Lempung Sebagai Bahan Untuk Isolasi Penyangga Produk Industri (Abdulloh)
PEMANFAATAN LEMPUNG KUTOREJO MOJOKERTO SEBAGAI BAHAN UNTUK ISOLASI PENYANGGA PRODUK INDUSTRI THE EXPLOITATION OF KUTOREJO MOJOKERTO CLAY AS BUFFER ISOLATION MATERIAL FOR INDUSTRIAL PRODUCT Abdulloh(1) Abstract Have been done research to use Kutorejo Mojokerto clay as buffer isolation material for industrial product in pore composite clay-CMC (carboxymethyl celluloce). Composition of pore composite clay-CMC have been made throught three phases, that is making clay-CMC sole with adding clay-CMC with weight ratio 10 : 90, 20 : 80, 30 : 70, 40 : 60, 50 : 50, 60 : 40, 70 : 30, 80 : 20, and 90 : 10 into aquades with weight ratio 1 : 9 and then homogenous with magnetic stirrer (Otha, 1995). Freezing clay-CMC sole in mixture of dry ice-alkohol and drying in vacum decicator that is conducted by vacum pump (0,75 – 0,9 kW). The result of research obtained pore composite clay-CMC that used to buffer isolation of industrial product with compressive strength more than polystyrene (0,5 N/mm2) if composition CMC > 50% even in composition CMC 60% had compressive strenght value the highest between weight ratio clay : CMC that was determined, taht is 1,0266 N/mm2. The optimum freezing rate 2,55 × 10-2 mL/s used mixture dry ice-alkohol in ratio 100 g : 5 mL where shape and pore size still not yet homogenous caused hard to optimalized work of vacum pump. Keywords: buffer isolation, pore composite clay-CMC, and compressive strength
(1)
Fakultas Sain dan Teknologi Universitas Airlangga
46
J. Penelit. Med. Eksakta. Vol. 8, No. 1, April 2009: 46-56 PENDAHULUAN
Isolasi penyangga (buffer isolation) digunakan oleh industri, terutama industri elektronik pada saat produk akan dibungkus (packing) agar produk terhindar dari kerusakan akibat goncangan atau benturan yang terjadi saat pengiriman. Saat ini bahan yang banyak digunakan sebagai buffer isolation adalah busa polystyrene karena dapat menahan beban produk elektronik dan ringan sehingga tambahan biaya pengirimannya tidak terlalu banyak. Akan tetapi penggunaan polystryrene secara berlebihan dapat menyebabkan perubahan ekologi karena polystyrene sulit terdegradasi di alam. Usaha untuk mengurangi penggunaan polystyrene telah dilakukan. Beberapa industri menggunakan kertas dengan desain sedemikian rupa sehingga dapat berfungsi sebagai buffer isolation sekaligus pembungkus. Namun demikian penggunaannya masih terbatas untuk produk yang relatif ringan dan berukuran kecil. Suatu penelitian menunjukkan bahwa komposit berpori lempung-organik dari sol lempung (10% berat lempung) golongan smectite dan sol agar (10% berat agar) sebagai bahan organik dengan perbandingan 50:50 yang terbentuk melalui proses pembekuan dengan laju ≥ 1,5 × 10-2 mL/detik menggunakan nitrogen cair memiliki compressive strength (± 0,5 N/mm2) atau lebih tinggi dibandingkan dengan busa polystyrene (± 0,2 N/mm2) (Ohta, 1995). Sebelumnya juga telah dilaporkan bahwa lempung berpori dapat dibuat berdasarkan prinsip lipolisasi thiksotropik sol lempung atau dengan mengatur laju pembekuan dan konsentrasi lempung. Prinsip lipolisasi yang pernah dilakukan menghasilkan pori yang tidak homogen sehingga prinsip ini sekarang tidak dilakukan. Sedangkan
pembuatan lempung berpori dengan mengatur laju pembekuan ≥ 1,5 × 10-2 mL/detik dan 10% berat konsen-trasi sol lempung menghasilkan lem-pung berpori homogen yang menyerupai spon (sponge-like) (Nakazawa, et. al., 1987). Akan tetapi kekuatan tekan (compressive strength) lempung berpori homogen yang pertama kali dilaporkan tidak sekuat busa polystryrene. Usaha untuk memperkuat lempung berpori telah dilakukan dengan menambahkan bahan tambahan (additive) dan telah dilaporkan bahwa asam humat dapat memperkuat lem-pung berpori (Fujita, et. al., 1990; Nakazawa et. al., 1994). Kemudian pada tahun 1995 dilaporkan terbentuknya komposit lempung organik berpori seperti tersebut pada alinea sebelumnya. Jumlah lempung di Indonesia sangat banyak dan Jawa Timur memiliki 348 juta ton yang tersebar di daerah Ngawi, Ponorogo, Trenggalek, Jombang, Mojokerto, Tuban, Malang, Jember, Bondowoso, Banyuwangi dan Bangkalan (Hadi, 2003). Sampai saat ini lempung di daerah Mojokerto banyak dimanfaatkan oleh penduduk sekitar lokasi untuk pembuatan batu bata dan genteng. Untuk meningkatkan nilai ekonomi masyarakat maka pada penelitian akan dibuat komposit berpori lempung-organik dari lempung yang terdapat di lokasi pembuatan bata dan genteng Dsn. Pandisari Ds. Sawo Kec. Kutorejo Kab. Mojokerto dengan bahan organik CMC (carboxymethyl celluloce) melalui proses pembekuan menggunakan campuran dry ice (CO2 padat) dan alkohol. Hal ini dilakukan karena dry ice (-78,5 oC) relatif lebih murah dibanding-kan dengan nitrogen cair dan suhunya akan menjadi lebih rendah jika dicampur alkohol (± -80 oC). Selain itu telah dilaporkan bahwa 4% berat CMC dalam lempung yang mengandung 27,55% air dapat meningkatkan 47
Lempung Sebagai Bahan Untuk Isolasi Penyangga Produk Industri (Abdulloh)
compressive strength dari 49,37 kPa menjadi 132,68 kPa (Abdulloh, 2004). METODE PENELITIAN Bahan penelitian ini meliputi: sampel lempung diambil dari lokasi pembuatan bata dan genteng yang terdapat di Dsn. Pandisari Ds. Sawo Kec. Kutorejo Kab. Mojokerto, dry-ice, alkohol, aquades, dan CMC (carboxymethyl celluloce). Adapun peralatan yang digunakan adalah: mesin uji mekanik (Autograph 500D) dengan modifikasi pemegang sampel sehingga alat tersebut dapat digunakan untuk uji tekan, SEM, X-ray Diffractometer system JDX-3530 JEOL, neraca digital, mortar, ayakan 40 mesh, desikator vakum, pompa vacum (vacum pump), stop watch, bejana plastik transparan dan beberapa peralatan gelas. Penelitian ini dilakukan dalam 4 tahap, yaitu tahap benefisiasi, tahap pembuatan komposit lempung-CMC, tahap uji mekanik, dan tahap karakterisasi penunjang dengan SEM dan XRD. Benefisiasi Tahap ini dilakukan untuk memperoleh lempung yang bebas dari pengotor organik, garam terlarut, dan kerikil. Pada tahap ini, sampel terlebih dahulu dikeringkan dibawah terik sinar matahari, kemudian dilarutkan dalam aquades dan diaduk sampai semua lempung larut sempurna. Setelah itu dibiarkan beberapa hari sampai terjadi pemisahan. Saat terjadi pemisahan akan terbentuk tiga lapisan. Bagian atas adalah senyawa organik dan garam-garam terlarut dan paling bawah adalah kerikil dan pasir yang merupakan tailing lempung. Adapun mineral lempung berada diantara kedua lapisan tersebut. Untuk memastikan semua garam terlarut, pengotor organik, dan tailing terpisah dengan sempurna langkah 48
ini diulangi sampai tidak ada lagi tailing. Selanjutnya mineral lempung dikeringkan dan ditumbuk dan diayak dengan ayakan 40 mesh (Abdulloh, 2004). Pembuatan komposit berpori lempungCMC Komposit berpori lempung-CMC terbentuk oleh sol lempung-CMC dengan mengatur laju pembekuan dan rasio konsentrasi sol lempung: CMC. Sol lempung-CMC dibuat dengan melarutkan butiran lempungCMC dengan rasio berat: 0:100, 10:90, 20:80, 30:70, 40:60, 50:50, 60:40, 70:30, 80:20, dan 90:10 ke dalam aquades dengan rasio berat 1:9 kemudian diaduk sampai homogen dengan pengaduk magnetik (Otha, 1995). Sedangkan untuk mengatur laju pembekuan disiapkan 6 buah beker gelas 400 mL yang telah diisi ± 100 gram pecahan-pecahan dry ice berdiameter ± 1 cm dengan jumlah penambahan alkohol pada berbagai macam, yaitu: 0, 2, 4, 5, 10, dan 20 mL kemudian diaduk sampai semua dry ice yang ada berinteraksi dengan alkohol. Untuk menentukan jumlah rasio dry ice-alkohol yang akan digunakan dalam pembuatan komposit berpori dilakukan dengan menuangkan 2 mL sol lempung ke dalam silinder (diameter 19 mm dan panjang 30 mm) kemudian dibekukan dalam campuran dry ice-alkohol pada berbagai macam komposisi sampai semua sol lempung membeku dan dicatat waktunya. Selanjutnya laju pembekuannya ditentukan dan dibuat kurva antara laju pembekuan terhadap komposisi campuran dry icealkohol untuk menentukan laju pembekuan optimum. Rasio dry ice-alkohol yang memiliki laju pembekuan optimum selanjutnya digunakan untuk membekukan 2 mL sol lempung-CMC pada berbagai macam komposisi yang
J. Penelit. Med. Eksakta. Vol. 8, No. 1, April 2009: 46-56
telah disiapkan yang telah dituangkan ke dalam cetakan berbentuk silinder seperti diatas. Setelah beku dimasukkan ke dalam desikator vakum yang dihubungkan dengan pompa vakum. Selanjutnya pompa vakum dijalankan sampai ruang di dalam desikator benar-benar vakum, hal ini dimaksudkan untuk menghilangkan air yang sudah beku (es) melalui proses sublimasi agar terbentuk pori. Uji mekanik Uji mekanik dilakukan melalui compression test dengan menempatkan komposit clay-organic pada alat pe-megang sampel autograph 500D yang telah dimodifikasi. Kemudian alat dijalankan dengan test speed 20 mm/min, chart control 100 mm/min dan FS loading 5 kg (Abdulloh, 2004). Karakterisasi penunjang Karakterisai penunjang dilakukan untuk menentukan struktur lempung dengan XRD dan bentuk morfologi (teksture pori) komposit clay-organic dengan SEM. HASIL DAN PEMBAHASAN Laju Pembekuan Optimum Sol Lempung 10% dengan Campuran Dry Ice-Alkohol Laju pembekuan sol lempung 10% pada bermacam-macam campuran dry ice-alkohol disusun dalam Tabel 1. Dari Tabel 1 terlihat bahwa campuran dry ice-alkohol (100 gr:2 mL) dapat digunakan untuk pembuatan komposit berpori lempungCMC dengan laju pembekuan 1,63 × 10-2 mL/detik atau sedikit lebih besar dari laju pembekuan yang disyaratkan untuk membuat komposit berpori lempung-organik yaitu 1,5 × 10-2 mL/detik. Tabel 1 juga menunjukkan bahwa laju pembekuan sol lempung 10% dalam campuran dry ice alkohol menjadi lebih besar dengan ber-
tambahnya jumlah alkohol dalam 100 gr butiran dry ice. Hal ini disebabkan karena penambahan alkohol ke dalam dry ice mengakibatkan terjadinya penurunan titik beku (ΔTf). Penurunan titik beku tersebut terjadi akibat perbedaan tekanan uap (ΔP) antara dry ice ( Psolv ) dalam campuran dry iceo ). alkohol dengan dry ice murni ( Psolv
Semakin besar ΔP semakin besar pula ΔTf . Berdasarkan Hukum Roult jika kedalam suatu zat murni dicampurkan suatu yang zat yang memiliki tekanan uap yang lebih rendah, maka tekanan pelarut atas larutan ( Psolv ) adalah hasil kali antara tekanan uap o pelarut murni( Psolv ) dengan fraksi mol
pelarut
( x solv )
sesuai
dengan
per-
samaan (Hill, 2002): o Psolv = x solv Psolv ............................................................ (1)
dan o ΔP = Psolv − Psolv
....................................................... (2)
Oleh karena itu semakin banyak alkohol {Palkohol = 0,088 bar pada 300 K (Perry’s, 1999)} yang ditambahkan ke dalam dry ice { PCO = 67,1 bar pada 300 2
K (Perry’s, 1999)} menyebabkan Psolv semakin kecil, ΔP dan ΔTf semakin besar, sehingga laju pembekuan menjadi semakin cepat. Akan tetapi Hukum Roult tersebut hanya berlaku untuk larutan ideal. Sedangkan di alam ini hanya sedikit campuran yang dapat membentuk larutan ideal atau hanya pada konsentrasi yang encer saja larutan (campuran) mengikuti Hukum Roult. Adapun pada konsentrasi yang lebih besar sebagian besar campuran (larutan) menunjukkan adanya deviasi atau menyimpang dari Hukum Roult (Atkins, 2002). Oleh karena itu penambahan alkohol kedalam dry ice tidak menunjukkan hubungan yang linear terhadap laju pembekuan (Gambar 2). 49
Lempung Sebagai Bahan Untuk Isolasi Penyangga Produk Industri (Abdulloh)
Gambar 1.
Hasil analisis struktur menggunakan software Philips X pert.MPD dari diffraktogram sampel lempung hasil analisis X-ray Diffractometer system JDX-3530 JEOL
Tabel 1. Laju Pembekuan Sol Lempung 10% pada Berbagai Macam Campuran dry ice-alkohol No. 1 2 3 4 5 6
Campuran Dry ice:Alkohol 100 gr : 0 mL 100 gr : 2 mL 100 gr : 4 mL 100 gr : 5 mL 100 gr : 10 mL 100 gr : 20 mL
Σ Sol Lempung (10% b/v) 2 mL 2 mL 2 mL 2 mL 2 mL 2 mL
Gambar 2 menunjukkan bahwa laju pembekuan sol lempung 10% optimal terjadi pada penambahan 5 mL alkohol ke dalam 100 gr butiran dry ice sebesar 2,55 × 10-2 mL/detik. Hal ini disebakan oleh adanya deviasi negatif pada campuran dry ice alkohol, sehingga Psolv lebih rendah dan ΔP dari perhitungan Hukum Roult (Atkins, 2002). Komposit Berpori Lempung-CMC Komposit berpori lempung-CMC dihasilkan melalui tiga proses, yaitu: pembuatan sol lempung-CMC, pembekuan sol lempung-CMC dan pengeringan dalam ruang vakum. Setiap hal yang berkaitan dengan proses tersebut perlu diperhatikan 50
trata-rata* (detik) 143,7 123,0 103,0 78,3 69,0 66,7
Lajupembekuan rata-rata (mL/detik) 1,39 × 10-2 1,63 × 10-2 1,94 × 10-2 2,55 × 10-2 2,89 × 10-2 3,00 × 10-2
agar diperoleh komposit berpori lempung-CMC yang memenuhi persyaratan mekanik untuk isolasi penyangga produk industri. Pembuatan sol lempung-CMC dimaksudkan untuk memperbesar jarak antar partikel, karena pada saat lempung-CMC dimasukkan ke dalam air, permukaan partikel lempung menjadi bermuatan negatif karena kation-kation penyeimbang muatan (exchangeable cations) mengapung mengelilingi partikel lempung membentuk kation hidrat menyebabkan jarak antar partikel lempung menjadi lebih besar (± 10 nm). Hal ini terjadi karena silika hidroksilat (Si-OH) yang terdapat pada permukaan lempung memiliki afinitas
J. Penelit. Med. Eksakta. Vol. 8, No. 1, April 2009: 46-56
Laju pembekuan (mL/detik
0,035 0,030 0,025 0,020 0,015 0,010 0,005 0,000 0
5
10
15
20
25
Jumlah alkohol (mL) yang ditambahkan dalam 100 gr dry ice
Gambar 2.
Laju pembekuan sol lempung (10% b/v) pada berbagai macam campuran dry ice-alkohol
yang kuat untuk mengikat air (strong afinity for water) dengan ikatan hidrogen (Gambar 3), sehingga timbul lapisan ganda air (double layer water) yang berfungsi mengikat permukaan partikel lempung dan mengikat kation hidrat (Das, 1998). Adanya air juga menyebabkan terbentuknya sol CMC, karena CMC adalah polimer turunan selulosa dengan gugus –OH (Gambar 4) yang dapat mengikat air dengan ikatan hidrogen dan dapat masuk pada daerah interlamelar lempung (Hombas, 1986), sehingga daerah interlamelarnya semakin besar. Pembekuan sol lempung-CMC dimaksudkan agar jarak antar partikel tidak berubah, karena pada saat beku molekul air tidak dapat bermigrasi ke permukaan material komposit lempung-CMC. Migrasi molekul air biasanya diakibatkan oleh aliran kapiler, diffusi kimia dan diffusi termal. Adanya sol CMC juga mengakibatkan migrasi air menjadi sulit, karena pada saat pembekuan terjadi ikatan silang pada sol CMC, sehingga sol menjadi lebih kental (viscous) dan membentuk gel pada saat beku (Reed, 1995).
Gambar 3. Ikatan hidrogen antara air dengan gugus silanol pada permukaan silika (http:/www.owlnet.rice.edu/~chbe571/CHAP2.pdf )
O
CH2OR
H
OR
C
C
C
OH H
H
C
O
O
H C H
O
C
OH
H
C
C
H
OR
C H
H
H C O
CH2OR
n
R: -CH2OCH2COOH
Gambar 4. Struktur molekuler CMC (carboxymethyl celluloce)
Adapun pengeringan dalam ruang vakum dimaksudkan untuk membentuk pori dalam material komposit lempung-CMC. Pori terbentuk karena molekul air pada fasa padat (es) akan menyublim (berubah dari fasa padat menjadi gas) pada kondisi vakum {Pcritic, yaitu 0,006 atm (Atkins, 2002)} meninggalkan pori
51
Lempung Sebagai Bahan Untuk Isolasi Penyangga Produk Industri (Abdulloh)
pada komposit lempung-CMC. Pori tidak akan mengalami perubahan bentuk dan ukuran, jika tidak ada es yang mencair dan tekanan ruang desikator tetap lebih kecil atau sama dengan tekanan kritis air sampai tidak ada lagi molekul air dalam komposit (kering). Untuk mengontrol agar es tidak mencair dapat dilakukan dengan mengatur suhu dan menjalankan pompa vakum sampai tidak ada lagi es yang menyublim dengan energi hisap awal (Wo):
Wo = (Pbar − 0,006) × V × 101325
....................... (3)
dengan Pbar adalah tekanan atmosfer (atm) dan V adalah volume ruang desikator (m3). Pada penelitian ini, pembuatan komposit dilakukan saat tekanan atmosfir mencapai 785 mmHg dan suhu ruangan 31oC dengan desikator vakum bervolume 1,2168 × 10-2 cm3 dan daya hisap pompa vakum 0,75 – 0,9 kW. Pada kondisi tersebut pompa vakum tidak mampu menurunkan tekanan ruang desikator sampai vakum, karena energi pompa vakum selalu lebih kecil dari energi awal (1,226 kJ) ditambah dengan energi untuk menghisap uap air (hasil kali V dengan Pair saat T = 31oC {33,695 mmHg (Perry’s, 1999)} sehingga terbentuk material berongga (Gambar 5). Rongga tersebut terbentuk karena es dalam material komposit mencair dengan lambat kemudian berubah menjadi uap dengan cepat. Pada saat es mencair sol kembali terbentuk dan terjadi migrasi molekul air sehingga jarak antar partikel menjadi lebih rapat. Setelah suhu ruangan desikator pada penelitian ini diturunkan o menjadi 15 C dengan cara meletakkan 1 Kg dry ice di bawah desikator vakum, komposit berpori lempungCMC berhasil didapatkan dengan distribusi bentuk dan ukuran pori yang belum homogen (Gambar 6). 52
(a)
(b) Gambar 5. Bentuk rongga yang terjadi selama proses sublimasi akibat adanya air dalam sol lempung-CMC dengan rasio (a) 0:10 dan (b) 1:9
Hal ini disebabkan karena ada sebagian molekul air berubah dari fasa padat ke cair kemudian bermigrasi ke permukaan. Akan tetapi tidak lama kemudian berubah menjadi fasa gas akibat dari kerja pompa vakum belum optimal untuk menurunkan tekanan ruang desikator dan Pair {12,788 pada 15o C (Perry’s, 1999)} masih lebih besar dibandingkan Pcritic {4,579 mmHg (Perry’s, 1999)}. Selain itu tekanan ruang desikator vakum sama dengan Pcritic tercapai setelah ± 5 menit menyebabkan jumlah fasa cair pada bagian bawah material lebih banyak, sehingga pori yang terbentuk semakin kecil. Berkurangnya ukuran pori menyebabkan komposit berpori yang dihasilkan mengalami penyusutan sebesar 59,75% dan ρkomposit (0,2883 g/cm3) >ρ polystyrene (0,0293 g/cm3 (http://en.wikipedia.org/wiki/Polystyr ene)). Selain pada saat pengeringan
J. Penelit. Med. Eksakta. Vol. 8, No. 1, April 2009: 46-56
Gambar 6. Foto SEM komposit berpori lempung-CMC dengan rasio (0:10)
(a)
(b) Gambar 7. Bentuk komposit berpori lempung-CMC (a) Tampak samping dan (b) Tampak atas
pengeringan penyusutan juga terjadi saat pembekuan, karena saat pembekuan volume air mengalami penyusutan sebab ρair menjadi lebih besar (sifat anomali air), sehingga bentuk permukaan komposit berpori yang dihasilkan tidak datar (Gambar 7).
Sifat Mekanik Komposit Berpori Lempung-CMC Sifat mekanik material menyatakan reaksi material saat menerima beban atau gaya. Jenis dan arah gaya yang diberikan untuk menguji sifat mekanik material disesuaikan dengan fungsinya. Pada penelitian ini material komposit berpori lempung-CMC akan digunakan sebagai isolasi penyangga produk industri agar produk tidak rusak akibat goncangan atau benturan yang dapat terjadi saat pengiriman. Karena itu, gaya yang digunakan adalah gaya tekan (compressive force) dan besaran mekanik dari uji dengan cara ini adalah compressive strength (tegangan kompresif). Pada penelitian ini hasil penentuan compressive strength komposit berpori lempung-CMC pada berbagai rasio lempung-CMC disusun pada Tabel 2. Dari Tabel 2 terlihat bahwa compressive strength komposit meningkat dengan bertambahnya jumlah CMC dalam komposit berpori. Hal ini terjadi, sebagai akibat dari semakin banyaknya jumlah ikatan silang (cross linked) yang terdapat dalam komposit berpori lempung-CMC yang dihasilkan oleh CMC. Ikatan silang terbentuk saat terjadi perubahan kimia atau termal dalam sistem atau bertambahnya konsentrasi CMC akibat berkurangnya molekul pelarut selama proses pembekuan dan pengeringan. Adanya ikatan silang tersebut mengakibatkan terbentuknya struktur tiga dimensi yang disebut gel (persamaan 4). Saat molekul air (dalam bentuk hidrat) banyak yang hilang dan ikatan tiga dimensi terjadi, viscositas meningkat cepat. Gel mengalami pergeseran jika tegangan geser lingkungan melebihi hasil dapatan geser (yeild stength) gel.
53
Lempung Sebagai Bahan Untuk Isolasi Penyangga Produk Industri (Abdulloh)
Tabel 2. Compressive Strength Komposit Lempung Berpori pada Berbagai Rasio Lempung: CMC No.
Lempung : CMC
Fpengukuran (N) I
II
III
Frata-rata (N)
Compressive strength (N/mm2)
1
0:10
116,0
120,0
117,0
117,67
0,8869
2
1:9
109,0
110,0
120,0
113,00
0,8518
3
2:8
99,5
105,0
109,7
104,73
0,7895
4
3:7
145,5
142,5
75,5
121,17
0,9133
5
4:6
141,7
119,7
147,2
136,20
1,0266
6
5:5
76,3
77,7
76,5
76,83
0,5792
7
6:4
35,7
37,2
38,4
37,10
0,2797
8
7:3
28,7
23,0
27,8
26,50
0,1998
9
8:2
13,7
12,7
10,7
12,37
0,0932
10
9:1
3,5
3,7
3,5
3,57
0,0269
Kekuatan dan viscositas gel meningkat dengan bertambahnya konsentrasi dan berat molekuler polimer (Reed, 1995). Oleh karena itu penambahan CMC menyebabkan nilai compressive strength komposit berpori lempungCMC bertambah besar. x Polimer(aq) [Polimer]n (gel) + (x – n) Polimer (aq) ...................................................................(4)
(a)
Tabel 2 juga menunjukkan, bahwa pada komposisi CMC ≥ 50%, komposit berpori lempung-CMC yang dapat digunakan sebagai bahan isolasi penyangga (buffer isolation) karena memiliki compressive strength lebih besar dari polystryrene (0,5 N/mm2). Bahkan pada komposisi CMC 60% diperoleh nilai compressive strength yang paling besar diantara
(b) 50 μm
(c)
(d) 50 μm
Gambar 8.
54
5 μm
5 μm
Foto SEM komposit berpori lempung-CMC: (a) dan (b) Rasio lempung: CMC 0:10, (c) dan (d) Rasio lempung : CMC 4:6 dengan perbesaran 300× dan 3000
J. Penelit. Med. Eksakta. Vol. 8, No. 1, April 2009: 46-56
rasio lempung: CMC yang ditentukan, Hal ini yaitu 1,0266 N/mm2. disebabkan karena adanya lempung menyebabkan ukuran pori menjadi lebih kecil (Gambar 8), sehingga jarak material rapat. Pada skala atomik, pemberian gaya tekan (compressive force) menyebabkan jarak antar atom menjadi lebih dekat. Compressive force yang dibutuhkan menjadi lebih besar, karena ketika jarak antar atom menjadi lebih dekat akan timbul gaya tolakmenolak antar inti atom. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwam (1) Lempung Kutorejo Mojokerto dapat diman-faatkan sebagai bahan buffer isolation dalam bentuk komposit berpori lempungCMC dengan distribusi bentuk dan ukuran pori masih belum homogen sebagai akibat dari kerja pompa vakum (0,75 – 0,9 kW) yang belum optimal saat proses pengeringan, (2) Pada jumlah rasio lempung: CMC dengan komposisi CMC > 50% pada pembuatan komposit berpori lempung-CMC akan diperoleh komposit berpori dengan compressive strength > compressive strength busa polystyrene (0,5 N/mm2), bahkan pada komposisi CMC 60% diperoleh nilai compressive strength yang paling besar diantara rasio lempung : CMC yang ditentukan, yaitu 1,0266 N/mm, (3) Campuran dry ice-alkohol dapat digunakan untuk membekukan sol lempung-CMC menggantikan nitrogen cair dengan laju pembekuan 2,55 × 10-2 mL/detik pada rasio 100 gram : 5 mL atau lebih besar daripada laju pembekuan yang disyaratkan untuk membuat komposit berpori lempungorganik yaitu 1,5 × 10-2 mL/detik, dan (4) Jumlah optimum campuran dry ice-alkohol yang digunakan pada
proses pembekuan sol adalah 100 gram : 5 mL. Saran
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, belum diperoleh komposit berpori lempung-CMC yang memiliki distribusi ukuran dan bentuk pori yang homogen, oleh karena itu perlu dilakukan kajian lebih lanjut menggunakan pompa vakum yang dapat bekerja optimal pada kondisi pembuatan komposit berpori atau dengan mengubah kondisi pembuatan komposit berpori, misalnya dengan menu-runkan tekanan atau suhu < 15 oC. DAFTAR PUSTAKA Abdulloh. 2004. Evaluasi Teknik Uji Geser Dan Uji Tekan Dalam Kajian Pengaruh Kadar Air dan Penambahan Zat Imbuh Terhadap Karakteristik Plastisitas Lempung Asal Dsn. Pandisari Ds. Sawoo Kec. Kutorejo Kab. Mojokerto, Tesis Magister, Departemen Kimia ITB Bandung Atkins P. and Paula J. de, 2002. Physical Chemistry, 7th ed., W. H. Freeman and Company, New York, p. 135 – 141 Anonymuous, Clay, http://www.metu. edu.tr/~vedat/downloads/chapter2.p df, diakses 4 September 2003 Anonymuous, Chapter 2 Subsurface Micro Structure, http:/www.owlnet. rice.edu/~chbe571/CHAP2.pdf, diakses 13 April 2006 Anonymuous, Nitrogen, http://en. wikipedia.org/wiki/Nitogen, diakses 13 April 2006 Anonymuous, Polystyrene, http://en. wikipedia.org/wiki/Polystyrene, diakses 18 Agustus 2006 Callister, W.D., 1995. Material Science And Engineering: An Introduction, John Wiley & Sons Inc., New York. p. 107 – 118 Das, M. Braja, 1998. Principles of geotechnical Engineering, PWS publishing company, boston, 1998, p.10 – 18, p. 55 – 64 Fujita, T., Sugiyama, H., Adachi, M., and Nakazawa H., 1990. Strengthening of Clay Aerogel By Use Additive,
55
Lempung Sebagai Bahan Untuk Isolasi Penyangga Produk Industri (Abdulloh)
Proceding. 9th International. Clay Conference., p. 53 – 61 Hill John W. and Petrucci Ralph H., 2002. General Chemistry, 3th ed., Prentice Hall, New Jersey, p. 529 – 537 Nakazawa, H., Yamada, H., Fujita, T., and Ito, Y., 1987. Texture control of clayaerogel through the crystallization process of ice, Clay Science., Vol 6, p. 269 – 276 Nakazawa, H., Yamada, H., Fujita, T., Hashizume, H., and Shimomura, S. 1994. Porous Clay-Fiber Composite: a potential subtitute for foamed styrol, Proceding 3rd IUMRS International Conference On Advanced Material, p. 157 – 160
56
Hadi W. 2003. Ceramic Filter for Purifying Saline Water and Concentrating Heavy Metals In The Electroplating Wastewater for Material Reuse http://www.menlh. go.id/apec_vc/osaka/eastjava/semin ar2003/ 6.pdf, diakses 8 April 2006 Hombas M. 1986. Keplastisan Lempung, Informasi Teknologi Keramik dan Gelas, No. 29 Tahun VII, p. 52-56 Otha S., and Nakazawa H. 1995. Porous Clay-Organic Composites: Potential Substitutes For Polystyrene Foam, Applied Clay Science, Vol 9, p.425– 431 Reed James S. 1995. Principles of Ceramic Processing, 2nd John Wiley, p. 172– 186, p. 545 – 557