MODEL USAHATANI TERPADU SAYURAN ORGANIK-HEWAN TERNAK (Studi Kasus: Gapoktan Pandan Wangi, Desa Karehkel, Kecamatan Leuwiliang,Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)
SKRIPSI
FIRZA MAUDI H34060227
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
i
RINGKASAN FIRZA MAUDI. Model Usahatani Terpadu Sayuran Organik-Hewan Ternak (Studi Kasus: Gapoktan Pandan Wangi, Desa Karehkel, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat). Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan NUNUNG KUSNADI). Gapoktan Pandan Wangi (GPW) yang berada di Desa Karehkel, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, memiliki rencana untuk menerapkan pertanian terpadu antara usahatani sayuran organik-hewan ternak pada skala wilayah, dengan melibatkan beberapa kelompok tani. Setiap kelompok tani memiliki aktivitas usahatani yang spesifik yakni diantaranya aktivitas usahatani sayuran organik, ternak kelinci, ternak domba, aktivitas produksi pupuk bokashi dan silase. GPW dihadapkan pada berbagai pilihan aktivitas yang akan diintegrasikan dan berbagai kendala dalam penerapan pertanian terpadu di Desa Karehkel. Oleh karena itu perencanaan pertanian terpadu perlu dilakukan secara tepat sehingga penerapan pertanian terpadu di Desa Karehkel dapat meningkatkan total keuntungan wilayah dan mengoptimalkan sumberdaya yang tersedia. Penelitian ini bertujuan untuk membantu GPW dalam merencanakan pertanian terpadu di Desa Karehkel melalui pendekatan permodelan linear usahatani sayuran organik terpadu sehingga dapat diketahui aktivitas-aktivitas yang sebaiknya diintegrasikan, jumlah pengusahaan masing-masing aktivitas, dan alokasi sumberdaya yang optimal sehingga mampu memaksimumkan total keuntungan wilayah dalam keterbatasan sumberdaya yang dimiliki. Pemilihan Desa Karehkel sebagai lokasi penelitian dilakukan secara purposive yang dilatarbelakangi oleh adanya rencana GPW untuk menerapkan pertanian terpadu. Responden yang dipilih dalam penelitian ini juga dilakukan secara purposive sehingga dapat menggambarkan pengusahaan masing-masing aktivitas yang mendekati aktual. Data mengenai koefisien teknis yang diperoleh dari lapangan dan dari studi literatur dijadikan acuan dalam merancang model usahatani sayuran organik terpadu di Desa Karehkel. Model kemudian diolah secara kuantitatif menggunakan LINDO lalu hasilnya dianalisis secara kualitatif. Berdasarkan hasil analisis terhadap model integrasi yang dibangun, bahwasanya penerapan model usahatani sayuran organik terpadu (MUSOT) di Desa Karehkel perlu didukung oleh adanya kebijakan pemanfaatan pupuk bokashi di dalam desa. Hal ini disebabkan karena harga pupuk bokashi lebih mahal dibandingkan dengan pupuk organik yang dibeli dari luar desa sehingga akan lebih menguntungkan apabila usahatani sayuran organik menggunakan pupuk organik yang dibeli dari luar desa untuk memenuhi 100 persen kebutuhan pupuknya. Untuk mencapai total keuntungan wilayah secara maksimum maka aktivitas-aktivitas yang sebaiknya diintegrasikan antara lain usahatani sayuran organik, ternak kelinci, aktivitas memproduksi silase, dan aktivitas memproduksi pupuk bokashi. Sangat besarnya skala ekonomi masing-masing aktivitas usahatani yang sebaiknya diusahakan menyebabkan setiap aktivitas usaha yang diintegrasikan perlu diusahakan pada tingkat kelompok tani.
ii
Penerapan model usahatani terpadu sayuran organik-hewan ternak sangat berperan dalam meningkatkan total output wilayah. Khususnya dalam meningkatkan jumlah ternak yang dipelihara karena adanya pemanfaatan limbah sayuran sebagai pakan ternak dalam bentuk silase dapat mengurangi curahan tenaga kerja peternak untuk mencari pakan hijauan sehingga curahan tenaga kerja untuk memelihara ternak akan lebih besar. Selain itu, adanya pemanfaatan limbah ternak sebagai bahan baku pembuatan pupuk bokashi sangat berperan dalam penghematan biaya produksi pupuk bokashi. Model usahatani terpadu sayuran organik-hewan ternak dapat memberikan total keuntungan wilayah yang lebih tinggi daripada penerapan pertanian secara tidak terpadu apabila diiringi dengan insentif ekonomi yang lebih tinggi yakni peningkatan harga sayuran organik per kilogramnya sebagai konsekuensi penerapan kebijakan pemanfaatan pupuk bokashi di dalam Desa Karehkel.
iii
MODEL USAHATANI TERPADU SAYURAN ORGANIK-HEWAN TERNAK (Studi Kasus: Gapoktan Pandan Wangi, Desa Karehkel, Kecamatan Leuwiliang,Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)
FIRZA MAUDI H34060227
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
iv
Judul Skripsi
Nama
: Model Usahatani Terpadu Sayuran Organik-Hewan Ternak (Studi Kasus: Desa Karehkel, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten BogorProvinsi Jawa Barat) : Firza Maudi
NIM
: H34060227
Menyetujui, Pembimbing
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002
Mengetahui Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002
Tanggal Lulus :
v
PERNYATAAN Dengan ini, saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Model Usahatani Terpadu Sayuran Organik-Hewan Ternak (Studi Kasus: Desa Karehkel, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)” adalah karya saya sendiri, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2010
FirzaMaudi H34060227
vi
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Firza Maudi, dilahirkan di Semarang, 1 November 1988. Penulis merupakan anak sulung dari tiga bersaudara pasangan Muktiono dan Hunang Indriarsi. Penulis menempuh pendidikan sekolah dasar dan sekolah menengah di Semarang. Pendidikan sekolah dasar diselesaikan di SD H Isriati pada tahun 2000. Lalu studi dilanjutkan di SMP Negeri 3 Semarang, lulus pada tahun 2003, dan aktif sebagai anggota Rohis OSIS SMP Negeri 3. Pendidikan kemudian dilanjutkan di SMA Negeri 3 Semarang. Semasa di SMA, penulis aktif pada kegiatan PKS (Patroli Keamanan Sekolah) sebagai Kortulat (Kordinator Tugas dan Latihan) dan Ketua Sie Tugas Jalan. Pada tahun 2006 penulis melanjutkan pendidikan di IPB melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Penulis diterima di Departemen Agribisnis sebagai program Mayor (S1), Fakultas Ekonomi dan Manajemen dan Departemen Agronomi dan Hortikultura sebagai program keahlian minor. Selama menjalani pendidikan di perguruan tinggi, penulis aktif dalam berbagai macam kegiatan. Misalnya aktif pada kepengurusan HIPMA (Himpunan Profesi Mahasiswa Peminat Agribisnis ) pada tahun 2008 dan sebagai ketua panitia YES (Young Entrepreneur Seminar) tahun 2008. Selain itu penulis juga aktif dalam mengikuti kegiatan PKM (Program Kreativitas Mahasiswa) yang diselenggarakan
oleh
DIKTI
antara
tahun
2007-2010
sehingga
dapat
menghasilkan kurang lebih delapan PKM, dimana empat diantaranya didanai oleh DIKTI. Penulis juga pernah menjadi Finalis KPKM (Kompetisi Pemikiran Kritis Mahasiswa) Bidang Kesra tahun 2009 di Surabaya dan menjadi finalis KKTM (Kompetisi Karya Tulis Mahasiswa ) Bidang Kesenian pada tahun 2009 di Yogyakarta. Keseharian penulis selain menjalani pendidikan di kuliah, juga kerap mengikuti ajang wirausaha mahasiswa diantaranya yang diadakan oleh CDA-IPB dan Go Entrepreneur oleh Perum Pegadaian. Sampai dengan saat ini, bisnis memproduksi nugget jamur Bongo-bongo yang dirintis bersama rekan-rekan masih terus berlanjut dan penulis dipercaya menjadi manajer bahan baku dan pemasaran. Saat ini penulis juga diberikan kesempatan untuk bergabung bersama Bank BNI 46 melalui jalur ERP-ODP BNI 46 tahun 2010.
vii
KATA PENGANTAR Puji serta syukur kehadirat Allah SWT atas segala berkah dan karuniaNya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Model Usahatani Terpadu Sayuran Organik-Hewan Ternak (Studi Kasus: Gapoktan Pandan Wangi, Desa Karehkel, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)” ini dengan lancar. Ucapan shalawat serta salam juga ditujukan kepada junjungan besar Nabi Muhammad SAW beserta para sahabat. Secara garis besar penelitian ini bertujuan untuk membantu Gapoktan Pandan Wangi (GPW) dalam merencanakan pertanian terpadu yang akan diterapkan di Desa Karehkel. Model yang dibangun dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada gapoktan mengenai aktivitas yang perlu diintegrasikan, jumlah pengusahaan masing-masing aktivitas, dan alokasi sumberdaya yang optimal sehingga dapat memaksimumkan keuntungan wilayah. Namun demikian, penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya saran dan kritik yang membangun kearah penyempurnaan pada skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Agustus 2010
Firza Maudi
viii
UCAPAN TERIMA KASIH Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada: 1.
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS selaku dosen pembimbing skripsi atas bimbingan, arahan, waktu, dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.
2.
Dr. Ir. Anna Fariyanti, MSi selaku dosen penguji utama dalam sidang skripsi penulis yang berkenan memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini.
3.
Eva Yolynda Aviny, SP,MM selaku dosen penguji wakil komisi pendidikan dalam sidang skripsi penulis yang berkenan memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini.
4.
Ibu Sayekti Handayani sebagai Staf Pengajar Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Tadulako, Palu dan Ibu Laeli Komalasari sebagai Staf Pengajar Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan IPB, atas bimbingan jarak jauh kepada penulis saat menyusun skripsi ini.
5.
Ayah dan Ibu Tercinta, Muktiono dan Hunang Indriarsi, kedua adik Flodi Medial dan Fahri Mubin, keluarga Pramusti Indrascaryo, keluarga Ngesti Indriawulan, dan Alifa Fitriani atas cinta, kasih sayang, semangat, dukungan, motivasi dan doa yang tiada henti-hentinya selama penulis menempuh pendidikan hingga saat ini.
6.
Abah Soleh, Pak Galung, Pak Entis, Pak Asmin, Pak Eman, Pak Yani, Pak Zulfakar, dan segenap anggota Gapoktan Pandan Wangi atas keramahan dan dukungan kepada penulis selama melakukan penelitian di Desa Karehkel.
7.
Sahabat-sahabat: Syura, Fani, Gangga, Adam, Mawar, Evy, Faisal, Triana, Dhia, Dini, Rojak, Achmad, Tita, Sarwanto atas canda, tawa, dan arti persahabatan yang telah diberikan selama penulis menempuh pendidikan di IPB
ix
8.
Rekan-rekan Agribisnis 43 yang tidak dapat disebutkan satu per satu, dan tidak lupa Lutfi, Fiqi IPTP 43, Mbak LI INTP 42 yang telah memberikan dukungan kepada penulis dalam menyusun skripsi ini.
Bogor, Agustus 2010
Firza Maudi
x
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ....................................................................................... xv DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xvii DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xviii I.
PENDAHULUAN ..............................................................................
1
1.1. Latar Belakang ............................................................................ 1 1.2. Perumusan Masalah .................................................................... 7 1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................ 11 1.4. Manfaat Penelitian ...................................................................... 11 1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ............................... 12 II.
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 14 2.1. Konteks, Ruang Lingkup, dan Faktor Penting dalam Pembangunan dan Pengembangan Pertanian Terpadu ................. 14 2.2. Dampak Pertanian Terpadu ......................................................... 18 2.3. Pernodelan Pertanian Terpadu ..................................................... 20
III.
KERANGKA PEMIKIRAN ........................................................... 24 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ....................................................... 3.1.1. Definisi Pertanian Terpadu ................................................ 3.1.2. Pertanian Terpadu Tanaman-Ternak .................................. 3.1.3. Konsep Ekonomi Pertanian Terpadu .................................. 3.1.4. Konsep Pemecahan Masalah dengan Program Linear ......... 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ................................................
IV.
METODE PENELITIAN ................................................................ 37 4.1. Lokasi dan Objek Penelitian ....................................................... 4.2. Penentuan Responden ................................................................. 4.3. Jenis dan Sumber Data ................................................................ 4.4. Pengolahan dan Analisis Data ..................................................... 4.4.1. Perancangan Model Linear Usahatani Sayuran Organik Terpadu .................................................. 4.4.1.1. Penerapan Model Usahatani Terpadu Sayuran Organik-Hewan Ternak (MUSOT) ....................... 4.4.1.2. Penentuan Aktivitas Fungsi Tujuan ...................... 4.4.1.3. Pengukuran Kendala ............................................ 4.4.1.4. Model Matematis Usahatani Sayuran Organik Terpadu .................................................. 4.4.1.5. Analisis Sensitivitas ............................................. 4.4.1.6. Analisis PascaOptimal .........................................
V.
24 24 25 27 31 34
37 37 38 39 39 40 41 42 43 47 48
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ............................ 49 5.1. Lokasi dan Topografi .................................................................. 49 5.2. Keadaan Iklim ............................................................................ 49 xi
5.3. Kependudukan ............................................................................ 5.4. Aktivitas Usahatani Desa Karehkel ............................................. 5.5.1. Usahatani Sayuran Organik ................................................ 5.4.1.1. Sejarah Budidaya Sayuran Organik Desa Karehkel ...................................................... 5.4.1.2. Produksi Sayuran Organik dan Potensi Limbah Sayuran ................................................... 5.4.1.3. Gambaran Budidaya Sayuran Organik .................. 5.5.2. Usahaternak Domba ........................................................... 5.5.3. Usahaternak Kelinci ........................................................... 5.5.4. Aktivitas Produksi Pupuk Bokashi danSilase ..................... 5.5. Karakteristik Responden .............................................................. VI.
54 56 57 59 60 61 63
ANALISIS KERAGAAN USAHATANI ......................................... 65 6.1. Usahatani Sayuran Organik ......................................................... 6.1.1. Penggunaan Lahan dan Pola Tanam Sayuran Organik ................................................................ 6.1.2. Kebutuhan Input Produksi Sayuran Organik ...................... 6.1.3. Kebutuhan Tenaga Kerja Sayuran Organik ........................ 6.1.4. Produksi Sayuran Organik dan Limbah Sayuran ................ 6.2. Usahaternak Domba .................................................................... 6.2.1. Kebutuhan Input Produksi Domba ..................................... 6.2.2. Kebutuhan Tenaga Kerja Domba ....................................... 6.2.3. Produksi Domba ................................................................ 6.3. Usahaternak Kelinci .................................................................... 6.3.1. Kebutuhan Input Produksi Kelinci ..................................... 6.3.2. Kebutuhan Tenaga Kerja Kelinci ....................................... 6.3.3. Produksi Kelinci ................................................................ 6.4. Aktivitas Produksi Pupuk Bokashi .............................................. 6.4.1. Kebutuhan Input Produksi Pupuk Bokashi ......................... 6.4.2. Kebutuhan Tenaga Kerja Pupuk Bokashi ........................... 6.4.3. Produksi Pupuk Bokashi .................................................... 6.5. Aktivitas Produksi Silase ............................................................ 6.5.1. Kebutuhan Input Produksi Silase ....................................... 6.5.2. Kebutuhan Tenaga Kerja Silase ......................................... 6.5.3. Produk Silase ..................................................................... 6.6. Ketersediaan Sumberdaya dan Input Pendukung .........................
VII.
50 54 54
65 65 67 69 71 76 76 77 78 79 79 81 83 84 84 87 88 89 90 92 92 93
HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ 96 7.1. Deskripsi Model Usahatani Sayuran Organik Terpadu ................ 7.2. Analisis Model Usahatani sayuran Organik Terpadu ................... 7.2.1. Kegiatan Usahatani Sayuran Organik ................................. 7.2.1.1. Penggunaan Lahan Usahatani Sayuran Organik .................................................. 7.2.1.2. Ketersediaan dan Penggunaan Tenaga Kerja Usahatani Sayuran Organik ............ 7.2.1.3. Penggunaan Pupuk Organik .................................
96 98 98 98 99 101
xii
7.2.1.4. Produk Utama danLimbah Sayuran Organik ........ 7.2.2. Kegiatan Usahaternak Domba ............................................ 7.2.2.1.Pengusahaan Ternak Domba ................................... 7.2.2.2.Ketersediaan dan Penggunaan Tenaga Kerja Ternak Domba ....................................................... 7.2.2.3.Pemenuhan Kebutuhan Pakan Domba .................... 7.2.2.4.Produksi Daging dan Limbah Ternak Domba ......... 7.2.3. Kegiatan Usahaternak Kelinci ............................................ 7.2.3.1. Pengusahaan Indukan Kelinci .............................. 7.2.3.2. Kebutuhan dan Penggunaan Tenaga Kerja pada Usahaternak Kelinci ............................................. 7.2.3.3. Pemenuhan Kebutuhan Pakan Kelinci .................. 7.2.3.4. Produk Utama dan Limbah Kelinci ...................... 7.2.4. Kegiatan Produksi Silase ................................................... 7.2.4.1. Jumlah Produksi Silase ........................................ 7.2.4.2. Kebutuhan dan Penggunaan Tenaga Kerja ........... 7.2.4.3. Pemenuhan Kebutuhan Bahan Baku Hijauan ........ 7.2.4.4. Aktivitas Menjual dan Pemanfaatan Silase ........... 7.2.5. Kegiatan Produksi Pupuk Bokashi ..................................... 7.2.5.1. Jumlah Produksi Pupuk Bokashi ......................... 7.2.5.2. Pemenuhan Kebutuhan Bahan Baku Pupuk Bokashi ...................................................... 7.2.5.3. Kebutuhan dan Penggunaan Tenaga Kerja Produksi Pupuk Bokashi ...................................... 7.2.5.4. Aktivitas Menjual Pupuk Bokashi ........................ 7.2.6. Status dan Penggunaan Sumberdaya Pendukung ................ 7.2.7. Aliran Produk dan Total Keuntungan Model SI dan SII ..... 7.2.7.1. Aliran Produk Model SI dan SII ........................... 7.2.7.1.1. Aliran Produk Model SI ....................... 7.2.7.1.2. Aliran Produk Model SII ...................... 7.2.7.2. Perbandingan Total Keuntungan Model SI dan Model SII ...................................................... 7.3. Analisis Pasca Optimal ............................................................... 7.3.1. Skenario Model Usahatani Sayuran Organik Terpadu ................................................................ 7.3.1.1. Model Skenario I (MS1): Kebijakan Penggunaan Pupuk Bokashi Sebanyak 30Persen dari Total Kebutuhan Pupuk Organik ................... 7.3.1.2. Model Skenario II (MS2): Kebijakan Penggunaan Pupuk Bokashi Sebanyak 50 Persen dari Total Kebutuhan Pupuk Organik ................... 7.3.1.3. Model Skenario III (MS3): Kebijakan Penggunaan Pupuk Bokashi Sebanyak 70 Persen dari Total Kebutuhan Pupuk Organik ................... 7.3.1.4. Model Skenario IV (MS4): Kebijakan Penggunaan Pupuk Bokashi Sebanyak 100 Persen dari Total Kebutuhan Pupuk Organik ...................
101 103 103 104 105 105 105 105 106 107 108 109 109 109 110 110 111 111 111 113 113 113 115 115 115 117 120 122 122
124
125
126
126
xiii
7.3.1.5. Analisis Kebijakan MS1, MS2, MS3, dan MS4 ..................................................... 128 7.4. Analisis Sensitivitas .................................................................... 129 VIII. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 133 8.1. Kesimpulan ................................................................................. 133 8.2. Saran .......................................................................................... 134 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 135 LAMPIRAN ................................................................................................ 143
xiv
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Rata-rata Curah Hujan Selama 12 Tahun Terakhir di Kecamatan Karehkel ..................................................................... 50 2. Data Keragaan Penduduk Desa Karehkel Menurut Mata Pencaharian .............................................................................. 51 3. Data Jumlah Penduduk Tani Menurut Status Petani ........................... 53 4. Klasifikasi dan Tata Guna Lahan pada Kelompok Tani yang Tergabung dalam Gapoktan pandan Wangi ............................... 54 5. Karakteristik Responden Desa Karehkel ............................................ 64 6. Pola Tanam yang Diterapkan Petani Sayuran Organik ....................... 66 7. Kebutuhan Input dan Biaya Produksi di Luar Biaya Pupuk Organik pada Setiap Aktivitas Produksi Sayuran Organik Masing-masing Responden..................................... 68 8. Kebutuhan Tenaga Kerja pada Setiap Aktivitas Usahatani Sayuran Organik di Musim Kemarau dan Penghujan ........................ 70 9. Penjualan Tiap Jenis Sayuran Organik oleh Enam Petani Sayuran Organik Periode Juli 2009 – Maret 2010 ......... 72 10. Asumsi Permintaan Setiap Jenis Sayuran Organik pada Model Usahatani Sayuran Organik Terpadu ............................. 73 11. Produksi Sayuran dan Limbah Sortasi per Bedengan Berukuran 23,9 m2 pada Musim Penghujan dan Musim Kemarau ........................................................................ 74 12. Perhitungan Harga Jual Limbah Sayuran Organik Berdasarkan Biaya Tenaga Kerja Pemanenan ................................... 75 13. Kebutuhan Tenaga Kerja per Ekor Domba pada Usahaternak Domba dalam Waktu Sebulan ...................................... 77 14. Biaya Produksi Kelinci per Bulan di Desa Karehkel ......................... 80 15. Kebutuhan Tenaga Kerja per Ekor Kelinci pada Setiap Bulan oleh Responden Peternak Kelinci ................................. 81 16. Kebutuhan Bahan Baku dan Biaya Produksi 10 Liter MOL Berbahan Dasar Bodogol Pisang ....................................................... 85 17. Produksi Bokashi Pupuk Kandang di Desa Karehkel dengan Total Penggunaan Bahan Baku Sebanyak 727,5 Kilogram ............................................................... 86 18. Kebutuhan Bahan Baku dan Biaya Per Kilogram Bokashi Pupuk Kandang yang Diproduksi ........................................ 87
xv
19. Curahan Tenaga Kerja Pembuatan Bokashi Sebanyak 472,875 Kilogram ............................................................. 88 20. Kebutuhan Input dan Biaya Non Bahan Hijauan untuk Memproduksi Silase dengan Bahan Baku Hijauan sebanyak 100 Kilogram .................................................................... 91 21. Kebutuhan Tenaga Kerja untuk Memproduksi Silase dengan Bahan Baku Hijauan sebanyak 100 Kilogram ....................... 92 22. Total Penyediaan Rumput Per Bulan oleh Peternak di Desa Karehkel .............................................................................. 94 23. Alokasi Lahan Model SI dan Model SII ............................................ 99 24. Jumlah Produksi Sayuran Organik dan Permintaan Setiap Jenis Sayuran Model SI dan Model SII ...................................................... 102 25. Hasil Analisis Optimal Jumlah Pemeliharaan Indukan Kelinci pada Model SI dan Model SII ................................. 106 26. Penerimaan dan Biaya Aktivitas Produksi Pupuk Bokashi Model SI dan Model SII pada Kondisi Optimal ................................ 112 27. Ketersediaan Sumberdaya Pendukung pada Kondisi Optimal Model TSI dan Model SII ................................................................. 114 28. Perbandingan Total Keuntungan Model SI dan Model SII pada Kondisi Optimal ....................................................................... 121 29. Konsekuensi Penerapan Kebijakan Penggunaan Pupuk terhadap Total Keuntungan MS1, MS2, MS3, dan MS4 ................... 128 30. Selang Kepekaan Perubahan Harga pada Fungsi Tujuan pada MS1, MS2, MS3, dan MS4 ..................................................... 130 31. Selang Kepekaan Perubahan Ketersediaan Sumberdaya MS1, MS2, MS3, dan MS4 .............................................................. 132
xvi
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Kombinasi Optimum Dua Produk yang Memberikan Penerimaan Maksimum Tanpa Pasar Produk Antara ........................ 28 2. Kombinasi Optimum Dua Produk yang Memberikan Penerimaan Maksimum dengan Pasar Produk Antara ...................... 30 3. KerangkaPemikiran Operasional ....................................................... 36 4. Aliran Produk Hasil Pemecahan Optimal Model SI ........................... 116 5. Aliran Produk Hasil Pemecahan Optimal Model SII .......................... 118 6. Aliran Produk Hasil Pemecahan Oprimal MS1 .................................... 125 7. Aliran Produk Hasil Pemecahan Optimal Model MS4 ....................... 127
xvii
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Kebutuhan Input Responden Aktivitas Usahatani Caisin pada Bedengan Berkuran 23,9 m2 ........................................... 144 2. Kebutuhan Input Responden Aktivitas Usahatani Kangkung pada Bedengan Berkuran 23,9 m2 ..................................... 144 3. Kebutuhan Input Responden Aktivitas Usahatani Bayam Merah pada Bedengan Berkuran 23,9 m2 ............................... 144 4. Kebutuhan Input Responden Aktivitas Usahatani Bayam Hijau pada Bedengan Berkuran 23,9 m2 ................................. 145 5. Kebutuhan Input Responden Aktivitas Usahatani Selada pada Bedengan Berkuran 23,9 m2 ........................................... 145 6. Potensi Kotoran Ayam di Sekitar Desa Karehkel ............................... 146 7. Kebutuhan Peralatan, Tenaga Kerja, Biaya Bahan Baku, dan Proporsi Bahan Baku Pupuk Bokashi oleh Responden ................ 147 8. Perhitungan HPP Pupuk Bokashi ....................................................... 149 9. Kebutuhan Peralatan, Tenaga Kerja, Biaya Bahan Baku, dan Proporsi Bahan Baku Silase yang Berbahan Dasar 100 kg Hijauan ........................................................ 150 10. Perhitungan HPP Silase ..................................................................... 151 11. Model SI ........................................................................................... 152 12. Output Model SI ................................................................................ 154 13. Model SII .......................................................................................... 159 14. Output Model SII .............................................................................. 161 15. Model Skenario MS1 ......................................................................... 165 16. Output Model Skenario MS1 ............................................................. 167 17. Model Skenario MS2 ......................................................................... 171 18. Output Model Skenario MS2 ............................................................. 173 19. Model Skenario MS3 .......................................................................... 177 20. Output Model Skenario MS3 ............................................................. 179 21. Model Skenario MS4 ......................................................................... 183 22. Output Model Skenario MS4 ............................................................. 185 23. Keterangan Kendala Model ............................................................... 189 24. Kenaikan Harga Sayuran Organik MS1 ............................................. 191 25. Kenaikan Harga Sayuran Organik MS2 ............................................. 192 xviii
26. Kenaikan Harga Sayuran Organik MS3 .............................................. 193 27. Kenaikan Harga Sayuran Organik MS4 ............................................. 194 28. Dokumentasi ..................................................................................... 195
xix
I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Pertumbuhan penduduk di Indonesia saat ini sudah mengalami penurunan
menjadi 1,3 persen namun pertumbuhan penduduk Indonesia masih relatif besar yakni sekitar 3-4 juta jiwa per tahun1. Kondisi tersebut akan secara langsung berdampak pada peningkatan kebutuhan pangan. Minami (1996) mengutarakan bahwa peningkatan jumlah penduduk akan mendorong pengelolaan lahan pertanian secara intensif sehingga akan meningkatkan kerusakan lingkungan. Oleh karena itu pengelolaan pertanian secara berkelanjutan menjadi sangat penting untuk menjaga kelestarian kegiatan pertanian dan menjaga kestabilan produksi pertanian. Pentingnya pengelolaan pertanian secara berkelanjutan juga disebabkan karena adanya keterbatasan lahan pertanian. Adanya tren penurunan luasan lahan garapan dan kepemilikan lahan pertanian menjadi permasalahan bagi keberlanjutan usahatani dan tingkat keuntungan yang akan diperoleh petani. Permasalahan tersebut dapat diatasi salah satunya dengan melakukan beberapa aktivitas usahatani secara bersama pada lahan yang dimiliki. Sistem pertanian berkelanjutan yang melibatkan berbagai aktivitas usaha disebut sebagai sistem pertanian terpadu (Tampubolon 1997; Behera et al. 2008). Pertanian terpadu adalah sebagai salah satu upaya dalam mengembangkan pola usahatani di suatu daerah sesuai dengan potensi daerahnya. Komoditi unggulan yang menjadi potensi utama di suatu daerah didukung oleh usaha komoditi lain sebagai penunjang (Noor 1996). Sistem pertanian terpadu sebenarnya bukanlah suatu teknologi baru karena kebiasaan bertani dan beternak dalam satu rumah tangga sudah lama mengakar pada budaya pertanian di Indonesia. Penyelenggaraan pertanian terpadu pada hakikatnya merupakan inovasi terhadap sistem pengelolaan teknologi tanpa mengubah teknologi yang sudah ada namun dapat memperbaiki pendapatan petani dan meningkatkan efisiensi usahatani (Djajanegara et al. 2005; Haryani 2009).
1
Pertmumbuhan Penduduk Indonesia Masih Besar. http://www.bkkbn.go.id/Webs/DetailBerita.php?MyID=881 [April 2010]
1
Keberhasilan dan kegagalan suatu inovasi teknologi dapat disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya kesesuaian antara ukuran usahatani petani dengan kebutuhan ukuran usaha teknologi, sumber informasi teknologi, ketersediaan sumberdaya lahan, modal, tenaga kerja, keterampilan teknis dan manajemen petani, serta ketersediaan pasar input maupun pasar output setelah inovasi diterapkan (Rogers 1962; Soekartawi 1988). Adanya kesesuaian antara tingkat kerumitan inovasi dengan keahlian petani, tingkat kemudahan akses sumber informasi inovasi, dapat menjadi salah satu pendukung sebuah inovasi lebih cepat dan dapat diadopsi oleh petani (Kurnia 2000). Pertanian terpadu yang dirancang sebaiknya
disesuaikan
dengan
sumberdaya
petani
karena
setiap
skala
pengembangan dan pembangunan pertanian terpadu memerlukan pengetahuan dan kemampuan manajemen yang berbeda (Minami 1996; Russelle 2007; Rosyid 1990). Ruang lingkup pengembangan dan pembangunan pertanian terpadu dapat dilakukan dalam berbagai skala baik pada skala rumah tangga petani maupun pada skala regional. Keputusan petani untuk mengadopsi teknologi pertanian terpadu juga sangat ditentukan oleh adanya informasi teknis dan informasi ekonomi mengenai potensi keuntungan dari penerapan pertanian terpadu (Panggabean 1982). Kegagalan petani dalam memanfaatkan teknologi akan berdampak pada kegagalan produksi sehingga petani harus disiapkan sedini mungkin untuk mengelola teknologi tersebut. Tidak semua petani yang mengusahakan tanaman dan ternak secara bersamaan menerapkan pertanian terpadu karena terkadang pengelolaan kedua aktivitas tersebut masih dilakukan secara terpisah. Oleh karena itu penerapan pertanian terpadu pada skala rumah tangga petani seringkali mengalami kendala akibat kemampuan manajemen usahatani yang rendah dalam mengalokasikan sumberdaya yang dimiliki. Akibatnya petani tidak dapat memperoleh keuntungan yasng optimal dari beragam aktivitas usahatani yang dilakukannya. Pertanian terpadu yang diterapkan pada skala wilayah atau regional akan melibatkan berbagai macam aktivitas usahatani dengan pola pengusahaan yang berbeda-beda. Adanya pengembangan pertanian terpadu pada skala wilayah mampu menyatukan sumberdaya yang dimiliki petani di daerah tersebut sehingga
2
permasalahan keterbatasan sumberdaya di tingkat petani dapat teratasi. Pola pertanian di Indonesia pada suatu daerah yang seringkali terdiri dari sub-sub daerah yang mengembangkan pertanian monokultur dengan jenis komoditas yang berbeda-beda. Kondisi tersebut sangat memungkinkan untuk membangun sentrasentra produksi komoditas tertentu di sub-sub daerah tersebut dengan skala ekonomi yang lebih besar. Apabila kegiatan usahatani pada sub-sub daerah dapat menunjang satu sama lainnya maka akan sangat memungkinkan untuk membangun sistem pertanian terpadu pada skala regional. Adanya kompleksitas hubungan antara aktivitas usahatani yang dipadukan dapat menjadi kendala dalam proses adopsi sistem pengelolaan usahatani secara terpadu. Banyak hal yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan usahatani terpadu pada skala rumah tangga maunpun pada skala regional antara lain tingkat produksi produk utama, tingkat produksi dan
daya dukung limbah dalam
hubungan sinergis antar aktivitas usaha, ukuran usahatani, kapasitas teknologi (peralatan yang telah dimiliki petani), ketersediaan tenaga kerja, fluktuasi produksi terkait musim, fluktuasi harga pasar, dan sikap petani dalam menghadapai risiko (Minami 1996; Russelle 2007). Selain itu, pertanian terpadu pada skala wilayah perlu ditunjang oleh ketepatan media yang digunakan untuk difusi teknologi sistem pertanian terpadu. Keberadaan kelompok tani (poktan) atau gabungan kelompok tani (gapoktan) merupakan media yang cocok untuk pengembangan pertanian karena memiliki peran yang sangat besar dalam memfasilitasi transfer teknologi, media pelatihan, meningkatkan efisiensi produksi, meningkatkan skala ekonomi, dan meningkatkan efisiensi pemasaran (Hong 1993; Wang 1993). Pengelolaan usahatani terpadu di Indonesia dapat dicirikan oleh usaha yang saling mengisi antara pertanian tanaman pangan dengan peternakan di bawah satu pengelolaan rumah tangga petani
(Sastrodihardjo et al., 1982).
Pertanian terpadu antara tanaman dengan ternak mengacu pada satu kombinasi atau lebih hewan dengan tanaman dan ikan yang memiliki fungsi yang berbedabeda namun memiliki sifat yang komplementer. Output dari salah satu kegiatan menjadi input bagi kegiatan lain sehingga kedudukan sebuah output produksi tidak selalu menjadi produk akhir namun dapat menjadi bahan baku bagi kegiatan
3
usahatani lainnya atau disebut sebagai produk antara (intermediate product). Hubungan sinergis antara aktivitas yang diintegrasikan dapat menghasilkan total output yang lebih banyak daripada output setiap kegiatan tersebut secara individual (Devendra 1993; Behera et al. 2008). Pemanfaatan limbah tanaman yang dihasilkan dapat menjadi solusi dalam mengatasi kekurangan pakan hijauan lapang pada musim kemarau. Limbah tanaman dapat dikatakan sebagai sumber pakan yang bersifat underexploited atau masih belum termanfaatkan secara optimal. Limbah tanaman tersebut dapat didaur ulang secara alami sehingga dapat menghasilkan produk ternak yang bernilai tinggi. Di sisi lain, keberadaan hewan ternak tidak hanya sebagai penghasil bahan pangan namun juga berfungsi sebagai tenaga kerja dan penghasil limbah yang dapat digunakan sebagai pupuk bagi tanaman. Pengelolaan usahatani terpadu tersebut memiliki banyak manfaat antara lain diversifikasi dalam penggunaan sumberdaya,
meningkatkan
efisiensi penggunaan
input,
mengoptimalkan
penggunaan tenaga kerja, meningkatkan pendapatan petani melalui peningkatan produksi, meningkatkan produktivitas, penghematan biaya produksi, mengurangi risiko, serta mengurangi ketergantungan dengan input yang berasal dari luar sistem (Sastrodihardjo et al. 1982; Devendra 1993; Kokubun 1998; Kariyasa dan Pasandaran 2005). Adanya berbagai manfaat penerapan pertanian terpadu dalam melestarikan lingkungan, mengoptimalkan penggunaan sumberdaya yang dimiliki petani, dan meningkatkan pendapatan petani melatarbelakangi banyaknya program pertanian terpadu yang dicanangkan di Indonesia. Pengembangan pertanian terpadu di Indonesia sebenarnya telah dilakukan sejak tahun 1980 oleh Badan Litbang Pertanian misalnya melalui Crop- Livestock system, SUT (Sistem Usahatani Terpadu) Sapi dan Padi, dan sistem integrasi kelapa sawit dan sapi di daerah perkebunan (Kusnadi 2008). Tingginya tingkat pengeluaran (konsumsi) penduduk Indonesia terhadap tanaman pangan khususnya padi dan palawija (36,25 persen)2 melatarbelakangi sebagian besar program pertanian terpadu di Indonesia senantiasa melibatkan tanaman pangan sehingga kebutuhan pangan penduduk dapat tercukupi. Program pertanian terpadu yang sudah dilaksanakan pemerintah 2
Persentase Pengeluaran Rata-rata per Kapita Sebulan Menurut Kelompok Barang Indonesia 1999, 2002-2009. http://www.bps.go.id [Agustus 2010]
4
misalnya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Ternak atau yang biasa disebut SISKA yang banyak dikembangkan di sentra-sentra kelapa sawit di Kalimantan (Paggasa 2008), pengusahaan tanaman karet terpadu dengan tanaman pangan-ternak di daerah transmigrasi Batumarta,Sumatera Selatan (Rosyid 1990), integrasi kakaopadi-ternak (domba dan sapi) di Provinsi Sulawesi Tengah (Handayani 2009), dan integrasi ternak domba pada sentra produksi lada di Sulawesi Tenggara (Sahara et al. 2004). Provinsi Banten juga berencana akan mengembangkan pertanian terpadu antara ternak sapi, aktivitas produksi pupuk, biogas, dan usahatani padi (Hamdani 2008). Pelaksanaan program pertanian terpadu tersebut tidak terlepas dari adanya kegagalan. Misalnya adalah pada program integrasi tanaman-ternak di Kabupaten Parigi Moutong dan Kabupaten Donggala yang dicanangkan tahun 2004. Saat ini paket teknologi integrasi tanaman-ternak di kedua lokasi tersebut sudah tidak ditemui lagi. Penyebabnya adalah pada produksi bahan baku pakan yakni kulit buah kakao yang sangat rendah akibat terserang hama dan sulitnya memperoleh probiotik untuk pembuatan pakan ternak (Handayani 2009). Di sisi lain, keberhasilan pengembangan dan pembangunan pertanian terpadu dapat dilihat pada integrasi tanaman lada dengan domba di Desa Mowila dan Lakomea, Kendari, Sulawesi Selatan yang ditunjukkan dengan masih diterapkannya teknologi terpadu sampai dengan saat ini. Daya tarik bagi petani untuk menerapkan pertanian terpadu lada-domba adalah potensi keuntungannya. Apabila dibandingkan, sistem budidaya terintegrasi mampu menghasilkan keuntungan sampai 341,85 persen lebih tinggi daripada usahatani lada monokultur (Sahara et al. 2004). Selain pengembangan pertanian terpadu antara tanaman pangan-hewan ternak, pemerintah melalui Dirjen Hortikultura juga menetapkan pengembangan agribisnis hortikultura terpadu yang didalamnya mencakup pengembangan integrasi antara sayuran dan ternak3. Pengembangan program hortikultra terpadu tersebut akan diarahkan pada pola zero waste agriculture sehingga setiap kotoran ternak yang dihasilkan dapat dimanfaatakan sebagai pupuk organik dalam budidaya tanaman sedangkan limbah tanaman dapat dimanfaatakan sebagai pakan 3
Hortikultura Terpadu Melalui CF-SKR (Counterpart Fund – Second Kennedy Round) dan “Zero Waste Agriculture”. http://www.hortikultura.go.id/ [Agustus 2010]
5
ternak. Melalui usahatani hortikultura terpadu tersebut diharapkan agar aktivitas usahatani tidak terus menerus menghasilkan limbah (waste biomass) yang mencemari lingkungan4. Pengembangan usahatani hortikultura terpadu dengan pola zero waste agriculture sangat identik dengan pengembangan hortikultura secara organik. Pertanian organik yang memadukan tanaman dengan hewan ternak dapat menjadi salah satu upaya untuk menghilangkan ketergantungan terhadap input yang berasal dari luar sistem. Semakin meningkatnya harga pupuk kimia dan pakan ternak menyebabkan pengusahaan tanaman hortikultura secara organik yang dipadukan dengan hewan ternak dapat menghasilkan penghematan sehingga pendapatan atau keuntungan petani akan meningkat (Abadilla 1982). Program pengembangan agribisnis hortikultura terpadu tersebut didukung dengan adanya kebijakan pemantapan maupun pengembangan sentra-sentra produksi hortikultura baru5 serta melalui Program Pengembangan Kawasan Hortikultura Organik yang akan diimplementasikan dengan pengembangan pilot project di berbagai provinsi di Indonesia. Sasaran dan pelaksana Program Pengembangan Kawasan Hortikultura Organik tersebut
adalah petani, salah
satunya adalah petani sayuran organik, yang tergabung dalam gapoktan. Salah satu provinsi yang akan dijadikan pilot project adalah Provinsi Jawa Barat (Dirjen Hortikultura 2010). Pengembangan usahatani sayuran organik terpadu di suatu wilayah, yang melibatkan gapoktan, dapat menjadi salah satu peluang untuk meningkatkan pendapatan petani. Hal ini didasari oleh adanya tren penawaran dan permintaan sayuran organik
semakin meningkat. Adanya program Deptan (2009) Go
Organic 2010 juga memacu perkembangan usahatani sayuran organik di Indonesia. Menurut survey FiBL (2008), Indonesia memiliki 41 ribu hektar lahan organik yang dikelola sekitar 23 ribu petani dengan volume penjualan mencapai US $200 juta (Prawoto 2008). Produksi produk organik di Indonesia diperkirakan tumbuh kurang lebih 10% per tahun6. Harga sayuran organik setiap kilogramnya 4
Loc.cit Strategi dan Kebijakan Dirjen Hortikultura 2010-2014. http://agribisnis.hortikultura.go.id/ [Agustus 2010] 6 http://www.pasartani.com/file/BeritaDetail.asp?ID=29 [Agustus 2010] 5
6
dapat mencapai 2-4 kali lipat dibandingkan dengan sayuran non organik (Rahmayanti 2008). Harga sayuran organik yang cukup tinggi dapat menjadi salah satu daya tarik bagi petani sayuran non organik untuk beralih menjadi petani sayuran organik. Adanya rencana penerapan usahatani terpadi sayuran organik-hewan ternak di suatu wilayah tentu saja memerlukan perencanaan secara matang. Apalagi keberadaan usahatani terpadu antara sayuran organik dan hewan ternak masih belum banyak diterapkan di Indonesia. Pemilihan jenis sayuran dan jenis hewan ternak harus dilakukan secara tepat agar pola hubungan sinergis yang dibangun dalam sistem usahatani terpadu dapat terlaksana. Selain itu sangat penting untuk mengantisipasi adanya potensi kegagalan yang mungkin terjadi dari penerapan pertanian terpadu tersebut. Berdasarkan uraian sebelumya, dapat dikatakan bahwasanya pembangunan dan pengembangunan usahatani terpadu di suatu lokasi sangat perlu untuk memperhatikan daya tarik ekonomi (keuntungan) dari program pertanian terpadu serta kesesuaian sumberdaya modal, tenaga kerja, lahan, dan kemampuan manajerial petani dalam mengelola pertanian secara terpadu. Apabila rencana usahatani terpadu yang ditetapkan kurang tepat maka dapat merugikan petani. Adanya faktor ekonomi dan kesesuaian ketersediaan sumberdaya petani yang
menjadi faktor penentu keberhasilan program pertanian terpadu,
melatarbelakangi pentingnya analisis secara ekonomi terhadap rencana penerapan usahatani terpadu antara sayuran organik dengan hewan ternak di suatu daerah. Perencanaan dan analisis terhadap faktor ekonomi dapat dilakukan melalui pendekatan perancangan model pertanian terpadu sayuran organik-hewan ternak yang tentu saja perlu memperhatikan ketersediaan sumberdaya di daerah tersebut. Dengan demikian, model yang dirancang dapat memaksimumkan total keuntungan
aktivitas-aktivitas
yang
diinttegrasikan
dalam
keterbatasan
sumberdaya yang tersedia. 1.2
Perumusan Masalah Desa Karehkel merupakan salah satu lokasi yang akan membangun
pertanian terpadu antara sayuran organik dengan hewan ternak pada skala wilayah. Sayuran organik di Desa Karehkel merupakan komoditas unggulan yang 7
terdiri dari jenis selada, kangkung, caisin, bayam hijau, dan bayam merah. Aktivitas budidaya sayuran organik di Desa Karehkel adalah salah satu yang terbaik pada tingkat petani di Kabupaten Bogor. Produksi sayuran organik ratarata per bulannya dapat mencapai 1,68 ton (ICDF 2010). Keberadaan hewan ternak di Desa Karehkel sebagian besar terdiri dari domba (624 ekor) dan kelinci (421 ekor) (Gapoktan Pandan Wangi 2009; Kantor Desa Karehkel 2010). Rencana penerapan pertanian terpadu tersebut diinisiasi oleh Gapoktan Pandan Wangi (GPW) yang berlokasi di Desa Karehkel. Setiap jenis aktivitas yang akan diintegrasikan merupakan suatu kelompok-kelompok terpisah sehingga memiliki kegiatan produksi secara spesifik. Aktivitas produksi yang spesifik di suatu kelompok tani diharapkan dapat meningkatkan skala ekonomi sehingga dapat meningkatkan jumlah produksi. Rencana penerapan usahatani terpadu sayuran organik-hewan ternak di Desa Karehkel ditujukan untuk mengoptimalkan pemanfaatan limbah sayuran organik dan ternak. Potensi limbah sayuran, kotoran domba, kotoran kelinci, dan urin kelinci yang belum dimanfaatkan setiap bulannya masing-masing dapat mencapai 1,4 ton; 28,7 ton; 5 ton; dan 1279,84 liter. Adanya pemanfaatan limbah ternak sebagai pupuk organik dan pemanfaatan limbah sayur sebagai pakan ternak akan dapat menghemat biaya pakan ternak dan biaya pupuk sehingga keuntungan aktivitas yang diintegrasikan akan meningkat. Pemanfaatan limbah ternak maupun limbah sayuran organik memerlukan dukungan aktivitas penunjang berupa unit pengolah limbah . Hal ini disebabkan karena limbah-limbah yang dihasilkan tidak dapat digunakan secara langsung bagi aktivitas usahatani sayuran organik dan hewan ternak. Kotoran ternak memerlukan penanganan secara khusus karena apabila digunakan secara langsung akan berdampak kurang baik bagi tanaman. Karakter limbah sayuran organik yang tidak tahan lama untuk disimpan juga menjadi kendala tersendiri dalam pemanfaatannya sebagai pakan ternak. Oleh karena itu diperlukan penanganan limbah ternak dan limbah sayur agar dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak dengan nilai nutrisi yang baik dan memiliki daya simpan yang lebih lama. Fasilitas yang dapat menunjang penanganan limbah tanaman dan ternak di Desa Karehkel adalah unit produksi kompos dan silase.
8
Upaya penerapan pertanian terpadu sayuran organik dan hewan ternak di Desa Karehkel dihadapkan pada berbagai kendala. Kendala yang dimaksud antara lain lahan, tenaga kerja, dan ketersediaan input produksi misalnya pupuk organik dan pakan ternak. Rata-rata kepemilikan lahan pertanian masing-masing petani di Desa Karehkel adalah sebesar 0,18 Ha (Hendayana 2010). Untuk petani sayuran organik, rata-rata luasan lahan garapan aktual hanya mencapai 645,3 m2 atau setara dengan 0,065 hektar. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwasanya ratarata petani sayura organik di Desa Karehkel adalah sebagai petani gurem. Keberadaan lahan dalam aktivitas usahatani di Desa Karehkel merupakan salah satu kendala untuk meningkatkan produksi maupun pendapatan petani sehingga setiap petani sayuran organik selalu menanam berbagai jenis sayuran di lahan yang dimilikinya. Saat ini aktivitas usahatani sayuran organik yang terpusat pada Poktan Sugih Tani sangat bergantung pada pasokan pupuk kotoran ayam dari luar desa. Adanya ketergantungan tersebut seringkali menyebabkan permasalahan tersendiri bagi aktivitas budidaya sayuran organik. Meskipun pasokan kotoran ayam selalu ada namun terkadang pengiriman pupuk kotoran ayam tersebut tidak tepat waktu. Akibatnya kegiatan pemupukan terlambat sehingga berdampak langsung pada produksi sayuran organik yang tidak maksimal. Cukup banyaknya populasi ternak ruminansia di Desa Karehkel menyebabkan adanya pola hubungan yang kompetitif antar hewan ternak yang diusahakan yakni dalam hal pemenuhan kebutuhan pakan. Kebutuhan pakan bagi hewan ternak di Desa Karehkel, terutama dipenuhi dengan hijauan lapang, baik dalam bentuk rumput maupun dedaunan. Pada musim kemarau, peternak mengalami kesulitan dalam mencari pakan hijauan lapang sehingga seringkali peternak perlu mencarinya di daerah yang cukup jauh. Pada musim kemarau, peternak kelinci memberikan dedak kepada kelinci yang dipelihara dalam jumlah yang relatif lebih banyak daripada musim penghujan. Akibatnya biaya pakan kelinci akan cenderung meningkat pada musim kemarau. Selain itu, produksi urin kelinci jugaakan menurun apabila diberikan dedak dalam jumlah yang cukup banyak sehingga penerimaan dari penjualan urin kelinci akan menurun. Adanya pemanfaatan limbah sayuran sebagai pakan ternak dalam bentuk silase diharapkan
9
dapat menjadi salah satu solusi dalam mengatasi permasalahan tersebut sehingga aktivitas memproduksi silase memegang peranan yang cukup penting dalam memenuhi kebutuhan pakan ternak selain dari hijauan lapang. Ketersediaan tenaga kerja yang dimiliki setiap rumah tangga petani maupun peternak juga sangat terbatas. Oleh karena itu, ketersediaan tenaga kerja dalam bidang pertanian juga menjadi salah satu
kendala dalam upaya
peningkatan jumlah pengusahaan masing-masing aktivitas usahatani. Rata-rata tenaga kerja dalam rumah tangga petani di Desa Karehkel hanya terdiri dari satu orang laki-laki dewasa dan satu orang wanita dewasa. Sebagian besar anggota keluarga lainnya bermata pencaharian di luar usahatani dan sebagian lainnya menempuh pendidikan sekolah. Data Profil Desa Karehkel (2009) menunjukkan bahwa hanya 10 persen penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani. Sebanyak 1,8 persen diantara petani tersebut berstatus sebagai buruh tani. Sebagian besar penduduk Desa Karehkel (90 persen) lebih tertarik untuk bekerja di luar aktivitas pertanian. Adanya berbagai kendala tersebut menyebabkan rancangan model usahatani terpadu sayuran organik-hewan ternak (MUSOT) yang dibangun di Desa Karehkel perlu dirancang secara tepat. Artinya model yang dibangun harus memperhatikan keberadaan berbagai kendala dalam setiap aktivitas usahatani yang akan diintegrasikan. Perancangan MUSOT dilakukan agar dapat membantu GPW untuk merencanakan pertanian terpadu di Desa Karehkel sehingga dapat memaksimumkan total keuntungan wilayah sesuai dengan sumberdaya yang tersedia. Perancangan model yang kurang tepat dapat berdampak negatif terhadap aktivitas-aktivitas yang diintegrasikan sehingga akan merugikan petani. Oleh karena itu, berdasarkan MUSOT yang dirancang dalam penelitian ini diharapkan dapat menjawab berbagai permasalahan sebagai berikut: 1)
Apakah pertanian terpadu pada skala wilayah dapat diterapkan di Desa Karehkel?
2)
Kegiatan usahatani apakah yang sebaiknya diintegrasikan sehingga dapat memaksimumkan total keuntungan wilayah?
3)
Bagaimanakah dampak penerapan pertanian terpadu terhadap pemanfaatan produk antara di dalam desa serta total keuntungan wilayah yang
10
dihasilkan jika dibandingkan dengan pelaksanaan setiap aktivitas usahatani secara tidak terintegrasi? 1.3
Tujuan Penelitian Perancangan MUSOT dalam penelitian ini diharapkan dapat menjawab
berbagai permasalahan di atas. Oleh karena perancangan MUSOT di Desa Karehkel bertujuan untuk : 1)
Menganalisis kemungkinan penerapan pertanian terpadu pada skala wilayah di Desa Karehkel.
2)
Menganalisis kegiatan usahatani yang sebaiknya diintegrasikan sehingga dapat memaksimumkan total keuntungan wilayah.
3)
Mengkaji dampak penerapan pertanian terpadu terhadap pemanfaatan produk antara di dalam desa dan total keuntungan wilayah yang dapat dicapai jika dibandingkan dengan pelaksanaan setiap aktivitas usahatani secara tidak terintegrasi.
1.4
Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan dijadikan
masukan bagi berbagai pihak yang berkepentingan dalam pembangunan pertanian terpadu di Desa Karehkel. Secara rinci penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain: 1)
Pemerintah Kabupaten Bogor, sebagai masukan dalam penentuan kebijakan pengembangan pertanian Desa Karehkel di masa mendatang serta memberikan informasi mengenai potensi desa dalam penerapan pertanian terpadu.
2)
Akademisi dan peneliti, sebagai bahan rujukan untuk penelitian serupa atau pengembangan penelitian yang sudah dilaksanakan.
3)
Perusahaan swasta, sebagai media informasi mengenai potensi Desa Karehkel dalam memproduksi sayuran organik, hewan ternak (kelinci dan kambing) serta pupuk organik sehingga dapat menunjang dalam pengembangan pasar-pasar produk pertanian.
11
4)
Gapoktan Pandan Wangi, sebagai saran dalam rencana penerapan pertanian terpadu di Desa Karehkel sehingga sumberdaya yang tersedia dapat dialokasikan secara optimal. 5) Penulis, untuk memberikan wawasan, pengalaman, dan informasi baru tentang pengelolaan pertanian secara terpadu, serta sebagai media penerapan ilmu dan peningkatan pemahaman yang diperoleh selama masa kuliah.
1.5
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini dilakukan pada Gapoktan Pandan Wangi (GPW) yang
berlokasi di Desa Karehkel, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Objek penelitian ini antara lain petani sayuran organik, peternak, dan aktivitas penunjang yang menangani limbah usahatani maupun usahaternak. Jenis sayuran organik dalam penelitian ini dibatasi pada jenis selada, kangkung, caisin, bayam merah, dan bayam hijau karena pengusahaan sayuran organik di Desa Karehkel hanya dilakukan pada kelima jenis sayuran tersebut. Aktivitas ternak ditentukan berdasarkan jenis ternak yang sangat potensial untuk memanfaatkan limbah sayuran organik dan mampu menghasilkan limbah ternak yang dapat digunakan bagi usahatani tanaman. Oleh karena itu hewan ternak yang dimaksud dalam penelitian ini adalah domba dan kelinci. Keberadaan aktivitas penanganan limbah usahatani di Desa Karehkel dibatasi pada aktivitas produksi pupuk bokashi dan aktivitas produksi silase.Pada kondisi aktual, GPW telah mengetahui teknologi pembuatan pupuk bokashi dan saat ini sedang dalam tahap pengembangan produksi dan komersialisasi. Berbeda halnya pada aktivitas silase, dimana teknologi silase di Desa Karehkel belum diketahui oleh GPW. Adanya silase dalam penelitian ini ditujukan sebagai salah satu upaya pengelolaan dan penangan limbah sayuran sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak dengan umur simpan yang relatif lama. Model yang dibangun pada penelitian ini tidak memiliki dimensi waktu sehingga waktu produksi masing-masing aktivitas diabaikan. Pada kondisi aktual produksi sayuran dan limbah sayuran organik dapat dipengaruhi oleh musim dan penggunaan
input
yang
berbeda.
Model
integrasi
yang
dibangun
menyederhanakan kondisi tersebut dimana diasumsikan sayuran diproduksi pada 12
musim kemarau dan tidak adanya dampak perubahan produksi karena penggunaan input yang berbeda. Begitu juga halnya pada usahaternak, seringkali penggunaan pakan yang berbeda akan secara langsung berdampak pada perbedaan produksi ternak. Model ini pun menyederhanakan kondisi aktual tersebut dimana penggunaan input yang berbeda diasumsikan tidak berdampak pada perubahan produksi ternak. Pada model yang dirancang, kendala yang dimasukkan dalam model antara lain sumberdaya tenaga kerja, lahan, dan berbagai sumberdaya pendukung misalnya ketersediaan produk antara yang mendukung aktivitas usahatani terpadu. Tidak dimasukkannya kendala modal dalam penelitian ini merupakan salah satu keterbatasan dari penelitian ini. Model yang dibangun ditujukan untuk memberikan informasi mengenai alokasi optimal sumberdaya tenaga kerja dalam keluarga, sumberdaya lahan, sumberdaya pendukung misalnya ketersediaan tenaga kerja sewa, ketersediaan rumput lapang, ketersediaan bahan baku hijauan silase, ketersediaan pupuk kotoran ayam serta memberikan informasi mengenai jumlah pengusahaan optimal masing-masing aktivitas kelompok tani sehingga dapat memaksimumkan total keuntungan.
13
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Konteks, Ruang Lingkup, dan Faktor-faktor Penting dalam Pembangunan dan Pengembangan Pertanian Terpadu Pembangunan dan pengembangan pertanian terpadu di suatu daerah
memiliki makna yang berbeda. Pembangunan pertanian terpadu diidentikan dengan aktivitas memulai sebuah pertanian terpadu dimana sebelumnya sama sekali masih belum ada pertanian terpadu di lokasi tersebut. Pada aktivitas pengembangan pertanian terpadu lebih ditekankan pada pembenahan pola pengusahaan atau penambahan aktivitas produksi pada pertanian terpadu yang telah diterapkan . Pengelolaan kebun kelapa sawit plasma merupakan salah satu contoh pengelolaan pertanian terpadu secara vertikal. Perkebunan kelapa sawit plasma melibatkan perkebunan rakyat
dimana pengembangannya diintegrasikan ke
perkebunan besar swasta nasional maupun negeri yang berfungsi sebagai unit pengolahan sawit sekaligus pemasaran produk olahan kelapa sawit (CPO). Model pengembangan pertanian terpadu terbaik yang diperoleh adalah dengan pemberdayaan kelompok tani, pemerintah daerah, dan LSM sehingga sehingga dapat dikatakan bahwa model integrasi terbaik dibangun pada skala wilayah (Wigena 2009). Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Perkebunan PIR-TRANS PTPN V Provinsi Riau yang dibangun oleh Wigena (2009) dapat menunjukkan bahwa harga produk, tingkat produksi, serta ruang lingkup pengembangan integrasi vertikal memegang peranan penting dalam kesuksesan model integrasi vertikal ini. Program pembanguan pertanian terpadu secara vertikal juga cukup banyak yang dilakukan pemerintah. Pertanian terpadu secara vertikal biasanya dilakukan pada skala wilayah karena melibatkan berbagai pihak yang memiliki fungsi berbeda. Dirjen Hortikultura pada tahun 2009 berencana mengembangkan 16 kawasan terpadu yang tersebar di seluruh Indonesia7. Daerah-daerah yang akan dikembangkan antara lain kawasan hortikultura mangga di kawasan Cirebon, Indramayu, Majalengka, Probolinggo, Pasuruan, Situbondo, Bondowoso; bawang 7
Pemerintah Dorong Kawasan Hortikultura Terpadu. www.hortikultura.deptan.go.id [April, 2010]
14
merah di Brebes, Cirebon, Kuningan; jamur di Karawang dan Subang; cabai Ciamis dan Tasikmalaya; manggis di Purwakarta, Subang, Tasikmalaya dan Bogor; melon di Pekalongan, Karanganyar, Sragen; temulawak di Semarang; salak di(11) Sleman, Banjarnegara, Magelang; nanas di Kuburaya, Pontianak (Kalimantan barat); kentang di Modoinding; kawasan tanaman hias daun potong di Magelang, Semarang, Wonosobo dan Boyolali, tanaman taman di Sumatera Barat (Padang, Padang Panjang, Bukittinggi), Riau (Pekanbaru) dan Kepulauan Riau, Batam dan Bintan; bunga dan daun potong di Jawa Barat (Bandung, Bandung Barat, Cianjur dan Sukabumi, Anggrek, bunga dan daun potong di Jabodetabek dan Bunga Potong di Tomohon (Sulawesi Utara). Pengembangan kawasan pertanian terpadu tersebut akan melibatkan aktivitas pasca panen, sortasi, pengemasan, dan pengembangan rantai pasokan sampai dengan ke konsumen. Berbeda halnya pada pertanian terpadu secara horisontal dimana dapat dibangun atau dikembangan pada skala terkecil yakni rumah tangga petani. Pertanian terpadu secara horisontal ditunjukkan dengan diversifikasi usaha yang dikelola secara bersama dengan adanya hubungan sinergis antara aktivitas yang dipadukan. Penerapan pertanian terpadu di Pulau Jawa dan di luar Pulau Jawa memiliki corak pengusahaan yang berbeda. Meskipun sebagian besar aktivitas yang diusahakan dipadukan secara horizontal namum sebagian besar usahatani terpadu di Pulau Jawa mayoritas ditunjukkan dengan integrasi antara tanaman pangan maupun hortikultura dengan hewan ternak . Misalnya adalah program introduksi ternak domba usahatani sayuran di Desa Canggal, Kabupaten Temanggung, Propinsi Jawa Tengah. Penelitian Kusnadi et al. ( 2006) di lokasi tersebut menunjukkan bahwasanya terdapat perbedaan cara pengelolaan pertanian terpadu antara ternak domba dengan usahatani sayuran. Petani-petani yang tidak diintroduksikan pola pertanian integrasi mengusahakan usahatani sayuran dan ternak domba pada skala rumah tangga petani. Berbeda halnya pada petani yang diintroduksikan pola pengelolaan pertanian secara terpadu, dimana setiap petani mengusahakan sayuran organik pada skala rumah tangga dengan pengelolaan ternak domba secara berkelompok. Dengan demikian pengelolaan terpadu tersebut dilakukan pada skala wilayah. Petani-petani yang diintroduksikan usahatani terpadu sayuran-domba yang
15
dikelola secara kelompok memberikan peningkatan pendapatan yang lebih tinggi (50,53 persen) daripada pengelolaan domba dalam skala rumah tangga petani (26 persen). Adanya pengelolaan domba secara berkelompok mampu meningkatkan angka kelahiran anakan, menurunkan persentase kematian, dan meningkatkan pertambahan bobot badan domba per bulannya. Penerapan pertanian terpadu secara horizontal di luar Pulau Jawa sebagian diusahakan dengan pengelolaan terpadu antara tanaman perkebunan-tanaman pangan-hewan ternak. Kondisi tersebut dapat ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Rosyid (1990)
di Sumatera Selatan maupun oleh Handayani
(2009) di Sulawesi Tengah, dan Elly et al. (2008) di Sulawesi Utara. Pola pengusahaan aktivitas usahatani terpadu di luar Pulau Jawa tersebut diidentikan dengan pengusahaan bersama tanaman pangan baik palawija maupun padi, tanaman perkebunan misalnya kakao, kelapa, karet, dan hewan ternak misalnya sapi atau domba, dalam satu rumah tangga petani. Seringkali pola pengusahaan ketiga kegiatan usahatani tani tersebut memiliki hubungan yang kompetitif dalam hal penggunaan tenaga kerja. Misalnya adalah pada saat tanaman perkebunan tidak berada pada masa menghasilkan atau tidak berbuah maka sebagian besar curahan tenaga kerja akan dialokasikan untuk kegiatan usahatani tanaman pangan sehingga keberadaan usahatani tanaman perkebunan dan ternak adalah sebagai usahatani pendukung. Berbeda halnya pada saat tanaman perkebunan berada pada masa berbuah atau menghasilkan maka sebagian besar curahan tenaga kerja akan dialokasikan untuk kegiatan perkebunan sehingga keberadaan usahatani tanaman pangan dan ternak adalah sebagai pendukung (Rosyid 1990). Maka dapat dikatakan bahwasanya posisi sebuah aktivitas usahatani pada usahatani terpadu di luar Pulau Jawa senantiasa berubah tergantung pada masa produksi tanaman. Posisi hewan ternak adalah sama saja dari waktu ke waktu yakni sebagai aktivitas usaha pendukung usahatani tanaman. Penerapan pertanian terpadu secara horizontal juga cukup banyak diterapkan di dunia. Misalnya dapat ditunjukkan oleh aktivitas usahatani terpadu antara usaha perikanan, tebu, usahatani daun mulberi dan ulat sutera di delta Sungai Zhujian, Cina (Ruddle dan Zhong 1988). Adanya keterpaduan antara keempat aktivitas tersebut dapat memproduksi berbagai jenis komoditas dalam
16
jumlah yang jauh lebih banyak dan memiliki areal produksi yang luas. Areal produksi yang luas dan jumlah produksi yang melimpah tidak menjamin adanya potensi keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan daerah lain yang notabene aktivitas pertaniannya belum terintegrasi. Total keuntungan wilayah akibat penerapan pertanian terpadu di delta Sungai Zhujian menunjukkan hasil yang lebih rendah daripada daerah lain yang tidak terintegrasi. Penyebabnya adalah faktor harga komoditas sutera yang dihasilkan oleh petani memiliki harga yang lebih rendah dibanding daerah lain karena kualitasnya sutera yang dihasilkan memang lebih rendah. Adanya pasar input produksi usahatani yang berasal dari luar daerah Zhujian dapat menjadi ancaman tersendiri bagi aktivitas pertanian terpadu di daerah tersebut. Ancaman yang dimaksud adalah adanya penurunan total keuntungan wilayah akibat pengggunaan input dari luar Zhujian dengan harga lebih mahal pada tingkat produksi dan harga produk yang sama sehingga keuntungan yang dihasilkan akan lebih kecil. Apabila produk antara yang dihasilkan di dalam sistem terpadu Zhujian tidak mampu mampu memenuhi kebutuhan input di dalam sistem maka kekurangan tersebut akan dipenuhi dengan membeli dari luar sistem. Jumlah kekurangan input yang cukup besar tentu saja akan meningkatkan penggunaan input dari luar sistem yang lebih mahal sehingga keuntungan yang diperoleh akan jauh lebih kecil. Pada kondisi aktual, sistem pertanian terpadu di Zhujian relatif mampu memenuhi kebutuhan produk antara (intermediate product) di dalam sistem sehingga jumlah input produksi yang dibeli dari luar sistem cukup rendah.Pemilihan aktivitas yang diintegrasikan di Delta Zhujian tentu saja didasari oleh adanya pemahaman terhadap hubungan sinergis yang dapat diciptakan oleh aktivitas-aktivitas tersebut. Kondisi serupa juga terjadi di Desa Karehkel, dimana aktivitas yang diintegrasikan
merupakan
aktivitas-aktivitas
yang
memungkinkan
untuk
bersinergi satu sama lain dalam meningkatkan produksi maupun total keuntungan. Rencana penerapan pertanian terpadu di Desa Karehkel yang melibatkan beberapa kelompok tani yang memiliki aktivitas produksi secara spesifik menunjukkan bahwa keterpaduan yang akan diterapkan adalah secara horisontal. Keberadaan pertanian terpadu di Desa Karehkel yang masih dalam tahap perencanaan
17
memposisikan penelitian ini pada perencanaan pembangunan pertanian terpadu yang melibatkan aktivitas usahatani sayuran organik, ternak domba, ternak kelinci, aktivitas produksi silase dan pupuk bokashi. Adanya faktor harga produk dan ketersediaan pasar input (pasar produk antara) dari luar sistem yang menjadi faktor penting dalam menentukan total keuntungan wilayah, menyebabkan kedua faktor tersebut perlu diperhatikan saat merencanakan pertanian terpadu di Desa Karehkel. Dengan memperhatikan kedua faktor tersebut maka pertanian terpadu yang direncanakan di Desa Karehkel dapat memberikan insentif ekonomi yang lebih tinggi daripada penyelenggaraan pertanian secara tidak terpadu. Daya tarik ekonomi tersebut dapat menjadi informasi bagi petani sehingga mampu mempengaruhi keputusan petani untuk mengadopsi teknologi pengelolaan pertanian secara terpadu. 2.2.
Dampak Penerapan Pertanian Terpadu Sebagai pelaku ekonomi, seorang petani senantiasa berupaya untuk
meningkatkan pendapatan usahataninya. Upaya yang dapat dilakukan petani untuk meningkatkan pendapatannya adalah dengan cara meningkatkan produksi dan
melakukan
penghematan
terhadap
biaya-biaya
usahatani.
Melalui
penyelenggaraan pertanian terpadu, khususnya usahatani tanaman-hewan ternak terpadu, petani sekaligus dapat meningkatkan produksi (jumlah maupun jenis produk) dan melakukan penghematan biaya usahatani. Penghematan terhadap biaya pupuk dan pakan ternak menjadi hal yang sangat penting karena kedua komponen biaya tersebut merupakan salah satu komponen biaya terbesar. Hanifah (2008) membuktikan bahwa dengan adanya penerapan pertanian terpadu di Pondok Pesantren Al Ittifaq, Kampung Ciburial, Desa Alam Endah, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung, dapat menghemat biaya pakan ternak dan biaya pupuk yakni masing-masing sampai dengan 36,2 persen dan 24,5 persen. Terjadinya penghematan akibat penyelenggaraan pertanian secara terpadu dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Kariyasa dan Pasandaran (2005) pada beberapa lokasi integrasi usahtani tanaman-ternak yakni padi dan sapi di Jawa Tengah. Penggunaan pupuk kandang pada usahatani terintegrasi tanaman ternak dapat menghemat pengeluaran biaya pupuk sekitar 18,14%-19,48% atau 8,8% dari total biaya. Pada kondisi usahaternak maupun usahatani tanaman yang 18
dilakukan secara tidak terintegrasi, komponen biaya pakan ternak rata-rata dapat mencapai 48,77 persen (Agustina 2007; Febriliany 2008; Widagdho 2008; Stani 2009) sedangkan biaya pupuk rata-rata dapat mencapai 22 persen dari total pengeluaran yakni komponen biaya terbesar kedua setelah biaya tenaga kerja (Wahyuni 2007; Maimun 2009; Surbakti 2009). Analisis pendapatan usahatani yang dilakukan oleh Noor (1996) , Kariyasan dan Pasandaran (2005), dan Hanifah (2008) memberikan hasil yang bervariasi terhadap peningkatan pendapatan usahatani saat dilakukan secara terpadu. Namun secara keseluruhan hasil analisis pendapatan usahatani menunjukkan bahwa adanya penerapan pertanian terpadu dapat memberikan pendapatan usahatani yang lebih tinggi daripada penyelenggaraan usahatani tidak terpadu. Kariyasa dan Pasandaran (2005) bahkan menyebutkan pengelolaan usahatani secara terpadu dapat memberikan pendapatan bersih hingga 21 persen lebih tinggi dari pengusahaan usahatani tidak terpadu. Penerapan pertanian terpadu ternyata tidak selamanya memberikan dampak positif terhadap aktivitas usahatani yang dilakukan. Efisiensi tenaga kerja dan efisiensi penggunaan modal pada aktivitas usahatani terpadu lebih rendah daripada usahatani tidak terpadu. Cukup beragamnya aktivitas dalam usahatani terpadu, misalnya pengelolaan dua atau lebih kegiatan usahatani secara bersamaan, memerlukan modal dan curahan tenaga kerja yang lebih tinggi. Apabila curahan tenaga kerja dan modal yang lebih tinggi tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan penerimaan usahatani yang lebih tinggi pula akan menyebabkan pada efisiensi tenaga kerja dan efisiensi modal yang lebih rendah daripada aktivitas usahatani monokultur atau tidak terintegrasi. Dwiyana dan Mendoza (2002) menguatkan kondisi tersebut, dimana efisiensi penggunaan tenaga kerja dan efisiensi penggunaan modal pada sistem usahatani minapadi adalah lebih rendah daripada usahatani padi monokultur. Meskipun demikian, secara keseluruhan pendapatan usahatani minapadi adalah lebih tinggi daripada usahatani padi monokultur. Agar penyelenggaraan pertanian terpadu dapat menguntungkan maka selain perlu memperhatikan aspek kompatibilitas antara komoditas utama pada suatu daerah dengan aktivitas pendukung dalam pertanian terpadu, petani juga
19
perlu untuk memperhatikan daya dukung lingkungan terhadap aktivitas usahatani yang dilakukan. Studi literatur yang dilakukan oleh Kusnadi (2008) terhadap berbagai penelitian di agroekosistem lahan kering dataran tinggi, lahan kering dataran rendah, lahan sawah, lahan pasang surut, lahan perkebunan, dan lahan kering beriklim kering menunjukkan bahwa adanya perbedaan jenis komoditas yang diintegrasikan, perbedaan jumlah pengusahaan masing-masing aktivitas, dan dampak ekonomi yang dihasilkan. Misalnya pengembangan pertanian terpadu di daerah dataran tinggi, tepatnya di hulu sungai yang harus memperhatikan kemiringan lahan, kedalaman tanah, erodibilitas, persepsi petani, dan permintaan pasar. Jumlah ternak yang dipelihara sebaiknya berjumlah 11-12 ekor domba atau 2 ekor sapi yakni sesuai dengan kapasitas lahan teras bangku. Pemeliharaan ternak domba sebanyak 11-12 ekor atau dua ekor sapi mampu menyumbang 36 persen kebutuhan pupuk kandang dalam setahun. Pengintegrasian aktivitas usahatani yang kurang tepat dapat berdampak pada kerugian di tingkat petani dan kegagalan program pertanian terpadu di daerah tersebut. Rencana penerapan pertanian terpadu di Desa Karehkel juga harus memperhatikan hubungan sinergis yang dapat dibangun pada aktivitas yang diintegrasikan. Adanya pertanian terpadu di Desa Karehkel diharapkan dapat mengoptimalkan pemanfatan limbah yang dihasilkan sehingga dapat menciptakan penghematan dan meningkatkan total keuntungan wilayah Desa Karehkel. Sangat pentingnya daya tarik ekonomi teknologi pengelolaan pertanian terpadu yang ditujukan untuk memperbaiki teknologi pengelolaan usahatani yang sudah ada (tidak terpadu) di Desa Karehkel, membuat analisis dalam penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai aktivitas usaha yang sebaiknya diintegrasikan sehingga dapat memaksimumkan total keuntungan wilayah. 2.3.
Permodelan Pertanian Terpadu Perencaan pembangunan pertanian terpadu maupun perbaikan pola
pengusahaan pertanian terpadu kurang tepat jika hanya menggunakan pendekatan analisis usahatani. Analisis melalui pendekatan pendapatan usahatani tidak dapat memberikan informasi yang lengkap mengenai alokasi sumberdaya dan pola pengusahaan
usahatani
yang
optimal
sehingga
dapat
memaksimumkan
keuntungan. Oleh karena itu perencanaan pertanian terpadu di suatu daerah 20
maupun perbaikan pola pengusahan terpadu di suatu daerah seringkali menggunakan permodelan linear programming (LP). Penggunaan LP dalam perencanaan pertanian terpadu di suatu lokasi sangat cocok untuk digunakan karena LP dapat menggambarkan alokasi sumberdaya yang optimal yang disertai dengan adanya berbagai kendala sumberdaya yang dimiliki petani (Schiere et al. 2002). Analisa program linear juga dapat digunakan untuk menyusun kebijakan informasi mengenai struktur hubungan yang salin terkait, keuntungan komparatif, potensi produksi, kesempatan kerja, dan pola produksi pertanian (Kasryno 1979, diacu dalam Amareko 1983). Oleh karena itu LP cukup banyak digunakan untuk membangun maupun memperbaiki pola pengusahaan pertanian terpadu di suatu lokasi sehingga dapat memberikan keuntungan yang maksimum jika dibandingkan dengan pola pengusahaan yang dilakukan petani. Penggunaan LP untuk membenahi pola usaha pertanian terpadu dilakukan oleh Panggabean (1982) di dua desa di Kabupaten Magelang dan satu desa Kabupaten Wonosobo dengan tipe daerah yang berbeda-beda. Desa Sewukan mewakili lahan sawah di Kabupaten Magelang, Desa Kapuhan mewakili daerah lahan sawah dan lahan kering, dan
Desa Tambi mewakili lahan kering di
Kabupaten Wonosobo. Hasil analisis LP dapat memberikan informasi mengenai realokasi sumberdaya yang perlu dilakukan oleh petani, perbaikan pola tanam, dan
perbaikan
pola
panen
sehingga
petani
dapat
memaksimumkan
keuntungannya. Adanya karakteristik pengusahaan tanaman-hewan ternak di ketiga desa tersebut yang dikelola dalam satu rumah tangga petani menyebabkan unit analisis usahatani terpadu dilakukan pada skala rumah tangga petani. Selain itu Panggabean (1982) juga melibatkan adanya berbagai kendala dalam penyusunan LP yakni diantaranya sumberdaya lahan, tenaga
kerja keluarga,
modal kerja, dan konsumsi keluarga. Penerapan pertanian terpadu di lokasi lainnya tentu saja akan melibatkan jenis kendala yang berbeda serta perlu memperhatikan karakteristik pengusahaan usahatani terpadu yang dilakukan oleh petani. Amareko (1983) menambahkan kendala kepemilikan ternak dalam model pertanian terpadu yang dibangun di dua kecamatan daerah kerja PDP II ( Provincial Areal Development Program),
21
Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Petani di dua kecamatan tersebut telah mengusahakan pertanian terpadu dengan jumlah lahan, jumlah ternak, jumlah tenaga kerja keluarga, modal kerja, dan konsumsi keluarga dengan jumlah tertentu sehingga model usahatani terpadu yang dibangun ditujukan untuk memperbaiki pola pengusahaan petani sesuai dengan kondisi aktual kedua kecamatan tersebut. Model pertanian terpadu yang dibangun secara spesifik di Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah, selain melibatkan kendala sumberdaya lahan, tenaga kerja keluarga, modal, dan konsumsi keluarga, juga dilibatkan pula kendala ketersediaan hijauan lapang, ketersediaan kredit yang dapat diakses petani, dan kendala transfer pemanfaatan produk antara sebagai input produksi kegiatan usahatani lainnya (Handayani 2009). Pengusahaan ternak di Kabupaten Donggala memang seringkali menghadapai kendala pemenuhan kebutuhan pakan pada musim kemarau sehingga model yang dibangun melibatkan kendala ketersediaan hijauan lapang. Dalam kaitannya dengan modal petani di Kabupaten Donggala, petani juga biasanya meminjam ke toko pertanian, koperasi, maupun ke bank. Pada model usahatani terpadu yang dibangun oleh Howara (2004) di lokasi program P3T (Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu) di tiga desa yakni Desa Pasirmuncang, Desa Jatiserang, dan Desa Cijurey, Kecamatan Panyingkiran, Kabupaten Majalengkan Provinsi Jawa Barat, melibatkan kendala yang lebih banyak. Adanya keterbatasan benih dan pakan ternak membuat model yang dibangun juga melibatkan kendala ketersediaan benih dan pakan ternak. Model usahatani terpadu yang dibangun oleh Panggabean (1982), Amareko (1983), Howara (2004) dan Handayani (2009) dapat menunjukkan bahwasanya dengan melakukan realokasi sumberdaya dan memperbaiki pola pengusahaan, pertanian terpadu dapat memberikan pendapatan usahatani yang lebih tinggi daripada pengusahaan secara tidak terpadu. Namun di sisi lain, pembenahan pola usahatani terpadu melalui pendekatan LP dapat merugikan petani. Penelitian Veysset et al. (2005) terhadap pembenahan sistem peternakan pembibitan
sapi
untuk
menghadapi
Reformasi
Kebijakan
Pertanian
(CAP:Common Agricultural Policy) tahun 1992 di Perancis menunjukkan bahwa penerapapan model usahatani memberikan keuntungan yang lebih rendah sebesar
22
2-5 persen daripada pola pengusahaan aktual peternak. Secara ekonomi, hasil permodelan ini tentu saja tidak menarik bagi petani untuk menerapkan model optimal pengusahaan ternak secara terpadu maupun secara tidak terpadu karena potensi keuntungan yang dihasilkan adalah lebih rendah daripada pola usaha yang dilakukan petani pada kondisi aktual. Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwasanya LP dapat menjadi salah satu alat analisis untuk merencanakan pertanian terpadu di suatu lokasi. Oleh karena itu untuk merumuskan MUSOT Desa Karekel, pada penelitian ini digunakan LP. MUSOT yang dibangun disesuaikan dengan rencana GPW dimana setiap aktivitas usaha akan dilakukan oleh kelompok-kelompok secara spesifik sehingga keterpaduan usahatani dibangun pada skala wilayah Desa Karehkel. Cukup banyaknya variasi kendala yang ditetapkan pada model integrasi yang dibangun pada berbagai lokasi menunjukkan bahwasanya dalam penyusunan model integrasi harus dibangun secara spesifik lokasi. Artinya dalam perancangan model integrasi di suatu lokasi harus memperhatikan berbagai kendala ketersediaan sumberdaya di lokasi yang bersangkutan sehingga model yang dibangun mungkin untuk diterapkan sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki oleh petani. Dengan demikian, model usahatani terpadu sayuran organik-hewan ternak yang dirancang di Desa Karehkel harus memperhatikan ketersediaan sumberdaya dalam setiap aktivitas usahatani maupun ternak di Desa Karehkel. Model pertanian terpadu Desa Karehkel yang dirancang diharapkan dapat memberikan informasi kepada GPW mengenai aktivitas usaha apa yang sebaiknya diintegrasikan,
banyaknya
pengusahaan
masing-masing
aktivitas
usaha,
pengalokasian sumberdaya yang tepat berdasarkan kendala yang dibangun dalam MUSOT.
23
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1.
Kerangka Pemikiran Teoritis Pertanian terpadu yang dibangun pada suatu lokasi pada dasarnya
merupakan ilmu rancang bangun dan rekayasa sumber daya pertanian yang tuntas. Pertanian terpadu pada dasarnya tidak terlepas dari kaidah-kaidah ilmu usahatani yang berkembang lebih lanjut. Ilmu usahatani itu sendiri merupakan suatu proses produksi biologis yang memanfaatkan sumber daya alam, sumber daya manusia, modal, dan manajemen yang jumlahnya terbatas. Karena sumber daya tersebut jumlahnya terbatas maka penerapan pertanian terpadu dalam proses produksi pertanian tidak terlepas dari prinsip dan teori ekonomi (Kusnadi 2008). 3.1.1. Definisi Pertanian Terpadu Pertanian terpadu atau Integrated
Farming System (IFS) merupakan
pengembangan dari berbagai konsep pertanian berkelanjutan yang telah banyak dikembangkan sebelumnya misalnya Biodinamic Farming oleh Steiner pada tahun 1924, LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture) yang dikembangkan Reintjess (Righby dan Caceres 2001). Pertanian terpadu adalah bentuk pengembangan sektor pertanian yang memposisikan usahatani sebagai suatu sistem dikenal sebagai usahatani terpadu atau farming system. Interaksi pada usahatani yang diintegrasikan dapat mempertahankan keberadaan usahatani dan menjaga bahkan meningkatkan kestabilan pendapatan usahatani (Harwood 1979). Pengelolaan usahatani terpadu melibatkan berbagai kegiatan usahatani yang dikelola secara bersamaan dengan menggunakan sumberdaya yang tersedia. Pengusahaan sistem usahatani yang berbeda perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut antara lain (1) sifat usahatani, (2) sumber daya manusia, (3) skala usaha, (4) sarana dan prasarana, (5) kemitraan dan hubungan antar subssitem agribisnis (orientasi usaha), dan (6) kelestarian sumber daya dan lingkungan (Rusono 1999, Sutanto 2004). Petani harus membuat pilihan terhadap cabang usaha yang akan diterapkan agar diperoleh tingkat produksi tertentu dengan pendapatan usahatani yang maksimal (Debertin 1986). Kombinasi optimal dari aktivitas usahatani yang diintegrasikan memiliki sifat melengkapi (komplementer), berinteraksi secara sinergis, dan berkelanjutan
24
(Behera et al., 2008). Interaksi dalam hubungan tersebut dapat meningkatkan efisiensi produksi, produksi optimal, peningkatan daya saing produk, peningkatan pendapatan, sekaligus mewujudkan pertanian yang berwawasan lingkungan. Usahatani terpadu akan tercapai dengan baik jika terjadi pemanfaatan antara sumberdaya manusia, modal, alam, dan manajemen. Pemanfaatan keempat sumberdaya tersebut akan memberikan ciri teknologi ushatani berupa luas garapan, jumlah ternak, dan penggunaan tenaga kerja, penggunaan modal, pemilihan
pola tanam serta memilih kombinasi usaha yang dianggap paling
menguntungkan (Prodjodihardjo, 1988). Penerapan pertanian terpadu memiliki banyak manfaat bagi petani dan lingkungan antara lain sebagai upaya untuk mendiversifikasikan
penggunaan
sumberdaya,
mengurangi
risiko,
mengoptimalkan penggunaan tenaga kerja, peningkatan produktivitas dan pendapatan, peningkatan efisiensi penggunaan sumberdaya, dan mengurangi ketergantungan dengan output dari luar (Devendra 1993). Konsep keterpaduan tersebut menurut Gumbira-Said (2002) identik dengan pengelolaan sistem agribisnis yang meliputi sistem yang terpadu vertikal maupun horizontal. Pertanian terpadu pun dapat dibangun dengan memadukan antara integrasi vertikal dan integrasi horisontal. Sistem agribisnis sendiri merupakan pengembangan dari diversifikasi usaha dimana masing-masing subsistemnya terkait antara satu dengan lainnya dalam satu sistem yang tidak dapat terpisahkan. Diversifikasi dapat dilakukan pada skala rumah tangga sampai dengan skala regional (wilayah). Diversifikasi secara vertikal biasanya ditandai dengan pengembangan usaha sampai dengan pasca panen misalnya sortasi, grading, pemrosesan atau pengolahan, pengemasan, penyimpanan, sampai dengan distribusi. Pengembangan diversifikasi secara horisontal diilustrasikan sebagai pengalokasian sumberdaya untuk berbagai aktivitas dalam periode (tahun) tertentu. Keberagaman aktivitas usahatani monokultur pada suatu wilayah dapat membentuk suatu kawasan (regional) yang terdiversifikasi secara horisontal (Siregar 2006). 3.1.2. Pertanian Terpadu Tanaman-Ternak Proses integrasi ternak ke dalam usahatani tanaman, baik tanaman perkebunan, pangan , maupun hortikultura adalah mengusahakan sejumlah ternak, 25
baik ruminansia (sapi,kerbau, kambing, domba) dan atau pseudoruminansia (kelinci, kuda) tanpa mengurangi aktivitas dan produksi tanaman. Bahkan keberadaan ternak ini harus dapat meningkatkan produksi tanaman dan produktivitas ternak itu sendiri. Baik hewan ternak maupun tanaman, keduanya saling bersinergis dalam mencapai produksi yang optimal (Direktorat Jenderal Peternakan Deptan 2008). Pengembangan usahatani tanaman-ternak secara terpadu tersebut memiliki karakkteristik yang serupa pada pengelolaan usahatani secara intensif (Powell et al. 2004). Integrasi tanaman-ternak dapat dilakukan dalam satu rumah tangga petani atau dilakukan antara beberapa rumah tangga usahatani. Pilihan pengusahaan usahatani terpadu pada kedua skala tersebut sangat bergantung pada pengetahuan petani, motivasi, dan ketersediaan sumberdaya. Perpaduan antara tanaman-ternak dapat meningkatkan keuntungan dan keberlanjutan kegiatan usahatani. Integrasi ternak ke dalam suatu usahatani tanaman menjadi sangat penting pada saat pengusahaan tanaman secara organik (Russelle et al.2006). Adanya hubungan yang erat antara usahatani tanaman dan usahaternak salah satunya disebabkan karena ternak memiliki kemampuan mendaur ulang limbah usahatani secara efektif. Peningkatan pemanfaatan limbah pertanaman sebagai pakan ternak salah satunya dilatarbelakangi oleh adanya persaingan yang cukup tinggi antar ternak untuk memperoleh pakan hijauan lapang. Bahkan Zemmelink (2000) mengutarakan bahwa aksesibilitas pakan hijauan lapang sangat dipengaruhi oleh ketersediaan sumberdaya tenaga kerja untuk mencari pakan. Pemanfaatan limbah tanaman sebagai pakan ternak di berbagai negara cukup tinggi. Sebanyak 70 persen kebutuhan pakan ternak di Bangladesh dipenuhi dengan memanfaatkan limbah usahatani tanaman. Kondisi yang hampir serupa juga terjadi di India dimana sekitar 350 juta ton limbah tanaman berpotensi untuk memenuhi 66 persen kebutuhan pakan ternak. Pemanfaatan limbah tanaman sebagai pakan ternak juga tinggi di beberapa negara lain, misalnya di Sri Lanka, Nepal dan Pakistan yakni rata-rata mencapai 49 persen (Perera 1992, Sidhu 1996, Renard 1997, Maehl 1997, diacu dalam Thomas et al. 2002). Hewan ternak juga memiliki peran yang sangat besar dalam pertanian terpadu yakni menjaga keberlanjutan produksi usahatani tanaman dengan cara penggunaan kotoran ternak
26
sebagai pupuk (Schiere et al. 2002). Benjamin et al. (1990) diacu dalam Edwards (1990) menunjukkan bahwa tanaman yang dipupuk dengan kotoran hewan memiliki produksi panen yang paling tidak sebanding atau lebih tinggi daripada tanaman yang dipupuk dengan pupuk kimia. Usahatani terpadu di Indonesia dicirikan oleh usaha yang saling mengisi antara pertanian tanaman pangan dan peternakan, karena ternak dapat digunakan sebagai tambahan tenaga kerja untuk mengolah tanah dan juga sebagai penghasil pupuk yang bermanfaat untuk meningkatkan kelestarian tanah. Ternak juga dapat memanfaatkan limbah pertanian dan menghasilkan produk-produk bernilai tinggi seperti daging, telur, dan susu. (Sastrodihardjo et al., 1982). Hubungan timbal balik antara tanaman padi dan ternak terutama dalam memanfaatkan limbah, akan menekan biaya produksi dan mengoptimalkan pendapatan keluarga petani peternak. Selain itu pengusahaan ternak sebagai penunjang dan pelengkap usahatani merupakan suatu cara dalam menambah penghasilan, juga berfungsi sebagai tabungan dan membantu kesuburan tanah, serta dapat digunakan sebagai tenaga mengolah tanah (Tawaf 1984). 3.1.3. Konsep Ekonomi Pertanian Terpadu Pengelolaan bersama aktivitas yang diintergasikan ditujukan untuk memaksimumkan
pendapatan
usahatani
selalu
dihadapkan
oleh
adanya
keterbatasan sumberdaya yang dimiliki (Debertin, 1986). Secara ekonomi konsep pertanian terpadu tanaman-hewan ternak dapat dijelaskan dengan konsep produksi ganda (multiproduct production). Keputusan petani dalam memproduksi dua atau lebih produk yang memaksimumkan pendapatan usahatani dalam keterbatasan sumberdaya dapat ditunjukkan oleh kurva kemungkinan produksi (KKP). KKP seringkali disebut juga dengan kurva oportunitas maupun kurva transformasi produk. LP dapat menjadi salah satu alat analisis untuk merencanakan pertanian terpadu di suatu lokasi. Oleh karena itu untuk merumuskan MUSOT Desa Karekel, pada penelitian ini digunakan LP. MUSOT yang dibangun disesuaikan dengan rencana GPW dimana setiap aktivitas usaha akan dilakukan oleh kelompok-kelompok secara spesifik sehingga keterpaduan usahatani dibangun pada skala wilayah Desa Karehkel. (Doll dan Orazem, 1984; Beattie dan Taylor, 1985). KKP sebagai kurva opportunitas ditunjukkan dengan 27
peningkatan jumlah produksi suatu produk akan diikuti dengan pengurangan produksi produk lainnya. Hal ini disebabkan karena dalam memproduksi dua produk tersebut digunakan sumberdaya yang sama. Peningkatan sumberdaya untuk satu kegiatan akan berdampak pada pengurangan curahan sumberdaya aktivitas produksi produk lainnya sehingga salah satu output yang dihasilkan harus dikorbankan (dikurangi). GPW diasumsikan sebagai pengambil keputusan dalam menentukan jumlah pengusahaan masing-masing aktivitas dalam MUSOT. Misalnya GPW akan melakukan aktivitas produksi ternak kelinci dan ternak domba. Aktivitas ternak kelinci menghasilkan produk anakan kelinci dan limbah kelinci (kotoran dan urin) sedangkan aktivitas ternak domba menghasilkan produk daging dan produk berupa kotoran ternak. Daging domba dan anakan kelinci merupakan produk akhir sedangkan limbah kelinci (y1) dan kotoran domba (y2) adalah sebagai produk antara (intermediate product) yang dijadikan sebagai input produksi aktivitas produksi sayuran organik. Input produksi yang dimaksud adalah berupa kebutuhan pupuk organik. Keputusan GPW dalam memproduksi dua atau lebih produk dapat diilustrasikan oleh Gambar 1 berikut ini. Output II (y2) Output II (y2)
Kurva isokuan produk sayuran (KIPS)
A’ A
Z KKP
A” 3 1 O
Gambar
1.
B’
B
B”
2
Output I (y1)
Keputusan Memproduksi Dua atau Lebih Produk Memaksimumkan Pendapatan Tanpa Pasar Produk Antara
yang
Sumber: Doll dan Orazem (1984)
28
Adanya keterbatasan sumberdaya yang dimiliki menyebabkan GPW hanya dapat memproduksi limbah kelinci dan kotoran domba pada alternatif keputusan produksi yang berada di sepanjang kurva kemungkinan produksi (KKP). Sumberdaya yang menjadi pembatas dalam aktivitas ternak domba dan produksi limbah kelinci pada ilustrasi ini misalnya adalah ketersediaan tenaga kerja yang dimiliki GPW. GPW tidak mungkin memilih seluruh alternatif produksi pada KKP sehingga GPW hanya dapat memilih salah satu kombinasi produksi limbah kelinci dan kotoran domba pada jumlah tertentu. Kurva isokuan (KIPS) menggambarkan jumlah sayuran organik yang dapat diproduksi dengan menggunakan pupuk organik yang berasal dari limbah kelinci dan atau berasal dari kotoran domba. Berdasarkan ketersediaan sumberdaya tenaga kerja yang dimiliki GPW, keputusan untuk memproduksi limbah kelinci pada titik OB dan kotoran domba pada titik OA adalah keputusan yang paling tepat. Hal ini disebabkan karena GPW dapat memproduksi sayuran organik
dalam
jumlah
yang
maksimum
(KIPS
2)
sehingga
dapat
memaksimumkan pendapatannya. Keputusan GPW untuk memproduksi limbah kelinci dan kotoran domba sebanyak OB dan OA” atau OB’ dan OA dapat menyebabkan GPW kehilangan peluang untuk memaksimukan keuntungannya. Keputusan tersebut adalah kurang tepat karena sumberdaya tenaga kerja yang dimiliki tidak dimanfaatkan secara optimal. Akibatnya jumlah limbah kelinci dan kotoran domba yang diproduksi berada di bawah tingkat produksi maksimum yang seharusnya dapat dicapai. Akibatnya jumlah sayuran yang diproduksi adalah lebih sedikit (KIPS 1) jika dibandingkan tingkat produksi sayuran maksimum yang sebenarnya dapat dicapai (KIPS 2). Sebagai
pelaku
ekonomi,
GPW
akan
selalu
berupaya
untuk
meningkatkan pendapatan dari setiap aktivitas usaha yang dilakukannya. Aktivitas memproduksi sayuran organik pada KIPS 3 menawarkan pendapatan yang lebih tinggi bagi GPW daripada memproduksi sayuran organik pada KIPS 1 dan KIPS 2. Adanya keterbatasan sumberdaya tenaga kerja yang dimiliki menyebabkan GPW tidak akan mampu memproduksi sayuran organik pada KIPS 3. GPW memerlukan lebih sedikit kotoran domba (OA-A”A) dan membutuhkan lebih
29
banyak pupuk bokashi (OB+BB”).
Output II (y2) Isorevenue
Kurva isokuan produk sayuran (KIPS)
A’ A
Z KKP
A” 3 1 O
Gambar
2.
B’
B
B”
2
Output I (y1)
Keputusan Memproduksi Dua atau Lebih Produk yang Memaksimumkan Pendapatan dengan Pasar Produk Antara Sumber: Doll dan Orazem (1984)
GPW mungkin saja untuk memproduksi sayuran organik pada KIPS 3 apabila terdapat pasar produk antara. Adanya pasar produk antara dapat ditunjukkan oleh Gambar 2 yang ditandai dengan adanya garis isorevenue. Garis isorevenue ini tidak lain merupakan harga produk antara (limbah kelinci dan kotoran domba) pada pasar produk antara. Garis isorevenue menggambarkan kombinasi penjualan output yang menghasilkan jumlah penerimaan yang sama. Pasar produk antara memungkinkan bagi GPW untuk menjual kelebihan produksi suatu produk lalu membeli produk lainnya sehingga dapat
terpenuhi
kebutuhannya. Berdasarkan Gambar 2 dapat dilihat bahwasanya dengan memproduksi limbah kelinci sejumlah OB’ dan kotoran domba sebanyak OA’ maka GPW memiliki peluang untuk memperoleh keuntungan sama dengan aktivitas memproduksi sayuran organik pada KIPS 3. GPW dapat menjual kelebihan kotoran domba yang diproduksi (A’A”) lalu membeli kekurangan limbah kelinci (B’B”) di pasar produk antara sehingga dapat memproduksi sayuran organik pada KIPS 3. Garis isorevenue tersebut merupakan isocost dari aktivitas produksi sayuran organik sehingga sayuran organik diproduksi pada biaya minimum. 30
3.1.4. Konsep Pemecahan Masalah dengan Program Linear Linear programming merupakan salah satu alat analisis yang dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan manajemen seperti pengambilan keputusan dalam kegiatan pertanian. Misalnya adalah proses alokasi sumberdaya yang terbatas pada sebuah kegiatan usahatani (Doll dan Orazem 1984). Setiap input usahatani dapat dialokasikan ke berbagai kemungkinan produksi karena adanya berbagai macam sumberdaya dan banyaknya alternatif produksi yang layak dalam sebuah kondisi pertanian. Dengan pendekatan linear programming seorang pengambil keputusan dalam usahatani dapat menentukan pilihan keputusan terbaik dari banyak alternatif yang tersedia (Beneke dan Winterboer 1973) . Basis dari analisis menggunakan linear programming adalah bagaimana mencapai maksimisasi keuntungan maupun minimisasi biaya melalui kombinasi input atau kombinasi output yang optimal (Doll dan Orazem 1984). Teknik linear programming menggunakan persamaan dan ketidaksamaan linear dalam rangka untuk mencari pemecahaan yang optimum dengan memperhatikan pembatasan-pembatasan yang ada (Supranto 1998). Pada umumnya
program
linier
yang
dirancang
digunakan
panduan
untuk
mengalokasikan sumber daya yang terbatas diantara berbagai alternatif penggunaan sumber daya sehingga dapat dicapai tujuan yang telah ditetapkan secara optimal (Siswanto 2007). Beneke dan Winterboer (1973)
mengutarakan beberapa keterbatasan
dalam pemecahan masalah dengan linear programming diantaranya (1) Linier Programming tidak dapat membantu manajer dalam merumuskan ekspektasi harga di masa depan, (2) Terkadang hambatan cukup sulit untuk ditentukan, (3) Adanya fenomena diminishing marginal return dalam kegiatan pertanian yang tidak terakomodasi, (4) Sangat banyaknya aktivitas dan hambatan yang dikajai dalam linear programming membutuhkan fasilitas pembantu yang memadai, misalnya computer. Dalam memecahkan masalah menggunakan program linier terdapat beberapa asumsi yang berlaku diantaranya: 1)
Fungsi produksi bersifat linear, tidak ada input yang dapat saling mensubstitusi dan bersifat constant return to scale. Tipe khusus fungsi produksi yang mendasari program linier disebut sebagai fixed-proportion
31
production function ( Doll dan Orazem 1984; Nasendi 1985; Debertin 1986) 2)
Finite atau Deterministik. Artinya setiap aktivitas atau parameter adalah tetap, dan dapat diketahui secara pasti (Doll dan Orazem 1984; Nasendi 1985).
3)
Divisibility. Artinya peubah-peubah pengambil keputusan jika diperlukan dapat dibagi kedalam pecahan-pecahan, yaitu bahwa nilai-nilai tidak perlu integer (hanya 0 dan 1 atau bilangan bulat), tetapi boleh non-integer (Doll dan Orazem 1984; Nasendi 1985).
4)
Proporsionalitas. Artinya jika peubah pengambil keputusan berubah, maka dampak perubahannya akan menyebar dalam proporsi yang sama terhadap fungsi tujuan dan juga pada kendalanya (Taha 1982; Nasendi 1985).
5)
Additivity. Artinya nilai parameter suatu kriteria optimasi (koefisien peubah pengambilan keputusan dalam fungsi tujuan) merupakan jumlah dari nilai individu dalam model program linear tersebut (Taha 1982; Doll dan Orazem 1984; Nasendi 1985).
Beneke dan Winterboer (1973) menjelaskan prosedur dalam membangun program linear, diantaranya: 1)
Mendefinisikan aktivitas. Aktivitas-aktivitas dalam permasalahan yang dikaji harus didefinisikan secara jelas. Misalnya dalam sebuah kegiatan usahatani tanaman atau ternak. Aktivitas membeli input, menjual output, penggunaan tenaga kerja, aktivitas budidaya, panen, sampai dengan pemasaran harus dapat didefinisikan secara jelas. Contoh lainnya adalah kegiatan pemupukan pada musim tanam I dengan pemupukan pada musim tanam II merupakan kedua aktivitas yang berbeda.
2)
Fungsi Tujuan(Objective Function) Tujuan yang akan dicapai perusahaan adalah terkait dengan maksimisasi keuntungan atau minimisasi biaya.
3)
Batasan atau Kendala (Restraint, Constraint) Kendala dapat diumpamakan sebagai pembatas terhadap keputusan yang mungkin dibuat. Batasan tersebut dapat dibedakan menjadi (1) Batasan
32
sumberdaya input seperti tenaga kerja, lahan, modal, (2) Batasan eksternal misalnya keterbatasan sumber dan besarnya pinjaman yang tersedia, (3) Batasan subjektif yang disebabkan oleh individu pengambil keputusan. Menurut Nasendi (1985), model matematis program linier dalam bentuk standar dirumuskan sebagai berikut: 1)
Fungsi tujuan yakni maksimisasi atau minimisasi yang dirumuskan sebagai berikut: =
2)
Fungsi kendala yang berfungsi sebagai pembatas dapat dirumuskan sebagai berikut: .
≥; ≤
, untuk i = 1,2,3, … , m
Keterangan: Z
= fungsi tujuan
Cj
= koefisien peubah pengambil keputusan ke-j dalam fungsi tujuan
xj
= tingkat kegiatan ke-j
aij
= koefisien dalam kendala ke-i dalam pengambilan keputusan ke-j
bi
= kapasitas sumberdaya i yang tersedia untuk dialokasikan ke setiap unit kegiatan
Setelah menentukan aktivitas, fungsi tujuan, kendala, kemudian dilakukan beberapa analisis dalam linear programming. Analisis yang pertama adalah primal. Analisis primal merupakan permasalahan yang dikemukakan mula-mula. Solusi optimal dalam analisis primal dapat berupa memaksimumkan atau meminimumkan nilai fungsi tujuan yang telah dikemukakan mula-mula. Solusi yang dihasilkan menunjukkan kombinasi alternatif terbaik atau optimal dengan keterbatasan sumberdaya yang tersedia. Analisis yang kedua adalah dual. Analisis dual merupakan
analisis
terhadap masalah tandingan primal. Dalam analisis dual melibatkan variable slack/surplus.Hasil analisis dual menghasilkan ukuran ukuran marginal value dari sumber daya primal yang disebut shadow price atau dual price. Shadow price menunjukkan jumlah perbaikan pada fungsi tujuan optimal bila nilai sisi 33
kanan kendala tertentu ditingkatkan sebesar satu satuan dengan parameterparameter lain konstan. Di akhir linier programming dilakukan analisis sensitivitas yang terdiri atas dua tipe, yaitu analisis perubahan nilai koefisien dari fungsi tujuan dan analisis sisi kanan dari fungsi tujuan (Right Hand Side). Analisis perubahan koefisien fungsi tujuan dilakukan untuk mengetahui efek perubahan koefisien fungsi tujuan yang dapat dinaikkan atau diturunkan tanpa mengubah solusi optimal dengan parameter lain dipertahankan konstan. Tujuan dari analisis Right Hand Side (RHS) adalah untuk menentukan berapa banyak nilai sisi kanan dari fungsi kendala dapat ditingkatkan atau diturunkan tanpa mengubah nilai shadow price-nya dengan parameter lain dipertahankan konstan. Pada tahap optimal Nasendi dan Anwar (1985); Soekartawi (1992), diacu dalam Handayani (2009) mengutarakan bahwa terdapat beberapa penafsiran dalam pemecahan masalah program linier, diantaranya: 1)
Aktivitas yang masuk dalam program optimal akan memiliki reduced cost atau opportunity cost sama dengan nol. Memperluas pengusahaan yang masuk dalam program optimal satu unit tidak akan merubah nilai optimal.
2)
Aktivitas yang tidak masuk dalam solusi optimal akan memiliki nilai reduce cost tidak sama dengan nol. Penambahan satu unit aktivitas akan menurunkan nilai fungsi tujuan sebesar opportunity cost nya.
3)
Shadow price akan muncul pada sumberdaya yang habis terpakai. Nilai shadow price adalah positif dan tidak sama dengan nol pada kondisi ini. Penambahan satu unit faktor produksi yang terbatas ketersediaannya akan menambah nilai fungsi tujuan sebesar harga bayangan sumberdaya tersebut.
4)
Faktor produksi yang tidak habis terpakai, harga bayangannya menjadi sama dengan nol. Penambahan satu unit faktor produksi ini tidak akan merubah nilai optimal fungsi tujuan.
3.2.
Kerangka Pemikiran Operasional Upaya GPW untuk meningkatkan total keuntungan wilayah yang
mencakup beragam kegiatan usahatani dapat dilakukan dengan membenahi pola
34
pengelolaan aktivitas usahatani tersebut. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan pertanian terpadu. Pertanian terpadu yang dirancang berbasiskan komoditas unggulan di Desa Karehkel yakni sayuran organik. Keberadaaan hewan ternak yakni kelinci dan domba, merupakan penyokong yang sangat penting karena antara sayuran organik dan ternak tersebut sangat memungkinkan untuk bersinergis satu sama lain dalam pertanian terpadu. Selain itu, keberadaan aktivitas produksi pupuk bokashi dan silase juga cukup penting untuk menangani limbah usahatani dan usahaternak. Tentu saja setiap aktivitas usaha yang akan diintegrasikan memiliki karakter pengusahaan sangat beragam baik dalam hal metode budidaya, kebutuhan input, tingkat produksi, dan ketersediaan sumberdaya yang dimiliki. Kondisi tersebut menjadi salah satu kendala dalam merencanakan pertanian terpadu yang tepat untuk diterapkan di Desa Karehkel. Pemrograman linear dapat menjadi salah satu alternatif untuk melakukan kegiatan perencanaan pertanian terpadu di Desa Karehkel. Pemograman linear dibangun dengan merancang model linear usahatani sayuran organik terpadu yang disokong oleh aktivitas ternak kelinci, domba, produksi pupuk bokashi, dan silase. Hasil pemrograman linear dapat memberikan informasi mengenai aktivitas usaha yang sebaiknya diintegrasikan, jumlah pengusahaan masing-masing aktivitas usaha, alokasi sumberdaya yang optimal, serta dampak penerapan pertanian terpadu terhadap pemanfaatan produk antara di dalam desa dan terhadap total keuntungan wilayah. Informasi tersebut dapat menjadi rekomendasi bagi GPW sehingga program pertanian terpadu di Desa Karehkel dapat direncanakan dengan lebih baik. Kerangka pemikiran operasional penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.
35
Upaya GPW untuk meningkatkan total keuntungan aktivitas usahatani di Desa Karehkel
1. 2. 3. 4. 5.
Aktivitas: Usahatani sayuran organik Ternak domba Ternak kelinci Usaha produksi kompos Usaha produksi silase
Adanya kendala : 1. Kendala lahan 2. Kendala ketersediaan tenaga kerja 3. Kendala ketersediaan input pendukung aktivitas produksi yang berasal dari dalam dan luar desa
Pertanian terpadu Sayuran Organik-Ternak
Analisis program linear
Aktivitas yang harus diintegrasikan Alokasi sumberdaya yang optimal Jumlah pengusahaan masing-masing aktivitas
Dampak penerapan model sayuran organik terpadu terhadap pemanfaatan produk dan terhadap total keuntungan wilayah
Rekomendasi
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Operasional
36
IV. METODE PENELITIAN 4.1.
Lokasi dan Objek Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Karehkel yang berada di wilayah
Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Objek penelitian ini adalah Gapoktan Pandan Wangi yang berada di Desa Karehkel. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive. Pemilihan lokasi penelitian didasari oleh adanya pertimbangan bahwa Gapoktan Pandan Wangi memiliki rencana untuk mengembangkan usahatani terpadu antara sayuran organik-hewan ternak. Keberadaan usahatani terpadu antara komoditas hortikultura-hewan ternak masih sangat jarang dilakukan Indonesia karena sebagian besar program pertanian terpadu yang diterapkan pemerintah hanya melibatkan usahatani tanaman panganhewan ternak. Oleh karena itu rencana pembangunan pertanian terpadu sayuran organik-hewan ternak di Desa Karehkel memerlukan penelitian secara khusus sehingga dapat
membantu Gapoktan Pandan Wangi dalam melakukan
perencanaan secara tepat. Penelitian dilakukan pada bulan Maret-April 2010. 4.2.
Penentuan Responden Responden dalam penelitian ini dapat dibedakan menjadi beberapa
golongan yakni responden untuk aktivitas usahatani sayuran organik, aktivitas ternak domba, aktivitas ternak kelinci, dan aktivitas memproduksi pupuk bokashi. Responden setiap aktivitas usaha tersebut dipilih secara purposive sehingga dapat memberikan gambaran yang mendekati kondisi aktual pengusahaan masingmasing aktivitas usahatani.. Petani sayuran yang menjadi responden adalah petani sayuran yang telah memiliki pengalaman budidaya sayuran organik minimal selama enam bulan. Jumlah petani organik di Desa Karehkel berjumlah enam orang dan sudah berpengalaman bertani organik lebih dari enam bulan. Petani yang dipilih menjadi responden hanya lima orang petani saja yang dipilih sebagai responden. Hal ini disebabkan karena jenis sayuran organik yang dibudidayakan di Desa Karehkel adalah lima jenis sayuran diantaranya selada, kangkung, caisin, bayam merah, dan bayam hijau. Petani yang paling banyak menanam jenis sayuran organik tertentu pada saat periode penelitian dijadikan sebagai responden.
37
Peternak domba yang dijadikan sebagai responden hanya satu orang peternak. Hal tersebut didasari oleh pengamatan lapangan saat pra penelitian dimana aktivitas ternak domba di Desa Karehkel mayoritas dilakukan dengan karakteristik yang relatif sama. Karakteristik yang dimaksud antara lain pola budidaya yang mayoritas semi intensif, rata-rata kepemilikan domba per peternak yang relatif sama, penggunaan input produksi, dan pakan yang relatif sama. Jumlah responden peternak kelinci juga sebanyak satu orang peternak. Hal ini disebabkan karena karakteristik budidaya yang relatif sama. Peternak kelinci yang dipilih sebagai responden adalah peternak kelinci yang memiliki jumlah kelinci terbanyak sehingga dapat menggambarkan aktivitas beternak kelinci yang mendekati aktual. Aktivitas memproduksi pupuk bokashi di Desa Karehkel masih dilakukan pada skala percobaan atau dalam skala kecil saja. Oleh karena itu responden produsen pupuk bokashi dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa responden tersebut benar-benar menguasai proses pembuatan pupuk bokashi. Responden produsen pupuk bokashi berjumlah satu orang. Aktivitas memproduksi silase di Desa Karehkel bahkan belum ada dan masih belum ada anggota GPW yang mengetahui proses pembuatan silase. Bahkan aktivitas memproduksi silase di Bogor masih sangat sulit untuk ditemui sehingga setiap metode produksi dan kebutuhan bahan baku aktivitas memproduksi silase. 4.3.
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan
sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung dan wawancara dengan responden dengan menggunakan kuisioner
yang telah disusun
sebelumnya. Data primer meliputi demografi responden, luas lahan usahatani sayuran organik, pola tanam, penggunaan input, tingkat output yang dihasilkan, ketersediaan dan pemakaian tenaga kerja, harga input dan output, serta upah tenaga kerja. Data sekunder merupakan data pelengkap yang bersumber dari literaturliteratur yang relevan. Sumber data sekunder ini dapat berupa publikasi instansiinstansi dan perusahaan seperti Dinas Pertanian, Dinas Peternakan, BP4K, dan ICDF. Selain itu data sekunder juga dapat diperoleh melalui jurnal, hasil 38
penelitian, internet, dan buku yang dapat dijadikan rujukan terkait dengan permodelan usahatani terpadu tanaman-ternak. Selanjutnya data-data tersebut digunakan sebagai instrumentasi untuk menyusun permodelan usahatani sayuran organik terpadu di Desa Karehkel. 4.4.
Pengolahan dan Analisis Data Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Metode kuantitatif
digunakan untuk mengolah data primer dan merancang model usahatani sayuran organik terpadu yang tepat di Desa Karehkel. Analisis secara kualitatif dilakukan untuk mengintepretasikan dan mendeskripsikan hasil analisis kuantitatif yang dihasilkan oleh pendekatan LP. Pemilihan LP sebagai pendekatan untuk membangun model usahatani terpadu sayuran organik-hewan ternak didasari oleh adanya pertimbangan keterbatasan data yang dapat dikumpulkan karena pada kondisi aktual pertanian terpadu masih belum dilaksanakan. Hasil analisis LP yang bersifat normatif telah dapat memberikan informasi yang cukup mengenai kegiatan usahatani yang sebaiknya diintegrasikan, skala usaha pengusahaan masing-masing aktivitas usaha dan alokasi sumberdaya secara optimal sehingga diperoleh keuntungan maksimum. Selain itu hasil analisis optimal model usahatani sayuarn organik juga dapat memberikan informasi mengenai tingkat penggunaan sumberdaya tenaga kerja, tingkat pemanfaatan produk antara yang dihasilkan dan dipergunakan sendiri di dalam desa, serta tingkat penggunaan input pendukung usahatani. Dengan demikian, penggunaan LP telah dapat membantu perencanaan usahatani terpadu sayuran organik-hewan ternak di Desa Karehkel. 4.4.1. Perancangan Model Linear Usahatani Sayuran Organik Terpadu Perancangan MUSOT didasarkan pada koefisien teknis kebutuhan input produksi, tingkat produksi, tingkat harga maupun biaya, dan ketersediaan sumberdaya pada tingkat wilayah yang diperoleh dari data primer maupun data sekunder. Data primer yang diperoleh kemudian diolah terlebih dahulu menggunakan bantuan software Microsoft Excel sehingga dapat memberikan informasi yang mudah dipahami dan sesuai dengan kebutuhan peneliti. Persamaan maupun pertidaksamaan yang dihasilkan dari perancangan MUSOT kemudian diolah dengan LINDO (Linear
Interactive Discrete Optimizer). Pemilihan
39
software LINDO didasarkan pada pertimbangan kemudahan penggunaan dan hasil analisis yang dihasilkan telah cukup memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini serta lebih mudah dipahami. Penyusunan program linear didahului dengan menentukan fungsi tujuan dan fungsi kendala. Besarnya nilai koefisien pada fungsi tujuan dan fungsi kendala serta ketersediaan sumberdaya masing-masing kendala didasarkan pada koefisien teknis setiap aktivitas yang diperoleh dari data primer maupun sekunder. 4.4.1.1.Penerapan Model Usahatani Terpadu Sayuran Organik-Hewan Ternak (MUSOT) Pada dasarnya model yang dibangun dalam penelitian ini adalah model usahatani terpadu antara sayuran organik-hewan ternak. Namun untuk memberikan gambaran mengenai perbandingan penerapan setiap aktivitas usahatani secara tidak terpadu dengan penerapan usahatani secara terpadu maka model yang dibangun diterapkan pada dua kondisi yang berbeda yakni kondisi tidak terintegrasi (SI) dan kondisi terintegrasi (SII). Adanya penerapan model pada dua kondisi yang berbeda dilatarbelakangi oleh adanya tujuan dari penelitian ini
yakni
ingin
memberikan
informasi
mengenai
dampak
ekonomi
penyelenggaraan aktivitas usahatani secara terpadu. Dengan demikian dapat dibandingkan mana yang lebih menguntungkan saat menerapkan pertanian secara terpadu atau pada saat setiap aktivitas usaha dilakukan secara tidak terpadu sehingga pengambil keputusan, dalam hal ini GPW, dapat menentukan keputusan yang tepat dalam pengelolaan aktivitas usahatani di Desa Karehkel. Pada model SI diberikan kendala pemenuhan kebutuhan produk antara sehingga setiap kebutuhan produk antara dalam aktivitas produksi di dalam desa seluruhnya dipenuhi dengan membeli dari luar desa. Berbeda halnya pada model SII dimana kebutuhan produk antara setiap aktivitas produksi di dalam desa dapat dipenuhi dengan tiga alternatif yakni memanfaatkan produk antara yang dihasilkan di dalam desa, membeli produk antara dari luar desa, atau kombinasi keduanya.
40
4.4.1.2.Penentuan Aktivitas dalam Fungsi Tujuan Tujuan dari MUSOT adalah memaksimumkan total keuntungan wilayah dengan adanya penerapan pertanian terpadu. Aktivitas-aktivitas yang dimasukkan dalam fungsi tujuan meliputi komponen penerimaan dan komponen pengeluaran masing-masing aktivitas usaha yang dilibatkan dalam MUSOT yang dibangun. Fungsi tujuan MUSOT ini adalah untuk memaksimumkan total keuntungan wilayah dari aktivitas-aktivitas yang diintegrasikan. 1.
Aktivitas Produksi, antara lain aktivitas memproduksi sayuran selada, kangkung, caisin, bayam merah, bayam hijau, ternak kelinci, ternak domba, silase, dan pupuk bokashi. Aktivitas produksi diukur dengan biaya produksi yang tidak termasuk biaya penggunaan produk antara. Biaya produksi memproduksi sayuran organik adalah seluruh biaya pembelian input kecuali biaya pupuk organik. Biaya produksi ternak domba dan ternak kelinci adalah seluruh biaya kecuali aktivitas mencari maupun membeli pakan hijauan. Pada aktivitas silase, biaya diukur berdasarkan pembelian input-input kecuali pembelian bahan baku hijauan. Biaya produksi pupuk bokashi adalah biaya-biaya selain biaya limbah ternak untuk bahan baku pupuk bokashi. Biaya produk antara tersebut akan dijadikan koefisien pada aktivitas penggunaan produk antara sehingga dapat terlihat tingkat penggunaan produk antara di dalam desa dan keputusan pemenuhan kebutuhan produk antara.
2.
Aktivitas Jual, meliputi aktivitas menjual produk akhir maupun kelebihan produk antara yang dihasilkan di Desa Karehkel. Output dari aktivitas usahatani sayuran organik adalah sayuran segar dan limbah sayuran. Produk yang dihasilkan dari aktivitas ternak yakni dapat berupa daging (domba), anakan (kelinci), dan limbah ternak seperti kotoran dan urin. Aktivitas memproduksi silase dan pupuk bokashi menghasilkan pakan silase dan pupuk bokashi. Kedudukan sebuah produk dapat berperan sebagai produk, produk akhir, maupun keduanya.
3.
Aktivitas Beli, secara garis besar merupakan aktivitas untuk memperoleh produk antara yang dijual pada pasar produk antara yang ada di luar Desa Karehkel. Produk antara yang diperoleh dari aktivitas membeli ini
41
merupakan produk antara yang berasal dari luar desa. Aktivitas beli yang dimaksud antara lain membeli kotoran domba, kotoran kelinci, urin kelinci, pupuk kotoran ayam dari luar desa, dan membeli limbah organik pasar untuk bahan baku hijauan silase. 4.
Aktivitas Sewa Tenaga Kerja, dibedakan menjadi lima jenis yakni setiap aktivitas usaha memiliki aktivitas menyewa tenaga kerja yang berbedabeda. Hal ini disebabkan karena model yang dibangun merupakan model terpadu yang dibangun pada skala wilayah dimana setiap aktivitas usaha dilakukan oleh kelompok yang berbeda-beda sehingga ketersediaan sumberdaya tenaga kerja keluarga akan berbeda dan aktvitas menyewa tenaga kerja akan berbeda-beda pula. Adanya pembedaan aktivitas sewa tenaga kerja dapat berfungsi untuk mengetahui tingkat pemanfaatan dan kemampuan tenaga kerja dalam keluarga memenuhi kebutuhan tenaga kerja aktivitas produksi.
4.4.1.3.Pengukuran Kendala Kendala
yang dimasukkan dalam MUSOT
antara
lain kendala
ketersediaan lahan, kendala tenaga kerja, kendala transfer produk, ketersedian input maupun sumberdaya pendukung penerapan pertanian terpadu, dan kendala permintaan sayuran organik. 1.
Kendala Ketersediaan Lahan, hanya terdapat pada aktivitas usahatani sayuran organik. Satuan lahan yang digunakan pada usahatani sayuran organik adalah bedengan yakni sesuai dengan kondisi aktual lokasi penelitian.Ukuran bedengan pada penelitian ini didasarkan ukuran bedengan rata-rata di lokasi penelitian
2.
Kendala Tenaga Kerja, dibedakan menjadi lima yakni masing-masing untuk aktivitas memproduksi sayuran organik, ternak kelinci, ternak domba, silase, dan pupuk bokashi. Komponen penyusan dalam kendala tenaga kerja adalah kebutuhan tenaga kerja per unit aktivitas usaha dan aktivitas menyewa tenaga kerja dari luar keluarga.
3.
Kendala Transfer Produk, pada pertanian terpadu cukup banyak yakni transfer produksi sayuran organik per jenis sayuran per bedeng, kendala transfer produk ternak, kendala transfer produk silase dan pupuk bokashi, 42
kendala transfer pemanfaatan produk antara di dalam desa, dan kendala transfer kebutuhan pakan ternak. Kendala transfer produk sayuran, ternak, silase, dan pupuk bokashi didefinsikan sebagai jumlah produk yang dapat dihasilkan oleh satu satuan aktivitas produksi. Kendala transfer ditunjukkan dengan aktivitas untukmemenuhi kebutuhan produk antara oleh suatu aktivitas usaha melalui pemanfaatan produk antara di dalam desa atau membeli dari luar desa. 4.
Kendala Ketersediaan Input dan Sumberdaya Pendukung, dapat dibedakan menjadi ketersediaan pakan hijauan lapang yang dapat disediakan peternak, ketersediaan pupuk kotoran ayam yang dapat diperoleh dari luar desa, ketersediaan tenaga yang dapat disewa di Desa Karehkel, dan ketersediaan limbah organik pasar yang digunakan untuk aktivitas produksi silase.
5.
Kendala pakan rumput, dibedakan menjadi dua yakni pakan rumput untuk kelinci dan pakan rumput untuk domba.
6.
Kendala Permintaan Sayuran Organik, didasarkan pada data penjualan sayuran organik aktual enam orang petani sehingga diasumsikan data penjualan merupakan permintaan aktual pembeli. Data tersebut kemdudian dikonversikan menjadi data permintaan kelompok tani yang berjumlah 29 orang petani.
4.4.1.4.Model Matematis Usahatani Sayuran Organik Terpadu Penentuan aktivitas-aktivitas pada fungsi tujuan dan fungsi kendala tersebut sangat penting untuk menyusun model linear usahatani sayuran oragnik terpadu pada penelitian ini. Secara matematis, model yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Fungsi Tujuan Maks Z = ∑
-∑
-∑
-∑
dimana: ai
= harga jual produk aktivitas produksi Xi (Rp/unit)
bi
= biaya produksi non produk antara aktivitas produksi Xi (Rp/unit)
cj
= harga beli produk antara j (Rp/unit)
43
di
= biaya sewa tenaga kerja aktivitas produksi Xi (Rp/HOK)
SXi
= aktivitas menjual produk aktivitas produksi Xi (unit)
aktivitas menjual produk aktivitas produksi Xi adalah sebagai berikut: SXS
= aktivitas menjual selada (kg)
SXK
= aktivitas menjual kangkung (kg)
SXC
= aktivitas menjual caisin (kg)
SXM
= aktivitas menjual bayam merah (kg)
SXH
= aktivitas menjual bayam hijau (kg)
SXG
= aktivitas menjual daging domba (kg)
SXR
= aktivitas menjual anakan kelinci (Rp)
SLIYUR =
aktivitas
menjual
limbah
sayuran
organik
(Kg)
SLULXG = aktivitas menjual kotoran domba ke luar desa (Kg) SLULXR = aktivitas menjual kotoran kelinci ke luar desa (Kg) SLULUR = aktivitas menjual urin kelinci ke luar desa (Kg) SLUXKO = aktivitas menjual pupuk bokashi ke luar desa (Kg) SLUXSIL = aktivitas menjual silase ke luar desa (Kg) Xi
= aktivitas produksi i (unit)
aktivitas produksi i yang dimaksud adalah sebagai berikut ini:
PAj
XS
= aktivitas memproduksi selada (bedeng)
XK
= aktivitas memproduksi kangkung (bedeng)
XC
= aktivitas memproduksi caisin (bedeng)
XM
= aktivitas memproduksi bayam merah (bedeng)
XH
= aktivitas memproduksi bayam hijau (bedeng)
XG
= aktivitas memelihara domba (ekor)
XR
= aktivitas memelihara indukan kelinci (ekor)
XKO
= aktivitas memproduksi pupuk bokashi(Kg)
XSIL
= aktivitas memproduksi silase (Kg)
= aktivitas membeli produk antara j (unit)
aktivitas membeli produk antara j yang dimaksud adalah sebagai berikut ini: BLLXG = aktivitas membeli kotoran domba dari luar desa (Kg) BLLXR
= aktivitas membeli kotoran kelinci dari luar desa (Kg)
44
BLLUR
= aktivitas membeli urin kelinci dari luar desa(Kg)
BKOTA = aktivitas membeli pupuk kotoran ayam dari luar desa (Kg) BLUSIL = beli silase dari luar desa (kg) BSOP TKSi
= aktivitas membeli limbah organik pasar (Kg)
= aktivitas menyewa tenaga kerja luar keluarga aktivitas produksi Xi, dimana terdiri dari:
TKSAY
= aktivitas sewa tenaga kerja usahatani sayura organik (HOK)
TKSG
= aktivitas sewa tenaga kerja ternak domba (HOK)
TKSR
= aktivitas sewa tenaga kerja ternak kelinci (HOK)
TKSKO = aktivitas sewa tenaga kerja produksi silase (HOK) TKSIL 2.
= aktivitas sewa tenaga kerja produksi silase (HOK)
Fungsi Kendala a. Kendala Ketersediaan Lahan Sayuran Organik ∑
≤e1
dimana: Xi = jenis sayuran organik: selada (XS), kangkung (XK), caisin (XC), bayam merah (XM), bayam hijau (XH) (bedeng) e1 = ketersediaan lahan (bedengan) b. Kendala Tenaga Kerja Usahatani sayuran organik, silase, dan pupuk bokashi: ∑
−
≤fi
Usahaternak: ∑
+
−
≤fi
dimana: Xi
= aktivitas produksi i (unit)
RUMz
= aktivitas mencari rumput lapang ternak z(Kg/HOK)
GRUM = jumlah rumput yang disediakan untuk domba (Kg) RRUM = jumlah rumput yang disediakan untuk kelinci (Kg) f
= kebutuhan tenaga kerja per unit aktivitas (HOK/unit)
fi
= ketersediaan tenaga kerja aktivitas produksi i (HOK)
45
c. Kendala Transfer Produk Transfer Produk utama sayuran organik dan ternak: SXi – gXi ≤ 0 Transfer Rendemen pupuk dan silase: Xi - hiBBi ≤ 0 Transfer pupuk bokashi: -BKOTA- XKO+XS+kXK+kXC+kXM+kXH+SLUXKO ≤ 0 Transfer silase: -BLUSIL-XSIL+lXG+lXR+SLUXSIL≤ 0 Transfer kotoran domba: -BLLXG-mXG+nBBKO+SLULXG ≤ 0 Transfer Kotoran kelinci -BLLXR-oXR+pBBKO+SLULXR ≤ 0 Transfer urin kelinci: -BLLUR-qXR+rBBKO+SLULUR ≤ 0 Transfer Limbah Sayuran: sBBSIL-tXSay -BSOP +SLIYUR ≤ 0 dimana: g
=produksi produk per unit aktivitas selada,kangkung,caisin,bayam merah, bayam hijau, daging domba (kg); kelinci (ekor anakan)
hi
= koefisien teknis rendemen silase; pupuk bokashi
BBi = total kebutuhan bahan baku silase; pupuk bokashi (Kg) k
= kebutuhan pupuk organik per bedengan sayuran (Kg/bedeng)
l
= kebutuhan pakan silase per jenis ternak (Kg)
m
= produksi kotoran domba per ekor (Kg/ekor)
n
= koefisien kebutuhan bahan baku bokashi kotoran domba
o
= produksi kotoran kelinci per ekor (Kg/ekor)
p
= koefisien kebutuhan bahan baku bokashi kotoran kelinci
q
= produksi urin kelinci per ekor (Kg/ekor)
r
= koefisien kebutuhan bahan baku bokashi urin kelinci
s
= koefisien kebutuhan baku hijauan silase
t
= produksi limbah sayuran per bedeng (Kg/bedeng)
46
d. Kendala Pakan Rumput -RUMz+a1XT ≤ 0 Dimana: XT = jenis ternak domba (XG), kelinci (XR) a1 = kebutuhan pakan rumput masing-masing jenis ternak (Kg) e. Kendala Input dan sumberdaya pendukung Tenaga Kerja Sewa: ∑
≤ a2
Ketersediaan Rumput Lapang: ∑
≤ a3
Ketersediaan Pupuk Kotoran Ayam: ∑
≤ a4
Ketersediaan Limbah Organik Pasar: ∑
≤ a5
dimana: a2
= ketersediaan tenaga kerja sewa di Desa Karehkel (HOK)
a3
= ketersediaan rumput lapang (Kg)
a4
= ketersediaan pupuk kotoran ayam luar desa(Kg)
a5
= Ketersediaan limbah organik pasar (Kg)
f. Kendala Permintaan Sayuran Organik SXSay ≥ a6 dimana: SXSay
= jual setiap jenis sayuran organik: selada (XS), kangkung (XK), caisin (XC), bayam merah (XM), bayam hijau (XH)
a6
= permintaan minimum sayuran organik (Kg)
4.4.1.5.Analisis Sensitivitas Adanya sifat deterministik pada LP yang menyebabkan hasil yang diperoleh berupa single value expectation menyebabkan analisis sensitivitas menjadi hal yang sangat penting. Analisis sensitivitas digunakan untuk menangkap perubahan-perubahan yang mungkin terjadi pada kondisi aktual sehingga dapat diketahui selang kepekaan yang dapat ditolerir sehingga tidak mengubah keputusan optimal. Analisis sensitivitas dilakukan pada koefisien 47
fungsi tujuan yakni berupa perubahan harga jual, harga beli, maupun biaya produksi per unit aktivitas produksi. Analisis sensitivitas juga dilakukan pada ketersediaan sumberdaya pada fungsi kendala.
4.4.1.6.Analisis Pasca Optimal Analisis pasca optimal pada penelitian ini digunakan untuk mengetahui dampak dari adanya pemaksaan kondisi terintegrasi pada MUSOT yang dibangun terhadap total keuntungan wilayah, alokasi sumberdaya, pengusahaan masingmasing aktivitas usaha, dan tingkat pemanfaatan produk antara. Skenario yang dijalankan adalah dengan menetapkan kebijakan penggunaan pupuk bokashi masing-masing sebesar 30 persen, 50 persen, 70 persen, dan 100 persen dari total kebutuhan pupuk organik di dalam desa. Penentuan setiap kebijakan pemanfaatan pupuk bokashi yang semakin besar tersebut digunakan untuk mengetahui dampak kebijakan terhadap total keuntungan wilayah apabila proporsi pemanfaatan pupuk bokashi di dalam desa semakin besar. Total keuntungan yang dihasilkan oleh kondisi optimal masing-masing kebijakan dijadikan sebagai dasar untuk mengetahui konsekuensi penerapan kebijakan tersebut terhadap perubahan harga jual sayuran organik setiap kilogramnya agar keuntungan yang diperoleh adalah minimal sama dibandingkan penyelenggaraan usahatani secara tidak terintegrasi.
48
V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1.
Lokasi dan Topografi Desa Karehkel berada di Kecamatan Leuwiliang dan termasuk wilayah
pengembangan pembangunan Kabupaten Bogor bagian barat. Wilayah Karehkel berbatasan langsung dengan Kecamatan Leuwisadeng di bagian barat, Kecamatan Rumpin di sebelah utara, Kecamatan Cibungbulang di bagian timur, dan Desa Cibeber I di bagian selatan. Berdasarkan ketinggiannya, Desa Karehkel termasuk dalam dataran rendah karena berada pada ketinggian 175-250 mdpl. Hal tersebut secara langsung mempengaruhi aktivitas di bidang pertanian sehingga seluruh ternak dan tanaman yang diusahakan adalah hewan dan jenis tanaman dataran rendah. Topografi Desa Karehkel secara umum untuk lahan darat adalah berbukit dengan kemiringan 10-25% sedangkan untuk lahan sawah landai sampai datar dengan kemiringan antara 10-20%. Jenis tanah di Desa Karehkel adalah tanah latosol dengan pH berkisar antara 4,5-5,5 sehingga tanahnya cenderung bersifat asam. Mayoritas petani sayuran secara rutin menaburkan kapur pada lahannya setiap tiga bulan sekali sebagai upaya memperbaiki kesuburan lahan garapannya. Kegiatan pengembangan dan pembinaan pertanian di Desa Karehkel berada di bawah pengawasan BP3K Wilayah Leuwiliang. Luas wilayah Desa Karehkel adalah 807 Ha dengan penggunaan lahan sebagai lahan pertanian sebesar 46,84%, 11,65% sebagai lahan pekarangan, 6,44% sebagai areal pengangonan, 1,24% sebagai lahan usaha perikanan, dan sisanya sebanyak 33,83% sebagai areal hutan rakyat (BP3K Leuwiliang 2010). 5.2.
Keadaan Iklim Secara garis besar Kecamatan Leuwiliang memiliki dua musim yakni
musim penghujan dan musim kemarau. Wilayah Desa Karehkel yang berada di Kecamatan Leuwiliang juga memiliki keadaan iklim yang tidak jauh berbeda. Bulan kering atau musim kemarau merupakan bulan-bulan yang memiliki curah hujan rata-rata kurang dari 60 milimeter/bulan. Bulan hujan atau bulan basah merupakan saat dimana curah hujan rata-rata lebih dari 100 milimeter/bulan
49
sedangkan bulan lembab memiliki curah hujan antara 60 milimeter/bulan sampai dengan 100 milimeter/bulan. Tabel 1. Rata-rata Curah Hujan Selama 12 Tahun Terakhir di Kecamatan Karehkel Curah Hujan ( mm) No
Rata-rata Bulan
19982002
Tahun
Tahun
Tahun
Tahun
Tahun
Tahun
Tahun
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
1
Januari
314
391
93
404
274
105
271
96
2
Pebruari
165
97
354
327
138
284
240
372
3
Maret
112.6
230
400
423
112
239
231
200
4
April
176
404
421
640
201
266
345
307
5
Mei
310
457
324
374
409
274
341
317
6
Juni
176.4
51
174
169
241
309
203
278
7
Juli
271
24
15
209
350
35
156
144
8
Agustus
163
24
43
166
9
90
106
108
9
September
236
136
97
392
7
61
223
225
10
Oktober
269.3
231
297
277
605
314
335
644
11
Nopember
290.8
421
241
401
331
158
343
554
12
Desember
286.2
357
154
432
341
257
314
391
Rata-Rata
230,94
236
216
350.4
249
199
259
330
Sumber : Stasiun Klimatologi dan Geofisika Darmaga, Bogor (2009)
Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwasanya rata-rata curah hujan di Desa Karehkel adalah sebesar 230 milimeter/tahun. Maka dapat dikatakan bahwasanya Desa Karehkel memiliki curah hujan yang cukup tinggi dan didominasi dengan bulan basah yakni rata-rata selama 10 bulan. Hal ini secara langsung berpengaruh pada pola tanam berbagai jenis tanaman pertanian di Desa Karehkel, terutama kegiatan usahatani tanaman berupa padi, sayuran, atau jenis tanaman hutan lainnya. 5.3.
Kependudukan Jumlah penduduk Desa Karehkel berdasarkan Laporan Register Penduduk
Tahun 2009 adalah sebanyak 16.244 jiwa yang terdiri dari penduduk pria sebanyak 57,34% (9.314 jiwa) dan 42,66% (6.930 jiwa) sisanya adalah penduduk
50
berjenis kelamin wanita dengan jumlah rumah tangga sebanyak 2.687 rumah tangga. Ditinjau dari jumlah anggota keluarga maka rata-rata rumah tangga beranggotakan 6 jiwa/rumah tangga. Sekitar 71,63% (11.635 jiwa) dari total penduduk di Desa Karehkel tergolong pada usia produktif sedangkan 38% (4.609 jiwa) sisanya berada pada kategori usia tidak produktif. Keberadaan penduduk dengan usia produktif menunjukkan potensi tenaga kerja yang ada di Desa Karehkel. Tabel 2. Data Keragaan Penduduk Desa Karehkel Menurut Mata Pencaharian No
Jenis Mata Pencaharian
1
Pertanian
2
Jumlah Penduduk Desa ( orang ) Karehkel
Cibeber I 1667
1668
Pertambangan
997
967
3
Perikanan
999
669
4
Perdagangan
2875
1987
5
Jasa
287
498
6
Swasta
1540
2897
7
Pegawai Negeri
85
98
8
Buruh
698
599
9
Tidak Kerja
7096
6327
16244
15710
Jumlah Sumber : Kantor Desa Karehkel (2009)
Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwasanya mayoritas penduduk di Desa Karehkel tidak memiliki pekerjaan. Angka pengangguran yang cukup tinggi yakni mencapai 43,68 persen salah satunya disebabkan karena rendahnya tingkat pendidikan di Desa Karehkel. Sebanyak 36,62 persen penduduk tidak bersekolah, 42,81 persen hanya lulusan SD, 10,41 persen telah mengenyam pendidikan setara SMP, 9,82 persen adalah lulusan SMA, dan hanya sebanyak 0,33% yang lulus pendidikan perkuliahan (D3 atau S1). Penduduk yang memiliki mata pencaharian di bidang pertanian adalah sebanyak 2.666 jiwa dimana 62,53% berada pada usahatani tanaman dan sisanya 37,47% di bidang perikanan. Keberadaan usaha peternakan memang sulit ditemui di lapangan bahkan tidak ada. Hal ini disebabkan usaha ternak di Desa Karehkel mayoritas diusahakan hanya sebagai kegiatan sambilan di sela-sela kegiatan usahatani tanaman.
51
5.4.
Aktivitas Usahatani Desa Karehkel Secara garis besar, kegiatan usahatani di Desa Karehkel dapat dibedakan
menjadi beberapa bagian yakni sektor usahatani tanaman yang meliputi usahatani lahan basah misalnya padi sawah, usahatani lahan kering seperti perkebunan, tegalan, pengangonan (ternak secara ekstensif atau semi intensif) ,kehutanan, dan usahatani perairan yakni perikanan. Desa Karehkel memiliki empat kelompok tani (poktan) dan satu kelompok wanita tani (KWT) yang tergabung dalam Gapoktan Pandan Wangi (GPW). Poktan yang tergabung dalam GPW diantaranya Poktan Mitra Tani yang berlokasi di kampung Tonjong, Poktan Cadas Gantung di kampung Parung Singa, Berkah Tani di kampung Karehkel, dan di kampung Pandu terdapat Poktan Sugih Tani. Mayoritas kegiatan usahatani padi sawah dilakukan di Poktan Mitra Tani sedangkan luasan lahan sawah paling kecil terdapat di kampung Pandu yakni tempat dimana Poktan Sugih Tani berada. Pada kegiatan usahatani lahan kering, Poktan Mitra Tani memiliki luasan lahan garapan yang terbesar diantara poktan lainnya.Pada umumnya pola tanam kegiatan usahatani lahan basah dan lahan kering dapat dibedakan menjadi beberapa macam. Pola tanam usahatani lahan basah (sawah) diantaranya pola tanam I: padi–padi–palawija, pola tanam II: padi– palawija–bera. Pada aktivitas usahatani lahan darat dapat dibedakan menjadi tiga macam yakni pola tanam I: palawija–palawija, pola tanam II: palawija – sayuran dan pola tanam III: sayuran sepanjang tahun. Sebagian besar petani yang mengusahakan tanaman berstatus sebagai petani pemilik yakni sebanyak 56,87% (948 orang) dari total penduduk yang bermatapencaharian sebagai petani. Keberadaan buruh tani juga cukup banyak yakni mencapai 18,23% atau setara dengan 304 petani. Jumlah petani berdasarkan statusnya secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini.
52
Tabel 3. Data Jumlah Penduduk Tani Menurut Status Petani No
Status Petani
Jumlah Petani (orang)
Proporsi (%)
1
Pemilik
948
56,87
2
Pemilik penggarap
316
18,96
3
Penyakap
99
5,94
4
Buruh tani
304
18,23
Jumlah
1667
100
Sumber
: Laporan Register Desa (2009)
Sangat besarnya daya tarik secara ekonomi pengusahaan tanaman hutan menyebabkan cukup banyak petani yang mengusahkan berbagai tanaman hutan sebagai sumber penghidupannya. Penggunaan lahan untuk kegiatan pengusahaan tanaman hutan di Desa Karehkel adalah mencapai 25,65 persen (207 ha). Tanaman bambu merupakan jenis tanaman hutan yang banyak dibudidayakan sedangkan tanaman hutan lainnya antara lain albazia, mahoni, dan aprika. Pada sektor perikanan, kegiatan usahanya ditujukan untuk pembenihan dan pembesaran ikan. Luasan kolam yang digunakan adalah seluas 10 ha. Jenis ikan yang dibudiyakan antara lain ikan nila, ikan mas, dan ikan gurami. Pembudidaya ikan konsumsi tersebut tergabung dalam Poktan Perikanan Cadas Gantung. Adanya padang pengangonan menjadi salah satu potensi sumber pakan bagi hewan ternak yang dibudidayakan. Peternak tersebut tergabung dalam Poktan Ternak Cadas Gantung. Selain itu ketersediaan lahan pekarangan, ladang atau tegalan juga menjadi salah satu potensi sumberdaya bagi aktivitas usahatani tanaman darat lainnya, salah satunya adalah sayuran dataran rendah. Sebagian besar petani sayuran berada di Kampung Pandu yang tergabung dalam Poktan Sugih Tani. Petani sayuran di Poktan Sugih Tani dapat dibedakan menjadi dua yakni petani-petani yang membudidayakan sayurannya secara organik dan petani sayuran non-organik yakni yang menggunakan pupuk kimia dalam usahatani yang dilakukannya. Keberagaman berbagai aktivitas usahatani dan penggunaan lahan untuk setiap aktivitas usahatani, secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini.
53
Tabel 4. Klasifikasi dan Tata Guna Lahan pada Kelompok Tani yang Tergabung dalam Gapoktan pandan Wangi
No 1
Kelompok Tani
Klasifikasi dan Tata Guna Lahan
Cadas Gantung
Mitra Tani
Sugih Tani
Barokah Tani
Lahan Basah Sawah Pengairan (Ha) - Teknis
26
40
32
38
- 1/2 teknis
30
20
14
16
- Sederhana
15
16
11
8
-
-
-
-
- Pekarangan
25
20
21
28
- Ladang / Tegalan
37
29
27
19
- Pengangonan
15
12
14
11
-
-
-
-
45
84
73
71
- Setu
-
-
-
-
- Kolam
3
2
1
4
- Tadah Hujan 2
Lahan Kering (Ha)
- Perkebunan - Kehutanan 3
Perairan (Ha)
- Akuarium
-
Jumlah (Ha)
196
223
193
195
Sumber : Kantor Desa Karehkel (2009) 5.4.1.
Usahatani Sayuran Organik
5.4.1.1. Sejarah Budidaya Sayuran Organik di Desa Karehkel Kegiatan usahatani sayuran terpusat pada Poktan Sugih Tani. Jumlah petani yang terdaftar sebagai anggota adalah sebanyak 29 petani. Pada awalnya kegiatan usahatani sayuran di Desa Karehkel dilakukan secara non organik yakni masih
menggunakan pupuk
kimia
dan pestisida.
Jenis
sayuran
yang
dibudidayakan petani antara lain bayam, caisin, kangkung, selada, lobak, kemangi, kacang panjang, tomat, terong, buncis, ketimun, dan kucai ganda. Aktivitas budidaya sayuran organik dimulai pada saat ICDF (International Cooperation and Development Fund) Taiwan menjalin kerjasama dengan Gapoktan Pandan Wangi. Poktan Sugih Tani dipilih sebagai pelaksana kegiatan
54
budidaya sayuran organik karena poktan tersebut merupakan sentra petani sayuran di Desa Karehkel sehingga difusi teknologi budidaya sayuran organik dapat dilakukan dengan lebih mudah. Kerjasama tersebut resmi terjalin pada bulan Mei 2009 yang ditandai dengan penandatanganan MOU. Petani yang terikat kerjasama memiliki kewajiban untuk memenuhi permintaan dan mengikuti kalender tanam yang ditetapkan oleh pihak ICDF. Pada awalnya hanya satu orang petani saja yang bersedia melakukan budidaya sayuran secara organik. Hal ini disebabkan karena adanya persepsi negatf terhadap aktivitas budidaya sayuran organik. Petani yang telah terbiasa menggunakan pupuk kimia dan pestisida dalam budidaya sayurannya merasa khawatir terhadap hasil panen yang lebih rendah dan adanya serangan hama yang tinggi pada aktivitas budidaya sayuran organik. Selain itu, petani juga beranggapan bahwa modal yang diperlukan untuk budidaya sayuran organik sangat besar karena harus memiliki paranet sebagai penutup bedengannya. Persepsi tersebut menjadi salah satu kendala dalam mengajak seluruh petani untuk membudidayakan sayuran organik. Secara perlahan, petani mulai menyadari adanya potensi keuntungan yang lebih besar dengan melakukan budidaya sayuran organik. Salah satu daya tarik bagi petani untuk bergabung dalam usaha budidaya sayuran organik adalah harga tiap jenis sayuran per kilogram yang lebih mahal daripada harga sayuran nonorganik. Harga per kilogram selada, caisin, kangkung, bayam hijau, dan bayam merah yang dibudiayakan secara organik di Karehkel masing-masing adalah Rp 9.000,00; Rp 8.000,00; Rp 5.000,00; Rp 6.000,00; dan Rp 6.000,00. Saat ini, jumlah petani yang membudidayakan sayuran secara organik adalah sebanyak enam petani. Pada beberapa tahun ke depan, Poktan Sugih Tani akan dijadikan sebagai sentra produksi sayuran organik di DesaKarehkel. Selain potensi sumberdaya manusia yang telah berpengalaman untuk budidaya sayuran, alasan lingkungan juga menjadi penyebabnya. Salah satu persyaratan lingkungan untuk kegiatan budidaya tanaman secara organik adalah tidak boleh terdapat kontaminasi bahan kimia dari aktivitas usahatani tanaman non-organik di sekitarnya. Kondisi saat ini, lokasi aktivitas usahatani sayuran organik di Desa
55
Karehkel masih dikelilingi usahatani tanaman lain yang dilakukan secara nonorganik. 5.4.1.2. Produksi Sayuran Organik dan Potensi Limbah Sayuran Proses difusi teknologi budidaya sayuran organik dilakukan secara bertahap di Desa Karehkel. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk melakukan uji coba terhadap kesesuaian lahan, iklim untuk budidaya sayuran organik sehingga dapat diketahui jenis sayuran yang paling cocok dikembangkan di Desa Karehkel. Selain itu, hal tersebut ditujukan untuk mengetahui komitmen para petani organik untuk konsisten mengembangkan sayuran organik untuk memenuhi permintaan pembeli (ICDF). Pada mulanya, hanya tiga jenis sayuran yang dibudidayakan yakni kangkung, caisin, dan bayam hijau. Aktivitas budidaya selada dimulai pada bulan Agustus dan bayam merah baru dimulai pada bulan Oktober. Adanya rencana untuk mengembangkan wilayah Poktan Sugih Tani sebagai sentra pertanian sayuran organik di Desa Karehkel dilatarbelakangi oleh tingginya permintaan sayuran organik oleh konsumen ICDF yang sebagian besar terdiri dari ritel-ritel besar, seperti serambi botani, alfamart, dan giant. Pada nantinya diharapkan petani sayuran yang ada di Desa Karehkel dapat melaksanakan budidaya organik untuk memenuhi permintaan pasar yang lebih besar. Jumlah sayuran organik yang diproduksi tiap bulannya cukup banyak. Produksi selada per bulannya rata-rata mencapai 111,64 kg dan caisin mencapai 464,69 kg. Jenis sayuran yang memiliki permintaan tertinggi adalah kangkung yakni mencapai 590,17 kg. Jumlah permintaan bayam hijau juga cukup banyak, yakni terbesar kedua setelah caisin yakni rata-rata meencapai 487,7 kg tiap bulannya. Proses
sortasi
yang
dilakukan
terhadap
sayuran
organik
dapat
menyebabkan adanya limbah sayuran. Sortasi yang dilakukan dapat mencapai 30 persen dari total sayuran yang diproduksi atau dikirim petani ke ICDF. Saat ini keberadaan limbah tersebut masih belum termanfaatkan. Padahal limbah sayuran organik sangat berpotensi sebagai sumber pakan ternak di Desa Karehkel. Terkadang petani menjual limbah tersebut ke para tengkulak dengan jumlah dan harga yang tidak menentu tergantung kesepakatan. Besarnya sortasi sayuran tersebut sangat bervariasi dan sangat bergantung pada musim. 56
Pada umumnya, saat musim kemarau, produksi sayuran akan tinggi sehingga jumlah sayuran yang lolos sortasi adalah lebih banyak sehingga berdampak pada keuntungan yang lebih tinggi bagi petani. Berbeda halnya pada saat musim penghujan dimana cukup banyak hama dan penyakit yang menyerang. Misalnya adalah kutu lengket atau kutu anjing (Phylotratta vittata) yang sering menyerang tanaman caisin dan virus mozaik (Cucumber Mozaik Virus) yang sering menyerang bayam. Akibatnya jumlah sayuran yang tidak lolos sortasi akan lebih banyak dan keuntungan petani akan menurun. Besarnya sortasi di berbagai musim tersebut juga tergantung pada ketahanan sayuran terhadap serangan hama dan kesesuaian sayuran terhadap curah hujan tiap bulannya. Selada merupakan jenis sayuran yang memerlukan banyak air dan relatif sedikit hama yang menyerang. Sayuran ini memiliki produksi sayuran yang lebih tinggi pada musim penghujan. Caisin juga memiliki karakter yang hampir sama seperti selada yakni memerlukan air banyak sehingga produksinya pada musim penghujan adalah lebih besar daripada musim kemarau. Serangan hama yang semakin tinggi terhadap caisin menyebabkan produksi caisin pada musim penghujan mengalami penurunan yang cukup drastis. Kangkung merupakan jenis sayuran yang relatif stabil jumlah produksinya baik pada musim kemarau maupun musim hujan. Harga beli yang ditetapkan oleh ICDF terhadap sayuran organik yang pada saat-saat tertentu mengalami perubahan. Misalnya adalah pada periode penelitian ini, yakni bulan Maret-Mei 2010 yang bertepatan dengan musim hujan, harga bayam hijau dan bayam merah mengalami kenaikan. Hal ini disebabkan karena meningkatnya intensitas serangan penyakit sehingga produksi sayuran mengalami penurunan yang cukup drastis. Harga bayam yang semula Rp 6.000,00 tiap kilogramnya mengalami kenaikan hingga Rp 9.000,00 tiap kilogramnya. Sayuran yang relatif stabil jumlah produksi nya cenderung memiliki harga yang stabil misalnya kangkung. 5.4.1.3. Gambaran Budidaya Sayuran Organik Budidaya tanaman organik merupakan aktivitas budidaya yang tidak menggunakan input kimia, baik berupa pupuk kimia maupun pestisida. Kebutuhan pupuk organik pada usahatani sayuran organik di Desa Karehkel 57
dipenuhi dengan pupuk kandang yang berasal dari kotoran ayam. Seluruh kotoran ayam tersebut diperoleh dari luar desa karena di Desa Karehkel sendiri tidak ada peternakan ayam. Potensi kotoran domba dan kotoran kelinci sebagai pupuk kandang yang cukup melimpah di Desa Karehkel masih belum termanfaatkan. Hal ini disebabkan karena sifat dari kotoran domba sendiri seringkali membawa bijibijian gulma sehingga pada saat diaplikasikan sebagai pupuk kandang akan menyebabkan timbulnya gulma yang sangat banyak. Setiap jenis sayuran ditanam pada bedengan yang berbeda. Untuk menghindari serangan hama maka pada budidaya sayuran organik di Desa Karehkel menggunakan paranet yang disangga dengan menggunakan tiang bambu yang disusun melengkung sehingga sayuran yang dipelihara ternaungi paranet. Sebagian besar petani menyemai sendiri benih sayurannya kecuali tanaman selada. Waktu semai yang cukup lama dan sulitnya benih selada untuk disemai sendiri menjadi penyebab bagi petani untuk membeli bibit dari pihak ICDF. Pemupukan dilakukan sebanyak dua kali yakni pada awal saat tanam dan di pertengahan periode produksi tanaman. Kegiatan penyiangan pada umumnya dilakukan pada saat umur tanaman sampai dengan satu minggu namun setelah tanaman sudah tinggi atau hampir panen, kegiatan penyiangan akan sangat jarang dilakukan. Benih kangkung yang biasanya digunakan adalah bermerk Petani Putih dan Cap Yayang sedangkan bayam merah mayoritas menggunakan benih dengan merk Panah Merah. Berbeda halnya dengan bayam hijau, benih dibeli dengan satuan botolan dan tidak bermerk. Kegiatan
penyiraman
masih
dilakukan
secara
tradisional
yakni
menggunakan wadah siram yang dipikul (gembor). Penyiraman pada musim kemarau dilakukan sebanyak tiga sampai dengan lima kali dalam sehari. Terutama tanaman selada dan caisin yang memerlukan banyak air. Pada musim penghujan intensitas penyiraman dikurangi yakni sebanyak dua atau hanya sekali dalam sehari. Saat musim hujan, paranet harus sering dibuka sehingga sayuran terjemur. Hal ini bertujuan untuk meminimalisir serangan penyakit pada tanaman sayuran. Berdasarkan pengalaman yang dimiliki, virus mozaik yang menyerang bayam disebabkan oleh air hujan yang turun pada jangka waktu yang singkat dan cipratan air yang berasal dari tanah saat hujan turun. Petani terkadang menaman bayam
58
dan selada pada satu bedengan. Biasanya petani menanam bayam terlebih dahulu. Setelah berumur kurang lebih satu minggu, selada mulai ditanam sehingga pada saat hujan akan mengurangi cipratan air hujan yang terpantul di tanah. Tanaman selada dan caisin memerlukan jumlah tenaga kerja yang lebih banyak daripada tanaman kangkung, bayam hijau, dan bayam merah. Jika tanaman kangkung, bayam hijau, bayam merah hanya tinggal disemai, untuk tanaman selada dan caisin harus disemai di bedeng semai terlebih dahulu kemudian dipindahkan ke bedengan untuk kegiatan penanaman. Perbedaan antara bedeng semai dan bedeng tanam terletak pada jarak tanamnya. Pada bedeng semai, benih ditebar begitu saja sehingga memiliki kerapatan yang sangat tinggi. Berbeda halnya dengan bedeng tanam dimana jarak tanamnya lebih jauh sehingga memungkinkan bagi setiap tanaman untuk tumbuh secara maksimal. Jenis sayuran yang ditanam, waktu tanam, waktu panen, dan waktu pengiriman sayuran ditentukan sepenuhnya oleh ICDF. Seluruh produksi sayuran organik disetorkan kepada ICDF. Permasalahan yang sering timbul adalah terpusatnya aktivitas budidaya jenis sayuran tertentu pada seorang petani sehingga berakibat pada jumlah keuntungan petani yang tidak merata . Selain itu, terkadang petani tidak mengikuti jadwal tanam yang ditetapkan ICDF sehingga sayuran dipanen lebih lama atau malah lebih cepat. Akibatnya pasokan sayuran dapat sangat berlebih dan dapat sangat kurang. Perilaku petani yang tidak mematuhi jadwal tanam tersebut akan merugikan petani. Jika sayuran yang diproduksi melimpah maka kegiatan penyortiran akan dilakukan lebih ketat sehingga sayuran tidak lolos sortir akan lebih banyak dan keuntungan petani akan lebih rendah. Di sisi lain, saat pasokan kurang maka terpaksa sayuran-sayuran yang masih berumur muda dipanen sehingga bobot sayuran yang disetorkan menjadi lebih rendah sehingga keuntungan petani akan lebih sedikit. 5.4.2. Usahaternak Domba Aktivitas ternak domba di Desa Karehkel sebagian besar dilakukan secara semi intensif. Pada pagi sampai dengan siang hari ternak domba digembalakan di padang rumput untuk mencari makan. Saat siang atau menjelang sore ternak dikandangkan dan diberi pakan hijauan lapangan yang telah dicari oleh petani. Seluruh pakan ternak domba dipenuhi dengan hijauan lapang. Usahaternak domba 59
yang terdapat di Desa Karehkel sebagian dijadikan sebagai kegiatan sambilan di sela-sela kegiatan bertani. Namun cukup banyak pula yang kegiatannya hanya beternak domba. Ternak domba masih dilakukan secara tradisional dan sangat sedikit menggunakan obat-obatan. Obat diberikan hanya pada saat ternak domba mengalami diare. Ternak domba lebih jarang terserang diare daripada kambing jawa. Jumlah peternak domba yang tergabung dalam Poktan Ternak Cadas Gantung adalah sebanyak 28 orang. Pada kondisi aktual, potensi ternak domba adalah cukup merata di Desa Karehkel. Desa Karehkel terdiri dari 13 RW dan masing-masing RW terdapat 5-10 orang yang memiliki domba dengan kepemilikan ternak domba berkisar antara 5-7 ekor (Statistik Desa Karehkel 2010).
Rata-rata setiap peternak memiliki satu ekor indukan jantan dan dua
indukan betina sedangkan sisanya adalah anakan domba. Jenis domba yang banyak dibudidayakan adalah domba ekor tipis. Sebagian kecil lainnya adalah kambing jawa. Jenis pakan yang diberikan adalah cukup berbeda yakni untuk domba sebagian besar adalah rumput lapangan sedangkan pakan kambing jawa berasal dari dedaunan yang dapat diperoleh di lapangan. Masih Harga kambing jawa relatif lebih mahal daripada harga domba. Biasanya domba-domba yang dipelihara tersebut dijual pada saat hari raya kurban. Namun apabila peternak memiliki kebutuhan yang mendesak maka seringkali ternaknya dijual. Limbah domba berupa kotoran maupun sisa pakan masih belum termanfaatkan secara maksimal. Sebagian besar kotoran domba tersebut masih dibiarkan begitu saja menumpuk di bawah kandang yang berbentuk panggung. Berdasarkan data populasi ternak domba Statistik Desa Karehkel (2010) maka dapat dikalkulasikan potensi kotoran domba yang berpotensi untuk digunakan sebagai pupuk organik dapat mencapai sekitar 17 ton setiap bulannya. 5.4.3. Usahaternak Kelinci Keberadaan ternak kelinci di Desa Karehkel dapat dikatakan masih baru sehingga pengetahuan para peternak untuk membudidayakan kelinci masih sangat rendah. Ternak kelinci di Desa Karehkel merupakan bantuan dari program padat karya Disnakertrans Bogor tahun 2009. Para peternak kelinci tergabung dalam 60
Poktan Ternak Kelinci Cadas Gantung yang beranggotakan kurang lebih sebanyak 20 peternak dengan rata-rata kepemilikan ternak sebanyak 21 ekor. Jenis kelinci yang dibudidayakan adalah mayoritas kelinci hias misalnya jenis lokal dan angora. Sebagian kecil kelinci yang dibudidayakan adalah kelinci pedaging. Kebutuhan pakan kelinci dipenuhi dengan konsentrat yang berasal dari dedak dan sebagian besar dipenuhi dengan rumput lapangan. Penyakit yang sering menyerang kelinci adalah penyakit buduk. Harga vaksin yang cukup mahal menjadi salah satu kendala untuk mengatasi permasalahan tersebut. Akibatnya banyak kelinci peternak yang mati. Berdasarkan data terakhir yang berasal dari Gapoktan Pandan Wangi pada tahun 2009, jumlah populasi kelinci adalah sebanyak 421 ekor. Diduga saat ini populasinya terus menurun yang ditandai dengan adanya beberapa peternak kelinci yang sudah tidak lagi beternak kelinci. Anakan kelinci hias yang dijual rata-rata berumur satu bulan. Pada umur satu bulan anakan kelinci tersebut seharusnya belum lepas sapih namun untuk memenuhi kebutuhan ekonomi para peternak maka kelinci tersebut dijual pada usia yang masih sangat muda. Limbah kelinci berupa kotoran kelinci dan urin kelinci yang memiliki kualitas cukup baik bagi pupuk kandang, masih belum termanfaatkan. Berdasarkan data terakhir Gapoktan Pandan Wangi tahun 2009 tersebut maka dapat diperkirakan potensi urin kelinci dan kotoran kelinci yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pupuk organik masing-masing dapat mencapai sekitar 1.431 liter dan 5 ton untuk setiap bulannya. 5.4.4. Aktivitas Produksi Pupuk Bokashi dan Silase Kotoran domba memiliki rasio karbon dengan nitrogen (C/N) yang lebih tinggi daripada kotoran ayam sehingga lebih lama terurai. Kadar C/N domba dan kelinci masing-masing adalah sebesar 19 dan 108 sedangkan kadar C/N kotoran kelinci adalah 109. Sebelum kotoran ternak digunakan sebagai pupuk organik memerlukan penanganan khusus sampai dengan kotoran ternak tersebut siap digunakan sebagai pupuk organik. Tingkat kesiapan sebuah pupuk diukur dengan tingkat kematangan pupuk yang ditunjukkan dengan rasio C/N nya. SNI (Standard
8 9
Pengolahan Limbah Peternakan Biogas. www.lolitsapi.litbang.deptan.go.id [Juli 2010] Membangun Kemitraan Agribisnis Kelinci. www.balitnak.litbang.deptan.go.id [Juli 2010]
61
Nasional Indonesia) 19-7030-2004 menerangkan bahwa kadar C/N kompos yang baik adalah berkisar antara 10-2010. Beberapa anggota Gapoktan Pandan Wangi telah mengetahui teknologi pembuatan bokashi pupuk kandang yang mayoritas bahannya berasal dari kotoran ternak. Bahan-bahan yang digunakan terdiri dari limbah ternak, sampah dedaunan, arang sekam, molasses, dan air kelapa. Sekitar 85 persen bahan bakunya berasal dari limbah ternak baik berupa kotoran kelinci, kotoran domba, maupun urin kelinci. Sangat besarnya kebutuhan bahan baku bokashi pupuk kandang berupa limbah ternak dapat menjadi salah satu upaya dalam mengoptimalkan pemanfaatan limbah ternak yang dihasilkan. Saat ini, aktivitas produksi bokashi di Desa Karehkel masih dilakukan pada skala kecil atau pada skala percobaan. Untuk mendukung adanya rencana penerapan pertanian terpadu antara sayuran organik dengan hewan ternak GPW berencana akan membentuk suatu kelompok tersendiri yang pada nantinya akan melakukan aktivitias produksi pupuk bokashi secara spesifik. Saat ini GPW sedang menunggu realisasi bantuan rumah kompos yang tidak lain merupakan program Deptan sehingga hal ini dapat menjadi salah satu potensi dalam mendukung penerapan pertanian terpadu di Desa Karehkel. Aktivitas produksi silase di Desa Karehkel masih belum dilaksanakan. Selain itu petani juga masih belum memiliki informasi atau pengetahuan untuk memproduksi silase. Adanya keterlibatan aktivitas produksi silase pada penelitian ini ditujukan untuk mengoptimalkan pemanfaatan limbah sayuran organik sebagai pakan ternak yang memiliki umur simpan yang lebih lama. Karaktertistik limbah sayuran yang memiliki kadar air tinggi dan mudah membusuk dalam waktu tiga hari memerlukan penanganan khusus sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Hal ini sangat penting mengingat jumlah produksi limbah sayuran yang cukup tinggi tiap bulannya yakni dapat mencapai kurang lebih 6 ton. Secara garis besar, kedua aktivitas tersebut memiliki proses produksi yang relatif sama. Seluruh bahan baku, baik pada pupuk bokashi dan silase, di fermentasi dengan menggunakan mikroba. GPW telah memiliki keterampilan untuk mengembangbiakan mikroba pengurai yang dikenal sebagai MOL
10
Indrasti, NS. Tanpa tahun. Kompos: Teknologi Proses Produksi dan Aplikasi. Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian IPB
62
(mikroorganisme lokal). Bahan baku hanya perlu dikumpulkan pada satu wadah kemudian difermentasikan dalam keadaan tertutup atau anaerob. Proses fermentasi pada bahan-bahan pupuk bokashi dapat mempercepat proses dekomposisi bahan baku yang mayoritas berasal dari kotoran ternak sehingga dapat digunakan sebagai pupuk bagi aktivitas usahatani sayuran organik. Pada aktivitas fermentasi bahan-bahan silase, selain dapat mengawetkan bahan pakan juga dapat meningkatkan nilai nutrisi pakan ternak. 5.5.
Karakteristik Responden Responden dalam penelitian ini adalah pelaku aktivitas-aktivitas yang
mendukung penerapan pertanian terpadu antara sayuran organik-hewan ternak. Responden yang dimaksud antara lain petani sayuran organik, peternak kelinci, peternak domba, dan anggota GPW yang memiliki pengetahuan dalam memproduksi pupuk bokashi. Pengumpulan data mengenai aktivitas memproduksi silase diperoleh dengan menggunakan studi literatur. Rata-rata petani responden memiliki usia 46,63 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata petani yang menjadi responden masih berada pada usia produktif untuk bekerja. Seluruh responden merupakan keluarga dengan ratarata tanggungan keluarga sebanyak tiga orang. Jumlah anggota keluarga yang berumur lebih dari 15 tahun rata-rata berjumlah 2,38 orang. Namun anggota keluarga yang berpotensi sebagai tenaga kerja di bidang pertanian (berusia lebih dari 15 tahun) hanya berjumlah dua orang yang terdiri dari seorang pria dan seorang wanita. Petani maupun peternak di Desa Karehkel bekerja penuh dalam sebulan sehingga hari kerja dalam sebulan adalah selama 30 hari dengan lama kerja delapan jam dalam sehari dan tenaga kerja wanita adalah 0,7 tenaga kerja pria. Berdasarkan kondisi tersebut maka setiap rumah tangga petani tersedia tenaga kerja pria sebanyak 30 HOK dan tenaga kerja wanita sebanyak 21 HOK atau total sebanyak 51 HOK per bulan. Pada penelitian ini, ketersediaan tenaga kerja dalam satu rumah tangga petani adalah 51 HOK setiap bulannya. Karakteristik responden pada penlitian ini dapat dilihat selengkapnya pada Tabel 5.
63
Tabel 5. Karakteristik Responden Desa Karehkel Karakteristik Responden
Satuan
Rata-rata
Umur petani
Tahun
46,63
Tingkat pendidikan formal
Tahun
8,88
Jumlah tanggungan keluarga
Orang
3,00
Jumlah anak sekolah
Orang
1,63
Jumlah anggota keluarga yang berusia >15 tahun
Orang
2,38
Jumlah tenaga kerja potensial pria di bidang pertanian
Orang
1,00
Jumlah tenaga kerja potensial wanita di bidang pertanian
Orang
1,00
Bedeng
27
m2
23,9
Kepemilikan ternak domba*
ekor
6
Kepemilikan ternak kelinci*
ekor
21
Karakteristik Keluarga Responden
Karakteristik Kegiatan Usaha Kepemilikan bedengan Luasan tiap bedeng
Keterangan: * kepemilikan rata-rata ternak di Desa Karehkel Sumber : Data Primer (diolah)
Pada Tabel 5 terlihat bahwasanya luasan lahan garapan yang dimiliki petani sayuran organik yang seluruhnya merupakan lahan darat (kering) masih sangatlah kecil yakni rata-rata seluas 645,3 m2. Maka dapat dikatakan bahwasanya petani sayuran organik termasuk dalam petani gurem. Jumlah kepemilikan ternak di Desa Karehkel, baik ternak kelinci maupun ternak domba cukup rendah yakni masing-masing sebanyak 6 ekor dombadan 21 ekor indukan kelinci. Ketersediaan sumberdaya setiap petani, baik lahan maupun tenaga kerja dalam keluarga akan menjadi salah satu kendala pada model sayuran organik terpadu yang dibangun pada skala wilayah Desa Karehkel. Selain itu ketersediaan input lainnya seperti ketersediaan pakan hijauan lapang dan ketersediaan tenaga kerja sewa secara langsung akan mempengaruhi skala pengusahaan setiap aktivitas usaha yang terdapat dalam model sayuran organik terpadu yang dirancang.
64
V.
ANALISIS KERAGAAN USAHATANI
Analisis keragaan berbagai aktivitas usahatani yang dilibatkan dalam MUSOT dilakukan secara deskriptif. Analisis tersebut meliputi ketersediaan sumberdaya lahan, sumberdaya tenaga kerja dalam keluarga, ketersediaan tenaga kerja sewa di Desa Karehkel, ketersediaan pakan hijauan lapang, ketersediaan berbagai produk antara di lokasi penelitian, tingkat produksi per unit aktivitas produksi, kebutuhan input per unit aktivitas produksi dan harga setiap aktivitas yang dilakukan. Analisis keragaan usaha di lokasi penelitian sangat penting untuk menggambarkan kondisi aktual penyelenggaraan aktivitas usahatani sayuran organik, usahaternak kelinci, domba, aktivitas produksi pupuk bokashi dan aktivitas produksi silase sehingga model linear yang dirancang dapat memberikan gambaran yang mendekati kondisi aktual daerah penelitian. Hasil analisis ini selanjutnya akan digunakan sebagai acuan penentuan koefisien pada fungsi tujuan dan fungsi kendala kendala pada model usahatani sayuran organik terpadu pada skala wilayah Desa Karehkel. 6.1.
Usahatani Sayuran Organik
6.1.1. Penggunaan Lahan dan Pola Tanam Sayuran Organik Petani sayuran organik bertani sayuran sepanjang tahun. Pemberaan lahan sangat jarang dilakukan karena permintaan sayuran organik selalu ada pada setiap bulannya. Adanya keterbatasan kepemilikan lahan garapan yang dimiliki masingmasing petani juga menjadi alasan mengapa tidak terdapat aktivitas pemberaan lahan. Sesekali petani melakukan pemberaan lahan yakni paling lama tiga hari sejak pemanenan. Tujuannya adalah selain untuk pembalikkan dan penggemburan tanah juga sebagai upaya mereduksi bahan anorganik yang masih tersisa di lahan garapan. Rotasi tanaman selalu dilakukan petani yakni dengan cara mengganti jenis sayuran yang ditanam pada bedengan yang sama. Misalnya pada bulan April bedengan A ditanami kangkung. Setelah kangkung dipanen kemudian bedengan tersebut digunakan untuk menanam selada. Periode produksi setiap jenis sayuran berbeda-beda. Bayam hijau dan bayam merah biasanya dipanen rata-rata pada saat tanaman berumur 20 hari. Kangkung biasanya dipanen pada umur tanaman 20 hari sedangkan untuk selada 65
dan caisin masing masing selama 21 hari dan 40 hari. Tanaman kangkung, bayam hijau, dan bayam merah tidak memerlukan penyemaian benih. Benih yang ada ditabur begitu saja pada bedengan yang akan digunakan dan dipelihara sampai dengan panen. Berbeda halnya dengan selada, tanaman ini merupakan hasil pemindahan bibit yang dibeli dari ICDF. Sebenarnya periode produksi selada hampir sama dengan caisin. Sangat tingginya angka kegagalan petani saat menyemai sendiri benih selada membuat petani lebih memilih untuk membeli bibit dari ICDF. Periode produksi caisin yang lama disebabkan karena petani menyemai sendiri benihnya kemudian dipindahkan ke bedengan tanam untuk pembesaran sayuran. Tabel 6 berikut ini menggambarkan pola usahatani dan pola tanam sayuran organik di Desa Karehkel. Tabel 6. Pola Tanam yang Diterapkan Petani Sayuran Organik Pola Tanam Jenis Sayuran
Periode Tanam (Hari) 0
20
40
Caisin Selada Kangkung Bayam hijau Bayam merah
Keterangan: = caisin = selada = kangkung = bayam hijau = bayam merah = caisin/selada/kangkung/bayam hijau/bayam merah; sesuai dengan permintaan ICDF Lahan yang dimiliki petani sayuran organik rata-rata dipergunakan untuk lahan garapan, pembuatan saung-saung untuk tempat beristirahat dan menaruh pupuk, dan sebagai tempat untuk penampungan air (kobak). Penampungan air
66
tersebut merupakan tanah yang digali yang memiliki kedalaman kurang lebih satu meter yang digunakan untuk mengambil air saat menyiram sayuran. Berdasarkan pengamatan di lapangan, rata-rata luasan saung tersebut adalah sekitar 2,56 m2 dan luasan kobak kurang lebih 1 m2. Jarak antar bedengan adalah setara dengan lebar bahu orang dewasa atau selebar 50 cm. Luasan lahan yang dimaksud dalam model ini adalah luas garapan aktual berupa bedengan-bedengan yang digunakan untuk budidaya sayuran organik. Pada kondisi aktual, kepemilikan bedengan setiap petani organik adalah berbeda-beda. Selain itu ukuran masing-masing bedengan juga berbeda-beda. Rata-rata kepemilikan bedengan setiap petani sayuran organik adalah sebanyak 27 bedeng dengan luasan masing-masing bedengan adalah 23,9 m2. Saat ini, penggunaan bedengan di setiap bulannya adalah 100 persen. Artinya seluruh bedengan yang dimiliki petani digunakan seluruhnya untuk menanam sayuran organik. Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwasanya setelah tanaman dipanen maka bedengan akan segara ditanami dengan tanaman sayuran lainnya. Pemberaan lahan yang dilakukan dengan sangat singkat atau bahkan tidak terdapat aktivitas pemberaan lahan dapat dilihat dengan blok persegi yang tidak berjarak dengan blok persegi yang berwarna abu-abu yang berarti bedengan tersebut segera ditanami dengan jenis sayuran lain yang disesuaikan dengan permintaan ICDF. Setiap bulannya, setiap petani menanam sayuran dengan kombinasi yang berbeda-beda. Sangat jarang seorang petani menanam
kelima jenis sayuran
tersebut secara bersamaan dalam sebulan. Pengaturan ini sengaja dilakukan oleh ICDF sebagai upaya pemerataan keuntungan yang diperoleh petani karena harga tiap jenis sayuran yang berbeda-beda. Jenis sayuran, waktu tanam, dan waktu panen setiap petani per bulan sepenuhnya ditentukan berdasarkan permintaan ICDF. Secara keseluruhan petani sayuran organik yang ada di Desa Karehkel dalam sebulan menanam kelima jenis sayuran tersebut. 6.1.2. Kebutuhan Input Produksi Sayuran Organik Kebutuhan input produksi dalam aktivitas usahatani sayuran organik antara lain benih atau bibit, bahan organik, dan pupuk organik. Terkadang petani sayuran memberikan kapur apabila berdasarkan pengamatan petani pertumbuhan sayuran kurang baik. Adanya perbedaan kebutuhan benih atau bibit menyebabkan 67
biaya produksi per jenis sayuran adalah berbeda-beda. Keberadaan bahan organik seringkali dicampurkan dengan pupuk organik untuk meningkatkan kesuburan tanah. Bahan organik tersebut bermerk Kuda laut dan merupakan bantuan dari pemerintah. Setiap karung bahan organik yang memiliki berat 50 kg berharga Rp 20.000,00. Meskipun sebenarnya gratis, seringkali petani membayarkan sejumlah uang tersebut untuk mengganti biaya transportasi pengiriman. Banyaknya penggunaan bahan organik dan pupuk aktivitas produksi setiap jenis sayuran adalah relatif sama. Kebutuhan pupuk organik dipenuhi dengan membeli kotoran ayam yang berasal dari luar desa. Banyaknya pupuk organik yang digunakan untuk bedengan dengan luasan 23,9 m2 adalah rata-rata sebanyak 45,75 kg. Sekarung kotoran ayam berisi sekitar 30 kg berharga Rp 5.000,00 atau sekitar Rp 166,67 setiap kilogramnya. Pada Tabel 7 di bawah ini akan disajikan kebutuhan input produksi dan biaya produksi setiap jenis sayuran di luar biaya pupuk organik. Tabel 7. Kebutuhan Input dan Biaya Produksi di Luar Biaya Pupuk Organik pada Setiap Aktivitas Produksi Sayuran Organik Masing-masing Responden Nama Input Benih/bibit Bahan organik Jumlah biaya
Biaya Tiap Aktivitas Produksi Sayuran Organik/Bedeng Berukuran 23,9 m2 (Rp/bedeng) Selada Caisin Kangkung Bayam merah Bayam hijau 28007.81 11316.29 13225.91 5736.00 4481.25 1555.99 1555.99 1555.99 1555.99 1555.99 29563.80 12872.28 14781.90 7291.99 6037.24
Pada penggunaan input bahan organik yang relatif sama maka komponen biaya benih atau bibit lah yang menyebabkan suatu aktivitas usahatani sayuran memiliki biaya produksi non pupuk organik yang lebih mahal. Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwasanyabiaya produksi non pupuk organik termahal adalah pada aktivitas produksi selada. Hal ini disebabkan karena bibit yang dibeli adalah dalam satuan tray. Satu bedengan diperlukan kurang lebih 1.195,52 bibit selada atau setara dengan 9,34 tray. Harga satu tray bibit selada adalah Rp 3.000,00. Berbeda halnya pada aktivitas usahatani caisin, kangkung, bayam merah, dan bayam hijau dimana menggunakan benih yang dibeli berdasarkan ukuran kilogram benih. Misalnya untuk 1 kg benih caisin dapat digunakan untuk menanam selada sekitar 14 bedeng. Begitu juga untuk tanaman kangkung, bayam
68
hijau, dan bayam merah sehingga biaya produksinya secara komparatif lebih murah dibandingkan selada. Harga benih bayam hijau dan bayam merah setiap kilogramnya adalah sama yakni Rp 60.000,00. Biaya produksi non pupuk organik pada aktivitas budidaya bayam merah yang lebih mahal daripada bayam hijau disebabkan karena kebutuhan benih untuk bayam merah lebih banyak. Bayam merah di Desa Karehkel memiliki daya berkecambah yang lebih rendah daripada bayam hijau. Salah satu penyebabnya adalah dari kesuburan lahan dan faktor musim. Selain itu, warna bayam merah yang begitu mencolok menyebabkan apabila terjadi sedikit kontaminasi virus mozaik yang ditandai dengan bercak putih pada daun bayam akan sangat terlihat sehingga petani akan menderita kerugian yang lebih tinggi akibat proses sortasi. Oleh karena itu petani mengantisipasinya dengan menaburkan benih dalam jumlah yang lebih banyak atau memerlukan benih lebih banyak untuk kegiatan penyulaman. Besarnya biaya produksi non pupuk organik yang tercantum pada Tabel 7 akan digunakan sebagai dasar penentuan koefisien biaya masing-masing aktivitas usahatani sayuran organik per bedeng sedangkan aktivitas membeli pupuk organik akan dibedakan menjadi aktivitas tersendiri pada pada model linear yang dibangun. 6.1.3. Kebutuhan Tenaga Kerja Sayuran Organik Kegiatan bertani sayuran organik diawali dengan persiapan lahan berupa membersihkan bedengan, menggemburkan tanah, memupuk, menyemai benih, menyiram, menyiangi gulma, menyulam, memanen sayuran, dan membersihkan sayuran yang dipanen. Aktivitas usahatani selada dan caisin memerlukan tenaga kerja yang lebih banyak daripada aktivitas usahatani sayuran lainnya. Salah satu penyebabnya adalah pada selada bibit yang dibeli dalam satuan tray sehingga harus dipindahkan satu per satu di bedengan tanam. Aktivitas usahatani caisin memerlukan curahan tenaga terbesar dibandingkan dengan yang lain. Benih caisin terlebih dahulu disemai di bedeng penyemaian kemudian setelah sekitar seminggu atau dua minggu dipindahkan ke bedengan tanam. Adanya aktivitas penggaruan tanah pada usahatani selada dan caisin juga menjadi salah satu penyebab curahan tenaga kerja kedua usahatani tersebut lebih tinggi Tabel 8 menyajikan curahan tenaga kerja masing-masing jenis aktivitas usahatani sayuran organik. 69
Tabel 8. Kebutuhan Tenaga Kerja pada Setiap Aktivitas Usahatani Sayuran Organik di Musim Kemarau dan Musim Penghujan HOK= 10-1 Kegiatan Persiapan + Tanam Membersihkan+menggemburkan bedengan Pemupukan I Penyemaian Memindahkan bibit+ tanam Menutup dengan net Memasang ajir dan menaikkan net Pemeliharaan Menyiram Menggaru tanah Pemupukan II Menyulam Menaikkan dan menurunkan net saat musim hujan Pemanenan Memanen sayuran, Total Kebutuhan tenaga kerja
Selada
Kebutuhan Tenaga Kerja (HOK) Bayam Kangkung Caisin Merah
Bayam Hijau
K
H
K
H
K
H
K
H
K
H
4,59
7,10
1,16
1,86
3,64
6,87
5,41
6,86
4,41
7,26
0,61
0,61
0,06 0,06
0,06 0,06
0,20 0,10
0,20 0,10
0,39 0,39
1,55 1,55
0,28 0,28
0,28 0,28
4,88
4,88
1,21
1,21
0,03
0,03
0,05
0,05
0,05
0,05
0,07
0,07
0,09
0,09
0,06
0,06
0,10
0,10
0,10
0,10
0,11
0,11
4,78 0,96 0,67 0,41
2,39 0,96 0,67 0,41
2,20
1,10
2,75
8,11
5,41
0,06 0,46
7,88 1,35 0,61 0,20
5,51
0,06 0,46
1,82 1,21 0,61 0,34
0,77 0,39
0,77 0,39
0,28 1,14
0,28 1,14
1,79
0,58
2,20
1,16
1,28
1,58
1,58
0,47
0,47
1,45
1,45
1,72
1,72
1,45
1,45
18,5
20,5
4,56
4,73
20,7
22,2
14,7
16,9
16,1
17,6
Keterangan : K : musim kemarau H : musim penghujan Pada usahatani kangkung, bayam merah, dan bayam hijau, benih ditebar begitu saja di bedengan tanam sehingga kerapatan tanamannya jauh lebih tinggi daripada tanaman caisin dan selada. Berbeda halnya dengan selada dan caisin yang memiliki jarak tanam tersendiri yakni antar tanam berjarak kurang lebih 12 cm x 12 cm. Adanya jarak tanam tersebut menyebabkan di sela-sela tanaman memungkinkan tumbuhnya gulma sehingga memerlukan penyiangan. Biasanya penyiangan dilakukan sekaligus dengan penggaruan tanah untuk menggemburkan tanah di sela-sela tanaman. Jarak tanam tersebut adalah lebih kecil daripada jarak tanam ideal untuk tanaman selada dan caisin. Susila (2006) mengutarakan bahwa jarak tanam selada adalah 20 cm x 20 cm atau 20 cm x 25 cm sedangkan jarak tanam caisin 40 cm x 40 cm atau 20 cm x 20 cm. Hal tersebut akan berpengaruh langsung pada produktivitas sayuran per bedengnya.
70
Tabel 8 menunjukkan bahwa kebutuhan tenaga kerja musim penghujan setiap aktivitas usahatani adalah lebih besar daripada musim kemarau. Penyebabnya antara lain penggemburan tanah lebih sulit karena tanah menjadi lebih lengket untuk dicangkul sehingga memerlukan waktu yang lebih lama. Selain itu pada musim penghujan, petani harus membuka paranet setiap harinya untuk menjemur sayurannya agar terhindar dari serangan fungi yang terutama menyerang tanaman bayam. Pada saat musim kemarau, aktivitas penyiraman membutuhkan curahan tenaga kerja yang lebih tinggi daripada musim penghujan. Rata-rata kebutuhan tenaga kerja pada musim penghujan adalah 9 persen lebih tinggi daripada musim kemarau. Dalam aktivitas budidaya sayuran organik, petani-petani seringkali membutuhkan bantuan tenaga kerja dari luar keluarga. Sebagian besar tenaga kerja yang disewa digunakan untuk membantu kegiatan pemanenan. Jadwal pengiriman sayuran dilakukan setiap hari Selasa dan Sabtu maksimal pukul 09.00 WIB. Karakteristik sayuran yang tidak memiliki waktu simpan yang lama maka mendorong petani untuk memanen sayuran pada pagi harinya. Terkadang beberapa petani melakukan pemanenan pada hari Senin atau Jumat sore untuk memenuhi jadwal pengiriman sayuran. Tenaga kerja luar keluarga disewa digunakan untuk mempercepat proses pemanenan sayuran. Informasi mengenai kebutuhan tenaga kerja setiap jenis sayuran menjadi dasar pada penentuan koefisien fungsi kendala tenaga kerja pada MUSOT yang dibangun. Tidak adanya dimensi waktu produksi yang diperhitungkan dalam penelitian ini maka pada koefisien fungsi kendala tenaga kerja sayuran organik diasumsikan menggunakan data kebutuhan tenaga kerja pada musim kemarau. 6.1.4. Produksi Sayuran Organik dan Limbah Sayuran Saat ini seluruh sayuran yang dihasilkan dijual kepada ICDF. Padahal pasar sayuran organik cukup terbuka lebar bagi petani sayuran organik di Desa Karehkel. Berdasarkan keterangan dari ketua Poktan Sugih Tani, cukup banyak perusahaan yang menawarkan kerjasama dengan para petani sayuran organik Desa Karehkel. Bahkan ada salah satu pihak yang menawarkan kerjasama ekspor sayuran organik. Namun hal tersebut terkendala dengan ketersediaan teknologi dan modal petani sayuran organik itu sendiri. Selain itu, dari segi persepsi petani 71
merasa memiliki hutang budi dengan ICDF yang selama ini telah membantu dan membina petani organik di Karehkel sehingga tidak memiliki keberanian untuk menjalin kerjasama dengan pihak lain. Petani sayuran organik sangat memerlukan penyuluhan dan penyadaran terhadap berbagai macam potensi pasar yang sangat besar bagi produk-produk organik. Kegiatan produksi sayuran organik di Desa Karehkel dilakukan sesuai dengan permintaan ICDF, baik dalam jumlah pengusahaan, waktu tanam, dan waktu panen. Produksi sayuran organik tiap bulannya oleh keenam petani cukup besar yakni rata-rata dalam sebulan petani menjual selada sebanyak 111,64 kg, caisin mencapai 464,69 kg, kangkung sebanyak 590,17 kg, dan bayam hijau mencapai 487,7 kg tiap bulannya. Penjualan bayam merah untuk setiap bulannya masih sangat rendah yakni 20,84 kg. Data penjualan tersebut dapat menggambarkan permintaan aktual setiap jenis sayuran organik per bulan oleh ICDF. Tabel
9 berikut ini akan menyajikan penjualan masing-masing jenis
sayuran organik oleh keenam petani sayuran organik di Desa Karehkel. Tabel 9.
Penjualan Tiap Jenis Sayuran Organik oleh Enam Petani Sayuran Organik Periode Juli 2009 – Maret 2010 Jenis Sayuran (kg)
Bulan Selada
Caisin
Juli 2009
Kangkung
Bayam Merah
Bayam Hijau
361.08
503.919
570.472
52.78
248.88
330.759
525.168
280.111
279.36
282.906
575.904
7.98
473.616
747.63
26.26
726.6
November 2009
6.156
391.716
781.092
51.74
397.32
Desember 2009
26.22
789.048
833.391
4.94
556.8
238.032
574.938
391.482
8.84
429.48
210.9
665.847
644.085
33.28
185.16
70.908
397.683
796.302
0
422.28
Agustus2009 September 2009 Oktober 2009
Januari 2010 Februari 2010 Maret 2010 Sumber: ICDF (2010)
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa saat ini permintaan sayuran organik di Desa Karehkel dipenuhi dengan aktivitas produksi yang dilakukan oleh enam orang petani sayuran organik. Adanya rencana perluasan areal tanam sayuran organik oleh ICDF dan rencana GPW untuk menjadikan 72
Poktan Sugih Tani sebagai sentra sayuran organik perlu didukung oleh adanya peningkatan pasar sayuran organik. Rencana tersebut akan berdampak langsung terhadap peningkatan jumlah produksi setiap bulannya yang disebabkan karena seluruh anggota Poktan Sugih Tani (29 petani sayuran) akan menjadi petani sayuran organik. Tabel 10. Asumsi Permintaan Setiap Jenis Sayuran Organik pada Model Usahatani Sayuran Organik Terpadu
Jenis Sayuran
Rata-rata Jumlah Permintaan per Bulan (kg) Kondisi aktual (6 orang petani) 1 Orang Petani 29 Orang Petani
Selada
111.64
18.61
539.69
Kangkung
590.17
98.36
2852.44
Caisin
464.69
77.45
2246.05
Bayam merah
20.84
3.47
100.63
Bayam hijau
487.69
81.2
2354.80
Adanya keterbatasan aksesibilitas data permintaan pasar sayuran organik ICDF setiap bulannya maka dalam permodelan usahatani sayuran organik ini memerlukan pendekatan untuk menentukan kendala jumlah permintaan sayuran setiap bulannya. Upaya yang dilakukan adalah dengan mengasumsikan data penjualan sayuran organik aktual pada Tabel 10 di atas adalah sebagai gambaran permintaan sayuran organik tiap bulannya untuk enam orang petani sayuran organik sehingga permintaan setiap satu orang petani petani sayuran organik dan permintaan sayuran organik 29 orang petani dapat dilihat pada tabel di atas. Informasi rata-rata jumlah permintaan sayuran organik untuk 29 orang petani akan menjadi acuan dalam penentuan kendala permintaan sayuran organik pada model usahatani sayuran organik terpadu yang dibangun. Setiap sayuran yang disetorkan kepada ICDF akan mengalami proses sortasi sehingga terdapat limbah sayuran organik. Selama ini limbah sayuran sortasi tersebut masih belum termanfaatkan dan cenderung hanya dibuang saja. Sebenarnya jumlah sayuran yang diproduksi petani adalah lebih besar daripada jumlah penjualan sayuran aktual (enam orang petani) seperti yang tercantum pada Tabel 10. Jumlah produksi sayuran dipengaruhi oleh musim. Begitu juga dengan besarnya limbah sayuran sortasi. Potensi limbah sayuran organik yang dapat
73
mencapai 30 persen dari total sayuran organik yang diproduksi dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Rencana GPW untuk menerapkan pertanian terpadu di Desa Karehkel selain untuk meningkatkan keuntungan atau pendapatan petani juga bertujuan untuk memanfaatkan potensi limbah yang dihasilkan dari aktivitas budidaya sayuran organik. Pada kondisi aktual, jumlah produksi sayuran dan limbah sayuran sortasi dipengaruhi oleh musim. Saat musim hujan misalnya, jumlah produksi bayam hijau akan lebih sedikit karena banyak yang terserang penyakit sehingga proporsi limbah sortasi bayam hijau akan lebih banyak daripada musim kemarau. Tanaman yangcenderung stabil jumlah produksinya adalah kangkung. Informasi produksi sayuran organik dan limbah sayuran organik per bedeng pada musim kemarau yang tercantum pada Jumlah produksi sayuran dan limbah sayuran per bedeng dapat dilihat selengkapnya pada Tabel 11 berikut ini. Tabel 11. Produksi Sayuran dan Limbah Sortasi per Bedengan Berukuran 23,9 m2 pada Musim Penghujan dan Musim Kemarau Jenis Sayuran Selada Caisin Kangkung Bayam merah Bayam hijau
Kemarau Hujan Kemarau Hujan Kemarau Hujan
Produksi Sayuran/bedeng (kg/bedeng) 15.56 10.89 24.57 29.48 46.68 46.68
30.00 14.29 20.00 16.67 16.67 16.67
Produksi Limbah sayuran/bedeng (kg/bedeng) 4.67 1.56 4.91 4.91 7.78 7.78
Kemarau
21.97
25.00
5.49
Hujan
10.98
30.00
3.29
Kemarau
24.90
12.00
2.99
9.96
20.00
1.99
Musim
Hujan
Proporsi limbah (%)
Tabel 11 akan menjadi acuan dalam penentuan koefisien pada kendala transfer produk sayuran organik MUSOT. Harga jual sayuran organik per kilogramnya pada model linear ditentukan berdasarkan harga beli masing-masing jenis sayuran oleh ICDF. Harga beli selada oleh ICDF adalah Rp 9.000,00 per kilogram; kangkung Rp 5.000,00 per kilogram; caisin Rp 8.000,00 per kilogram; bayam hijau dan bayam merah adalah sama yakni Rp 6.000,00 per kilogram.
74
Keberadaan limbah sayuran juga memiliki potensi untuk dijual atau dimanfaatkan. Limbah sayur berasal dari sayuran organik yang tidak lolos sortasi. Proses sortasi dilakukan sebanyak dua kali yakni di tingkat petani dan pada saat sayuran disetorkan ke ICDF. Terkadang petani menjual sayuran yang tidak lolos sortir kepada siapa saja yang berminat dengan jumlah dan harga yang tidak menentu. Terkadang petani juga menjual kepada tengkulak yang kebetulan sedang memborong sayuran non organik yang banyak terdapat di sekitar lahan petani sayur organik. Limbah sayuran organik tersebut masih layak konsumsi dan masih dapat dijual namun petani seringkali tidak memanfaatkan limbah sayur tersebut baik untuk dikonsumsi maupun dijual. Uraian di atas menunjukkan bahwa sebenarnya limbah sayuran organik memiliki nilai pasar. Pada penelitian ini, nilai limbah sayuran organik dihitung dengan pendekatan biaya tenaga kerja untuk memanen sayuran setiap kilogramnya. Adanya produksi sayuran per bedeng yang berbeda-beda antar setiap jenis sayuran maka memerlukan pendekatan untuk menghitung harga limbah sayuran per kilogramnya. Pendekatan yang dilakukan adalah berdasarkan biaya tenaga kerja untuk memanen setiap kilogram sayuran. Tabel 12 akan menunjukkan pendekatan untuk memperhitungkan harga jual limbah sayuran organik. Tabel 12. Perhitungan Harga Jual Limbah Sayuran Organik Berdasarkan Biaya Tenaga Kerja Pemanenan Jenis sayuran
Kebutuhan HOK untuk Panen (HOK)
Produksi sayuran/bedeng (kg/bedeng)
Selada
0.158
15.56
Caisin
0.145
24.57
Kangkung
0.047
46.68
Bayam merah
0.172
21.97
Bayam hijau
0.145
24.9
Tenaga Kerja Panen/kg (HOK/kg) 0.0101430 0.0059217 0.0010062 0.0078302 0.0058276
Rata-rata Harga Jual Limbah Sayuran per kilogram
Upah Tenaga Kerja Pria (Rp/HOK)
Biaya tenaga kerja panen /kg (Rp/kg)
25000
253.58
25000
148.04
25000
25.16
25000
195.75
25000
145.69 153.64
75
Berdasarkan Tabel 12 dapat diperoleh informasi bahwa harga jual limbah setiap kilogramnya adalah Rp 153,64. Nilai tersebut diperoleh dengan merataratakan harga limbah tiap jenis sayuran yang secara langsung yang dipengaruhi oleh banyaknya kebutuhan HOK untuk aktivitas pemanenan dan jumlah produksi sayuran per bedengnnya. Harga limbah sayuran per kilogram setiap jenis sayuran diperoleh dengan mengalikan kebutuhan tenaga kerja untuk memanen sayuran tiap kilogramnyadengan upah tenaga kerja yang dalam hal ini disetarakan dengan upah tenaga kerja pria di Desa Karehkel. Berdasarkan informasi pada Tabel 12 maka harga setiap kilogram limbah sayuran yang dijual pada MUSOT adalah Rp 153,64. 6.2.
Usahaternak Domba
6.2.1. Kebutuhan Input Produksi Domba Rata-rata setiap peternak domba di Desa Karehkel memiliki enam domba yang biasanya terdiri dari satu domba jantan dan sisanya adalah domba betina. Kandang yang digunakan berbentuk panggung dan rata-rata memiliki luasan 9,92 m2 dan berkapasitas kurang lebih enam ekor domba. Konstruksi kandang terbuat dari kayu-kayu hutan yang didapat dari hutan rakyat di sekitar rumah warga. Sebagian besar kandang tidak bersekat sehingga bercampur antara indukan jantan, indukan betina, dan anakannya. Pada beberapa peternak terdapat penyekatan kandang namun tidak terlalu besar karena hanya ditujukan untuk mengawinkan domba. Aktivitas ternak domba di Desa Karehkel masih dilakukan secara tradisional sehingga input produksi yang diperlukan sangat sederhana. Input produksi ternak domba adalah pakan dan obat-obatan. Obat yang diberikan kepada domba adalah obat diare dan pemberiannya tidak menentu yakni hanya pada saat domba diare. Rata-rata petani memberikan obat diare sebutir per bulan untuk setiap domba yang dipelihara. Biaya produksi per ekor domba pada model sayuran organik terpadu adalah sebesar Rp 500,00 yang tidak lain merupakan harga obat diare per butirnya. Sebagian besar domba-domba dipelihara secara semi intensif. Pada pagi hari sampai dengan menjelang sore hari domba digembalakan. Pemilik hewan
76
ternak tetap mencari pakan untuk persediaan pakan ternak saat malam sampai keesokan harinya. Beberapa peternak tidak menggembalakan dombanya dan pakan dipenuhi dengan hijauan yang dicarinya. Berdasarkan pengamatan di lapangan terhadap responden peternak domba menunjukkan bahwa setiap ekor domba diberi pakan sebanyak 6,25 kg setiap harinya. Pada model linear yang dibangun dalam penelitian ini pakan hijauan atau rumput yang dicari oleh petani tidak dinilai dengan uang namun dinilai dengan curahan tenaga kerja untuk mencari rumput. Curahan tenaga kerja untuk mencari rumput tersebut kemudian dimasukkan pada kendala tenaga kerja aktivitas ternak domba. 6.2.2. Kebutuhan Tenaga Kerja Domba Secara garis besar tenaga kerja pada usahaternak dialokasikan pada dua kegiatan yakni pemeliharaan ternak dan mencari pakan hijauan lapangan. Peternak membersihkan kandang dan membersihkan kotoran dalam sebulan sebanyak empat kali. Aktivitas mencari pakan rumput hijauan dilakukan setiap hari. Bisanya peternak mencari hijauan lapang (rumput dan daun-daunan) dari pukul 09.00 sampai dengan pukul 12.00. Pada pola pemeliharaan domba intensif, pakan hijauan lapangan yang dicari tersebut digunakan untuk pakan ternak sampai keesokan harinya. Biasanya pakan diberikan pada waktu siang hari, menjelang malam, dan pada pagi harinya. Kebutuhan tenaga kerja per ekor domba dalam sebulan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 13 berikut ini. Tabel 13. Kebutuhan Tenaga Kerja per Ekor Domba padaUsahaternak Domba dalam Waktu Sebulan Konversi HOK/ ekor
No
Jenis Kegiatan
1
Membersihkan kandang dan mengumpulkan kotoran domba
0.11
2
Mencari rumput
3.21
3
Memberi pakan
2.68
Total kebutuhan tenaga kerja per ekor domba per bulan
6.00
Tabel 13 menunjukkan bahwa kebutuhan tenaga kerja terbesar adalah pada aktivitas mencari pakan hijauan lapang. Pada musim penghujan hijauan lapang cukup mudah didapatkan. Pada saat musim kemarau tiba, peternak terkadang harus mencari hijauan lapang di tempat yang cukup jauh. Meskipun demikian,
77
secara keseluruhan hijauan lapang yang menjadi bahan pakan utama ternak di Desa Karehkel tersedia sepanjang tahun. Curahan tenaga kerja untuk mencari rumput sebanyak 3,21HOK dapat menghasilkan rumput sekitar 187,5 kg sehingga setiap kilogram rumput yang disediakan bagi domba memerlukan curahan tenaga kerja sebanyak 0,02 HOK. Berdasarkan pemaparan sebelumnya, maka pada model linier usahatani terpadu yang dibangun curahan tenaga kerja dalam keluarga akan dibedakan menjadi dua yakni curahan tenaga kerja untuk pemeliharaan
domba
yang
meliputi
aktivitas
membersihkan
kandang,
membersihkan kotoran domba, dan memberi pakan sedangkan aktivitas mencari rumput dibedakan menjadi variabel tersendiri. Kebutuhan tenaga kerja per ekor domba per bulan adalah sebanyak 2,79 HOK dan kebutuhan tenaga kerja untuk setiap kilogram rumput yang disediakan adalah 0,02 HOK. 6.2.3. Produksi Domba Keberadaan ternak domba di Desa Karehkel sebagian besar ditujukan sebagai tabungan. Ternak tersebut akan dijual apabila pemilik domba memiliki kebutuhan yang sangat mendesak sehingga aktivitas penjualan domba dilakukan secara tidak menentu. Pada model linier usahatani terpadu yang dibangun penerimaan peternak domba berasal dari pertambahan bobot hidup domba. Pertambahan bobot hidup harian domba dan kambing adalah relatif sama. Ella et al. (2003) menyebutkan bahwa rata-rata pertambahan bobot badan harian kambing adalah 0,047 kg atau 1,41 kg per bulan. Harga per kilogram daging domba di tingkat produsen adalah Rp 21.000,0011. Selain potensi berupa pertambahan bobot hidup domba, maka hasil sampingan ternak domba berupa kotoran domba juga memiliki nilai ekonomi. Peternak domba di Desa Karehkel sangat jarang menjual limbah domba. Apabila ada yang membutuhkan petani biasanya memberikan saja kotoran domba tersebut. Terkadang ada yang membeli kotoran dengan harga Rp 5.000,00 per karung yang berisi sekitar 35 kg namun hal tersebut jarang terjadi karena mayoritas usahatani tanaman di Desa Karehkel kurang meminati penggunaan pupuk kotoran domba dalam jumlah besar. Penyebabnya adalah sifat dari kotoran domba itu sendiri yang 11
Harga Komoditas Ternak Bulan Oktober 2009. www.disnakan.bogorkab.go.id [April 2010]
78
banyak mengandung biji-biji gulma. Pada saat digunakan untuk pupuk akan sangat banyak gulma yang tumbuh sehingga perlu sering disiangi. Limbah domba berasal dari kotoran domba dan urin domba yang bercampur dengan sisa pakan. Balitnak Bogor (2003) menyebutkan bahwa setiap ekor domba memerlukan pakan hijauan segar sebanyak 5,35 kg setiap harinya atau 160,5 kg setiap bulannya. Feses yang dihasilkan adalah 0,633 kg setiap harinya sehingga dari 100% pakan yang dikonsumsi yang dikeluarkan sebagai feses adalah sekitar 11,83%. Apabila rata-rata setiap domba per harinya diberi pakan sebanyak 6,25 kg maka sisa pakan per harinya adalah sebanyak 0,9 kg. Jika dikalkulasikan maka limbah domba (sisa pakan dan kotoran) yang dihasilkan per harinya diperkirakan mencapai 1,533 atau selama 30 hari (satu bulan) setiap ekor domba menghasilkan sekitar 46 kg limbah domba. Keberadaan limbah domba yang cukup melimpah sangat berpotensi sebagai bahan baku pupuk kandang bagi usahatani tanaman. Adanya karakteristik kotoran domba sebagai pupuk yang kurang disukai petani menyebabkan sangat perlunya penanganan kotoran domba secara khusus sehingga dapat digunakan sebagai pupuk. Saat ini GPW telah mengetahui teknologi pembuatan bokashi pupuk kandang dengan kebutuhan bahan baku 28,8% berasal dari kotoran domba. Oleh karena itu, pengembangan usaha produksi bokashi pupuk kandang di Desa Karehkel diharapkan dapat mengoptimalkan pemanfaatan limbah ternak domba. 6.3.
Usahaternak Kelinci
6.3.1. Kebutuhan Input Produksi Kelinci Aktivitas ternak kelinci di Desa Karehkel dapat dikatakan sebagai sebuah aktivitas peternakan yang tergolong baru karena diintroduksikan
pada tahun
2009. Pada awalnya kelinci tersebut merupakan bantuan dari program padat karya Disnakertrans
Bogor
untuk
menggerakan
ekonomi
masyarakat
petani.
Sebelumnya sama sekali tidak ada aktivitas ternak kelinci sehingga sampai dengan saat ini tingkat penerapan teknologi dan pengetahuan peternak dalam budidaya kelinci masih rendah.Bangunan kandang berbahan baku bambu dan setiap ekor kelinci dikandangkan satu per satu secara terpisah dengan kandang baterai (kandang individu). Jenis kelinci yang banyak dibudidayakan adalah
79
kelinci hias lokal. Pada beberapa peternak memiliki indukan kelinci angora namun jumlahnya sangat sedikit dikarenakan harga indukan angora yang sangat mahal. Peternak kelinci yang terbesar di Desa Karehkel hanya memiliki bangunan yang berkapasitas sekitar 64 kandang baterai. Sebagian besar pakan kelinci di Desa Karehkel dipenuhi dengan rumput yang berasal dari lapangan yakni sekitar 67,32 persen dan sisanya sebanyak 32,68 berasal dari dedak. Adanya penyakit buduk pada kelinci menjadi suatu permasalahan tersendiri bagi peternak, terutama bagi peternak yang memiliki modal kecil. Pencegahan penyakit buduk dapat dilakukan dengan memvaksin ternak kelinci. Responden peternak kelinci yang memiliki indukan kelinci sebanyak 35 ekor memerlukan vaksin buduk dengan volume isi 50 cc berharga Rp 250.000,00
digunakan untuk dua bulan. Diperkirakan setiap bulannya
membutuhkan biaya Rp 125.000,00 untuk memvaksin 35 ekor indukan kelinci tersebut. Berdasarkan data yang diperoleh dari responden maka kebutuhan biaya produksi per ekor kelinci non pakan hijauan lapang setiap bulannya dapat dilihat pada Tabel 14 berikut ini. Biaya produksi tersebut merupakan acuan dalam menentukan koefisien biaya pada aktivitas ternak kelinci per ekor indukan pada model linier yang dirancang dalam penelitian ini. Pakan berupa hijauan lapang tidak dimasukkan dalam komponen biaya per ekor indukan kelinci karena setiap kilogram rumput yang disediakan oleh peternak diukur dengan curahan tenaga kerja pada kendala tenaga kerja model sayuran organik terpadu. Tabel 14. Biaya Produksi Kelinci per Bulan di Desa Karehkel Komponen Biaya
Total Biaya
(Rp)
(Rp)
Satuan
2
kg
1.500
3.000
0,357143
cc
10.000
3571,43
Dedak Obat suntik
Harga Satuan
Kebutuhan Input
Total biaya
6.571,43
Aktivitas ternak kelinci pada penelitian ini didefinisikan sebagai aktivitas memelihara
indukan kelinci
menyederhanakan
MUSOT
betina. yang
Asumsi
dibangun
tersebut pada
digunakan untuk
penelitian
ini
karena
pengusahaan ternak kelinci di Desa Karehkel ditujukan untuk dapat menghasilkan anakan kelinci hias sehingga aktivitas produksi anakan kelinci hias dikaitkan 80
dengan memelihara indukan betina. Peternak kelinci di Desa Karehkel, biasanya menggunakan seekor pejantan untuk mengawini 6-10 ekor. 6.3.2. Kebutuhan Tenaga Kerja Kelinci Seperti halnya pada aktivtas ternak domba, kegiatan pada ternak kelinci dibedakan menjadi dua yakni kegiatan pemeliharaan kelinci dan kegiatan untuk mencari hijauan lapang. Kegiatan pemeliharaan kelinci meliputi membersihkan kandang, memberi pakan kelinci, memberikan obat, dan mengawinkan kelinci. Seekor kelinci memiliki masa bunting selama sebulan dan masa menyusui anaknya selama dua bulan. Indukan betina kelinci siap untuk dikawinkan pada saat sudah tidak menyusui. Para peternak kelinci di Desa Karehkel sebagian besar menjual anakan kelinci saat berusia satu bulan sehingga indukan betina kelinci dapat segera dikawinkan dan menghasilkan anakan lagi. Tabel 15 menunjukkan kebutuhan tenaga kerja untuk memelihara kelinci selama satu bulan dengan adanya aktivitas mengawinkan yakni disertai dengan buntingnya indukan kelinci dan usahaternak kelinci dengan seluruh indukan menyusui. Total kebutuhan tenaga kerja setiap ekor kelinci dalam satu bulan pada saat indukan kelinci bunting dan menyusui masing-masing sebanyak 0,745 HOK dan 0,841 HOK. Tabel 15. Kebutuhan Tenaga Kerja per Ekor Kelinci pada Setiap Bulan oleh Responden Peternak Kelinci Jenis Kegiatan Membersihkan kandang Mencari rumput Memberi pakan Memberikan obat Mengawinkan Jumlah kebutuhan tenaga kerja
Kebutuhan Tenaga Kerja Bunting (HOK) 0,201
Kebutuhan Tenaga Kerja Menyusui (HOK) 0,201
0,067
0,167
0,469
0,469
0,004
0,004
0,004 0,745
0,841
Tabel 15 menunjukkan bahwa aktivitas memberi pakan kelinci adalah aktivitas yang memerlukan curahan tenaga kerja terbanyak yakni rata-rata sekitar 59,4 persen dari total curahan tenaga kerja per ekor kelinci. Hal ini disebabkan karena peternak harus meracik pakan terlebih dahulu misalnya mengencerkan
81
dedak dan pakan rumput perlu di potong-potong sehingga curahan ternaga kerja yang dibutuhkan lebih tinggi jika dibandingkan dengan aktivitas lain dalam usahaternak kelinci. Selain itu, Tabel 15 juga menunjukkan bahwa mencari pakan hijauan ternak kelinci bukanlah aktivitas yang memerlukan curahan tenaga kerja terbesar. Kondisi ini tentu saja berbeda dengan aktivitas ternak domba dimana aktivitas mencari
hijauan
lapang
memerlukan
curahan
tenaga
kerja
terbanyak.
Penyebabnya adalah kebutuhan pakan hijauan per ekor kelinci adalah jauh lebih kecil daripada domba sehingga curahan kerja yang digunakan untuk mencari pakan hijauan kelinci adalah jauh lebih sedikit. Kebutuhan pakan kelinci juga berbeda-beda tergantung pada kondisi indukan yang sedang bunting atau menyusui. NRC (1977) dalam Ensminger (1991) diacu dalam Muslih et al. (2005) menyebutkan bahwa rata-rata kebutuhan pakan kelinci saat bunting dan menyusui masing-masing adalah 0,183 kilogram per hari dan 0.521 kilogram per hari. Dalam sebulan maka kebutuhan pakan per ekor kelinci saat bunting adalah mencapai 5,49 kilogram dan saat menyusui sebanyak 15,6 kilogram. Adanya kendala dalam menghitung jumlah rumput yang diarit setiap harinya maka khusus untuk ternak kelinci, penyediaan pakan per ekor kelinci baik pada saat bunting maupun menyusui mengacu pada Muslih et al. (2005). Setiap bulannya, peternak responden dengan kepemilikan indukan ternak 35 ekor selalu menggunakan dedak sebagai campuran pakan kelinci sebanyak 70 kilogram. Maka seekor kelinci mengkonsumsi dedak dalam sebulan sebanyak 2 kilogram. Berdasarkan kebutuhan pakan kelinci menurut Muslih et al. (2005) maka pakan hijauan kelinci saat bunting adalah 3,49 kilogram per ekor sedangkan pada saat menyusui sebanyak 13,6 kilogram. Dari Tabel… di atas dapat diketahui bahwasanya setiap kilogram rumput yang disediakan rata-rata memerlukan curahan tenaga kerja sebesar 0,02 HOK. Model yang dibangun pada penelitian ini membedakan kegiatan ternak kelinci menjadi dua bagian yakni aktivitas memelihara kelinci dan aktivitas mencari pakan hijauan lapang. Kebutuhan tenaga kerja per ekor kelinci untuk kegiatan pemeliharaan kelinci saat terdapat aktivitas mengawinkan adalah
82
sebanyak 0,679 HOK sedangkan jika tidak terdapat aktivitas mengawinkan kelinci kebutuhan tenaga kerjanya adalah sebanyak 0,675 HOK. 6.3.3. Produksi Kelinci Mayoritas kelinci yang dibudidayakan oleh peternak di Desa Karehkel adalah kelinci hias lokal sehingga produk utama berupa anakan kelinci hias. Setiap anakan kelinci hias dihargai Rp 10.000,00. Setiap indukan kelinci mampu menghasilkan anakan antara 8-10 ekor. Derajat kematian usahaternak kelinci mencapai 25 persen sehingga rata-rata kelinci yang hidup adalah sebanyak 7 ekor. (Farrell dan Raharjo, 1984). Peternak kelinci di Desa Karehkel mengantisipasi risiko kerugian tersebut dengan menjual anakan kelinci pada usia yang masih muda yakni saat berumur satu bulan. Saat ini, kesadaran masyarakat akan kelebihan limbah kelinci sebagai pupuk organik semakin meningkat. Hal ini ditunjukkan dengan semakin banyaknya penelitian dan mulai ada permintaan limbah kelinci sebagai bahan baku pupuk organik. Petani salak di Yogyakarta misalnya, mereka senantiasa mencari pupuk kelinci karena sangat baik untuk pertumbuhan tanaman dan buah. Harga pupuk kotoran kelinci dapat mencapai Rp 7.500,00 per kilogramnya sedangkan urin kelinci mencapai Rp 5.000,00 per liternya12. Harga urin kelinci dan kotoran kelinci yang belum diolah menjadi pupuk di Cileungsi, Pancawati yang berlokasi di sekitar Sukabumi adalah lebih murah daripada harga di Yogyakarta. Harga urin kelinci di Cileungsi hanya berkisar antara Rp 1.000,00-Rp 1.500,00 sedangkan harga kotoran kelinci per 25 kilogramnya berkisar antara Rp 10.000,00-Rp 15.000,00 (Setyadi 2009). Produksi urin kelinci dan feses kelinci per harinya sangat bergantung pada bobot badan hidup kelinci. NRC (1977) dalam Ensminger (1991) diacu dalam Muslih et al. (2005) kembali mengutarakan bahwasanya bobot badan hidup kelinci saat bunting berkisar antara 2,3-6,8 kilogram atau rata-rata 4,55 kilogram sedangkan pada saat menyusui adalah 4,5 kilogram. Setiap kilogram bobot badan seekor kelinci berpotensi untuk menghasilkan urin kelinci sekitar 0,01-0,035 liter per hari atau rata-rata 0,0225 liter per hari dan kotoran kelinci sebanyak 0,028 kg
12
Mencoba Hoki Berbisnis Kelinci. www.agrina..com [November 2006]
83
per hari13.
Dalam jangka waktu sebulan maka seekor kelinci bunting dan
menyusui berpotensi untuk menghasilkan urin masing-masing sebanyak 3,07 liter dan 3,04 liter. Satuan liter urin kelinci dalam penelitian ini akan diasumsikan setara dengan satuan kilogram urin kelinci. Produksi feses kelinci setiap ekor dalam sebulan dapat mencapai sekitar 3,822 kilogram pada kondisi kelinci bunting dan 3,78 kilogram pada saat kelinci menyusui. Biasanya feses urin tercampur dengan sisa pakannya. Sisa pakan kelinci dapat mencapai 75 persen dari total pakan kelinci yang diberikan14. Produksi kotoran dan urin anakan kelinci diabaikan dalam penelitian ini. Hal ini disebabkan karena produksi limbah kelinci ditentukan berdasarkan bobot badan kelinci. Bobot badan anakan kelinci sangatlah kecil yakni sekitar 55 gram sehingga dalam jangka waktu sebulan tidak mengalami peningkatan bobot badan yang begitu signifikan (Lebas et al. 1986). Pada penelitian ini, harga jual masingmasing limbah kelinci tersebut diasumsikan memiliki harga yang sama dengan harga limbah di Cileungsi karena di sekitar Bogor masih sangat sulit untuk menelusuri harga pasar limbah kelinci tersebut. 6.4.
Aktivitas Produksi Pupuk Bokashi
6.4.1. Kebutuhan Input Produksi Pupuk Bokashi Jenis pupuk bokashi yang diproduksi di Desa Karehkel adalah bokashi pupuk kandang karena sebagian besar bahan bakunya (sekitar 59%) berasal dari limbah ternak. Adanya proses fermentasi bahan-bahan pupuk menggunakan MOL (mikroorganisme lokal) dapat mempercepat penguraian bahan organik kotoran ternak tersebut. Deptan mendefiniskan bokashi pupuk kandang dengan suatu aktivitas memproduksi kompos dengan bahan tertentu yang melibatkan proses fermentasi bahan baku kompos berupa kotoran ternak15. Bahan baku yang digunakan untuk membuat pupuk bokashi di Desa Karehkel antara lain kotoran domba, kotoran kelinci, urin kelinci, sampah dedaunan, molasses (air gula), MOL, dan arang sekam. Penggunaan MOL dapat mempercepat proses pengomposan. 13
The Rabbit. www.quavet.i12.com%2FRabbit.htm&anno=2 [Mei 2010] Memproduksi Pupuk Organik dari Kelinci. http://foragri.blogsome.com/memproduksi-pupukorganik-dari-kelinci/ [Mei 2010] 15 Bokashi (Bahan Organik Kaya Akan Sumber Hayati). http://www.deptan.go.id/feati/teknologi/BOKASHI.pdf [Juli 2010] 14
84
Pengomposan pupuk kandang secara alami memakan waktu antara 3-4 bulan sedangkan dengan menggunakan MOL pengomposan hanya memakan waktu sekitar dua minggu (Setiawan 2010). MOL yang diproduksi oleh GPW terdiri dari berbagai macam bahan baku yang mudah didapatkan di sekitar desa misalnya bodogol pisang, berenuk, dan rebung. Kebutuhan tenaga kerja tersebut meliputi aktivitas memproduksi MOL (mikroorganisme lokal) dan memproduksi bokashi itu sendiri. MOL yang dimaksud dalam penelitian ini dikhususkan pada MOL yang berbahan dasar bodogol pisang. Ketersediaan bodogol pisang yang cukup banyak di Desa Karehkel sangat memungkinkan untuk dapat memproduksi MOL sepanjang tahun. Bahan-bahan MOL lainnya seperti rebung dan buah berenuk yang cukup terbatas ketersediaannya serta keong sawah yang seringkali beraroma tidak sedap saat dibuat menjadi MOL menjadi kendala tersendiri dalam memproduksi MOL dengan bahan-bahan tersebut. Secara garis besar, aktivitas memproduksi MOL memerlukan bahan baku berupa bodogol pisang, air kelapa, molasses (air gula jawa), dan air besar. Biaya produksi setiap liter MOL bodogol pisang adalah Rp 475,00. Tabel 16 di bawah ini akan menunjukkan kebutuhan bahan baku dan biaya produksi berdasarkan informasi yang diperoleh dari responden produsen bokashi di Desa Karehkel. Tabel 16. Kebutuhan Bahan Baku dan Biaya Produksi 10 Liter MOL Berbahan Dasar Bodogol Pisang Bahan Baku
Kebutuhan
Satuan
Harga Satuan (Rp)
Total Biaya (Rp)
Bodogol Pisang
1
kg
1000
1000
Air beras
5
liter
100
500
Air kelapa
5
liter
250
1250
kg
8000
2000
Gula
0.25
Total Biaya Produksi 10 Liter MOL Bodogol Pisang
4750
Dalam aktivitas produksi kompos, seringkali terjadi penyusutan bobot bahan baku kompos yakni sebanyak 30-40 persen (Gaur 1980). Sebanyak 100 kilogram bahan baku yang dikomposkan akan menjadi kompos seberat 60-70 kilogram kompos. Penyusutan bobot bahan baku saat dikomposkan adalah sekitar 35 persen. Adanya penyusutan bobot bahan baku dalam memproduksi bokashi
85
pupuk kandang sebanyak 35 persen menyebabkan dengan bahan baku sebanyak 727,5 kilogram akan menghasilkan bokashi sebanyak 472,875 kilogram. Berdasarkan teknologi pembuatan pupuk bokashi di Desa Karehkel, 58,2 persen bahan baku berasal dari limbah ternak. Hal ini menunjukkan bahwa teknologi pembuatan pupuk bokashi di Desa Krehkel sangat berpotensi untuk mengoptimalkan pemanfaatan limbah ternak. Kebutuhan bahan lain yang cukup besar adalah pada kebutuhan sampah daun kering yang diperoleh dengan cara mengumpulkan di sekitar lokasi produksi. Oleh karena itu, kegiatan mencari sampah daun kering dimasukkan pada komponen kebutuhan tenaga kerja untuk memproduksi pupuk bokashi. Kebutuhan molasses dipenuhi dengan membeli limbah industri gula aren yang ada di sekitar lokasi penelitian. Tabel 17 berikut ini akan memberikan informasi mengenai kebutuhan pembuatan bokashi pupuk kandang di Desa Karehkel berdasarkan informasi responden. Tabel 17. Produksi Bokashi Pupuk Kandang di Desa Karehkel dengan Total Penggunaan Bahan Baku sebanyak 727,5 Kilogram Bahan Baku Kotoran kambing Kotoran lunak kelinci Sampah daun kering Sekam MOL air kelapa urine kelinci molases (air gula) Total kebutuhan bahan baku
Satuan Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg
Kebutuhan Bahan Baku 210 210 240 40 2.5 20 3 2 727.5
Proporsi Bahan Baku (%) 28.9 28.9 33.0 5.5 0.3 2.7 0.4 0.3 100.0
Komponen biaya per kilogram pupuk bokashi yang diproduksi diperoleh dengan menjumlahkan seluruh biaya-biaya bahan baku di luar limbah ternak yakni diantaranya biaya pembelian sekam, biaya bahan baku MOL, biaya pembelian molasses, dan biaya pembelian air kelapa. Pada kondisi aktual, kebutuhan input tersebut selalu tersedia sehingga tidak menjadi kendala dalam model yang dibangun. Komponen biaya limbah ternak pada model ini dipisahkan sehingga dapat terlihat keputusan optimal dalam memenuhi kebutuhan bahan baku pupuk baik dari dalam maupun luar desa. Kebutuhan bahan baku bokashi pupuk kandang berupa kotoran ternak dibedakan menjadi komponen biaya tersendiri. Harga beli 86
setiap kilogram limbah ternak adalah sama dengan harga jual setiap limbah ternak yang dihasilkan di Desa Karehkel. Hal ini disebabkan karena pada penelitian ini, kotoran domba, kotoran kelinci, dan urin kelinci menghadapai pasar yang sama sehingga harga setiap limbah tersebut adalah sama dengan harga pasar. Harga masing-masing limbah ternak tersebut adalah Rp 142,86 per kilogram kotoran domba, Rp 1.250,00 untuk setiap liter urin kelinci yang dibeli, dan Rp 500,00 untuk setiap kilogram kotoran kelinci. Struktur biaya per kilogram bokashi yang menjadi acuan dalam penentuan koefisien biaya pada aktvitas memproduksi pupuk organik bokashi dapat dilihat pada Tabel 18 berikut ini. Tabel 18. Kebutuhan Bahan Baku dan Biaya Per Kilogram Bokashi Pupuk Kandang yang Diproduksi Bahan Baku
kg kg
Kebutuhan Bahan Baku untuk 472.875 kg bokashi (Kg) 40 2.5
Kebutuhan Bahan Baku per Kilogram Bokashi (kg) 0.0846 0.0053
Harga Satuan (Rp) 150 475
kg
20
0.0423
250
10.57
0.0042
8000
33.84 59.61
Satuan
Sekam MOL Air kelapa Mollases
kg
2 Total Biaya per Kilogram Bokashi
Biaya (Rp) 12.69 2.51
6.4.2. Kebutuhan Tenaga Kerja Kebutuhan tenaga kerja dalam memproduksi bokashi pupuk kandang tidak terlalu besar. Produksi bokashi dengan total bahan baku mencapai 727,5 kilogram hanya membutuhkan curahan tenaga kerja sekitar 5,3 HOK. Kebutuhan tenaga kerja tersebut sudah termasuk dengan aktivitas memproduksi MOL sesuai dengan kebutuhan bahan baku pembuatan bokashi. Data mengenai kebutuhan curahan tenaga kerja produksi pupuk bokashi pada Tabel 19 memiliki periode produksi selama satu bulan yakni 30 hari. Aktivitas memproduksi MOL yang lebih sederhana menyebabkan curahan tenaga kerja yang digunakan adalah lebih kecil daripada aktivitas pembuatan bokashi. Tabel 19 secara lengkap akan menunjukkan curahan tenaga kerja dalam memproduksi bokahi pupuk kandang sesuai data yang diperoleh dari responden.
87
Tabel 19. Curahan Tenaga Kerja Pembuatan Bokashi Sebanyak 472,875 Kilogram Jenis Kegiatan Pembuatan MOL (2.5L) Menghaluskan bahan baku (bodogol pisang) mencampur bahan Pembuatan MOL Aktivitas produksi bokashi (472.875kg) Mengumpulkan dan mencampur bahan baku Pembuatan kompos Pembalikkan kompos Mengumpulkan sampah dedaunan kering Total Kebutuhan Tenaga Kerja (HOK)
Kebutuhan Tenaga Kerja (HOK) 0,050 0,006 0,025 0,286 0,286 0,357 4,286 5,296
Secara kesuluruhan, aktivitas mengumpulkan sampah dedaunan kering membutuhkan curahan tenaga kerja terbesar yakni sekitar 81 persen. Curahan tenaga kerja untuk memproduksi MOL hanya sebesar 1,53 persen dari total kebutuhan tenaga kerja total sedangkan sisanya digunakan untuk aktivitas produksi bokashi. Berdasarkan informasi pada Tabel 19 di atas dapat diketahui bahwasanya setiap kilogram bokashi yang diproduksi memerlukan curahan tenaga kerja sekitar 0,01 HOK. Kebutuhan curahan kerja sebanyak 0,01 HOK tersebut menjadi acuan dalam menentukan koefisien fungsi kendala tenaga kerja model terintegrasi yang dibangun pada aktivitas produksi pupuk bokashi. 6.4.3. Produksi Pupuk Bokashi Adanya perbedaan teknologi yang digunakan dalam memproduksi pupuk bokashi di Desa Karehkel dengan pupuk kotoran ayam yang biasanya digunakan petani sayuran organik menyebabkan adanya perbedaan harga antara kedua jenis pupuk tersebut. Kotoran ayam yang digunakan sebagai pupuk organik sama sekali tidak terdapat perlakuan secara khusus. Kotoran ayam tersebut hanya didiamkan saja sampai dengan suhunya meningkat kemudian menjadi stabil sehingga dapat digunakan sebagai pupuk. Berbeda halnya dengan pupuk kandang yang diproduksi di Desa Karehkel dimana bahan baku mengalami proses fermentasi sehingga menjadi pupuk bokashi. Cukup beragamnya bahan baku yang digunakan untuk memproduksi bokashi pupuk kandang di Desa Karehkel berdampak pada tingginya biaya produksi per kilogramnya. Hasil perhitungan menunjukkan bahwasanya harga
88
pokok produksi per kilogram bokashi di Desa Karehkel mencapai Rp 665,97. Jika dibandingkan dengan harga pasar pupuk kotoran ayam maka tentu saja harga pupuk bokashi lebih mahal. Kondisi tersebut menimbulkan dugaan bahwa penggunaan pupuk bokashi untuk kegiatan usahatani sayuran organik kurang menguntungkan pada tingkat produksi sayuran dan harga sayuran organik yang sama. Berapapun keuntungan yang diambil oleh produsen kompos untuk setiap kilogram bokashi yang dijual, harga pupuk bokashi akan tetap lebih mahal daripada harga kotoran ayam per kilogramnya di pasaran. Pada penelitian ini diasumsikan produsen pupuk organik menjual pupuk bokashi dengan keuntungan per kilogramnya sebanyak 10 persen. Perhitungan mengenai HPP pupuk bokashi selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 8. 6.5.
Aktivitas Produksi Silase Adanya rencana penerapan pertanian terpadu di Desa Karehkel merupakan
sebuah upaya untuk mengoptimalkan pemanfaatan limbah yang dihasilkan dari aktivitas usahatani, salah satunya adalah limbah sayuran. Karakteristik limbah sayuran yang mudah busuk menjadi salah satu kendala dalam pemanfaatannya sebagai pakan ternak. Berdasarkan asumsi permintaan sayuran organik setiap bulannya maka potensi limbah yang dapat dihasilkan per bulannya dapat mencapai sekitar 1,4 ton. Pengolahan limbah sayuran menjadi silase dapat menjadi salah satu upaya dalam mengoptimalkan pemanfaatan limbah sayur sebagai pakan ternak yang memiliki umur simpan yang lebih lama. Silase merupakan hijauan pakan ternak yang disimpan dalam wadah tertutup yang kedap udara sehingga terfementasi dalam keadaann tersebut (Gohl 1981 diacu dalam Maskitono 1990). Dalam pembuatan silase memerlukan berbagai bahan baku pendukung yakni bahan pengawet dan zat aditif. Bahan pengawet yang dapat digunakan salah satunya adalah dedak. Zat aditif digunakan sebagai pemacu aktivitas fermentasi. Zat aditif tersebut terdiri dari bakteri-bakteri yang berfungsi sebagai pencegah pembusukan dan perombak karbohidrat dan protein. Penggunaan silase sebagai pakan ternak memiliki beberapa kelebihan diantaranya pakan ternak lebih awet, memiliki kandungan bakteri asam laktat yang bersifat sebagai probiotik sehingga dapat memperbaiki konversi pakan, meningkatkan pertumbuhan berat badan, memperbaiki resistensi penyakit dan 89
natural immunity, dan memiliki kandungan asam organik yang berperan sebagai growth promoter dan penghambat penyakit (Sapienza dan Keith 1993). Penggunaan silase untuk memenuhi 100 persen kebutuhan pakan ternak sangatlah memungkinkan namun tidak dianjurkan bagi ternak-ternak yang berusia muda. Mc Donald et al. (1991) menyebutkan bahwa ayam yang berumur sehari tidak dapat meningkatkan bobot badan karena kurang dapat memanfaatkan zat makanan dalam bentuk silase (ph 4,6) sehingga metabolisme di dalam tubuh akan terganggu karena ph rendah menyebabkan enzim pencernaan tidak bekerja secara optimal, sedangkan pH dalam saluran pencernaan berkisa antara 5-7,5 (basa). Namun adanya silase dapat memacu pertumbuhan, meningkatkan pertumbuhan berat badan dan mencegah gangguan pencernaan pada ternak muda. Kajian lainnya mengenai pemanfaatan silase sebagai pakan ternak menunjukkan bahwa pada komposisi silase tertentu dapat meningkatkan produksi ternak, tidak berpengaruh terhadap produksi ternak, atau malah menurunkan produksi ternak jika dibandingkan dengan dampak penggunaan pakan ternak secara tradisional (Nikmah 2006; Tonnedy 2006; Asminaya 2007). Jenis dan takaran bahan baku silase yang tepat memerlukan kajian teknis tersendiri sehingga silase yang dihasilkan dapat memaksimumkan pertumbuhan ternak. Penelitian ini tidak membahas aktivitas produksi silase yang sesuai dengan kebutuhan nutrisi ternak yang dapat memaksimumkan pertumbuhannya. Secara teknis penggunaan silase untuk memenuhi 100 persen kebutuhan pakan ternak adalah memungkinkan sehingga dalam penelitian ini kajian mengenai aktivitas produksi silase lebih diarahkan pada sisi ekonomi. Aktivitas produksi silase yang masih jarang dilakukan oleh para peternak menyebabkan data mengenai kebutuhan input produksi diperoleh dengan studi literatur. Silase dalam penelitian ini menggunakan bahan baku berupa limbah hijauan sebanyak 95 persen dari total kebutuhan bahan baku silase. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan silase dapat menggantikan kebutuhan pakan hijauan yang berbahan dasar limbah sayuran bagi ternak di Desa Karehkel. 6.5.1. Kebutuhan Input Produksi Silase Silase yang dilibatkan dalam model memiliki bahan baku utama berupa limbah sayuran atau limbah organik. Bahan baku lainnya yang digunakan adalah 90
bahan aditif yang berasal dari MOL (mikroorganisme lokal) dan bahan pengawet berupa dedak. Aktivitas memproduksi silase dengan 100 kilogram bahan baku utama memerlukan dedak sebanyak 4,89 kilogram (Soegiri et al. 1981). Seperti halnya pada aktivitas produksi bokashi, dalam memproduksi silase juga terdapat penyusutan bobot bahan baku. Mc Donald et al. (1991) menyebutkan bahwasanya penyusutan yang terjadi adalah sekitar 16,5 persen. Penentuan koefisien biaya per unit aktivitas produksi silase pada model sayuran organik terpadu yang dibangun didasarkan pada biaya produksi per unit silase non biaya pembelian bahan baku hijauan. Aktivitas menggunakan bahan baku hijauan dibedakan menjadi aktivitas tersendiri sehingga model yang dibangun dapat memberikan informasi mengenai keputusan optimal pemenuhan kebutuhan hijauan tersebut. Alternatif yang dapat dipilih yakni memanfaatkan limbah sayuran di dalam desa, membeli limbah organik yang dihasilkan di pasar yang berada di sekitar Bogor atau kombinasi keduanya. Kebutuhan bahan baku dan biaya pembelian bahan baku dapat ditunjukkan oleh Tabel 20 berikut ini. Tabel 20. Kebutuhan Input dan Biaya Non Bahan Hijauan untuk Memproduksi Silase dengan Bahan Baku Hijauan sebanyak 100 Kilogram Bahan Baku
Kebutuhan Bahan Baku (Kg)
Satuan
Harga Satuan (Rp)
Total biaya variabel (Rp)
Bahan baku hijauan
100
kg
153,64
15.364
MOL
0,01
liter
475
475
Dedak
4,89
kg
1500
Total
104.9
7.335 22.703,75
Adanya penyusutan bobot silase maka berdasarkan total bahan baku silase pada Tabel 20 menunjukkan banyaknya silase yang dapat diproduksi adalah sebanyak 87,6 kilogram. Biaya produksi non limbah hijauan silase setiap kilogram nya adalah Rp 73,4. Harga pasar limbah sayuran organik diasumsikan sama dengan harga jual limbah sayuran yang dihasilkan pada usahatani sayuran organik di Desa Karehkel. Selain limbah sayuran organik, usaha produksi silase juga memiliki alternatif lain pemenuhan kebutuhan bahan baku hijauan. Pada model ini diasumsikan produsen silase dapat memperoleh bahan baku hijauan berasal dari limbah organik pasar yang diperoleh dari luar desa. Harga per kilogram limbah organik pasar adalah diasumsikan sama dengan limbah sayuran organik yang 91
dihasilkan di Desa Karehkel karena keduanya merupakan produk antara yang relatif sama dan berada pada pasar yang sama. 6.5.2. Kebutuhan Tenaga Kerja Silase Aktivitas memproduksi silase tidak jauh berbeda dengan memproduksi bokashi pupuk kandang. Bahan-bahan yang ada dikumpulkan menjadi satu kemudian dibuat tumpukan dan diberi zat aditif. Proses pembuatan silase dilakukan secara anaerob sehingga bahan baku tidak boleh kontak langsung dengan udara. Akibatnya tidak ada proses pembalikkan bahan baku yang dilakukan secara rutin. Kebutuhan tenaga kerja untuk memproduksi silase dengan bahan baku hijauan sebanyak 100 kilogram adalah sebanyak 0,005 HOK dan dapat dilihat pada Tabel 21 berikut ini. Tabel 21. Kebutuhan Tenaga Kerja untuk Memproduksi Silase dengan Bahan Baku Hijauan sebanyak 100 Kilogram Jenis Kegiatan
Curahan Kerja (HOK) 87.6 kg
1 kg
0.0000001 0.286
0.000
Pembuatan silase
0.143
0.002
Total Kebutuhan curahan tenaga kerja silase
0.429
0.005
Membuat MOL sebanyak (10 gr) Mengumpulkan dan mencampur bahan baku
0.003
6.5.3. Produk Silase Hasil dari aktivitas memproduksi silase adalah silase itu sendiri namun pada penerapan usaha secara terpadu keberadaan silase dapat sebagai produk akhir maupun produk antara. Posisi silase sebagai produk akhir apabila silase yang diproduksi dijual ke luar desa sedangkan silase sebagai produk antara yaitu pada saat dipergunakan sebagai input aktivitas usaha lainnya misalnya sebagai pakan ternak. Pakan ternak silase komersial masih sangat sulit ditemui sehingga tidak ada aktivitas jual beli silase di pasaran. Hal ini menyebabkan tidak adanya informasi mengenai harga pasar untuk setiap kilogram silase yang dijual. Pada penelitian ini harga jual silase setiap kilogram dilakukan dengan menambahkan biaya produksi per kilogram silase dengan profit sebesar 10 persen. Hasil dari perhitungan menunjukkan bahwasanya harga pokok produksi adalah Rp 590,77.
92
Berdasarkan asumsi profit yang digunakan maka besarnya harga jual satu kilogram silase adalah Rp 649,85. Harga jual ini akan menjadi koefisien penerimaan pada aktivitas menjual silase dalam model sayuran organik terpadu yang dibangun. Pemanfaatan silase sebagai pakan ternak hanya terdapat pada model terintegrasi. Pada penelitian ini, diasumsikan pemanfaatan pakan silase sebagai pakan ternak adalah sebesar 50 persen dari total kebutuhan pakan ternak. Kondisi tersebut didasari oleh penelitian Nikmah (2006) yang mengutarakan bahwa pemberian silase dengan kadar 50 persen memberikan hasil terbaik pada produksi ternak dan aman bagi konsumsi pakan ternak. 6.6.
Ketersediaan Sumberdaya dan Input Pendukung Sumberdaya pendukung yang dimaksud pada bagian ini antara lain
sumberdaya tenaga kerja sewa yang tersedia di Desa Karehkel, ketersediaan rumput yang dapat disediakan petani setiap bulannya, ketersediaan limbah organik pasar dan ketersediaan kotoran ayam yang di sekitar Desa Karehkel. Kantor Pengendalian Lingkungan Hidup Bogor (2004) diacu dalam Muthmainnah (2008) menyebutkan bahwa produksi sampah perbulan oleh TPA Galuga yang berada di Kecamatan Cibungbulang per bulannya mencapai 11.092.500 kilogram. Limbah organik yang dihasilkan per bulan oleh pasar dari tahun 2001-2003 rata-rata adalah sebesar 13 persen dari total sampah yang diproduksi atau setara dengan 1.442.025
kilogram.
Adanya
kesulitan
dalam
memperoleh
data
dan
memperkirakan jumlah produksi aktual sampah organik pasar maka pada kendala ketersediaan limbah organik pasar diperkirakan sama dengan 1.442.025 kilogram. Sebagian besar limbah organik pasar tersebut terdiri dari sayur-sayuran yang sudah tidak layak untuk dijual. Ketersediaan tenaga kerja sewa luar keluarga ditentukan berdasarkan Laporan Register Desa (2009) mengenai jumlah buruh tani yang tersaji pada di Tabel 3 pada Bab V. Jumlah buruh tani atau tenaga kerja sewa dalam kegiatan pertanian berjumlah 304 orang. Diasumsikan seluruh buruh tani tersebut adalah pria sehingga ketersediaan tenaga kerja setiap bulannya adalah sebanyak 9120 HOK. Upah tenaga kerja setiap HOK di Desa Karehkel adalah Rp 25.000,00 yang terdiri dari Rp 20.000,00 sebagai upah dan Rp 5.000,00 sebagai natura berupa makan siang. 93
Ketersediaan rumput diperkirakan dengan pendekatan kemampuan peternak menyediakan rumput untuk pakan ternaknya setiap bulannya. Dalam hal ini, peternak yang dimaksud ialah peternak kelinci dan peternak domba. Berdasarkan perhitungan maka dapat diperoleh bahwasanya dalam sebulan pakan hijauan lapang berupa rumput yang dapat disediakan peternak adalah mencapai 122,7 ton. Perhitungan tersebut secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 22 berikut ini. Tabel 22. Total Penyediaan Rumput Per Bulan oleh Peternak di Desa Karehkel Jenis ternak
Kepemilikan/ orang (ekor)
Jumlah pemilik segapoktan (orang)
Penyediaan rumput/ekor /bulan(kg)
Jumlah penyediaan rumput (kg)
Domba
6
104
187,5
117.000
Kelinci
21
20
13,63
5.724,6
Total penyediaan rumput
122.724,6
Kebutuhan pakan hijauan kelinci ditentukan berdasarkan kebutuhan pakan terbanyak yakni pada saat menyusui yakni 13,63 kilogram. Hasil perhitungan di atas didasarkan pada kemampuan masing-masing peternak dalam menyediakan pakan hijauan populasi ternak domba dan kelinci di Desa Karehkel. Populasi ternak pada Tabel
22 diperoleh dari data GPW maupun dari Statistik Desa
Karehkel. Jumlah tersebut akan dijadikan sebagai kendala ketersediaan pakan hijauan lapang pada model yang dibangun. Kebutuhan curaha kerja untuk mencari rumput dirata-ratakan antara mencari rumput pada ternak domba dan mencari rumput pada ternak kelinci sehingga diperoleh HOK per kilogram rumput yang disediakan adalah sebesar Selain ketersediaan buruh tani dan ketersediaan pakan hijauan lapang, jumlah kotoran ayam yang berfungsi sebagai pupuk pada usahatani sayuran organik tersedia dengan terbatas. Kondisi tersebut terjadi karena kebutuhan kotoran ayam dipenuhi dengan membeli dari peternakan ayam yang berada di sekitar Desa Karehkel. Berdasarkan statistik peternakan oleh Disnakan (2008) dapat diketahui bahwasanya populasi ternak ayam, pedaging maupun petelur, yang berada di sekitar Desa Karehkel mencapai 5,945 juta ekor dan berpotensi untuk menghasilkan kotoran ayam setiap bulannya sekitar 59,45 ton. Lokasi peternakan yang berada di sekitar Desa Karehkel diantaranya Leuwisadeng,
94
Rumpin, Cibungbulang, Cibeber, Barengkok, Tajur Halang, dan Pabangbon. Lokasi peternakan ayam yang berada di sekitar Desa Karehkel yang sering memasok kebutuhan kotoran ayam dapat dilihat selengkapnya pada Lampiran 6. Pada model yang dibangun, kendala ketersediaan kotoran ayam yang dapat dibeli adalah sama dengan kebutuhan maksimum pupuk organik untuk budidaya sayuran organik sebanyak 783 bedengan atau sebanyak 35.822,25 kilogram.
95
VII. HASIL DAN PEMBAHASAN 7.1.
Deskripsi Model Usahatani Sayuran Organik Terpadu Model usahatani sayuran organik terpadu dalam penelitian ini dibangun
pada skala wilayah Desa Karehkel dimana akan melibatkan beberapa kelompok tani yang masing-masingnya memiliki aktivitas produksi yang berbeda. Kondisi tersebut disesuaikan dengan rencana GPW dalam menerapkan pertanian terpadu di Desa Karehkel sehingga setiap kelompok tani memiliki aktivitas spesifik yang dapat saling bersinergi satu sama lainnya. Aktivitas yang dilibatkan pada model yang dibangun antara lain aktivitas usahatani sayuran organik, aktivitas ternak kelinci, aktivitas ternak domba, aktivitas memproduksi pupuk bokashi dan aktivitas memproduksi silase. Pelaksanaan pertanian terpadu yang melibatkan berbagai kelompok tani atau kelompok ternak tersebut akan berdampak pada model usahatani sayuran organik terpadu yang dibangun. Ketersediaan sumberdaya didasarkan pada penguasaan atau ketersediaan sumberdaya tingkat kelompok tani. Sumberdaya yang dimaksud dalam penelitian ini dibatasi pada sumberdaya lahan pada sayuran organik dan ketersediaan tenaga kerja dalam keluarga pada masing-masing kelompok tani. Model linear yang dibangun dalam penelitian ini mengabaikan dimensi waktu setiap periode produksi aktivitas usaha. Tidak dimasukannya kendala modal per masing-masing petani dalam model yang dibangun menjadi salah satu keterbatasan dalam penelitian ini. Model yang dibangun ditujukan untuk memberikan informasi kepada GPW mengenai aktivitas yang perlu diintegrasikan dan berapa jumlah pengusahaan yang sebaiknya dilakukan. Saat ini kelompok tani yang sudah dibentuk antara lain Poktan Sugih Tani yang melakukan budidaya sayuran secara organik yang beranggotakan 29 petani, Poktan Ternak Domba Cadas Gantung yang terdiri dari sekitar 104 peternak domba, dan Poktan Ternak Kelinci Cadas Gantung yang terdiri dari 20 peternak. Aktivitas produksi pupuk bokashi masih belum dilaksanakan namun GPW telah berencana untuk membuat kelompok produsen pupuk bokashi. Adanya pelibatan aktivitas produksi silase dalam penelitian ini ditujukan sebagai salah satu upaya dalam mengoptimalkan pemanfaatan limbah sayuran organik sehingga dapat menjadi pakan ternak yang memiliki umur simpan relatif lama. Banyaknya
96
anggota dalam kelompok produsen bokashi dan silase dalam penelitian ini masing-masing sebanyak 5 rumah tangga produsen. Ketersediaan sumberdaya lahan dan tenaga kerja dalam keluarga masingmasing aktivitas disesuaikan dengan ketersediaan sumberdaya dalam kelompok tani. Ketersediaan bedengan untuk usahatani sayuran organik adalah 783 bedeng yang tidak lain merupakan total kepemilikan bedengan 29 orang petani sayuran. Ketersediaan tenaga kerja masing-masing rumah tangga petani dalam sebulan adalah 51 HOK yakni sesuai dengan karakteristik responden dalam penelitian ini yang terdiri dari satu orang tenaga kerja pria dewasa dan satu orang tenaga kerja wanita dewasa dengan hari kerja selama 30 hari. Ketersediaan sumberdaya lainnya seperti tenaga kerja sewa (luar keluarga), ketersediaan pakan rumput, ketersediaan limbah organik pasar dan ketersediaan kotoran ayang yang berasal dari luar desa ditentukan berdasarkan analisis keragaan usahatani yang telah dilakukan pada bab sebelumnya. Adanya faktor musim yang mempengaruhi produksi sayuran dan limbah sayuran serta adanya pengaruh kondisi kelinci saat bunting atau menyusui dalam penggunaan input dan produksi maka diperlukan asumsi-asumsi dalam model untuk menyederhanakan kondisi aktual. Diasumsikan aktivitas usahatani sayuran organik berproduksi pada musim kemarau sedangkan ternak kelinci dilakukan pada saat masa menyusui. Pemilihan periode budidaya kelinci saat menysui disebabkan karena pada akhir periode kegiatan budidaya kelinci menyusui dapat menunjukkan aktivitas menjual produk akhir kelinci berupa anakan kelinci. Model terpadu yang dibangun tidak ditujukan untuk memaksimumkan keuntungan setiap kegiatan usaha namun ditujukan untuk memaksimumkan keuntungan dalam lingkup wilayah Desa Karehkel dengan kombinasi usahatani terpadu yang optimum.
Adanya perbedaan kondisi dalam penerapan model
usahatani sayuran organik terpadu bertujuan untuk melihat potensi profit yang dapat dihasilkan atau hilang akibat pelaksanaan setiap aktivitas usaha pada dua kondisi yang berbeda. Diasumsikan setiap produk antara menghadapi pasar yang sama sehingga memiliki harga pasar yang sama kecuali pada pupuk bokashi yang diproduksi dalam desa. Produksi pupuk bokashi menggunakan teknologi yang
97
berbeda dengan produk substitusinya yakni pupuk kandang kotoran ayam sehingga harga pasar kedua produk tersebut akan berbeda. 7.2.
Analisis Model Usahatani Sayuran Organik Terpadu Hasil analisis MUSOT dalam penelitian ini dapat memberikan informasi
mengenai pengalokasian sumberdaya yang tepat dan aktivitas yang perlu diintergasikan sehingga dapat mendukung penerapan usahatani sayuran organik terpadu di Desa Karehkel. Selain itu melalui model ini dapat diketahui potensi keuntungan yang dapat dihasilkan pada skala wilayah oleh penerapan model usahatani sayuran organik terpadu dibandingkan dengan pelaksanaan aktivitas secara tidak terpadu (terintegrasi). 7.2.1. Kegiatan Usahatani Sayuran Organik 7.2.1.1. Penggunaan Lahan Usahatani Sayuran Organik Hasil analisis model tidak terintegrasi (SI) dan model terintegrasi (SII) menunjukkan bahwa alokasi bedengan optimal adalah 100 persen. Artinya seluruh bedengan yang tersedia digunakan untuk usahatani sayuran organik sehingga menjadikan sumberdaya lahan menjadi kendala pembatas dalam aktivitas usahatani sayuran organik. Alokasi sumberdaya lahan sebanyak 783 bedengan model SI sebaiknya sebanyak 4,47 persen dialokasikan untuk menanam selada, bayam merah 5 persen, caisim 11,75 persen, dan proporsi lahan untuk menanam bayam hijau sebanyak 12,13 persen. Permintaan sayuran kangkung yang terbesar mempengaruhi pengalokasian sumberdaya lahan tersebut sehingga lahan yang dialokasikan untuk usahatani kangkung adalah terbesar yakni mencapai 71,01 persen. Nilai reduced cost pada pengalokasian bedengan sayuran menunjukkan nilai opportunity cost dari masing-masing bedengan untuk setiap jenis sayuran. Apabila seorang petani sayuran organik bermaksud untuk menambah bedengan untuk menanam suatu jenis sayuran maka petani tersebut harus mengurangi bedengan tanam jenis sayuran lainnya. Konsekuensi dari adanya perubahan alokasi bedengan akan berdampak langsung pada peningkatan atau penurunan nilai fungsi tujuan. Alokasi lahan hasil pemecahan optimal selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 23. 98
Tabel 23. Alokasi Lahan Model SI dan Model SII Jenis Sayuran
Alokasi Bedengan (bedeng) SI
Selada
Reduced Cost (Rp)
SII
SI
35
35
556
556
-212.188,27
-186.298,79
92
92
-176.816,94
-150.929,47
Bayam Merah
5
5
-117.747,34
-91.856,87
Bayam Hijau
95
95
-136.196,98
-110.307,52
783
783
Kangkung Caisin
Jumlah bedengan
-103.568,55
SII -77.679,08
Misalnya pada model SI seorang petani sayuran organik bermaksud untuk menambah jumlah bedengan kangkung sebanyak satu bedeng sehingga petani harus mengurangi bedengan tanam jenis sayuran lainnya. Pada permisalan ini petani lebih memilih untuk mengurangi satu bedengan tanam bayam merah. Berdasarkan Tabel 23 dapat dilihat bahwasanya petani kehilangan peluang untuk meningkatkan keuntungan wilayah sebesar
Rp 117.746,34. Keputusan petani
untuk mengurangi bedengan jenis sayuran lainnya sebagai akibat petani meningkatkan bedengan kangkung sebanyak satu bedeng memiliki konsekuensi yang berbeda-beda terhadap pengurangan. Jika petani memilih untuk mengurangi bedengan tanam bayam hijau maka petani akan menyebabkan wilayah kehilangan peluang untuk meningkatkan profit secara keseluruhan sebanyak Rp 136.196,98. Adanya perbedaan opportunity cost tersebut sangat erat kaitannya dengan keuntungan yang diterima petani atas
korbanan sumberdaya petani dalam
mengusahakan setiap aktivitas usahatani sayuran organik. Sumberdaya yang dimaksud berupa alokasi bedengan, penggunaan tenaga kerja yang berbeda-beda setiap pengusahaan masing-masing jenis sayuran organnik per bedeng, dan biaya pembelian input produksi berupa bibit atau benih dan bahan organik per bedeng. 7.2.1.2.Ketersediaan dan Penggunaan Tenaga Kerja pada Usahatani Sayuran Organik Keputusan optimal pengusahaan setiap jenis sayuran organik secara langsung akan berdampak pada alokasi tenaga kerja yang tersedia. Hal ini disebabkan karena setiap jenis sayuran organik memiliki kebutuhan tenaga kerja yang berbeda-beda untuk setiap bedenganya. Model SI dan SII menunjukkan bahwa ketersediaan tenaga kerja dalam keluarga aktivitas usahatani sayuran
99
organik mencukupi kebutuhan tenaga kerja pengusahaan kelima jenis sayuran organik tersebut. Bahkan ketersediaan tenaga kerja dalam keluarga usahatani sayuran organik berlebih. Pemanfaatan tenaga kerja dalam keluarga usahatani sayuran organik hanya sebesar 45,4 persen dari tenaga kerja dalam keluarga yang tersedia. Artinya masih terdapat sekitar 54,6 persen (807,4 HOK) tenaga kerja dalam keluarga yang belum termanfaatkan. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa tenaga kerja dalam keluarga aktivitas usahatani sayuran organik adalah melimpah atau tidak menjadi sumberdaya pembatas. Pada kondisi aktual petani sayuran organik seringkali menggunakan tenaga kerja sewa untuk mempercepat kegiatan pemanenan. Adanya jadwal pengiriman sayuran kepada pembeli yang harus ditepati oleh petani menyebabkan tenaga kerja sewa tetap dipergunakan. Petani dianjurkan untuk mengirim sayuran maksimal pukul 09.00 WIB sehingga maksimal pukul 10.00-11.00 WIB sayuran tersebut sudah sampai ke tempat pembeli. Peraturan tersebut diberlakukan agar sayuran yang dikirimkan dapat terjaga kesegarannya. Sayuran yang sudah dipanen tidak boleh terlampau lama dibiarkan sehingga harus segera dikirim ke pembeli untuk dimasukkan ke dalam kulkas. Karakteristik sayuran yang tidak memiliki daya simpan yang lama membuat petani seringkali memanen sayurannya pada pagi hari yakni rata-rata dimulai pada pukul 06.00 WIB. Adanya rentang waktu yang sempit untuk kegiatan pemanenan dan luasnya areal tanam menyebabkan pentingnya bantuan tenaga kerja sewa untuk mempercepat pemanenan. Rata-rata jumlah tenaga kerja sewa yang digunakan untuk membantu pemanenan adalah sebanyak satu orang baik pria maupun wanita. Pada kondisi aktual, keputusan petani untuk menggunakan tenaga kerja sewa tersebut adalah merugikan karena tenaga kerja dalam keluarga mampu mencukupi total kebutuhan tenaga kerja usahatani sayuran organik. Kondisi tersebut dapat dilihat dari potensi kerugian yang akan diterima untuk setiap unit tenaga kerja (HOK) yang disewa yakni sebesar Rp 80.538,09. Kerugian tersebut adalah 2,22 kali lipat lebih tinggi daripada biaya sewa tenaga kerja per HOK di Desa Karehkel (Rp 25.000,00).
100
7.2.1.3.Penggunaan Pupuk Organik Pupuk organik dikategorikan sebagai produk antara atau intermediate product dalam model usahatani sayuran organik terpadu yang dibangun sehingga keberadaannya dipisahkan dalam aktivitas tersendiri. Pada model SI petani sayuran organik tidak memiliki pilihan untuk memenuhi kebutuhan pupuk organiknya kecuali dari kotoran ayam yang berasal dari desa. Kondisi tersebut adalah sama persis dengan kondisi aktual dimana seluruh kebutuhan pupuk dipenuhi dengan membeli dari luar desa. Berbeda halnya dengan model SII, dimana aktivitas usahatani sayuran organik memiliki alternatif pemenuhan kebutuhan pupuk organiknya. Aktivitas usahatani sayuran organik dapat memenuhi kebutuhan pupuknya dengan membeli kotoran ayam dari luar desa atau memanfaatkan bokashi pupuk kandang yang dihasilkan di dalam desa. Namun dari hasil analisis model SII menunjukkan bahwa sebaiknya seluruh kebutuhan pupuk usahatani sayuran organik dipenuhi dengan membeli kotoran ayam dari luar desa karena pupuk bokashi yang dihasilkan lebih menguntungkan apabila dijual ke luar desa. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa antara aktivitas usahatani sayuran organik dan aktivitas produksi pupuk bokashi model SII tidak terintegrasi. 7.2.1.4.Produk Utama dan Limbah Sayuran Organik Produk yang dihasilkan oleh aktivitas usahatani sayuran organik dapat dibedakan menjadi dua macam yakni produk utama berupa sayuran segar dan limbah sayuran. Produktivitas sayuran (kilogram/bedeng) dan alokasi bedengan yang berbeda-beda pada setiap jenis sayuran organik yang diusahakan berdampak pada produksi setiap jenis sayuran pada kondisi optimal. Baik pada model SI dan model SII seluruh sayuran segar yang dihasilkan dijual ke luar desa. Model SI dan SII menunjukkan bahwa usahatani sayuran organik di Desa Karehkel menghasilkan sayuran segar yang lebih tinggi daripada permintaan pembeli. Jumlah produksi kangkung 810 persen lebih tinggi daripada permintaan pasar. Begitu juga pada aktivitas usahatani sayuran organik lainnya dimana produksi selada adalah 0,91 persen lebih tinggi daripada permintaan pasar, produksi caisin 0,64 persen lebih tinggi daripada permintaan pasar, bayam hijau 0,45 persen lebih tinggi dan produksi bayam merah juga lebih tinggi 9,16 persen 101
dari permintaan pasar. Kondisi tersebut menyebabkan perlunya perluasan pasar sayuran organik. Cukup banyaknya potensi pasar sayuran organik menyebabkan kelebihan produksi tersebut sangat memungkinkan untuk dapat tertampung pasar. Posisi Poktan Sugih Tani sebagai produsen sayuran organik terbaik di Kabupaten Bogor di tingkatan kelompok tani, menyebabkan poktan ini mendapat banyak perhatian dari banyak pihak. Pihak tersebut antara lain Bappeda, Dinas Pertanian Kabupaten Bogor, dan beberapa perusahaan eksportir yang pernah menawarkan kerjasama dalam perdagangan sayuran organik. Peningkatan jumlah sayuran organik yang dijual di pasaran setiap kilogramnya dapat meningkatkan total keuntungan wilayah sebesar harga jual masing-masing jenis sayuran. Apabila selada yang dijual meningkat sebanyak 1 kg maka akan berdampak pada peningkatan total keuntungan sebesar Rp 9.000,00. Peningkatan penjualan caisin, kangkung, bayam merah, dan bayam hijau setiap kilogramnya akan meningkatkan nilai fungsi tujuang masing-masing sebesar Rp 8.000,00, Rp 5.000,00, Rp 6.000,00, dan Rp 6.000,00. Peningkatan jumlah sayuran organik yang dijual tentu saja memerlukan peningkatan luasan tanam, perubahan alokasi tenaga kerja, dan biaya produksi yang dikeluarkan setiap jenis sayuran tersebut. Hal ini akan berdampak langsung terhadap perubahan alokasi sumberdaya apabila perubahan tersebut berada di luar selang sensitifitas kondisi optimal aktivitas usahatani sayuran yang bersangkutan. Produksi sayuran organik pada kondisi optimal dapat ditunjukkan pada Tabel 24 di bawah ini. Tabel 24. Jumlah Produksi Sayuran Organik dan Permintaan Setiap Jenis Sayuran Model SI dan Model SII Jenis Sayuran Selada Caisin Kangkung Bayam Merah Bayam Hijau
Produksi optimal (kg) 544.60 2260.44 25954.08 2365.5 109.85
Jumlah Permintaan (kg) 539.69 2246.05 2852.44 2354.8 100.63
Selisih (%) 0.91 0.64 809.89 0.45 9.16
Limbah sayuran yang berasal dari proses sortasi juga memiliki nilai ekonomi. Model SI menunjukkan bahwa seluruh limbah sayuran yang dihasilkan dijual ke luar desa. Berbeda halnya dengan model SII dimana diterapkan pada
102
kondisi teritegrasi sehingga limbah sayuran yang dihasilkan dimanfaatkan di dalam desa. Pada model SII tidak ada aktivitas menjual limbah sayuran ke luar desa karena 100 persen limbah sayuran yang dihasilkan dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan silase. Nilai dual price pada kendala transfer produk limbah sayuran model SI dan model SII memiliki nilai yang sama yakni setara dengan harga jual setial limbah sayuran organik yang dihasilkan yakni Rp 153,64. Nilai dual price kendala kendala transfer produk limbah sayuran model SI menunjukkan bahwa peningkatan setiap kilogram limbah sayuran yang dijual ke luar desa dapat meningkatkan keuntungan wilayah sebesar Rp 153,64. Nilai dual price kendala kendala transfer produk limbah sayuran model SII dapat menunjukkan bahwa sebenarnya setiap kilogram sayuran yang dimanfaatkan untuk bahan baku produksi silase di dalam desa memiliki nilai yang sama dengan harga limbah sayuran organik di pasar yakni Rp 153,64. 7.2.2. Kegiatan Usahaternak Domba Sangat besarnya potensi ternak domba sebagai penghasil bahan baku bokashi pupuk kandang menjadi salah satu latar belakang bagi ternak domba dimasukkan dalam model sayuran organik terpadu yang dibangun. Keberadaan limbah domba ini menjadi salah satu bahan baku yang cukup penting bagi kegiatan produksi bokashi pupuk kandang yang telah dirintis oleh Gapoktan Pandan Wangi. Sekitar 28,8% bahan baku bokashi pupuk kandang di Desa Karehkel berasal dari limbah domba. Selain sebagai penghasil kotoran domba yang bernilai ekonomis, aktivitas ternak domba juga berpotensi menghasilkan produk akhir berupa pertambahan bobot badan domba yang sangat mempengaruhi harga jual per ekor domba. 7.2.2.1.Pengusahaan Ternak Domba Model SI menunjukkan bahwa aktivitas ternak domba menguntungkan untuk diusahakan. Banyaknya ternak domba yang perlu untuk diusahakan untuk memaksimumkan total keuntungan model SI adalah sebanyak 392 ekor. Jumlah tersebut adalah lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah domba aktual yang dibudidayakan di Desa Karehkel (624 ekor domba). Berdasarkan analisis model
103
SI maka dapat dikatakan bahwasanya pengusahaan domba pada kondisi aktual di Desa Karehkel saat ini belum optimal. Pada model yang dibangun,ternak domba akan berkompetisi dengan ternak kelinci dalam penggunaan pakan rumput yang tersedia secara terbatas. Pengusahaan kelinci yang cukup banyak dan kebutuhan pakan rumput kelinci mencapai 40 persen dari total rumput yang tersedia menyebabkan proporsi pakan rumput yang tersedia untuk domba menjadi lebih sedikit. Pada kondisi aktual sangat memungkinkan adanya pengaruh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model terpadu yang dibangun di penelitian ini sehingga dapat menyebabkan kondisi optimal model belum tentu sama dengan kondisi optimal usahaternak domba secara aktual. Model SII menunjukkan bahwa pengusahaan ternak domba pada kondisi teritegrasi adalah merugikan. Selang perubahan harga jual daging domba (SXG) model SII yang dapat ditoleransi menunjukkan bahwa berapapun kenaikan harga jual daging domba dan harga jual kotoran domba per kilogramnya akan selalu merugikan. Oleh karena itu pada model SII tidak terdapat aktivitas beternak domba. Apabila pada model SII dipaksakan untuk membudidayakan domba maka setiap ekor domba yang dibudidayakan akan mengurangi total keuntungan wilayah sebesar Rp 25.243,30. 7.2.2.2.Ketersediaan dan Penggunaan Tenaga Kerja dalam Ternak Domba Sekitar
42,66 persen dari total kebutuhan tenaga kerja untuk
membudidayakan domba, ditujukan untuk aktivitas pemeliharaan domba. Seperti halnya dijelaskan pada bab sebelumnya aktivitas pemeliharaan domba meliputi aktivitas membersihkan kandang dan mengumpulkan kotoran domba, serta memberi pakan domba. Curahan tenaga kerja sebanyak 57,34 persen sisanya dipergunakan untuk mencari pakan rumput. Jumlah tenaga kerja dalam keluarga yang tersedia pada usahaternak domba pada kondisi optimal model SI adalah berlebih. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat penggunaan tenaga kerja dalam keluarga sebesar 48,33 persen. Sisanya sebanyak 51,67 persen (2740,32 HOK) masih belum termanfaatkan. Pada kondisi aktual, peternak domba memang tidak pernah menggunakan bantuan tenaga kerja sewa karena aktivitas pemeliharaan domba masih dilakukan secara tradisional dan relatif sederhana. Selain itu kepemilikan ternak domba per peternak masih relatif 104
rendah yakni berkisar antara 5-7 ekor. Apabila peternak domba menggunakan tenaga kerja sewa maka setiap HOK nya akan berkonsekuensi terhadap pengurangan total keuntungan wilayah sebesar Rp 80.538,09. 7.2.2.3.Pemenuhan Kebutuhan Pakan Ternak Domba Kebutuhan pakan ternak aktivitas ternak domba pada kondisi tidak terintegrasi SI seluruhnya dipenuhi dengan rumput lapang. Secara keseluruhan usahaternak domba pada model SI memanfaatkan rumput lapang yang tersedia sebanyak 60 persen. 7.2.2.4.Produksi Daging dan Limbah Ternak Domba Domba sebanyak 392 ekor berpotensi untuk menghasilkan daging sebanyak 552,72 kg dan limbah domba sekitar 18 ton. Seluruh daging yang dihasilkan seolah-olah dijual ke luar desa. Seluruh limbah domba yang dihasilkan dijual ke luar desa karena tidak adanya hubungan terintegrasi antara ternak domba dengan aktivitas memproduksi pupuk bokashi. Setiap peningkatan jumlah produk daging dan limbah domba yang dijual dapat meningkatkan total keuntungan model terpadu masing-masing Rp 21.000,00 dan Rp 142,86 untuk setiap kilogram produk tersebut. 7.2.3. Kegiatan Usahaternak Kelinci 7.2.3.1.Pengusahaan Indukan Kelinci Model SI dan model SII menunjukkan jumlah pengusahaan indukan kelinci yang berbeda. Jumlah indukan kelinci yang dibudidayakan pada kondisi optimal SII adalah 13,3 persen lebih tinggi daripada jumlah indukan kelinci yang diusahakan pada model SI. Hasil analisis optimal aktivitas memeliharan indukan kelinci dapat dilihat pada Tabel 25 berikut ini. Tabel 25 menunjukkan bahwa pada kondisi optimal aktivitas ternak kelinci memiliki nilai reduced cost. Munculnya nilai reduced cost pada aktivitas-aktivitas yang masuk dalam hasil solusi optimal merupakan hal yang tidak biasa (Siswanto 2007). Kemunculan nilai reduced cost tersebut dalam penelitian ini disebabkan karena adanya kendala bilangan bulat pada variabel aktivitas ternak kelinci. Reduced cost yang bernilai positif tersebut sebenarnya menunjukkan kondisi optimal tanpa kendala bilangan
105
bulat menghasilkan jumlah pemeliharaan indukan kelinci yang lebih sedikit daripada hasil solusi optimal dengan menggunakan kendala bilangan bulat. Tabel 25. Hasil Analisis Optimal Jumlah Pemeliharaan Indukan Kelinci pada Model SI dan Model SII Model
Aktivitas produksi
Reduced Cost
(ekor indukan)
(Rp)
SI
3.610
15.458,66
SII
4.090
8.910,04
Apabila jumlah indukan kelinci yang dipelihara model SI ditingkatkan maka dapat merugikan. Besarnya kerugian yang ditanggung untuk peningkatan setiap ekor indukan kelinci yang dipelihara model SI adalah Rp 15.458,66 sedangkan pada model SII sebesar Rp 8.910,04. Jumlah indukan kelinci model SI yang lebih sedikit daripada jumlah indukan yang dibudidayakan pada model SII disebabkan oleh adanya keterbatasan ketersediaan tenaga kerja dan ketersediaan alternatif pemenuhan kebutuhan pakan. Adanya alternatif pemenuhan kebutuhan pakan selain menggunakan rumput misalnya dengan silase, dapat mengurangi sifat kompetitif penggunaan tenaga kerja untuk aktivitas pemeliharaan kelinci dan aktivitas mencari pakan rumput untuk kelinci. 7.2.3.2.Kebutuhan dan Penggunaan Tenaga Kerja pada Usahaternak Kelinci Cukup banyaknya jumlah kelinci yang dibudidayakan pada model SI dan SII menyebabkan ketersediaan tenaga kerja dalam keluarga peternak kelinci tidak mampu mencukupi total kebutuhan tenaga kerja. Akibatnya peternak kelinci menggunakan tenaga kerja sewa dengan jumlah yang bervariasi antara model SI dan model SII. Pada model SI, tenaga kerja dalam keluarga peternak kelinci hanya mampu memenuhi 25,37 persen (1020 HOK) total kebutuhan tenaga kerja untuk membudidayakan kelinci sebanyak 3.610 ekor. Sisanya sebanyak 74,63 persen (3000,1 HOK) dipenuhi dengan menyewa dari luar keluarga. Dari curahan tenaga kerja sebanyak 4.020,1 HOK, 75,52 persen (3036 HOK) tenaga kerja dilakokasikan untuk memelihara kelinci sedangkan sisanya sebanyak 24,48 persen (984,1 HOK) digunakan untuk mencari pakan rumput.
106
Kebutuhan tenaga kerja usahaternak kelinci pada kondisi optimal model SII adalah 0,57 persen lebih rendah daripada model SI namun jumlah indukan kelinci yang dipelihara 13,3 persen lebih banyak daripada model SI. Adanya pemenuhan kebutuhan pakan kelinci berasal dari silase sangat berperan dalam mengurangi curahan tenaga kerja untuk mencari pakan hijauan lapang sehingga dapat meningkatkan jumlah kelinci yang dipelihara. Sebanyak 25,52 persen (1020 HOK) curahan tenaga kerja berasal dari tenaga kerja dalam keluarga sedangkan sisanya sebanyak 74,48 persen (2.977,16 HOK) berasal dari tenaga kerja luar keluarga. Curahan tenaga kerja yang ditujukan untuk kegiatan mencari pakan hijauan lapang adalah sebesar 13,95 persen (557,47 HOK) dan 86,05 persen (3.439,69 HOK) digunakan untuk aktivitas pemeliharaan kelinci. Penggunaan tenaga kerja dalam keluarga peternak kelinci yang mencapai 100 persen
menunjukkan bahwa keberadaan tenaga kerja dalam keluarga
peternak kelinci merupakan sumberdaya pembatas. Hasil analisis model SI dan model SII menunjukkan bahwa nilai tenaga kerja dalam keluarga per HOK peternak kelinci adalah 222,2 persen lebih mahal daripada upah per HOK tenaga kerja sewa. Peran silase sebagai substitusi pakan mampu menghemat curahan tenaga kerja untuk aktivitas ternak kelinci. Khususnya adalah pada aktivitas mencari pakan berupa rumput lapang. Kondisi ini menunjukkan bahwasanya keberadaan silase mampu mendukung aktivitas ternak kelinci sehingga tenaga kerja yang seharusnya digunakan untuk mencari pakan hijauan lapang, dapat dialokasikan untuk aktivitas memelihara kelinci. Akibatnya jumlah indukan kelinci yang dipelihara lebih banyak dan secara proporsional akan meningkatkan produksi anakan dan limbah kelinci. 7.2.3.3.Pemenuhan Kebutuhan Pakan Ternak Kelinci Model SI menunjukkan bahwa seluruh kebutuhan ternak kelinci dipenuhi dengan rumput lapangan. Hal ini disebabkan karena pada model SI setiap kegiatan usahaternak belum terintegrasi sehingga 100 persen pakan kelinci dipenuhi dengan mencari rumput lapangan. Pada model SII, kebutuhan hijauan ternak dipenuhi dengan rumput lapang (50 persen) dan dengan silase (50 persen) yang
107
dapat diperoleh melalui pemanfaatan silase di dalam desa, membeli silase dari luar desa maupun kombinasi keduanya. Ternak kelinci model SII sebaiknya memenuhi 100 persen kebutuhan pakan silase dengan cara memanfaatkan silase yang diproduksi di dalam desa. Setiap kilogram rumput lapang yang digunakan untuk pakan ternak, memiliki nilai yang lebih tinggi daripada setiap kilogram silase yang dimanfaatkan untuk pakan ternak. Nilai rumput per kilogramnya (Rp 1.610,76) adalah 147,86 persen lebih tinggi daripada nilai silase per kilogramnya (Rp 649,85). Artinya, penggunaan silase adalah lebih menguntungkan karena nilai per kilogram silase yang dimanfaatkan sebagai pakan ternak adalah lebih murah daripada nilai rumput setiap kilogramnya. Selain itu potensi penggunaan silase dalam proporsi pakan yang lebih besar mampu meningkatkan curahan tenaga kerja untuk memelihara kelinci sehingga indukan kelinci yang dipelihara semakin banyak dan produk yang dihasilkan pun akan meningkat. 7.2.3.4. Produk Utama dan Limbah Usahaternak Kelinci Produk utama anakan kelinci dan produk sampingan berupa kotoran dan urin kelinci model SI seluruhnya dijual ke luar desa. Tidak adanya pemanfaatan limbah kelinci sebagai bahan baku aktivitas produksi bokashi pupuk kandang di Desa Karehkel menyebabkan limbah-limbah tersebut lebih menguntungkan jika dijual ke luar desa. Setiap peningkatan jumlah anakan kelinci yang dijual per ekornya akan meningkatkan total keuntungan wilayah sebesar harga per ekor anakan kelinci yang dijual yakni Rp 10.000,00. Begitu juga dengan adanya peningkatan penjualan urin dan kotoran kelinci setiap unitnya akan berdampak pada kenaikan nilai fungsi tujuan masing-masing sebanyak Rp 1.250,00 dan Rp 500,00. Berbeda halnya pada model SII yang terintegrasi dimana sebagian limbah kelinci yang dihasilkan dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan pupuk bokashi. Sebanyak 57,3 ton kotoran kelinci yang dihasilkan, 19,73 persen (11.298,46 kg) dimanfaatkan di dalam desa untuk memenuhi kebutuhan bahan baku pembuatan pupuk bokashi sedangkan sisanya dijual ke luar desa. Pemanfaatan kotoran kelinci di dalam desa mampu memenuhi 100 persen kebutuhan bahan baku kotoran kelinci pada aktivitas produksi pupuk bokashi. 108
Kondisi serupa juga ditunjukkan pada produk urin kelinci dimana urin yang diproduksi mampu memenuhi 100 persen kebutuhan urin kelinci aktivitas produksi pupuk bokashi. Bahkan produksi urin kelinci tersebut berlebih sehingga sisanya sebanyak 98,74 persen dijual ke luar desa. Hasil analisis model SII juga menunjukkan bahwa setiap kilogram kotoran kelinci maupun urin kelinci yang dimanfaatkan sebagai bahan baku pupuk bokashi memiliki nilai yang sama dengan harga pasar yakni masing-masing Rp 500,00 dan Rp 1.250,00. 7.2.4. Kegiatan Produksi Silase 7.2.4.1.Jumlah Produksi Silase Jumlah silase yang diproduksi pada model SI dan SII masing-masing adalah sebesar 1.274.980,75 kilogram dan 1.279.568,625 kilogram. Perbedaan jumlah silase yang diproduksi akan berdampak pada perbedaan kebutuhan bahan baku, aktivitas membeli bahan baku, penggunaan tenaga kerja, dan aktivitas penjualan silase yang sangat erat kaitannya dengan ada atau tidaknya pemanfaatansilase di dalam desa. 7.2.4.2.Kebutuhan dan Penggunaan Tenaga Kerja Seluruh tenaga kerja dalam keluargaprodusen silase pada model SI dan model SII telah habis terpakai sehingga tenaga kerja dalam keluarga produsen silase menjadi sumberdaya pembatas. Tenaga kerja sewa menutupi kekurangan tenaga kerja produksi silase model SI sebanyak 96 persen. Tenaga kerja dalam keluarga produsen silase memiliki nilai setara dengan Rp 80.538,09 yakni 2,22 kali lipat lebih tinggi dari upah tenaga kerja sewa per unit di Desa Karehkel. Jumlah produksi silase SII yang lebih tinggi daripada model SI tentu saja berdampak pada kebutuhan tenaga kerja yang lebih banyak. Seperti halnya model SI, tenaga kerja dalam keluarga produsen silase merupakan sumberdaya pembatas dalam aktivitas produksi silase karena penggunaanya telah mencapai 100 persen atau habis terpakai. Tenaga kerja dalam keluarga produsen silase model SII memiliki nilai kelangkaan sebesar Rp 80.538,09 yakni sama dengan nilai kelangkaan tenaga kerja dalam keluarga model SI. Tenaga kerja dalam keluarga hanya mampu memenuhi kebutuhan tenaga kerja produksi silase model SII sekitar 4 persen saja dan sisanya dipenuhi dengan tenaga kerja sewa. 109
7.2.4.3.Pemenuhan Kebutuhan Bahan Baku Hijauan Tidak adanya hubungan terintegrasi yang dibangun pada model SI menyebabkan kebutuhan bahan baku hijauan aktivitas produksi silase dipenuhi sepenuhnya dengan membeli limbah organik pasar yang berasal dari luar desa. Berbeda halnya pada model SII dimana terdapat hubungan integrasi sehingga apabila limbah sayuran organik di dalam desa tidak mencukup maka kekurangannya dapat dipenuhi dengan membeli limbah organik pasar dari luar desa. Kemampuan aktivitas usahatani sayuran organik dalam memenuhi kebutuhan bahan baku hijauan silasee sangatlah rendah. Hal ini ditunjukkan dengan daya dukung usahatani sayuran organik hanya sebesar 0,36 persen (5.252,35 kg) dalam memenuhi kebutuhan bahan baku hijauan silase. Aktivitas usahatani sayuran organik tidak dapat menyediakan
limbah sayuran dengan
jumlah lebih banyak karena peningkatan produksi limbah sayuran harus diikuti dengan peningkatan luasan tanam sayuran organik. Pada model SII penggunaan lahan sayuran organik telah mencapai 100 persen.
Setiap kilogram limbah
sayuran organik yang dimanfaatkan sebagai bahan baku hijauan silase memiliki nilai Rp 153,64 yakni setara dengan harga setiap kilogram limbah sayuran pasar di pasaran. 7.2.4.4. Aktivitas Menjual dan Pemanfaatan Silase Seluruh silase model SI yang diproduksi di dalam desa dijual ke luar desa karena tidak adanya pemanfaatan silase sebagai pakan ternak di Desa Karehkel. Pakan ternak kelinci maupun domba model SI dipenuhi seluruhnya dengan rumput lapang. Adanya peningkatan jumlah silase yang dijual ke luar desa setiap kilogramnya maka dapat meningkatkan total keuntungan sebesar Rp 649,85. Silase yang diproduksi pada kondisi optimal model SII sebagian dialokasikan untuk pakan ternak di dalam desa dan sisanya dijual ke luar desa. Banyaknya pemanfaatan silase sebagai pakan ternak di Desa Karehkel hanya sebesar 2,18 persen (27,9 ton) dan sisanya sebanyak 97,82 persen (1.251 ton) dijual ke luar desa. Setiap kilogram silase yang dimanfaatkans sebagai pakan ternak di dalam desa memiliki nilai yang sama dengan harga jual silase di pasaran yakni Rp 649,85. 110
7.2.5. Kegiatan Produksi Pupuk Bokashi 7.2.5.1.Jumlah Produksi Pupuk Bokashi Keputusan optimal aktivitas produksi bokashi pupuk kandang pada model SI dan SII menunjukkan hasil yang sama yakni sebesar 25,5 ton. Jumlah produksi pupuk bokashi yang sama menunjukkan bahwa jumlah sumberdaya dan input produksi yang digunakan adalah sama. Perbedaannya terletak pada sumber pemenuhan inputnya yakni sebagian besar berupa limbah ternak baik melalui pemanfaatan limbah ternak di dalam desa atau membelinya dari luar desa. Istilah membeli produk antara diartikan sebagai aktivitas unit pelaksana model usahatani terpadu yakni wilayah Desa Karehkel, untuk membeli produk antara dari luar Desa Karehkel. Istilah memanfaatkan memiliki arti menggunakan produk antara yang dihasilkan di dalam sistem (indigenous) atau di dalam Desa Karehkel untuk aktivitas usaha di dalam Desa Karehkel itu sendiri. 7.2.5.2.Pemenuhan Kebutuhan Bahan Baku Pupuk Bokashi Bahan baku aktivitas produksi bokashi pupuk kandang terdiri dari 28,8% kotoran domba, 28,8% kotoran kelinci, 0,4% urin kelinci dan sisanya sebanyak 42% bahan lain terdiri dari sampah dedaunan, dedak, molasses, MOL dan air kelapa. Pada model ini yang termasuk dalam aktivitas membeli atau memanfaatkan produk antara antara lain membeli atau memanfaatkan kotoran domba, kotoran kelinci, dan urin kelinci. Sebagai model yang diterapkan pada kondisi tidak terintegrasi maka kebutuhan limbah ternak untuk aktivitas produksi pupuk bokashi model SI seluruhnya dipenuhi dengan membeli dari luar desa. Adanya
hubungan
terintegrasi
yang
dibangun
pada
model
SII
menyebabkan aktivitas produksi pupuk bokashi memiliki alternatif untuk memenuhi kebutuhan bahan baku limbah ternak. Alternatif yang tersedia adalah dengan membeli limbah ternak tersebut dari luar desa atau dengan memanfaatkan limbah ternak yang dihasilkan di Desa Karehkel atau kombinasi keduanya. Model SII menunjukkan bahwa seluruh kebutuhan kotoran domba dipenuhi dengan membelinya dari luar desa. Hal ini disebabkan karena di Desa Karehkel tidak terdapat aktivitas beternak domba sehingga tidak ada pula kotoran domba yang dihasilkan. Kebutuhan kotoran kelinci dan urin kelinci dapat dipenuhi seluruhnya
111
dengan memanfaatkan limbah kelinci yang dihasilkan di dalam desa. Usaha produksi pupuk bokashi memanfaatkan sekitar 19,73 persen kotoran kelinci dan 1,26 persen urin kelinci yang dihasilkan oleh aktivitas ternak kelinci di Desa Karehkel. Berdasarkan nilai dual price hasil analisis optimal dapat diketahui bahwasanya sebenarnya setiap kilogram kotoran kelinci dan urin kelinci yang dimanfaatkan sebagai bahan baku aktivitas produksi pupuk bokashi memiliki nilai yang sama dengan harga produk-produk antara tersebut di pasaran. Nilai kotoran kelinci dan urin kelinci saat dimanfaatkan sebagai bahan baku aktivitas produksi bokashi di Desa Karehkel masing-masing adalah Rp 500,00 dan Rp 1.250,00. Pemanfaatan limbah ternak yang diproduksi di dalam desa membuat biaya produksi aktivitas produksi bokashi model SII lebih murah dan keuntungan yang diperoleh lebih tinggi pada jumlah produksi bokashi yang sama. Adanya pemanfaatan kotoran kelinci dan urin kelinci pada model SII dapat menghemat biaya sekitar 65,1 persen. Penghematan tersebut berdampak langsung pada peningkatan keuntungan aktivitas produksi bokashi model SII dibandingkan dengan model SI. Keuntungan aktivitas produksi pupuk bokashi SII 60,26 persen lebih tinggi daripada keuntungan produksi bokashi model SI. Tabel 26 akan menunjukkan penerimaan dan biaya aktivitas produksi pupuk bokashi model SI dan SII pada kondisi optimal. Tabel 26. Penerimaan dan Biaya Aktivitas Produksi Pupuk Bokashi Model SI dan Model SII pada Kondisi Optimal Komponen Penerimaan, Pengeluaran Penerimaan Jual bokashi Total penerimaan Pengeluaran Biaya bokashi non limbah ternak Beli kotoran domba Beli kotoran kelinci Beli urin kelinci Sewa tenaga kerja Total Pengeluaran Total Keuntungan
Total (Rp) Model SI
Model SII
18,680,280.00 18,680,280.00
18,680,280.00 18,680,280.00
1,520,055.00 1,614,098.00 5,649,230.00 196,150.00 0.00 8,979,533.00 9,700,747.00
1,520,055.00 1,614,098.00 0.00 0.00 0.00 3,134,153.00 15,546,127.00
112
7.2.5.3.Kebutuhan dan Penggunaan Tenaga Kerja Produksi Pupuk Bokashi Tenaga kerja dalam keluarga yang tersedia (255 HOK) habis terpakai dalam kegiatan produksi pupuk bokashi sebanyak 25,5 ton pada model SI maupun model SII. Penggunaan tenaga kerja dalam keluarga yang telah mencapai 100 persen memberikan informasi bahwa sumberdaya tenaga kerja keluarga produsen pupuk bokashi menjadi sumberdaya yang langka. Setiap unit tenaga kerja dalam keluarga yang digunakan untuk aktivitas produksi pupuk bokashi memiliki nilai Rp 38.042,13 yakni 52,17 persen lebih tinggi daripada biaya untuk menyewa tenaga kerja per unitnya. 7.2.5.4.Aktivitas Menjual Pupuk Bokashi Hasil analisis model SI tentu saja menunjukkan bahwa 100 persen pupuk bokashi yang diproduksi dijual ke luar desa. Kondisi serupa juga terjadi pada hasil analisis output optimal model SII dimana seluruh pupuk bokashi yang diproduksi dijual ke luar desa sehingga pupuk bokashi menjadi produk akhir. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada model SII tidak terdapat pemanfaatan pupuk bokashi sebagai input produksi usahatani sayuran organik. Artinya antara usahatani sayuran organik dengan aktivitas produksi pupuk bokashi tidak terdapat hubungan yang terintegrasi. 7.2.6. Status dan Penggunaan Sumberdaya Pendukung Seperti halnya yang telah dijelaskan pada bagain sebelumnya bahwa sumberdaya pendukung yang dimasukkan dalam model ini terdiri dari ketersediaan tenaga kerja sewa di Desa Karehkel, ketersediaan rumput lapang, dan ketersediaan limbah organik pasar yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan silase. Adanya perbedaan jumlah pengusahaan masing-masing aktivitas pada model SI dan model SII menyebabkan tingkat penggunaan sumberdaya pendukung juga berbeda. Status sumberdaya yang dimaksud adalah posisi sumberdaya tersebut yang melimpah atau bahkan telah habis terpakai. Model SI dan model SII menunjukkan kondisi yang hampir sama dimana sumberdaya tenaga kerja sewa telah habis terpakai sedangkan rumput lapang dan limbah pasar organik tidak habis terpakai.
113
Tabel 27 berikut ini akan menyajikan ketersediaan sumberdaya pendukung pada model SI dan model SII. Tabel 27. Ketersediaan Sumberdaya Pendukung pada Kondisi Optimal Model TSI dan Model SII Model SI Jenis Sumberdaya Pendukung Tenaga kerja sewa Rumput lapang Limbah organik pasar
Satuan HOK kg kg
Model SII
0 20,29
Nilai Kelangkaan (Rp) 55.538,09 0
82,41
0
Sisa Ketersediaan
0 94.851,25
Nilai Kelangkaan (Rp) 55.538,09 0
146,18
0
Sisa Ketersediaan
Tenaga kerja sewa di Desa Karehkel dikategorikan sebagai sumberdaya pendukung yang bersifat langka sehingga keberadaannya menjadi sumberdaya pendukung yang membatasi setiap kegiatan usaha. Sebanyak 9.120 tenaga kerja sewa yang tersedia, pada model SI sebanyak 32,9 persen (3000,09 HOK) digunakan untuk membantu aktivitas ternak kelinci dan sisanya sebanyak 67,1 persen ( 6.119,9 HOK) digunakan untuk menunjang aktivitas produksi silase. Pada model SII, tenaga kerja sewa juga digunakan oleh aktivitas produksi silase dengan proporsi yang lebih besar yakni 67,36 persen (6.142,84 HOK) sedangkan sisanya dipergunakan dalam aktivitas ternak kelinci. Nilai kelangkaan tenaga kerja sewa per HOK di Desa Karehkel 122 persen lebih tinggi daripada upah tenaga kerja per HOK pada kondisi aktual. Artinya, setiap penggunaan tenaga kerja sewa mampu menghasilkan keuntungan yang lebih tinggi daripada biaya sewa tenaga kerja di Desa Karehkel. Meskipun demikian, apabila dibandingkan dengan nilai kelangkaan tenaga kerja dalam keluarga peternak kelinci dan produsen silase model SI dan model SII maka nilai kelangkaan tenaga kerja sewa 45 persen lebih rendah. Kondisi tersebut dapat menjelaskan bahwasanya pada harga output yang sama (jenis produk yang sama) maka setiap tambahan tenaga kerja dalam keluarga mampu menghasilkan penerimaan yang lebih besar daripada tenaga kerja sewa. Di sisi lain, nilai kelangkaan tenaga kerja sewa 31,5 persen lebih tinggi. Dalam hal penggunaan rumput lapang, model SI menggunakan 40,09 persen rumput yang tersedia untuk pakan kelinci, 59,9 persen untuk pakan domba,
114
dan yang tersisa hanyalah 0,01 persen. Adanya rumput yang tersisa menyebabkan sumberdaya ini bukanlah merupakan sumberdaya yang bersifat langka. Penggunaan rumput SI lebih jauh dapat menyebabkan rumput menjadi sumberdaya pembatas pada aktivitas ternak di Desa Karehkel. Berbeda halnya pada status ketersediaan rumput model SII dimana rumput yang tersisa masih cukup melimpah. Rumput pada model SII hanya dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan pakan kelinci sehingga penggunaannya relatif sedikit daripada model SI. Jumlah rumput yang digunakan untuk pakan ternak kelinci adalah sebanyak 22,71 persen dari total rumput yang tersedia. Keberadaan limbah sayuran pasar pada kedua model tidak menjadi sumberdaya pembatas dalam pemenuhan kebutuhan bahan baku silase di Desa Karehkel. Jumlah limbah sayuran pasar yang tersisa tidak begitu banyak yakni masing-masing pada model SI dan SII adalah sebanyak 0,006 persen dan 0,01 persen. Penggunaan limbah pasar dengan tidak terkontrol dapat menyebabkan limbah pasar menjadi sumberdaya pendukung yang bersifat terbatas atau langka. 7.2.7. Aliran Produk dan Total Keuntungan Model SI dan Model SII Faktor ekonomi menjadi salah satu penentu keberhasilan penerapan pertanian terpadu di Desa Karehkel. Indikator ekonomi yang digunakan dalam model ini adalah berupa total keuntungan wilayah. Apabila penerapan pertanian terpadu (terintegrasi) pada skala wilayah dapat memberikan keuntungan yang lebih tinggi daripada penerapan setiap aktivitas usaha secara tidak terintegrasi maka hal tersebut dapat menjadi insentif ekonomi untuk menerapkan pertanian terpadu. Selain itu akan dilakukan pula analisis mengenai aliran produk pada model SI dan model SII sehingga dapat memberikan informasi mengenai produk yang bernilai ekonomi dan kedudukan produk pada model yang dibangun apakah sebagai produk akhir, produk antara, atau keduanya. 7.2.7.1.Aliran Produk Model SI dan Model SII a.
Aliran Produk Model SI Uraian pada bagian sebelumnya telah menerangkan bahwa pada model SI
diterapkan pada kondisi tidak terintegrasi. Produk yang dihasilkan baik produk utama maupun produk sampingan dijual ke luar desa. Limbah-limbah yang 115
dihasilkan dari setiap aktivitas usahatani sama sekali tidak dimanfaatkan di dalam desa. Gambar 4 berikut ini akan mengilustrasikan aliran produk pada model SI.
Jual sayur (kg) Selada : 544.6 Kangkung : 25.954,08 Caisim : 2.260,44 B. Hijau : 2.365,5 B. Merah : 109,85 Jual limbah sayur (kg) 5.252,35
Produksi Sayur (bedeng) Selada : 35 Kangkung : 556 Caisin : 92 Bayam merah : 5 Bayam hijau : 95
Jual anakan kelinci (ekor) 25.270
Jual kotoran kelinci (kg) 50.540
Jual limbah domba (kg) 18.028
Produksi daging domba (kg) 552.72
Jual silase (kg) 1.274.980,75 Jual urin (kg) 10.974,34
Jual pupuk bokashi (kg) 25.500
Kelinci (ekor) 3.610
Bokashi (kg) 25.500
Beli kotoran domba(kg) 11.298,46
40,09 % (49.204,3 kg)
Domba (ekor) 392
Beli kotoran kelinci(kg) 11.298,46
Beli urin kelinci (kg) 156,92
Beli pupuk kotoran ayam (kg) 35.822,25
Silase (kg) 1.274.980,75
Beli limbah organik pasar (kg) 1.441.942,63
Ketersediaan rumput (kg) 122.724,,6
59,9% (73500 kg)
Keterangan: : Produk dijual ke luar desa : Aktivitas dan aliran produk di dalam desa : Aktivitas dan aliran produk dari luar desa Gambar 4. Aliran Produk Model SI
116
Gambar 4 selain menunjukkan 100 persen produk yang dihasilkan dijual ke luar desa, input produksi berupa pupuk kotoran ayam, urin kelinci, kotoran kelinci, kotoran domba, limbah organik pasar seluruhnya juga dibeli dari luar desa dengan harga pasar yang berlaku seperti halnya yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya. Aliran produk tersebut dapat menjelaskan kedudukan produk yang dihasilkan, baik produk utama maupun produk sampingan dari setiap aktivitas usaha dalam model SI adalah sebagai produk akhir. Final product yang memiliki nilai ekonomi diantaranya selada, kangkung, caisin, bayam merah, bayam hijau, limbah sayuran, kotoran domba, daging domba, kotoran kelinci, urin kelinci, anakan kelinci, silase, dan pupuk bokashi. b.
Aliran Produk Model SII Keterkaitan antara aktivitas satu dengan aktivitas lainnya dalam suatu
hubungan yang terintegrasi pada model SII menyebabkan aliran produk menjadi lebih kompleks. Berdasarkan analisis kualitatif model SII maka dapat diperoleh informasi bahwasanya model usahatani sayuran organik terpadu tidak dapat diterapkan di Desa Karehkel. Penyebabnya adalah tidak terintegrasinya aktivitas usahatani sayuran organik dengan aktivitas produksi pupuk bokashi. Model SII menunjukkan tidak aktivitas pemanfaatan pupuk bokashi di dalam desa. Atau dengan kata lain, seluruh pupuk bokashi yang diproduksi lebih baik dijual ke luar desa dan kebutuhan pupuk organik dipenuhi dengan membeli kotoran ayam yang berasal dari luar desa. Adanya keputusan penggunaan suatu produk untuk dua tujuan dapat menunjukkan hubungan yang kompetitif. Kondisi tersebut dapat ditunjukkan misalnya oleh produk silase yang dihasilkan pada model SII. Pada kondisi terintegrasi, silase dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan atau dijual ke luar desa. Peningkatan pemanfaatan silase akan diikuti dengan penurunan jumlah silase yang dijual. Sejumlah silase yang tidak jadi dijual merupakan sebuah korbanan agar dapat meningkatkan pemanfaatan silase di dalam desa. Gambar 5 berikut ini dapat menunjukkan hubungan kompetitif suatu produk untuk dua alternatif tujuan penggunaan dan akan memberikan informasi mengenai aliran produk model SII. Selain itu Gambar 5 juga dapat menggambarkan kedudukan produk sebagai produk akhir, produk antara, maupun sekaligus keduanya. 117
Jual sayur (kg) Selada : 544.6 Kangkung : 25.954,08 Caisim : 2.260,44 B. Hijau : 2.365,5 B. Merah : 109,85
Pemanfaatan limbah sayur (kg) 5.252,35
Produksi Sayur (bedeng) Selada : 35 Kangkung : 556 Caisin : 92 Bayam merah : 5 Bayam hijau : 95
Jual silase (kg) 1.251.695,25
97,82%
Jual anakan kelinci (ekor) 25.270
Jual kotoran kelinci (kg) 45.961,5
80,27%
100%
Silase (kg) 1.274.980,75
19,73%
Produksi kotoran kelinci (kg) 57.260
Ternak kelinci (ekor) 4.090
Jual bokashi (kg) 25.500
Pemanfaatan kotoran kelinci (kg) 11.298,46
Jual urin (kg) 12.276,68
98,74% Produksi urin (kg) 12.433,6
2,18% Pemanfaatan silase(kg) 27.794,58
Pupuk Bokashi (kg) 25.500
1,26% Pemanfaatan urin (kg) 156,92
Beli pupuk kotoran ayam (kg) 35.822,25
Beli limbah organik pasar (kg) 1.441.878,88
Pakan rumput (kg) 27.873,35
Beli kotoran domba(kg) 11.298,46
Keterangan : : Produk akhir dijual ke luar desa : Aktivitas dan aliran produk di dalam desa : Aktivitas dan aliran produk dari luar desa : Aktivitas usaha/produksi : Produk antara Gambar 5. Aliran Produk Model SII Hubungan kompetitif pada sebuah produk juga dapat ditunjukkan pada produk pupuk bokashi. Peningkatan jumlah pupuk bokashi yang akan dimanfaatkan sebagai pupuk organik di dalam desa harus diikuti dengan korbanan sejumlah pupuk bokashi yang tidak jadi dijual ke luar desa. Berdasarkan analisis model SII, menunjukkan bahwasanya setiap pupuk bokashi yang dimanfaatkan di dalam desa memiliki nilai yang sama dengan harga jual pupuk bokashi yakni Rp 118
732,56 per kilogramnya. Misalnya peningkatan pemanfaatan pupuk bokashi di dalam desa sebanyak 1 kg harus diikuti dengan penurunan silase yang dijual sebanyak 1 kg. Apabila terdapat peningkatan pemanfaatan pupuk bokashi di dalam desa sebanyak 1 kg maka akan secara langsung mengurangi jumlah pupuk bokashi yang dijual sehingga penerimaan GPW akan berkurang sebesar Rp 732,56. Pada tingkat produktivitas sayuran organik dan harga sayuran per kilogram yang sama tentu saja pemanfaatan pupuk bokashi akan merugikan. Usahatani sayuran organik harus mengeluarkan biaya pupuk yang lebih tinggi daripada saat menggunakan pupuk kotoran ayam. Harga pupuk bokashi per kilogram yang diproduksi (Rp 732,56) adalah 340 persen lebih mahal daripada harga kotoran ayam per kilogramnya (Rp 166,67). Keputusan memanfaatkan pupuk bokashi di dalam desa adalah merugikan sistem (wilayah) karena biaya produksi yang digunakan untuk memproduksi sayuran organik akan meningkat tanpa disertai dengan kenaikan harga atau peningkatan produktivitas
dan
produsen pupuk bokashi akan kehilangan penerimaan sebanyak Rp 732,56 untuk setiap pupuk bokashi yang dimanfaatkan. Oleh karena itu antara usahatani sayuran organik dan aktivitas produksi pupuk bokashi tidak dapat terintegrasi. Berdasarkan aliran produk pada Gambar 5 di atas dapat dilihat bahwasanya produk-produk yang termasuk produk akhir antara lain sayuran organik segar, anakan kelinci, kotoran kelinci, urin kelinci, silase, dan pupuk bokashi. Selain sebagai produk akhir, kotoran kelinci, urin kelinci, dan silase juga berkedudukan sebagai produk antara (intermediate product). Keberadaan limbah sayuran juga berfungsi sebagai produk antara. Kotoran dan urin kelinci dipergunakan sebagai bahan baku produksi pupuk bokashi, silase yang dihasilkan digunakan sebagai pakan kelinci, dan limbah sayuran digunakan sebagai bahan baku hijauan silase. Jadi dalam sebuah sistem pertanian terpadu sebuah produk dapat memiliki dua kedudukan yakni sebagai produk akhir maupun produk antara. Final product yang memiliki nilai ekonomi pada model SII antara lain sayuran organik segar, anakan kelinci, kotoran kelinci, urin kelinci, pupuk bokashi dan silase. Keberadaan produk antara sebenarnya juga memiliki nilai ekonomi pada saat dimanfaatkan sebagai input produksi aktivitas usaha lain. Nilai ekonomi
119
produk antara dapat dilihat pada nilai dual price produk antara yakni setara dengan harga pasar per unit produk antara tersebut. 7.2.7.2.Perbandingan Total Keuntungan Model SI dan Model SII Berdasarkan analisis aliran produk model SII pada bagian sebelumnya menunjukkan bahwa pertanian terpadu tidak dapat diterapkan di Desa Karehkel. Meskipun demikian, adanya hubungan sinergis antara usahatani sayuran organikaktivitas produksi silase, produksi silase dengan ternak kelinci, dan ternak kelinci dengan aktivitas produksi bokashi dapat menghasilkan total keuntungan yang lebih tinggi daripada model tidak terintegrasi SI. Adanya hubungan yang sinergis juga dapat berdampak terhadap adanya penghematan biaya produksi, khususnya pada aktivitas produksi pupuk bokashi pada model SII. Kondisi tersebut membuktikan
bahwasanya
pertanian
terpadu
dapat
berpotensi
untuk
meningkatkan total keuntungan baik dengan cara peningkatan jumlah ouput produksi maupun penghematan yang dapat dilakukan. Hasil pemecahan optimal menunjukkan bahwa total keuntungan yang dihasilkan model SII 0,74 persen lebih tinggi daripada model SI. Komponen penerimaan terbesar pada kedua model tersebut berasal dari penjualan silase yakni rata-rata 62,06 persen dari total penerimaan. Aktivitas ternak kelinci juga menunjukkan potensi yang cukup besar dalam menyumbang penerimaan model SI dan SII. Penerimaan dari aktivitas ternak kelinci berasal dari penjualan tiga produk yakni penjualan anakan kelinci, penjualan kotoran kelinci, dan penjualan urin kelinci. Produk-produk kelinci menghasilkan penerimaan terbesar kedua setelah produk silase yakni berkontribusi rata-rata sebesar 23,3 persen. Komponen penerimaan terkecil pada kedua model berasal dari aktivitas penjualan pupuk bokashi. Pada komponen biaya, aktivitas memproduksi silase memberikan kontribusi terbesar terhadap pengeluaran model SI dan SII yakni rata-rata sebesar 70,19 persen dari total pengeluaran. Tabel 28 akan secara lengkap menyajikan komponen penerimaan dan komponen pengeluaran dari hasil analisis optimal model SI dan model SII.
120
Tabel 28. Perbandingan Total Keuntungan Model SI dan Model SII pada Kondisi Optimal Komponen Penerimaan/Pengeluaran Penerimaan Jual sayuran organik Jual limbah sayuran Jual daging domba Jual kotoran domba Jual anakan kelinci Jual kotoran kelinci Jual urin kelinci Jual Silase Jual bokashi Total Penerimaan Pengeluaran Biaya sayuran organik non pupuk Beli pupuk kotoran ayam Sewa tenaga kerja sayur Biaya domba non pakan Sewa tenaga kerja domba Biaya kelinci non pakan Sewa tenaga kerja kelinci Biaya silase non bahan baku hijauan Beli sampah organik pasar Sewa tenaga kerja silase Biaya bokashi non limbah ternak Beli kotoran kelinci Beli kotoran domba Beli urin kelinci Sewa tenaga kerja bokashi Total Pengeluaran Total Keuntungan
Model SI Total (Rp)
%
Model SII Total (Rp)
%
167,607,420.00 806,971.05 11,607,120.00 2,575,491.51 252,700,000.00 25,270,000.00 13,717,987.50 828,546,240.39 18,680,280.00 1,321,511,510.45
12.68 0.06 0.88 0.19 19.12 1.91 1.04 62.70 1.41 100.00
167,607,420.00 0.00 0.00 0.00 286,300,000.00 22,980,770.00 15,345,850.00 813,414,158.21 18,680,280.00 1,324,328,478.21
12.66 0.00 0.00 0.00 21.62 1.74 1.16 61.42 1.41 100.00
11,047,716.91 5,970,494.41 0.00 196,000.00 0.00 23,722,862.30 75,002,250.00 93,583,587.05 221,540,064.91 152,997,500.00 1,520,055.00 5,649,230.00 1,614,098.00 196,150.00 0.00 593,040,008.57 728,471,501.88
1.86 1.01 0.00 0.03 0.00 4.00 12.65 15.78 37.36 25.80 0.26 0.95 0.27 0.03 0.00 100.00
11,047,716.91 5,970,494.41 0.00 0.00 0.00 26,877,148.70 74,429,000.00 93,920,337.08 221,530,270.36 153,571,000.00 1,520,055.00 0.00 1,614,098.00 0.00 0.00 590,480,120.44 733,848,357.77
1.87 1.01 0.00 0.00 0.00 4.55 12.60 15.91 37.52 26.01 0.26 0.00 0.27 0.00 0.00 100.00
Jumlah pengusahaan setiap jenis sayuran organik model SI adalah sama dengan model SII (25,5 ton). Aktivitas ternak domba hanya ada pada model SI sehingga komponen biaya dan komponen penerimaan ternak domba model SII bernilai nol. Pada aktivitas produksi silase dan ternak kelinci model SII diusahakan lebih banyak daripada model SI. Adanya pemanfaatan silase untuk pakan ternak kelinci dan pemanfaatan limbah kelinci sebagai bahan baku pupuk bokashi pada model SII menyebabkan penerimaan dari penjualan produk silase dan kotoran kelinci menjadi lebih kecil daripada model SI. Pemanfaatan silase dan kotoran kelinci di Desa Karehkel pada model SII masing-masing adalah sebanyak
121
2,18 persen (27,9 ton) dan 19,73 persen (11,3 ton) secara langsung berdampak pada pengurangan jumlah silase dan kotoran kelinci yang dijual. Jika dibandingkan dengan model SI maka jumlah silase yang dijual pada model SII 1,83 persen lebih rendah dan penjualan kotoran kelinci model SII 9,06 persen lebih rendah. Pemanfaatan kotoran kelinci sebagai bahan baku pupuk bokashi di dalam desa dapat menghemat biaya pembelian kotoran kelinci sebesar 65,1 persen. Meskipun demikian, secara keseluruhan penghematan yang dilakukan pada aktivitas produksi pupuk bokashi tersebut tersebut tidak berdampak begitu besar bagi penghematan biaya pada model SII. Hal-hal tersebutlah yang menyebabkan peningkatan total keuntungan penerapan model SII tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan model SI. 7.3.
Analisis Pasca Optimal Analisis pasca optimal pada penelitian ini meliputi analisis sensitivitas dan
analisis skenario kebijakan penggunaan pupuk bokashi di dalam desa. Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui kepekaan model terhadap perubahanperubahan yang terjadi pada kondisi aktual. Analisis kebijakan penggunaan pupuk bokashi adalah skenario yang dirancang sedemikian rupa sehingga pada model SII dapat diterapkan pertanian terpadu. Setiap skenario tersebut tentu saja memiliki konsekuensi yang berbeda-beda terhadap keputusan optimal model dan berdampak langsung pada total keuntungan wilayah yang dihasilkan. Pada pemaparan selanjutnya akan dibahas secara lebih rinci mengenai analisis pasca optimal ini. 7.3.1. Skenario Model Usahatani Sayuran Organik Terpadu Produsen bokashi model SII lebih menguntungkan untuk menjual seluruh pupuk yang diproduksi ke luar desa sedangkan seluruh kebutuhan pupuk usahatani sayuran organik lebih baik jika dipenuhi dengan membeli dari luar desa. Pembuatan pupuk bokashi dan pupuk kotoran ayam adalah dua teknologi yang berbeda sehingga memiliki harga yang berbeda di pasaran. Harga pupuk kotoran ayam jauh lebih murah daripada pupuk bokashi. Oleh karena itu agar memungkinkan untuk menerapkan pertanian terpadu di Desa Karehkel perlu disusun skenario berupa kebijakan penggunaan pupuk bokashi untuk usahatani
122
sayuran organik dengan proporsi tertentu. Skenario kebijakan yang dibangun dalam penelitian ini berupa kewajiban pemakaian pupuk bokashi sebanyak 30 persen dari total kebutuhan pupuk organik, lalu dilanjutkan dengan proporsi yang terus meningkat yakni 50 persen, 70 persen, dan 100 persen. Skenario kebijakan yang dilakukan tentu saja akan berdampak pada perubahan total keuntungan wilayah. Analisis ekonomi pada skenario-skenario tersebut ditujuan untuk mengetahui besarnya peningkatan atau penurunan total keuntungan wilayah sehingga akan menentukan daya tarik ekonomi rencana penerapan pertanian terpadu ini di Desa Karehkel. Apabila adanya kebijakan tersebut menghasilkan total keuntungan yang lebih besar daripada kondisi tidak terintegrasi maka kondisi tersebut dapat menunjukkan adanya insentif ekonomi terhadap program pertanian terpadu sehingga akan menguntungkan apabila diterapkan. Apabila kondisi sebaliknya yang terjadi, maka program pertanian terpadu ini memerlukan insentif ekonomi yang lebih tinggi agar total keuntungan yang dihasilkan secara komparatif adalah minimal sama atau lebih tinggi daripada kondisi tidak terintegrasi. Insentif ekonomi yang digunakan dalam skenario ini adalah berupa kenaikan harga jual sayuran organik setiap kilogramnya. Tidak digunakannya insentif ekonomi berupa peningkatan jumlah produksi sayuran organik akibat penggunaan pupuk bokashi daripada pupuk kotoran ayam disebabkan karena dalam penelitian ini mengabaikan adanya pengaruh penggunaan input produksi yang berbeda terhadap jumlah produk yang dihasilkan. Selain itu penentuan peningkatan produksi akibat penggunaan pupuk bokashi tidak dapat dilakukan begitu saja karena memerlukan kajian teknis secara khusus mengenai dampak penggunaan pupuk bokashi bagi peningkatan produksi sayuran. Melalui skenario ini dapat diketahui peningkatan harga sayuran organik yang harus dilakukan untuk setiap kilogramnya sehingga total keuntungan yang dihasilkan adalah minimal sama dengan model SII. Harga produk lain diasumsikan tetap karena penggunaan pupuk bokashi merupakan input produksi usahatani sayuran organik sehingga sebagai kompensasinya harga per kilogram sayuran organik harus mengalami peningkatan.
123
7.3.1.1.Model Skenario I (MS1): Kewajiban Penggunaan Pupuk Bokashi Sebanyak 30 Persen dari Total Kebutuhan Pupuk Organik MS1menunjukkan bahwa jumlah pengusahaan setiap jenis sayuran organik, ternak kelinci, ternak domba, produksi silase, dan produksi pupuk bokashi adalah sama dengan kondisi optimal model SII. Aliran produk utama maupun produk sampingan yang dihasilkan usahatani sayuran organik, ternak kelinci, dan produksi silase juga sama. Perbedaannya adalah pada aliran produk pupuk bokashi dimana sebanyak 42,14 persen (10,7ton) pupuk bokashi yang diproduksi dimanfaatkan oleh aktivitas usahatani sayuran organik. Jumlah produksi pupuk bokashi yang sama dengan model SII menyebabkan jumlah pupuk bokashi yang dijual adalah lebih sedikit daripada model SII. Jumlah pupuk bokashi yang dijual pada SII sekitar 73 persen lebih banyak daripada MS1. Hal ini menyebabkan total keuntungan MS1 0,83 persen lebih rendah dibandingkan dengan total keuntungan wilayah model SII. Kebijakan penggunaan pupuk bokashi sebanyak 30 persen dari total kebutuhan pupuk organik usahatani sayuran organik adalah merugikan. Berdasarkan hasil trial and error maka untuk memperoleh keuntungan yang relatif sama atau lebih besar dibanding total keuntungan wilayah model SII maka harga jual setiap jenis sayuran organik per kilogramnya harus meningkat minimal 3,63 persen. MS1 menunjukkan bahwasanya aktivitas-aktivitas yang sebaiknya diintegrasikan antara lain usahatani sayuran organik, aktivitas produksi silase, aktivitas produksi pupuk bokashi, dan ternak kelinci. Produk-produk yang bernilai ekonomi dalam pada MS1 antara lain selada, kangkung, caisin, bayam merah, bayam hijau, kotoran kelinci, anakan kelinci, urin kelinci, silase, dan pupuk bokashi.
Adanya
hubungan
integrasi
pada
keempat
aktivitas
tersebut
menunjukkan bahwa limbah sayuran yang dihasilkan, urin kelinci, kotoran kelinci, silase, dan pupuk bokashi juga berkedudukan sebagai produk antara (intermediate product). Gambar 5 berikut ini akan menggambarkan aliran produk pada MS1.
124
Jual sayur (kg) Selada : 544.6 Kangkung : 25.954,08 Caisim : 2.260,44 B. Hijau : 2.365,5 B. Merah : 109,85
Jual silase (kg) 1.251.695,25
97,82%
Pemanfaatan bokashi (kg) 10.746,68
42,14%
Jual kotoran kelinci (kg) 45.961,5
80,27%
Pemanfaatan limbah sayur (kg) 5.252,35
Produksi Sayur (bedeng) Selada : 35 Kangkung : 556 Caisin : 92 Bayam merah : 5 Bayam hijau : 95
Jual anakan kelinci (ekor) 25.270
100%
Silase (kg) 1.274.980,75
Jual urin (kg) 12.276,68
98,74% Produksi urin (kg) 12.433,6
2,18% Pemanfaatan silase(kg) 27.794,58 Beli limbah organik pasar (kg) 1.441.878,88
Pemanfaatan kotoran kelinci (kg) 11.298,46
19,73%
Produksi kotoran kelinci (kg) 57.260
Ternak kelinci (ekor) 4.090
Jual bokashi (kg) 14.753,33
Pupuk Bokashi (kg) 25.500
1,26% Pemanfaatan urin (kg) 156,92
Pakan rumput (kg) 27.873,35
Beli kotoran domba(kg) 11.298,46
Keterangan : : Produk akhir dijual ke luar desa : Aktivitas dan aliran produk di dalam desa : Aktivitas dan aliran produk dari luar desa : Aktivitas usaha/produksi : Produk antara Gambar 6. Aliran Produk Hasil Pemecahan Optimal MS1 7.3.1.2.Model Skenario II (MS2): Kewajiban Penggunaan Pupuk Bokashi Sebanyak 50 Persen dari Total Kebutuhan Pupuk Organik Kondisi optimal MS2 relatif sama dengan kondisi optimal MS1 dan model SII. Perbedaannya hanya pada aliran produk pupuk bokashi dimana sekitar 70,24 persen bokashi yang diproduksi (17,91 ton) digunakan sebagai pupuk usahatani
125
sayuran organik. Jumlah pupuk bokashi yang dijual adalah semakin sedikit jika dibandingkan dengan MS1dan model SII. Besarnya penurunan total keuntungan jika dibandingkan dengan model SII adalah sebesar 1,38 persen (-Rp 10.135.726,53). Agar total keuntungan MS2 lebih besar dibandingkan model SII maka harga jual per kilogram sayuran organik perlu dinaikkan minimal 6,05 persen. 7.3.1.3.Model Skenario III (MS3): Kewajiban Penggunaan Pupuk Bokashi Sebanyak 70 Persen dari Total Kebutuhan Pupuk Organik Kewajiban penggunaan pupuk bokashi sebanyak 70 persen memberikan dampak yang lebih besar terhadap penurunan total keuntungan MS3. Total keuntungan MS3 1,93 persen lebih rendah jika dibandingkan dengan model SII. Sebagai konsekuensinya memerlukan peningkatan harga sayuran yang lebih tinggi dibandingkan dengan MS2 dan MS1. Besarnya peningkatan minimal harga jual per kilogram sayuran yang perlu dilakukan agar setidaknya total keuntungan MS3 lebih besar daripada model SII adalah sebesar 8,47 persen. Jumlah pengusahaan dan aliran produk aktivitas usahatani sayuran organik, ternak kelinci, dan silase adalah sama dengan kondisi optimal model SII. Jumlah pupuk bokashi yang diproduksi pun sama namun 98,34 persen pupuk bokashi yang diproduksi dimanfaatkan oleh aktivitas usahatani sayuran organik. 7.3.1.4.Model Skenario IV (MS4): Kewajiban Penggunaan Pupuk Bokashi Sebanyak 100 Persen dari Total Kebutuhan Pupuk Organik Semakin besarnya kewajiban penggunaan pupuk bokashi untuk usahatani sayuran organik berdampak pada penurunan total keuntungan yang lebih besar. Total keuntungan MS4 3,23 persen lebih rendah dibandingkan dengan total keuntungan model SII. Kondisi tersebut memerlukan peningkatan harga jual per kilogram setiap jenis sayuran organik yakni minimal sebesar 14,15 persen. Kondisi optimal MS4 berbeda dengan hasil analisis optimal model SII, MS1, MS2, dan MS3. Jumlah pengusahaan usahatani sayuran organik dan aliran produk sayuran organik masih sama namun untuk aktivitas ternak kelinci, produksi silase dan produksi pupuk bokashi adalah berbeda. Gambar 6
berikut
ini
menggambarkan jumlah pengusahaan dan aliran produk pada MS4.
126
Jual sayur (kg) Selada : 544.6 Kangkung : 25.954,08 Caisim : 2.260,44 B. Hijau : 2.365,5 B. Merah : 109,85
Pemanfaatan limbah sayur (kg) 5.252,35
Produksi Sayur (bedeng) Selada : 35 Kangkung : 556 Caisin : 92 Bayam merah : 5 Bayam hijau : 95
Jual silase (kg) 1.252.491.88
97,88%
Jual anakan kelinci (ekor) 27.888 71,54%
100%
Silase (kg) 1.279.642.88
28,46%
Produksi kotoran kelinci (kg) 55.776
Ternak kelinci (ekor) 3.984
Produksi urin (kg) 12.111,36
Pemanfaatan silase(kg) 27.151
Pemanfaatan kotoran kelinci (kg) 15.872,01
Jual urin (kg) 11.890,92
98,18%
2,12%
Pupuk Bokashi (kg) 35.822,25
1,82%
Pemanfaatan bokashi (kg) 35.822,25
100%
Jual kotoran kelinci (kg) 39.903.9
Pemanfaatan urin (kg) 220.44 Beli limbah organik pasar (kg) 1.441.962.75
Pakan rumput (kg) 27.150,96
Beli kotoran domba(kg) 15.872.01
Keterangan : : Produk akhir dijual ke luar desa : Aktivitas dan aliran produk di dalam desa : Aktivitas dan aliran produk dari luar desa : Aktivitas usaha/produksi : Produk antara Gambar 7. Aliran Produk Hasil Pemecahan Optimal Model MS4 Jumlah kelinci yang dibudidayakan pada kondisi optimal MS4 2,6 persen lebih sedikit dibandingkan dengan model SII. Adanya peningkatan produksi pupuk bokashi menyebabkan terjadinya peningkatan pemanfaatan limbah kelinci di dalam desa. Besarnya peningkatan pemanfaatan urin kelinci dan kotoran kelinci
127
di dalam desa masing-masing 0,56 persen dan 8,73 persen lebih tinggi daripada model SII. Model MS4 menunjukkan aktivitas yang sebaiknya diintegrasikan antara lain usahatani sayuran organik, ternak kelinci, aktivitas produksi silase, dan aktivitas produksi pupuk bokashi. Limbah sayuran organik hanya berfungsi sebagai produk antara sedangkan limbah ternak kelinci, silase, dan pupuk bokashi memiliki fungsi ganda yakni sebagai produk antara dan produk akhir. Produk akhir yang memiliki nilai ekonomi pada MS4 antara lain sayuran organik segar, anakan kelinci, kotoran kelinci, urin kelinci, silase, dan pupuk bokashi. 7.3.1.5.Analisis Kebijakan MS1, MS2, MS3 dan MS4 Hasil analisis optimal MS1, MS2, MS3, dan MS4 menunjukkan bahwasanya kebijakan penggunaan pupuk bokashi untuk aktivitas usahatani sayuran organik adalah merugikan. Besarnya kerugian yang harus diterima sebagai konsekuensi penerapan kebijakan pemanfaatan pupuk bokashi pada MS1, MS2, MS3, dan MS4 dapat dilihat pada Tabel 29 berikut ini. Tabel 29. Konsekuensi Penerapan Kebijakan Penggunaan Pupuk terhadap Total Keuntungan MS1, MS2, MS3, dan MS4 Skenario MS1 MS2 MS3 MS4
Kerugian (Rp)
Persentase Kerugian (%)
-6.081.435,92 -10.135.726,53 -14.190.017,14 -23.713.275,80
0,83 1,38 1,93 3,23
Tabel 29 dapat menunjukkan bahwasanya setiap kebijakan penggunaan pupuk bokashi dengan jumlah yang semakin meningkat akan semakin merugikan bagi pengusahaan usahatani sayuran organik secara terpadu. Hal tersebut lah yang menjadi alasan mengapa hasil analisis optimal model SII menunjukkan bahwa sebaiknya seluruh pupuk bokashi yang diproduksi dijual ke luar desa. Kerugian yang harus ditanggung adalah keuntungan yang harus dikorbankan akibat penggunaan sejumlah pupuk bokashi pada masing-masing skenario. Setiap kilogram pupuk bokashi MS1, MS2, dan MS3 yang dimanfaatkan di dalam desa akan merugikan sebesar Rp 565,89. Kerugian yang harus ditanggung dari setiap kilogram pupuk bokashi MS4 yang dimanfaatkan (Rp
128
661,97) adalah 17 persen lebih tinggi daripada MS1, MS2, dan MS3. Oleh karena itu, perlu adanya peningkatan efisiensi dalam aktivitas produksi pupuk bokashi. Peningkatan efisiensi tersebut dapat dilakukan dengan cara meningkatkan skala ekonomi. Selain itu, adanya perubahan teknologi dalam pembuatan pupuk bokashi juga dapat menunjang efisiensi produksi pupuk bokashi. Adanya teknologi baru dalam pembuatan pupuk bokashi dapat ditujukan untuk menghasilkan pupuk dengan jumlah yang relatif sama atau lebih besar dengan input yang lebih rendah atau mampu menghasilkan output lebih tinggi dengan jumlah penggunaan input relatif sama. Selain itu komposisi bahan baku juga dapat ditinjau ulang karena bahan baku yang cukup beragam dapat meningkatkan biaya produksi. Adanya perbaikan komposisi bahan baku pupuk bokashi dapat menjadi salah satu alternatif untuk memproduksi pupuk bokashi dengan biaya produksi yang lebih murah. 7.4.
Analisis Sensitivitas Adanya hubungan terintegrasi pada berbagai aktivitas usaha pada MUSOT
yang dibangun salah satunya ditentukan oleh adanya pasar produk antara di luar desa. Pasar produk antara dapat menjadi penyebab kegagalan suatu sistem pertanian terintegrasi apabila produk antara yang dihasilkan di dalam sistem (di dalam desa) lebih menguntungkan apabila dijual ke luar desa. Adanya perubahan harga jual maupun harga beli produk antara di pasar produk antara juga sangat mempengaruhi keberlanjutan pertanian terpadu yang diterapkan. Tabel 30 dapat memberikan informasi bahwa adanya peningkatan harga jual per kilogram limbah sayur, kotoran kelinci, urin kelinci, dan silase pada seluruh skenario akan sangat mempengaruhi hubungan terintegrasi yang dibangun pada MUSOT. Hal ini dapat ditunjukkan pada besarnya peningkatan harga jual per kilogram limbah sayur, kotoran kelinci, urin kelinci, dan silase yang dapat ditolerir bernilai nol persen. Artinya apabila terjadi peningkatan harga jual produk-produk tersebut akan memberikan insentif ekonomi yang lebih tinggi atau lebih menguntungkan apabila produk antara yang dihasilkan dijual ke luar desa. Kondisi tersebut dapat berdampak pada dapat diterapkan atau tidaknya pertanian terpadu di Desa Karehkel.
129
Tabel 30. Selang Kepekaan Perubahan Harga pada MS1, MS2, MS3, dan MS4 Perubahan Harga (%) Aktivitas Biaya produksi selada Biaya produksi kangkung Biaya produksi caisin Biaya produksi bayam merah Biaya produksi bayam hijau Biaya produksi domba Biaya produksi kelinci Biaya produksi bokashi Biaya produksi silase Beli pupuk kotoran ayam Beli kotoran kelinci Beli urin kelinci Beli kotoran domba Beli limbah pasar Beli silase Sewa tenaga kerja kelinci Sewa tenaga kerka domba Sewa tenaga kerja sayuran Sewa tenaga kerja silase Sewa tenaga kerja bokashi Jual limbah sayur Jual selada Jual kangkung Jual caisin Jual bayam merah Jual bayam hijau Jual daging domba Jual kotoran domba Jual anakan kelinci Jual kotoran kelinci Jual urin kelinci Jual bokashi Jual silase
Harga Saat Ini (Rp) -29,563.80 -14,781.90 -12,872.28 -7,291.99 -6,037.24 -500.00 -6,571.43 -59.61 -73.40 -166.67 -500.00 -1,250.00 -142.86 -153.64 -649.85 -25,000.00 -25,000.00 -25,000.00 -25,000.00 -25,000.00 153.64 9,000.00 5,000.00 8,000.00 6,000.00 6,000.00 21,000.00 142.86 10,000.00 500.00 1,250.00 732.56 649.85
MS1, MS2, MS3 Maksimum tak terhingga tak terhingga tak terhingga tak terhingga tak terhingga tak terhingga tak terhingga 638.18 289.48 tak terhingga tak terhingga tak terhingga 601.00 122.29 tak terhingga tak terhingga tak terhingga tak terhingga 169.98 tak terhingga 0.00 tak terhingga tak terhingga tak terhingga tak terhingga tak terhingga tak terhingga 0.00 tak terhingga 0.00 0.00 58.01 0.00
Minimum 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 -5,048.66 -135.59 -712.90 tak terhingga tak terhingga 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 -322.15 -322.15 -322.15 tak terhingga -169.98 tak terhingga -100.00 -100.00 -100.00 -100.00 -100.00 -100.00 tak terhingga -100.00 -100.00 -100.00 -51.93 -32.70
MS4 Maksimum tak terhingga tak terhingga tak terhingga tak terhingga tak terhingga tak terhingga tak terhingga 638.18 289.48 tak terhingga tak terhingga tak terhingga tak terhingga 122.29 tak terhingga tak terhingga tak terhingga tak terhingga 169.98 tak terhingga 0.00 tak terhingga tak terhingga tak terhingga tak terhingga tak terhingga tak terhingga 0.00 tak terhingga 0.00 0.00 58.01 649.85
Minimum 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 -5,048.66 -135.59 -712.90 tak terhingga tak terhingga 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 -322.15 -322.15 -322.15 tak terhingga -169.98 tak terhingga -100.00 -100.00 -100.00 -100.00 -100.00 -100.00 tak terhingga -100.00 -100.00 -100.00 tak terhingga -32.70
Berapapun besarnya peningkatan harga jual sayuran organik segar per kilogramnya tidak akan mengubah keputusan optimal model masing-masing skenario. Adanya peningkatan harga sayuran organik setiap kilogramnya pada MS1, MS2, MS3, dan MS4 sebagai konsekuensi kebijakan penggunaan pupuk bokashi di dalam desa tidak merubah keputusan optimal keempat model tersebut. Perubahan harga tersebut akan berdampak langsung pada peningkatan total
130
keuntungan wilayah sehingga minimal akan sama dengan total keuntungan wilayah model SII yang tidak terintegrasi. Peningkatan biaya produksi non produk antara pada setiap aktivitas usaha di dalam MUSOT juga akan menentukan apakah usaha tersebut dijalankan atau tidak. Aktivitas ternak domba adalah aktivitas yang sangat merugikan apabila diusahakan. Hal ini terlihat pada Tabel 30 dimana apabila ternak domba diusahakan maka setiap peternak domba tersebut harus diberikan insentif ekonomi yang sangat tinggi untuk setiap kilogram domba yang dipeliharanya yakni minimal -5.048,67 persen dari biaya produksi domba non pakan. Atau dengan kata lain, setiap peternak domba harus diberi insentif ekonomi minimal sebesar Rp 24.743,35 untuk setiap ternak domba yang dipelihara. Perubahan biaya produksi non produk antara pada aktivitas lain di luar selang kepekaan Tabel 30, dapat merubah hubungan terintegrasi yang dibangun pada keempat skenario kebijakan tersebut. Selain perubahan harga setiap aktivitas, adanya perubahan terhadap ketersediaan sumberdaya yang terdapat pada masing-masing model juga dapat mempengaruhi hubungan terintegrasi antar masing-masing aktivitas. Perubahan iklim yang senantiasa tidak dapat diprediksi dapat menyebabkan perubahan ketersediaan sumberdaya misalnya ketersediaan pakan hijauan lapang pada musim kemarau dan hujan, produksi limbah sayuran di setiap musimnya. Hal lain yang mungkin saja terjadi adalah apabila terjadi migrasi penduduk atau alih pekerjaan tenaga kerja usahatani sehingga dapat mempengaruhi ketersediaan sumberdaya tenaga kerja dalam keluarga maupun tenaga kerja sewa. Tabel 31 berikut ini akan menyajikan selang kepekaan perubahan ketersediaan masing-masing sumberdaya pada keempat skenario. Berdasarkan analisis terhadap selang kepekaan perubahan sumberdaya menunjukkan bahwa Pengurangan ketersediaan tenaga kerja dalam keluarga aktivitas usahatani sayuran organik MS1, MS2, MS3, dan MS4 sebanyak 54,9 persen (807,4 HOK) tidak mempengaruhi keputusan optimal keempat skenario. Kondisi tersebut disebabkan karena sisa tenaga kerja sebanyak 45,1 persen dari total ketersediaan tenaga kerja dalam keluarga mampu memenuhi kebutuhan tenaga kerja dalam berusahatani sayuran organik. Pengurangan ketersediaan
131
kotoran ayam sebesar 30 persen pada skenario MS1 tidak mengubah keputusan optimal karena pada MS1 kebutuhan kotoran ayam adalah sebesar 70 persen dari total kebutuhan pupuk pada aktivitas usahatani sayuran organik. Penurunan ketersediaan pupuk kotoran ayam dapat ditolerir apabila jumlah pupuk kotoran ayam yang tersedia mampu memenuhi kekurangan kebutuhan pupuk organik. Adanya perubahan ketersediaan sumberdaya lainnya pada selang kepekaan yang dapat ditolerir, tidak akan mengubah hubungan terintegrasi yang telah terbangun. Perubahan ketersediaan sumberdaya pada batas selang kepekaan juga tidak akan berdampak pada aliran produk antara pada kondisi optimal. Selang kepekaan perubahan ketersediaan sumberdaya MS1, MS2, MS3, dan MS4 yang tidak merubah keputusan optimal disajikan selengkapnya pada Tabel 31 berikut ini. Tabel 31. Selang Kepekaan Perubahan Sumberdaya MS1, MS2, MS3, dan MS4
Kendala
Ketersediaan Saat Ini (unit)
Perubahan Sumberdaya (%) MS1
MS2
MS3
MS4
Maks
Min
Maks
Min
Maks
Min
Maks
Min
1,479.00
tak hingga
-54.59
tak hingga
-54.59
tak hingga
-54.59
tak hingga
-54.59
5,304.00
tak hingga
-100
tak hingga
-100
tak hingga
-100
tak hingga
-100
1,020.00
0.06
-602.2
0.06
-602.24
0.06
-602.24
0.03
602.28
TKDK bokashi
255.00
406.80
-57.85
406.8 0
-57.85
406.8 0
-57.85
0.11
TKDK silase
255.00
0.25
2,454. 31
0.25
2,454.31
0.25
2,454.3 1
0.11
Lahan
783.00
0.00
0.00
tak hingga
0.00
tak hingga
0
tak hingga
0
9,120.00
0.01
-67.36
0.01
-67.36
0.01
-67.36
0.00
-67.36
122,724.60
tak hingga
-77.29
tak hingga
-77.29
tak hingga
-77.29
tak hingga
-77.88
1,442,025.00
tak hingga
-0.01
tak hingga
-0.01
tak hingga
-0.01
tak hingga
0
35,822.25
tak hingga
-30
tak hingga
-50
tak hingga
-70
tak hingga
-100
TKDK sayur organik TKDK ternak domba TKDK ternak kelinci
Tenaga kerja sewa Jumlah rumput lapang Limbah organik pasar Kotoran ayam
2,409. 10 2,455. 87
Keterangan: TKDK = Tenaga kerja dalam keluarga Maks = Perubahan maksimum sumberdaya Min = Perubahan minimum sumberdaya
132
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1.
Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan pada permodelan usahatani
terpadu sayuran organik-hewan ternak (MUSOT) di Desa Karehkel maka dapat diperoleh kesimpulan diantaranya: 1)
Model usahatani terpadu sayuran organik-hewan ternak dapat diterapkan pada skala wilayah apabila didukung dengan adanya kebijakan pemanfaatan pupuk bokashi di dalam Desa Karehkel. Hal ini disebabkan karena harga pupuk bokashi yang diproduksi di dalam desa lebih mahal jika dibandingkan dengan pupuk organik yang berasal dari luar desa sehingga akan lebih menguntungkan apabila usahatani sayuran organik menggunakan pupuk organik yang dibeli dari luar desa.
2)
Untuk mencapai total keuntungan wilayah secara maksimum maka aktivitas-aktivitas yang sebaiknya diintegrasikan antara lain usahatani sayuran organik, ternak kelinci, aktivitas memproduksi silase, dan aktivitas memproduksi pupuk bokashi. Sangat besarnya skala ekonomi masing-masing
aktivitas
usahatani
yang
sebaiknya
diusahakan
menyebabkan setiap aktivitas usaha yang diintegrasikan perlu diusahakan pada tingkat kelompok tani. 3)
Penerapan model usahatani terpadu sayuran organik-hewan ternak sangat berperan dalam meningkatkan total output wilayah. Khususnya dalam meningkatkan jumlah ternak yang dipelihara karena adanya pemanfaatan limbah sayuran sebagai pakan ternak dalam bentuk silase dapat mengurangi curahan tenaga kerja peternak untuk mencari pakan hijauan sehingga curahan tenaga kerja untuk memelihara ternak akan lebih besar. Selain itu, adanya pemanfaatan limbah ternak sebagai bahan baku pembuatan pupuk bokashi sangat berperan dalam penghematan biaya produksi pupuk bokashi. Model usahatani terpadu sayuran organik-hewan ternak dapat memberikan total keuntungan wilayah yang lebih tinggi daripada penerapan pertanian secara tidak terpadu apabila diiringi dengan insentif ekonomi yang lebih tinggi yakni peningkatan harga sayuran
133
organik per kilogramnya sebagai konsekuensi penerapan kebijakan pemanfaatan pupuk bokashi di dalam Desa Karehkel. 8.2.
Saran Berdasarkan kesimpulan di atas maka dapat dirumuskan beberapa saran
antara lain: 1) Untuk mendukung penerapan pertanian terpadu sayuran organik-hewan ternak di Desa Karehkel, GPW perlu menambah jumlah petani sayuran organik, membentuk kelompok produsen kompos, membentuk kelompok produsen silase, dan meningkatkan kepemilikan jumlah indukan kelinci masing-masing
peternak
kelinci.
Cukup
besarnya
peningkatan
kepemilikan kelinci yang harus dilakukan maka perlu dilakukan usahaternak kelinci pada skala kelompok dengan jumlah anggota yang lebih besar. 2) Perlu adanya perbaikan teknologi produksi pupuk bokashi sehingga lebih efisien dan dapat berproduksi lebih banyak. Cukup beragamnya bahan baku yang digunakan dalam pembuatan pupuk bokashi perlu menjadi perhatian sehingga dapat menghemat biaya produksi. Hal yang dapat dilakukan adalah dengan cara memperbaiki komposisi bahan baku pupuk bokashi yang diproduksi. Selain itu adanya realisasi bantuan rumah kompos di Desa Karehkel dapat menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan efisiensi dan skala ekonomi pengusahaan pupuk bokashi di Desa Karehkel. 3) Adanya potensi peningkatan produksi sayuran organik, kelinci, domba, kompos, dan silase perlu didukung
dengan adanya perluasan pasar
sehingga produk yang dihasilkan dapat terjual dan menghasilkan keuntungan yang lebih tinggi. 4) Penerapan model sayuran organik terpadu di Desa Karehkel perlu memperhatikan faktor-faktor lain yang tidak dimasukkan di dalam model. Misalnya keterbatasan sumberdaya modal masing-masing petani, faktor demografi,
faktor
musim,
adanya
peningkatan
produksi
akibat
penggunaan input yang berbeda dan lain lain.
134
DAFTAR PUSTAKA Abadilla DC. 1982. Organic farming. Manila: Afa Publications Inc. Amareko SL. 1983. Perencanaan Usahatani Terapdu di Daerah Pertanian Tanah Kering (Studi Kasus pada Desa Binaan PDP II di Nusa Tenggara TImur) [tesis]. Bogor: Bidang Keahlian Ekonomi Pertanian, Fakultas Pascasarjana, Institu Pertanian Bogor. Asminaya NS. 2007. Penggunaan Ransum Komplit Berbasis Samppah Sayuran Pasar untuk Produksi dan Komposisi Susu Kambing Perah [tesis]. Bogor: Program Studi Ilmu Ternak Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. [Balitnak] Balai Penelitian Ternak Bogor. 2003. Kotoran Kambing-Domba pun Bisa Bernilai Ekonomis. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesia Vol 5 no 5: 16-18. Behera UK, CM Yates, E Kebreab, dan J France. 2008. Farming systems Methodology for efficient Resource Management at The Farm Level : A Review from an Indian Perspective. Journal of Agriculture Science, 146: 494 Beneke RR. dan Ronald W. 1973. Linear Programming Applications to Agriculture. The Iowa State University Press, AMES. Debertin DL. 1986. Agricultural Production Economics. Mc.Millan Publishing Company, New York. Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian. 2008. Pedoman Teknis Integrasi Ternak Ruminansia-Tanaman. Direktorat Budidaya Ternak Ruminansia Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian, Jakarta. Devendra. 1993. Development of Sustainable Animal Production in Integrated Small Farm Systems in Asia. Di dalam Sustainable Agriculture Developmentin Asia. Report on APO study meeting 23rd February-5th March 1993. Tokyo: APO (Asian Productivity Organization). hlm 124125. Direktorat Jenderal Hortikultura. 2010. Program Pengembangan Agribisnis Hortikultura: Pedoman Teknis Pengembangan Hortikultura Tahun 2010. Jakarta: Dirjen Hortikultura [Disnakan] Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor. 2008. Buku Data Potensi Peternakan Tahun 2008. Bogor: Disnakan Kabupaten Bogor.
135
Djajanegara A, Inu GI, dan Sunendar K. 2005. Teknologi dan Manajemen Usaha Berbasis ekosistem. Di dalam prosiding Kelembagaan Tanaman Ternak Terpadu. Badan Litbang Pertanian. Dobbs TL. 1994. Agricultural Systems in The Context of Sustainable Development. Di dalam Sustainable Agriculture Development in Asia. Report on APO Study Meeting: Tokyo, 23 Februari-5 Maret 1993. Tokyo: APO (Asian Productivity Organization). hlm 25. Doll JP, Frank O. 1984. Prduction Economics, Theory with Application 2nd ed. Kanada: John Willey & Sons, Inc. Dwiyana E, TC Mendoza. 2006. Comparative Productivity, Profitability, and Efficiency of Rice Monoculture. Journal of Sustainable Agriculture, vol.29(1): 145-160. Edwards CA. 1990. The Importance of Integration in Sustainable Agricultural Systems. Di dalam Clive A Edwards, Rattan Lal, Patrick Madden, Robert H Miller, dan Gat House. Sustainable Agricultural Systems.Delray Beach, Florida: St. Lucie Press. Ella AMS, D Pasambe, dan Yunus. 2003. Kajian Pola Usaha Pengembangan Kambing pada Lahan Kering di Sulawesi Tenggara. Di dalam Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Farrel DJ, Raharjo YC. 1984. Potensi Ternak Kelinci sebagai Penghasil Daging. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Febriliany V. 2008. Potensi Pengembangan Usaha Ternak kelinci di Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Program Studi Sosial Ekonomi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Gapoktan Pandan Wangi. 2009. Data Kelompok Tani Cadas Gantung Desa Karehkel Kecamatan Leuwiliang. Bogor: Gapoktan Pandan Wangi Gaur DC. 1980. Present Status of Composting and Agricultural Aspect. Di dalam Hess PR, editor. Improving Soil Fertility Through Organic Recycling Compost Technology. New Delhi: FAO of United Nation. Hamdani M. 2008. Sistem Pertanian Terpadu untuk Meningkatkan Produktivitas Lahan dan Pendapatan Petani. Di dalam Workhsop Teknologi untuk Masyarakat: Serang, 24 Desember 2008. Balai Inkubator Teknologi BPPT. hlm 1-15. Handayani S. 2009. Model Integrasi Tanaman-Ternak di Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah: Pendekatan Optimasi Program Linier [tesis]. Bogor : Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, InstitutPertanian Bogor.
136
Hanifah RN. 2008. Pendapatan Usahatani Integrasi Pola Sayuran-Ternak-Ikan (Studi Kasus Pondok Pesantren Al Ittifaq, Kmapung Ciburial, Desa Alam Endah, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung [skripsi]. Bogor: Jurusan Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Harwood RR. 1979. Small Farm Development: Understanding and Improving Farming System The HumidTropics. Colorado: Wesville Press. Haryani D. 2009. Analisis Efisiensi Usahatani Padi Sawah pada Program Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu di kabupaten Serang provinsi Banten [tesis] Bogor: program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hong PF. 1993. Conditions and Guidance for Effective Group Farming Programs: Lesson from The Experience in The Rep. China. Di dalam Group Farming in Asia and The Pacific. Report on APO Study Meeting: Tokyo, 20th-30th July. Tokyo: APO (Asian Productivity Organizatioan). hlm 6. Howara D. 2004. Optimalisasi Pengembangan Usahatani Tanaman Padi dan Ternak sapi Secara Terpadu di Kabupaten Majalengka [tesis]. Bogor: Jurusan Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Kantor Desa Karehkel. 2009. Statistik Desa Karehkel. Bogor: Kantor Desa Karehkel Kariyasa K, Pasandaran E. 2005. Dinamika Struktur Usaha dan Pendapatan Tanaman-Ternak Terpadu. Di dalam Prosiding; Kelembagaan Tanaman Ternak Terpadu. Badan Litbang Pertanian. Hlm 238-239. Kokubun M. 1998. JIRCAS Projects for The Development of Technologies for Sustainable Agriculture in Asia. Di dalam H.Horiuchi, K.Tsubota, editor. The 4th JIRCAS (Japan International Research Center for Agricultural Sciences) International Symposium Sustainable Agricultural Development Compatible with Environment Conservation in Asia: Japan, March 1998. hlm 136. Kurnia G. 2000. Keterkaitan Penelitian dan Penyuluhan dalam Perspektif Penyebaran Inovasi Pertanian. Di dalam Lokakarya Nasional Penyebaran Inovasi Pertanian Era Otonomi Daerah. Bogor Kusnadi U, E Juarni, Sajimin, dan Isbandi. 2006. Produktivitas dan Dampak Integrasi Domba Ekor Gemuk terhadap Pendapatan Petani dalam Sistem Sayuran di Lahan Marjinal. Di dalam Seminar Nasional Teknologi Petrenakan dan Veteriner: 2006. Hlm 419.
137
Kusnadi U. 2008. Inovasi Teknologi Peternakan dalam Sistem Integrasi TanamanTernak untuk Menunjang Swasembada Daging Sapi. Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian (13):193. [LPPM IPB] Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat. 1988. Laporan Akhir Pengembangan Sumber Daya Keluarga melalui Pemanfaatan Lahan Pekarangan Bagi Usaha Ternak Kelinci. Bogor: LPPM IPB Lebas F, P. Coudert, R. Rovier, dan De Rochambeau. 1986. The Rabbit. Rome: FAO, UN. Maimun. 2009. Analisis Pendapatan Usahatani, Nilai Tambah, dan Saluran Pemasaran Kopi Arabika Organik dan Non Organik Aceh Tengah (Kasus Pengolahan Bubuk Kopi Ulee Kareng di Banda Aceh) [skripsi]. Bogor : Jurusan ekstensi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Maskitono T. 1990. Nilai Nutrisi Silase Onggok yang Difermentasikan dengan Pengawet Molases dan Dedak Padi [skripsi]. Bogor: Jurusan Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. McDonald P, A.R Handerson, S.J.E. Heron. 1991. The Biochemistry of Silage. Marlow: Chalcombe Publications. Minami K. 1996. How to Achieve Sustainable Agriculture. Di dalam Appropriate Use of Inputs for Sustainable Agriculture. Report of an APO Seminar : Tokyo, 27 August-6 September 1996. Tokyo : APO (Asian Productivity Organization). hlm 89 dan 96. Muslih D, IW Pasek, Rossuartini, Bram B. 2005. Tatalaksana Pemberian Pakan Kelinci untuk Menunjang Agribisnis Kelinci. Di dalam Prosiding Lokakarya/Lok Nas Pot. Pel. Peng. Usaha Kelinci: 62 Muthmainnah A. 2008. Pengelolaan Sampah Kota Berbasis Partisipasi Masyarakat Menuju Zero Waste di TPA Galuga Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor [tesis]. Bogor: Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Institut Pertanian Bogor. Nasendi NB, A.Anwar. 1985. Program Linear dan Variasinya. Jakarta: Gramedia. Nikmah FK. 2006. Performan Itik Mojosari Alabio Jantan dengan Pemberian Silase Ransum Komplit [skripsi]. Bogor: Program Studi Ilmu dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Noor NR. 1996. Keragaan Usahatani Terpadu di Lahan Kering Marjinal dan Dampaknya terhadap Lingkungan Ekonomi [tesis]. Bogor: Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan., Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
138
Norman MJT. 1974. How Can Research Help to Raise Incomes of Small Farmers in Rainfeed Areas of S.E. Asia. Di dalam FAO/UNDP International Expert Consultation on The Use Of Improved Technology for Food Production in Rainfed Areas of Tropical Asia: Khon-Kaen, Thailand, 1-7 December, 1974. Food and Agriculture Organization of The United Nations. hlm 10. Paggasa Y. 2008. Potensi Pengembangan Sapi Potong Melalui Sistem Integrasi Sawit Ternak di Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Panggabean G. 1982. Studi Perencanaan Sistem Usahatani Terpadu Kasus Tiga Desa di Jawa Tengah [tesis]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Powell JM, Pearson NA, Hiernaux PH. 2004. Review and Intepretation Crop Livestock Interactions in The West African Drylands. Agronomic Journal 96: 480. Prawoto A. 2008. Januari-Maret 2008. Potret Perkembangan Pertanian Organik Asia. Newspaper Trust In Organic. 2 (kolom 4). Prodjodihardjo S. 1988. Prospek Pengembangan Peternakan Dalam USahatani di Lahan Kering dan Rawa Pasang Surut. Di dalam Risalah Lokakarya Penelitian Sistem Usahatani di Lima Agroekosistem. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Righby D, Caceres D. 2001. Organic Farming and The Sustainability of Agricultural System. Journal Agricultural System 68: 21-40 Rogers EM. 1962. Characteristics of Agricultural Innovators and Other Adopter Categories. California: Institute for Communication Research Rosyid M. Jahidin. 1990. Optimalisasi Pola Usahatani Karet Terpadu pada Lahan Kering Podsolik Merah Kuning di Daerah Transmigrasi Batumarta Sumatera Selatan. [tesis]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ruddle K, Zhong G. 1988. Integrated Agriculture-Aquaculture in South China: The Dike-Pond System of The Zhujian Delta. Cambridge University Press. Rusono N. 1999. Sinergis Antar Sub Sektor Pengembangan Pertanian Terpadu. Seminar Nasional dalam Rangka Lustrum Fapet UGM Yogyakarta. Russelle MP, Entz MH, Franzluebbers AJ. 2007. Reconsidering Integrated CropLivestock Systems in North America. Symposium Papers American Society of Agronomy: 325
139
Sahara D, Yusuf, Suhardi. 2007. Peningkatan Pendapatan Petani Lada Melalui Perbaikan Sistem Usahatani. Mediasoca (Socio-Economic of Agriculture and Agribussiness) Vol.7 No.2: 1-9 Sapienza DA dan Keith KB. 1993. Teknologi Silase. Terjemahan. Rini BS. Martoyuedo Pioneer Seeds, Kansas State University. Sastrodihardjo S, T Manurung, A.R. Siregar dan P. Sitorus. 1982. Pengembangan Budidaya Ternak di Wilayah Transmigrasi. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 1 (1) : 15-22. Setyadi M. 2009. Program Pengembangan Sistem Agribisnis Peternakan Kelinci Dalam Rangka Peningkatan Indeks Mutu Masyarakat. Di dalam Laporan Gladikarya Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Siregar M, Suryadi M. 2006. Enhancing Sustainable Development of Diverse Agriculture in Indonesia. CAPSA Working Paper no 96. United Nations ESCAP(Economic and Social Commision for Asia and The Pacific). Schiere JB, MNM Ibrahim, Keulen HV. 2002. The Role of Livestock for Sustainability In Mixed Farming: Criteria and Scenario Studies Under Varying Resource Allocation. Journal of Agriculture, Ecosystems, and Environment 90: 141 Setiawan BS. 2010. Membuat Pupuk Kandang Secara Cepat. Jakarta: Penebar Swadaya. Siswanto. 2007. Operation Research Jilid 1. Jakarta: Erlangga. Soegiri J, Mauli S, dan Nanda MT. 1981. Ransum Praktis untuk Ternak Potong. Jakarta: Direktorat Bina Produksi Dirjen Peternakan. Soekartawi, J.L. Dillon, J.B Hardaker, A. Soeharjo. 1985. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk perkembangan Petani Kecil. Jakarta: UI Press. Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Jakarta:Universitas Indonesia Stani D. 2009. Analisis Struktur Biaya Usaha Ternak Kambing Perah (Kasus : Tiga Skala Pengusahaan di Kabupaten Bogor) [skripsi]. Bogor: Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut pertanian Bogor. Stinner, Benjamin R., Blair John M. 1990. Ecological and Agroeconomic Characteristics of Innovate Cropping Systems. Di dalam Clive A Edwards, Rattan Lal, Patrick Madden, Robert H Miller, dan Gat House. Sustainable Agricultural Systems.Delray Beach, Florida: St. Lucie Press. Sugito Y. 1995. Sistem Pertanian Organik. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang.
140
Supranto J. 1998. Riset Operasi: Untuk Pengambil Keputusan. Jakarta: UI Press. Susila AD. 2006. Panduan Budidaya Tanaman dan Sayuran. Bogor: Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB. Sutanto R. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Yogyakarta : Kanisius. ______. 2004. Pertanian Organik Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan. Jakarta: Kanisius Taha, Hamdy A. 1982. Operation Research an Introduction. New York: McMillan Publishing Co.Inc. Tampubolon B. 1997. Pertanian Masa Depan. Di dalam Arah Pengembangan Pertanian Indonesia. Di dalam Proceeding; Medan , 7 Oktober 1954- 7 Oktober 1997. Medan: Universitas HKBP Nommensen. Hlm 70 Tawaf R. 1984. Prospek Usahaternak sebagai Diversifikasi Usahatani untuk MEningkatkan Pendapatan Petani. Laporan Penelitian. Bandung: Fakultas Peternakan. Universitas Padjajaran. Thomas D, Zerbini E, Rao PP, Vaidyanathan A. 2002. Increasing Animal Productivity on Small Mixed Farms in South Asia: A Systems Perspective. Journal Agriculturan Systems 71: 47. Tonnedy EIR. 2006. Performa Ayam Broiler dengan Pakan Silase Ransum Komersil [skripsi]. Program Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan . Institut Pertanian Bogor. Veysset P, Debin D, Lherm M. 2005. Adaptation to Agenda 2000 (CAP Reform) and Optimisation of the Farming System of French Suckler Cattle Farms in The Charolais Area: A Model-Based Study. Journal Agricultural Systems 83: 179 dan 199. Wahyuni YT. 2007. Analisis Cabang Usahatani Sayuran Organik di Mega Surya Organic Kecamatan Mega Mendung, Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor : Jurusan Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Wang IK. 1993. Conditions and Guidance for Effective Group Farming. Di dalam Group Farming in Asia and The Pacific. Report on APO Study Meeting: Tokyo, 20th-30th July. Tokyo: APO (Asian Productivity Organizatioan). hlm 90. Widagdho ND. 2008. Analisis Kelayakan Usaha Peternakan Kelinci Asep’s Rabbit Project di Lembang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat [skripsi]. Bogor : Jurusan Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
141
Wigena IGP. 2009. Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma berkelanjutan (Studi Kasus: Perkebunan PIR-TRANS PTPTN V Sei Pagar Kabupaten Kampar [disertasi]. Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
142
LAMPIRAN
143
Lampiran 1. Kebutuhan Input Responden Aktivitas Usahatani Caisin pada Bedengan Berkuran 23,9 m2 Jenis input Benih
Banyaknya
Harga Satuan (Rp)
Satuan
Total biaya (Rp)
0.07
kg
160000.00
11316.29
-
tray
-
-
Kotoran Ayam
1.53
karung
5000.00
7625.00
Bahan Organik
3.89
kg
400.00
1555.99
Bibit
Total Biaya
20497.28
Keterangan: 1 karung kotoran ayam : 30 kg
Lampiran 2. Kebutuhan Input Responden Aktivitas Usahatani Kangkung pada Bedengan Berkuran 23,9 m2 Jenis input Benih
Banyaknya
Harga Satuan (Rp)
Satuan
Total biaya (Rp)
0.78
kg
17000
13225.91146
-
tray
-
-
Kotoran Ayam
1.53
karung
5000.00
7625.00
Bahan Organik
3.89
kg
400.00
1555.99
Bibit
Total modal
22406.90
Keterangan: 1 karung kotoran ayam : 30 kg
Lampiran 3. Kebutuhan Input Responden Aktivitas Usahatani Bayam Merah pada Bedengan Berkuran 23,9 m2 Jenis input Benih Bibit Kotoran Ayam Bahan Organik
Banyaknya
Harga Satuan (Rp)
Satuan
Total biaya (Rp)
0.10
kg
60000
5736
-
tray
-
-
1.53
karung
5000.00
7625.00
kg
400.00
1555.99
3.89 Total modal
14916.99
Keterangan: 1 karung kotoran ayam : 30 kg
144
Lampiran 4. Kebutuhan Input Responden Aktivitas Usahatani Bayam Hijau pada Bedengan Berkuran 23,9 m2 Jenis input Benih
Banyaknya
Bahan Organik
Total biaya (Rp)
0.07
kg
60000.00
4481.25
-
tray
-
-
1.53
karung
5000.00
7650.00
kg
400.00
1555.99
Bibit Kotoran Ayam
Harga Satuan (Rp)
Satuan
3.89 Total modal
13687.24
Keterangan: 1 karung kotoran ayam : 30 kg
Lampiran 5. Kebutuhan Input Responden Aktivitas Usahatani Selada pada Bedengan Berkuran 23,9 m2 Jenis input
Banyaknya
Harga Satuan (Rp)
Satuan
Total biaya (Rp)
Benih Bibit
9.34
tray
3000.00
28007.81
Kotoran Ayam
1.53
karung
5000.00
7650.00
kg
400.00
1555.99
Bahan Organik
3.89 Total modal
37213.80
Keterangan: 1 karung kotoran ayam : 30 kg
145
Lampiran 6. Potensi Kotoran Ayam di Sekitar Desa Karehkel Kecamatan
Populasi Ternak Ayam (Ekor)
Produksi Kotoran Ayam/bulan (Kg)
Rumpin
1125500
11255
Gunung Sindur
1370500
13705
jasinga
126000
1260
jonggol
210000
2100
Cariu
225000
2250
Cijeruk
30000
300
Nanggung
15000
150
Cibungbulang
330000
3300
Tajur Halang
339000
3390
Bojong Gede
25000
250
Sukaraja
50000
500
Caringin
340000
3400
95000
950
255000
2550
Leuwiliang
30000
300
Sukajaya
98000
980
Cigudeg
155000
1550
Pamijahan Leuwisadeng
Ciampea Jumlah
50000
500
4869000
48690
Keterangan: Produksi kotoran ayam/ekor/bulan: 0,01 kg Sumber: Disnakan Bogor (2008) (diolah)
146
Lampiran 7. Kebutuhan Peralatan, Tenaga Kerja, Biaya Bahan Baku, dan Proporsi Bahan Baku Pupuk Bokashi oleh Responden Investasi Peralatan Harga satuan(Rp)
Unit
30000
2
200000
Pengaduk kayu
Total harga (Rp)
Umur ekonomis (th)
Penyusutan/ tahun (Rp)
Penyusutan/ bulan (Rp)
60000
2
30000
2500.00
1
200000
5
40000
3333.33
15000
1
15000
1
15000
1250.00
Baskom
10000
2
20000
2
10000
833.33
Golok
15000
2
30000
2
15000
1250.00
Total Penyusutan
110000
9166.67
Jenis Barang Cangkul Drum
Tenaga Kerja Tenaga Kerja
HOK
Upah/HOK (Rp)
Kalkulasi upah (Rp)
Anak-anak
4.928571429
25000
123214.2857
Pria
0.285714286
25000
7142.857143
0.325
25000
2031.25
Total biaya tenaga kerja
132388.3929
Wanita
Biaya Bahan Baku Bahan Baku Kotoran kambing Kotoran lunak kelinci Sekam
Kebutuhan 6 6 4
Satuan karung (@ 35 kg) karung (@ 35 kg) karung (@ 10 kg)
Harga Satuan (Rp)
Total biaya variabel (Rp)
5000
30000
17500
105000
1500
6000
MOL
2.5
liter=kg
475
1187.5
Air kelapa
20
liter=kg
250
5000
3
liter=kg
1250
3750
2
kg
8000
Urine kelinci Molases (air gula)
Total biaya variabel
16000
166937.5
147
Proporsi Bahan Baku Bahan Baku
Kebutuhan
Kotoran kambing
6
Kotoran lunak kelinci Sampah daun kering(udah di cover biaya tenaga kerja)
6
Sekam
16 4
Satuan karung (@ 35 kg) karung (@ 35 kg) karung (@ 15 kg) karung (@ 10 kg)
Total bobot bahan baku (Kg)
Proporsi bahan baku (%)
210
28,8
210
28,8
240
33,2
40
5,5
MOL
2.5
liter=kg
2.5
0,3
air kelapa
20
liter=kg
20
2,7
3
liter=kg
3
0,4
2
kg
urine kelinci molases (air gula) Total bahan baku
2
0,3
727,5
100
Keterangan: Rendemen Pupuk Bokashi = 65%
148
Lampiran 8. Perhitungan HPP Pupuk Bokashi Bulan
Biaya 1 Biaya pembuatan lubang kompos
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
132388.4
132388.39
132388.3929
132388.4
132388.4
132388.4
132388.4
132388.4
132388.4
132388.4
132388.4
132388.4
9166.67
9166.67
9166.67
9166.67
9166.67
9166.67
9166.67
9166.67
9166.67
9166.67
9166.67
9166.67
30000
30000
30000
30000
30000
30000
30000
30000
30000
30000
30000
30000
105000
105000
105000
105000
105000
105000
105000
105000
105000
105000
105000
105000
7142.857
Biaya tetap Tenaga Kerja Penyusutan Plastik terpal
70000
Biaya Variabel Kotoran kambing Kotoran lunak kelinci Sampah daun kering/ sisa pakan (udah di cover biaya tenaga kerja) Sekam
6000
6000
6000
6000
6000
6000
6000
6000
6000
6000
6000
6000
1187.5
1187.5
1187.5
1187.5
1187.5
1187.5
1187.5
1187.5
1187.5
1187.5
1187.5
1187.5
air kelapa
5000
5000
5000
5000
5000
5000
5000
5000
5000
5000
5000
5000
urine kelinci
3750
3750
3750
3750
3750
3750
3750
3750
3750
3750
3750
3750
16000
16000
16000
16000
16000
16000
16000
16000
16000
16000
16000
16000
Total biaya per bulan
385635.4
308492.56
308492.5595
308492.6
308492.6
308492.6
308492.6
308492.6
308492.6
308492.6
308492.6
308492.6
Total biaya per tahun
3779054
MOL
molases (air gula)
Produksi pupuk 1 tahun (kg) BEP Harga (Rp/kg) Margin (%) Harga jual/ kg (Rp/kg)
5674.5 665.9712 10 732.5683
149
Lampiran 9. Kebutuhan Peralatan, Tenaga Kerja, Biaya Bahan Baku, dan Proporsi Bahan Baku Silase yang Berbahan Dasar 100 kg Hijauan Investasi Peralatan Harga satuan(Rp)
Unit
Cangkul
30000
2
Golok
15000
Wadah MOL Baskom
Jenis Barang
Total harga (Rp)
Umur ekonomis (th)
Penyusutan/ tahun (Rp)
Penyusutan/ bulan (Rp)
60000
2
30000
2500
1
15000
2
7500
625
30000
1
30000
1
30000
2500
10000
1
10000
2
5000
416.67
Total Penyusutan
72500
6041.666667
Biaya Bahan Baku Bahan Baku
Kebutuhan
Satuan
Sisa Hijauan
100
kg
MOL
0.01
Dedak
4.89
Harga Satuan
Total biaya variabel
153.64
15364
liter
475
4.75
kg
1500
7335
Total biaya variabel
22703.75
Proporsi Bahan Baku Bahan baku
Kebutuhan
Satuan
Kebutuhan (kg)
Proporsi (%)
Sisa Hijauan
100
kg
100.00
95
MOL
0.01
liter=kg
0.01
0
Dedak
4.89
kg
4.89
5
Jumlah bahan baku
104.90
100
Keterangan: Rendemen Silase = 16,5%
150
Lampiran 10. Perhitungan HPP Silase Bulan
Biaya 1 Pembuatan lubang fermentasi
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
7142.857
Biaya Tetap Tenaga Kerja Penyusutan Plastik terpal
10725
10725
10725
10725
10725
10725
10725
10725
10725
10725
10725
10725
6041.67
6041.67
6041.67
6041.67
6041.67
6041.67
6041.67
6041.67
6041.67
6041.67
6041.67
6041.67
70000
70000
Biaya variabel Sisa Hijauan
15364
15364
15364
15364
15364
15364
15364
15364
15364
15364
15364
15364
MOL
4.75
4.75
4.75
4.75
4.75
4.75
4.75
4.75
4.75
4.75
4.75
4.75
Dedak
7335
7335
7335
7335
7335
7335
7335
7335
7335
7335
7335
7335
Total biaya per bulan
116632.32
39489.46
39489.46
39489.46
39489.46
39489.46
109489.46
39489.46
39489.46
39489.46
39489.46
39489.46
Total biaya dalam 1 tahun
621016.43
Produksi silase 1 tahun (kg) BEP Harga (Rp/kg) margin (%) Harga jual
1051.2 590.7691 10 649.846
151
Lampiran 11. Model Tidak Terintegrasi SI MAX 9000SXS+8000SXC+5000SXK+6000SXM+6000SXH+153.64SLIYUR +21000SXG+142.86SLULXG+10000SXR+1250SLULUR+500SLULXR +732.56SLUXKO+649.85SLUXSIL-29563.8XS-14781.90XK2872.28XC-7291.99XM-6037.24XH-500XG-6571.43XR-59.61XKO73.40XSIL-142.86BLLXG-500BLLXR-1250BLLUR-166.67BKOTA -153.64BSOP-25000TKSAY-25000TKSG-25000TKSR-25000TKSKO25000TKSIL ST Pupuk)
-BKOTA-XKO+45.75XS+45.75XK+45.75XC+45.75XM +45.75XH+SLUXKO<=0 pakan1) -XSIL+SLUXSIL<=0 sipakdo) -GRUM+187.5XG<=0 sipakke) -RRUM+13.63XR<=0 urin) -BLLUR-3.04XR+0.004BBKO+SLULUR<=0 kotkel) -BLLXR-14XR+0.288BBKO+SLULXR<=0 kotdom) -BLLXG-45.99XG+0.288BBKO+SLULXG<=0 bhnsil) 0.95BBSIL+SLIYUR-4.67XS-4.91XC-7.78XK-5.49XM2.99XH-BSOP=0 !kendala transfer produk akhir TRS) SXS-15.56XS<=0 TRC) SXC-24.57XC<=0 TRK) SXK-46.68XK<=0 TRH) SXH-24.9XH<=0 TRM) SXM-21.97XM<=0 TRKE) SXR-7XR<=0 TRGO) SXG-1.41XG<=0 TRKO) -0.65BBKO+XKO<=0 TRSIL) -0.84BBSIL+XSIL<=0
!kendala terkait ketersediaan tenaga kerja !asumsi: jumlah produsen silase sebanyak 5RT petani !asumsi:jumlah produsen kompos sebanyak 5RT petani TKSAY) 1.86XS+2.07 XC+0.46XK+1.47XM+1.61XH-TKSAY<=1479 TKDO) 2.79XG+0.02GRUM-TKSG<=5304 TKKE) 0.841XR+0.02RRUM-TKSR<=1020 TKSIL) 0.005XSIL-TKSIL<=255 TKKO) 0.01 XKO-TKSKO<=255
!kendala terkait ketersediaan sumberdaya lain di desa JUMBED) XS+XC+XK+XM+XH<=783 jumrum) GRUM+RRUM<=122724.6
input
produksi
dan
152
btsampor) BSOP<=1442025 BTSTKS) TKSIL+TKSKO+TKSR+TKSG+TKSAY<=9120 BTSKOTA) BKOTA<=35822.25 !kendala terkait jumlah produksi minimum/bulan minsel) SXS>=539.69 minka) SXK>=2852.44 minca) SXC>=2246.05 minrah) SXM>=100.63 minhi) SXH>=2354.8 !KEndala terkait kondisi penerapan model NOKODE) BKOTA+45.75XS+45.75XK+45.75XC+45.75XM+45.75XH=0 NOURDE) -BLLUR+0.004BBKO=0 NOKOKEDE) -BLLXR+0.288BBKO=0 NOKODODE) -BLLXG+0.288BBKO=0 NOLIMSAY) -BSOP+0.95BBSIL=0 END GIN GIN GIN GIN GIN GIN GIN
XS XK XC XM XH XG XR
153
Lampiran 12. Output Model Tidak Terintegrasi SI LP OPTIMUM FOUND AT STEP 10 OBJECTIVE VALUE = 728608320. SET
XG TO >= 393 AT 0.7286E+09 22 XC TO >= 92 AT 0.1000E+31 24 XH TO >= 95 AT 0.1000E+31 25 XS TO >= 35 AT 0.1000E+31 25 XR TO <= 3597 AT 0.1000E+31 31 XG TO <= 393 AT 0.7277E+09 33
SET SET SET SET SET
1, BND=
0.7282E+09 TWIN=
2, BND=
0.7282E+09 TWIN=-
3, BND=
0.7282E+09 TWIN=-
4, BND=
0.7282E+09 TWIN=-
5, BND=
0.7281E+09 TWIN=-
6, BND=
0.7281E+09 TWIN=
NEW INTEGER SOLUTION OF 728108224. AT BRANCH 5 PIVOT 33 BOUND ON OPTIMUM: 0.7285640E+09 DELETE XG AT LEVEL 6 DELETE XR AT LEVEL 5 DELETE XS AT LEVEL 4 DELETE XH AT LEVEL 3 DELETE XC AT LEVEL 2 FLIP XG TO <= 392 AT 1 WITH BND= 0.72856403E+09 SET XC TO >= 92 AT 2, BND= 0.7285E+09 TWIN=0.1000E+31 35 SET XH TO >= 95 AT 3, BND= 0.7285E+09 TWIN=0.1000E+31 36 SET XS TO >= 35 AT 4, BND= 0.7285E+09 TWIN=0.1000E+31 36 SET XR TO >= 3610 AT 5, BND= 0.7285E+09 TWIN= 0.7285E+09 41 NEW INTEGER SOLUTION OF 728471296. AT BRANCH PIVOT 41 BOUND ON OPTIMUM: 0.7284713E+09 DELETE XR AT LEVEL 5 DELETE XS AT LEVEL 4 DELETE XH AT LEVEL 3 DELETE XC AT LEVEL 2 DELETE XG AT LEVEL 1 ENUMERATION COMPLETE. BRANCHES= 8 PIVOTS= 41
8
LAST INTEGER SOLUTION IS THE BEST FOUND RE-INSTALLING BEST SOLUTION... OBJECTIVE FUNCTION VALUE 1)
0.7284713E+09
154
VARIABLE XS XK XC XM XH XG XR SXS SXC SXK SXM SXH SLIYUR SXG SLULXG SXR SLULUR SLULXR SLUXKO SLUXSIL XKO XSIL BLLXG BLLXR BLLUR BKOTA BSOP TKSAY TKSG TKSR TKSKO TKSIL GRUM RRUM BBKO BBSIL
VALUE 35.000000 556.000000 92.000000 5.000000 95.000000 392.000000 3610.000000 544.600037 2260.439941 25954.080078 109.849998 2365.500000 5252.350098 552.719971 18028.080078 25270.000000 10974.399414 50540.000000 25500.000000 1274980.750000 25500.000000 1274980.750000 11298.460938 11298.460938 156.923080 35822.250000 1441942.625000 0.000000 0.000000 3000.096191 0.000000 6119.903809 73500.000000 49204.300781 39230.769531 1517834.250000
ROW PUPUK) PAKAN1) SIPAKDO) SIPAKKE) URIN) KOTKEL) KOTDOM) BHNSIL) TRS) TRC) TRK) TRH) TRM)
SLACK OR SURPLUS 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
REDUCED COST -103568.546875 -212188.265625 -176816.937500 -117746.335938 -136196.984375 -35680.132812 15458.657227 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 80538.093750 80538.093750 0.000000 42495.968750 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
DUAL PRICES 732.559998 649.849976 0.000000 1610.761963 1250.000000 500.000000 142.860001 153.639999 9000.000000 8000.000000 5000.000000 6000.000000 6000.000000
155
TRKE) TRGO) TRKO) TRSIL) TKSAY) TKDO) TKKE) TKSIL) TKKO) JUMBED) JUMRUM) BTSAMPOR) BTSTKS) BTSKOTA) MINSEL) MINKA) MINCA) MINRAH) MINHI) NOKODE) NOURDE) NOKOKEDE) NOKODODE) NOLIMSAY)
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 807.400024 2740.320068 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 20.299587 82.414955 0.000000 0.000000 4.910015 23101.640625 14.389972 9.219996 10.699964 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
NO. ITERATIONS= 45 BRANCHES= 8 DETERM.=
1.000E
10000.000000 21000.000000 292.528717 173.759521 0.000000 0.000000 80538.093750 80538.093750 38042.128906 0.000000 0.000000 0.000000 55538.097656 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 -565.890015 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
0
RANGES IN WHICH THE BASIS IS UNCHANGED:
VARIABLE XS XK XC XM XH XG XR SXS SXC SXK SXM SXH SLIYUR SXG SLULXG SXR SLULUR SLULXR SLUXKO SLUXSIL
CURRENT COEF -29563.800781 -14781.900391 -12872.280273 -7291.990234 -6037.240234 -500.000000 -6571.430176 9000.000000 8000.000000 5000.000000 6000.000000 6000.000000 153.639999 21000.000000 142.860001 10000.000000 1250.000000 500.000000 732.559998 649.849976
OBJ COEFFICIENT RANGES ALLOWABLE ALLOWABLE INCREASE DECREASE 0.000000 INFINITY 0.000000 INFINITY 0.000000 INFINITY 0.000000 INFINITY 0.000000 INFINITY 0.000000 INFINITY 15458.654297 INFINITY INFINITY 9000.000000 INFINITY 8000.000000 INFINITY 5000.000000 INFINITY 6000.000000 INFINITY 6000.000000 INFINITY INFINITY INFINITY 21000.000000 INFINITY 142.860001 INFINITY 10000.000000 INFINITY 1250.000000 INFINITY 500.000000 424.959686 380.421295 INFINITY 212.479843
156
XKO XSIL BLLXG BLLXR BLLUR BKOTA BSOP TKSAY TKSG TKSR TKSKO TKSIL GRUM RRUM BBKO BBSIL
-59.610001 -73.400002 -142.860001 -500.000000 -1250.000000 -166.669998 -153.639999 -25000.000000 -25000.000000 -25000.000000 -25000.000000 -25000.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
ROW
CURRENT RHS 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1479.000000 5304.000000 1020.000000 255.000000 255.000000 783.000000 122724.601562 1442025.000000 9120.000000 35822.250000 539.690002 2852.439941 2246.050049 100.629997 2354.800049 0.000000
PUPUK PAKAN1 SIPAKDO SIPAKKE URIN KOTKEL KOTDOM BHNSIL TRS TRC TRK TRH TRM TRKE TRGO TRKO TRSIL TKSAY TKDO TKKE TKSIL TKKO JUMBED JUMRUM BTSAMPOR BTSTKS BTSKOTA MINSEL MINKA MINCA MINRAH MINHI NOKODE
424.959686 INFINITY 660.221069 660.221069 47535.914062 INFINITY 153.639999 80538.093750 80538.093750 80538.093750 42495.968750 INFINITY INFINITY 1610.761963 190.143661 145.957993
380.421295 212.479843 858.589783 858.589783 61818.457031 INFINITY 187.876923 INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY 42495.968750 INFINITY INFINITY 247.273819 178.483063
RIGHTHAND SIDE RANGES ALLOWABLE ALLOWABLE INCREASE DECREASE INFINITY 25500.000000 INFINITY 1274980.750000 73500.000000 20.299587 18.218042 20.299587 INFINITY 10974.399414 INFINITY 50540.000000 INFINITY 18028.080078 INFINITY 5252.350098 INFINITY 4.910015 INFINITY 14.389972 INFINITY 23101.640625 INFINITY 10.699964 INFINITY 9.219996 INFINITY 25270.000000 INFINITY 552.719971 25499.998047 INFINITY 1274980.750000 72.872169 INFINITY 807.400024 INFINITY 2740.320068 0.364361 6119.903809 0.364361 6374.903809 INFINITY 254.999985 INFINITY 0.000000 INFINITY 20.299587 INFINITY 82.414955 0.364361 6119.903809 INFINITY 0.000000 4.910015 INFINITY 23101.640625 INFINITY 14.389972 INFINITY 9.219996 INFINITY 10.699964 INFINITY 25500.000000 0.000000
157
NOURDE NOKOKEDE NOKODODE NOLIMSAY
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
156.923080 11298.460938 11298.460938 5252.350098
INFINITY INFINITY INFINITY 82.414955
158
Lampiran 13. Model SII MAX 9000SXS+8000SXC+5000SXK+6000SXM+6000SXH+153.64SLIYUR+21000SX G+142.86SLULXG+10000SXR+1250SLULUR+500SLULXR+732.56SLUXKO +649.85SLUXSIL-29563.8XS-14781.90XK-12872.28XC-7291.99XM6037.24XH-500XG-6571.43XR-59.61XKO-73.40XSIL-142.86BLLXG -500BLLXR-1250BLLUR-166.67BKOTA-153.64BSOP-649.85BLUSIL -25000TKSAY-25000TKSG-25000TKSR-25000TKSKO-25000TKSIL ST pupuk)-BKOTA-XKO+45.75XS+45.75XK+45.75XC +45.75XM+45.75XH+SLUXKO<=0 pakan1) -XSIL-BLUSIL+93.75XG+6.815XR+SLUXSIL<=0 sipakdo) -GRUM+93.75XG<=0 sipakke) -RRUM+6.815XR<=0 urin) -BLLUR-3.04XR+0.004BBKO+SLULUR<=0 kotkel) -BLLXR-14XR+0.288BBKO+SLULXR<=0 kotdom) -BLLXG-45.99XG+0.288BBKO+SLULXG<=0 bhnsil) 0.95BBSIL+SLIYUR-4.67XS-4.91XC-7.78XK-5.49XM2.99XH-BSOP=0 !kendala transfer produk akhir TRS) SXS-15.56XS<=0 TRC) SXC-24.57XC<=0 TRK) SXK-46.68XK<=0 TRH) SXH-24.9XH<=0 TRM) SXM-21.97XM<=0 TRKE) SXR-7XR<=0 TRGO) SXG-1.41XG<=0 TRKO) -0.65BBKO+XKO<=0 TRSIL) -0.84BBSIL+XSIL<=0 !kendala terkait ketersediaan tenaga kerja !asumsi: jumlah produsen silase sebanyak 5RT petani !asumsi:jumlah produsen kompos sebanyak 5RT petani TKSAY) 1.86XS+2.07 XC+0.46XK+1.47XM+1.61XH-TKSAY<=1479 TKDO) 2.79XG+0.02GRUM-TKSG<=5304 TKKE) 0.841XR+0.02RRUM-TKSR<=1020 TKSIL) 0.005XSIL-TKSIL<=255 TKKO) 0.01 XKO-TKSKO<=255
!kendala terkait ketersediaan input produksi dan sumberdaya lain di desa JUMBED) XS+XC+XK+XM+XH<=783 jumrum) GRUM+RRUM<=122724.6 btsampor) BSOP<=1442025 BTSTKS) TKSIL+TKSKO+TKSR+TKSG+TKSAY<=9120 BTSKOTA) BKOTA<=35822.25 !kendala terkait jumlah produksi minimum/bulan minsel) SXS>=539.69
159
minka) minca) minrah) minhi) END GIN GIN GIN GIN GIN GIN GIN
SXK>=2852.44 SXC>=2246.05 SXM>=100.63 SXH>=2354.8
XS XK XC XM XH XG XR
160
Lampiran 14. Output Model SII LP OPTIMUM FOUND AT STEP 34 OBJECTIVE VALUE = 733981760. SET
XC TO >= 92 AT 0.1000E+31 39 XH TO >= 95 AT 0.1000E+31 40 XK TO <= 556 AT 0.1000E+31 42 XS TO >= 35 AT 0.1000E+31 42 XR TO >= 4090 AT 0.7338E+09 53
SET SET SET SET
1, BND=
0.7339E+09 TWIN=-
2, BND=
0.7339E+09 TWIN=-
3, BND=
0.7339E+09 TWIN=-
4, BND=
0.7339E+09 TWIN=-
5, BND=
0.7338E+09 TWIN=
NEW INTEGER SOLUTION OF 733848384. AT BRANCH PIVOT 53 BOUND ON OPTIMUM: 0.7338484E+09 DELETE XR AT LEVEL 5 DELETE XS AT LEVEL 4 DELETE XK AT LEVEL 3 DELETE XH AT LEVEL 2 DELETE XC AT LEVEL 1 ENUMERATION COMPLETE. BRANCHES= 4 PIVOTS= 53
4
LAST INTEGER SOLUTION IS THE BEST FOUND RE-INSTALLING BEST SOLUTION... OBJECTIVE FUNCTION VALUE 1) VARIABLE XS XK XC XM XH XG XR SXS SXC SXK SXM SXH SLIYUR SXG SLULXG SXR SLULUR SLULXR SLUXKO
0.7338484E+09 VALUE 35.000000 556.000000 92.000000 5.000000 95.000000 0.000000 4090.000000 544.600037 2260.439941 25954.080078 109.849998 2365.500000 0.000000 0.000000 0.000000 28630.000000 12276.676758 45961.539062 25500.000000
REDUCED COST -77679.078125 -186298.796875 -150927.468750 -91856.867188 -110307.523438 25243.306641 8910.041992 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000001 0.000000 -0.000001 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
161
SLUXSIL XKO XSIL BLLXG BLLXR BLLUR BKOTA BSOP BLUSIL TKSAY TKSG TKSR TKSKO TKSIL GRUM RRUM BBKO BBSIL
ROW PUPUK) PAKAN1) SIPAKDO) SIPAKKE) URIN) KOTKEL) KOTDOM) BHNSIL) TRS) TRC) TRK) TRH) TRM) TRKE) TRGO) TRKO) TRSIL) TKSAY) TKDO) TKKE) TKSIL) TKKO) JUMBED) JUMRUM) BTSAMPOR) BTSTKS) BTSKOTA) MINSEL) MINKA) MINCA) MINRAH) MINHI)
1251695.250000 25500.000000 1279568.625000 11298.460938 0.000000 0.000000 35822.250000 1441878.875000 0.000000 0.000000 0.000000 2977.156982 0.000000 6142.842773 0.000000 27873.349609 39230.769531 1523296.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 -0.000024 80538.093750 80538.093750 0.000000 42495.968750 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
SLACK OR SURPLUS 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 807.400024 5304.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 94851.250000 146.183029 0.000000 0.000000 4.910015 23101.640625 14.389972 9.219996 10.699964
DUAL PRICES 732.559998 649.849976 0.000000 1610.761963 1250.000000 500.000000 142.860001 153.639999 9000.000000 8000.000000 5000.000000 6000.000000 6000.000000 10000.000000 21000.000000 292.528717 173.759521 0.000000 0.000000 80538.093750 80538.093750 38042.128906 0.000000 0.000000 0.000000 55538.097656 565.890015 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
162
NO. ITERATIONS= 58 BRANCHES= 4 DETERM.=
1.000E
0
RANGES IN WHICH THE BASIS IS UNCHANGED:
VARIABLE XS XK XC XM XH XG XR SXS SXC SXK SXM SXH SLIYUR SXG SLULXG SXR SLULUR SLULXR SLUXKO SLUXSIL XKO XSIL BLLXG BLLXR BLLUR BKOTA BSOP BLUSIL TKSAY TKSG TKSR TKSKO TKSIL GRUM RRUM BBKO BBSIL
ROW PUPUK PAKAN1 SIPAKDO SIPAKKE
CURRENT COEF -29563.800781 -14781.900391 -12872.280273 -7291.990234 -6037.240234 -500.000000 -6571.430176 9000.000000 8000.000000 5000.000000 6000.000000 6000.000000 153.639999 21000.000000 142.860001 10000.000000 1250.000000 500.000000 732.559998 649.849976 -59.610001 -73.400002 -142.860001 -500.000000 -1250.000000 -166.669998 -153.639999 -649.849976 -25000.000000 -25000.000000 -25000.000000 -25000.000000 -25000.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
OBJ COEFFICIENT RANGES ALLOWABLE ALLOWABLE INCREASE DECREASE 0.000000 INFINITY 0.000000 INFINITY 0.000000 INFINITY 0.000000 INFINITY 0.000000 INFINITY 25243.304688 INFINITY 8910.039062 INFINITY INFINITY 9000.000000 INFINITY 8000.000000 INFINITY 5000.000000 INFINITY 6000.000000 INFINITY 6000.000000 0.000000 INFINITY INFINITY 21000.000000 0.000000 INFINITY INFINITY 10000.000000 0.000000 1250.000000 0.000000 500.000000 424.959686 380.421295 0.000000 212.479843 424.959686 380.421295 INFINITY 212.479843 0.000000 858.589783 0.000000 INFINITY 0.000000 INFINITY INFINITY 565.890015 0.000000 187.876923 0.000000 INFINITY 80538.093750 INFINITY 80538.093750 INFINITY 80538.093750 INFINITY 42495.968750 INFINITY INFINITY 42495.968750 0.000000 INFINITY 1610.761963 INFINITY 190.143661 247.273819 145.957993 178.483063
CURRENT RHS 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
RIGHTHAND SIDE RANGES ALLOWABLE ALLOWABLE INCREASE DECREASE INFINITY 25500.000000 INFINITY 1251695.250000 INFINITY 0.000000 32.314144 94851.250000
163
URIN KOTKEL KOTDOM BHNSIL TRS TRC TRK TRH TRM TRKE TRGO TRKO TRSIL TKSAY TKDO TKKE TKSIL TKKO JUMBED JUMRUM BTSAMPOR BTSTKS BTSKOTA MINSEL MINKA MINCA MINRAH MINHI
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1479.000000 5304.000000 1020.000000 255.000000 255.000000 783.000000 122724.601562 1442025.000000 9120.000000 35822.250000 539.690002 2852.439941 2246.050049 100.629997 2354.800049
INFINITY INFINITY 11298.460938 1441878.875000 INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY 25500.000000 1274924.500000 INFINITY INFINITY 0.646283 0.646283 1037.326416 INFINITY INFINITY INFINITY 0.646283 INFINITY 4.910015 23101.640625 14.389972 9.219996 10.699964
12276.676758 45961.539062 INFINITY 146.183029 4.910015 14.389972 23101.640625 10.699964 9.219996 28630.000000 0.000000 103732.640625 129.256577 807.400024 5304.000000 6142.842773 6258.476074 254.999985 0.000000 94851.250000 146.183029 6142.842773 25500.000000 INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY
164
Lampiran 15. Model Skenario MS1 MAX 9000SXS+8000SXC+5000SXK+6000SXM+6000SXH+153.64SLIYUR +21000SXG+142.86SLULXG+10000SXR+1250SLULUR+500SLULXR +732.56SLUXKO+649.85SLUXSIL-29563.8XS-14781.90XK-12872.28XC7291.99XM-6037.24XH-500XG-6571.43XR-59.61XKO-73.40XSIL -142.86BLLXG-500BLLXR-1250BLLUR-166.67BKOTA-649.85BLUSIL -153.64BSOP-25000TKSAY-25000TKSG-25000TKSR-25000TKSKO25000TKSIL ST pupuk) -BKOTA-XKO+45.75XS+45.75XK+45.75XC+45.75XM +45.75XH+SLUXKO<=0 pakan1) -XSIL-BLUSIL+93.75XG+6.815XR+SLUXSIL<=0 sipakdo) -GRUM+93.75XG<=0 sipakke) -RRUM+6.815XR<=0 urin) -BLLUR-3.04XR+0.004BBKO+SLULUR<=0 kotkel) -BLLXR-14XR+0.288BBKO+SLULXR<=0 kotdom) -BLLXG-45.99XG+0.288BBKO+SLULXG<=0 bhnsil) 0.95BBSIL+SLIYUR-4.67XS-4.91XC-7.78XK-5.49XM -2.99XH-BSOP=0 !kendala transfer produk akhir TRS) SXS-15.56XS<=0 TRC) SXC-24.57XC<=0 TRK) SXK-46.68XK<=0 TRH) SXH-24.9XH<=0 TRM) SXM-21.97XM<=0 TRKE) SXR-7XR<=0 TRGO) SXG-1.41XG<=0 TRKO) -0.65BBKO+XKO<=0 TRSIL) -0.84BBSIL+XSIL<=0 !kendala terkait ketersediaan tenaga kerja !asumsi: jumlah produsen silase sebanyak 5RT petani !asumsi:jumlah produsen kompos sebanyak 5RT petani TKSAY) 1.86XS+2.07 XC+0.46XK+1.47XM+1.61XH-TKSAY<=1479 TKDO) 2.79XG+0.02GRUM-TKSG<=5304 TKKE) 0.841XR+0.02RRUM-TKSR<=1020 TKSIL) 0.005XSIL-TKSIL<=255 TKKO) 0.01 XKO-TKSKO<=255 !kendala terkait ketersediaan input produksi dan sumberdaya lain di desa JUMBED) XS+XC+XK+XM+XH<=783 jumrum) GRUM+RRUM<=122724.6 btsampor) BSOP<=1442025 BTSTKS) TKSIL+TKSKO+TKSR+TKSG+TKSAY<=9120 BTSKOTA) BKOTA<=35822.25 !kendala terkait jumlah produksi minimum/bulan minsel) SXS>=539.69
165
minka) minca) minrah) minhi)
SXK>=2852.44 SXC>=2246.05 SXM>=100.63 SXH>=2354.8
!KEndala terkait kondisi penerapan model (dipaksa integrasi 30% XKO) NOKOTA) BKOTA=25075.58 END GIN GIN GIN GIN GIN GIN GIN
XS XK XC XM XH XG XR
166
Lampiran 16. Output Model Skenario MS1 LP OPTIMUM FOUND AT STEP 30 OBJECTIVE VALUE = 727900352. SET
XC TO >= 92 AT 0.1000E+31 36 XH TO >= 95 AT 0.1000E+31 37 XK TO <= 556 AT 0.1000E+31 39 XS TO >= 35 AT 0.1000E+31 39 XR TO >= 4090 AT 0.7278E+09 49
SET SET SET SET
1, BND=
0.7278E+09 TWIN=-
2, BND=
0.7278E+09 TWIN=-
3, BND=
0.7278E+09 TWIN=-
4, BND=
0.7278E+09 TWIN=-
5, BND=
0.7278E+09 TWIN=
NEW INTEGER SOLUTION OF 727766912. AT BRANCH PIVOT 49 BOUND ON OPTIMUM: 0.7277669E+09 DELETE XR AT LEVEL 5 DELETE XS AT LEVEL 4 DELETE XK AT LEVEL 3 DELETE XH AT LEVEL 2 DELETE XC AT LEVEL 1 ENUMERATION COMPLETE. BRANCHES= 4 PIVOTS= 49
4
LAST INTEGER SOLUTION IS THE BEST FOUND RE-INSTALLING BEST SOLUTION... OBJECTIVE FUNCTION VALUE 1) VARIABLE XS XK XC XM XH XG XR SXS SXC SXK SXM SXH SLIYUR SXG SLULXG SXR SLULUR SLULXR SLUXKO
0.7277669E+09 VALUE 35.000000 556.000000 92.000000 5.000000 95.000000 0.000000 4090.000000 544.600037 2260.439941 25954.080078 109.849998 2365.500000 0.000000 0.000000 0.000000 28630.000000 12276.676758 45961.539062 14753.330078
REDUCED COST -77679.078125 -186298.796875 -150927.468750 -91856.867188 -110307.523438 25243.306641 8910.041992 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000001 0.000000 -0.000001 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
167
SLUXSIL XKO XSIL BLLXG BLLXR BLLUR BKOTA BLUSIL BSOP TKSAY TKSG TKSR TKSKO TKSIL GRUM RRUM BBKO BBSIL
ROW PUPUK) PAKAN1) SIPAKDO) SIPAKKE) URIN) KOTKEL) KOTDOM) BHNSIL) TRS) TRC) TRK) TRH) TRM) TRKE) TRGO) TRKO) TRSIL) TKSAY) TKDO) TKKE) TKSIL) TKKO) JUMBED) JUMRUM) BTSAMPOR) BTSTKS) BTSKOTA) MINSEL) MINKA) MINCA) MINRAH) MINHI)
1251695.250000 25500.000000 1279568.625000 11298.460938 0.000000 0.000000 25075.580078 0.000000 1441878.875000 0.000000 0.000000 2977.156982 0.000000 6142.842773 0.000000 27873.349609 39230.769531 1523296.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 -0.000024 0.000000 80538.093750 80538.093750 0.000000 42495.968750 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
SLACK OR SURPLUS 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 807.400024 5304.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 94851.250000 146.183029 0.000000 10746.669922 4.910015 23101.640625 14.389972 9.219996 10.699964
DUAL PRICES 732.559998 649.849976 0.000000 1610.761963 1250.000000 500.000000 142.860001 153.639999 9000.000000 8000.000000 5000.000000 6000.000000 6000.000000 10000.000000 21000.000000 292.528717 173.759521 0.000000 0.000000 80538.093750 80538.093750 38042.128906 0.000000 0.000000 0.000000 55538.097656 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
168
NOKOTA)
0.000000
NO. ITERATIONS= 53 BRANCHES= 4 DETERM.=
1.000E
565.890015
0
RANGES IN WHICH THE BASIS IS UNCHANGED:
VARIABLE XS XK XC XM XH XG XR SXS SXC SXK SXM SXH SLIYUR SXG SLULXG SXR SLULUR SLULXR SLUXKO SLUXSIL XKO XSIL BLLXG BLLXR BLLUR BKOTA BLUSIL BSOP TKSAY TKSG TKSR TKSKO TKSIL GRUM RRUM BBKO BBSIL
ROW PUPUK PAKAN1
CURRENT COEF -29563.800781 -14781.900391 -12872.280273 -7291.990234 -6037.240234 -500.000000 -6571.430176 9000.000000 8000.000000 5000.000000 6000.000000 6000.000000 153.639999 21000.000000 142.860001 10000.000000 1250.000000 500.000000 732.559998 649.849976 -59.610001 -73.400002 -142.860001 -500.000000 -1250.000000 -166.669998 -649.849976 -153.639999 -25000.000000 -25000.000000 -25000.000000 -25000.000000 -25000.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
OBJ COEFFICIENT RANGES ALLOWABLE ALLOWABLE INCREASE DECREASE 0.000000 INFINITY 0.000000 INFINITY 0.000000 INFINITY 0.000000 INFINITY 0.000000 INFINITY 25243.304688 INFINITY 8910.039062 INFINITY INFINITY 9000.000000 INFINITY 8000.000000 INFINITY 5000.000000 INFINITY 6000.000000 INFINITY 6000.000000 0.000000 INFINITY INFINITY 21000.000000 0.000000 INFINITY INFINITY 10000.000000 0.000000 1250.000000 0.000000 500.000000 424.959686 380.421295 0.000000 212.479843 424.959686 380.421295 INFINITY 212.479843 0.000000 858.589783 0.000000 INFINITY 0.000000 INFINITY INFINITY INFINITY 0.000000 INFINITY 0.000000 187.876923 80538.093750 INFINITY 80538.093750 INFINITY 80538.093750 INFINITY 42495.968750 INFINITY INFINITY 42495.968750 0.000000 INFINITY 1610.761963 INFINITY 190.143661 247.273819 145.957993 178.483063
CURRENT RHS 0.000000 0.000000
RIGHTHAND SIDE RANGES ALLOWABLE ALLOWABLE INCREASE DECREASE INFINITY 14753.330078 INFINITY 1251695.250000
169
SIPAKDO SIPAKKE URIN KOTKEL KOTDOM BHNSIL TRS TRC TRK TRH TRM TRKE TRGO TRKO TRSIL TKSAY TKDO TKKE TKSIL TKKO JUMBED JUMRUM BTSAMPOR BTSTKS BTSKOTA MINSEL MINKA MINCA MINRAH MINHI NOKOTA
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1479.000000 5304.000000 1020.000000 255.000000 255.000000 783.000000 122724.601562 1442025.000000 9120.000000 35822.250000 539.690002 2852.439941 2246.050049 100.629997 2354.800049 25075.580078
INFINITY 32.314144 INFINITY INFINITY 11298.460938 1441878.875000 INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY 25500.000000 1274924.500000 INFINITY INFINITY 0.646283 0.646283 1037.326416 0.000000 INFINITY INFINITY 0.646283 INFINITY 4.910015 23101.640625 14.389972 9.219996 10.699964 10746.669922
0.000000 94851.250000 12276.676758 45961.539062 INFINITY 146.183029 4.910015 14.389972 23101.640625 10.699964 9.219996 28630.000000 0.000000 103732.640625 129.256577 807.400024 5304.000000 6142.842773 6258.476074 147.533295 0.000000 94851.250000 146.183029 6142.842773 10746.669922 INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY 14753.330078
170
Lampiran 17. Model Skenario MS2 MAX 9000SXS+8000SXC+5000SXK+6000SXM+6000SXH+153.64SLIYUR+21000SX G+142.86SLULXG+10000SXR+1250SLULUR+500SLULXR+732.56SLUXKO+64 9.85SLUXSIL-29563.8XS-14781.90XK-12872.28XC-7291.99XM6037.24XH-500XG-6571.43XR-59.61XKO-73.40XSIL-142.86BLLXG -500BLLXR-1250BLLUR-166.67BKOTA-649.85BLUSIL-153.64BSOP -25000TKSAY-25000TKSG-25000TKSR-25000TKSKO-25000TKSIL ST pupuk) -BKOTA-XKO+45.75XS+45.75XK+45.75XC+45.75XM+45.75XH +SLUXKO<=0 pakan1) -XSIL-BLUSIL+93.75XG+6.815XR+SLUXSIL<=0 sipakdo) -GRUM+93.75XG<=0 sipakke) -RRUM+6.815XR<=0 urin) -BLLUR-3.04XR+0.004BBKO+SLULUR<=0 kotkel) -BLLXR-14XR+0.288BBKO+SLULXR<=0 kotdom) -BLLXG-45.99XG+0.288BBKO+SLULXG<=0 bhnsil) 0.95BBSIL+SLIYUR-4.67XS-4.91XC-7.78XK-5.49XM2.99XH-BSOP=0 !kendala transfer produk akhir TRS) SXS-15.56XS<=0 TRC) SXC-24.57XC<=0 TRK) SXK-46.68XK<=0 TRH) SXH-24.9XH<=0 TRM) SXM-21.97XM<=0 TRKE) SXR-7XR<=0 TRGO) SXG-1.41XG<=0 TRKO) -0.65BBKO+XKO<=0 TRSIL) -0.84BBSIL+XSIL<=0 !kendala terkait ketersediaan tenaga kerja !asumsi: jumlah produsen silase sebanyak 5RT petani !asumsi:jumlah produsen kompos sebanyak 5RT petani TKSAY) 1.86XS+2.07 XC+0.46XK+1.47XM+1.61XH-TKSAY<=1479 TKDO) 2.79XG+0.02GRUM-TKSG<=5304 TKKE) 0.841XR+0.02RRUM-TKSR<=1020 TKSIL) 0.005XSIL-TKSIL<=255 TKKO) 0.01 XKO-TKSKO<=255 !kendala terkait ketersediaan input produksi dan sumberdaya lain di desa JUMBED) XS+XC+XK+XM+XH<=783 jumrum) GRUM+RRUM<=122724.6 btsampor) BSOP<=1442025 BTSTKS) TKSIL+TKSKO+TKSR+TKSG+TKSAY<=9120 BTSKOTA) BKOTA<=35822.25 !kendala terkait jumlah produksi minimum/bulan minsel) SXS>=539.69 minka) SXK>=2852.44
171
minca) minrah) minhi)
SXC>=2246.05 SXM>=100.63 SXH>=2354.8
!KEndala terkait kondisi penerapan model (dipaksa integrasi 50% XKO) NOKOTA) BKOTA=17911.125 END GIN GIN GIN GIN GIN GIN GIN
XS XK XC XM XH XG XR
172
Lampiran 18. Output Model Skenario MS2 LP OPTIMUM FOUND AT STEP 18 OBJECTIVE VALUE = 723846016. SET
XC TO >= 92 AT 0.1000E+31 30 XH TO >= 95 AT 0.1000E+31 31 XK TO <= 556 AT 0.1000E+31 33 XS TO >= 35 AT 0.1000E+31 33 XR TO >= 4090 AT 0.7237E+09 44
SET SET SET SET
1, BND=
0.7238E+09 TWIN=-
2, BND=
0.7238E+09 TWIN=-
3, BND=
0.7237E+09 TWIN=-
4, BND=
0.7237E+09 TWIN=-
5, BND=
0.7237E+09 TWIN=
NEW INTEGER SOLUTION OF 723712640. AT BRANCH PIVOT 44 BOUND ON OPTIMUM: 0.7237126E+09 DELETE XR AT LEVEL 5 DELETE XS AT LEVEL 4 DELETE XK AT LEVEL 3 DELETE XH AT LEVEL 2 DELETE XC AT LEVEL 1 ENUMERATION COMPLETE. BRANCHES= 4 PIVOTS= 44
4
LAST INTEGER SOLUTION IS THE BEST FOUND RE-INSTALLING BEST SOLUTION... OBJECTIVE FUNCTION VALUE 1) VARIABLE XS XK XC XM XH XG XR SXS SXC SXK SXM SXH SLIYUR SXG SLULXG SXR SLULUR SLULXR SLUXKO
0.7237126E+09 VALUE 35.000000 556.000000 92.000000 5.000000 95.000000 0.000000 4090.000000 544.600037 2260.439941 25954.080078 109.849998 2365.500000 0.000000 0.000000 0.000000 28630.000000 12276.676758 45961.539062 7588.875000
REDUCED COST -77679.078125 -186298.796875 -150927.468750 -91856.867188 -110307.523438 25243.306641 8910.041992 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000001 0.000000 -0.000001 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
173
SLUXSIL XKO XSIL BLLXG BLLXR BLLUR BKOTA BLUSIL BSOP TKSAY TKSG TKSR TKSKO TKSIL GRUM RRUM BBKO BBSIL
ROW PUPUK) PAKAN1) SIPAKDO) SIPAKKE) URIN) KOTKEL) KOTDOM) BHNSIL) TRS) TRC) TRK) TRH) TRM) TRKE) TRGO) TRKO) TRSIL) TKSAY) TKDO) TKKE) TKSIL) TKKO) JUMBED) JUMRUM) BTSAMPOR) BTSTKS) BTSKOTA) MINSEL) MINKA) MINCA) MINRAH) MINHI)
1251695.250000 25500.000000 1279568.625000 11298.460938 0.000000 0.000000 17911.125000 0.000000 1441878.875000 0.000000 0.000000 2977.156982 0.000000 6142.842773 0.000000 27873.349609 39230.769531 1523296.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 -0.000024 0.000000 80538.093750 80538.093750 0.000000 42495.968750 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
SLACK OR SURPLUS 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 807.400024 5304.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 94851.250000 146.183029 0.000000 17911.125000 4.910015 23101.640625 14.389972 9.219996 10.699964
DUAL PRICES 732.559998 649.849976 0.000000 1610.761963 1250.000000 500.000000 142.860001 153.639999 9000.000000 8000.000000 5000.000000 6000.000000 6000.000000 10000.000000 21000.000000 292.528717 173.759521 0.000000 0.000000 80538.093750 80538.093750 38042.128906 0.000000 0.000000 0.000000 55538.097656 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
174
NOKOTA)
0.000000
NO. ITERATIONS= 48 BRANCHES= 4 DETERM.=
1.000E
565.890015
0
RANGES IN WHICH THE BASIS IS UNCHANGED:
VARIABLE XS XK XC XM XH XG XR SXS SXC SXK SXM SXH SLIYUR SXG SLULXG SXR SLULUR SLULXR SLUXKO SLUXSIL XKO XSIL BLLXG BLLXR BLLUR BKOTA BLUSIL BSOP TKSAY TKSG TKSR TKSKO TKSIL GRUM RRUM BBKO BBSIL
ROW PUPUK PAKAN1
CURRENT COEF -29563.800781 -14781.900391 -12872.280273 -7291.990234 -6037.240234 -500.000000 -6571.430176 9000.000000 8000.000000 5000.000000 6000.000000 6000.000000 153.639999 21000.000000 142.860001 10000.000000 1250.000000 500.000000 732.559998 649.849976 -59.610001 -73.400002 -142.860001 -500.000000 -1250.000000 -166.669998 -649.849976 -153.639999 -25000.000000 -25000.000000 -25000.000000 -25000.000000 -25000.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
OBJ COEFFICIENT RANGES ALLOWABLE ALLOWABLE INCREASE DECREASE 0.000000 INFINITY 0.000000 INFINITY 0.000000 INFINITY 0.000000 INFINITY 0.000000 INFINITY 25243.304688 INFINITY 8910.039062 INFINITY INFINITY 9000.000000 INFINITY 8000.000000 INFINITY 5000.000000 INFINITY 6000.000000 INFINITY 6000.000000 0.000000 INFINITY INFINITY 21000.000000 0.000000 INFINITY INFINITY 10000.000000 0.000000 1250.000000 0.000000 500.000000 424.959686 380.421295 0.000000 212.479843 424.959686 380.421295 INFINITY 212.479843 0.000000 858.589783 0.000000 INFINITY 0.000000 INFINITY INFINITY INFINITY 0.000000 INFINITY 0.000000 187.876923 80538.093750 INFINITY 80538.093750 INFINITY 80538.093750 INFINITY 42495.968750 INFINITY INFINITY 42495.968750 0.000000 INFINITY 1610.761963 INFINITY 190.143661 247.273819 145.957993 178.483063
CURRENT RHS 0.000000 0.000000
RIGHTHAND SIDE RANGES ALLOWABLE ALLOWABLE INCREASE DECREASE INFINITY 7588.875000 INFINITY 1251695.250000
175
SIPAKDO SIPAKKE URIN KOTKEL KOTDOM BHNSIL TRS TRC TRK TRH TRM TRKE TRGO TRKO TRSIL TKSAY TKDO TKKE TKSIL TKKO JUMBED JUMRUM BTSAMPOR BTSTKS BTSKOTA MINSEL MINKA MINCA MINRAH MINHI NOKOTA
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1479.000000 5304.000000 1020.000000 255.000000 255.000000 783.000000 122724.601562 1442025.000000 9120.000000 35822.250000 539.690002 2852.439941 2246.050049 100.629997 2354.800049 17911.125000
INFINITY 32.314144 INFINITY INFINITY 11298.460938 1441878.875000 INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY 25500.000000 1274924.500000 INFINITY INFINITY 0.646283 0.646283 1037.326416 INFINITY INFINITY INFINITY 0.646283 INFINITY 4.910015 23101.640625 14.389972 9.219996 10.699964 17911.125000
0.000000 94851.250000 12276.676758 45961.539062 INFINITY 146.183029 4.910015 14.389972 23101.640625 10.699964 9.219996 28630.000000 0.000000 103732.640625 129.256577 807.400024 5304.000000 6142.842773 6258.476074 75.888748 0.000000 94851.250000 146.183029 6142.842773 17911.125000 INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY 7588.875000
176
Lampiran 19. Model Skenario MS3 MAX 9000SXS+8000SXC+5000SXK+6000SXM+6000SXH+153.64SLIYUR+21000SX G+142.86SLULXG+10000SXR+1250SLULUR+500SLULXR+732.56SLUXKO +649.85SLUXSIL-29563.8XS-14781.90XK-12872.28XC-7291.99XM6037.24XH-500XG-6571.43XR-59.61XKO-73.40XSIL-142.86BLLXG -500BLLXR-1250BLLUR-166.67BKOTA-649.85BLUSIL-153.64BSOP -25000TKSAY-25000TKSG-25000TKSR-25000TKSKO-25000TKSIL ST pupuk) -BKOTA-XKO+45.75XS+45.75XK+45.75XC+45.75XM+45.75XH +SLUXKO<=0 pakan1) -XSIL-BLUSIL+93.75XG+6.815XR+SLUXSIL<=0 sipakdo) -GRUM+93.75XG<=0 sipakke) -RRUM+6.815XR<=0 urin) -BLLUR-3.04XR+0.004BBKO+SLULUR<=0 kotkel) -BLLXR-14XR+0.288BBKO+SLULXR<=0 kotdom) -BLLXG-45.99XG+0.288BBKO+SLULXG<=0 bhnsil) 0.95BBSIL+SLIYUR-4.67XS-4.91XC-7.78XK-5.49XM2.99XH-BSOP=0 !kendala transfer produk akhir TRS) SXS-15.56XS<=0 TRC) SXC-24.57XC<=0 TRK) SXK-46.68XK<=0 TRH) SXH-24.9XH<=0 TRM) SXM-21.97XM<=0 TRKE) SXR-7XR<=0 TRGO) SXG-1.41XG<=0 TRKO) -0.65BBKO+XKO<=0 TRSIL) -0.84BBSIL+XSIL<=0 !kendala terkait ketersediaan tenaga kerja !asumsi: jumlah produsen silase sebanyak 5RT petani !asumsi:jumlah produsen kompos sebanyak 5RT petani TKSAY) 1.86XS+2.07 XC+0.46XK+1.47XM+1.61XH-TKSAY<=1479 TKDO) 2.79XG+0.02GRUM-TKSG<=5304 TKKE) 0.841XR+0.02RRUM-TKSR<=1020 TKSIL) 0.005XSIL-TKSIL<=255 TKKO) 0.01 XKO-TKSKO<=255
!kendala terkait ketersediaan input produksi dan sumberdaya lain di desa JUMBED) XS+XC+XK+XM+XH<=783 jumrum) GRUM+RRUM<=122724.6 btsampor) BSOP<=1442025 BTSTKS) TKSIL+TKSKO+TKSR+TKSG+TKSAY<=9120 BTSKOTA) BKOTA<=35822.25 !kendala terkait jumlah produksi minimum/bulan minsel) SXS>=539.69
177
minka) minca) minrah) minhi)
SXK>=2852.44 SXC>=2246.05 SXM>=100.63 SXH>=2354.8
!KEndala terkait kondisi penerapan model (dipaksa integrasi 70% XKO) NOKOTA) BKOTA=10746.675
END GIN GIN GIN GIN GIN GIN GIN
XS XK XC XM XH XG XR
178
Lampiran 20. Output Model Skenario MS3 LP OPTIMUM FOUND AT STEP 6 OBJECTIVE VALUE = 719791744. SET
XC TO >= 92 AT 0.1000E+31 18 XH TO >= 95 AT 0.1000E+31 19 XK TO <= 556 AT 0.1000E+31 21 XS TO >= 35 AT 0.1000E+31 21 XR TO >= 4090 AT 0.7197E+09 32
SET SET SET SET
1, BND=
0.7197E+09 TWIN=-
2, BND=
0.7197E+09 TWIN=-
3, BND=
0.7197E+09 TWIN=-
4, BND=
0.7197E+09 TWIN=-
5, BND=
0.7197E+09 TWIN=
NEW INTEGER SOLUTION OF 719658368. AT BRANCH PIVOT 32 BOUND ON OPTIMUM: 0.7196584E+09 DELETE XR AT LEVEL 5 DELETE XS AT LEVEL 4 DELETE XK AT LEVEL 3 DELETE XH AT LEVEL 2 DELETE XC AT LEVEL 1 ENUMERATION COMPLETE. BRANCHES= 4 PIVOTS= 32
4
LAST INTEGER SOLUTION IS THE BEST FOUND RE-INSTALLING BEST SOLUTION... OBJECTIVE FUNCTION VALUE 1) VARIABLE XS XK XC XM XH XG XR SXS SXC SXK SXM SXH SLIYUR SXG SLULXG SXR SLULUR SLULXR SLUXKO
0.7196584E+09 VALUE 35.000000 556.000000 92.000000 5.000000 95.000000 0.000000 4090.000000 544.600037 2260.439941 25954.080078 109.849998 2365.500000 0.000000 0.000000 0.000000 28630.000000 12276.676758 45961.539062 424.424805
REDUCED COST -77679.078125 -186298.796875 -150927.468750 -91856.867188 -110307.523438 25243.306641 8910.041992 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000001 0.000000 -0.000001 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
179
SLUXSIL XKO XSIL BLLXG BLLXR BLLUR BKOTA BLUSIL BSOP TKSAY TKSG TKSR TKSKO TKSIL GRUM RRUM BBKO BBSIL
ROW PUPUK) PAKAN1) SIPAKDO) SIPAKKE) URIN) KOTKEL) KOTDOM) BHNSIL) TRS) TRC) TRK) TRH) TRM) TRKE) TRGO) TRKO) TRSIL) TKSAY) TKDO) TKKE) TKSIL) TKKO) JUMBED) JUMRUM) BTSAMPOR) BTSTKS) BTSKOTA) MINSEL) MINKA) MINCA) MINRAH) MINHI)
1251695.250000 25500.000000 1279568.625000 11298.460938 0.000000 0.000000 10746.674805 0.000000 1441878.875000 0.000000 0.000000 2977.156982 0.000000 6142.842773 0.000000 27873.349609 39230.769531 1523296.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 -0.000024 0.000000 80538.093750 80538.093750 0.000000 42495.968750 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
SLACK OR SURPLUS 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 807.400024 5304.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 94851.250000 146.183029 0.000000 25075.574219 4.910015 23101.640625 14.389972 9.219996 10.699964
DUAL PRICES 732.559998 649.849976 0.000000 1610.761963 1250.000000 500.000000 142.860001 153.639999 9000.000000 8000.000000 5000.000000 6000.000000 6000.000000 10000.000000 21000.000000 292.528717 173.759521 0.000000 0.000000 80538.093750 80538.093750 38042.128906 0.000000 0.000000 0.000000 55538.097656 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
180
NOKOTA)
0.000000
NO. ITERATIONS= 36 BRANCHES= 4 DETERM.=
1.000E
565.890015
0
RANGES IN WHICH THE BASIS IS UNCHANGED:
VARIABLE XS XK XC XM XH XG XR SXS SXC SXK SXM SXH SLIYUR SXG SLULXG SXR SLULUR SLULXR SLUXKO SLUXSIL XKO XSIL BLLXG BLLXR BLLUR BKOTA BLUSIL BSOP TKSAY TKSG TKSR TKSKO TKSIL GRUM RRUM BBKO BBSIL
ROW PUPUK PAKAN1
CURRENT COEF -29563.800781 -14781.900391 -12872.280273 -7291.990234 -6037.240234 -500.000000 -6571.430176 9000.000000 8000.000000 5000.000000 6000.000000 6000.000000 153.639999 21000.000000 142.860001 10000.000000 1250.000000 500.000000 732.559998 649.849976 -59.610001 -73.400002 -142.860001 -500.000000 -1250.000000 -166.669998 -649.849976 -153.639999 -25000.000000 -25000.000000 -25000.000000 -25000.000000 -25000.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
OBJ COEFFICIENT RANGES ALLOWABLE ALLOWABLE INCREASE DECREASE 0.000000 INFINITY 0.000000 INFINITY 0.000000 INFINITY 0.000000 INFINITY 0.000000 INFINITY 25243.304688 INFINITY 8910.039062 INFINITY INFINITY 9000.000000 INFINITY 8000.000000 INFINITY 5000.000000 INFINITY 6000.000000 INFINITY 6000.000000 0.000000 INFINITY INFINITY 21000.000000 0.000000 INFINITY INFINITY 10000.000000 0.000000 1250.000000 0.000000 500.000000 424.959686 380.421295 0.000000 212.479843 424.959686 380.421295 INFINITY 212.479843 0.000000 858.589783 0.000000 INFINITY 0.000000 INFINITY INFINITY INFINITY 0.000000 INFINITY 0.000000 187.876923 80538.093750 INFINITY 80538.093750 INFINITY 80538.093750 INFINITY 42495.968750 INFINITY INFINITY 42495.968750 0.000000 INFINITY 1610.761963 INFINITY 190.143661 247.273819 145.957993 178.483063
CURRENT RHS 0.000000 0.000000
RIGHTHAND SIDE RANGES ALLOWABLE ALLOWABLE INCREASE DECREASE INFINITY 424.424805 INFINITY 1251695.250000
181
SIPAKDO SIPAKKE URIN KOTKEL KOTDOM BHNSIL TRS TRC TRK TRH TRM TRKE TRGO TRKO TRSIL TKSAY TKDO TKKE TKSIL TKKO JUMBED JUMRUM BTSAMPOR BTSTKS BTSKOTA MINSEL MINKA MINCA MINRAH MINHI NOKOTA
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1479.000000 5304.000000 1020.000000 255.000000 255.000000 783.000000 122724.601562 1442025.000000 9120.000000 35822.250000 539.690002 2852.439941 2246.050049 100.629997 2354.800049 10746.674805
INFINITY 32.314144 INFINITY INFINITY 11298.460938 1441878.875000 INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY 25500.000000 1274924.500000 INFINITY INFINITY 0.646283 0.646283 1037.326416 INFINITY INFINITY INFINITY 0.646283 INFINITY 4.910015 23101.640625 14.389972 9.219996 10.699964 25075.574219
0.000000 94851.250000 12276.676758 45961.539062 INFINITY 146.183029 4.910015 14.389972 23101.640625 10.699964 9.219996 28630.000000 0.000000 103732.640625 129.256577 807.400024 5304.000000 6142.842773 6258.476074 4.244248 0.000000 94851.250000 146.183029 6142.842773 25075.574219 INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY 424.424805
182
Lampiran 21. Model Skenario MS4 MAX 9000SXS+8000SXC+5000SXK+6000SXM+6000SXH+153.64SLIYUR+21000SX G+142.86SLULXG+10000SXR+1250SLULUR+500SLULXR+732.56SLUXKO +649.85SLUXSIL-29563.8XS-14781.90XK-12872.28XC-7291.99XM6037.24XH-500XG-6571.43XR-59.61XKO-73.40XSIL-142.86BLLXG -500BLLXR-1250BLLUR-166.67BKOTA-649.85BLUSIL-153.64BSOP -25000TKSAY-25000TKSG-25000TKSR-25000TKSKO-25000TKSIL ST pupuk) -BKOTA-XKO+45.75XS+45.75XK+45.75XC+45.75XM+45.75XH +SLUXKO<=0 pakan1) -XSIL-BLUSIL+93.75XG+6.815XR+SLUXSIL<=0 sipakdo) -GRUM+93.75XG<=0 sipakke) -RRUM+6.815XR<=0 urin) -BLLUR-3.04XR+0.004BBKO+SLULUR<=0 kotkel) -BLLXR-14XR+0.288BBKO+SLULXR<=0 kotdom) -BLLXG-45.99XG+0.288BBKO+SLULXG<=0 bhnsil) 0.95BBSIL+SLIYUR-4.67XS-4.91XC-7.78XK-5.49XM2.99XH-BSOP=0 !kendala transfer produk akhir TRS) SXS-15.56XS<=0 TRC) SXC-24.57XC<=0 TRK) SXK-46.68XK<=0 TRH) SXH-24.9XH<=0 TRM) SXM-21.97XM<=0 TRKE) SXR-7XR<=0 TRGO) SXG-1.41XG<=0 TRKO) -0.65BBKO+XKO<=0 TRSIL) -0.84BBSIL+XSIL<=0 !kendala terkait ketersediaan tenaga kerja !asumsi: jumlah produsen silase sebanyak 5RT petani !asumsi:jumlah produsen kompos sebanyak 5RT petani TKSAY) 1.86XS+2.07 XC+0.46XK+1.47XM+1.61XH-TKSAY<=1479 TKDO) 2.79XG+0.02GRUM-TKSG<=5304 TKKE) 0.841XR+0.02RRUM-TKSR<=1020 TKSIL) 0.005XSIL-TKSIL<=255 TKKO) 0.01 XKO-TKSKO<=255
!kendala terkait ketersediaan input produksi dan sumberdaya lain di desa JUMBED) XS+XC+XK+XM+XH<=783 jumrum) GRUM+RRUM<=122724.6 btsampor) BSOP<=1442025 BTSTKS) TKSIL+TKSKO+TKSR+TKSG+TKSAY<=9120 BTSKOTA) BKOTA<=35822.25 !kendala terkait jumlah produksi minimum/bulan minsel) SXS>=539.69
183
minka) minca) minrah) minhi)
SXK>=2852.44 SXC>=2246.05 SXM>=100.63 SXH>=2354.8
!KEndala terkait kondisi penerapan model (dipaksa integrasi 100% XKO) NOKOTA) BKOTA=0 END GIN GIN GIN GIN GIN GIN GIN
XS XK XC XM XH XG XR
184
Lampiran 22. Output Model Skenario MS4 LP OPTIMUM FOUND AT STEP 15 OBJECTIVE VALUE = 710264832. SET
XC TO >= 92 AT 0.1000E+31 54 XH TO >= 95 AT 0.1000E+31 55 XK TO <= 556 AT 0.1000E+31 57 XS TO >= 35 AT 0.1000E+31 57 XR TO >= 3984 AT 0.7101E+09 72
SET SET SET SET
1, BND=
0.7102E+09 TWIN=-
2, BND=
0.7102E+09 TWIN=-
3, BND=
0.7102E+09 TWIN=-
4, BND=
0.7102E+09 TWIN=-
5, BND=
0.7101E+09 TWIN=
NEW INTEGER SOLUTION OF 710134848. AT BRANCH PIVOT 72 BOUND ON OPTIMUM: 0.7101348E+09 DELETE XR AT LEVEL 5 DELETE XS AT LEVEL 4 DELETE XK AT LEVEL 3 DELETE XH AT LEVEL 2 DELETE XC AT LEVEL 1 ENUMERATION COMPLETE. BRANCHES= 4 PIVOTS= 72
4
LAST INTEGER SOLUTION IS THE BEST FOUND RE-INSTALLING BEST SOLUTION... OBJECTIVE FUNCTION VALUE 1) VARIABLE XS XK XC XM XH XG XR SXS SXC SXK SXM SXH SLIYUR SXG SLULXG SXR SLULUR SLULXR SLUXKO
0.7101348E+09 VALUE 35.000000 556.000000 92.000000 5.000000 95.000000 0.000000 3984.000000 544.600037 2260.439941 25954.080078 109.849998 2365.500000 0.000000 0.000000 0.000000 27888.000000 11890.915039 39903.988281 0.000000
REDUCED COST -58237.175781 -166856.890625 -131485.562500 -72414.960938 -90865.617188 25243.306641 8910.041992 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000001 0.000000 -0.000001 0.000000 0.000000 0.000000 424.959686
185
SLUXSIL XKO XSIL BLLXG BLLXR BLLUR BKOTA BLUSIL BSOP TKSAY TKSG TKSR TKSKO TKSIL GRUM RRUM BBKO BBSIL
ROW PUPUK) PAKAN1) SIPAKDO) SIPAKKE) URIN) KOTKEL) KOTDOM) BHNSIL) TRS) TRC) TRK) TRH) TRM) TRKE) TRGO) TRKO) TRSIL) TKSAY) TKDO) TKKE) TKSIL) TKKO) JUMBED) JUMRUM) BTSAMPOR) BTSTKS) BTSKOTA) MINSEL) MINKA) MINCA) MINRAH) MINHI)
1252491.875000 35822.250000 1279642.875000 15872.011719 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1441962.750000 0.000000 0.000000 2873.563232 103.222504 6143.214355 0.000000 27150.960938 55111.152344 1523384.375000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 -0.000024 0.000000 80538.093750 80538.093750 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
SLACK OR SURPLUS 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 807.400024 5304.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 95573.640625 62.197979 0.000000 35822.250000 4.910015 23101.640625 14.389972 9.219996 10.699964
DUAL PRICES 1157.519653 649.849976 0.000000 1610.761963 1250.000000 500.000000 142.860001 153.639999 9000.000000 8000.000000 5000.000000 6000.000000 6000.000000 10000.000000 21000.000000 292.528717 173.759521 0.000000 0.000000 80538.093750 80538.093750 80538.093750 0.000000 0.000000 0.000000 55538.097656 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
186
NOKOTA)
0.000000
NO. ITERATIONS= 79 BRANCHES= 4 DETERM.=
1.000E
990.849670
0
RANGES IN WHICH THE BASIS IS UNCHANGED:
VARIABLE XS XK XC XM XH XG XR SXS SXC SXK SXM SXH SLIYUR SXG SLULXG SXR SLULUR SLULXR SLUXKO SLUXSIL XKO XSIL BLLXG BLLXR BLLUR BKOTA BLUSIL BSOP TKSAY TKSG TKSR TKSKO TKSIL GRUM RRUM BBKO BBSIL
ROW PUPUK PAKAN1
CURRENT COEF -29563.800781 -14781.900391 -12872.280273 -7291.990234 -6037.240234 -500.000000 -6571.430176 9000.000000 8000.000000 5000.000000 6000.000000 6000.000000 153.639999 21000.000000 142.860001 10000.000000 1250.000000 500.000000 732.559998 649.849976 -59.610001 -73.400002 -142.860001 -500.000000 -1250.000000 -166.669998 -649.849976 -153.639999 -25000.000000 -25000.000000 -25000.000000 -25000.000000 -25000.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
OBJ COEFFICIENT RANGES ALLOWABLE ALLOWABLE INCREASE DECREASE 0.000000 INFINITY 0.000000 INFINITY 0.000000 INFINITY 0.000000 INFINITY 0.000000 INFINITY 25243.304688 INFINITY 8910.039062 INFINITY INFINITY 9000.000000 INFINITY 8000.000000 INFINITY 5000.000000 INFINITY 6000.000000 INFINITY 6000.000000 0.000000 INFINITY INFINITY 21000.000000 0.000000 INFINITY INFINITY 10000.000000 0.000000 1250.000000 0.000000 500.000000 424.959656 INFINITY 0.000000 212.479828 424.959656 INFINITY INFINITY 212.479828 0.000000 INFINITY 0.000000 INFINITY 0.000000 INFINITY INFINITY INFINITY 0.000000 INFINITY 0.000000 187.876907 80538.093750 INFINITY 80538.093750 INFINITY 80538.093750 INFINITY 42495.964844 INFINITY INFINITY 42495.964844 0.000000 INFINITY 1610.761963 INFINITY 190.143661 INFINITY 145.957993 178.483063
CURRENT RHS 0.000000 0.000000
RIGHTHAND SIDE RANGES ALLOWABLE ALLOWABLE INCREASE DECREASE 27.498055 90061.085938 INFINITY 1252491.875000
187
SIPAKDO SIPAKKE URIN KOTKEL KOTDOM BHNSIL TRS TRC TRK TRH TRM TRKE TRGO TRKO TRSIL TKSAY TKDO TKKE TKSIL TKKO JUMBED JUMRUM BTSAMPOR BTSTKS BTSKOTA MINSEL MINKA MINCA MINRAH MINHI NOKOTA
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1479.000000 5304.000000 1020.000000 255.000000 255.000000 783.000000 122724.601562 1442025.000000 9120.000000 35822.250000 539.690002 2852.439941 2246.050049 100.629997 2354.800049 0.000000
INFINITY 13.749027 INFINITY INFINITY 15872.011719 1441962.750000 INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY 35822.250000 1274998.625000 INFINITY INFINITY 0.274981 0.274981 0.274981 INFINITY INFINITY INFINITY 0.274981 INFINITY 4.910015 23101.640625 14.389972 9.219996 10.699964 27.498055
0.000000 95573.640625 11890.915039 39903.988281 INFINITY 62.197979 4.910015 14.389972 23101.640625 10.699964 9.219996 27888.000000 0.000000 90061.085938 54.996109 807.400024 5304.000000 6143.214355 6262.459473 6143.214355 0.000000 95573.640625 62.197979 6143.214355 35822.250000 INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY 0.000000
188
Lampiran 23. Keterangan Kendala Model Nama Kendala Pupuk Pakan1 Sipakdo Sipakke Urin Kotkel Kotdom Bhnsil Trs Trc Trk Trh Trm Trke Trgo Trko Trsil Tksay Tkdo Tkke Tksil Tkko Jumbed Jumrum Btsampor Btstks Btskota Minsel Minka Minca Minrah Minhi Nokode Nourde Nokokede Nokodode
KeteranganKendala Transfer pupuk organik Transfer pakan silase Transfer pakan rumput domba Transfer pakan rumput kelinci Transfer urin kelinci Transfer kotoran kelinci Transfer kotoran domba Transfer limbah sayuran;limbah organik pasar sebagai bahan baku silase Transfer produk selada Transfer produk caisin Transfer produk kangkung Transfer produk bayam hijau Transfer produk bayam merah Transfer produk anakan kelinci Transfer produk daging domba Transfer produksi pupuk bokashi Transfer produksi silase Tenaga kerja usahatani sayuran organik Tenaga kerja usahaternak domba Tenaga kerja usahaternak kelinci Tenaga kerja produsen silase Tenaga kerja produsen pupuk bokashi Ketersediaan bedengan Ketersediaan rumput lapangan Ketersediaan limbah organik pasar Ketersediaan tenaga kerja sewa di Desa Karehkel Ketersediaan pupuk kotoran ayam dari luar desa Permintaan minimum selada Permintaan minimum kangkung Permintaan minimum caisin Permintaan minimum bayam merah Permintaan minimum bayam hijau Seluruh pemenuhan kebutuhan pupuk berasal dari luar desa Seluruh pemenuhan kebutuhan urin berasal dari luar desa Seluruh pemenuhan kebutuhan kotoran kelinci berasal dari luar desa Seluruh pemenuhan kebutuhan kotoran domba berasal dari luar desa
189
Nolimsay nokota
Seluruh pemenuhan kebutuhan bahan hijauan silase berasal dari luar desa Pemenuhan kebutuhan pupuk kotoran ayam dari luar desa pada skenario kebijakan
190
Lampiran 24. Kenaikan Harga Sayuran Organik MS1 Aktivitas Usahatani Sayuran Organik
Harga Awal
Kenaikan Harga (%)
Harga Akhir
Jumlah Aktivitas
Jumlah penerimaan
a. Jual selada
9,000.00
3.628400
9,326.56
544.60
5,079,242.40
b. Jual kangkung
5,000.00
3.628400
5,181.42
25,954.08
134,478,989.19
c. Jual caisim
8,000.00
3.628400
8,290.27
2,260.44
18,739,662.44
d. Jual bayam merah
6,000.00
3.628400
6,217.70
109.85
683,014.78
e. Jual bayam hijau
6,000.00
3.628400
6,217.70
2,365.50
14,707,978.81
153.64
0.000000
153.64
0.00
0.00
0.00
0.000000
0.00
5,252.35
0.00
f. Jual limbah sayuran g.PL limbah sayura di dalam desa
0.00
Usaha Ternak Domba a. Menjual daging b. JL domba dalam c. JL domba luar
21,000.0 0
0.000000
21,000.00
0.00
0.00
0.00
0.000000
0.00
0.00
0.00
142.86
0.000000
142.86
0.00
0.00 0.00
Usaha Ternak Kelinci 10,000.0 0
0.000000
10,000.00
28,630.00
286,300,000.00
0.00
0.000000
0.00
11,298.46
0.00
c. JL kelinci luar
500.00
0.000000
500.00
45,961.54
22,980,770.00
d. PL urin dalam
0.00
0.000000
0.00
156.92
0.00
1,250.00
0.000000
1,250.00
12,276.68
15,345,850.00
a. Menjual anakan b. PL kelinci dalam
e. JL urin luar
0.00
Usaha produksi silase a. pemanfaatan ke dalam b. Jual silase ke luar
0.00
0.000000
0.00
27,873.38
0.00
649.85
0.000000
649.85
1,251,695.25
813,414,158.21 0.00
Usaha produksi kompos a. pemanfaatan ke dalam b. Jual kompos ke luar TOTAL PENERIMAAN TOTAL PENGELUARAN PROFIT
0.00
0.000000
0.00
10,746.68
0.00
732.56
0.000000
732.56
14,753.33
10,807,695.76 1,322,537,361.6 0 588,688,972.12 733,848,389.48
191
Lampiran 25. Kenaikan Harga Sayuran Organik MS2 Aktivitas Usahatani Sayuran Organik
Harga Awal
Kenaikan Harga (%)
Harga Akhir
Jumlah Aktivitas
Jumlah penerimaan
a. Jual selada
9,000.00
6.047400
9,544.27
544.60
5,197,807.26
b. Jual kangkung
5,000.00
6.047400
5,302.37
25,954.08
137,618,135.17
c. Jual caisim
8,000.00
6.047400
8,483.79
2,260.44
19,177,102.79
d. Jual bayam merah
6,000.00
6.047400
6,362.84
109.85
698,958.41
e. Jual bayam hijau
6,000.00
6.047400
6,362.84
2,365.50
15,051,307.48
153.64
0.000000
153.64
0.00
0.00
0.00
0.000000
0.00
5,252.35
0.00
f. Jual limbah sayuran g.PL limbah sayura di dalam desa
0.000000
Usaha Ternak Domba a. Menjual daging b. JL domba dalam c. JL domba luar
0.00
21,000.0 0
0.000000
21,000.00
0.00
0.00
0.00
0.000000
0.00
0.00
0.00
142.86
0.000000
142.86
0.00
0.00 0.00
Usaha Ternak Kelinci 10,000.0 0
0.000000
10,000.00
28,630.00
286,300,000.00
0.00
0.000000
0.00
11,298.46
0.00
c. JL kelinci luar
500.00
0.000000
500.00
45,961.54
22,980,770.00
d. PL urin dalam
0.00
0.000000
0.00
156.92
0.00
1,250.00
0.000000
1,250.00
12,276.68
15,345,850.00
a. Menjual anakan b. PL kelinci dalam
e. JL urin luar
0.00
Usaha produksi silase a. pemanfaatan ke dalam b. Jual silase ke luar
0.00
0.000000
0.00
27,873.38
0.00
649.85
0.000000
649.85
1,251,695.25
813,414,158.21 0.00
Usaha produksi kompos a. pemanfaatan ke dalam b. Jual kompos ke luar TOTAL PENERIMAAN TOTAL PENGELUARAN PROFIT
0.00
0.000000
0.00
17,911.13
0.00
732.56
0.000000
732.56
7,588.88
5,559,306.27 1,321,343,395.6 0 587,494,873.24 733,848,522.36
192
Lampiran 26. Kenaikan Harga Sayuran Organik MS3 Aktivitas Usahatani Sayuran Organik
Harga Awal
Kenaikan Harga (%)
Harga Akhir
Jumlah Aktivitas
Jumlah penerimaan
a. Jual selada
9,000.00
8.466300
9,761.97
544.60
5,316,367.23
b. Jual kangkung
5,000.00
8.466300
5,423.32
25,954.08
140,757,151.38
c. Jual caisim
8,000.00
8.466300
8,677.30
2,260.44
19,614,525.05
d. Jual bayam merah
6,000.00
8.466300
6,507.98
109.85
714,901.38
e. Jual bayam hijau
6,000.00
8.466300
6,507.98
2,365.50
15,394,621.96
153.64
0.000000
153.64
0.00
0.00
0.00
0.000000
0.00
5,252.35
0.00
f. Jual limbah sayuran g.PL limbah sayura di dalam desa
0.00
Usaha Ternak Domba a. Menjual daging b. JL domba dalam c. JL domba luar
21,000.0 0
0.000000
21,000.00
0.00
0.00
0.00
0.000000
0.00
0.00
0.00
142.86
0.000000
142.86
0.00
0.00 0.00
Usaha Ternak Kelinci 10,000.0 0
0.000000
10,000.00
28,630.00
286,300,000.00
0.00
0.000000
0.00
11,298.46
0.00
c. JL kelinci luar
500.00
0.000000
500.00
45,961.54
22,980,770.00
d. PL urin dalam
0.00
0.000000
0.00
156.92
0.00
1,250.00
0.000000
1,250.00
12,276.68
15,345,850.00
a. Menjual anakan b. PL kelinci dalam
e. JL urin luar
0.00
Usaha produksi silase a. pemanfaatan ke dalam b. Jual silase ke luar
0.00
0.000000
0.00
27,873.38
0.00
649.85
0.000000
649.85
1,251,695.25
813,414,158.21 0.00
Usaha produksi kompos a. pemanfaatan ke dalam b. Jual kompos ke luar TOTAL PENERIMAAN TOTAL PENGELUARAN PROFIT
0.00
0.000000
0.00
25,075.58
0.00
732.56
0.000000
732.56
424.43
310,916.78 1,320,149,261.9 9 586,300,774.36 733,848,487.63
193
Lampiran 27. Kenaikan Harga Sayuran Organik MS4 Aktivitas Usahatani Sayuran Organik
Harga Awal
Kenaikan Harga (%)
Harga Akhir
Jumlah Aktivitas
Jumlah penerimaan
a. Jual selada
9,000.00
14.149000
10,273.41
544.60
5,594,899.09
b. Jual kangkung
5,000.00
14.149000
5,707.45
25,954.08
148,131,613.90
c. Jual caisim
8,000.00
14.149000
9,131.92
2,260.44
20,642,157.24
d. Jual bayam merah
6,000.00
14.149000
6,848.94
109.85
752,356.06
e. Jual bayam hijau
6,000.00
14.149000
6,848.94
2,365.50
16,201,167.57
153.64
0.000000
153.64
0.00
0.00
0.00
0.000000
0.00
5,252.35
0.00
f. Jual limbah sayuran g.PL limbah sayura di dalam desa
0.00
Usaha Ternak Domba a. Menjual daging b. JL domba dalam c. JL domba luar
21,000.0 0
0.000000
21,000.00
0.00
0.00
0.00
0.000000
0.00
0.00
0.00
142.86
0.000000
142.86
0.00
0.00 0.00
Usaha Ternak Kelinci 10,000.0 0
0.000000
10,000.00
27,888.00
278,880,000.00
0.00
0.000000
0.00
15,872.01
0.00
c. JL kelinci luar
500.00
0.000000
500.00
39,903.99
19,951,995.00
d. PL urin dalam
0.00
0.000000
0.00
220.44
0.00
1,250.00
0.000000
1,250.00
11,890.92
14,863,650.00
a. Menjual anakan b. PL kelinci dalam
e. JL urin luar
0.00
Usaha produksi silase a. pemanfaatan ke dalam b. Jual silase ke luar
0.00
0.000000
0.00
27,150.96
0.00
649.85
0.000000
649.85
1,252,491.88
813,931,844.97 0.00
Usaha produksi kompos a. pemanfaatan ke dalam b. Jual kompos ke luar TOTAL PENERIMAAN TOTAL PENGELUARAN PROFIT
0.00
0.000000
0.00
35,822.25
0.00
732.56
0.000000
732.56
0.00
0.00 1,318,949,683.8 2 585,099,828.00 733,849,855.82
194
Lampiran 28. Dokumentasi Kegiatan
195