Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
PEMANFAATAN RUSA SEBAGAI HEWAN TERNAK (The Prospect of Deer as Domesticated Animal) GONO SEMIADI1, WIRDATETI1, Y. JAMAL1 dan B. BRAHMANTIYO2 1
Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi LIPI, Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong 2
Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
ABSTRACT In relation to the low consumption of animal protein in Indonesia, especially in remote or village areas, there is a need to look for other animal as a new source of meat which has the same potency as conventional animal. Deer is one of the wild animals which is latest domesticated in 20th century but has a wide prospect to be developed. Indonesia has several types of deer, two of them have been raised commercially in overseas countries, Rusa timorensis and Rusa unicolor. Several research results show that dry matter intake, protein and energy requirement of deer depend on physiological status and individual age. Understanding the deer behavior is a key to have a successful deer farm using paddock system. Beside the deer meat as human consumption, the antler is useful for medicinal purpose. The fresh weight of an antler from a young deer is 298.9 gram. Further research is recommended to be done on management model of deer raising and captive, production, nutrition and reproduction aspects. A government policy is required so that deer can be included in the list of domesticated animal. Key Words: Deer, Performance, Antler, Research ABSTRAK Sehubungan dengan masih relatif rendahnya tingkat konsumsi protein hewani oleh masyarakat Indonesia, khususnya di daerah pedalaman, maka perlu diusahakan untuk mencari sumber hewan ternak baru yang mempunyai potensi sama dengan hewan ternak konvensional. Rusa merupakan salah satu jenis satwa liar yang paling akhir didomestikasi di abad ke-20 dan mempunyai prospek yang luas dikembangkan. Indonesia memiliki beberapa jenis keluarga rusa, dua diantaranya di luar negeri telah dikembangkan sebagai hewan ternak, yaitu Rusa timorensis (Rusa Timor/Jawa) dan Rusa unicolor. Dari beberapa hasil penelitian diketahui bahwa tingkat konsumsi bahan kering, kebutuhan protein dan energi rusa tergantung dari status fisiologi serta umur individu rusa. Pemahaman perilaku adalah kunci dari suksesnya usaha peternakan rusa khususnya dalam sistem pedok. Selain daging rusa untuk konsumsi manusia, ranggah rusa juga dapat dimanfaatkan untuk pengobatan di beberapa negara Asia. Rataan berat panenan dari satu buah ranggah pada rusa Sambar menunjukkan berat basah sekitar 298,9 gram. Penelitian lanjutan sebaiknya menyangkut model pengelolaan dan penangkaran, produksi, nutrisi dan hal yang berkaitan dengan reproduksi. Diperlukan kebijakan pemerintah agar rusa masuk dalam daftar hewan yang diteliti sebagai hewan ternak. Kata Kunci: Rusa, Performans, Ranggah, Penelitian
PENDAHULUAN Saat ini, di seluruh dunia tidak kurang dari 20 jenis satwa liar yang telah didomestikasi dengan tujuan agar dagingnya dimanfaatkan sebagai sumber protein masyarakat (FLETCHER, 1998; KYLE, 1994). Rusa merupakan satwa liar terakhir di abad 20 yang sukses dikembangkan sebagai hewan domestik secara meluas, khususnya di daratan Eropa, Pasifik dan Afrika. Pengembangannya dimulai tahun 1970-an dan berkembang pesat sejak
30
tahun 1980. Untuk jenis rusa tropika, pengembangannya sebagai hewan ternak justru menggunakan rusa asli Indonesia, yaitu rusa Timor (Rusa timorensis) dan telah berlangsung lebih dari 15 tahun di Mauritius, Kaledonia Baru, Australia dan Malaysia (CHARDONNET, 1988; GRIMAUD et al., 2004, SEMIADI dan NUGRAHA, 2004, YEREX dan SPIERS, 1987). Dilain pihak, di Indonesia, pemanfaatan rusa sebagai sumber protein memang bukan merupakan hal baru bagi masyarakat daerah, namun statusnya masih berupa hasil satwa
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
buruan yang dilakukan secara ilegal. Oleh sebab itu, pengembangan rusa sebagai hewan ternak merupakan salah satu jalan keluar yang terbaik dilihat dari segi perlindungan dan pemanfaatan satwa liar. Di luar negeri, peternakan rusa terbukti sangat potensial, baik untuk dipanen daging maupun ranggah mudanya dan produk sampingan lainnya seperti kulit (HAIGH dan HUDSON, 1993; WILSON et al., 2001). Sehubungan dengan masih relatif rendahnya tingkat konsumsi protein hewani oleh masyarakat Indonesia, khususnya di daerah pedalaman, maka perlu diusahakan untuk mencari sumber hewan ternak baru yang mempunyai potensi sama dengan hewan ternak konvensional, atau bila mungkin lebih baik dari kelompok ternak konvensional yang telah ada. Rendahnya tingkat konsumsi protein hewani oleh masyarakat kita tidak hanya karena tingkat daya beli masyarakat yang rendah, namun juga terbatasnya sumber populasi ternak (konvensional) yang dapat dipanen untuk suatu daerah. Dengan demikian, diversifikasi jenis ternak yang asli untuk suatu daerah merupakan alternatif inovatif yang perlu dipertimbangkan dalam rangka peningkatan konsumsi gizi masyarakat setempat, disamping beberapa program pemerintah yang telah baku berjalan seperti impor sapi bakalan, kawin suntik ataupun transfer embrio. JENIS RUSA Walau rusa telah dekat dengan kehidupan manusia sejak 500 tahun yang lampau, khususnya di masyarakat China dan daerah kutub, tetapi baru tahun 1960-an dikembangkan dalam konsep pemeliharaan secara modern (intensif), mengikuti kaidah ilmu peternakan. Dalam kurun waktu kurang dari 40 tahun sejak pengembangannya yang dilakukan di Inggris dan Selandia Baru, peminat pemelihara rusa sebagai hewan ternak demikian cepat berkembang dan diadopsi di berbagai negara. Indonesia memiliki beberapa jenis keluarga rusa, dua diantaranya di luar negeri telah dikembangkan sebagai hewan ternak, yaitu Rusa timorensis (Rusa Timor/Jawa) dan Rusa unicolor (Rusa Sambar; WILSON dan
REEDER, 2005). Penyebaran asli rusa di Indonesia, untuk jenis rusa Sambar sangat terbatas hanya di Pulau Sumatera dan Kalimantan, sedangkan untuk rusa Timor sangat luas, hampir di seluruh pulau besar dan kecil terkecuali di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua. Kendatipun pada awalnya Pulau Papua tidak memiliki rusa, namun dengan adanya introduksi rusa Timor ke daerah Wasur, wilayah tersebut menjadi demikian padat populasinya. Di tahun 1992 populasi rusa yang ada di kawasan Wasur mencapai setidaknya 8.000 ekor (FRANZMANN et al., 1995) dan bila digabungkan dengan populasi rusa yang bermigrasi ke PNG, jumlah ini menjadi jauh lebih tinggi lagi. Ini membuktikan tentang daya adapatsi yang sangat tinggi dari rusa Timor sehingga mampu berkembang sampai pada akhirnya mengganggu keseimbangan ekosistem pada satwa asli setempat. Sedangkan di luar negeri, rusa Timor telah tersebar meluas di setidaknya tiga negara besar (Australia, Mauritius, New Caledonia). PERKEMBANGAN PETERNAKAN RUSA Dalam upaya pemanfaatan rusa di Indonesia, kita patut menengok kebelakang tentang latar belakang perkembangan industri peternakan rusa. Peternakan rusa berkembang oleh karena dua hal, dari sisi orang Barat, daging rusa (venison) memiliki nilai gizi yang baik karena rendah kalori dan kolesterol sehingga menjadi pilihan konsumen modern saat ini (DRYDEN, 1997; HOFFMAN dan WIKLUND, 2006). Dari sisi orang Timur (Korea, China), ranggah muda rusa (tanduk muda, dalam tata bahasa yang salah) memiliki harga jual yang tinggi sebagai bahan racikan obat tradisional mereka dan kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh peneliti Barat sebagai food suplement atau functional food dan mulai diteliti secara mendalam sebagai nutraceutical (bahan makanan yang dapat berfungsi sebagai obat). Karena adanya dua komoditas (venison dan ranggah muda) ini, industri peternakan rusa secara modern berkembang. Bahkan industri pengolahan daging rusa di Selandia Baru telah mematenkan nama produk daging rusa asal Selandia Baru dengan nama CERVENA (Cervus venison grade A). Adapun negara
31
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
termaju dalam industri peternakan rusa asal daerah dingin saat ini adalah Selandia Baru, diikuti Australia, Inggris dan beberapa negara Eropa lainnya. Setelah peternakan rusa asal daerah dingin berkembang dengan pesat, sekitar akhir tahun 1985-an dimulai pengembangan penangkaran rusa asal daerah tropis di Australia, Mauritius dan Kaledonia Baru, kemudian disusul oleh negara di kawasan Asia Tenggara seperti Malaysia dan Thailand di awal tahun 1990-an. Saat ini di setiap benua telah berdiri peternakan ataupun penangkaran rusa baik dalam bentuk standar suatu peternakan ataupun bentuk ranching yang intensif (Tabel 1). Sehingga peternakan rusa merupakan satusatunya industri peternakan yang baru tetapi telah demikian kuat dengan populasi tinggi dan jenis rusa yang beragam, serta teknologi dan model tatalaksana pemeliharaan yang mapan. Dunia peternakan rusa saat ini (deer farming) pada intinya terbagi atas dua kelompok besar, yaitu yang menernakkan dengan menggunakan rusa asal daerah beriklim dingin, dari jenis Cervus elaphus (rusa Merah/red deer), Dama dama (rusa Fallow) serta Cervus nippon (rusa Jepang), dan yang menggunakan rusa asal daerah beriklim tropis dari jenis Rusa timorensis (rusa Timor/Jawa), Rusa unicolor (rusa Sambar) dan Axis axis (rusa Totol/India). Hewan rusa dicirikan dengan kemampuannya untuk dikembangkan pada lingkungan terbatas, berupa padang rumput (pedok), bahkan pada bentuk yang
dikandangkan, walau di kehidupan aslinya mereka selalu berinteraksi antara padang rumput dan hutan rimba (ASHER et al., 1999). Hingga saat ini secara resmi di Indonesia belum ada kegiatan peternakan rusa ataupun penangkaran rusa yang bersifat komersial dan mengarah pada pemanfaatan produknya secara luas. Satu satunya peternakan rusa yang memberlakukan konsep peternakan baru ada satu dan dimiliki oleh Pusat Pembibitan dan Inseminasi Buatan, Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Timur. Namun ini tidak berarti bahwa kegiatan penangkaran rusa merupakan hal yang baru. Pada kenyataannya telah banyak lembaga pemerintah, swasta, BUMN bahkan individu yang menaruh minat dalam penangkaran dan mengembangkannya sendiri. Tetapi semua kegiatan ini masih sangat terbatas hanya untuk kesenangan atau tujuan konservasi dan belum memiliki model sebagai suatu usaha penangkaran sistem peternakan. Kalaupun ada penangkar yang melakukan penjualan produk (bibit, daging), hal tersebut masih bersifat sangat terbatas, insidental bahkan mungkin tertutup dari pihak luar (birokrat). Dalam pemanfaatan rusa sebagai sumber gizi, masyarakat daerah telah lama memanfaatkannya. Hampir di setiap habitat yang ”dahulu” kaya akan potensi satwa rusa, daging rusa dengan mudah diperoleh. Namun patut diakui, dengan sistem perburuan illegal dan sangat berlebihan, menyebabkan banyak kantong-kantong populasi rusa liar di seluruh
Tabel 1. Keadaan populasi dan jenis rusa yang dikembangkan dalam bentuk peternakan atau ranching Negara Afrika
Jenis rusa
Populasi
Kep. Reunion
Rusa Timor
2.000
Mauritius
Rusa Timor
60.000
Amerika
Brazil
Rusa Timor
1.000
Asia
China
Sika, Red deer, Wapiti, Sambar, Wapiti
Pasifik
Malaysia
Rusa Timor, Fallow
15.000
Taiwan
Sika, Sambar, red deer
36.000
Thailand
Rusa Timor, Sambar
50.000
Vietnam
Sika, Sambar
15.000
Australia
Red deer, Fallow, Timor
New Caledonia
Rusa Timor
Sumber: CHARDONNET et al. (2002); DE VOS (1995)
32
500.000
200.000 18.000
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
Indonesia yang sangat tertekan, menjadikan populasi turun sangat drastis. Juga pembukaan kawasan baik untuk perkebunan dan pengembangan perkotaan turut memberikan andil terhadap menurunnya populasi rusa di alam. Saat ini, mungkin wilayah yang tersisa dari potensi yang demikian tinggi akan rusa liarnya hanyalah di Kalimantan dan Papua. Di Papua, perburuan rusa Timor dilakukan secara berkelompok, antara 3 – 5 orang, dengan tujuan sebagian besar bersifat komersial, yaitu dagingnya. Sedangkan produk ranggah keras yang diperjualbelikan hanya merupakan nilai tambah dari hasil perburuan yang terjadi. Ini disebabkan pemburu sebenarnya tidak terlalu mementingkan jenis kelamin, tetapi lebih pada unsur kemudahan dalam mendapatkan rusa dengan ukuran badan yang besar. Merauke dikenal sebagai penghasil daging rusa terbesar di Indonesia, setelah Kalimantan Timur. Catatan dari survei perburuan di daerah Okaba, menunjukkan bahwa satu sepeda motor mampu mengangkut 2 – 4 ekor rusa yang telah berbentuk karkas dengan kulit masih menempel, dengan total perburuan sekitar 36 ekor/hari dari beberapa pemburu yang masuk ke pengumpul. Ini memberikan panenan tertinggi sekitar 10000 ekor/tahun. Untuk wilayah Kabupaten Merauke, nilai ekonomi ranggah keras telah dikenal sejak tahun 1997, khususnya di kawasan pedalaman yang berbatasan dengan PNG. Kemampuan pengumpul plasma dalam mengumpulkan ranggah keras dari 10 – 30 masyarakat penjual adalah antara 200 – 300 kg/koleksi yang dilakukan antara 1,5 – 2,5 bulan sekali. Hanya dalam masa 1 – 2 minggu dapat dicapai 500 kg/koleksi (SEMIADI, 2007). Hasil pantauan Pemda Kabupaten Merauke menyatakan bahwa konsumsi daging rusa di perkotaan mencapai 1080 kg setiap harinya. Menggunakan data estimasi tahun 1997 hingga 2002, menunjukkan bahwa pemasukan rusa ke pasar lokal mencapai sekitar 18500 ekor/tahun. Namun pola perburuan yang sporadis dilakukan olah siapapun dan menggunakan berbagai macam peralatan (senapan api, kendaraan, kelompok pemburu besar) membuat banyak rusa yang lari ke negara tetangga ataupun semakin masuk ke arah hutan pedalaman. Indikator penurunan populasi yang terjadi terlihat dari jumlah anggota rusa perkelompok. Perubahan dari masa lalu ke
masa sekarang adalah dari 10 – 12 ekor/kelompok menjadi hanya 4 – 6 ekor/kelompok (SEMIADI, 2007). Perbandingan pola perburuan yang dilakukan masyarakat asli Papua di wilayah Taman Nasional Wasur melalui survei tahun 1997 menunjukkan bahwa babi liar sekitar 374 ekor/bulan, kangguru 870 ekor/bulan dan rusa 459 ekor/bulan. Wawancara dengan penjual daging rusa di pasar tradisonal di kota Merauke menyatakan ada sekitar 4 – 6 penjual daging rusa setiap harinya. Rataan daging rusa yang terjual per hari per pedagang adalah antara 5 – 10 kg. Sedangkan pada kelompok pedagang sate rusa, dalam satu poros jalan dijumpai setidaknya enam tukang sate dan empat tukang baso yang menggunakan bahan dasar daging rusa. Untuk pedagang sate, dari setiap lima kg daging yang dibelinya dapat habis paling cepat dalam dua malam dan paling lama tiga malam. Sedangkan pada tukang baso, jumlah penjualan sekitar 100 – 200 baso/malam. Dilaporkan pula bahwa rendang daging rusa atau dendeng banyak dijual sebagai produk rumahan (SEMIADI, 2007). Di Kalimantan Timur, dalam seminggu masing-masing pengumpul rusa Sambar buruan setidaknya mendapatkan kiriman minimal dua ekor dan maksimal empat ekor. Sebagai sampingan kadang-kadang mereka menerima juga kijang (Muntiacus muntjak) antara dua hingga tiga ekor per dua minggu. Namun penjualan daging kijang ini tidak begitu intensif. Dengan melihat pada tingkat pengiriman hasil buruan ke pasar, memberikan gambaran bahwa setidaknya dalam satu bulan dari satu kabupaten diburu minimal 60 ekor dan maksimal 120 ekor rusa Sambar, atau sekitar 600 – 1400 ekor rusa Sambar liar dibunuh pertahunnya. Untuk kelompok muncak angka perburuan adalah setengah dari rusa Sambar pertahunnya (SEMIADI dan JAMAL, 2002; SEMIADI dan NUGRAHA, 2004). KEBUTUHAN NUTRISI, KONSUMSI DAN TINGKAH LAKU MAKAN Dari kumpulan hasil penelitian yang ada, setidaknya 60% membicarakan aspek biologi umum (taksonomi, sebaran, perilaku, habitat, breeding, genetik) dan 40% aspek yang mengarah pada kepentingan peternakan
33
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
(produksi, pakan, reproduksi dan kesehatan). Namun, hampir semua penelitian (80%) dilakukan di kawasan sub-tropik (Kaledonia Baru, Mauritius, Australia, Selandia Baru) dan beriklim sedang. Intensitas penelitian rusa tropis pada aspek peternakan mencapai titik tertingginya pada era tahun 1985 – 1995 dan menurun dengan tajam setelah itu. Oleh sebab itu, mengandalkan penelitian-penelitian baru dari luar negeri pada era tahun 2000-an sudah sangat jarang sekali. Hal ini pada akhirnya membutuhkan beberapa penyesuaian dan kegiatan penelitian pembanding agar dapat dengan benar-benar dikembangkan pada kondisi iklim Indonesia.
KEBUTUHAN NUTRISI Diantara jenis rusa tropik yang paling banyak mendapat perhatian penelitian untuk tujuan peternakan adalah rusa Timor, disusul rusa Sambar dan rusa Totol (Axis axis). Ini selaras dengan tingginya populasi rusa Timor yang diternakkan. Tingkat konsumsi bahan kering pada rusa Timor bervariasi antara 52 – 75 g/kgBB0,75, dan rusa Sambar antara 44 – 53,5 g/kgBB0,75, tergantung pada bahan pakan dan kandungan energi (Tabel 2). Selain itu status fisiologi serta umur individu rusa juga sangat berpengaruh terhadap nilai
konsumsinya. Data lain menyebutkan bahwa konsumsi bahan kering pada rusa Timor antara 25 – 32 gBK/kgBB/hari (TOMKINS dan MCMEINAM, 2006). DRADJAT (2002) melaporkan pada hasil penelitian pakan kondisi di NTB, rusa Timor jantan mengkonsumsi pakan per hari sebanyak 140 – 150 g bahan kering/kg BB0,75, sedangkan rusa Timor betina mengkonsumsi pakan per hari sebanyak 90 – 120 g/kg BB0,75. Sesuai dengan bobot hidup rusa, maka konsumsi bahan kering rusa Timor jantan 8,7 kg dan betina 5 kg per hari. Berdasarkan kebutuhan energinya baik untuk maintenance ataupun pertumbuhan diperoleh nilai yang tidak terlalu berbeda diantara rusa Sambar dan rusa Jawa (Tabel 3). Pada musim kawin, rusa Timor jantan membutuhkan ME sekitar 40% lebih tinggi dari kebutuhan untuk maintenance. Sedangkan dilihat dari sudut kandungan protein pada pakan yang dibutuhkan, pada rusa Jawa lepas sapih hingga remaja (6 – 12 bulan) adalah 15% BK, dan sesudahnya adalah 19% BK, terlebih pada fase pertumbuhan ranggah pada yang jantan. Defisiensi protein akan menurunkan kenaikan bobot badan, terutama dimulai dari kandungan 10% ke bawah (DRYDEN, 1999). Efisiensi pemanfaatan pakan pada rusa Sambar menunjukkan variasi yang cukup besar dengan rusa Merah (Tabel 4).
Tabel 2. Kisaran tingkat konsumsi bahan kering rusa tropik Bahan pakan
Konsumsi bahan kering (g/kgBB0,75)
Rusa Timor 68 – 71% hijauan segar + 29 – 32% hay dan konsentrat 75 – 88% konsentrat, 12 – 25% limbah sorgum
120 – 160 (kelamin campur) 60 – 75 (jantan); 68 – 70 (betina)
49,6% oat; 49,3% isolat protein
101,5 (jantan)
Hay Lucerne (Medicago sativa}
63,6 – 66,9 (jantan)
Hay barley (Hordeum sp.)
60,8 (jantan)
Hay soybean (Glycine max)
73,3 (jantan)
Rusa Sambar Hay Lucerne Sumber: DRYDEN (1999); SEMIADI (1993)
34
43,9 – 58,7 (kelamin campur)
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
Tabel 3. Kebutuhan energi pada rusa Timor dan rusa Sambar Maintenance (MJ/kg0,75/hari)
Pertumbuhan (MJ/kgLWG)
0,51
32
Jantan, 12 – 24 bulan, dalam kandang
0,52
24,9
Betina, 12 – 24 bulan, dalam kandang
0,53
26,5
Deskripsi Rusa Timor Jantan 12 – 16 bulan, dalam kandang Rusa Sambar
Sumber: DRYDEN (1999); SEMIADI et al. (1995) Tabel 4. Efisiensi pengunyahan selama pengambilan pakan dan ruminasi antara rusa Sambar dan rusa Merah Rusa Sambar
Rusa Merah
Mengambil pakan 8,0
8,8
Tingkat konsumsi (mgBK/kgBB0,75/menit)
Tingkat konsumsi (gBK/menit)
12,0
11,0
Jumlah kunyahan/menit makan
84,1
100,3
Jumlah kunyahan/gBK
11,0
11,7
Ruminasi Jumlah kunyahan/bolus ruminasi
59,6
94,1
Lama kunyahan/bolus ruminasi (detik)
40,7
61,7
Jumlah bolus/jam
68,0
48,0
Jumlah kunyahan/menit ruminasi
89,9
91,5
5,2
5,1
Selang waktu antar bolus ruminasi (detik) Sumber: SEMIADI et al. (1994)
PERFORMANS REPRODUKSI DAN PRODUKSI Dalam hal reproduksi, telah banyak dilaporkan dari mulai lama kebuntingan, siklus estrus dan lama estrus. Perkawinan silangpun
telah dilakukan antara rusa Timor dengan rusa Sambar dan rusa Sambar dengan rusa Merah. Secara umum, rusa Timor mempunyai kisaran lama kebuntingan 243 – 252 hari dengan siklus estrus 16,8 hari (BIANCHI, 1999) Tabel 5.
Tabel 5. Lama estrus (jam) dan siklus estrus (hari) pada rusa asal daerah tropik Jenis
Lama estrus (jam)
Siklus estrus (hari)
Rusa eldi thamin
12 – 24
19 – 21,5
Rusa timorensis
6 – 25; 12, 48
10 – 18; 20 – 22, 16 – 18
Rusa unicolor
20,5 (9,5 – 29)
17 (15 – 23)
Axis axis
---
12 – 23; 19,3 (17 – 21)
Axis kuhlii
---
17,4 (1,51)
Muntiacus muntjak
48
14 – 21
Nama spesies merujuk pada WILSON dan REEDER (2005) Nilai dalam kurung menunjukkan angka kisaran
35
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
Pada rusa Sambar muda yang belum dikawinkan (nuliparous), lama periode berahi di tahun pertama berlangsung antara 21 – 89 hari, dimana selama periode tersebut terjadi antara 1 – 5 kali siklus luteal (luteal cycles). Secara umum, periode berahi ini sangat individualistis, dimana satu ekor mempunyai masa aktif luteal yang ekstrim, lebih dari 390 hari dengan terjadinya lebih dari 20 kali siklus luteal, hingga saat penelitian dihentikan. Rataan lamanya fase luteal adalah 17,2 hari dengan kisaran 13 – 22 hari. Pada beberapa ekor mempunyai masa fase luteal yang sangat singkat yaitu hanya 11 hari dan yang cukup panjang yaitu 31,32 dan 44 hari. Dari data tersebut diperoleh gambaran bahwa pubertas untuk pertama kali pada rusa Sambar dapat terjadi pada kisaran bobot hidup 72 – 102 kg, atau umur termuda 7 bulan (ASHER et al., 1997). Hasil penelitian pada rusa Timor di Indonesia menunjukkan bahwa melalu program sinkronisasi menggunakan CIDR-G yang dipasang selama 14 hari, puncak estrus terjadi 28 – 30 jam pascapelepasan CIDR-G dengan lama estrus antara 34 – 36 jam (NALLEY et al., 2008a). Sedangkan panjang siklus estrus diperoleh antara 16 – 18 hari (NALLEY et al., 2008b). POLA PERTUMBUHAN Pada rusa Sambar, kenaikan bobot hidup yang cepat terjadi dari sejak lahir hingga umur 28 bulan, untuk kemudian melambat. Pada umur 12 bulan, jantan mempunyai bobot hidup 17% lebih berat dari betina. Pencapaian bobot hidup 100 kg pada betina dapat dicapai pada umur 452 hari dan jantan pada umur 343 hari (SEMIADI et al., 1998). Laju pertumbuhan anak rusa Sambar pada pemeliharaan buatan dari umur 24 jam hingga lepas sapih (70 hari) adalah 347 g/hari, dengan bobot sapih mencapai 30 kg (SEMIADI et al., 1993). Pertumbuhan pada rusa Totol jantan terus
36
berlangsung hingga umur 5 tahun tanpa terlihat adanya penurunan bobot hidup yang berarti pada saat pergantian musim. Kalaupun ada variasi nilai kenaikan bobot hidup diantara pejantan rusa Totol, ini lebih dikarenakan oleh bulan kelahiran yang berbeda (CHAPPLE, 1989). Pengamatan pada kelompok rusa betina Timor di Australia menunjukkan pertumbuhan bobot hidup tertinggi dicapai antara umur 2 – 10 bulan, dengan kisaran kenaikan antara 121 – 169 g/hari pada betina dan 150 – 214 g/hari pada jantan. Setelah itu kenaikan bobot hidup menurun hingga mencapai umur 26 bulan. Laju kenaikan bobot hidup terendah dicapai pada umur sekitar 300 – 360 hari (WOODFORD dan DUNNING, 1992) Tabel 6. Sedangkan SOOKHREA dan DRYDEN (1993) menyatakan bahwa pertumbuhan anak rusa Timor hingga berumur 18 minggu (umur sapih alami) yang disusui induknya dapat mencapai 184 – 205 g/hari, dan yang dibesarkan oleh manusia dengan menggunakan susu sapi hanya mencapai 80 – 133 g/hari. Pada rusa Timor liar di Papua, diperoleh gambaran pertumbuhan bobot hidup antara 61,20 – 67,78 g/ekor/hari (KILLIAN,1996). Adanya perlakuan kastrasi pada rusa jantan Timor memberikan selisih perbedaan persentase karkas sebesar 1% (Tabel 7). Tabel 6. Pola pertumbuhan rusa Timor (g/hari) di Australia Umur (hari)
Betina
Jantan
0 – 60
169
184
60 – 120
158
172
120 – 180
175
214
180 – 240
121
178
240 – 300
121
150
300 – 360
98
96
360 – 420
121
173
Sumber: WOODFORD dan DUNNING (1990)
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
Tabel 7. Perbedaan penampilan rusa jantan Timor yang dikastrasi dan tidak pada umur 12 bulan Tidak dikastrasi
Dikastrasi
Umur 24 bulan
54,5 (1,9)
58,5 (2,3)
Umur 30 bulan
62,5 (3,0)
68,5 (2,3)
pada umur empat tahun 100%. Sedangkan pada betina, pada umur satu, dua dan tiga tahun dicapai bobot hidup maksimumnya sebesar 71, 90 dan 100% (DOUGLAS, 1982).
Berat tubuh (kg)
HASIL KARKAS
Pertumbuhan (g/hari) Umur 12 – 24 bulan
82 (12)
91 (1)
Umur 24 – 30 bulan
45 (6)
63 (12)
Umur 12 – 30 bulan
70 (5)
82 (5)
58
59
Persentase karkas (%)
Angka dalam kurung menunjukkan standar error Sumber: LEBEL et al. (1994
BREEDING Upaya mendapatkan ”jenis/galur” baru dari ternak rusa pernah dilakukan dengan mencoba mengawinkan antara rusa tropika, rusa Sambar dengan rusa Eropa, rusa Merah, namun gagal dicapai turunan yang diharapkan (SEMIADI, 1995, data tidak dipublikasi). Namun demikian perkawinan silang antara rusa Timor, yang relatif berbadan kecil, dengan rusa Sambar, yang berbadan besar, telah cukup banyak dilakukan. Berat sapih rusa persilangan pada rusa jantan dicapai 17,12 ± 2,78 kg dan berat sapih rusa betina yaitu 16,19 ± 3,34 kg. Pada umur 7 bulan masing-masing jenis jantan dan betina mencapai bobot hidup 46,60 ± 6,91 kg (jantan) dan 39,65 ± 7,01 kg (betina, DRADJAT, 2000). Di Mauritius, rusa Timor jantan pada umur satu tahun dapat mencapai 52% dari berat maksimumnya, pada umur dua tahun 67%nya, umur tiga tahun 76%nya dan
Pada rusa Timor jantan hasil penangkaran di Australia, persentase karkas dapat mencapai 60 – 62% pada umur 13 – 15 bulan, atau secara umum antara 56 – 63% (DRYDEN, 1997; WOODFORD dan DUNNING, 1992). Nilai ini termasuk tinggi bila dibandingkan dengan nilai persentase karkas yang ada pada rusa Merah, sekitar 53 – 55% atau rusa fallow antara 55 – 61% (DRYDEN, 1997; SEMIADI et al., 1993). Di Mauritius, pada umur 1,5 tahun rusa Timor menghasilkan karkas seberat antara 32 – 34 kg pada yang betina dan 38 – 40 kg pada yang jantan. Sedangkan di Australia pada umur 20 bulan diperoleh karkas seberat 50 – 55 kg (CHARDONNET, 1988). Ini menunjukkan bahwa peningkaan nilai karkas adalah bersamaan dengan semakin dewasanya satwa. Rataan berat karkas dari rusa Sambar liar yang dijual di daerah Kalimantan Timur adalah 115 kg pada yang jantan dan 105 kg pada yang betina (SUKMARAGA, 1982). Imbangan daging:tulang pada rusa Timor adalah 4,7:1,0 sedikit lebih rendah bila dibandingkan dengan rusa Merah (5 : 1) atau rusa Fallow (5,5 : 1), tetapi lebih tinggi bila dibandingkan dengan sapi (4,4 : 1) (DRYDEN, 1997). Kastrasi pada rusa dilaporkan cukup berpengaruh terhadap ukuran karkas yang dihasilkan untuk umur pemotongan antara 13,19 dan 25 bulan, tetapi tidak memberikan perbedaan nyata pada imbangan produksi pada primal joint (SOOKHREEA et al., 2001).
Tabel 8. Proporsi karkas rusa Timor jantan berdasarkan umur potong Umur (bulan)
Proporsi dari karkas (%)
Berat karkas (kg) Otot
Tulang
Lemak
13
38
75,9
18,9
5,2
19
54
75,6
17,0
7,4
25
57
74,5
15,8
9,6
75,3
17,2
7,4
Rataan Sumber: DRYDEN (1997)
37
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
RANGGAH (ANTLER) Hal yang sangat menarik dari dunia penelitian rusa adalah penelitian dalam bidang ranggah muda (velvet antler) yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Asia Timur, tetapi sekarang telah mulai merambah ke konsumen barat. Penelitian intensif pada ranggah muda asal rusa daerah dingin memang menunjukkan adanya beberapa klaim dari para tabib Asia Timur yang sesuai dengan kenyataan, setidaknya bahwa ranggah muda banyak memberikan pengaruh positif dalam hal peningkatan metabolisme tubuh serta yang berhubungan dengan permasalahan tulang (HEMMINGS dan SONG, 2004; KIM et al., 2008). Ranggah (antler) adalah bagian dari anggota tubuh rusa yang sebagian besar bahan dasarnya adalah kalsium yang tumbuh keluar anggota tubuh, pada bagian kepala, yang melewati fase tumbuh dan gugur dalam satu siklus yang tetap. Hal ini berbeda dengan tanduk, yang dikenal pada kambing, domba, sapi, anoa yang berbahan dasar keratin dan bersifat melekat secara permanen. Pertumbuhan ranggah sangat cepat, bahkan dapat mencapai 2 cm per hari pada beberapa spesies. Ini berarti bahwa tulang rawan, tulang, jaringan penyangga seperti syaraf-syaraf, pembuluh darah, dan bulu-bulu akan tumbuh dengan kecepatan yang sama pula (SIM dan SUNWOO, 2001). Rataan berat panenan dari satu buah ranggah pada rusa Sambar yang ada di Penajam menunjukkan berat basah sekitar 298,9 ± 124,55 gram. Kandungan nutrisi dan mineral dari hasil ranggah muda yang telah diproses sebagai bubuk terlihat pada Tabel 9. Selain itu penelitian terhadap rusa Timor menunjukkan lama saru periode dalam ranggah velvet adalah 155,75 hari dan ranggah keras 207,5 hari (HANDARINI, 2006). Penelitian mengenai penggunaan ranggah muda dalam pengobatan beberapa masalah yang berhubungan dengan kesehatan telah dilakukan. Ekstrak air dari ranggah muda diinjeksikan ke tikus jantan yang telah diimunisasi dengan kolagen tipe II, hasilnya memperlihatkan adanya hambatan terhadap perkembangan arthritis dan imun respon terhadap colagen tipe II (KANG et al., 2006). Di negara China, Korea, Jepang dan Rusia
38
dilaporkan bahwa ranggah muda digunakan untuk pencegahan, pengobatan dan penanggulangan berbagai penyakit dan lukaluka. Saat ini, penelitian-penelitian besar dilakukan di negara-negara tersebut mengenai kemampuan ranggah muda dalam mengurangi peradangan, pengaruhnya terhadap metabolisme tubuh, menunjang fungsi imun tubuh, menjaga dari kerusakan jaringanjaringan dan mempengaruhi fungsi-fungsi dari darah, hati, dan ginjal. Pada kenyataannya, hasil analisis pada laboratorium mengungkapkan bahwa ranggah muda mengandung profil nutrisi yang sangat komprihensif meliputi kolagen, asam-asam amino, asam-asam lemak esensial, mineralmineral, dan protein fungsional lainnya, yang seluruhnya merupakan komponen-komponen vital bagi fungsi metabolisme manusia (AHN, 1994). Komposisi kimia ranggah muda terdiri atas 66% protein (kolagen, proteoglikan, asamasam amino), abu atau mineral 30% (Ca, P, Mg, Mn, dan mineral-mineral lainnya), glikosaminoglikan 3% (khondroitin sulfat, dermatan sulfat, keratin sulfat, heparin sulfat, heparin sulfat dan asam hialuronat), lipid 1% (asam-asam lemak, fosfolipid dan kolesterol) (AHN, 1994; SUNWOO, et al 1995). Tabel 9. Kandungan mineral, lemak protein ranggah muda rusa Sambar 60 hari Nutrisi
Kandungan
Fosfor (%)
0,12
Fe (ppm)
0,40
Calcium (%)
18,45
Lemak (%)
2,48
Protein (%)
56,13
Sumber: JAMAL et al. (2005)
POTENSI PENELITIAN Dalam hal genetika, penelitian lebih ditekankan pada pendekatan konservasi, yaitu mencari hubungan kekerabatan dengan kelompok rusa lainnya. Di Selandia Baru dan Australia genetika telah dipakai sejak 10 tahun yang lampau dalam menandai turunan rusa yang unggul. Sedangkan penelitian perilaku, lebih ditujukan pada kegiatan rusa di dalam
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
pedok. Pentingnya pemahaman perilaku rusa di dalam pedok adalah bertalian dengan manajemen pemeliharaan, mengingat sifatnya yang liar. Pemahaman perilaku adalah kunci dari suksesnya usaha peternakan rusa khususnya dalam sistem pedok. Masa produksi anakan pada rusa tropika belum diketahui dengan baik, tetapi pada rusa Merah ada gambaran bahwa pada tingkat penangkaran produktivitas indukan dapat berlangsung selama 15 tahun (GLEN, 1996). Penelitian yang masih sangat dibutuhkan dalam pengembangan rusa di Indonesia adalah penelitian yang dapat memberikan masukan justifikasi bahwa peternakan rusa secara ekonomi di Indonesia feasible. Hal ini menyangkut penelitian dalam hal model pengelolaan dan penangkaran, produksi, nutrisi dan hal yang berkaitan dengan reproduksi. Dari kebijakan negara, sangat dibutuhkan pula keputusan politis agar rusa masuk dalam daftar hewan yang diteliti sebagai hewan ternak. Kegiatan berjalan yang tengah dilakukan saat ini adalah pemilihan calon indukan bibit pada sejumlah rusa Sambar (243 ekor) yang ada di Pusat Pembibitan dan Inseminasi Buatan Kalimantan Timur. Dari hasil seleksi ini diharapkan diperoleh calon indukan dan turunan yang potensial sebagai kandidat indukan di masyarakat yang berkeinginan untuk mengembangkan rusa Sambar sebagai satwa ternak. Rusa, memang telah ditetapkan oleh Menteri Pertanian sebagai kelompok “ternak” melalui SK no. 404/Kpts/OT.210/6/2002. Hal ini menimbulkan suatu problematika mengingat statusnya yang lebih dahulu telah ditetapkan sebagai satwa liar yang dilindungi sejak tahun 1931 (Staatblad) dan diperkuat kembali di zaman kemerdekaan berdasarkan UU no. 5 tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999. Namun demikian sesuai dengan perundangan yang ada, satwa liar dapat dimanfaatkan seluas-luasnya untuk berbagai kepentingan. Untuk itu konsolidasi antar departemen masih perlu ditindaklanjuti untuk masa depan pemanfaatannya. Bersamaan dengan semakin meningkatnya minat negara Asia dalam mengembangkan penangkaran rusa tropis, hal ini merupakan sesuatu yang positif bila di Indonesia juga dikembangkan kegiatan serupa dan tidak menyalahi aturan perundangan.
KESIMPULAN Penetapan bahwa rusa di Indonesia dapat dikembangkan menjadi hewan ternak seperti apa yang telah dilakukan di luar negeri terhadap rusa asli kita, sebenarnya merupakan keputusan yang dapat ditetapkan dengan segera melalui penelitian yang intensif pada kondisi negara ini. Mengingat di Indonesia kehidupan satwa liar pada dasarnya dilindungi, maka perlu ada tatanan aspek ilmiah yang dapat menjustifikasi tentang kemungkinan pemanfaatan rusa sedemikian jauh sehingga membentuk kelompok tersendiri, ternak rusa. Namun melihat realita lapang dan kebutuhan akan sumber protein bagi bangsa sendiri, maka pengembangan usaha pengembangan penangkaran/peternakan rusa merupakan alternatif yang perlu ditindaklanjuti bersama. DAFTAR PUSTAKA AHN, B.H. 1994. Study on the nutritive value of velvet antler by major producing districts. Kor. J. An. Nutr. 18(3): 173 – 178. ASHER, G.W., P.D. MUIR, G. SEMIADI, K.T. O’NEILL, I.C. SCOTT and T.N. BARRY. 1997. Seasonal patterns of luteal cyclicity in young red deer (Cervus elaphus) and sambar deer (Cervus unicolor). Reprod. Fertility Dev. 9: 587 – 596. ASHER, G.W., S.L. MONFORT and C. WEMMER. 1999. Comparative reproductive function in cervids: Implications for management of farm and zoo populations. J. Reprod. and Fertility Suppl. 54: 143 – 156. BIANCHI, M. 1999. Physiologie de la Reproduction et Maitrise du Rut. 1999. In: Le Cerf Rusa en Nouvelle Caledonie. CIRAD. Port Laguerre. pp. 23 – 28. CHAPPLE, R.S. 1989. The biology and Behaviour of Chital deer (Axis axis) in Captivity. PhD Dissertation. University of Sydney, Sydney, Australia. CHARDONNET, P. 1988. Etude de factibilite technique et economique de l'elevage de cerfs en Nouvelle-Caledonie. IEMVT, Cedex. CHARDONNET, P., B. CLERS, J., FISHER, R., GERHOLD, F. JORI and F. LAMARQUE. 2002. The value of Wildlife. Rev. Sci. Tech. Off. Int. Epiz. 21: 15 – 51.
39
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
DE VOS, A. 1995. The economics of wildlife utilization. In: Intergrating people and wildlife for a sustainable future. BISSONATTE, J.A. and P.R KRAUSMAN (Eds.). The Wildlife Society. 3308 – 3312.
HEMMINGS, S.J. and X. SONG. 2004. The effects of elk velvet antler consumption on the rat: Development, behaviour, toxicity and the activity of liver. Comp. Biochem. Physiol. Part C 138: 105 – 112.
DRAJAT, A.S. 2002. Lokakarya Strategi dalam pemanfaatan dan pengembangan ternak rusa sebagai ternak alternatif penghasil daging dan hasil ikutannya yang bernilai tinggi. Jakarta, 10 September 2002. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan.
HOFFMAN, L.C. and E. WIKLUND. 2006. Game and venison: meat for the modern consumer. Meat Sci. 74: 197 – 208.
DRYDEN, G. 1999. Nutrient requirements of rusa deer. In: Le Cerf Rusa en Nouvelle Caledonie. CIRAD. Port Laguerre. pp. 17 – 22. DRYDEN, G.MCL. 1997. Venison in the human dietis venison a low-fat meat?. Proc. of the Nutrition Society of Australia 21: 44 – 51. FLETCHER, J. 1998. The first new domesticant for 5000 years. In: Tribute to world deer farming. ELLIOT, J. (Ed.) Proc. 2nd World Deer Farming Congress. Ireland. Dublin. pp. 5 – 14. FRANZMANN A.W., CRAVEN I., HADISEPOETRO, S and SORONDANYA, C.K. 1995 Management strategies for rusa deer in Wasur National Park, Irian Jaya. In: Intergrating people and wildlife for a sustainable future. BISSONATTE, J.A. and P.R. KRAUSMAN (edits.). The Wildlife Society pp. 516 – 519. GLENN, J. 1996. A development planning model for deer farming. Agricultural System 51: 317 – 337. GRIMAUD, P., L. DESVALS and P. CHARDONNET. 1994. Prediction of voluntary intake of tropical forages by rusa deer (Cervus timorensis russa) in New Caledonia. In: Recent developments in deer biology. MILNE, J.A. (Ed.). Macaulay Land Use Research Institute. Aberdeen. UK. pp. 235 – 236. HAIGH, J.C. and R.J. HUDSON. 1993. Farming wapiti and red deer. Mosby Publ. St. Louis HANDARINI, R. 2006. Dinamika Aktivitas Reproduksi Berkaitan dengan Tahap Pertumbuhan Ranggah Rusa Timor (Cervus timorensis) Jantan Dewasa. Disertasi. Institut Pertanian Bogor.
40
JAMAL, Y., G. SEMIADI dan R.T.P NUGRAHA. 2005. Kualitas produk ranggah muda rusa sambar tangkaran. Berkala Ilmiah Biologi (UGM) 4: 325 – 336. KANG S-K., KIM K-S., KIM S-I., CHUNG K-H., LEE IS. and KIM C-H. 2006. Immunosuppressive activity of deer antler extracts of cervus korean temminck var. mantchuricus swinhoe, on type II collagen-induced arthritis. In Vitro Cellular And Developmental Biology-Animal 42(3 – 4): 100 – 107. KILLIAN, A.M. 1996. Assessment of utility, production and physical characteristics of rusa deer (Cervus Timorensis) in subdistricts of Merauke and Okaba, Irian Jaya, Indonesia. University of Phillippines. Los Banos. Phillipine. KIM, K., KIM, K-S, PARK, S., KIM, J., CHUNG, K. KIM, D., LEE, Y and KIM, C. 2008. Effect of Cervus korean on protease activities, antioxidant and free radical damages in rheumatis arthritis rats. Toxicology In Vitro 22: 80 – 86. R. 1994. New species for meat production. J. Agric. Sci. (Cambridge). 123: 1 – 8.
KYLE,
LEBEL, S., P. CHARDONNET, D. DULIEU and M. Salas. 1994. Impact of castration on growth rate,carcass characteristics and meat quality of rusa Java (Cervus Timorendsis russa) stags in New Caledonia. In: Recent Developments in Deer Biology. MILNE, J.A. (Ed.). Macaulay Land Use Research Institute Aberdeen, UK. 369. NALLEY, W.M.M., H.L.L BELLI, R. HANDARINI, I. ARIFIANTINI, B. PURWANTARA, T.L YUSUF, M. AGIL and G. SEMIADI. 2008b. Determination of the length of estrous cycle of timor deer hinds (Cervus timorensis). 3rd International Meeting on Asia Zoo/Wildlife Medicine and Conservation. Bogor, August 19 – 22 2008.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
NALLEY, W.M.M., R. HANDARINI, I. ARIFIANTINI, B. PURWANTARA, T.L YUSUF and G. SEMIADI. 2008a. Detection of estrous in Timor hind. Presented in the 3rd International Meeting on Asia Zoo/Wildlife Medicine and Conservation. Bogor, 19 – 22 August 2008. SEMIADI, G and Y. JAMAL. 2002. Gambaran Awal Mengenai Kualitas Venison Aal Rusa Sambar yang Diperjualbelikan di Pasar Tradisional di Kalimantan Timur. Laporan Penelitian. Puslit Biologi LIPI. SEMIADI, G. 2007. Pemanfaatan satwa liar dalam rangka konservasi dan pemenuhan gizi masyarakat. Zoo Indonesia 16: 63 – 74. SEMIADI, G. and R.T.P NUGRAHA. 2004. Panduan Pemeliharaan Rusa Tropis. Puslit Biologi LIPI. 282 hlm. SEMIADI, G., BARRY, T.N and MUIR, P.D. 1993. Growth, milk intake and behaviour of artificially reared sambar deer (Cervus unicolor) and red deer (Cervus elaphus) fawns. J. Agric. Sci. Cambridge 121: 273 – 281. SEMIADI, G., BARRY, T.N and MUIR, P.D. 1995. A comparison of seasonal patterns of grwoth, voluntary feed intake and plasma hormone Concentrations in Young Sambar Deer and Red Deer. J. Agric. Sci. Cambridge 125: 109 – 124. SEMIADI, G., BARRY, T.N dan MUIR, P.D. 1998. Perubahan berat badan rusa sambar (Cervus unicolor) pada kondisi padang rumput di daerah beriklim sedang. J. Biol. Indon. II: 104 – 110. SEMIADI, G., BARRY, T.N., STAFFORD, K., MUIR, P.D and REID, C.S.W. 1994. Comparison of digestive and chewing efficiency and time spent eating and ruminating in sambar deer (Cervus uniocolor) and red deer (Cervus elaphus). J. Agric. Sci. 124: 89 – 97.
SOOKHAREEA, R and DRYDEN, G. MCL. 1993. Artificial rearing of rusa fawns (Cervus rusa Timorensis). In: Recent advances in animal nutrition in Australia. (Ed D.J Farrell). The University of New England. Armidale.6B. SOOKHAREEA, R, TAYLOR, D.G., DRYDEN, G. MCL and WOODFORD, K.B. 2001. Primal joints and hind leg cuts of entire and castrated Javan rusa stags. Meat Science 58: 9 – 15. H. 1982. Beberapa aspek SUKMARAGA, kemungkinan pelestarian Cervus unicolor Brookei (Rusa/payau) dengan cara pendayagunaan sebagai hewan ternak. Laporan Penelitian. Universitas Brawijaya, Malang. SUNWOO H.H., M. SIM LY, T. NAKANO, R.J. HUDSON and J.S. SIM. 1995. Chemical composition of antler from wapiti (Cervus elaphus). Agric. Food Chem. 43: 2846 – 2849. TOMKINS, N.W and N.P. MCMEINAM. 2006. The effect of different levels of dietary crude protein on urea metablism of rusa deer (Cervus timorensis). Small Rum. Res. 66: 187 – 196. WILSON, D.E and D.M. REEDER. 2005. Mammal: Species of the world. A taxonomic and geographical references. The Johns Hopkins University Press. Baltimore. WILSON, P.R., K.J STAFFORD, D.G THOMAS and D.J MELLOR. 2001. Evaluation of techniques for lignocaine hydrochloride analgesia of velvet antler of adult stags. New Zealand Vet. J. 48: 182 – 187. WOODFORD, K. and A. DUNNING. 1990. Production cycles and characteristics of rusa deer in Queensland. Unpublished paper. Gatton College. University of Queensland. YEREX, D. and I. SPIERS. 1987. Modern Deer Farm Management. Ampersand Publ. Upper Hut.
SEMIADI. G. 1993. The Domestication and Nutrition of Sambar Deer (Cervus unicolor): A Comparative Study with Red Deer (Cervus elpahus). Dissertation. Massey University, New Zealand.
41
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
DISKUSI Pertanyaan: 1. Bagaimana pola kawin rusa yang dipelihara di Indonesia mengingat rusa di daerah subtropik dipengaruhi musim? 2. Jenis rusa apa yang baik di Indonesia? Jawaban: 1. Pola kawin rusa memang unik, birahi pejantan terjadi pada saat ranggah mengeras. Penempatan 2 jantan pada 30 – 40 betina dapat menghasilkan perkawinan optimum. 2. Jenis rusa yang baik adalah rusa tropis di Asia yang sudah adaptif dengan iklim dan foto periodik tropis.
42