dan 19%, sedangkan dengan perlakuan IPK konsentrasi 13% tidak berbeda nyata. Semakin banyak jumlah IPK yang ditambahkan maka tekstur yang dihasilkan pun akan semakin keras dan kompak. Penambahan IPK diduga akan meningkatkan jumlah ikatan silang antar protein (Widodo 2008). Tekstur dan kekuatan gel dari sosis itu sendiri berpengaruh
46
terhadap uji lipat yang dilakukan, semakin kompak tekstur dari sosis maka uji lipat yang dihasilkan pun akan semakin lebih baik. Uji lipat memiliki korelasi positif dengan kekuatan gel, dimana peningkatan pada kekuatan gel diikuti dengan meningkatnya uji lipat (Agustini et al. 2008). b) Uji gigit Uji gigit dilakukan untuk mengukur tingkat elastisitas dari sosis ikan lele dumbo yang dihasilkan secara sensori. Nilai rata-rata uji gigit sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan perbedaan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) dapat dilihat pada Gambar 15.
Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Kode: SA3 : Penambahan IPK konsentrasi 10% VB5 : Penambahan IPK konsentrasi 13% XC3 : Penambahan IPK konsentrasi 16% FD4 : Penambahan IPK konsentrasi 19%
Gambar 15 Histogram rata-rata uji gigit sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Nilai rata-rata uji gigit pada sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah 6,20-7,02. Penilaian terhadap uji gigit sosis ikan lele dumbo berkisar antara dapat diterima hingga cukup kuat. Hasil analisis Kruskal-Wallis dapat dilihat pada Lampiran 22. Perlakuan perbedaan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata uji gigit sosis ikan lele dumbo. Uji gigit digunakan untuk mengukur tingkat elastisitas sosis secara sensori, elastisitas ini berhubungan dengan kekuatan gel dari sosis tersebut. Penambahan IPK (Isolat Protein Kedelai) dengan konsentrasi yang berbeda berpengaruh terhadap elastisitas sosis, maka berpengaruh pula
47
terhadap uji gigit yang dihasilkan. Hal ini disebabkan IPK (Isolat Protein Kedelai) memiliki sifat fungsional dalam membentuk elastisitas karena terjadinya ikatan disulfida (Koswara 1992). Selain itu IPK merupakan bahan pengikat yang memiliki kemampuan dalam mengikat air dan lemak dan kemampuannya membentuk gel selama pemanasan (Wulandhari 2007). Hasil uji lanjut Multiple comparison disajikan pada Lampiran 23. Perlakuan IPK konsentrasi 10% dan 13% menghasilkan nilai rata-rata uji gigit yang berbeda nyata dengan perlakuan IPK konsentrasi16% dan 19%. Kadar IPK memiliki korelasi positif terhadap elatisitas atau kekenyalan sosis. Semakin tinggi konsentrasi IPK yang ditambahkan maka akan semakin meningkat kekenyalannya dan meningkatkan nilai uji gigit. Hal ini dikarenakan semakin tinggi kandungan protein dari IPK maka akan semakin banyak ikatan silang dan gel yang terbentuk, akibatnya tekstur akan semakin kenyal dan kompak (Yulianti 2003). c) Kekuatan gel Kekuatan gel merupakan salah satu uji fisik yang umumnya dilakukan pada bahan pangan untuk mengetahui tingkat gelasi produk tersebut. Nilai rata-rata kekuatan gel sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan perbedaan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai dapat dilihat pada Gambar 16.
Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Kode: SA3 : Penambahan IPK konsentrasi 10% VB5 : Penambahan IPK konsentrasi 13% XC3 : Penambahan IPK konsentrasi 16% FD4 : Penambahan IPK konsentrasi 19%
Gambar 16 Histogram kekuatan gel sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Nilai kekuatan gel sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah 192,45-292,45 gf. Hasil analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 25. Perlakuan
48
perbedaan penambahan konsentrasi IPK memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai kekuatan gel sosis ikan lele dumbo. Nilai rata-rata kekuatan gel pada sosis ikan ini cenderung meningkat dengan bertambahnya konsentrasi IPK yang ditambahkan. Sifat fungsional lain dari protein adalah kemampuannya dalam membentuk gel. Pembentukan gel protein ini dapat juga digunakan untuk peningkatan penyerapan air, pengikatan partikel dan stabilitas emulsi (Koswara 1992). Hasil uji lanjut Multiple comparison disajikan pada Lampiran 25. Perlakuan IPK konsentrasi 10% menghasilkan nilai rata-rata uji gigit yang berbeda nyata dengan perlakuan IPK konsentrasi 19%, sedangkan dengan perlakuan IPK konsentrasi 13% dan 16% menghasilkan nilai rata-rata uji gigit yang tidak berbeda nyata. Pembentukan gel atau gelasi dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain konsentrasi, pH, adanya komponen lain, serta perlakuan panas ketika pemasakan (Yulianti 2003). Nilai kekuatan gel yang tinggi berhubungan dengan tingginya komponen protein yang ditambahkan dengan rendahnya komponen lemak, serta konsentrasi penambahan air (Huda et al. 2010). Faktor-faktor ini diduga mempengaruhi nilai kekuatan gel sehingga nilainya pun berbeda-beda. Penambahan konsentrasi protein yang semakin tinggi maka kekuatan gel pun akan semakin tinggi (Hua et al. 2003). d) Water Holding Capacity (WHC) Water Holding Capacity (WHC) merupakan suatu nilai yang menunjukan kemampuan protein daging untuk mengikat air atau cairan baik yang berasal dari dirinya maupun yang berasal dari luar yang ditambahkan. Nilai daya ikat air pada sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan perbedaan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) dapat dilihat pada Gambar 17. Nilai WHC (Water Holding Capacity) sosis ikan lele dumbo yaitu 78,42-84,79%. Hasil analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 27. Perlakuan perbedaan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai WHC sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Terjadi peningkatan nilai WHC yang signifikan dari konsentrasi 10%, 13%, 16% dan 19%.
49
Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Kode: SA3 : Penambahan IPK konsentrasi 10% VB5 : Penambahan IPK konsentrasi 13% XC3 : Penambahan IPK konsentrasi 16% FD4 : Penambahan IPK konsentrasi 19%
Gambar 17 Histogram WHC sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Hal ini membuktikan bahwa semakin tinggi konsentrasi isolat protein yang ditambahkan maka akan meningkatkan nilai daya ikat air. Penambahan bahan pengikat dalam pembuatan sosis bertujuan untuk meningkatkan daya ikat air karena IPK (Isolat Protein Kedelai) memiliki sifat higroskopis (Koswara 1992). Semakin meningkatnya WHC atau daya mengikat air sosis dengan semakin tingginya kadar protein diduga terjadi karena adanya gugus-gugus polar dan non polar pada protein. Protein terdiri dari gugus polar dan nonpolar (Kumar et al. 2002). Gugus-gugus polar tersebut akan berinteraksi dengan ion hidrogen dari air yang bersifat polar pula. Interaksi antara protein-protein dan protein-air akan membentuk jaringan tiga dimensi yang kaku dan mampu memperangkap sejumlah air. Semakin tinggi kandungan protein maka akan semakin banyak air yang terikat dan mengakibatkan nilai WHC pun akan meningkat. WHC atau daya ikat air pun sangat dipengaruhi oleh kandungan air, protein, dan penggunaan garam (Kramlich 1971). d) Stabilitas emulsi Stabilitas emulsi dari suatu produk khususnya sosis dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain pH, konsentrasi garam, jumlah penambahan air dan suhu
penggilingan.
Nilai
stabilitas
emulsi
sosis
ikan
lele
dumbo
50
(Clarias gariepinus) dengan perbedaan penambahan konsentrasi IPK dapat dilihat pada Gambar 18.
Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Kode: SA3 : Penambahan IPK konsentrasi 10% VB5 : Penambahan IPK konsentrasi 13% XC3 : Penambahan IPK konsentrasi 16% FD4 : Penambahan IPK konsentrasi 19%
Gambar 18 Histogram stabilitas emulsi sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Nilai stabilitas emulsi sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah 56,09-61,23%. Hasil analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 29. Perlakuan perbedaan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai stabilitas emulsi sosis ikan lele dumbo. Nilai stabilitas emulsi pada sosis ikan ini mengalami fluktuasi dengan semakin tinggi konsentrasi IPK yang ditambahkan. Menurut Yulianti (2003), pembentukan gel protein dapat digunakan untuk peningkatan penyerapan air, pengikatan partikel dan stabilitas emulsi. Bahan pengikat IPK berfungsi sebagai emulsifier. Isolat protein yang ditambahkan sebagai emulsifier ke dalam sistem yang terdiri dari air dan lemak, maka yang terbentuk adalah emulsi fase dua cairan dan satu padatan. Partikelpartikel padatan akan menstabilkan emulsi bila berada di lapisan yang terletak diantara kedua cairan. Adsorpsi oleh protein terjadi karena interaksi hidrofobik antara protein dengan permukaan lemak. Pada suatu sistem emulsi yang berperan tidak hanya bahan pengikat saja, melainkan lemak dan air. Lemak selain berperan sebagai pemberi rasa lezat pada sosis, berperan pula untuk pembentukan emulsi.
51
Jika lemak yag ditambahkan tidak tepat maka akan dihasilkan emulsi yang tidak kuat (Kramlich 1971). Lemak yang ditambahkan pada pembuatan sosis ikan ini dalam konsentrasi yang rendah yaitu sebesar 3 % untuk setiap perlakuan. Hal ini yang menyebabkan stabilitas emulsi pada konsentrasi 16% dan 19% nilainya menurun. Stabilitas emulsi sosis dipengaruhi oleh konsentrasi garam yang ditambahkan, jumlah penambahan air serta suhu penggilingan. Stabilitas emulsi akan rusak jika daging digiling pada suhu di atas 16 °C, hal ini disebabkan oleh pada suhu tersebut protein akan mulai terdenaturasi sehingga molekul lemak tidak dapat diikat lagi oleh molekul protein dalam suatu matriks ikatan. Dampak positif dari stabilitas emulsi yaitu menghasilkan sosis dengan sifat irisan halus, tekstur kenyal, kompak dan tidak berongga (Chamidah 2008). Emulsifikasi juga dipengaruhi oleh konsentrasi isolat protein kedelai dan pH (Torrezan 2006). 4.2.2 Karakteristik sensori gel ikan Analisis sensori yang dilakukan adalah uji kesukaan (hedonik) terhadap gel ikan lele dumbo. Panelis diminta untuk memberikan tanggapan tentang tingkat kesukaan atau ketidaksukaan. Tingkatan-tingkatannnya disebut skala hedonik, dalam analisisnya ditransformasikan menjadi skala numerik dengan angka menaik menurut tingkat kesukaannya (Rahayu 1998). Analisis sensori yang dilakukan meliputi parameter penampakan, warna, aroma, rasa dan tekstur yang dinilai dengan menggunakan kepekaan indera. a) Penampakan Penampakan produk memegang peranan penting dalam hal penerimaan konsumen, karena penilaian awal dari suatu produk adalah penampakannya sebelum faktor lain dipertimbangkan secara visual. Penampakan merupakan parameter yang menentukan penerimaan dari panelis karena banyak sifat mutu komoditas dinilai dengan penglihatan misalnya bentuk, ukuran, warna dan sifat permukaan (halus, kasar, buram, cerah, homogen, heterogen, datar dan bergelombang).
Nilai
rata-rata
penampakan
sosis
ikan
lele
dumbo
(Clarias gariepinus) dengan perbedaan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) dapat dilihat pada Gambar 19.
52
Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Kode: SA3 : Penambahan IPK konsentrasi 10% VB5 : Penambahan IPK konsentrasi 13% XC3 : Penambahan IPK konsentrasi 16% FD4 : Penambahan IPK konsentrasi 19%
Gambar 19 Histogram rata-rata penampakan sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Nilai rata-rata penampakan sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah 6,57-7,10. Penilaian panelis terhadap penampakan sosis ikan lele dumbo yaitu agak suka hingga suka. Hasil analisis Kruskal-Wallis dapat dilihat pada Lampiran 30. Perlakuan perbedaan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata penampakan sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Penampakan merupakan parameter yang diamati secara keseluruhan dari bentuk, warna dan sifat permukaan. Penampakan dari sosis ikan yang dihasilkan relatif sama, hanya sedikit perbedaan dari warna pada tiap perlakuan, yaitu semakin banyak konsentrasi IPK yang ditambahkan warna sosis pun menjadi agak gelap. Isolat protein kedelai secara fisik berupa bubuk halus berwarna krem atau kecoklatan (Kumar et al. 2002). Hal ini yang menyebabkan penilaian panelis semakin menurun dari konsentrasi IPK terkecil hingga konsentrasi IPK terbesar. Penambahan IPK dapat berfungsi sebagai zat aditif untuk memperbaiki tekstur dan aroma produk sehingga mempengaruhi penampakan produk (Mervina 2009). b) Warna Warna menjadi faktor yang menarik dalam penerimaan suatu produk oleh panelis. Nilai rata-rata warna pada sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
53
dengan perbedaan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) dapat dilihat pada Gambar 20.
Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Kode: SA3 : Penambahan IPK konsentrasi 10% VB5 : Penambahan IPK konsentrasi 13% XC3 : Penambahan IPK konsentrasi 16% FD4 : Penambahan IPK konsentrasi 19%
Gambar 20 Histogram rata-rata warna sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Nilai rata-rata warna pada sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah 6,00-6,53. Penilaian panelis terhadap tekstur sosis ikan lele dumbo yaitu agak suka. Hasil analisis Kruskal-Wallis dapat dilihat pada Lampiran 31. Perlakuan perbedaan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata warna sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Warna sosis dipengaruhi oleh bahan pengisi dan bahan pengikat yang ditambahkan. Tepung tapioka yang digunakan sebagai bahan pengisi sedikitnya dapat mempengaruhi warna sosis yang dihasilkan. Faktor lainnya adalah bahan pengikat, yaitu isolat protein kedelai secara fisik berupa bubuk halus berwarna krem atau kecoklatan (Kumar et al. 2002). Jika ditambahkan dalam konsentrasi kecil tidak akan mempengaruhi warna sosis. Pada penelitian ini, IPK yang ditambahkan dengan konsentrasi yang cukup besar yaitu 10%, 13%, 16% dan 19%. Hal ini yang menyebabkan penilaian panelis semakin menurun dengan bertambahnya konsentrasi IPK. Kurang disukainya warna sosis tersebut kemungkinan besar karena sosis berwarna agak coklat muda dan tidak cerah. Penambahan dalam jumlah besar dapat menyebabkan warna produk menjadi
54
coklat sehingga menurunkan mutu sensori (warna dan rasa) produk akhir (Wulandhari 2007). c) Aroma Aroma merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap suatu produk. Bau yang dapat diterima oleh indera penciuman, umumnya lebih banyak campuran empat bau yaitu harum, asam, tengik dan hangus (Winarno 2007). Nilai rata-rata aroma sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan perbedaan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) dapat dilihat pada Gambar 21.
Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Kode: SA3 : Penambahan IPK konsentrasi 10% VB5 : Penambahan IPK konsentrasi 13% XC3 : Penambahan IPK konsentrasi 16% FD4 : Penambahan IPK konsentrasi 19%
Gambar 21 Histogram rata-rata aroma sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Nilai rata-rata aroma pada sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah 5,30-5,93. Penilaian panelis terhadap aroma sosis ikan lele dumbo yaitu agak suka. Hasil analisis Kruskal-Wallis dapat dilihat pada Lampiran 32. Perlakuan perbedaan penambahan konsentrasi IPK tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata aroma sosis ikan lele dumbo. Aroma dipengaruhi oleh bumbu dan kaldu yang ditambahkan ke dalam adonan, namun dikarenakan jenis dan konsentrasi yang ditambahkan sama maka aroma yang dihasilkan dari tiap sosis pun sama. Bumbu-bumbu, kaldu dan ekstrak lemak ayam memiliki sifat volatil akibat proses pemasakan.
55
Pada perlakuan IPK 19% penilaian rata-rata aroma menurun. Hal ini diduga karena semakin banyak konsentrasi IPK yang ditambahkan akan mempengaruhi aroma dari sosis yang dihasilkan, dengan kata lain aroma IPK mendominasi aroma sosis ikan tersebut. Penambahan dalam jumlah besar dapat memberikan bau dan cita rasa langu sehingga menurunkan mutu sensori produk akhir (Wulandhari 2007). Penambahan isolat protein kedelai dengan konsentrasi tinggi pada produk olahan seperti baso dan burger mempengaruhi penilaian sensori dan menurunkan aroma produk tersebut (Katarzyna dan Krystyna 2008). d) Rasa Rasa merupakan faktor yang mempengaruhi penilaian terhadap suatu produk dapat diterima atau tidak oleh konsumen. Rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan interaksi dengan komponen rasa lain (Winarno 2008).Nilai rata-rata rasa sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan perbedaan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) dapat dilihat pada Gambar 22.
Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Kode: SA3 : Penambahan IPK konsentrasi 10% VB5 : Penambahan IPK konsentrasi 13% XC3 : Penambahan IPK konsentrasi 16% FD4 : Penambahan IPK konsentrasi 19%
Gambar 22 Histogram rata-rata rasa sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Nilai rata-rata rasa pada sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah 5,33-6,53. Penilaian panelis terhadap rasa sosis ikan lele dumbo berada antara biasa hingga agak suka. Hasil analisis Kruskal-Wallis yang dapat dilihat pada Lampiran 33. Perlakuan perbedaan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein
56
Kedelai) memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata rasa sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Rasa sosis dipengaruhi dari beberapa faktor, yaitu jenis bumbu, konsentrasi bumbu, bahan pengisi serta bahan pengikat yang ditambahkan. Jenis bumbu serta konsentrasi yang digunakan untuk tiap perlakuan sama. Penggunaan bahan pengisi seperti tepung tapioka dapat berpengaruh nyata terhadap tekstur dan rasa pada sosis ikan (Nurhayati 1996). Hasil uji lanjut Multiple comparison disajikan pada Lampiran 34. Perlakuan IPK konsentrasi 10% menghasilkan nilai rata-rata rasa yang berbeda nyata dengan perlakuan IPK konsentrasi 13%, 16% dan 19%. Hal ini terlihat dari histogram rata-rata rasa, penurunannya terlihat signifikan dari konsentrasi terendah hingga konsentrasi tertinggi. Rasa pada sosis ikan lele dumbo tersebut dipengaruhi dari banyaknya IPK yang ditambahkan. IPK (Isolat Protein Kedelai) dengan konsentrasi 1% yang ditambahkan ke dalam adonan, tidak mempengaruhi rasa sosis (Widodo 2008). Akan tetapi, konsentrasi IPK yang ditambahkan pada sosis ikan pada penelitian ini cukup tinggi yaitu 10%, 13%, 16% dan 19%. Semakin tinggi kadar IPK yang ditambahkan, akan mempengaruhi rasa sosis yang dihasilkan, karena dapat menghasilkan rasa agak pahit. Rasa pahit ini disebabkan oleh adanya senyawa-senyawa glikosida dalam biji kedelai. Diantara glikosidaglikosida tersebut soyasaponin dan sapogenol merupakan penyebab rasa pahit yang utama dalam kedelai dan produk non fermentasi. Penambahan dalam jumlah besar dapat menyebabkan warna produk menjadi coklat dan memberikan bau dan cita rasa langu sehingga menurunkan mutu sensori (warna dan rasa) produk akhir (Wulandhari 2007). e) Tekstur Tekstur dapat diartikan sebagai halus tidaknya suatu irisan pada saat produk disentuh dengan jari panelis (Rompis 1998). Tekstur berhubungan dengan tingkat kekerasan atau keempukan suatu produk. Penilaian terhadap tekstur berasal dari sentuhan oleh permukaan kulit, biasanya menggunakan ujung jari tangan sehingga dapat dirasakan tekstur suatu bahan. Nilai rata-rata tekstur sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan perbedaan penambahan konsentrasi IPK dapat dilihat pada Gambar 23.
57
Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Kode: SA3 : Penambahan IPK konsentrasi 10% VB5 : Penambahan IPK konsentrasi 13% XC3 : Penambahan IPK konsentrasi 16% FD4 : Penambahan IPK konsentrasi 19%
Gambar 23 Histogram rata-rata tekstur sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Nilai rata-rata tekstur pada sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah 6,47-7,23. Penilaian panelis terhadap tekstur sosis ikan lele dumbo berada antara agak suka hingga suka. Hasil analisis Kruskal-Wallis dapat dilihat pada Lampiran 35. Perlakuan perbedaan penambahan konsentrasi IPK memberikan berbeda memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata tekstur sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Tekstur sosis dapat dipengaruhi berdasarkan jenis bahan pengikat yang ditambahkan. Isolat protein kedelai merupakan jenis bahan pengikat yang mengandung protein yang tinggi. Kandungan protein ini akan meningkatkan jumlah ikatan silang antar protein yang menyebabkan tekstur akan menjadi lebih kompak. Hasil uji lanjut Multiple comparison disajikan pada Lampiran 36. Perlakuan IPK konsentrasi 10% menghasilkan nilai rata-rata tekstur yang berbeda nyata dengan perlakuan IPK konsentrasi 19%, sedangkan dengan perlakuan IPK konsentrasi 13% dan 16% menghasilkan nilai rata-rata tekstur yang tidak berbeda nyata. Hal ini membuktikan bahwa antara IPK konsentrasi terendah dengan konsentrasi tinggi dapat menghasilkan tekstur sosis yang berbeda. Sosis yang ditambahkan IPK akan menyebabkan tekstur menjadi lebih kompak, karena penambahan IPK akan meningkatkan jumlah ikatan silang antar protein
58
(Widodo 2008). Tekstur memiliki korelasi yang positif pula dengan kekuatan gel. Semakin tinggi penilaian tekstur yang dihasilkan, tinggi pula nilai kekuatan gel sosis tersebut. Selain itu, diduga proses pemasakan dapat mempengaruhi tingkat keempukan sosis, karena bertujuan untuk mengkoagulasikan protein sehingga menghasilkan sosis dengan tekstur yang kompak, karena protein kedelai termasuk protein globular dan juga larut pada larutan garam, sehingga akan terekstrak dan menyebar rata pada adonan, saat perebusan terbentuklah matrik protein yang rigid (Yulianti 2003). 4.2.3 Karakteristik kimia dan mikrobiologi sosis Analisis kimia yang dilakukan untuk menguji sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) yaitu analisis proksimat (kadar air, kadar abu, protein, lemak dan karbohidrat). Analisis mikrobiologi yang dilakukan yaitu analisis TPC (Total Plate Count). Sosis ikan lele dumbo yang dihasilkan dengan perbedaan perlakuan penambahan frekuensi IPK (Isolat Protein Kedelai) yaitu 10%, 13%, 16% dan 19%, diduga memiliki karakteristik kimia yang tidak jauh berbeda. Oleh karena itu, analisis proksimat dan uji TPC yang dilakukan hanya untuk sosis dengan perlakuan yang terpilih dari hasil uji indeks kinerja. Metode bayes (uji indeks kinerja) merupakan teknik yang digunakan untuk pengambilan keputusan dari beberapa alternatif berdasarkan tingkat kepentingannya pada suatu bahan pangan. Tahap metode bayes meliputi perangkingan, penentuan nilai eigen, perkalian dengan matriks sekawan, dan pembobotan. Tahap perangkingan dilakukan dengan oleh panelis terlatih maupun pendapat ahli gizi. Parameter yang dinilai yaitu warna, rasa, penampakan, tekstur dan aroma. Sosis yang terpilih berdasarkan metode bayes yaitu sosis dengan penambahan IPK konsentrasi 13%. 4.2.3.1 Analisis proksimat Analisis proksimat merupakan salah satu jenis analisis kimia yang umumnya dilakukan untuk menguji bahan pangan. Analisis proksimat ini dilakukan untuk mengetahui komposisi kimia dari suatu bahan pangan secara kasar. Analisis yang dilakukan meliputi analisis kadar air, kadar abu, protein, lemak dan karbohidrat by difference. Hasil analisis proksimat dan TPC (Total Plate Count) sosis ikan lele dumbo dapat dilihat pada Tabel 6.
59
Tabel 6 Hasil analisis proksimat dan TPC sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) No. 1 2 3 4 5 6
Komposisi Kadar air (% bb) Protein (%bb) Lemak (%bb) Kadar abu (%bb) Karbohidrat (%bb) TPC (cfu/gr)
Hasil 79,6 15,97 0,61 1,60 2,22 5
Standar SNI Maks. 67 Min. 13 Maks. 25 Maks. 3 Maks. 8 Maks. 105
a) Kadar air Air merupakan komponen yang penting dalam makanan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur dan cita rasa (Winarno 2008). Kadar air merupakan komponen penyusun terbesar. Nilai kadar air sosis ikan lele dumbo dengan perlakuan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) dapat dilihat pada Tabel 6. Nilai kadar air yang diperoleh yaitu sebesar 79,6%. Kadar air dari sosis ini terbilang tinggi. Kadar air maksimal untuk sosis daging yaitu maksimal 67% (bb) SNI (1995). Hal ini disebabkan oleh komposisi air yang digunakan dalam pembuatan sosis berbeda dari sosis pada umumnya. Air yang ditambahkan ke dalam adonan sosis dalam jumlah yang lumayan besar, yaitu dengan perbandingan 1:1. Artinya, ketika adonan yang digunakan dengan bobot total 100 gr, maka air yang digunakan pun sebanyak 100 ml. Hal ini disebabkan oleh tujuan dari penelitian ini yaitu untuk membandingkan dengan sosis komersial, maka formula yang digunakan untuk membuat tekstur sosis ini menjadi lentur dan kenyal seperti sosis-sosis siap makan yang sudah beredar di pasaran. Pemakaian air yang terbilang tinggi ini dikarenakan perlakuan penambahan IPK (Isolat Protein Kedelai). Semakin banyak konsentrasi IPK yang ditambahkan, akan menyebabkan adonan menjadi semakin menyatu, karena sifat IPK itu sendiri sebagai bahan pengikat. Oleh karena itu diperlukan penambahan air dalam jumlah yang tinggi agar membuat adonan sosis dengan penambahan IPK menjadi kalis. Kadar air pada sosis dapat dipengaruhi berdasarkan jumlah pati maupun jumlah es yang ditambahkan (Rompis 1998). Kadar air yang tinggi diduga jumlah bakteri patogen telah meningkat, dengan semakin banyak jumlah bakteri maka air yang
60
dihasilkan dari metabolisme akan memberikan sumbangan kadar air dalam sosis (Chamidah 2008). b) Kadar abu Kadar abu yang terukur merupakan bahan-bahan anorganik yang tidak terbakar dalam proses pengabuan, sedangkan bahan-bahan organik akan terbakar (Winarno 2004). Kadar abu merupakan komponen penyusun terkecil kedua sebelum kadar lemak. Nilai kadar abu sosis ikan lele dumbo dengan perlakuan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) dapat dilihat pada Tabel 6. Nilai kadar abu yang diperoleh yaitu sebesar 1,60%. Kadar abu sosis ini lebih rendah dan masuk dalam batas yang diizinkan oleh SNI sosis daging, yaitu maksimal 3% (bb). Kandungan abu menggambarkan jumlah mineral total yang terdapat pada makanan. Abu yang terdapat dalam daging umumnya terdiri dari fosfor, kalsium, iron, magnesium, sulfur, sodium dan potassium. Kandungan abu pada sosis ini berasal dari kandungan mineral yang sebagian besar terdapat pada ikan lele dumbo dan garam yang ditambahkan seperti Kalsium (Ca), Phosfor (P), Besi (Fe), Natrium (Na), dan Kalium (K) (Rosa et al. 2007). c) Protein Protein merupakan salah satu zat makanan yang penting bagi tubuh, karena selain berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh, berperan pula sebagai zat pembangun dan pengatur (Winarno 2004). Protein merupakan komponen penyusun terbesar kedua setelah kadar air. Nilai protein sosis ikan lele dumbo dengan perlakuan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) dapat dilihat pada Tabel 6. Nilai protein yang diperoleh yaitu sebesar 15,97%. Kadar protein sosis ini terbilang cukup tinggi. Kandungan protein minimal untuk sosis daging yaitu 13% (bb) (SNI 1995). Kadar protein pada sosis ikan lele dumbo ini tinggi karena dipengaruhi oleh bahan pengikat yang ditambahkan yaitu IPK (Isolat Protein Kedelai). IPK (Isolat Protein Kedelai) merupakan salah satu hasil isolasi protein kedelai selain tepung dan konsentrat protein kedelai. Isolat protein merupakan bentuk protein paling murni dengan kadar protein minimal 95% (berdasarkan berat kering). Isolat protein hampir bebas dari karbohidrat, serat, dan lemak sehingga sifat fungsionalnya jauh lebih baik dibandingkan dengan konsentrat protein maupun tepung kedelai (Kumar et al. 2002). Daging olahan
61
tanpa bahan pengawet memiliki asam amino lebih banyak (menunjukkan kandungan protein lebih tinggi) dibandingkan daging olahan dengan penambahan bahan pengawet (Husni et al. 2007). d) Lemak Lemak yang terkandung dalam bahan pangan yaitu lemak kasar dan merupakan
kandungan
total
lipida
dalam
jumlah
yang
sebenarnya
(Winarno 2004). Kadar lemak merupakan komponen terkecil dari kelima komposisi. Nilai lemak sosis ikan lele dumbo dengan perlakuan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) dapat dilihat pada Tabel 6. Nilai lemak yang diperoleh yaitu sebesar 0,61%. Kadar lemak sosis ini terbilang sangat rendah. Kandungan lemak maksimal untuk sosis daging yaitu 25% (bb) (SNI 1995). Hal ini dikarenakan, daging lumat yang digunakan sebagai bahan baku sudah mengalami pencucian 2 kali untuk dijadikan surimi. Proses pencucian dapat menghilangkan komponen-komponen pengganggu seperti darah, lemak, dan substansi lainnya (Kaba 2006). Kadar lemak sosis ini rendah karena lemak yang ditambahkan ke dalam adonan pun hanya sebesar 3% dari bobot total. Lemak yang ditambahkan pada sosis dapat berupa lemak nabati maupun lemak hewani, dengan kadar berkisar antara 5-25% (Erdiansyah 2006). e) Karbohidrat by difference Karbohidrat memiliki peranan dalam menentukan karakteristik bahan makanan seperti rasa, warna, tekstur dan lain-lain. Kandungan karbohidrat pada sosis dapat berbeda berdasarkan jenis dan jumlah pengisi yang ditambahkan. Kadar karbohidrat merupakan komponen penyusun terbesar setelah protein. Nilai kadar karbohidrat sosis ikan lele dumbo dengan perlakuan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) dapat dilihat pada Tabel 6. Nilai kadar karbohidrat yang diperoleh yaitu sebesar 2,22%. Karbohidrat sosis ini cukup rendah. Kadar karbohidrat maksimal untuk sosis daging yaitu maksimal 8% (bb) (SNI 1995). Karbohidrat pada ikan merupakan polisakarida, yaitu glikogen yang terdapat dalam sarkoplasma diantara miofibril-miofibril (Erdiansyah 2006). Glikogen yang terdapat dalam sarkoplasma ini larut saat pencucian pada tahap pembuatan surimi. Hal ini diduga yang menyebabkan kadar karbohidrat rendah.
62
Kandungan karbohidrat dalam sosis ikan ini diperoleh dari tepung tapioka dan gula yang ditambahkan. Tepung tapioka memiliki kadar pati sebesar 51,36% yang merupakan polisakarida dari unit D-glukosa (Harris 2001). Gula merupakan senyawa kimia yang termasuk karbohidrat yang sering digunakan sebagai pemanis, tetapi dalam industri pangan biasanya digunakan untuk menyatakan sukrosa yang diperoleh dari gula tebu (Buckle et al. 1987). Faktor lain yang menyebabkan kandungan karbohidrat pada sosis ini rendah yaitu dari jenis bahan pengikat yang ditambahkan, isolat protein kedelai merupakan salah satu produk kedelai yang tidak memiliki kandungan karbohidrat dibandingkan dengan tepung kedelai maupun konsentrat protein kedelai (Kumar et al. 2002). 4.2.3.2 Total Plate Count (TPC) Total Plate Count (TPC) merupakan analisis mikrobiologi yang dilakukan untuk menghitung jumlah total mikroorganisme yang terdapat pada suatu produk pangan. Jumlah total mikroorganisme akan menentukan mutu produk pangan. Nilai TPC sosis ikan lele dumbo dengan perlakuan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) dapat dilihat pada Tabel 6. Nilai TPC yang terdapat pada sampel sosis ikan lele dumbo tersebut sebesar 5 cfu/gr. TPC dari sosis ini terbilang cukup rendah. Nilai TPC maksimal untuk sosis daging yaitu maksimal 105 cfu/gr (SNI 1995). Mutu mikroorganisme itu sendiri dapat menentukan daya simpan suatu produk dan keamanan pangan yang ditentukan oleh jumlah spesies patogen yang terdapat dalam suatu produk (Buckle et.al 1987). Beberapa bumbu yang digunakan bersifat sebagai antioksidan sehingga dapat menghambat ketengikan serta memiliki aktivitas antimikroba sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroba merugikan (Soeparno 1994). Oleh karena sosis ikan lele dumbo ini memiliki jumlah total mikroorganisme yang lebih rendah dari batas aman maka produk tersebut aman untuk dikonsumsi. 4.2.4 Analisis uji perbandingan berpasangan Uji perbandingan berpasangan bertujuan untuk membandingkan produk terbaik hasil uji hedonik dengan produk komersial. Selain itu, untuk mengetahui kelemahan atau keunggulan dari produk baru dengan produk komersial (Rahayu 2001). Uji perbandingan berpasangan dilakukan dengan cara
63
membandingkan antara produk terpilih yaitu sosis ikan lele dumbo dengan sosis ayam komersial. Uji perbandingan pasangan dilakukan oleh 30 orang panelis dengan parameter yang diujikan adalah uji lipat, aroma, tekstur, penampakan, rasa, dan uji gigit. Produk terpilih berdasarkan penilaian dari hasil uji panelis adalah sosis ikan lele dumbo dengan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai sebanyak 10% dan 13%. Pemilihan produk terbaik berdasarkan indeks kinerja atau metode Bayes. Histogram uji perbandingan berpasangan dapat dilihat pada Gambar 24.
Gambar 24 Histogram uji perbandingan berpasangan sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan sosis komnersial Nilai rata-rata uji perbandingan berpasangan sosis ikan lele dumbo dengan penambahan isolat protein kedelai 13 %, dengan sosis ayam komersial pada parameter uji lipat, aroma, tekstur, dan uji gigit menghasilkan nilai positif. Hal ini menunjukkan mutu produk sosis ikan lele dumbo yang lebih disukai daripada sosis ayam komersial. Sedangkan pada parameter penampakan dan rasa menghasilkan nilai negatif yang menunjukkan bahwa panelis lebih menyukai produk komersial. Sosis ikan lele dumbo memiliki nilai uji lipat, uji gigit dan tekstur yang tidak berbeda dengan sosis komersial, ini membuktikan bahwa mutu gel yang terbentuk atau tingkat elastisitas antara sosis ikan lele dumbo dan sosis komersial sama. Penambahan isolat protein kedelai pada sosis ikan dapat memperbaiki tekstur dan kekuatan gel pada sosis ikan, karena IPK memiliki sifat higroskopis yang dapat menyerap air sehingga tekstur yang dihasilkan lebih kompak
64
(Widodo 2008). Aroma sosis ikan lele dumbo berasal dari bumbu-bumbu dan perasa ayam alami yang ditambahkan sehingga menimbulkan aroma yang lebih harum. Aroma dari sosis ikan lele dumbo ini lebih disukai dibandingkan sosis ayam komersial. Kaldu ayam yang ditambahkan pun selain untuk memperbaiki aroma dan rasa juga mempunyai kemampuan untuk meningkatkan kinerja otak . Analisis uji perbandingan yang dilakukan selanjutnya yaitu secara objektif dengan beberapa paramaeter uji antara lain kekuatan gel, daya ikat air (WHC) dan stabilitas emulsi. Berikut dapat dilihat hasil uji perbandingan berpasangan antara sosis ikan lele dumbo yang terpilih dan sosis komersial pada Tabel 7. Tabel 7 Hasil analisis uji perbandingan berpasangan secara objektif Parameter Kekuatan gel (gf) WHC (%) Stabilitas emulsi (%)
Sosis ikan lele dumbo
Sosis ayam komersial
220,55 79,36 61,23
338 94,05 100
Hasil analisis uji perbandingan secara objektif untuk parameter kekuatan gel, daya ikat air (WHC) dan stabilitas emulsi diketahui bahwa nilai untuk sosis ikan lele dumbo lebih rendah dibandingkan dengan sosis komersial. Kekuatan gel sosis ikan lele dumbo sebesar 220,55 (gf) hasil ini lebih rendah dibandingkan dengan sosis komersial. Hal ini disebabkan oleh penggunaan komposisi air pada pembuatan sosis ikan lele dumbo terlalu banyak yaitu dengan perbandingan 1:1 dari bobot total. Semakin tinggi jumlah air yang ditambahkan dapat mempengaruhi nilai kekuatan gel sosis yang dihasilkan. Kekuatan gel dipengaruhi oleh komponen protein yang ditambahkan serta rendahnya komponen lemak dan tingginya konsentrasi air yang ditambahkan (Huda et al. 2010). Daya ikat air atau water holding capacity (WHC) pada sosis ikan lele dumbo nilainya pun lebih rendah dibandingkan dengan sosis komersial yaitu sebesar 79,36%. Water Holding Capacity (WHC) merupakan suatu nilai yang menunjukan kemampuan protein daging untuk mengikat air atau cairan baik yang berasal dari dirinya maupun yang berasal dari luar yang ditambahkan. Semakin tinggi kandungan protein maka akan semakin banyak air yang terikat dan mengakibatkan nilai WHC pun akan meningkat. Namun, jumlah air yang ditambahkan pada adonan pembuatan sosis dalam konsentrasi yang besar dan
65
lebih banyak dibandingkan dengan protein yang ditambahkan, sehingga tidak semua air dapat terikat oleh protein yang ditambahkan. WHC atau daya ikat air sangat dipengaruhi oleh kandungan air dan protein (Kramlich 1971). Faktor lain yaitu perbedaan bahan pengikat yang digunakan antara kedua sosis. Pada sosis ikan lele dumbo menggunakan bahan pengikat isolat protein kedelai, sedangkan pada sosis ayam komersial bahan pengikat yang digunakan yaitu pati. Pati memiliki kemampuan mengikat air yang tinggi (Gemisoesanto 2005). Nilai stabilitas emulsi pada sosis ikan lele dumbo lebih rendah dibandingkan dengan sosis komersial yaitu sebesar 61,23%. Sosis merupakan makanan dengan sistem emulsi minyak dalam air. Peran isolat protein kedelai yang ditambahkan yaitu sebagai bahan pengemulsi atau bahan pengikat. Namun dalam suatu sistem emulsi yang berperan tidak hanya protein saja melainkan air dan lemak. Lemak berperan dalam pembentukan emulsi. Jika lemak yang ditambahkan tidak tepat maka emulsi yang dihasilkan pun tidak kuat (Kramlich 1971). Lemak yang ditambahkan dalam pembuatan sosis ikan lele dumbo ini dalam konsentrasi yang rendah yaitu hanya sebesar 3% dan sama untuk setiap perlakuan. Batas maksimum penambahan lemak dalam pembuatan sosis yaitu sebesar 25% (Erdiansyah 2006). Selain itu, penyusun dari kedua sosis pun berbeda, dilihat dari analisis proksimat pada sosis komersial, diketahui bahwa kadar karbohidrat lebih tinggi dibandingkan dengan sosis ikan lele dumbo dan syarat mutu sosis. Hal ini diduga pengikat yang digunakan pada sosis komersial berbeda dengan sosis ikan lele dumbo, yaitu menggunakan pati dengan kandungan karbohidrat yang lebih tinggi. Pada sosis komersial menggunakan pemasakan dengan suhu sterilisasi, jika menggunakan protein sebagai bahan pengikat akan menyebabkan protein terdenaturasi. Nilai stabilitas emulsi yang dihasilkan dari sosis komersial pun sangat stabil, karena saat dilakukan proses pemisahan tidak ada bagian yang terpisah antara air maupun lemak. Hal ini yang menyebabkan nilai stabilitas emulsi pada sosis ikan lele dumbo lebih rendah dibandingkan pada sosis komersial.
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Frekuensi pencucian daging lumat yang terpilih sebanyak 2 kali, dengan rendemen 18,72%, kekuatan gel 542,40 gf dan memiliki penilaian sensori lebih tinggi dibandingkan pencucian 1 kali. Formula sosis terpilih yaitu dengan penambahan IPK konsentrasi 13%. Semakin banyak konsentrasi IPK yang ditambahkan dapat memperbaiki tekstur, kekuatan gel dan daya ikat air. Hasil proksimat untuk kadar abu 1,60%, protein 15,97%, lemak 0,61%, karbohidrat 2,22%, kadar air 79,6% serta hasil TPC 5 cfu/g. Hasil ini lebih rendah dari batas aman maka sosis ikan ini aman untuk dikonsumsi. Hasil uji perbandingan berpasangan pada parameter kekuatan gel, daya ikat air dan stabilitas emulsi menghasilkan nilai lebih rendah dibandingkan sosis komersial yaitu 220,55 gf, 79,36% dan 61,23%. Hasil uji lipat, uji gigit, tekstur dan aroma sosis ikan lele dumbo lebih disukai dibandingkan dengan sosis komersial. Kandungan gizi untuk protein dan karbohidrat pada sosis ikan lele dumbo lebih unggul dibandingkan sosis komersial.
5.2 Saran Penelitian karakteristik sosis ikan lele dumbo dengan penambahan IPK, dilakukan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh IPK terhadap tingkat kesukaan panelis, dengan mempertimbangkan bentuk dan tekstur sesuai dengan sosis komersil. Namun dibutuhkan beberapa penyempurnaan terhadap produk ini, yaitu: 1) Perlu pengurangan komposisi air yang ditambahkan ke dalam adonan, karena dapat mempengaruhi tekstur dan kadar air yang dihasilkan 2) Perlu penambahan konsentrasi lemak ke dalam adonan untuk meningkatkan stabilitas emulsi sosis dan memperbaiki tekstur 3) Perlu dilakukan pemisahan lemak dari kaldu ayam yang dipakai karena mengandung asam lemak rantai pendek 4) Perlu dilakukan uji derajat putih untuk mengetahui perbedaan warna dari setiap perlakuan sosis ikan lele dumbo.
DAFTAR PUSTAKA [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1995. Ilmu Pangan. Hari P, Adiono, penerjemah. Jakarta: UI-Pr. Terjemahan dari: Food Science. Agustini TW, Darmanto YS dan Danar PKP. 2008. Evaluation on utilization of small marine fish to produce surimi using different cryoprotective agents to increase the quality of surimi. Jounal of Coastal Development. 11(3): 131-140. Anonim 2011. Ikan Lele Dumbo. http://google.co.id [20 Januari 2011]. Astawan M, Mita W, Joko S dan Siti S. 1996. Pemanfaatan ikan gurami (Osphornemus gouramy Lac.) dalam pembuatan gel ikan. Buletin Teknologi dan Industri Pangan. 7(1): 1-7. Astawan M. 2008. Bahaya laten sepotong sosis. http://www.rumahsehat.com [09 Februari 2011]. Buckle et al. 1987. Ilmu Pangan. Purnomo, H. Dan Adiono, penerjemah. Jakarta : Universitas Indonesia Press. Cabeza MC et al. 2009. Safety and quality of ready-to-eat dry fermented sausages subjected to E-beam radiation. Journal of Meat Science. 83(2): 320-327. Chamidah A. 2000. Evaluasi karakteristik fisik dan kimia sosis lele dumbo (C. gariepinus) selama penyimpanan 6 hari dengan penambahan dan tanpa penambahan kultur starter Lactobacillus casei. 3: 253-260. Dotulong V.2009. Nilai proksimat sosis ikan ekor kuning (Caesio spp.) berdasarkan jenis casing dan lama penyimpanan. Pacific Journal. 1(4): 506-509. Erdiansyah. 2006. Teknologi penanganan bahan baku terhadap mutu sosis ikan patin (Pangasius pangasius) [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi Pengolahan Perikanan Jilid I. Yogyakarta: Liberty. Hall GM, Ahmad NH. 1992. Surimi and fish minced product. Dalam Hall GM (editors). Fish Processing and Technology. New York: Blackie Academic and Professional. Harris H. 2001. Kemungkinan penggunaan edible film dari pati tapioka untuk pengemas lempuk. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. 3(2): 99-106. Hermawan D. 2002. Pengaruh konsentrasi tepung tapioka dan kalsium karbonat (CaCO3) terhadap mutu kamaboko ikan lele (Clarias gariepinus) [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
68
Hua Y, Steve WC, Qi W. 2003. Gelling property of soy protein-gum mixtures. Food Hydrocolloids. 17(6): 889-894. Huda N, Lin HW, Alishair TL dan Ishamri I. 2010. Physicochemical properties of Malaysian commercial chicken sausage. International Journal of Poultry Science. 9(10): 954-958. Husni E, Asmaedy S dan Reci A. 2007. Analisa zat pengawet dan protein dalam makanan siap saji sosis. Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi. 12(2): 108-111 Kaba N. 2006. The determination of technology and storage period od surimi production from ancovy (Engraulis encrasicholus). Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences. 6(1): 29-35. Kataryzna W dan Krystyna S. 2008. The application of wheat fibre and soy isolate impregnated with iodine salts to fortify processed meats. Meat Science. 80(4): 1340-1344. Koswara S. 1992. Teknologi Pengolahan Kedelai: Menjadikan Makanan Bermutu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Koswaraa S. 2005. Jahe, rimpang dengan sejuta khasiat. http://ebookpangan.com [09 Februari 2011]. Koswarab S. 2005. Teknologi Pengolahan Kedelai (teori dan praktek). http://ebook.pangan.com [09 Februari 2011]. Kompas. 2010. Saripati ayam. http://kesehatan.kompas.com [05 Februari 2011]. Kramlich WE. 1971. Sausage Product. In: Price J.S and B.S. Schweigert (Eds.). 1987. The Science of Meat Product. San Fransisco: Freeman WH and Co. Kramlich WE, Pearson AM, dan Tauber FW. 1973. Processed Meats. The AVI Publishing Co., Westport-Connecticut. Kumar R, Veena C, Saroj M, IK Varma dan Bo M. 2002. Adhesives and plastics based on soy protein products. Industrial Crops and Products. 16: 155-172. [LPPOM] Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Makanan. 2010. Hati-hati memilih bahan perasa makanan. http://food.detik.com [08 Februari 2011]. Mackie IM. 1992. Surimi From Fish. Di dalam Johmston DE, Knight MK, Ledward DA (Eds). The Chemistry of Muscle-bared Foods. United Kingdom: Royal Society of Chemistry. Mahyuddin K. 2008. Panduan Lengkap Agribisnis Lele. Jakarta: Penebar Swadaya.
69
Matondang I. 2008. Zingiber officinale L. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tumbuhan Obat. Jakarta: UNAS Press. Mervina. 2009. Formulasi biskuit dengan subtitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dan isolat protein kedelai (Glycine max) sebagai makanan potensial untuk anak baliti gizi kurang [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Moeljanto. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta : Penebar Swadaya. Muhibuddin FW. 2010. Karakteristik fisika kimia surimi dari daging lumat hasil tangkap sampingan (HTS) pukat udang [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Nurimala M, Nurjanah, dan Utama RH. 2009. Kemunduran mutu ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) pada penyimpanan suhu chilling dengan perlakuan cara mati. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. 12(1): 1-5. Palungkun R, Budiarti A. 1992. Pengetahuan Gizi Mutakhir Mineral. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Panagan AT. Pengaruh penambahan bubuk bawang merah (Allium ascalonicum) terhadap bilangan peroksida dan kadar asam lemak bebas minyak goreng curah. Jurnal Penelitian Sains. 10: 06-05. Park JW. 2000. Manufacturing of surimi from light muscle fish. Dalam Park JW (eds). Surimi and Surimi Seafood. New York: Marcel Dekker, Inc. Park JW. 2005. Surimi: Manufacturing and evaluation. Dalam Park JW (eds). Surimi and Surimi Seafood. Boca Raton: CRC Press Taylor and Francis Group. Purwandhari Y. 1999. Pengaruh lama penyimpanan terhadap penerimaan produk emulsi dan surimi dan tahu ikan (shalted dried fish cake) cucut [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Rahayu WP. 1998. Penuntun Praktikum Penilaian Organoleptik. Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. Bogor: IPB. Raju CV, Shamasunandar BA, Udupa KS. 2003. The use of nisin as a preservative in fish sausage stored at ambient (28 ± 2°C) and refrigerated (6 ± 2°C) temperatures. International Journal of Food Science and Technology. 38(2): 171-185. Rismunandar. 1993. Lada, Budidaya dan Tata Niaganya. Jakarta: Penebar Swadaya. Reynolds J, Park JW, Choi YJ. 2002. Physicochemical properties of pacific whiting surimi as affected by various freezing and storage conditions. J. Food Sci. 67(6): 2072-2078.
70
Riesnawaty CJ. 2007. Pemanfaatan surimi lele dumbo (Clarias gariepinus) [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor Rismunandar. 1993. Lada, Budidaya dan Tata Niaganya. Jakarta: Penebar Swadaya. Rompis JEG. 1998. Pengaruh kombinasi bahan pengikat dan bahan pengisi terhadap sifat fisik, kimia serta palatabilitas sosis sapi [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rosa R, Bandara NM, Nunes ML. 2007. Nutritional quality of African catfish Clarias gariepinus (Burchell 1822): a positive criterion for the future development of the European production of Silurodei. International journal of Food Science and Technology 42(3): 342-351. Saanin H.1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan I, Bandung : Bina cipta Bandung. Santoso J, Trilaksani W, Nurjanah, Nurhayati T. 1997. Perbaikan mutu gel ikan mas (Cyprinus carpio) melalui modifikasi proses [laporan penelitian]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Saparinto C dan Hidayati D. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Yogyakarta: Kanisius. Standar Nasional Indonesia. 1995. Syarat Mutu Sosis Daging. SNI 01-3820-1995. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. Shahidi F dan Botta JR. 1994. Seafoods: Chemistry, Processing Technology and Quality. London: Blackie Academic and Professional and Imprint of Chapmant and Hall. Shaviklo GR. 2006. Quality assessment of fish protein isolates using surimi standard methods. Iran: Fisheries Training Programme. The United Nations University. Soekarto ST. 1985. Penilaian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Jakarta: Bharata Karya Aksara Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Suhartini S dan Nur H. 2005. Olahan Ikan Segar. Surabaya: Trubus Agrisarana. Suyanto R. 1999. Budidaya Ikan Lele. Jakarta: Penebar Swadaya. Toyoda KI, Kimura T, Fujita SF, Noguchi, Lee CM. 1992. The surimi manufacturing process. Dalam: Lanier TC, Lee CM (eds). Surimi Technology. New York: Marce Dekker, Inc.
71
Torrezan R, Whye PT, Alan EB, Richard AF dan Marcelo C. 2006. Effects of high pressure on functional properties of soy protein. Foof Chemistry. 104(1): 140-147. Ulya M. 2005. Studi Kelayakan Pendirian Industri Isolat Soy Protein. Program studi Teknologi Industri Pertanian. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Wahyuni M. 1992. Sifat kimia dan fungsional ikan hiu lanyam (Charcarinus limbatus) serta penggunaannya dalam pembuatan sosis [tesis]. Bogor : Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Wibowo S. 1999. Budidaya Bawang Putih, Merah dan Bombay. Jakarta : PT Penebar Swadaya. Widodo SA. 2008. Karakteristik sosis ikan kurisi (Nemipterus nematophorus) dengan penambahan isolat protein kedelai dan karagenan pada penyimpanan suhu chilling dan freezing. [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Wilson GD. 1960. Sausage product. Di dalam : J. B. Evans, B. S. Scweigert, C. F. Liven, dan D. M. Doty (Eds.), The Science of Meat and Meat Product. San Fransisco: Freeman WH and Co. Winarno FG. 2007. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT Gramedia. Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor : MBrio Press. Wulandhari NW. 2007. Optimasi formulasi sosis berbahan baku surimi ikan patin (Pangasius pangasius) dengan penambahan karagenan (Eucheuma sp.) dan susu skim untuk meningkatkan mutu sosis [skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Yulianti T. 2003. Mempelajari pengaruh karakteristik isolat protein kedelai terhadap mutu sosis [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
73
Lampiran 1 Lembar penilaian uji kesukaan (hedonik) kamaboko ikan lele dumbo Nama panelis Tanggal pengujian Jenis contoh Instruksi Kode sampel
: : : Kamaboko ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) : Nyatakan penilaian Anda sesuai dengan tingkat kesukaan Anda Penampakan Warna Rasa Aroma Tekstur
B1L A2Y T3M Keterangan : 9 Amat sangat suka 8 Sangat suka 7 Suka 6 Agak suka 5 Biasa 4 Kurang suka 3 Tidak suka 2 Sangat tidak suka 1 Amat sangat tidak suka
74
Lampiran 2 Lembar penilaian uji lipat gel ikan lele dumbo Nama panelis Tanggal pengujian Jenis contoh Instruksi Kode Skor sampel B1L A2Y T3M
: : : Kamaboko ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) : Nyatakan penilaian anda sesuai dengan kolom berikut Keterangan
5 4 3 2 1
Tidak retak setelah dilipat menjadi seperempat lingkaran. Tidak retak setelah dilipat menjadi setengah lingkaran. Retak berangsur-angsur setelah dilipat menjadi setengah lingkaran. Langsung retak setelah dilipat menjadi setengah lingkaran. Pecah apabila ditekan dengan jari.
75
Lampiran 3 Lembar penilaian uji gigit gel ikan lele dumbo Nama panelis Tanggal pengujian Jenis contoh Instruksi
: : : Kamaboko ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) : Nyatakan penilaian anda sesuai dengan kolom berikut
Kode sampel Skor B1L A2Y T3M Keterangan : Nilai Sifat kekenyalan (springiness) 10 Daya lenting amat sangat kuat 9 Daya lenting amat kuat 8 Daya lenting kuat 7 Daya lenting agak kuat 6 Daya lenting dapat diterima 5 Daya lenting agak diterima 4 Daya lenting agak lemah 3 Daya lenting lemah 2 Daya lenting amat lemah 1 Tidak ada daya lenting, seperti bubur
76
Lampiran 4 Lembar penilaian uji sensori (hedonik) sosis ikan lele dumbo Nama panelis Tanggal pengujian Jenis contoh Instruksi
: : : Sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) : Nyatakan penilaian Anda sesuai dengan tingkat kesukaan Anda Penampakan Warna Rasa Aroma Tekstur
Kode sampel SA3 VB5 XC2 FD4 Keterangan : 9 Amat sangat suka 8 Sangat suka 7 Suka 6 Agak suka 5 Biasa 4 Kurang suka 3 Tidak suka 2 Sangat tidak suka 1 Amat sangat tidak suka
77
Lampiran 5 Lembar penilaian uji lipat sosis ikan lele dumbo Nama panelis Tanggal pengujian Jenis contoh Instruksi Kode Skor sampel SA3 VB5 XC2 FD4
: : : Sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) : Nyatakan penilaian anda sesuai dengan kolom berikut Keterangan
5 4 3 2 1
Tidak retak setelah dilipat menjadi seperempat lingkaran. Tidak retak setelah dilipat menjadi setengah lingkaran. Retak berangsur-angsur setelah dilipat menjadi setengah lingkaran. Langsung retak setelah dilipat menjadi setengah lingkaran. Pecah apabila ditekan dengan jari.
78
Lampiran 6 Lembar penilaian uji gigit sosis ikan lele dumbo dengan perasa ayam Nama panelis : Tanggal pengujian : Jenis contoh : Sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Instruksi : Nyatakan penilaian anda sesuai dengan kolom berikut Kode sampel Skor SA3 VB5 XC2 FD4 Keterangan : Nilai Sifat kekenyalan (springiness) 10 Amat sangat kuat 9 Sangat kuat 8 Kuat 7 Cukup kuat 6 Dapat diterima 5 Dapat diterima, sedikit kuat 4 Lemah 3 Cukup lemah 2 Sangat lemah 1 Tekstur seperti bubur,tidak ada kekerasan
79
Lampiran 7 Nilai organoleptik uji sensori, uji lipat dan uji gigit kamaboko ikan lele dumbo Parameter Panelis
1 2 3 4 5 6
7 8 9 10 11
12 13 14 15 16
17 18 19 20 21
22 23 24 25 26
27 28 29 30 Rata-rata
Penampakan
Warna
Rasa
Aroma
Tekstur
Uji lipat
Uji gigit
B1L
A2Y
T3M
B1L
A2Y
T3M
B1L
A2Y
T3M
B1L
A2Y
T3M
B1L
A2Y
T3M
B1L
A2Y
T3M
B1L
A2Y
T3M
5 7
5 7
6 7
6 6
6 7
7 6
6 6
5 6
5 5
6 6
6 5
6 5
7 7
4 6
7 7
5 5
5 5
5 5
6 8
6 8
8 9
7 7 7 8 8 7
7 7 8 7 8 7
7 7 7 7 7 6
7 6 6 7 7 7
7 7 7 7 7 8
7 7 8 8 7 6
7 5 6 8 7 7
7 5 7 7 6 7
7 5 7 7 7 7
7 4 7 8 7 6
6 3 7 6 6 6
6 5 8 4 5 5
5 5 6 8 7 6
6 5 7 7 6 7
7 6 7 8 6 5
5 5 4 4 5 3
4 5 5 5 4 5
4 5 5 5 5 5
6 7 7 7 8 7
7 4 8 7 7 7
7 8 8 7 8 5
5 7 7 7 4
5 7 7 7 4
4 6 8 6 8
4 7 7 7 5
5 6 7 7 6
4 6 8 7 8
4 6 6 6 4
5 7 6 6 5
5 7 7 4 8
5 4 6 6 6
5 5 7 6 5
5 5 7 5 6
5 7 7 7 6
5 7 8 7 3
5 7 8 7 9
3 3 5 4 3
5 5 5 5 5
5 5 5 5 3
8 8 8 6 4
8 9 7 7 7
8 8 7 7 9
7 6 6 7 6
7 7 8 7 8
7 8 8 7 8
7 6 6 7 5
7 7 7 7 8
7 8 8 7 8
6 7 5 3 5
5 6 6 4 7
5 8 6 4 6
7 6 7 4 6
6 7 6 4 7
6 8 8 4 7
7 6 6 4 5
6 7 7 7 6
7 9 7 8 6
5 3 3 3 3
5 5 5 5 5
5 4 5 5 5
9 8 7 7 5
8 7 8 8 7
8 9 8 8 8
7 7 7 7 7
7 6 7 7 7
6 5 8 7 7
8 7 8 7 7
7 6 8 7 7
6 6 8 7 7
7 7 6 6 7
7 6 6 7 7
7 6 6 7 7
6 7 8 6 7
7 7 7 7 6
7 6 8 6 7
6 7 8 5 7
7 6 8 7 7
7 6 8 6 7
4 3 5 4 4
4 5 5 5 4
5 5 5 5 4
7 6 9 6 8
7 7 9 6 6
8 7 9 5 7
8 5 6 7 4 6 7 6,53
8 5 6 7 4 5 6 6,6
8 6 6 6 6 7 7 6,77
8 5 5 7 4 6 7 6,40
8 6 6 7 5 7 6 6,77
8 6 7 7 5 7 6 6,90
8 6 4 8 3 7 7 6,00
8 5 6 7 5 6 7 6,13
8 6 4 6 4 6 7 6,13
7 5 7 8 3 5 7 6,13
8 5 7 8 5 7 6 6,10
8 6 5 7 4 7 7 6,10
8 7 5 7 4 5 7 6,23
8 4 6 8 6 7 6 6,37
8 7 5 7 4 7 7 6,83
3 5 3 3 2 3 5 3,83
4 5 5 5 4 3 4 4,70
4 5 3 4 5 4 5 4,67
7 8 6 6 4 6 8 6,90
8 7 8 8 5 6 6 7,10
8 9 6 8 8 5 9 7,63
80
Lampiran 8 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan frekuensi pencucian terhadap uji lipat gel ikan lele dumbo pada penelitian pendahuluan Ranks
ujilipat
kode B1L
N 30
Mean Rank 30,72
A2Y
30
53,18
T3M
30
52,60
Total
90
Test Statistics(a,b) ujilipat 18,746
Chi-Square df
2
Asymp. Sig.
,000
a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: kode
Lampiran 9
Uji lanjut Multiple Comparison pengaruh perbedaan frekuensi pencucian terhadap uji lipat (penelitian pendahuluan)
ujilipat Duncan Subset for alpha = .05 kode B1L
N
1 30
2 3,83
T3M
30
4,67
A2Y
30
4,70
Sig.
1,000 ,858 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000.
81
Lampiran 10 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan frekuensi pencucian terhadap uji gigit gel ikan lele dumbo pada penelitian pendahuluan Ranks
ujigigit
kode B1L
N 30
Mean Rank 38,98
A2Y
30
42,10
T3M
30
55,42
Total
90
Test Statistics(a,b) ujigigit 7,235
Chi-Square df
2
Asymp. Sig.
,027 a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: kode
Lampiran 11 Uji lanjut Multiple Comparison pengaruh perbedaan frekuensi pencucian terhadap uji gigit (penelitian pendahuluan) ujigigit Duncan Subset for alpha = .05 kode B1L
N
1
2
30
6,90
A2Y
30
7,10
T3M
30
Sig.
7,10 7,63
,512 ,083 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000.
82
Lampiran 12 Grafik uji kenormalan galat kekuatan gel pada gel ikan lele dumbo
Probability Plot of kekuatan gel Normal 99
Mean StDev N KS P-Value
95 90
569.7 105.3 6 0.136 >0.150
Percent
80 70 60 50 40 30 20 10 5
1
300
400
500 600 kekuatan gel
700
800
Lampiran 13
Analisis ragam terhadap kekuatan gel pada gel ikan lele dumbo
83
Lampiran 14 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan frekuensi pencucian terhadap penampakan gel ikan lele dumbo pada penelitian pendahuluan Ranks
penampakan
kode B1L
N 30
Mean Rank 43,15
A2Y
30
45,77
T3M
30
47,58
Total
90
Test Statistics(a,b)
Chi-Square
penampakan ,506
df
2
Asymp. Sig.
,776
a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: kode
Lampiran 15 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan frekuensi pencucian terhadap warna gel ikan lele dumbo pada penelitian pendahuluan Ranks
warna
kode B1L
N 30
Mean Rank 38,95
A2Y
30
46,40
T3M
30
51,15
Total
90
Test Statistics(a,b)
Chi-Square df Asymp. Sig.
warna 3,812 2
,149 a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: kode
84
Lampiran 16 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan frekuensi pencucian terhadap rasa gel ikan lele dumbo pada penelitian pendahuluan Ranks
rasa
kode B1L
N 30
Mean Rank 44,65
A2Y
30
45,25
T3M
30
46,60
Total
90
Test Statistics(a,b)
Chi-Square
rasa ,095
df
2
Asymp. Sig.
,954 a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: kode
Lampiran 17 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan frekuensi pencucian terhadap aroma gel ikan lele dumbo pada penelitian pendahuluan Ranks
aroma
kode B1L
N 30
Mean Rank 46,67
A2Y
30
45,22
T3M
30
44,62
Total
90
Test Statistics(a,b)
Chi-Square df Asymp. Sig.
aroma ,104 2 ,949
a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: kode
85
Lampiran 18 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan frekuensi pencucian terhadap tekstur gel ikan lele dumbo pada penelitian pendahuluan Ranks
tekstur
kode B1L
N 30
Mean Rank 40,13
A2Y
30
43,68
T3M
30
52,68
Total
90
Test Statistics(a,b)
Chi-Square df Asymp. Sig.
tekstur 4,048 2
,132 a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: kode
86
Lampiran 19 Nilai uji sensori, uji lipat dan uji gigit sosis ikan lele dumbo Parameter Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Rataan
SA 3 7 6 7 7 7 7 7 8 8 9 8 6 6 7 8 7 7 8 7 7 8 6 7 7 7 6 7 8 7 6 7,1
Penampakan VB XC FD 5 2 4 7 6 6 6 7 6 7 6 5 7 7 6 6 4 5 8 7 5 7 7 7 7 7 7 8 4 7 9 8 7 8 8 7 6 7 7 7 7 8 6 7 7 8 6 8 9 8 7 7 6 7 7 8 7 7 7 7 7 7 7 5 8 8 6 6 6 6 6 7 6 7 5 7 7 7 6 5 5 8 8 7 7 8 6 8 5 7 6 6 6 6,9 6,6 6,5
SA 3 6 7 7 7 6 8 8 7 7 6 7 5 7 6 7 6 6 7 5 7 7 6 6 7 7 6 6 6 7 6 6,5
Warna VB XC 5 2 6 6 7 7 7 5 7 5 5 5 7 6 6 6 6 7 7 6 7 7 8 6 5 6 6 6 5 5 6 7 7 6 6 5 6 7 5 5 7 6 7 8 6 5 6 7 6 6 6 7 6 7 7 7 6 6 7 7 6 7 6,3 6,2
FD 4 6 5 6 7 6 5 6 5 7 6 7 6 6 6 7 6 6 7 6 7 7 5 6 6 5 6 5 6 6 5 6
SA 3 7 6 6 7 6 7 6 7 5 6 8 6 7 6 8 6 6 6 7 6 7 6 6 6 5 8 7 7 7 8 6,5
Rasa VB XC 5 2 7 6 6 7 6 6 6 6 5 6 6 7 7 5 6 8 5 5 7 7 7 6 6 4 5 6 4 5 6 7 7 6 5 6 8 6 7 7 6 6 5 7 6 5 4 4 7 5 5 5 6 6 5 5 6 6 7 5 4 5 5,9 5,8
FD 4 6 6 5 4 6 5 7 5 5 4 8 5 4 7 4 6 5 5 4 6 7 6 5 5 5 6 3 5 7 4 5,3
SA 3 5 5 5 7 8 6 6 5 7 4 9 6 6 3 7 7 4 4 5 5 6 5 6 6 6 5 4 4 4 3 5,4
Aroma VB XC 5 2 6 6 5 4 8 7 6 7 5 8 7 7 5 5 7 6 5 4 5 6 8 6 5 6 5 6 5 6 7 7 9 6 5 7 8 7 7 7 5 5 5 7 5 4 5 6 4 5 6 6 7 6 4 5 6 7 7 6 3 3 5,8 5,9
FD 4 5 4 5 7 7 5 5 5 6 4 7 6 6 4 7 7 4 5 4 5 6 4 7 4 6 5 4 5 7 3 5,3
SA 3 7 7 6 6 7 7 7 5 6 8 7 6 5 6 5 4 7 7 5 7 7 7 8 7 8 6 7 7 6 6 6,5
Tekstur VB XC 5 2 7 8 6 6 7 7 7 6 6 7 7 7 6 6 8 5 6 7 8 8 7 7 6 7 8 7 5 6 7 7 7 8 7 8 8 7 6 6 6 8 5 5 6 7 7 8 6 6 8 8 7 7 7 7 7 7 6 6 6 7 6,7 6,9
FD 4 7 7 6 7 8 7 8 6 7 8 8 6 7 7 8 8 8 7 8 7 8 7 8 7 8 6 7 7 7 7 7,2
SA 3 5 4 4 5 4 3 5 4 3 5 5 4 3 5 3 4 5 3 4 4 3 4 3 4 3 4 5 5 4 3 4
Uji lipat VB XC 5 2 4 5 5 5 5 4 5 4 5 5 4 4 5 5 5 4 4 4 3 4 5 5 4 5 4 5 5 4 4 3 5 4 3 5 5 4 3 5 3 5 4 5 5 5 4 5 3 4 4 5 4 4 5 3 3 5 4 4 4 5 4,2 4,5
FD 4 5 5 5 5 4 4 4 5 5 5 5 4 5 4 5 5 3 4 5 4 4 5 5 5 4 5 5 5 4 4 4,6
SA 3 6 4 5 8 7 7 7 6 5 5 7 5 6 4 6 6 7 7 6 7 7 6 5 6 9 7 7 6 6 6 6,2
Uji lipat VB XC 5 2 6 7 6 6 4 6 6 7 8 6 5 7 6 7 6 6 8 7 6 6 6 7 7 8 5 6 5 7 6 6 7 8 6 7 7 5 7 7 8 7 6 7 7 6 5 7 8 9 7 7 7 8 8 7 5 6 6 8 6 7 6,3 6,8
FD 4 8 7 7 6 7 8 7 8 7 6 8 7 7 6 7 6 7 7 7 7 6 7 8 8 9 5 8 7 7 6 7,0
87
Lampiran 20 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi IPK terhadap uji lipat sosis ikan lele dumbo pada penelitian utama Ranks
ujilipat
kode SA3
N 30
Mean Rank 47,55
VB5
30
55,90
XC2
30
67,03
FD4
30
71,52
Total
120
Test Statistics(a,b) ujilipat 10,413
Chi-Square df
3
Asymp. Sig.
,015
a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: kode
Lampiran 21 Uji lanjut Multiple Comparison pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi terhadap uji lipat sosis ikan lele dumbo ujilipat Duncan Subset for alpha = .05 kode SA3
N
1
2
30
4,00
VB5
30
4,20
XC2
30
FD4
30
Sig.
4,20 4,47 4,57
,266
,054
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000.
88
Lampiran 22 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi IPK terhadap uji gigit sosis ikan lele dumbo pada penelitian utama Ranks
ujigigit
Kode SA3
N 30
Mean Rank 47,63
VB5
30
51,58
XC2
30
67,67
FD4
30
75,12
Total
120
Test Statistics(a,b) ujigigit 13,984
Chi-Square df
3
Asymp. Sig.
,003 a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: kode
Lampiran 23 Uji lanjut Multiple Comparison pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi terhadap uji gigit sosis ikan lele dumbo
ujigigit Duncan Subset for alpha = .05 kode SA3
N
1
2
30
6,20
VB5
30
6,33
XC2
30
6,83
FD4
30
7,03
Sig.
,595 ,425 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000.
89
Lampiran 24 Grafik uji kenormalan galat kekuatan gel Probability Plot of kekuatan gel Norm al 99
M ean S tD ev N KS P -Valu e
95 90
233,3 48,60 8 0,229 >0,150
Percent
80 70 60 50 40 30 20 10 5
1
100
150
200 250 kekuat an ge l
300
350
Lampiran 25
Analisis ragam dan uji lanjut Multiple comparison terhadap kekuatan gel sosis ikan lele dumbo Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: kekuatangel Type III Sum of Squares 10756,964(a)
Source Corrected Model
df 3
Mean Square 3585,655
Intercept
450727,651
1
450727,651
1168,146
,000
perlakuan
10756,964
3
3585,655
9,293
,028
Error
1543,395
4
385,849
Total
463028,010
8
Corrected Total
12300,359 7 a R Squared = ,875 (Adjusted R Squared = ,780)
kekuatangel Duncan Subset perlakuan 10%
2
1 192,4500
13%
2
220,5500
16%
2
244,0000
19%
2
Sig.
N
2
244,0000 292,4500
,062 ,069 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 385,849. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000. b Alpha = ,05.
F 9,293
Sig. ,028
90
Lampiran 26 Grafik uji kenormalan galat WHC Probability Plot of WHC Normal 99
Mean StDev N KS P-Value
95 90
81,26 3,050 8 0,154 >0,150
Percent
80 70 60 50 40 30 20 10 5
1
75,0
77,5
80,0
82,5 WHC
85,0
87,5
90,0
Lampiran 27 Analisis ragam terhadap WHC sosis ikan lele dumbo
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: WHC Source Corrected Model
Type III Sum of Squares 51,310(a)
3
Mean Square 17,103
F 4,959
Sig. ,078
52830,377
1
52830,377
15318,980
,000
51,310
3
17,103
4,959
,078
Error
13,795
4
3,449
Total
52895,481
8
Intercept perlakuan
Corrected Total
df
65,104 7 a R Squared = ,788 (Adjusted R Squared = ,629)
91
Lampiran 28 Grafik uji kenormalan galat stabilitas emulsi Probability Plot of stabilitas emulsi Normal 99
M ean S tDev N KS P -Valu e
95 90
59,13 2,638 8 0,201 >0,150
Percent
80 70 60 50 40 30 20 10 5
1
52
54
56
58 60 stabilitas emulsi
62
64
66
Lampiran 29 Analisis ragam terhadap stabilitas emulsi sosis ikan lele dumbo
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: stabilitasemulsi Source Corrected Model Intercept
Type III Sum of Squares 32,670(a)
df 3
Mean Square 10,890
F 2,716
Sig. ,179
27970,855
1
27970,855
6976,276
,000
perlakuan
32,670
3
10,890
2,716
,179
Error
16,038
4
4,009
Total
28019,563
8
Corrected Total
48,708 7 a R Squared = ,671 (Adjusted R Squared = ,424)
92
Lampiran 30 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi IPK terhadap penampakan sosis ikan lele dumbo pada penelitian utama Ranks
penampakan
kode SA3
N 30
Mean Rank 69,07
VB5
30
63,30
XC2
30
57,58
FD4
30
52,05
Total
120
Test Statistics(a,b)
Chi-Square
penampakan 4,548
df
3
Asymp. Sig.
,208
a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: kode
Lampiran 31 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi IPK terhadap warna sosis ikan lele dumbo pada penelitian utama Ranks
warna
kode SA3
N 30
Mean Rank 71,73
VB5
30
62,12
XC2
30
58,47
FD4
30
49,68
Total
120
Test Statistics(a,b)
Chi-Square df Asymp. Sig.
warna 7,179 3 ,066
a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: kode
93
Lampiran 32 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi IPK terhadap aroma sosis ikan lele dumbo pada penelitian utama Ranks
aroma
kode SA3
N 30
Mean Rank 54,98
VB5
30
64,50
XC2
30
70,35
FD4
30
52,17
Total
120
Test Statistics(a,b)
Chi-Square
aroma 5,563
df
3
Asymp. Sig.
,135 a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: kode
Lampiran 33 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi IPK terhadap rasa sosis ikan lele dumbo pada penelitian utama Ranks
rasa
kode SA3
N 30
Mean Rank 80,20
VB5
30
60,72
XC2
30
57,77
FD4
30
43,32
Total
120
Test Statistics(a,b)
Chi-Square df Asymp. Sig.
rasa 18,558 3
,000 a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: kode
94
Lampiran 34 Uji lanjut Multiple Comparison pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi IPK terhadap rasa sosis ikan lele dumbo rasa Duncan Subset for alpha = .05 kode FD4
N
1
2
30
5,33
XC2
30
5,83
VB5
30
SA3
30
3 5,83 5,90 6,53
Sig.
,054 ,796 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000.
Lampiran 35 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi IPK terhadap tekstur sosis ikan lele dumbo pada penelitian utama Ranks tekstur
kode SA3
N 30
Mean Rank 49,32
VB5
30
54,07
XC2
30
62,43
FD4
30
76,18
Total
120
Test Statistics(a,b) tekstur 11,756
Chi-Square df
3
Asymp. Sig.
,008 a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: kode
Lampiran 36 Uji lanjut Multiple Comparison pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi IPK terhadap tekstur sosis ikan lele dumbo tekstur Duncan Subset for alpha = .05 kode SA3
N
1
2
30
6,47
VB5
30
6,67
XC2
30
6,87
FD4
30
Sig.
6,87 7,23
,086 ,096 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000.
95
Lampiran 37 Contoh perhitungan rendemen daging lumat dan rendemen surimi
Pencucian daging lumat dengan frekuensi pencucian 2 kali Ikan lele utuh = 10kg = 10000 gram Daging lumat = 3102 gram (31,02%) Daging lumat untuk tiap perlakuan = 1034 gram o Pencucian pertama Air : daging (3:1) = 1034 gram x 3 = 3102 ml Hasil = 658 gram o Pencucian kedua Air : daging (3:1) = 658 gram x 3 = 1974 ml Garam = 658 gram x 0,3% = 1,9 gram Hasil = 624 gram Bobot surimi dengan frekuensi pencucian 2 kali = 624 gram Rendemen surimi frekuensi pencucian 2 kali : Rendemen surimi = =
x 100% bobot surimi (Bobot daging utuh : 3) 624 gram 3333 gram
= 18,72%
x 100%
96
Lampiran 38 Gambar hasil gel ikan dengan perbedaan frekuensi pencucian
Frekuensi pencucian 1 kali
Frekuensi pencucian 2 kali
Frekuensi pencucian 3 kali
Uji organoleptik kamaboko
97
Lampiran 39 Dokumentasi diagram alir pembuatan sosis ikan lele dumbo dengan perasa ayam
98
Lampiran 40 Hasil sosis ikan lele dumbo dengan perbedaan penambahan konsentrasi IPK
IPK konsentrasi 10 %
IPK konsentrasi 13 %
IPK konsentrasi 16 % IPK konsentrasi 19 %