Pemanfaatan Limbah Ampas Kelapa (Cocos nucifera Lin) sebagai Tepung dalam Pembuatan Mi Basah Elsa Desy Pratiwi, Lilik Hendrarini & Rizki Amalia
51 - 56
Minyak Kenanga (Canangium odoratum Baill) sebagai Repellent Lalat Rumah (Musca domestica) Wijayanti Ratna Sari, Muryoto & Abdul Hadi Kadarusno
57 - 63
Evaluasi Kondisi Sarana Sanitasi yang Disediakan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, dan Tingkat Kepuasan Wisatawan Pantai Depok, Bantul, Yogyakarta, Tahun 2016 Layly Aslinda Saraswati, Indah Werdiningsih & Purwanto
64 - 72
Pembuatan Bioplastik Berbahan Bonggol Pisang dengan Penambahan Gliserol Isnan Prasetya, Siti Hani Istiqomah & Yamtana
73 - 80
Pemanfaatan Limbah Pepaya (Carica papaya L) dan Tomat (Solanum lycopersicum L) untuk Mempercepat Pengomposan Sampah Organik Aji Baharudin, Adib Suyanto & Sigid Sudaryanto
81 - 86
Penerapan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 519/Menkes/SK/VI/2008 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pasar Sehat di Pasar-Pasar Tradisional di Kabupaten Kebumen Hasil Renovasi Tahun 2011-2013 Imam Muhsin Mubarok, Lucky Herawati & Haryono
87 - 94
Efektivitas Penerapan Disinfektan Alami Campuran Serbuk Kulit Nanas dan Arang Aktif dalam Menurunkan Jumlah Bakteri Coliform pada Air Bersih Shinta Nur Atikah, Narto & Lilik Hendrarini
95 - 100
Volume 8
Nomor 2
Halaman 51 - 100
Yogyakarta November 2016
ISSN 1978-5763
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES YOGYAKARTA
Vol. 8, No. 2, November 2016
ISSN 1978-5763
SANITASI Jurnal Kesehatan Lingkungan Volume 8, Nomor 2, November 2016 Penerbit : Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan Kemenkes Yogyakarta Susunan Dewan Redaksi Penanggung Jawab Ketua Jurusan Kesehatan Lingkungan Ketua Penyunting Agus Kharmayana Rubaya Wakil Ketua Penyunting Siti Hani Istiqomah Penyunting Pelaksana Achmad Husein Heru Subaris Kasjono M. Mirza Fauzie Bambang Suwerda Tata Usaha Sapto Harmoko Ronatin Widyastuti
Alamat Penerbit dan Redaksi
Jurusan Kesehatan Lingkungan, Poltekkes Kemenkes Yogyakarta Jalan Tata Bumi No.3 Banyuraden, Gamping, Sleman Yogyakarta Telp./Fax. (0274) 560962 email :
[email protected] blog : jurnalsanitasi.blogspot.com website : www.keslingjogja.net
Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa hasil penelitian atau hasil pemikiran yang berkaitan dengan kesehatan lingkungan dan belum pernah diterbitkan oleh media lain. Naskah diketik mengikuti “Petunjuk Penulisan” yang ada di halaman belakang, Naskah yang masuk akan dievaluasi dan disunting untuk keseragaman format, serta istilah dan tata-cara lainnya.
Terbit pertama kali pada Agustus 2007 Periode penerbitan: 4 (empat) kali dalam setahun, setiap Februari, Mei, Agustus dan November
Vol. 8, No.2, November 2016
ISSN 1978-5763
SEKAPUR SIRIH Segala rasa syukur terpanjatkan hanya kepada Allah SWT, Yang Maha Penyayang, sebab karena perkenan, karunia dan kemudahan yang diberikanNya pada kita semua, edisi Sanitasi kali ini kembali terbit dengan misi yang sama, yaitu mempublikasikan hasil-hasil penelitian tentang Kesehatan Lingkungan Kali ini, hasil penelitian yang diangkat banyak mengenai: pemanfaatan limbah di sekitar kehidupan kita menjadi sesuatu yang bermanfaat dan berguna, sekaligus sebagai upaya memperbaiki kualitas lingkungan dan kesehatan masyarakat; dan studi tentang upaya sanitasi di tempat-tempat umum. Akhirnya, dengan selalu mengharap masukan berupa kritik dan saran yang konstruktif, kami haturkan selamat menikmati sajian Sanitasi kali ini. Salam Kesling.
Yogyakarta, November 2016 Redaksi
Vol. 8, No. 2, November 2016
ISSN1978-5763
SANITASI Jurnal Kesehatan Lingkungan Pemanfaatan Limbah Ampas Kelapa (Cocos nucifera Lin) sebagai Tepung dalam Pembuatan Mi Basah Elsa Desy Pratiwi, Lilik Hendrarini & Rizki Amalia
51 – 56
Minyak Kenanga (Canangium odoratum Baill) sebagai Repellent Lalat Rumah (Musca domestica) Wijayanti Ratna Sari, Muryoto & Abdul Hadi Kadarusno
57 – 63
Evaluasi Kondisi Sarana Sanitasi yang Disediakan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, dan Tingkat Kepuasan Wisatawan Pantai Depok, Bantul, Yogyakarta, Tahun 2016 Layly Aslinda Saraswati, Indah Werdiningsih & Purwanto
64 – 72
Pembuatan Bioplastik Berbahan Bonggol Pisang dengan Penambahan Gliserol Isnan Prasetya, Siti Hani Istiqomah & Yamtana
73 – 80
Pemanfaatan Limbah Pepaya (Carica papaya L) dan Tomat (Solanum lycopersicum L) untuk Mempercepat Pengomposan Sampah Organik Aji Baharudin, Adib Suyanto & Sigid Sudaryanto
81 – 86
Penerapan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 519/Menkes/SK/VI/2008 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pasar Sehat di Pasar-Pasar Tradisional di Kabupaten Kebumen Hasil Renovasi Tahun 2011-2013 Imam Muhsin Mubarok, Lucky Herawati & Haryono
87 – 94
Efektivitas Penerapan Disinfektan Alami Campuran Serbuk Kulit Nanas dan Arang Aktif dalam Menurunkan Jumlah Bakteri Coliform pada Air Bersih Shinta Nur Atikah, Narto & Lilik Hendrarini
JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN Politeknik Kesehatan Kemenkes Yogyakarta
95 – 100
PEMANFAATAN LIMBAH AMPAS KELAPA (Cocos nucifera Lin) SEBAGAI TEPUNG DALAM PEMBUATAN MI BASAH Elsa Desy Pratiwi*, Lilik Hendrarini**, Rizki Amalia** * JKL Poltekkes Kemenkes Yogyakarta, Jl. Tatabumi 3, Banyuraden, Gamping, Sleman, DIY 55293 email:
[email protected] ** JKL Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
Abstract In Indonesia, almost 75 % of waste is dominated by organic type that if is not handled properly will cause unpleasant odor and become the breeding sites for bacteria that can potentially interfere public health. Jenang Mirah Industry in Josari Village, Jetis, Ponorogo, East Java produces ± 1.2 quintal of organic waste in form of coconut (Cocos nucifera Lin ) pulp that has not been yet treated adequately. The crude fiber content in coconut pulp can be utilized as flour to substitute wheat flour in food making, such as wet noodles. The purpose of this study was to determine the differences of organoleptic test and shelf life among wet noodles produced from four different formulations of coconut pulp flour and wheat flour, by conducting a post-test only with control group designed quasi-experiment. The formulations used were: Formulation I, 300 gr coconut pulp flour and 200 gr wheat flour; Formulation II, 250 gr coconut pulp flour and 250 gr wheat flour; Formulation III, 200 gr coconut pulp flour and 300 gr wheat flour; and Formulation IV or the control, 500 gr wheat flour only. The experiment was using five panelists and the data were statistically analyzed by Kruskall-Wallis test at 5 % level of significance.The results showed that Formulation III is the most accepted by consumers (the average score was 3.98 with rating category "favour"). That Formulation also produced wet noodles with the longest shelf life in plastic package, i.e.12 hours. Keywords : coconut pulp, wet noodles, shelf life, organoleptic Intisari Di Indonesia, hampir 75 % sampah merupakan sampah organik yang jika tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan bau tidak sedap dan menjadi tempat berkembang-biaknya bakteri yang berpotensi mengganggu kesehatan masyarakat. Industri Jenang Mirah di Desa Josari, Jetis, Ponorogo, Jawa Timur menghasilkan ±1,2 kuintal sampah organik berupa ampas kelapa (Cocos nucifera Lin) yang belum ditangani secara maksimal. Kandungan serat kasar pada ampas kelapa dapat dimanfaatkan menjadi tepung sebagai substitusi tepung terigu dalam bahan pembuatan makanan, salah satunya mi basah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan uji organoleptik dan masa simpan mi basah yang dihasilkan dari empat formulasi campuran dengan melakukan eksperimen semu menggunakan desain post-test only with control group. Formulasi yang digunakan adalah: Formulasi I, 300 gr tepung ampas kelapa dan 200 gr tepung terigu; Formulasi II, 250 gr tepung ampas kelapa dan 250 gr tepung terigu; Formulasi III, 200 gr tepung ampas kelapa dan 300 gr tepung terigu; dan Formulasi IV atau kontrol, 500 tepung terigu tanpa tepung ampas kelapa. Dengan panelis sebanyak lima orang dan diuji dengan Kruskall-Wallis pada derajat kebermaknaan 5 %, hasil penelitian menunjukkan bahwa Formulasi III adalah yang paling diterima oleh konsumen (rerata skor 3,98 dengan kategori penilaian “suka”). Formulasi tersebut juga menghasilkan mi basah dengan masa simpan dalam kemasan plastik yang paling lama, yaitu 12 jam. Kata Kunci : ampas kelapa, mi basah, masa simpan, organoleptik
PENDAHULUAN Persoalan yang sampai saat ini masih menjadi masalah lingkungan adalah sampah. Sampah merupakan hasil sampingan dari aktivitas manusia yang sudah tidak terpakai. Sampah merupakan bahan padat buangan dari kegiatan rumah tangga, pasar, perkantoran, rumah
penginapan, hotel, rumah makan, industri, puing bahan bangunan dan besi-besi tua bekas kendaraan bermotor. Pembuangan sampah yang tidak dikelola secara baik dan dekat dengan pemukiman penduduk dapat menimbulkan risiko yang sangat buruk. Sampah yang dibiarkan menggunung dan tidak diproses bisa menjadi sumber penyakit 7).
51
Sanitasi, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.8, No.2, November 2016, Hal 51 – 56
Dalam kehidupan sehari-hari, sampah yang dihasilkan masyarakat terdiri dari berbagai macam, seperti sampah basah (garbage) atau sampah organik yang sangat mudah membusuk dan sampah kering (rubbish) atau sampah anorganik yang sulit membusuk serta sampah berbahaya atau beracun (hazardous waste). Semua jenis sampah ini masing-masing mempunyai kontribusi yang sangat besar terhadap terjadinya pencemaran lingkungan dan dapat menyebabkan terjadinya penyakit bagi masyarakat ataupun terjadi keracunan yang dapat merenggut nyawa manusia 9). Hampir 75 % sampah di Indonesia didominasi oleh jenis organik. Sampah ini jika tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan bau tak sedap, dan menjadi tempat bagi berkembang-biaknya bakteri dan kuman yang berpotensi mengganggu kesehatan warga di sekitar tempat pembuangan 1). Banyak masyarakat kurang sadar dengan kebersihan lingkungan, sehingga sampah menjadi permasalahan yang belum mendapatkan perhatian khusus. Sampah sering terlihat berserakan di berbagai tempat sehingga menurunkan nilai estetika. Persoalan di atas jelas bertentangan dengan UU No.18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, yang menyebutkan bahwa dalam pengelolaan sampah diperlukan kepastian hukum, kejelasan tanggung jawab dan kewenangan pemerintah, pemerintah daerah, serta peran masyarakat dan dunia usaha sehingga pengelolaan sampah dapat berjalan secara proporsional, efektif dan efisien. Peraturan yang dijabarkan dalam undang-undang tersebut sudah dicanangkan oleh Pemerintah Daerah di Ponorogo melalui upaya pengelolaan sampah, di antaranya adalah dengan mendirikan Badan Kebersihan dan Pertamanan Kota Ponorogo yang bertugas untuk mengangkut sampah setiap tiga kali dalam seminggu. Akan tetapi, upaya tersebut tidak dapat menjangkau semua daerah, terutama daerah-daerah yang jauh dari perkotaan seperti area dimana Industri Jenang Mirah berada.
52
Industri Mirah merupakan sebuah industri yang memproduksi jenang yang terletak di Desa Josari, Jetis, Ponorogo, Jawa Timur. Kegiatan produksi industri ini menghasilkan sampah organik berupa ampas kelapa. Berdasarkan hasil survei pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 25 November 2015 diperoleh informasi dari pengelola industri bahwa dalam seminggu menghasilkan kurang lebih 1,2 kuintal ampas kelapa yang selama tidak dikelola dengan baik. Sampah ampas kelapa tersebut jika dibiarkan menumpuk dapat berdampak negatif bagi lingkungan hidup dan menyebabkan pencemaran, berbau busuk serta dapat menjadi tempat bagi perbangbiakan vektor penyakit 8). Kandungan serat kasar pada ampas kelapa mudah dicerna sehingga dapat dijadikan sebagai tambahan pada bahan pangan 2). Ampas kelapa sering dimanfaatkan menjadi tepung sebagai substitusi tepung terigu. Tepung ampas kelapa tersebut dapat digunakan sebagai bahan substitusi berbagai produk pangan, diantaranya cookies (kue kering), nugget, lumpia, roti, brownies dan lain-lain 6). Dalam penelitian ini ampas kelapa yang dijadikan tepung ampas kelapa digunakan sebagai bahan tambahan pada pembuatan mi basah. Mi basah merupakan jenis mi yang mengalami proses perebusan setelah melalui tahap pemotongan dan sebelum dipasarkan. Biasanya mi basah dipasarkan dalam keadaan segar. Di Indonesis, mi basah dikenal sebagai mi kuning atau mi bakso 5). Berdasarkan hasil uji pendahuluan, diketahui bahwa dari perbandingan 250 gram tepung terigu dan 150 gram tepung ampas kelapa dihasilkan mi basah yang berwarna putih, memiliki tekstur terlalu elastis, rasa agak hambar dan mempunyai masa simpan dalam bungkus mika selama ± 18 jam dalam suhu ruang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan uji organoleptik dan masa simpan mi basah yang dihasilkan dari empat formulasi campuran ampas kelapa (Cocos nucifera Lin) dan tepung terigu.
Pratiwi, Hendrarini & Amalia, Pemanfaatan Limbah Ampas …
METODA Jenis penelitian yang dilakukan adalah quasi experiment dengan menerapkan desain “post-test only with control group”, yaitu penelitian yang tidak melakukan pre-test hanya melakukan posttest, dan mengukur pengaruh perlakuan pada kelompok eksperimen dengan cara membandingkan kelompok tersebut dengan kelompok kontrol 4). Sebagai obyek penelitian adalah ampas kelapa yang dihasilkan oleh Industri Jenang Mirah yang dibuat menjadi tepung dan dicampur dengan tepung terigu dalam pembuatan mi basah. Empat formulasi yang digunakan yaitu: Formulasi I, 300 gr tepung ampas kelapa dan 200 gr tepung terigu; Formulasi II, 250 gr tepung ampas kelapa dan 250 gr tepung terigu; Formulasi III, 200 gr tepung ampas kelapa dan 300 gr tepung terigu; dan Formulasi IV sebagai kontrol, 500 gr tepung terigu tanpa tepung ampas kelapa. Uji organoleptik dilakukan pada 5 orang panelis terbatas. Langkah penelitian secara garis besar meliputi: 1) persiapan alat dan bahan serta penimbangan bahan-bahan yang dibutuhkan, 2) pembuatan tepung ampas kelapa, yaitu dengan cara menjemur di bawah sinar matahari dan kemudian dihaluskan dengan blender serta diayak menggunakan ayakan tepung, 3) pembuatan mi basah, yaitu dengan mencampur tepung ampas kelapa dan tepung terigu sesuai ke empat formulasi di atas hingga membentuk adonan lalu dicetak menggunakan alat pencetak mi, 4) pengujian dengan uji organoleptik, masa simpan pada kemasan plastik, serta angka lempeng total (ALT). Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. Secara analitik, data diuji terlebih dahulu dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk, dan diketahui bahwa distribusinya tidak mengikuti asumsi normal. Oleh karena itu, selanjutnya digunakan uji non-parametrik Kruskall-Wallis untuk menganalisis perbedaan data. Semua uji statistik menggunakan derajat kemaknaan 5 %.
HASIL Grafik 1. Rata-rata nilai uji organoleptik
3.9 3.2 2.8
2.6
I
II
III
IV
Formulasi
Dari Grafik 1 dapat diketahui bahwa rata-rata nilai uji organoleptik tertinggi dari tiga kali ulangan dengan lima orang panelis terbatas adalah Formulasi III, yaitu sebesar 3,9, dengan kriteria penilaian “suka”. Adapun yang terrendah adalah Formulasi I, yaitu sebesar 2,6, dengan kriteria penilaian “cukup suka”. Mi basah ampas kelapa yang paling baik dan yang paling diterima oleh konsumen atau panelis adalah yang dibuat dari Formulasi III karena semua parameter yang diujikan secara organoleptik, baik bau, warna, rasa, dan tekstur dapat diterima oleh mreka dan memiliki nilai yang paling besar. Tabel 1. Pengukuran masa simpan mi basah pada kemasan plastik
Ulangan sampel
Masa simpan (jam) Formula I
Formula II
Formula III
Formula IV
I
6
8
10
8
II
8
10
12
10
III
10
8
14
12
Juml
24
26
36
30
Rerata
8
9
12
10
Berdasarkan hasil pengukuran masa simpan mi basah di dalam kemasan plastik, dapat diketahui bahwa dari tiga kali ulangan, rerata masa simpan yang paling lama adalah dari Formulasi III ya-
53
Sanitasi, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.8, No.2, November 2016, Hal 51 – 56
itu 12 jam, dan rata-rata tersingkat adalah Formulasi I dengan 8 jam. Mi basah yang dihasilkan dari Formulasi III memiliki nilai masa simpan paling baik atau paling lama karena mampu mempertahankan kualitas fisik. Hasil pengujian di atas menunjukkan bahwa semakin banyak penambahan tepung ampas kelapa pada proses pembuatan maka masa simpan mi basah yang dihasilkan akan semakin pendek atau makin tidak dapat bertahan lama. Atau dapat dikatakan bahwa semakin besar penambahan tepung ampas kelapa maka semakin buruk kualitas mi basah karena akan cepat basi atau tidak layak konsumsi. Tabel 1 menunjukkan bahwa hasil pengujian masa simpan mi basah untuk semua formulasi tidak melebihi waktu yang telah ditentukan yaitu maksimal 40 jam pada suhu ruang (37 0C). Berdasarkan hasil analisis dengan uji Kruskall-Wallis diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,021 untuk uji organoleptik dan 0,144 untuk masa simpan. Jika dibandingkan dengan nilai kritis (Į) 0,05 dapat dikatakan bahwa secara inferensial perbedaan yang terlihat di antara nilai-nilai uji organoleptik signifikan atau bermakna secara statistik dan tidak signifikan untuk lama masa simpan. Pengujian ini dapat membuktikan bahwa penambahan tepung ampas kelapa dalam pembuatan mi basah mempengaruhi perbedaan hasil uji organoleptik dan masa simpan dalam kemasan plastik mi basah yang dihasilkan oleh kelompok-kelompok perlakuan tersebut. PEMBAHASAN Bahan tepung ampas kelapa (Cocos nucifera Lin) dalam pembuatan mi basah mempengaruhi mutu organoleptik; akan tetapi, hal itu ternyata tidak terlalu signifikan mempengaruhi masa simpan. Pembuatan mi basah ampas kelapa dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor pengganggu, di antaranya adalah terjadinya kontaminasi silang pada proses pembuatan antara bahan yang digunakan dengan alat untuk memasak, serta
54
dengan penjamah dan lingkungan. Variabel-variabel pengganggu tersebut perlu dikendalikan untuk mendapatkan mi basah yang berkualitas, Ada tidaknya kontaminasi silang dapat dilihat dari jumlah angka kuman atau angka lempeng total (ALT) yang terdapat pada mi basah ampas kelapa dari setiap formulasi yang diteliti. Formulasi I diketahui memiliki ALT sebesar 325.500 koloni/g, sementara itu Formulasi II adalah sebesar 108.133 koloni/g, Formulasi III sebesar 225.633 koloni/g dan Formulasi IV sebesar 142.500 koloni/g. Angka-angka kuman tersebut masih memenuhi standar yang ditetapkan oleh Standar Mutu Mi Basah menurut SNI 2046-90, yaitu jumlah angka lempeng total maksimum yang diperbolehkan adalah 1,0 x 106 koloni/g (1.000.000 koloni /g). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada pembuatan mi basah ampas kelapa yang telah dilakukan oleh penelitian ini, tidak terjadi kontaminasi silang. Uji Organoleptik Penelitian menunjukkan bahwa perbandingan formulasi tepung ampas kelapa dalam proses pembuatan mi basah mempengaruhi secara bermakna nilai uji organoleptik. Analisis uji beda menggunakan Kruskall-Wallis memperoleh nilai p sebesar 0,021. Hasil uji organoleptik paling baik adalah pada perbandingan Formulasi III yaitu sebesar 3,98. Istilah “baik” dalam hasil tersebut mengacu bahwa bau, warna, rasa dan tekstur mi basah yang dihasilkan oleh penggunaan perbandingan tepung ampas kelapa dan tepung terigu dalam formulasi tersebut, paling dapat diterima oleh konsumen/panelis, dibandingkan dengan tiga formulasi lainnya. Uji oganoleptik dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: peranan panelis/penguji, penyajian contoh/sampel makanan, pengalaman panelis dalam uji makanan atau minuman yang melibatkan rasa atau kesadaran akan nilai-nilai rasa (flavour) yang berbeda dari waktu ke waktu, serta kondisi psikologis panelis yang harus dalam keadaan sehat 3).
Pratiwi, Hendrarini & Amalia, Pemanfaatan Limbah Ampas …
Pada Grafik 1, perbedaan mutu organoleptik pada setiap Formulasi yang telah diujikan pada lima orang panelis terbatas, merupakan hasil penilaian terhadap parameter organoleptik, yang meliputi bau, warna, rasa dan tekstur. Hasil perhitungan nilai organoleptik yang ditunjukkan untuk masing-masing Formulasi menjadi indikator bahwa mi basah ampas kelapa dapat diterima oleh konsumen atau panelis pada penambahan tepung ampas kelapa dalam jumlah tertentu. Akan tetapi, untuk parameter warna, panelis kurang tertarik karena mi basah cenderung berwarna coklat keabu-abuan. Oleh karena itu, untuk memperbaiki warna agar lebih diterima konsumen, dalam proses pembuatannya, bahan pewarna alami seperti kunyit dapat ditambahkan. Hasil penelitian yang dilakukan dengan panelis lima ibu-ibu PKK di Dusun Panginan, diketahui bahwa penilaian organoleptik terhadap cita rasa yang tertinggi adalah untuk mi basah dengan penambahan 0 % tepung kulit singkong. Hal ini terjadi karena masyarakat lebih familiar dengan tepung terigu yang digunakan dalam pembuatan mi basah. Semakin sedikit tepung kulit singkong yang ditambahkan, maka mutu kesukaan (warna, rasa, bau dan tekstur) yang ditimbulkan akan semakin baik sehingga mempengaruhi mutu kesukaan dan tingkat penerimaan panelis. Grafik 1 menunjukkan bahwa rerata hasil uji organoleptik yang terbaik diperoleh dari Formulasi perbandingan III, yaitu penambahan tepung ampas kelapa sebanyak 200 gr. Tepung tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pengembangan produk pangan atau substitusi. Hal ini sesuai dengan pendapat Putri 6) bahwa dalam pengembangan produk pangan, ampas kelapa dapat dimanfaatkan menjadi tepung sebagai substitusi tepung terigu. Tepung ampas kelapa dapat digunakan sebagai bahan substitusi berbagai produk pangan, seperti mi basah yang telah dilakukan oleh penelitian ini. Selain ampas kelapa, ada beberapa bahan lain yang juga mengandung serat kasar seperti jagung, kentang, singkong
dan kacang-kacangan, yang dapat diolah menjadi tepung untuk pembuatan produk-produk pangan lain. Masa Simpan Hasil pengamatan untuk uji masa simpan, yang dalam penelitian ini berupa perlakuan dengan kemasan plastik pada suhu ruang, menunjukkan bahwa ratarata masa simpan dipengaruhi oleh penambahan tepung ampas kelapa. Berdasarkan hasil yang ditunjukkan di Tabel 1, rata-rata lama masa simpan berbeda antara setiap penambahan tepung ampas kelapa yang digunakan di masing-masing formulasi. Tabel 1 memperlihatkan bahwa masa simpan mi basah ampas kelapa berkisar antara delapan hingga 12 jam. Masa simpan mi basah di dalam kemasan plastik yang paling baik dihasilkan oleh Formulasi III, yaitu selama 12 jam. Istilah “baik” dalam temuan ini mengacu bahwa formulasi ampas kelapa yang digunakan tersebut mampu mempertahankan kualitas fisik dari mi basah yang dihasilkan, lebih baik jika dibandingkan dengan kemampuan dari tiga formulasi yang lain. Masa simpan mi basah sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: komposisi bahan, suhu, kelembaban, jenis kemasan, cara pengemasan, lama pengemasan dan proses produksi yang dapat menyebabkan makanan cepat mengalami pertumbuhan bakteri 10). KESIMPULAN Perbedaan hasil pengujian organoleptik yang bermakna terlihat di antara mi basah yang dihasilkan dari empat formulasi campuran tepung ampas kelapa dan tepung terigu yang digunakan dalam penelitian ini (nilai p < 0,05). Ada perbedaan masa simpan mi basah dalam kemasan plastik pada suhu ruang yang terbuat dari empat formulasi campuran tepung ampas kelapa dengan tepung terigu, yaitu berkisar antara 8 hingga 12 jam. Masa simpan yang paling lama adalah mi basah yang dibuat dengan For-
55
Sanitasi, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.8, No.2, November 2016, Hal 51 – 56
mulasi III, yaitu 200 gr tepung ampas kelapa dan 300 gr tepung terigu. Formulasi tersebut juga merupakan yang paling diterima oleh konsumen/panelis. SARAN Bagi Industri Jenang Mirah, disarankan untuk memanfaatkan ampas kelapa yang dihasilkan sebagai bahan diversifikasi pada produk pangan sehingga limbah yang dihasilkan dari proses produksi tidak mencemari lingkungan industri dan limbah tersebut dapat dijadikan produk yang bernilai ekonomis. Masyarakat umum disarankan untuk memanfaatkan ampas kelapa menjadi mi basah dengan menggunakan perbandingan formulasi 200 gr tepung ampas kelapa dan 300 gr tepung terigu, dan mengolahnya menjadi produk makanan seperti cookies atau kue kering. Bagi mereka yang tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut, disarankan untuk menambahkan pewarna alami, seperti kunyit, pada pembuatan mi basah ampas kelapa. Selain itu, juga disarankan untuk menggunakan bahanbahan lain yang tinggi kandungan serat kasarnya, seperti jagung, kentang, singkong dan kacang-kacangan, agar dapat dibandingkan kesukaan konsumen melalui uji organoleptik serta masa simpan yang terbaik. DAFTAR PUSTAKA 1.
56
Alex, S. 2011, Sukses Mengolah Sampah Organik Menjadi Pupuk Or-
ganik, Pustaka Baru Press, Yogyakarta. 2. Derrick, 2005. Protein in Calf Feed (ttp://kalteng.litbang.pertanian.go.id/ eng/pdf/all pdf/peternakan/fullteks/semnas/pro06-132.pdf). 3. Muftize, 2011. Macam-macam Panelis (http://psbtik.smkn1cms.nethttp //psbtik.smkn1cms.net/pertanian/agr oindustri/agroindustri_non_pangan/ menguji_kesukaan_secara_organol eptik.pdf), 4. Notoatmojo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta. 5. Nawansih, W. S., 2008. Pengaruh konsentrasi chitosan sebagai bahan pengawet terhadap masa simpan mi basah, Jurnal Teknologi dan Industri Hasil Pertanian, 13(1): hal. 17–24. 6. Putri, M. F., 2010. Tepung Ampas Kelapa pada Umur Panen 11-12 Bulan Sebagai Bahan Pangan Sumber Kesehatan, 1(2): hal.97–105. 7. Sucipto, 2012. Teknologi Pengolahan Daur Ulang Sampah, Gosyen Publishing, Yogyakarta. 8. Suhardiyono, L., 1995. Tanaman Kelapa Budidaya dan Pemanfaatannya, Kanisius, Yogyakarta. 9. Suprapto, 2005. Dampak masalah sampah terhadap kesehatan masyarakat, Jurnal Mutiara Kesehatan Indonesia, 1(2): hal.1–4 (http:// repository.usu.ac.idbitstream/123456789 /15366/1/mki-des2005- (1).pdf). 10. Syarif, R. dan Halid, H. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Bogor Arca, IPB Bogor.
MINYAK KENANGA (Canangium odoratum Baill) SEBAGAI REPELLENT LALAT RUMAH (Musca domestica) Wijayanti Ratna Sari*, Muryoto**, Abdul Hadi Kadarusno** * JKL Poltekkes Kemenkes Yogyakarta, Jl. Tatabumi 3, Banyuraden, Gamping, Sleman, DIY 55293 email:
[email protected] ** JKL Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
Abstract Flies are vectors of some diseases such as dysentery, cholera, typhoid, diarrhea and worm infection. Various techniques of fly control can be applied, one of which is by using chemical substances as repellent. Cananga (Canangium odoratum Baill) has the ability to repel flies because contains phenolic compound, i.e. linalool, eugenol and geraniol, which basically can expel insects. The purpose of this research was to determine the influence of various concentration of cananga oil towards houseflies (Musca domestica) by measuring the power and duration of the obtained repellent. This research was an experiment with post-test only with control group design. The research objects, i.e. 625 houseflies, were used for five expeiment groups which consisted of three treatment groups and two control groups in five repetitions. One way anova test at Į 0.05 revealed that the repellent powers showed from the 20 %, 30 % and 40 % cananga concentration, and the positive control (camphor) and the negative control (castor oil) were significantly different. Therefore, it can be concluded that cananga oil concentration do influence the repellent power. However, the effect on the duration was not significant. To conclude, 40 % concentration (40 ml cananga oil in 60 ml castor oil) is the most effective for repelling houseflies. It has 34.4 % repellent power and 8,4 hours duration. Keywords : housefly (Musca domestica), cananga oil, repellent, Intisari Lalat merupakan vektor beberapa penyakit seperti disentri, kholera, typhoid, diare, dan kecacingan. Berbagai teknik pengendalian lalat dapat dilakukan, salah satunya dengan cara kimia menggunakan repellent. Minyak kenanga (Canangium odoratum Baill) mempunyai kemampuan sebagai repellent lalat karena mengandung linalool, eugenol dan geraniol yang merupakan senyawa fenol penolak serangga. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh penggunaan variasi konsentrasi minyak kenanga terhadap lalat rumah (Musca domestica) dengan mengukur daya dan durasi dari repellent yang diperoleh. Penelitian bersifat experiment dengan memakai post-test only with control group design. Obyek penelitian, yaitu lalat rumah yang berjumlah 625 ekor, digunakan untuk lima kelompok penelitian yang terdiri dari tiga kelompok perlakuan dan dua kelompok kontrol dengan pengulangan sebanyak lima kali. Hasil uji dengan one way anova pada Į 0,05, memperlihatkan bahwa daya repellent yang dimiliki oleh konsentrasi minyak kenanga 20 %, 30 %, dan 40 %, serta kontrol positif (kamfer) dan kontrol negatif (minyak jarak) berbeda secara bermakna, sehingga dapat disimpulkan bahwa konsentrasi minyak kenanga berpengaruh terhadap daya repellent. Namun, tehadap durasi, pengaruhnya tidaklah signifikan. Penelitian menyimpulkan bahwa konsentrasi 40 % (40 ml minyak kenanga dalam 60 ml minyak jarak) adalah yang paling efektif untuk mengusir lalat rumah, dengan daya repellent sebesar 34,4 % dan durasi 8,4 jam. Kata Kunci : lalat rumah (Musca domestica), minyak kenanga, repellent
PENDAHULUAN Jumlah kasus penyakit diare di Indonesia terus meningkat. Pada tahun 2012 angka kesakitan diare untuk semua umur adalah 214 per 1.000 penduduk dimana untuk kelompok umur balita, angkanya mencapai 900 per 1.000 penduduk 1). Tingginya angka kesakitan terse-
but, menjadikan penyakit diare sebagai masalah kesehatan penting yang perlu diperhatikan. Banyak hal yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menjadi faktor pendorong terjadinya penyakit diare, di antaranya yaitu pejamu, lingkungan, vector pembawa dan perilaku manusia. Perilaku manusia merupakan faktor
57
Sanitasi, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.8, No.2, November 2016, Hal 57 – 63
terpenting yang berperan dalam penularan penyakit ini terutama terkait dengan penyediaan makanan yang sehat. Aspek yang mengancam keamanan makanan sehat salah satunya adalah keberadaan lalat. Lalat merupakan vektor pembawa virus, bakteri dan telur melalui makanan, yang mengakibatkan penyakit seperti disentri, kholera, typhoid, diare, dan kecacingan 2). Lalat yang paling umum ditemui di lingkungan pemukiman adalah lalat rumah dengan nama latin Musca domestica. Lalat rumah merupakan hama yang berkembang-biak dengan cepat 3). Lalat rumah umumnya hinggap di kotoran manusia dan hewan serta bahan organik lainnya seperti daging, buah, ikan dan tumbuhan yang segar maupun yang sudah membusuk 4). Tempat yang berpotensi sebagai tempat perkembangbiakan lalat di antaranya adalah tempat– tempat umum seperti terminal, pasar, warung makan, peternakan, penjual buah; tempat pengumpulan sampah sementara (TPS), tempat pembuangan akhir (TPA) sampah dan permukiman penduduk. Pengendalian dan pemberantasan lalat dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu perbaikan hygiene dan sanitasi lingkungan serta pemberantasan secara langsung. Pemberantasan langsung dapat dilakukan dengan cara fisik, biologi, dan kimia. Cara fisik dan kimia adalah pemberantasan yang sering dilakukan oleh masyarakat. Pengendalian secara fisik salah satunya menggunakan attractant, sedangkan cara kimia, biasanya dengan insektisida. Penggunaan insektisida kimia untuk mengendalikan lalat mempunyai efek yang membahayakan bagi serangga non target, serta ikut terpaparnya manusia dan lingkungan. Oleh karena itu, perlu dicari insektisida nabati sebagai salah satu alternatif penggantinya. Insektisida nabati merupakan kelompok insektisida yang berasal dari tanaman, seperti piretrum, piretrin, nikoton, rotenon, limonen, azadirachtin, dan lain-lain. Penggunaan insektisida nabati, selain membantu menurunkan populasi
58
lalat sehingga mencegah penularan penyakit oleh lalat yang ada di masyarakat, juga tidak terdeposit dan mencemari lingkungan. Selain itu, insektisida nabati aman digunakan karena bahan yang digunakan berasal dari tanaman atau tumbuhan, hewan dan bahan organik lain sehingga tidak meninggalkan residu yang berbahaya. Salah satu bahan alami yang dapat dimanfaatkan sebagai insektisida nabati adalah tanaman dengan aroma yang bersifat mengusir (repellent). Beberapa yang tergolong ke dalam tanaman aromatik tersebut adalah serai wangi, cengkeh, kayu putih, geranium, zodia, dan lain-lain 5). Selain berfungsi sebagai pengusir lalat, aroma dari tanaman aromatik ini merupakan aromatherapy bagi manusia yang memberikan rasa nyaman bernuansa alami. Salah satu dari jenis tanaman tersebut yang banyak ditemui di Indonesia adalah kenanga (Canangium odoratum Baill). Kenanga adalah tumbuhan dengan batang besar berdiameter 0,1-0,7 meter yang dapat mencapai usia puluhan tahun. Kenanga dapat dimanfaatkan menjadi penghasil minyak atsiri, dimana bunga adalah bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan bakunya. Bunga kenanga terbaik adalah bunga yang telah mekar dan berwarna kuning 6). Komponen terbesar dalam bunga kenanga yang mengandung minyak atsiri adalah linalool, geraniol dan eugenol yang menyebabkan bunga ini memiliki aroma yang khas menyengat dan tidak disukai serangga 7). Minyak atsiri bunga kenanga mempunyai kemampuan untuk menolak nyamuk Aedes aegypti ketika diujikan pada tangan manusia 8). Berdasarkan hasil survei pendahuluan yang dilakukan pada 26 dan 27 Januari 2016 di enam outlet jus buah di Jalan Godean, semua pemilik usaha tersebut mengatakan sering terganggu oleh keberadaan lalat. Selain itu, diketahui masih ada penjual jus buah yang mengendalikan lalat dengan menggunakan atraktan atau lem perekat. Penggunaan lem lalat, secara estetika dapat mengganggu kenyamanan pembeli sehingga
Sari, Muryoto & Kadarusno, Minyak Kenanga (Canangium …
Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah experiment dengan menggunakan post-test only with control group design dimana data dianalisis secara deskriptif dan inferensial. Obyek yang digunakan yaitu lalat rumah (Musca domestica) yang berjumlah 625 ekor yang digunakan untuk lima jenis perlakuan dengan pengulangan sebanyak lima kali. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pemaparan variasi konsentrasi minyak kenanga (Canangium odoratum Baill), sedangkan variabel terikat yang diamati adalah daya dan durasi repellent minyak kenanga tersebut. Ada dua jenis kontrol yang digunakan, yaitu kontrol positif dan kontrol negatif. Kamfer digunakan sebagai kontrol positif tersebut, dan minyak jarak dipilih sebagai kontrol negatif Pengukuran daya repellent dilakukan dengan cara mengamati jumlah lalat yang pindah dari kotak A ke kotak B setiap 10 menit setelah terpapar selama 60 menit, yang kemudian dihitung prosentasenya dengan menggunakan rumus Kumar 9) berikut ini:
HASIL Tabel 1. Hasil uji daya repellent
X
Daya repellent (%)
METODA
Adapun pengukuran durasi repellent, dilakukan dengan mengamati waktu lalat yang pindah dari kotak uji B kembali ke kotak uji A setiap satu jam dengan waktu pengamatan maksimal 24 jam. Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dianalisis secara deskriptif dan inferensial dengan menggunakan program SPSS for windows 16.0. Analisis deskriptif dilakukan dengan menarasikan data yang disajikan dalam tabel, sementara analisis deskriptif dilakukan untuk mengetahui signifikansi perbedaan daya dan durasi repellent di antara konsentrasi minyak kenanga yang digunakan. Setelah diketahui dengan uji Kolmogorov-Smirnov, bahwa data terdistribusi secara normalitas (nilai p > 0,05), maka uji parametrik One Way Anova digunakan dalam analisis inferensial tersebut. Untuk mengetahui konsentrasi yang paling efektif, uji lanjutan LSD kemudian digunakan. Uji-uji statistik tersebut menggunakan tingkat signifikansi (Į) 0,05.
3
23
4,6
18,4
7
8
35
7,0
28,0
11
5
11
43
8,6
34,4
9
10
8
9
45
9,0
36,0
1
1
2
3
8
1,6
6,4
Ulangan
Konsentrasi minyak kenanga
mengurangi jumlah mereka yang datang membeli jus buah sehingga mengurangi income para pedagang. Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan yang ditimbulkan oleh lalat adalah penggunaan repellent dengan memanfaatkan insektisida nabati dari minyak kenanga dengan minyak jarak sebagai bahan pelarutnya. Penelitian ini bertujuan untuk melihat daya serta durasi dari repellent tersebut terhadap lalat rumah. Dari hasil uji pendahuluan yang dilakukan pada 6 Februari 2016, diketahui bahwa kosentrasi 10 % (10 ml minyak kenanga dalam 90 ml minyak jarak) sudah menimbulkan aroma yang menyengat dan daya repellent sebesar 10 %. Pada penelitian ini, variasi konsentrasi minyak kenanga yang digunakan adalah 20 %, 30 %, dan 40 %. Penelitian ini mengikuti metoda yang digunakan oleh Kardinan 5) namun dengan modifikasi pada alat dan waktu pemaparan.
I
II
III
IV
V
20 %
5
6
5
4
30 %
8
7
5
40 %
8
8
Ktrl +
9
Ktrl -
1
Tabel 1 di atas memperlihatkan bahwa dari tiga konsentrasi minyak kenanga yang digunakan, 40 % memiliki rata-rata daya repellent yang tertinggi, yaitu 34,4 %; dan setelahnya, konsentrasi 30 % dengan daya 28,0 dan konsentrasi 20 % dengan daya 18,4 %. Adapun kontrol positif, memiliki daya repellent sebesar 36,0 % dan kontrol negatif 6,4 %.
59
Sanitasi, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.8, No.2, November 2016, Hal 57 – 63
Tabel 2. Hasil uji durasi repellent
II
III
IV
V
20 %
8
9
5
7
6
35
7,0
30 %
5
9
8
9
6
37
7,4
40 %
7
4
10
7
14
42
8,4
Ktrl +
15
12
11
7
8
53
10,6
Ktrl -
8
5
1
6
4
24
4,8
X
I
Durasi repellent (jam)
Konsentrasi minyak kenanga
Ulangan
Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa konsentrasi minyak kenanga 20 % menghasilkan repellent dengan rerata durasi selama 7 jam; konsentrasi 30 %, selama 7,4 jam; dan konsentrasi 40 %, selama 8,4 jam. Sementara itu, kontrol positif memiliki durasi repellent selama 10,6 jam dan kontrol negatif memiliki durasi repellent selama 4,8 jam. PEMBAHASAN Data di atas, secara deskriptif menunjukkan bahwa konsentrasi minyak kenanga mempengaruhi daya repellent terhadap lalat rumah. Dengan analisis statistik, hal tersebut dapat dibuktikan kebermaknaannya dengan diperolehnya nilai-nilai p yang lebih kecil dari 0,05 pada uji statistik one way anova dan uji LSD terhadap perbedaan daya repellent yang diamati dari kelima kelompok eksperimen yang diteliti. Hal ini menguatkan bahwa minyak dari bunga kenanga yang merupakan minyak atsiri beraroma khas floral dan berwarna kuning muda hingga kuning tua 6), mempunyai kemampuan sebagai repellent atau penolak bagi lalat rumah. Kandungan kimia minyak atsiri bunga kenanga yang berkhasiat dan memiliki bau khas ini adalah dari golongan aldehid, keton aseton, furfural, benzaldehid, komponen bersifat basa (metilantranilat), golongan terpen (d-terpen), golongan fenol, dan fenol eter (fenol, eugenol, isoeugenol, metil salisilat, benzilsalisilat), alkohol dna ester (metilbenzoat, llinalool, terpienol, benzyl alkohol, fenil-e-
60
til alkohol, geraniol, fersenol), serta dsesquisterpen) yang diduga dapat mempengaruhi perkembangan serangga 10). Sumber lain menyebutkan bahwa minyak kenanga mempunyai kemampuan menolak lalat karena kandungan terbesarnya terdiri atas linalool, geraniol dan eugenol yang beraroma menyengat khas yang tidak disukai oleh serangga sehingga bersifat sebagai zat penolak serangga 11). Linalool adalah racun yang dapat meningkatkan aktivitas saraf sensorik pada serangga dan dapat menstimulasi saraf motorik yang menyebabkan kejang dan kelumpuhan pada serangga. Adapun geraniol, merupakan bahan yang berbau menyengat dan harum sehingga sering digunakan sebagai bahan untuk membuat sabun mandi dan shampoo. Bahan tersebut bersifat antiseptic dan tidak disukai serangga. Sementara itu, eugenol merupakan cairan tidak berwarna atau berwarna kuning pucat, dapat larut dalam alkohol, eter dan kloroform. Senyawa ini dipakai dalam industri parfum, penyedap, minyak atsiri dan farmasi sebagai penyuci hama dan pembius lokal. Eugenol memiliki aktivitas sebagai anti-bakteri, anti-fungi, anti-virus, anti-tumor, anti-oksidan dan insektisida 11). Hasil penelitian ini ditunjang oleh pendapat yang menyatakan bahwa apabila serangga mendeteksi suatu rangsangan melalui alat sensornya yang disebut olfaktori yang pada umumnya bersifat kimia (aroma), maka serangga tersebut akan merespon dengan berusaha untuk mendekat apabila bersifat menarik (attractant) atau menghindar (menjauh) dari sumber rangsangan tersebut apabila dianggap membahayakan atau tidak mereka sukai 5). Penggunaan minyak kenanga sebagai repellent lalat rumah merupakan cara pengendalian menggunakan insektisida dengn bahan nabati. Minyak kenanga sebagai insektisida tidak akan membahayakan kesehatan karena tidak bersifat persisten pada tubuh, selain juga tidak membahayakan lingkungan 8). Pada penelitian ini, pelaksanaan pengujian daya repellent sengaja dilakukan
Sari, Muryoto & Kadarusno, Minyak Kenanga (Canangium …
pada pagi sampai siang hari karena sesuai dengan aktivitas lalat yaitu aktif pada siang hari, selalu berkelompok, dan berkumpul di sekitar sumber makanannya 2). Daya repellent terhadap lalat rumah yang dihasilkan penelitian ini belum efektif jika dibandingkan dengan standar yang diatur oleh Komisi Pestisida pada tahun 1995, yaitu masih di bawah 90 %. Hal tersebut mungkin karena rendahnya konsentrasi minyak kenanga yang digunakan atau kurang banyaknya volume larutan repellent yang dipaparkan ke dalam kotak uji berisi lalat. Sudah banyak penelitian yang memanfaatkan tanaman sebagai insektisida hayati. Salah satunya, adalah yang dilakukan oleh Kardinan tentang ekstrak tanaman rosemary (Rosmarinus officenalis) terhadap lalat rumah 5). Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa tanaman rosemary ini dapat bersifat mengusir (repellent) maupun mengakibatkan lalat jatuh (knock down). Perbedaan penelitian Kardinan dengan penelitian ini terletak pada bahan yang digunakan, namun sama dalam hal metoda yang dilakukan dan waktu penelitian. Penelitian lainnya mengenai daya tolak ekstrak methanol daun kesum (Polygonum minus Huds.) terhadap lalat rumah 12), juga menympulkan bahwa pemberian ekstrak methanol tanaman tersebut berpengaruh terhadap persentase daya repellent. Penambahan minyak kenanga dapat meningkatkan daya repellent jika dibandingkan dengan penggunaan minyak jarak saja, yang dalam penelitian ini digunakan sebagai pelarut (kontrol negatif). Hal tersebut disebabkan karena penambahan minyak kenanga dapat memberikan kekuatan aroma yang lebih tajam sehingga mudah terdeteksi oleh sensor rangsangan lalat yang menyebabkan mereka berpindah tempat. Hal ini karena lalat memiliki kepekaan terhadap rangsangan kimia mekanik terutama melalui indera penciumannya. Berdasarkan hasil uji post hoc atau LSD, diketahui bahwa ada perbedaan
yang bermakna dari masing-masing konsentrasi minyak kenanga yang digunakan, kecuali antara konsentrasi 30 % dan 40 %. Hal ini disebabkan karena lalat uji yang digunakan oleh masing-masing konsentrasi tersebut memiliki ketahanan yang berbeda. Di kelompok perlakuan, diketahui bahwa konsentrasi yang paling efektif untuk menghasilkan daya repellent terbesar adalah 40 %. Semakin banyak minyak kenanga yang dipakai maka semakin banyak pula kandungan bahan aktif yang ada dalam larutan sehingga kemampuan menolak lalat pun menjadi semakin besar. Dari kelima kelompok eksperimen yang diteliti, daya repellent yang tertinggi terlihat pada kontrol positif yang menggunakan kamper. Namun demikian, kelompok perlakuan 40 %, daya repellentnya ternyata mendekati kontrol positif tersebut dan dengan uji LSD terbukti tidak berbeda secara bermakna. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kemampuan repellent dari konsentrasi minyak kenanga 40 % hampir sama dengan kemampuan kamper namun memiliki kelebihan karena bersifat nabati. Selain disukai karena memiliki bau yang harum, sebagai cara pengendalian nabati, minyak kenanga memiliki beberapa keunggulan, di antaranya yaitu: bebas dari pengaruh sampingan yang merusak, biaya yang relatif lebih murah, dapat bersifat permanen dan mudah untuk diterapkan 13). Pemaparan kontrol positif memiliki daya repellent yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok perlakuan karena kamper memiliki aroma yang lebih menyengat. Namun bahan ini tidak mengandung zat pengusir lalat. Hasil dari uji one way anova untuk durasi repellent menyimpulkan bahwa perbedaan antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol adalah signifikan. Hal tersebut terjadi karena keawetan aroma dan lama penguapan akan berbeda seiring dengan perbedaan bahan yang digunakan. Secara deskriptif tampak bahwa durasi repellent dari ketiga kelompok perlakuan akan makin panjang sejalan de-
61
Sanitasi, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.8, No.2, November 2016, Hal 57 – 63
ngan penambahan konsentrasi minyak kenanga yang diberikan. Hal tersebut dikarenakan semakin banyak minyak kenanga yang ditambahkan maka larutan akan semakin pekat dan memiliki aroma yang semakin kuat dan awet. Namun demikian, berdasarkan hasil uji LSD diketahui bahwa perbedaan durasi repellent dari masing-masing kelompok perlakuan ternyata tidak bermakna (nilai p > 0,05) sehingga dapat diartikan bahwa penambahan konsentrasi minyak kenanga hanya memiliki sedikit pengaruh terhadap lama penggunaan dari repellent. Parameter lingkungan seperti suhu dan kelembaban udara merupakan faktor-faktor penting yang mempengaruhi aktivitas lalat Musca domestica. Hal ini terkait dengan kebiasaan mencari makan dan melakukan perkawinan yang dilakukan pada siang hari 12). Hasil pengukuran suhu pada kotak uji berkisar pada 24,2 0C sementara untuk kelembaban udara berkisar pada 76,8 %. Kondisi lingkungan yang optimal untuk aktivitas lalat Musca domestica adalah rentang suhu antara 7,5 0C dan 45 0C, dan kelembaban udara antara 21-88,2 % 14). Dalam penelitian ini terdapat beberapa kendala, yaitu pada hari pertama penelitian pada saat pengukuran durasi repellent, ada beberapa lalat yang mati karena kotak uji kedap udara, sehingga pengamatan harus diulangi pada hari berikutnya setelah kotak uji diperbaiki dengan cara menambah celah udara menggunakan kasa strimin. Selain itu, kurangnya ketersediaan lalat rumah menyebabkan waktu penelitian menjadi lebih lama. Saat penelitian dilakukan, lalat uji yang digunakan tidak dipuasakan terlebih dahulu, sehingga belum mampu beradaptasi di dalam kotak uji yang berisi makanan umpan. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa konsentrasi minyak kenanga atau Canangium odoratum Baill mempengaruhi daya repellent terhadap lalat rumah (Musca domestica), sebab
62
ada perbedaan daya dan durasi repellent yang bermakna antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. SARAN Masyarakat umum, khususnya penjual jus buah, untuk mengganti lem perekat yang biasa digunakan untuk mengendalikan lalat yang mengganggu kenyamanan atau estetika, dapat memanfaatkan minyak kenanga. Bagi mereka yang tertarik untuk melakukan penelitian lanjutan, disarankan menggunakan konsentrasi minyak kenanga yang lebih tinggi agar diketahui konsentrasi repellent paling efektif yang sesuai dengan persyaratan Komisi Pestisida. DAFTAR PUSTAKA 1. Kemenkes R.I., 2015. Profil Kesehatan Indonesia 2014, Kemenkes R.I., Jakarta (diunduh 25 Januari 2016 dari http://www.depkes.go.id/ resources/down-load/pusdatin/profil-kesehatan-indonesia/profil-kesehatan-indonesia-2014.pdf). 2. Sucipto, C. D., 2011. Vektor Penyakit Tropis, Gosyen Publishing, Jakarta. 3. Winarno, F. G. 2006. Hama Gudang dan Teknik Pemberantasannya, MBrio Press, Bogor. 4. Suyono dan Budiman, 2011. Ilmu Kesehatan Masyarakat dalam Konteks Kesehatan Lingkungan, EGC, Jakarta. 5. Kardinan, A., 2007. Daya tolak ekstrak tanaman Rosemary (Rosmarinus officinalis) terhadap lalat Musca domestica, Bul. Littro, 18 (2): hal. 170-176 (diakses 25 Januari 2016 dari http://balittro.litbang.deptan.go. Id/ind/images/publikasi/bul.vol.18.no 2/6-Rosemary-Agus20Kardinan.pdf). 6. Armando, R., 2009. Memproduksi 15 Minyak Atsiri Berkualitas, Penebar Swadaya, Depok. 7. Masenchipz, 2008. Khasiat Bunga Kenanga (diakses 3 Februari 2016 dari http://www.litbang.Deptan. go.id/ tahukah-anda/?p=11).
Sari, Muryoto & Kadarusno, Minyak Kenanga (Canangium …
8. Hanita, P., 2009. Pengaruh Variasi Minyak Kenanga (Canangium orodatum Baill) dalam Lotion terhadap Daya Tolak Nyamuk Aedes Aegypti, Karya Tulis Ilmiah tidak diterbitkan, Jurusan Kesehatan Lingkungan, Politeknik Kesehatan Yogyakarta. 9. Kumar, P., Mishra, S., Malik, A, dan Satya, S., 2011. Repellent, larvacidal and pupicidal properties of essential oil and their formulations against the housefly, Musca domestica, Medical and Veterinary Entomology, 25: hal. 302-310 (diakses 1 Februari 2016 dari http://online library. wiley.com/ doi/10.1111/j.136 5-2915.2011.00945.x/full). 10. Yuliani, S., Usmiati, S., dan Nurdjannah, N., 2005. Efektivitas lilin penolak lalat (repelen) dengan bahan aktif limbah penyulingan minyak Nilam, Jurnal Pascapanen, 2 (1): hal. 1-10, : Balai Besar Penelitian dan Pengem-
bangan Pascapanen Pertanian, Jakarta (diunduh 25 Januari 2016 dari http://pascapanen.litbang.depten.go.i d/assets/media/publikasi/jurnal/j.Pas capanen 2005_1_1_.pdf). 11. Kardinan, A., 2003. Tanaman Pengusir dan pembasmi Nyamuk, Agromedia Pustaka, Jakarta. 12. Kumalasari, E., Setyawati, T. R., dan Yanti, A. H., 2015. Daya tolak ekstrak metanol daun kesum (Polygonum minus Huds.) terhadap lalat rumah (Musca domestica L.), Protobiont, 4 (2): hal. 40-47 (diakses 20 Januari 2016 dari http://download. portalgaruda.Org/article.php?article= 338663). 13. Purnomo, H., 2010. Pengantar Pengendalian Hayati, CV Andi Offset Yogyakarta. 14. Depkes R. I., 1992. Petunjuk Teknis Pemberantasan Lalat, Ditjen PPM dan PLP, Jakarta.
63
EVALUASI KONDISI SARANA SANITASI YANG DISEDIAKAN DINAS KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA DAN TINGKAT KEPUASAN WISATAWAN PANTAI DEPOK, BANTUL, YOGYAKARTA, TAHUN 2016 Layly Aslinda Saraswati*, Indah Werdiningsih**, Purwanto** * JKL Poltekkes Kemenkes Yogyakarta, Jl.Tatabumi 3, Banyuraden, Gamping, Sleman, DIY 55293 email:
[email protected] ** JKL Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
Abstract The degree of community health can be affected by environmental and human factors. Environmental health efforts are aimed to create a quality of healthy environment through the application of public place sanitation, one of which is to provide sanitation facilities in tourism spots. According to the preliminary test, various problems regarding to the condition of sanitation facilities and the satisfaction level of tourists were found in Depok Beach of Bantul. The purpose of this study was to determine the condition of the sanitation facilities provided by the Office of Culture and Tourism on that beach as well as the tourists’ satisfaction. This study used survey method with cross sectional design and the results were analyzed descriptively. There were 100 tourists selected as the respondents and the instrument used to collect the data was the sanitation inspection questionnaire. Based on the questionnaire, the sanitation condition will be declared ”healthy worthy” if gain minimum score of 650, out of the 1000 maximum score. The results showed that the sanitation condition in Depok Beach is deserve to have “healthy worthy” level since gaining a score of 675. The results also found that the number of tourists who very satisfied with the condition was 1 respondent 91 %); satisfied, 8 respondents (8 %); fairly satisfied, 51 respondents (51 %); not satisfied, 40 respondents (40 %); and none who is very dissatisfied. The condition of sanitation facilities in the beach that “healthy worthy” will increase customer satisfaction. Keywords : sanitation facility, sanitation of tourism spot, tourists’ satisfaction rating Intisari Derajat kesehatan manusia dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan manusia itu sendiri. Upaya kesehatan lingkungan ditujukan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat melalui penerapan sanitasi tempat-tempat umum, salah satunya sanitasi tempat wisata. Berdasarkan uji pendahuluan diketahui ada permasalahan kondisi sarana sanitasi dan tingkat kepuasan wisatawan di Pantai Depok Bantul. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kondisi sarana-sarana sanitasi yang disediakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata di pantai tersebut dan tingkat kepuasan wisatawan. Penelitian ini menggunakan metoda survei dengan desain cross sectional yang hasilnya dianalisis secara deskriptif. Ada 100 orang wisatawan yang dipilih menjadi responden, sementara instrumen yang digunakan adalah kuesioner inspeksi sanitasi yang menyatakan sarana sanitasi memenuhi kriteria laik sehat jika memperoleh nilai minimal 650 dari nilai masimal 1000. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi sarana sanitasi di Pantai Depok Bantul dinyatakan “laik sehat” dengan nilai 675, sementara untuk tingkat kepuasan wisatawan diketahui yang sangat puas sebanyak 1 responden (1 %); puas, sebanyak 8 responden (8 %), cukup puas, sebanyak 51 responden (51 %); tidak puas, sebanyak 40 responden (40 %); dan tidak ada yang sangat tidak puas. Kondisi sarana sanitasi yang laik sehat akan meningkatkan kepuasan wisatawan yang berkunjunga ke pantai tersebut. Kata Kunci : sarana sanitasi, sanitasi tempat wisata, kepuasan wisatawan
PENDAHULUAN Kesehatan adalah keadaan yang sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis 1). Derajat kesehatan manusia dapat dipengaruhi oleh be-
64
berapa faktor, di antaranya adalah faktor lingkungan dan manusia itu sendiri. Manusia sangat penting perannya dalam menjaga lingkungan sehingga upaya kesehatan lingkungan perlu dilakukan. Upaya kesehatan lingkungan tersebut ditujukan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat, baik fisik, kimia,
Saraswati, Werdiningsih & Purwanto, Evaluasi Kondisi Sarana …
biologi, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Lingkungan sehat sebagaimana dimaksud, mencakup lingkungan permukiman, tempat kerja, tempat rekreasi, serta tempat dan fasilitas umum. Tujuan kualitas lingkungn yang sehat dapat tercapai dengan dilakukannya upaya pengawasan sanitasi. Sanitasi adalah suatu usaha untuk mengawasi faktor-faktor lingkungan fisik yang berpengaruh terhadap manusia, terutama terhadap hal-hal yang memiliki efek merusak perkembangan fisik, kesehatan, dan kelangsungan hidup 2). Upaya pencegahan terhadap lingkungan berupa kegiatan sanitasi dapat dilakukan pada berbagai tempat, salah satunya ada di tempat-tempat umum. Tempat-tempat umum adalah suatu tempat di mana orang-orang banyak berkumpul untuk melakukan kegiatan, baik secara insidentil maupun terus-menerus, secara membayar ataupun tidak membayar 2). Terhadap tempat umum perlu dilakukan pengawasan sanitasi karena dapat dimungkinkan sebagai tempat terjadinya penularan penyakit atau kecelakaan serta gangguan kesehatan lainnya. Oleh karena itu, sanitasi tempat-tempat umum diperlukan untuk menjaga kesehatan dan terhindarnya kecelakaan bagi mereka yang datang berkunjung. Salah satu jenis dari tempat-tempat umum adalah obyek wisata, yaitu tempat alami atau berupa bangunan (peninggalan sejarah kuno, bangunan moderen, kebun binatang, pemancingan dan sejenisnya) yang sebagian atau seluruhnya digunakan untuk kegiatan pariwisata dan segala kelengkapannya dikelola secara profesional 3). Setiap daerah di Indonesia memiliki potensi sumber daya alam dan budaya yang beragam yang dapat dijadikan potensi daya tarik wisata untuk dikembangkan menjadi sebuah daerah tujuan wisata. Salah satu daerah tujuan wisata di Indonesia yang digemari wisatawan adalah Yogyakarta. Kabupaten Bantul di Provinsi D. I. Yogyakarta memiliki primadona obyek wisata andalan yang berada di daerah
pantai selatan. Kawasan wisata pantai tersebut meliputi Parangtritis, Parangkusumo, Pelangi, Depok, Samas, Patehan, Goa Cemara, Kuwaru, dan Pantai Baru. Kawasan Parangtritis yang juga meliputi Pantai Depok menjadi tujuan wisatawan terfavorit dengan jumlah wisatawan yang berkunjung pada tahun 2015 sebanyak 2.059.870 orang 4). Pantai Depok merupakan salah satu pantai yang menawarkan beragam keindahan alam dan wisata kuliner seafood. Tentu hal tersebut menjadi daya tarik bagi wisatawan yang berkunjung. Namun, semakin banyak wisatawan yang berkunjung maka tentu semakin banyak pula potensi yang dapat mempengaruhi kesehatan lingkungan, terutama apabila sarana dan prasarana sanitasi pariwisata yang ada kurang baik. Sarana tersebut meliputi penyediaan air bersih, penyediaan toilet umum, pengelolaan limbah, dan pembuangan sampah. Dalam hal ini, pemerintah berkewajiban mengupayakan adanya sarana sanitasi di tempat-tempat umum. Ketersediaan sarana sanitasi tersebut bertujuan agar wisatawan dapat dengan mudah menikmati sarana yang sehat dan tidak menimbulkan kecelakaan saat berwisata. Apabila sarana sanitasi tidak dikelola dengan baik maka akan menyebabkan berbagai faktor risiko kesehatan bagi wisatawan yang berkunjung. Keberhasilan suatu kegiatan pariwisata sangat ditentukan oleh kualitas pelayanan yang diberikan kepada para wisatawan, karena kualitas tersebut dipercaya sangat berbanding lurus dengan kepuasan wisatawan. Jika kepuasan mereka terpenuhi diharapkan apresiasi dalam upaya memperbaiki tata cara pelayanan dapat menjadi lebih baik lagi. Dari hasil pengumpulan informasi, diperoleh data umum mengenai kepariwisataan di Kawasan Pantai Depok, sebagai berikut: memiliki luas 60 Ha; ratarata kunjungan per hari mencapai 5.644 wisatawan, dimana jumlah tersebut meliputi juga kawasan Parangtritis dan dipengaruhi oleh hari-hari tertentu seperti libur sekolah atau libur nasional; terdapat berbagai macam sarana sanitasi, yaitu tiga unit toilet umum, 14 buah tempat
65
Sanitasi, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.8 No.2, November 2016, Hal 64 – 72
sampah, satu unit SPAL, satu bak penampungan air bersih, dan satu tempat penampungan akhir sampah. Pembuatan sarana sanitasi tersebut dilakukan bertahap oleh pemerintah setempat. Berdasarkan data yang diperoleh, ditemukan beberapa permasalahan yang berkaitan dengan inspeksi sanitasi di tempat wisata, yaitu yang pertama adalah bahwa penyediaan air bersih di kawasan ini tidak menyediakan kran untuk umum karena air bersih yang berasal dari penampungan langsung disalurkan ke warung-warung dan fasilitas untuk umum seperti masjid dan toilet. Air bersih yang disediakan sudah memenuhi persyaratan fisik, yaitu jernih dan tidak berbau 5). Toilet di Pantai Depok tidak memisahkan antara untuk wanita dan pria. Berdasarkan pedoman inspeksi sanitasi tempat wisata dari Depkes RI, syarat jumlah toilet umum adalah untuk setiap 80 pengunjung wanita dan 100 pengunjung pria, masing-masing harus disediakan satu buah jamban yang terpisah. Pengelolaan air limbah harus sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 112 tahun 2003 tentang Baku Mutu Limbah Air Domestik, dimana harus diolah dan disalurkan melalui saluran tertutup, kedap air, dan lancar. Sarana sanitasi seperti toilet umum sudah memiliki septictank untuk pembuangan tinja, sedangkan untuk pembuangan air dari kamar mandi masih melalui saluran terbuka dan tidak kedap air. Jumlah tempat sampah yang tersedia di kawasan wisata ini ada 14 buah. Dilihat dari segi kuantitas, hal itu belum memenuhi syarat jika dibandingkan dengan area wisata yang cukup luas, apalagi tempat-tempat sampah tersebut hanya untuk umum dan terletak di area tempat parkir. Dari segi kualitas juga kurang memadai karena kondisi beberapa di antaranya sudah tidak layak dan tidak bertutup. Pihak pengelola menuturkan memang belum ada pemisahan antara sampah organik dan non organik, sehingga sampah yang dibuang dijadikan satu di tempat pembuangan sementara. Berdasarkan hasil wawancara dengan 10 wisatawan yang berkunjung, yang menyatakan puas satu orang, cu-
66
kup puas empat orang, tidak puas empat orang, dan sangat tidak puas satu orang. Oleh karenanya, untuk meningkatkan kepuasan wisatawan, ditinjau dari aspek kesehatan lingkungan, perlu dilakukan evaluasi terhadap kondisi sarana sanitasi di tempat wisata ini sehingga dapat menambah jumlah wisatawan yang berkunjung di masa yang akan datang. METODA Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah survey dengan desain cross sectional. Hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan pendekatan deskriptif. Populasi penelitian adalah seluruh wisatawan yang berkunjung ke Pantai Depok, dan 100 orang di antara mereka dipilih menjadi sampel/responden. Sarana sanitasi yang dibangun oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bantul, yang meliputi tiga unit toilet umum, satu PAB, satu SPAL, satu TPS, dan 14 tempat sampah, menjadi obyek penelitian. Sebagai variabel bebas adalah kondisi sarana sanitasi yang disediakan sebagaimana di atas, sementara sebagai variabel terikat yang diamati adalah kepuasan wisatawan. Data penelitian dikumpulkan dengan cheklist dan kuesioner. Data diolah dan dibahas dengan menggunakan analisis persentase. Instrumen checklist yang digunakan diambil dari kumpulan formulir pemeriksaan kesehatan lingkungan (inspeksi sanitasi) bidang penyehatan tempat-tempat umum 6), dimana kondisi sarana sanitasi dinyatakan laik sehat apabila mendapatkan nilai minimal 650 dari kemungkinan nilai maksimal 1000 6). HASIL Dari hasil penilaian yang tersaji di Tabel 1 terhadap kondisi yang ada, diketahui bahwa sarana sanitasi yang disediakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata mendapatkan nilai 675 atau memenuhi kriteria “laik sehat”. Selanjutnya, berdasarkan Tabel 2, dari 100 responden, diketahui bahwa sebagian besar atau 51 %, menyatakan cukup puas dengan sarana sanitasi yang disediakan.
Saraswati, Werdiningsih & Purwanto, Evaluasi Kondisi Sarana …
Tabel 1. Hasil inspeksi sarana sanitasi Item sarana sanitasi
Nilai hasil inspeksi
Air bersih
175
Toilet umum
150
Pengelolaan air limbah
175
Pembuangan sampah
175
Jumlah
675
nilaian meliputi: ketersediaan, bau, estetika, dan fungsi saluran air limbah. Sementara itu, mayoritas wisatawan menyatakan sangat tidak puas (39 %) pada sarana tempat pembuangan sampah. Penilaian meliputi aspek-aspek: kuantitas bak sampah, kualitas bak sampah, kemudahan membuang sampah, dan timbunan sampah. Adapun untuk tingkat kepuasan pada toilet umum, mayoritas menyatakan cukup puas (61 %), dimana penilaiannya meliputi: jumlah toilet, kebersihan, ketersediaan air bersih, dan pemisahan toilet untuk laki-laki dan perempuan.
Tabel 2. Hasil pengukuran kepuasan wisatawan Tingkat kepuasan
f
%
Sangat puas
1
1,0
Puas
8
8,0
Cukup puas
51
51,0
Tidak puas
40
40,0
Sangat tidak puas
0
0,0
Jumlah
100
100
PEMBAHASAN
Tabel 3. Hasil pengukuran kepuasan wisatawan terhadap setiap item sarana sanitasi SP
P
CP
TP
STP
f (%)
f (%)
f (%)
f (%)
f (%)
Air bersih
1
36
59
4
0
100
Air limbah
0
6
40
52
2
100
Pembuangan sampah
0
7
22
32
39
100
Toilet umum
3
12
61
22
2
100
Item sarana sanitasi
Sementara itu, Tabel 3 memperlihatkan hasil dari pengukuran kepuasan wisatawan untuk setiap item sarana sanitasi. Hasil tersebut merupkan akumulasi persentase yang berasal dari 16 pertanyaan di kuesioner mengenai sarana sanitasi. Dari keseluruhan 100 orang responden, tingkat kepuasan pada sarana penyediaan air bersih, mayoritas (59 %) menyatakan cukup puas. Penilaian meliputi aspek ketersediaan, kemudahan, kebutuhan, dan kondisi fisik air bersih. Tingkat kepuasan wisatawan pada sarana pembuangan air limbah, mayoritas menyatakan tidak puas (52 %). Pe-
Sanitasi tempat-tempat umum adalah usaha pengendalian melalui kegiatan pengawasan dan pemeriksaan terhadap pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan oleh tempat-tempat umum tersebut, yang erat hubungannya dengan timbul atau merebaknya suatu penyakit 3). Salah satu tempat yang wajib menyelenggarakan sanitasi tempat-tempat umum adalah tempat wisata seperti pantai, karena merupakan tempat rekreasi yang selalu ramai dengan orang, yang jika tidak saniter maka akan menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan pengunjungnya. Inspeksi Sarana Sanitasi yang Disediakan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Hasil yang didapat dari pengamatan terhadap kondisi sarana sanitasi di Pantai Depok adalah “laik sehat” dengan nilai 675. Suatu kondisi sanitasi tempat wisata dikatakan laik sehat apabila sudah memenuhi prsyaratan-persyaratan yang sudah ditetapkan dalam inspeksi sanitasi kesehatan lingkungan. Variabel-variabel upaya yang digunakan untuk menilai kondisi sarana sanitasi tempat wisata pantai terdiri dari: penyediaan air bersih, penyediaan toilet umum, penyediaan sarana pembuangan air limbah (SPAL), dan penyediaan tempat pembuangan sampah. Penilaian variabel sarana penyediaan air bersih memiliki bobot nilai 25 dan
67
Sanitasi, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.8 No.2, November 2016, Hal 64 – 72
ada tiga komponen yang dinilai yaitu: tersedia dalam jumlah yang cukup, memenuhi persyaratan fisik, dan tersedianya satu keran umum dalam setiap radius 20 m 6). Dari ketiga komponen tersebut diperoleh skor 175, dari kemungkinan minimal 0 dan maksimal 250. Hasil inspeksi menunjukkan bahwa keran umum masih belum tersedia. Hal tersebut dikarenakan sudah banyaknya toilet umum dan rumah makan di Pantai Depok yang menyediakan secara komersil air bersih untuk sekedar cuci tangan atau membilas. Untuk memenuhi persyaratan, sarana sanitasi untuk umum seperti keran tersebut sebaiknya disediakan. Apabila ditinjau dari sudut ilmu kesehatan masyarakat, penyediaan sumber air bersih harus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, karena terbatasnya sarana tersebut akan memudahkan timbulnya penyakit di masyarakat 7). Penilaian variabel sarana toilet umum memiliki bobot 25 dan terdiri dari tujuh komponen, yaitu: toilet harus bersih dan terpelihara; tersedia tempat sampah; terdapat ventilasi, penerangan cukup, lantai kedap air dan dinding permanen; toilet dihubungkan dengan saluran air kotor kota atau septic tank; saluran air kotor dari toilet tertutup dan kedap air; jumlah toilet untuk setiap 80 pengunjung wanita satu buah jamban dan untuk setiap 100 pengunjung pria satu buah jamban; toilet pria terpisah dengan toilet wanita. Skor yang diperoleh untuk sarana toilet umum adalah 150, dari kemungkinan nilai minimal 0 dan maksimal 250. Hasil inspeksi menunjukkan: tidak ada tempat sampah di dalam ataupun di luar toilet; saluran air kotor dari toilet tidak tertutup dan tidak kedap air, yaitu air yang keluar dari toilet (limbah cair seperti air seni, kecuali tinja) keluar lewat lubang yang kemudian langsung keluar dan merembas di tanah pasir; toilet pria dan wanita tidak terpisah, sehingga bisa dipakai secara bergantian oleh jenis kelamin yang berbeda. Untuk memenuhi persyaratan, baik di dalam maupun di luar toilet harus disediakan tempat sampah, saluran air ko-
68
tor yang keluar dari toilet sebaiknya dijadikan satu dengan septic tank sehingga tidak menganggu estetika dan menimbulkan bau. Air yang berasal dari sumber yang tidak memenuhi syarat kesehatan dapat menularkan penyakit melalui mekanisme water-borne dan water-washed. Salah satu penyakit yang dapat ditularkan dengan cara ini adalah penyakit diare 7). Sedangkan untuk pemisahan toilet, sebaiknya memang perlu dilakukan agar wisatawan bisa merasa nyaman dan aman serta toilet dapat terawat dengan baik. Penilaian variabel sarana pembuangan air limbah memiliki bobot nilai 25 dan terdiri atas tiga komponen, yaitu pengolahan dilakukan sendiri atau mengikuti saluran perkotaan, disalurkan melalui saluran tertutup, kedap air dan lancar, serta saluran berfungsi dengan baik. Dari komponen-komponen tersebut, diperoleh skor sebesar 175, dari minimal skor 0 dan maksimal 250. Hasil inspeksi menunjukkan bahwa saluran SPAL tidak berfungsi dengan baik, sehingga tidak mendapatkan skor. Kawasan antai Depok memang sudah memiliki SPAL yang berasal dari bantuan Disbudpar dan Pemerintah Kabupaten Bantul, tetapi tidak difungsikan sebagaimana mestinya oleh para pengelola. SPAL yang sudah ada tersebut sebaiknya digunakan sebagaimana mestinya agar limbah yang dibuang dari kegiatan pariwisata dapat terkelola dengan baik sehingga tidak menimbulkan genangan air limbah di mana-mana di pinggir pantai karena biasanya limbah dari rumah makan atau toilet hanya langsung disalurkan melalui pipa kecil dan dialirkan ke pinggir pantai tersebut. Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan permukiman (real estate), rumah makan (restoran), perkantoran, perniagaan dan apartemen wajib melakukan pengolahan air limbah domestik, sehingga yang dibuang ke lingkungan tidak melampaui baku mutu yang telah ditetapkan. Limbah harus disalurkan melalui saluran tertutup seperti septic tank, kedap air, dan lancar supaya pembuangannya tidak tersumbat yang
Saraswati, Werdiningsih & Purwanto, Evaluasi Kondisi Sarana …
kemudian dapat mencemari lingkungan sekitar 8). Menurut penelitian Angeline dkk 9), mengenai kondisi sanitasi dasar dengan kejadian diare, disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara sanitasi sarana pengolahan air limbah dengan keluhan diare. Hal tersebut menandakan keberadaan limbah cair yang menggenang di Kawasan Pantai Depok sangat kecil pengaruhnya bagi timbulnya penyakit yang dialami oleh wisatawan yang berkunjung. Namun, menurut Hidayat 10) kondisi saluran pembuangan air limbah yang tidak memenuhi syarat dapat memberikan dampak, antara lain sebagai tempat perkembangbiakan vektor penyebar bibit penyakit, dan dari aspek estetika dapat menimbulkan bau yang tidak sedap dan pandangan yang kurang menyenangkan baik bagi wisatawan maupun masyarakat sekitar, sehingga dapat menyebabkan kejadian penyakit seperti diare. Variabel sarana sanitasi penyediaan toilet umum memiliki bobot nilai 25 dan terdapat empat komponen yang dinilai, yaitu: tersedia tempat sampah dengan jumlah yang cukup (minimal satu buah untuk setiap radius 20 m); kuat, tahan karat, kedap air, memiliki permukaan halus, rata dan berpenutup; tersedia TPS yang memenuhi syarat; dan pengangkutan sampah dari TPA minimal tiga hari sekali. Dari komponen-komponen tersebut, dari kemungkinan skor minimal 0 dan maksimal 250, diperoleh skor 175. Hasil inspeksi menunjukkan bahwa tempat sampah tidak kuat, dan tidak berpenutup. Kualitas tempat sampah kurang baik karena sudah terlihat begitu lama dan tidak diganti. Hanya ada dua buah tempat sampah yang kualitasnya baik. Adapun mengenai kuantitas, jumlah tempat sampah sudah mencukupi, hanya saja lokasi penempatannya yang di area parkir dan sekitar pasar ikan, membuat pengunjung yang menikmati pemandangan di pinggir pantai tidak bisa membuang sampah ke tempatnya. Alhasil, sampah tetap banyak berserakan di sepanjang pantai. Di Pantai Depok memang sudah tersedia TPS. Berdasarkan keterangan dari
pengelola setempat, TPS tersebut baru dibangun sekitar tahun 2015 sehingga bangunannya masih terlihat baru. Peneliti menilai TPS tersebut masih belum difungsikan dengan baik, sehingga sampah hanya dibuang di sekitarnya saja. Pengangkutan sampah dari TPA minimal sudah dilakukan tiga hari sehari. Menurut penuturan pengelola, sampah diangkut pada malam hari, tetapi dicampur jadi satu karena tidak ada pemisahanan antara sampah organik dan anorganik. Menurut aturan yang ada 6), tempat sampah yang memenuhi syarat adalah: tidak menimbulkan bau, tidak menimbulkan pencemaran terhadap permukaan tanah dan air tanah, tidak menjadi tempat perindukan vektor penyakit seperti lalat, tikus, kecoa, dan lain-lain, serta tidak mengganggu estetika lingkungan. Sarana pembuangan sampah responden tidak memenuhi syarat dan responden juga umumnya langsung membuang ke lingkungan sekitar sehingga menjadi tempat perkembang-biakan bagi lalat. Berdasarkan hasil penelitian Junias 11), kepadatan lalat menjadi indikator kebersihan suatu tempat. Selain itu, kepadatan lalat yang tinggi dapat menjadi media bagi penyebaran bibit penyakit. Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan, kondisi sarana sanitasi di kawasan wisata mendapat skor 675 yang berarti “laik sehat”. Hal ini berlawanan dengan penelitian Pribadi 12), tentang hubungan antara tingkat pengetahuan pengelola dengan keadaan sanitasi toilet umum di pantai yang sama yang menghasilkan temuan bahwa keadaan sanitasi toilet yang tidak laik sehat adalah 50,5 % dari sampel penelitian. Namun demikian, penelitian yang dilakukan oleh Pribadi tersebut obyek penelitiannya adalah toilet umum yang dikelola swasta dan dikomersilkan, sementara penelitian ini mengamati toilet yang dibangun oleh Disbudpar. Tingkat Kepuasan Wisatawan Kepuasan pelanggan adalah perasaan senang atau kecewa yang didapat seseorang dari membandingkan antara kinerja (atau hasil) produk yang dipersepsikan dan ekspektasinya 13). Dari pe-
69
Sanitasi, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.8 No.2, November 2016, Hal 64 – 72
ngertian tersebut dapat diuraikan bahwa kepuasan wisatawan adalah perbandingan antara kinerja produk yang dihasilkan dengan kinerja yang dirasakan oleh wisatawan. Tingkat kepuasan pengunjung tergantung erat dengan pelayanan dan sarana sanitasi yang berada di tempat wisata. Semakin baik pelayanan dan sarana sanitasinya maka pengunjung juga akan semakin puas. Jika kinerja memenuhi hararapan maka wisatawan akan puas, dan jika kinerja melebihi harapan maka wisatawan akan semakin puas. Hasil penelitian menunjukkan dari 100 responden, sebagian besar (51 %) menyatakan cukup puas dengan kondisi sarana sanitasi yang disediakan oleh Disbudpar. Persentase tersebut berasal dari berbagai indikator kepuasan yang dinilai menjadi satu Kepuasan untuk tiap item sarana sanitasi adalah hasil akumulasi yang berasal dari tiap-tiap option dari 16 pertanyaan yang kemudian dikelompokkan menjadi empat yaitu sarana sanitasi air bersih, SPAL, TPS, dan toilet umum. Untuk tingkat kepuasan pada sarana air bersih, 59 % responden menyatakan cukup puas. Hal tersebut meliputi penyediaan air bersih yang cukup, mudahnya mendapatkan air bersih, kebutuhan terpenuhi, dan kondisi fisik air bersih yang sesuai persyaratan 5). Untuk tingkat kepuasan pada sarana pengelolaan air limbah, 52 % responden menyatakan tidak puas. Hal tersebut meliputi ketersediaan sarana pembuangan limbah yang harus sesuai dengan baku mutu 8), bau saluran air limbah, pemandangan (estetika) saluran air limbah, dan fungsi saluran air limbah 6). Sementara itu, untuk tingkat kepuasan pada sarana pembuangan sampah, 39 % responden menyatakan sangat tidak puas. Hal tersebut meliputi kecukupan penyediaan tempat sampah, kualitas tempat sampah, kemudahan membuang sampah, dan timbunan sampah di tempat wisata. Adapun mengenai tingkat kepuasan pada sarana toilet umum, sebanyak 61 % responden menyatakan cukup puas. Hal tersebut meliputi jumlah toilet yang
70
disediakan, kebersihan toilet, air bersih yang disediakan di toilet, dan pemisahan toilet antara laki-laki dan perempuan. Berdasarkan hasil yang sudah dibahas dapat disimpulkan bahwa dari 100 responden 51 % menyatakan cukup puas. Namun, jika responden merasa hanya cukup puas saja, berarti ada sarana yang perlu dibenahi untuk mencapai kepuasan wisatawan hingga pada tingkat sangat puas. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Rohmad 14), mengenai hubungan kondisi sarana sanitasi wisata dan tingkat kepuasan wisatawan di Kawasan Wisata Waduk Gajah Mungkur di Kabupaten Wonogiri yang menyimpulkan ada hubungan antara kondisi sarana sanitasi tempat wisata dengan tingkat kepuasan wisatawan, dimana pada kondisi sarana sanitasi yang laik sehat (89,20 %) wisatawan menyatakan puas, sedangkan pada kondisi yang tidak laik sehat (62,20 %) wisatawan menyatakan tidak puas. Menurut Nugrahaningsih 15), yang meneliti kondisi sanitasi masjid dengan kepuasan jamaah masjid, disimpulkan bahwa kondisi sanitasi masjid yang laik sehat akan menyebabkan jamaah masjid merasa puas, dan sebaliknya jika kondisinya tidak laik sehat maka jamaah akan merasa tidak puas. Berdasarkan hal itu, dapat dikatakan bahwa tolak ukur kepuasan wisatawan berbanding lurus dengan kondisi sarana sanitasi yang ada. Menurut Nugraheni 16), variabel yang berhubungan dengan kejadian diare di Kecamatan Semarang Utara Kota Semarang adalah sumber air minum, sarana pembuangan sampah, kebiasaan mencuci tangan setelah BAB, dan kebiasaan mencuci tangan sebelum makan. Hal tersebut sejalan dengan penelitian 17), tentang gambaran sarana sanitasi kesehatan lingkungan di wilayah kerja Puskesmas Limboto Kabupaten Gorontalo bahwa sampah merupakan faktor yang cukup berpengaruh terhadap kejadian penyakit diare dimana sampah yang telah bercampur dengan air akan membusuk dan akan mencemari sumber air bersih di sekitarnya dan juga dapat menjadi tempat perindukan bagi lalat yang membawa kuman E. coli.
Saraswati, Werdiningsih & Purwanto, Evaluasi Kondisi Sarana …
Penelitian itu menemukan: ada hubungan yang signifikan antara sanitasi sarana air bersih, jamban keluarga, pengolahan sampah dengan keluhan kesehatan diare; namun tidak ada hubungan antara sanitasi sarana pengolahan air limbah dengan keluhan kesehatan diare. Hal tersebut sejalan dengan temuan penelitian ini karena sarana air bersih dapat menimbulkan penyakit seperti diare apabila dibarengi dengan pengelolaan atau sarana pembuangan sampah yang kurang baik di tempat wisata. Maka sarana sanitasi di tempat-tempat umum seperti tempat wisata diperlukan guna mengurangi munculnya dampak dari kondisi tempat umum yang kurang baik. Dampak dari sanitasi tempat-tempat umum yang kurang baik adalah terjadinya penyakit atau kecelakaan serta bentuk gangguan yang lain terhadap wisatawan 2). Oleh karena itu, dalam hal ini pemerintah wajib mengupayakan adanya sarana sanitasi di tempat-tempat umum seperti di obyek wisata agar wisatawan dapat dengan mudah menikmati sarana yang sehat dan tidak menimbulkan kecelakaan saat berwisata. Apabila sarana sanitasi tersebut tidak dikelola dengan baik maka akan menyebabkan munculnya berbagai faktor resiko kesehatan bagi wisatawan yang berkunjung. Keberhasilan suatu kegiatan pariwisata sangat ditentukan oleh tingkat kualitas pelayanan yang diberikan kepada para wisatawan, karena kualitas pelayanan dipercaya sangat berbanding lurus dengan kepuasan wisatawan, dan jika kepuasan wisatawan terpenuhi diharapkan apresiasi dalam upaya memperbaiki tata cara pelayanan dapat menjadi lebih baik lagi. KESIMPULAN Kondisi sarana sanitasi di Pantai Depok Bantul yang berasal dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bantul dinyatakan laik sehat dengan nilai 675. Tingkat kepuasan wisatawan yang mengunjungi pantai tersebut, mayoritas (51 %) menyatakan cukup puas. Kondisi sarana sanitasi yang laik sehat akan meningkatkan kepuasan wisatawan.
SARAN Pengelola tempat wisata kawasan Pantai Depok serta Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bantul disarankan untuk: memperbaiki sarana air bersih dengan cara menambah 80 unit keran untuk setiap radius 20 m; memfungsikan lagi saluran limbah cair yang tidak digunakan dan membuat jaringan komunal sehingga limbah dapat tersalurkan dengan baik; memperbarui tempat sampah yang sudah rusak dan beri penutup; pisahkan toilet laki-laki dan perempuan dengan cara menempelkan plakat pada pintu-pintunya; perlu menambah jumlah tempat sampah, yaitu di area wisata sebanyak 80 unit untuk setiap radius 20 m dan tiga unit di toilet. Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul disarankan untuk melaksanakan penyuluhan dan bimbingan terhadap pengelola tempat wisata mengenai sanitasi tempat wisata, dan melakukan pemeriksaaan dan pengukuran terhadap beberapa faktor lingkungan dan perlengkapan yang dimanfaatkan untuk usaha tempat-tempat umum dan wisata dari segi kebersihan dan persyaratannya, seperti lingkungan halaman, bangunan, tempat pengobatan, persediaan air bersih, sarana pebuangan sampah, perlengkapan WC dan urinoir, dan lain-lain. Bagi mereka yang tertarik, disarankan untuk melakukan penelitian lanjutan berupa pemeriksaan sampel fisik menggunakan alat. Adapun untuk kuesioner, disarankan untuk mengurangi option mengenai tingkat kepuasan, karena semakin sedikit option tersebut maka hasil penelitian akan lebih efektif. DAFTAR PUSTAKA 1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 tentang Kesehatan, 2009. Depkes RI, Jakarta. 2. Suparlan., 2012. Pengantar Pengawasan Hygiene-Sanitasi TempatTempat Umum Wisata & Usaha-Usaha untuk Umum, Percetakan Duatujuh, Surabaya. 3. Gunawan, dkk., 2003. Pedoman Pelaksanaan Pengawasan Sanitasi
71
Sanitasi, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.8 No.2, November 2016, Hal 64 – 72
Tempat-Tempat Umum Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Dinkes Provinsi DIY, Yogyakarta. 4. Disbudpar Kabupaten Bantul, 2015. Data Pokok Pembangunan Sumber Daya Alam Obyek Wisata (diunduh 27 November 2015 di http://bantulkab.go.id/datapokok/0702_obyek_wi sata.html). 5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 416 Tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air, 1990. Depkes R.I., Jakarta. 6. Departemen Kesehatan R.I., 1999. Kumpulan Formulir Pemeriksaan Kesehatan Lingkungan (Inspeksi Sanitasi) Bidang Penyehatan TempatTempat Umum, Depkes RI, Jakarta. 7. Chandra, B., 2006. Pengantar Kesehatan Lingkungan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 8. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 112 Tentang Baku Mutu Limbah Air Domestik, 2003. KemenLH, Jakarta. 9. Angeline, Y. L. dkk., 2012. Hubungan kondisi sanitasi dasar dengan keluhan kesehatan diare serta kualitas air pada pengguna air Sungai Deli di Kelurahan Sukaraja Kecamatan Medan Maimun tahun 2012, Jurnal Kesehatan, Program Sarjana FKM USU Departemen Kesehatan Lingkungan (diunduh 15 Juni 2016 di http://repository. usu.ac.id/ bitstream/123456789/39013/ 7/Cover.pdf). 10. Hidayat, dkk. 2010. Studi Kondisi Sanitasi Lingkungan dan Kejadian Diare di Kelurahan Takalar Kecamatan Mappakasunggu Kabupaten Takalar, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Veteran Republik Indonesia. 11. Junias, M. dan Eliaser, B., 2008. Hubungan antara pembuangan sampah dengan kejadian diare pada penduduk di Kelurahan Oesapa Keca-
72
matan Kelapa Lima Kota Kupang, Jurnal Kesehatan MKM, 3 (2), Fakultas Kesehatan Masyarakat Undayana, Kupang. 12. Pribadi, D., 2014. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Pengelola dengan Keadaan Sanitasi Toilet Umum di Pantai Depok Bantul. Karya Tulis Ilmiah tidak diterbitkan, Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta. 13. Tjiptono, F. dan Diana, A., 2015. Pelanggan Puas? Tak Cukup!, Penerbit Andi, Yogyakarta. 14. Rohmad, N., 2014. Hubungan Kondisi Sarana Sanitasi Wisata (Sarsanta) dengan Tingkat Kepuasan Wisatawan Kawasan Wisata Waduk Gajah Mungkur Kabupaten Wonogiri Karya Tulis Ilmiah tidak diterbitkan, Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes, Yogyakarta. 15. Nugrahaningsih, D., 2013. Hubungan antara Kondisi Sanitasi Masjid dengan Kepuasan Jamaah Masjid di Wilayah Kerja Puskesmas Playen II Kabupaten Gunungkidul Tahun 2013, Karya Tulis Ilmiah tidak diterbitkan, Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes, Yogyakarta.. 16. Nugraheni, D., 2012. Hubungan kondisi fasilitas sanitasi dasar dan personal hygiene dengan kejadian diare di Kecamatan Semarang Utara Kota Semarang, Jurnal Kesehatan Masyarakat, 1 (2); hal. 922-933 (diunduh 15 Juni 2016 di http://download.portalgaruda.org/article.php?article=738 40&val=4700). 17. Prasetya, E., 2009. Gambaran sarana sanitasi kesehatan lingkungan di wilayah kerja Puskesmas Limboto tahun 2009, Jurnal Health & Sport, 3 (1): Agustus 2011, Fakultas Ilmu Kesehatan dan Keolahragaan, Universitas Negeri Gorontalo.
PEMBUATAN BIOPLASTIK BERBAHAN BONGGOL PISANG DENGAN PENAMBAHAN GLISEROL Isnan Prasetya*, Siti Hani Istiqomah**, Yamtana** * JKL Poltekkes Kemenkes Yogyakarta, Jl. Tatabumi 3, Banyuraden, Gamping, Sleman, DIY 55293 email:
[email protected] ** JKL Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
Abstract Plastic wastes have serious impact for enviroment and human health. The production of environmentally friendly plastics (bioplastics) is an alternative to reduce plastic waste which difficult to decompose. Banana tree lump can be utilised as the composite material in bioplastics production because contains cellulose and starch. Plasticizer substance is required to produce elastic plastic. Glycerol is known as best plasticizer compared to other materials. The purpose of the research was to determine the best level of degradation, tensile strength, and elongation value of bioplastics made from banana tree lump flour and glycerol. The experiment employed post test only with control group design. The experiment groups were consisted of three treatment groups, i.e. 3:12, 4:12, and 5:12 compositions and one control group; whose composition in each group were 3 gr, 4 gr, 5 gr and 0 gr lump flour with 12 ml of glycerol, respectively. The 0 bioplastics were made by mixing all the materials at temperature of 60-70 C, and then formed. There were three replications and the data obtained were analysed by using multivariate anova test and LSD test at 0,05 level of signifiance. The results showed that the addition of banana tree lump flour affects the degradation rate, tensile strength and elongation value of the bioplastics. The 5;12 composition yielded the the best degradation rate, i.e. 27.88 % every 3 day mea2 sured by soil burial test, as well as the best tensile strength (20.08 kg/cm ). While, for elongation value, the control gave the best result, i.e.26.67 %. Keywords : bioplastics, banana tree lump, biodegradation, glycerol Intisari Sampah plastik memiliki dampak yang serius bagi lingkungan dan kesehatan. Pembuatan plastik yang lebih ramah lingkungan, seperti bioplastik, adalah alternatif untuk mengurangi sampah plastik yang sulit terurai. Bonggol pisang dapat dijadikan sebagai bahan komposit pembuatan bioplastik karena mengandung selulosa dan pati. Dalam hal ini, diperlukan zat pemlastis untuk menghasilkan plastik yang elastis. Gliserol adalah zat pemlastis yang dikenal lebih baik dibanding bahan lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat degradasi, kuat tarik, dan elongasi (perpanjangan putus) yang terbaik dari bioplastik berbahan tepung bonggol pisang dan gliserol. Eksperimen yang dilakukan menggunakan post test only with control group design, dengan variasi perlakuan terdiri dari kelompok 3:12, 4:12, 5:12 dan kelompok kontrol, dengan komposisi masing-masing adalah 3 gr, 4 gr, 5 gr dan 0 gr tepung bonggol pisang yang ditambahkan12 ml gliserol. Bioplastik dibuat dengan mencampur bahan-bahan tersebut pada 0 suhu 60-70 C, yang kemudian dicetak. Untuk setiap kelompok ada tiga kali replikasi, dimana data penelitian selanjutnya diuji dengan multivariate anova dan LSD pada derajat kemaknaan 0,05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan tepung bonggol pisang mempengaruhi tingkat degradasi, nilai kuat tarik dan elongasi dari bioplastik yang dihasilkan. Komposisi 5:12 menghasilkan bioplastik dengan tingkat degradasi terbaik, yaitu diukur dengan metoda soil burial test menunjukkan terurai 27,88 % setiap 3 hari; dan memiliki kuat tarik yang terbaik pula yaitu sebesar 20,08 kg/cm2. Adapun untuk elongasi, yang terbaik adalah kontrol dengan 26,67 %. Kata Kunci : bioplastik, bonggol pisang, biodegradasi, gliserol
PENDAHULUAN Penggunaan plastik terus meningkat seiring dengan laju konsumsi masyarakat terhadap penggunaan barang atau produk kemasan berbahan plastik. Beberapa keunggulan dari plastik antara lain: fleksibel, ekonomis, tidak mudah re-
tak, tidak dapat membusuk, tidak mudah pecah, kuat, dapat dikombinasi dengan berbagai macam warna dan bentuk, dan beberapa jenis dapat dirancang untuk tahan terhadap panas. Plastik konvensional umumnya terbuat dari hasil sintesis polimer hidro-karbon minyak bumi, seperti low density po-
73
Sanitasi, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.8, No.2, November 2016, Hal 73 – 80
ly etylene (LDPE), poly propylene (PP), poly vinyl chloride (PVC) dan sebagainya. Persentase pemakaian plastik dengan bahan-bahan tersebut terus meningkat setiap tahunnya 1). Di balik keunggulannya, plastik memiliki kekurangan yaitu tidak terurai oleh alam sehingga menjadi permasalahan di lingkungan. Hal ini disebabkan karena plastik tidak dapat dihancurkan, dileburkan atau dengan pelelehan pada temperatur yang tinggi dan secara alami tidak mudah diuraikan oleh mikroba pengurai yang ada, sehingga di mana-mana banyak sampah plastik menumpuk 2). Penumpukan sampah plastik di berbagai daerah akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk kembali dalam kondisi yang ideal. Data Deputi Pengendalian Pencemaran Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) pada tahun 2007 menyebutkan bahwa volume sampah di 194 kabupaten dan kota di Indonesia mencapai 666 juta liter atau setara dengan 42 juta kilogram, dimana komposisi sampah plastik mencapai 14 persen atau 6 juta ton. Data dari kementerian yang sama pada tahun 2008 menyebutkan bahwa setiap individu rata-rata menghasilkan 0,8 kilogram sampah setiap hari dan 15 % dari komposisinya adalah plastik. Penggunaan barang berbahan dasar plastik dari tahun ke tahun terus meningkat. Beberapa kegiatan yang dianggap sebagai alternatif pemecahan masalah seperti pembakaran, pembenaman ke dalam tanah dan landfill, ternyata hasilnya hanya sebatas memindahkan sebuah masalah karena timbul masalah lain yang baru. Pembakaran sampah plastik yang merupakan cara yang cepat, murah dan mudah bagi masyarakat ternyata menimbulkan efek negatif terhadap kesehatan, misalnya pembakaran poly vynil chloride yang menghasilkan senyawa kimia racun ion chloride dan senyawa dioxine yang sangat toksik dan menyebabkan kanker 3). Kegiatan pembakaran yang dilakukan masyarakat memberikan dampak
74
kesehatan secara langsung yaitu asap dan partikulat debu yang memicu gangguan kesehatan terutama pada pernafasan seperti batuk-batuk ataupun asma. Asap pembakaran juga meningkatan risiko masyarakat untuk terkena kanker paru-paru. Sementara itu, dampak lingkungan yang dirasakan oleh masyarakat karena pembuangan sampah plastik adalah banjir, menurunnya kualitas tanah, dan pencemaran pada air sumur. Upaya pengelolaan yang dilakukan dengan mengurangi kuantitas sampah merupakan salah satu yang mendukung program pemerintah yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan diatur melalui Peraturan Pemerintah nomor 81 tahun 2012. Salah satu dari upaya tersebut adalah mengurangi sampah plastik yang sulit terurai. Langkah konkret untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah pembuatan plastik ramah lingkungan dalam bentuk bioplastik untuk mengurangi jumlah sampah plastik yang sulit terurai. Secara garis besar bioplastik merupakan plastik yang dapat diurai oleh mikroorganisme secara alami, sehingga lebih ramah terhadap lingkungan. Bioplastik dapat dibuat dari bahan-bahan organik, seperti: selulosa, pati, kolagen, kasein, protein, dan lipid. Bioplastik akan memberikan keuntungan lain karena bahan yang digunakan dapat berasal dari sumber daya alam yang dapat diperbaharui (re-newable). Salah satunya adalah dengan memanfaatkan sampah organik yang berasal dari bonggol pisang. Sampai saat ini bonggol pisang hanya memberikan dampak negatif pada lingkungan apabila dibiarkan begitu saja. Limbah bonggol pisang tersebut dapat mengganggu estetika dan dapat menjadi tempat perkembang-biakan nyamuk vektor penyakit karena dapat menjadi tempat tergenangnya air pada musim hujan. Bonggol pisang ini kurang dimanfaatkan menjadi bahan yang lebih bernilai, sehingga diperlukan inovasi, salah satunya sebagai bahan komposit pembuatan bioplastik.
Prasetya, Istiqomah & Yamtana, Pembuatan Bioplastik Berbahan …
Bonggol pisang merupakan bagian bawah batang tanaman pisang yang berada di bawah permukaan tanah dan mengandung pati atau karbohidrat sebanyak 66,2 %, serat kasar 10,23 % dan protein 5,88 % 4). Kandungan pati dan serat kasar yang tinggi pada bonggol pisang tersebut dapat dijadikan sebagai bahan komposit pembuatan bioplastik. Bioplastik dapat terbentuk dengan penambahan bahan aditif plasticizer sebagai zat pemlastis. Plasticizer adalah senyawa yang memungkinkan plastik yang dihasilkan tidak mudah rapuh dan kaku. Poliol seperti sorbitol dan gliserol adalah plasticizer yang cukup baik untuk mengurangi ikatan hidrogen internal sehingga akan meningkatkan jarak intermolekul. Zat pemlastik membuat plastik yang dihasilkan lebih elastis dan tidak kaku 5). Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini adalah mengenai pembuatan bioplastik berbahan bonggol pisang dengan penambahan gliserol, dimana komposisi perlakuan yang dilakukan adalah 3 gr, 4 gr, dan 5 gram tepung bonggol pisang METODA Penelitian yang telah dilakukan adalah eksperimen dengan post test only with control group design. Ada tiga kelompok perlakuan, yaitu: kelompok 3:12 (3 gr tepung bonggol pisang dan 12 ml gliserol), kelompok 4:12 (4 gr tepung bonggol pisang dan 12 ml gliserol), dan kelompok 5:12 (5 gr tepung bonggol pisang dan 12 ml gliserol). Adapun pada kontrol tidak ditambahkan tepung bonggol pisang. Cara yang digunakan untuk membuat bioplastik, dimulai dari pembuatan tepung bonggol pisang terlebih dahulu dengan menghaluskan yang telah dikeringkan kemudian disaring. Setelah itu, semua bahan yang diperlukan, yaitu tepung maizena, tepung bonggol pisang, gliserol, dan aquadest dicampur untuk dipanaskan pada suhu 60-70 0C di atas kompor listrik. Pengadukan suspensi bahan tersebut dilakukan secara konstan untuk mencegah timbulnya granula dari
pati (maizena) yang terlarut sehingga bioplastik yang dihasilkan akan halus tanpa gelembung gas. Tahap selanjutnya adalah pencetakan film bioplastik pada cetakan berukuran 25 cm x 10 cm. Sebelum dilanjutkan dengan proses pengeringan film bioplastik, sampel didiamkan terlebih dalam suhu kamar untuk mencegah timbulnya gelembung. Pengeringan dilakukan di dalam oven bersuhu 45 0C selama 6 jam. Setelah kering, sampel film bioplastik dilepaskan dari cetakan. Pengujian tingkat degradasi menggunakan metoda soil burial test yaitu sampel bioplastik yang berukuran 5 x 2 cm dikontakkan secara langsung dengan tanah yang mengandung mikro-organisme pendegradasi. Tanah tersebut diperoleh dari area tempat pembuangan sampah sementara. Sementara itu, pengujian sifat mekanik bioplastik yang dilakukan adalah uji kuat tarik dan perpanjangan putus (nilai elongasi). Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Mei tahun 2016. Lokasi penelitian di Laboratorium Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta sementara pengujian dilaksanakan di Balai Besar Kulit, Karet, dan Plastik Yogyakarta. Uji statistik yang digunakan adalah multivariat anova. Uji parametrik ini digunakan karena berdasarkan hasil pemeriksaan normalitas distribusi, semua data penelitian menghasilkan nilai p > 0,05; atau memenuhi asumsi normal. Selanjutnya, untuk mengetahui kemaknaan dari tiap-tiap penambahan tepung bonggol pisang, dilakukan analisis dengan uji least significance different atau (LSD). Semua uji statistik di atas menerapkan derajat kemaknaan 0,05. HASIL Tingkat Biodegradasi Tabel 1 menyajikan hasil pengukuran tingkat degradasi bioplastik selama 12 hari penanaman sampel uji di dalam tanah, sementara Tabel 2 menyajikan data kehilangan massa yang terjadi selama uji biodegradasi tersebut dilakukan.
75
Sanitasi, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.8, No.2, November 2016, Hal 73 – 80
Hasil pengamatan secara visual yang dilakukan untuk mengetahui kondisi sampel tersebut disajikan dalam bentuk deskripsi oleh Tabel 3. Pengamatan berkaitan dengan pertumbuhan jamur di bioplastik yang dilakukan setiap tiga hari. Tabel 1. Hasil pengukuran tingkat degradasi Hari pengamatan
Kuat Tarik Tabel 4. Hasil uji kuat tarik
Rerata kehilangan massa (%) Kontrol
3:12
4:12
5:12
Ke-0
0,00
0,00
0,00
0,00
Ke-3
7,50
9,83
11,25
16,41
Ke-6
11,10
21,09
25,33
32,02
Ke-9
22,46
25,84
31,70
39,36
Ke-12
32,10
33,81
38,74
51,62
Rata-rata
14,63
18,11
21,40
27,88
Tabel 2. % kehilangan massa hasil uji biodegradasi
Ulangan ke
Tabel 2 menunjukkan bahwa ratarata kehilangan massa yang tertinggi terdapat pada kelompok 5:12, yaitu sebesar 27,88 %, dan terrendah pada kelompok kontrol, yaitu sebesar 14,63 %.
Kehilangan massa (%) Kontrol
3:12
4:12
5:12
I
17,15
17,55
22,77
26,43
II
13,87
18,77
22,21
28,57
III
12,87
17,96
18,99
28,64
Rata-rata
14,63
18,09
21,32
27,88
Ulangan ke
Kontrol
3:12
4:12
5:12
I
4,90
12,60
19,13
16,25
II
9,80
14,25
12,30
23,16
III
5,90
16,11
17,62
20,85
Rata-rata
6,90
14,32
16,35
20,08
Hasil pengujian kuat tarik yang ditunjukkan oleh Tabel 4, memperlihatkan bahwa setiap peningkatan penambahan tepung bonggol pisang akan meningkatkan pula kuat tariknya. Nilai tertinggi ada pada pengulangan kedua di kelompok 5:12, yaitu 23,16 kg/cm2, dan nilai terrendah terdapat pada kelompok kontrol ulangan ke dua yaitu 4,9 kg/cm2 Perpanjangan Putus (Nilai Elongasi) Tabel 5. Hasil uji elongasi
Tabel 3. Hasil pengamatan uji biodegradasi Ulangan ke Hari tanam sampel
Ke-0
Ke-3
Sampel kelompok kontrol dan kelompok 4:12 mulai berbintik pada bagian tepi Sampel kelompok 3:12 dan kelompok 5:12 mulai berlubang kecil Semua sampel ditumbuhi jamur
Ke-6
Ke-9
Ke-12
76
Sampel kelompok 3:12 dan kelompok 5:12 lubang semakin membesar Pertumbuhan jamur menutupi hampir keseluruhan sampel Mulai berlubang kecil-kecil pada kelompok kontrol dan kelompok 4:12 Pertumbuhan jamur menutupi keseluruhan sampel Lubang terus membesar pada semua sampel
Nilai elongasi (%) Kontrol
3:12
4:12
5:12
I
32
28
28
20
II
32
28
20
12
III
16
20
20
20
Rata-rata
26,67
25,33
22,67
17,33
Hasil pengamatan Sampel Kelompok 3:12, 4:12, 5:12 dan kelompok kontrol yang terkontak langsung dengan tanah dalam keadaan baik (bersih, elastis)
Kuat tarik (kg/cm2)
Nilai elongasi (perpanjangan putus), yang dinyatakan dalam persen, merupakan bagian dari sifat mekanik yang menunjukkan keelastisan dari suatu bahan yang ditarik hingga putus. Tabel 5 di atas menunjukkan bahwa nilai elongasi bioplastik tersebut berfluktuasi di antara setiap kelompok penambahan komposisi tepung bonggol pisang. Namun, secara rata-rata, nilai elongasi tersebut akan turun seiring dengan ber-
Prasetya, Istiqomah & Yamtana, Pembuatan Bioplastik Berbahan …
tambahnya tepung bonggol pisang yang ditambahkan. Nilai perpanjangan putus terbesar dihasilkan oleh kelompok kontrol (tanpa penambahan tepung bonggol pisang), yaitu sebesar 32 %, sementara yang terkecil dari kelompok 5:12, yaitu sebesar 12 %. Hasil uji dengan multivariate anova yang dilakukan untuk mengetahui kebermaknaan dari perbedaan yang tampak di antara hasil pengukuran dari ketiga parameter dan dari keempat kelompok penelitian yang diamati, menghasilkan nilai p sebesar 0,02; yang berarti bahwa perbedaan-perbedaan itu signifikan secara statistik, sehingga dapat diinterpretasikan bahwa penambahan tepung bonggol pisang mempengaruhi tingkat degradasi, nilai kuat tarik dan nilai perpanjangan putus dari bioplastik yang dihasilkan. Selanjutnya, dari hasil uji LSD yang dilakukan untuk mengetahui kemaknaan dari tiap-tiap penambahan tepung bonggol pisang diketahui bahwa 5:12 adalah komposisi yang menghasilkan bioplastik terbaik. PEMBAHASAN Pembuatan bioplastik umumnya dipengaruhi oleh beberapa variabel pengganggu, di antaranya adalah suhu, komposisi polimer dan zat pemlastik. Suhu mempengaruhi terbentuknya bioplastik, karena komposisi bioplastik yang berbahan pati membutuhkan suhu tertentu untuk dapat memecahkan granula pati secara keseluruhan sehingga terbentuknya biolastik yang bergelembung dapat terhindarkan. Terjadinya viskositas disebabkan oleh air yang awalnya berada di luar granula dan bebas bergerak sebelum suspensi dipanaskan, kemudian bergerak berada di dalam butir-butir pati dan tidak dapat terbebas 6). Bioplastik bergelembung nantinya juga akan mempengaruhi uji mekanik karena permukaan yang tebal tipis tidak merata akan mengasilkan kuat tarik dan nilai elongasi yang buruk. Dalam penelitian ini, variabel pengganggu telah dicoba untuk dikendalikan untuk mendapat sampel bioplastik yang
representatif, sebagaimana hasil dari ujiuji berikut. Tingkat Biodegradasi Uji biodegradasi diamati dan diukur selama 12 hari melalui pengujian sampel bioplastik terhadap daya degradasinya dengan cara dikontakkan ke tanah. Uji tersebut merupakan metoda yang sederhana untuk mengukur tingkat degradasi. Berdasarkan hasil pengamatan yng telah dilakukan, terlihat sampel uji mengalami pengurangan berat dalam kurun waktu 12 hari. Pengamatan yang dilakukan setiap tiga hari sekali ini mengamati perubahan fisik bioplastik seperti timbulnya jamur dan terbentuknya lubang pada potongan sampel uji. Hasil perhitungan persentase kehilangan massa menunjukkan bahwa bioplastik yang dihasilkan dapat terurai dengan mudah. Indikator ini ditunjukkan dengan berkurangnya berat setiap sampel uji bioplastik yang telah diuraikan oleh mikroorganisme yang ada di tanah, yaitu ditandai dengan adanya pertumbuhan jamur pada potongan sampel bioplastik yang diuji. Penelitian lain yang pernah dilakukan berupa pemanfaatan pati biji nangka yang bercampur kitosan dan gliserol, mengukur tingkat degradasi bioplastik dengan menanam sampel kontak di dalam tanah selama 10 hari. Hasil uji memperlihatkan bahwa sampel bioplastik dapat terurai secara total atau sempurna 7). Ada lagi penelitian yang memanfaatkan pati ubi jalar dengan penguat logam ZnO dan selulosa alami yang dicampur bersama gliserol. Sampel bioplastik yang dihasikan dapat terurai atau terdegradasi dari 100 % menjadi 86,308 % atau berkurang sebanyak 13,69 % dalam waktu 10 hari penanaman 8). Pada penelitian ini, penanaman bioplastik sampel uji dalam waktu 12 hari menghasilkan rata-rata kehilangan massa tertinggi sebesar 27,88 % atau hampir sepertiga bagian dari sampel yang dikontakkan dengan tanah. Perbedaan di antara hasil-hasil penelitian tentang bioplastik tersebut diduga karena perbedaan jenis bahan polimer yang digunakan
77
Sanitasi, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.8, No.2, November 2016, Hal 73 – 80
serta perbedaan jumlah zat pemlastis yang ditambahkan. Pada tabel hasil pengukuran tingkat biodegradabilitas, rata-rata terbaik dihasilkan oleh kelompok 5:12 (penambahan tepung 5 gr bonggol pisang dan 12 ml gliserol). Penambahan bahan alami yang mengandung selulosa menghasilkan bioplatik dengan tingkat biodegradabilitas yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang tidak ditambah. Penambahan selulosa seperti yang terkandung dalam tepung bonggol pisang ini, menunjukkan bahwa pada saat proses dekomposisi tidak dibutuhkan waktu yang cukup lama karena selain matriks pati, kandungan selulosa dan gliserol yang berperan sebagai plasticizer juga memberikan gugus OH karena hidrofilik dengan pati 9). Semakin banyak selulosa yang terkandung dalam pembuatan bioplastik akan mempercepat proses degradasi yang dilakukan oleh mikro-organisme di dalam tanah. Selulosa yang terdapat dalam tepung bonggol pisang dapat berperan dalam degradabilitas suatu plastik, karena selulosa merupakan bahan alami yang dapat terdegradasi oleh aktivitas mikroba yang ada di dalam tanah 10) Uji biodegradasi dengan mengontakkan langsung dengan tanah memiliki kelemahan berupa sulitnya proses pengontrolan sampel saat pengujian 8). Hal ini berarti bahwa penyebab berkurangnya fraksi massa bioplastik secara menyeluruh tidak dapat diketahui penyebabnya, apakah karena aktivitas mikroba tanah atau karena degradasi yang disebabkan oleh absorbsi air dari kelembaban tanah yang digunakan, sehingga diperlukan pengontrolan suhu dan kelembaban tanah. Absorbsi air yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba menjadikan bioplastik harus diuji ketahanannya terhadap air. Pembuatan bioplastik berbahan tepung bonggol pisang ini dapat dijadikan sebagai dasar dalam upaya mengatasi permasalahan plastik sintetis yang sulit diuraikan oleh mikroorganisme tanah. Hasil penelitian ini telah membuktikan bahwa plastik berbahan dasar lim-
78
bah organik dapat terurai di tanah dalam waktu yang lebih cepat, yaitu mampu terurai atau massa bioplastik dapat berkurang sebanyak 27,88 % dari massa awal, dalam waktu tiga hari. Berkurangnya sampah plastik sintetis yang sulit terurai memberikan peluang bagi peningkatan kualitas lingkungan dan kesehatan. Kuat Tarik Hasil pengukuran memperlihatkan bahwa rerata nilai kuat tarik mengalami kenaikan pada setiap penambahan tepung bonggol pisang, dari 6,9 kg/ cm2 sampai dengan 20,08 kg/cm2. Kenaikan tersebut menunjukkan bahwa penambahan selulosa yang terkandung dalam tepung bonggol pisang menjadi material komposit yang mampu meningkatkan kekuatan mekanik bioplastik. Peningkatan mekanik pada kuat tarik disebabkan oleh peningkatan interaksi gaya tarik-menarik antar penyusun material bioplastik. Kondisi ini erat kaitannya dengan gugus hidroksil yang saling membentuk ikatan hidrogen, baik antar molekul atau intra molekul yang terdiri atas serat-serat yang saling menguatkan 11). Penurunan yang signifikan terlihat pada kelompok 5:12 saat ulangan pertama, yaitu dari 19,13 kg/cm2 turun menjadi 16,25 kg/ cm2; dan kelompok 4:12 pada ulangan ke dua dari 14,25 kg/cm2 yang turun menjadi 12,3 kg/ cm2. Salah satu penyebab penurunan ini diduga karena sifat fisik berupa ketebalan bioplastik pada sampel uji. Ketebalan yang berbeda pada sampel mengakibatkan berkurangnya kekuatan tarik dari bioplastik yang dihasilkan meskipun kondisi sampel sudah disamakan ketebalannya dengan diukur di tiga titik untuk setiap sampelnya. Bioplastik berbahan tepung bonggol pisang yang mengandung serat diharapkan dapat memenuhi sifat mekanik dari kuat tarik atau ketahanan tariknya sesuai dengan golongan moderate properties. Nilai kuat tarik sebesar 1-10 kg/cm2 12) pada penelitian ini sudah memenuhi kriteria tersebut.
Prasetya, Istiqomah & Yamtana, Pembuatan Bioplastik Berbahan …
Nilai Elongasi (Perpanjangan Putus) Rata-rata nilai perpanjangan putus mengalami penurunan pada setiap penambahan tepung bonggol pisang, berturut-turut dari 26,67 % sampai dengan 17,33 %. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan selulosa yang ada pada tepung bonggol pisang yang menjadi material komposit dapat menurunkan nilai elongasi dari bioplastik yang dihasilkan. Penurunan yang terjadi disebabkan adanya penurunan jarak di ikatan antar-molekulernya, karena titik jenuh telah dilampaui sehingga molekul-molekul pemlastik menjadi berlebih. Hal ini akibat pengaruh dari penambahan gliserol yang berperan lebih, berada di dalam fase tersendiri di luar fase polimer yang akan menurunkan gaya intermolekul antarrantai 5). Penambahan gliserol sebagai zat pemlastis yang menyebabkan molekulmolekul di dalam larutan berada di antara rantai ikatan biopolimer dan dapat membentuk ikatan hidrogen, menyebabkan interaksi antar molekul menjadi berkurang. Hal ini berakibat pada naiknya nilai elongasi dan turunnya nilai kuat tarik seiring dengan penambahan zat pemlastik atau sebaliknya. Bioplastik berbahan tepung bonggol pisang yang mengandung serat diharapkan dapat memenuhi sifat mekanik dari perpanjangan putus dengan memenuhi kriteria moderate properties. Standar plastik internasional (ASTM 5336) menyatakan besarnya nilai elongasi untuk plastik PLA dari Jepang mencapai 9 % dan plastik PCL dari Inggris mencapai 500 % 13). Dengan nilai perpanjangan putus berkisar antara 10-20 % 12), bioplastik yang dihasilkan oleh penelitian ini sudah memenuhi kriteria plastik jenis PLA dari Jepang tetapi belum memenuhi standar PCL dari Inggris. Hasil hubungan perpanjangan putus (nilai elongasi) dengan kuat tarik adalah saling berbanding terbalik. Berdasarkan hasil nilai uji mekanik bioplastik pada setiap kelompok penelitian, nilai kuat tarik selalu naik setiap diberi perlakuan penambahan tepung bonggol pisang yang lebih tinggi, dan sebaliknya, nilai elonga-
si menjadi turun. Berturut-turut, nilai kuat tarik sebesar 6,90 kg/cm2, 14,32 kg/cm2, 16,35 kg/cm2 dan 20,08 kg/cm2, memiliki nilai perpanjangan putus (nilai elongasi) sebesar 26,67 %, 25,33 %, 22,67 % dan 17,33 %. Perubahan sifat mekanik ini berhubungan dengan interaksi selulosa dari tepung bonggol pisang dengan pati tepung jagung, dan juga gliserol sebagai pemlastis. KESIMPULAN Penambahan komposisi tepung dari bonggol pisang mempengaruhi nilai tingkat degradasi, nilai kuat tarik, dan nilai elongasi (perpanjangan putus) bioplastik yang dihasilkan. Semakin banyak tepung bonggol pisang yang ditambahkan, maka semakin meningkat pula nilai tingkat degradasi dan nilai kuat tariknya. Hal tersebut berbanding terbalik dengan nilai elongasinya. Komposisi terbaik dalam pembuatan bioplastik adalah 5:12 untuk tingkat degradasi dan kuat tarik, sementara untuk nilai elongasi, yang terbaik adalah kelompok kontrol. SARAN Kepada peneliti yang akan melanjutkan penelitian ini disarankan untuk: 1) mengukur suhu dan kelembaban tanah pada saat dilakukan uji soil burial test agar diketahui penyebab penguraiannya, 2) melakukan uji ketahanan air untuk mengetahui kemampuan bioplastik dalam menahan penyerapan air, dan 3) perlu diteliti lebih lanjut polimer alam lain yang mengandung selulosa yang dapat dijadikan sebagai bahan komposit pembuatan bioplastik, seperti ampas kelapa atau limbah organik lainnya. DAFTAR PUSTAKA 1. 2.
Sucipto, C. D., 2012. Teknologi Pengolahan Daur Ulang Sampah, Gosyen Publishing, Yogyakarta. Siswono, 2008. Jaringan Informasi Pangan dan Gizi, Volume XIV, Ditjen Bina Gizi Masyarakat, Jakarta.
79
Sanitasi, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.8, No.2, November 2016, Hal 73 – 80
3.
4.
5.
6.
7.
8.
80
Margino, dkk., 2006. Pengembangan Biopolimer dengan Substrat Terbarukan: Produksi Bioplastik (PoliBeta-Hidroksi Butirat) dari Substrat Pati, Laporan Penelitian Hibah Bersaing XIV/6, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Departemen Pertanian R. I.,. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Pisang (diakses 28 Desember 2015 dari http://www.deptan.go.id). McHugh, T. H. dan Krochta, J. M., 1994. Sorbitol vs glycerol plasticized whey protein edible films: integrated oxygen permeability and tensile property evaluation, Journal of Agricultural Food Chemistry, 42: 841_5, dalam Jurnal Teknik Kimia FTI-ITS (diakses 7 Januari 2016 dari http:// pubs.acs.org/doi/abs/10.1021/jf0004 0a001). Zulfa, Z., 2011. Pemanfaatan Pati Ubi Jalar untuk Pembuatan Biokomposit Semikonduktor, Skripsi. Universitas Indonesia, Depok (diakses 7 Januari 2016 dari http://lib.ui. ac.id/file?file=digital/20308134S426 30Sintesis%20bio-plastik.pdf). Puspita, A. D., 2013. Sifat Termal Film Plastik Berbahan Dasar Pati Biji Nangka (Artocarpus heterophyllus) (diakses 7 Januari 2016 dari http://lib.unnes.ac.id/18628/1/ 4211409032.pdf). Marbun, E. S., dkk, 2012. Sintesis Bioplastik dari Pati Ubi Jalar Skrip-
9.
10.
11.
12.
13.
si, Universitas Indonesia (diakses 0 mei 2016 dari http:// lib.ui.ac.id /file? file=digital). Ardiansyah, R., 2011. Pemanfaatan Pati Umbi Garut untuk Pembuatan Plastik Biodegradable, Skripsi, Universitas Indonesia (diakses 2 Januari 2016 dari http://ib.ui.ac.id/ file? file=digital). Septiosari, A., Latifah, dan Ella, K., 2014. Pembuatan dan karakteristik bioplastik limbah biji mangga dengan penambahan selulosa dan gliserol, Indonesian Journal Of Chemical Science, 3 (2) (diakses 20 Desember 2016 dari http://journal. unnes.ac.id/sju/index.php/ijcs). Indriyanti, Indrarti, L, dan Rahimi E., 2006, Pengaruh carboxymethyl cellulose (CMC) dan gliserol terhadap sifat mekanik lapisan tipis komposit bakterial selulosa, Jurnal Sains Mater Indonesia, 8 (1): hal. 40–4 (diakses 15 Mei 2006 dari http:// jusami.batan.go.id/dokumen/matei/3 0Jan12_150005_Indriyanti.pdf). Purwanti, A., 2010. Analisis kuat tarik dan elongasi plastik kitosan terplastisasi sorbitol., Jurtek Akprind, 3: hal. 99–106. Epriyanti, Ni Made Heni., B. A. H. dan I. W. A., 2014. Pengaruh Suhu dan Lama Pengeringan terhadap Karakteristik Komposit Plastik Biodegradable dari Pati Kulit Singkong dan Kitosan, Skripsi, pp.21–30.
PEMANFAATAN LIMBAH PEPAYA (Carica papaya L) DAN TOMAT (Solanum lycopersicum L) UNTUK MEMPERCEPAT PENGOMPOSAN SAMPAH ORGANIK Aji Baharudin*, Adib Suyanto**, Sigid Sudaryanto** * JKL Poltekkes Kemenkes Yogyakarta, Jl.Tatabumi 3, Banyuraden, Gamping, Sleman, DIY 55293 email:
[email protected] ** JKL Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
Abstract One way to handle organic waste is by utilizing it as raw material for composting. In this study, to accelerate composting time, papaya and tomato waste were used as inoculant. The aim of the study was to know, between the two fruits waste, which one is more effective, by conducting an experiment with post test only group design. As the study object was organic waste from the yard of Dormitory Building I of Yogyakarta Polytechnic of Health, as much as 60 kg and was obtained by integrated sampling technique, meanwhile the two fruits waste were 2 kg and obtained from Serangan Market with purposive sampling technique. Based on the indicators of ripe compost, from five time replications, the average of composting duration in the treatment group of papaya waste inoculant was 32,3 days, while the time in the tomate waste group was 31,7 days. The results of statistical analysis with indepedent t-test at 95 % level of confidence, gained a pvalue less than 0,001. It means that the time-difference between two groups of treatment is significant. To conclude, used tomato waste is more effective and faster than that of papaya in speeding-up the composting process. Keywords : papaya waste, tomato waste, compost Intisari Salah satu penanganan sampah organik adalah memaanfaatkannya menjadi bahan baku kompos. Dalam penelitian ini, untuk mempercepat waktu pengomposan,digunakan limbah pepaya dan limbah tomat sebagai inokulan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis inokulan yang lebih efektif di antara dua jenis limbah buah tersebut, melalui eksperimen yang menggunakan rancangan post test only group. Obyek penelitian adalah sampah organik yang berasal dari halaman Asrama I Poltekkes Kemenkes Yogyakarta sebanyak 60 kg yang diperoleh dengan metoda integrated sampling, sedangkan sampah limbah pepaya dan tomat sebanyak 2 kg yang diperoleh dari Pasar Serangan, diambil dengan metoda purposive sampling. Berdasarkan indikator kompos matang, dari lima kali ulangan, rata-rata waktu terbentuknya kompos pada kelompok perlakuan dengan inokulan limbah pepaya adalah selama 32,3 hari dan inokulan limbah tomat selama 31,7 hari. Hasil uji statistik dengan t-test bebas memperoleh nilai p < 0,001 yang berarti bahwa perbedaan lama waktu pengomposan antara kedua inokulan tersebut memang bermakna. Dapat disimpulkan bahwa limbah tomat lebih efektif dan cepat dibandingkan dengan limbah pepaya dalam mempercepat proses pengomposan. Kata Kunci : limbah pepaya, limbah tomat, kompos
PENDAHULUAN Sampah (refuse) didefinisikan sebagai sebagian dari sesuatu yang tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang harus dibuang, yang umumnya berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh manusia (termasuk kegiatan industri), tetapi bukan biologis (karena human waste tidak termasuk di dalamnya) dan umumnya bersifat padat 1). Sumber sampah sangat bermacammacam, antara lain seperti rumah tang-
ga, pasar, warung, kantor, bangunan umum, industri, dan jalan 1). Definisi sampah menurut UndangUndang No 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan atau proses alam yang berbentuk padat. Adapun sampah spesifik adalah sampah yang karena sifat, konsentrasi dan volumenya memerlukan pengelolaan khusus. Sampah yang semakin lama menumpuk dan tidak diolah akan menimbulkan masalah seperti gangguan este-
81
Sanitasi, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.8 No.2, November 2016, Hal 81 – 86
tika, mengganggu pemandangan dan juga bisa sebagai tempat perindukan vektor penyakit seperti lalat, kecoa dan tikus. Gangguan kesehatan yang dapat ditimbulkan oleh sampah, di antaranya adalah penularan penyakit yang disebabkan oleh virus, protozoa, dan telur cacing, serta diare dan kolera 2). Berdasarkan hasil survei pendahuluan di Pasar Serangan Yogyakarta pada tanggal 23 Januari 2016, diperoleh data yang menunjukkan bahwa sampah yang dibuang oleh pedagang yang berjualan di sana adalah sampah organik seperti sisa-sisa sayuran yang sudah layu, busuk maupun yang tidak laku dijual karena kondisinya yang sudah tidak layak jual lagi. Selain itu, terdapat juga sampah yang berasal dari buah-buahan yang sudah membusuk, karena tidak laku dijual; serta dijumpai pula sampah plastik, kertas dan lain-lain. Sampah selalu menjadi salah satu permasalahan di setiap kota, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di dunia. Sampah organik dapat menimbulkan berbagai masalah. Di antara contohnya adalah dapat mengakibatkan banjir, pencemaran udara dan mengganggu estetika lingkungan (keindahan dan bau). Akibat dari dampak negatif yang ditimbulkan tersebut, selain menurunkan higienitas dan kualitas lingkungan, keberadaan sampah senantiasa menimbulkan problematika sosial yang cukup besar di berbagai pihak jika tidak dikelola dengan baik. Namun, di tangan mereka yang peduli terhadap lingkungan, sampah organik merupakan bahan pembuatan kompos yang sangat baik. Secara umum, 50 % sampah rumah tangga terdiri dari bahan-bahan yang dapat diolah menjadi kompos 3). Masalah pembuangan limbah yang tidak mengikuti peraturan hampir selalu berdampak negatif bagi lingkungan, baik dari segi estetika, kesehatan lingkungan maupun kualitas hidup manusia. Limbah organik yang berasal dari aktivitas rumah tangga sebenarnya relatif tidak berbahaya sehingga lebih mudah ditangani dibandingkan dengan limbah cair dan limbah padat dari industri yang mengandung bahan berbahaya.
82
Penanganan limbah padat rumah tangga yang murah dan mudah adalah dengan cara mengolahnya menjadi kompos seperti yang telah dilakukan oleh Sulistiyorini 4). Sejalan dengan pertanian berkelanjutan, aplikasi kompos di lahan pertanian selalu meningkatkan kesuburan tanah dan produktivitas tanaman 4). Pemanfaatan sampah dengan pengomposan merupakan cara dalam menangani sampah yang dihasilkan oleh kegiatan masyarakat yang sebagian besar berupa sampah organik. Kendala dan keluhan masyarakat dalam proses pengomposan secara alami adalah lamanya waktu yang diperlukan, yaitu bisa mencapai 2-3 bulan, sehingga kurang dapat diterima oleh masyarakat 5). Pengomposan merupakan proses penguraian bahan-bahan organik secara biologis dalam suasana termofilik (suhu tinggi) dengan hasil akhir berupa bahanbahan yang cukup bagus untuk diaplikasikan ke tanah, yaitu bisa memperbaiki sifat-sifat kimia, fisik, dan biologis tanah. Kompos yang dihasilkan dari sampah, berguna untuk menguatkan stuktur lahan kritis, menggemburkan kembali tanah pertanian, serta mengurangi penggunaan pupuk kimia 6). Menurut Nurhidayat 7), keuntungan dari pemanfaatan limbah untuk pengomposan antara lain berfungsi mengurangi pencemaran lingkungan dan meningkatkan sanitasi lingkungan. Aplikasi dari pengomposan ini sangat efisien khususnya pada lahan pertanian yang masih menggunakan obat-obatan secara berlebihan sehingga mengandung bahan-bahan kimia yang dapat mencemari lingkungan khususnya tanah dan mendaur kembali limbah-limbah yang sudah tidak terpakai lagi menjadi sesuatu yang bernilai ekonomis dan ramah lingkungan 7). Dalam proses pengomposan sangat diperlukan penambahan sumber nutrisi lain bagi pertumbuhan bakteri yang berperan di dalamnya, antara lain sebagai sumber karbon, nitrogen dan energi. Salah satu bahan organik yang terdapat kandungan tersebut adalah buah pepaya. Adapun menurut Sofyan dkk 8) limbah tomat merupakan salah satu sampah organik yang dimungkinkan untuk
Baharudin, Suyanto & Sudaryanto, Pemanfaatan Limbah Pepaya …
menjadi tempat hidup beberapa jenis mikro-organisme. Limbah tomat dapat digunakan sebagai media biakan (inokulan) bagi mikrobia tertentu yang mampu mendegradasi bahan-bahan organik, sehingga limbah yang terkontaminasi atau ditumbuhi mikrobia tertentu ini dapat digunakan sebagai pengganti EM-4 8). METODA Penelitian eksperimen ini menggunakan post-test only group design, dimana sebagai obyek adalah sampah organik yang di ambil dari halaman Asrama I Poltekkes Kemenkes Yogyakarta, sebanyak 60 kg dengan metoda integrated sampling, sedangkan limbah buah pepaya dan tomat diambil dari Pasar Serangan sebanyak 2 kg dengan metoda purposive sampling. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah melakukan pengamatan secara langsung obyek yang akan diteliti, serta melakukan pengukuran terhadap volume dan pH kompos. Langkahlangkah penelitian di minggu pertama dan kedua, adalah pengukuran volume, pH, dan warna yang dilakukan satu kali, sedangkan untuk hari ke-15 dan seterusnya pengukuran dilakukan setiap hari. Kompos dinyatakan sudah jadi apabila memenuhi kriteria: volume menyusut menjadi 20-40 % dari volume awal, berbentuk butiran-butiran kecil dan berwarna kecoklatan seperti tanah, tidak lagi berbau busuk, pH antara 6,5-7,5, dan suhu sudah stabil sesuai suhu lingkungan (27-30 OC). Dilakukan 15 kali ulangan untuk setiap kelompok penelitian. Data dianalisis menggunakan uji t-test bebas pada derajat kepercayaan 95 %, untuk menguji perbedaan hasil dari dua kelompok perlakuan yang diteliti. HASIL Rerata hasil pengukuran lama waktu untuk pengomposan pada kelompok dengan perlakuan inokulan limbah pepaya adalah 32,3 hari, sementara pada kelompok dengan perlakuan inokulan limbah tomat, adalah 31,7 hari.
Tabel 1. Hasil pengukuran waktu terbentuknya kompos Waktu pengomposan (hari) Ulangan ke
Inokulan limbah pepaya
Inokulan limbah tomat
1
30
30
2
33
31
3
33
31
4
32
31
5
33
30
6
32
31
7
31
31
8
32
32
9
33
31
10
33
31
11
34
30
12
34
31
13
32
31
14
31
30
15
32
30
Rata-rata
32,2
31,7
Tabel 2. Hasil pengukuran pH akhir kompos pH akhir kompos Ulangan ke
Inokulan limbah pepaya
Inokulan limbah tomat
1
6,7
6.8
2
6,3
6,0
3
6,6
6.6
4
6,6
6.4
5
6,6
6.9
6
6,3
6.6
7
6,3
6.9
8
6,8
6,0
9
6,9
6.7
10
6,6
6.2
11
6,7
6.6
12
6,6
6.2
13
6,6
6.6
14
6,5
6,6
15
6,2
6,2
Rata-rata
6,55
6,48
83
Sanitasi, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.8 No.2, November 2016, Hal 81 – 86
Berdasarkan hasil uji t-test bebas diperoleh nilai p lebih kecil dari 0,01 yang berarti bahwa perbedaan lama waktu pengomposan di antara kedua kelompok penelitian memang bermakna, dimana limbah tomat sebagai inokulan mempercepat proses pengomposan lebih baik dibandingkan dengan limbah pepaya. Derajat keasaman atau pH dalam tumpukan kompos juga mempengaruhi aktifitas mikroorganisme. pH yang baik dan mengakibatkan kerja mikroorganisme menjadi optimal berkisar antara 6,57,5 (netral). Hasil rata-rata pengukuran pH akhir berkisar antara 6,55-6,48 yang berarti bahwa kondisi ini sesuai dengan kebutuhan mikroorganisme pengurai. Hasil pengukuran rata-rata volume akhir kompos yang menggunakan inokulan limbah pepaya adalah 10304,59 cm3, sementara yang menggunakan inokulan limbah tomat adalah 10716,15 cm3. Keduanya, sama-sama berasal dari volume awal 27000 cm3. PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan pembuatan kompos dengan menggunakan limbah pepaya sebagai inokulan memerlukan rata-rata waktu selama 32,3 hari, sementara dengan menggunakan limbah tomat rata-rata waktu yang diperlukan adalah selama 31,7 hari. Inokulan dari limbah tomat mampu membuat kompos lebih cepat dibandingkan dengan dari limbah pepaya. Hal itu dapat terjadi karena limbah tomat adalah salah satu jenis limbah organik yang dapat dimanfaatkan sebagai media biakan (inokulan) yang mengandung mikroba-mikroba yang mampu mendegradasi bahan-bahan organik. Salah satu mikrobia yang dimungkinkan ada di dalam limbah tomat adalah jenis Mesofilia yang dalam proses pengomposan berperan untuk memecah atau menghancurkan bahan organik yang akan dirubah menjadi kompos dan setelah proses pengomposan berjalan aktif suhu tumpukan mulai meningkat terutama di bagian dalamnya. Hal ini terjadi karena kegiatan mikroba Mesofilia tersebut menghasilkan panas.
84
Penambahan inokulan dari limbah pepaya dan tomat dalam bahan kompos dapat mempengaruhi waktu pengomposan, karena inokulan limbah buah tersebut berguna sebagai media pertumbuhan dan penyedia mikroorganisme pengurai bahan organik. Penggunaan inokulan cair berfungsi mempercepat proses pengomposan sampah organik, sehingga pemanfaatan sampah organik dapat dioptimalkan dan dampak negatif yang ditimbulkan dapat dikurangi. Alasan pemilihan bahan dasar inokulan limbah pepaya dan tomat karena mudah didapat dari pedagang di pasarpasar, sebagai sisa yang sudah tidak laku dijual atau busuk, sekaligus dapat mengurangi dampak negatif dari sampah tersebut. Mikroorganisme yang terdapat dalam inokulan limbah pepaya dan tomat mempunyai fungsi yang sama dalam hal pengomposan yaitu sebagai dekomposer sampah organik. Volume awal kompos, terukur sebesar 27000 cm3. Setelah kompos jadi, volumenya menjadi 10304,59 cm3 untuk yang menggunakan inokulan limbah pepaya, dan 10716,15 cm3 untuk inokulan limbah tomat. Penyusutan 20-40 % dari volume awal tersebut terjadi karena adanya penguapan zat arang ke udara. Volume yang menyusut juga merupakan tanda-tanda bahwa kompos sudah jadi. Derajat keasaman yang baik berkisar antara 6,5-7,5 atau pada pH netral. Kondisi ini perlu untuk optimalnya kerja mikro-organisme. Hasil pengukuran ratarata pH pada penelitian ini adalah antara 6,55-6,48, yaitu sesuai dengan yang dibutuhkan sehingga dapat dikatakan bahwa faktor pH tidak menghambat dalam proses pengomposan. Warna kompos yang sudah jadi/matang hampir menyerupai tanah. Perlakuan dengan menggunakan inokulan limbah pepaya mulai menunjukkan warna tersebut pada hari ke 27, sedangkan inokulan limbah tomat mulai terjadi pada hari ke 25. Menurut SNI 19-7030-2004, syarat warna kompos adalah kehitaman, dengan demikian kompos yang dihasilkan telah memenuhi syarat 9) Sampah hasil kegiatan jual beli di Pasar Serangan yang tidak terangkut ke
Baharudin, Suyanto & Sudaryanto, Pemanfaatan Limbah Pepaya …
TPA dapat menimbulkan masalah estetika, pencemaran lingkungan dan berdampak buruk bagi kesehatan masyarakat, sehingga kita harus memperhatikannya, salah satunya dapat diolah dan dimanfaatkan agar lebih berguna dan tidak berdampak negatif. Demikian pula halnya dengan sampah dedaunan yang berasal dari pepohonan/tumbuhan yang ada di halaman Asrama I Poltekkes Kemenkes Yogyakarta, juga sangat disayangkan jika tidak dikelola. Sampah-sampah tersebut dapat ditangani, salah satunya dengan mengolahnya menjadi kompos yang seringkali membutuhkan waktu yang lama, yaitu kurang lebih 2-3 bulan. Tetapi, apabila kita menambahkan aktivator atau inokulan, maka proses pembuatan kompos dapat berlangsung lebih cepat. Hal tersebut terjadi karena di dalam inokulan terdapat mikroba pengurai yang mampu mengurai bahan organik menjadi kompos. Inokulan tersebut dapat digunakan untuk mempercepat pengomposan sehingga sehingga cara alami (tanpa penambahan inokulan) yang membutuhkan waktu lama dapat dipercepat melalui penambahan inokulan sebagai aktivator. Kompos merupakan hasil penguraian dari campuran bahan-bahan organik yang dapat dipercepat oleh populasi berbagai macam mikroorganisme dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab, secara aerobik atau anaerobik 10). Kompos adalah pupuk yang dihasilkan dari bahan-bahan organik melalui proses pembusukkan 10). Pupuk organik sendiri memiliki beberapa keunggulan, di antaranya: memperlancar kegiatan jasad renik tanah sehingga tanah menjadi gembur, mampu memperbaiki struktur dan tekstur tanah serta infiltrasi air, menghambat adanya pencuci unsur hara air dan air permukaan, menghindari kontaminasi penyakit akibat air hujan, mencegah erosi, menjaga kelembaban tanah, mengurangi penguapan, dan penghematan dalam pengairan, terpenuhinya kebutuhan tanaman terhadap unsur hara, mikroba tanah dapat hidup dan berkembang, tanaman lebih tahan terhadap penyakit dan kekeringan, mampu memaksimalkan bobot
produksi, mempercepat masa panen, hasil panen lebih berbobot dan lebih banyak, rasa lebih enak dan aroma lebih khas, mengurangi residu bahan kimia pada hasil produksi, ukuran buah dan penampakan hasil lebih seragam, biaya produksi lebih rendah dan tidak mencemari tanah. Perbaikan sifat fisik tanah akan meningkatkan struktur tanah sehingga memudahkan pengolahan tanah, tanah pasiran menjadi lebih kompak dan tanah berlempung menjadi lebih gembur. Selain itu, kompos juga mengandung humus yang yang sangat dibutuhkan oleh tanaman. Sifat kimia tanah kompos menyediakan hara baik mikro ataupun makro mineral. Kebutuhan hara makro mineral tanaman seperti N, P, K, Cd dan Mg di dalam kompos berada dalam bentuk tersedia bagi tanaman karena proses dekomposisi. Hara-hara mikro mineral yang juga dibutuhkan dalam jumlah sedikit untuk pertumbuhan tanaman, seperti Fe, S, Mn, Cu, Zn, Mo, Si dan trace mineral juga tersedia. Sifat biologi tanah banyak mengandung mikroorganisme (fungi, actomicetes, bakteri dan algae ) yang berfungsi dalam proses dekomposisi lanjut terhadap bahan organik tanah. Dengan ditambahkannya kompos, tidak hanya jutaan mikroorganisme yang ditambahkan ke dalam tanah tetapi mikroorganisme yang ada dalam tanah juga terpacu untuk berkembangbiak. Selain itu, aktivitas mikroorganisme di dalam tanah juga menghasilkan hormon-hormon pertumbuhan seperti auksin, giberilin, dan sitokinin yang dapat memacu pertumbuhan dan perkembangan akar-akar rambut sehingga daerah pencairan unsur-unsur hara semakin luas. Hal-hal yang dilakukan dalam proses pengomposan, yaitu: 1) siapkan alat dan bahan yang diperlukan dalam pembuatan inokulan, semua bahan (gula, air, serta limbah pepaya dan tomat) diblender dan disaring kemudian dimasukkan ke dalam botol dan ditunggu selama 1 sampai 2 minggu, sampai inokulan jadi, 2) siapkan alat dan bahan yang diperlukan, ambil bahan baku, cacah dan buat menjadi lapisan-lapisan di dalam ember,
85
Sanitasi, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.8 No.2, November 2016, Hal 81 – 86
3) jika inokulan telah jadi, tuangkan pada masing-masing perlakuan dan lakukan perhitungan serta pengamatan untuk volume, pH dan warna, 4) setelah ditunggu kurang lebih satu bulan maka kompos dinyatakan jadi. KESIMPULAN Dapat disimpulkan bahwa limbah pepaya dan limbah tomat sebagai inokulan dapat mempercepat waktu pengomposan sampah organik. Pengomposan dengan penambahan limbah pepaya membutuhkan lama waktu terbentuknya kompos rata-rata selama 32,3 hari, sementara dengan penambahan limbah tomat dibutuhkan waktu yang lebih singkat, yaitu rata-rata selama 31,7 hari. Sehingga limbah tomat lebih efektif menjadi inokulan dibandingkan dengan limbah pepaya. SARAN Masyarakat diharapkan dapat memanfaatkan limbah tomat sebagai inokulan dalam pembuatan kompos sampah organik. Aturan yang dipakai adalah 50 ml limbah tomat untuk setiap 2 kg sampah organik. Bagi mereka yang ingin melanjutkan studi ini disarankan untuk memperbanyak variasi dosis inokulan yang akan diteliti dalam proses pengomposan sampah organik, selain juga dapat mencoba memanfaatkan bahan-bahan lain yang
86
mungkin bisa digunakan sebagai inokulan. DAFTAR PUSTAKA 1. Azwar, A., 1990. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan, Mutiara Sumber Widya, Jakarta. 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 18 Tahun 2008 tentang Pengolahan Sampah. 3. Subandriyo, Didi, D. A., dan Hadiyanto, 2012. Optimasi pengomposan sampah organik rumah tangga menggunakan kombinasi aktivator EM-4 dan mol terhadap rasio C/N, Jurnal Ilmu Lingkungan, 10 (2): hal. 70-75. 4. Sulistyorini, L. 2005. Pengelolaan sampah dengan cara menjadikannya kompos, Jurnal Kesehatan Lingkungan, 2: hal. 77 – 84. 5. Indriyani, H., Yovita, 2011. Membuat Kompos Secara Kilat, Penebar Swadaya, Jakarta. 6. Alex, S. 2011. Sampah Organik Menjadi Pupuk Organik, Pustaka Baru Press, Yogyakarta. 7. Nurhidayat, 2009. Pengolahan Limbah Padat Organik, Kanisius Jakarta. 8. Sofyan, dkk. 2007. Pemanfaatan limbah tomat sebagai pengganti EM4, Jurnal Penelitian Sains dan Teknologi, 8 (2): hal. 119-143. 9. SNI 19-7030-2004. Ditjen Cipta Karya. Departemen PU. 10. Djaja, 2008). Langkah Jitu Membuat Kompos dari Kotoran & Sampah, Agromedia Pustaka. Jakarta.
PENERAPAN KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 519/MENKES/SK/VI/2008 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN PASAR SEHAT DI PASAR-PASAR TRADISIONAL DI KABUPATEN KEBUMEN HASIL RENOVASI TAHUN 2011-2013 Imam Muhsin Mubarok*, Lucky Herawati**, Haryono** * JKL Poltekkes Kemenkes Yogyakarta, Jl.Tatabumi 3, Banyuraden, Gamping, Sleman, DIY 55293 email:
[email protected] ** JKL Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
Abstract Traditional market is one of public places. Poor condition of market sanitation is potential for disease transmission. To prevent the occurence of negatif impacts, between 2011 and 2013, the local government of Kebumen, administered by the Office of Industry, Trade, and Market Management, has renovated 10 out of the existing 35 traditional markets. Nonetheless, this effort has not yet solved the problem of poor sanitation completely. The purpose of this research was to reveal in what extent the Guidelines of Market Sanitation, as described by the decree of the Ministry of Health No.519/2008, had been applied by the government, i.e. by conducting a descriptive study. As the samples were all those 10 traditional markets, and there were three variables that were observed by using a check-list. The variables were: building construction, sanitation, and other facilities. The results showed that, in average, for building construction that consisted of 95 components, 52,9 % had been fulfilled; for sanitation that consisted of 44 components, 47,3 % had been fulfilled, and for other facilities that consisted of 22 componnets, 29,5 % had been fulfilled. Based on the above decree, it can be concludes that 80 % of the renovated traditional markets are categorized as unhealthy, and 20 % are classified as not healthy enough. Keywords : healthy market, healthy market guidelines, market sanitation Intisari Pasar tradisional merupakan salah satu tempat-tempat umum. Kondisi sanitasi pasar yang buruk berpotensi bagi terjadinya penularan penyakit. Untuk mencegah dampak negatif yang mungkin timbul, antara tahun 2011-2013, Pemerintah Daerah Kabupaten Kebumen melalui Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Pengelolaan Pasar telah merenovasi 10 dari total 35 pasar tradisional yang ada, namun upaya tersebut belum sepenuhnya mengatasi buruknya masalah sanitasi yang terjadi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana Pedoman Pasar Sehat yang tercantum dalam Kepmenkes Nomor 519/Menkes/SK/VI/2008 telah diterapkan oleh Pemda Kabupaten Kebumen, yaitu dengan melakukan penelitian yang bersifat deskriptif. Sebagai sampel penelitian adalah seluruh 10 pasar tradisional di atas, sementara variabel yang diteliti terdiri dari: konstruksi bangunan, sanitasi, dan fasilitas lain, yang diobservasi dengan menggunakan check-list. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara rata-rata, untuk variabel konstruksi bangunan yang terdiri dari 95 buah komponen, 52,9 % sudah memenuhi syarat; untuk variabel sanitasi yang terdiri dari 44 komponen, 47,3 % sudah memenuhi syarat, dan untuk variabel fasilitas lain yang terdiri dari 22 komponen, 29,5 % sudah mememuhi syarat. Jika mengacu pada Kepmenkes di atas, dapat disimpulkan bahwa 80 % pasar tradisional yang diteliti termasuk dalam kategori tidak sehat dan 20 % termasuk kategori kurang sehat. Kata Kunci : pasar sehat, pedoman pasar sehat, sanitasi pasar
PENDAHULUAN Sanitasi adalah cara pengawasan yang menitikberatkan pada berbagai faktor lingkungan yang mungkin mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat 1). Sanitasi tempat-tempat umum merupakan suatu usaha untuk mengawasi dan
mencegah kerugian yang diakibatkan dari tempat-tempat umum tersebut terutama yang erat hubungannya dengan timbulnya atau menularnya suatu penyakit. Usaha pengawasan di atas dilakukan baik terhadap manusia, alat dan bahan, serta lingkungan tempat di mana kegiatan dilakukan 2).
87
Sanitasi, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.8 No.2, November 2016, Hal 87 – 94
Kegiatan yang melibatkan banyak orang di antaranya adalah di pasar. Pasar adalah suatu tempat yang sebagian terdiri atas pelataran terbuka dan sebagian lagi terdiri atas perumahan-perumahan atau bangunan-bangunan yang dipergunakan untuk menjual dan memperagakan barang-barang dagangan kepada masyarakat umum 3). Pengelolaan pasar tradisional di daerah bervariasi, tergantung pada pemerintah setempat 4). Kondisi yang sering ditemui di pasar tradisional di antaranya adalah penyediaan air bersih yang kurang memadai, sistem pengelolaan sampah yang tidak baik, dan toilet yang tidak terawat. Pada umumnya, pasar tradisional di Indonesia mempunyai kondisi sanitasi yang buruk 5). Kondisi tersebut dapat menyebabkan munculnya berbagai macam gangguan bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan 2). Berkaitan dengan upaya pencegahan dampak negatif dari pasar tradisional, Pemerintah Daerah Kabupaten Kebumen telah merenovasi 10 dari total 35 pasar tradisional yang dikelola oleh Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Pengelolaan Pasar. Namun demikian, upaya tersebut belum sepenuhnya dapat mengatasi masalah sanitasi pasar yang buruk. Hasil survei yang dilakukan pada 16-17 Januari 2016 di Pasar Ambal, Pasar Petanahan, dan Pasar Karanganyar, menunjukkan bahwa pengelolaan sampah yang dilakukan di ketiga pasar tersebut kurang baik, dinding tidak bersih dan ditemui genangan air. Walaupun kondisi tersebut hanya menggambarkan sanitasi pasar tradisional di Kabupaten Kebumen secara sekilas, namun dapat memperlihatkan buruknya keadaan yang ada dan belum sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan No. 519/Menkes/SK/VI/2008 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pasar Sehat. .Kondisi sanitasi pasar tidak lepas dari peran pemerintah daerah dalam menerapkan pedoman pasar sehat pada saat melakukan renovasi. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan ingin mengetahui sejauh mana hal itu dilakukan oleh
88
Pemerintah Daerah Kabupaten Kebumen. Manfaat penelitian ini antara lain sebagai masukan untuk memperbaiki kondisi sanitasi pasar tradisional yang ada dan juga sebagai masukan bagi kegiatan renovasi/pembangunan pasar tradisional berikutnya di Kabupaten Kebumen. METODA Jenis penelitian yang dilakukan adalah survei yang bersifat deskriptif, yaitu bertujuan untuk mengembangkan konsep dan menghimpun fakta dengan cara menggambarkan, melukiskan, mendeskripsikan, atau mengurai keadaan obyek penelitian untuk memperoleh pengetahuan yang mendalam tentangnya melalui pengungkapan apa yang ada dan apa yang terlihat di lapangan, kemudian dianalisis dengan tinjauan pustaka 6). Populasi penelitian adalah seluruh pasar tradisional hasil renovasi di tahun 2011-2013 yang dikelola oleh Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Pengelolaan Pasar Kabupaten Kebumen, sebanyak 10 buah, yaitu Pasar Prembun, Pasar Tlogopragoto, Pasar Kutowinangun, Pasar Ambal, Pasar Jatisari, Pasar Tumenggungan, Pasar Indrakila, Pasar Karanganyar, Pasar Petanahan, dan Pasar Ayah. Semua pasar tersebut menjadi sampel penelitian. Ada tiga variabel yang diteliti, yaitu: konstruksi bangunan, sanitasi, dan fasilitas lain. Variabel konstruksi bangunan memiliki 14 sub variabel, yaitu: lokasi, ruang dagang, ruang kantor pengelola, tempat penjualan bahan pangan basah, tempat penjualan bahan pangan kering, tempat penjualan makanan matang atau siap saji, area parkir, atap, dinding, lantai, tangga, ventilasi, pencahayaan, dan pintu. Adapun variabel sanitasi, terdiri dari lima sub variabel, yaitu: air bersih, kamar mandi dan toilet, pengelolaan sampah, drainase, serta tempat cuci tangan. Sementara itu, variabel fasilitas lain memiliki lima sub variabel, yakni: pemadam kebakaran, keamanan, tempat/ sarana ibadah (masjid/musala), tempat penjualan unggas hidup, serta pos kesehatan dan P3K.
Mubarok, Herawati & Haryono, Penerapan Keputusan Menteri …
Semua variabel di atas dinilai dengan menggunakan checklist pasar sehat yang telah disesuaikan dengan Kepmenkes No.519/Menkes/SK/VI/2008 di atas, dan dilakukan pada saat pasar sedang beroperasi. Setiap variabel memiliki skor yang merupakan hasil perkalian antara bobot sub variabel dengan nilai komponen. Skor total merupakan penjumlahan dari skor semua variabel. Skor maksimal untuk variabel konstruksi bangunan adalah 2430, sementara untuk variabel sanitasi dan fasilitas lain, masing-masing adalah 2000 dan 1500, sehingga skor maksimal semua variabel adalah 5930. Hasil penilaian selanjutnya diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu: tidak sehat (skor < 60 % dari skor maksimal), kurang sehat (60-74,9 % dari skor maksimal), dan sehat (75-100 % dari skor maksimal). Selain penilaian secara keseluruhan, dilakukan juga penilaian terhadap masing-masing variabel penelitian. Selanjutnya, untuk setiap pasar dihitung persentase komponen yang memenuhi syarat pada setiap variabel. Pasar yang persentasenya kurang dari rata-rata, ditentukan sebagai pasar yang menjadi prioritas perbaikan sanitasi. Data yang diperoleh dari hasil pengamatan terhadap kondisi sanitasi pasar tersebut dianalisis secara deskriptif untuk diketahui komponen sanitasi mana yang belum memenuhi syarat yang diatur oleh Kepmenkes terkait di atas, dan semua pasar tersebut diurutkan sesuai dengan ranking skor yang diperoleh HASIL Tabel 1 menunjukkan rata-rata skor penilaian variabel konstruksi bangunan adalah 1455,5. Skor tertinggi sebesar 1605,0 dimiliki oleh Pasar Tumenggungan, dan skor terrendah, yaitu 1188,5, ada di Pasar Tlogopragoto. Untuk variabel sanitasi, rata-rata skor penilaian adalah 877,2; dengan skor tertinggi sebesar 1040,0 di Pasar Tumenggungan dan terrendah, yaitu 660,0, di Pasar Prembun dan Pasar Ayah. Untuk variabel fasilitas lain, rerata skor penilaian adalah 464, di mana yang tertinggi, yaitu 1080 dimiliki
oleh Pasar Karanganyar, dan paling rendah, yaitu 0, di Pasar Ambal. Tabel 1. Skor hasil penilaian konstruksi bangunan, sanitasi dan fasilitas lain Variabel Pasar
Juml
Konstruksi Bangunan
Sanitasi
Fasilitas Lain
Pre
1461,0
660,0
530
2651,0
Tlo
1188,5
1000,0
360
2548,5
Kut
157,5
1008,0
340
2919,5
Amb
1243,5
920,0
0
2163,5
Jat
1490,0
960,0
180
2630,0
Tum
1605,0
1040,0
970
3615,0
Ind
1555,0
740,0
420
2715,0
Kar
1527,0
944,0
1080
3551,0
Pet
1560,0
840,0
460
2860,0
Aya
1353,5
660,0
300
2313,5
X
1455,5
877,2
464
2796,7
Keterangan: Pre : Prembun Tlo : Tlogopragoto
Tum : Tumenggungan Ind : Indrakila
Kut : Kutowinangun
Kar : Karanganyar
Amb : Ambal
Pet : Petanahan
Jat : Jatisari
Aya : Ayah
Tabel 2. Persentase kategori pasar
Pasar
Kategori Tidak sehat
Pre
9
Tlo
9
Kut
9
Amb
9
Jat
9
Sehat
9
Tum Ind
Kurang sehat
9 9
Kar Pet
9
Aya
9
Jumlah
8
2
0
%
80
20
100
89
Sanitasi, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.8 No.2, November 2016, Hal 87 – 94
Tabel 3. Hasil penilaian komponen pada variabel konstruksi bangunan
Pasar
komponen memenuhi syarat
komponen yang dinilai
%
Pre
53,0
95
55,8
Tlo
39,0
95
41,1
Kut
59,0
95
62,1
Amb
34,0
95
35,8
Jat
52,0
95
54,7
Tum
58,0
95
61,1
Ind
53,0
95
Kar
57,0
Pet
Tabel 5. Hasil penilaian komponen pada variabel fasilitas lain
Pasar
komponen memenuhi syarat
komponen yang dinilai
%
55,8
Pre
7,0
22
31,8
95
60,0
Tlo
6,0
22
27,3
55,0
95
57,9
Kut
5,0
22
22,7
Aya
43,0
95
45,3
Amb
0,0
22
0,0
X
50,2
52,9
Jat
4,0
22
18,2
Tum
11,0
22
50,0
Ind
7,0
22
31,8
Kar
13,0
22
59,1
Pet
7,0
22
31,8
Aya
5,0
22
22,7
X
6,5
Tabel 4. Hasil penilaian komponen pada variabel sanitasi
Pasar
komponen memenuhi syarat
komponen yang dinilai
%
Pre
16,0
44
36,4
Tlo
24,0
44
54,5
Kut
28,0
44
63,6
Amb
20,0
44
45,5
Jat
21,0
44
47,7
Tum
26,0
44
59,1
Ind
16,0
44
Kar
23,0
Pet
29,5
Tabel 5. Kumulatif hasil penilaian komponen pada semua variabel
Pasar
komponen memenuhi syarat
komponen yang dinilai
%
36,4
Pre
76,0
161
47,2
44
52,3
Tlo
69,0
161
42,9
18,0
44
40,9
Kut
92,0
161
56,5
Aya
16,0
44
36,4
Amb
54,0
161
33,5
X
20,8
47,3
Jat
77,0
161
47,8
Tum
95,0
161
59,0
Ind
76,0
161
47,2
Kar
93,0
161
57,8
Pet
80,0
161
49,7
Aya
64,0
161
39,8
X
77,6
Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah pasar dengan kategori tidak sehat adalah delapan lokasi (80 %), kurang sehat sebanyak dua lokasi (20 %), dan tidak ada pasar yang masuk kategori sehat. Sementara itu, Tabel 3, Tabel 4, dan Tabel 5, secara terpisah memperlihatkan
90
bahwa secara rerata, dari 95 komponen yang dinilai pada variabel konstruksi bangunan, 52,9 % sudah memenuhi syarat, dari 44 komponen yang dinilai untuk variabel sanitasi, 47,3 % sudah memenuhi syarat, dan dari 22 komponen pada variabel fasilitas lain, 29,5 % sudah memenuhi syarat.
48,2
Mubarok, Herawati & Haryono, Penerapan Keputusan Menteri …
Tabel 6 memperlihatkan bahwa dari keseluruhan komponen yang dinilai, Pasar Tumenggungan adalah yang terbanyak memenuhi, yaitu 95 dari 161 komponen yang dinilai (59,0 %), dan Pasar Ambal adalah yang paling sedikit memenuhi, yaitu 54 komponen (33,5 %) saja. PEMBAHASAN Konstruksi Bangunan Secara rata-rata, komponen konstruksi bangunan yang memenuhi syarat adalah sebesar 52,9 %. Ada tiga pasar yang nilainya kurang dari rata-rata yaitu Pasar Tlogopragoto, Pasar Ambal, dan Pasar Ayah, sehingga ketiganya menjadi prioritas dalam upaya perbaikan sanitasi khususnya yang berkaitan dengan aspek konstruksi bangunan. Kondisi yang dijumpai sama ada di ketiga pasar tradisional tersebut yang belum sesuai dengan persyaratan pasar sehat seperti yang diatur di dalam Kepmenkes No. 519/Menkes/SK/VI/2008, adalah bahwa karkas daging tidak digantung melainkan diletakkan di atas meja, alas pemotong daging (talenan) terbuat dari kayu, dan tidak tersedia tempat penyimpanan dingin untuk daging (cold chain). Selanjutnya diketahui pula bahwa di tempat penjualan daging/ikan tidak tersedia tempat untuk mencuci daging/ikan yang dijual dan peralatannya. Di tempat penjualan bahan pangan basah, bahan pangan kering, dan makanan matang/ siap saji: tidak tersedia wastafel dan tempat sampah basah dan kering, saluran limbahnya tidak tertutup, ditemukan adanya lalat; serta tidak dibedakannya pisau yang digunakan untuk memotong bahan mentah dengan untuk memotong makanan matang. Untuk bahan pangan basah dan kering, tidak disediakan meja penjualan, sehingga bahan-bahan pangan tersebut hanya diletakkan di atas karung, terpal atau tampah. Kondisi yang khusus dijumpai di Pasar Tlogopragoto, adalah tempat penjualan unggas hidup berada di halaman samping pasar yang berjarak sekitar 3-5 meter dari pedagang bahan pangan ke-
ring dan basah; serta tempat pemotongan khusus juga tidak tersedia. Adapun untuk Pasar Ambal dan Pasar Ayah, tidak ditemukan identitas zona dagangan. Di ketiga pasar tersebut juga tidak ada pemisah yang jelas antara area parkir dengan batas wilayah pasar, dan parkir sepeda dan motor tidak terpisah. Area parkir khusus kendaraan pengangkut hewan hidup tidak tersedia. Tidak ada jalur dan tanda masuk dan keluar kendaraan yang jelas di area parkir dan di area tersebut tidak ditemui pula adanya tanaman penghijauan. Khusus untuk area parkir di Pasar Tlogopragoto dan Pasar Ambal, ditambah dengan tidak-adanya area resapan air dan tempat sampah. Di pasar-pasar tersebut juga ditemukan keadaan berupa: dinding yang tidak bersih, pertemuan lantai dengan dinding tidak berbentuk conus atau lengkung dan ada lantai yang rusak, serta tidak ditemukan pintu yang dapat membuka dan menutup sendiri atau tirai plastik pada los khusus penjualan daging, ikan, dan sejenisnya. Di Pasar Tlogopragoto dan Pasar Ayah, tidak tersedia toilet dan wastafel di ruang kantor pengelola, sementara di Pasar Tlogopragoto dan Pasar Ambal, ditemukan kondisi berupa atap yang bocor. Di Pasar Tlogopragoto juga diketahui bahwa intensitas cahaya rata-rata di warung makan hanya sebesar 27,97 lux. Sanitasi Secara rerata, komponen sanitasi yang memenuhi syarat adalah sebesar 47,3 %. Pasar-pasar yang nilainya kurang dari rerata ada di wilayah Prembun, Ambal, Indrakila, Petanahan, dan Ayah, sehingga kelimanya menjadi prioritas dalam upaya perbaikan sanitasi pasar Kondisi buruk yang dijumpai di kelima pasar tradisional tersebut yaitu: kualitas air bersih tidak diuji secara berkala setiap enam bulan sekali, dan jumlah toilet yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah pedagang dan tidak dipisah antara lelaki dan perempuan. Di Pasar Prembun dengan 705 pedagang, diperlukan sembilan buah toilet/ KM namun hanya tersedia empat. Di Pasar Ambal dengan 796 pedagang, dari
91
Sanitasi, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.8 No.2, November 2016, Hal 87 – 94
10 toilet yang diperlukan hanya tersedia enam saja. Di Pasar Indrakila dengan 645 pedagang, idealnya jumlah kamar mandi dan toilet adalah sembilan buah, namun hanya tersedia dua. Dengan jumlah pedagang di Pasar Petanahan sebanyak 796 orang, masih diperlukan satu kamar mandi dan toilet lagi dari sembilan yang tersedia saat ini. Jumlah pedagang di Pasar Ayah adalah 490 orang, sehingga diperlukan tujuh toilet atau perlu ditambah tiga lagi dari keadaan sekarang. Di Pasar Prembun, Pasar Indrakila dan Pasar Petanahan, letak toilet dari tempat penjualan makanan dan bahan pangan kurang dari 10 meter. Di kelima pasar tersebut tidak tersedia tempat cuci tangan (wastafel) di kamar mandi dan toilet. Rerata pencahayaan di toilet di masing-masing pasar adalah: Pasar Prembun 13,66 lux; Pasar Ambal 22,28 lux; Pasar Indrakila 8,83 lux; Pasar Petanahan 14,52 lux; dan Pasar Ayah 3,07 lux. Diketahui pula bahwa di kelima pasar tradisional tersebut: tidak setiap kios /lorong/los memiliki tempat sampah dan tidak ada pembuangan sampah sementara; drainase tidak ditutup dengan kisikisi, dan tidak dilakukan pengujian kualitas limbah cair secara berkala setiap enam bulan sekali dan tidak tersedia wastafel di dalam pasar. Di Pasar Indrakila dan Pasar Ayah, tidak tersedia tempat sampah untuk setiap toilet. Khusus untuk Pasar Ayah, diketahui bahwa selain tidak ditutup dengan kisi-kisi, drainase yang ada merupakan saluran terbuka. Ditemukan adanya sampah pada saluran tersebut yang menghambat aliran air limbah sehingga menggenanginya. Apabila sampah dan genangan air limbah tersebut dibiarkan begitu saja, maka akan menjadi tempat perindukan bagi vektor, misalnya nyamuk dan lalat, yang dapat menularkan berbagai penyakit 7). Fasilitas Lain Secara rata-rata, komponen fasilitas lain yang memenuhi syarat adalah sebesar 29,5 %. Ada lima pasar yang nilainya kurang dari rata-rata, yaitu Pasar Tlogopragoto, Pasar Kutowinangun, Pasar Ambal, Pasar Jatisari, dan Pasar A-
92
yah, sehingga kelima pasar tesebut menjadi prioritas dalam upaya perbaikan sanitasi pasar, khususnya pada aspek fasilitas lain. Kondisi serupa yang dijumpai di kelima pasar tradisional tersebut adalah: tidak tersedia hidran air untuk pemadam jika terjadi kebakaran dan petunjuk arah evakuasi juga belum tersedia. Di Pasar Tlogopragoto, Pasar Kutowinangun dan Pasar Ayah, sudah tersedia alat pemadam kebakaran (APAR), namun tiak tersedia SOP (standard operation procedure) yang jelas. Sementara itu di Pasar Ambl dan Pasar Jatisari, APAR tersebut tidak tersedia. Di semua pasar di atas belum ada pos keamanan yang didirikan dan belum direkrut petugas keamanannya. Di kelima pasar tradisional tersebut juga belum ada pos pelayanan kesehatan. Menurut Kepmenkes Nomor 519/Menkes/ SK/VI/2008 seharusnya tersedia pos pelayanan kesehatan dan P3K di setiap pasar sehingga apabila terjadi kecelakaan dapat segera dilakukan pertolongan pertama. Pedagang atau pengunjung yang terlambat menerima pertolongan dikhawatirkan dapat mengalami cedera yang bertambah parah yang dapat membahayakan nyawa 8). Di Pasar Tlogopragoto, Pasar Ambal dan Pasar Ayah, tidak ada fasilitas khusus untuk penjualan unggas hidup yang terpisah dari pasar utama. Adapun khusus di Pasar Ambal, belum dibangun sarana/tempat ibadah berupa mushalla/ mesjid yang dapat digunakan oleh pedagang dan pengunjung Dapat ditambahkan bahwa kondisikondisi setiap pedagang yang tidak memiliki tempat sampah, air limbah terlihat menggenang, belum ada tempat cuci tangan, kamar mandi dan toilet yang tidak terpisah antara laki-laki dan perempuan, serta ditemukannya vektor penyakit, merupakan hal yang penting untuk dicari solusi penanganannya, karena dapat mengakibatkan tersebarnya beberapa penyakit, seperti diare dan muntaber 9). Pasar merupakan tempat berlangsungnya kegiatan jual beli. Oleh karenanya, pasar harus dapat memberikan lingkungan yang sehat dan produktif bagi
Mubarok, Herawati & Haryono, Penerapan Keputusan Menteri …
para pedagang, pengelola pasar, maupun pembeli 10). KESIMPULAN Komponen konstruksi bangunan di pasar-pasar tradisional di Kabupaten Kebumen hasil renovasi antara tahun 2011 -2013 yang memenuhi syarat adalah sebesar 52,9 %. Sementara untuk komponen sanitasi dan fasilitas lain, yang memenuhi syarat, masing-masing sebesar 47,3 % dan 29,5 %. Dengan mengacu pada Kepmenkes No. 519/Menkes/SK/VI/2008, tidak ada pasar tradisional yang termasuk dalam kategori sehat, 20 % masuk kategori kurang sehat, dan sebagian besar atau 80 %, tidak sehat. SARAN Pengelola Pasar Prembun disarankan untuk: membagi toilet yang sudah ada menjadi terpisah untuk laki-laki dan perempuan, membuat wastafel di toilet dan di tempat berjualan, serta membuat lima toilet tambahan agar sebanding dengan jumlah pedagang yang ada. Bagi pengelola Pasar Tlogopragoto, disarankan untuk: menyediakan tempat sampah di tempat-tempat penjualan bahan pangan basah, bahan pangan kering, dan makanan matang/siap saji, serta di area parkir; membuat petunjuk jalur evakuasi untuk kebakaran; membuat wastafel, terutama di ruang kantor pengelola, dan tempat-tempat penjulan bahan pangan basah, bahan pangan kering, dan makanan matang/siap saji; membuat pos keamanan dan merekrut petugas keamanan; serta membuat fasilitas penjualan unggas hidup yang terpisah dari bangunan pasar. Adapun pengelola Pasar Kutowinangun, sebaiknya: membuat petunjuk jalur evakuasi kebakaran, membuat pos keamanan dan merekrut petugasnya, serta membuat pos pelayanan kesehatan dan P3K. Bagi pengelola Pasar Ambal disarankan: menyediakan tempat sampah di tempat-tempat penjualan bahan pangan basah, bahan pangan kering, dan maka-
nan matang/siap saji, dan di area parkir; menyediakan alat pemadam kebakaran; membuat petunjuk jalur evakuasi saat kebakaran; membuat wastafel terutama di tempat penjualan bahan pangan basah, bahan pangan kering, dan makanan matang/siap saji, serta toilet; membuat pos keamanan dan merekrut petugasnya; membuat fasilitas penjualan unggas hidup yang terpisah dari bangunan pasar; membuat empat buah toilet tambahan agar sebanding dengan jumlah pedagang, serta membuat sarana ibadah. Adapun untuk pengelola Pasar Jatisari, sebaiknya: menyediakan alat pemadam kebakaran, membuat petunjuk jalur evakuasi saat terjadi kebakaran, membuat pos keamanan dan merekrut petugas keamanan, serta membuat pos pelayanan kesehatan dan P3K. Bagi pengelola Pasar Indrakila sebaiknya: membagi toilet yang sudah ada untuk laki-laki dan perempuan secara terpisah; membuat wastafel di toilet dan di tempat berjualan; serta membuat tujuh toilet tambahan agar sebanding dengan banyaknya pedagang. Untuk pengelola Pasar Petanahan, disarankan untuk: menyediakan tempat sampah di setiap lorong pasar; membuat wastafel di toilet dan tempat berjualan, membuat satu toilet tambahan agar sebanding dengan jumlah pedagang. Sementara itu, untuk pengelola Pasar Ayah, sebaiknya: menyediakan tempat sampah di tempat penjualan bahan pangan basah, bahan pangan kering, dan makanan matang/siap saji, serta di area parkir; membagi toilet menjadi terpisah antara laki-laki dan perempuan; membuat petunjuk jalur evakuasi untuk kejadian kebakaran; membuat wastafel, terutama di ruang kantor pengelola, tempat penjualan bahan pangan basah, bahan pangan kering, dan makanan matang/siap saji, dan di toilet; membuat pos keamanan dan merekrut petugasnya; membuat fasilitas penjualan unggas hidup yang terpisah dari bangunan pasar, serta membuat tiga toilet tambahan. Adapun untuk para pedagang, disarankan untuk: mengganti talenan kayu dengan bahan plastik; menutup makanan matang/siap saji agar tidak dihinggapi
93
Sanitasi, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.8 No.2, November 2016, Hal 87 – 94
lalat; menggunakan pisau yang berbeda untuk memotong bahan mentah dan makanan matang; serta menyediakan tempat sampah pada kiosnya masingmasing, minimal dua, yaitu untuk sampah basah (organik) dan sampah kering (anorganik). DAFTAR PUSTAKA 1. Azwar, A. 1996. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan, Mutiara Sumber Widya, Jakarta. 2. Suparlan, 2012. Pengantar Pengawsan Hygiene-Sanitasi Tempat- Tempat Umum, Wisata & Usaha-Usaha untuk Umum, Dua Tujuh, Surabaya. 3. Reksosoebroto, S. 1978. Hygiene & Sanitasi, Akademi Penilik Kesehatan Teknologi Sanitasi, Jakarta. 4. Departemen Kesehatan R. I., 2008. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 519/Menkes/ SK/VI/2008 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pasar Sehat, (http://bppsdmk.depkes. go.id/web/filesa/peraturan/4.pdf). 5. Zafirah,T. H., 2012. Pelaksanaan Penyelenggaraan Sanitasi Dasar di Pasar Tradisional Pringgan di Kota Medan Tahun 2011, USU e-Journals (http://repository.usu.ac.id/handle/12 3456789/30694). 6. Sugiono, 2010.Statistika untuk PenePenelitian, Alfabeta, Bandung.
94
7. Siahaan R. M. V., 2013. Tinjauan Sanitasi Pasar Simpang Limun Kelurahan Sudirejo II Kecamatan Medan Kota Kotamadya Medan Tahun 2000, USU e-Journals (http://repository. usu.ac.id/handle/123456789/38373). 8. Nurcahya, K., Moelyaningrum A. D, Ningrum, P. T., 2014. Identifikasi sanitasi pasar di Kabupaten Jember (studi di Pasar Tanjung Jember), eJurnal Pustaka Kesehatan, 2 (2): hal. 285-292, Mei 2014 (http://jurnal.unej. ac.id/index.php/JPK/article/download /1787/1466). 9. Artada, K., Rusminingsih, N. K., 2014 Tinjauan keadaan sanitasi pasar Kampung Tinggi Kelurahan Kampung Baru Kecamatan Buleleng Kabupaten Buleleng tahun 2013, Jurnal Kesehatan Lingkungan, 4: hal. 75– 78 (http://poltekkesdenpasar.ac.id/files/JURNALKESEHATANLINGKUN GAN/ Komang Artada1, Ni Ketut Rusminingsih2,.pdf). 10. Djamil, S., 2012. Deskripsi kondisi sarana dan prasarana sanitasi pasar Shopping Centre di Kelurahan Kayubulan Kecamatan Limboto Kabupaten Gorontalo tahun 2012 Public Health Journal, 1: hal. 1–20 (http:// id.portalgaruda.org/?ref=browse&mo d=viewarticle&article=255
EFEKTIVITAS PENERAPAN DISINFEKTAN ALAMI CAMPURAN SERBUK KULIT NANAS DAN ARANG AKTIF DALAM MENURUNKAN JUMLAH BAKTERI Coliform PADA AIR BERSIH Shinta Nur Atikah *, Narto**, Lilik Hendrarini ** * JKL Poltekkes Kemenkes Yogyakarta, Jl. Tatabumi 3, Banyuraden, Gamping, Sleman, DIY 55293 email:
[email protected] ** JKL Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
Abstract Coliform bacteria is an indicator of fecal water contamination. The number of coliform bacteria in water can cause illness in humans who consume the water. One of the efforts to decrease it is by using disinfectants. The purpose of this study was to determine the effectiveness of natural disinfectant made from the mixture of pine-apple peels powder and activated charcoal for decreasing MPN Coliform in water. The study was a pre-experiment with one group pre-test post-test design. There were three variation of the disinfectants, i.e. 1:1, 1:2 and 1:3 ratios, in two exposure times, and each was applied to 5 liters of coliform contaminated water, in three replications. The examination of water were conducted in Microbiology Laboratory of Environmental Health Department of Yogyakarta Polytechnic of Health. The result of statistical analysis by using paired t-test at Į 0,05 obtained a p value of 0,003; which means that the pre-test and post-test of the MPN Coliform were significantly different. The subsequent results by one way anova test at same Į, for 30 minutes exposure the obtained p-value was 0,249; and for 60 minutes exposure the p-value was 0,724. It means that the post-test examination of MPN Coliform among the doses and time variations were not signifcantly different. Based on the results it can be concluded that the mixture of pineapple peels powder and activated charcoal as natural disinfectant affects the decrease pf MPN Coliform in water. However, the reduction differences among the three doses and the two exposure times under study were not significant. Keywords : natural disinfectant, banana peels, activated charchoal, MPN Coliform, clean water Intisari Bakteri Coliform merupakan indikator terjadinya pencemaran tinja dalam air. Banyaknya Coliform di dalam air dapat menyebabkan penyakit pada manusia yang mengkonsumsi air tersebut. Salah satu upaya untuk menurunkannnya adalah melalui disinfeksi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas penggunaan disinfektan alami berupa campuran serbuk kulit nanas dan arang aktif dalam menurunkan MPN Coliform pada air bersih. Penelitian ini merupakan pre-xperiment dengan menggunakan rancangan one group pre-test post-test. Ada tiga variasi disinfektan yang digunakan (yaitu perbandingan 1:1, 1:2 dan 1:3) dan dua waktu pemaparan, masing-masing diaplikasikan ke dalam 5 liter air yang mengandung bakteri Coliform, dalam tiga kali ulangan. Pemeriksaan MPN Coliform dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta. Hasil analisis statistik menggunakan t-test terikat pada Į 0,05 menghasilkan nilai p sebesar 0,003 yang menunjukkan bahwa MPN Coliform pre-test dan post-test berbeda secara bermakna. Hasil analisis berikutnya dengan menggunakan one way anova pada Į yang sama, untuk pemaparan 30 menit diperoleh nilai p value 0,249, dan untuk pemaparan 60 menit diperoleh nilai p value 0,724; yang berarti bahwa MPN Coliform hasil post-test di antara tiga variasi dosis disinfektan yang digunakan pada kedua waktu pemaparan, tidak berbeda secara bermakna. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa campuran serbuk kulit nanas dan arang aktif sebagai disinfektan alami berpengaruh dalam menurunkan MPN Coliform. Namun demikian, perbedaan penurunan yang terjadi di antara ketiga dosis dan waktu pemaparan yang diteliti tidaklah signifikan. Kata Kunci : disinfektan alami, kulit nanas, arang aktif, MPN coliform, air bersih
PENDAHULUAN Air mempunyai peranan penting dalam kelangsungan hidup manusia. Air di-
gunakan untuk berbagai kegiatan seperti memasak, mencuci, mandi, membersihkan kotoran dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, melalui pengelolaan dan per-
95
Sanitasi, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.8, No.2, November 2016, Hal 95 – 100
lindungan sumber daya air, kualitas air perlu diperhatikan dengan seksama agar tidak berdampak buruk bagi kesehatan manusia 1). Salah satu penilaian rumah sehat adalah tersedianya jamban yang dilengkapi dengan resapan atau septic tank. Menurut Departemen Kesehatan RI, jarak sumber air dengan jamban dan tempat pembuangan sampah paling sedikit adalah 10 meter. Resapan atau septic tank merupakan sumber utama adanya bakteri Coliform pada sumber air 2). Bakteri Coliform merupakan bakteri yang cukup banyak berada di dalam usus manusia. Keberadaan bakteri ini memberi bukti kuat adanya kontaminasi tinja di dalam air 3). Jumlah total bakteri Coliform (MPN Coliform) yang diperbolehkan adalah 50 per 100 ml 4). Untuk menurunkan MPN Coliform tersebut diperlukan disinfeksi. Salah satu bahan yang sering digunakan dalam pemurnian air adalah klorin. Klorin yang digunakan sebagai disinfektan dapat beraksi dengan senyawasenyawa organik yang terdapat di dalam air, yang secara tidak sengaja dapat membentuk senyawa organoklorin. Senyawa tersebut dapat mengganggu sistem kekebalan tubuh, merusak hati dan ginjal, gangguan pencernaan, gangguan sistem saraf, kanker, serta menyebabkan keguguran pada wanita hamil 5). Sementara itu, pertumbuhan nanas di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Untuk mengurangi limbah kulit nanas, peneliti memanfaatkannya sebagai bahan baku pembuatan disinfektan alami, karena buah ini mempunyai kandungan khlor 6) dan enzim bromelain yang berfungsi sebagai antibak-teri. Kulit nanas telah terbukti dapat menurunkan MPN Coliform dalam air. Dalam penelitiannya, Windu dkk menemukan bahwa 100 ml ekstrak kulit nanas Cayenne dalam bentuk cair yang kemudian dicampur dengan 1.000 ml air bersih dapat menurunkan total MPN Coliform dari 2.400 per 100 ml menjadi 94 per 100 ml 7). Dalam penelitian ini, peneliti berinisiatif untuk membuat bahan pendisinfek-
96
si air dengan memanfaatkan limbah kulit nanas yang diubah menjadi serbuk. Namun, dari hasil uji pendahuluan yang telah dilakukan pada tanggal 17 Desember 2015, serbuk kulit nanas yang dimasukkan ke dalam air memunculkan warna dan bau, sehingga peneliti melakukan inovasi kembali dengan cara menambahkan arang aktif, karena memiliki kemampuan tinggi dalam menyerap warna, bau dan rasa, sebagai adsorben. Pengaplikasian serbuk kulit nanas dan arang aktif tersebut akan dilakukan dengan beberapa variasi dosis dalam dua waktu pemajanan yaitu 30 dan 60 menit. Dua waktu tersebut dipakai karena disinfektan ideal adalah yang dapat membunuh mikroba dalam waktu paling lama satu jam 8). Hasil dari uji yang dilakukan pada 23 Desember 2015, menemukan bahwa 10 gram kulit nanas yang dicampur dengan 20 gram arang aktif dan dicelupkan ke dalam 5 liter air selama satu jam dapat menurunkan MPN Coliform yang semula 50/100 ml menjadi 5/100 ml; sedangkan untuk 10 gram kulit nanas yang dicampur dengan 30 gram arang aktif, dengan menggunakan air yang sama MPN Coliform yang semula 50 per 100 ml turun menjadi 9 per 100 ml. METODA Jenis penelitian yang dilakukan adalah pre-experiment dengan menggunakan rancangan one group pre-test posttest untuk mengukur pengaruh perlakuan dari dosis disinfektan alami berbahan campuran serbuk kulit nanas dan arang aktif dalam menurunkan jumlah bakteri Coliform pada air bersih yang tercemar. Ada tiga variasi campuran serbuk kulit nanas dan arang aktif yang digunakan, yaitu perbandingan 1:1, 1:2, dan 1:3 masing-masing sebanyak 30 gram yang diaplikasikan ke dalam 5 liter air selama 30 menit dan 60 menit. Adapun variabel terikat dalam penelitian ini, yaitu MPN Coliform, diperiksa melalui pemeriksaan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes, Yogyakarta.
Atikah, Narto & Hendrarini, Efektivitas Penerapan Disinfektan …
Sampel air bersih yang dipakai diambil dari Dusun Pandes II, Desa Wonokromo, di Pleret, Bantul, yang telah diuji di laboratorium yang sama pada tanggal 7 Februari 2016, dan menunjukkan MPN Coliform sebesar 1898 per 100 ml. Hasil tersebut melebihi nilai ambang batas yang telah ditentukan, sehingga perlu dilakukan upaya untuk menurunkannya. Analisis statistik dengan t-test terikat digunakan untuk mengetahui perbedaan MPN Coliform di antara hasil pemeriksaan pre-test post-test, dan uji one way anova untuk mengetahui perbedaan hasil di antara dosis-dosis disinfektan yang digunakan pada setiap perlakuan pemaparan. Kedua uji parametrik tersebut digunakan karena berdasarkan uji normalitas data dengan uji Kolmogorov-Smirnov, diketahui bahwa data penelitian terdistribusi secara normal. Semua uji statistik tersebut menggunakan taraf signifikansi atau Į 0,05.
Tabel 2. Hasil pengukuran MPN Coliform dengan perlakuan dosis 1:1 selama 60 menit
Ulangan
Tabel-tabel berikut menyajikan hasil pengukuran MPN Coliform pada pre-test dan post-test menggunakan dosis 1:1, 1:2, dan 1:3; selama 30 menit dan 60 menit dari tiga kali ulangan. Tabel 1. Hasil pengukuran MPN Coliform dengan perlakuan dosis 1:1 selama 30 menit MPN Coliform (per 100 ml) Post-test
Selisih
I
1898
16
1882
99.1
II
494
16
478
96.8
III
494
27
467
Juml
2886
59
Rerata
962
20
%
Post-test
Selisih
I
1898
10
1888
99.5
II
494
10
484
98.0
III
494
16
478
96.8
Juml
2886
36
2856
294.3
Rerata
962
12
950
98.1
Tabel 3. Hasil pengukuran MPN Coliform dengan perlakuan dosis 1:2 selama 30 menit MPN Coliform (per 100 ml)
%
Pre-test
Post-test
Selisih
I
1898
16
1882
99.1
II
494
4
490
99.2
III
494
10
484
97.9
Juml
2889
30
2856
298.2
Rerata
962
10
952
98.7
Tabel 4. Hasil pengukuran MPN Coliform dengan perlakuan dosis 1:2 selama 60 menit
%
Pre-test
MPN Coliform (per 100 ml) Pre-test
Ulangan
HASIL
Ulangan
perlakuan dengan dosis yang sama dan 60 menit pemajanan, dari tiga kali ulangan mampu menurunkan MPN Coliform, rata-rata sebesar 98,1 %, yaitu dari 962 /100 ml menjadi 12/100 ml (Tabel 2).
Ulangan
MPN Coliform (per 100 ml)
%
Pre-test
Post-test
Selisih
I
1898
10
1888
99.5
94.5
II
494
4
490
99.2
2827
290.4
III
494
12
482
97.6
942
96.8
Juml
2886
26
2860
296.3
Rerata
962
8.7
953.3
98.8
Tabel 1 menunjukkan bahwa perlakuan dengan dosis perbandingan tepung kulit nanas dan arang aktif sebesar 1:1 dan selama 30 menit pemaparan dapat menurunkan MPN Coliform dengan rerata sebesar 96,8 %, yaitu dari 962 per 100 ml menjadi 20 per 100 ml. Adapun
Sementara itu, untuk dosis 1:2, pemaparan selama 30 menit mampu menurunkan MPN Coliform dengan ratarata sebesar 98,7 %, yaitu dari 962/100 ml turun menjadi 10/100 ml; dan pemaparan 30 menit mampu menurunkan se-
97
Sanitasi, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.8, No.2, November 2016, Hal 95 – 100
banyak 98,8 %, yaitu dari 962/100 ml pada pre-test menjadi hanya 8,7/100 ml pada post-test (Tabel 3 dan Tabel 4). Tabel 5. Hasil pengukuran MPN Coliform dengan perlakuan dosis 1:3 selama 30 menit
Ulangan
MPN Coliform (per 100 ml)
Grafik 1. Pengukuran post-test MPN Coliform (per 100 ml) dengan perlakuan dosis 1:1, 1:2 dan 1:3 selama 30 menit dan 60 menit
20
%
Pre-test
Post-test
Selisih
I
1898
16
1882
99.1
II
494
10
484
97.9
III
494
4
490
99.2
Juml
2886
30
2850
296.2
Rerata
962
10
952
98.7
14.7 12 10
Dosis 1:1
Tabel 6. Hasil pengukuran MPN Coliform dengan perlakuan dosis 1:3 selama 60 menit
Ulangan
MPN Coliform (per 100 ml)
%
Pre-test
Post-test
Selisih
I
1898
27
1871
98.5
II
494
10
484
97.9
III
494
7
487
98.6
Juml
2886
44
2842
295
Rerata
962
14.7
947.3
98.3
Adapun untuk dosis 1:3, rata-rata penurunan yang terjadi untuk 30 menit pemaparan adalah 98,7 % (dari 962/100 ml turun menjadi 10/100 ml); dan untuk 60 menit adalah 98,3 % (dari 962/100 ml turun menjadi 14,7/100 ml). Grafik 1 berikut menyajikan hasil pemeriksaan MPN Coliform post-test dari seluruh dosis yang digunakan untuk mengetahui efektivitasnya. Hasil MPN Coliform pada post-test yang semakin rendah menunjukkan keberhasilan dari dosis disinfektan yang digunakan. Sementara itu, Grafik 2 menyajikan persentase penurunan MPN Coliform, yang digunakan untuk mengetahui seberapa besar perbedaan pengaruh dosis dan dua waktu perlakuan dari disinfektan campuran serbuk kulit nanas dan arang aktif. Semakin tinggi persentase penurunan yang terjadi maka semakin efektif perlakuan yang telah diberikan.
98
8.7
Dosis 1:2
30 menit
10
Dosis 1:3 60 menit
Grafik 2. Persentase penurunan MPN Coliform (per 100 ml) dengan perlakuan dosis 1:1, 1:2 dan 1:3 selama 30 menit dan 60 menit 98.8% 98.7%
98.7% 98.3%
98.1%
96.8%
Dosis 1:1
Dosis 1:2
30 menit
Dosis 1:3 60 menit
PEMBAHASAN Air yang digunakan dalam penelitian mengandung MPN Coliform yang melebihi kadar maksimum yang diperbolehkan, yaitu > 50/100 ml. Air tersebut tidak dikonsumsi namun tetap digunakan untuk kegiatan sehari-hari seperti mandi, mencuci pakaian, mencuci piring bahkan mencuci buah dan sayuran yang akan dikonsumsi. Hasil uji laboratorium menunjukkan perlakuan dengan semua dosis dapat
Atikah, Narto & Hendrarini, Efektivitas Penerapan Disinfektan …
menurunkan MPN Coliform hingga lebih dari 95 %. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 416 tahun 1990 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air, kadar maksimum MPN Coliform yang diperbolehkan dalam air bukan perpipaan adalah 50/100 ml 4). Penelitian yang telah dilakukan oleh Windu dkk, menyimpulkan bahwa ekstrak kulit nanas cair sebanyak 100 ml, 250 ml, dan 500 ml yang masing-masing diaplikasikan ke dalam 1000 ml air dapat menurunkan MPN Coliform yang semula > 2400/100 ml menjadi, secara berturutturut: 104,6/100 ml, 47/100 ml, dan 17/ 100 ml. Dibandingkan dengan penelitian tersebut, penelitian ini lebih efektif dalam menurunkan MPN Coliform karena walau konsentrasi disinfektan yang digunakan lebih sedikit namun dapat menurunkan MPN Coliform dengan jumlah lebih banyak. Suatu disinfektan dikatakan ideal apabila mempunyai sifat-sifat, yang beberapa di antaranya adalah: mempunyai efektivitas tinggi terhadap sejumlah besar jenis mikroorganisme dalam konsentrasi rendah, mudah didapat dan tidak mahal, mudah digunakan, dan mempunyai sifat mikrobisida yang sempurna dalam waktu beberapa menit atau paling lama satu jam 8). Disinfektan campuran serbuk kulit nanas dan arang aktif ini mempunyai sifat mikrobisida yang sempurna karena dapat menurunkan MPN Coliform selama 30 dan 60 menit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penurunan MPN Coliform setelah pemberian disinfektan, dengan uji t-test terikat diperoleh nilai p sebesar 0,003 yang berarti ada perbedaan yang bermakna antara pre-test dan post-test. Namun, dari hasil analisis dengan Anova diperoleh nilai p 0,249 pada perlakuan selama 30 menit dan 0,724 pada perlakuan selama 60 menit. Hal tersebut memperlihatkan bahwa perbedaan MPN Coliform pengukuran post-test antar dosis pada dua waktu pemaparan yang berbeda, tidaklah signifikan. Disinfektan yang digunakan dalam penelitian ini apabila diaplikasikan ke dalam sumur yang mempunyai kedalaman
6 meter dan lebar 1 meter, serta kedalaman air di dalamnya 3,7 m; dapat dihitung kebutuhan jumlahnya dengan mencari terlebih dahulu volume air di dalam sumur tersebut, yaitu: Volume air dalam sumur = Ȇr2t = 3,14 x 0,5 m x 0,5 m x 3,7 m = 2.9045 m3 / 2904,5 liter Jumlah disinfektan serbuk kulit nanas dan arang aktif yang diperlukan untuk setiap 5 liter air adalah 30 gram. Jadi, banyaknya disinfektan yang diperlukan adalah : = 30 gr x vol air sumur (lt) / 5 lt = 30 gr x 2904,5 lt / 5 lt = 17427 gr atau 17,4 kg Penggunaan disinfektan campuran serbuk kulit nanas dan arang aktif akan menyebabkan air mengalami perubahan warna menjadi sedikit lebih kuning dan berbau seperti nanas. Dari perbandingan dosis disinfektan yang digunakan pada penelitian ini, arang aktif dengan berat yang semakin besar dapat menyerap warna semakin kuat, namun belum dapat menyerap warna dan bau secara keseluruhan. Untuk menghilangkan warna, perlu dilakukan proses bleaching (pemutihan) pada kulit nanas. Proses ini dapat dilakukan dengan menggunakan hidrogen peroksida yang mempunyai kemampuan melepaskan oksigen yang cukup kuat dan mudah larut dalam air, serta mempunyai kemampuan untuk memutihkan dan tidak merusak bahan organik yang diputihkan 9). Selain proses tersebut, penelitian selanjutnya dapat melakukan pengolahan air dengan penambahan tawas sebagai koagulan. Tawas dimasukkan ke dalam air dan diaduk sehingga ion-ion dan molekul air yang terikat dalam kristal tersebut menjadi tersebar lepas dan berada di antara molekul-molekul air yang bertindak sebagai pelarut sehingga air akan menjadi jernih 10). Selain itu juga dapat dilakukan proses filtrasi menggunakan alat penyaring
99
Sanitasi, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.8, No.2, November 2016, Hal 95 – 100
sederhana yang dibuat secara bertingkat yang berisikan berbagai macam filter penjernih air, antara lain menggunakan batu bata yang ditumbuk pada lapisan atas sebagai absorben, lalu ijuk, pasir, dan lapisan paling bawah menggunakan kerikil. Air akan melewati tumbukan lapisan batu bata terlebih dahulu baru kemudian melewati lapisan kerikil. Warna dan bau akan terserap oleh batu bata dan kemudian dibantu oleh lapisan lainnya 11). KESIMPULAN Disinfektan alami campuran serbuk kulit nanas dan arang aktif berpengaruh terhadap penurunan MPN Coliform pada air bersih. Perbandingan dosis 1:1 setelah perlakuan selama 30 menit dan 60 menit dapat menurunkan MPN Coliform sebesar 96,8 % dan 98,1 %; perbandingan dosis 1:2 setelah perlakuan selama 30 menit dan 60 menit dapat menurunkan MPN Coliform sebesar 98,7 % dan 98,8 %; perbandingan dosis 1:3 setelah perlakuan selama 30 menit dan 60 menit dapat menurunkan MPN Coliform sebesar 98,1 % dan 98.5 %. Variasi dosis dsinfektan 1:1, 1:2, dan 1:3 tidak menghasilkan perbedaan penurunan MPN Coliform yang signifikan. Namun demikian berdasarkan besarnya penurunan yang terjadi, dosis disinfektan yang paling efektif adalah 1:2 dengan waktu pemaparan selama 30 menit. SARAN Bagi pemilik sumur dari mana air untuk penelitian ini diambil, disarankan melakukan disinfeksi dengan menggunakan campuran serbuk kulit nanas dan arang aktif agar MPN Coliform yang terkandung di air sumurnya dapat turun sampai di bawah kadar yang diperbolehkan sehingga aman untuk digunakan sehari-hari.
100
Bagi peneliti selanjutnya, perlu melakukan upaya penghilangan warna dan bau pada air yang ditimbulkan setelah pemberian disinfektan dengan menggunakan proses bleaching agar dapat memenuhi syarat sebagai disinfektan ideal. DAFTAR PUSTAKA 1.
Effendi, H., 2003. Telaah Kualitas Air, Penerbit Kanisius, Yogyakarta. 2. Departemen Kesehatan R.I., 2009. Apa Itu Jamban?. Indonesia Sehat 2010. 3. Chandra, B., 2012. Pengantar Kesehatan Lingkungan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 4. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 416 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air, 1990. Departemen Kesehatan RI, Jakarta. 5. Hasan, A., 2006. Dampak penggunaan klorin, Jurnal Teknik Lingkungan P3TL-BPPT, 7(1): hal.90-96. 6. Samadi, B. 2014. Panen Untung dari Budi Daya Nanas Sistem Organik, Andi Publisher, Jakarta. 7. Windu, D, dkk. 2014. Pengaruh ekstrak limbah kulit buah nanas Cayenne dalam menurunkan jumlah bakteri Coli pada proses disinfeksi air bersih, Jurnal Widya Warta. ISSN 0854-1981, hal. 96-107. 8. Irianto, K., 2006. Menguak Dunia Mkroorganisme, Yrama Widya, Bandung. 9. Jayanudin, 2009. Pemutihan daun nanas menggunakan hidrogen peroksida, Jurnal Rekayasa Proses, 3 (1). 10. Ajeng, U., dan Kalsum, A., 2014. Pembentukan tawas dari alumunium foil, Jurnal Praktikum Kimia Anorganik, Jakarta 11. Wibowo, S., 2013. Teknik Penjernihan Air (Online),( http://aimyaya.com /id/lingkungan-hidup/kumpulan-teknik-penyaringan-air-sederhana/, diakses 17 Juli 2016).
Vol. 5, No. 1, Agustus 2013
ISSN 1978-5763
PETUNJUK PENULISAN 1. Naskah diketik menggunakan MS Word, dikirim ke redaksi dalam bentuk soft copy dan hard copy. Naskah diketik di atas kertas ukuran A4 dengan jumlah halaman minimal 6 dan maksimal 15. 2. Format page set up halaman ketik adalah: 1) headers and footers: different odd and even pages; 2) mirror margins; 3) margin kiri, kanan, atas dan bawah masing-masing 1,18 inci; lebar kolom 2,78 inci; 4) lebar spasi antar kolom 0,5 inci. 3. Header untuk halaman genap ditulis: Sanitasi, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.x, No.x, Bulan, tahun, Hal. x-x, dan ditempatkan di sebelah kiri. Sedangkan header untuk halaman ganjil dituliskan nama terakhir dari masing-masing penulis dan tiga kata pertama dari judul artikel, serta ditempatkan di sebelah kanan. Aturan tersebut tidak berlaku untuk halaman judul. 4. Nomor halaman ganjil ditempatkan di footer sebelah kanan, dan sebelah kiri untuk halaman genap. redaksi 5. Nama penulis artikel ditulis tanpa gelar akademik. Dalam hal naskah ditulis oleh tim, re-daksi hanya berhubungan dengan penulis utama atau penulis yang namanya tercantum pada urutan komunikasi. pertama. Disarankan penulis mencantumkan alamat email untuk memudahkan komu-nikasi. 6. Naskah diketik dengan tata Bahasa Indonesia baku dan dalam format seperti contoh berikut:
---------------------------------------------------------------------------------------------JUDUL MAKSIMAL 14 KATA FONT ARIAL 12 POINT, BOLD, UPPER CASE Penulis 1*, Penulis 2**, Penulis 3*** (font Arial 11 point, bold, Title Case)
*Instansi penulis 1, alamat instansi, alamat email
(font Arial 8 point, regular, Title Case) ** Instansi penulis 2, alamat instansi, alamat email (idem) ***Instansi penulis 3, alamat instansi, alamat email (idem)
Abstract (font Arial 9 point, bold) Abstract ditulis dalam bahasa Inggris formal dengan format satu paragraph tanpa indent dan satu kolom, bidang ketik lebih sempit dibandingkan bidang isi artkel yang di bawahnya. Abstract harus menggambarkan atau merupakan intisari dari keseluruhan artikel, dan maksimal terdiri dari 200 kata. Diketik dengan menggunakan font Arial 9 point, italic, sentence case Keywords: terdiri dari 3-5 kata, dalam bahasa Inggris, font Arial 9, italic, sentence case Intisari (font Arial 9 point, bold) Intisari ditulis dalam bahasa Indonesia baku dengan format penulisan sama dengan Abstract. Intisari harus mengandung isi yang sama dengan Abstract dan maksimal terdiri dari 200 kata. In-tisari Diketik dengan menggunakan font Arial 9 point, italic, sentence case Kata Kunci: terdiri dari 3-5 kata, dalam bahasa Indonesia, font Arial 9, italic, sentence case
PENDAHULUAN (font Arial 11 point, bold, tanpa numbering) Tulis secara singkat, masalah yang melatar-belakangi melatarbelakangi penelitian atau pemikiran, serta teori-teori yang selama ini ada yang berkaitan dengan topik yang dibahas. Perlu ditulis pula tujuan, manfaat dan atau ruang lingkup penelitian atau pemikiran yang melandasi penulisan artikel. Diketik dengan font Arial 11, regular, sentence case, dan justify alignment.
Kutipan dari daftar pustaka dibuat dengan superscript (1), di mana angka 1 dan seterusnya menunjukkan nomor urut dalam daftar pustaka. Istilah dalam bahasa asing/daerah ditulis italic. Sedangkan penulisan diatur supaya tidak ada paragraf janda dan paragraf yatim. METODA (idem) Uraikan secara singkat hal-hal yang berkaitan dengan jenis dan desain pene-
101
litian; cara, alat dan bahan, serta instrumen pengumpul data; metoda pengumpulan data atau sampling; serta jenis dan atau metoda analisis yang digunakan dalam penelitian. Untuk artikel hasil pemikiran, bagian ini tidak perlu dibuat. HASIL (idem) Sajikan temuan utama jika artikel berupa hasil penelitian. Untuk artikel hasil penelitian, bagian ini mungkin tidak perlu dibuat. Hasil dapat disajikan dalam beberapa sub-judul. Sub Judul (tanpa numbering, Title Case, left alignment) Tabel, grafik dan gambar sedapat mungkin disisipkan di tengah-tengah artikel, atau dilampirkan di bagian akhir artikel. Tabel 1. Kadar BOD limbah cair RPA Darky pada kelompok kontrol Kadar BOD (mg/l) Pre-test
Post-test
Selisih Penurunan (mg/l)
Penurun an (%)
1
1094,87
1043,14
51,73
4,72
3211,61
3047,01
164,84
5.13
X
1070,61
1015,67
54,95
5,13
Ulang an
Grafik 1. Kadar BOD kelompok kontrol dan eksperimen
Kadar BOD (mg/l)
1200 1000 800 600 400 200 0 Ulangan I pre-test
Ulangan II
post -test kont rol
Ulangan III
post -t est eksperimen
Tabel, grafik dan gambar tersebut dibuat dengan aturan: 1) nomor tabel/ grafik/gambar ditulis di bagian atas dengan font Arial 8, bold; 2) judul tabel dengan font Arial 8, regular, sentence case; dan 3) isi dengan font 7 atau 6, regular, center alignment. Tabel dibuat tanpa garis kolom, sedangkan grafik dan gambar dibuat sesederhana mungkin. PEMBAHASAN (idem) Pembahasan hasil dikaitkan dengan teori-teori dan atau bakumutu dan standar yang melandasinya. Pembahasan dapat disajikan dalam beberapa sub-judul sesuai yang ada pada bagian hasil. Sub Judul (idem) KESIMPULAN (idem) Sajikan kesimpulan utama dari penelitian atau pemikiran. Diketik tanpa numbering SARAN (idem) Sajikan saran-saran konkrit yang ter kait dengan temuan dan kesimpulan dari penelitian, atau saran untuk melakukan penelitian lanjutan. Bagian ini mungkin tidak perlu selalu ada. Diketik tanpa numbering. DAFTAR PUSTAKA 1. Ditulis dengan numbering 2. Teknis penulisan selengkapnya mengacu pada petunjuk selanjutnya. 3. Sumber rujukan sebaiknya merupakan pustaka-pustaka terbitan 10 tahun terakhir. Rujukan yang diutamakan adalah sumber-sumber primer berupa laporan penelitian, baik yang dipublikasikan atau tidak (termasuk Karya Tulis Ilmiah, Skripsi, Tesis, Disertasi).
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------7. Segala sesuatu yang menyangkut isi, perijinan pengutipan atau penggunaan soft-ware komputer menjadi tanggung jawab penulis. 8. Sebagai prasyarat bagi pemrosesan artikel, para penyumbang artikel wajib menjadi pelanggan jurnal minimal selama satu tahun. 9. Penulis yang artikelnya dimuat, wajib membayar kontribusi biaya cetak sebesar Rp.100.000,(seratus ribu rupiah) per judul. Sebagai imbalannya, penulis menerima nomor bukti pemuatan sebanyak 2 (dua) eksemplar. 10.Artikel yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis dan segala biaya pengiriman hard copy (jika ada) dibebankan kepada penulis.
102
Vol. 5, No. 1, Agustus 2013
ISSN 1978-5763
TATA CARA PENULISAN DAFTAR PUSTAKA Buku:
Widarto, L. & Sudarto, F. X., 2007. Membuat Biogas, Kanisius, Yogyakarta.
Buku kumpulan artikel:
Saukah, A. & Waseso, M. G. (eds), 2002. Menulis Artikel untuk Jurnal lmiah (edisi ke-4, cetakan ke-1), UM Press, Malang.
Artikel dalam buku kumpulan artikel:
Kuno, G. 1997. Factors influencing the transmission of dengue viruses, dalam Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever, G. L. Mendell, J. E. Bennett & R. Dolin (eds), Elsevier Inc., Phila-delphia, hal. 1926-1944.
Artikel dalam jurnal atau majalah:
Munif, A. dan Pranoto, 1994. Pengujian larvasida Teknar 1500S terhadap larva nyamuk Anopheles maculatus di aliran sungai, Bulletin Penelitian Kesehatan, 15 (1): hal. 49-57.
Artikel dalam koran:
Pitunov, B., 13 Desember, 2002. Sekolah unggulan ataukah sekolah pengunggulan?, Majapahit Pos, hal. 4 & 11.
Tulisan/berita dalam koran (tanpa nama pengarang):
Jawa Pos, 22 April, 1995. Wanita Kelas Bawah Lebih Mandiri, hal. 3.
Dokumen resmi:
Politeknik Kesehatan Depkes Yogyakarta, 2007. Panduan Karya Tulis Ilmiah dan Skripsi, (edisi ke-3), Yogyakarta: Politeknik Kesehatan Depkes Yogyakarta. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional, 1990. Jakarta: PT Armas Duta Jaya.
Buku Terjemahan:
Timmreck, T. C., 1998. Epidemiologi: Suatu Pengantar, terjemahan oleh Munaya Fauziah, Apriningsih, Palupi Widyastuti, Mulia Sugiarti, & Ratnawati, 2004, Penerbit Bukur Kedokteran EGC, Jakarta.
Karya Tulis Ilmiah, Skripsi, Tesis, Disertasi, Laporan Penelitian:
Subagyo, 2005. Pengaruh Berbagai Campuran Limbah Tapioka (Onggok) dan Kotoran Sapi terhadap Tekanan dan Waktu Biogas yang Dihasilkan. Karya Tulis Ilmiah tidak diterbitkan, Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Depkes, Yogyakarta.
Makalah seminar, lokakarya, penataran:
Waseso, M. G., 2001. Isi dan Format Jurnal Ilmiah, Makalah disajikan dalam Seminar Lokakrya Penulisan Artikel dan Pengelolaan Jurnal Ilmiah, Universitas Lambungmangkurat, Banjarmasin, 9-11 Agustus.
Internet (karya individual):
Basuki, A. P., 2007. Air Limbah Bermanfaat bagi Dapur, (Online), (http:// www.mail-archive. com/kendal-online, diakses 5 Februari 2008).
Internet (dalam jurnal online):
Kumaidi, 1998. Pengukuran bekal awal belajar dan pengembangan tesnya, Jurnal Ilmu Pendidikan, (Online), jilid 5, no. 4, (http://www.malang.ac.id, diakses 20 januari 2000).
Internet (e-mail pribadi):
Amri, C., (
[email protected]), 28 Mei 2008. Permenkes No 890 Tahun 2007 Ortala Poltekkes, e-mail kepada Agus Kharmayana Rubaya (
[email protected]).
103
Pemanfaatan Limbah Ampas Kelapa (Cocos nucifera Lin) sebagai Tepung dalam Pembuatan Mi Basah Elsa Desy Pratiwi, Lilik Hendrarini & Rizki Amalia
51 - 56
Minyak Kenanga (Canangium odoratum Baill) sebagai Repellent Lalat Rumah (Musca domestica) Wijayanti Ratna Sari, Muryoto & Abdul Hadi Kadarusno
57 - 63
Evaluasi Kondisi Sarana Sanitasi yang Disediakan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, dan Tingkat Kepuasan Wisatawan Pantai Depok, Bantul, Yogyakarta, Tahun 2016 Layly Aslinda Saraswati, Indah Werdiningsih & Purwanto
64 - 72
Pembuatan Bioplastik Berbahan Bonggol Pisang dengan Penambahan Gliserol Isnan Prasetya, Siti Hani Istiqomah & Yamtana
73 - 80
Pemanfaatan Limbah Pepaya (Carica papaya L) dan Tomat (Solanum lycopersicum L) untuk Mempercepat Pengomposan Sampah Organik Aji Baharudin, Adib Suyanto & Sigid Sudaryanto
81 - 86
Penerapan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 519/Menkes/SK/VI/2008 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pasar Sehat di Pasar-Pasar Tradisional di Kabupaten Kebumen Hasil Renovasi Tahun 2011-2013 Imam Muhsin Mubarok, Lucky Herawati & Haryono
87 - 94
Efektivitas Penerapan Disinfektan Alami Campuran Serbuk Kulit Nanas dan Arang Aktif dalam Menurunkan Jumlah Bakteri Coliform pada Air Bersih Shinta Nur Atikah, Narto & Lilik Hendrarini
95 - 100
Volume 8
Nomor 2
Halaman 51 - 100
Yogyakarta November 2016
ISSN 1978-5763
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES YOGYAKARTA